Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku Karya Ahmad Rifa I Rif An Bagian 3
Kita tidak kunjung cerdas menyikapi perilaku beragama kita. Ramadhan adalah karunia Allah yang diberikan kepada kita setahun sekali. Sebulan penuh Allah memberi kita waktu untuk mengintrospeksi diri, mengistirahatkan nafsu, mengader jiwa, dan mengendalikan raga. Genap sebulan kita diberi waktu untuk melipatgandakan pahala ibadah, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, setan-setan pun diborgol oleh-Nya. Untuk apa" Agar kita melaksanakan ibadah-ibadah di bulan mulia ini dengan ringan.
Setelah membaca hadis Rasulullah yang memberi isyarat bahwa Lailatul Qadar ada di sepuluh malam terakhir, tepatnya di malam-malam ganjil Ramadhan, kita justru seolah sedang main tebak-tebakkan dengan Tuhan. Di malam-malam ganjil kita begitu bersemangat meningkatkan kadar ibadah kita. Tapi di malam lain kita kembali bermalas diri.
Jika kita menyikapi Lailatul Qadr dengan benar, insya Allah kita memilih untuk bersemangat meningkatkan kadar ibadah kita sejak malam pertama Ramadhan hingga malam terakhir. Kita bisa memastikan bahwa jika sejak malam pertama kita beribadah dengan tekun, iktikaf dengan rajin, tadarus dengan semangat, insya Allah malam seribu bulan itu dapat tergapai.
Renungan Hari ke-22 Tasbih Modern
Jangan sampai tasbih modern itu lantas menghilangkan titik ekuilibrium, titik keseimbangan kita sebagai manusia. Yang memang butuh hiburan, tapi tetap sadar hidup bukan untuk berlibur. Yang memang butuh mainan, tetapi tetap ingat hidup bukan semata untuk bermain-main.
eberapa mubalig muda senantiasa menghiasi berbagai kajian Islam di masjid kampusku tercinta. Mereka tampil sangat mengagumkan dan memesona. Mereka berbicara dengan nada penuh semangat, keras, fasih, serta tatapan muka setajam Musa menghadapi Fir aun, sangat berwibawa. Diuraikannya tentang keharusan mengembalikan ajaran Islam seperti aslinya. Seperti yang dibawa Muhammad saw. Hindari penyakit agama yang bernama TBC (takhayul, bid ah, churafat/khurafat). Saya ingat betul yang sering terungkap dari lisan salah seorang dari mereka, Bid ah-bid ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup banyak. Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan tidak adanya dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk kategori bid ah, sesuai sabda Rasulullah saw., Barang siapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah kami maka dia tertolak. Di waktu lain, terdengar ada ritual berbeda yang tiap Jumat selalu saya dengar dari muazin masjid, Bagi para jemaah yang membawa HP (handphone) dan alat komunikasi sejenis, mohon dinon-aktifkan . Sang muazin sangat yakin hampir seratus persen para jemaah memegang makhluk modern tersebut. Semiskin apa pun dia. Apa ini bid ah" Tentu bukan kata ustaz karena ini bukan termasuk ibadah mahdhah. Apa di sini saya hendak membahas tentang bid ah" Bukan kawan. Saya sebenarnya hendak membahas tentang tasbih modern . Butiran tasbih klasik kini telah tergantikan oleh tombol-tombol HP.
Dunia baru telah membawa masyarakat kita ke dalam realitas-realitas baru kehidupan, seperti kenyamanan, kesenangan, keterpesonaan, kesempurnaan penampilan, kebebasan hasrat. Manusia sudah tidak lagi bisa membedakan dorongan nafsu dengan kebutuhan. Mental konsumtif telah mengantarkan kita pada masyarakat yang tidak lagi bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Bermiliar-miliar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan hidupnya. Meskipun saya harus menerima sebagai keniscayaan dunia modern saat melihat anak kelas satu SD dengan serius mengetik SMS entah menulis apa, entah sudah bisa baca tulis atau belum.
Terdapat ilmu yang hampir diketahui oleh setiap pemeluk agama Islam Makanlah ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, itu adalah formula tentang kesehatan hidup. Tidak hanya menyangkut tubuh, tetapi juga keseluruhan peristiwa sosial dalam kehidupan. Ia bukan hanya sebuah teori keilmuwan tentang daya tampung perut, tetapi lebih dari memaknai segala kebutuhan tentang efektivitas dan efisiensinya.
Saya tidak hendak mencela Anda yang menggunakan HP sebagai sarana nafsu, SMS-an tidak jelas dengan pacar maupun makhluk nonmuhrim sebagai wahana ta aruf dini. Tapi beruntunglah Anda yang dengan sendirinya merasa tercela. Saya juga tidak hendak menyindir Anda yang calling sana-sini tengah malam hingga terbit fajar untuk menikmati tarif gratis dari operator seluler yang memanfaatkan dan mempermainkan manusia modern untuk menyia-nyiakan masa muda untuk hal mubah, bahkan haram. Tapi beruntunglah Anda yang dengan sendirinya merasa tersindir. Saya tidak bermaksud hendak mengembalikan pada kehidupan primitif seperti nenek moyang kita yang bisa hidup tanpa HP. Karena sekali lagi, ini adalah sebuah keniscayaan kehidupan yang semakin modern.
Meskipun kita menyadari itu sebagai hukum alam atau sunnatullah. Meskipun saya harus menerima sebagai keniscayaan dunia modern, tapi mbok ya jangan sampai mengikis kecenderungan religiusitas aktivitas sosial kita, yang sebenarnya lebih merupakan kebutuhan primer. Jangan sampai tasbih modern itu lantas menghilangkan titik ekuilibrium, titik keseimbangan kita sebagai manusia. Yang memang butuh hiburan, tapi tetap sadar hidup bukan untuk berlibur. Yang memang butuh mainan, tetapi tetap ingat hidup bukan semata untuk bermain-main. Kalau Anda setiap hari sibuk makan minum, pada momentum tertentu hakikat fisik Anda akan menagih untuk diizinkan berpuasa. Kalau Anda setiap saat dikepung oleh maksiat dan kedekatan dengan dosa-dosa, maka hakikat fisik Anda akan menagih untuk diberi kesempatan taqarrub kepada Allah.
Renungan Hari ke-23 Belajar dari Jemaah
Shalat jemaah adalah salah satu metode pembelajaran agar seseorang memiliki kesadaran diri sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Kebiasaan baik ini mengajarkan manusia untuk selalu melakukan kolaborasi dengan lingkungannya, dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardh, agar lebih efektif dan efisien.
eorang sahabat, dalam short message-nya kembali mengenangkanku sebuah kaidah klasik, Bencilah kesalahannya, tapi jangan kau benci orangnya.
Kalimat itu dikirim olehnya setelah saya memutuskan untuk rehat sejenak dari sebuah komunitas yang saya ikuti sejak masih menyandang gelar mahasiswa baru. Harap tahu, ini adalah komunitas yang senantiasa memperjuangkan hak-hak mustadh ifin. Komunitas ini adalah kumpulan orang-orang yang mengikhlaskan diri untuk menjadi aktivis sosial, murni dan bersih dari niatan-niatan materi.
Lalu kenapa saya memutuskan untuk rehat dari komunitas itu" Alasan saya sederhana, saat itu, banyak kebiasaan para sahabat saya di sana yang saya rasa kurang sesuai dengan nurani saya. Karenanya, saya merasa harus menghindar sejenak, sambil merefleksi diri dari luar, sudah benarkah komunitas yang telah saya tekuni selama ini.
Ah, tidak saya sangka sebelumnya, indahnya komunitas terkadang baru kita rasakan ketika kita berlepas darinya. Bahkan perhatian yang tulus dari beberapa sahabat di sana sempat saya rekam dan saya kenang sebagai bentuk perhatian yang tulus tentang arti anggota dalam sebuah komunitas. Sahabat A mencoba mengingatkan, Saya tidak memvonis seseorang sebagai hamba yang jauh dari Tuhan hanya karena dalam penglihatan indra saya tampaknya ia begitu. Sahabat B bilang, Masalah refleksi dari luar menurutku ini bukan cara yang tepat karena ini malah akan menjadikan misskomunikasi di antara kita semua . Sahabat C dengan hati mendalam mengatakan, Jika kau benci dengan aktivitas yang ada, mengapa itu harus berimbas pada yang lain, ketika di sana masih banyak yang peduli dengan yang lain. Sahabat D berkata, Kami memang banyak kekurangan, tapi sayang untuk ditinggalkan. Sahabat E menasihati, Kamu, dia, kita tetaplah saudara walaupun berjuang di jalan yang berbeda. Ah, terkadang saya terbawa pada nuansa melankolis ketika bersama sebuah komunitas yang ikatannya memang begitu tulus. Akhirnya saya sampaikan maaf atas segala celah kepada mereka. Yakin, bahwa bagi saya saat ini, tiap orang beriman tetaplah rembulan yang juga memiliki sisi kelam, yang tidak pernah ingin ditampakkannya pada siapa pun. Maka saat ini, cukuplah bagi saya memandang sang bulan pada sisi cantik yang menghadap ke bumi saat purnama itu. Tidak usah terlalu diperbesar wajah kelam yang memang tidak ingin ditampakkannya. Lebih indah jika khusnudzan itu ada pada kerasnya jalan juang yang selama ini tidak jarang menguras peluh. Pada ikhlas di hati untuk mengobarkan semangat dhu afa dalam memperjuangkan haknya. Pada getar hati untuk bergandeng tangan kibarkan bendera kebebasan untuk kaum tertindas. Itulah indahnya komunitas.
Belajar dari Jemaah Shalat jemaah adalah salah satu metode pembelajaran agar seseorang memiliki kesadaran diri sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Kebiasaan baik ini mengajarkan manusia untuk selalu melakukan kolaborasi dengan lingkungannya, dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardh, agar lebih efektif dan efisien.
Harus lahir sebuah kesadaran bahwa kita saudara seakidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah dan tidak akan terpecah oleh apa pun kecuali kekeruhan rohani masing-masing kita, maradhun f" qul"bin".
Rapatkan shaf kita. Pererat persinggungan tubuh kita untuk menghalangi masuknya musuh-musuh kita semua. Setan-setan, baik dalam wujud sebenarnya, maupun dalam perspektif realitas kehidupan sehari-hari. Tampaknya ini suatu pelajaran penting, bagaimana kita menghadapi setan-setan bentukan kehidupan hedonis, individualis, materialis, serta semua bentuk baru dari kebudayaan mulia yang tercipta dalam dunia Islam. Setan-setan individualis selalu mencari celah, mencoba masuk dalam situasi kerenggangan shaf ukhuwah kita. Rapatkan barisan kita, jangan beri mereka ruang gerak bagi peradaban kita yang luhur. Peradaban yang dibangun bukan hanya dengan tenaga, pikiran, darah, melainkan juga dengan ribuan nyawa. Selama ini anyaman tali ukhuwah hanya tampak pada situasi maupun kondisi keformalan saja. Akan tetapi, watak kebudayaan masyarakat jelas dengan tajam digerakkan oleh sebuah peralihan kebudayaan. Seorang mahasiswa di kota tidak bisa menjelaskan kepada ibunya yang baru datang mengunjunginya dari desa, dan bertanya, Nak, bagaimana mungkin kamu tidak kenal tetangga sebelahmu itu, bahkan saling bersapaan pun tidak pernah"
Ibu jangan menuntut yang tidak-tidak, berkatalah mahasiswa ini, beginilah kehidupan di kota. Ibu tahu, di kampung orang terlalu mau tahu dan turut campur urusan orang lain. Jarak antara sang ibu dan mahasiswa inilah yang saya maksud sebagai peralihan budaya. Dan ini sebuah keniscayaan sejarah. Tidak usah lagi kita merasa berdosa dan menyesali hasil peralihan ini. Tugas kita selanjutnya adalah melakukan penyadaran, reformasi perspektif, dari perspektif individual menuju ke perspektif komunitas.
Inilah hakikat shalat jemaah. Ketika ada makmum yang datang belakangan sehingga tidak kebagian tempat di depan dan terpaksa membentuk shaf baru sendirian, maka salah satu dari shaf di depan diharapkan mundur untuk menemaninya. Dalam dogma klasik, alasannya dinyatakan agar tidak diganggu oleh setan karena sendirian. Dalam kaitannya dengan peralihan budaya itu, kita diharapkan bisa menjadi kawan yang baik, mau mendampingi serta memberi konsep dan metode netralisasi terhadap gencarnya serangan individualis pada umat kita. Pada generasi muda kita, ayo, terus tularkan semangat kegotongroyongan yang saat ini telah meluntur dari budaya kemasyarakatan kita. Mari benahi retak-retak sosial yang selama ini menjangkit di antara kita. Kita adalah umat yang satu, yang terikat oleh tali terkuat: akidah .
Renungan Hari ke-24 Ziy"dah
Betapa zalimnya manusia ketika nikmat belum ia rengkuh, tiap malam tangisnya tidak henti-henti mengiba di hadapan Allah. Tetapi setelah nikmat didapat, dengan mudah ia lupa, tidak bersyukur sama sekali kepada Tuhannya.
andanglah orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah memandang orang yang di atas kalian. Maka yang demikian itu lebih layak untuk dilakukan agar kalian tidak menganggap remeh akan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian. (HR. Muslim)
Gratitude research (penelitian tentang sikap bersyukur) menjadi salah satu bidang yang banyak diteliti ilmuwan abad ke- 21 ini. Profesor psikologi dari University of California, Davis, Amerika Serikat, Robert Emmons, sekaligus pakar terkemuka di bidang Gratitude research, telah memperlihatkan bahwa dengan setiap hari mencatat rasa syukur atas kebaikan yang diterima, orang menjadi lebih teratur berolahraga, lebih sedikit mengeluhkan gejala penyakit, dan merasa secara keseluruhan hidupnya lebih baik. Dibandingkan dengan mereka yang suka berkeluh kesah setiap hari, orang yang mencatat daftar alasan yang membuat mereka berterima kasih juga lebih bersikap lebih menyayangi, memaafkan, gembira, bersemangat dan berpengharapan baik mengenai masa depan mereka. Di samping itu, keluarga dan rekan mereka melaporkan bahwa kalangan yang bersyukur tersebut tampak lebih bahagia dan lebih menyenangkan ketika bergaul. Penelitian pertama Prof. Emmons melibatkan para mahasiswa yang kuliah di psikologi kesehatan di universitasnya. Saat itu, ia membagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diminta untuk menuliskan lima hal yang menjadikan mereka bersyukur setiap hari. Sedangkan kelompok kedua diminta untuk mencatat lima hal yang menjadikan mereka berkeluh kesah.
Tiga pekan kemudian, kelompok pertama memberi tahukan adanya peningkatan dalam hal kesehatan jiwa dan raga mereka, serta semakin membaiknya hubungan kemasyarakatan dibandingkan rekan mereka yang suka menggerutu. Pada tahun-tahun berikutnya, profesor Emmons melakukan aneka penelitian yang melibatkan beragam kondisi manusia, termasuk pasien penerima organ cangkok, orang dewasa yang menderita penyakit otot saraf, dan murid kelas lima SD yang sehat. Pada semua kelompok manusia ini, hasilnya sama, orang yang memiliki catatan harian tentang ungkapan rasa syukurnya mengalami perbaikan kualitas hidup. Profesor Emmons menuangkan hasil-hasil temuan ilmiahnya itu dalam buku terkenalnya Thanks! How the New Science of Gratitude Can Make You Happier. Sebuah temuan yang semakin memperkuat risalah Ilahi tentang indahnya hidup. Syukur. Jauh sebelum penelitian mutakhir itu, telah masyhur ayat tentang syukur bagi kita, seorang muslim. Sejak dini kita telah diperkenalkan dengan ayat itu. Ayat yang mengajarkan agar kita senantiasa mensyukuri segala nikmat yang dikaruniakan Allah pada kita.
Dan tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim [14]:
7) Penggal pertama berupa tawaran indah, bahwa jika kita bersedia mensyukuri nikmat yang diberikan Allah, maka Allah mengungkap janji untuk menambah nikmatnya pada kita. Jika dibalik, kalau kita ingin agar Allah memberi tambahan nikmat pada kita, maka bersyukurlah. Dengan syukur Ia akan melimpahkan tambahan karunia. Jika atas tambahan karunia itu kita terus bersyukur, bersyukur, dan tidak berhenti bersyukur, maka sesuai ayat di atas, Allah akan memberi tambah"an, tambahan, dan tambahan atas nikmat pada kita. Dan itu pasti. Karena Allah Maha Menepati Janji-Nya.
Kalimat pun berlanjut karena Allah Maha Pencinta. Jika penggal pertama ayat berisi anjuran untuk syukur, kalimat itu berlanjut dengan ancaman Allah bagi yang kufur. Ancaman dalam bahasa yang halus dan indah, & maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
Ziy"dah Betapa zalimnya manusia, hidup dengan bergelimang nikmat tetapi melupakan peran Tuhannya. Betapa zalimnya manusia ketika nikmat belum ia rengkuh, tiap malam tangisnya tidak henti-henti mengiba di hadapan Allah. Tetapi setelah nikmat didapat, dengan mudah ia lupa, tidak bersyukur sama sekali kepada Tuhannya.
Oh, betapa zalimnya manusia, jutaan nikmat tidak bisa membuatnya peka. Masih ada saja yang terus mengeluh hanya karena ujian-ujian kecil yang tidak sebanding dengan apa yang telah diberikan Allah pada dirinya. Oh, betapa kufurnya manusia, bahkan hanya untuk menyadari kehadiran Allah dalam setiap yang diperolehnya saja tidak sudi. Ia dengan mudah melupakan Allah sebagai penolong yang senantiasa menjaganya.
Allah bersifat Ar-Rahman, Yang Maha Pengasih. Akan tetapi mengapa yang dikasih begitu mudah mendustai" Ternyata manusia tidak cukup hanya dengan Asmaa ul Husna sebagai hal yang harus ditadabburi. Itu sebabnya Allah pun menurunkan surah bernama Ar-Rahman sebagai peringatan. Bacalah, kemudian hitung, berapa sering Allah mengajukan pertanyaan dengan menggunakan kalimat tanya yang sama. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan" Astaghfirullah, 31 kali Allah menanyakan itu. Apakah saking bandelnya manusia sehingga Allah berkehendak mengulangi kalimat itu berkali-kali.
Ada sebuah cerita yang semoga bisa menjadi ibrah. Ada tiga orang yang diminta menghadap raja. Masing-masing menempuh perjalanan jauh dengan mengendarai kuda. Di tengah perjalanan, mereka istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menemui sang raja. Tidak lama kemudian mereka tertidur. Dan betapa terkejutnya saat mereka bangun dari tidurnya, mereka tidak lagi melihat kudanya. Kudanya telah hilang semua. Tanpa mereka sadari, ternyata seorang prajurit kerajaan melihat hal tersebut. Tidak lama kemudian sang raja mengirimkan kuda baru untuk mereka. Lengkap dengan perbekalan.
Ketika kuda dan perbekalannya mereka terima, reaksi ketiga pengendara yang kudanya hilang itu berbeda-beda. Si A kaget dan berkomentar, Wah, hebat sekali kuda ini. Bagus ototnya. Bekalnya juga banyak! Si A sibuk dengan kuda barunya tanpa bertanya, Kuda siapakah ini"
Si B berbeda lagi responsnya. Ia sangat gembira dengan kuda yang ada dan berkomentar, Wah, ini kuda hebat! Kemudian ia berterima kasih kepada yang memberi.
Sikap C beda lagi. Ia berkomentar, Lho, ini bukan kuda saya. Kuda milik siapa ini"
Sang prajurit menjawab, Ini kuda milik raja.
Si C bertanya kembali, Mengapa raja memberikan kuda ini" Raja mengirim kuda ini agar engkau mudah bertemu dengan sang raja.
Dia gembira bukan karena bagusnya kuda. Dia gembira karena kuda dapat memudahkan dia dekat dengan sang raja. Nah, begitulah, si A adalah contoh manusia yang kalau mendapatkan nikmat, ia lupa dengan pemberinya. Ia lupa bahwa harta yang telah diterimanya adalah titipan. Ketika ia diberi nikmat berupa mobil, motor, rumah, pekerjaan, dan kedudukan, ia sibuk dengan semua itu, tanpa sadar bahwa itu adalah titipan dari Allah.
Si B mungkin adalah model kebanyakan dari kita yang ketika memperoleh nikmat, ia senang, kemudian mengucap Alhamdulillah. Tetapi untuk menjadi ahli syukur tidak cukup hanya dengan ucapan. Ahli syukur adalah model si C, yang kalau diberi nikmat, dia berpikir bahwa nikmat ini adalah kendaraan yang dapat menjadi pendekat kepada Sang Pemberi Nikmat, Allah Swt.
Renungan Hari ke-25 Indikator Bahagia
Kesuksesan yang sejati, kesuksesan yang hakiki, berbeda dengan kesuksesan sementara, yang semu, yang tidak nyata. K esuksesan seorang muslim dapat dilihat dari kebahagiaan peraihnya.
isah yang akan saya sampikan ini bukan untuk memupus keinginan Anda untuk bermimpi bercita-cita hidup kaya. Bukan! Tapi sekadar ingin berbagi, bahwa letak bahagia bukan di sana. Demi Allah bukan!
Ini kisah nyata. Ada delapan orang miliuner yang memiliki nasib kurang indah di akhir hidupnya. Tahun 1923, para miliuner berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mereka adalah kumpulan orang-orang yang sangat sukses di zamannya. Namun, lihatlah nasib tragis mereka 25 tahun sesudahnya.
Charles Schwab, dia adalah CEO Bethlehem Steel, perusahaan besi baja ternama waktu itu. Dia mengalami kebangkrutan total, hingga harus berutang untuk membiayai 5 tahun hidupnya sebelum meninggal. Richard Whitney, dia adalah President New York Stock Exchange. Pria ini harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara Sing Sing. Jesse Livermore (raja saham The Great Bear di Wall Street), Ivar Krueger (CEO perusahaan hak cipta), Leon Fraser (Chairman of Bank of International Settlement), ketiganya memilih mati bunuh diri. Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara, mengalami gangguan jiwa dan meninggal di rumah sakit jiwa. Arthur Cutton, pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, meninggal di negeri orang lain. Albert Fall, anggota kabinet presiden Amerika Serikat, meninggal di rumahnya ketika baru saja keluar dari penjara.
Kisah di atas merupakan bukti bahwa kekayaan yang melimpah bukan jaminan akhir kehidupan yang bahagia.
Jika kebahagiaan adalah salah satu indikator sukses, lalu apa indikator kebahagiaan itu"
Ah, tidak pantas saya menjawabnya. Biarlah Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang menjelaskan kepada kita bahwa ada tujuh buah indikator sehingga orang tersebut dikatakan bahagia. Sedikit saya membahasnya. Semoga memberi kita inspirasi untuk meraihnya.
Qalbun sy"kir: Hati yang Selalu Bersyukur Jika saat ini Anda masih bisa bernapas dengan lega, jantung Anda masih berdetak dengan normal, dan hati Anda masih dalam kondisi beriman, sudah cukuplah alasan Anda harus bersyukur hari ini.
Tidak ada momen-momen yang membahagiakan jika kita tidak pandai mengisi detik-detik waktu kita dengan syukur. Syukurilah segala yang Allah berikan kepada kita. Sebab, A llah boleh jadi tidak memberikan apa yang kita minta, tetapi Allah Mahatahu. Yakinlah selalu bahwa Ia hanya memberikan apa yang kita butuhkan. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur kepada karunia Allah.
Di sinilah letak keindahan hidup seorang muslim. Jika diberi nikmat ia bersyukur, jika mendapat cobaan ia bersabar. Bila sedang ditimpa kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah saw., Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya. Kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap bandel dengan terus bersyukur, maka A llah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.
Al-Azw"ju As-Salehah: Pasangan Hidup yang salehah
Bila kupandangi dia, Hilang segera duka dan lara
(Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang istrinya)
Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang saleh, yang pasti ia akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang saleh, serta tidak mungkin membiarkan istrinya sengsara. Demikian pula seorang istri yang salehah, yang akan memiliki kemesraan, kesabaran, dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya. Bahkan, kemesraan terindah itu tidak akan lenyap hingga mengiring keberangkatan kekasihnya menghadap Allah Swt. Aisyah Humair", mengenang memori tidak terlupakan itu, Sesungguhnya di antara nikmat Allah yang dilimpahkan padaku, bahwa Rasulullah saw., meninggal di rumahku. Pada hari giliranku, berada dalam rengkuhan dadaku. Dan bahwa Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat wafat. Setiap keindahan yang tampak oleh mata, itulah perhiasan dunia. Namun yang paling indah di antara semua, hanya istri salehah perhiasan terindah. Hanya istri yang beriman yang bisa dijadikan teman, dalam tiap kesusahan selalu jadi hiburan. Hanya istri yang salehah yang punya cinta sejati, yang akan tetap setia dari hidup sampai mati, bahkan sampai hidup lagi.
Maaf, itu syair lagunya Bang Haji.
Tentu kita merindu istri yang demikian, istri yang tidak pernah lelah menyambut kita dengan ketulusan senyumnya. Setiap kondisi disikapi indah dengan kalimat bijak, nada lirih, kelembutan jiwa, dan penuh kesyahduan darinya. Dialah istri salehah.
Alangkah rindu kita menyambut percikan air darinya yang selalu dipercikkan ke wajah kita saat terlelap di sepertiga malam yang penuh rahmat, ia dengan senyuman manis lengkap dengan mukena di depan kita sambil berkata, Aku menunggumu dengan sabar& kita tahajud bersama, yuk! Indah bukan"
...dan Allah merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari untuk menunaikan shalat malam. Dia bangunkan suaminya dan jika sang suami enggan ia percikkan air ke wajahnya. (HR. Abu Daud)
Tentu kita rindu saat mengenang rumah tangga Rasulullah saw., yang setiap detiknya adalah kebahagiaan. Rasulullah masih bisa berkata, bait" jannat", rumahku laksana surga bagiku. Padahal, rumah beliau hanyalah berupa bilik sempit. Sungguh kita merindu istri seperti Aisyah yang ketika ditanya, apa hal yang paling memesona dari suami tercintanya, dengan isak tangis dan suara lirih ia berkata, K"na kullu amrihi ajaba. Semua perilakunya menakjubkan.
Kita juga merindu istri yang bisa menjaga kehormatannya saat kita meninggalkannya di rumah.
Maka wanita salehah, ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada. (QS. An-Nisa [4]: 34) Kita merindu wanita salehah. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita kebahagiaan dengan takwanya. Ia pun berjanji akan menghadiahinya surga.
Anas bin Malik meriwayatkan kalimat lembut Rasulullah tentang wanita ahli surga: Tidakkah kalian mau kuberi tahu tentang wanita ahli surga" Kami menjawab, Tentu Ya Rasulullah. Beliau bersabda, Setiap istri yang wadud (penuh cinta) dan walud (subur). Apabila ia membuat marah suami atau menyakiti hatinya atau suami marah kepadanya, ia berkata, Inilah tanganku berada di tanganmu. Aku sungguh tidak bisa menikmati tidur dan istirahat sehingga engkau rida kembali. Dunia itu perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salehah. (HR. Muslim)
Al-aulad Al-Abrar: Anak yang Saleh
Kawan, apakah kau masih mempunyai orangtua" Sungguh beruntung jika kau masih memilikinya. Merekalah manusia keramat di dunia yang dikaruniakan Allah kepadamu. Muliakan mereka dalam sisa hidupmu. Jangan harap kau akan sukses saat ia kau telantarkan dan durhakai. Rasulullah bersabda, Maukah jika kuberi tahukan kepadamu sebesar-besar dosa yang paling besar. Sahabat berkata, Baiklah, ya Rasulullah . Nabi berkata. Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orangtua. Lalu, Rasul pun duduk dan bersandar, lantas bersabda lagi: Perkataan bohong dan persaksian palsu . Maka Nabi selalu mengulangi, Dan persaksian palsu , sehingga kami berkata, semoga Nabi diam (HR. Bukhari dan Muslim) Yakinlah, rida Allah bergantung pada rida kedua orangtua yang taat. Rida Allah bergantung pada keridaan orangtua dan murka Allah bergantung pada kemurkaan orangtua. (HR. Bukhari)
Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan; doa orang yang teraniya, doa seorang musafir, dan doa orangtua terhadap anaknya. (HR. Abu Daud)
Saat Rasulullah saw., sedang thawaf, Rasulullah saw., bertemu dengan seorang pemuda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah saw., bertanya kepadanya, Kenapa pundakmu itu"
Pemuda itu menjawab, Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah uzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika shalat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya. Lalu anak muda itu bertanya, Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orangtua"
Nabi saw., sambil memeluk anak itu dan mengatakan, Sungguh Allah rida kepadamu, kamu anak yang saleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu. (HR. Thabrani)
Begitulah. Dan kebahagiaan orangtua akan anaknya yang saleh tidak hanya dirasakan saat menimangnya, saat mendidiknya, saat menyaksikan semua kesuksesannya. Kebahagiaan itu menyertainya sebagai investasi amal di alam barzakh. Dialah amal yang akan mengalir menemani saat dan setelah menghadap Allah.
Salah satu ikhtiar kita saat ini tentu dengan tulus berusaha menjadi anak saleh, dengan harapan Allah akan meridai kita. Dan sebagai hadiah, jika usia kita panjang dan dikaruniai kesempatan merawat amanah berupa anak, kita bisa dikaruniai anak yang saleh sebagai bonus dari Allah karena kita saat ini menjadi anak saleh.
Al-B" ah As-Shalihah: Lingkungan yang Kondusif untuk Iman
Kita merindukan komunitas imani, komunitas yang membuat kita merasa aman dengan tangan dan lisan mereka. Komunitas yang mengingatkan saat kita lengah, membuat hati tergetar berzikir saat kita melupakan-Nya. Komunitas yang senantiasa menyambung silaturahmi. Komunitas yang meramaikan rumah Allah dengan jemaah shalat dan majelis ilmu. Kita merindukan halaqah magnet dalam komunitas takwa. Siapa pun yang dekat dengannya akan tertarik dalam suasana syahdu majelis ukhrawi. Komunitas yang hanya cinta dan mencinta karena Allah.
Kita merindukan komunitas yang tersusun dari manusia yang suci niatnya, bersih kerjanya, ikhlas jiwanya, indah tutur katanya. Komunitas yang arisannya adalah majelis zikir, rumpiannya rumpian iman, dan gotong royongnya jihad fi sabilillah. Ah, indahnya.
Al-M"l Al-Hal"l: Harta yang Halal
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta, tetapi halalnya. Ada alasan nyambung antara halalnya makanan dan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw., pernah bertemu dengan seorang lelaki yang berdoa mengangkat tangan. Kamu berdoa sudah bagus. kata Nabi saw., namun sayang makanan, minuman, dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan.
Bagaimana mungkin kita mengharap kebahagiaan sementara harapan kita tidak dikabulkan oleh Allah"
Tafaqquh fid D"n: Semangat untuk Memahami Agama
Tafaqquh. Ia mencirikan semangat yang dahsyat. Mengalahkan semangat-semangat selainnya. Semangat ini senantiasa menyala, tidak akan padam sebelum ajal memadamkannya. Lalu, mengapa harus fid d"n" Mungkin aksioma klasik ini mengingatkan kita tentang menentukan prioritas terhadap ilmu yang akan kita pelajari, Orang yang tidak memahami tentang ilmu dunia, ia bagaikan orang yang lumpuh. Tetapi yang tidak memahami ilmu agama, ia bagaikan orang buta. Nah, kita mau pilih lumpuh atau buta"
Tentu tidak ada yang mengharapkan keduanya. Tetapi kita lebih bisa memilih mana yang lebih kita prioritaskan.
Umur yang Berkah Berkah. Kata ini yang lebih dipilih oleh Uqail ibn Abu Thalib, sang pengantin, saat ia menerima doa dari teman-temannya, daripada kalimat doa bir raf" i wal ban"n, semoga bahagia dan banyak anak.
Lho, bukannya doa itu sudah bagus" Janganlah kalian katakan demikian, kata Uqail menyambung, karena sesungguhnya Rasulullah melarangnya.
Lalu apa yang harus diucapkan" Ucapkanlah, kata Uqail, B"rakall"hu laka, wa b"rakall"hu alaika wa jama a bainakum" f" kha"r. Semoga Allah karuniakan berkah kepadamu, dan semoga Ia limpahkan berkah atasmu, dan semoga Ia himpun kalian dalam kebaikan.
Berkah menampakkan efektivitas sekaligus efisiensi suatu nikmat. Berkah identik dengan optimalisasi manfaat. Ilmu berkah, ilmu yang manfaatnya dirasakan dirinya dan sekitarnya. Harta berkah, harta yang penggunaannya efektif, efisien, dan bermanfaat bagi pemilik dan orang banyak. Begitupun umur berkah, yaitu umur yang digunakan secara efektif, efisien, juga berisi perjuangan penuh manfaat bagi dirinya dan umat.
Seseorang yang mengisi usia hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, yakinlah bahwa hari tuanya akan diisi dengan banyak nostalgia masa mudanya, ia pun akan kecewa dengan ketuaannya, gejala ini yang biasa disebut post-power syndrome.
Orang yang mengisi usianya dengan banyak persiapan untuk akhirat, maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini. Bahkan, ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat hidup orang-orang yang berkah umurnya.
Itulah kawan, semangat kesuksesan yang ditunjukkan oleh Islam. Dahsyatnya melampaui semangat temporer yang akan sirna oleh masa. Kesuksesan sejati dan hakiki, berbeda dengan kesuksesan sementara, semu, dan tidak nyata. Ia dapat dilihat dari kebahagiaan peraihnya.
Renungan Hari ke-26 Rida Rabb-ku Menjadi Dambaanku
Mari meniatkan hidup kita ke depan untuk kebaikan semata. Agar sisa usia kita benar-benar dihargai oleh Allah sebagai usia yang berkah. Semoga kita tercatat sebagai hamba-hamba yang taat.
ngin hidup kaya" Tentu. Ingin kebutuhan hidup tiap hari tercukupi" Pasti. Ingin tinggal di rumah dengan tenang serta naik kendaraan yang nyaman" Ah, tidak usah ditanya. Semua manusia normal, insya Allah tertarik dengan semua itu.
Kemudian kita pun bisa bertanya, jika semua ingin dan harap tersebut menjadi tujuan kita sehingga memilih profesi sebagai petani, pedagang, karyawan, pegawai negeri, apakah kita telah melanggar syariat"
Maka dengan tegas akan saya jawab, Ya. Anda telah melanggar syariat . Lho, apa alasannya"
Allah mencipta kita hanya dengan satu tujuan, yaitu agar kita beribadah kepada-Nya. Itu saja. Tidak ada yang lain. Allah tidak menciptakan kita agar kita berlomba-lomba menggapai kekayaan. Allah tidak menciptakan kita untuk hidup di rumah yang tenang atau untuk menggapai kendaraan yang nyaman. Bukan. Kita tidak dicipta untuk itu. Kita diciptakan agar kita hidup senantiasa mengabdikan hidup kepada Allah. Beribadah selalu kepada Allah. Dari baligh, hingga ajal menjemput. Bukankah sudah tidak asing lagi bagi kita tentang ayat yang menegaskan maksud Allah mengapa telah menciptakan kita" Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Ya, sangat jelas dan tegas ayat itu. Maka jika Anda tiba-tiba ingin menjadi pegawai negeri, pedagang, petani, dengan niat agar bisa hidup kaya, kebutuhan hidup tercukupi, dan lain-lain, kemudian lupa akan tujuan Anda diciptakan oleh Allah, maka semua yang Anda dapat itu tidak ada nilainya di sisi Allah. Ya, tidak bernilai sedikit pun di hadapan-Nya.
Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang di dalamnya dia menyekutukan selain Aku, maka amalnya untuk yang ia sekutukan, dan Aku terbebas darinya. (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Al-Baghawy)
Ya, selain Maha Rahman, Rahim, Ghoniy, Ghofur, dan sifat-sifat Allah yang lain yang termaktub dalam 99 Asm" ul Husn", A llah itu ternyata juga Maha Pencemburu. Ia tidak ingin melihat hamba-Nya mencintai apa pun selain-Nya.
Maka saudaraku, mari bersama menata niat kita dengan urutan yang benar. Jadikan Allah sebagai tujuan pertama. Jadikan dunia dan selain-Nya sebagai alat semata. Sebagai media untuk mengabdi pada-Nya. Silakan Anda mendamba kaya, karena harta lebih baik berada dalam genggaman muslim yang saleh. Silakan berharap rumah yang tenang, semoga rumah yang tenang dan lapang bisa menjadi wahana untuk melepas lelah agar bisa melanjutkan ibadah. Silakan berkeinginan memiliki kendaraan yang nyaman karena memang semua itu menjadi standar hidup seorang muslim.
Tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki: 1. Istri yang salehah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang, jika kamu pergi membuatmu merasa aman karena bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu. 2. Kendaraan yang baik yang bisa mengantar ke mana pun pergi. Dan 3. Rumah yang lapang, damai, penuh kasih sayang. (HR. Abu Daud)
Tapi, semua itu hanyalah alat. Jangan sampai alat menjadi tujuan, dan tujuan yang sebenarnya justru dilupa. Semoga segala apa yang kita kerjakan, aktivitas apa pun yang kita pilih, profesi apa pun yang kita geluti, selalu mengingat satu tujuan yang akan mengantar kita kepada kebahagiaan sejati itu. Mari meniatkan segalanya hanya untuk menggapai rida Allah. Maka kalimat tanya yang semoga selalu menemani aktivitas kita setiap saat, Jika aku melakukan ini, Allah rida atau tidak" Jika saya memasukkan catatan keuangan yang tidak benar seperti ini, Allah rida apa tidak" Jika saya berdagang sambil mengurangi timbangan seperti ini, Allah rida atau tidak" Jika saya ujian semester dengan nyontek, Allah rida atau tidak" Nah, semoga dengan senantiasa menanyakan kepada hati kita tentang keridaan Allah atas segala sesuatu yang akan kita kerjakan atau kita pilih, semoga kita semakin hati-hati dalam bertindak. Semoga kehati-hatian itu bisa menjauhkan kita dari dosa.
Tenanglah. Allah Mahabijak. Jika kita meniatkan mencari rida- Nya, maka Allah tidak akan segan-segan memberi yang terbaik bagi kita. Jika kita meniatkan untuk menggapai akhirat, insya Allah dunia akan lebih mudah kita raih. Itu pasti. Ibarat menanam padi, rumput akan tumbuh mengiringi pertumbuhannya. Tapi jika yang kita tanam adalah rumput, jangan harap padi akan tumbuh.
Begitulah hukum kehidupan. Jika yang kita tuju adalah rida- Nya, tidak usah khawatir, dunia pun akan Anda gapai dengan mudahnya. Allah telah mengungkap janji dalam firman-Nya, bahwa Ia akan menghujani hamba-Nya yang bertakwa dengan nikmat yang tidak terduga. Tidak disangka-sangka.
& Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya& (QS. Ath-Thalaq [65]: 2 3) Mari bernasyid bersama Aa Gym. Semoga Allah memberi hidayah pada jiwa kita agar menjadi jiwa yang ikhlas, hati yang patuh kepada titah Tuhannya.
Barang siapa Allah tujuannya Niscaya dunia akan melayaninya Namun siapa dunia tujuannya Niscaya kan letih dan pasti sengsara Diperbudak dunia sampai akhir masa ( Istighfar : KH. Abdullah Gymnastiar)
Dari pelajaran niat ini pula kita akan tahu betapa Pengasih dan Penyayangnya Allah kepada kita hamba-Nya. Jika kita telah berniat melakukan kebaikan, tetapi ketika akan melakukan kebaikan tersebut ternyata ada sesuatu yang menghalangi kita mengerjakannya, maka telah tercatat pahala seolah kita telah mengerjakannya. Betapa Maha Pengasih Rabb kita. Bahkan ketika kita berniat berbuat jahat, dan ternyata kita tidak jadi berbuat jahat, Allah tidak mencatatnya sebagai dosa. Kurang apa lagi manusia. Tuhan menciptakan kita agar kita bahagia. Tuhan membantu kita sedemikian rupa dengan aturan-aturan-Nya yang selalu mempermudah hamba-Nya agar mencapai kebahagiaan. Termasuk aturan mengenai niat.
Mari niatkan segala sesuatu yang kita kerjakan hanya sebagai media pengabdian kita kepada Rabb kita. Bahkan mari niatkan hidup kita ke depan untuk kebaikan semata. Agar sisa usia kita benar-benar dihargai oleh Allah sebagai usia yang berkah. Semoga kita tercatat sebagai hamba-hamba-Nya yang taat.
Renungan Hari ke-27 Maslahat
Amati ibadah-ibadah mahdhah yang diperintahkan Allah kepada kita. Hampir seluruhnya memiliki keterkaitan dengan hablum minan n"s.
ita mengenal ada istilah manfaat, ada pula maslahat. Jika istilah pertama bisa bermakna nilai guna baik bagi diri sendiri maupun bagi sesuatu yang lain , maka istilah kedua maknanya jauh lebih spesifik. Maslahat merupakan nilai guna seseorang bagi lingkungannya . Lingkungan tentu saja mencakup manusia, hewan, alam, dan semua makhluk Allah yang bisa dijangkau oleh masing-masing kita.
Unik. Justru manusia diciptakan di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri. Dengan kalimat yang mudah dicerna, Allah mengatakan bahwa kita diciptakan di dunia ini untuk menjadi maslahat bagi sebanyak makhluk. Atau dalam kosakata Al-Qur an surah Al-Baqarah ayat 30 kita kenal istilah Khalifah. Ya, kita tahu bahwa dalam rangka mengemban tugas dan amanat itulah manusia dicipta. Menjadi khalifah, wakil Allah untuk memakmurkan bumi. Maka dengan kalimat yang lain bisa dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah di muka bumi ini adalah agar bisa memberi maslahat bagi sekitarnya. Amati ibadah-ibadah mahdhah yang diperintahkan Allah kepada kita. Hampir seluruhnya memiliki keterkaitan dengan hablum minan n"s. Shalat misalnya. Tujuan utamanya adalah agar kita terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Jadi kalau ada orang shalat tapi masih suka menyakiti orang lain, masih suka korupsi, mencuri, dan segala kezaliman kepada sesama, harap introspeksi. Jangan-jangan shalat kita masih banyak kekuranggenapan dalam syarat dan rukunnya. Jika orang yang shalat tapi masih suka menggunjing tetangga kanan kiri, masih suka makan harta haram, masih saling bermusuhan dengan tetangga, harap mawas diri, mungkin saat shalat ada ketidakharmonisan antara gerakan fisik dan khusyuknya jiwa. Mungkin belum ada keterpaduan antara raga dan batin. Begitu juga puasa. Seraplah sebanyak mungkin hikmah dari perintah puasa. Karena sungguh puasa mengajarkan kita banyak hal jika dikaitkan dengan kemanfaatan kita kepada manusia lain (maslahat). Ternyata saat lambung tidak tersentuh makanan dari Subuh hingga Magrib saja rasanya lemas. Padahal di negeri ini kita masih kerap menyaksikan tayangan tidak sedap tentang adanya bocah-bocah kurus kering kekurangan gizi. Jika saat kita berpuasa masih memiliki harapan bahwa nanti Magrib bisa memuaskan makan, maka tataplah wajahwajah tidak berdaya yang bahkan untuk makan saja mereka tidak kuasa.
Puasa adalah metode pengasah kepekaan sosial yang jitu. Tentu saja kesadaran itu muncul jika jiwa kita terbiasa menyerap hikmah dari segala fenomena yang kita tangkap. Jika dengan berpuasa ternyata jiwa tidak kunjung bertambah rasa pekanya terhadap sekitar, tidak usah khawatir jika suatu saat nanti kita perlu belajar (atau diajar) dengan menjadi seperti mereka dulu, baru bisa merasa betapa tidak enaknya hidup dalam ketidakberdayaan.
Satu Badan Kita memiliki potensi untuk menjadi manusia egosentris. Kita mencintai diri sendiri, menjadikan pribadi kita sebagai pusat dari segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Bisa saja kita melakukan apa pun untuk kebahagiaan diri, atau paling tidak membahagiakan keluarga kita. Namun beruntung, ketika kita berikrar sebagai mukmin, ketika itu pula kita disadari atau tidak telah mengikrarkan diri untuk menjadi manusia yang wajib menebar sebanyak mungkin cinta kepada sesama. Kalimat syahadat yang telah kita ucapkan itu, pertanda persaksian diri bahwa kita tidak bisa hidup dalam rasa individualis yang tinggi.
Mukmin itu orang yang peka. Jiwanya sangat sensitif. Ikatan atas dasar iman telah mengokohkan jalinan persaudaraan yang melebihi jalinan darah. Ikatan persaudaraan atas dasar keimanan jauh lebih kuat daripada jalinan apa pun. Apalagi ketika kita mengingat Sang Rasul tercinta, Muhammad saw., yang mengajarkan satu kaidah persaudaraan yang indah, bahwa mukmin yang satu dengan yang lain itu ibarat satu tubuh. Tentu tidak ada yang merasa aneh jika ketika kaki menginjak paku tiba-tiba anggota tubuh yang lain secara spontan mengekspresikan cintanya sesuai kemampuannya masing-masing. Lidah spontan mengeluarkan kata, Aduh . Mata spontan mengeluarkan air mata kesedihan. Tangan spontan mengurangi rasa sakit sang kaki dengan memijit-mijitnya. Ya, semua spontan mengekspresikan cintanya kepada kaki.
Kemudian saya pun berpikir, betapa indahnya jika perumpamaan Rasulullah itu terjabar dalam perilaku semua umatnya. Ketika si A tidak bisa membayar iuran sekolah anaknya kemudian si B secara spontan mengekspresikan cintanya dengan menenangkan si A dengan kalimat-kalimat ketegaran, mungkin kalimat-kalimat ketegaran itulah yang mampu dipersembahkan si B. Kemudian si C datang ke A memberi si A bantuan dana semampunya. Lain lagi si D yang datang dengan apa yang mampu ia persembahkan. Demikian seterusnya.
Sebaik-baik Manusia Kita adalah muslim. Umat terbaik yang diturunkan oleh Allah di muka bumi. Lalu apa tugas kita sebagai umat terbaik" Allah berfirman, Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran [3]: 110)
Ukhrijats linn"si, dilahirkan untuk manusia. Ah, cukuplah kalimat langit ini memberi petunjuk kepada kita tentang tujuan penciptaan kita. Kita dilahirkan untuk manusia, bukan untuk Allah. Karena Allah tidak butuh manusia. Bahkan jika pun seluruh makhluk-Nya tidak ada yang menyembah-Nya, Ia tidak akan kehilangan Kuasa. Kita menyembah-Nya karena kitalah yang membutuhkan Allah. Allah bahkan berfirman dengan kalimat penegas, Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 57)
Kita memang dilahirkan untuk manusia. Kesadaran itulah yang harus tertanam. Jika sudah dalam kondisi demikian, maka membengkaknya jumlah jemaah shalat, puasa, zakat, maupun haji dalam suatu masyarakat seharusnya berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran masyarakat tersebut. Sebab, seseorang yang telah menunaikan ibadah-ibadah mahdhah itu, akan memperoleh visi hidup yang lebih tinggi daripada yang tidak. Kedekatannya dengan Allah membawanya menjadi manusia yang sensitif terhadap keadaan di masyarakat sekitarnya. Ia tidak mungkin tega meninggalkan tetangganya berada dalam kesusahan sementara ia mengumpulkan uang agar bisa berhaji lagi tahun berikutnya. Ia akan merasa malu di hadapan Allah ketika tidak ikut serta menyelesaikan segala hal yang timpang di lingkungannya. Setelah berhaji seharusnya ia belajar menjadi the main of social change, pelaku utama dalam perubahan masyarakatnya. Ia tidak lagi tertarik bekerja keras mengumpulkan uang dengan tujuan agar bisa berhaji agar bisa masuk sendirian ke dalam surga-Nya, sementara masih terlihat di lingkungannya ketidakadilan dan penindasan kepada mustaz if"n (kaum yang dilemahkan, ditindas, dimelaratkan, dan disengsarakan).
Begitulah. Ibadah formal membawa kita pada kebermaknaan hidup kita bagi sekitar. Menjadi maslahat bagi sebanyak mungkin manusia.
Maslahat. Kita bisa belajar banyak dari kata itu. Allah pun menetapkan kualitas manusia di hadapan-Nya berdasarkan kadar manfaatnya bagi sesama. Sebagaimana sabda Rasul, Khoirun n"s, anfa uhum linn"s. Bahwa sebaik-baik manusia, adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Manfaat dalam bidang apa" Alhamdulillah, tidak disebutkan oleh Rasul. Itu mengindikasikan kita diperkenankan memilih, mau berkontribusi dalam bidang apa saja, karena setiap kita tentu memiliki potensi masing-masing. Memiliki keahlian yang berbeda. Memiliki kelebihan dan kekurangan yang tidak sama. Maka manfaat yang bisa kita bagi kepada lingkungan kita tentu juga tidak harus sama.
Guru, silakan jadikan hidup Anda sebagai maslahat bagi sebanyak mungkin anak didik Anda. Didik mereka menjadi manusia yang tidak hanya cerdas otaknya, tapi juga cerdas hatinya.
Tegaskan pada mereka bahwa kejujuran mengalahkan segala prestasi akademik. Tidak ada gunanya jika lulus ujian namun hasil menyontek. Tidak berharga sama sekali jika nilai seratus namun hasil kecurangan.
Polisi, silakan menebar maslahat melalui kejujuran dan kedisiplinan dalam tugas. Tegakkan keadilan. Hindari praktikpraktik kotor. Saya yakin masih ada dari Anda yang jujur dalam memegang amanah di kepolisian.
Ilmuwan, silakan melakukan eksperimen-eksperimen ilmiah untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan peradaban umat. Ciptakan temuan-temuan ilmiah yang mempermudah kehidupan dan menyejahterakan manusia.
Yang pengusaha silakan menjadi maslahat bagi umat dengan membuka lapangan kerja sebanyak mungkin. Yang karyawan silakan menjadi maslahat dengan cara bekerja seprofesional mungkin. Yang mahasiswa silakan menjadi maslahat dengan memperjuangkan idealisme, kritis menyikapi fenomena sosial, dan (tentu saja) belajar menekuni bidangnya masing-masing.
Sederhana jika diurai dalam barisan kata, tetapi pengamalannya sungguh membutuhkan perjuangan yang ekstra keras. Tapi bukankah kita diciptakan memang dengan naluri perjuangan. Sebab itu, mari kita terus berjuang dalam kemaslahatan.
Level Kemusliman Maaf, jika pernyataan saya pada bahasan ini cenderung dinilai sebagai asumsi subjektif. Bolehlah dianggap begitu, karena memang ketika membahas hal berikut saya tidak terlalu banyak mengambil referensi ilmiah yang kuat untuk membuktikannya. Anggaplah sebagai bahan renungan yang diambil esensi dari pembahasannya.
Saya menilai selama ini banyak dari saudara kita yang telah melokalisir dan maaf mengerdilkan Islam ke dalam eksklusivisme fikih. Seolah Islam adalah agama yang hanya mengatur hukum halal-haram, ibadah-ibadah mahdhah, dan syariat-syariat Islam yang berkaitan dengan hablum minallah. Padahal hemat saya, fikih itu berada pada tataran hukum formal. Di atas fikih ada akhlak, di atas akhlak ada takwa, di atasnya lagi ada yang namanya hubb atau cinta. Ketika level kemusliman kita masih sekadar muslim karena telah berucap syahadat, itu barulah muslim pada tataran fikih. Kalau keseharian Anda masih hidup dalam bingkai halal-haram, itu juga muslim pada level fikih.
Mungkin masih ada yang belum ngeh dengan keterangan di atas. Konkretnya begini, kalau Anda bertemu dengan anakanak kecil peminta-minta atau pengemis di jalanan pinggiran Tugu Pahlawan, kemudian Anda tidak memberikan apa-apa, maka tidak ada pasal di fikih maupun pidana apa pun yang bisa menyeret Anda ke pengadilan. Anda tidak akan di-qishas atau dimasukkan ke dalam penjara hanya karena tidak memberi apa-apa kepada pengemis anak-anak. Tetapi pada level akhlak, menjadi tidak sesederhana itu. Anda dianggap telah berdosa dengan ketidakpedulian sosial itu. Dan naik lagi pada level takwa dan hubb (cinta), Anda sudah dianggap berada pada level kufur, bukan lagi seorang muslim. Lho" Bukankah Rasulullah pernah berkata, bahwa kita belumlah diakui sebagai seorang muslim sebelum kita mencintai saudara kita sesama muslim seperti mencintai diri kita sendiri. Dan muslim itu adalah penebar kebaikan. Khalifah fil ardh. Kehadirannya harus menjadi rahmat bagi semesta. Seorang muslim itu memiliki jiwa yang pengasih dan penyayang. Bukan hanya kepada manusia, tetapi kepada seluruh alam. Maka bisa jadi keislaman Anda dinilai belum sempurna saat kita mengabaikan anak kucing tetangga yang sedang kelaparan. Itu baru anak kucing, apalagi kalau yang kita acuhkan itu anak manusia. Contoh lain, pada level fikih, kita cukup diwajibkan membayar zakat sekitar 2,5 % dari penghasilan kita. Tapi dari sudut pandang akhlak, mungkin kita perlu membayarkan 50%, dan pada perspektif cinta, mungkin 80%, 90%, bahkan rela membayarkan 100%. Kita sering meninggalkan tingkatantingkatan itu, sehingga level kemusliman kita tidak naik-naik pangkatnya. Jadi mulai saat ini mari kita tingkatkan kasta kemusliman kita di hadapan Allah.
The Power of Giving Hidup sekali, berarti, kemudian mati. Sebagaimana Khairul Anwar mengungkapkan, insya Allah sesederhana itulah hidup. Buah yang kita panen esok bergantung pada benih yang kita tabur saat ini. Bahagia yang kita peroleh di masa depan bergantung pada usaha yang kita lakukan saat ini. Dan surga atau nerakakah yang kita tuai, bergantung pada amal perbuatan kita saat ini.
Mungkin Anda pernah mendengar istilah kuantum" Ketika sebuah benda dibelah terus-menerus hingga tingkat materi yang sangat kecil, dan materi itu dibelah lagi dengan alat pemecah atom hingga tidak terlihat dan berubah menjadi energi terhalus. Energi terhalus itu dibelah terus-menerus hingga akhirnya seolah menghilang. Ternyata di tingkat energi terhalus yang tidak tampak itu berlaku hukum yang berbeda dengan dunia benda yang tampak. Itulah hukum fisika kuantum. Nah, di tingkat kuantum, semua hal sebenarnya melakukan sesuatu hanya untuk (kepada) dirinya sendiri.
Jadi ketika kita memberi atau bersedekah kepada orang lain, pada hakikatnya kita sedang memberi atau bersedekah kepada diri kita sendiri. Dan luar biasanya, ini adalah hukum alam. Untuk merasakan keajaibannya, kita tidak wajib percaya akan hal ini. Seperti hukum gravitasi, ketika kita melempar batu ke atas, maka batu itu akan jatuh kembali ke tanah. Begitu jugalah hukum kuantum bekerja. Ketika kita memberi, maka kita akan menerima. Otomatis. Dan jika kita ikhlas, maka kita akan menerima dalam jumlah yang berlipat. Sebab, ikhlas memiliki energi kuantum yang sangat dahsyat. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orangorang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al- Baqarah [2]: 261)
*** Ada sebuah cerita dari KH. Abdullah Gymnastiar. Pada suatu hari datang kepada seorang ulama dua orang muslimah yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah.
Keduanya kemudian bercerita mengenai sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bus antarkota beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan bus yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrak"an dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di kursi-kursi di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua orang yang selamat, bahkan tidak terluka sedikit pun. Mereka itu, ya kedua akhwat itu. Keduanya mengisahkan kejadian tersebut dengan menangis tersedu-sedu penuh syukur.
Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat tidak kurang suatu apa pun" Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya ketika itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafalkan zikir. Saudaraku, inilah sebagian dari fadhilah sedekah. Allah pasti menurunkan balasannya di saat-saat sangat dibutuhkan dengan jalan yang tidak terduga.
Mari berbagi! Renungan Hari ke-28 Lebaran Berkawan Debu
Bergembiralah yang wajar. Tidak umbar-umbaran. Semoga kebahagiaan di hari yang fitri ini tidak membuat kita terlena sehingga lupa bahwa di sekitar kita ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
eruntung kita lahir di Indonesia. Negeri ini memiliki ragam budaya maupun kebiasaan sosial yang unik, seru, dan kaya. Sebut saja momentum menjelang Hari Raya Idul Fitri. Di samping ritual iktikaf yang semakin intens, tadarus yang semakin bergairah, masjid-masjid yang semakin riuh, mal-mal serta pasar tradisional yang semakin berjubel pengunjung, penjahit yang semakin ramai orderan, kita tahu ternyata stasiun-stasiun kereta api, pelabuhan, maupun terminal-terminal bus, tidak kalah ramainya. Jalanan raya pun mulai merambat. Macet. Para pemudik mulai berbondongbondong pulang dari perantauannya.
Mudik Ya, tradisi mudik tiap mendekati Hari Raya Idul Fitri telah menjadi kebiasaan lama. Saya tidak tahu sejak kapan tradisi ini ada di masyarakat kita. Yang saya tahu, hampir semua perantau patuh dengan tradisi ini. Seolah ada peraturan tidak tertulis yang menyuruh mereka pulang tiap Lebaran. Kebanyakan para perantau sangat merindukan momentum tahunan ini. Lebaran menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Setelah setahun mereka berjuang di kota-kota besar, baik untuk kuliah, bekerja, maupun berbisnis, di hari Lebaran mereka ingin pulang ke tempat asalnya. Mereka rindu dengan kampung halamannya. Tempat di mana mereka lahir. Tempat di mana mereka menghabiskan masa kecilnya. Tempat di mana keluarga besar mereka tinggal. Tempat para tetangga yang selalu antusias menyambut.
Idul Fitri menjadi momen yang paling dinanti. Mereka rindu kepada orangtua yang sejak kecil mendidiknya dengan kasih sayang. Rindu pada belai lembut sang bunda yang sejak kecil selalu menemani. Rindu pada sosok ayah yang dulu begitu kekar peras keringat banting tulang hanya untuk membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya.
Inilah Lebaran, waktu yang ditunggu-tunggu untuk menyungkur di kaki orangtua. Inilah Idul Fitri, waktu yang ditunggutunggu untuk mencurahkan tangis, mencium, meminta maaf, memohon doa, dan mengiba keridaan kepada orangtua. Maka mudik, tentu menjadi tradisi yang layak dipelihara. Mudik adalah tradisi baik yang menjadi pertanda kasih sayang seseorang kepada keluarganya, orangtuanya, tetangganya, maupun kawan-kawan kecilnya. Mudik adalah wahana silaturahmi tahunan yang layak dipelihara agar rezeki setahun mendatang lebih dipermudah oleh Allah, agar usia lebih diperpanjang oleh Allah. Karena sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw., silaturahmi itu bisa mempermudah rezeki dan memperpanjang usia.
Momentum Pamer" Meskipun Ramadhan dimaksudkan untuk menata manusia agar terkendali hawa nafsunya, menurun sifat sombongnya, tumbuh tawadhu -nya, peka rasa sosialnya, timbul sifat kesederhanaannya, namun masih saja banyak dari kita yang kurang berhasil mengambil hikmah Ramadhan tersebut. Bahkan, sifat sombong semakin menjadi-jadi, hidup bermewahmewahan masih menjadi kebanggaan, banyak yang belum mampu menjaga hubungan sosial yang dibalut tawadhu .
Lihat saja sewaktu Lebaran. Masing-masing orang seolah berlomba-lomba menunjukkan kekayaannya. Lebaran seolah menjadi momentum yang tepat untuk menunjukkan kepada masyarakat hasil kerja kerasnya selama setahun. Rumah direnovasi sedemikian mewahnya. Dealer motor maupun mobil tiba-tiba saja kebanjiran pembeli. Perabot-perabotan pun tidak mau kalah, semua diganti baru. Buffet, sofa, meja, kursi, televisi, gorden, taplak meja, semua diganti baru. Toples maupun hidangan yang disajikan pun kebanyakan begitu mewah dan terkesan mubazir, benar-benar menunjukkan karakter masyarakat kita yang belum punya kerjaan tetap, gaji pun masih pas-pasan, tapi borosnya bukan main.
Apalagi terkait sandang. Mal-mal, plaza, maupun pasar mendekati Lebaran tiba-tiba saja berjubel pembeli. Beragam jenis pakaian diajikan oleh penjual. Berbagai model terbaru ditawarkan kepada konsumen. Untuk apa" Agar saat hari raya nanti, mereka bisa tampil seelegan mungkin di depan orang lain. Agar nanti saat bersilaturahmi, saat bermaaf-maafan, saling kunjung-mengunjungi, bisa sekaligus digunakan sebagai momen untuk saling pamer kostum.
Semua itu seolah disepakati bersama sebagai hal yang wajar. Seolah tidak ada keanehan sedikit pun dengan kebiasaan itu. Padahal, semua itu menunjukkan betapa masyarakat kita belum mampu menjadikan Ramadhan sebagai media penggemblengan diri. Benih-benih kesombongan belum mati, karakter hidup boros belum luntur, pola hidup sederhana tidak kunjung lahir, dan benih-benih ke-tawadhu -an tidak kunjung tumbuh.
Fenomena-fenomena tersebut seolah menegaskan pada kita bahwa masyarakat kita belum mampu memaknai Ramadhan sebagai masa peningkatan takwa. Bahwa kehormatan manusia tidak diukur dari bagusnya pakaian, mewahnya rumah, lezatnya hidangan yang disajikan. Kemuliaan manusia tidak dilihat dari barunya motor, bagusnya mobil, atau mahalnya perabot rumah. Manusia baik atau tidak, mulia atau hina, terhormat atau tercela, hanya diukur dari kualitas hatinya, dari akhlaknya, dari tingkat ketakwaannya kepada Sang Pencipta. Ramadhan seharusnya menambah kepekaan sosial kita. Betapa banyak saudara kita yang untuk makan saja sulit. Betapa banyak anak-anak kecil yang putus sekolah, hanya karena tidak punya biaya. Betapa banyak saudara kita yang dinding rumahnya dari kardus bekas, atapnya dari seng bekas, dan alas tidurnya tikar kasar.
Lebaran Berkawan Debu Saudaraku, lihatlah, banyak dari kita sedang bersuka-cita menyambut hadirnya hari kemenangan itu. Toples, cangkir, gelas, piring, dan segala perkakas hidangan telah dicuci bersih. Kue-kue istimewa pun telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Aneka minuman segar tersaji di meja tamu. Ruang makan pun dipenuhi oleh opor ayam, sayur lodeh, dan kuah-kuah lain untuk menambah nikmat saat menyantap ketupat. Ah, lihatlah, Saudaraku. Baju-baju kita pun terlihat masih baru. Masing-masing orang saling menampilkan busana terindah yang mereka miliki. Baju baru, celana baru, rok baru, jilbab pun baru. Bahkan lihatlah, kawan, sandal yang diinjaknya pun tidak mau kalah, juga masih baru.
Tapi Saudaraku, dari semua pemandangan indah itu, ternyata ada pemandangan yang membuat mata ini rela mengalirkan air jernihnya. Dalam perjalanan pulang kampung, aku banyak diajarkan oleh Allah untuk menyerap hikmah dan merenungkan segala yang kusaksikan. Aku sempat menyisir kawasan padat perkampungan di ibu kota. Dari sebuah rumah yang tersusun dari kardus dan triplek-triplek bekas, terdengar suara ribut seorang ibu kepada anaknya yang terus saja menangis. Klambi sing lawas lho sik ono. Ngertiyo toh le, ibu iki wong gak duwe! (Pakaian yang lama, kan, masih ada. Mengertilah, Nak, Ibumu ini orang tidak punya!)
Oh, kawan, kuyakin di tempat lain masih banyak keluarga miskin bernasib sama dengan anak itu. Ia hanya bisa menangis dan menangis. Tentu bukan hal yang bijak jika kita menuntut anak itu diam dengan mengatakan kalimat, Dik, sabar, ya! Idul Fitri yang penting bukan baju barunya kan" Sebab, tingkat pemikiran mereka masih kesulitan menjangkau penyadaran itu. Mereka masih ingin memasuki Lebaran seperti teman-temannya.
Kemudian, di hampir tiap perempatan jalan, Allah mempertontonkan anak-anak penjual koran yang menyambi sebagai peminta-minta, atau peminta-minta yang menyambi sebagai penjual koran, atau peminta-minta yang menyamar sebagai penjual koran. Ya Allah, mereka sejak kecil telah tumbuh bersama di debu jalanan. Hinggap dari mobil satu ke mobil yang lain. Terkadang, seseorang dari dalam mobil membuka kaca pintunya dan menyodorkan ratusan hingga ribuan rupiah. Sodoran itu kadang disertai senyum hangat, namun tidak jarang dengan paras yang beku. Tapi itu masih mending karena ternyata banyak pula yang tidak menggubris keberadaan mereka. Jangankan menyodorkan uang, menoleh pun kadang tidak sudi.
Perjalanan kulanjutkan dan berhenti di lampu merah berikutnya. Lagi-lagi yang kulihat adalah pemandangan anakanak. Kali ini mereka mengamen dengan peralatan seadanya. Ah, lagunya menyenangkan Punk Rock Jalanan . Genjrengan gitar kecilnya mengalun bersama suara mereka yang masih imut, Jalan hidup kita berbeda. Aku hanyalah punk rock jalanan. Yang tidak punya harta berlimpah. Untukmu sayaaaang& . Saudaraku, mereka adik-adik kita yang tegar. Atau mungkin lebih tepatnya sudah kebal menyikapi kesengsaraan" Mereka tidak bisa berpura-pura bahwa di balik wajahnya yang kusam oleh asap knalpot, tersimpan masalah hidup yang menumpuk; lapar, capek, ancaman preman, apalagi keberlanjutan pendidikan. Jangankan membeli baju baru kawan, memikirkannya saja mereka tidak sempat. Apalagi memikirkan masalah masa depan. Mereka juga tidak punya banyak waktu untuk memikirkan takdirnya. Yang ada di benaknya hanya hal yang sangatlah sederhana, bagaimana agar esok ia dan keluarganya bisa makan.
Mereka adik-adik kita yang tegar. Tidak pernah mengeluh kepada nasib karena mereka juga pasti bingung untuk apa dan kepada siapa mereka harus mengekspresikan keluhan. Jiwa mereka polos. Jernih. Putih. Mereka tahu ada banyak masalah di hadapannya, tapi mereka tidak tahu cara lain selain menghadapinya dengan wajah kusam namun tetap ceria seperti itu. Khas jiwa anak-anak. Tidak seperti orang dewasa yang sok berpikir rumit dan suka mengeluh saat menghadapi masalah.
Saudaraku, sebenarnya saya tidak ingin meredupkan keceriaan di hari yang memang berbahagia ini. Tapi semoga renungan yang saya sajikan ini bisa jadi pengimbang. Karena roda kehidupan tidak akan pernah berhenti berputar. Kadang kita dalam tawa, terkadang kita juga butuh tangis. Kadang ada suka, di kala lain duka datang bergilir. Kadang di atas, kadang terlindas. Suatu ketika di puncak, namun adakalanya terinjak. Maka, mari bergembiralah yang wajar. Tidak usah umbar-umbaran. Semoga kebahagiaan di hari yang fitri ini tidak membuat kita terlena, sehingga lupa bahwa di sekitar kita ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Ketika kita dalam tawa, ternyata banyak saudara kita di perempatan jalan, di kolong-kolong jembatan, di tepi aliran sungai, di gubuk-gubuk reyot perkotaan yang hanya bisa meneteskan air mata seraya mengelus kepala anaknya, Sabar ya, Nak!
Lebaran: Saatnya Bahagia Bersama
Semoga Ramadhan membekaskan sifat sederhana dan tawadhu dalam diri kita. Menjadikan kita sebagai manusia berkecukupan. Cukup pangan. Ya, cukuplah saja, tidak berlebih. Cukup sandang, sekadarnya saja, tidak berlebih. Tidak perlu mengikuti tren, asal sopan dan tidak bikin sumpek orang yang memandang. Tidak perlu mahal. Karena ternyata banyak yang lebih penting daripada sekadar bersolek. Tidak perlu bermerek karena engkau hanya hendak berbaju. Baju yang menutupi aurat ragamu. Bukan baju yang menutupi sifat kemanusiaanmu: baju keangkuhan.
Beralihlah dari kebahagiaan diri menjadi kebahagiaan bersama. Bergeserlah dari kemenangan seorang muslim menjadi kemenangan umat. Karena kita adalah saudara, diikat kuat dengan tali tauhid, dianyam indah dengan anyaman ukhuwah.
Renungan Hari ke-29 Idul Fitri:
Bayi-Bayi Pun Terlahir Setelah sebulan penuh kita berhasil mengendalikan hawa nafsu dan menuruti panggilan Ilahi, maka Allah menghadiahkan kita kesucian jiwa. Kita kembali kepada muasal kita, seperti baru saja dilahirkan oleh ibunda kita. Suci, bersih dari segala khilaf dan dosa yang selama ini menghijabi diri kita dengan Allah.
dul Fitri. Inilah hari di mana semua muslim sedang merayakan kemenangan. Entahlah, mungkin semua orang sedang merasa telah memenangkan pertarungannya selama sebulan penuh melawan musuh yang berdiam dalam diri mereka sendiri. Nafsu. Mungkin banyak yang optimis bahwa Tuhan telah mempersiapkan piala juara bagi mereka atas kemenangannya dalam mengendalikan nafsu dirinya selama sebulan penuh.
Manusia memang makhluk unik. Kita dicipta bukan hanya dikaruniai akal, tetapi juga disertakan nafsu. Selain dibekali oleh sifat-sifat ketuhanan (lahut), kita juga dibekali unsur kemanusiaan (nasut). Lahut menarik kita pada kutub sifat-sifat Tuhan yang luhur; pengasih (rahman), penyayang (rahim), pemaaf (ghafur), dan sifat-sifat luhur yang lain. Rasulullah pernah bersabda, Berakhlaklah kamu sekalian dengan sifat-sifat Tuhan. Nasut menarik kita untuk memperturutkan hawa nafsu dan dorongan-dorongan instingtif lainnya. Barang siapa yang memenangkan unsur lahut-nya, maka merekalah pemenang sejati. Merekalah orang-orang yang kembali ke fitrahnya. Bahkan, saat tarikan lahut memenangkan tarikan nasut, maka harkatnya diangkat oleh Allah bahkan lebih mulia daripada malaikat.
Namun sebaliknya, jika dalam pergulatan dalam diri manusia ternyata tarikan nasut lebih diperturuti ketimbang tarikan lahut, maka ia akan terjerumus ke dalam derajat yang nista. Inilah Ramadhan. Bulan di mana kita dilatih oleh Allah untuk mengendalikan diri. Agar kita terbiasa memenangkan lahut atas nasut. Memenangkan akal daripada dorongan nafsu. Mendengar bisikan malaikat ketimbang rayuan setan. Orang yang memenangkan sifat-sifat ketuhanan akan memiliki kepribadian yang luhur. Ibnu Sina pernah menggambarkan seseorang yang telah meneladani sifat-sifat Tuhan dengan bahasa yang indah, Ia akan selalu gembira dan banyak tersenyum. Betapa tidak, karena hatinya telah dipenuhi kegembiraan sejak ia mengenal-Nya. Di mana-mana ia hanya melihat satu saja: melihat kebenaran, melihat Yang Maha Suci itu. Semua yang dianggapnya sama, karena memang semua sama: semua makhluk Tuhan yang wajar mendapatkan rahmat, baik mereka yang taat maupun mereka yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah atau tersinggung walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya diliputi rahmat kasih sayang, dan karena ia memandang rahasia Allah terbentang di dalam kodrat-Nya. Apabila ia mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mengajak dengan lemah lembut, tidak akan dengan kekerasan, dan tidak pula dengan kecaman dan kritik. Ia akan selalu menjadi dermawan. Betapa tidak, sedangkan cintanya kepada benda tidak berbekas lagi. Ia akan selalu pemaaf. Betapa tidak, karena dadanya sedemikian lapang, sehingga mampu menampung segala kesalahan orang. Ia tidak akan mendendam. Betapa tidak, karena seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Satu itu (Allah Swt.)
Agar Benar-Benar seperti Bayi
Idul Fitri secara etimologi atau bahasa berarti kembali berbuka . Id berasal dari kata "da yang berarti kembali , sedangkan al-fitr berasal dari akar kata fathara yang berarti berbuka . Namun bagaimana pun, terlalu kerdil jika kita menganggap Islam terlahir dengan paradigma materialistik. Itu sebabnya saya yakin ditetapkannya Idul Fitri tentu bukan hanya untuk memenuhi hajat dan tuntutan perut. Terlalu sempit saya kira kalau mengartikan Idul Fitri semata-mata sebagai momentum diperbolehkannya kembali makan dan minum.
Tentunya ada makna yang lebih dalam dari Idul Fitri sehingga ada yang memaknainya sebagai kembali kepada kesucian . Kembali kepada fitrah. Setelah sebulan penuh umat Islam telah dikuatkan oleh Allah dengan tempaan-tempaan yang tinggi: puasa, tarawih, tadarus, zakat fitrah, dan beragam perintah ibadah lain, Allah menjanjikan hadiah yang sungguh indah, ghufira lahu m" taqaddama min danbihi, diampuni segala dosa yang telah lalu. Kita seperti bayi yang baru lahir, suci, bersih dari segala dosa. Sebagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti, Siapa yang menegakkan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Idul fitri. Setelah sebulan penuh kita berhasil mengendalikan hawa nafsu dan menuruti panggilan Ilahi, maka Allah menghadiahkan kita kesucian jiwa. Kita kembali kepada muasal kita, seperti baru saja dilahirkan oleh ibunda kita. Suci, bersih dari segala khilaf dan dosa yang selama ini menghijabi diri kita dengan Allah.
Tapi banyak dari kita yang lupa, dosa apa yang dihapus oleh Allah" Dosa yang diampuni adalah dosa yang berhubungan langsung dengan Allah. Sedangkan dosa-dosa yang terkait dengan sesama manusia, pengampunan Allah hanya akan turun jika manusia yang kita sakiti, kita zalimi, kita bohongi, kita tipu, kita gunjing, telah memaafkan kita.
Ibnu Mas ud pernah bercerita, bahwa nanti pada hari kiamat, seseorang akan dipegang tangannya, lalu diserukan kepada khalayak ramai, Ini adalah Fulan bin Fulan. Barang siapa mempunyai hak atasnya, hendaklah ia mengambilnya. Allah mengampuni dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-Nya sekehendak-Nya. Tetapi Dia tidak akan mengampuni dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Kemudian orang itu ditegakkan di hadapan orang banyak, dan Allah memerintahkan orang-orang yang mempunyai hak atas orang itu, Ambillah hak-hak kalian! Lalu Allah berfirman kepada malaikat, Ambillah dari amal-amal baiknya, kemudian berikanlah kepada orang-orang yang berhak sesuai dengan tuntutannya! Jika orang itu termasuk orang yang dikasihi Allah, dan tersisa kebaikannya seberat biji jagung, maka Allah melipatgandakannya hingga akhirnya ia masuk ke dalam surga. Namun jika ia termasuk hamba yang celaka dan tidak ada sisa amal sedikit pun, maka malaikat akan berkata, Oh Rabb kami, kebaikan orang ini sudah habis, sedangkan tuntutan terhadapnya masih banyak! Allah menjawab, Ambillah dari kejahatan mereka (yang menuntut) itu lalu tambahkan kepada kejahatannya! Lalu orang itu pun dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Ibnu Jarir)
Ah, betapa malangnya, atau dalam bahasa Rasulullah mereka termasuk muflis (orang yang bangkrut) adalah orang yang pada hari kiamat membawa seabrek pahala shalat, puasa, zakat, haji, tetapi ia selama hidup di dunia mencaci ini, menzalimi itu, menyakiti ini, menipu itu. Maka diberikanlah pahalapahalanya kepada si ini dan si itu. Jika pahalanya telah habis padahal tanggungannya belum tertebus, maka diambillah dosa-dosa si ini dan si itu (yang pernah dizaliminya), kemudian dosa itu ditimpakan kepadanya. Lalu ia pun dicampakkan ke dalam neraka. Na"dzubill"h.
Maka inilah Idul Fitri, hari yang menjadi momen tepat untuk saling memaafkan. Memang, Rasulullah saw., mengajarkan kita untuk saling memaafkan sesegera mungkin setelah kita berbuat kesalahan. Namun, tidak jarang mental kita belum siap untuk melakukannya. Kita akui, bahwa meminta maaf dan memaafkan bukan perkara mudah. Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan, dan dibutuhkan kesabaran yang luar bisa untuk bisa memaafkan kezaliman orang lain. Maka setelah sebulan penuh menjalani pelatihan mengendalikan nafsu, menguatkan iman, memantapkan karakter positif, di hari Idul Fitri umat Islam diharapkan memiliki mental yang cukup kuat untuk saling maaf-memaafkan.
Renungan Hari ke-30 Kuagungkan Nama-Mu Setelah kita dikader langsung oleh Allah selama sebulan penuh, di hari Idul Fitri diharapkan jiwa kita telah tercerahkan, sehingga bisa menilai siapa yang kerdil yang siapa yang agung. Kita diberi pengingat, siapa yang akbar dan siapa yang shaghir, siapa pencipta dan siapa makhluk, siapa yang palsu dan siapa yang sejati, siapa yang baqa dan siapa yang fana.
llahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Tidak habishabisnya kita agungkan nama-Nya.
Apakah Allah itu kecil sehingga kita perlu kita besarkan" Apakah Allah itu kerdil sehingga perlu kita agungkan" Apakah Allah itu shaghir sehingga butuh kita akbar-kan" Tidak. Allah tidak butuh pengagungan dari kita. Allah tidak butuh kita besarkan dan akbarkan. Karena puja puji kita itu tidak berpengaruh sama sekali bagi-Nya. Allah tidak akan lebih besar karena kita agungkan nama-Nya. Allah juga tidak akan semakin kecil meskipun seluruh dunia mengerdilkan nama-Nya. Allah tidak akan pernah menjadi akibat, dan seluruh makhluk-Nya tidak akan mungkin bisa menjadi sebab bagi-Nya. Ya, Karena Dialah Musabbibal Asbab, Maha Sebab dari Segala Sebab.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Tidak habis-habisnya kita agungkan nama-Nya. Bukan karena Allah yang butuh, justru kitalah yang perlu. Karena takbir adalah salah satu cara manusia untuk mengakui keagungan Tuhannya. Takbir adalah bahasa kerdil para makhluk untuk menghayati betapa besarnya Dia.
Mengapa kita dianjurkan berulang kali mengucap takbir di Idul Fitri"
Ramadhan adalah bulan yang dipilih oleh Allah untuk menjernihkan diri kita dari kotoran-kotoran jiwa, termasuk kotoran keangkuhan, rasa ingin dihormati, gila pujian, rasa gumedhe, dan segala sifat-sifat kesetanan yang lain. Puasa seolah mengajak kita untuk senantiasa merenung, Hai tubuhku, engkau hanyalah makhluk Allah yang lemah. Tidak diberi makan dari Subuh hingga Magrib saja sudah kehabisan energi. Tidak diperkenankan minum dari Subuh hingga Magrib saja sudah tidak kuat. Lalu apa yang bisa engkau sombongkan di hadapan Allah"
Nah, setelah kita dikader langsung oleh Allah selama sebulan penuh, di hari Idul Fitri diharapkan jiwa kita telah tercerahkan sehingga bisa menilai siapa yang kerdil yang siapa yang agung. Kita diberi pengingat, siapa yang akbar dan siapa yang shaghir, siapa pencipta dan siapa makhluk, siapa yang palsu dan siapa yang sejati, siapa yang baqa dan siapa yang fana. ***
Jika kita mendayagunakan pikir, saya yakin, tanpa diperintah pun lisan kita akan dengan mudah mengucap takbir. Secara spontan. Bagaimana manusia tidak spontan mengucap Allahu Akbar, bahkan menghitung jumlah bintang di langit ia masih tidak mampu. Alam semesta yang luasnya belum diketahui batasnya ini bisa berjalan dengan sangat teratur. Perhitunganperhitungan serbadahsyat berlaku di alam ini. Bahkan jika jarak antar planet, antara matahari dengan bumi, antara planet dengan satelit, berubah sepersekian mili saja, keseimbangan alam akan berubah, dan sistem tata surya akan hancur. Para ilmuwan tidak usah menunggu kedahsyatan-kedahsyatan alam yang baru untuk bisa melirihkan takbir. Para seniman tidak perlu menghayati syair puisi tingkat tinggi, para pejabat tidak usah menunggu rakyat memujinya, para ulama tidak perlu menunggu melihat ketakjuban dalam setiap fenomena, untuk mencari saat yang tepat mengucap takbir. Mereka cukup memikirkan bagaimana sistem kerja tubuh kita yang begitu canggih. Sehingga lisan tidak sadar mengucap kalimat thayyibah itu dengan spontan, Allahu Akbar. Pasti ada Zat yang mengatur tubuhku. Pasti ada Tangan rahasia yang tanpa henti bekerja.
Ketika jiwa menyadari betapa agungnya Allah, maka jiwa akan tercerahkan. Tidak ada lagi takabur yang menghijabi jiwa dari hidayah. Tidak ada lagi perasaan sombong di depan manusia. Diri terasa kecil di hadapan-Nya, sehingga sifat tawadhu pun akan tumbuh dalam hati. Ia akan belajar menghormati orang lain. Ia tidak mudah merendahkan sesama. Ia tidak akan membedakan si kaya dan si miskin, si pintar dan si bodoh, yang berpangkat maupun rakyat, semua sama di depannya. Karena yang teragung di hadapannya hanya Allah Tuhannya. Lalu bagaimana dengan orang yang banyak mengucap takbir tapi sifatnya masih jauh dari tawadhu , perangainya masih sombong, suka meremehkan orang lain, arogan, dan merasa dirinya lebih hebat dari orang lain" Mungkin takbirnya masih sekadar ucapan lidah yang hanya menggetarkan pita suaranya. Takbirnya belum terucap dari getaran hati yang benarbenar mengakui ke-Maha Besaran Tuhannya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Maka kalimat pengagungan dan pengakuan jujur itu jangan hanya terucap di lisan. Semoga kalimat itu bisa meresap ke hati kita, kita renungi, kita hayati, kemudian kita terjemahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan sifat-sifat yang mulia. ***
Berapa kali lisan kita mengucap takbir dalam sehari" Jika shalat lima waktu terlaksana, jika wirid usai shalat dirutini, maka insya Allah lebih dari seratus kali tiap hari kita ucapkan kalimat takbir. Tetapi sudahkah getaran takbir menggetarkan dinding hati sang pengucap"
Jika mushalli (orang yang melaksanakan shalat) sukses mencerna makna Allahu Akbar, insya Allah tidak ada lagi beban masalah yang tidak musnah oleh ucapan kalimat itu. Kalimat takbir itu lebih sakti dari kalimat-kalimat motivasi yang terucap dari lisan motivator paling ulung. Takbir menjadi pemantik api semangat yang akan membakar semangat para muslim. Menyadari kebesaran Allah di tiap detik usia kita akan menguatkan jiwa, sehingga jiwa tidak akan mudah mengeluh terhadap masalah-masalah remeh dalam hidup. Ketika ada masalah datang, yang terucap bukan lagi kalimat keluhan, Ya Allah, aku punya masalah besar. Yang terucap dari lisan justru kalimat semangat, Ya masalah, aku punya Allah Yang Mahabesar. Jiwa pun tenang, tidak mudah dihinggapi khawatir dan takut karena jiwanya selalu bertutur, Buat apa takut, untuk apa resah, di sisi kita ada Tuhan Yang Mahabesar. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Mari kembali merenungi kebesaran-Nya di hari kemenangan ini.
Penutup ika kualitas hidup kita hari ini sama dengan hari kemarin, kata Rasulullah, berarti kita termasuk orang yang merugi. Jika hari ini lebih baik dari kemarin, kita termasuk orang beruntung. Kalau hari ini lebih buruk dari kemarin, kita termasuk orang celaka. Begitu pula dengan Ramadhan. Ramadhan demi Ramadhan telah bertahun-tahun kita jalani. Apakah Ramadhan tahun ini kualitas keimanan kita bertambah seiring pertambahan usia kita yang kian mendekati ajal" Ah, mari kembali bermuhassabah. Jangan-jangan kita termasuk ke dalam golongan manusia celaka yang umurnya kian bertambah namun kadar iman dan takwanya justru menurun. Jangan-jangan detik demi detik usia kita justru menjadi mesin penumpuk dosa.
Mari memasuki Ramadhan tahun ini dengan tangisan tobat. Sadari selalu bahwa kita tak pernah tahu kapan usia kita usai. Maka setiap saat, kembali hadirkan atsar dari Abdullah bin Amru bin Ash ra., ini dalam setiap aktivitas, Wa mal li "khiratika kaannaka tam"tu ghadan.. Dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok . Semoga Ramadhan ini menjadi Ramadhan yang lebih baik daripada Ramadhan-Ramadhan kita yang telah usai.
Ramadhan adalah bulan tempat banyak keajaiban ditampilkan. Di bulan ini ada perintah puasa yang membuat kita takjub. Jika dulu kita hanya taqlid saja pada hadis Rasulullah yang berbunyi, Berpuasalah kamu agar kamu sehat , maka saat ini perkembangan sains telah menguak keajaiban puasa. Selain itu Al-Qur an juga pertama kali diturunkan pada bulan ini. Dan dunia telah mengakui bahwa Al-Qur an adalah mukjizat terdahsyat di alam semesta. Di bulan ini semua pahala dilipatgandakan, rahmat dan magfirah Tuhan ditaburkan, bahkan disertakan pula satu malam istimewa yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Mari Ramadhan ini kita jadikan momentum fastabiqul khair"t (berlomba-lomba dalam kebaikan), berlomba-lomba menggapai derajat tinggi di hadapan Allah.
Meraih Derajat Takwa Islam sejak lama mengajarkan satu ajaran luhur, bahwa kemuliaan manusia bukan dilihat dari hartanya. Tinggi rendahnya derajat manusia bukan dilihat dari pangkat, popularitas, prestasi akademik, deret gelar, atau eloknya wajah. Derajat kita di sisi Allah ditentukan oleh kadar ketakwaan kita pada- Nya.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujurat [49]: 13)
Terlalu sering kita mendengar dan mengucap kata takwa namun tidak jarang kata itu hanya sebagai penghias kalimat semata. Dalam ceramah agama, setiap khotbah Jumat, bahkan dalam pidato kenegaraan, dengan mudah kita mendengar kalimat, Mari meningkatkan iman dan takwa kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi saat ditanya, bagaimana sih indikator beriman dan bertakwa kepada Tuhan" Kita pun hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Dalam kalimat ringkas, takwa didefinisikan dengan mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hasan Al-Basri menggambarkan dengan kalimat indah tentang sifat orang yang telah menggapai derajat takwa: Anda akan menjumpai orang yang mencapai tingkat takwa: teguh dalam keyakinan, teguh tapi bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana, tampak wibawanya di depan umum, jelas syukurnya di kala beruntung, menonjol qana ah-nya dalam pembagian rezeki, senantiasa rapi walaupun miskin, selalu cermat, tidak boros walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina, tidak mengejek, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak berjalan membawa fitnah, disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasinya, serta terpelihara identitasnya, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. Kalau ditegur ia menyesal, kalau bersalah ia istighfar, bila dimaki ia tersenyum sambil berkata: Jika makian Anda benar, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku. Dan jika makian Anda salah, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu .
Nah, salah satu metode untuk menjadi orang yang bertakwa adalah dengan berpuasa. Sebagaimana kita tahu bahwa output dari perintah puasa adalah orang-orang yang bertakwa. Telah kita hafal di luar kepala ayat yang mendasarinya, Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Selamat Datang Manusia-Manusia Baru Lalu mengapa banyak orang yang sudah melintasi samudra Ramadhan, tapi setelah Ramadhan sifatnya tidak berubah, masih suka gibah, bakhil, menyakiti hati sesama, mengadu domba, dan beragam sifat tercela yang lain" Ya, karena ia tidak mampu memanfaatkan Ramadhan sebagai media pengendalian diri. Padahal inti dari puasa adalah melatih manusia untuk mengendalikan dirinya. Bukan hanya mengendalikan diri dari makan dan minum, tapi belajar mengendalikan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai Allah. Jika Allah tidak suka kita menunda-nunda shalat, maka segerakanlah shalat saat azan berkumandang. Jika Allah tidak suka kita kufur terhadap nikmat-Nya, maka bersyukurlah setiap saat. Jika Allah tidak suka kita makan harta haram, maka beralihlah untuk mencari harta yang halal saja. Jika Allah tidak suka kita egois dalam hidup, maka mulai sekarang berpikirlah untuk senantiasa berkontribusi sebanyak mungkin bagi manusia lain. begitulah seterusnya.
Ramadhan adalah medan yang disediakan oleh Allah agar kita banyak menyelami hikmah-hikmah kehidupan. Ramadhan melatih kita menjadi manusia yang wara . Jangankan memakan harta haram atau subhat, bahkan makan tahu tempe saja bisa kita jauhi ketika puasa. Ramadhan mengajarkan kita memaknai keikhlasan, menjadi Lu lu ul Maknun. Sehingga tidak lagi penting puja-puji manusia terhadap apa yang kita perbuat, karena yang kita cari hanyalah derajat tinggi di hadapan Allah. Ramadhan mengajarkan kita untuk mengoptimalkan usia. Kurangi kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat, sebagaimana Rasulullah bersabda, Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Ketika ber-facebook ria hanya untuk mengobral status-status tanpa makna, ketika HP hanya menjadi media hiduran tanpa guna, ketika game-game hanya mengurangi jatah usia tanpa memberi faedah, mari kita ganti semua aktivitas itu dengan yang lebih bermanfaat.
Jika kita memanfaatkan Ramadhan dengan aktivitas yang mendekatkan kita kepada Allah dan menghindari aktivitas yang sia-sia, insya Allah Idul Fitri kita benar-benar menjadi juara. Lebaran kita benar-benar menjadi hari kemenangan, karena kita telah mengalahkan nafsu yang bersarang dalam diri. Kita mampu mengalahkan kebakhilan dan menggantinya dengan kerelaan berbagi, mengalahkan sifat egois dan menggantinya dengan kesiapan berkontribusi, mengalahkan hidup yang didasari pada keinginan dan menggantinya dengan hidup yang didasari oleh kebutuhan, memendam individualis dan menggantinya dengan indahnya hidup berjemaah. Maka jiwa kita bersih dari segala cela. Hati kita suci dari segala dosa. Kita pun seolah menjadi bayi yang disucikan oleh Allah dengan guyuran magfirah. Hingga di awal Syawal kita disambut dengan kalimat indah, Selamat datang alumni-alumni Ramadhan. Selamat datang manusia-manusia baru. Wallahu a lam bish shawab
Profil Penulis Ahmad Rifa i Rif an, 25 tahun. Menghabiskan masa remajanya di Pesantren Miftahul Qulub, Lamongan.
Lulus SMA ia mengambil S1- nya di Mechanical Engineering ITS Surabaya. Aktivitasnya kini sebagai engineer, entrepreneur, dan writer.
Karya-karyanya yang bestseller dan mendapat sambutan antusias dari pembaca antara lain:
" Man Shabara Zhafira (Success in Life with Persistence)
" Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk
" Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati
" The Perfect Muslimah
" Ya Allah Siapa Jodohku"
" Don t Cry, Allah Love You
" God, I Miss You: 100 Cara Mengobati Luka Jiwa Bersama Tuhan
" From Kuper to Super " Dan lain-lain
Ia dapat dihubungi di: E-mail : ahmadrifairifan@gmail.com. Twitter : @ahmadrifairifan,
Facebook : Islamic_fay@yahoo.co.id HP : 085648112309
Karya-Karya Bestseller Ahmad Rifa i Rif an
Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk
Tuhan, harap maklumi kami, manusiamanusia yang begitu banyak kegiatan. Kami benar-benar sibuk, sehingga kami amat kesulitan menyempatkan waktu untuk-Mu.
Tuhan, kami sangat sibuk. Jangankan berjemaah, bahkan munfarid pun kami tunda-tunda.
Jangankan rawatib, zikir, dan tahajud, bahkan kewajiban-Mu yang lima waktu saja sudah sangat memberatkan kami.
Jangankan puasa Senin-Kamis, jangankan ayy"mul baith, jangankan puasa Daud, bahkan puasa Ramadhan saja kami sering mengeluh.
Tuhan, maafkan kami, kebutuhan dunia ini masih sangatlah banyak, sehingga kami sangat kesulitan menyisihkan sebagian harta untuk bekal kami di alam abadi-Mu. Jangankah sedekah, jangankan jariah, bahkan mengeluarkan zakat yang wajib saja sering kali terlupa.
Tuhan, urusan-urusan dunia kami masih amatlah banyak. Jadwal kami masih amatlah padat. Kami amat kesulitan menyempatkan waktu untuk mencari bekal menghadap-Mu. Kami masih belum bisa meluangkan waktu untuk khusyuk dalam rukuk, menyungkur sujud, menangis, mengiba, berdoa, dan mendekatkan jiwa sedekat mungkin dengan-Mu.
Tuhan, tolong, jangan dulu Engkau menyuruh Izrail untuk mengambil nyawa kami.
Karena kami masih terlalu sibuk.
Man Shabara Zhafira (Get Success in Life with Persistence)
Man Shabara Zafira. Siapa yang bersabar, akan beruntung. Inilah rumus hidup dari hampir semua orang sukses di dunia. Silakan amati bagaimana pengusaha, karyawan, pelajar, petani, pelukis, guru, atau petani yang sukses, hampir semuanya meraih kesuksesan karena kesabarannya dalam bekerja. Kesabaran adalah modal dasar dari para pemenang.
Buku ini menyajikan sikap hidup yang dijalani oleh orang-orang besar dalam sejarah. Terbagi menjadi lima bagian. Pertama, DRE- AM, pembaca diajak menelusur, bahwa kebesaran manusia selalu bermula dari impian yang besar. Bagian kedua ACTION. Mimpi hanya sebatas mimpi jika tidak ditindaklanjuti dengan tindakan. Bagian ketiga, BEAUTIFUL LIFE. Kesuksesan lebih mudah diraih oleh manusia yang melakoni hidupnya dengan penuh kebahagiaan. Bagian keempat, LOVE. Para manusia besar, adalah mereka yang mengabdikan hidupnya demi cinta kepada sesama. Bagian kelima, PRAY. Orang besar senantiasa menyertakan Tuhan dalam setiap aktivitasnya. Terakhir adalah WISDOM, yang menyajikan cara orang besar menyikapi kegagalan dalam hidupnya.
God, I Miss You (100 Cara Mengobati Luka Jiwa Bersama Tuhan)
Tak ada satu pun manusia yang tak pernah dihinggapi masalah. Masalah hidup itu laksana angin. Ia berhembus kapan pun ia mau. Kadang ia bersemilir lembut, tapi tak jarang ia bertiup dengan kencang. Dan orang kuat bukan orang yang jiwanya selalu kokoh bak pohon besar yang selalu tegar. Karena terkadang kita butuh menjadi manusia lembut laksana rumput. Sekencang apa pun angin bertiup, rumput hanya bergoyang. Tak kan pernah tumbang.
Buku ini memuat 100 inspirasi yang bisa dijadikan sebagai panduan untuk mengatasi sedihnya jiwa. Buku ini dikemas dengan bahasa yang sederhana, padat hikmah, sarat makna, bertabur kisah, dan berlandaskan Al-Qur an dan Sunah. Sajian cerita inspiratif dan kisah-kisah reflektif menjadikan buku ini tak membosankan, bahkan sangat mengasyikkan.
Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati (Transform Our Life, Help others, Stay Positive)
Ada sekelompok manusia yang memadatkan usianya dengan beragam karya. Namun ada pula yang sudah merasa cukup hidup dengan aktivitas yang apa adanya. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana"
Ada yang mengisi hari dengan beragam kontribusi. Namun ada pula sekelompok manusia yang hidupnya hanya memperjuangkan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita yang mana" Ada yang memilih mengabdikan hidup jadi pahlawan, namun ada pula yang hanya puas hanya jadi penepuk tangan. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana"
Hidup hanya sekali. Maka pilihlah hidup yang penuh arti. Yang penuh prestasi dan kontribusi. Yang jasadnya mati tapi namanya tetap abadi. Yang hidupnya mulia, matinya dikenang sejarah. Yang di dunia bahagia, di akhirat meraih surga. Yang di dunia dicintai manusia, di akhirat hidup bersama rida Tuhannya. Hidup sekali, berarti, lalu mati.
The Perfect Muslimah The Perfect Muslimah: Indah akhlaknya, teduh parasnya, brilian otaknya, mantab ilmu agamanya, luas pergaulannya, dahsyat prestasinya, hebat kontribusinya. Auratnya terjaga, pergaulannya terjaga, perilakunya terjaga. Matanya berkilau oleh air mata takwa, bibirnya basah dengan untaian petuah, rambutnya tertutup oleh juluran jilbabnya. Bicaranya dakwah, dengarannya tilawah, geraknya jih"d f" sab"lill"h. Hatinya penuh zikir, otaknya penuh pikir, dipercantik oleh terjaganya lahir. The Perfect Muslimah. Kaulah gemintang yang menghias langit yang pekat. Kaulah rembulan yang cahayanya teduh tak memanaskan. Kaulah bidadari bumi yang kelak jadi bidadari yang tercantik di surga.
" Kisah tentang seorang mahasiswi yang ingin hidup mandiri sehingga menolak uang beasiswa untuk kuliahnya.
Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku Karya Ahmad Rifa I Rif An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Rahasia seorang muslimah yang tiap semester selalu meraih indeks prestasi tertinggi di kampusnya, berhasil kuliah di luar negeri, dan kini menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi favorit.
" Kisah seorang mahasiswi yang otaknya makin brilian saat ia memutuskan untuk menjadi hafidzah (penghafal Al-Qur an).
" Perjalanan hidup gadis yang ingin sekali menikah tetapi Tuhan tak jua mengabulkan pintanya. Ia baru menemukan jodoh terbaiknya saat melaksanakan petuah seorang bijak.
" Muslimah yang dulunya bingung antara pilihan karier yang cerah dengan menjadi ibu rumah tangga yang hebat.
" Kisah seorang gadis remaja yang meraih nilai UAN tertinggi tingkat nasional usai merutinkan tahajud, sedekah, dan doa orangtua.
Temukan kisah-kisah inspiratif lainnya dalam buku ini.
Don t Cry, Allah Love You
Hidup bukan untuk disesali, bukan untuk ditangisi, bukan untuk disedihkan. Hidup adalah perjuangan untuk terus bangkit dari kegagalan dan kejatuhan. Dan orang yang berada di puncak, adalah mereka yang sanggup mengelola jiwanya hingga kesedihan, kecemasan, kegalauan, berlutut menyerah tak berdaya.
Sulitnya hidup terkadang merupakan jalan dari Tuhan untuk mengasah potensi yang ada dalam diri manusia. Bukankah untuk menjadi pedang yang tajam sepotong besi harus rela dibakar dan dipukul berkali-kali" Bukankah untuk menghasilkan mutiara seekor kerang harus rela menahan sakit yang berkepanjangan oleh karena pasir yang mengendap di tubuhnya.
Bukankah untuk menjadi rajawali seekor elang harus rela menjalani proses transformasi yang sangat menyakitkan selama berbulan-bulan" Bukankah untuk menjadi kupu-kupu yang indah seekor ulat harus rela menjalani proses menjadi kepompong yang menyiksa.
Dan satu yang harus kita ingat, bahwa kesulitan yang justru membuatmu dekat dengan Tuhan, hakikatnya adalah anugerah. Dan kemudahan yang malah membuatmu jauh dari Tuhan, hakikatnya adalah petaka
Ya Allah, Siapa Jodohku Ketika kau telah jatuh cinta pada seseorang, tak ada cara yang lebih agung selain bermunajat pada-Nya lalu memanjatkan doa, Tuhan, jika dia orang yang baik bagi kebaikan agamaku, duniaku, dan akhiratku, tolong segera pertemukan kami dalam bingkai yang halal. Tapi jika dia orang yang malah meruntuhkan agamaku, melemahkan duniaku, dan menyengsarakan akhiratku, tolong jauhkan hamba darinya dengan cara-Mu.
Kawan, jangan hanya mementingkan egomu. Anakmu kelak lebih berhak mendapat pendidikan dari seorang ibu yang terbaik, bukan yang tercantik. Anakmu lebih berhak mendapat pengajaran dari ayah yang indah akhlaknya, bukan yang sekadar berlimpah hartanya. Kekasih terbaikmu adalah orang yang membuatmu makin bersemangat mendekat pada-Nya dan membuatmu makin takut bermaksiat pada-Nya.
50 Wasiat dalam buku ini semoga bisa memandumu menjelaskan konsep cinta yang hakiki, mengarahkanmu menemukan kekasih yang sejati, dan mengiringi perjalanan pernikahanmu agar meraih kebahagiaan yang abadi.
Ahmad Rifa i Rif an a d i f a i R i f a n Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku
Quanta adalah imprint dari
Penerbit PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia Building
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Telp. (021) 53650110-53650111, Ext 3201, 3202
ISBN 978-602-02-1468-9 998131172 Ahmad Rifa i Rif an
a d i f a i R i f a n Bukunya luar biasa, seusia Rifa i bisa menjelaskan dengan baik dan gamblang tentang akhlak, yang umumnya dituturkan para guru-guru mursyid di majelismajelis tarekat.
Dr. M. Afif Hasbullah Ketua Lembaga Perguruan Tinggi NU Jatim, Rektor Universitas Islam Darul Ulum
Sebanyak 30 renungan itu tak hanya bisa diterapkan selama Ramadhan, tapi juga sepanjang masa. Materi yang disampaikan tidak muluk-muluk. Temanya sederhana: keseharian dan fenomena yang dekat di sekitar kita. Patut dibaca siapa pun. Koran Tempo
Ahmad Rifa i Rif an mengajak kita menoleh sejenak ke salah satu sisi di sekeliling kita. Melalui lensa hatinya, dia memotret berbagai fenomena yang terjadi di bulan Ramadhan, lalu menjadikannya renungan sederhana, namun mampu membuat hati kita bergetar. Temukan keseluruhan kisahnya pada buku yang berjudul Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku: 30 Renungan dan Inspirasi Menggugah di Bulan Mulia.
Kabar Jabar Temukan 30 renungan inspiratif yang dapat juga dimanfaatkan sebagai kultum pembangun jiwa.
Republika Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku
Izrail Bilang, Ini Ramadhan Terakhirku
I z r a i l B i l a n g , I n R a m a d h a n e r a k i r k 30 Renungan dan Inspirasi Menggugah di Bulan Mulia f r e s h E d it io n
Titisan Dewi Kwan Im 1 Lalita Karya Ayu Utami Panasnya Bunga Mekar 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama