Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Bagian 1
HILANGNYA SEORANG PENDEKAR oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Waktu terus merayapi malam. Lampu-lampu obor
yang dipasang di setiap sudut ruangan sebuah kedai
tampak bergoyang-goyang, tertiup oleh semilir angin malam yang masuk ke ruangan
rumah makan itu.
Di warung makan yang cukup luas itu, tampak empat lelaki duduk di ruang tengah sambil menikmati hidangan yang disediakan oleh
pemilik warung. Cara
makan mereka tampak begitu sopan. Tidak buru-buru
dan tanpa cakap. Kalaupun terjadi percakapan hanya
sesekali saja. Itu pun bila benar-benar perlu.
Keempat lelaki itu tampaknya orang-orang Melayu
asli. Selain matanya yang tidak sipit, pakaian yang dikenakan juga menunjukkan
kalau mereka orang-orang
pribumi. Di sudut ruangan yang agak remang, duduk seorang perempuan bermata sipit berambut panjang dikepang dua ke belakang. Sedangkan pada bagian mukanya dipotong poni sampai sebatas alis mata.
Perempuan bermata sipit dengan alis mata seperti
bentuk pedang itu bertubuh kecil. Namun demikian,
dari gurat-gurat wajahnya tampak kalau perempuan
itu sudah beranjak remaja. Dialah Bong Mini, si gadis mungil dari Tiongkok yang
berkelana di kawasan Pulau Bangka.
Mata Bong Mini terus memperhatikan empat lelaki
yang ada di depannya. Wajahnya sedikit agak kagum.
Karena selama ini ia baru melihat orang yang begitu sopan.
"Kita terpaksa harus mencari penginapan sampai
kita dapatkan orang yang kita cari," kata seorang dari keempat lelaki itu.
"Ya, apa boleh buat. Kita belum diperbolehkan pulang sebelum mendapatkan orang-orang yang diinginkan juragan kita," sahut seorang temannya yang duduk menghadap ke arah Bong Mini.
Hm..., jadi mereka sedang mencari orang, gumam
Bong Mini dalam hati, yang mendengar percakapan itu dengan jelas. Lalu siapa
orang-orang yang mereka ca-ri" Sebelum Bong Mini mendengar percakapan mereka
lebih jauh lagi, tiba-tiba muncul orang-orang berwajah beringas dan kasar.
Mereka datang berempat dan duduk di salah satu meja.
Melihat kedatangan mereka, suami istri pemilik warung yang telah dikenal oleh Bong Mini tampak ketakutan. "Sediakan kopi, cepat!" bentak salah satu dari
keempat orang itu. Empat orang itu pun telah dikenal oleh Bong Mini. Mereka
adalah anak buah Yang Seng
yang pernah mengeroyoknya beberapa waktu lalu ketika ia dan papanya hendak pulang.
Mendapat bentakan tadi, istri pemilik warung segera membuatkan empat gelas kopi dan menyuruh anak
gadisnya untuk mengantarkan. Tapi gadis itu menolak.
Baru ketika dipaksa oleh papanya, gadis itu mengantarkan kopi dan meletakkannya di atas meja keempat
lelaki yang tergabung dalam Partai Persatuan Ular Hitam.
Ketika gadis itu hendak kembali ke tempat semula,
tiba-tiba seorang dari mereka segera menarik tangannya dengan kasar.
"Jangan, Bang. Jangan ganggu saya," pinta gadis
itu meronta-ronta.
"Alaaa, temani kami ngobrol di sini sebentar," kata lelaki yang menarik tangan
gadis itu sambil berusaha
memeluk bahu sang gadis yang tidak tertutup baju.
Karena kain yang dikenakannya hanya menutupi tubuh sampai sebatas dada.
"Jangan, Bang. Saya tidak mau!" kata gadis itu lagi sambil terus meronta-ronta
minta dilepaskan.
"Sebentar, sebentar saja," ujar lelaki itu lagi dengan tetap berusaha memeluk
dan menciumnya. Disaksikan
oleh ketiga temannya yang hanya tertawa tergelakgelak. Melihat anak gadisnya dipeluk-peluk secara paksa,
suami istri pemilik warung itu hanya melihat dengan wajah cemas. Mereka tidak
berani menentang. Karena
mereka tahu, siapa keempat lelaki yang tengah mengganggu anak gadisnya.
Di saat keempat lelaki itu tengah berusaha menggerayangi tubuh calon korbannya, tiba-tiba terdengar
suara benda yang jatuh di meja mereka.
Prak! Keempat lelaki yang sedang dilanda gejolak nafsu,
serentak menghentikan aksi mereka, lalu menoleh ke
arah orang yang melakukan itu. Ternyata Bong Mini
sudah berdiri tegak di belakang mereka.
"Lagi-lagi kau!" dengus seorang di antara mereka
yang sudah mengenal Bong Mini.
"Heh, ada perempuan cantik dari seberang yang
minta disentuh," seloroh lelaki yang belum mengenal siapa sebenarnya Bong Mini.
Sebab tiga dari keempat orang itu belum pernah ikut bertempur melawan Sepasang
Pendekar dari Selatan yang terjadi beberapa wak-tu lalu.
Lelaki itu berdiri terkekeh-kekeh di belakang Bong
Mini sambil berusaha memeluk pinggangnya. Namun
sebelum niatnya terlaksana, Bong Mini telah menghadiahkan pukulan siku tangan ke dadanya, sehingga
ia terpental ke sudut ruangan. Diiringi dengan semburan darah dari mulutnya.
Lelaki yang terkena siku tangan Bong Mini menjadi
berang. Ia tidak mengira kalau gadis mungil itu mam-pu menjatuhkannya dengan
pukulan yang demikian
keras. "Perempuan sialan!" dengus lelaki yang mengeluarkan darah dari mulutnya itu sambil berusaha bangkit untuk menyerang Bong Mini.
Namun sebelum sera-ngannya dilakukan, tubuh Bong Mini telah lebih dulu meloncat
ke luar dan berdiri tegak di halaman warung itu. Lelaki tadi menyusul Bong Mini
ke luar dari kedai dengan rasa penasaran yang membludak di dadanya.
Sesampainya di halaman kedai, ia langsung melabrak
Bong Mini. "Hiaaat! Hih!"
Teriak lelaki itu diiringi saat tubuhnya meluruk untuk menyerang Bong Mini
dengan jurus silatnya. Teta-pi dengan tenang, Bong Mini mengelakkan badannya
sedikit ke samping, disusul dengan pukulan siku tangannya yang tepat mengenai
punggung lawan. Sehingga lelaki itu terhuyung lalu jatuh mencium batu besar di hadapannya. Seketika
itu juga darah meleleh dari hidung dan mulutnya.
Melihat lelaki itu jatuh dan tak mampu bangun lagi, ketiga temannya segera
menyerang Bong Mini dengan
pekikan-pekikan yang amat keras.
"Hiaaat!"
Tubuh Bong Mini melenting ringan dengan membuat putaran dua kali di udara. Lalu turun dengan gerakan menendang ke arah dua
lawan. Bug! Bug! Tendangan Bong Mini yang cukup keras mengenai
rahang dan dada kedua lawan yang berada di sisi kiri dan kanannya.
Tubuh kedua lawan yang terkena tendangan dahsyat Bong Mini langsung terpental ke belakang. Mulut mereka mengeluarkan darah
segar. "Hm...! Kau mau coba seperti mereka!" bentak Bong
Mini pada seorang lawannya yang masih berdiri tegak, melihat nasib ketiga
temannya yang terjatuh di tanah sambil mengerang-ngerang menahan sakit.
Lelaki yang sudah mengetahui kemampuan ilmu bela diri Bong Mini menjadi geram. Dikeluarkan goloknya yang sejak tadi terselip
di pinggang. Srettt! Lelaki itu langsung menerjang Bong Mini dengan golok terhunus. Tapi dengan ringan Bong Mini menundukkan badan seraya kakinya mengait kaki lawan.
Bug! Lawannya tersungkur ke tanah dengan wajah terbentur goloknya sendiri. Membuat wajahnya berlumuran darah seketika itu juga.
Bong Mini tersenyum penuh kemenangan melihat
keempat lawannya sibuk mengerang kesakitan. Lalu ia menghampiri seorang dari
mereka. "Ampun, Nona..., kami janganlah dibunuh!" mohon
lawan yang dihampirinya itu. Dikiranya Bong Mini
hendak membunuhnya.
Bong Mini tersenyum mencibir pada lelaki yang ketakutan itu. "Aku pantang membunuh orang yang sudah tidak
berdaya seperti kau!" bentak Bong Mini. "Aku hanya
ingin menanyakan asal-usul perguruanmu dan siapa
pemimpinmu!" lanjutnya sambil menekan telapak kaki
kanannya di dada lawan yang telentang tak berdaya,
akibat pukulan keras Bong Mini.
"Aku..., aku berasal dari Partai Persatuan Ular Hitam," jawab lelaki itu tergagap-gagap.
"Ular Hitam," gumam Bong Mini. Baru kali ini ia
mendengar perguruan itu. "Lalu siapa pemimpinmu?"
"Yang Seng. Dari negeri Tiongkok!"
"Hm..., terima kasih. Sampaikan salamku padanya!"
ucap Bong Mini. Kemudian ia melangkah menuju warung nasi kembali.
Pasangan suami istri pemilik warung dan anak gadisnya yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu
segera menyambut Bong Mini dengan hormat.
"Terima kasih atas pertolongan Nona," ucap suami
istri itu bersamaan.
Bong Mini hanya tersenyum membalas ucapan mereka. Lalu ia duduk di kursi di dekat pintu luar.
Keempat lelaki sopan yang menyaksikan pertempuran Bong Mini duduk terkagum-kagum di tempatnya.
Namun mereka belum berani mendekat. Mereka hanya
memandang Bong Mini dalam jarak yang agak jauh.
"Ada sedikit yang ingin saya tanyakan kepada Bapak dan Ibu," ucap Bong Mini kepada suami istri itu.
"Tentang apa, Non?" tanya sang suami.
"Tentang orang-orang itu," sahut Bong Mini. "Apa
benar mereka dari Partai Persatuan Ular Hitam?"
"Benar, Non," sahut lelaki pemilik warung itu.
"Pemimpinnya bernama Yang Seng?" tanya Bong
Mini lagi. "Benar," sahutnya kembali pendek.
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Memangnya kenapa, Non?" suami pemilik warung
itu balik bertanya.
Bong Mini menghela napas. Lalu memandang lelaki
pemilik warung dengan tatapan mata sungguhsungguh. "Bapak bisa ceritakan sedikit mengenai sepakterjang mereka di desa ini?" tanya Bong Mini.
Lelaki pemilik warung terdiam beberapa saat. Lalu
matanya memandang ke arah istrinya.
"Mereka orang-orang liar, Non," sahut istri pemilik warung, membantu suaminya
memberikan jawaban.
"Maksud Ibu?" tanya Bong Mini kurang mengerti.
"Mereka merupakan orang-orang yang suka memeras rakyat. Memaksa penduduk untuk meminjam uang
kepada pemimpinnya dengan bunga yang berlipat. Dan
bila tidak bisa membayar sesuai dengan waktu yang
ditentukan, mereka akan menyita setiap barang yang
ada," jelas istri pemilik warung.
Bong Mini mengangguk-angguk. Tentang cerita itu
sudah ia dengar dari seorang perempuan tua yang cucunya menangis beberapa waktu lalu. (Bacalah serial Bong Mini dalam episode:
'Sepasang Pendekar dari Selatan' ).
"Tapi kalau ada anak gadisnya, mereka lebih suka
membawa anak gadis itu sebagai alat bayar hutang
untuk dipersembahkan kepada pemimpinnya, Yang
Seng," lanjut istri pemilik warung.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk. Hati kecilnya mengutuk perbuatan mereka.
"Dan anak buahnya, Non," lanjut perempuan itu
dengan wajah serius. "Mereka selalu mengganggu
anak-anak gadis yang terlihat oleh mereka. Malah tidak segan-segan melakukan
pemerkosaan di hadapan
orangtua gadis itu!"
"Biadab!" geram Bong Mini mendengar cerita terakhir itu. "Mereka benar-benar biadab, Non!" istri pemilik warung menambahkan.
Entah kenapa, setelah mendengar cerita terakhir
dari pemilik warung, tiba-tiba ia teringat mamanya
yang mati karena mempertahankan mahkotanya yang
akan direnggut oleh panglima perang ketika ia masih berada di Tiongkok.
"Sudah berapa lama mereka mengadakan aksi di
kampung ini, Bu?" tanya Bong Mini, ingin mengetahui lebih jauh.
"Sudah dua tahun, Non. Sejak Kho Sue Cheng dijatuhkan oleh Yang Seng."
"Kho Sue Cheng" Siapa dia?" tanya Bong Mini seraya mengerutkan kening.
"Dia dulu pemimpin kampung ini," kali ini suaminya yang menjelaskan.
"Ooo...," ucap Bong Mini mengangguk-angguk.
"Dulu ketika masih dipimpin oleh Kho Sue Cheng,
kampung ini sangat tenteram. Dia juga sering memberikan pinjaman kepada rakyatnya, tapi tanpa bunga.
Pembayarannya juga tidak ditentukan. Tergantung kapan si peminjam punya uang."
"Lalu, bagaimana Kho Sue Cheng bisa dibunuh oleh
Yang Seng?" tanya Bong Mini.
"Biasa, Non. Perebutan kekuasaan!" jawab lelaki itu dengan suara datar.
Bong Mini kembali mengangguk-anggukkan kepala
Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya. "Bapak tahu, di mana markas mereka?"
"Tahu, Non. Di sana, di sekitar Pantai Sungai Liat,"
jawab pemilik warung itu memberitahukan.
Bong Mini kembali mengangguk lamat. Hatinya merasa lega telah mengetahui markas Partai Persatuan
Ular Hitam. Besok atau lusa ia harus pergi ke sana untuk menyelamatkan kembali
tiga dayangnya yang berhasil dibawa lari oleh mereka.
Setelah mendapat keterangan yang memuaskan,
Bong Mini segera meninggalkan warung itu. Sebelum
ia sampai di luar, keempat lelaki sopan yang sejak tadi mendengarkan percakapan
mereka segera memburunya.
Bong Mini membalikkan punggungnya dan menatap
salah seorang dari keempat lelaki yang memburunya
tadi. "Ada apa?" tanya Bong Mini tegas. Sepasang matanya menatap tajam ke arah lelaki itu.
"Maaf, Nona. Saya mengganggu!" ucap lelaki itu
sambil tersenyum sopan.
"Katakan saja apa maksudmu!" kata Bong Mini tegas, karena sejak kematian mamanya ia memang tidak
simpati terhadap kaum lelaki.
"Sebenarnya kami datang dari jauh, dari Desa Padomorang," ucap lelaki itu memperkenalkan asal-usul mereka.
Bodo amat. Memangnya aku pikirkan"! Kata Bong
Mini, namun itu ia cetuskan dalam hatinya saja.
"Saya datang ke sini diutus oleh pemimpin kami,
yaitu akan mencari beberapa orang yang pandai silat untuk mengawal pengambilan
barang berupa intan
berlian dari Tiongkok," lanjut lelaki itu menjelaskan.
"Terus?" tanya Bong Mini masih bernada ketus.
"Kami ingin minta bantuan, mungkin Nona tahu
orang-orang yang saya butuhkan itu," jawabnya.
Bong Mini berpikir sejenak. Sedangkan ekor matanya begitu tajam melirik keempat lelaki itu.
"Baiklah, kalian ikut saya!" ajak Bong Mini seraya
melangkah ke luar, mendekati kuda putihnya.
Keempat lelaki itu mengikuti Bong Mini dengan wajah berseri-seri. Mereka berpikir akan mendapatkan
apa yang dicari selama seharian ini.
Tubuh Bong Mini meloncat ke punggung kudanya.
Tidak lama kemudian, kuda yang ditumpangi Bong
Mini melesat dengan kecepatan tinggi, menembus kegelapan malam. Diikuti oleh keempat lelaki tadi.
*** "Papa!" seru Bong Mini ketika sampai di muka pintu
rumahnya. Bongkap yang sejak tadi uring-uringan kepada para
pengawalnya, langsung lompat dari duduknya dan memeluk Bong Mini dengan erat.
"Dari mana saja kamu, Sayang" Papa sudah kangen
seharian tidak melihatmu," sambut Bongkap dengan
suara yang bernada khawatir.
"Saya habis bertempur, Papa," kata Bong Mini dalam pelukan papanya.
"Heh?" Bongkap kaget. Tapi tak lama kemudian, dia
tertawa sambil mengusap-usap kepala putrinya. "Tapi kamu tidak apa-apa, kan?"
"Siapa dulu dong, papanya!" ucap Bong Mini setengah bercanda. "Ha ha ha...!" Bongkap tertawa lepas. "Ini namanya
anak papa!" Bongkap memuji sambil menepuk-nepuk
kedua pipi putrinya.
"O, ya Pa..."
"Ada apa, Sayang?" tanya Bongkap segera.
"Saya membawa teman lelaki, Papa!"
"Heh?" lagi-lagi Bongkap terkejut. Namun kemudian
dia tersenyum sambil mendekatkan wajah ke telinga
putrinya dan berbisik, "Kamu sudah pandai memilih
lelaki, ya?"
"Idih, Papa!" muka Bong Mini merah mendengar
ucapan papanya.
"Ha ha ha...!" Bongkap tertawa melihat putrinya berubah cemberut. "Mana laki-laki yang kamu bawa itu?"
"Ada di luar, Papa!"
"Suruh masuk!" perintah papanya.
Bong Mini segera keluar. Dan tak lama kemudian ia
telah kembali lagi bersama empat orang lelaki.
"O..., berempat," ucap papanya dan Bong Mini cemberut karena papanya masih meledek.
Sesaat Bongkap menyambut keempat lelaki itu dengan ramah namun tetap berwibawa sebagaimana seorang raja. "Di mana kalian bertemu dengan putri saya?" tanya
Bongkap dengan mata menatap keempat tamunya penuh selidik. "Di warung, Tuan," sahut seorang dari mereka. Lalu
ia menceritakan awal mulanya mereka bertemu dengan
Bong Mini, sehingga bisa sampai ke rumah Bongkap
bersama-sama. Bongkap tersenyum kagum karena keempat lelaki
itu datang setelah melihat kehebatan ilmu silat putrinya dalam pertempuran.
"Kalau boleh saya tahu, siapa nama kalian?" tanya
Bongkap ingin tahu.
"Nama saya Pradata dan tiga kawan saya ini bernama Sengkawang, Sengkawung, dan Benggala," sahut
Pradata memperkenalkan namanya dan nama temannya masing-masing.
Bongkap mengangguk-angguk sambil memandang
Sengkawang dan Sengkawung. Pikirnya, pasti kedua
orang itu kembar. Bukan saja dari namanya, wajah
kedua orang itu pun tampak begitu mirip.
"Asal kalian dari mana?" tanya Bongkap kemudian.
"Kami berasal dari Desa Padomorang," jawab Pradata menyebutkan nama daerah asal mereka. "Di sana
kami mengabdi pada seorang saudagar kaya yang bernama Prabu Jalatunda!"
Bongkap mengangguk-angguk. Sedangkan keningnya tampak berkerut, mencoba mengingat-ingat nama
yang disebutkan Pradata tadi.
"Berapa lama perjalanan dari Desa Padomorang ke
sini?" tanya Bongkap lagi.
"Satu hari, Tuanku!" jawab Pradata.
Bongkap mengangguk-angguk lagi. Sementara pandangan terus tertuju kepada keempat tamunya itu
dengan tatapan mata yang tajam.
"Kedatangan kalian ke sini tentu punya maksud
dan tujuan?"
"Benar, Tuanku," sahut Pradata cepat. "Kami diperintah oleh Tuanku Prabu Jalatunda untuk mencari
beberapa orang ahli silat untuk mengawal kereta barang!" Bongkap tercekat. Matanya memandang empat pengawalnya. "Tadi saya pun sudah bicara dengan putri Tuan dan
dia mengajak kami ke sini," lanjut Pradata lagi.
Kini mata Bongkap beralih pada Bong Mini yang
duduk di sebelahnya.
"Saya bawa mereka ke sini dengan harapan Papa
dapat membantu mereka," cetus Bong Mini.
"Mengawal kereta barang, maksudmu?" Bongkap
tersinggung. "Bukan itu, Papa," kata Bong Mini cepat.
"Lalu?"
"Mungkin Papa dapat mencarikan orang-orang yang
mereka perlukan," kata Bong Mini.
Bongkap mengangguk perlahan. Rasa tersinggungnya mendadak hilang setelah mendengar penjelasan
putrinya. Beberapa saat suasana hening.
Bongkap terdiam karena sedang berpikir. Sedangkan keempat tamunya terdiam menunggu jawaban
dengan harap-harap cemas.
"Apa di sana tidak ada jago-jago silat?" tanya Bongkap kemudian.
"Beberapa hari yang lalu Prabu Jalatunda memerintah para jago silat dari sana untuk pengambilan barang. Tapi ketika melewati daerah Bukit Garang, rupanya mereka dihadang perampok. Karena saat kami
melacak, para pengawal kereta barang itu sudah terkapar semuanya dengan tubuh bersimbah darah. Sedangkan barang-barang yang ada dalam kereta itu lenyap," tutur Pradata menjelaskan.
Bongkap, Bong Mini, dan keempat pengawalnya terkejut mendengar penjelasan Pradata. Mereka merasa
yakin bahwa kereta barang yang dimaksud Pradata
adalah kereta yang mereka rampok beberapa hari lalu.
"Prabu Jalatunda sudah berusaha mencari perampok itu?" tanya Bongkap menutupi ketercengangannya. "Tidak, Tuanku. Beliau seorang yang bijak. Dan ketika mendengar barang-barangnya dirampok, beliau
hanya berkata; biarlah. Mudah-mudahan Yang Kuasa
menggantinya dengan yang lebih baik lagi," urai Pradata, menjelaskan sifat
majikannya. Mendengar penjelasan itu, bukan keterkejutan yang
tampak dari wajah Bongkap. Justru rasa malu dan perasaan sangat berdosa. Karena yang ia rampok ternyata seorang saudagar berhati bersih dan bijak. Be-naknya langsung membayangkan
sosok Prabu Jalatunda yang menurut perkiraannya pasti berwajah lembut dan agung. Tercermin dari para utusannya yang
begitu sopan duduk di hadapannya.
"Baiklah. Aku dan para pengawalku bersedia menjadi pengawal kereta barang saudagarmu. Dan besok
kita sama-sama berangkat menghadap Prabu Jalatunda," ucap Bongkap dengan sikap tenang.
Jawaban Bongkap rupanya sangat mengejutkan
Bong Mini dan para pengawalnya. Bagaimana mungkin
seorang raja di kawasan mereka itu mau bekerja sebagai pengawal" Sedangkan
Pradata dan ketiga temannya, wajah mereka tampak berseri-seri mendengar jawaban Bongkap yang menyenangkan itu.
"Terima kasih atas kesediaan Tuanku!" ucap Pradata dengan hati gembira.
"Nah sekarang, kau persiapkan orang-orang kita
untuk pengawalan besok!" perintah Bongkap kepada
Ashiong yang masih terheran-heran.
"Baik, Tuan!" sahut Ashiong. Lalu ia pun segera keluar ruangan. Diikuti oleh ketiga temannya.
"Sekarang kalian istirahat dulu. Besok pagi-pagi ki-ta berangkat!" kata Bongkap
lagi kepada keempat tamunya. "A Ing!" teriak Bongkap lagi, memanggil pengawalnya. "Siap, Tuan!" A Ing segera masuk ruangan.
"Antar mereka ke kamar untuk beristirahat!"
"Baik, Tuan!" sahut pengawalnya. Lalu ia segera
mengajak keempat tamu itu menuju kamar tempat istirahat mereka.
*** 2 Prabu Jalatunda adalah saudagar kaya yang sangat
disegani oleh masyarakat sekitar Desa Padomorang.
Hal itu bukan karena ia pandai dalam ilmu silat dan
bukan pula karena harta kekayaannya yang berlimpah. Melainkan karena ia selalu saling asah, asuh,
asih terhadap penduduk. Kekayaan yang dimiliki tidak membuatnya menjadi angkuh,
tapi sebaliknya membuat ia rendah hati. Hidupnya diisi kebaikan dengan sesama
dan memberi pada orang-orang yang hidupnya
serba kekurangan. Karena sifat welas asih tersebut, masyarakat sekitar daerah
itu segan terhadapnya.
Prabu Jalatunda mempunyai seorang istri yang cantik bernama Ningrum. Dan ia pun tidak berbeda sifat dengan suaminya. Ia selalu
banyak bergaul dengan
masyarakat di sekitarnya sambil melihat-lihat keadaan mereka. Bila ada penduduk
yang hidup dalam kepa-paan, Ningrum tidak sungkan-sungkan memberikan
pertolongan. Dari pembawaannya tersebut, ia pun sangat disenangi dan dikagumi penduduk Desa Padomorang. Dari hasil perkawinan antara Prabu Jalatunda dengan Ningrum telah lahir seorang anak laki-laki tampan dan gagah bernama
Baladewa, yang kini berusia
sekitar enam belas tahun. Namun sejak usia sebelas
tahun, Baladewa sudah tidak bersama mereka. Dia dikirim ayahnya ke Bukit Gunung Muda untuk mempelajari ilmu-ilmu kesaktian. Dan sejak berada di Gunung Muda, ia tak pernah datang ke rumahnya. Begitu pula dengan Prabu Jalatunda
dan istrinya, sangat jarang menengok anaknya. Mereka hanya bertemu setahun sekali. Itu pun kalau pengiriman makanan untuk
anaknya diperkirakan sudah habis.
Jarangnya mereka bertemu dengan buah hati yang
disayanginya itu, bukan karena tidak ada rasa kangen.
Melainkan karena saran dari guru silat Baladewa yang melarang agar jangan
terlalu sering menengoki, sebab hal itu akan membuat si anak menjadi manja dan
ti- dak konsentrasi terhadap pelajaran yang diberikan gurunya karena selalu ingin
dekat dengan kedua orangtuanya. "Ajari dia hidup prihatin sejak dini, agar kelak menjadi manusia yang tangguh
dan terbiasa dalam menghadapi liku-liku hidup!" kata Kanjeng Rahmat Suci,
guru Baladewa ketika menyampaikan larangannya kepada Prabu Jalatunda dan Ningrum saat menengok
anaknya beberapa tahun yang lalu.
Prabu Jalatunda juga mempunyai sepuluh anak
buah yang berkepandaian silat cukup dibanggakan.
Empat diantaranya sedang diutus untuk mencari beberapa pendekar tangguh untuk mengawal barangbarang berharga yang datang dari Tiongkok.
Sebenarnya bisa saja Prabu Jalatunda menyuruh
Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
para pendekar yang ada di desanya. Tapi hal itu tidak dilakukannya lagi setelah
melihat kematian para pengawal kereta barangnya yang begitu menyedihkan di
tangan para perampok.
Malam itu, Prabu Jalatunda tengah berada di kamarnya. Sesekali kedua matanya memandang istrinya
yang juga terbaring di sampingnya dengan kedua mata yang menerawang kosong
seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkan.
"Malam ini kamu kelihatan murung, Rayi. Ada
apa?" tanya Prabu Jalatunda sambil membelai-belai
rambut istrinya yang tidur dengan memiringkan badan. Ningrum membalikkan badannya dan menatap suaminya dengan pandangan sendu.
"Sudah beberapa hari ini aku merasakan kerinduan
yang sangat dalam, Kakang. Hatiku rindu pada Baladewa," sahut Ningrum. Bola matanya berkaca-kaca seperti ada telaga bening yang membasahinya.
Prabu Jalatunda menghela napas. Matanya memandang langit-langit kamar. Sesungguhnya ia pun
merasa rindu. Namun karena ia lelaki, kerinduan itu tidak ditampakkannya.
"Ingin sekali rasanya aku bertemu dengan anakku,"
keluh Ningrum lagi seraya menelentangkan tubuhnya.
Pada saat itu terlihat garis bening yang bergetar di sepasang bola matanya.
Kemudian bias bening itu bergulir perlahan-lahan di kedua pipinya. Lalu jatuh
mene-tesi bantal di bawah kepalanya.
"Sebenarnya apa yang kau rasakan itu tidak jauh
berbeda dengan apa yang kurasakan," ucap Prabu Jalatunda mengemukakan perasaannya.
"Kakang juga merindukannya?" tanya Ningrum
dengan pandangan yang diselimuti air mata.
Prabu Jalatunda tersenyum.
"Orangtua mana yang tidak merindukan anak kandungnya sendiri, Rayi?" Prabu Jalatunda balik bertanya. "Tapi tidak serindu perasaanku, kan?" sergah Ningrum sendu. Kembali Prabu Jalatunda tersenyum.
"Sebenarnya takaran kerinduan kita sama, Rayi.
Namun cara membawa kerinduan itu yang berbeda.
Kerinduan hatiku terhadap anak kita masih diimbangi dengan pikiranku. Sedang
kau, sepenuhnya kerinduan
itu tersimpan dalam perasaan hingga membuat kau
begitu terpengaruh," urai Prabu Jalatunda.
Ningrum diam saja mendengar kata-kata suaminya.
Pikirannya, bagaimana pun kasih sayang antara wanita dengan lelaki memang jauh berbeda.
"Anak kita itu pasti sudah tumbuh besar, tampan
dan perkasa!" desah Ningrum membayangkan keadaan
anaknya. Wajahnya yang tadi murung berubah berseri
seperti benar-benar melihat kedatangan anaknya, Baladewa. "Kalau dia datang akan kusambut dengan pelukan dan ciuman yang bertubi-tubi. Oh..., Baladewa anakku!" tiba-tiba wajah
Ningrum kembali muram.
Prabu Jalatunda terharu melihat sikap istrinya yang begitu mendambakan kehadiran
buah hatinya. Tubuh
istrinya didekapnya dengan hangat. Sedangkan bibirnya mencium pipi istrinya yang masih segar dan lembut. "Rayi jangan terlalu memikirkannya. Nanti akan
mengganggu kesehatan Rayi," bisik Prabu Jalatunda
ke telinga istrinya.
"Bagaimana aku bisa menghilangkan pikiran dan
perasaan rindu ini kalau orang yang kurindukan itu
anakku sendiri," desah Ningrum dengan bibir bergetar menahan tangis yang sudah
tiba di tenggorokannya.
Sedangkan pipinya masih dibasahi air mata yang merambat dari celah-celah bulu matanya.
Prabu Jalatunda terus mendekap serta membelaibelai rambut istrinya. Sesekali diusapnya air mata
yang mengalir di pipi istri yang dicintainya itu.
Akhirnya sentuhan-sentuhan jari tangan Prabu Jalatunda melenakan Ningrum. Dia tertidur dengan air
mata di pipi. *** Paginya, ketika Prabu Jalatunda tengah duduk di
ruang tamu, tiba-tiba datang seorang penjaga pintu
gerbang. Dia terduduk di hadapan Prabu Jalatunda
sambil memberi hormat.
"Ada apa, penjaga?" tanya Prabu Jalatunda, sementara matanya menatap tajam pada orang yang bersimpuh di hadapannya.
"Hamba datang membawa kabar, Tuanku!" ucap
penjaga pintu gerbang itu.
"Kabar apa?" tanya Prabu Jalatunda ingin tahu.
"Keempat utusan Tuanku telah tiba. Mereka membawa orang-orang yang Tuanku butuhkan," jawab penjaga pintu gerbang itu menjelaskan.
"Hm..., baik. Suruh mereka masuk dan bawa ke
ruang pertemuan!" perintah Prabu Jalatunda.
"Perintah Tuanku akan hamba laksanakan!" ucap
penjaga pintu gerbang itu sambil membungkuk. Kemudian pergi meninggalkan Prabu Jalatunda.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ningrum yang baru saja
keluar dari kamar dengan mata sembab karena habis
menangis semalam.
"Para pengawal kereta barang yang kita butuhkan
telah datang," jawab Prabu Jalatunda.
"Berapa banyak?" tanya Ningrum ingin tahu.
"Entahlah. Aku baru ingin menemuinya. Kau mau
ikut, Rayi?"
"Tidak, Kakang. Bukankah itu urusan laki-laki?"
jawab Ningrum yang memang tak pernah mau mencampuri urusan laki-laki, kecuali bila suaminya meminta. "Baiklah kalau begitu. Tapi tolong Rayi sediakan hidangan yang nikmat untuk
mereka!" pinta Prabu Jalatunda. "Baik, Kakang!"
"Saya pergi dulu, Rayi!"
Ningrum mengangguk sambil melepaskan kepergian
suaminya dengan tersenyum.
Ketika sampai di ruang pertemuan, semua utusannya berdiri hormat seraya memberi jalan buat Prabu
Jalatunda. Kecuali Bongkap, Bong Mini, dan empat
orang pengawalnya. Mereka berdiri tegak sambil terus memandang Prabu Jalatunda
yang melangkah ke arah
mereka dengan gagah.
Satu persatu Prabu Jalatunda menyalami mereka
dengan hormat. "Silakan duduk!" Prabu Jalatunda mempersilakan
tamunya. Sedangkan ia sendiri mengambil duduk di
kursi khususnya yang mengarah pada keenam tamunya. Beberapa saat suasana hening.
Prabu Jalatunda memperhatikan tamunya satu persatu. Dia begitu kagum. Karena selain tubuh mereka
yang kekar-kekar, di punggung mereka terselip pedang masing-masing.
Pasti mereka orang-orang tangguh. Apalagi mereka
datang dari negeri Tiongkok, gumam Prabu Jalatunda
langsung menebak.
"Siapa pemimpin di antara kalian?" tanya Prabu Jalatunda penuh wibawa.
"Saya, Prabu," Bongkap menyahut dengan suara berat dan penuh wibawa.
Prabu Jalatunda mengangguk-angguk kepala. Dipandangnya Bongkap dengan penuh kagum.
Ditilik dari penampilannya, jelas dia bukan orang
sembarangan, cetus hati Prabu Jalatunda lagi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya Prabu Jalatunda menyebutnya dengan panggilan kisanak, sebagai panggilan kehormatan buat orang yang belum dikenalnya.
"Namaku Bongkap!" jawab Bongkap tenang.
Mendengar nama itu, Prabu Jalatunda meloncat
kaget dari tempat duduknya. Dugaannya kalau Bongkap bukan orang sembarangan, benar. Lalu ia memanggil keempat pengawalnya yang membawa Bongkap kepadanya. "Ada apa, Tuanku?" tanya Pradata, hormat.
"Kalian telah lancang, membawa Bongkap dan
orang-orangnya ke sini!"
Bongkap, Bong Mini, dan para pengawalnya terdongak heran melihat kemarahan Prabu Jalatunda kepada pengawalnya. Mereka tidak tahu apa yang membuat Prabu Jalatunda marah.
"Kami hanya melaksanakan titah, Tuanku!" sahut
Pradata. "Aku memang telah memerintahkanmu mencari para pengawal barang, tapi bukan mereka yang mestinya kalian bawa ke sini!" Prabu
Jalatunda semakin marah.
Mendengar kata-kata Prabu Jalatunda, Bongkap,
Bong Mini dan para pengawalnya terkejut bukan kepalang. Kata-kata Prabu Jalatunda telah menyakitkan telinga mereka. Namun dengan
tenang Bongkap meredakan kemarahan Bong Mini dan para prajuritnya yang
hendak memaki Prabu Jalatunda.
Setelah memarahi keempat pengawalnya, Prabu Jalatunda kembali menghadap Bongkap sambil berdiri
hormat. "Maafkan atas kelancangan para pengawalku, Bongkap!" ucap Prabu Jalatunda.
Lagi-lagi Bongkap, Bong Mini, dan para pengawalnya dibuat terheran-heran dengan sikap Prabu Jalatunda. Kalau tadi mereka terkejut karena ucapan Pra-bu Jalatunda seperti
mengandung penghinaan, kini
mereka terkejut karena Prabu Jalatunda justru meminta maaf pada Bongkap dengan sikap hormat.
"Saya jadi tidak mengerti dengan sikap Prabu," kata Bongkap mengemukakan rasa
bingungnya. "Ah, Anda terlalu merendah, Bongkap," kata Prabu
Jalatunda lagi membuat Bongkap dan orang-orangnya
semakin tidak mengerti.
"Saya sangat malu dengan kelancangan para pengawalku. Tapi saya gembira karena seorang raja dengan segala kerendahan hatinya berkenan berkunjung
ke tempat kami!" lanjut Prabu Jalatunda.
Plong! Rasa keterkejutan Bongkap dan Bong Mini
serta para pengawalnya menjadi lemas seketika. Mere-ka baru tahu bahwa persoalan
itulah yang membuat
Prabu Jalatunda marah besar pada para pengawalnya.
Memang bisa dimengerti kalau Prabu Jalatunda itu
marah pada para pengawalnya. Karena Bong Mini dan
para pengawalnya sendiri masih bingung dengan sikap Bongkap yang mau menjadi
pengawal kereta barang.
Hal itu sebenarnya yang ingin ditanyakan Bong Mini
sejak semalam. Tapi keinginan untuk bertanya sampai sekarang belum terlaksana
karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Dengan segala kehormatan, akhirnya Bongkap dan
Bong Mini diajak ke ruang pribadi Prabu Jalatunda. Di sana kedua bapak beranak
ini diperkenalkan kepada
istri Prabu Jalatunda, Ningrum.
"Aku akan membatalkan kehendak Bongkap untuk
menjadi pengawal kereta barang," ucap Prabu Jalatunda ketika mereka duduk berdua saja di ruang peranginan. "Tidak usah, Prabu. Lanjutkan saja!" ujar Bongkap
tetap pada kehendaknya.
"Saya harus menjaga wibawa Anda sebagai raja,"
sanggah Prabu Jalatunda mengemukakan alasannya.
Bongkap tersenyum.
"Kewibawaan tergantung dari sepak-terjang kita,
Prabu. Bukan dari tinggi rendahnya kedudukan. Walau kita mempunyai kedudukan atau jabatan yang
baik, tapi kalau sepak-terjang kita rendah di mata rakyat, apakah mereka akan
menghormati kita?" tanya
Bongkap. "Sepak-terjang Kerajaan Manchuria, di mana dulu aku menjadi panglima di
sana menjadi cermin
buatku agar tidak mengikuti jejak langkahnya," lanjut Bongkap.
"Apakah sepak-terjang Raja Manchuria begitu hina
dipandang masyarakat?" tanya Prabu Jalatunda ingin
tahu. "Dia memanfaatkan kedudukannya sebagai raja.
Memeras rakyat dengan mengambil upeti yang demikian tinggi. Karena itu aku mengundurkan diri sebagai panglima. Kemudian
mengajak rakyat untuk pindah ke
Selat Malaka," tutur Bongkap menjelaskan.
Prabu Jalatunda termangu-mangu mendengar cerita Bongkap. Hatinya benar-benar memuji sikap yang
dimiliki Bongkap. Sebab jarang seorang panglima mau mengorbankan kedudukannya
demi kesejahteraan rakyat "Prabu, kapan pengambilan barang dari dermaga
akan dilaksanakan?" tanya Bongkap mengalihkan
pembicaraannya.
"Besok pagi. Tapi saya minta Anda tetap berada di
sini. Kalaupun Anda memaksa, biarlah para pengawal
Anda yang mengawal kereta barang," kata Prabu Jalatunda tetap mencegah Bongkap untuk tidak ikut dalam pengawalan kereta barang.
"Begitu juga bagus!" sahut Bongkap setuju. Dengan
penuh persahabatan, keduanya melangkah menuju ruang makan untuk makan bersama. Sekaligus merayakan persahabatan mereka yang baru saja terjalin.
*** 3 Pukul enam pagi pengiriman dan pengambilan barang telah dilaksanakan. Empat pengawal kepercayaan Bongkap ditambah lima
pengawal Prabu Jalatunda segera berangkat mengawal kereta barang. Dan dua jam
dari keberangkatan mereka, Bongkap dan Bong Mini
pun segera mohon diri.
Sebenarnya Prabu Jalatunda dan Ningrum menghendaki kedua bapak beranak itu untuk menginap
semalam lagi. Tapi karena Bongkap dan Bong Mini su
Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kar ditahan, akhirnya dengan segala keterpaksaan mereka pun melepaskan kepergian
Sepasang Pendekar
dari Selatan. "Sering-seringlah Nak Mini ke sini!" begitu kata
Ningrum, istri Prabu Jalatunda ketika mereka sudah
duduk di atas punggung kuda.
Bong Mini hanya membalas dengan anggukan disertai senyum. Lalu mereka pun segera memacu kuda
meninggalkan rumah Saudagar Prabu Jalatunda.
"Papa," ucap Bong Mini ketika keduanya sudah berada di pertengahan jalan dengan memacu kuda lambat-lambat. "Hm..." Ada apa?" tanya Bongkap.
"Kita harus segera mendapatkan ketiga dayang yang
diculik itu," ungkap Bong Mini.
"Ya. Tapi ke mana harus mencarinya?"
"Saya sudah tahu markas mereka, Papa," sahut
Bong Mini. "Hm...!" Bongkap menoleh pada putrinya.
"Orang-orang yang menculik ketiga dayang kita merupakan orang-orang yang tergabung dalam Partai Persatuan Ular Hitam," ujar Bong
Mini menjelaskan.
"Ular Hitam?" Bongkap mengerutkan keningnya.
"Ya, Papa. Mereka dipimpin oleh seorang keturunan
Tiongkok yang bernama Yang Seng," jawab Bong Mini
menjelaskan. "Yang Seng?" mendadak kuda yang dinaiki Bongkap
berhenti. "Ada apa, Papa?" tanya Bong Mini ketika melihat
papanya terkejut.
"Papa seperti mengenal nama orang itu," gumam
Bongkap. "Siapa, Papa?" Bong Mini pun turut menghentikan
kudanya. "Kalau tidak salah dia anak seorang Raja Manchuria yang diusir beberapa tahun silam," kata Bongkap sambil mengingat-ingat.
"Benarkah itu, Papa?" Bong Mini terkejut.
"Ya. Waktu itu kau belum lahir. Dan mama pun belum mengandungmu!"
"O, pantas jika aku tak tahu," gumam Bong Mini.
"Kenapa dia sampai diusir, Papa?" tanya Bong Mini,
ingin segera tahu.
"Masalah kotor," ucap Bongkap kurang jelas.
"Maksud Papa?" tanya Bong Mini tidak mengerti.
Ujung alisnya yang bagai pedang terangkat.
"Dia main asmara dengan seorang perempuan yang
menjadi selir papanya," jawab Bongkap menjelaskan.
"Hm...!" terdengar helaan napas Bong Mini.
"Kenapa kamu?" tanya papanya seraya melirik Bong
Mini. "Pantas saja dia dan pengikutnya sekarang ini selalu gentayangan mencari wanita!" dengus Bong Mini.
"Begitulah, Anakku. Tabiat orangtua, entah itu baik atau buruk pasti akan
melekat pada salah seorang
anaknya. Ibarat buah, tergantung akarnya. Kalau
akarnya baik pasti menghasilkan buah yang baik pula.
Tapi kalau akarnya kurang baik maka hasilnya pun
kurang memuaskan!" jelas Bongkap, setengah memberi pengetahuan kepada anaknya.
"Wah, jawaban Papa sungguh mengagumkan!" ucap
Bong Mini, ia tersenyum bangga.
Bongkap membalas senyum putrinya dengan senyuman pula. Lalu ia turun dari punggung kudanya
dan duduk di bawah sebuah pohon. Sedangkan kudanya diikat di sebuah pohon yang tak jauh dari situ.
"Semua itu papa dapatkan dari kakekmu ketika
masih hidup beberapa puluh tahun lalu," ucap papanya sambil duduk bersandar di batang pohon.
"Apakah kakek seorang yang sakti, Pa?" tanya Bong
Mini yang sejak lahir belum sempat bertemu kakeknya.
"Kakekmu seorang pendekar ulung di daratan tanah
Tiongkok. Hampir semua perguruan silat waktu itu
menyatakan tunduk kepada kakek," Bongkap menjelaskan. "Dan dari kakek pula papa mendapatkan ilmuilmu kungfu itu."
"Apakah hanya ilmu kungfu yang kakek ajarkan
kepada Papa?"
"Tidak. Banyak ilmu-ilmu yang beliau berikan dengan cara semadi. Kakek bilang, belajar ilmu lewat
semadi akan sangat banyak manfaatnya. Di antaranya
mendidik kita untuk bisa hidup prihatin dan tidak berlaku sombong serta welas
asih kepada sesama. Sebab
dalam semadi, kita menghindari diri kita dari hal-hal yang sifatnya menjurus
pada keduniawian," jawab
Bongkap memberikan pengertian kepada putrinya.
Bong Mini termangu mendengar cerita papanya.
"Papa juga mengharapkan kamu agar mengikuti jejak papa yang baik dan tinggalkan bila ada yang buruk menurut pandanganmu," kata
Bongkap. Dipeluknya
bahu Bong Mini.
"Papa?" keluh Bong Mini.
"Kita ini makhluk yang paling sempurna. Sehingga
dalam diri kita ada sisi baik dan sisi buruk. Tapi kita berusaha untuk berbuat
baik sesuai dengan kemampuan," kata Bongkap menasihatkan.
"Papa," keluh Bong Mini lagi seraya menyandarkan
kepalanya di dada papanya yang bidang. "Saya merasa bahagia mempunyai orangtua
seperti Papa."
"Papa juga bahagia mempunyai putri sepertimu,
Sayang. Cantik, lincah dan patuh!" puji Bongkap pula sambil mempererat
pelukannya. Sedang asyiknya mereka dicekam kebahagiaan yang
teramat sangat, puluhan orang berwajah garang sudah mengelilingi mereka. Mereka
orang pribumi yang ber-naung di bawah Partai Persatuan Ular Hitam.
"He he he...! Mesranya bapak dan anak hingga lupa
keadaan sekeliling," ejek seorang dari mereka sambil tertawa terkekeh.
Bongkap dan Bong Mini berdiri terkejut. Mata mereka menyebar ke sekeliling.
"Lagi-lagi bajingan Ular Hitam," gumam Bong Mini
dengan mata menatap berkeliling.
"Jadi ini anak-anak buah Yang Seng?" tanya Bongkap. "Ya. Mereka orangnya!" jawab Bong Mini yang mengenal beberapa orang dari mereka.
"He he he.... Kau tak mungkin lepas sekarang, kelinci manis," kata seorang pemimpin pasukannya.
"Mau apa kalian!" bentak Bong Mini. Wajahnya mulai merah karena menahan marah.
"Mau apa" He he he..., tentu saja ingin menangkapmu dan menikmati dagingmu yang masih muda
itu!" sahut pemimpin pasukan dengan kata-kata cabul.
"Heh! Kutil Setan! Jaga mulutmu yang busuk itu biar tidak kurobek!" geram Bong Mini dengan memelototkan mata. Pemimpin pasukan itu makin terkekeh-kekeh melihat Bong Mini marah.
"Dasar kelinci manis. Semakin marah semakin
menggairahkan!"
"Tutup mulutmu, Kurap Monyet!" bentak Bongkap
dengan suara yang meledak.
"Kambing! Rasakan sabetan tongkatku ini!" usai
berkata begitu, Ketua Pasukan Ular Hitam segera menyerang Bongkap seraya memutar-mutarkan tongkatnya. Wet wet wet...!
Tubuh Bongkap segera melompat dan bersalto
menghindari sabetan-sabetan tongkat yang begitu cepat. "He he he...!"
Penyerangnya tertawa-tawa melihat Bongkap kewalahan. Tapi tiba-tiba tawanya terhenti ketika merasakan punggungnya dipukul orang.
Bug! Rupanya Bong Mini sudah tidak bisa lagi menahan
ledakan kegusarannya. Dia memukul lelaki itu tanpa
maksud membokongnya. Biar bagaimanapun jiwa kependekarannya tidak akan sudi melakukan hal itu. Dia hanya mengalihkan perhatian
lelaki tadi. "Kelinci liar! Rasakan tongkatku ini!" sejurus kemudian tongkat yang tadi
menyerang Bongkap beralih ke arah Bong Mini. Tapi Bong Mini segera melompat lalu
hinggap di atas sebuah batang pohon.
Lawannya melongo melihat Bong Mini dengan ringan berdiri di atas ranting pohon.
Sementara itu, Bongkap tengah sibuk mengadakan
perlawanan dengan para pengeroyoknya.
"Hiaaat!"
Bong Mini meloncat ke arah para pengeroyok papanya. Srettt! Pedang Bong Mini menebas, membelah dada seorang lawan. Membuat orang itu terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk.
Orang-orang Ular Hitam segera berpencar dalam
dua kelompok. Sebagian menyerang Bong Mini dan sebagian lagi menyerang Bongkap.
Terpecahnya serangan mereka membuat Bong Mini
lega. Ia menyerang lawan secara tiba-tiba justru hendak memberi peluang pada
papanya untuk bergerak
dan mengadakan serangan balik.
Melihat penyerangnya demikian banyak, Bong Mini
segera mencabut pedangnya yang lain. Sehingga dua
pedang kini berada di kedua tangannya. Dia siap untuk mengeluarkan jurus pedang 'Samber Nyawa'.
"Hiaaat!"
Trang! Trang! Trang! Bles!
Pedang di tangan kiri Bong Mini menangkis serangan-serangan senjata lawan. Sedangkan pedang di
tangan kanan menembus ulu hati seorang lawan sampai ke punggungnya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan lawan yang terkena tusukan pedang Bong Mini. Seketika itu juga dia jatuh tak berkutik lagi.
Setelah mencabut pedang dari tubuh lawan, Bong
Mini kembali mengadakan serangan dengan kedua pedangnya yang kini berlumuran darah.
Sementara itu, Bongkap pun dengan ganas tengah
menyabet-nyabetkan pedangnya ke arah lawan yang
jumlahnya kurang lebih dua belas orang. Jurus pedang 'Samber Nyawa' yang diolah menjadi satu dengan jurus kungfu 'Tanpa
Bayangan' membuat ia semakin
ganas di tengah pertempuran. Putaran badan yang begitu cepat bagai baling-baling kapal membuat lawannya kewalahan. Julukan Singa Perang yang dulu didapat ketika berada di Tiongkok, kini tampak kembali.
Herrr..., sret, sret!
Hembusan angin dan putaran pedang yang demikian cepat membuat para lawan melongo tanpa melakukan serangan. Sehingga pedang yang berputar-putar itu menebas tiga tubuh lawan
sekaligus. "Aaa...!"
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Jerit kesakitan dari tiga lawan hanya sesaat terdengar. Setelah itu mereka roboh dengan tubuh masingmasing terbelah.
Melihat nasib ketiga temannya yang begitu mengerikan, pemimpin pasukan itu tercengang, serta sedikit gentar. Namun perasaan
gentar itu lenyap, saat melihat kesempatan yang diperkirakannya tepat.
Dep! Sebuah totokan yang dilancarkan oleh pemimpin
pasukan itu tepat mengenai punggung Bong Mini yang
sedang lengah. Dalam sekejap tubuh Bong Mini terkulai lemas. Dan sebelum sempat jatuh, tangan pemimpin pasukan itu sudah merangkul dan menggendongnya. "He he he..., lihatlah ke sini Bongkap. Putrimu sudah berada dalam pelukanku. Kau tak akan menang!"
teriaknya disertai tawa yang terkekeh-kekeh.
"Iblis cabul. Lepaskan putriku!" teriak Bongkap ketika melihat Bong Mini berada dalam pelukan lelaki itu
dengan tubuh yang sama sekali tidak berdaya akibat
totokan yang menghentikan aliran darahnya.
Pemimpin pasukan itu malah tertawa terkekehkekeh melihat kemarahan Bongkap. Setelah itu tubuhnya melesat pergi meninggalkan arena pertempuran
dengan cepat. "Jahanam! Setan licik!" geram Bongkap, melihat
anaknya dibawa pergi oleh pemimpin pasukan itu. Dengan gerakan yang kacau namun memikat, Bongkap
menyabet-nyabetkan pedangnya ke arah lawan yang
masih belumlah banyak.
Bles! Ujung pedang Bongkap menembus perut lawan.
Kemudian pedang itu diangkatnya bersama-sama tubuh lawan dan dilemparkannya tinggi-tinggi. Sehingga tubuh lawan itu terpental
jauh entah jatuh di mana.
*** Pemimpin pasukan itu terus berlari membawa tubuh Bong Mini, disertai tawanya yang terkekeh-kekeh.
Sedangkan Bong Mini dengan gerakan-gerakan yang
lemah terus meronta-ronta minta dilepaskan.
Ketika dirasa telah jauh dari arena pertempuran,
pemimpin pasukan itu segera menghentikan larinya.
Kemudian dibaringkannya tubuh Bong Mini di antara
semak-semak. "He he he..., akhirnya kudapatkan juga tubuhmu
yang mungil dan segar ini, kelinci manis," desisnya disertai tawa terkekeh.
Bong Mini berusaha menguras tenaganya untuk bisa lari dari tempat itu. Namun apa yang dilakukannya itu sia-sia. Jangankan
untuk berlari. Bangun saja dia tidak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya menggeser-geserkan tubuh saja agar bisa menjauh dari lela
Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ki yang hendak berbuat jahat kepadanya.
Melihat tubuh Bong Mini yang merayap-rayap itu,
pemimpin pasukan itu malah memandangi sambil terkekeh-kekeh. Perlahan dihampirinya Bong Mini dan
membalikkan tubuhnya agar telentang.
"Lepaskan aku lelaki cabul! Lepaskan!" teriak Bong
Mini tanpa tenaga karena sudah terkuras habis.
Teriakan-teriakan Bong Mini sia-sia saja. Lelaki
yang telah dirasuki iblis itu malah membiarkannya
dengan tawa menyeringai. Lalu dengan terkekehkekeh, ia membungkukkan badan dan meraba-raba
kedua pipi Bong Mini dengan lembut dan penuh perasaan. "He he he...! Baru kali ini aku bisa merasakan keha-lusan wajah seorang gadis,"
ucap lelaki itu terkekeh.
"Lepaskan cabul! Lepaskan!" tubuh Bong Mini meronta-ronta. Namun rontaan Bong Mini yang lemah justru merangsang birahi Ketua Pasukan Partai Persatuan Ular Hitam.
Dengan penuh nafsu, ia membuka kancing baju
Bong Mini. Sehingga dua buah bukit yang masih
mengkal itu jelas terlihat. Kemudian dengan napas
yang memburu, dia menundukkan kepala dan menciumi pipi dan leher Bong Mini yang putih mulus itu.
Bong Mini terus berusaha meronta-ronta sambil
memaki-maki lelaki yang sedang dirasuki nafsu jahanam itu. Namun rontaan-rontaan tubuh Bong Mini justru dianggap sebagai geliat yang merangsang kelela-kiannya. Membuat pemimpin
pasukan itu semakin
bernafsu mendekap dan memeluki tubuh Bong Mini.
Di saat tubuh Bong Mini terkulai lemas dan pasrah
terhadap apa yang akan menimpa dirinya, tiba-tiba tubuh pemimpin pasukan itu
terpental beberapa meter
dari tubuh Bong Mini. la menggelepar-gelepar dengan
tubuh menghitam hangus.
Bong Mini terkejut melihat kejadian itu. Lalu dengan kesempatan yang ada, ia segera memperbaiki
kancing bajunya yang terbuka. Kemudian perlahan tubuhnya merayap menghampiri mayat pemimpin pasukan yang hangus itu dengan pandangan tak percaya.
"Siapa yang menjadi dewa penolongku?" gumam
Bong Mini sambil menyebar pandangannya ke sekeliling. Tapi matanya tidak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan sedikit pun.
"Kau tak apa-apa?" terdengar suara lelaki entah dari mana, tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
"Kaukah yang tadi menyelamatkan jiwaku dari kejahatan lelaki ini?" tanya Bong Mini ketika melihat sosok lelaki yang wajahnya
tertutup kain hitam. Hanya mata dan mulutnya saja yang terlihat.
"Bukan aku. Tapi Yang Menguasai dirimu yang menyelamatkanmu," jawab lelaki itu.
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Kelak kau akan mengerti," jawab lelaki itu cepat.
"Sekarang balikkan tubuhmu!" lanjut lelaki itu.
Bong Mini tanpa menaruh rasa curiga segera mengikuti perintah lelaki itu.
Sesaat ketika ia memunggungi lelaki itu, ia merasa
dua jari tangan lelaki itu menyentuh punggungnya.
"Nah, sekarang kembalilah pada papamu!" ucap lelaki itu. Lalu tubuhnya segera melesat dan lenyap entah ke mana.
Bong Mini terlolong-lolong di tempat. Ia ingin berteriak memanggil, tapi nyaris
tertelan di tenggorokan karena lelaki itu sudah keburu hilang. Tinggal ia
terpaku di tempat.
Setelah terpaku beberapa saat, Bong Mini segera
berdiri. Dan betapa kagetnya ia karena tubuhnya yang
tadi dirasakan lemas kini segar kembali. Seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
"Luar biasa lelaki itu. Ilmunya benar-benar tinggi,"
puji Bong Mini. Kemudian tanpa menunggu waktu lagi, ia segera berlari menuju
tempat papanya bertempur
dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh.
Sampai di tempat pertempuran, Bong Mini melihat
papanya telah menewaskan banyak lawan. Kini tinggal lima orang yang masih
berhadapan dengannya.
"Ini bagianku, Papa!" teriak Bong Mini sambil melesat ke arah lawan yang tinggal lima orang itu.
Sret! Sret! Sret!
Dua pedang yang tergenggam di kedua tangannya
langsung menebas leher tiga lawan sekaligus hingga
nyaris putus. Melihat kehadiran Bong Mini yang tampak segar
kembali, Bongkap menjadi heran. Padahal ia sudah
berpikir kalau anaknya tidak mungkin bisa diselamatkan. Bukan jiwanya, tapi kegadisannya.
Ketika ketiga temannya jatuh dengan leher yang
hampir putus, kedua temannya langsung mengambil
langkah seribu, meninggalkan kancah pertempuran
yang sudah dibanjiri oleh darah dan bau amis.
"Kau tidak apa-apa, Sayang?" tanya Bongkap, lalu
cepat mendekap putrinya.
"Seperti yang Papa lihat," sahut Bong Mini dengan
tersenyum cerah.
"Papa mengira kalau kau sudah digagahi oleh lelaki
cabul itu," kata Bongkap mengemukakan perkiraannya. "Tadinya memang begitu. Tapi tiba-tiba datang dewa
penyelamat sehingga saya terbebas dari nafsu iblis lelaki tadi."
"Siapa dewa penyelamat itu?" tanya Bongkap ingin
tahu. "Saya sendiri tidak tahu, Papa. Wajahnya tertutup
kain hitam. Tapi dari suaranya, saya dapat memperkirakan bahwa dia seorang
lelaki," jawab Bong Mini.
"Lelaki bertopeng?" Bongkap mengernyitkan keningnya. "Ilmunya sangat tinggi, Papa. Dalam satu pukulan
jarak jauh, lelaki yang ingin memperkosaku terpental jauh dengan tubuh hangus
terbakar," cerita Bong Mini, memuji kehebatan lelaki yang menolongnya.
"Hm..., siapa dia, ya?" gumam Bongkap lagi.
"Tapi dia menolak ketika saya mengatakan kalau
dia yang menolongku. Dia menjawab, yang menolongku adalah Yang Menguasai diriku," kata Bong Mini.
"Yang Menguasai dirimu?"
"Begitulah katanya, Papa. Papa mengerti maksud
kata-katanya?"
"Nanti saja kita bicarakan lagi di rumah," sahut
Bongkap. Dibimbingnya Bong Mini menuju kuda mereka masing-masing. Tak lama setelah itu mereka telah memacu kudanya dengan
kecepatan yang amat tinggi,
melanjutkan perjalanan menuju markas Partai Persatuan Ular Hitam.
*** 4 Hari itu, Yang Seng dan puluhan pengawal pribadinya sedang berpesta pora. Bermacam makanan dan
minuman yang memabukkan tersedia begitu banyak.
Ditambah lagi dengan tari-tarian yang dilakukan lima wanita anggota Partai
Persatuan Ular Hitam, menambah suasana semakin hangat dan meriah.
Beberapa puluh pasang mata lelaki yang sudah setengah mabuk tampak tidak berkedip ketika kelima
penari meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai. Apalagi ketika pinggul lima wanita yang padat berisi itu berputar meliuk-liuk
membuat penonton lelaki anggota Partai Persatuan Ular Hitam berdebar-debar
hatinya. Yang Seng menyaksikan kegembiraan anak buahnya dengan wajah berseri-seri. Sesekali matanya melihat pada lima wanita yang
sedang meliuk-liukkan tubuh dengan gemulai.
Apa lagi yang tidak kudapatkan sekarang ini" Harta, tahta, wanita, semuanya sudah kumiliki. Walaupun dengan jalan kekerasan,
merampok dan merebut perempuan-perempuan orang. Aku tidak peduli dengan
sumpah serapah orang terhadap kekejianku. Aku juga
tidak mau pusing dengan kesesatan pikiranku. Yang
penting, aku hidup penuh kesenangan! Gumam hati
Yang Seng sambil memperhatikan kegembiraan anak
buahnya. Hidup ini penuh kesenangan. Dan kesenangan harus kita nikmati. Itulah hukum dunia. Sedangkan pahala dan dosa merupakan perhitungan yang terakhir.
Karena hukum akhirat hanya berlaku jika manusia
sudah mampus! Ceracau hatinya lagi dengan wajah
gembira. Lalu ia menuangkan arak dalam kendi yang
sejak tadi digenggamnya ke dalam gelas. Kemudian di-reguknya dengan penuh
nikmat. "Wahai kalian semuanya!" teriak Yang Seng seraya
melangkah ke tengah-tengah anak buahnya yang sedang berpesta pora. "Meriahkan dan nikmatilah pesta ini sepuas-puasnya. Dunia
ini diciptakan untuk kesenangan dan kenikmatan. Hanya orang-orang bodoh
yang menentang dan menjauhi kesenangan yang kita
ciptakan ini," lanjut Yang Seng dengan wajah yang berubah merah karena pengaruh
arak yang mulai menjalar ke seluruh syarafnya.
Orang-orang yang hadir di pesta itu menyambut
ucapan Yang Seng dengan tawa dan wajah berseri.
"Nah, aku akan segera meninggalkan ruangan ini
untuk menikmati kesenanganku sendiri di kamar. Jadi jagalah pesta ini sebaik
mungkin!" lanjut Yang Seng.
Lalu ia pun segera menuju kamarnya.
Sampai di muka pintu kamar, dua wanita cantik
yang menjadi selirnya segera menyambut penuh kehangatan. Mereka mengiringi langkah Yang Seng menuju ranjang. Kemudian tangan-tangan halus mulus
itu bergerak memijit-mijit bahu Yang Seng, sementara bibir mereka tersenyum
genit. Sedangkan Yang Seng
sendiri hanya diam berbaring, merasakan kelembutan
tangan-tangan lembut yang memijiti bahunya.
"Inilah malam yang penuh kegembiraan!" desah
Yang Seng sambil menatap langit-langit kamar. "Apakah kalian juga turut merasakan kegembiraan ini?"
tanya Yang Seng yang menatap kedua wajah selirnya
bergantian. "Tentu saja kami menikmatinya, Tuan," sahut seorang selir dengan senyum genitnya.
Sementara itu, di kamar paling belakang terdapat
tiga perempuan yang terbaring di masing-masing dipan dengan keadaan kedua tangan
dan kaki terikat. Sedangkan pakaian bagian muka terlihat robek-robek.
Sehingga dua buah bukit dengan anak gunungnya terlihat jelas. Mereka adalah dayang-dayang Bong Mini
yang berhasil diculik oleh anak buah Yang Seng.
Ketiga dayang itu tampak terbaring lemas di atas
dipan. Sedangkan air mata meleleh di sekitar pipi mereka. Mereka saling
memandang dengan tatapan mata
sendu. Mahkota ketiganya telah direnggut oleh anak
buah Yang Seng secara paksa dan bergantian, meninggalkan bercak-bercak darah di sekitar paha mereka.
Di ruang tamu, pesta tuak dan tarian erotik semakin panas. Lima penari wanita yang bertubuh seksiseksi itu mulai membuka pakaiannya satu persatu
sambil terus meliuk-liukkan pinggulnya yang aduhai.
Kemudian dilemparkan pakaiannya itu kepada salah
seorang lelaki yang masing-masing ditaksirnya terlebih dahulu.
Kini para penari itu hanya mengenakan rok bawah
saja. Sedangkan bagian atas hanya memakai selipan
beha, membuat penonton lelaki tidak berkedip.
Pada saat tarian semakin erotik, lima lelaki mabuk
yang mendapat lemparan pakaian penari itu segera
menghampiri dan merangkul pinggul mereka. Lalu semuanya menari berpasang-pasangan.
Melihat kelima temannya menari dengan lima penari wanita itu, lelaki lainnya merasa iri dan tergiur.
Dengan jalan sempoyongan, mereka menghampiri dan
merebut wanita itu dari tangan temannya. Tentu saja hal ini membuat marah
temannya yang sedang menari.
Sehingga terjadi tarik-menarik, memperebutkan wanita itu diselingi ocehan-ocehan
yang menyebarkan bau
arak. Akhirnya pertengkaran mulut dan tarik-menarik tangan wanita itu berubah
menjadi ajang perkelahian.
Dalam waktu singkat, pesta yang hangat itu berubah
menjadi pesta senjata.
Lima orang penari perempuan segera menarik diri
dari tempat itu. Mereka mundur perlahan ke sudut
ruangan dengan kedua tangan menyilang di antara
dadanya yang terbuka. Wajah mereka tampak meringis
ketakutan ketika mendengar senjata saling beradu.
Seorang yang sudah mabuk berat segera bangkit
dari duduknya. Dengan kedua mata kuyu dan langkah
sempoyongan, lelaki yang sudah mabuk berat itu
menghampiri sepuluh temannya yang sedang berkelahi. "Kenapa sih kalian ribut-ribut, heh?" tanya lelaki mabuk itu dengan suara
lemah tak bertenaga, mencoba melerai teman-temannya. Tapi karena pengaruh
arak yang demikian tinggi dan menghilangkan akal pikiran mereka, teman yang
melerainya itu malah terkena bacokan golok.
Bet! Darah langsung mengucur dari bahunya yang hampir putus. Kemudian orang itu berdiri limbung beberapa saat dan jatuh di lantai dengan tubuh bermandi darah.
Di luar, puluhan lelaki bertopeng sedang mengintip
keadaan orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam dari balik semak-semak.
Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin
penyerangan itu segera memberi aba-aba dengan tangannya untuk maju.
Dengan gerakan cepat tanpa suara, orang-orang
bertopeng hitam itu segera mendekati beberapa penja-ga yang setengah mabuk lalu
menotoknya dengan mudah. Dep! Totokan tangan dari orang-orang bertopeng mendarat di tubuh penjaga pintu gerbang yang berjumlah li-ma orang. Dan kelimanya
langsung terkulai tak sadarkan diri. Kemudian dengan gerakan ringan pula, satu
persatu mereka masuk ke ruangan dalam dan menyerang orang-orang yang ada di sana
Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan jurus kung-fu yang sudah terlatih sempurna.
Sesaat kemudian ruangan itu telah dipenuhi oleh
dentingan-dentingan senjata dan teriakan-teriakan peperangan. Berbaur pula
dengan teriakan kelima penari perempuan yang ketakutan.
Mendengar kegaduhan di luar, Yang Seng yang sedang bercengkerama dengan dua selirnya segera beranjak dari ranjang untuk mengenakan pakaiannya.
Setelah itu, kakinya melangkah keluar kamar untuk
mengetahui apa yang terjadi.
Betapa kagetnya ia ketika sampai di luar, melihat
anak buahnya bertempur mati-matian melawan puluhan orang bertopeng hitam.
"Sial! Ada saja orang-orang yang usil dengan kesenanganku!" geram Yang Seng sambil menyerbu ke arena pertempuran.
"Hiat!"
Segarang singa lapar, tubuhnya bergerak cepat menyerang orang-orang bertopeng.
"Hiaaat!"
Dug! Dug! Dug! Pukulan beruntun yang dilakukan Yang Seng mengenai seorang lawan hingga tubuhnya menggeliatgeliat lalu mati. Kemudian ia menyerang orang bertopeng lain dengan ganas.
Jurus 'Tinju Baja' yang sudah dikuasainya memburu ke arah lawan-lawannya dan mengenai beberapa
sasaran dengan telak.
"Aaakh...!"
Teriakan-teriakan kematian dari kedua belah pihak
terus memadati ruangan disertai cucuran darah dari
tubuh mereka yang memerahi lantai.
Pertempuran antara pasukan Partai Persatuan Ular
Hitam dengan orang-orang bertopeng yang tadi hanya
di dalam ruangan, kini meluas sampai ke halaman
rumah. Jurus-jurus kungfu yang dikerahkan oleh kedua belah pihak membuat suasana pertempuran semakin seru dan sengit.
Di luar pertempuran, seorang lelaki dan perempuan
terlihat tengah menyaksikan pertempuran itu. Mereka tidak lain Bongkap dan Bong
Mini yang kini tengah
mengawasi kedua pasukan yang sedang bertukar serangan dari atas sebuah pohon.
"Ternyata ada perguruan lain yang mendahului serangan kita," cetus Bong Mini.
"Ya. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang kita cari," balas Bongkap.
"Maksud Papa?"
"Orang-orang bertopeng itu pasti yang pernah melakukan serangan ke rumah kita dan membunuh enam
orang pengawal," jawab Bongkap.
Bong Mini mengangguk-angguk sambil terus mengawasi jalannya pertempuran yang berlangsung di halaman markas Partai Persatuan Ular Hitam.
"Lalu apa tindakan kita sekarang, Papa?" tanya
Bong Mini, ingin mengetahui rencana Bongkap selanjutnya "Kita harus tahan diri dulu dan melihat pertempuran mereka. Sebab selain jumlah mereka yang banyak, jurus-jurus silat mereka pun
tidak bisa diremehkan."
Di saat keduanya asyik memperhatikan pertempuran itu, dua lelaki lari tergopoh-gopoh hendak memasuki halaman markas Ular
Hitam. Bong Mini yang mengetahui siapa mereka, langsung
bergerak hendak menyerang. Tapi cepat-cepat dicegah oleh papanya.
"Jangan gegabah!"
Bong Mini kembali diam di tempat, mengikuti peringatan papanya.
Ketika kedua lelaki yang tergopoh-gopoh itu memasuki halaman rumah, mereka langsung diserang oleh
hujaman pedang dari dua orang bertopeng.
Bret! Kepala kedua orang yang pernah melawan Bong
Mini dan Bongkap itu langsung terpental dari lehernya.
Dan semua peristiwa itu tidak terlepas dari pandangan Bong Mini yang berdecakdecak kagum. Pertempuran antara pasukan Ular Hitam dengan
orang-orang bertopeng itu terus berlangsung dengan
sengit. Dalam sekejap saja markas Partai Persatuan
Ular Hitam menjadi berantakan. Kursi, meja, dan semua benda yang ada di situ hancur. Lantainya pun di-genangi darah, menebar bau
anyir ke segenap ruangan. Pasukan Ular Hitam tampak kewalahan menghadapi lawannya ketika pertempuran itu berlangsung beberapa jam. Selain jumlah
penyerang yang sangat banyak, orang-orang bertopeng itu pun mempunyai jurus-jurus andalan yang tidak bisa diremehkan.
Prak! Tiba-tiba atap rumah itu jebol. Bersamaan dengan
itu dua orang terlihat menerobos keluar dan mengadakan perkelahian di atas atap.
Jurus-jurus pedang mereka sama-sama hebat, berkelebatan cepat mencari sasaran.
"Yang Seng," gumam Bongkap ketika pandangannya
mengarah pada atap rumah itu. Walaupun keadaan
temaram, ia masih mampu melihat wajah Ketua Partai
Persatuan Ular Hitam.
"Itukah orang yang bernama Yang Seng, Papa?"
tanya Bong Mini saat melihat kedua orang yang sedang bertempur di atas atap.
"Ya. Dialah orangnya."
"Ilmu permainan pedangnya sangat bagus," gumam
Bong Mini memuji sambil tak henti berdecak.
"Dia bukan tandinganmu, Anakku!"
"Tapi suatu saat saya akan mencoba berhadapan
dengannya, Papa," sahut Bong Mini tanpa bermaksud
menyombongkan diri.
"Sia-sia, Anakku. Kepandaian jurus-jurus kungfu
yang dimiliki Yang Seng masih jauh lebih tinggi dibandingkan milikmu," kata
Bongkap, memperingatkan putrinya. Suasana pertempuran mulai sepi. Orang-orang Par Misteri Goa Malaikat 1 Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Suling Emas 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama