Ceritasilat Novel Online

Larung 4

Larung Karya Ayu Utami Bagian 4


Betapa ia menyadari bahwa ia bukan orang kota. Ia tak pernah terlalu suka New York, meski Yasmin tergilagila pada kota itu. Aku orang kampung. Aku bergairah di antara pokok-pokok tetumb uhan, angin yang membawa bau gunung atau uap garam.
Namun, sebagaimana kerap, puncak kebungahan menyodork an padanya ingatan yang menyedihkan. Seperti lecutan. Ia tidak datang untuk kembali. Ia datang untuk
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menjemput mereka pergi: tiga anak yang sedang dalam buruan militer sebagaimana ia dulu. Bahkan ia takkan bert emu Yasmin, atau ayahnya, tidak menengok makam ibunya dan berkata, Bu, aku datang. Seharusnya ia tidak mencium tanah, seharusnya ia tidak telentang menghadap langit seperti ini. Seharusnya ia tak boleh membikin gerakan apapun yang menarik perhatian. Sekalipun pulau ini aman. Di sini hanya ada desa nelayan dan saung para pemancing. Tanpa PLN tanpa Telkom. Saman bangkit duduk, memandangi Anson yang telah menambatkan perahu dan berjalan menuju dia. Kini rambut dan punggungnya penuh pasir.
Bagaimanapun, bertemu kembali dengan Anson adalah sebuah keajaiban yang tak pernah ia bayangkan.
Betapapun adiknya telah memilih jalan hidup sendiri.
Aku tidak pernah membunuh, Bang, jawabnya. Saman mengangguk. Ia berharap ia percaya. Tapi salah satu sekoci itu terbalik kena ombak sebelum mereka berhasil melepaskan ikatan. Tapi awak yang kutaruh di sekoci yang lain hidup semua. Saman menyesal mengajukan pertanyaan tadi. Pintu diketuk. Saman menoleh waspada. Ia menyadari ket egangann ya, lalu mencoba mengendurkan sikap. Seorang lelaki masuk mengantarkan sebakul nasi, beberapa potong ikan selar goreng, dan sayur kangkung. Ia merunduk dan meminta maaf karena ikan yang lain telah dibawa ke Kijang kemarin. Ia tak tahu bahwa pagi ini akan ada tamu. Keduanya tak peduli dengan jenis lauk yang tersedia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dan membiarkan pintu terbuka setelah pria itu pergi, sebab dengan demikian mereka bisa melihat adakah orang di sekeliling saung yang mungkin memasang telinga. Mereka kini berada di sebuah bilik di pesanggrahan milik seorang pengusaha Australia. Itu adalah satu-satunya penginapan di pulau ini, berdiri di atas batas pantai seperti rumah panggung nelayan, dibangun sebagai tempat singgah para pemancing yang kebanyakan berasal dari Singapura. Anson biasa ke sana sebab ia pun kerap memandu para pemancing, sembari mencari informasi mengenai kapalkapal yang lewat di perairan selat dan bisnis barang selundupan.
Anson meyakinkan abangnya bahwa riung-riung di sana hanya didatangi orang asing yang telah lebih dulu memesan tempat. Tak satu pun bertolak dari Batam atau Bintan, semua dari Singapura. Saman mengangguk, berharap ia percaya adiknya. Ia menjadi sedih menyadari bahwa ia tak bisa sungguh yakin pada apapun. Anson telah begitu berbeda dari yang ia temukan dua belas tahun lalu. Kulitnya yang semakin hitam terkena terik laut kian kontras dengan setengah sisi rautnya yang merah jambu pucat bekas luka tersiram asam sulfit pengencer karet, membuatnya seperti makhluk berwajah dua. Rupa yang manusiawi pada sisi gelap wajahnya. Rupa yang kaku dan menakutkan pada sisi terangnya. Seolah-olah kebajikan kini bersembunyi di balik rasa sakit yang lama. Ia telah membunuh, meski tidak dengan tangannya sendiri, para awak dari kapal yang ia bajak, anak buah kapal yang tak berhasil melepaskan ikatan pada tubuh mereka
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ketika ombak menumpahkah sekoci tempat mereka dihanyutkan. Ia mungkin merasa gagah dengan tugasnya dan menganggap bahwa ketakmampuan mereka membeb ask an diri adalah kebodohan dan nasib sial. Ia telah menjadi seperti tentara yang dibayar perusahaan sawit yang merasa jantan dengan keberhasilan membakar dusun untuk mengusir penduduk dan menganggap kematian Upi yang terperangkap di sana sebagai kesalahan sendiri, bahkan lelucon. Saman tidak berani menyatakan itu. Ia cemas dengan kecurigaannya.
Angin mengantarkan bunyi laut. Ia menghibur diri dengan mengatakan bahwa ia baru tiba. Tak boleh banyak berprasangka.
Kau belum cerita, Son, bagaimana teman-temanku menemuk an kau.
Kawan Abang, cewek, datang ke rumah makku waktu aku menjenguk istri dan anak. Tak lama setelah Abang diburu polisi.
Siapa" Yasmin. Ibu masih sehat kah"
Alhamdulillah. Semua baik. Anakku sudah empat. Saman tidak memperhatikan cerita Anson tentang anak-anaknya. Ia teringat Yasmin. Betapa manis perempuan itu. Yasmin mengerjakan banyak hal: menghub ungi ayahn ya untuk memasang internet, menengok Mak Argani yang agaknya alamatnya ada pada berkas-berkas di rum ah Perabumulih yang tak sempat disentuhnya lagi ketika ia harus melarikan diri dari Indonesia. Yasmin juga meminta
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
anak-anak aktivis Palembang sesekali menengok keluarga Argani, memastikan bahwa mereka baik, kapan-kapan menitipkan uang, dan menjaga agar hubungan tak pernah putus. Saman barangkali tak tahu, Yasmin melakukannya sebagian karena hal-hal tadi mengingatkan perempuan itu akan dia. Sebab keluarga Mak Argani, sebagaimana ayah kandung Saman, adalah ekstensi dari kekasih yang tak ada padanya. Dalam hati lelaki itu berucap, terima kasih, Yasmin. Otaknya memutar ulang wajahnya, gerakannya, bicaranya. Adakah perempuan itu juga begitu manis terhadap suaminya" Manis dan nakal, suka menggigit" Barangkali ya, sehingga sang suami tidak menyangka ada lelaki lain di hati istrinya. Saman menyalakan rokok. Begitu banyak pertanyaan dan jawaban yang ia ingin buang saja. Yasmin pernah mengatakan bahwa ia tak bisa agresif dengan Lukas. Dengan dia Yasmin bisa menumpahkan gemas, juga dendam yang aneh pada laki-laki. Ia menghembuskan asap rokok dari paru-parunya pelanpelan, membiarkan rasa pahit yang sedap merambati tenggorokannya.
Betapa ia ingin menghubungi Yasmin, mengabarkan bahwa ia telah tiba. Namun, jaringan telepon tidak masuk ke pulau ini dan kalaupun sinyal selular sampai ke sini ia sama sekali tak boleh menelepon wanita yang ia kasihi itu. Sekitar pukul sebelas semalam, ia masih di Singapura, ia membuka net dan mendapat berita bahwa Budiman Sudjatmiko dan beberapa kawan telah diciduk dua jam sebelumnya. Baru saja. Mereka bersembunyi di rumah sebuah keluarga biasa. Tapi kurir mereka tertangkap pada
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
siang harinya mungkin karena pesan-pesan telepon dan radio panggil yang bocor. Ia merasa ngenas. Juga geram. Saman tak mau yang sama terjadi pada dirinya, apalagi pada Yasmin. Mereka telah menyepakati pembagian kerja dan ia tak mau melanggar itu. Larung akan membawa tiga anak itu ke Kijang, pelabuhan di pulau Bintan. Ia akan menjemput di kota itu lalu membawa mereka pergi. Selama proses tak boleh ada kontak dengan Jakarta. Segala detail ia catat dalam kepala sehingga jika ia tertangkap, tak ada informasi tertulis yang bisa didapat aparat.
Saman belum pernah bertemu satu pun dari empat orang itu: Larung, Togog, Bilung, dan Koba. Ia belum pernah melihat potret para aktivis Solidarlit. Anak-anak itu tidak dikenal media massa sebelum ini sehingga koran-koran tak punya gambar mereka. Dan Larung, sampai sekarang namanya tak pernah muncul di media sebagai seorang aktivis. Ia nampaknya bukan figur yang menonjol. Tapi, karena Yasmin mengenalnya secara pribadi, perempuan itu membikin fotonya dengan kamera digital dan sempat mengirim sekali kepada Saman melalui internet. Dari perbandingan bahu dan kepalanya Saman memperkirakan bahwa Larung bertubuh kecil, sebagaimana diceritakan Yasmin. Saman mencoba mengingat-ingat wajahnya. Kini rasanya ada sesuatu yang ganjil di sana yang tak bisa ia terangkan. Barangkali pada matanya. Atau pada tarikan mulutnya. Tapi ia tak mau mencari-cari sebab untuk firasat. Mungkin mimpi membuat ia kelewat cemas.
Yasmin juga sudah menunjukkan foto dia kepada Larung sebagaimana ciri-ciri tiga anak Solidarlit kepadanya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Wayan Togog, 25 tahun, 175 cm, berkaca mata, kulit kuning, ganteng, gondrong. Bilung, 26 tahun, gempal, 160 cm. Koba, 25 tahun, sedikit lebih tinggi dari Togog, berjerawat. Saman membayang-bayangkan rupa mereka tapi ia melihat dirinya muncul di sana. Ketiga aktivis itu berada di pertengahan usia dua puluh, seperti aku ketika meminta ditugaskan ke Perabumulih. Ia dahulu, mereka sekarang, dengan tubuh muda, kuat dan segar, seperti tunas yang baru mengayu. Penuh dengan keinginan untuk berkorban dan ketidaktahuan akan kegagalan atau rasa sakit. Bedanya, ia kini telah pernah dikalahkan sementara mereka belum. Lalu ia menjadi murung. Ia teringat kebun karet yang ia rawat bersama Anson dan penduduk Sei Kumbang, pengolahan getah yang mereka bangun, telah lebih dari sepuluh tahun lewat. Ia masih merasakan detik-detik ketika perusahaan sawit itu merebut kebun yang mulai menghasilkan. Jantungnya berdebar lebih cepat dan telapaknya berkeringat setiap kali ingatan dan rasa itu datang: mereka seperti kota yang dikalahkan, rumah-rumah dibakar, perempuan diperkosa, laki-laki dipenjarakan. Barangkali, sebentar lagi ketiga anak itu akan mengalami yang sama: dikalahkan.
Lalu ia mencoba mengambil jarak.
Apa yang membuat orang bertahan sebagai manusia yang dikalahkan" ia seperti bertanya pada diri sendiri. Kasih. Kawan. Yasmin. Idealisme. Kesombongan. Yasmin. Dendam. Barangkali hewan peliharaan.
Saman menanggalkan kemeja dan pantalonnya, mep u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
map arnya pada pasir putih di Pantai Belakang. Anson menemaninya. Keduan ya lalu menceburkan diri dalam air yang biru terang pada celuk yang menghadap ke laut Natuna, yang dari sana arus membawa ampas-ampas kecil kapal kepada pantai, bebek plastik oranye yang mungkin tumpah ribuan kilometer dari pulau ini, berbulan-bulan lalu. Ikan terbang sesekali melesat bertiga-tiga, seperti panah-panah perak, jatuh kembali menyisakan delan. Saman ingin menikmati harinya setelah malam-malam gelisah yang membuat ia muram sebab ia tak bisa lagi percaya penuh pada apapun. Ia hanya bisa berharap ia percaya.
K ijang , 12 A gustus 1996
P elabuhan P elni itu tak pernah terlalu padat. Bola matahari muncul dari balik pulau-pulau kecil di muka bandar, pulau Buton, Poto, dan Kelong, menguapkan bau laut. Pohon-pohon bakau berjambul keemasan oleh pagi, dan di seberangnya, di dermaga, orang-orang bergerak santai menanti kapal berlabuh. Hanya tongkang yang hampir tak henti melalui celah sempit perairan itu, melaju tenang-tenang, mengangkut pasir ke Singapura. Barangkali sejak 1978 kapal-kapal itu keluar masuk, mengambil ton pasir dari empat dermaga swasta di pesisir Kijang, kota di ujung tenggara pulau Bintan. Kini
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
matahari bergeser sedikit lagi, menimpakan hangat dan kilap ke atap seng rumah-rumah warung pemiliknya tak mau memasang genteng karena angin yang begitu kuat akan menerbangkannya.
Dari jendela kabin Larung memperhatikan proses perapatan. Kapal pandu telah menjemput dan sekarang sedang menarik Sirimau ke dermaga. Terompet dibunyikan berkali-kali, menggetark an benda-benda kecil. Suara mualim mengumumkan bahwa mereka akan berlabuh dalam tiga puluh menit. Harap bereskan semua barang sebab ini tujuan terakhir. Laki-laki itu membangunk an tiga pemuda yang tidur berjejeran di dek ekonomi. Keempatnya berbagi dua ranjang. Bau busuk dari kantong-kantong sampah di pantri yang basah, beceknya yang mengalir ke lantai kabin, serta sisa-sisa ompreng makanan kembali terhirup oleh mereka.
Wayan Togog tertegun sesaat. Ia segera merogoh kaca mata dari saku tas dan mengenakannya, seolah den gan benda itu ia bisa melihat bau dengan lebih tajam. Sejak kemarin bacin dan busuk itu menyadarkan dia bahw a Sirimau adalah miniatur negerinya, Indonesia. Ada sekitar empat atau lima puluh kabin kelas satu dan dua di sini, sisanya bangsal untuk sembilan ratusan orang, tapi dari Tanjung Priok kapal ini mengangkut sekitar dua ribu manusia sebagian telah turun di Mentok siang lalu. Mer eka berdesakan di sepanjang lorong maupun dek, pada tikar dan kertas koran. Dapur yang menyediakan makanan untuk jumlah yang melebihi kapasitas kapal memproduksi sampah dengan kecepatan yang lebih tinggi
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
daripada yang bisa ditelan manusia. Ampas bertumpukan menyeb arkan hawa pasar induk, kubis busuk, nasi basi. Di atas ada dek kelas dan kamar makan yang bersih untuk penumpang kelas satu dan dua ia mengintip ke dalamnya lewat jendela kemarin. Meja-meja dengan taplak putih, gelas-gelas piala. Tapi penumpang non kelas seperti dalam kandang: berdesakan dengan barang dan kotoran yang mereka hasilkan sendiri.
Kemarin ia merenung. Jika Indonesia adalah kapal ini, maka ia berasal dari kelas dua. Ia memang tidak berasal dari triwangsa di Bali, tapi ia percaya kasta tak beg itu berarti di zaman ini dalam pembagian ekonomi. Nama pemberian orangtuanya adalah Ketut Alit Kertapati. Ayahnya dokter bedah kosmetik di Surabaya, ibunya dosen hukum tata negara. Mereka keluarga terpelajar dan berada. Orangtuanya menghidupi beberapa sanak di Bali, juga memb angun kembali rumah dan sanggah keluarga di Denpasar lebih megah daripada tetangga mereka, seorang Ida Bagus yang lulusan sekolah menengah teknik. Ketut Alit ingat, jika pulang berkunjung dari sana, terutama pada hari-hari raya, ayah-ibunya kerap menyind ir kaum brahmana yang tak lebih bijaksana daripada sudra. Tapi hanya mereka yang mendapat karcis untuk menjadi pedanda.
Namun Ketut Alit tidak tinggal di Bali. Persoalan pedanda dan pemangku tak sungguh ia rasakan. Ia lebih tergugah oleh kehid upan sehari-hari pekerja di salon dan klinik kulit ayahnya. Lima belas orang itu datang dari kampung si Ayah, sebagian kerabat. Mereka bekerja
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
seperti pembantu. Tanpa hari libur yang pasti, dari pagi hingga petang, dengan upah kurang dari seratus ribu perak per bulan, meski mereka makan, minum, dan tidur di rumah itu, berhimpitan dalam bangsal sempit tanpa ranjang. Mereka masih muda-muda. Tidakkah itu pengh isapan, Bapak" Tapi sang Ayah menjawab bahwa ia hanya punya sepasang tangan. Setiap karyaw an akan menolong keluarga masing-masing di kampung. Karena itu, hanya sedikit orang yang bisa dipekerjakan dan sedikit rumah tangga yang bisa dibantu jika ia harus memberi gaji tinggi. Pelan-pelan hidup akan jadi lebih baik, Alit.
Semakin besar semakin Ketut Alit tidak yakin. Sukarno mencela sikap alon-alon asal kelakon, katanya dengan tegas. Ketika itu ia telah membaca Jarek dari perpustakaan ibunya Bung Karno itu setengah Bali, sang Ibu kerap mengulang, karena itu dia juga punya selera seni yang tinggi. Di rak yang sama, di sebuah sela yang berdebu, ia menemukan Kaum Tani Mengganjang Setan 2 Desa dari D.N. Aidit, 1964. Ia menyentuhnya dengan berdebar. Sebab nama itu, nama itu sepadan dengan iblis. Ujung arit dan wajah petani di sampulnya menyampaikan keb eringasan. Dan judul itu menyebut setan , ganyang . Di bawah potret besar Sukarno yang dipasang orangtuanya pada dinding ia membaca seperti membaca sebuah sihir kuno dari makam terl arang. Inilah Kitab yang disembunyikan Orde Baru. Sebuah dari Kitab- Kitab Kebenaran. Mantra yang mengajak dia menyelami kaum tani, tinggal bersama mereka, makan makanan yang sama, tidur di lantai yang sama. Kitab Rahasia yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menunjukkan padanya langkah-langkah mengubah dunia. Ketika itu usianya tujuh belas dan bahasa Inggrisnya belum cukup baik. Tapi ia tidak menyentuh UUDS 1950 yang terselip di sela lain. Melainkan mengambil buku tipis di sebelahnya, Perkembangan Tjita-tjita Sosialisme di Indonesia, H. Roeslan Abdul Gani, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, 1960.
Kemudian hari ia mendengar bahwa visum atas para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya tak pernah menyatakan bahwa mereka dianiaya sebagaimana dalam monumen dan diorama. Kulit mereka tidak disayat, penis mereka utuh, mata mereka tidak ditusuk. Mereka hanya dibunuh, katanya pada diri sendiri. Sebagaim ana dalam sebuah perang. Ia merasa telah diperdaya. Itu cukup bagi dia untuk menarik kesimpulan. Jika seb uah rezim memalsuk an sejarah secara kecil, maka ia memalsukan sejarah secara besar pula. Jika sebuah rezim men yelewengkan sejarah secara besar, tentu parahlah kesalahan yang hendak ia menangkan. Maka, jika rezim ini menumpas dan mendengki komunisme, niscaya benarlah komunisme itu.
Ia merasa gagah dengan pemberontakannya dan mulai memb aca apapun yang ia dapatkan mengenai Marx, Engels, Lenin, juga Tan Malaka. Ia merasa menemukan pisau analisa untuk menjelask an ketimpangan di Indonesia, dan dengan bersemangat mencoba memberi jawab atas pertanyaan: apa yang harus diselesaikan"
Tapi ia tak berhasil mengajak para pekerja klinik dermatologi ayahnya untuk menuntut kenaikan upah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Sebaliknya, mereka bersyukur bahwa ayahnya mengajak mereka ke kota ini. Daripada terus jadi petani. Ia merasa mereka bodoh. Mereka merasa ia tak tahu balas budi. Ia yakin mereka bodoh. Lalu ia lebih banyak berada di luar rumah. Ia mengganti sebutannya menjadi Wayan Togog. Sebab Semar, abdi para Pandawa, adalah lambang Suharto dan Orde Baru. Maka, Togog, abdi para Kurawa niscaya lawannya. Ia mulai menafsir terbalik wayang purwa: kelima Pandawa adalah elite politik dan keseratus Kurawa adalah rakyat banyak.
Kini ia sedang tidak suka pada Larung. Ketut Alit Kertapati alias Wayan Togog memang tak biasa berselisih dengan hati dingin. Ia selalu terlibat secara emosional dengan pendapat dan pilihan hidupnya. Sisi ini menyebabkan semangatnya tak pernah padam. Garis rautnya yang keras, alisnya yang tebal, tulang hidung yang tegas, mulut yang lebar membuat ekspresi wajahnya nampak dari kejauhan. Rambutnya yang lebat tumbuh sebahu. Keberangan membuat orasinya penuh intonasi. Karena itu ia selalu memukau dalam demonstrasi dan aksi massa, menjadi pujaan cewek-cewek, meski renungannya tak pernah dalam dan ia menganggap percint aan adalah cengeng (diam-diam ia pergi ke pelacuran, tempat ia bisa memuntahkan hasratnya tanpa bercinta). Ia bungsu dari lima bersaudara dan ia keras kepala. Ia gampang marah pada orang yang tidak bisa mengerti pikirannya. Karena itu ia marah pada negerinya, pada karyawan ayahnya. Juga pada Larung.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kapal ini adalah analogi dari Indonesia, kata Wayan Togog dalam sebuah obrolan dengan Larung semalam. Mereka duduk di kantin yang terbuka, menikmati angin laut dan kelegaan dari bau busuk kabin. Huh! Perbedaan kelas!
Larung tidak menoleh. Lalu kenapa kamu percaya bahwa sosialisme merupakan jalan keluar"
Wayan Togog memicing, seolah tak percaya bahwa orang yang menolong mereka menanyakan perkara dasar itu.
Sosialisme menghapus perbedaan kelas. Nadanya yang agak keras seperti menyampaikan: masa kamu tidak tahu"
Larung tersenyum seperti biasa, datar. Ia memandang dengan tertarik tempat sampah yang kepenuhan.
Kapal pelni ini buruk bukan karena tidak ada sosialisme. Kapal ini brengsek karena monopoli. Ia memainkan sesuatu di mulutnya, barangkali tusuk gigi sisa makan malam. Kalau kamu masih percaya sikap anti hak milik pribadi, kamu akan memb angun sistem yang berakhir di kapal ini.
Wayan Togog terkejut. Ia merasa Larung melompat terlalu jauh dalam langkah-langkah berpikirnya. Namun, ia tak bisa menjelask an di mana logika itu meleset. Ia terlalu terkejut mengetahui bahwa laki-laki yang melarikan mereka ternyata tidak sepaham dengan dia. Lama ia biasa percaya dengan kata-kata ini: siapa yang tidak di pihak kita adalah lawan.
Ia membalas dengan suara tinggi. Kapitalisme juga
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tidak menyelesaikan masalah transportasi. Lihat saja bag aimana angk utan kota kebut-kebutan karena mereka mengejar setoran! Itu contoh pelayanan swasta.
Lawannya mendengarkan dia sesaat. Apakah saya men gatak an bahwa kapitalisme adalah solusi. Anti-monopoli adalah solusi. Tapi undang-undang anti-monopoli bukan inovasi masyarakat sosialis.
Larung hampir selalu bicara tanpa intonasi. Itu membuat Wayan Togog menunda letupan kejengkelannya. Meskipun ia mulai tak tahan dengan percakapan ini. Ia merenung sesaat namun belum berhasil menemukan peluru untuk membalas.
Oh! Suara Larung matanya tetap kepada bak sampah. Oh! Bukan tikus tapi kadal!
Untuk pertama kali Wayan Togog mendengar tekanan pada bicaranya. Pemuda itu ikut menatap tong biru. Seekor kadal melompat dari plastik yang gemrisik, ke balik pagar geladak, seperti tercebur ke laut. Kemudian sampah itu menjadi sepi.
Dari mana ia terbawa. Dari mana datangnya kadal" Dari mata turun ke sandal. Wayan Togog seperti menemukan katup untuk melecehkan perh atian yang sepele itu, yang ia anggap konyol. Tapi lebih mirip ia melepaskan dongkolnya pada Larung.
Larung tertawa kecil. Terbatuk kecil.
Ya, katanya. Oh ya, sambungnya, Kalian hanya berharga jika kalian mati. Seperti vaksin. Jika tak kalah,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
akan jadi penyakit. Tak ada emosi dalam ujarannya. Tidak sinis, tidak marah, tidak melucu. Wayan Togog terhenyak. Manusia macam apakah sosok ini" Orang yang akan menyelamatkan kami tapi tak sedikit pun menaruh hormat pada citacita kami" Bedebah ini mengatakan: sosialisme adalah sekadar vaksin kapitalisme. Dan menganggap lebih baik kami mati. Wayan Togog tak menemukan kata-kata. Maka ia berdiri, membuang muka dari Larung yang bergeming, dan pergi dari bangku itu, mencari dua kawannya.
Yang ditinggalkan tetap duduk di sana. Tetap menatap bak, orang-orang yang mencoba menjejalkan sampah baru ke dalamn ya, orang-orang yang putus asa lalu membuang puntung dan kaleng di sekitar tong itu. Tidak. Ia bergerak sedikit. Ia melirik sebentar kepada anak muda yang pergi, menikmati tubuhnya yang ramping dan ranum dan marah. Kalau saja penembak misterius membunuhmu di tepi jalan. Kartu identitasmu diambil. Kamu menjadi mayat tak dikenal. Kadaver yang cantik. Masih segar. Betapa beruntungnya mahasiswi yang belajar dari tubuhmu yang telentang pada meja otopsi. Matamu terpejam. Mulutmu sedikit terbuka. Rambutmu tergerai. Kelaminmu terkulai. Kamu tak melawan meski perutmu dibuka di bawah cahaya lembut yang terpendar oleh kaca buram jendela tua yang tinggi.
Wayan Togog menemukan Bilung dan Koba di ujung lorong anjungan, dekat ruang kemudi yang tak boleh mereka masuki. Dan bercerita.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Jangan-jangan dia intel, tutupnya.
Gendeng, kon! Kalau intel, kita sudah dari kemarin ditangkap, sahut Bilung.
Siapa tahu mereka juga mau menangkap orang yang menj emput kita di Bintan.
Mereka terdiam. Ah, pasti buat mereka daripada kehilangan tiga yang sudah di tangan lebih baik lepas satu. Lagi pula, kalau kita tertangkap, kita pasti disiksa untuk menceritakan jaringan, bantah Koba. Suaranya menenangkan. Selalu begitu.
Mereka terdiam lagi. Ya& Mungkin dia melakukan itu untuk menyamarkan. Siapa tahu ada yang mendengarkan kalian, kata Koba lagi. Lalu ia melirik kanan-kiri, berbisik, Kita juga tak boleh terlalu banyak bicara tentang ide-ide. Nanti ketahuan siapa kita.
Ya, dan kita jangan bergabung bertiga begini, kata Bilung.
Namun Wayan Togog tidak puas. Ia agak kecewa karena para kamerad itu tidak serta merta mendukung dia. Ia terpaksa memis ahk an diri dari kedua kawannya, sebagaimana perjanjian mereka sebelum naik kapal. Untuk kembali pada Larung ia enggan. Pemuda itu memut uskan untuk turun ke kabin dan berbaring. Ia tak segera tidur. Ia curiga pada Larung. Karena itu ia ingin membongkar bagasi pria itu, memeriksa adakah bendabenda yang bisa menunjukkan sesuatu tentang sosok yang pelan-pelan menj elma musuh seperjalanan. Ia ingat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ketika berangkat Larung menjinjing dua tas serat imitasi selain kantong kangguru yang selalu melilit pinggangnya. Tas-tas itu menggembung dan Larung menaruhnya dekat ranjang. Wayan Togog mendapatinya dalam posisi semula. Ia pun merebahkan diri, berpura-pura santai, sembari mengamati adakah si pemiliknya di sekitar kabin. Seorang bapak di ranjang sebelah menjual air panas dari termos. Untuk bikin kopi, Dik, ia menawari. Terima kasih, ia menggeleng dan melirik seputar bangsal sekali lagi. Setelah merasa aman, ia membuka resleting tas pertama yang bergaris biru dadu putih. Tumpukan paling atas adalah lipatan tas-tas serba guna yang masih terbungkus plastik, seperti yang ditawarkan pengasong di kapal: tas yang bisa dibentuk menjadi ransel, cangklong, maupun buaian bayi, dengan warna-warni seperti sarung. Barangkali satu dua lusin. Di bawah tumpukan itu adalah pistolpistolan dan beberapa jam tangan murahan dengan merk mahal, Bvlgari, Cartier, CJ, Piere Cardin, seperti barang dagangan. Ia menutup tas pertama dengan bingung lalu memeriksa tas kedua yang berwarna coklat kuning putih. Tas itu tidak sekembung yang pertama dan ia menemukan beberapa lembar kemeja, sepotong celana panjang, serta selusin anjing-anjingan yang bisa melompat salto dengan tenaga baterai. Ia merogoh dan tak menemukan barang lain. Dengan kecewa ditutupnya kembali tas itu. Tak satu pun benda-benda di dalamnya memberi ia penjelasan. Kini mereka telah mendarat di pulau Bintan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
K ita akan menginap di sini paling lama tiga malam. Kalau saya tak bertemu juga dengan dia dalam tiga hari, kita pindah ke tempat lain, kata Larung kepada tiga anak muda yang duduk di lobi sederhana hotel, pada sofa bersarung plastik dan kursi lipat kodian.
Siapa dia" Larung mengangkat bahu. Saya pun tak tahu. Tapi dia tahu saya.
Dan kalian tak perlu tahu, ia menambah. Wayan Togog melirik pada Koba, lalu pada Bilung, seperti mengatakan: lihat, tidakkah dia melecehkan kita" Memangnya kita anjing, tak boleh tahu ke mana dan dengan siapa kita pergi" Bedebah ini seperti tak pernah puas menyelesaikan pernyataan tanpa serangan. Ia selalu men gentup di ekor kalimatnya, seperti kalajengking. Masihk ah kalian tidak percaya padaku" Sejak saat itu kedua kawannya, yang juga telah berada dalam ketegangan sel ama tiga pekan ini, mulai mencari sisi-sisi yang tak wajar pada Larung. Lelaki yang dicurigai itu kini sedang men yelesaikan uang muka di kasir. Mereka menyewa dua kamar di Wisma Saleh, di jalan Barek Motor. Penginapan itu cukup baik untuk sebuah kota pelabuhan kecil semacam Kijang. Larung memilihnya karena tak ada restoran ataupun klub di hotel itu, sehingga tak banyak preman dan lontong yang nongkrong. Artinya, tak banyak yang akan berpapasan dengan mereka.
Lalu Koba mengajukan diri untuk tidur seruang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dengan Larung. Ia tahu Wayan Togog telah enggan bergabung dengan orang yang menyakiti hatinya. Ia tahu betul Wayan Togog peka jika berh adapan dengan kawan sehingga mudah tersinggung dan menj auhi. Pada lawan, kepekaan membikin dia pemberang. Itu yang membuat si anak muda mengesankan dalam aksi lapangan, sekaligus bukan seorang konseptor dan pemimpin gerakan bawah tanah yang baik.
Koba berbeda. Ia kalem meski suka berdebat. Suaranya selalu tenang, hampir seperti bijaksana. Ia banyak tersenyum, menamp akkan giginya yang padat dan bersih. Ia takkan mencak-mencak jika argumennya dipatahkan. Biasanya ia akan memikirkan kemb ali bantahan lawan. Biasanya ia teguh dengan pendapatnya sendiri. Biasanya esok harinya ia telah menemukan alasan untuk membenarkan keyakinannya. Ia tidak secemerlang Wayan Togog jika berada di tengah demonstrasi, meski bagus sebagai koordinator lapangan. Ia seorang penulis yang baik. Kobalah yang menyusun berkala Solidarlit yang amat kritis terhadap pemerint ahan Suharto, juga pamflet dan penyuluhan pada buruh dan pembantu rumah tangga dengan bahasa sederhana.
Nama aslinya Wapangsar Kogam Sebayang. Ia datang dengan kapal laut, dari Medan ke Surabaya, enam tahun yang lalu. Bukan perjalanan pertamanya, sebab ia menghabiskan dua tahun terakhir sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama di Cimahi, ikut pamannya yang tentara masa yang membuat logatn ya lentur. Perjalanan ini, mau tak mau, mengingatkan dia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
akan kepulangan, meski ia berhenti di tengah jalan. Di ujung jalan ayah dan ibunya hidup sebagai pensiunan kapten di kompleks polisi mereka menanam anggrek, memelihara ikan mas dan mujair dalam kolam kecil, membuka perwakilan binatu. Sederh ana. Tapi di Cimahi ia tinggal di tangsi Angkatan Darat. Di bagian belakang, agak ke bawah, ada tempat tinggal satu karibnya, temannya belajar, anak seorang kopral satu. Keluarga itu berbagi baris barak dengan enam keluarga lain, sebagaimana keluarga tamtama dan bintara lain di sana. Di bagian depan adalah rumah-rumah perwira dengan pohon pinang merah di halaman. Jika ia dan karibnya lewat di sana mereka menerka-nerka apa perabot di dalamnya. Mungkin ada lampu kristal dari Chekoslovakia. Ia dan pamannya tinggal di bagian tengah. Mereka punya sebuah lampu gantung di langit-langit ruang tamu, serta pohon nusaindah dekat pagar.
Lalu ia menjadi mahasiswa di Surabaya, berjalan-jalan juga ke Jakarta. Jarak yang kini terbentang antara dia dan keluarganya membuat ia mengakui betapa para jenderal hidup terlalu mewah. Ia masih bisa merasakan rumah karibnya, bau pispot, asap kompor minyak, tapi ia tak bisa membayang seorang jenderal yang menghabiskan tujuh juta rupiah untuk sekali makan malam dengan keluarga di sebuah restoran Jepang.
Ia menulis di catatan hariannya: Persoalan kelas tidak hanya terjadi antara pemilik modal dan buruh, namun juga di dalam tubuh militer. Sebagaimana kaum borjuis terhadap proletar, para perwira tinggi hidup
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dari menghisap kelas tamtama dan bintara. Jika dalam masyarakat borjuasi modal bersifat independen serta memiliki individualitas sementara buruh tidak, beginilah dalam masyarakat militer: senjata bersifat independen dan memiliki individualitas sementara tamtama dan bintara dependen dan tidak memiliki individualitas.
Sapta Marga adalah candu para prajurit, sebagaimana agama adalah candu masyarakat. Ia pernah diinterogasi selama sepuluh jam karena catatan harian yang ia jadikan editorial di terbitan mereka.
Ia memilih nama Koba bukan karena suka pada Stalin. Hanya orang gila yang senang pada Stalin dari segi fisik maupun ide, ia sering berkata. Ia pengagum Lenin dari segi fisik dan ide dan menganggap seluruh kesalahan yang terjadi pada Uni Soviet adalah bagian Stalin. Bahwa ia mengambil julukan Stalin yang lain, Koba, semata-mata karena ia suka bunyinya. Mirip namanya, Kogam. Tapi juga mengingatkan dia akan kobra.
Kini ia menawarkan diri untuk berbagi kamar dengan Larung. Koba tak hanya melakukannya untuk Wayan Togog. Ia melakuk annya untuk bisa memata-matai Larung dengan lebih dingin, sebab Wayan Togog takkan bisa menahan emosinya. Rupanya, ia memang mulai memberi tempat pada kecurigaan terhadap Larung. Meski ia juga memberi tempat untuk prasangka baik.
Kamar itu standar di lantai dua. Sebuah jendela menghadap ke arah lapangan bola di kampung, tempat anak bermain dan kambing merumput. Lampu neon
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang ia nyalakan membuat cat oranye pada dinding terasa menyala. Ubin putih dengan nat yang berdebu. Lemari dari kayu tumbuk yang mudah rusak jika terkena air. Kamar mandi tanpa ventilasi. Dipan yang berderit, serta kudung ranjang flanel yang agak pesing barangkali pernah ada bocah yang ngompol dan binatu hotel tak cukup trampil untuk mengh ilangkan jejak itu. Bau obat nyamuk yang baru disemprotkan bercampur pewangi ruang dengan aroma bunga sintetis.
Diperhatikannya Larung meletakkan barang-barang dalam lemari yang sekat-sekatnya beralaskan koran. Dua tas jinjing. Ia bertanya-tanya. Tapi, kenapa orang harus bertanya-tanya pada diri sendiri saja.
Banyak amat. Apa yang Mas bawa itu"
Larung menoleh padanya. Ia tidak segera menyahut melainkan mengambil sesuatu dari salah satu tas, menggeser-nyala tombolnya dan meletakkannya di lantai. Boneka anjing itu menyalak, guk, guk, melompat-lompat empat langkah, lalu bersalto. Lalu menyalak lagi dan mengulang loncatannya.
Anjing-anjingan. Lucu, ya" Ia berkacak pinggang, memperh atikan benda yang terus membikin suara dan gerakan.
Koba ikut memandangi mainan itu. Ia hanya bisa menikmati kegemasannya jika membayangkan diri sebagai bocah. Dan itu membutuhkan satu dua tenaga. Kegagalannya membuat ia merasa ada yang kekanakkanakan dalam diri Larung.
Untuk apa" p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Buat oleh-oleh. Oleh-oleh buat siapa" Buat kita.
Koba terdiam, menduga-duga apa yang dimaksud Larung.
Anjing itu terus mengguguk dan melompat, mendekati si pemuda.
Larung mengambil tas yang lain dan mengeluarkan yang lain. Jam tangan.
Tahu kamu, katanya, Beberapa aktivis yang diculik tak pernah dibebaskan lagi. Mereka dikurung lebih dari setahun tanpa pernah ada kepastian kapan mereka dilepaskan, atau dibunuh. Anjing-anjingan ini buat kita, supaya tidak mati bosan di dalam sel. Dan jam tangan ini buat mereka.
Mereka siapa" Mereka yang menangkap kita.
Koba terkesiap. Apa kita akan tertangkap" Apakah kamu merencanakan penangkapan kami"
Kalau kita tertangkap, maka kita adalah aktivisaktivisan. Karena itu, kita layak mendapat anjing-anjingan. Kalau mereka menangkap kita mereka adalah tentara palsu. Karena itu, mereka layak mendapat jam tangan palsu.
Koba mencoba tertawa tapi tak bisa. Tiba-tiba ia merasa darahnya mengalir ke tempat lain, membikin dingin tubuhnya.
Karena itu, buang pagermu. Nadanya berubah tegas.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Koba terhenyak. Kalian masih bawa pager, bukan" Anjing itu menubruk kakinya.
Kalian pikir itu bukan barang bukti" Jika ada petugas yang curiga dan memeriksa bawaan kalian dan menemukan pager itu, apa itu bukan pembenar bagi mereka" Kamu pikir nomor alfa 25714 itu tidak tercatat dalam daftar mereka"
Koba terdiam. Ia terkejut karena lelaki itu tahu bahwa mereka masih menyimpan radio panggil masing-masing. Ia terkejut karena lelaki itu ingat nomor starkonya. Di satu sisi ia menerima pendapat Larung. Namun sikap agresif lelaki itu membuat ia defensif. Apa intel kita secanggih itu"
Larung mengambil pakaian dari tasnya. Bukan urusanmu apakah mereka canggih atau sembrono. Urusanmu adalah: jika kamu memang mau jadi gerakan bawah tanah, kamu harus teliti dan tidak memberi mereka sedikit pun peluang tolol.
Peluang tolol, katanya. Tapi apa yang ia katakan memang masuk akal. Koba mengangguk-angguk, meski tak rela untuk membuang penyeranta yang telah ia miliki lama.
Ketika Larung masuk kamar mandi dan nampaknya menikmati air panas yang membikin sauna di ruang tertutup itu, Koba tetap berselonjor di tempat tidur. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak menduga-duga apa sesungguhnya maksud Larung membawa barang-barang dagangan. Ia ingin memeriksa tas lelaki itu tapi tak berani.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Larung bisa keluar sewaktu-waktu dan orang itu nampaknya selalu waspada meski air mukanya selalu acuh tak acuh.
Ia berbaring saja menunggu teman sekamarnya selesai mandi. Ia ingin berbincang dengan santai. Ia ingin merokok sembari menunggu, tapi kelihatannya lelaki itu tidak merokok. Larung menghabiskan setengah jam dan Koba menyesal ia tak membuka dua tasnya.
Saya kelamaan di kamar mandi, ya" tanya Larung. Nadanya cerah.
Tidak. Kamu jangan langsung mandi, deh. Oksigennya habis. Tak ada lubang angin sedikit pun. Ia menghanduki rambutnya.
Apa rencana Mas hari ini"
Kalian istirahat saja. Makan-makan. Saya akan mulai mencari kontak dengan joki itu.
Siapa sih dia sebenarnya"
Saya bisa saja memberi tahu. Tapi, keingintahuanmu tak baik untuk pekerjaan rahasia.
Koba terdiam. Namun kali ini Larung terdengar lebih lembut.
Kamu tahu Budiman sudah tertangkap" Koba terkejut.
Semalam. Pesan-pesan pager dan telepon bocor. Si anak muda terdiam, menarik nafas panjang, menghelanya setelah ditahan. Ia mulai percaya sikap sinis Larung sebelumnya mempunyai alasan. Tapi ia gelisah. Disilangkannya kaki-kakinya yang panjang. Tangannya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
mencari dan memijit jerawat yang kering pada ujungnya di antara yang sebun. Darah dan lemak ia sapukan kadang pada bantal, kadang pada rambutnya yang cepak, seperti tak peduli. Ia memang sedang tak peduli pada kebersihan kecil. Betapa banyak yang ia kenal telah ditangkap. Betapa lebih banyak yang tak ia kenal dan telah ditangkap. Pada saat getas begini ada sebuah titik di mana berbalik dan maju mempunyai tarikan yang sama kuat. Begitu ingin ia tetap bersama kawan-kawan, juga mereka yang tak ia tahu, yang ditangkap atau diculik. Akankah mereka dibebaskan, disidangkan, dipenjarakan, dihilangkan" Ia teringat sajak Wiji Thukul. Hanya ada satu kata: lawan! Ia ingin terus melawan. Di sini. Di tanah airnya. Tetapi perbatasan tinggal beberapa kilo meter lagi. Mungkinkah ia membatalkan pelarian ini dan kembali" Tidak mungkin. Mungkin tidak.
Ah. Bagaimana Mas bisa mulai terlibat dengan gerakan, Mas" Mas bukan aktivis mahasiswa.
Larung mengancingkan kemejanya. Saya tak punya kesemp atan untuk demo waktu itu. Saya harus mengurus nenek. Sekarang sudah meninggal.
Orangtua masih ada" Bapak saya sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Dibunuh tentara penumpasan G30S.
Bapak Mas PKI" Kata itu terasa janggal. Bukan. Dia tentara. ABRI Nasakom"
Larung mengangkat bahu. Barangkali dia juga bukan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bapakku. Si anak muda menyadari bahwa Larung kerap melontarkan kalimat yang tak ia pahami kecuali secara tata bahasa.
Ayahku juga militer, Mas. Polisi. Dia jujur, tapi jadi korban. Komandan tidak suka.
Larung tidak menunjukkan simpati.
Bapak saya tidak jujur. Tapi juga jadi korban. Sekali lagi Koba terdiam. Sebelum ia sungguh mencerna jawaban itu, ia menyadari gerak tubuh lelaki di hadapannya berubah, seperti sesosok karakter lain menguasai badan itu. Suara yang renyah dan berintonasi menjadi datar dengan frekuensi rendah.
Tak ada pahlawan di sini. Yang ada hanya pemenang dan pecundang. Lelaki itu seolah tersenyum.
Ya& tapi itu tidak berarti kita boleh melupakan kekejaman Orde Baru, Mas.
Larung terbahak, agak berlebihan. Lalu terbatuk. Lalu datar. Tentu. Pasti. Sebab siapapun yang menang ABRI, komunis, angkatan kelima, siapapun dengan ideologi apapun akan melakukan kekejaman yang sama terhadap lawannya.
Ah, masa& Koba kehilangan bantahan dan Larung tahu itu. Dan kamu, Bung. Kamu percaya komunisme, kan" Komunisme dan sosialisme sebagai bagian dari sejarah gerakan kiri. Ya, sahut Koba kalem. Adalah karikatural jika kita hanya melihat komunisme-sosialisme sebag ai Stalin. Dia adalah contoh terburuk dan meleset, sebab dia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang membelokkan komunisme menjadi totalitarianisme. Bukan Lenin.
Lenin adalah Tuhan, sebagaimana Kristus adalah Tuhan, sebab Tuhan adalah Kasih dan Kristus dan Lenin jugalah Kasih. Isadora Duncan, penari Amerika.
Ya& tidak seperti itu. Tapi, kita tidak bisa melihat wajah gagal sosialisme Soviet sebagai satu-satunya model. Telah lahir kaum revisionis, telah lahir kaum Marxis yang anti-Lenin, bahkan sejak kongres internasional yang kedua. Saya kira kita bisa belajar pada para pemikir kiri kontemporer, Gramsci yang Marxis, Chomsky yang tidak. Atau, pada kemenangan politik Allende yang digagalkan militer dengan dukungan Amerika. Pada gerilyawan Zapatista&
Larung terbatuk. Persis! Tapi Anda, Bung, memaafkan sosialisme dengan melihat wajahnya yang banyak, sementara menga mbil hanya rupa terburuk kapitalisme. Bagi Anda sosialism e terus berkembang, sementara kapitalisme berhenti pada revolusi industri.
Koba manggut-manggut, masih memikirkan jawaban. Larung tidak berhenti. Apologis, Bung, adalah sikap tidak adil sejak dalam pikiran.
Si anak muda belum menemukan bantahan. Kejahatan dan kebaikan datang dalam satu paket. Masa iya sejauh itu.
Larung tertawa. Ia menepuk bahu Koba. Dituangnya segelas air dari termos. Ia mengeluarkan kotak pil dari tas pinggangnya dan meminum sebiji.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Sakit apa, Mas" Obat halusinasi. Lelaki itu nyengir. Kalau orang lain menelan ekstasi atau jamur tahi sapi supaya halusinasi, saya minum pil ini supaya tidak halusinasi.
Mas ini humornya sinis sekali. Tapi dalam hati anak muda itu bertanya. Apa yang menyebabkan Larung bersedia membawa mereka sementara ia sama sekali tidak bersimpati pada apa yang mereka yakini" Lelaki itu rasanya tidak pernah bersemangat membela nilai apapun. Koba baru menyadari, Larung tak pernah mengajukan ide apapun. Ia hanya menyerang. Ia menyerang semua. Siapakah dia sesungguhnya"
M enurutku dia bukan intel . Terdengar Koba, agak berbisik. Kompor baru saja dipadamkan, desis pancaran gas yang terbakar berhenti, suara mereka tiba-tiba terdengar di kedai chinese food itu Koba menyadari bahwa orang-orang tak pernah menulis rumah makanan cina . Juru masak yang berbicara campuran Hoakiau men yuruh pelayan mengantar kerapu, cumi, dan ayamayaman ke meja mereka. Bumbu saus kerang, lada hitam, dan panggang kecap. Ikan di sana segar sebab ini kota pinggir laut.
Kenapa kamu begitu yakin" tanya Wayan Togog setelah pelayan pergi.
Dia cerdas. Bilung tertawa. Soalnya, intel kita pasti dungu. Intelijen barangkali pintar dalam perkara teknis.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi, mereka tak akan menguasai teori sosial. Pengetahuan mereka sebatas das Sein dan das Sollen. Larung punya ketrampilan analisa kritis. Meskipun ia nampaknya tak percaya apapun, lanjut Koba setelah sesaat. Dia mungkin cuma orang aneh, sambungnya lagi. Aktivis tak bisa aneh, bantah Wayan Togog segera. Gimana mau prodemokrasi kalau aneh dan membela kapitalisme!
Kedua kawannya diam. Bukan setuju. Koba selalu tahu banyak jargon dalam wicara Wayan Togog. Jargon membuat pemuda itu komunikatif dalam orasi massa. Tak seperti dirinya. Ia tak pernah iri. Ia hanya tahu bahwa ia tak bisa terlalu mengandalkan penalaran Wayan Togog.
Bilung juga tak menanggapi. Ia melahap ikan ayamayaman dan berdecak kagum atas rasa daging yang putih dan tebal itu. Ia selalu bersyukur atas makanan. Tubuhnya gempal. Rambutnya yang berponi mulai basah oleh keringat yang mengucur jika ia sedang makan. Ia biasa bilang: aku tidak suka merenung ketika mengunyah, tapi suka mengunyah ketika merenung. Ia bukan orang yang rakus pemikiran, dan tak pernah berlagak filsafati. Baginya keadilan adalah perkara nurani dan kerja, bukan teori. Ia percaya rasa keadilan sesungguhnya nyata pada hati setiap orang sebagaimana pada hatinya dan kita tak membutuhkan buku untuk itu. Persoalannya sederhana: ada makhluk-makhluk yang tamak dan gila kekuasaan.
Ia berasal dari keluarga santri pedagang di Kediri. Nama pemberian orangtuanya adalah Farid Fanani, anak tengah dari sembilan bersaudara. Ia masuk pesantren
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
selama tiga tahun selain belajar di sekolah umum. Ia suka kabur dari pesantren untuk nonton tanggap wayang. Sampai sekarang ia selalu tersentuh oleh adegan perang kembang, barangkali karena nostalgia. Selalu kagum dengan ucapan satria yang berangkat ke medan: Saya pamit mati. Dua kakaknya belajar filsafat dan menjadi aktivis mahasiswa satu di Universitas Gajah Mada, satu di IAIN Sunan Kalijaga, dua lagi menjadi dokter dan ekonom. Salah satu kangmasn ya yang aktivis, Akhmad Sahal, menjadi seorang alim libertian ia menyebut diri begitu. Ia percaya bahwa agama apapun, sebagaimana sosialisme, harus memisahkan diri dari politik kekuasaan. Agama dan sosialisme harus menjadi gerakan di luar negara. Farid Fanani banyak dipengaruhi kakaknya itu. Karena itu, bagi dia, gerakan kiri tak boleh berorientasi kekuasaan. Namun, di sekolah menengah ia lebih tertarik pada ilmu pasti. Berbeda dengan abangnya yang belajar filsafat, ia masuk MIPA Universitas Airlangga. Ia mulai sebagai aktivis lingkungan sebelum bertemu Wayan Togog dan Koba yang banyak mengajak dia mengikuti diskusi kecil pemikiran kiri. Ia menghormati kawan-kawannya namun lebih tertarik pada Haji Misbach sebagai kisah tentang orang muslim yang komunis, atau Che Guevara yang memenuhi sempurnanya kegagahan pahlawan. Ia lebih suka membaca biografi ketimbang mengkhusyuki pemikiran seseorang. Meskipun ayah-ibunya membenci betul Israel dan komunisme, ketika kecil ia menikmati kisah petualangan Eli Cohen, agen rahasia Mossad, juga perseteruan KGB-CIA. Ia suka petualangan, ia suka
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
mendaki gunung, ia suka pakaian bergaya militer, dan lelucon.
Beberapa kali demonstrasi mengikat persahabatan antara Farid Fanani, Ketut Alit Kertapati, dan Wapangsar Kogam Sebayang. Mereka membikin Solidarlit sembari, dalam semangat humor, memilih alias sebagai kelahiran kembali jiwa mereka. Ia memilih Bilung, yang juga adalah abdi para Kurawa bersama Togog. Sebetulnya dialah yang dengan enteng mengusulkan nama-nama itu kepada Ketut Alit. Ketut Alit membuatnya menjadi serius, mengambil Togog untuk diri sendiri sesungguhnya dengan alasan bahwa bunyi itu lebih gagah untuk dirinya, bisa terdengar Sumatera, dibanding bunyi Bilung yang rasanya kurang jantan dan amat berbau abdi Jawa. Sebetulnya tokoh Togog yang mulutnya robek karena melahap gunung lebih cocok untuk Farid Fanani yang doyan makan.
Dalam pembagian kerja Solidarlit yang terbentuk pelan-pelan, Koba banyak membuat konsep gerakan dan garis besar ideologi organisasi. Wayan Togog terutama menjadi panglima lapangan yang berani dan ngotot. Bilung amat trampil mengerjakan urusan teknik: mencetak dan menyebarkan selebaran gelap, bekerja dengan radio rahasia dan program komputer. Bilung tahu teori merakit bom, baik dari potassium, bubuk hitam, maupun pupuk urea yang ia dapat dari internet, tapi mereka belum percaya bahwa kekerasan merupakan strategi untuk perjuangan. Mereka lebih percaya pada usaha penyadaran dan membangun jaringan. Ketiga anak muda ini menjadi motor dan tulang punggung gerakan itu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Mereka menghabiskan santap siang tanpa banyak bicara sebab beberapa tamu lain mengunjungi kedai itu. Ruang tidak besar dan meja bersisi-sisian. Tak aman lagi membicarakan rahasia. Tiga anak itu memutuskan untuk berjalan-jalan, memahami selintas kota, sambil, siapa tahu, menemukan Larung dan mengawasi gerakgeriknya. Kota itu kecil. Dalam satu jam mereka telah menyusuri rumah-rumah penampungan ikan, pelabuhan, jalan utama, lalu kembali ke Wisma Saleh.
Koba tidak mendapati kunci kamar di penerima tamu, maka ia tahu Larung telah di kamar, menanti mereka, menanti dia.
Gimana jalan-jalan kalian"
Baik. Koba mencoba membaca adakah Larung tidak senang karena mereka tak segera pulang. Nggak apa kan kami keliling-keliling"
Nggak. Saya cuma kesepian. Tiba-tiba saya kangen nenek saya. Nadanya seperti anak yang merajuk tapi tak mengaku.
Bukannya sudah meninggal lama"
Larung diam sebentar. Lalu, samar-samar menggumamkan lagu kupu-kupu.
Bung, Anda punya adik bernama Pahrev" Ada apa dengan Pahrev" Entah kenapa Koba menjadi cemas.
Tidak ada apa-apa. Dia abangku. Ada apa dengan dia"
Tidak apa-apa. Saya cuma menebak-nebak apa ayahmu memberi nama Pahrev pada salah satu anaknya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Eh, ada apa di telingamu"! Apa"
Oh, cuma bayangan. Bagaimana Mas tahu tentang Pahrev"
Saya tidak tahu. Main tebak-tebakan aja. Larung nyengir, seperti bocah yang jahil. Tapi Koba agak ngeri melihat raut itu. Ia tak tahu kenapa. Namamu Wapangsar Kogam. Ayahmu tentu pembela militer Orba. Barangkali ia juga menamai anaknya Pahrev atau Tuparev Pahlawan Revolusi atau Tujuh Pahlawan Revolusi. Pahrev lebih bagus. Tapi, kalau kamu punya abang lain yang bernama Usdek, maka ayahmu adalah pengagum sejati kekuasaan.
Koba hampir tak percaya dengan yang ia dengar. Tebakan Larung terlalu tepat. Ia mempunyai dua abang. Yang lahir tahun 1962 bernama Usdek, dan yang bulan Desember 1965 bernama Pahrev. Nama Wapangsar Kogam disiapkan untuk anak berikutnya yang langsung dikand ung ibunya. Tapi bayi itu meninggal ketika lahir, dan sebutan itu diberikan pada dia, yang lahir tahun 1971. Dan ayahnya memang seorang pengagum kejayaan. Dan kenapa Larung tidak menyebut nama lain Tavip, misalnya. Mengapa ia menyebut Usdek dan Pahrev. Ia gumun dan gelisah.
13 A gustus 1996 C emas membangunkan Koba sebelum subuh usai.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tubuhnya basah dan ia mendapati pendingin disetel dengan temperatur 26 derajat. Mungkin Larung. Ia teringat ayah-ibu dan abang-adiknya di Medan. Adakah polisi militer datang dan menginterogasi mereka" Barangkali Pahrev yang tak tahu apa-apa diambil dari rumah dan dipuk uli demi satu dua petunjuk tentang tempat dia sembunyi" Koba sungguh terganggu dengan percakapan kemarin. Ia menelan ludah, membasahi kerongkongan yang kering. Ia telah mendesak pada Larung, bagaimana pria itu bisa menyebut nama dua kakaknya dengan tepat, hampir tak mungkin sebagai sebuah tebak-tebakan. Tapi Larung cuma menyimpulkan, Kalau begitu, ayahmu terduga. Itu pun betul.
Koba seperti tak ingin percaya. Ada tuduhan-diri terlalu naif jika ia percaya pada sekadar kebetulan. Ia mar ah oleh ketidaky akinan. Siapakah Larung" Apakah dia punya hubungan dengan militer dan memberi tanda bahw a keluarganya dalam bahaya" Tapi tak ada bukti bagi dia untuk menuduh Larung. Pun jika pria itu berpihak pada militer, kenapa pula ia memberi petunjuk" Di pihak lain, Larung adalah makhluk yang terasa mustahil. Katakatanya seperti mempunyai pesan yang sulit. Lalu Koba marah pada dirinya karena ia mulai percaya takhayul: jangan-jangan itu adalah isyarat gaib bahwa keluarganya terancam. Ia marah, tapi ia tak sanggup menghambarkan kecemasan itu dengan penalaran.
Dipandanginya Larung yang masih mendengkur lembut dalam selimut. Tak kuat menahan gelisah, Koba bangkit, meninggalkan kamar dengan selinap, menuruni
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tangga hotel, menyeberang jalan ke sebuah warung telepon 24 jam. Biasanya ibu telah bangun untuk sholat subuh. Ia memencet nomor, menanti nada panggil itu putus oleh suara ibunya. Tapi semua lewat. Ia semakin gelisah. Ia pijit nomor telepon genggam Usdek, abangnya yang bekerja di perkebunan kayu. Hanya kotak pesan yang menjawab. Lalu ia menyesal telah menghubungi alamat itu, sebab nomor pesawat wartel ini akan tercatat di sana. Ia mengumpat, merasa tolol, tapi terlambat. Ia menghubungi rumahnya sekali lagi. Kali ini ibunya mengangkat. Ia tergetar oleh nada cemas dan kerinduan wanita itu. Tapi mereka bicara singkat. Ia menanyakan apakah abang-adik aman. Ibunya menjawab ya. Ia bilang ia masih di Surabaya. Ibu yang baik-baik, ya. Kogam sayang Ibu.
Koba menarik nafas panjang. Pagi masih gelap. Ia merasa salah dengan tindakannya. Lihat, bukankah aku terlalu cemas tadi" Ia merasa telah gagal menahan diri sehingga ia melakukan yang tak boleh: menghubungi telepon genggam yang akan merekam alamatnya. Ia merasa jerawatnya meradang.
Ia tidak kembali ke kamarnya. Ia mengetuk kamar Wayan Togog dan Bilung. Ia ingin bercerita tapi ia tahu resikonya: Wayan Togog akan semakin yakin dengan tuduhan bahwa Larung adalah intel, atau setidaknya informan. Ia memutuskan untuk menunda. Tapi ia menyampaikan tujuannya dengan kata-kata lain.
Setiap kita bisa salah, Kawan. Prasangka baik saya bisa keliru. Prasangka buruk Togog juga. Bagaimana kalau
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
giliran Bilung ikut mengawasi Larung untuk mengimbangi saya dan Togog, supaya kita bisa mengambil keputusan mengenai pelarian ini"
Siap, Kamerad Komandante. Kula pamit pejah. Bilung nyengir. Di balik kemeja yang tak dikancing, perutnya yang mulai buncit itu membikin lipit lengkung di bawah pusar, seperti sebuah senyum yang mewakili seluruh tubuhnya. Ia selalu riang dan penuh canda, meski orang lain tak selalu tertawa. Ia tahu Koba tak mengerti kalimat terakhirnya sebuah permisi yang diucapkan satria peway angan yang akan berperang.
H ari ini mendung . Jadwal berulang sebagaimana kemarin. Ketiga anak muda punya hari bebas. Larung kembali mencari kontak dengan joki berikutnya. Ia ber angk at seusai sarapan. Tapi Bilung membuntuti. Ia mengi ntip pria bertubuh kecil itu menyewa ojek dari muka Wisma Saleh. Seperempat jam kemudian Bilung menem uk an dia di wilayah pelabuhan. Larung mencangklong salah satu tas multi-bentuk. Lelaki itu juga memegang sebuah, yang ia tawarkan kepada beberapa orang yang duduk di warung. Ia menyamar sebagai pedagang.
Bilung merendahkan topinya, duduk di sebuah jarak, menet apkan matanya pada sosok itu. Perlahan ia mulai mengagumi Larung karena sikapnya yang luwes sebagai pengasong. Lelaki itu ngobrol, memamerkan kehebatan dagangannya, juga membuat orang yang mendengarkan tertawa. Perlahan Bilung mulai terlibat dengan obyek perhatiannya. Ia bertaruh dengan diri sendiri apakah
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Larung berhasil menjual asongannya. Adakah ya adakah tidak. Ketika pria mungil itu berhasil menjual satu, Bilung ikut tersenyum senang dan berkata, hebat. Ia seperti menonton sebuah pertunjukan.
Dalam satu jam Larung menjual dua. Dan Bilung menggumam, hore.
Seseorang, barangkali bintara angkatan darat, berjalan mend ekati Larung. Jarak tak memungkinkan Bilung mengenali tanda-tanda di bajunya. Tapi ia mengenakan pakaian dinas lapangan dengan topi pet. Bilung menegak, menjadi waspada. Ia bergeser ke tempat yang lebih tersembunyi. Matanya membidik. Si serdadu berhenti di muka Larung. Dua orang itu bercakap-cakap. Bilung mencatat bahwa Larung memandang ke lain arah beberapa kali ia menafsirkannya sebagai tindakan menyisir sekeliling sement ara tentara tadi menatap lurus padanya. Setelah semenit Larung menunjuk ke sebuah tempat dan mata lawan bicaranya mengikuti arah itu. Lalu orang itu mengangguk-angguk. Larung mengeluark an seekor anjing-anjingan dari tas dan menunjukkan kebolehan boneka itu di atas meja. Serdadu itu, mungkin bintara, menatapnya sesaat sambil menyeringai (Bilung bisa melihat putih giginya). Mereka bercakap-cakap lagi. Orang itu mengeluarkan dompet dari sakunya, uang dari dompetnya, menyerahkannya pada Larung dan Larung memberikan boneka anjing itu dalam sebuah kantong plastik hitam.
Ketika dilihatnya pria itu berjalan ke arah dia, dengan tas berisi boneka anjing, Bilung segera beringsut dari sana. Ia berdebar seketika, gentar bahwa ia akan dikenali.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi ia juga cemas seandainya Larung menangkap basah dia sedang menguntit. Ia pergi dari tempat itu, yang merupakan jalan menuju gerbang ke luar.
Tapi ketika Bilung kembali ke bangku semula, tak didapatinya lagi Larung di pelataran pelabuhan maupun warung-warung di sana.
A ku kehilangan dia . Diamput!
Di dalam kamar Bilung telah menceritakan apa yang dia amati (ia menyelipkan lelucon di sana sini, selalu). Namun hasil itu tak mengubah apapun. Wayan Togog tetap yakin bahwa Larung bermaksud jahat terhadap mereka. Lelaki tak dikenal itu secara ideologis berseberangan dengan kita dan dia telah bercakap-cakap dengan seorang militer yang tiba-tiba ada di pulau ini, datang entah dari mana. Namun Koba tetap ragu. Bisa saja tentara itu kebetulan di sini, menengok kerabat bantahnya.
Kenapa dia langsung menuju Larung. Bukan tanyatanya kepada orang lain" Wayan Togog bertahan. Mungkin kebetulan saja.
Di dunia seperti ini kamu masih percaya pada serba kebetulan" Di mana-mana ada konspirasi, Kawan! CIA terlibat dalam PRRI. CIA terlibat aneksasi Timor Timur. Aku percaya G30S juga kerjaan CIA dan tentara agar punya alasan untuk menumpas komunisme.
Koba diam. Masa iya sejauh itu. Ia diam. Teori konspirasi kadang terlalu& Ia tak menemukan kata-kata. Katakanlah, ujar Bilung, Larung memang intel,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
atau informan. Katakanlah ada konspirasi di sini. Kita hanya mungkin menarik dugaan terbalik: apa kepentingan Larung membiarkan kita bebas sampai detik ini"


Larung Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gampang sekali! Mereka ingin menangkap orang yang akan menjemput kita, sahut Wayan Togog. Siapa dia kira-kira"
Dia pastilah orang yang lebih penting daripada kita. Koba kembali bicara, senantiasa dengan nadanya yang tenang.
Siapa yang lebih penting daripada kita" suara Wayan Togog meninggi.
Orang yang lebih prestisius bagi mereka untuk menangk apnya.
Wayan Togog mengerutkan dahi.
Bajigur! Jadi, kita ini pancingan" Bilung menganggukangguk dengan tertarik.
Tapi siapa dia" Entahlah.
Mereka terdiam. Tapi, bagaimana kalau Larung bukan intel" suara Koba terdengar lagi setelah sesaat.
Berarti tidak ada daripada persoalan lagi, sahut Bilung dengan wajah lucu, menirukan Presiden Suharto yang mereka benci.
Kita harus siap dengan skenario terburuk, Wayang Togog seperti menyergah. Seperti tak mau memaklumi seloroh. Bahkan kita harus siap untuk membunuh Larung jika betul ia menyerahkan kita, dan orang itu, kepada militer. Sebab, menyerahkan kita pada militer adalah
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sama dengan membunuh kita! Sejak itu udara menjadi tegang. Kamar mulai dipenuhi asap rokok.
Seketika mereka merasakan genting suasana. Bilung berhenti tersenyum.
Bunuh. Mereka tak pernah sungguh-sungguh meras a dekat dengan kematian selama ini. Dibunuh atau membunuh. Yang mereka kerjakan lima tahun belakangan adalah mendekati ribuan babu dan buruh di Surabaya dan sekitarnya, berbicara pada mereka, mencoba meyakinkan bahwa mereka punya hak untuk upah yang lebih, jam kerja yang kurang, hari libur, dan bahwa pemerintah, aparat keamanan, dan para majikan telah bersekongkol sehingga untuk melawan kekuatan itu mereka harus bersatu dan berorganisasi, juga belajar membaca dan menulis. Ketiganya tak pernah merasa kegiatan itu sebanding dengan hukuman mati. Tak pernah sadar, hingga Pangdam Jaya Mayjen. Sutiyoso menyat akan perintah tembak di tempat dua pekan lalu dan KSAD Jendral R. Hartono menyatakan komando itu berlaku nasional. Komando yang membuat tiga anak itu sampai di kamar sumpek hotel ini. Pun dalam perjalanan mereka tak pernah percaya bahwa pembunuhan membayang-bayangi.
Tapi kata-kata Togog membuat mereka merasakannya. Jarakn ya. Dibunuh. Membunuh.
Masih jauhkah. Sudah dekatkah.
Tapi Togog mengatakannya sebab ia tak melupakan ucapan Larung: Kalian hanya berharga jika mati.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tiba-tiba ada sesuatu yang menjerit. Bunyi radio pangg il terdengar di telinga mereka sebagai jeritan. Alarm yang seketika menakutkan. Seperti peringatan atas kecerobohan diri sendiri. Seperti tanda bahaya. Telah tiga hari benda itu tidak berbunyi. Siapa yang kini men girim pesan" Orang yang tahu mereka di sini" Pesaw at siapa yang berbunyi dari antara tiga anak di ruang itu. Bilung terkejut mengetahui bahwa di antara mereka masih ada yang membawa penyeranta. Ia send iri telah meningg alkan radio panggilnya di Jakarta, setelah mencabut nomor seri dan mengh apus pesan-pesan. Koba dan Wayan Togog serentak berdiri. Sedetik kemud ian Koba ingat bahwa pesawatnya ia tinggal dalam lemari di kamarn ya. Bukan di kamar ini. Yang memekik bukan radionya. Wayan Togog mengambil miliknya dari saku celana.
Ia memijit tombol. Radio itu berteriak lagi. Kedua kawannya setengah membentak: matikan bunyinya! Mereka gugup.
Wayan Togog membaca pesan itu. Pager makan tanaman. Pengirim: B.C. Mereka terdiam. Mulai bingung. Radio itu berteriak lagi.
Matikan bunyinya, tolol! Ini pesawat lama. Nggak ada menu mematikan bunyi. Wayan Togog terlihat gugup.
Pesan yang sama berulang tiga kali. Pager makan tanaman. B.C.
Mereka berkeringat. Pesan nyasar" Atau sebuah
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sandi" Atau intimidasi"
Lalu Koba bicara, dengan suaranya yang kalem. Saya kira Larung. Permainan kata itu amat khas dia.
Apa maksudnya pagar makan tanaman " Apakah dia yang sedang menjaga kita akan mencelakakan kita"
Itu pager makan tanaman . Pe-jer, bukan pa-ger. Koba menatap Wayan Togog. Barangkali kita memang salah, masih membawa pager dalam pelarian ini.
Wayan Togog menggeser-geser rahang bawahnya, seperti biasa jika ia berpikir dengan geram. Aku kira kita tidak salah. Meskipun kita dalam pelarian, kita perlu memantau perkembangan.
Persoalannya, yang punya potensi masuk ke pager kita bukan cuma informasi, tapi juga disinformasi, kata Bilung. Ia sendiri tak setuju dua kawannya membawa serta benda itu dalam perjalanan ini.
Tiba-tiba mereka disentak oleh jerit bipbip di kejauhan. Dari ruang lain. Makin lama makin keras, membuat cemas. Koba mengenali bunyi pesawat panggilnya. Pemuda itu meloncat, agak panik, berlari ke luar kamar. Terdengar kunci diputar dengan grusuh. Sesaat kemudian alarm itu berhenti. Koba kembali kepada kedua kawannya. Agak terengah.
Pager makan temen. Sjam. Koba yakin ia mengenali humor yang sinis itu. Tapi, apak ah ini semata-mata lelucon"
Lucu juga sih, cuma agak sadis. Bilung mulai
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tertawa lagi. Kali ini agak pahit. Apakah yang dia maksud B.C adalah Biro Chusus dan Sjam adalah Sjam Kamaruzaman"
Saya kira ya. Maksudnya supaya kita hati-hati terhadap agen ganda seperti Sjam" Atau, mengatakan bahwa dia sendiri adalah agen ganda. Aktivis, juga binaan militer&
Ini sudah keterlaluan! Wayan Togog mengepal tangan. Aku akan tanya langsung padanya!
Koba membaca kembali radio panggilnya yang kini bergetar. Ia telah mengganti menu bipbip dengan vibrasi. Pesan itu juga diulang tiga kali. Pager makan temen. Sjam. Saya kira, kalau dia mengaku bahwa dia yang mengirim ini, pesannya mudah: buang pager kita. Lihat, bagaimana kita telah dibikin gugup oleh ini.
Persoalannya, kata Bilung, kalau dia tidak mengaku, gimana"
Pesawat Wayan Togog berbunyi lagi. Operasi Jalesveva Jaya Mahe. K.O.T.I. Pesawat Koba.
Di Laut Kita Jaya. K.O.T.I.
Ketiga anak itu sama-sama menghela nafas panjang. Tak mengerti apa yang mereka hadapi. Ada kecemasan yang merayap kembali. Ada rasa tak nyaman menunggu. Ada kemarahan entah pada siapa. Ada rasa dipermainkan. Kini sunyi. Koba dan Bilung duduk di dua kursi. Wayan Togog berdiri, kadang-kadang berjalan gelisah, seputar mereka. Dua pesawat penyeranta tergeletak di meja kecil. Ketiganya tetap menatap ke sana. Mereka mulai menyap u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dari, betapa radio panggil itu sekarang menggelisahkan. Barangkali kita buang saja benda ini. Atau kita matikan. Tapi, bagaimana jika ada pesan penting masuk" Lagi pula, mungkin kita bisa membaca sesuatu dari beritaberita ganjil yang akan berturut-turut masuk. Tapi, apa gunanya" Untuk menemukan jawab siapa Larung" Tapi, kita bisa mengetahui sesuatu dari pesan-pesan itu. Sesuatu yang disembunyikan. Rahasia yang akan tersingkap jika kita berhasil menyusun informasi-informasi tak lengkap seperti puzel.
Ruangan telah penuh dengan asap rokok.
Pesawat Koba bergetar di atas meja. Ada pesan menunggu dibuka.
Ia mulai ragu. Cemas untuk menerima pesan yang tak term engerti. Tapi juga tak tahan mengatasi penasaran. Ia ambil starkonya.
Batu besar terlewati, tetapi kerikil tersandung. Sjam.
Teka-teki. Mereka telah terjebak dalam permainan teka-teki. Mereka ingin pergi dari permainan, tapi tak bisa.
Lagi. Gajah di seberang lautan tak nampak, kuman di pelupuk mata juga tak nampak. Sjam.
Tak ada yang nampak. Mereka tetap tak bicara. Hanya pertanyaan yang berbiak dan berulang. Larungkah" Atau bukan" Jika Larung, apa maksudnya" Jika bukan, siapa" Apa pula maksudnya"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Apa yang terjadi pada Larung sementara ini" Lalu Koba terbayang keluarganya. Ia teringat kesalahannya dini hari tadi: menghubungi telepon genggam abangnya. Ia diam saja, menyimpan itu dari teman-temannya, tapi tangannya basah.
Setengah jam dua radio panggil itu diam. Kini pesawat alfa 42690 menjerit-jerit. Wayan Togog segera menyambarnya. Pesan itu datang lagi.
Setan datang dengan langkah-langkah kecil. B.C. Pesawat Koba bergetar.
Setan datang dengan langkah-langkah kecil. Sjam. Dua pesawat itu menjerit dan bergetar.
Setan datang dengan langkah-langkah kecil. Setan datang dengan langkah-langkah kecil. Setan datang dengan langkah-langkah kecil. Mereka mendengar langkah-langkah kecil di lorong. Mereka melihat hujan kecil membintik di kaca jendela.
B elakangan ini cuaca tak jelas, Bang.
Anson menyiapkan perahu. Harusnya musim barat belum datang. Tapi, kadang ada topan.
Saman menatap langit. Segumpal awan hitam. Masih jauh.
Kau pikir cukup aman pergi sekarang" Kita cobalah, Bang.
Kau lebih tahu. p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi barangkali tak baik kembali terlalu sore. Kita lihat nanti.
Pongpong itu biasa dipakai untuk mengangkut ikan dan penumpang ke Kijang, kota Bintan yang paling dekat dengan Mapur. Mesinnya satu, Yamaha 120 PK. Tak ada yang menarik perhatian. Memang tak ada yang istimewa dari perahu itu. Kecuali bahwa tekong Anson tidak menerima penumpang kali ini. Kami tak ke Kijang, ia meminta maaf pada orang-orang yang berdiri di dermaga. Dinyalakannya motor yang segera menjauhkan pongp ong dari pulau; mesin solar yang membikin jejak hitam yang larut pada laut, serta warna minyak.
Sekitar pukul sepuluh pagi. Saman harus menjumpai orang itu, Larung, di pelataran pelabuhan Pelni pada waktu makan siang. Mereka akan bersantap di salah satu kedai di sana. Tempat itu kecil. Mestinya tak sulit bagi keduanya untuk saling menemukan. Perjalanan perahu akan membutuhkan sekitar dua jam. Jika semua lancar, ia bisa membawa anak-anak itu ke Mapur hari ini juga. Jika pertemuan memakan waktu lama, barangkali ia harus menginap di Kijang. Saman sedia untuk dua kemungkinan.
Pongpong menembus sinar matahari yang ada dan hilang oleh awan-awan yang berarak dalam gerombol. Ia berharap tak ada badai hari-hari ini. Ia ingin semua cepat selesai dan ia bisa menelepon Yasmin. Memberi kabar dan memberi kecupan. Ia ingin perempuan itu lega.
Mereka tiba di dermaga kecil, dekat bak pemasok air kapal. Saman melirik arlojinya. Jarum menuju pukul 12:15.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Anson men amb atk an perahu. Ia mempersilakan abangnya pergi. Ia akan nongkrong di sana. Ia kenal dengan si juragan air. Pelabuhan Pelni bersebelahan dengan dermaga kecil itu, sekitar tiga ratus meter. Saman melangkah ke sana dan memperhatikan sekeliling. Dengan seketika mata siaganya menyorot laki-laki berseragam loreng yang sedang membeli sesuatu dari seorang pengasong. Ia telah terlalu terbiasa menyamakan tentara dan masalah. Sembari mencoba bersikap wajar ia mengawasi gerakgeriknya hingga pria itu meninggalkan gerbang pelabuhan. Setengah jam kemudian si penjaja berada di sebelahnya. Arloji, Mas" Oleh-oleh buat Yasmin. Orang itu menatap wajahnya baik-baik.
Saman mengenali raut itu. Tapi ia memperhatikan beberapa detik lagi. Tubuh mungil itu, sekitar 150 cm, meyakinkan Saman. Tapi senyumnya menyenangkan, berbeda dari foto yang ia lihat.
Yasmin sudah punya arloji. Ada yang lain" Anjing-anjingan" Lalu orang itu berbisik, Kita minum di tempat lain. Saya sudah mulai kenal dengan orang-orang sini.
Dengan singkat Larung menjelaskan bahwa tempat mereka menginap tak jauh dari bandar ikan sedikit ke selatan. Ia mengu sulkan agar pongpong dipindahkan saja dan mereka bertemu lagi di sana dalam waktu satu jam. Saya akan memperhatikan keadaan dulu. Saman pun menemui Anson. Mereka mengendarai perahu ke dekat penampungan ikan. Satu jam kemudian Larung muncul di dermaga. Di sini waktu memang pelan. Lalu ia dan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Saman masuk ke sebuah kedai. Dari sana mereka bisa melihat Wisma Saleh. Saman menawari rokok. Larung menggeleng, Terima kasih. Mereka berbincang seraya saling memperhatikan.
Rasa waswas Saman berangsur pudar sementara Larung menc er itak an perjalanan mereka. Wicaranya yang padat dan runtut mengesankan Saman bahwa lelaki yang baru dikenalnya itu matang. Ia memberi informasi yang perlu mengenai ketiga anak Solidarlit, tidak berlebihan, latar belakang mereka, tabiat mereka ia punya pengamatan yang cermat. Ia juga menyiratkan bahwa ia cukup tahu mengenai Saman, mengerti percintaannya dengan Yasmin. Sesuatu membuat Saman lega.
Sambil menghabiskan kopi mereka memandang ke Wisma Saleh, sekitar dua ratus meter dari warung. Sesuatu membuat mereka terkesiap:
Sebuah motor tanpa plat nomor berhenti di muka hotel. Dua orang bertubuh tegap yang berboncengan turun, menyandarkan kendaraan itu begitu saja, menghalangi jalur utama ke pintu penginapan. Saman dan Larung terbiasa awas dengan gerak-gerik semacam itu. Orangorang yang merasa bahwa diri mereka sebanding dengan peraturan. Mereka berdebar. Salah satu dari lelaki tegap tadi memegang pesawat handy talky, mendekatkan ke mulutnya, seperti berbicara melalui radio satu jalur itu. Bangsat. Kita ketahuan. Larung berbisik. Saman menatap tak percaya.
Lelaki yang pertama mengembalikan HT pada kait di pingg angnya, lalu menyeberang, masuk ke wartel 24 jam.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Yang kedua menuju wisma. Darah Saman seperti terpompa ke jantung dan kepala, meninggalkan lemas pada tangan dan kaki.
Anak-anak itu di dalam, ujar Larung seraya bangkit. Nadanya cemas.
Ia tahu lelaki yang masuk ke hotel akan mengecek kepada resepsionis. Beruntung ia mendaftarkan mereka atas namanya, Larung Lanang, yang tak dikenal sebagai aktivis. Tapi cukup beberapa menit saja bagi petugas berpakaian preman itu untuk bisa menganalisa tentang empat tamu dari Jakarta. Apalagi tak terlalu banyak yang menginap di sana. Jika yakin, mereka mungkin sekali akan meminta tambahan pasukan sebelum mengetuk kamar. Jarang mereka menangkap tiga atau empat buruan berdua saja. Mereka akan menunggu anggota lain. Kita masih punya waktu, kata Larung.
Sejak semula Larung telah memperhatikan, tak ada pintu belakang di hotel itu. Resepsionis adalah satusatunya jalan masuk dan keluar. Mereka bersepakat: Larung akan mengambil resiko kedalam, dan membawa anak-anak itu turun, barangkali lewat tangga darurat. Sem entara itu, Saman akan mencoba membikin sibuk petug as yang di kios telepon. Sejauh pengamatan mereka, hanya satu di antara dua orang itu yang membawa alat komunikasi.
Mereka membayar makan-minum dan berpisah. Saman hampir tak percaya bahwa ia mengalami ini lagi. Tak bisa tidak ia teringat peristiwa-peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Dusun yang dibumihanguskan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Dirinya disekap dan dianiaya. Pelariannya. Pelariannya, antara lain dengan bantuan Yasmin dan Cok, ke Amerika Serikat yang berjalan lancar. Tapi pelarian anak-anak ini barangkali tidak. Ia tak tahu di mana terjadi kebocoran. Ia teringat Budiman Sudjatmiko dan yang lain yang telah tertangkap, mungkin sekali lantaran pesan-pesan telepon dan radio panggil. Ia ingat mimpi buruknya. Ia cemas. Ia tak punya pilihan. Ia berjalan, masuk ke dalam warung telepon itu.
Lelaki itu sedang menanyakan nomor-nomor pesawat kios telepon. Lalu ia menulis dan seperti mencocokkannya dengan catatan di notesnya. Saman memperhatikan sepatunya. Buts ABRI. Ia melihat pesawat HT-nya.
Permisi, kata Saman sedikit lantang. Ia sengaja berbicara kepada dua orang itu, si penjaga kios dan si tamu, agar mereka menoleh. Boleh saya pinjam telepon" Lokal atau interlokal"
Mm& Bapak polisi"
Yang ditanya agak enggan. Kenapa, Pak" Bapak polisi" Dari sepatu dan itu Saman menunjuk pada handy talky yang terpacak di pinggang, saya kira Bapak polisi"
Ya. Ada apa" Saya kecurian, Pak. Kayaknya dicopet. Dompet saya hilang. Sekarang saya nggak punya uang sama sekali. Saya bisa lapor ke mana, barangkali Bapak bisa bantu"
Saman mengulur-ulur pembicaraan, memberi waktu pada Larung untuk bisa menyelamatkan anak-anak itu ke luar hotel. Si polisi kelihatan semakin jengkel karena
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
terganggu. Orang itu berulang kali menatap ke luar kaca, ke arah Wisma Saleh. Saman tak selalu sempat melihat apa yang nampak di sisi belakangnya. Adakah Larung dan ketiga pemuda itu berhasil pergi. Namun setelah beberapa saat, ia mendapati polisi yang seorang lagi keluar dan menyeberang jalan, menuju ke wartel ini. Ia berdebar kencang.
H ujan rintik . Kaca jendela di ujung tikung tangga terpercik butir-butir bening. Larung bergegas. Kakinya yang tak panjang membuat langkah-langkah itu kecil, sedikit bergaung di lorong lantai dua. Tak ada orang lain. Tak ada suara lain. Ia mengetuk pintu kamar nomor 221. Tak ada suara.
Ia mengetuk lagi. Togog, ini saya. Larung. Suaranya lirih.
Agak lama baru pintu terbuka. Bilung muncul dari balik daun yang bergeser sedikit saja. Tanpa senyum, padah al anak itu hampir selalu tersenyum.
Dua polisi berbaju preman sudah di bawah. Kita harus pergi dari sini secepat mungkin. Larung melangkah masuk. Dua anak yang lain terlihat duduk, satu di kursi, satu pada siku kasur. Wajah mereka seperti tak yakin. Bereskan barang kalian seperlunya. Kita pergi dari sini.
Tapi Wayan Togog tidak beranjak. Saya hanya akan ikut kalau Mas menjawab apakah Mas yang mengirim pesan-pesan pager pada kami.
Larung menatap dia sebentar. Lalu berjalan melintas
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ruangan dan memeriksa jendela. Kamu boleh tinggal di sini kalau mau.
Apa dan kenapa Mas mengirim pager pada kami" Siapa bilang saya kirim"
Mas tidak mengaku" Kalau kamu hanya membutuhkan pengakuan, kamu tak akan mendapatkannya. Kalau kamu membutuhkan jawaban, maka kubilang tidak. Kali ini ia menatap Wayan Togog tajam-tajam. Lalu ia menoleh pada yang lain. Dengar, satu dari mereka telah di lobi. Yang satu lagi berjaga di wartel seberang. Saya kira dalam setengah jam mereka telah memanggil anggota yang lain untuk menangkap kita. Ia memberi tekanan pada kita .
Wayan Togog memberi tekanan pada anggota kata yang digunakan militer untuk menyebut sesama mereka. Lihat, bukank ah Larung menggunakan bahasa mereka"
Tapi Koba tersentak mendengar wartel . Ia merasa pipinya lesi. Adakah dia yang membocorkan ini semua" Tidakkah Usdek telah diinterogasi dan dari sana, dari catatan di telepon selularnya, para polisi mendapatkan petunjuk" Ia menyesal dan mengutuk diri sendiri. Ia berdiri. Mungkin ini salah saya, Kawan-kawan. Saya menelepon handphone abang saya dari wartel semalam. Saya kira Larung benar, kita harus pergi dari sini secepatnya.
Nampak Wayan Togog tak rela dengan perkembangan itu. Ia tetap merasa ada sesuatu yang tak beres pada Larung. Pengakuan Koba tetap tidak menjawab misteri tentang siapa yang mengirim pesan-pesan radio panggil.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi waktu menipis dan kedua kawann ya menurut pada Larung. Ia marah tapi ia benahi seluruh barangnya, juga penyeranta ke dalam saku celananya.
Larung memberi tahu bahwa orang yang akan mereka temui bernama Saman. Mereka mengatur rencana. Tak ada tangga darurat di wisma (di kota ini tak senantiasa ada yang mengharuskan mereka mematuhi standar keselamatan), Larung telah mencatat. Meloncat lewat jendela terlalu berisiko, terlalu menarik perhatian. Satusatunya jalan adalah melalui resepsionis. Artinya mereka akan berpapasan dengan petugas. Masing-masing harus melakukannya sewajar mungkin hingga orang itu terkelabui. Koba dan Bilung keluar lebih dulu, sebab merekalah yang berperawakan paling umum. Bilung tidak bersuara sebab logat kental Jawa Timurnya tak bisa ia samarkan. Koba membual tentang survey untuk peternakan babi di kepulauan sana untuk menandingi Pulau Bulan, dengan aksen kampung halamannya. Mereka melalui lobi tanpa melirik kanan-kiri. Mereka khawatir kontak mata akan menyampaikan kecemasan kepada lawan. Mereka hanya merasa ada satu dua orang duduk di ruang di depan meja penerima tamu. Logat Batak Koba yang bisa ia munculkan sesukanya agaknya memang menipu petugas yang sedang mencari tiga anak dari Surabaya. Kedua orang itu berhasil keluar hotel menuju bandar ikan. Mereka berpapasan dengan Yamaha RX King yang terparkir di muka tangga.
Sesuai rencana, sepuluh menit kemudian Larung dan Wayan Togog menyusul. Dua orang yang saling tegang itu sama-sama tidak bercakap. Larung melirik sesaat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ke seputar lobi, tetapi lelaki yang tadi duduk di sana sudah tak ada. Barangkali ke kakus atau menghubungi temannya. Larung tetap waspada. Matanya terus mencaricari. Ketika mereka melangkah ke luar gedung, dilihatnya lelaki berbadan tegap itu sedang berdiri di pintu wartel. Ia menahan daun agar terbuka. Ia seperti sedang berbicara dengan pasangannya yang berada di dalam, sembari sesekali memperh atikan gerbang wisma.
Tiba-tiba mereka mendengar jeritan radio panggil. Datang dari saku celana Wayan Togog. Setan!
Sekilas Larung mendengar dari seberang jalan lelaki itu berseru, Pasti! Itu mereka!
Secara mencongak ia susun potongan kejadian yang mungkin: Koba menghubungi abangnya dan nomor wartel itu tercatat di telepon genggam si abang. Dari sana, polisi yang memeriksa keluarga Koba mendapat petunjuk. Dua anggota reserse dikirim untuk mencocokkan alamat, dan memperkirakan bahwa mereka tinggal di sebuah tempat di sekitar wartel itu. Wisma Saleh, hotel terdekat, menjadi target. Baru saja si reserse mengirim pesan radio panggil yang nomornya tentu telah ada dalam daftar mereka sebagai salah satu cara menjebak yang tak terlalu mereka harap berhasil. Hal tolol yang membuat Larung geram adalah bahwa Wayan Togog masih mengantungi alat itu. Bahkan pada detik-detik ini.
Ia menyusun kemungkinan itu dalam satu dua detik. Pada detik ketiga ia telah melompat ke atas RX King dan menggenjot pedal starternya. Ia tahu, ia telah mencatat sejak di kedai, bahwa motor itu tak membutuhkan kunci
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kontak. Ia telah memperhatikan bahwa si pengendara pergi tanpa mencabut apapun dari sana. Barangkali pun ini motor sitaan dari penadah yang tertangkap basah.
Motor itu langsung menyala. Ia menang dalam perjudian pertama.
Naik! seru Larung pada Wayan Togog yang, sesungg uhnya sebelum diperintahkan, telah mengambil ancang-ancang. Ia mem utar gas kencang dan motor itu menghilang dengan bunyi deru.
Dua intel polisi itu tidak membawa senjata. Mereka tidak menembak ketika dua buron melarikan motor mereka.
Saman menyaksikan semua itu dari balik kaca ked ai telepon. Ia hanya bisa berharap agar Larung tidak tertangkap. Dilihatnya petugas yang membawa HT menghub ungi markas. Yang seorang lagi kembali ke hotel, agakn ya untuk memeriksa adakah anak-anak yang lain masih di dalam. Saman tidak tahu bahwa dua anak telah lebih dulu meninggalkan penginapan. Tapi, ia tahu bahwa ia tak boleh di sana terlalu lama. Ia bisa saja diambil secara sembarangan sebagai saksi. Diam-diam ia beringsut, ketika dua polisi itu masih berdiskusi di muka pintu wisma.
Saman menuju titik pertemuan yang dijanjikan. Di tempat penimbangan ikan. Dilihatnya dua orang yang agak berbeda dari yang lain. Kedua pemuda itu tentu bukan bagian dari tempat ini. Ransel dan gerak-gerik yang kikuk, peran yang tak jelas. Ia memperhatikan ciri mereka
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
baik-baik. Ia mendekati mereka.
Saya temannya Larung. Kata itu paling aman. Petugas tidak mengenal Larung, namun kedua aktivis itu mengerti.
Saman menceritakan bahwa Larung dan satu anak baru kemudian ia tahu bahwa itu Wayan Togog nyaris tert angkap. Ia mengajak dua pemuda itu menunggu dekat pongpong. Ia harus mengambil keputusan. Mereka tak boleh menunggu terlalu lama. Dua yang ada harus diutamakan, setidaknya diinapkan di Mapur, sebab operasi pasti segera menyisir tempat ini. Meski Koba dan Bilung tak terlalu senang meninggalkan kawan-kawan itu, mereka setuju. Sebab bersikeras bisa berarti menjerumuskan Saman ke dalam kesulitan yang disebabkan kecerobohan Koba dan Wayan Togog.
Hujan masih bertabur halus. Titik-titik jatuhnya hanya terlihat samar, berbaur dengan ombak pelan yang menempuh pantai. Tapi angin telah semakin kencang pada daun-daun kelapa. Tiba-tiba mereka melihat dua sosok berjalan cepat menuju tempat itu. Tinggi dan pendek. Togog dan Larung! Mereka yang menunggu pun separuh berseru. Segera kelima orang itu melompat ke dalam perahu, yang di sana Anson telah berjaga-jaga.
Pongpong bertolak. Mereka melihat mendung hitam di belak ang. Bergerak ke arah depan. Dan mendung memang menyusul mereka. Ombak mulai besar, membasahi badan orang-orang yang duduk di perahu kecil itu. Tak ada nelayan yang melepas sampan pada petang bergelombang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
seperti ini. Mereka, kecuali Anson yang terbiasa dengan laut, merasa kecil dan sunyi. Sebentar kemudian hujan sampai di sana, mengeruhkan pandangan, menyebabkan pulau-pulau kecil menjelma bayang-bayang kelabu besar. Seram dan sayu. Dengan trampil Anson mengemudikan pongpong melalui celah laut yang berkarang. Selepas pulau Hantu, setelah setengah jam, perahu kecil itu memasuki laut terbuka Cina Selatan dan mereka mulai merasakan tenaganya. Pongpong menyongsong gelombang yang datang dari samping depan, memukul sampan. Haluan menjengat dan menghempas. Pakaian basah dan angin menggigilkan tubuh orang-orang itu.
Mereka saling diam dalam harapan dan kecemasan. Rasa bersalah nampak pada raut Koba, juga Wayan Togog, yang licin oleh hujan dan percik ombak. Namun yang lain tak mau membicar ak an itu. Mereka masih dalam bahaya. Orang-orang yang melihat mereka mungkin mengira mereka sekadar penyelundup dan memberi tahu pada polisi yang kini mencoba memburu. Cuaca yang tak baik memperingatkan mereka akan buramnya pandangan ke depan. Apapun masih mungkin terjadi. Yang bisa dilakukan hanyalah diam, sebagaimana sebuah sikap menunda.
Lalu mereka tahu bahwa sesuatu akan segera terjadi. Di belakang, dari sisi lain pulau Hantu, mereka melihat cahaya kapal dalam kabut hujan. Nyata sekali bahwa kapal itu melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada mereka. Dan menuju mereka. Sebentar kemudian dari balik tirai hujan yang berlapis-lapis mereka melihat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sebuah kapal nelayan Thailand yang berpagar meliuk di atapnya. Namun signal sorot lampunya menunjukkan wibawa untuk memberi perintah. Kapal itu mengibarkan bendera kuning biru dengan pola vertikal. Agaknya polisi air menggunakan kapal nelayan Thailand yang baru saja disita karena memancing tanpa izin. Anson tahu, polisi air tak memiliki kapal patroli sendiri. Kita tertangkap, ujar lelaki itu. Ia tahu tak mungkin menghindar. Ia minta izin pada Saman untuk menghentikan perahu. Mereka tak punya pilihan lain.
Kapal itu telah menyusul pongpong, lalu bercikar menghalangi haluan. Sosok-sosok muncul dari sana, sebagian berseragam polisi, sebagian mengacungkan pistol. Terdengar seruan agar mereka tidak melawan. Saman tahu, pertanyaan tentang surat perintah tak ada gunanya. Meski ia merasa ngenas bahwa ini terjadi. Ia begitu cemas, tapi ia bersumpah pada diri sendiri, betapapun ia disiksa, ia takkan membuka mulut perihal kekasihnya. Ia berbisik pada Larung Tolong, jangan celakakan Yasmin. Bilang bahwa kita berhubungan langsung selama ini, sebelum pasukan polisi itu turun ke dalam perahu mereka. Ia masih mendengar ya dari mulut Larung sesaat menjelang tangan mereka diborgol bergabung dengan yang lain. Juga Anson. Saman mencoba mengatakan bahwa Anson cuma tekong perahu yang ia sewa, tapi sia-sia.
Enam lelaki itu kini menjadi tahanan. Mereka didudukkan bertiga-tiga. Tangan mereka dirantai bergabung dengan yang lain dalam masing-masing rangkai. Saman, Koba, dan Anson dalam satu lingkaran baku punggung.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Larung, Bilung, dan Wayan Togog dalam lingkaran lain. Tiba-tiba seorang polisi menendang wajah Larung. Saman melihat darah mengalir dari sudut bibirnya. Mereka mendengar orang itu menghardik dia sebagai pencuri motor polisi. Sekali lagi petugas yang sama menampar Larung dengan popor senjata. Darah menitik dari sudut lain. Larung tidak bersuara. Ia tidak mengaduh. Ia menahan dengan tangguh. Saman diam. Ia tahu mereka akan mendapat perlakuan semacam. Mungkin di kapal ini ia tidak akan dihajar sebab ia tidak melawan petugas kecuali jika polisi itu ingat bahwa ia yang mengulur waktu di warung telepon. Apapun, tak ada yang bisa menjamin perlakuan terhadap mereka kelak, di ruang interogasi, sebentar lagi.
Ia teringat setrum yang pernah menyengat belakang telinga serta kelaminnya, kaki meja yang menindih telapaknya, jepitan pada jemarinya, siksaan yang mekanis yang lebih menyakitkan ketimbang cambukan dan hajaran kepal tangan yang spontan. Namun yang lebih membuat ia sedih adalah wajah Yasmin. Ia seperti melihat raut perempuan itu di pelupuknya. Perempuan itu galau. Adakah Yasmin mendapat firasat bahwa ia tertangkap" Berapa lama lagi sampai Yasmin menerima kabar. Akankah penangkapan ini bersifat penculikan sehingga petugas tak memb eri pengumuman dan penyekapan mereka akan menjadi rahasia entah sampai kapan, barangkali selamanya" Semua akan selesai dan akan selamanya selesai. Ia mencoba menghibur diri. Tapi tak berhasil. Bahkan kalimat itu mengingatkan dia akan akhir
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang tanpa ampun. Ia muram membayangkan kesedihan Yasmin. Ia juga cemas jika tiga aktivis itu tak dapat menahan siksaan pemeriksaan sehingga menyebut nama kekasihnya.
Ia menghibur diri dengan memandang orang-orang yang juga tertangkap. Bukankah aku tidak sendiri" Masingmasing akan mengingat orang yang tercinta. Barangkali ayah, ibu, atau kekasih. Ia tak kunjung terhibur. Ia menyadari betapa kesedihan adalah sesuatu yang tunggal dan tertutup. Ia tak bisa membaginya, dan kesedihan orang lain tak meringankannya. Malam terakhirnya bersama Yasmin datang meski ia tak memanggil kenangan. Mereka di tempat tidur. Ia bersandar pada dada perempuan itu, pipinya menempel pada payudaranya, telinganya pada detak jantungnya.
Besok aku pulang, ujar Yasmin. Ia diam. Mendengarkan jantung. Apa yang kamu pikirkan"
Ia tak langsung menjawab. Harapan.
Apa yang kamu harapkan" Yasmin berhenti mengelus ramb utn ya.
Ia tak segera menjawab. Tak tahu. Tak jelas. Ia tak berani mengatakannya. Lalu ia mengutip demikianlah tinggal tiga hal ini: iman, harapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya adalah kasih lalu tersenyum, menertawakan diri. Lalu diam. Aku mengasihi kamu. Kamu cinta aku"
Ia mengangguk pada dadanya. Lepas dari aku nafsu, aku mengasihi kamu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Yasmin memeluk kepalanya. Melepaskannya agar ia tak kehabisan nafas. Lalu mereka tidur. Ia seperti bayi yang kenyang menyusu. Ia ingat ibu.
Sepucuk lars mengangkat dagunya. Lelaki tak berseragam itu mengamat-amati dia. Kamu yang tadi di wartel itu!
Saman diam saja. Tak mudah bicara dengan ujung sepatu mencucuk bawah rahangnya, membuat lidahnya menghimpit langit-langit. Ia bersiap untuk diinjak. Bar angkali dadanya akan disepak. Tapi orang itu men urunkan kembali kakinya dengan sikap tergesa seperti ada sesuatu. Hujan telah mempercepat gelap. Laut kelabu ungu. Cahaya menarik perhatian. Mereka melihat sorot dari dua titik yang berdekatan di kejauhan air. Dua speedboat mendekati kapal itu. Para petugas terlihat bersiaga. Nampak mereka tidak tahu siapa yang datang. Beberapa saat kemudian dua perahu cepat itu mengapit lambung kanan dan kiri. Sebelum terlalu dekat, orangorang di dalamnya telah melambai, lalu memberi hormat militer, meski mereka tidak mengenakan seragam maupun topi. Mereka memakai kaca mata hitam, meski tak ada matahari. Tapi Saman melihat baret merah terselip di saku depan dua dari mereka.
Para polisi menurunkan tangga pandu dan orangorang itu naik.
Selamat sore. Kami dari pusat.
Orang itu tidak mengeluarkan kartu pengenal apapun. Tapi wajahnya yang mendongak seolah menunjukkan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kekuasaan terhad ap lawan bicaranya. Sersan kepala yang menjadi komandan tim di kapal ini berbicara dengan dia, masing-masing tanpa berseru. Saman tidak bisa menyimak isi percakapan. Tapi nyata sekali ada rentang wibawa antara dua orang itu. Si pendatang, meski terlihat masih amat muda, barangkali seusia dengan para aktivis yang ditangkap, sekitar dua puluh enam atau tujuh, cakap dan bersih, tentulah seorang perwira dari Jakarta, Angkatan Darat. Sang serka polisi barangkali sekitar empat puluh tahun, kelihatan kumuh. Tapi belum seksama Saman mengamati perundingan mereka, sisa orang yang baru naik mengikatkan kain hitam pada matanya. Erat. Sejak itu gelap.
Ia tahu mata yang lain pun dibungkam. Ia merasa borgol tangan mereka dilepas. Mereka disuruh berdiri. Tiga atau empat orang memeriksa tubuh mereka, mengambil dompet, dan kelih atannya memeriksa kartu identitas masing-masing. Terdengar seseorang mengiya, lalu mereka dipindahkan ke dalam dua perahu cepat yang tadi menyusul. Saman menyimpulkan bahwa pasukan yang baru datang lebih memiliki informasi daripada yang pertama menangkap mereka: ketiga anak Solidarlit disatukan di perahu, sementara dia, Larung, dan Anson di per ahu lain. Mereka dari kategori yang berbeda. Anakanak itu adalah mata panah kerus uhan massa. Ia dan dua lain adalah bagian dari struktur yang tak terlihat, yang mendukung itu. Anak-anak itu adalah target yang ada dalam daftar. Ia dan Larung adalah isi perut dari ikan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang tertangkap. Apakah mereka akan dianggap telur atau tinja, ia tak tahu.
Mereka kembali dibelenggu. Kali ini masing-masing sendiri, dengan tangan di punggung. Saman duduk di ten gah-tengah lantai dan diperkirakannya bahwa dua yang lain pun didudukkan di seputar. Ia mendengar perahu motor itu berangkat ke sebuah arah yang tak bisa ia kenali lagi. Angin yang berasal dari kecepatan perahu maup un yang ditiup alam membuat tubuhnya kaku dalam baju yang telah basah. Dengan gemetar mereka mencoba menjaga keseimbangan dalam speedboat yang mematukmatuk ombak. Tak ada yang bicara sampai ia mendengar suara.
Kenapa mulutmu sampai berdarah begitu. Kamu melawan petugas"
Ia tak mengenali suara itu. Nadanya angkuh, meski sopan. Barangkali perwira yang tadi berunding. Ia tak tahu. Tapi pasti orang itu berbicara pada Larung. Yang ditanya diam saja.
Si penanya mulai menghardik. Dari arah-tujuan suaranya Saman tahu bahwa Larung duduk agak di sebelah kanannya. Tetap tak bersuara. Orang itu membentak lagi. Terdengar nadanya telah tak sabar. Barangkali sesungguhnya ia hanya memulai sebuah obrolan dengan pertanyaan tadi. Tapi tiga kali ia bertanya tiga kali ia merasa dihina dengan penyepelean. Ia mulai naik pitam. Kalau ditanya, jawab! Atau kutempeleng kau! Terdengar beberapa orang menambahkan. Ditanya baik-baik malah melawan. Kalau komandan tanya, jawab!
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Saman menyesali Larung yang tak juga menjawab. Apa sulitnya bagi dia untuk bilang ya atau tidak. Apalagi pertanyaan pertama diajukan dengan baik-baik. Semenit kemudian ia mendengar bunyi gaduh pukulan bersama suara tertahan Larung. Ia merasa tubuh temannya terhempas oleh hajaran kencang. Perahu oleng sejenak. Beberapa saat kemudian, terdengar lelaki itu seperti beringsut bangun. Terdengar susah payah.
Saya kenal suara Anda. Akhirnya Larung bersuara, dengan kalimat yang tak terduga, keluar dari mulut yang pedih. Saya juga lihat wajah Anda. Kenapa mata kami ditutup. Ia datar dan dingin, seperti biasa. Hanya kali ini terasa lebih sulit karena luka dan gigil.
Ini prosedur. Larung terbatuk. Batuk melecehkan yang khas padanya. Prosedur penculikan"
Saman gelisah. Bagi dia tak ada gunanya berdebat. Tapi Larung bukan dia. Saman mulai tahu, Larung seperti mendapat kepuasan dengan membikin marah orang-orang itu. Barangkali sebentar lagi mereka kembali menghajar.
Tapi tidak. Tak ada suara orang bicara sampai beberapa menit.
Sampai ada yang berteriak.
Bodoh! Apa yang kamu lakukan! Tolol! Terdengar Larung menjawab: Saya kencing. Mereka memaki tapi tidak memukul. Larung mengatakan, karena matanya tertutup ia tak tahu bahwa mereka masih ada di sana. Jadi ia buang air.
Kau mau kencing, kentut, atau berak, kami takkan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
membuka tutup matamu. Larung terbatuk lagi. Saya mengenali komandan Anda.
Seperti tak ada yang peduli.
Luka potong di telinga& , ia berhenti sebentar. Terasa ada gerakan kecil seseorang di muka mereka. & perlu dua puluh jahitan untuk menyambungkannya kembali.
Saya tidak kenal kamu. Terdengar suara sang Komandan.
Larung terus menyahut dan Saman menyesali sikap itu. Kenapa kini ia malah memulai perdebatan yang tak perlu sementara justru tidak mau menjawab ketika ditanya.
Tentu Anda tidak mengenal saya. Saya ini cuma mataki. Kasta terendah kawanan srigala.
Yang mendengar terganggu. Barangkali karena mereka tak kenal istilah itu, tak tahu apakah itu ada atau tidak. Barangkali karena tak bisa menafsirkan maksudnya.
Tak usah banyak omong. Bicara saja nanti dalam interogasi resmi.
Tentu Anda tak bisa bangga karena menangkap kami.
Saya menangkap karena tugas. Bukan karena kebanggaan. Orang itu terpancing untuk menjawab. Sampai-sampai kalian merebut tangkapan polisi. Saman terhenyak akan kenekadan Larung. Kami menjalankan perintah.
Larung terbatuk lagi. Saman khawatir bahwa orangorang di sana pun mulai tahu bahwa itu batuk mengejek.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kami adalah tangkapan polisi Riau. Komandan timnya hanya serka. Kenapa tidak mereka saja yang menyerahkan kami pada Jakarta.
Tahu apa kamu! Mereka lebih jantan, tidak menutup mata kami. Ini perintah. Ini tugas.
Bagi mereka itu juga tugas.
Tugas kami adalah membawa kalian ke Jakarta. Dan jasa mereka tak pernah dicatat.
Prajurit sejati tidak bekerja untuk tanda jasa. Seperti para polisi di Dili. Paman Anda mendapat pengh argaan dan kenaikan pangkat atas jasanya menangk ap Joaquim Freitas di pinggir kota Dili, salah satu panglima Falintil yang telah dua puluh tahun bergerilya. Sementara para polisi yang sesungg uhnya menangkap dia& oh ya, mereka naik pangkat. Tapi hak cipta operasi itu telah menjadi milik paman Anda, prestasi yang selalu dicantumkan dalam pengalaman tempurnya. Mereka prajurit sejati.
Orang itu diam. Larung tidak diam. Tapi Anda tidak akan mendapatk an penghargaan yang sama. Sebab kami ini tidak bera rti, apalagi untuk pangkat Anda. Anak-anak itu tidak bergerilya. Mereka tidak bersenjata. Mereka polos dan ceroboh. Karena yang mereka kerjakan memang bukan rahasia. Yang mereka kerjakan adalah memberi pendidikan pada orang-orang miskin. Mereka bukan lawan yang sebanding
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tiba-tiba orang itu berteriak: Tahu apa kamu tentang saya, Brigjen. Prabas Sasmoyo, maupun operasi Seroja Biru!
Saman mendengar getar dalam suara itu. Terasa bagi dia Larung sengaja dan berhasil mengusik sisi rentan lawan bicaranya. Bahwa orang itu kembali pada kata-kata Larung sebelumnya, mengenai pamannya, menunjukkan letupan kegeraman.
Larung tetap dengan suaranya yang datar, meski sedikit gemetar oleh dingin. Kalau saya tidak salah, Anda adalah Lettu. Bram Marsudi, keponakan Brigjen. Prabas Sasmoyo, komandan pasukan khusus, yang Anda sebut sendiri namanya.
Orang itu sendiri yang telah menyebut nama pamannya. Ia telah terpancing. Tapi Saman tahu kemarahan-diri orang itu bisa meletup pada siapapun. Ia menahan napas. Tapi Larung tidak.
Anda bangga pada paman Anda, yang menikah dengan salah satu kemenakan RI 1.
Orang itu diam. Anda meniru caranya berpakaian. Caranya mengenakan arloji. Di tangan kanan dan menghadap ke dalam. Breitling.
Tak ada sahutan. Saya dengar Anda, maksudnya dia, seorang yang impulsif. Anda, maksud saya dia, pernah merasa terkepung lalu menembak ke segala arah dalam sebuah pertempuran di Timtim. Anda tertangkap dan mereka menyayat telinga
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kata-kata Larung berhenti bersama suara letupan yang redam. Saman mendengar tubuh itu jatuh ke dekat sisinya. Kepalanya menoleh ke arah itu seperti mencari kepastian. Tapi ia mendengar kedap letupan sekali lagi. Dalam sepertiga detik itu yang ia inginkan hanyalah pamit pada Yasmin. Setelah itu ia diam. Diam yang tak lagi menunda.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Bilangan Fu dan Seri Bilangan Fu
Bilangan Fu adalah kisah persahabatan dan cinta segitiga antara dua pemanjat tebing, Parang Jati dan Sandi Yuda, dengan gadis bernama Marja. Kedua pemanjat tebing itu mencoba menyelamatkan kawasan karst (gamping) yang menjadi sumber mataair dari gempuran penambangan. Seri Bilangan Fu adalah adalah serial novel misteri/teka-teki dengan ketiga tokoh tadi. Serial ini selalu mengenai pusaka nusantara (seperti candi-candi), dan memperkenalkan tema logika sebagai bagian dari pemecahan teka-teki. Dua yang telah terbit: Manjali dan Cakrabirawa (tentang candi Jawa Timur) dan Lalita (tentang Borobudur). Akan ada 12 novel dalam serial ini.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Trilogi Si Parasit Lajang Cerita Cinta Enrico Pengakuan Eks Parasit Lajang
Trilogi ini adalah kisah nyata tentang arti cinta, kemerdekaan, serta hubungan lelaki-perempuan. Si Parasit Lajang berisi
cercahan pikiran dan keseharian A, yang di akhir usia duapuluhan memutuskan tidak mau menikah. Cerita Cinta Enrico berkisah tentang Enrico, seorang lelaki yang tak mau
menikah karena tak mau kehilangan kemerdekaannya. Ia sendiri lahir tepat di hari pemberontakan terbesar pertama
dalam sejarah Indonesia dan menjadi bayi gerilya PRRI. Pemberontakan pribadinya berkelindan dengan peristiwaperistiwa politik. Dalam Pengakuan Eks Parasit Lajang, Enrico dan A bertemu. Kisah ini berlatar politik Indonesia dari era Sukarno, Soeharto hingga Reformasi.
K i s a h N y a t a p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Biografi uskup pribumi pertama Albertus Soegijapranata, SJ, yang menekankan aspek masuknya agama baru tanpa menghancurkan kebudayaan dan identitas lokal. Soegija: 100% Indonesia berlatar sejarah Indonesia dari akhir era kolonial hingga akhir masa Sukarno.
Soegija: 100% Indonesia Notes Kreatif Ayu Utami Notes Kreatif Ayu Utami adalah paduan buku kosong dengan tulisan tangan Ayu Utami tentang proses kreatifnya. Ini adalah tips dan renungan dalam bentuk catatan dan komik yang mudah dicerna. Lembaran kosong dalam buku ini diberikan untuk pemiliknya membuat catatan kreatif juga.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
9 789799 105691 NOVEL ISBN: 978-979-91-0569-1 KPG: 901 13 0663 Ay u U tam i Lebih lanjut tentang Ayu Utami bisa diikuti di ayuutami.com atau twitter @BilanganFu.
Dwilogi Saman & Larung
saman n bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pembinal. Yasmin si jaim . Dan Laila, si lugu yang untuk menyerahkan keperawanannya pada
ua di antara sahabat itu menyimpan rasa ang pemuda dari masa silam: Saman, seorang adi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta" " " "
maan dengan Reformasi, Saman tetap diminati mahkan ke delapan bahasa asing. Novel ini argaan dari dalam dan luar negeri karena dan memperluas cakrawala sastra. g wajib dibaca.
ng Ayu Utami bisa diikuti di ayuutami.com atau nFu.


Larung Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Larung Ay u u tAm i Larung adalah lanjutan novel Saman. Di penghujung masa Orde Baru, Saman telah tinggal di New York sebagai pelarian politik. Ia bertemu lagi dengan empat sahabat yang dulu membantu ia kabur dari Indonesia: Shakuntala, Cok, Yasmin, dan Laila. Kini mereka memiliki misi baru: membantu aktivis mahasiswa kiri melarikan diri dari kejaran rezim militer. Misi ini dibantu oleh seorang pemuda misterius dengan karakter gelap: Larung.
Akankah misi itu berhasil" Ataukah Larung justru menyeret mereka ke dalam kegelapan"
Larung telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Gajahmada 3 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Tamu Dari Gurun Pasir 8

Cari Blog Ini