Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 12
meskipun tidak begitu jelas. Hamba melihat beberapa orang
baru di dalam lingkungan mereka. Hamba melihat
perubahan yang samar-samar pada kebiasaan Pangeran itu.
Ia tidak lagi sering nampak berjalan-jalan sambil menuntun
seekor macan kumbang yang masih sangat muda"
"Apakah para hambanya yang sudah lama berada di
istana itu tidak melihat perubahan itu, sedangkan kau yang
tidak menghambakan diri kepada Pangeran itupun sempat
melihatnya" "Justru kepada hamba-hambanya mungkin Pangeran itu
dapat memberikan beberapa keterangan sehingga tidak
menumbuhkan persoalan bagi mereka" jawab Ki Daredu.
"Menarik sekali" gumam Witantra, "karena kau
memang harus menjadi sangat berhati-hati"
"Ya" desis Mahisa Agni, "ada seribu kemungkinan yang
telah terjadi" Dalam pada itu Ki Daredu berkata, "Tuanku, jika hamba
dapat membantu apapun yang harus hamba lakukan,
hamba akan bersedia, karena justru hamba telah mengenal
tuanku" Mahisa Agni tersenyum Katanya, "Pada saatnya
mungkin aku sangat memerlukanmu"
Ternyata Ki Daredu justru telah menyatakan
kesediaannya untuk berbuat apa saja. Ia yakin bahwa
maksud Mahisa Agni dan Witantra yang pernah berada di
Kediri itu tentu bukan maksud yang buruk.
Demikianlah, maka dihari berikutnya, Mahisa Agni telah
datang ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan wajah
yang kecut ia memandang pekatik muda yang telah lebih
dahulu duduk di sebelah kandang.
"Jangan banyak tingkah" desis pekatik muda itu. Mahisa
Agni memandanginya sejenak. Namun iapun kemudian
mengangguk sambil berdesis perlahan, "Aku akan menyabit
rumput" Pekatik muda itu tidak menjawab.
Ternyata bagi Mahisa Agni telah disediakan segala
keperluannya. Tanpa banyak berbicara, Mahisa Agni pun
kemudian menjinjing keranjang dan sabitnya menuju ke
padang rumput bersama pekatik muda yang telah lebih
dahulu bekerja di istana itu.
Di sepanjang jalan, ternyata pekatik muda itu masih saja
menakut-nakuti. Dengan garang ia menggeram, "Kakek
tua, kau harus menyadari kedudukanmu. Kau membuat
aku kecewa karena kau telah bekerja di sini, sehingga
dengan demikian kesempatan kesempatan bagi kawanku itu
telah hilang" "Jika demikian, aku akan mengajukannya kepada Ki
Jurasanta, bahwa kesempatan itu seharusnya diberikan
kepada kawanmu" jawab Mahisa Agni.
"Aku sobek mulutmu" geram anak muda itu, "semuanya
sudah terlanjur. Kau kira Ki Jurasanta akan mendengar
alasan itu" Ia justru akan marah kepadaku. Orang tua
itupun pada suatu saat harus dibungkam. He!, jangan
berbuat sesuatu yang dapat mengurangi umurmu. Kau kira
sabitku ini tidak dapat aku pergunakan untuk menggorok
lehermu?" "Ah" Mahisa Agni berdesis. Tetapi diluar sadarnya
iapun mengamat-amati sabitnya sendiri.
"Kau akan melawan he" Kau menganggap bahwa karena
kau juga membawa sabit, maka kau tidak gentar
menghadapi aku?" bentak anak muda itu.
"Tidak. Bukan begitu" Mahisa Agni menjauh, "aku tidak
berpikir begitu" "Kenapa kau mengamat-amati sabitmu pula?" bertanya
anak muda itu. "Aku tidak tahu, kenapa aku berbuat begitu" jawab
Mahisa Agni. Anak muda itu terdiam sejenak. Tetapi wajahnya
nampak gelap, dan sikapnya memang menakutkan. Tetapi
anak muda itu justru telah menarik perhatian Mahisa Agni.
Ia merasa beruntung, bahwa ia mendapat kesempatan
bekerja bersama anak muda yang agaknya darahnya masih
cepat mendidih. Di hari pertama. Mahisa Agni tidak mendapat kesulitan
apa-apa. la bekerja dengan sungguh-sungguh bersama
pekatik muda yang nampaknya juga seorang yang rajin. Ia
mematuhi segala petunjuk Mahisa Agni. Ia
mempergunakan sabitnya seperti yang dikatakan oleh
Mahisa Agni. Pekatik itu benar-benar belajar dengan
sungguh-sungguh. Namun setiap kali anak muda itu mengumpat Bahkan
mengancam sehingga Mahisa Agni menjadi canggung
karenanya. "Jangan menunjukkan sikap yang dapat mencekik
lehermu. Berbuatlah sewajarnya. Kau harus memberi aku
petunjuk-petunjuk untuk menyabit rumput. Jika kau gila,
aku akan menyabit lehermu sampai putus di padang ini."
Mahisa Agni benar-benar tidak berbuat sesuatu. Ia
melakukan apa yang dikatakan oleh anak muda itu.
Dihari pertama Mahisa Agni telah menyabit rumput
sampai tiga rambahan. Meskipun keranjang anak muda itu
tidak sepenuh keranjang Mahisa Agni, namun pekatik
muda itupun melaksanakannya sebanyak yang dilakukan
oleh Mahisa Agni pula, sehingga kuda-kuda di istana
Pangeran Kuda Padmadata itu tidak akan kekurangan
rumput lagi. Dua tiga hari berlalu tanpa perubahan. Mahisa Agni
masih tetap mengajari anak muda itu menyabit. Anak muda
itupun masih saja selalu mengumpat dan menakutnakutinya.
Namun yang tiga hari itu telah memberikan lebih banyak
lagi gambaran tentang istana Pangeran Kuda Padmadata.
"Aku tidak boleh berlama-lama" berkata Mahisa Agni di
dalam hatinya, "Mahendra tentu menjadi gelisah. Mungkin
ia mempunyai dugaan yang mencemaskan"
"Tetapi Mahisa Agni pun sadar, bahwa ia tidak boleh
tergesa-gesa. Di Istana itu terdapat banyak orang yang
mengawasi lingkungannya. Sementara Mahisa Agni masih
harus mencari keterangan tentang hubungan antara
Pangeran itu dengan isterinya yang ditinggalkannya.
Namun akhirnya Mahisa Agni mendapat kesempatan
itu. Ketika ia berbaring di belakang kandang, diluar dugaan
maka Ki Jurasanta pun telah mendekatinya.
"Apakah rumput kuda itu sudah cukup?" ia bertanya.
Mahisa Agnipun segera bangkit sambil menjawab
dengan serta-merta, "sudah Ki Jurasanta"
Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Lalu ia bertanya pula,
"Kau sendiri" Dimana pemelihara kuda dan pekatik muda
itu?" "Ia baru saja pergi. Mungkin ke sungai atau ke warung.
Anak itu masih sering singgah di warung kecil ini. Mungkin
karena ia masih belum mempunyai tanggungan seorang
pun juga, sehingga ia dapat mepergunakan uangnya sesuka
hati" Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Kau harus membantu memelihara kuda itu baik-baik.
Pangeran Kuda Padmadata adalah penggemar kuda yang
teliti, " "Ya, ya. Agaknya Pangeran juga seorang pemburu, desis
Mahisa Agni. "Benar. Seorang pemburu biasanya seorang penggemar
kuda, karena dengan kuda itulah ia mendapat kegembiraan
yang setinggi-tingginya. Jika ia berhasil mengejar
buruannya, maka seorang pemburu akan mendapatkan
kepuasan tersendiri" berkata Ki Jurasanta.
"Aku akan membantu memelihara kuda itu" desis Mahisa
Agni Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah Pangeran
sakarang juga sering berburu?"
"Jarang sekali. Bahkan akhir-akhir ini tidak sama sekali.
Pangeran nampak lesu dan kurang gairah" berkata Ki
Jurasanta, "agaknya ada perubahan yang terjadi atas
dirinya" "Perubahan?" bertanya Mahisa Agni.
"Pangeran sering menyendiri. Ia tidak lagi suka bercanda
dengan para pengiringnya, bahkan abdi-abdi kinasihnya
tidak banyak lagi mendapat kesempatan untuk menghadap"
"Apakah ada yang dipikirkannya, atau ada satu peristiwa
yang telah mengguncangkan perasaannya?"
"Nampaknya tidak pernah terjadi sesuatu" jawab Ki
Jurasanta, "Tiba-tiba saja terjadi demikian"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lebih banyak lagi, agar tidak menarik perhatian,
sehingga seseorang mencurigainya. Namun keterangan
itupun merupakan bahan yang perlu mendapat
pertimbangan dan pengamatan.
Segala yang diketahuinya, telah disampaikan oleh
Mahisa Agni kepada Witantra dan Mahisa Bungalan.
Namun dengan gelisah Mahisa Bungalan bertanya, "Jadi
apakah yang dapat aku lakukan sekarang paman"
"Menunggu" jawab Mahisa Agni.
Witantra tersenyum melihat wajah Mahisa Bunqalan.
Katanya, "Menunggu memang pekerjaan yang paling
menjemukan. Tetapi biasakanlah telaten menunggu.
Akupun seperti yang kau lakukan"
Mahisa Agni pun tersenyum pula. Katanya, "Aku akan
berbuat sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya"
Dihari berikutnya, untuk pertama kali Mahisa Agni
melihat Pangeran Kuda Padmadata berjalan-jalan di
halaman. Sambil melihat-lihat kebun bunganya, maka
Pangeran itu sekali-kali singgah pula pada sangkar binatang
pemeliharaannya sangkar seekor burung kecil, sampai ke
kandang harimau lorengnya.
Dua orang pengiringnya dengan cermat mengikutinya
dan memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.
"Itukah Pangeran?" bertanya Mahisa Agni kepada juru
pemelihara kuda. "Ya" jawabnya. "Pengawalnya nampaknya setia sekali" desis Mahisa
Agni. "Itu adalah hamba-hamba baru di istana ini. Tetapi
karena mereka pandai membawakan diri dan sesuai dengan
keinginan dan kehendak Pangeran, maka mereka kini
menjadi abdi kinasih"
Mahisa Agni tidak bertanya lagi, karena pekatik muda
itupun mendekatinya. Ketika anak itu duduk di
belakangnya ia berdesis perlahan-lahan, "Kau melihat
apa?" "Itukah Pangeran?" Mahisa Agni bertanya.
"Ya, itu Pangeran, jangan bertanya terlalu banyak agar
mulutmu tidak aku sumbat dengan sabit"
Mahisa Agni terdiam. Ia tidak berani bertanya lagi.
Namun dalam pada itu. matanya yang tajam segera melihat
sesuatu yang agak ganjil. Pangeran Kuda Padmadata
seolah-olah tidak lagi mempunyai kehendak apapun juga.
Kedua pengiringnya itulah yang seakan-akan menentukan,
kemana Pangeran itu harus pergi, dan untuk apa Pangeran
itu melihat-lihat. "Aneh" desis Mahisa Agni yang hanya melihat dari
kejauhan. "Apa yang kau lihat, sampai biji matamu akam
meloncat" geram pekatik muda itu.
"Pangeran itu tampan sekali" desis Mahisa Agni dengan
dungunya, "pakaiannya menyilaukan. Berapa umurnya"
Nampaknya ia masih muda"
Pekatik muda itu memandang Mahisa Agni dengan
tajamnya. Namun kemudian ia melihat bibir Mahisa Agni
tersenyum-senyum nampaknya. betapa dungu pekatik tua
itu. "Kau belum pernah melihat seorang bangsawan dari
dekat?" bertanya Pekatik muda itu.
"Belum. He, berapakah umurnya" Tidak lebih tua dari
anakku" desis Mahisa Agni.
"Tua bangka. Tentu Pangeran itu masih sangat muda"
geramnya. "Tetapi, yang manakah isterinya?" tiba-tiba saja Mahisa
Agni bertanya, seolah-olah demikian saja tanpa sengaja
meloncat dari bibirnya. Pertanyaan itu ternyata tidak menarik perhatian pekatik
muda itu. Bahkan ia menjawab, "Di dalam. Isterinya cantik
sekali. Tetapi iapun jarang keluar seperti Pangeran itu
sendiri" "Tentu seperti bulan. Pangeran Kuda Padmadata seperti
matahari" desis Mahisa Agni sambil tersenyum-senyum.
"Kau mulai menjadi gila" geram anak muda Itu, "jika
kau melihat betapa cantiknya puteri, maka kau akar benarbenar
menjadi gila" "Ah, kegilaan orang tua tidak akan berbahaya. Tetapi,
apakah kau yang masih muda menjadi gila juga?" bertanya
Mahisa Agni. Pekatik muda itu memandang juru pemelihara kuda
yang telah bergeser menjauhinya. Kemudian ia menjawab,
"Aku memang ingin menyobek mulutmu. Pertanyaanmu
tidak layak kau ucapkan"
"Eh, aku minta maaf" desisnya, "aku hanya bergurau"
"Untunglah, gamel itu sudah menjauh. Jika gamel itu
mendengarnya, maka ia tentu akan berpikir buruk
meskipun kau hanya bergurau"
Mahisa Agnipun berpaling kepada pemelihara kuda yang
sudah berada di sisi lain dari kandang itu. Katanya, "Gamel
itu rajin sekali. Apakah ia sudah lama menjadi juru
pemelihara kuda?" "Belum" tetapi tiba-tiba pekatik muda itu menggeram,
"anak setan. Jangan bertanya tentang apa saja. Kau sudah
melihat Pangeran, dan kau menjadi kebingungan, karena
kau tidak mempunyai cukup perbendaharaan kata-kata
untuk memujinya. Itu sudah cukup"
Mahisa Agni tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih tetap
tersenyum-senyum melihat Pangeran yang tampan itu.
Kesan di wajahnya tidak berupah sama sekali ketika
dadanya kemudian berdesir, melihat sikap kedua orang
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengiringnya. Ketika Pangeran itu mencoba untuk
memaksa berjalan terus, masuk ke kebun di belakang istana,
make kedua orang pengiringnya itu telah menghambat
langkahnya. Meskipun sambil terbungkuk-bungkuk namun
Mahisa Agni dapat menangkap isyarat, bahwa kedua
pengiringnya telah memaksa Pangeran Kuda Padmadata
untuk kembali ke halaman depan.
Kesan yang ditangkap dari peristiwa itu, telah membuat
uraian yang panjang di dalam hati Mahisa Agni. Demikian,
ketika Mahisa Agni kemudian kembali ke rumah Ki
Daredu, maka bersama Mahisa Bungalan dan Witantra, ia
telah mencoba mengurai arti dari penglihatannya.
"Mahisa Agni" berkata Witantra, "ternyata menurut
pendapatku, Pangeran Kuda Padmadata bukan lagi seorang
yang bebas menentukan sikap. Agaknya ia telah dikuasai
oleh seseorang yang telah memaksakan kehendaknya atas
Pangeran yang malang itu. Dengan tidak diketahui oleh
orang lain, maka seseorang telah menempatkan orangorangnya
di istana itu, dan sekaligus menguasainya"
"Pangeran itu telah kehilangan dirinya dan
kebebasannya" sahut Mahisa Bungalan, "agaknya ia perlu
bantuan saseorang untuk membebaskannya"
"Aku sependapat" sahut Mahisa Agni, "tetapi untuk
melakukannya tentu bukan pekerjaan yang mudah. Di
istana itu terdapat banyak sekali hamba yang ternyata
pengawal-pengawal yang mengawasi Pangeran muda yang
malang itu" "Jadi, apakah menurut pendapatmu Mahisa Agni"
bertanya Witantra. "Aku akan mengawasi keadaan semakin cermat. Aku
akan melihat-lihat kemungkinan yang lebih baik untuk
dapat berhubungan langsung dengan Pangeran itu"
"Tentu sulit sekali" berkata Witantra, "kedua orang itu
tidak akan melepaskan pengawasannya"
"Itulah yang akan aku lihat dengan cermat. Apakah
kemungkinan untuk melakukannya itu ada" jawab Mahisa
Agni. Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Terserah
kepadamu. Mudah-mudahan kau menemukan jalan yang
segera dapat kita tempuh"
Ternyata bahwa Mahisa Agni pun telah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk melakukannya. Bahkan ia sudah
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
pekatik yang manapun juga.
Disaat-saat senggang maka iapun telah membersihkan
rumput di halaman belakang, sekaligus mengumpulkan
rumput itu ke dalam keranjang.
"Kau telah melakukan satu kebodohan" bentak pekatik
muda yang melihat tingkah lakunya" kau kira, yang kau
kerjakan itu menguntungkan?"
"Tentu anak muda. Kita tidak usah pergi ke padang.
Ternyata rumput di kebun ini tidak kalah segarnya. Apalagi
dengan demikian, kebun ini akan nampak lebih bersih dan
rapi" jawab Mahisa Agni.
"Kau memang pemalas. Kenapa kau tidak pergi ke
padang?" bertanya pekatik muda itu.
Tentu aku akan pergi. Tetapi cukup dengan dua
rambatan saja. Sementara di kebun dan halaman yang luas
ini, kita akan mendapatkan rumput satu keranjang penuh
setiap hari. Hari ini di kebun belakang, besok di sisi kanan,
lalu sisi kiri, halaman depan dan di taman" jawab Mahisa
Agni, "apakah itu bukan pikiran yang sangat bagus dari
seorang pekatik tua?"
"Gila" geram pekatik muda itu. Tetapi iapun
menganggap bahwa pikiran Mahisa Agni itu wajar, karena
sebenarnyalah di kebun dan di halaman istana itu. terdapat
banyak sekali rumput yang hijau segar diantara kebun
bunga dan kebun buah-buahan di kebun belakang.
Namun dengan tingkah lakunya itu, Mahisa Agni telah
berhasil mengawasi sebagian besar dari lingkungan istana,
itu. Ia melihat dengan cermat dinding halaman dan pintupintu
butulan. Dengan demikian maka Mahisa Agni dapat
mengetahui, bagian manakah yang mendapat pengawasan
kuat dari para pengawal di istana itu, dan yang manakah
yang tidak sama sekali. Tetapi Mahisa Agnipun tidak lengah, bahkan ia
menyadari sepenuhnya, bahwa di antara juru taman, para
pengawal dan lebih-lebih lagi para pengawal dalam, adalah
orang-orang yang bertugas untuk mengawasi Pangeran
Kuda Padmadata dan orang-orang yang berhubungan
dengan Pangeran itu. "Aku kira Pangeran itu tidak terlibat dalam usaha
pembunuhan atas isteri dan anaknya" berkata Mahisa Agni
di dalam hatinya, "mungkin ia mengetahui rencana itu,
tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk
mencegahnya" Karena itulah maka Mahisa Agni telah bekerja keras
untuk berusaha menghubungi Pangeran itu dengan cara
apapun juga. Namun agaknya hal itu tidak mungkin
dilakukannya. Kedua orang yang menjadi pengawalnya itu
seakan-akan tidak pernah berpisah barang sekejappun.
"Bukan main" gumam Mahisa Agni, "suatu perbuatan
yang tidak kepalang tanggung. Agaknya Pangeran Kuda
Padmadata yang kaya itu seakan-akan sudah mati di dalam
hidupnya. Ia menjadi tawanan tanpa dapat melawan sama
sekali" Tetapi Mahisa Agni tidak berputus asa. Ia masih
berusaha untuk melihat segala sesuatu yang mungkin dapat
dipakainya sebagai pancadan menemui Pangeran Kuda
Padmadata. "Apakah aku harus mempergunakan kekuasaan
Maharaja di Singasari untuk memanggil Pangeran Kuda
Padmadata" sebuah pertanyaan telah memercik di hati
Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat melakukannya, karena
ia tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Jika cara itu
ditempuh dan justru memperpendek umur Pangeran itu,
maka ia akan terpercik oleh suatu kesalahan yanga tidak
disengajanya. Karena itu, Mahisa Agni tidak menempuh cara itu. Ia
tidak minta kepada Maharaja di Kediri agar memanggil
Pangeran Kuda Padmadata dan bertanya kepadanya, apa
yang telah terjadi dengan keluarganya.
Ketika Mahisa Agni di hari berikutnya, sedang sibuk
nencuci dan kemudian memotong rumput pendek dan
mencampur dengan dedak dan sedikit air, ia sudah kejutkan
oleh kehadiran seorang anak muda yang tampan dan
bertubuh kekar. Wajahnya berseri sementara pakaiannya
yang bagus dan dibeberapa bagiannya berbalut permata,
menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kaya raya
pula. "He, siapakah kesatria itu?" bertanya Mahisa Agni yang
di sebut Damar itu kepada juru pemelihara kuda.
"Ia adalah adik Pangeran Kuda Padmadata" jawab
gamel itu. "Adiknya. O, pantas sekali. Gagah, tampan dan
nampaknya ia adalah seorang yang ramah"
"Tetapi ia adalah seorang anak muda yang keras" jawab
gamel itu. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Belum lagi ia habis
memuji, maka terdengar derap seekor kuda yang lain
memasuki halaman. Kemudian Mahisa Agni melihat
beberapa emban yang turun dari pintu samping berlari-lari
lewat seketeng ke halaman depan.
"Apa yang terjadi?" bertanya Mahisa Agni.
"Tuan puteri telah datang" jawab gamel itu.
"Tuan puteri, isteri Pangeran Kuda Padmadata?"
bertanya Mahisa Agni. "Dari mana?" "Dari rumah ayah bundanya. He, bukankah kau tau
bahwa ia masih saja mondar-mandir dari rumah orang
tuanya ke istana ini. Ia biasanya datang diantar oleh adik
Pangeran Kuda Padmadata. "Apakah aku boleh melihat?" bertanya Mahisa Agni.
"Apa yang kau lihat" Itu tuan puteri. Kenapa kau tibatiba
saja ingin melihat" bertanya juru pemelihara kuda itu.
"Bukankah aku belum pernah melihat. Menurut
keterangan, puteri itu jarang sekali keluar. Aku kira ia
berada di istana ini. Kenapa tiba-tiba saja ia baru datang"
Gamel itu tersenyum. Katanya, "Kau tidak pernah
melihat puteri itu keluar. Dan sekarang kau lihat puteri itu
datang dengan tandu dari rumah ayah bundanya. Kenapa
kau tidak bertanya, kapan puteri itu berangkat?"
"Ya, kapan?" "Kemarin sore, ketika kau sudah kembali ke rumah
Daredu" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi seolah-olah
diluar Sadarnya iapun kemudian berjalan ke seketeng. Dari
regol ie melihat, seorang puteri yang turun dari sebuah
tandu yang dipajang dengan kain berwarna cerah.
Gamel itu mengikutinya di belakangnya. Ia tersenyum
melihat wajah Mahisa Agni yang aneh.
"Kau benar-benar orang padesan yang paling dungu.
Kenapa kau menjadi begitu heran melihat tuan puteri"
"Ia naik tandu yang bagus sekali. Apakah tandu itu
dibuat dari emas?" "Sebagian. Tidak seluruhnya" jawab juru pemelihara
kuda itu. Mahisa Bungalanpun kemudian melihat beberapa emban
telah melayani puteri itu turun. Kemudian mereka
mengikutinya naik ke pendapa. Yang berada di pendapa
bukannya Pangeran Kuda Padmadata, tetapi adiknya,
seorang anak muda yang tampan dan gagah sekali.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya, "Kenapa
Pangeran Kuda Padmadata tidak menyambut kedatangan
isterinya?" "Tentu, tetapi ia menyambut di ruang dalam, di depan
sentong tengah" "O" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tidak
bertanya lebih banyak lagi ketika ia melihat pekatik muda
itu datang mendekatinya. "Kenapa kau disini setan!" geram pekatik muda itu.
Jawaban Mahisa Agni benar-benar tidak diduga-duga
oleh pekatik muda itu. Katanya, "He, apakah kau tidak
melihat" Tandu yang bagus sekali. Seorang puteri yang
sangat cantik dengan pakaian yang belum pernah aku lihat.
He. apakah yang dipakai di lengannya itu"
"Gila" geram pekatik muda itu, "kau benar-benar orang
dungu. Kau belum parnah melihat kelat bahu?"
"Gadis-gadis padesanku juga memakai binggel. Tetapi
dari akar-akaran. Sedangkan binggel puteri itu terbuat tentu
dan emas" "Kau sempat melihat binggelnya pula?"
"Ya. Ketika puteri itu turun dari tandu, kainnya
tersingsing sampai di atas mata kaki, sehingga binggelnya
kelihatan" "Gila. Kau urang tua yang tidak tahu diri" Tetapi
pekatik muda itu tidak dapat marah lagi, karena yang
dilihatnya adalah wajah Mahisa Agni yang dungu, bodoh
dan sama sekali tidak dibayangi oleh maksud-maksud
apapun juga. "Sudahlah" berkata pekatik muda itu, "jangan terlalu
berterus terang tentang kedunguanmu. Kembalilah ke
kandang. Atau barangkali sudah saatnya kita pergi ke
padang" Mahisa Agni masih memandang tandu yang kemudian
disingkirkan masuk ke seketeng sebelah lain dan disimpan
di ruang yang khusus. Dalam sebuah bangsal yang
berhubungan dengan bangsal penyimpanan pusaka dan
benda-benda berharga dari istana Pangeran Kuda
Padmadata itu. Mahisa Agni tidak tahu lagi, apa yang terjadi di dalam
ruang dalam. Tetapi Mahisa Agni mulai membayangkan,
bahwa Pangeran Kuda Padmadata itu tidak dapat berbuat
apapun lagi atas kehendaknya sendiri. Dan iapun mulai
curiga, bahwa isterinya itupun bukannya seorang puteri
yang setia. "Dua orang yang nampaknya sebagai pengawalnya yang
setia, adiknya yang tampan dan puteti yang cantik itu
agaknya bagaikan sebuah penjara besi berlapis tiga yang
sangat kuat dan tidak akan mungkin dapat dipecahkannya
dengan kekuatannya sendiri" berkata Mahisa Agni di dalam
hati. Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni
berketetapan untuk segera berbuat sesuatu. Jika tidak
mungkin dengan kekuatannya sendiri bersama Witantra
dan Mahisa Bungalan, maka ia tidak akan segan-segan
untuk minta pertolongan Panji Kudasuwana.
Tetapi agaknya Mahisa Agni masih ingin membatasi
usahanya tanpa mengganggu kekuasaan Singasari di Kediri.
Atas persetujuan Witantra dan Mahisa Bungalan, maka
mereka bertiga, pada malam hari berikutnya, telah
mendekati istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan
pengenalannya, maka Mahisa Agni telah berusaha untuk
memasuki istana itu, sementara Witantra dan Mahisa
Bungalan harus berjaga-jaga di luar dinding, bersembunyi
dibalik rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu.
Sebagaimana yang telah dikenalnya, maka Mahisa Agni
telah memasuki halaman istana itu lewat bagian belakang,
di bagian yang tidak terlalu ketat mendapat pengawasan.
Dengan kemampuannya yang hampir sempurna, maka
Mahisa Agni berhasil memasuki halaman. Dengan hati-hati
ia merayap mendekati bangunan istana yang cukup besar.
Dengan pasti ia tahu, yang manakah bilik tidur Pangeran
Kuda Padmadata meskipun ia belum pernah memasuki
istana itu. Tetapi dengan tidak langsung ia mendapat
gambaran dari pembicaraan-pembicaraan yang nampaknya
tidak sengaja dan tanpa arah.
Dengan sangat hati-hati pula Mahisa Agni pun
kemudian meloncat naik keatas atap. Dengan mengerahkan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuannya, iapun merambat dengan lambat sekali
melampaui bumbungan. Kemudian merangkak turun di
antara dua bumbungan yang tinggi. Atap pendapa dan atap
bagian dalam istana Pangeran Kuda Padmadata.
Untuk beberapa saat Mahisa Agni menungggu. Dengan
cermat ia mencoba mendengarkan, apakah dibawah atap itu
masih terdengar suara satu dua orang yang sedang
berbicara. "Sepi" berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Sejenak
Mahisa Agni masih menunggu. Namun iapun kemudian
mulai mencoba berbuat sesuatu. Dengan hati-hati ia
merayap tepat di atas bilik pembaringan Pangeran Kuda
Padmadata. Sekali lagi ia merapatkan telinganya untuk
mendengar, apakah benar-benar orang di dalam istana itu
sudah tidur. Namun justru hatinya menjadi berdebaran. Sesaat
kemudian ia mendengar suara lemah sekali, "Aku akan
tidur. Kau yang berjaga-jaga"
"Tidurlah" sahut suara yang lain, "tetapi sampai kapan
kita harus mengawalnya. Aku sudah mulai jemu berpurapura
menjadi budaknya" "Kita belum tahu pasti, apakah perempuan dan anak
laki-lakinya itu sudah terbunuh. Beberapa saat yang lampau
mereka berhasil meloloskan diri. Seorang yang tidak dikenal
telah membebaskannya dan bahkan kemudian berhasil
menyembunyikan perempuan itu bersama anak lakilakinya"
"Tetapi ia tidak akan dapat lepas dari jaring terakhir.
Mereka akan diketumukan. Dan mereka akan mati. Barulah
kita bebas dari tugas ini, karena semuanya menjadi
gamblang. Pangeran yang malang itu akan mendapat
kecelakaan. Warisannya akan jatuh ke tangan isterinya
yang cantik itu, karena ia adalah satu-satunya keluarganya.
Tentu saja adik laki-lakinya itupun akan terlibat dalam
pembagian warisan, meskipun sebenarnya hal itu tidak
diperlukan benar secara resmi dilakukan"
"Namun waktu telah berlarut-larut. Dan kita belum
mendengar beritanya"
"Tidurlah. Aku akan menungguinya"
Sejenak kemudian menjadi sepi kembali. Tetapi Mahisa
Agni sudah mendapat gambaran, bahwa ia tidak akan dapat
berbuat banyak seandainya ia berhasil memasuki istana itu,
Karena di dekat bilik itu. seseorang telah menjaganya
dengar cermat. Sementara di sekitar istana itu, beberapa
orang pengawal beringas dengan senjata telanjang. Sebuah
perintah yang diteriakkan oleh salah seorang dari mereka
yang menungguinya itu berarti, seluruh pengawal yang
berada di halaman itu akan bersiap dan mengepungnya.
"Itu tentu kurang baik" berkata Mahisa Agni di dalam
hati, "mungkin aku akan dapat meloloskan diri. Tetapi
akibatinya akan menimpa Pangeran yang malang itu.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni mendapat pikiran
yang lain. Ia akan memberikan kesan yang berbeda dari
para pengawal. Jika ada orang yang melihatnya, maka ia
tidak lebih dari seorang pencuri yang menginginkan harta
Pangeran Kuda Padmadata yang berlimpah.
Karena itu maka Mahisa Agnipun bergeser pula. Ia tidak
lagi berada di atas bilik Pangeran yang kaya itu, tetapi
kehilangan dirinya itu. Dengan hati-hati, Mahisa Agni telah membuka
bumbungan di atas dudur samping. Dengan sangat berhatihati.
Kemudian iapun perlahan-lahan membuka raguman.
Kekuatan Muhisa Agni adalah kekuatan yang luar biasa,
sehingga dengan jari-jarinya ia telah berhasil memutus talitali
ijuk pada atap rumah Pangeran Kuda Padmadata yang
kuat itu. Kemampuan Mahisa Agni memang berlebihan, jika ia
sekedar ingin melakukan pencurian. Segalanya dapat
dilakukan tanpa menimbulkan bunyi apapun juga. Sehingga
akhirnya atap istana itupun telat terbuka, sehingga cukup
luas untuk menyusup masuk ke dalam.
Dengan sangat hati-hati, Mahisa Agnipun kemudian
meloncat turun. Kakinya bagaikan kaki seekor kucing yang
liat dan sama sekali tidak menimbulkan bunyi apapun.
Dengan demikian, maka orang yang menunggui Pangeran
Kuda Padmadata di dalam ruang di sebelah bilik Pangeran
itu, sama sekali tidak mendengarnya.
Ruang itu memang sepi. Mahisa Agni telah berhasil
memasuki sebuah ruang yang tidak begitu luas. Tetapi
ruang itu adalah ruang yang sangat mahal, karena di dalam
ruang itu tersimpan beberapa bagian perhiasan Puteri yang
cantik itu. Meskipun perhiasan yang tersimpan di dalam sebuah peti
yang terletak di dalam geledeg kayu itu hanyalah sebagian
dari perhiasannya yang dipakainya sehari-hari, sementara
perhiasannya yang lebih mahal lagi disimpan di bangsal
perbendaharaan, namun barang-barang itu mempunyai nilai
yang cukup tinggi. Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Di sebelah ruang
itu adalah bilik pembaringan puteri. Diantarai oleh sentong
tengah, maka terdapat bilik tempat tidur Pangeran Kuda
Padmadata. Sedang di bilik berikutnya, yang
menghubungkan rumah induk dengan gandok, terdapat
orang-orang yang mengawal Pangeran Kuda Padmadata.
Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Ia sadar, bahwa
di sebelah bilik itupun tentu terdapat ruang satu atau dua
orang pengawal. Karena itu, maka ia pun harus berhatihati.
Dengan perlahan-lahan akali, Mahisa Agnipun
kemudian membuka peti yang tersimpan di dalam geledeg
itu. Diambilnya beberapa buah perhiasan yang mahal.
Kemudian dibawanya perhiasan itu meninggalkan ruangan.
Dengan loncatan yang ringan Mahisa Agni berhasil
menggapai dudur atap istana itu di tempat yang telah
dibukanya. Lewat lubang saat ia meluncur masuk, maka
iapun telah menyusup keluar.
Sejenak Mahisa Agni menunggu. Sejenak, maka iapun
mulai merangkak ke bibir atap.
Ketika ia merasa aman, maka iapun segera meloncat
turun. Dibawah teritisan. ia meninggalkan sebuah perhiasan
yang diambilnya. Kemudian, ketika ia berlari sambil
membungkuk-bungkuk ke kebun di belakang istana itu,
maka ia pun telah melepaskan sebuah perhiasan lagi.
Demikian pula ketika ia sampai di dinding belakang. Ia
telah meletakkan satu lagi perhiasan itu, tetapi tidak tepat di
tempat ia meloncat naik. Sehingga dengan demikian, maka
ia tidak meninggalkan bekas di tempat yang sebenarnya.
Ketika Mahisa Agni telah berada diluar, maka iapun
segera menemui Witantra dan Mahisa Bungalan.
Nampaknya Mahisa Bungalan telah tidak sabar lagi
menunggu "Ia hampir saja menyusulmu" desis Witantra. Mahisa
Agni tersenyum. Katanya, "Untunglah bahwa kau belum
melakukannya" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sebenarnya lah
ia telah menjadi gelisah dan tidak telaten menunggu.
Mahisa Agni pun kemudian menceriterakan apa yang
dialaminya dalam perjalanan mereka kembali ke rumah Ki
Daredu. "Memang sulit" gumam Witantra, "jika kau datang
kembali di malam-malam berikutnya, maka keadaannya
pun akan serupa. Kau tidak akan dapat menjumpai
Pangeran itu tanpa pengawasan"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia
bergumam, "Apakah tidak ada jalan lain kecuali
menghubungi Panji Kudasuwana"
"Itu adalah jalan yang dapat segera ditempuh" sahut
Mahisa Bungalan. "Tetapi apakah jalan itu tidak berbahaya bagi Pangeran
Kuda Padmadata itu sendiri" desis Mahisa Agni.
"Kita harus tegas. Pangeran Kuda Padamadata harus
dengan tiba-tiba dipisahkan dari orang-orang yang
mengelilinginya" geram Mahisa Bungalan, "kemudian
Pangeran itu dipertemukan dengan isteri dan anaknya yang
terpisah daripadanya itu"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi iapun sedang
berpikir keras, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Dalam pada itu, ketika seorang penjaga istana Pangeran
Kuda Padmadata yang sedang meronda, terjaga dari
tidurnya oleh kokok ayam dipagi hari, maka iapun segera
berbenah diri. Kawannya yang lain telah lebih dahulu
terbangun dan sebelum meninggalkan tugasnya, lebih
dahulu dilihatnya ruang di sebelah. Tetapi nampaknya
pintu masih tertutup, sehingga ia tidak memperhatikannya
lebih lama lagi. Kedua orang penjaga itupun kemudian meninggalkan
bilik tempatnya bertugas. Di siang hari, tempat itu tidak
ditunggui oleh seorang pengawalpun.
Setelah kedua pengawal itu melaporkan diri ke gardu
induk bagi para pengawal di dalam istana Pangeran Kuda
Padmadata itu, maka merekapun segera meninggalkan
halaman istana kembali ke rumah masing-masing. Mereka
mendapat kesempatan untuk berada di antara keluarganya
pada hari-hari tertentu setelah mereka menjalankan tugas
sepekan penuh. Namun agaknya pada malam terakhir dari tugas mereka,
istana itu telah digemparkan oleh kenyataan, bahwa atap di
atas bilik penyimpanan perhiasan isteri Pangeran Kuda
Padmadata telah terbuka. Seorang pelayan dalam yang akan membersihkan bilik
itu terkejut ketika dilihatnya bilik itu nampak tidak seperti
biasanya. Beberapa jenis perabotnya berserakan, dan ketika
ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya cahaya yang jatuh
dari atap yang sudah berlubang.
Sambil berteriak pelayan itu berlari ke gardu para
pengawal. Dengan suara terbata-bata ia melaporkan apa
yang telah dilihatnya. Sejenak kemudian, istana itu menjadi gempar. Para
pengawal menjadi sangat sibuk, sementara dengan tegas
pemimpin pengawal itu berteriak, "Panggil kedua pengawal
yang bertugas di bilik ini semalam"
Namun dalam pada itu, kegemparan telah terjadi.
Dalam kesibukan itu, Mahisa Agni sebagai seorang
pekatik telah memasuki halaman. Tidak seorang pun yang
menghiraukannya. Para pengawalpun tidak. Tidak
seorangpun yang akan menghubungkan peristiwa yang
menggemparkan itu dengan seorang pekatik tua yang
berjalan tertatih-tatih sambil membawa keranjang dan sabit.
Adalah suatu kebetulan, bahwa pekatik muda yang
selalu mengawasinya tidak berada di kandang. Seperti pata
abdi yang lain, mereka telah berkerumun di sekitar pintu
butulan. Karena itu, maka Mahisa Agni pun telah ikut pula
mendekat dan berdiri di antara para hamba yang lain.
"Apa yang telah terjadi" bertanya Mahisa Agni kepada
seorang juru taman. "Ada seorang atau lebih pencuri yang memasuki bilik
itu" desis juru taman.
"O" Mahisa Agni terkejut Tetapi ia tidak berkata apapun
lagi. Namun dalam pada itu, kegemparan yang lain telah
terjadi. Seorang pengawal telah menyentuh seuntai berlian
di bawah teritisan. Hampir terpekik ia berkata, "Aku
menemukannya" Para pengawal pun segera mengerumuninya.
Sebenarnyalah bahwa ia telah menggenggam satu dari
perhiasan yang hilang dari bilik itu.
Tetapi kegemparan berikutnya telah terjadi pula. Orang
lain telah menemukan perhiasan yang lain di balik tananam
perdu. Kemudian disusul oleh yang lain lagi. Dengan
demikian, maka para pengawalpun telah mengikuti arah
dari barang-barang yang ditemukan itu. Agaknya barangbarang
itu telah terjatuh ketika pencurinya melarikan diri.
Sejenak kemuadian para pengawal pun telah sibuk
meneliti semua keadaan di sepanjang jalur yang telah
ditemukan sebagai jejak dari arah yang ditempuh oleh
pencuri yang telah berhasih memasuki bilik itu.
Pada saat yang sibuk dan tegang itu, isteri Pangeran
Kuda Padmadata berada di dalam biliknya ditunggui oleh
seorang emban dan adik Pangeran Kuda Padmadata.
Bagaimanapun juga peristiwa itu telah menggetarkan
jantungnya, sehingga ia menjadi ketakutan dan berdebardebar.
"Jangan cemas" adik Pangeran Kuda Padmadata itu
berusaha untuk menenangkan, "tidak terjadi apa apa.
Pencuri itu memang gila. Tetapi yang berhasil dibawa tentu
tidak berarti sama sekali" ia berhenti sejenak, lalu, "cobalah
kau tenangkan hatimu, kemudian kau sempatkan sejenak
untuk melihat, apa saja yang telah hilang"
Isteri Pangeran Kuda Padmadata itu tidak menjawab
Tetapi ia berusaha untuk menenangkan dirinya barang
sejenak. Sementara itu, selagi para pengawal sibuk meneliti
keadaan dan dua orang pengawal khusus itupun sedang
berusaha melihat dengan teliti apa yang telah terjadi,
Pangeran Kuda Padmadata sendiri berdiri termangu-mangu
di pintu butulan. Bahkan iapun kemudian turun ke halaman
belakang untuk melihat para pengawal yang sedang
memperhatikan arah dari jejak pencuri yang telah berhasil
memasuki istana. Kesempatan yang tidak mungkin dapat dilewatkan oleh
Mahisa Agni. Saat yang sekejap itu benar-benar berharga
bagi Mahisa Agni. Adalah jarang sekali terjadi bahwa
Pangeran Kuda Padmadata telah terpisah dari dua orang
pengawal khususnya. Pada saat Pangeran itu sedang merenungi orang-orang
yang sedang diributkan oleh peristiwa itu, maka Mahisa
Agnipun menyusup kesamping dan berjalan terbungkukbungkuk
lewat di belakang Pangeran Kuda Padmadata.
Saat yang sangat berharga itu telah dipergunakannya
sebaik-baiknya. Tepat di belakang Pangeran itu ia berdesis
perlahan-lahan, "Hamba adalah petugas sandi dari
Singasari yang ingin mengetahui keadaan Pangeran yang
sebenarnya"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Agni sama sekali tidak berhenti. Ia berjalan
terus, dan menyusup lagi diantara orang-orang yang
berkerumun. Sekilas Kuda Padmadata berpaling. Ia melihat Mahisa
Agni yang berhenti beberapa langkah dari padanya diantara
beberapa hambanya yang kemudian didorong oleh para
pengawal untuk menyingkir.
"Pergi, jangan mengganggu tugas kami. Kembali kepada
perkejaan kalian masing-masing. Biarlah kami yang
mengurusi masalah ini" teriak pemimpin pengawal.
Ketika para hamba istana itu kemudian melangkah surut
karena mereka didesak oleh para pengawal, Pangeran Kuda
Padmadata masih dapat mengenali Mahisa Agni yang
berdiri diantara mereka. "Siapakah orang itu?" pertanyaan itu telah tumbuh di
dalam hatinya. Demikian banyak abdi di halaman Istana
itu, hingga Pangeran itu tidak mengenalnya seorang demi
seorang. Namun Pangeran yang telah kehilangan kebebasannya
itu sempat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh
Mahisa Agni. Dalam pada itu, maka ketika dua orang pengawal yang
bertugas di bagian dalam istana, dan berada di sebelah bilik
yang telah berhasil dimasuki oleh seorang pencuri atau lebih
itu datang, perhatian pimpinan pengawal tertuju
sepenuhnya kepada mereka. Dengan tegang ia
memerintahkan kedua orang itu masuk ke dalam bilik yang
khusus untuk didengar keterangannya.
Ternyata kedua pengawai itu terkejut bukan kepalang
Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa bilik itu telah
terbuka di bagian atapnya dan seorang pencuri telah
berhasil mengambil beberapa buah barang perhiasan.
Sehari penuh para pengawal meneliti segala macam jejak
yang mungkin dapat mereka ketemukan. Bukan saja di
dalam halaman, tetapi juga diluar halaman.
Namun dalam pada itu, mereka sama sekali tidak
menemukan sesuatu. Tidak ada bekas atau jejak yang dapat
mereka pergunakan untuk mencari jalur yang dapat
membawa mereka kepada suatu dugaan, siapakah yang
telah menghina para pengawal istana Pangeran Kuda
Padmadata itu. Ketika kemudian isteri Pangeran itu sudah menjadi agak
tenang dan berhasil melihat dan menyebut barangbarangnya
yang hilang, ternyata bahwa sebagian dari
barang-barang itu telah dapat diketemukan kembali. Hanya
sebagian kecil sajalah dari perhiasan itu yang tidak
diketemukan. "Pencuri itu tentu dalam keadaan tergesa-gesa" berkata
adik Pangeran Kuda Padmadata.
"Tetapi ini benar-benar suatu penghinaan" berkata
Pangeran Kuda Padmadata. Namun seorang dari kedua pengawalnya yang terdekat
itupun berkata, "Ampun Pangeran. Biarlah para pengawal
mengurusnya. Jika ini suatu penghinaan, maka para
pengawallah yang paling merasa terhina"
"Ya, tetapi bukankah kita dapat berusaha untuk mencari
jejaknya. Meskipun seandainya tidak dapat diketemukan"
berkata Pangeran itu. "Pangeran tidak perlu berbuat sesuatu. Kami
menganggap bahwa hal ini tidak usah disampaikan kepada
siapapun juga. Juga tidak perlu didengar oleh para
bangsawan, karena dengan demikian maka aib kita akan
bertebaran sampai kemana-mana"
"Aku setuju" berkata Pangeran Kuda Padmadata,
"meskipun aku tahu latar belakang dari sikap kalian. Kalian
tidak ingin selembar seratpun yang dapat menghubungkan
istana ini dengan pihak luar"
"Kakanda tidak usah mengatakan hal itu" berkata
adiknya, "apa yang telah terjadi, biarlah terjadi. Kadangkadang
kita memang harus menyerah kepada nasib. Baik
atau buruk" "Aku tidak menyesali nasib. Tetapi aku tidak mau
menerima penghinaan ini. Aku tidak tahu bagaimana
tanggapan kalian" berkata Pangeran Kuda Padmadata.
"Lalu apa yang akan kakanda kerjakan?" bertanya
adiknya. "Mungkin orang yang-memasuki bilik itu adalah salah
seorang dari para pengawal kita sendiri, atau para abdi yang
lain" Pangeran itu berhenti sejenak, lalu, "karena itu. aku
ingin menemui mereka seorang demi seorang"
Kedua pengawalnya terdekat tertawa. Katanya, "Suatu
usaha yang sia-sia Pangeran?"
"Tidak. Aku tidak akan berusaha apapun juga bagi diriku
sendiri. Kau berdua dapat mengikuti segala persoalan yang
akan aku lakukan dalam penelitian ini"
Salah seorang dari kedua pengawal itu menyahut,
"Jangan memikirkan apapun juga. Pangeran adalah orang
yang paling mukti di negeri ini. Tanpa berbuat apapun juga.
Pangeran dapat menikmati hidup ini sepuas-puasnya"
Diluar sadarnya Pangeran Kuda Padmadata berpaling
kearah isterinya. Namun yang terdengar adalah suara
tertawa adiknya, "Ia bukan isteri kakanda yang sebenarnya.
Jika kakanda ingin menikmati hidup ini, lakukanlah. Tetapi
tidak dengan puteri yang seorang ini"
Seisi ruangan itupun meledak dengan suara tertawa.
Sementara puteri yang dalam dunia bayangan Pangeran
Kuda Padmadata itu menjadi isterinya, menunduk dalamdalam.
Meskipun ia juga tersenyum, namun wajahnya
menjadi merah padam. "Ia adalah seorang isteri yang tugasnya hanyalah
menerima warisan semata-mata" berkata adiknya, "tidak
dalam tugas-tugas yang lain"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam
Namun katanya, "Aku ingin bertemu dengan setiap orang
di lingkungan istana ini. Siapapun boleh ikut mendengar
apa yang akan aku tanyakan kepada mereka"
Kedua pengawal itu ragu-ragu. Namun ketika adik
Pangeran itu mengangguk, maka salah dari seorang para
pengawal itu berkata, "Baiklah Pangeran. Hamba akan
memanggil mereka seorang demi seorang"
Demikianlah maka semua hamba dan pengawal di
dalam istana itu telah dipanggil seorang demi seorang
memasuki sebuah bilik khusus. Di samping Pangeran Kuda
Padmadata sendiri, maka di dalam bilik itu hadir pula
kedua pengawalnya yang paling dekat itu.
Seorang, demi seorang telah ditanya oleh Pangeran Kuda
Padmadata. Siapakah mereka, dan apakah yang mereka
lakukan dalam tugas mereka sebagai hamba.
Pangeran Kuda Padmadatapun bertanya, dimana mereka
berada semalam. Apakah mereka tidak berada di halaman
istana atau disekitarnya.
"Tidak ada gunanya Pangeran - berkata salah seorang
pengawalnya, "mereka tentu akan mengatakan bahwa
mereka tidak berada di halaman, jika mereka tinggal di
bagian belakang dari halaman istana ini, mereka akan
mengatakan bahwa mereka sedang tidur nyenyak. Mereka
sama sekali tidak beranjak dari pembaringan."
"Tetapi aku dapat melihat seseorang yard berbohong.
Aku dapat melihat sorot matanya dan barangkali gagap
bicaranya." berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Betapapun menjemukan, namun pertanyaan Pangeran
itu berlangsung terus. Seorang demi seorang telah memasuki
bilik itu. Akhirnya, seorang pekatik tua telah memasuki bilik itu.
Dengan tubuh gemetar ia merangkak mendekat ketika salah
seorang pengawal Pangeran itu memanggilnya.
"Siapa namamu?" bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
"Nama hamba Damar, Pangeran" jawab pekatik tua.
Dimana kau tinggal" Di bagian belakang dari halaman
ini" - bertanya Pangeran itu pula.
"Tidak Pangeran. Hamba tinggal di rumah saudara
hamba" Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk,
iapun kemudian bertanya seperti pertanyaan-pertanyaan
yang pernah di sampaikan kepada para hamba yang lain.
Tidak ada kesimpulan apapun yang didapatkan dari
pembicaraan itu. Namun dengan demikian, Pangeran Kuda
Padmadata mengetahui, bahwa orang yang menyebut
dirinya petugas sandi dari Singasari itu adalah seorang
pekatik bernama Damar. Ketika Mahisa Agni kemudian meninggalkan ruang itu,
maks Pangeran Kuda Padmadata berkata kepadaa
pengawal itu, "Aku mencurigai orang itu meskipun aku
tidak pasti. Mungkin aku keliru. Tetapi dari antara semua
orang yang memasuki bilik ini, maka orang itu mempunyai
pertanda yang paling mungkin untuk melakukan pencurian,
atau setidak-tidaknya ia memberikan beberapa petunjuk
terhadap pencuri yang sebenarnya.
"Aku tidak melihat pertanda seperti itu," sahut seorang
pengawal. "Mungkin kau tidak melihat. Tetapi aku ingin
memperhatikan orang itu. Jika pada suatu saat, pencuri
yang sebenarnya dapat diketemukan. maka dugaanku
ternyata keliru." Dalam pada itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata sudah
dapat memastikan barang-barangnya,yang hilang. Lebih
dari separo dari barang-barang itu dapat diketemukan di
halaman, karena barang-barang itu agaknya terjatuh.
Namun masih ada beberapa perhiasan yang lain yang
benar-benar telah hilang dari istana itu.
Meskipun yang dilakukan oleh Pangeran Kuda
Padmadata seolah-olah tidak ada gunanya, tetapi bagi
Pangeran itu sendiri, seolah-olah telah memberikan satu
kemungkinan untuk membuka jalur keluar istana lewat
pekatik itu. Sementara itu, Mahisa Agni pun merasa, bahwa yang
dibisikkannya kepada Pangeran itu telah mendapat
tanggapan. Ia merasa kagum juga terhadap kejernihan
pikiran Pangeran itu. Meskipun ia nampaknya sudah
terkungkung oleh kekuasaan yang sulit untuk diatasinya,
namun ia tidak berputus asa. Ia berusaha untuk dapat
memecahkan dinding yang mengelilinginya dengan cara
apapun juga. Yang mengalami nasib yang kurang baik adalah kedua
orang pengawal yang bertugas di sebelah bilik yang telah
dimasuki oleh Mahisa Agni. Keduanya terpaksa untuk
sementara tinggal di dalam bilik pengawasan, karena
mereka masih akan diperiksa lebih saksama lagi.
Peristiwa itu, telah diceriterakan oleh Mahisa Agni
kepada Witantra dan Mahisa Bungalan, ketika pada sore
hari Mahisa Agni kembali kerumah Ki Daredu.
"Kita harus mencari jalan" berkata Mahisa Agni, "aku
masih mempunyai sebagian dari perhiasan yang aku
ambil." "Maksudmu?" bertanya Witantra.
"Kita sudah mendapat keterangan lebih jelas. Dengan
demikian, maka kita sudah dapat melihat, siapakah yang
sebenarnya berbati jahat." sahut Mahisa Agni, "karena itu,
maka kita harus segera mengambil sikap, tetapi yang tidak
mengancam keselamatan Pangeran itu sendiri dan isterinya
yang barasal dari padesan itu."
"Apa yang dapat kita lakukan paman?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Kau kembali kepada ayahmu. Titipkan perempuan dan
anak laki-lakinya itu kelingkungan dalam istana. Biarlah
para prajurit melindunginya. Kau dapat barterus terang
kepada Tuanku Ranggawuni. Aku kira tuanku tidak akan
berkeberatan mangijinkan perempuan dan anak laki-laki itu
tinggal." "Apakah hubungannya dengan barang-barang Yang
paman ambil itu?" "Kemudian kita jual barang-barang itu. Biarlah ayahmu
barusaha untuk berhubungan dengan orang-orang Kediri
yang dikenalnya, sehingga pada suatu saat, seseoorang
dapat mengenal barang-barang itu sebagai barangbarang
dari istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan demikian
maka ayahmu akan ditangkap dan dibawa masuk ke istana
Pangeran Kuda Padmadata. Ayahmu kemudian akan
mengatakan, bahwa ia membeli barang barang itu dari
orang lain. Orang lain itu adalah Witantra. Kita semuanya
akan berada di dalam lingkungan istana itu. Pada saat yang
tepat kita akan bertindak menyelamatkan Pangeran itu dari
cengkeraman orang-orang yang ingin berbuat jahat
kepadanya. Jika kita berempat bersama sama dapat berbuat
sesuatu, maka aku kira kita akan berhasil, karena Pangeran
itu sendiri tentu akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
dirinya sendiri." "Rencana ini dapat kita pelajari sebaik baiknya. Masih
banyak yang dapat di sisipkan pada rancangan kasar ini.
Tetapi pada dasarnya aku dapat menyetujui." berkata
Witantra. "Paman belum menyebut perananku" potong Mahisa
Bungalan. Witantra tertawa. Katanya, "Sabarlah sedikit. Kau tentu
akan memegang peranan penting dalam hal ini."
"Apak aku belum menyebut?" bertanya Mahisa Agni.
"Belum" jawab Mahisa Bungalan.
"Jika demikian, maka kau akan menjadi penghubung
antara pamanmu Witanira dan ayahmu. Sehingga, dengan
demikian kauu akan diseret pula ke dalam istana itu."
"Bagaimana jika kita semuanya diserahkan kepada
penguasa di Kediri" Kepada Panji Kudasulwarna?"
"Aku akan berbicara dengan Panji Kudasuwarna." Sahut
Mahisa Agni. "Tetapi ia pun harus mengetahui kesulitan
Pangeran Kuda Padmadata."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian, "Tetapi jika segalanya berjalan menurut
kemauan kita. Tetapi jika fidak, maka masalahnya tidak
akan semudah seperti yang kita bicarakan."
Mahisa Agni pun tersenyum seperti juga Witantra. Maka
katanya, "Kita hanya merencanakan menurut perhitungan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita Mahisa Bungalan. Tetapi bukan berarti bahwa pihak
lain tidak mempunyai perhitungan pula."
"Tetapi baiklah paman. Aku akan mencoba berbuat
seperti perhitungan itu. Aku akan kembali dengan
membawa barang yang masih tersisa pada paman dan akan
menyerahkannya kepada ayah. "Sampaikan segala pesan sebaik-baiknya, agar kita tidak
salah langkah. Sebaiknya ayahmu menemui kami, sebelum
kita bertindak lebih iauh. Kita tidak tahu pasti, jaring-jaring
yang dipasang oleh adik Pangeran Kuda Padmadata itu
sampai seberapa jauh jarak jangkauannya"
Demikianlah, maka Mahisa Agni dan Witantra telah
melepaskan Mahisa Bungalan pergi meninggalkan Kediri.
Perjalanan ke Singasari yang cukup jauh itu telah
ditempuhnya secepat dapat dilakukan. Namum Mahisa
Bungalan masih harus juga bermalam di perjalanan.
Namun sebagai seorang perantau, maka ia sama sekali
tidak merasa kesulitan di perjalanan.
kedatangan Mahisa Bungalan yang seorang diri di
rumahnya, memang mengejutkan. Namun Mahendra pun
kemudian mengangguk-angguk setelah ia mendengar
penjelasan yang diberikan oleh Mahisa Bungalan.
"Jadi anakku harus dititipkan ke dalam istana?" bertanya
Ki Wastu. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah
agaknya tempat yang paling aman baginya?"
"Tetapi anakku tentu akan merasa dirinya terlampau
kecil dan tidak sepantasnya diperlakukan demikian. Ia
adalah anak padukuhan kecil yang tidak berarti, " berkata
Ki Wastu. "Tetapi ia adalah isteri Pangeran Kuda Padmadata"
jawab Mahisa Bungalan, "pada suatu saat, jika Tuhan
mengijinkan, ia akan berdiri di samping seorang bangsawan
di Kediri" Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Terasa
jantungnya bergetar. Dengan suara yang dalam ia berkata,
"Apakah yang dapat aku ucapkan. Aku telah berhutang
budi tanpa dapat diperhitungkan lagi. Kalian telah berbuat
terlalu banyak, melampaui kewajiban sebagai sesama"
"Tidak" jawab Mahendra, "yang kami lakukan barulah
butir-butir debu yang tidak berarti sama sekali di hadapan
Tuhan Yang Maha Agung"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku akan ikut serta ke Kediri. Bukan saatnya bagiku untuk
duduk menunggu, sementara orang lain berjuang bagi
keluargaku. Bagi anak dan cucuku"
Mahendra tertawa. Katanya, "Jika demikian, aku tidak
berkeberatan. Kita adalah pedagang permata yang
membawa barang-barang curian. Pada suatu saat akan
tertangkap dan dihadapkan kepada pemilik barang itu"
Demikianlah, maka segala persiapan pun dilakukan
Mahendra dan Mahisa Bungalan telah memohon waktu
menghadap. Kepada Ranggawuni, Mahendra
menyampaikan segala pesan Mahisa Agni"
Ternyata, seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka
Maharaja Singasari itu pun tidak berkeberatan.
Diserahkannya perempuan dan anak laki-lakinya itu kepada
seorang emban dan di bawah pengawasan para pengawal
istana itu. "Tidak akan ada orang yang mengusiknya disini"
berkata Mahendra kepada Ki Wastu.
Dalam pada itu, maka Mahendra dan Ki Wastu pun
segera mempersiapkan diri. Mereka adalah pedagangpedagang
barang berharga dan perhiasan. Meskipun mereka
berangkat dari Singasari bersamaan berangkatnya dengan
Mahisa bungalan, namun Mahisa Bungalan lah yang lebih
dahulu memasuki gerbang kota.
Sebagai seorang pedagang, Mahendra mempunyai
beberapa orang kawan di Kediri. Ia segera menawarkan
barang-barang yang dibawanya. Dengan sengaja ia
memamerkan barang-barang yang diambil oleh Mahisa
Agni dari istana Pangeran Kuda Padmadata. Sementara
pada saat-saat tertentu ia masih harus berhubungan dengan
Mahisa Agni dan Witantra, agar mereka tetap
bersambungan, seperti yang direncanakan, ternyata bahwa
perhiasan sangat mahal itu menarik perhatian beberapa
pedagang di Kediri. Kawan-kawan Mahendra, menganggap
barang-barang itu tentu milik seorang bangsawan yang
sangat kaya. Ternyata bahwa beberapa orang telah menghubungkan
dengan berita pencurian yang terjadi di istana Pangeran
Kuda Padmadata. Beberapa orang pedagang, kadangkadang
sering saling bersaing itu telah dengan sengaja
menjebak Mahendra. Ia dihadapkan pada orang-orang yang
mempunyai sangkut paut dan mendapat kepercayaan dari
lingkungan istana Pangeran Kuda Padmadata, terutama
mereka yang mendapat kepercayaan dari adik pangeran
yang ternyata selalu dibayangi oleh kekuasaan yang tidak
nampak dari adik kandungnya sendiri.
Salah seorang dari para pedagang itu ternyata
mempunyai hubungan yang akrab dengan seorang
pemimpin pengawal dari istana Pangeran Kuda Padmadata
yang telah dipengaruhi pula oleh adik Pengeran itu. Ketika
ia mendapat kabar tentang permata dan perhiasan itu, maka
iapun berkata, "Bawa orang itu kepadaku. Katakan bahwa
aku ingin membelinya"
"Apakah aku harus membawanya masuk ke istana"
bertanya pedagang itu. "Bodoh kau. Kalau ia tahu bahwa barang-barang itu
barang curian, ia tentu tidak akan bersedia memasuki istana
dengan membawa perhiasan itu kemari" sahut salah salah
orang dari pada perwira pengawal itu.
"Nampaknya ia tidak tahu menahu tentang perhiasan
yang hilang dari istana ini. Ketika aku mengatakan bahwa
puteri mungkin akan membelinya, ia sama sekali tidak
berkeberatan untuk menghadap"
Perwira pengawal itu termangu-mangu. Namun katanya
kemudian, "datanglah besok. Aku akan masuk ke istana
nanti dan membicarakannya dengan Pangeran Kuda
Rukmasanti, adik Pangeran Kuda Padmadata"
Demikianlah maka hal itu pun kemudian benar-benar
telah dibicarakan dengan Pangeran Kuda Rukmasanti.
Apakah sebaiknya pedagang itu dibawanya masuk ke istana
atau biarlah datang saja ke rumah pengawal itu.
"Jika ia memang tidak berkeberatan dan tidak
mengetahui menahu tentang barang-barang yang hilang dari
istana ini, bawalah ia kemari dengan demikian, maka
langsung puteri akan dapat melihatnya, apakah barangbarang
itu memang miliknya"
"Baiklah, Besok ia akan menghadap. Aku akan
menghuhungi kawanku yang akan membawanya masuk ke
dalam istana ini" Seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, maka
Mahendra telah dihubungi oleh seorang pedagang yang
memang sudah dikenalnya sebelumnya. Dengan tidak
banyak sanggahan, maka Mahendra pun kemudian telah
menjanjikan untuk membawa barangnya kepada Pangeran
Kuda Rukmasanti. "Tetapi aku belum tahu, bagaimana aku akan
menghadap" berkata Mahendra.
"Kita akan pergi bersama-sama. Nanti sore, kita akan
pergi ke istana itu"
Mahendra mengangguk-angguk. katanya, "Aku akan
datang ke rumahmu. Kita akan bersama-sama pergi
menghadap" Pedagang itu mengangguk-angguk. Namun ia tersenyum
di dalam hati. Jika benar-benar barang-barang itu milik
Pangeran Kuda Padmadata yang hilang, maka Mahendra
akan ditangkap. Daerah perdagangan permata akan
kehilangan salah seorang dari mereka yang dianggap oleh
pedagang yang menjebak Mahendra itu sebagai saingan
yang berat. Hal itu segera disampaikan oleh Mahendra kepada
Mahisa Agni. Ia harus berada di istana itu, pada saat
Mahendra dihadapkan kepada Pangeran Kuda Rukmasanti.
Sementara itu, Witantra pun harus bersiap-siap untuk
ditangkap bersama Mahisa Bungalan.
"Tetapi bagaimana dengan Ki Daredu. Ia tentu akan
terkena kesalahan pula, karena ia telah memberikan tempat
kepada kita" berkata Mahisa Bungalan.
"Mungkin ia akan ditangkap pula" berkata Mahisa Agni,
"aku akan berbicara kepadanya. Seandainya ia benar-benar
ditangkap, maka kita semuanya akan menjadi jaminan"
"Bagaimana jika ia dipaksa untuk mengatakan, siapakah
kita sebenarnya" bertanya Mahisa Bungalan pula.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Baiklah. Aku akan memberikan beberapa
pesan. Jika ia dipaksa untuk berkata tentang kita, biarlah ia
menyebut kita dari salah satu nama padepokan atau sarang
sekelompok penjahat. Biarlah ia menyebut kita sebagai
pencuri-pencuri yeng memang hidup kita dari segala
macam kejahatan" "Dengan demikian, maka ia pun akan dikenakan
hukuman" sahut Mahisa Bungalan.
"Ya. Dan adalah tugas kita untuk membebaskannya"
sahut Mahisa Agni. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi
sebenarnyalah bahwa ia menaruh iba kepada Ki Daredu
jika ia harus mengalami kesulitan karena tugas-tugas yang
sebenarnya bersumber pada dirinya yang telah melibatkan
din dengan sadar, ke dalam persoalan Pangeran Kuda
Padmadata dengan keluarganya.
Namun agaknya Mahisa Agni dan Witantra yakin,
bahwa mereka akan dapat melindungi Ki Daredu pada
saatnya meskipun untuk satu dua hari, mungkin orang itu
harus menjalani penahanan atas dirinya oleh para pengawal
dari istana Pangeran Kuda Padmadata.
Ketika saatnya tiba, maka Mahendra yang telah
menghubungi Mahisa Agni itupun segera mendapatkan
kawannya Mereka bersama-sama telah pergi menghadap
Pangeran Kuda Rukmasanti yang masih berada di istana
Pangeran Kuda Padmadata. Dalam pada itu Mahisa Agni ternyata agak lambat
bekerja pada hari itu. Ketika ia datang dengan membawa
sekeranjang rumput, wajahnya kelihatan gelisah.
"Kau memang gila" geram kawannya yang masih muda,
"jika kita dimarahi karena kelambatan ini, maka semua itu
adalah karena salahmu"
"Aku sedang sakit" jawab Mahisa Agni, "biasanya aku
tidak merasa seperti sekarang ini. Nafasku sesak, dan
badanku menggigil kedinginan"
"Persetan" geram kawannya yang masih muda, "itu
pertanda bahwa kau akan mati"
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi di belakang
kandang, ia duduk dengan nafas yang terengah-engah.
"Jika kau mau mati, matilah" geram kawannya yang
masih muda. Mahisa Agni tidak menjawab. Namun ia
mulai menghitung waktu. Saatnya telah tiba, bahwa
Mahendra akan datang menghadap.
Sebenarnyalah, bahwa sesaat kemudian, dua orang tamu
telah memasuki halaman. Seorang dari mereka adalah
Mahendra. Mahisa Agni yang kemudian pergi ke seketeng, melihat
kedua orang itu menambatkan kudanya di sudut halaman
samping. Kemudian lewat seorang pengawal, kedatangan
mereka diberitahukan kepada salah seorang pemimpin
pengawal yang dengan sengaja memanggil pedagang
perhiasan itu memasuki istana.
Kedua orang itu kemudian diterima di serambi samping,
menghadap ke gandok. Sejenak mereka harus menunggu.
Baru kemudian salah seorang pemimpin pengawal yang
memanggil mereka datang, bersama Pangeran Kuda
Rukmasanti, telah datang menemui mereka.
Mahisa Agni tidak dapat menyaksikan pembicaraan itu.
Namun ia kemudian duduk di bawah sebatang pohon
perdu. Dari tempatnya ia dapat melihat sudut serambi itu.
Sementara itu, maka seorang perwira pengawal itupun
kemudian mengatakan kepada Mahendrabahwa Pangeran
Kuda Rukmasantilah yang sebenarnya memerlukan
perhiasan itu. "Hamba membawa beberapa macam perhiasan yang
sangat bagus" berkata Mahendra tanpa prasangka.
"Aku memang ingin yang paling bagus yang kau punyai"
jawab Pangeran itu. "Cobalah, perlihatkan semua perhiasan yang kau bawa"
minta Pangeran itu. Sejenak kemudian, Mahendra pun telah mengeluarkan
sebuah perhiasan yang dibawanya di dalam sebuah peti
kayu kecil. Perhiasan yang memang sangat bagus dan
mahal. Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti mengamat-amati
perhiasan itu. Ia memang kurang memahami, apakah
perhiasan-perhiasan itu adalah perhiasan puteri yang telah
di curi orang dari bilik penyimpanannya.
"Tunggulah" berkata Pangeran itu, "aku akan
memanggil orang yang akan memakainya. Mungkin ia
dapat memilih" "Silahkan Pangeran, silahkan. Hamba akan menunggu
dengan senang hati" desis Mahendra.
Namun Mahendra itu menjadi berdebar-debar ketika ia
diluar sadarnya berpaling ke halaman. Dilihatnya sekilas,
dua orang pengawal berjalan hilir mudik di muka serambi
itu. "Mereka telah bersiap untuk menangkapku" berkata
Mahendra di dalam hatinya.
Sementara itu, sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda
Padmadata telah hadir pula bersama isterinya dan kedua
orang pengawal yang tidak pernah terpisah dari padanya.
Dengan berdebar-debar isteri Pangeran Kuda Padmadata
itu memperhatikan perhiasan yang dibawa oleh Mahendra
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Wajahnya sejenak kemudian nampak menegang.
Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, "Ini adalah
perhiasanku sendiri yang telah hilang dicuri orang"
"Ha?" Pangeran Kuda Padmadata dan adiknya
terbelalak. Meskipun dugaan itu telah ada, namun mereka
terkejut juga mendengar pengakuan itu.
Dalam pada itu Mahendra pun menjadi pucat. Dengan
suara gemetar ia berkata, "Apa maksud tuan puteri?"
Sebelum puteri itu menjawab, maka Pangeran Kuda
Padmadata telah mendahului, "Barang-barang itu adalah
barang kami sendiri"
"Bagaimana mungkin tuanku" berkata Mahendra.
"Letakkan semuanya" berkata Pangeran Kuda
Rukmasanti, "ternyata kami menemukan apa yang kami
cari" Mahendra menjadi bingung. Namun sebenarnyalah
bahwa segalanya itu telah diharapkannya terjadi.
Ketika puteri itu sudah yakin, bahwa barang-barang itu
adalah miliknya yang hilang, maka pemimpin pengawal
itupun kemudian berkata, "Kau telah salah memilih
pembeli Ki Sanak. Dengan demikian, kami terpaksa
menangkapmu" "Tetapi aku tidak bersalah. Aku tidak mencuri" berkata
Mahendra. "Mungkin memang bukan kau sendiri yang
melakukannya" berkata kawannya, "tetapi orang lain. Dan
itu memang dapat terjadi sebagai suatu akibat buruk dari
pekerjaan kita" Mahendra memandang kawannya dengan wajah pucat.
Katanya, "Apakah kau dapat menolongku?"
"Jika terbukti kau bersalah, Bagaimana mungkin aku
dapat menolongmu" berkata pedagang itu.
"Tinggalkan orang ini disini" berkata salah seorang
pemimpin pengawal itu, "kami akan menyelesaikan
persoalan sendiri, tanpa menyerahkan kepada penguasa di
Kediri, apalagi orang yang dikirim oleh raja Singasari itu"
"Baiklah" sahut pedagang kawan Mahendra itu, "aku
akan mohon diri" "Jangan kau kabarkan kepada siapapun sebelum
segalanya menjadi jelas"
Pedagang itupun kemudian minta diri. Ia sama sekali
tidak dapat membantu, betapapun Mahendra minta
kepadanya. Sepeninggal orang itu, maka para pengawal di istana itu
telah membawa Mahendra ke dalam ruang khusus. Di
hadapan Pangeran Kuda Padmadata dan Pangeran Kuda
Rukmasanti, ia ditanya dengan tekanan, dari manakah ia
berhasil mendapatkan barang-barang itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Mahendra mengatakan
bahwa barang-barang itu telah dibelinya dari orang yang
tidak dikenal. "Tuanku, hamba tidak tahu sama sekali, bahwa barangbarang
ini adalah barang curian. jika hamba tahu, apakah
hamba gila, telah menawarkan barang-barang ini kemari"
berkata Mahendra. "Mungkin kau memang tidak mengerti" desak seorang
pengawal, "tetapi kau tentu tahu, siapakah yang menjual
barang-barang ini. Kami tidak percaya bahwa kau tidak
mengenalnya sama sekali"
"Hamba tidak ingat lagi" desis Manendra. Tetapi
suaranya tenggalam dalam geram pemimpin pengawal itu
sambil mencengkeram pundaknya, "Jangan bohong.
Mungkin kau tidak bersalah. Tetapi jika kau berbohong
tentang orang yang menyerahkan perhiasan ini kepadamu,
maka kau akan mendapat hukuman yang lebih berat"
Mahendra menjadi gemetar. Sambil memandang pemimpin
pengawal itu ia berkata, "Jangan tuan. Aku memang tidak
bersalah" "Jika asal dari barang-barang ini dapat diketemukan, kau
memang tidak bersalah. Tetapi jika orang yang menjual
barang-barang ini kepadamu tidak dapat diketemukan,
maka kau dapat kami anggap sebagai orang yang telah
memasuki istana ini dan mencuri beberapa barang
perhiasan yang sangat mahal harganya"
Mahendra menjadi ketakutan. Namun kemudian
katanya, "Tetapi tuan. Jika hamba menunjukkan mereka,
apakah itu berarti bahwa hamba akan dibebaskan"
"Jika terbukti bahwa kau tidak bersalah karena ada orang
lain yang dapat kami tangkap, maka kau akan kami
bebaskan dari segala tuduhan" geram pengawal itu.
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah tuan. Aku akan mengatakannya. Tetapi
aku mohon dapat dibebaskan dan aku akan segera pulang
ke rumahku" "Sebut, siapakah yang telah manjual barang-barang ini
kepadamu he?" bentak pengawal itu.
Sejanak Mahendra ragu-ragu. Nemun kemudian
katanya, "Aku membeli barang ini dari seorang bernama
Gantar" "Gantar" ulang pengawal itu hampir berbareng dengan
desis dari bibir Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi
Pangeran itu kemudian mengerutkan keningnya. Pekatik
yang telah membisikkan sesuatu kepadanya itu bernama
Damar. Bukan Gantar. Pengawal itupun kemudian bertanya dengan kasar
kepada Mahendra, "Dimana rumah orang yang bernama
Gantar itu" "Rumahnya aku tidak tahu pasti tuan. Tetapi
sesungguhnyalah aku tidak tahu pasti. Aku bertemu dengan
orang itu dalam perlawatan kerja yang selalu aku lakukan.
Menurut pengakuannya, untuk sementara ia berada di
Kediri, di rumah seorang pekatik yang bernama Daredu"
"Jangan menyebut nama-nama yang dapat
membingungkan kami" berkata pengawal itu.
"Tuan. Sebenarnyalah kami tidak mengerti yang
sebaiknya aku lakukan. Tetapi seandainya tuan
memerlukan, maka biarlah aku menunjukkan tempat
tinggal orang itu" berkata Mahendra.
"Kau tidak berbohong?" bertanya pengawal itu.
"Aku berjanji. Sudah tentu aku tidak berani berbohong,
karena aku berhadapan dengan tuan. Apalagi aku ingin
agar aku dibebaskan dari segala tuduhan yang akan dapat
menjerat aku" berkata Mahendra dengan gagap.
Salah seorang pemimpin pengawal yang memeriksa
Mahendra itupun kemudian berpaling kepada Pangeran
Kuda Rukmasanti sambil bertanya, "Apakah hamba dapat
melakukannya Pangeran?"
Pangeran Kuda Rukmasanti termangu-mangu sejenak
Namun kemudian katanya, "Lakukanlah. Bawalah
pengawal, jika sewaktu-waktu kau perlukan"
Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata kepada
Mahendra, "Antarkan aku kepada orang yang kau maksud"
Mahendra pun kemudian dengan langkah gemetar
meninggalkan ruang itu diikuti oleh pengawal yang telah
memeriksanya bersama dua orang pengawal yang lain,
sementara pedagang yang membawanya masih tetap tinggal
di rumah Pangeran itu. Dengan ragu-ragu Mahendra pun kemudian menerima
kendali kudanya dari seorang pengawal yang mengikutinya
sambil membentak, "Kita berkuda. Cepat"
Mahendra menerima kendali kuda itu. Namun ketika ia
akan meloncat naik, pengawal itu membentaknya sekali
lagi, "He, agaknya kau orang yang tidak mengerti unggahungguh"
Mehendra termangu-mangu. Namun akhirnya ia
mengerti bahwa ia tidak boleh berkuda di halaman.
Demikianlah, maka bersama tiga orang pengawal
Mahendra pergi ke rumah Ki Daredu.
Ternyata Witantra dan Mahisa Bungalan telah siap untuk
ditangkap dan dibawa ke rumah Pangeran Kuda
Padmadata. Meskipun ketika pemimpin pengawal itu
bertanya kepadanya, mula-mula ia telah mengingkari.
"Ikutilah kami" berkata pemimpin pengawal itu, "bukan
kami yang akan memutuskan segala sesuatu. Kalian akan
kami bawa ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Jika
kalian memang tidak bersalah, maka kalian akari segera
dibebaskan" Ketika Witantra masih menolak, maka kesabaran
pengawal itu pun hampir sampai kebatasnya, sehingga
karena itu ia menggeram, "Kau bersedia atau tidak. Aku
mendapat wewenang untuk memenggal lehermu"
Witantra dan Mahisa Bungalan tidak membantah lagi.
Meskipun darah Mahisa Bungalan rasa-rasanya telah
mendidih, namun ia harus mengikuti rencana yang telah
disusun sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun tidak
menyanggah lagi. "Kami tidak bersalah" berkata Witantra, "kami mohon
keadilan kepada Pangeran Kuda Padmadata"
Witantra dan Mahisa Bungalan pun menyiapkan kuda
mereka pula. Bersama-sama dengan para pengawal dan
Mahendra, merekapun telah pergi ke rumah Pangeran
Kuda Padmadata. Samentara itu, Mahisa Agni masih belum meninggalkan
istana itu. Kepada gamel yang memelihara kuda Pangeran
itu ia mengatakan bahwa tubuhnya terasa kurang enak.
Karena itu, maka ia akan tinggal beberapa saat lagi,
sehingga badannya tidak lagi menggigil dan kuat untuk
berjalan kembali ke rumahnya.
"Singgahlah ke gubugku di sudut kebun itu" berkata
gamel itu. Mahisa Angi termangu-mangu sejenak. Namun
katanya, "Biarlah aku duduk di belakang kandang ini
barang sejenak. Mungkin badanku akan segera terasa baik"
"Di pondokku kau akan mendapat minuman panas"
berkata gamel itu pula. Akhirnya Mahisa Agni singgah ke rumah gamel itu
sambil mengucapkan banyak terima kasih.
Sementara itu, Ki Daredu pun menjadi sangat gelisah. Ia
sudah mendengar segala rencana yeng sedang dilakukan
oleh Mahisa Agni. Iapun percaya bahwa Mahisa Agni akan
dapat menyelesaikan segala persoalan dan sekaligus
melindunginya, justru karena ia tahu, siapakah Mahisa
Agni itu. Namun demikian, jika pada saatnya ia pun akan diambil
pula, maka ia menjadi ragu-ragu, apakah ia akan dapat
tetap merahasiakan segalanya.
"Tetapi aku masih belum diambil sekarang" berkata Ki
Daredu di dalam hatinya, "mungkin tuanku Mahisa Agni
dapat menyingkirkan keterlibatanku di dalam persoalan ini,
atau para pengawal istana Pangeran Kuda Padmadata
menganggap bahwa aku tidak terlibat kecuali memberikan
tempat bagi mereka" Dalam pada itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan
telah dibawa menghadap Pangeran Kuda Rukmasanti dan
Pangeran Kuda Padmadata. Seperti yang sudah disepakati, maka pada saat yang
demikian, Ki Wastu sudah berada di depan istana itu pula.
Pada saat tertentu ia akan memasuki halaman dan
menyatakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata tentang
dirinya, anak perempuan dan cucunya laki-laki. Namun
untuk melakukannya, ia masih harus menunggu isyarat dari
salah seorang yang telah memasuki istana itu, meskipun
sebagai tangkapan. "Jika rencana kita gagal sama sekali" pesan Witantra
kepada Ki Wastu, "maka adalah menurut
kebijaksanaanmu. Kau dapat mengambil jalan terdekat,
meskipun akibatnya belum dapat dipastikan. Kau dapat
menghadap penguasaan Singasari di Kediri dengan
menyebut nama Mahisa dan Witantra. Tetapi sejauh dapat
kita lakukan, kita tidak akan melibatkan siapapun ke dalam
persoalan ini, apalagi orang-orang yang memegang
kekuasaan" Karena itulah, maka Ki Wastu pun dengan penuh
kewaspadaan berada tidak jauh dari pintu gerbang Istana
Pangeran Kuda Padmadata. Sebagai seorang perantau ia
duduk bersandar sebatang pohon untuk melepaskan
lelahnya. Ketika Witantra dan Mahisa Bungalan menghadap,
maka Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi kecewa.
Yang datang memang bukan Damar, tetapi orang lain yang
menyebut orang lain yang menyebut dirinya bernama
Gantar dengan seorang anak muda yang bernama
Bungalan. Pemimpin pengawal yang membawa mereka menghadap
itupun kemudian dengan garang mulai bertanya tentang
perhiasan-perhiasan itu. Ia bertanya dengan teliti dan
kadang-kadang dengan keras dan kasar.
Dalam pada itu, agaknya Pangeran Kuda Rukmasanti
tidak sabar lagi menunggu. Jawaban Witantra dan
Bungalan yang berbelit-belit membua Pangeran Muda itu
tidak telatan. Tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Dengan garangnya ia
meremas rambut Witantra sambil berteriak, "Kau tidak
dapat ingkar lagi Pedagang itu sudah mengatakan, bahwa ia
mendapat barang itu dari padamu. Nah, kau tinggal
mengakui, bahwa kau telah mencuri barang-barang ini. Kau
memanjat istana ini dan membuka atapnya. Kau masuk
dengan mempergunakan tampar atau apapun juga. Kau
keluar juga lewat lubang di atap itu. Karena kau tergesagesa,
maka beberapa jenis perhiasan telah terjatuh di tanah"
Witantra tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja
Pangeran yang marah itu tiba-tiba saja telah memukul
wajahnya sambil berteriak, "Kau harus mengakui" lalu
katanya kepada Mahendra, "ha, bukankah kau dapatkan
barang-barang itu dari orang ini"
"Hamba tuanku, " jawab Mahendra.
Sementara itu Witantra telah terbanting jatuh ketika
tangan Pangeran Kuda Rukmasanti mengenai wajahnya.
Dengan suara gemetar ia berkata, "Ampun tuanku. Hamba
benar-benar tidak tahu"
Belum lagi suara itu selesai diucapkan, kaki Pangeran
Kuda Rukmasanti telah mengenai kepala Witantra. Sekali
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi ia berteriak, "Aku dapat membunuhmu dan anak muda
itu disini. He, anak muda, apakah kau juga ingkar" Mahisa
Bungalan tidak segera menjawab. Yang kemudian berdebardebar
adalah justru Mahendra dan Witantra. Jika Mahisa
Bungalan tidak dapat mengendalikan dirinya, maka
mungkin sekali rencana meraka harus dirubah dengan tibatiba.
Namun dalam pada itu, ketika Pangeran Kuda
Rukmasanti mendekati Mahisa Bungalan, maka Pangeran
Kuda Padmadata berkata, "Biarlah aku bertanya
kepadanya" Kedua pengawalnya yang selalu dekat dengan Pangeran
itupun berusaha mencegahnya. Tetapi Pangeran itu sudah
berdiri dan melangkah mendekati Witantra.
"Ki Sanak" berkata Pangeran Kuda Padmadata, "bukan
maksud kami untuk menyakiti Ki Sanak. Tetapi kami justru
ingin menempatkan persoalan ini pada keadaan yang
sewajarnya. Cobalah katakan sesuatu tentang perhiasanperhiasan
itu" "Bukanlah pedagang perhiasan itu mendapatkan baranganrang
itu daripadamu?" bertanya Pangeran itu.
Seolah-olah diluar sadarnya Witantra mengangguk
sambil nenjawab, "Hamba tuanku"
"Nah, demikianlah Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu,
kau telah mendapatkan barang itu dari pihak lain pula. Cola
katakan, apakah kau mendapatkan dari seseorang, atau kau
dapatkan dari tempat dan dengan cara lain. Adalah
mustahil bahwa barang-barang itu akan dapat berkisar
sendiri dari tempat penyimpanannya di dalam bilik itu"
Witantra menarik mafas dalam-dalam, Namun
kemudian ia membungkukan badannya dalam, sehingga
wajahnya hampir menyentuh lantai. Katanya, "Ampun
tuanku. Hamba memang mendapatkan barang-barang itu
dari orang lain. Hamba sama sekali tidak mencuri, apalagi
di istana tuanku. Hamba sama sekali tidak berani dan tidak
akun dapat melakukannya"
Pangeran Kuda Padmadata menarik keningnya.
Kemudian ia bertpnya lagi, "Apakah kau dapat menyebut,
siapakah yang telah menyerahkan barang-barang itu
kepadamu" Witantra termangu-mangu. Sebagai seorang yang
bernama Gantar ia dapat diperlakukan apa saja oleh orang
orang yang berkuasa di istana Pangeran Kuda Padmadata
itu. Namun sekilas ia memang sudah melihat, bahwa
kekuasaan Pangeran Kuda Padmadata selalu dibayangi
oleh kekuasaan adiknya yang bernama Pangeran Kuda
Rukmasanti. Namun dalam pada itu, karena ia tidak segera
menjawab, maka Pangeran Kuda Padmadata pun
mendesaknya, "Ki Sanak. Coba berterus teranglah. Atau
barangkali kau anak muda. Apakah kau dapat mengatakan,
siapakah yang telah memberikan atau katakanlah menjual
barang-barang itu kepadamu dan kemudian kau jual kepada
pedagang itu" Perbuatan yang kurang baik itu pada
akhirnya memang harus dipertanggung-jawabkan.
Pencurian yang telah dilakukan di istana ini memang harus
dapat dibongkar. Karena itu, katakanlah, agar kau tidak
dibebani oleh dosa dan kesalahan mereka yang sudah
melakukannya itu" Witantra termangu-mangu sejenak. Sekilas ia
memandang Mahendra, Mahisa Bungalan dan sebentar lagi
Mahisa Agni. Diluar sadarnya ia telah memperbandingkan
kekuatan orang-orang yang berada di dalam bilik itu.
Apakah pada suatu saat yang tepat, mereka akan dapat
menguasai orang-orang yang telah membayangi kekuasaan
Pangeran Kuda Padmadata, dan yang telah sampai hati
memerintahkan orang-orang upahan untuk membunuh
isteri dan anak laki-lakinya.
"Cobalah" desak Pangeran Kuda Padmadata,
"katakanlah" "Orang itu harus dipaksa" geram Pangeran Kuda
Rukmasanti" "Tidak Pangeran" berkata Witantra dengan serta merta,
"biarlah hamba mengatakannya. Barangkali itu memang
lebih baik dari pada hamba sendiri yang harus mengalami
kesulitan karena barang-barang itu"
"Nah" desis Paneeran Kuda Padmadata, "katakanlah"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia
berharap akan berhasil dengan rencana yang telah
disusunnya bersama Mahisa Agni. Karena itu, maka
katanya kemudian, "Tuanku. Hamba mendapat barangbarang
itu dari hamba istana ini. Menurut keterangannya,
barang-barang itu memang akan dijualnya. Tetapi adalah
bodoh sekali bahwa pedagang itu telah menawarkan
barang-barang perhiasan itu justru kemari"
"Siapakah hamba istana itu?" Pangeran Kuda
Rukmasanti berteriak. "Ampun tuanku. Namanya Damar"
"Damar" hampir berbareng beberapa orang telah
mengulang Namun justru Pangeran Kuda Padmadata lah
yang paling keras. Kemudian katanya, "Orang itulah yang
aku curigai ketika aku bertanya kepada setiap orang-orang
menghamba di istana ini. He, apakah kaliah tidak ingat?"
Kedua pengawalnya diluar sadarnya telah mengangguk
sambil menjawab, "Ya ingat tuanku"
"Panggil orang itu kemari" Pangeran Kuda Padmadata
pun menjadi garang. Seolah-olah ia telah mengalami
perubahan yang tiba-tiba dari dalam dirinya.
Beberapa orang yang berada di dalam bilik itu termangumangu.
Namun mereka bagaikan terbangun ketika mereka
mendengar sekali lagi Pangeran Kuda Padmadata berteriak,
"Panggil orang itu kemari"
"Tetapi, dimanakah sekarang orang itu" bertanya
pengawalnya. "Kau dungu. Bukankah kau mendengar, bahwa ia
adalah seorang pekatik?" bentak Pangeran Kuda
Padmadata. Orang-orang yang semula selalu membayanginya itu
tiba-tiba saja telah berada dibawah pengaruhnya. Karena
itu, maka salah seorang dari merekapun telah berkata,
"Baiklah. Hamba akan memanggilnya. Tetapi hamba tidak
tahu, dimana rumahnya"
"Bertanyalah kepada orang-orang yang berhubungan
dengan Kuda-kudaku itu" jawab Pangeran Kuda
Padmadata. Salah seorang dari kedua pengawal yang selalu mengikut
kemana saja Pangeran itu pergi, dan bahkan kadang-kadang
justru merekalah yang memerintah, telah dengan tergesagesa
pergi kebelakang untuk mencari seseorang yang
bernama Damar. Sementara itu, di dalam bilik itu pun telah terjadi
kegelisahan. Ketika Mahendra berkisar, maka pemimpin
pengawal itu telah membentaknya, "Jangan berusaha lari"
"Tidak tuan. Aku tidak akan lari" jawab Mahendra.
Sementara itu, maka salah seorang pengawal yang
mencari Mahisa Agni telah mendapat petunjuk, bahwa
orang yang bernama Damar itu berada di rumah gamel
kuda di sudut bagian belakang dari halaman istana itu.
"Ikut aku" perintah pengawal itu.
"Maksud tuan" bertanya Mahisa Agni.
"Ikut aku" pengawal itu membentak.
Mahisa Agni menjadi ketakutan, sementara gamel itupun
menjadi berdebar-debar. 06_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
"Apa yang terjadi tuan?" bertanya gamel itu.
"Kau tidak turut campur. Kecuali jika ternyata kau
terlibat pula dalam persoalan ini, maka kau akan
digantung" bentak pengawal itu.
"Aku tidak mengerti" desis gamel itu. Pengawal itu sama
sekali tidak menyahut. Tetapi ditariknya Mahisa Agni
dengan kasarnya. "Ia baru sakit tuan" desis gamel itu.
"Aku tidak peduli. Jika ia akan mati, biarlah ia mati"
geramnya. Mahisa Agni tidak melawan. Ia mengikuti saja kemana
ia di tarik dengan kasar. Namun demikian, ia masih juga
berdebar-dobar, apakah ia akan dapat menyelesaikan
seluruh rencananya dengan baik.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni yang bernama
Damar itupun telah dihadapkan pula kepada Pangeran
Kuda Padmadata yang telah menjadi garang. Ia tidak lagi
menghiraukan orang-orang yang selama itu telah
memagarinya dengan kekuasaan dan dan ancaman.
Ketika Mahisa Agni kemudian dibawa masuk kedalam
bilik itu, maka dengan serta merta Pangeran Kuda
Padmadata berkata, "Nah, apakah kalian sekarang percaya,
bahwa orang ini memang pantas dicurigai?"
Tidak ada seorangpan yang menjawab. Mereka memang
harus mengakui bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah
mencurigai orang yang bernama Damar itu.
"He, hamba yang hina" berkata Pangeran itu, "cobalah
jawab pertanyaanku dengan sebenarnya. Disini hanya ada
aku, adik kandungku yang baik, seorang pemimpin pasukan
pengawal, dua orang pengawalku yang paling setia. Diluar
ada dua orang pengawal yang mengamati peristiwa ini
dengan seksama dibawah perintah pemimpin pengawal ini.
Dan beberapa orang lain berpencaran diluar"
"Apa yang kau katakan?" potong Pangeran Kuda
Rukmasanti. "Aku memberikan gambaran kepadanya, bahwa ia tidak
akan dapat ingkar menghadapi kenyataan ini" jawab
Pangeran Kuda Padmadata. Lalu katanya kepada Mahisa
Agni, "sekarang, jawablah. Apakah benar kau telah
memanjat dinding istana ini, memasuki salah satu biliknya
dan mengambil perhiasan itu?"
"Hamba Pangeran. Hamba telah melakukannya" jawab
Mahisa Agni dengan tenang. Keterangan Pangeran Kuda
Padmadata agaknya telah memberikan gambaran yang
lebih jelas, siapakah yang bakal mereka hadapi. Dan
agaknya Pangeran itupun siap menghadapi segala
kemungkinan Jawaban Mahisa Agni telah membuat orang-orang-yang
berada di dalam bilik itu berdebar-debar. Pemimpin
pengawal itupun kemudian meloncat maju dan dengan
kasar merenggut rambut Mahisa Agni, "Jadi kaulah
mencuri di istana itu?"
Mahisa Agni tidak mengeluh. Ia tidak berteriak kesakitan
seperti orang yang disebut bernama Damar. Ia membiarkan
rambutnya ditarik oleh pemimpin pengawal itu.
Namun Pangeran Kuda Padmadata yang
membentaknya, "Aku sedang bertanya kepadanya.
Lepaskan" "Ia telah menghina kami" jawab pemimpin pengawal
itu. "Lepaskan" "Biarkan ia melakukan tugasnya" potong Pangeran
Kuda Rukmasanti, "kau tidak perlu memerintahkan apapun
juga kepadanya" "Aku Pangeran Kuda Padmadata" tiba-tiba Pangeran itu
menjadi marah, "aku berkuasa di dalam istanaku. Aku akan
memeriksa orang ini"
Kata-kata Pangeran itu ternyata masih juga berpengaruh.
Namun demikian kedua pengawalnya mendekatinya. Salah
seorang dari mereka berdesis, "Pangeran harus mengingat
kedudukan Pangeran. Hamba akan membantu Pangeran
apapun juga" Tetapi jawabannya benar-benar mengejutkan, "Aku tidak
memerlukan kalian lagi. Aku akan memeriksa orang ini"
Kedua pengawal itu termangu-mangu. Namun ternyata
Pangeran Kuda Rukmasanti berkata, "Biarkan ia
melakukannya" Kedua pengawal itu melangkah surut. Sementara
Pangeran Kuda Padmadata memandangi seisi ruangan itu
berganti-ganti. Adiknya, kedua pengawalnya, pemimpin
pengawal, kemudian orang-orang yang duduk bersimpuh di
dalam bilik itu. Pedagang perhiasan, dua orang perantara
yang menerima barang-barang itu dan menyerahkan kepada
pedagang itu. Kemudian pekatik yang telah mengaku
dengan terus terang mancuri barang-barangnya, tetapi yang
telah berbisik kepadanya, bahwa ia adalah petugas sandi
dari Singasari. Sejenak Pangeran Kuda Padmadata mengurai keadaan.
Wajah-wajah orang yang duduk bersimpuh itu akhirnya
memberikan keyakinan kepadanya. Maka katanya
kemudian, "Damar. Katakan yang sebenarnya, kenapa kau
mencuri di istana ini?"
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Kemudian ia justru
bertanya, "Tuanku, apakah hamba boleh mengatakan yang
sebenarnya" Disini ada hamba, dan tiga orang yang
bersangkut paut dengan hamba dan tugas hamba"
"Itu sudah cukup. Katakanlah"
Orang-orang yang mendengar pembicaraan itu menjadi
heran. Namun merekapun segera mendengar Mahisa Agni
menjawab pertanyaan Pangeran Kuda Padmadata,
"Pangeran, hamba memang mencuri di istana ini. Belum
lama hamba mengabdikan diri di istana sebagai seorang
pakatik" "Untuk apa kau mencuri?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata. Pertanyaan itu memang terdengar aneh di telinga
adiknya dan para pengawal yang ada di dalam bilik itu.
"Ampun tuanku. Hamba mencuri karena hamba
didorong oleh keinginan hamba untuk mengetahui isi istana
ini. Bukannya karena hamba ingin memiliki perhiasan itu.
Itulah sebabnya, maka hamba telah berusaha untuk dapat
menyampaikan perhiasan yang telah hamba curi itu
kembali ke istana ini. Kemudian hamba memang berharap
untuk dipanggil bersama-sama seperti pada aat ini"
"Bagus" wajah Pengeran Kuda Padmadata menjadi
cerah, "aku mengerti. Aku mendengar pesan yang kau
berikan. Dan aku sekarang memahami apa yang kau
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lakukan" "Apa yang telah dilakukannya" geram Pangeran Kuda
Rukmasanti. "Adinda" berkata Pangeran Kuda Padmadata, "kau
adalah adikku yang baik. Yang memberikan kenangan yang
manis di masa kanak-kanak kita, karena kita berdua berada
dalam asuhan yang sama. Kita selalu bermain bersama,
tidur dan makan bersama, meskipun kita kadang-kadang
juga bertengkar. Tetapi pertengkaran itu telah memuncak
justru saat kita sudah menjadi semakin tua. Nah,
bertanyalah kepada orang-orang ini, apakah yang
sebenarnya mereka kehendaki"
Wajah Pangeran Kuda Rukmasanti menjadi merah.
Dengan garang ia memandangi Mahisa Agni dan orangorang
lain yang masih duduk bersimpuh. Dengan lantang ia
bertanya, "Apakah maksudmu sebenarnya. Kau tidak dapat
berbuat gila disini. Aku dapat memerintahkan beberapa
pengawal untuk bertindak"
Mahisa Agni memandang Pangeran Kuda Rukmasanti
yang marah dan agak kebingungan itu. Ketika kemudian ia
memandang pemimpin pengawal yang garang dan
kemudian kedua orang yang selalu membayangi Pangeran
Kuda Padmadata. Maka Mahisa Agni pun kemudian
berketetapan hati untuk segera menyampaikan maksudnya,
dengan kesiagaan sepenuhnya untuk menghadapi segala
kemungkinan akibat dari sikap dan perbuatannya itu.
Sementara itu Mahisa Bungalan telah menjadi semakin
gelisah. Ia hampir tidak sabar lagi dengan sikap Mahisa
Agni yang berkepanjangan.
Namun Mahisa Agni masih juga berkata, "Tuanku
Pangeran Kuda Rukmasanti. Sudah sejak lama hamba
mendengar ceritera tentang seorang Pangeran yang
kehilangan dirinya sendiri. Hamba tidak begitu jelas
persoalannya. Namun yang hamba ketahui, bahwa seorang
yang tidak bersalah, telah dikejar-kejar oleh beberapa orang
yang tidak berperi-kemanusiaan untuk dibunuh dan
dihapuskan jejaknya"
"Gila. Apakah yang kau katakan itu" Aku bertanya
kepadamu, dalam hubungan hilangnya perhiasan-perhiasan
itu dari istana kakanda Pangeran Kuda Padmadata" teriak
Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Hamba juga berceritera tentang perhiasan dan kenapa
hamba telah mancurinya. Sebenarnyalah bahwa hamba
sekedar ingin berhubungan langsung dengan Pangeran
Kuda Padmadata" jawab Mahisa Agni, "hamba agaknya
telah berhasil menyatakan kepada Pangeran, bahwa hamba
datang untuk melihat keadaan yang timpang di dalam
istana ini" "Apa hubunganmu dengan peristiwa di istana ini?"
bertanya Pangeran Kuda Rukmasanti dengan garang.
"Hamba adalah orang-orang yang tidak dangan sengaja
telah terlibat dalam persoalan keluarga Pangeran Kuda
Padmadata. Hambalah yang telah menyelamatkan seorang
perempuan dan anak laki-lakinya yang mempunyai sangkut
paut dan hubungan darah dengan Pangeran Kuda
Padmadata. Nah, sekarang hamba ingin bertanya, siapakah
sebenarnya yang telah memerintahkan membunuh
perempuan dan anak laki-lakinya itu?"
"Nah" sahut Pangeran Kuda Padmadata, "baru sekarang
aku pasti. Aku memang sudah memperhitungkan, bahwa
isteri dan anakku itu akan menjadi sasaran kedengkian
kalian" "Hamba telah berhasil menyelamatkan mereka" berkata
Mahisa Bungalan yang tidak sabar.
"Persetan" geram Pangeran Kuda Rukmasanti, "apakah
kalian memang orang-orang gila yang dengan sengaja
membunuh diri?" "Sabarlah Pangeran" berkata Witantra, "memang agak
sulit untuk menerima peristiwa ini. Tetapi hamba pun ingin
bertanya, bagaimana dengan tuan puteri yang barangkali
sekarang berada di istana ini pula?"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Ia bukan isteriku yang sebenarnya. Ia hadir
bukan atas kehendakku. Aku sudah dibayangi oleh
kekuasaan yang tidak kasat mata, tetapi tidak dapat aku
tolak. Orang-orang yang membayangiku telah dapat
menunjukkan bukti bahwa mereka telah menguasai isteri
dan anakku yang aku tinggalkan di padukuhan. Sehingga
mereka dengan demikian dapat memaksaku berbuat apa
saja. Aku tidak mencemaskan umurku sendiri, tetapi aku
tidak akan dapat membiarkan itu"
"Cukup kakanda" potong Pangeran Kuda Rukmasanti,
"aku masih tetap pada pendirianku. Aku tidak akan
mencabut keputusanku untuk membunuh perempuan dan
anak laki-laki itu jika kau tidak menurut segala perintahku"
"Aku sudah berkata adinda, jika kau ingin memiliki
segala harta dan kekayaan ini, ambillah. Tetapi jangan kau
korbankan perempuan dan anak yang tidak bersalah itu"
jawab Pangeran Kuda Padmadata.
"Aku tidak peduli" geram adiknya, lalu, "He kalian
dapat bertindak apa saja yang kalian anggap baik. Juga
terhadap orang-orang yang tidak tahu diri ini"
"Tunggu" berkata Mahisa Agni, "tuanku jangan tergesagesa
menjatuhkan perintah. Sudah hamba katakan, bahwa
perempuan dan anak laki-laki itu telah berhasil dibebaskan
oleh kemenakanku itu. Kalian tidak akan dapat
mempergunakannya lagi untuk memaksakan kehendak
kalian. Bahkan ada disini pula, ayah perempuan itu, yang
telah berusaha menyelamatkan anaknya dengan segenap
kemampuan yang ada padanya"
"Siapa?" bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
"Ki Wastu" jawab Mahisa Agni.
"Ki Wastu ada disini?" desis Pangeran Kuda Padmadata.
"Persetan" geram Pangeran Kuda Rukmasanti, "jangan
percaya. Kakanda. Jika kakanda masih mencintai
perempuan padukuhan itu dan anaknya, jangan mencoba
berbuat sesuatu yang akan dapat memperpendek umurnya"
"Jangan cemas tuanku" potong Mahisa Bungalan,
"hamba telah membebaskannya dengan tangan hamba.
Dengan tangan ayah hamba dan paman-paman hamba"
"Siapa ayahmu?" bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
"Ayah hamba adalah pedagang itu. Yang tuanku
tangkap karena ia telah membawa perhiasan yang memang
diambil oleh paman Mahisa Agni"
"He, apa yang kau katakan" potong Mahisa Agni.
"O, maksudku, paman Damar"
"Katankanlah. Katakanlah nama kalian yang
sebenarnya" minta Pangeran Kuda Padmadata, "permainan
memang harus berakhir. Aku tidak akan
mempertimbangkan nyawaku. Tetapi bahwa isteri dan
anakku sudah kalian selamatkan, maka aku tidak akan
takut lagi menghadapi segala kenyataan yang paling pahit
sekalipun" ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi dimanakah isteri
dan anakku sekarang"
"Mereka berada di dalam istana Singasari" jawab
Mahisa Agni. Semua orang yang mendengar jawaban itu terkejut.
Pangeran Kuda Padmadata, Pangeran Kuda Rukmasanti,
para pengawal dan dua orang yang selalu membayangi
Pangeran Kuda Padmadata. Dengan nada tinggi Pangeran Kuda Padmadata
bertanya, "Apakah pendengaranku tidak salah" Isteri dan
anakku itu berada di istana Singasari?"
"Ya tuanku. Hambalah yang telah membawa mereka ke
dalam istana. Atas perkenan tuanku Ranggawuni yang
bergelar Wishnuwardhana, Maharaja di Singasari" jawab
Mahisa Bungalan. Pangeran Kuda Padmadata menjadi semakin tegang.
Dengan nada datar ia bertanya, "Siapakah sebenarnya
kalian" "Sudah hamba katakan" jawab Mahisa Agni, "hamba
adalah seorang petugas sandi dari Singasari yang ingin
mengetahui keadaan tuanku yang sebenarnya"
"Bohong" teriak Pangeran Kuda Rukmasanti, "kalian
adalah perampok-perampok yang sudah mempersiapkan
ceritera itu pada saatnya kalian tertangkap. Ayo, bersiaplah
untuk menerima hukumanmu. Bukan saja karena kalian
telah mencuri, tetapi karena kalian telah membuat ceriteraceritera
khayal yang menyangkut nama baik Maharaja di
Singasari yang kini berkuasa pula atas Kediri"
"Tepat" jawab Witantra, "memang kekuasaan Singasari
kini meliputi Kediri. Bahkan Singasari telah meletakkan
seseorang yang menjadi penghubung dari kepentingan
daerah ini dengan kekuasaan di Singasari. Bukan saja saat
ini, tetapi sejak beberapa saat yang lampau. Sejak Sang
Amurwabumi berkuasa di Singasari"
"Apa hubungannya dengan pencurian yang kalian
lakukan. Jangan membual lagi. Kami sudah siap
menangkapmu sama sekali. Bahkan kami sudah siap untuk
membungkam mulutmu dan membual itu. Kalian memang
pantas dihukum gantung di halaman belakang istana ini"
geram Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Jangan tergesa-gesa tuanku" berkata Mahisa Agni,
"hamba telah berhasil melihat kecurangan yang terjadi di
istana ini. Ternyata tuanku, saudara muda Pangeran Kuda
Padmadata telah berkhianat terhadap saudara tua yang
mengasihi tuanku sejak masa kanak-kanak. Tuanku telah
Sampai hati menjatuhkan perintah untuk membunuh
perempuan dan anak yang tidak bersalah itu. karena tuanku
menginginkan segala warisan dan kekayaan kakak kandung
sendiri, termasuk perempuan yang mendapat gelar tuan
puteri Kuda Padmadata, yang tidak lain adalah alat tuanku
semata-mata" "Tutup mulutmu" geram Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Hamba belum selesai" potong Mahisa Agni, "ternyata
bahwa maksud tuanku membunuh keluarga Pangeran Kuda
Padmadata itu gagal. Sementara tuanku masih
mempergunakannya sebagai alat untuk mengikat Kuda
Padmadata, seolah-olah isteri dan anak itu merupakan
piranti yang hidup untuk memaksakan kehendak tuanku,
dengan mengancam keselamatannya. Padahal, pada saat
yang sama tuanku benar-benar telah menjatuhkan perintah
untuk membunuh" "Pengkhianat" geram Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Kalian memang harus dibunuh" teriak Pangeran Kuda
Rukmasanti, "siapkan para pengawal. Orang-orang ini tidak
boleh keluar dari istana"
"Tidak ada gunanya Pangeran" berkata Witantra,
"diluar masih ada kawan kami. Justru ayah dari perempuan
yang akan tuanku bunuh itu"
"Iapun akan ditangkap dan dibunuh" geram Pangeran
itu. "Tidak" jawab Pangeran Kuda Padmadata, "aku akan
berbuat sesuatu apapun akibatnya. Aku tidak takut lagi
bahwa anak dan isteriku akan terbunuh. Sekarang aku
bersedia mati. Tetapi aku tidak akan tunduk lagi kepada
kalian" "Persetan" teriak adiknya, " kalian memang sedang
membunuh diri" Dalam pada itu, pemimpin pengawal itupun segera
bersiap. Demikian pula kedua orang yang selalu
membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Namun dengan
sigapnya Pangeran Kuda Padmadata telah meloncat
mengambil tempat, siap untuk bertempur menghadapi
beberapa orang yang berada di dalam bilik itu.
Sementara itu, terdengar pemimpin pengawal itu
meneriakkan perintah. Sejenak kemudian dua orang
pengawal yang berada diluar pintupun telah meloncat
masuk pula dengan senjata merunduk.
"Kalian tidak akan dapat melarikan diri" geram
Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Aku tidak akan melarikan diri" jawab Pangeran Kuda
Padmadata, "aku akan mati disini. Para hamba yang masih
setia kepadaku dan tidak tahu menahu tentang kekuasaan
bayanganmu akan berceritera kepada setiap orang bahwa
aku mati terbunuh di dalam bilik ini. Kekuasaan Kediri dan
Singasari tantu akan mencari sebab kematianku, sementara
isteri dan anakku sudah selamat"
"Tidak usah orang lain" geram Mahisa Bungalan yang
tidak sabar. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat berdiri,
"biarlah kedua pamanku ini mengusut, persoalan ini.
Keduanya adalah Senopati Agung bagi Singasari. Dan
keduanya pernah berada di Kediri sebagai penghubung
kekuasaan Singasari di sini"
Kata-kata itu telah mengejutkan pula. Sementara Mahisa
Bungalan meneruskan, "Pamanku yang seorang adalah
Mahisa Agni, yang pada permulaan kekuasaan Singasari
atas Kediri telah berada di daerah ini"
"Mahisa Agni" desis Pangeran Kuda Padmadata, "aku
memang pernah mendengar"
"Omong kosong" teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.
Lalu iapun meneriakkan perintah, "bunuh mereka"
Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata benar-benar
telah bersiap mengahadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba
saja ia telah meloncat dengan tangkasnya. Tangannya tibatiba
saja telah menyambar tombak yang berada di sudut
ruangan, tegak di dalam tempatnya dalam jajaran dengan
songsong kehormatan. Ternyata seorang pengawal yang sudah mengetahui
segala persoalan yang menyangkut kedua kakak beradik itu,
dan memang dengan sengaja telah memilih pihak, yang
dianggapnya akan sangat menguntungkan, yaitu Pangeran
Kuda Rukmasanti, dengan sigap mulai meloncat menyusul
Pangeran Kuda Padmadata. Namun sebelum ujung senjatanya menyentuh Pangeran
yang sedang menyambar tombak itu, tangan Mahisa
Bungalan yang kuat telah menerkamnya. Adalah malang
baginya, karena pada hentakkan pertama, Mahisa Bungalan
telah menghantam tengkuknya, sehingga orang itu tidak
sempat melawannya.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sigap Mahisa Bungalan merebut pedangnya.
Ketika ia kemudian melepaskan orang itu sama sekali tidak
mampu lagi untuk berdiri. Sehingga karena itu, maka iapun
terjatuh pingsan. Sejenak kemudian, maka para pengawal dan Pengeran
Kuda Rukmasanti pun telah menggenggam senjata masingmasing,
sementara Pangeran Kuda Padmadata dan Mahisa
Bungalan telah bersenjata pula.
"Jangan melawan" geram Kuda Rukmasanti, "segalanya
akan sia-sia. Sebentar lagi, akan datang lebih banyak lagi
orang-orang yang selama ini telah aku letakkan di istana ini,
sementara hamba-hamba yang lain tidak akan berani
berbuat sesuatu" "Persetan" Mahisa Bungalan lah yang menjawab.
Seolah-olah segalanya yang tertahan di dadanya, tiba-tiba
saja telah melonjak, "Aku sudah terlalu lama menunggu
kesempatan ini. Kau sudah terlalu lama menyiksa orang
yang sama sekali tidak bersalah"
"Kau gila" Pangeran Kuda Rukmasanti hampir
berteriak, "kau tahu, siapa aku?"
"Kau setan yang tidak pantas dihormati. Buat apa aku
menghormatimu, memanggilmu dengan sebutan
kehormatan, dan menyebut diriku dengan hamba sambil
membungkuk dan menundukkan kepala dalam-dalam"
Pangeran Kuda Rukmasanti tidak dapat menahan
gejolak hatinya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang
Mahisa Bungalan sambil berteriak, "Cepat, bunuh
semuanya" Mahisa Bungalan sudah bersiap menghadapi
kemungkinan itu. Karena itu maka iapun segera mengelak
dan meloncat ke sebelah lain dari ruangan itu. Katanya,
"Disini kita akan bertempur"
Pangera Kuda Rukmasanti mengejarnya, sekali lagi
menyerang. Namun senjatanya sama sekali tidak dapat
menyentuh lawannya. Sementara itu. kedua orang pengawal yang selalu
membayangi Pangeran Kuda Padmadata itupun segera
bertindak. Ia tidak ingin melepaskan Pangeran yang sudah
sekian lamanya dibelenggunya dalam bayangan kekuasaan
adik kandungnya. Karena itu, maka keduanya pun segera
menyerangnya. "Tanpa perasaan takut bahwa isteri dan anakku akan
kalian korbankan, maka kau berdua adalah tikus-tikus
celurut yang tidak berarti apa apa bagiku" geram Pangeran
Kuda Padmadata. Seberarnyalah bahwa keduanya ternyata tidak segera
dapat menguasai Pangeran yang sudah bersenjata tombak
itu. Bahkan kemudian ternyata, bahwa Pangeran Kuda
Padmadata adalah seorang prajurit linuwih yang memiliki
kemampuan memainkan senjata dengan tangkas. Meskipun
ruangan itu tidak seluas medan, namun ia sama sekali tidak
canggung mempergunakan sebatang tombak untuk
melawan keduanya. Sementara itu, pemimpin pengawal yang berada di
dalam bilik itupun berteriak kepada pengawal yang tinggal
seorang, karena kawannya yang bersama-sama memasuki
bilik itu telah pingsan dan bahkan senjata telah berada di
tangan Mahisa Bungalan, " Cepat. Panggil para pengawal
yang lain" Pengawal itu tidak menjawab. Iapun segera berlari keluar
memanggil kawan-kawannya.
Mahisa Agni dan Witantra masih berdiri termangumangu.
Namun ketika Pemimpin pengawal itu
mendekatinya, maka Mahisa Agni berkata, "Apakah kita
akan bertempur disini, atau di halaman?"
"Persetan. Aku bunuh kau berdua" geram pemimpin
pengawal itu. "Jika kau mampu lakukan. Tetapi sebaiknya diluar saja.
Agaknya tempatnya lebih luas. kita tidak usah cemas bahwa
orang-orang yang tidak berkepentingan akan menjadi
penonton dalam permainan ini" jawab Mahisa Agni.
Pemimpin pengawal itu tidak sabar lagi. Dengan serta
merta ia menyerang. Namun Mahisa Agni dan Witantra
dengan cepat telah meloncat keluar dari ruangan itu sambil
berkata, "Pangeran. Agaknya lebih leluasa bertempur
diluar" Tidak terdengar jawaban. Tetapi agaknya Pangeran
Kuda Padmadata mendengarnya, sehingga iapun bergeser
ke pintu dan dengan serta merta meloncat keluar pula,
beberapa saat setelah pemimpin pengawal itupun telah
keluar pula menyusul Mahisa Agni dan Witantra.
Yang kemudian tinggal di dalam adalah Mahisa
Bungalan dan Pangeran Kuda Rukmasanti. Ternyata
keduanya masih muda dan memiliki kemampuan yang
tinggi. Seperti juga Pangeran Kuda Padmadata, maka
Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang prajurit pilihan
yang memiliki kemampuan yang dahsyat.
Tetapi lawannya adalah Mahisa Bungalan. Seorang anak
muda yang pada usia mudanya telah memiliki pengalaman
yang sangat luas karena perantauannya serta berbekal ilmu
yang cukup. Pemimpin Pangawal yang bersenjata pedang panjang itu
dengan garangnya telah menghadapi Mahisa Agni dan
Witantra yang tidak bersenjata. Namun agaknya kedua
orang itu masih belum siap untuk bertempur. Bahkan
Witantra masih juga bertanya, "Apakah yang akan kau
lakukan?" "Membunuhmu" teriak pemimpin pengawal itu.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu
sendiri" berkata Witantra, "letakkan senjatamu dan
menyerahlah kepada Pangeran Kuda Padmadata"
Pemimpin pengawal itu menggeram. Dengan serta merta
ia meloncat menyerang Witantra dengan ayunan mendatar.
Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh
lawannya. Senjatanya bagaikan menebas angin. Witantra
dengan tangkasnya telah meloncat ke samping.
Kemarahan pemimpin pengawal itu telah membakar
jantungnya. Ketika pedangnya tidak menyentuh Witantra,
maka iapun segera melompat menyerang Mahisa Agni yang
berdiri tidak terlalu jauh daripadanya.
Tetapi seperti saat ia menyerang Witantra, maka
pedangnya sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni.
Dengan gerak yang sederhana, Mahisa Agni telah berhasil
menghindari serangan pemimpin pengawal di istana
Pangeran Kuda Padmadata itu.
Sementara itu, maka Pangeran Kuda Padmadata sendiri
dengan kemampuan ilmunya yang tinggi, telah
membingungkan kedua orang yang selama beberapa saat
membayanginya. Mahendra yang kemudian berdiri di pintu
memperhatikan pertempuran yang terjadi di halaman. dan
sekali-sekali ia mengawasi anaknya yang bertempur
melawan Pangeran Kuda Rukmasanti, karena
bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa Pangeran Kuda
Rukmasanti adalah seorang prajurit yang pilih tanding.
Namun agaknya bekal yang dibawa oleh Mahisa
Bungalan pun telah mampu melindungi dirinya. Beberapa
saat lamanya mereka bertempur di dalam bilik itu. Sekali
sekali mereka berloncatan menghamburkan perabot-perabot
yang bernilai tinggi dari istana Pangeran Kuda Padmadata
itu. Tetapi mereka tidak lagi menghiraukan, apa yang
mereka pecahkan dan apa yang mereka rusakkan.
Sementara itu. Pangeran Kuda Padmadata ternyata telah
berhasil mendesak kedua lawannya. Tombaknya berputar
dan mematuk dengan dasyatnya. Bahkan kadang-kadang
kedua lawannya harus berlompatan beberapa langkah untuk
mengambil jarak. "Pangeran" teriak salah seorang pengawal yang selalu
membayanginya, "tuanku telah kahilangan kesadaran.
Pandanglah kami. Tuanku tidak akan dapat menentang
kehendak kami" "Apakah kau kira aku sudah menjadi gila?" bertanya
Pangeran Kuda Padmadata, "selama ini aku memang
tunduk pada kehendakmu. Tetapi bukan karena aku takut
kepadamu. Aku selalu kau bayangi dengan ancaman,
bahwa kau akan mangorbankan isteri dan anakku. Tetapi
sekarang, aku sudah mendapat kepastian, bahwa isteri dan
anakku akan selamat. Karena itu, maka kalian berdua tidak
akan berarti apa-apa lagi bagiku. Kalian akan mati diujung
tombakku sebagai suatu pernyataan, bahwa Pangeran Kuda
Padmadata adalah seorang prajurit, seorang laki-laki, tetapi
juga seorang suami dan ayah memikirkan keselamatan
anaknya. Namun pada saat yang tepat, aku akan
manunjukkan, bahwa aku adalah Pangeran Kuda
Padmadata. Aku berkuasa di istana ini, dan aku mampu
melawan kau berdua tanpa mengeluarkan keringat"
"Bohong" teriak salah seorang pengawal itu, "isteri dan
anak Pangeran masih tetap dalam kekuasaan kami"
Sebelum Pangeran itu menjawab, maka terdengar suara
Mahisa Agni, "Aku menjadi jaminan, bahwa isteri dan
putera laki-laki Pangeran sudah kami selamatkan. Kami
sudah menempatkan mereka di tempat yang paling aman.
Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan ayah
perempuan itu, telah membunuh orang-orang yang diupah
untuk melakukan pengejaran dan pembunuhan atas
mereka" "Gila" geram Pangeran Kuda Padmadata. Namun
dengan demikian, maka senjatanya menjadi semakin cepat
berputar. Dalam pada itu. pemimpin pengawal yang bersenjata
pedang itu dengan garangnya menyerang Witantra dan
Mahisa Agni berganti-ganti. Tetapi ia sama sekali tidak
dapat manyentuh mereka, sehingga seperti orang yang wuru
ia mengamuk tanpa dapat berbuat apapun juga.
Namun sejenak kemudian, maka beberapa orang mulai
mendekati arena. Orang-orang yang di tempatkan di istana
itu oleh Pangeran Kuda Rukmasanti telah mendengar apa
yang terjadi. Karena itu, maka merekapun segera
mengepung arena perkelahian itu.
"Mereka datang" geram Pemimpin pengawal itu,
"sebelum kalian menyadari apa yang terjadi, maka kalian
telah terbunuh disini. Mayat kalian malam ini juga akan
dilemparkan ke hutan untuk menjadi makanan anjinganjing
liar" Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan beberapa
bayangan yang memutari tempat itu. Semakin lama
menjadi semakin menyempit.
Tiba-tiba dari antara mereka meloncat seorang anak
muda di hadapan Mahisa Agni sambil menggeram, "He,
kau orang tua gila. Apa yang kau lakukan disini"
Mahisa Agni memandang anak muda itu. Anak muda,
Suling Naga 15 Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Pendekar Guntur 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama