Ceritasilat Novel Online

Misteri Di Balik Abu 2

Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari Bagian 2


menerima perempuan kayak gitu sebagai pembantu kita?" Astuti memandang heran.
"Memangnya dia kenapa, Pap?"
"Dia membuat bulu romaku berdiri." Astuti tertawa. Dikiranya suaminya bercanda.
"Ala, Papi ini bisa saja. Aku melihatnya biasabiasa saja, kok. Apa karena
ininya, Pap?" Dia menunjuk pipinya.
"Biasa-biasa saja katamu?" bentak Arya hingga istrinya terkejut
"Orang kayak begitu kaubilang biasa" Tidakkah kau melihat keanehan dalam
dirinya?" Astuti menggelengkan kepala dengan heran.
"Aku tidak mengerti," katanya dengan nada kurang
senang karena bentakan itu.
"Sejak kapan kau ikut campur dalam urusan kerumahtanggaan" Itu kan urusanku.
Terserah padaku siapa pun yang mau kuterima sebagai pembantu. Aku pun tidak ikut
campur dalam bisnismu." Reaksi panas Astuti mendinginkan kepala Arya.
"Ya, ya. Sori deh. Itu memang urusanmu. Aku nggak ikut campur. Tapi terus
terang, aku memang merinding melihatnya."
"Mungkin kau melihatnya cuma sepintas lalu. Tapi kalau lebih lama dan mendengar
dia bercakap-cakap, kesan itu bisa lenyap. Kayak aku tadi."
"Oh ya, apa sih yang kalian percakapkan tadi" Kok lama bener" Apa karena kau
perlu meyakinkan dirimu dulu sebelum memutuskan atau dia memang pintar ngomong?"
"Memang biasanya aku tidak suka bertanya lama-lama pada calon pembantu. Palingpaling kulihat orangnya lalu cara kerjanya, ya sudah. Tak perlu mendetail.
Pendeknya kalau nanti nggak beres, pecat saja. Tapi Bi Yati itu unik sih. Aku
jadi kepingin tahu tentang dia lebih banyak dari yang lain. Entah apa karena
cacat di mukanya itu ataukah keseluruhannya. Pendeknya dia punya pesona sendiri,
deh." "Lantas apa ceritanya?" tanya Arya tak sabar.
"Aduh, kasihan lho, Pap. Dia orang yang kenyang dengan penderitaan. Ketika kecil
sering digebuki orangtuanya, dan setelah menikah disiksa suaminya. Itu cacat di
pipinya pun bekas penganiayaan si suami. Disilet, Pap! Mana panjang lagi. Robek,
katanya, sampai memerlukan sepuluh jahitan. Suami durjana tuh!"
Tiba-tiba Arya kehilangan minat untuk mendengarkan lebih jauh.
Ketika Lesmana keluar dari pintu gerbang, dia masih bisa melihat sosok Haryati
berjalan tergesagesa ke arah dari mana dia datang tadi. Tampak berbeda sekali
dibanding dengan awal datangnya, yang begitu santai tanpa merasa harus buruburu. Lalu dia teringat bahwa perempuan itu diantar dengan mobil yang di parkir
jauh-jauh. Masihkah mobil itu di sana, menunggu kedatangannya" Keingintahuannya
kembali tergugah. Dia segera melompat masuk ke mobilnya sambil berharap mesin
mobilnya mulus kali ini. Untung saja harapannya terkabul. Mesin mobilnya
langsung bergemuruh begitu distarter.
Dia membalik arah mobil sambil bersyukur bahwa jalan itu dua arah. Segera debar
jantungnya menjadi lebih cepat setelah melihat bahwa mobil yang tadi masih
parkir di tempat semula. Perempuan itu masuk ke mobil yang kemudian melaju
dengan cepat. Lesmana bisa melihat sepintas pengendaranya yang dia yakin pasti
sudah tua menilik warna putih di kepalanya. Mungkinkah suami si perempuan"
Sensasi menjalari diri Lesmana. Dia mencium kejanggalan. Masa ada perempuan tua
melamar sebagai pembantu rumah tangga dengan diantar pakai mobil" Kenapa mobilnya tidak
menunggu di depan rumah Arya supaya si perempuan tidak usah berjalan jauh untuk
bisa mencapainya" Tadi dia sempat menawarkan pekerjaan pada si perempuan, tapi
jelas perempuan itu tidak berminat. Jelas pula bahwa tujuan utama perempuan itu
adalah pekerjaan di rumah Arya dan bukan sembarang pekerjaan. Kenapa begitu"
Lesmana merasa curiga. Sepertinya ada yang kurang wajar. Tetapi kalau dia ingatingat lagi penampilan perempuan tadi, sukar baginya untuk menemukan sesuatu yang
jahat padanya. Perempuan itu begitu lemah lembut dan keibuan. Tetapi itu bisa
saja topeng belaka. Jangan-jangan si perempuan dan temannya sedang merencanakan
perampokan di mana si perempuan beraksi sebagai orang dalam yang menyelidiki
situasi dan kemudian membantu temannya masuk. Mungkin juga kedua orang tua itu
merupakan anggota sebuah geng perampok atau komplotan. Lesmana jadi gelisah
sendiri membayangkan kemungkinan seperti itu. Tetapi kegelisahan itu cuma
sebentar. Saat berikutnya dia tertawa terbahak. Kenapa dia harus pusing dan
gelisah" Biar sajalah Arya Kusuma si orang kaya itu membagi hartanya pada
perampok. Dia toh tak akan jatuh miskin karenanya. Pikiran itu menenangkannya
dan juga memberinya rasa senang. Akhirnya dia merasa seperti orang bodoh yang
kekurangan pekerjaan ketikamenyadari dirinya masih saja membuntuti mobil tadi.
Segera dia mengubah arah mobilnya. Bukankah dia masih punya pekerjaan yang belum
kunjung selesai" "Aku berhasil, Daud! Aku berhasil!" seru Haryati girang.
"Selamat, Yat!" Daud juga tertawa. Sesungguhnya dia bukan semata-mata senang
atas keberhasilan Haryati, melainkan karena kegembiraan yang diperlihatkannya
seperti anak kecil. Kemudian Haryati bercerita seperti air bah mengalir dari
mulutnya. Antusias sekali.
"Tuan rumahnya sombong banget, Daud! Aku tahu betul, dia tidak suka padaku.
Perasaanku mengatakan dia sangat ingin mengusirku begitu melihat wajahku dan
tahu apa maksudku. Untung ada anak muda itu. Lalu istrinya cukup baik hati
karena dia begitu tersentuh oleh ceritaku sampai kemudian mau menerimaku."
"Hati-hati, Yat. Jangan sampai kau salah bicara."
"Aku akan selalu berhati-hati. Jangan khawatir. Rasanya sih aku tak akan banyak
bicara nanti, melainkan banyak bekerja."
"Kapan kau mulai bekerja?"
"Besok." "Wah, besok?" Daud terkejut oleh cepatnya waktu berlalu. Dia sudah mulai
terbiasa oleh kehadiran Haryati di rumahnya hingga dia tak merasa
RDkan kesepian lagi. Ah, besok dia akan kembali lagi pada suasana sebelumnya.
"Jangan dipikirkan, Daud. Bukankah besok kau pun mulai sibuk" Kita sama-sama
sibuk, kan?" hibur Haryati, seakan mampu memahami perasaan Daud. Daud tersenyum
lega. Dia sempat melupakan hal itu.
"Kau benar, Yat. Terima kasih. Tapi, bagaimana cara kita berhubungan nanti"
Jangan sekali-kali kau meneleponku dari sana. Aku takut mereka mencurigaimu
untuk sesuatu yang tidak baik."
"Tentu saja tidak. Kupikir, seminggu sekali aku akan minta izin keluar. Kalau
boleh tentu saja. Dan kalau tak boleh akan kupikirkan lagi. Tentunya aku tak
bermaksud kerja untuk waktu yang lama. Buat apa?"
"Ya. Jangan lama-lama, Yat. Kau akan capek nanti. Bagaimana kalau seminggu saja"
Apakah seminggu tak cukup untuk mengembalikan ingatan?"
"Kita lihat saja, Daud. Mungkin aku tak butuh waktu lama. Tadi saja, sewaktu
berbincang-bincang dengan Nyonya Astuti, pesona rumah itu sudah terasa olehku.
Padahal cuma diam di teras. Halamannya lebih indah daripada dulu. Mungkin
dalamnya juga begitu."
"Kau sudah merintis usaha kita dengan mulus. Mudah-mudahan kerjaku pun begitu
pula." "Kudoakan, Daud. Dengan sepenuh hatiku." Malam harinya mereka berbincang-bincang
sampai larut. Walau perpisahan besok sudah diyakini tak akan lama, tetap saja
terasa berat untuk masing-masing. Sepertinya malam itu merupakan kali
terakhirnya mereka bisa berkumpul bersama.
Malam itu juga Lesmana menelepon Melinda untuk menceritakan pengalamannya. Tapi
ada bagian yang ditutupinya, yaitu kisah pertemuannya dengan seorang perempuan
tua yang mencurigakan. Walaupun kecurigaan itu muncul dari kesimpulannya
sendiri, dia khawatir kalau-kalau Melinda pun akan menyimpulkan hal yang sama.
Bila Melinda merasa berutang budi pada Arya, ada kemungkinan dia akan merasa
berkewajiban untuk mengingatkan. Padahal bagi Lesmana kecurigaannya itu juga
merupakan sesuatu yang menegangkan dan menyenangkan. Mungkin dia akan
seringsering lewat di depan rumah Arya untuk sekadar memantau situasi atau dia
akan rajin membaca koran, kalau-kalau sudah terjadi perampokan di Sana.
"Tampaknya Oom Arya mencurigaiku mau merampok rumahnya ketika dia menyeretku
masuk untuk ditanyai," kata Lesmana.
"Ah, masa begitu. Barangkali memang salahmu juga sih. Rumah orang kaya diamatamati. Sudah tentu dicurigai." Melinda terbahak.
"Lantas apa saja yang ditanyakannya?"
"Ternyata dia banyak bertanya tentang dirimu. Tapi aku berusaha mengalihkan."
|"Misalnya apa?"
"Misalnya apakah aku pacarmu atau bukan. Aku bilang, aku sahabatmu yang punya
nilai lebih daripada pacar. Boleh kan aku bilang begitu?"
"Boleh," sahut Melinda tanpa berpikir lama-lama.
"Setiap kali dia bertanya, aku jawab sedikit lalu aku balas bertanya tentang
dia. Dia kelihatan keki sampai gairahnya bertanya menjadi hilang." Melinda
tertawa, lalu bertanya dengan nada ingin tahu,
"Rumahnya bagus, Les?"
"Wah, bagus sekali. Tamannya indah. Tapi aku tidak masuk ke dalam. Duduknya di
teras, kok." "Pasti sudah dirombak."
"Kau mau melihatnya kapan-kapan" Kita lewat saja pelan-pelan." Melinda tidak
segera menyahut. "Itu cuma usul, Lin. Barangkali kamu kepingin melihatnya."
"Ah, buat apa, ya" Entar jadi enggak enak."
"Ya sudah. Kalau begitu jangan."
"Tapi. Les, kayaknya sih boleh juga, ya?"
"Boleh juga apa?"
"Melihat rumah itu." Lesmana tersenyum senang.
"Kapan?" "Secepatnya, ya" Nanti kuhubungi kau." Setelah meletakkan telepon Lesmana
tertawa girang. Apakah sikap Melinda itu bisa diartikan sebagai kemajuan ke arah
keterbukaan" HARI pertama di tempat kerjanya yang baru dilalui Haryati dengan baik. Dia
memperlihatkan kegesitan dan kerajinan serta keramahannya kepada tiga rekan
sekerjanya, yaitu Usman tukang kebun, Surti istrinya, dan Iyen yang akan
digantikannya. Dalam waktu singkat mereka bertiga menerimanya dengan sikap
bersahabat. Di saat senggang dia memberi mereka suguhan cerita yang menyentuh
hati perihal riwayat cacat di pipinya. Ketiganya tambah bersimpati kepadanya.
Sejak awal dia memang sudah menyadari tentang pentingnya hal itu. Astuti mencoba
kemampuannya memasak. Karena dinilai cukup pintar, dia diangkat menjadi koki.
Maka sebagian besar waktunya habis di dapur. Tetapi hal itu juga yang membuat
dia lebih bisa menghindari pertemuan dengan Arya, si tuan rumah. Sesuai dengan
anjuran Daud, dia memang berusaha supaya tidak bertemu apalagi berdekatan dengan
tuan rumah mengingat antipati yang diperlihatkannya. Sejak semula naluri Haryati
mengatakan, bahwa Arya akan segera memecatnya pada
102kesempatan pertama yang diperolehnya. Dengan menghindar dia bisa mengurangi
risiko itu. Bukan saja pertemuan yang terlalu sering bisa membuat Arya tambah
benci kepadanya, tapi juga bisa membuatnya terjerumus ke dalam kesalahan yang
berakhir dengan pemecatan. Karena sudah terbiasa bekerja, Haryati tidak lagi
merasa kelelahan. Otot-ototnya sudah terlatih. Tambahan lagi yang terpenting
adalah semangatnya yang tinggi. Tetapi bila malam tiba, dia sulit tidur karena
menempati ranjang susun bersama lyem. Karena dia paling tua, maka rekannya itu
memberinya kehormatan tidur di bagian paling bawah. Tetapi bunyi dengkur dan
kreyot-kreyot ranjang mengganggunya sepanjang malam. Dia perlu waktu untuk
terbiasa. | Astuti merasa sangat puas akan hasil pekerjaan Haryati. Tetapi
ketika dia akan mengutarakan pujian di depan suaminya, tiba-tiba dia teringat
akan ketidaksukaan suaminya kepada Haryati Sungguh tak ada untungnya
membicarakan soal itu. Apalagi tampaknya suaminya tak ingat lagi akan pembantu
baru mereka itu. Jadi buat apa mengusik harimau tidur" Dengan demikian, tanpa
sengaja Astuti membantu usaha Haryati. Satu-satunya bagian dalam rumah yang
mengalami perubahan besar adalah kamar tidur utama yang dulu terbakar. Sekarang
ruangannya tidak lagi digunakan untuk kamar tidur melainkan perpustakaan, tempat
menyimpan buku-buku milik
Arya dan Astuti. Interiornya tentu saja berubah, total, sesuai dengan
kegunaannya. Sedang bagianbagian lainnya masih tetap sama. Hanya perabotan dan
dekorasi berubah hingga sepintas lalu membuat semuanya berubah juga. Kadangkadang ada penyesalan dalam diri Haryati, kenapa dia bertugas di dapur hingga
tak punya alasan untuk bisa masuk ke ruang-ruang lain. Untuk tugas bersih-bersih
dipegang oleh Surti. Tetapi dia masih punya kesempatan untuk sesekali
melayangkan pandang ke sana kemari. Dengan kecewa dia mendapati bahwa suasana
yang sudah berubah itu tak memberi pesona apa-apa kepadanya. Tidak ada yang
kembali dalam ingatannya. Tidak ada bayang-bayang yang muncul. Pikirannya tidak
mendapat sengatan apa-apa. Apakah akan begitu juga halnya bila dia masuk ke
dalam ruang perpustakaan" Tetapi dia tidak punya alasan untuk masuk ke sana. Dan
ruang itu selalu dalam keadaan tertutup pintunya. Masih ada satu hal penting
lainnya yang tentu saja tak terlupakan olehnya. Sepotong tangan itu. Ketika
kemarin dia berbincang-bincang dengan Astuti di teras, dia bisa melihat dengan
jelas bahwa sudut halaman di pinggiran rumah hanya ditumbuhi rerumputan. Untung
dia memilih tempat itu, karena di tempat yang sempit begitu tak mungkin
ditumbuhi tanaman besar, hingga benda yang dikuburnya aman dari kerusakan yang
bisa ditimbulkan oleh cangkul Usman dan bisa jadi benda itu terbongkar dari
tempatnya dan ditemukan. Dia bisa berharap benda itu masih berada di
sana. Padahal dulu dia memilih tempat itu sama sekali tanpa perhitungan,
melainkan karena di situ dia bisa menggali dengan lebih leluasa dan tersembunyi
dibanding dengan bila dia melakukannya di tengah-tengah halaman. Kadang-kadang
ada perasaan bersalah kepada Daud, karena dia tidak menceritakan soal tangan
itu. Sesungguhnya alasan utama dia berada di situ adalah untuk mengambil kembali
benda itu. Alasan lainnya hanyalah sampingan, sekadar ada sesuatu untuk
dikemukakan pada Daud. Kalaupun memang ada pengaruh dari pesona rumah itu
padanya, mampukah itu memberinya gambaran peristiwa dari sesuatu yang
terlewatkan, atau sesuatu yang kosong dalam pikirannya karena dia memang tidak
berada di dalamnya" Dia bukan semata-mata tidak ingat perihal apa yang terjadi
antara waktu dia tidur di sofa dan waktu dia terbangun di halaman, melainkan
memang tidak tahu karena pikirannya berada di alam mimpil Ya, mana mungkin dia
bisa tahu apa yang terjadi bila dia sedang tidur pada saat itu" Dia tahu betul
dan yakin akan hal itu, karena dia belum pikun dan tidak pula menderita amnesia
sesaat Barangkali alasan lain yang lebih kuat adalah keinginan bernostalgia
belaka. Dia pun tidak percaya pada halhal yang berbau mistik. Dan sesungguhnya
dia lebih suka kalau bisa bekerja bersama Daud. Apa salahnya dia ke luar rumah
dan menyatakan siapa dirinya karena dia toh bukan buronan" Sekarang dia hanya
tinggal menunggu kesempatan untuk mengambil sepotong tangan itu lalu membawanya
pulang. Dia ingin menyimpannya sebagai satu-satunya miliknya yang tersisa. Pasti
Deden tidak keberatan, karena dia akan menyayanginya dan memperlakukannya dengan
hormat. Bukankah itu jauh lebih baik dibanding dengan berada di bawah tanah,
terkubur untuk selamanya" Sepertinya benda itu tertinggal untuk diambil olehnya.
Tetapi, apakah Deden benar-benar tidak keberatan bila dia terkubur tanpa sebelah
tangan" Konon pernah ada cerita tentang arwah penasaran karena jasadnya terkubur
tidak lengkap. Ah, dia tidak percaya hal semacam itu. Lantas, kenapa dia
melakukan hal itu" Kadang-kadang memang terasa mengherankan bagi dirinya
sendiri. Seperti aneh dan tidak wajar. Apakah dorongannya adalah cinta seperti
pernah diutarakan Daud tempo hari" Rasanya bukan cuma itu. Kalaupun memang masih
ada cinta, yang jelas dia merasa sangat iba pada Deden. Kematian seperti itu
sungguh tidak patut untuknya. Keji sekali.
Dari seorang temannya yang masih aktif berdinas di kepolisian, Daud memperoleh
beberapa nama dan alamat keluarga dekat dari Haryati dan Deden. Haryati sendiri
tidak mau memberikan karena dia memang tidak menghendaki Daud mengunjungi
mereka. Apa alasannya tidak dikatakannya, tapi Daud dapat memahami. Haryati
masih memiliki keluarga, bahkan tergolong dekat, di luar
anaknya sendiri, tetapi tak ada satu pun yang memberi perhatian atau simpati
kepadanya selama berada dalam penjara. Setelah merenungkan, Daud memilih
beberapa nama. Pertama keluarga Gunadi, paman Haryati atau adik ayahnya. Kedua,
keluarga Anwar Sofyan, kakak Deden. Meskipun usianya sudah tujuh puluh, Gunadi
masih bertubuh tegap dan kekar. Rambutnya masih banyak walaupun putih semua.
Bicaranya juga lancar dan tidak sengau seperti umumnya orang tua. Dia didampingi
istrinya yang nampak lebih loyo.
"Kalau Bapak memang hakim yang dulu memvonis Yati, buat apa sekarang mencari
informasi lagi" Kan mestinya dulu-dulu," kata Gunadi sedikit ketus. Daud
bersikap sabar. "Dulu saya memang hakim, tapi sekarang tidak lagi. Dan mencari informasi itu
bukan tugas hakim, Pak. Sekarang saya melakukannya karena Yati adalah sahabat
saya." "Buat apa lagi" Kan dia sudah divonis dan dinyatakan bersalah, bahkan sudah pula
menjalani hukumannya. Entah sampai kapan."
"Dia sudah bebas, Pak."
"Bebas?" teriak suami-istri Gunadi hampir berbarengan. Keduanya terkejut.
"Sekarang di mana dia, Pak" Apakah sama anaknya, si Linda?" Daud menggelengkan
kepala. "Dia juga tak tahu di mana anaknya itu berada. Selama di penjara tak pernah ada
yang menjenguknya. Sampai-sampai dia bebas pun tak ada keluarganya yang tahu.
RUntung ada seorang temannya yang menjemput dan memberinya naungan." Gunadi dan
istrinya tersipu. Mereka nampak malu oleh sindiran itu.
"Kami bukannya tak mau menjenguk. Tapi kami kan sudah tua, Pak." Daud
mengangguk. "Ya. Nyatanya yang mudamuda juga tidak berbuat apa-apa. Yati seperti terkucil.


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah dia memang dikucilkan oleh keluarganya, Pak?"
"Oh, tentu saja tidak, Pak. Jangan bilang begitu. Tak ada istilah dikucilkan
bagi keluarga kami. Mungkin kami cuma kurang perhatian. tapi, anaknya sendiri
juga begitu rupanya. Jadi si Linda tak pernah menjenguk. Apakah anak itu tahu
ibunya sudah bebas?"
"Entahlah. Mana mungkin dia bisa tahu kalau tak diberitahu?" Nyonya Gunadi
menyusut matanya. "Aduh, kasihan si Yati," gumamnya. Suaminya menggeleng-gelengkan kepala.
"Nasib keluarga itu sungguh mengenaskan. Untung kakak saya dan istrinya sudah
tiada. Coba kalau mereka menyaksikan semua itu. Harta ludes, menantu mati
dibunuh anak sendiri, dan cucu tak mau peduli pada ibunya. Oh, kenapa, ya?"
"Kalau Bapak tahu di mana Yati berada, tolong katakan padanya kami senang sekali
bisa menerimanya di sini," kata Nyonya Gunadi.
"Apakah Bapak dan Ibu tahu di mana anaknya berada" Atau kerjanya di mana?"
R)Kedua orang tua itu saling pandang. Lalu menggelengkan kepala.
"Sudah lama si Linda tidak pernah berkunjung ke sini. Entahlah kenapa. Tapi
memang dia tidak akrab dengan kami. Begitu pula ibunya, si Yati Mungkin karena
kami tidak suka pada si Deden. Memang dia selalu ramah dan hormat pada kami,
seperti yang seharusnya. Tapi saya selalu punya perasaan bahwa itu cuma topeng.
Dia selalu pakai topeng," cerita Gunadi.
"Kenapa Bapak berperasaan begitu?" tanya Daud tertarik. Gunadi berpikir
sebentar. Dia memandang pada Daud dengan tatapan kritis.
"Tapi saya belum tahu, untuk tujuan apa Bapak tanya-tanya soal itu" Saya mesti
tahu dulu, dong." Daud memutuskan untuk lebih terbuka. Dia sudah yakin, bahwa
kedua orang tua ini berada di pihak yati.
"Begini, Bapak dan Ibu. Saya sudah berbincang-bincang dengan Yati setelah dia
bebas, dan dia menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Dengan kata lain, dia
sudah menjalani hukuman untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Saya
percaya." "Tapi Bapak sudah memvonisnya!" seru Nyonya Gunadi dengan suara melengking.
"Ketika itu dia mengaku, Bu."
"Benar, Ma. Si Yati kan mengaku sendiri," Gunadi membenarkan sambil menepuk paha
istrinya. "Ah, kenapa pula dia harus mengaku?" tanyanya heran.
"Dia sedang bingung ketika itu," Daud menyampaikan cerita Haryati selengkapnya.
"Aduh, kasihan betul. Kasihan." Kedua orang tua itu sama-sama menggelengkan
kepala. Dan Nyonya Gunadi kembali menyusut matanya.
"Kalau begitu, siapa yang berbuat" Rampok atau bukan?" tanya Gunadi dengan
berang. "Entahlah. Itu yang harus diselidiki."
"Oh, saya mengerti sekarang. Jadi Bapak bermaksud menyelidiki hal itu" Wah, kami
akan membantu, Pak. Apa saja yang Bapak perlukan dari kami?" tanya Gunadi
antusias. Istrinya pun mengangguk membenarkan.
"Saat ini yang saya perlukan hanya informasi."
"Tanya apa saja, Pak. Saya akan menjawab kalau bisa."
"Pertanyaan saya tadi itu belum terjawab. Tentang Deden pakai topeng itu," kata
Daud terSenyum. "Oh ya, yang itu. Ya, pada mulanya mungkin perasaan itu karena dorongan antipati
saja. Atau justru antipati timbul karena perasaan itu" Tak jelas juga. Mungkin
insting, ya" Tapi belakangan juga karena pengamatan."
"Aduh, Papa kok membingungkan sih," Nyonya Gunadi menggerutu.
"Saya bisa memahami, Pak. Tapi bagaimana dengan kalimat terakhir" Pengamatan
bagaimana itu, Pak?" tanya Daud.
"Karena rasa tidak suka itu, saya jadi lebih sering mengamat-amati dan
mempelajari dia. Mungkin mau cari-cari kesalahan, gitu. Lantas ada hal
hal yang saya anggap ganjil tapi tidak pernah saya ceritakan pada orang lain.
Enggak enak soalnya, nanti disangka mengada-ada atau mau mengadu domba. Pada
mulanya kakak saya memang tidak suka pada Deden. Tapi belakangan jadi sayang
Malah membanggakannya. Sedang Yati sangat mencintainya. Banyak orang yang
kelihatannya juga menyukai dia karena dia begitu pintar mengambil hati. Bahkan
ini, istri saya, juga begitu pula. Baru belakangan saja, setelah kelihatan
belangnya, dia jadi benci." Nyonya Gunadi tersenyum malu.
"Apa hal-hal yang Bapak anggap ganjil itu?"
"Pertama-tama urusan bisnis. Ketika dia masuk ke dalam perusahaan milik Gunawan,
kakak saya atau mertuanya, dia memperlihatkan kecakapannya. Itu menurut Suminta,
manajer umum di sana. Saya suka bertanya kepadanya. Pendeknya, si Deden dianggap
punya potensi dan mampu membuktikan hal itu. Perusahaan memang maju dan
melakukan ekspansi dengan mendirikan cabang-cabang dan anak perusahaan."
"Tunggu sebentar," potong Daud.
"Saya kurang memahami soal perusahaan miliknya itu. Yati tak mau menerangkan.
Tampaknya dia sedih dan tak mau mengingat-ingat lagi."
"Tak mengherankan bila dia jadi sedih dan shock karena sampai kehilangan semua
itu. Gila betul. Sampai berantakan semuanya." Gunadi geleng-geleng kepala.
"Jadi begini. Perusahaan induk adalah farmasi. Itu yang dirintis oleh kakak
saya,dari kecil sampai besar. Benar-benar hasil kerja keras. Tapi Deden
mengembangkannya dengan tambahan beberapa apotek dan sebuah laboratorium yang
lumayan besar dan modern. Tadinya Yati ikut menangani perusahaan ayahnya karena
itu memang sesuai dengan rencana ayahnya bahwa kelak perusahaan diteruskan oleh
anaknya. Sedang Yani tak bisa diharapkan. Tapi kemudian rupanya Deden melarang
Yati ikut aktif dan memintanya jadi ibu rumah tangga saja. Entah kenapa Yati
menurut saja. Bodoh itu. Akibatnya perusahaan dikuasai sepenuhnya oleh Deden.
Apalagi Gunawan belakangan sakit-sakitan. Dia menderita penyakit jantung.
Istrinya juga tidak sehat. Pada saat seperti itulah mulai nampak gejala
kemunduran. Desas-desus terdengar bahwa Deden mulai suka berjudi. Bahkan sampai
ke Las Vegas! Bayangkan. Di sana kan judinya gede-gedean. Uang siapa yang dia
hamburkan kalau bukan milik mertua dan istrinya. Lalu satu per satu perusahaan
amblas. Mula-mula laboratorium dijual, kemudian apotek. Kabarnya dijual di bawah
harga yang sepatutnya. Dan dia melakukannya tanpa konsultasi apalagi persetujuan
dari mertua dan istrinya. Maklum, perusahaan keluarga tanpa pembagian saham yang
jelas. Katanya dia melakukan hal itu sebagai suatu kebijaksanaan untuk bisa
menutup utang bank. Tapi pembukuannya tidak jelas. Kacau. Apa benar hasil
penjualan digunakan untuk melunasi utang atau dipakai berjudi" Sudah jelas
kegiatan judi itu tak ada pembukuannya. Kalah atau menang"
Kalahnya berapa dan menangnya berapa" Padahal siapa pemilik uang sudah jelas.
Bukan dia. Pada mulanya, ketika kawin dengan Yati, dia tidak punya apa-apa dan
tidak bawa apa-apa. Tak mengherankan kalau Gunawan menjadi sangat kecewa.
Mungkin juga dia marah dan menyesal, karena dia tak mengungkapkannya. Ternyata
setelah mendapat serangan jantung lagi dia tak mampu bertahan. Tak lama kemudian
istrinya menyusul. Menyedihkan sekali." Nyonya Gunadi menyusut matanya dan
membersihkan hidungnya. Perasaan Daud ikut bergetar. Dia jadi tak habis pikir,
bagaimana Yati bisa memaafkan Deden, bahkan merasa iba atas nasibnya yang
mengerikan itu. Apakah cinta memang bisa mentolerir segala perbuatan"
"Tapi saya belum memahami soal topeng itu, Pak."
"Oh ya, cerita saya memang belum ke sana. Tadi kan dipotong. Begini, saya punya
kebiasaan menilai orang dari sorot matanya. Kalau muka manis tapi sorot matanya
kejam, wataknya pasti jauh dari manis. Itulah yang sering sekali saya pergoki
pada Deden. Saya pakai istilah memergoki karena tidak setiap saat saya bisa
menemukan kontradiksi itu. Orang lain mungkin tidak sekritis saya atau mereka
tidak bisa menemukan hal itu. Kesimpulan itu jadinya menimbulkan kecurigaan dan
untuk selanjutnya penilaian saya tentang dia lebih condong ke negatif. Saya jadi
suka mengamati, suka tanya sana-sini. Tanpa setahu orang lain, termasuk istri
saya. Pendeknya dia baru mendengar tentang soal itu sekarang. Sori ya, Ma.
Kemudian yang saya herankan adalah kenapa dia bekerja giat dan cermat serta
berperilaku tak tercela pada saat mertuanya masih segar bugar. Tetapi setelah
sang mertua sakit-sakitan mulailah dia berubah, kelihatan watak aslinya.
Topengnya terbuka." "Jadi Yati selalu memaafkannya, Pak" Apakah sejak saat itu pula dia mulai
menerima penganiayaan suaminya?"
"Wah, saya kurang tahu. Yati tak pernah mengadu ke sini. Saya baru tahu tentang
soal itu setelah Yati diadili."
"Jadi Bapak yakin bahwa sebagian besar usia perkawinan Deden dilaluinya dengan
mengenakan topeng?" "Ya. Kalau bukan topeng, apa lagi?" Daud mengangguk. Dia tidak punya waktu untuk
mendiskusikan soal itu karena yang diinginkannya sekarang bukan melulu opini.
Tetapi cerita Gunadi itu besar sekali artinya. Mana mungkin dia bisa
memperolehnya dari diri Haryati.
"Apakah Bapak tidak pernah mendengar berita perihal Haryati dari orang yang
dekat dengannya, mungkin dari ayahnya, ibunya, atau adiknya?"
"Mungkin sekarang giliranmu untuk bicara, Ma?" kata Gunadi pada istrinya.
"Kau suka ngobrol dengan mamanya Yati, bukan?" Nyonya Gunadi berdehem.
"Ya. Katanya, Yati R)cinta betul pada Deden. Tapi ucapan itu lebih terdengar sebagai keluhan.
Sepertinya dia mengartikan cinta Yati itu sebagai sesuatu yang berlebihan. Ya,
saking cintanya, diapain juga mau saja dan tetap bertahan. Main judi, main
perempuan, dan entah main apa lagi. Saya kasihan bukan sama Yati, tapi sama
ibunya. Kadang-kadang saya pikir, Yati lebih memihak pada suaminya daripada
orangtuanya." "Apakah maksud Ibu, orangtuanya pernah menganjurkannya untuk bercerai?" tanya
Daud. "Oh, tidak. Setahu saya mereka tidak pernah menganjurkan begitu. Ibunya tak
pernah bicara soal cerai kepada saya. Tapi seharusnya Yati tidak membiarkan saja
Deden berbuat sekehendak hatinya. Itu cuma membuat Deden semakin gila. Ibunya
memang tak banyak bercerita mengenai rumah tangga Yati. Tapi saya pikir, itu
disebabkan Yati sendiri tidak pernah bercerita. Dia mengalami semua itu dengan
diam. Ibunya cuma mengambil kesimpulan dari gosip yang didengarnya di luar."
"Dari cerita Bapak tadi, saya mengambil kesimpulan bahwa meninggalnya Pak
Gunawan juga disebabkan penderitaan batin akibat ulah Deden. Apakah Yati tidak
menyimpulkan hal yang sama juga?" Kedua suami-istri itu menggelengkan kepala.
"Entahlah. Dia tidak memperlihatkan hal itu di mukanya, apalagi
membicarakannya," kata Nyonya Gunadi.
"Bagaimana dengan Haryani?" tanya Daud kemudian.
"Wah, anak itu benar-benar keterlaluan. Dari kecil sudah brengsek. Binal. Mana
perempuan lagi. Heran. Menurun dari siapa watak seperti itu" Padahal orangtuanya
alim-alim, lho." "Di mana dia sekarang, Bu?"
"Katanya sih di Amerika. Kawin sama bule. Wah, biar bule juga, mana tahan punya
istri kayak gitu. Tapi siapa tahu di sana dia berubah."
"Apakah Bapak dan Ibu pernah mendengar beritanya" Barangkali ada suratnya yang
ditujukan ke sini." "Tidak. Dia tak pernah berhubungan dengan kami. Perihal dia ada di Amerika juga
saya dengar dari Linda. Ketika pemakamaman Deden, Linda mengatakannya pada saya.
Tapi dasar brengsek, si Yani tidak memberitahukan alamatnya."
"Kalau Bapak dan Ibu mendengar sesuatu mengenai Yani dan Linda, bisakah
menghubungi saya" Saya perlu bicara dengan mereka mengenai Yati," kata Daud
sambil menyodorkan kartu namanya.
"Tentu saja, Pak. Tentu. Nanti saya juga akan ke luar rumah untuk mencari tahu
perihal Linda," Gunadi menjanjikan.
"Kapan kami bisa ketemu Yati, Pak?" tanya Nyonya Gunadi.
"Sekarang dia sedang beristirahat, Bu. Belum ingin ketemu siapa-siapa. Harap
Bapak dan Ibu maklum. Itu sebabnya saya tidak bisa memberitahu di mana dia
berada." "Jadi dia tidak tinggal di sini?" tanya Gunadi sambil melambaikan kartu nama
Daud. Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
menelepon untuk urusan keluarga, diterima oleh Linda. Dia bilang ibunya sedang
ke dokter. Saya tanya, ibunya sakit apa. Tapi Linda mengatakan ibunya tidak
sakit cuma konsultasi. Karena ingin tahu saya tanyakan lagi nama dokternya. Dia
bilang, Dokter Benyamin Sander. Wah saya tahu betul dokter itu. Dia adalah
psikiater yang cukup ternama di Jakarta." Daud pun pernah mendengar nama dokter
itu karena rajin memberi ceramah dan sering menulis di media massa.
"Apakah Linda tidak kelihatan khawatir kenapa ibunya berkonsultasi dengan
psikiater?" "Kedengarannya dia tenang-tenang saja. Tapi mungkin juga dia tidak tahu siapa
Dokter Benyamin Sander itu. Maklumlah, ketika itu dia masih remaja." Informasi
terakhir itu cukup mengejutkan Daud. Ketika melewatkan hari-hari bersama Haryati
dia tidak menemukan penyimpangan atau ketidakwajaran dalam tingkah lakunya.
Semuanya biasabiasa saja. Hal itu membuatnya melupakan betapa berat sebenarnya
penanggungan Haryati selama kurun waktu yang begitu panjang, baik selama di
penjara maupun selama menjadi istri Deden. Apalagi dia telah menjalani hukuman
untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tidakkah semua itu cukup untuk
mengacaukan kewarasan seseorang" Daud jadi mengkhawatirkan keadaan Haryati di
rumah Arya. Seharusnya dia tidak membiarkan"Tentu saja tidak. Dia masih punya
seman lain." Nyonya Gunadi mengangguk.
"Saya bisa mengerti. Dia tentu jengkel pada kami karena tak pernah menjenguk dan
memberinya perhatian. Ya, kami memang keterlaluan. Kalau Bapak ketemu dia,
tolong sampaikan maaf dan sesal kami. Kami sungguh menyesal dan ingin
membantunya. Apa - saja."
"Ya. Saya akan menyampaikannya. Dia pasti senang." Nyonya Gunadi menahan
kepergian Daud dengan pertanyaan,
"Apakah dia baik-baik saja, pak?"
"Ya. Dia baik-baik saja, Bu."
"Sungguh-sungguh baik, fisik maupun mental?" Nada serius dalam pertanyaan itu
membuat Daud tertegun. Tentu dia tahu betul bahwa Haryati sungguh sehat secara
fisik. Tapi mental" Tiba-tiba dia jadi kurang yakin akan kesimpulannya selama
kebersamaan mereka. Dia perlu merenungkan harihari yang telah lewat itu. Kuranglebih sebulan sudah terlampaui. Ah, tak ada yang salah dengan perilaku Haryati.
"Saya kira dia memang baik, Bu. Apakah Ibu - bertanya begitu karena beratnya
hidup dalam penjara?"
"Ya. Tapi ada alasan lain. Saya ingat, Yati pernah berobat ke psikiater dulu."
"Kapan?" tanya Daud cepat.
"Tak lama sesudah orangtuanya meninggal. Saya tahu secara kebetulan saja. Ketika
itu saya R)Haryati melaksanakan niatnya itu. Tapi bagaimana melarangnya" Haryati begitu
antusias. Sekarang dia cuma bisa berharap, semoga kekhawatirannya tidak
beralasan. Dan Haryati akan secepatnya kembali kepadanya.
Anwar Sofyan adalah kakak Deden. Dia adalah orang yang ditemui Daud berikutnya.
Kepadanya Daud memberikan cerita yang lain karena memperhitungkan bahwa orang
yang dihadapinya pasti memiliki penilaian berbeda terhadap Haryati dibanding
dengan keluarga Gunadi. "Saya Daud Galih, salah seorang hakim anggota yang dulu mengadili perkara
Haryati," dia mengenalkan diri, tanpa menambahkan bahwa sekarang dia sudah
pensiun. Sikap Anwar berubah hormat dan segan.
"Oh ya, pantas rasanya saya pernah lihat. Tapi tak segera mengenali karena sudah
lama sekali sih. Ada urusan apa ya, Pak?"
"Begini, Pak Anwar. Saya bermaksud menulis buku, dan perkara Haryati akan saya
masukkan sebagai salah satu pokok bahasan. Saya tertarik sekali pada kasus itu.
Jadi kalau Bapak bersedia, saya ingin bertanya-tanya sedikit mengenai keluarga
itu, terutama Deden karena dia adalah adik Bapak.".
"Oh, begitu. Tapi apakah nama-nama akan dilulis seperti apa adanya dalam buku
Bapak itu" Saya keberatan kalau nama saya dan keluarga saya ditulis dan
dipublikasikan dalam buku."
"Tentu saja tidak, Pak. Nama-nama saya ganti semuanya. Saya jamin itu, Pak.
Kalau sudah terbit, Bapak akan saya beri satu eksemplar." Anwar setuju. Dia
mempersilakan Daud bertanya apa saja.
"Apakah Bapak akrab dengan Deden semasa hidupnya?"
"Ya. Cukup akrab. Tapi tidak begitu lagi setelah dia kawin. Habis dapat cewek
kaya sih." Daud menangkap nada iri hati dalam suara AnWar.
"Kalau begitu, Bapak cukup mengenal watak dan pribadi Deden. Bisa digambarkan,
Pak?" "Dia pintar dan cerdik," jawab Anwar tanpa ragu-ragu. Tangannya menunjuk
dahinya. Daud menaikkan alisnya.
"Cerdik, ya" Tapi bagaimana dengan pribadinya?"
"Saya tahu kenapa Bapak bertanya begitu. Pasti ada hubungannya dengan penilaian
negatif orang terhadap Deden. Suka main judi, main perempuan, penganiaya istri,
menghabiskan harta mertua."
"Apa Bapak sendiri tidak percaya akan penilaian itu?"
"Wah, bagaimana, ya" Dia adalah adik saya."
"Maksud saya, bila dibandingkan dengan Deden yang selama itu Bapak kenal, apakah
penilaian semacam itu cocok atau tidak" Dengan kata lain, apakah dulu sebelum


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawin dia suka berulah begitu?" Anwar menggelengkan kepala dengan tegas.
"Setahu saya, dia tidak sekeji itu. Mustahil rasa
R)nya. Susah dipercaya. Tapi kalau soal perempuan, terus terang dia memang punya
kelemahan. Habis bagaimana, ya. Kelihatannya perempuan-perempuan menyukainya dan
menggodanya. Mereka mengejarnya. Bukan salah Deden kalau dia tak kuat iman."
"Tapi kalau sudah punya istri, mestinya dia tahu batas, bukan?" Anwar mengangguk
"Ya, mestinya begitu. Saya juga sudah menasihatinya. Tapi percuma. Kasihan juga
si Yati. Cuma yang saya herankan, kenapa tidak cerai saja kalau Yati memang
sudah tidak tahan" Kenapa dia harus membunuh Deden?" Daud mengangguk.
"Ya. Kelihatannya cukup banyak orang berpendapat begitu. Mungkin Yati
terlalu mencintainya." Anwar mencibir.
"Huh, cinta. Kalau benar cinta
kok tega membunuh dan membakarnya" Saya pikir, si Yati itu tidak waras. Apa
Bapak tidak ingat waktu dia duduk di kursi terdakwa dulu" Dia bengong saja kayak
orang tak berakal." Tetapi Daud tak berminat membicarakan Haryati. Tujuannya
adalah untuk mengenal Deden sebanyak mungkin.
"Bisakah Bapak ceritakan tentang masa kecilnya, remaja, sampai dewasa" Yang
istimewa dan berkesan tentunya." Anwar berpikir.
"Ah, apa, ya" Rasanya sih biasa-biasa saja. Tapi yang selalu mengesankan saya
adalah kecerdikannya. Dia selalu bisa meloloskan diri dari kesulitan. Akalnya
banyak. Waktu kecilkami membentuk geng. Dialah pemimpin kami. Saya yang lebih
tua darinya selalu mengikuti komandonya tanpa pernah membantah. Tapi dia memang
membuktikan bahwa dirinya pantas jadi pemimpin. Setelah remaja keakraban kami
berkurang. Dia lebih banyak terlibat dengan cewek. Sedang saya hanya bisa
mengiri melihat keberuntungannya. Beberapa kali dia menghamili cewek, tapi
selalu bisa lepas dari keharusan bertanggung jawab. Entah bagaimana caranya.
Setelah dewasa kebiasaan seperti itu tak juga berkurang Malah dia berani main
dengan istri orang. Entah apa gerangan yang dilihat perempuan-perempuan itu
dalam dirinya. Sebegitu besarkah pesonanya?" Dia mencerocos dengan penasaran
seakan sampai saat itu dia masih belum juga bisa memahami.
"Jadi dia memang cerdik, Pak. Apakah kecerdikannya itu bisa diidentikkan dengan
kelicikan?" Anwar nampak tersinggung.
"Mana saya tahu" Mestinya Bapak bertanya pada ahli bahasa. Apakah cerdik itu
sama dengan licik?" "Baiklah. Jangan tersinggung ya, Pak. Apakah Deden pernah melakukan penipuan?"
Anwar menggelengkan kepala.
"Cewek-cewek itu sendiri yang mengejarnya. Kalau mereka sampai hamil lalu
ditinggalkan, apakah itu pantas disebut penipuan?"
"Maksud saya, di luar urusan cewek-cewek, Pak Anwar."
"Oh, setahu saya tidak ada. Dia tak pernah berurusan dengan polisi."
R)"Apakah dia suka berpura-pura" Misalnya dia suka membohongi orang dengan
berkata begini padahal tujuannya begitu."
"Entahlah. Saya tidak mungkin kenal dan tahu dia sebanyak itu."
"Saya menanyakan apa yang Bapak tahu saja. Misalnya, apakah Bapak sendiri pernah
dibohongi?" "Tentu saja pernah. Saya sendiri juga pernah membohongi dia." Anwar tertawa
keras seolah senang bisa melecehkan.
"Ah, jadi dia bisa juga dibohongi, ya" Katanya cerdik." Anwar diam.
"Setelah Deden menikah, apa Bapak sering berhubungan dengannya?"
"Tidak begitu. Kalau ada perlu saja saya menghubunginya."
"Apakah dia berubah dibanding dengan sebelum menikah?" Anwar berpikir dulu
sebelum menjawab. "Entahlah. Saya tidak sempat mempelajarinya," sahutnya ragu-ragu. Daud merasa
kesal untuk jawaban itu. "Saya kira, untuk menilai begitu tidak perlu mempelajarinya lebih dulu. Dari
sikapnya kan sudah kelihatan, Pak. Apakah dia menjadi sombong, tak peduli, atau
biasa saja?" "Sungguh saya susah menilainya secara pasti begitu, Pak. Tapi saya beri contoh
saja. Begini. Ketika saya pergi kepadanya untuk minta bantuan keuangan, dia
menolak karena katanya yang punyauang itu istrinya. Bukan dia. Nah, bagaimana
saya harus menilai dia?"
"Oh, dia bilang begitu" Jadi selama dia menjadi suami Yati, Bapak tak pernah
mendapat bantuan keuangan barang sedikit pun dari dia?"
"Belum pernah. Setelah sekali ditolak, saya tak pernah minta lagi. Padahal
ketika itu saya juga bukan minta begitu saja, melainkan meminjam. Pikiran saya,
masa sih saudara sendiri sampai hati mengenakan bunga untuk pinjaman saya. Eh,
jangankan ada persoalan bunga, diberi saja tidak."
"Tetapi untuk dipakai berjudi dia tidak merasa sayang, bukan?" Daud mencoba
memanasi. Wajah Anwar kelihatan geram untuk sesaat. Kemudian dengan cepat pulih
seperti biasa lagi. "Ah, sudahlah. Mungkin dia tergoda setan."
"Apakah begitu gampangnya dia tergoda setan, Pak" Padahal orangnya pintar dan
cerdik." "Setan itu kan lebih cerdik daripada manusia, Pak." Daud tak mau terjebak dalam
perdebatan seperti itu. "Pernahkah dia membicarakan soal berjudi itu dengan Bapak" Barangkali ngomong
sepintas lalu. Mungkin Bapak kenal temannya sesama penjudi. Biasanya penjudi
punya teman." Anwar berpikir lagi.
"Sebentar, Pak. Rasanya saya pernah dengar dia menyebut sebuah nama. Waktu itu
dia cerita tentang pengalamannya di Las Vegas. Katanya dia kalah lima ratus ribu
dollar. Gila betul. Duit sebanyak itu. Lalu dia meminjam dari seseorang yang
dikenalnya dan kebetulan main sama-sama. Tak dikatakannya berapa yang dipinjamnya, tapi dikatakannya,
kenalannya itu mengenakan bunga sebesar sepuluh persen sebulan. Gila. Bunga
sebesar itu. Dasar sudah gila judi, kok dia mau saja. Benar-benar kemasukan
setan." "Siapa kenalannya itu, Pak?"
"Tunggu sebentar. Ar. Arta, eh, bukan. Ar. Arya. Arta atau Arya" Wah, lupa-lupa
ingat." "Apakah Arya Kusuma, Pak?"
"Ya, betul. Kusuma, saya ingat itu. Kalau saya tak salah, orang itu pula yang
membeli rumah Deden."
"Betul sekali. Saya juga tahu hal itu. Masih ada pertanyaan lagi, Pak. Apakah
Deden mengawini Yati karena cinta atau harta?" | Anwar tersentak. Dia kelihatan
tersinggung. "Wah, mana saya tahu. Jangan tanya sama saya, dong."
"Maaf ya, Pak. Saya cuma minta pendapat Bapak. Benar atau tidak benar, kan cuma
pendapat. Tapi yang objektif, lho."
"Saya lihat dia benar-benar cinta sama Yati. Tapi susah juga, ya. Soalnya dia
sudah terlalu sering terlibat sama perempuan. Di depan perempuan lelaki suka
gombal, kan" Biar tidak cinta bilang cinta asal mendapat yang dikehendaki.
Sedang Yati itu bukan saja cantik, tapi juga punya bapak kaya-raya. Bagi Deden,
kecantikan sudah menjadi hal biasa karena sering dia dapatkan. Tapi yang kaya?"
"Jadi Bapak berpendapat, ada kemungkinan cinta Deden kepada Yati dipengaruhi
harta." "Ah, saya tidak berkesimpulan begitu." Daud tersenyum.
"Ya, memang tidak. Terima kasih banyak, ya Pak. Informasi Bapak membantu sekali.
Boleh saya mampir lagi nanti kalau ada yang kelupaan saya tanyakan?"
"Boleh, Pak." Ketika akan pulang, Daud menuju rumah Arya Kusuma. Dia cuma
bermaksud melewatinya saja dengan harapan bisa melihat Haryati walaupun cuma
sekilas. Siapa tahu Haryati juga melihatnya hingga dia bisa memberi sekadar
isyarat. Dia ingin melihat dan meyakinkan diri bahwa Haryati memang baik-baik
saja. Rumah Arya Kusuma sepi-sepi saja dari luar. Berkat peraturan Pemerintah
Daerah yang mengharuskan tinggi pagar minimal satu setengah meter dan harus
tembus pandang, maka Daud bisa melihat ke dalam halaman lewat celah-celah terali
besi. Sayang dia tak bisa melihat siapa-siapa. Terasnya kosong. Sebagai
pembantu, tentu saja Haryati tidak bisa duduk-duduk santai di teras. Pada saat
itu Daud berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan lewat di situ setiap
hari. "NAH, itu dia rumahnya." Lesmana menunjuk ke arah rumah Arya. Padahal Melinda
sudah tahu. Tentu dia masih mengenali lingkungan sekitarnya walaupun bekas
rumahnya sudah memiliki penampilan luar yang berbeda.
"Pelan-pelan saja jalannya, Les. Nggak usah berhenti."
"Memangnya kau takut berhenti, Lin" Masa berhenti sebentar disangka mau
merampok" Ayolah."
"Bukan begitu. Kupikir sudah cukup melihat. |
Buat apa lama-lama dipelototi?"
"Kau merasa tidak enak, Lin?" tanya Lesmana penuh simpati.
"Ah, aku menyesal. Ayolah, kita cepat-cepat pergi saja." Tetapi Melinda masih
tetap memandang ke sana. "Hei, ada orangnya di teras tuh."
"Siapa?" "Kayaknya Oom Arya. Dia berdiri. Eh, bener dia tuh. Dia melambai Hei, dia lari
ke depan!" Lesmana benar-benar menyesal sekarang. Betapa bergairahnya Oom Arya
mengejar mereka, lalu membujuk dan memaksa mampir seakan mereka tamu istimewa. Ah, yang istimewa tentu
Melinda! Saat berikut mereka sudah duduk-duduk diteras.
"Di sini saja, Oom. Nggak usah masuk," Melinda menolak dengan segan ketika
diajak masuk ke ruang dalam.
"Jangan segan-segan, Lin. Ini kan dulu rumahmu. Anggap saja sekarang rumahmu
juga. Ya, rumah sendiri begitu," kata Arya dengan ramah. Tatapannya hanya
tertuju kepada Melinda, seakan ucapannya itu memang cuma ditujukan kepada
Melinda seorang sedang Lesmana dianggap tak ada. Lesmana cuma bisa merasa gemas.
Lalu dia melotot dan mendesis ketika tangan Arya mampir di pundak Melinda.
Gayanya memang kebapakan. Tetapi di mata Lesmana itu adalah sentuhan kurang
ajar! "Sayang sekali. Tante sedang pergi arisan. Jadinya Oom tidak bisa
memperkenalkannya padamu. Mungkin sebentar lagi juga pulang."
"Kami nggak lama kok, Oom," kata Melinda tersipu. Dia merasa sambutan Arya
terlalu hangat untuknya. Tetapi dia juga menangkap wajah Lesmana yang muram.
"Ayolah, kita ngobrol dulu. Kapan lagi Oom bisa dikunjungi Linda. Tadi cuma mau
lewat saja, ya?" "Iya. Les bilang, tempo hari dia diajak mampir."
"Oh iya. Ketika itu dia sedang mengamat-amati rumah ini," kata Arya dengan nada
gurau. Lesmana tersenyum masam. Dia bersikap tak peduli dan memandang berkeliling.
Apakah wanita tua dengan cacat di pipi itu, Bu Yati, masih bekerja di situ"
Kapan kiranya komplotan Bu Yati siap bekerja" Banyak barang bagus di sini. Guciguci antik bertampang mahal ada di setiap sudut. Lampu taman dan lampu kristal
di teras saja pasti berharga jutaan. Belum lagi barang-barang yang ada di dalam
rumah. Kalau dikuras mungkin tak muat dalam satu truk. Mudah-mudahan saja Bu
Yati sukses! "Wah, Lesmana melamun," goda Arya.
"Ditanya sampai tak mendengar. Pikirannya ke mana, Les?"
Lesmana tersipu. Kalau saja Arya tahu apa yang dipikirkannya. Dia hanya
tersenyum. "Tadi nanya apa, Oom?" dia bertanya.
"Wah, benar tuh. Dia nggak dengar." Arya tertawa terbahak. Sedang Melinda
tersenyum. Dia menganggap tingkah Lesmana itu lucu, tapi setelah melihat wajah
Lesmana jadi kemerahan sedang Arya menertawakan tanpa kasihan, dia jadi tak
enak. Pasti Lesmana sedang mendidih di dalam. Untuk mendinginkan dia menepuk
pelan lengan Lesmana. "Benar kau tak mau melihat-lihat ke dalam, Lin?" tanya Arya.
Melinda menggelengkan kepala. Arya memandangnya dengan tatapan sendu.
Ekspresinya memperlihatkan rasa iba dan simpati yang mendalam. Tetapi Lesmana
menganggapnya sebagai upaya mengambil hati yang sangat pintar.
R)"Oom bisa memahami kesegananmu. Kau tak ingin terganggu oleh kenangan akan
tragedi itu, bukan" Padahal sampai kapan pun kau akan selalu terganggu oleh
kenangan itu di mana pun kau berada. Tak harus di rumah ini. Jadi menurutku,
kesegananmu itu tidak pada tempatnya. Salah sama sekali. Justru tempat seperti
ini, rumah ini, jangan kauhindari bagaikan sesuatu yang menakutkan. Hadapilah.
Lihat dan resapilah suasananya. Pengalaman masa lalu, baik yang enak maupun yang
tidak enak, sudah jadi bagian dari dirimu. Kau harus menerimanya. Maka pada
suatu saat nanti itu tak lagi jadi gangguan. Kau menjadi lebih tabah dan lebih
kuat." Melinda serasa terpesona. Sedang Lesmana tertegun. Dia tak menyangka ucapan
seperti itu bisa keluar dari mulut Arya. Dan melihat sikap Melinda dia jadi
merasa benar-benar terancam. Rasanya semakin lama dia jadi semakin yakin bahwa
Arya merupakan seorang saingan.
Melinda berpikir sebentar. Dia merenungkan kata-kata Arya tadi. Lalu dia
memandang ke sekitarnya. Taman yang indah itu dulu tempatnya bermain-main. Dan
tak jauh dari teras tubuh ibunya ditemukan, terkapar dengan sebuah jerigen di
tangannya. Memang dia tak melihat sendiri. Tapi dia bisa membayangkan. Ah,
kenapa ibunya begitu bodoh membiarkan dirinya ditemukan dengan posisi seperti
itu" Mestinya dia membuang jauh-jauh jerigen itu pada kesempatan pertama,
sebelum dia jatuh pingsan. Kenapa harus dibawa-bawa"
Arya dan Lesmana memperhatikan Melinda dengan tegang. Gadis itu tampak serius
sekali dengan renungannya, hingga tak ada yang berani menegur. Ucapan Arya itu
memang terasa ada benarnya. Tapi kalau benar, berarti tidak sepatutnya dia
menghindari ibunya. Dia tidak boleh lari lagi. Dia harus menghadapi dan
berdialog dengannya. Lihat saja apa yang terjadi selanjutnya. Ah, beranikah dia"
Akan lenyapkah ingatan mengerikan perihal cakar hitam kering itu" Cakar, eh,
tangan ayahnya" Melinda memandang Arya.
"Terima kasih untuk nasihatnya, Oom. Saya. saya. eh, kayaknya pantas juga
dicoba," katanya ragu-ragu. Arya tersenyum senang.
"Sebaiknya kau jangan berpikiran begitu. Jangan sekadar mencoba-coba. Tapi biar
mantap, pikirkan saja dulu. Renungkan lagi. Kalau sudah mantap kembalilah lagi.
Kapan saja semaumu. Tapi sebaiknya pada saat seperti sekarang ini. Saat istri
saya tidak ada. Eh, bukan apa-apa, lho. Jangan salah paham. Soalnya begini.
Istri saya tidak tahu riwayat rumah ini. Ya mudahmudahan saja tidak ada yang
memberitahu. Saya takut kalau-kalau dia tak berani tinggal di sini walaupun
sudah terbukti bahwa dia tenang dan nyaman di sini. Maklum kadang-kadang orang
suka dipengaruhi. Kalau tidak tahu tak apa-apa. Tapi sekalinya tahu, pikirannya
jadi macam-macam." Lesmana mengerutkan keningnya. Kecurigaannya meletup-letup.
Tidakkah saran Arya itu mengandung jebakan" Bayangkan. Melinda disuruh datang ke
sini pada saat sang nyonya rumah tak ada. Tetapi alangkah liciknya saran itu,
karena berselubung dengan alasan kepentingan Melinda. Kenapa Arya begitu baik
kepada Melinda" Sungguhkah tak ada maksud jelek di balik itu"
"Pantasnya Oom orang yang suka berpetualang." kata Lesmana pada saat Melinda
masih dipengaruhi renungannya.
"Kenapa kau bilang begitu?" tanya Arya dengan tatapan selidik. Lesmana
menghindari tatap yang dirasakannya tak menyenangkan itu. Dia sadar, kemungkinan
Arya merasakan kecurigaannya. Mungkin sebaiknya dia tidak terlalu memperlihatkan
hal itu. Tetapi dia juga tak ingin berpura-pura menyukainya. Lebih-lebih di
depan Melinda. "Nyatanya Oom berani tinggal di sini. Dari semua rumah yang ada di Jakarta ini,
yang samasama bisa Oom beli, Oom justru memilih rumah ini. Hebat sekali," kata
Lesmana, tanpa bisa menghilangkan nada sarkastis dalam suaranya. Melinda kembali
dari renungannya dan ikut menunggu reaksi Arya. Yang dipandangi tertawa. Arya
santai saja. "Ya. Tentunya mengherankan buatmu, bukan" Saya kira, saya sudah pernah
menjelaskan kepada Melinda bahwa saya mengenal ayahnya, Deden Sofyan, dengan
cukup baik, hingga saya ingin berbuat sesuatu yang baik pula bagi putrinya. Saya
emang menyukai rumah ini, bukan karena peristiwaitu, melainkan banyak faktor
lain. Misalnya letaknya yang strategis di pusat Jakarta, situasi sekitarnya yang
menyenangkan. Bila dengan segala faktor itu saya pun bisa membantu Melinda,
kenapa saya tidak memilihnya dari segala rumah yang ada di Jakarta ini?"
"Benar, Les," Melinda ikut bicara.
"Oom Arya telah membantuku dengan membeli rumah ini. Kalaupun ada yang berminat
membeli, selalu mengajukan harga yang jauh di bawah pantas. Mentangmentang rumah
ini punya riwayat mengerikan. Padahal aku sangat membutuhkan uang." Ucapan
Melinda itu membuat dagu Arya terang
kat naik. Pandangannya kepada Lesmana seolah menyepelekannya. Tetapi Lesmana
berusaha untuk tidak memperlihatkan kejengkelannya. Dia tersenyum lalu bertanya
lagi, "Apakah Oom juga tidur
di kamar yang pernah terbakar itu?" Melinda terkejut dan memandang pada Lesmana
dengan kecaman di matanya. Tak seharusnya Lesmana bertanya seperti itu. Tapi
Lesmana pura-pura tak memahami. Arya tenang saja menjawab,
"Kamar itu bukan lagi kamar tidur sekarang, melainkan perpustakaan. Ada baiknya
Linda melihat-lihat juga ke situ. Saya pikir, baik juga sebagai terapi


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejiwaan." "Kenapa Oom merombaknya" Oom takut?" tanya Lesmana lagi.
"Tentu saja tidak. Kalau takut Oom tidak akan tinggal di sini," sahut Arya mulai
jengkel. "Air putih saja, Bi," sahut Lesmana kesal.
"Ah, masa." Surti merasa heran.
"Sudahlah. Ambil air putih, Bi," kata Arya tak sabar sambil menggerakkan
tangannya menyuruh pergi, lalu dia menoleh kepada Melinda.
"Kau minum apa, Lin?" tanyanya lembut.
"Air putih saja, Oom."
"Masa cuma air putih" Jangan latah sama Lesmana, dong."
"Benar, Oom. Bukan latah, kok."
"Baiklah. Dua ya, Bi!" seru Arya kepada Surti yang sudah berjalan masuk. Surti
mengiyakan. Juga dengan berteriak. Di dapur Surti menggerutu kepada Haryati.
"Ada tamu nggak bilang-bilang. Mana aku tahu ada tamu."
"Oh, ada tamu, ya" Tamunya Tuan?" tanya Haryati sambil lalu. Dia sedang sibuk
memasak untuk makan malam. Di rumah ini walaupun penghuninya cuma dua orang tapi
makannya merepotkan. Kalau pagi masak untuk siang dan kalau sore masak untuk
makan malam. Tuan Arya lebih suka makan di rumah daripada di luar, baik siang
maupun malam. "Iya. Tamunya dua anak muda. Satu lelaki, satu perempuan. Mereka lagi diajak
lihat-lihat rumah. Tahu mau apa. Entar lagi juga ke sini. Masa dapur nggak
dilihat juga. Yang rapi, lho, Yat. Entar diomelin Tuan."
"Gimana mau rapi, masak aja belum beres. Eh, kok tamunya lihat-lihat rumah"
Memangnya rumah ini mau dijual?" Keingintahuan Haryati tergugah.
"Mana aku tahu?"
"Lho Sur, kok air putih?" tanya Haryati heran.
"Mintanya itu kok. Padahal sudah kutawari macam-macam minuman." Setelah Surti
pergi, Haryati termangu sebentar. Dia membuka pintu dapur sedikit lalu menoleh
kanan-kiri. Tak nampak apa-apa. Suara-suara tak kedengaran jelas. Dia mengangkat
bahu lalu kembali menutup pintu. Kalau para tamu itu memang mau melihat-lihat
dapur, sebentar lagi dia bisa melihat juga. Sekarang lebih baik dia tidak usah
mengintip hingga bisa membangkitkan amarah sang tuan. Sudah tiga hari dia
bekerja di situ, dan selama waktu itu dia selalu bisa menghindar dari tatap muka
atau pertemuan dengan sang tuan. Kalau sang tuan perlu apa-apa, biasanya dia
lebih suka memanggil Surti. Mungkin juga sang tuan sudah melupakan kehadirannya
di rumah itu, atau tak ingat lagi bahwa pembantu barunya adalah si perempuan tua
buruk rupa yang tak disukainya. Sambil meneruskan pekerjaannya, Haryati
berpikir. Andaikata rumah itu memang mau dijual tentu dia harus cepat-cepat
melaksanakan niatnya, yaitu mengambil sepotong tangan itu. Tetapi sampai saat
itu dia belum juga mendapat kesempatan yang baik. Sementara itu di bagian lain
rumah itu, ketiga orang masih berkeliling. Sebenarnya yang berkepentingan cuma
Melinda seorang, maka yang merasa asyik memang hanya dia sendiri. Arya punya
keasyikan lain, yaitu memperhatikan reaksi Melinda. Sedang Lesmana berpura-pura
memperhatikan sekitarnya padahal diam-diam dia mengamal-amati gerak-gerik Arya.
Melinda mencoba mengenang kembali masa lalunya di rumah itu. Tapi ingatannya
muncul sepotong-sepotong, sama sekali tak utuh. Bahkan yang sepotong-sepotong
itu pun kabur. Belakangan dia baru menyadari, hal itu bukan karena dia
memaksakan pikirannya bekerja, melainkan karena rumah itu memang sudah berubah.
Interiornya sudah berbeda jauh. Tak ada apa-apa lagi yang tersisa yang bisa
membangkitkan kembali kenangannya ke masa lalu. Juga tak ada perasaan apa-apa.
Tak ada pesona apa-apa. Dia menjadi geli dan merasa bodoh. Tetapi dia jadi
mengakui kebenaran pendapat Arya tadi. Dan karenanya dia merasa tak patut
mengecewakan dengan buru-buru menyatakan apa yang terpikir olehnya itu. Maka dia
melanjutkan acara melihat-lihatnya itu dengan sikap serius. Mereka memasuki
perpustakaan. Melinda mencoba membayangkan reruntuhan yang sempat dilihatnya
dulu. Di situlah ayahnya berubah bentuk menjadi sosok hitam dan kering lalu
dikuburkan tanpa sebelah tangannya. Ke mana gerangan tangan itu" Mestinya ada di
suatu tempat. Tak mungkin menghilang begitu saja. Arya memperhatikan Melinda.
Tatapannya menelusuri gadis itu, tak lagi sekadar berpusat di wajahnya saja.
Lesmana menangkap tatapannya itu dan berusaha keras untuk mengendalikan dirinya.
Begitu keluar dari rumah itu dia akan segera
menyampaikan hasil pengamatannya itu kepada Melinda supaya gadis itu waspada.
Sebagai sesama lelaki dia tentu tahu betul apa makna tatapan Arya itu. Tatapan
mata keranjang! Tak ada yang berbicara di ruang itu. Setelah keluar dari situ
barulah Arya bertanya, "Bagaimana, Lin?"
"Bagaimana apa, Oom?" Melinda balas bertanya.
"Kesanmu di sana tadi." Arya menunjuk ruang di belakangnya. Melinda
menggelengkan kepala. "Nggak ada apaapa, Oom,"sahutnya. Arya menarik dalam-dalam lalu mengeluarkannya.
Lega. "Sekarang merasa lebih enak?" tanyanya.
"Ya. Terima kasih, Oom."
"Syukurlah." Melinda tak ingin mengatakan bahwa sebetulnya dia tidak tahu
bagaimana perasaan sebenarnya mengenai hal itu. Dia menjawab seperti itu hanya
sebagai penghargaan atas perhatian yang diberikan Arya kepadanya.
"Jadi di tempat itu Oom suka membaca sendirian?" tanya Lesmana.
"Tentu saja." "Wah, hebat, ya" Oom benar-benar bersaraf baja. Kalau saya sih." Arya tersenyum
saja. Dia tahu, ucapan itu bukanlah pujian yang tulus. Sesungguhnya dia memang
tidak suka membaca di situ. Apalagi malam
malam sendirian. Ruang itu sekadar sebuah tempat penyimpanan buku. Melinda
memandang ke sekitarnya. Mungkin sekarang sudah tiba saatnya untuk pamitan. Dia
tidak perlu melihat-lihat lagi. Sudah cukup. Sampai saat itu yang berkesan
baginya hanyalah kemewahan yang memukau dan menawan. Arya berjalan ke arah
dapur. "Linda!" dia memanggil ketika melihat gadis itu masih termangu.
"Kau mau lihat dapur?" tanya Arya agak keras.
"Apa, Oom" Dapur?" Melinda balas bertanya dengan suara tak kalah kerasnya. Tibatiba dari arah dapur terdengar suara gedombrang yang tak kepalang kerasnya.
Suaranya sungguh mengejutkan. Arya terlompat bagai terkena tembakan di
jantungnya hingga bergetar keras.
"Sontoloyo! Sontoloyo!" serunya latah. Mukanya merah dan rambutnya nampak kaku.
Kedua pipi Lesmana menjadi gembung oleh upayanya menahan ledakan tawa yang
teramat geli. Betapapun dia masih memiliki kesadaran beretiket. Masa tuan rumah
ditertawakan. Tetapi Surti yang berada di ruang yang sama tak bisa menahan
gelinya. Dia belum pernah melihat tuannya berulah latah seperti itu. Karena
takut dimarahi nanti, dia cepat-cepat lari ke luar untuk menyemburkan tawanya di
ruang lain. Hanya Melinda bereaksi lain dari yang lain. Dia mematung dengan
wajah pucat. Tatapannya tertuju kepada Arya dan lekat di sana. Dia seolah
melihat hantu. Baru setelah pandangannya tertuju kepada Melinda, Lesmana terkejut dan
mengalihkan perhatiannya dari Arya. Serta-merta hilang gelinya. Dia menjadi
khawatir. "Kenapa kau, Lin?" tanyanya sambil meraih Melinda. Tanpa segan Melinda memeluk
Lesmana dan mencengkeram lengannya. Dia tak berkata apa-apa. Hanya matanya saja
tetap tertuju kepada Arya. Tetapi yang dipandangi tidak menyadari dirinya jadi
pusat perhatian seperti itu. Setelah tenang kembali dia menghambur masuk dapur
dengan geram. Beberapa saat kemudian Melinda menarik tangan Lesmana dan
mengikuti langkah Arya. Setelah kejutannya mereda, Melinda jadi ingin tahu siapa
gerangan yang menjadi gara-gara kegaduhan itu di dapur. Di dapur Haryati tengah
membungkuk untuk mengambil panci yang terjatuh. Dua sekaligus. Tadi dia begitu
terkejut mendengar panggilan
"Linda", lalu suara sahutan yang dikenalinya betul. Itu suara Melinda. Tapi
belum lagi hilang kagetnya, datang kejutan lain. Seruan latah Arya. Tubuhnya
jadi gemetar. Napasnya sesak. Rasanya bagai tercekik oleh sesuatu yang
mengerikan. Dengan susah payah dia berhasil mengatasi semua itu dalam waktu yang
cukup singkat. Dia tahu betul bahwa pada saat berikutnya Arya akan masuk lalu
memarahinya habis-habisan. Begitu Haryati menegakkan tubuhnya dengan kedua
tangan memegang panci dia berhadapan dengan Arya.
"Ma. maaf, Tuan. Ma. af, sa."
R)gagapnya. Omongannya tak selesai karena dia mendapat kejutan lain. Arya siap
menyemburkan kemarahannya. Tetapi ketika tertatap olehnya wajah Haryati, dia
serasa melihat monster mengerikan. Sebuah wajah pucat pasi seperti mayat,
buruknya tak kepalang. Kenapa monster ini ada di dapurnya" Hampir dia mengulang
kelatahannya tadi. "Son.!" Tapi kali ini dia bisa mengatasi dorongan itu dengan cepat. Pada saat
sekilas itulah Haryati bertatapan dengan Melinda. Segera Haryati melupakan
orangorang lain, termasuk Arya. Biarpun sudah melewati kurun waktu selama tujuh
tahun, dia masih ingat akan Melinda. Gadis itu tak berubah banyak. Masih seperti
dulu meskipun nampak tambah matang dan dewasa. Dan tentu saja juga tambah
cantik. Tapi yang membuat Haryati prihatin adalah wajah pucat Melinda. Apakah
yang menyebabkan hal itu adalah seruan kelatahan Arya tadi" Melinda tentu
bereaksi seperti dirinya tadi. Ketika muncul dorongan spontan untuk tersenyum
dan memanggil namanya, dia melihat wajah Arya di dekatnya. Tiba-tiba saja dia
tersadar dengan perasaan pedih, bahwa Melinda sama sekali tidak mengenalinya.
Dia adalah orang asing di mata Melinda. Cepatcepat dia menundukkan kepala.
"Siapa kamu?" suara Arya menggelegar.
"Saya pembantu, Tuan. Bi Yati," sahut Haryati lirih. Dia sadar, sang tuan sama
sekali tak ingat padanya. Tentu berkat usaha menghindarnya yang berhasil sampai
saat itu. Arya teringat kembali. Lalu dia merasa bodoh. Bodoh sekali. Bagaimana mungkin
dia bisa melupakan" Dia pun merasa kehilangan wibawa di hadapan kedua tamunya.
Wajahnya jadi merah padam oleh kebingungan bagaimana memperbaiki sikap.
"Oom, kami mau pulang saja, ya?" Melinda menegur pelan. Dia merasa iba kepada
Arya. "Sebentar lagi..," kata Arya gugup. Dia belum menemukan kata-kata yang tepat.
Tambahan lagi terlihat olehnya senyum mengejek di wajah Lesmana.
"Sudah saatnya pulang, Oom," kata Lesmana. sambil meraih tangan Melinda.
"Baiklah. Kapan datang lagi, Lin?" tanya Arya.
"Kapan-kapan, Oom. Terima kasih banyak atas bantuannya."
"Mudah-mudahan memang membantu, Lin. Datanglah lagi kalau kau memerlukan."
"Ya, Oom." Lesmana sengaja tak mau melepaskan tangan Melinda. Dia tetap
membimbingnya saat berjalan menuju pintu gerbang, supaya Arya tak mendapat
kesempatan melakukan hal yang sama. Arya mengiringi keduanya dengan perasaan
masih geram kepada Haryati.
"Maaf ya untuk peristiwa tadi," kata Arya.
"Kau tentu kaget oleh suara gaduh itu. Oom lihat wajahmu pucat."
"Nggak apa-apa kok, Oom."
"Sungguh nggak apa-apa" Jantungmu tak berdebar lagi?" tanya Arya penuh
perhatian."Apa jantung Oom masih berdebar?" Lesmana menyela dengan sebal.
Sebelum Arya sempat menjawab pertanyaan mengejek itu, Melinda cepat berkata,
"Saya sungguh nggak apa-apa, Oom. Benar."
"Dasar pembantu sialan tuh. Bikin kaget orang saja. Kupecat dia. Biar tahu
rasa." "Aduh, jangan Oom. Kasihan," Melinda mencegah. Dia teringat pada wajah memelas
yang begitu pucat. Lalu dia merasakan tangan Lesmana menekan lengannya. Dia
memahami isyarat itu. Lesmana membenarkan pendapatnya perihal pembantu itu.
"Kenapa" Pembantu itu bodoh sekali. Masa menjatuhkan panci sampai dua
sekaligus," gerutu Arya. Melinda mendengar Lesmana mengikik pelan. Dia
tersenyum, lalu cepat-cepat berkata,
"Tentunya dia tak sengaja, Oom. Dia juga takut dimarahi, dong. Saya lihat dia
menunduk saja ketakutan. Kasihan, Oom. Jangan dimarahi."
"Baiklah. Karena kamu bilang begitu, Oom tidak akan memecat dia. Tapi sudah
pasti Oom harus menegurnya. Kalau tidak begitu, nanti kerjanya tidak hati-hati.
Semua barang dia main jatuhkan saja."
"Oom orang yang baik hati, ya" Sudah terbukti, kok," Melinda memuji. Arya
tersenyum senang. "Paling-paling dia diomelin istri Oom," katanya dengan gaya mantap seperti
semula. Kata-kata Melinda berhasil meredakan emosinya. Walaupun dia tak bisa
melampiaskannya kepada Haryati, dia merasa mendapat keuntungan lain, yaitu
simpati Melinda. Sebelum mereka keluar dari pintu gerbang, Astuti muncul dengan
mobilnya. Arya segera memperkenalkannya dengan kedua tamunya.
"Linda dulu tinggal di sini. Almarhum ayahnya adalah temanku," kata Arya. Astuti
menyambut keduanya dengan hangat. Kehadiran Lesmana di sisi Melinda tak memberi
kesempatan munculnya prasangka negatif. Dia selalu senang bila kedatangan tamu
karena bisa membanggakan keindahan rumahnya di samping adanya variasi. Biasanya,
rumah indahnya itu selalu sepi. Dan kesepian itu tidak memberi kenyamanan
kepadanya. Setelah berada di mobilnya, Lesmana tertawa terbahak-bahak hingga
mengejutkan Melinda. "Kenapa kau, Les" Kok kayak orang."
"Sinting?" sambung Lesmana. Tawanya sudah mereda. Dia merasa sudah cukup
melampiaskan desakan rasa gelinya yang tadi ditahantahan.
"Iya. Sinting." Melinda membenarnya. Tapi dia serius.
"Ada yang tidak beres," katanya. Lesmana tak ingin tertawa lagi. Dia teringat
pada sikap Melinda tadi. "Apa yang tidak beres, Lin" Ada apa sebenarnya?" tanyanya.
"Sikap latah yang diperlihatkan Oom Arya tadi mengingatkan aku pada seseorang."
"Siapa?" "Ayahku!" Lesmana terkejut. Tengkuknya meremang seketika.
"Memangnya kenapa, Lin" Apa sebabnya?"
"Ayahku juga begitu kalau kaget. Tingkahnya sama. Seruannya juga sama.
Sontoloyo, bukan?" Keduanya diam selama beberapa saat sementara kendaraan
meluncur terus. Mereka asyik dengan pikiran masing-masing.
"Jadi menurutmu itu tidak beres, Lin?" tanya Lesmana kemudian.
"Tentu saja." "Bukankah Oom Arya itu kenalan baik ayahmu" Barangkali dia sempat meniru,"
Lesmana menyimpulkan. Melinda menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin. Orang yang kaget itu kan melakukan tindakan spontan. Kelatahan
itu aktivitas spontan. Mana mungkin hasil peniruan. Apalagi tak ada orang yang
mau menirukan perbuatan memalukan seperti itu."
"Benar juga. Jadi menurutmu sebabnya apa?" tanya Lesmana waswas.
"Aku punya kesimpulan, tapi tak ingin mengatakannya. Barangkali kau juga
berpikir ke situ." "Apa dia kesurupan?" Melinda tak menyahut. Tetapi Lesmana yakin, Melinda
membenarkan dugaannya itu.
"Kau takut mengatakannya, Lin?"
"Bukan takut. Rasanya tak enak saja. Belum kukatakan padamu, bahwa seruan yang
keluar dari mulut Oom Arya tadi itu kok kedengarannya persis suara ayahku.
Karena itu rasanya tadi aku hampir semaput saking kaget."
"Apa kau akan mengatakan hal itu pada Oom Arya?"
"Sebaiknya tidak, kan" Dia sudah begitu berani tinggal di situ. Nanti dia jadi
ketakutan." "Biar saja dia ketakutan. Habis dia sombong sih."
"Ah, kamu punya prasangka jelek, Les."
"Rasanya sih bukan prasangka, Lin. Tapi memang beralasan. Aku terus mengamati
dia tadi. Matanya terus saja memperhatikanmu. Dan tangannya begitu lancang. Eh,
jangan-jangan dia kesurupan karena ayahmu tidak senang padanya lalu
menghukumnya." "Ah, masa iya" Aku tidak percaya."
"Ya sudah. Itu kan cuma dugaan. Kita tidak pernah tahu."
"Dan kita tak perlu memikirkannya, bukan?"
"Tentu saja, Lin. Kadang-kadang ada masalah yang tak bisa kita peroleh
jawabannya. Ya, secara rasional begitu. Jadi biar dipikirkan pun percuma. Nanti
bisa sakit. Jadi sudahlah," hibur Lesmana.
"Dia baik kepadaku," keluh Melinda.
"Siapa?" "Oom Arya." "Ya, tentu saja. Tapi baiknya itu kan punya maksud, Lin."
"Sikapnya sangat kebapakan kepadaku, Les. Aku melihatnya dari sudut itu. Tapi
kau menilainya dari sudut lain. Apa karena itu aku sering kali merasa seakan dia
benar-benar ayahku" Pada saat-saat seperti itulah aku merasakan kedekatan
dengannya." "Kau rindu pada ayahmu?"
"Ya." Lesmana mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Melinda dengan genggaman
erat. Sentuhan yang membahagiakan dan juga menggodanya untuk tidak melanjutkan
pembicaraan supaya Melinda tidak merusak suasana yang manis itu. Tetapi dia
merasa terdorong untuk bertanya,


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak rindu pada ibumu juga?"
Saat berikut Lesmana yakin Melinda akan menarik kembali tangannya dengan
sentakan. Biasanya Melinda tidak menyukai pembicaraan seperti itu. Memang benar
Melinda menarik tangannya, tapi tidak dengan sentakan dan dia menggunakan langan
itu untuk menggosok matanya.
"Ah, aku cerewet, bukan?" kata Lesmana menyesal.
"Aku selalu ngomong begitu dalam kesempatan. Kau pasti bosan." l
"Bukan begitu, Les. Sekarang aku mengerti. Tujuanmu baik. Kau ingin mengingatkan
aku akan tanggung jawabku dan kasih sayang ibuku padaku. Seharusnya aku
berterima kasih. Aku memang berterima kasih. Sekarang baru aku bisa
sungguhsungguh menghargaimu sebagai teman dan sahabat yang baik. Tadinya aku
selalu melihat kebaikanmu sebagai udang di balik batu," kata Melinda terus
terang. "Ah, kau berpikir begitu tentang diriku?" keluh Lesmana.
"Ya." Lesmana tertawa. "Mungkin memang benar,
Lin. Tapi tak apa. Kita memang saling membutuhkan, bukan" Sudah jelas kita
memang tak bisa memperoleh segala apa yang kita inginkan dari diri masingmasing."
"Ya. Alangkah senangnya kita bisa saling membuka diri seperti ini."
"Aku juga senang. Sekarang aku berpikir, ucapan Oom Arya barusan memang ada
baiknya juga. Sangat bermanfaat bagimu. Mataku pun jadi terbuka, bahwa kau
sangat membutuhkan tokoh ayah. Kerinduanmu padanya juga disebabkan karena
kebutuhan itu. Dan selanjutnya apa pun yang dikatakannya berhasil mengena dan
menyentuh perasaanmu. Tetapi seperti dulu-dulu dalam setiap perbincangan kita
mengenai hal itu, aku kembali merasakan ketidakadilan bagi ibumu. Entah kenapa
hal itu sangat mengganjal perasaanku. Mungkin karena hubunganku dengan almarhum
ibuku dulu sangat erat. Apakah karena aku anak lelaki?"
"Ya. Mungkin juga begitu. Aku memiliki rasa sayang kepada ayah yang lebih besar
daripada kepada ibu. Padahal aku tahu betul ibuku sangat menyayangiku. Aku
tumbuh dengan kasih sayang berlimpah darinya. Yah, tidak adil memang. Aku
merasakannya juga." "Bila mengikuti anjuran Oom Arya tadi, seharusnya kau berani menghadapi ibumu.
Apa pun yang akan terjadi, itu adalah kenyataan yang sesungguhnya ketimbang kau
cuma membayangkannya saja."
"Aku juga sempat berpikir begitu tadi. Tapi,
(')kalau aku sampai memberi tanggapan yang emosional kepadanya, tidakkah dia
akan sakit hati" Bukankah lebih baik tidak bertemu daripada aku menyakitinya?"
"Kau belum tahu, Lin. Itu baru kemungkinan yang belum tentu benar. Bagaimana kau
bisa tahu kalau kau tidak mengalaminya sendiri" Kau akan terus merasa terganggu
oleh kemungkinan-kemungkinan yang kaubuat sendiri dalam pikiranmu."
"Bagaimana dengan tangan ayahku" Apakah aku harus melihatnya juga supaya mimpi
burukku hilang untuk selama-lamanya?" Suara Melinda agak emosional. Dia hampir
yakin bahwa malam nanti mimpi itu akan kembali mengganggunya setelah
pengalamannya hari ini. Tidakkah mimpi juga merupakan pengalaman yang riel"
Lesmana tak bisa menjawab. Dia tidak berani menjawab, karena tidak tahu apa
jawaban yang paling baik untuk pertanyaan itu.
Astuti menjumpai Haryati dalam keadaan terguncang. Wajahnya pucat dan badannya
nampak gemetar. Dia tak bisa bercerita dengan lancar. Surti yang ganti
menceritakan. "Saya minta maaf, Nyonya. Saya tidak sengaja. Biar gaji saya dipotong saja, Nya.
Asal jangan dipecat," Haryati memohon dengan suara memelas.
Astuti tertawa. "Siapa yang mau memecat Bibi" Soal panci penyok itu Bibi nggak usah risau. Masih
banyak panci lain kok."
"Terima kasih, Nyonya. Tapi Tuan marah sekali. Saya takut."
"Sudahlah. Soal Tuan jangan Bibi pikirkan. Biar aku saja yang hadapi," Astuti
menenteramkan. "Terima kasih, Nya." Setelah Astuti pergi, Surti menghibur Haryati.
"Sudah. Kamu nggak usah takut lagi. Nyonya kan sudah menjamin. Dia orangnya baik
sekali kok." "Tapi Tuan." "Dia juga sebenarnya baik. Cuma tadi dia kaget sekali sih. Masa sampai latah
kayak gitu. Belum pernah kulihat dia seperti itu." Surti tertawa lagi mengenang
kejadian tadi. "Jadi belum pernah?" tanya Haryati.
"Belum. Mungkin karena dia belum pernah kaget kayak gitu. Ah, sudahlah. Jangan
ngobrol. Mendingan terusin masaknya, Yat. Entar mereka keburu lapar, kau belum
beres." Haryati meneruskan pekerjaan dengan perasaan kacau. Kegembiraannya bisa
melihat dan bertemu dengan Melinda dihancurkan oleh peristiwa mengejutkan itu.
Bagaimana mungkin tuan rumah bisa bertingkah persis seperti Deden" Suatu
kebetulan semata atau." Dia terkenang pada wajah Melinda yang pucat dengan mata
membelalak. Pastilah Melinda juga sama kagetnya dengan dirinya. Tentu Melinda
pun sama diingatkan pada ayahnya. Yang satu teringat suami, yang lain teringat
ayah. Ah, ironis sekali, betapa mereka dipertemukan oleh peristiwa mengejutkan
itu. Begitu lekat dan dekat mereka
saling menatap, tapi Melinda tidak mengenalinya. Begitu berubahkah dia"
Mustahil tak ada satu ciri atau tanda yang tersisa dari dirinya di masa lalu.
Gembira, sedih, dan shock telah mengaduk-aduk dirinya hingga perasaannya jadi
tak keruan. Tetapi dia berusaha keras supaya hal itu tidak sampai mempengaruhi
hasil kerjanya. Kalau masakannya sampai rusak maka tuan rumah akan mempunyai
alasan untuk memecatnya. Padahal dia belum ingin dipecat. Dia harus bertahan
sampai berhasil memperoleh apa yang diinginkannya. Di ruang yang lain, Astuti
berbicara dengan Arya. "Tadi Papi kenapa?"
"Masa kau belum tahu" Pembantumu itu bego dan goblok. Dia membuatku kaget sampai
kehilangan wibawa di depan tamuku. Kalau aku sakit jantung pasti sudah mampus,"
Arya punya kesempatan untuk marah-marah.
"Sudahlah, Pap. Bukankah biasanya kau tak pernah latah kalau kaget" Aku geli
juga membayangkannya."
"Kau geli?" tanya Arya berang.
"Sudahlah, Pap. Jangan marah-marah terus. Tidak baik."
"Tapi aku malu sama tamuku. Pasti mereka menertawakan."
"Ala, biar saja."
"Semua itu gara-gara koki gila itu. Bawa sial saja."
"Dia jangan dipecat, Pap. Kasihan. Kerjanya
baik. Masaknya enak. Jarang pembantu kayak dia. Aku sudah bosan ganti-ganti
pembantu terus." "Aku heran kau lebih suka membela dia daripada suamimu sendiri. Mau menang
sendiri atau egois?" seru Arya jengkel.
"Masalahnya kan nggak begitu, Pap. Mestinya aku yang heran kenapa sih kau begitu
membencinya. Dia kan tidak salah apa-apa. Dia orang tidak berdaya. Tak
kasihankah kau padanya?"
"Jadi kau kasihan padanya?"
"Ya." "Dan tidak kasihan padaku?" Astuti tertegun. Wajahnya yang manis memerah.
"Kau kan tidak apa-apa, Pap" Kenapa mesti dikasihani?" serunya. Mereka saling
berpandangan dengan geran. Sebenarnya Arya pun tidak bermaksud memecat Haryati
karena dia sudah berjanji pada Melinda. Kalau saja Astuti tidak terlalu berkeras
mungkin dia pun tidak naik darah.
"Masalahnya kau mementingkan pembantu daripada suami sendiri. Kau tidak
memikirkan perasaan suamimu. Kau anggap aku lucu, ya?"
"Ya. Memang lucu. Ada lelaki latah kan lucu."
"Diam kau!" "Kau juga diam!"
"Ada apa sih denganmu" Kok cuma soal pembantu jadi uring-uringan begitu?" seru
Arya dengan perasaan geram campur bosan. Dia ingin cepat-cepat menyudahi
pertengkaran itu. "Oh ya, betul juga," kata Lesmana dengan senyum sinis. Arya mengerutkan
keningnya. Dia memandang Lesmana dengan tatap tak mengerti kenapa anak muda itu
bersikap antipati kepadanya. Rasanya dia tak melakukan kesalahan. Lalu dia
berpaling kepada Melinda untuk mencari jawaban. Tetapi gadis itu seperti tak
peduli karena punya masalah lain di kepalanya. Tiba-tiba Melinda berdiri.
"Saya mau melihatlihat ke dalam, Oom," katanya dengan sikap pasti. Arya cepat
berdiri. "Wah, bagus! Ayolah," dia menyilakan sambil memegang bahu Melinda untuk
membimbingnya masuk. Di sampingnya Lesmana kembali melotot dengan perasaan
geram. Dia ingin sekali menebas tangan lancang itu. Menurut perasaan Lesmana,
Arya selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyentuh dan memegang Melinda.
Di ruang dalam, Surti melintas. Dia nampak terkejut seolah baru menyadari adanya
tamu. Arya segera menggapai padanya.
"Bi! Ambil minuman! Aduh, saya sampai lupa, lho."
"Nggak apa-apa, Oom. Nggak usah repot," jawab Melinda.
"Saya mau, kok. Saya haus," kata Lesmana.
"Minumnya apa, Tuan?" tanya Surti.
"Yang dingin saja, Bi."
"Coca-Cola, Fanta, Green Sands, atau bir?" tanya Surti lancar. Lesmana tertegun.
Dan Arya terbahak. Misteri Di Balik Abu - Novel Indonesia Online
Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari
pdf by http://cerita-silat.mywapblog.com
"Ah, kau lupa, ya" Siapa mulai duluan" Mulanya aku kan ngomong baik-baik" Kau
yang marah-marah." "Aku marah pada pembantu geblek itu. Bukan kamu!"
"Tapi akhirnya kautujukan padaku. Sama saja! Kau egois. Kau cuma mementingkan
perasaanmu sendiri saja. Kenapa tak kaupikirkan perasaanku juga?"
"Perasaanmu" Ada apa dengan perasaanmu" Kau kan tidak mengalami apa yang kualami
barusan" Kau tidak apa-apa, bukan?"
"Oh, begitu ya" Aku tidak apa-apa" Jadi, kaupikir selama ini aku tidak apa-apa"
Kau tidak tahu, ya" Kaupikir apa aku ini" Boneka tak berperasain?"
"Yang ngomong begitu kan kamu sendiri."
"Dasar mau enaknya sendiri saja. Kaupikir aku hidup senang?"
"Ah, apa kau kurang senang?"
"Ya! Tak ingatkah kau sudah berapa bulan kau tidak menyentuhku" Kenapa coba?"
jerit Astuti. Wajah Arya sudah merah padam.
"Diam kaul Diaaammm!" teriaknya. Sesungguhnya dia takut pada kata-kata yang
mungkin akan keluar dari mulut Astuti. Tetapi perintahnya itu justru mendorong
Astuti sebaliknya. "Kau pasti sudah loyo! Kau impoten!" seru Astuti. Tangan Arya melayang sebelum
Astuti sempat menutup mulutnya. Astuti menjerit lalu berlari ke kamarnya. Sedang
Arya berdiri saja dengan napas memburu. Semula dia terdorong untuk mengejar
Astuti, tapi dia berhasil menahan langkahnya. Akhirnya dia mengayunkan
langkahnya menuju ke depan. Dia pergi dengan mobilnya. Di dapur Haryati mendekap
dadanya ketakutan. Usman dan Surti di tempatnya masing-masing juga diam dengan
perasaan tercekam. Bila majikan berperang memang bukan urusan pembantu, tapi
tetap terasa mengerikan karena rumah yang suasananya tak nyaman itu juga
merupakan tempat mereka bernaung. Tetapi bagi Haryati yang terasa bukan cuma
ketakutan tapi juga rasa bersalah. Gara-gara dialah maka peristiwa itu terjadi.
Dia merasa bersalah kepada Astuti yang sudah berbaik hati membelanya. Sedang
ketakutannya juga dihantui kenangan masa lalu. Di rumah itu dulu dialah yang
bertengkar seru dengan Deden, sedang para pembantu dan tetangga asyik menguping.
Sekarang peristiwa sama kembali terulang, dan dia jadi penyebab. Karena Iyem
sudah pergi, dia sekarang leluasa sendirian di kamarnya. Dia bisa berpikir
dengan tenang. Apa yang akan dilakukannya setelah kejadian tadi" Sudah jelas dia
harus berusaha memanfaatkan segala kesempatan yang memungkinkan untuk mengambil
barang miliknya itu secepat mungkin agar sesudah itu dia bisa pergi. Tuan rumah
sudah semakin membencinya sekarang. Dia juga teringat pada Daud. Apa saja yang
dikerjakan Daud selama kepergiannya" Dia ingin sekali tahu.
VII LEWAT perjanjian sebelumnya, Daud bertemu dengan Dokter Benyamin Sander. Dokter
itu sebaya dengannya dalam penampilan, sekitar setengah abad ke atas. Tutur
katanya simpatik dengan tatapan mata penuh perhatian. Suatu penampilan ideal
bagi seorang psikiater supaya pasiennya tidak ragu-ragu membuka diri sepenuhnya.
"Apa yang bisa saya bantu, Pak Daud?" tanyanya.
"Saya membutuhkan sedikit informasi mengenai bekas pasien Anda, Dok. Ibu Haryati
Sofyan. Setahu saya dia pernah menjadi pasien Anda sekitar delapan tahun yang
lalu. Atau mungkin juga lebih. Saya tidak tahu pasti. Kemungkinan besar Anda
sudah lupa. Tetapi saya kira dia bukan orang yang gampang terlupakan karena
kasusnya yang menggemparkan sekitar tujuh tahun yang lalu."
"Haryati Sofyan," kata Benyamin sambil mengingat-ingat.
"Oh ya, bukankah dia yang dituduh membunuh suaminya sendiri" Memang saya ingat
dia karena kasusnya. Ada apa dengan dia sekarang, Pak?"
"Saya merupakan salah seorang hakim anggota dalam proses peradilan, Dok. Tapi
saya juga kenal baik dengannya sebelum itu, ya, seorang sahabat begitu. Pada
saat itu dia mengakui semua tuduhan, hingga proses peradilannya berjalan lancar.
Sekarang dia sudah bebas. Saya bertemu dengannya dan dia mengatakan sesuatu yang
mengejutkan, bahwa sebenarnya dia tidak bersalah." Benyamin terkejut. Perkara
ini tentunya bukan main-main. Baginya, memang ada dua kemungkinan dari ungkapan
semacam itu. Bohong atau benar. Tapi bila seorang hakim sampai bersusah payah
mencari informasi mengenai hal itu, tentunya memang serius.
"Anda percaya padanya, Pak Daud?"
"Ya. Saya percaya karena dia mengajukan beberapa fakta yang meyakinkan. Itu
sebabnya sekarang saya ingin membantunya mencari kebenaran."
"Apakah fakta-fakta yang meyakinkan Anda itu tidak terungkap di persidangan?"
tanya Benyamin heran. "Tidak, karena dia memang tidak mengungkapkannya. Dia mengakui semuanya tanpa
proses. Ternyata Berita Acara dibuat berdasarkan rekaan penyidik dan dia
mengiyakan saja. Demikian pula rekonstruksi. Selama waktu itu dia kelihatan
linglung. Saksi ahli jiwa menyimpulkan dia dalam keadaan stres karena akibat
perbuatannya." "Oh ya. Saya ingat sekarang Kasus itu memang menarik perhatian saya. Saya selalu
mengikutinya dari koran.?"Jadi sekarang saya membutuhkan bantuan Anda."
"Tetapi saya tidak mungkin bisa mengungkapkan kasus pasien kepada Anda, Pak
Daud. Itu merupakan rahasia yang berhubungan dengan sumpah jabatan saya sebagai
dokter." "Oh, saya tahu itu, Dok. Tapi apa yang saya tanyakan sebisa mungkin tidak
mengenai hal-hal yang harus Anda rahasiakan. Jadi bila Anda keberatan menjawab,
Anda tidak harus menjawab. Ini bukan persidangan dan saya melakukannya juga di
luar tugas. Saya cuma ingin membantu Haryati karena dia perlu dibantu. Bayangkan
saja, Dok. Hampir tujuh tahun dipenjara untuk perbuatan yang tidak pernah
dilakukannya." Benyamin mengangguk. Wajahnya memperlihatkan keprihatinan mendalam.
"Ah, saya juga ingin sekali membantu. Melihat keseriusan dan ketulusan Anda,
saya ikut percaya bahwa Haryati memang tidak bersalah."
Daud tertegun sebentar. Apakah kata-kata itu merupakan suatu pujian" Mungkin dia
patut merasa bangga karena berhasil meyakinkan seorang ahli tanpa harus memberi
penjelasan panjang-lebar. Bahkan Benyamin tidak merasa perlu bertanya mengenai
fakta-fakta yang dikatakannya tadi. Mungkin juga dokter ini sudah demikian
pintar memahami orang lewat pengenalan pertama. Daud bukan saja bangga tapi juga
senang sekali. Bertambah lagi satu orang yang percaya akan ketidaksalahan
Haryati. "Tetapi saya minta waktu sebentar, Pak Daud. Karena waktu yang-lewat itu sudah
sebegitu lamanya, maka saya perlu meneliti lagi arsip yang mengenai Haryati.
Dengan demikian saja jadi lebih mantap dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
Anda. Saya cuma perlu membacanya lagi, maka semua ingatan saya tentang pasien
bersangkutan akan kembali lagi seutuhnya. Termasuk penampilannya tentu saja.
Bukan sombong, Pak. Tapi itulah kelebihan saya," Benyamin tersenyum. Nampak
bangga tapi tidak sombong. Dia berdiri.
"Jangan khawatir. Tidak akan lama, Pak. Saya memeriksanya lewat komputer kok."
"Silakan, Dok," sahut Daud. Dia sangat puas untuk keseriusan yang diperlihatkan
Benyamin. Benyamin memasuki ruang kerjanya yang pintunya berada di ruang tempat
mereka berbincangbincang. Pintu dibiarkannya terbuka. Tetapi Daud tidak mau
memandang ke sana terus-menerus karena merasa kurang sopan. Dia menyibukkan
dirinya dengan majalah yang ada di situ. Sekitar setengah jam waktu yang
dibutuhkan Benyamin untuk mengembalikan ingatannya perihal Haryati. Dia kembali
duduk di depan Daud dengan wajah cerah.
"Saya sudah mengingatnya, Pak Daud. Sebenarnya Haryati tidak menyelesaikan
terapinya. Saat terakhir dia datang saya memintanya untuk kembali lagi, tapi
ternyata dia tidak kembali. Waktu itu saya memang berpesan padanya agar kembali
karena saya melihat gejala keseganan padanya


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melanjutkan terapi. Dia cuma datang sebanyak tujuh kali. Sekarang, silakan
Anda bertanya, Pak."
"Apakah dia nampak tertekan ketika pertama kali datang pada Anda?"
"Ya. Pada umumnya orang yang datang ke psikiater itu membawa beban. Kalau orang
tidak sakit tidak ke dokter. Cuma ada yang berat, ada yang ringan."
"Apakah kasusnya berat, Dok" Stres, begitu?"
"Ya. Perkiraan saya begitu."
"Saya tidak mau menanyakan keluhannya pada Anda, karena saya sudah tahu.
Orangtuanya meninggal. Suaminya merongrong. Pasti berat sekali buat dia. Tapi
boleh saya tanya, apakah Anda pernah menganjurkannya untuk bercerai?" |
"Tidak. Tugas saya cuma membimbingnya agar dia memiliki kepercayaan diri yang
cukup untuk kelak memutuskan sendiri mana yang paling baik untuknya. Kalau si
psikiater cuma menganjurkan begini dan begitu terus-terusan, pastilah dia bukan
psikiater yang baik. Cara seperti itu cuma membuat pasiennya tergantung terus
padanya. Bukan itu tujuan terapi."
"Pada akhirnya dia memang tidak memutuskan untuk bercerai. Dia bertahan di
samping suaminya apa pun perlakuan si suami. Apa kesimpulan Anda mengenai hal
itu" Apakah itu suatu keberanian, pengorbanan demi anaknya yang teramat
mencintai bapaknya, ataukah itu pertanda cinta yang berlebihan?" R)"Wah, saya
tidak menyimpulkan karena pengetahuan saya tidak cukup. Saya cuma bertemu dengan
dia tujuh kali. Kemungkinan-kemungkinan yang Anda kemukakan itu bisa saja jadi
penyebab." "Saya pernah menanyakan tentang hal itu kepadanya. Dalam pembicaraannya dia
sering membela suaminya dengan mengatakan bahwa harta telah mengubah suaminya.
Bila disakiti dia memang merasa benci tapi begitu diperlakukan lembut dan sayang
maka dia luluh kembali. Dia memaafkannya. Maka penilaian saya, tentulah
penyebabnya adalah karena cinta yang berlebihan. Tetapi dia sendiri tidak mau
mengakui. Dia cuma mengatakan bahwa salah satu alasan dia tak mau cerai adalah
demi anaknya. Saya sendiri lebih condong pada penyebab yang pertama saya
sebutkan, yaitu cinta. Bagaimana menurut Anda, Dok?"
Benyamin tersenyum. "Wah, Anda lebih tahu kok. Saya kira, bisa saja dua-duanya. Tapi mana yang lebih
besar, entahlah. Ada satu hal yang perlu saya kemukakan. Saya mendapat kesan
bahwa kedatangannya pada saya bukanlah untuk memupuk kepercayaan diri agar mampu
mandiri dalam bersikap, tetapi semata-mata untuk mendapatkan ketenangan batin
dari gangguan rasa bersalah itu. Yah, bagaimana dia bisa mendapatkannya bila dia
belum lepas dari kungkungan" Saya pikir itulah sebabnya belakangan dia segan
datang lagi. Bisa juga dia menyimpulkan bahwa ada baiknya dia menerima siksaan
dari suaminya sebagai hukuman dengan tujuan untuk meredakan rasa bersalah."
R)"Anda benar, Dok. Dia memang pernah menyebut soal masochisme. Dia sudah
terbiasa menerima pukulan lalu menikmatinya. Tapi bila demikian kenapa dia tidak
menerima saja pukulan dengan diam" Nyatanya, para pembantu dan tetangga jadi
saksi mengenai hebatnya pertengkaran antara mereka berdua."
"Ah, Anda salah, Pak Daud. Bukankah orang yang diam itu tidak mengundang
pukulan" Semakin seru pertengkaran dan perkelahian, semakin keras pula pukulan
yang jatuh." Daud jadi tepekur sejenak.
"Susah benar mempercayai bahwa Haryati bisa seperti itu, Dok. Saya kenal Haryati
sebagai anak manja yang tak pernah mengenal pukulan dari orangtuanya. Rupanya
orang bisa berubah karena banyak hal," keluhnya kemudian.
"Mungkin keinginannya menerima hukuman itu pun merupakan salah satu sebab kenapa
dia mengakui tuduhan tanpa pikir panjang. Setelah dipenjara dan merasakan
kerasnya hukuman baru dia sadar."
"Mungkin juga, Dok. Dalam suatu keributan di penjara seorang napi lain menyilet
mukanya dengan silet selundupan," Daud memberi tanda garis memanjang di pipinya.
"Lukanya cukup dalam dan sempat infeksi. Akibatnya mukanya menjadi cacat. Anda
pasti tidak mengenalinya lagi kalau melihatnya." Benyamin menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan rasa iba.
"Jadi sekarang, setelah sekian tahun
menderita dengan pasrah tiba-tiba bangkit semangat perlawanannya. Hebat juga
untuk orang yang sudah begitu membiasakan diri dengan siksaan dan hukuman."
"Sebenarnya saya juga yang mendorongnya, Dok. Tadinya dia mau pasrah saja."
"Bagus sekali tindakan Anda. Mestinya hubungan Anda berdua erat sekali." Daud
tersenyum saja. Dia tak ingin menceritakan masa lalunya. Tetapi Benyamin pun
tidak menanyakan. Mungkin cukup paham, bahwa hal itu bukan urusannya.
"Menilik cerita Anda tentang dirinya sekarang ini, pastilah dia tidak kurang
suatu apa." "Ya. Dia gembira dan bersemangat. Tapi." Daud merasa ragu-ragu kemudian.
"Tapi kenapa?" tanya Benyamin dengan selidik.
"Sebenarnya saya kurang yakin juga. Pengalaman yang begitu berat mestinya
memberi trauma kepadanya. Mustahil kalau tak ada bekasnya. Mungkin dia
menyembunyikan. Yang saya lihat hanya luarnya saja."
"Ajaklah dia ke sini. Barangkali saya bisa membantu. Saya ingin ketemu dia
sebagai teman. Bukan sebagai pasien."
"Terima kasih, Dok." Sekeluarnya dari rumah Benyamin, langkah Daud
terasa lebih ringan dibanding saat masuk tadi. Ada perasaan lega karena bisa
berbagi dengan seorang ahli di bidangnya yang bukan saja percaya kepadanya, tapi
juga menambah semangatnya!
Ternyata Suminta masih menempati rumahnya yang dulu, sesuai alamat yang
ditunjukkan Haryati kepada Daud. Suminta merupakan tujuan Daud berikutnya
setelah Dokter Benyamin Sander. Kali ini Daud datang tanpa janji dulu karena dia
memang tidak punya informasi apa-apa mengenai Suminta. Daud sedang mujur.
Suminta bersedia berbincang-bincang dengannya pada saat itu juga setelah
diberitahu maksud kedatangannya. Dia nampak antusias mendengar nama Haryati
disebut. "Tidak usah sekarang, Pak. Barangkali Bapak sedang sibuk. Kita bisa buat janji
dulu. Maksudnya supaya lebih leluasa," kata Daud.
"Saya punya banyak waktu. Saya tidak sibuk kok. Orang pengangguran seperti saya
ini justru kelebihan waktu, Pak Daud." Daud mengangguk. Dia merasa trenyuh
mendengar kesinisan dalam ucapan Suminta. Ada kepahitan di situ. Mungkin karena
trauma oleh pengalaman di-PHK setelah begitu lama mengabdi. Dan mungkin karena
itu pula dia nampak lebih tua daripada Gunadi walaupun usianya sepuluh tahun
lebih muda. Lalu Daud bercerita dengan lengkap mengenai Haryati. Segera setelah
dia mengemukakan ketidaksalahan Haryati, Suminta memekik keras hingga membuatnya
terkejut. Bahkan penghuni rumah lainnya pun berlarian ke luar, yaitu anak,
menantu, dan cucunya yang tinggal bersamanya setelah istrinya meninggal. Tetapi
tak lama kemudian Suminta menyuruh mereka masuk kembali.
"Tak ada apaapa. Tak ada apa-apa," katanya menenangkan.
"Aku barusan mendengar cerita mengagetkan dari tamu kita ini. Sudahlah. Tidak
ada apa-apa." "Maaf, Pak. Saya telah mengejutkan Bapak," kata Daud menyesal. Dia tidak
menyangka bahwa reaksi Suminta akan seperti itu.
"Sebenarnya saya memang terkejut. Tapi bukan itu yang membuat saya berteriak.
Tahu kenapa" Karena saya senang! Senaaanng sekali!"
"Bapak senang?" tanya Daud bingung.
"Ya. Ternyata Haryati tidak bersalah meskipun pantas saja kalau dia membunuh si
Deden yang busuk itu," ucap Suminta penuh syukur.
"Jadi Bapak percaya?"
"Tentu saja percaya karena yang ngomong begitu adalah Bapak Daud Galih, mantan
hakim yang dulu memvonis Yati. Kalau yang ngomong orang lain atau sembarang
orang, saya pasti akan sulit percaya. Sekarang saya senang." Baru sekarang Daud
sadar, bahwa kepercayaan orang-orang yang dihubunginya mengenai ketidaksalahan
Haryati disebabkan karena kredibilitasnya sebagai mantan hakim. Jadi bukan
karena mereka memang percaya pada Haryati.
"Kedengarannya Bapak tidak suka pada almarhum Deden Sofyan," Daud memancing.
"Memang begitu. Apa yang telah diperbuatnya sungguh keterlaluan. Saya kira,
siapa pun yang menilai perbuatannya akan berpendapat sama. Biarpun orangnya
menarik dan pintar mengambil hati, terutama sama perempuan, tapi itu cuma di
luar. Dalamnya busuk."
"Jadi menurut Bapak, dia pintar pura-pura."
"Ya. Di depan lain, di belakang lain. Amit-amit deh. Sangat menyebalkan."
"Saya kira, kepura-puraan itu sebenarnya bagus buat strategi bisnis. Justru itu
merupakan ilmu penting yang harus dikuasai orang bisnis. Kalau tidak begitu,
konon susah maju." "Ya, Bapak betul. Dalam pergaulan saja kepurapuraan itu penting. Kita harus
tetap bermanismanis pada orang yang tidak kita sukai, karena itu adalah etika
sopan santun. Tetapi yang itu sih lain. Yang saya maksud adalah kepura-puraan
yang kejam, karena bertujuan menghancurkan orang lain." |
"Jadi menurut penilaian Bapak, perbuatannya itu suatu kesengajaan yang punya
tujuan tertentu, yaitu menghancurkan perusahaan keluarga Gunawan?" tanya Daud
tajam. Suminta nampak terkejut oleh pertanyaan itu. Dia termangu sejenak.
"Wah, Bapak benar-benar langsung to the point, ya" Ya, Bapak memang harus
begitu. Demi kelancaran usaha Bapak mencari kebenaran. Karena itu saya sadar,
saya harus menjawab sejujurnya. Tapi apa yang akan saya kemukakan pada Bapak
sesungguhnya merupakan hasil pengamatan dan penilaian yang tidak didukung oleh
bukti kongkret. Jawaban saya atas pertanyaan Bapak adalah ya!" Sekarang giliran
Daud yang terkejut oleh ketegasan Suminta yang bernada emosional itu. Dia sampai
tertegun sejenak oleh pemikiran yang baru itu.
"Apakah yang Bapak maksud dengan perbuatan Deden itu termasuk kesukaannya
berjudi?" tanyanya kemudian.
"Ya." "Jadi dia sengaja berjudi untuk menghancurkan?"
"Ya." "Bapak tentu punya alasan untuk beranggapan begitu."
"Saya menilai dari kepribadian Deden yang saya kenal sejak awal. Ketika dia
mulai masuk perusahaan, dia sudah memperlihatkan kecemerlangannya dalam bisnis
pemasaran. Saya ditugaskan Pak Gunawan untuk membimbingnya. Tapi ternyata tugas
saya itu cuma sekadar memperkenalkan cara kerja dan seluk-beluk perusahaan saja.
Selanjutnya dia bisa jalan sendiri dengan ide-idenya yang memang brilian. Itu
harus saya akui walaupun membuat saya sempat minder. Dia juga yang menyelamatkan
perusahaan dari kerugian besar akibat peraturan Departemen Kesehatan mengenai
penciutan merek obat dan pelarangan produk tertentu hingga banyak yang harus
ditarik dari pasaran. Caranya tak usah saya sebutkan karena tak penting dalam
masalah ini. Nanti buang waktu saja. Pendeknya, caranya itu licik sekali. Yah,
bukankah taktik orang dagang itu sering kali menghalalkan segala cara" Tapi itu
pun merupakan salah satu bukti bahwa akalnya banyak. Saya kagum padanya tapi
sekaligus ngeri. Pak Gunawan tampaknya tidak merasakan apa yang saya rasakan.
Dia hanya bisa merasa bangga dan ke mana-mana membanggakan menantunya. Oh ya,
kembali ke soal judi. Saya yakin, Deden bukan saja pintar, tapi juga sangat
rasional. Dia bukan orang yang panasan dan gampang dipengaruhi orang ataupun
situasi. Jadi mengherankan kalau orang seperti itu bisa dipengaruhi judi begitu
rupa sampai habis-habisan. Tak masuk akal." Daud geleng-geleng kepala.
"Saya bingung, Pak Minta. Bukankah perusahaan itu sebenarnya miliknya juga,
karena dia adalah anggota keluarga" Apa keuntungan buat dia kalau dia
menghancurkannya?" Suminta tersenyum.
"Perusahaan itu kan milik istrinya, Pak. Kalaupun sampai terjadi perceraian
misalnya, maka dia tak akan bisa menguasai semuanya. Paling-paling sebagian
kecil, karena dia memang berjasa di situ. Dia serakah, Pak."
"Tapi kalau perusahaan hancur, dia pun tak mendapat apa-apa," Daud masih tak
mengerti. "Memang perusahaan hancur, tapi dia tidak. Saya yakin, dia sebenarnya tidak
berjudi. Dia berbohong dengan mengatakan dirinya suka berjudi dan kalah besar.
Tak ada menangnya lagi. Sebenarnya dia menggelapkan uang perusahaan dan
mentransfernya ke bank atas namanya pribadi," kata Suminta dengan berapi-api.
Tangannya sampai dikepalkan dan otot-otot di lehernya bertonjolan.
"Tapi tak ada bukti," kata Daud pelan setelah pulih dari kejutan.
"Ya. Kan tadi sudah saya katakan. Saya cuma bisa curiga dan berprasangka. Saya
cuma bisa ngenes tapi tak bisa apa-apa."
"Tidakkah Bapak menyampaikan hal itu pada Pak Gunawan?"
"Saya khawatir pada kesehatannya. Bagaimana kalau dia shock" Maka saya
menghubungi Yati. Oh ya, hubungan saya dengan Yati cukup akrab hingga saya biasa
memanggil namanya. Saya sampaikan dugaan saya itu. Tapi kelihatannya dia tidak
percaya." Daud termangu. Masalah itu tidak diceritakan Haryati kepadanya.
Sesungguhnya prasangka Suminta itu merupakan tuduhan kriminal yang gawat.
Bukankah timbulnya suatu prasangka juga didorong oleh rasa tidak suka secara
pribadi" Tampaknya sejak awal Suminta sudah merasakan kehadiran Deden di
perusahaan sebagai ancaman, meskipun dia tidak terang-terangan berkata begitu.
Lalu dia teringat sesuatu.
"Sebenarnya ada seseorang yang bisa jadi saksi, bahwa Deden memang suka berjudi.
Orang itu bernama Arya Kusuma." Suminta tertawa.
"Saya tahu, Bapak pasti akan menyebut nama itu. Saya punya dugaan tersendiri
mengenai orang itu. Tahukah Bapak, bahwa perusahaan Pak Gunawan yang dulu
bernama PT Guna Farma sekarang menjadi PT Arya Farma" Ah, sebenarnya bukan baru
sekarang perusahaan itu beralih, tapi sejak dinyatakan bangkrut proses peralihan
sudah berjalan. Apotek-apotek juga menjadi milik Arya Kusuma. Katanya sih dibeli
dan uangnya untuk melunasi utang bank. Dan katanya lagi Deden juga punya utang
pada Arya Kusuma. Pembukuannya kacau. Aneh buat orang secermat Deden bisa
membuat blunder seperti itu. Bahkan rumah Deden, ch rumah Yati, sekarang pun
jadi milik Arya Kusuma. Bukankah hal itu mencurigakan?"
"Lantas apa dugaan Bapak mengenai orang itu?"
"Dia sekongkol dengan Deden!"
"Jadi menurut Bapak, perbuatan Deden selama itu bertujuan untuk memindahkan
harta keluarga Gunawan menjadi milik pribadinya. Sedang Arya Kusuma diajaknya
berkomplot." "Betul sekali. Dia memang tak bisa bekerja sendirian." i
"Apakah Pak Minta sering bertemu dengan Arya Kusuma semasa Deden masih aktif di
perusahaan?" "Saya tidak pernah bertemu dengan dia ketika itu."
"Tidak pernah?" tegas Daud heran.
"Jadi bagaimana Bapak bisa menilai dia?"
"Sesekali saya pernah bicara dengan dia di telepon. Dia suka menitipkan pesan
kalau Deden tak ada di kantor. Belakangan setelah perusahaan menjadi miliknya
dan mulai aktif kembali, saya mencoba melamar kerja. Bukankah saya punya
pengalaman banyak dalam perusahaan yang sama" Tetapi saya ditolak. Alasan Kepala
Bagian Personalia-nya adalah soal usia. Saya dianggap sudah tua dan mereka
menginginkan tenaga muda yang
segar. Lalu saya minta bertemu dengan Arya Kusuma karena saya pikir dia tentu
kenal saya meskipun cuma lewat telepon. Setidaknya Deden tentu pernah menyebut
hal ihwal saya padanya. Saya berhasil ketemu dia. Dia menolak saya sambil
mengajukan alasan sama seperti yang dikemukakan oleh stafnya. Tak ada kompromi.
Ya, sudah. Belakangan saya tahu, bahwa Arya Kusuma memang menginstruksikan agar
tidak menerima eks karyawan perusahaan lama, khususnya di bidang manajemen dan
pemasaran. Sedang bagian pabrik, lebih-lebih para ahli farmasi dan lab,
dikecualikan. Jadi bukan cuma saya saja yang mengalami penolakan. Apa sebabnya
saya tidak tahu. Tapi pasti ada sebabnya. Coba pikirkan, Pak. Kenapa setelah
Deden tak ada, dia muncul dan menguasai semuanya?" Saran seperti itu memang
menyentuh benak Daud. Hal itu memang patut dipertanyakan, pikirnya. Dia segera
teringat pada Haryati yang berada di rumah Arya Kusuma. Dia harus menyampaikan
percakapannya dengan Suminta itu pada Haryati. Barangkali Haryati bisa lebih
teliti mengamati gerak-geriknya.
"Luar biasa cerita Pak Minta ini," dia mengakui.
"Apa Yati baik-baik saja, Pak" Di mana dia tinggal sekarang" Saya dengar
Melinda, anaknya, sudah mapan sekarang. Apa dia bersama Melinda" Anaknya cuma
seorang itu." "Sekarang Yati bersama seorang teman baiknya, Pak Minta. Dia belum bertemu
dengan Linda." "Lho, kenapa begitu?"
"Linda tak pernah menjenguknya selama di penjara. Jadi gadis itu tidak tahu
kalau ibunya sudah bebas."
"Wah, keterlaluan."
"Bapak tahu di mana Linda tinggal" Atau perusahaan tempatnya bekerja?" Suminta
menggelengkan kepalanya. "Saya cuma dengar-dengar begitu saja. Saya lupa dengar dari siapa. Mesti saya
pikirkan dulu. Kalau ingat nanti saya tanyakan padanya. Saya senang sekali bisa
membantu." Daud segera memberikan kartu namanya.
"Sebenarnya Yati juga khawatir akan sikap Linda kepadanya nanti. Soalnya dia
tahu betul anak itu marah kepadanya." Suminta mengangguk penuh maklum.
"Tapi pasti nanti tidak lagi kalau anak itu tahu bahwa ibunya sama sekali tidak
bersalah. Wah, betapa gembiranya kalau dia tahu. Tapi jangan-jangan nanti malah
si anak yang merasa bersalah. Bayangkan. Bertahun-tahun ibunya dipenjara tanpa
dosa sedang dia tak memberi perhatian apa-apa. Bukannya merasa iba malah


Misteri Di Balik Abu Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memarahi." "Ya. Rumit sekali memang. Karena itu saya ingin bertemu dengan Linda lebih
dahulu sebelum dia ketemu ibunya. Saya perlu memberi penjelasan."
"Benar. Bapak harus melakukan hal itu. Kasihan. Yati sudah benar-benar miskin
sekarang. Bapak harus melacak di mana Deden menyimpan hartanya. Itu milik Yati."
Daud membenarkan saja walaupun dia belum yakin akan kebenaran dugaan Suminta
itu. Bukankah sulit sekali melacak di mana seseorang menyimpan uangnya"
"Bagaimana kalau dia menyimpan dengan menggunakan nama orang lain?" tanya Daud.
"Mungkin saja. Dan kalau dia melakukan hal itu, siapa lagi yang dipilihnya kalau
bukan konconya" Si Arya Kusuma itu?" Daud termangu. Tampaknya semua dugaan
Suminta selalu bermuara pada orang yang sama.
"Dan siapa yang akan mendapat keuntungan kalau Deden mati?" Suminta melemparkan
pertanyaan lagi sebelum pemikiran Daud tuntas.
"Kalau dugaan Bapak sebelumnya ternyata benar, tentu saja yang untung adalah
Arya Kusuma," sahut Daud.
"Padahal yang membunuh Deden bukan Yati. Jadi siapa?" Pertanyaan terakhir
Suminta itu bagaikan klimaks. Daud merasakan getaran-getaran ketegangan saat
melangkah keluar dari rumah Suminta. Tetapi pikiran rasionalnya melarangnya
untuk segera mempercayai dugaan-dugaan Suminta. Semua cuma dugaan. Sudah jelas
Suminta sangat kreatif dalam melahirkan dugaan-dugaan. Tetapi orang tentu tak
bisa membongkar suatu misteri hanya dengan mengandalkan dugaan-dugaan saja. Hari
sudah senja, lepas magrib, ketika dia menyusuri jalan di mana rumah Arya
terletak. Kembali dia berharap bisa melihat Haryati. Ya, sekadar
melihat saja. Tidak usah lama-lama namun cukup untuk meyakinkannya bahwa
Haryati baik-baik saja, tidak kurang suatu apa pun. Dia bersorak girang ketika
melihat bahwa harapannya itu akan terkabul. Di depan pintu gerbang rumah Arya
dia melihat dua orang perempuan sedang berdiri menghadapi penjual makanan, entah
bakso entah ketoprak. Salah seorang adalah Haryati. Karena khawatir kalau-kalau
Haryati masuk ke dalam tanpa melihatnya, cepat-cepat dia menyembunyikan klakson.
Mudah-mudahan Haryati mengenali bunyi klaksonnya. Paling tidak dia akan menoleh
lalu mengenali mobilnya. Haryati menoleh lalu spontan tangannya terangkat. Dia
berbicara sebentar dengan rekannya, lalu bergegas mendekat ke arah mobil Daud
yang berhenti dalam jarak beberapa meter dari rumah Arya. Daud menurunkan kaca
mobilnya. Tak mungkin dia keluar karena rekan Haryati di sebelah sana sebentarsebentar menatap ke arah mereka.
"Hai Yat, apa kabar" Kau baik-baik saja?" tanyanya, melepas keingintahuannya
selama ini. "Aku baik-baik saja. Dan kau" Wah, pasti banyak yang kaudapat, bukan?"
"Ya. Banyak. Aku ingin sekali membicarakannya denganmu. Kapan kau ke rumah lagi"
Tak bisakah kauminta libur barang sehari?"
"Bisa. Tapi jangan sekarang-sekarang. Aku perlu waktu dulu. Soalnya, di sini
sedang ada masaIah."
"Oh ya" Masalah apa, Yat?" tanya Daud khawatir.
"Tuan dan Nyonya habis bertengkar hebat. Sekarang sedang perang dingin. Nantilah
kuceritakan. Seru. Sekarang kami bisa berangin-angin di luar karena Tuan dan
Nyonya sedang ke luar rumah. Masing-masing dengan tujuan berbeda. Maklum lagi
ngambek." "Kau bilang apa pada rekanmu waktu ke sini tadi" Jangan sampai dia curiga."
"Aku bilang kau bekas majikanku sebelum kerja di situ. Gajiku belum dibayar. Hi
hi!" Haryati tertawa geli.
"Wah, aku nggak bawa duit, Yat," gurau Daud senang. Dia puas melihat Haryati
memang tidak kurang suatu apa. Bahkan tampak gembira.
"Jadi kita masing-masing punya cerita seru," kata Haryati.
"Ya. Benar-benar seru. Jadi cepatlah ke rumah."
"Aku pergi dulu, ya" Karena kau nggak bawa duit, akan kukatakan pada Surti bahwa
kau belum bisa bayar. Siapa tahu alasan itu bisa berguna nanti." Haryati tertawa
lalu bergegas pergi. Daud meneruskan perjalanan dengan perasaan lega. Lega
sekali. Barangkali kekhawatirannya mengenai kondisi mental Haryati tidak
beralasan. VIII PERTEMUAN dengan Daud melecut semangat Haryati. Dia harus cepat-cepat
melaksanakan niatnya agar bisa berbincang-bincang dengan Daud. Dia ingin
bercerita tapi dia juga ingin mendengar cerita Daud. Setelah lama memikirkan,
dia berhasil menemukan cara yang dirasanya paling baik. Sudah jelas dia tidak
boleh sembunyi-sembunyi menggali pinggiran rumah, apalagi di waktu malam. Cara
seperti itu mengandung risiko besar. Jadi dia akan melakukannya dengan terangterangan di siang hari pada saat tuan dan nyonya rumah sedang pergi.
"Aku mau menanam cabai merah," katanya pada Usman dan Surti.
"Ha" Cabai?" Surti dan Usman menertawakan.
"Buat apa capek-capek, Yat" Beli saja di pasar."
"Aku senang saja. Tempo hari cabai yang kubuat sambal itu besar-besar. Bagus
sekali. Maka bijinya kusimpan supaya bisa kutanam. Di pinggir saja, ya Us. Biar
tidak merusak keindahan taman yang kaupelihara."
"Sini. Biar kusebarkan bijinya," Usman menawarkan jasanya.
"Ah, jangan. Aku mau melakukannya sendiri. Tanahnya perlu kugemburkan dulu.
Sudah lama aku nggak main tanah. Senang saja, kok." Usman mengangkat bahu.
Untuknya yang begitu tentu lebih baik.
"Kira-kira Tuan dan Nyonya marah nggak, ya?" Haryati berbasa-basi.
"Kenapa mereka mesti marah?"tanya Surti heran.
"Habis halamannya kutanami cabai."
"Ala, mereka nggak peduli kok," sahut Usman.
"Sekarang mereka lagi pada pusing sama urusan masing-masing. Makanya kalau mau
kerja, buruan sekarang. Mumpung mereka lagi pergi. Eh, sudah beres di dapur,
Yat?" "Beres, dong," kata Haryati dengan senyum puas. Memang itu yang diinginkannya.
Dengan demikian dia akan semakin leluasa. Kedua rekannya pasti tidak akan mau
buang waktu untuk memperhatikan kerjanya yang tentu saja tidak istimewa bagi
mereka. Lebih baik mereka memanfaatkan waktu untuk kesenangan diri sendiri.
"Perlu cangkul, Yat?" Usman menawarkan.
"Nggak. Aku cuma mau mencongkel-congkel sedikit."
"Congkelnya pakai tangan," goda Usman.
"Nggak dong. Aku pakai patahan sendok," sahut Haryati dengan sabar. Usman
tertawa geli. Tetapi Surti, istrinya, tidak tertarik. Dia bergegas pergi untuk
memanfaatkan waktunya. Usman mengejar. Maka untuk saat itu mereka benar-benar serasa di rumah
sendiri. Haryati berjongkok di halaman samping rumah, dekat ke sudut. Dia ingat
betul tempatnya. Lalu mulai mencongkel dengan hati-hati sekali. Kalau tanahnya
tidak keras dia mengorek dengan tangan. Dia khawatir kalau-kalau barang yang
tersimpan itu menjadi rusak. Tentunya potongan tangan itu sudah rapuh. Bila
terkena congkelan yang kasar bisa dipastikan jari-jarinya akan patah. Dia akan
merasa berdosa bila hal itu sampai terjadi. Perasaannya teramat sendu ketika
mengerjakan hal itu. Bibirnya komat-kamit mengeluarkan suara tak jelas. Entah
doa entah ucapan. Matanya membasah. Tangannya gemetar namun tetap tekun bekerja.
Akhirnya tangannya merasakan sentuhan benda yang masih diingatnya dengan baik.
Kain pembungkus berupa saputangan segera terlihat. Sudah lusuh sekali dan nyaris
hancur. Bau yang khas menusuk hidungnya tapi dia tidak merasa terganggu. Justru
bau itu menjadi bukti bahwa barang yang dicarinya masih ada di situ. Dengan
bersemangat dia terus mengorek. Tapi semakin hati-hati sekarang. Akhirnya barang
itu pun tampak. Sepotong tangan itu tinggal tulangtulang hitam. Karena
pembungkusnya berantakan, benda itu menjadi kotor oleh tanah. Dengan hatihati
sekali Haryati mengangkatnya. Wajahnya berseri dengan senyum kepuasan. Dia
bagaikan baru saja menemukan harta karun yang tak ternilai harganya. Bahagianya
tak kepalang. Tetapi kemudianperasaannya menjadi trenyuh melihat betapa kotornya
benda itu. Pelan-pelan dia mengorek dan membuang tanah yang menempel. Penuh
konsentrasi. Tiba-tiba dia mendengar suara-suara. Dengan terkejut dia segera menyadari
situasi. Benda itu dimasukkannya ke dalam saku dasternya setelah dibungkusnya
dengan saputangan baru yang sudah dipersiapkannya. Lalu dia merapikan kembali
tanah yang berlubang dan menebarkan biji cabai di atasnya.
Setelah berdiri dia memandang ke sekitarnya. Situasi aman-aman saja. Dia
menenangkan diri dulu sebelum berjalan masuk terus ke belakang menuju kamarnya.
"Sudah beres, Yat?" seru Usman.
"Oh, sudah." "Kok nggak cuci tangan?"
"Sebentar," sahutnya tanpa menoleh.
Di kamarnya dia menyimpan dulu benda itu dalam lemari yang dikuncinya dan
kuncinya dia masukkan ke dalam saku. Siapa tahu ada orang yang lancang masuk dan
menggeledah kamarnya. Sesudah itu baru dia keluar untuk mencuci tangan. Perlu
untuk memuaskan keingintahuan Usman.
"Nanti kalau cabainya berbuah, bikin sambal yang banyak, ya Yat," goda Usman.
"Pasti." "Sambalmu enak sekali, lho."
Haryati tertawa saja. Dia bergegas kembali ke kamarnya.
"Mau tukar baju dulu, Sur," katany
3atas pertanyaan Surti. Dia tahu, Surti tentu curiga kalau-kalau dia mau
tiduran. Tetapi di kamar dia tak segera menukar pakaiannya, melainkan membuka
lemari untuk mengeluarkan benda tadi. Lalu memandanginya dengan perasaan aneh.
Api Di Bukit Menoreh 26 Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Budha Pedang Penyamun Terbang 6

Cari Blog Ini