01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 18
bukit-bukit dan lereng-lereng gunung. Namun Kyai Gringsing
adalah lawan yang tangguh baginya. Dengan kecepatan yang
melampaui kecepatan prahara, ia selalu mampu menghindari
setiap serangan yang datang.
Betapapun kalutnya otak Sumangkar, namun ia bukanlah
seorang yang mudah kehilangan harga diri dan kejantanan.
Usianya yang telah lanjut itupun telah menuntunnya menjadi
seorang yang dapat melikat sikap-sikap yang tidak wajar.
Demikian pula kali ini. Beberapa kali ia mencoba meyakinkan
dugaannya dengan memperketat serangan-serangannya atas
Kyai Gringsing itu. Namun akhirnya ia yakin, bahwa Kyai
Gringsing menghadapinya dalam sikap yang tidak wajar.
Orang itu sama sekali tidak pernah membalasnya dengan
serangan-serangan, tetapi orang itu hanya sekedar
menghindari serangan-serangannya yang bahkan dapat
berakibat maut. Karena itu, maka betapapun gelap pikirannya,
namun ia masih mampu untuk manilai sikap itu. Sehingga tibatiba
ia menghentikan serangannya sambil berkata, "Kyai,
kenapa Kyai tidak melawan" Kenapa Kyai hanya sekedar
menghindar dan meloncat surut" Apakah menurut anggapan
Kyai, Sumangkar tidak cukup bernilai untuk berdiri sebagai
lawan Kyai?" Kyai Gringsing menarik nafas. Dengan dahi yang berkerutkerut
ia menjawab, "Tidak. Sama sekali tidak. Aku menghargai
Adi Sumangkar sebagai murid kedua dari perguruan Kedung
Jati yang tak kalah nilainya dari Ki Patih Mantahun sendiri.
Tetapi kini kau tidak sedang bertempur melawan Kyai
Gringsing, sehingga karena itu aku tidak dapat melayanimu."
"He," Sumangkar terkejut. "Kenapa aku kau anggap tidak
sedang bertempur melawan Kyai Gringsing?"
Kyai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dijawabnya, "Adi Sumangkar. Ternyata kau tidak sedang
bertempur, tetapi kini kau sedang membunuh dirimu karena itu
aku tidak dapat menjadi alat untuk itu."
Dada Sumangkar berdesir mendengar jawaban itu. Terasa
sesuatu menyentuh langsung ke pusat jantungnya. Sekali
terdengar ia menggeram, namun kemudian tangannya
menjadi lemah. Tongkatnya kini tergantung lunglai pada
tangan kanannya yang kendor. Perlahan-lahan terdengar ia
bergumam, "Hem, Kyai menebak tepat. Aku memang sedang
membunuh diri, dan aku mengharap Kyai dapat membantuku."
Kyai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak
Adi Sumangkar. Aku tidak dapat melakukannya."
"Aku tidak peduli. Kalau Kyai tidak mau membunuhku, maka
jangan menyesal kalau aku yang membunuhmu. Namun kataTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
kata Sumangkar itu sama sekali tidak meyakinkan. Tangannya
masih tergantung lemah dan genggamannya atas
senjatanyapun tidak bertambah erat.
"Adi Sumangkar," berkata Kyai Gringsing. "Apakah
keputusanmu itu sudah kau pertimbangkan baik-baik."
"Tentu," Sahut Sumangkar. "Keputusanku tidak akan dapat
berubah." Kyai Gringsing memandangi wajah Sumangkar tajam-tajam.
Meskipun malam telah menjadi semakin kelam namun terasa
oleh Kyai Gringsing, bahwa pada wajah Sumangkar benarbenar
terbayang keputusasaan yang dalam.
"Adi," berkata Kyai Gringsing, "kenapa kau akan membunuh
dirimu?" "Aku telah jemu melihat kehidupan Kyai, hidupku, hidup orangorang
Jipang dan hidup kita semua."
"Apakah Adi sudah berpikir jauh" Mungkin Adi ingin
menghindari kepahitan yang mencengkeram jantung Adi,
namun dengan jalan yang sama sekali salah. Macan
Kepatihan telah mati terbunuh dalam peperangan sebagai
seorang jantan. Tetapi bagaimana kata orang dengan
Sumangkar" Murid kedua dari perguruan Kedung Jati?"
"Aku mati dalam peperangan melawan seorang sakti bernama
Kyai Gringsing." Kyai Gringsing menggeleng. "Tidak. Kesannya akan menjadi
lain sekali. Sumangkar mati membunuh diri, itupun terserah
kepadamu Adi. Tetapi aku tidak dapat mendengar orang lain
mengatakan, Kyai Gringsing-lah yang telah melakukan itu.
Tidak. Aku bukan alat untuk membunuh diri."
"Tak ada orang yang mengetahui, bahwa kau membunuh aku
pada saat hatiku gelap."
"Ada." "Siapa?" "Hatiku sendiri"
"Persetan!" geram Sumangkar. "Terserah kepadamu. Kalau
kau tidak mau, maka aku akan membunuhmu."
"Aku akan lari meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Kau
pasti tidak akan dapat mengejar aku. Dan aku akan
bersembunyi sampai terdengar kabar, bahwa Sumangkar
telah mati. Entah ia membunuh diri, entah ia mati dikeroyok
orang." Kembali dada Sumangkar menjadi bergelora. Terasa bahwa
kata-kata Kyai Gringsing itu menyentuh langsung ke pusat
jantungnya, sehingga karena itu ia diam sesaat mencoba
memandangi wajah Kyai Gringsing yang seolah-olah ditabiri
oleh sebuah selaput yang kelam.
Yang terdengar kemudian adalah suara Kyai Gringsing
kembali, "Adi Sumangkar. Daripada Adi sibuk membunuh
apakah tidak lebih baik Adi mencoba melihat, apakah Raden
Tohpati itu masih hidup ataukah benar-benar sudah mati?"
"Tak ada gunanya," geram sumangkar.
"Mungkin ada. Kalau ia masih hidup ia akan dapat memberi
pesan kepada Adi." "Kalau ia sudah mati?"
"Adi akan dapat mengurusnya. Menguburkannya dengan baik
sebagai murid dari kakak seperguruanmu."
Kembali Sumangkar terdiam. Namun tiba-tiba ia berkata,
"Apakah Untara akan mengijinkan aku mendekatinya?"
"Aku sangka ia tidak akan berkeberatan."
"Apakah Kyai yakin?"
"Ya." "Kalau ia menolak kehadiranku, maka aku akan tersinggung
sekali karenanya. Padahal aku sama sekali tidak ingin
membunuh lagi. Bahkan aku ingin terbunuh oleh siapapun."
"Marilah kita pergi bersama."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun Kyai Gringsing
seakan-akan tidak mempedulikannya lagi. Ia berjalan ke arah
orang-orang yang berkerumun itu sambil bergumam, "Marilah
Adi." Sumangkar menjadi ragu-ragu sesaat. Tetapi kemudian iapun
melangkah di samping Kyai Gringsing, berjalan ke arah Macan
Kepatihan terbaring. Ketika kemudian beberapa orang mendengar langkahnya,
mereka menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Tetapi
dalam pada itu terdengar Kyai Gringsing berkata "Aku, Tanu
Metir." "Oh," desah beberapa orang.
Untara, Agung Sedayu dan orang-orang lainpun mendengar
suara itu. Serentak mereka mengangkat kepala mereka dan
mencoba mengetahui arah suara yang melontar dari luar
lingkaran orang-orang yang sedang berkerumun.
"Apakah itu Kyai Tanu Metir?" bertanya Untara.
"Ya," sahut suara itu.
Bagian 8 "Kyai datang tepat pada waktunya," berkata Untara itu
kemudian. Kyai Gringsing sama sekali tidak tahu maksud kata-kata itu.
Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia berjalan langsung manerobos
beberapa orang yang menyibak, memberinya jalan. Namun
beberapa orang itu bertanya-tanya di dalam hati mereka,
siapakah orang yang berjalan bersama ki Tanu Metir itu"
Demikian Agung Sedayu dan Swandaru melihat kedatangan
Kyai Gringsing beserta Sumangkar, segera mereka berdiri.
Diamatinya orang itu, dan terasa bahwa mereka pernah
melihatnya. Namun yang pertama-tama menyebut namanya adalah Agung
Sedayu. Dengan nada yang penuh kebimbangan ia berkata,
"Apakah paman ini paman Sumangkar?"
Sumangkar mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling
memandang wajah anak muda itu dan kemudian jawabnya,
"Ya Ngger. Aku adalah Sumangkar."
Dalam pada itu tanpa sesadarnya Untara pun segera
meloncat berdiri. Selangkah ia surut. Ditatapnya wajah itu
dengan tajamnya. la pernah mengenalinya dahulu, sebeum
terjadi persoalan antara Jipang dan Pajang, meskipun hanya
sepintas. Tetapi bersamaan dengan pecahnya Jipang orang
itupun kemudan menghilang. Baru kemudian didengarnya,
babwa orang itu datang pada saat Macan Kepatihan hampir
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kenapa ia tidak
datang bersama pasukannya seperti yang mereka
perhitungkan sejak semula"
Tetapi ketika Untara melihat kehadiran ki Tanu Metir bersama
Sumangkar, maka hatinya menjadi agak tenang. Meskipun
demikin ia masih tetap berdiri kaku di tempatnya.
Melihat kecurigaan Uptara, Sumangkar menarik nafas
panjang-panjang. Timbullah kembali kecemasannya,
seandainya tiba-tiba Untara itu mengusirnya, atau bahkan
mencobanya untuk menangkap" la sama sekali sudah tidak
berhasrat untuk bertempur, apalagi membunuh seseorang.
Namun apabila hatinya tersinggung, maka hal itu akan dapat
terjadi. Tetapi kemudian disadarinya bahwa Kyai Gringsing
berdiri di sampingnya. Maka apabila terjadi demikian, ia
mengharap Kyai Gringsing akan membunuhnya saja.
Sesaat mereka dicengkam oleh kebekuan yang tegang.
Masing-masing saling berpandangan dengan penuh
kecurigaan. Kebekuan itupun kemudian dipecahkan oleh sebuah gumam
perlahan sekali. "Siapakah yang datang?" suara itu adalah
suara Tohpati. Semua berpaling kepada yang terbaring diam. Hanya dadanya
saja yang masih tampak bergelombang, menghembuskan
nafas yang tidak teratur lagi.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Sumangkar. "Aku
Raden, pamanmu Sumangkar."
"O," desah Tohpati, "apakah paman dapat mendekati aku?"
Sumangkar menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Untara,
seolah-olah ia meminta ijin kepadanya.
Untarapun tidak segera mengatakan sesuatu. Seperti
Sumangkar ia menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian ia
berpaling kepada Ki Tanu Metir. Dalam keremangan malam ia
melihat Ki Tanu Metir menganggukkan kepalanya, sehingga
Untara itupun kemudian berkata, "Silahkan, Paman."
"Terima kasih Ngger," gumam Sumangkar, yang kemudian
berjongkok di samping Macan Kepatihan.
Untara, Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan beberapa
orang lain masih berdiri di tempatnya. Mereka sadar bahwa
Sumangkar adalah seorang yang tidak dapat diduga-duga
kesaktiannya. Kalau tiba-tiba saja ia menggerakkan tongkat
baja putihnya, maka akibatnya tidak dapat dibayangkan.
Meskipun ada di antara mereka itu seorang yang bernama
Kyai Gringsing, namun Kyai Gringsing pun pasti memerlukan
waktu untuk mengatasi keadaan. Sedang dalam waktu yang
tiba-tiba itu, pasti sudah jatuh korban di antara mereka.
Di samping Sumangkar itu, kemudian mereka melihat Kyai
Gringsing berjongkok pula. Dengan saksama diamat-amatinya
tubuh Tohpati yang arang kranjang itu.
"Paman Sumangkar," terdengar suara Macan Kepatihan
perlahan-lahan sekali. Sumangkar itu menggeram. Tiba-tiba terasa tenggorokannya
menjadi kering, ketika dilihatnya luka-luka yang tiada terhitung
di tubuh murid kakak seperguruahnya itu. "Angger," desisnya,
"lukamu tiada terhitung jumlahnya. Kau telah berjuang untuk
melindungi seluruh anak buahmu dengan mengorbankan
dirimu sendiri." Macan Kepatihan mencoba untuk memperbaiki
pernafasannya. Tetapi terasa bahwa nafas itu semakin lemah.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Untara di belakang
Kyai Gringsing, "Kyai, apakah Kyai masih melihat
kemungkinan untuk mengobati kakang Tohpati?"
Kyai Gringsing mengerutkan keningnya. Namuh sebelum
menjawab terdengar suara lemah Macan Kepatihan, "Tak ada
gunanya. Tak akan ada gunanya, karena aku sudah terlalu
lemah. Bahkan seandainya mungkinpun, maka
kesembuhanku akan berakibat tidak baik bagi keadaan."
"Kenapa?" bertanya Untara.
"Kematianku adalah akhir daripada bencana yang menimpa
rakyat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari senapati yang
mendapat kepercayaan para prajurit Jipang. Sepeninggalku
aku mengharap bahwa mereka akan membuat pertimbanganpertimbangan.
Bukankah begitu paman Sumangkar?"
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya singkat,
namun meluncur dari dasar hatinya. "Ya Ngger."
"Baik. Baik," Macan Kepatihan meneruskan. Suaranya
menjadi semakin lambat, sedang nafasnya menjadi semakin
tak teratur. Kepada Untara kemudian ia berkata, "Adi Untara.
Di manakah kau?" Untara itu melangkah maju. la sudah lupa akan setiap bahaya
yang mengancamnya, apabila Sumangkar itu berbuat hal-hal
di luar dugaan. Kini ia berjongkok dekat di samping kepala
Macan kepatihan. "Adi Untara, kau benar-benar seorang kesatria. Kau mampu
melupakan dendam atas seseorang yang menghadapi saatsaat
kematiannya. Jarang orang dapat berbuat seperti kau ini."
Untara tidak menjawab. Dan didengarnya suara Macan
kepatihan terputus-putus, "Paman Sumangkar tidak bersalah.
Orang itu tidak pernah turut bertanggung jawab dalam segala
gerak dan perbuatan pasukan Jipang. Karena itu aku minta
maaf untuknya." Untara menganggukkan kepalanya pula. Dari mulutnya
demikian saja meluncur jawabnya, "Ya. Paman Sumangkar
tidak turut bertanggung jawab."
"Seluruh tanggung jawab ada padaku Adi."
"Ya," sahut Untara.
"Angger," tiba-tiba Sumangkar memotong, "biarlah kita
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbagai tanggung jawab. Kenapa aku tidak ikut bertanggung
jawab pula atas segalanya yang telah terjadi?"
"Jangan membantah paman," sahut Macan Kepatihan. "Ini
adalah kata-kataku terakhir."
Sumangkar tertegun. Tetapi ia tidak berkata apapun. Dan
didengarnya kemudian suara Macan kepatihan terputus-putus,
"Paman. Adakah paman dapat membantu aku?"
"Tentu Ngger, tentu," sahut Sumangkar cepat-cepat.
"Terima kasih, Paman. Paman akan sudi menguburkan
mayatku, apabila Adi Untara tidak berkeberatan. Mudahmudahan
kematianku menjadi pertanda bahwa tidak ada
gunanya perselisihan ini akan berlangsung terus."
Tohpati mencoba menarik nafas dalam-dalam, namun ia
menjadi semakin lemah, semakin lemah. Getar darahnyapun
semakin lama semakin menjadi lemah pula. Ketika ia
mencoba memandangi orang-orang yang berdiri di
sekelilingnya, maka yang dilihatnya hanyalah bayanganbayangan
hitam yang tidak dapat dikenalnya lagi.
"Paman," desisnya.
Sumangkar beringsut maju semakin dekat. Dirabanya tangan
Macan Kepatihan yang menjadi bertambah dingin.
"Adi Untara," panggilnya lambat.
Untara pun berkisar pula ke samping Sumangkar.
Agaknia Tohpati ingin minta kepada mereka. Tetapi nafasnya
menjadi semakin lamban. "Angger," panggil sumangkar.
Terasa tangan Tohpati bergetar, dan mulutnya berdesis.
Sumangkar segera meletakkn telinganya ke bibir murid kakak
seperguruannya itu, dan didengarnya kata-kata terakhir.
"Mudah-mudahan Tu"han mengampuni aku."
"Mohonlah Ngger. Mohonlah ampun."
Tetapi Tohpati sudah tidak mampu menjawab. Kini matanya
sudah berpejam dan nafasnya menjadi kian lemah. Sesaat
kemudian tangannya tergerak sedikit dan nafasnyapun
berhentilah untuk selama-lamanya.
"Angger," desis Sumangkar.
Tetapi Tohpati tidak lagi dapat menyahut. Ketika Sumangkar
itu kemudian yakin bahwa Macan Kepatihan yang garang itu
sudah tidak dapat mendengar panggilannya, tiba-tiba ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa sesuatu
bergelora di dalam dadanya. Nafasnya sendiri serasa akan
putus pula seperti nafas Macan Kepatihah itu.
Sumangkar yang tua itu terkejut sendiri ketika terasa setetes
air jatuh ke tangannya. "Hem," ia menarik nafas dalam-dalam.
"Anak, ini telah pergi mendahului aku."
Suasana di pinggir hutan itu kemudian menjadi hening. Daundaun
pepohonan seolah-olah menundukkan tangkai mereka,
dan angin berhenti berhembus. Di kejauhan terdengar suara
burung hantu menyentuh ulu hati. Ngelangut.
Bagian 9 Mereka semuanya tersentak ketika mereka mendengar guruh
meledak di udara, didahului oleh cahaya kilat yang memercik
sekilas. Seperti berjanji mereka menengadahkan wajah-wajah
mereka menatap langit. Dan kembali mereka terkejut ketika
mereka melihat awan yang kelam menggantung di langit.
Mendung yang seakan-akan siap untuk meluncur turun ke
permukaan bumi. "Adi Sumangkar," terdengar suara Kiai Gringsing, "bagaimana
dengan Angger Macan Kepatihan?"
"Aku akan mencoba memenuhi pesannya, Kiai, apabila
Angger Untara mengijinkannya."
"Silahkan Paman," sahut Untara.
"Aku akan segera kembali. Dan aku menunggu keputusan
Angger atas diriku."
Untara menggigit bibirnya. Kemudian katanya, "Paman telah
menunjukkan kesediaan Paman untuk tidak lagi berbuat halhal
yang bakal merugikan Pajang. Karena itu, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bahwa Paman tidak turut serta
bertanggung jawab atas segala tingkah laku pasukan Jipang,
maka aku akan mencoba memohonkan ampun untuk Paman
Sumangkar." Tiba-tiba Sumangkar menggelengkan kepalanya, katanya,
"Aku tidak ingin belas kasian. Aku tidak ingin mengingkari
tanggung jawab yang betapapun beratnya, yang akan turut
menentukan hukuman atasku."
Untara mengerutkan keningnya. Katanya, "Lalu apakah arti
kata-kata Macan kepatihan pada saat terakhir ini?"
"Ia ingin membebankan kesalahan pada dirinya sendiri."
"Kalau begitu Paman tidak ingin mengakui kebenaran
katakatanya. Sehingga Paman menolak setiap pemaafan?"
"Aku tidak ingin mendapatkan belas kasihan itu."
"Kalau begitu apa maksud Paman sebenarnya" Apakah
Paman akan mengambil alih pimpinan dari tangan Macan
Kepatihan?" desak Untara.
Tiba-tiba Sumangkar berdiri. Dipandanginya wajah Untara
yang telah berdiri pula di hadapamnya.
"Angger," berkata Sumangkar yang hatinya sedang kelam
seperti kelamnya langit. "Aku telah berkata bahwa aku akan
kembali dan akan menerima semua hukuman yang akan
ditimpakan kepadaku. Kau tidak percaya" Apakah kau akan
mencoba menangkap Sumngkar sekarang?"
"Paman," terdengar suara Untara menjadi semakin berat.
Sebagai seorang senapati muda maka ia tidak segera dapat
mengatasi gelora di dalam dadanya sendiri. Hatinya benarbenar
tersinggung ketika ia mendengar penolakan Sumaugkar
atas tawarannya uutuk mendapatkan keringanan hukuman
dan pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukannya. Karena itu sebagai seorang pengemban tugas
ia berkata, "Aku adalah Senapati Pajang yang mendapat
kepercayaan di daerah ini. Aku telah mencoba melihat
kebenaran dan kealpaan pada tempatnya sendiri-sendiri.
Tetapi penolakan Paman sangat menyakitkan hati. Karena itu
apakah aku harus meneruskan tindakan pengamanan dengan
cara yang telah aku tempuh sampai saat ini terharap Macan
Kepatihan?" Sumangkar itu mundur selangkah. Tiba-tiba digenggamnya
tongkat baja putihnya erat-erat. Dengan tajamnya
dipandanginya wajah Untara. Dari sela-sela bibirnya yang
gemetar ia berkata, "Baik. Kalau itu yang kau inginkan Ngger.
Silahkan. Aku bersedia menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi atasku. Umurku sudah lanjut, dan aku sudah
jemu untuk melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk di muka
bumi ini. Karena itu, marilah. Apa yang akan kau lakukan
atasku." Untara pun tiba-tiba menggeram. Dari matanya seolah-olah
memancar api kemarahan. Ia adalah senapati Pajang yang
berwenang untuk melakukan kebijaksanaan di daerah ini.
Karena itu, maka tanpa sesadarnya, ia memandang
berkeliling. Kepada Widura, Agung Sedayu, Swandaru, dan
kepada para pemimpin-pemimpin kelompok pasukannya.
Sambaran mata Untara itu, seakan-akan merupakan perintah
bagi mereka, bagi Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan
semua orang yang berdiri mengitari mereka serentak mereka
bersiaga dan serentak pedang-pedang mereka siap untuk
menerkam Sumangkar yang berdiri di tengah-tengah lingkaran
manusia itu. Tiba-tiba dalam ketegangan yang memuncak itu, terdengarlah
suara tertawa. Perlahan-lahan, namun nadanya seakan-akan
menghantam dinding jantung.
Suara itu adalah suara Ki Tanu Metir, yang masih saja berada
di tempatnya. Namun kini iapun telah berdiri, menghadap ke
arah Sumangkar. Diantara suara tertawanya yang perlahanlahan
itu terdengar ia berkata, "Adi Sumangkar yang
bijaksana. Apakah sebenarnya yang akan kau lakukan"
Apakah kau masih ingin membunuh dirimu" Barangkali cara
inipun akan dapat kau tempuh. Mati dikeroyok orang. Apakah
cara ini juga dapat memberi kepuasan kepadamu?"
"Tidak. Aku hanya bersedia mati oleh tangan Kiai Gringsing
yang cukup bernilai bagiku. Bukan karena tangan anak-anak
ataupun siapa saja. Sumangkar akan bertahan sampai
kesempatan yang terakhir. Kecuali kalau kau ikut serta
dengan mereka. " Kembali suara tertawa Kiai Gringsing mengumandang di
pinggiran hutan itu, seolah-olah menelusur sampai ke kaki
bukit. Katanya, "Untara. Naluri keprajuritan Adi Sumangkar
masih terlalu tebal. la melihat murid kakak seperguruannya
mati karena tusukan pedang. Ia melihat Macan Kepatihan
bukan saja sebagai senapati yang dibanggakannya, tetapi
Raden Tohpati adalah penerus dari perguruan Kedung Jati.
Itulah sebabnya ia merasa kehilangan. Perasaan itu
sedemikian menusuk hatinya, sehingga betapapun
mengendapnya hati Adi Sumangkar, namun kadang-kadang ia
kehilangan keseimbangan dalam kejutan yang tiba-tiba
semacam ini. Harga dirinya sama sekali tidak tersentuh
seandainya Macan Kepatihan itu tidak lebih dan tidak kurang
dari panglima perangnya saja. Tetapi karena Macan kepatihan
itu bersangkut-paut dengan perguruannya, maka ternyata
sentuhan itu agak terlalu tajam baginya."
Untara mendengar penjelasan itu, kata demi kata. Baginya
apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu cukup jelas. Tidak
lain adalah permintaan yang serupa seperti yang telah
diucapkan. Pengampunan. Namun ternyata Kiai Gringsing
mengucapkan dalam nada yang berbeda. Meskipun demikian,
ia masih tetap berdiri tegak dengan pedang di dalam
genggamannya siap untuk bertindak apabila keadaan
memaksa. Namun bagi Sumangkar, kata-kata Kiai Gringsing itu benarbenar
telah melemahkan segala sendi tulangnya. Ia merasa
seolah-olah dihadapkan pada sebuah cermin yang besar
untuk melihat dirinya sendiri. Kegugupan, kegelisahan,
kecemasan, harga diri, putus-asa dan segala perasaan
bercampur baur sehingga ia tidak menemukan keserasian
nalar dan perasaan. Tiba-tiba orang tua itu menundukkan
kepalanya. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing pun telah mencoba
meredakan kemarahan Untara dan mencoba mencegah ia
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menyulitkan keadaan. Sesaat suasana kembali menjadi sepi-senyap. Kembali di
kejauhan terdengar suara burung hantu seperti mengetukngetuk
dada. Dan malampun serasa bertambah dalam.
"Adi sumangkar," kembali terdengar suara Kiai Gringsing.
"Bagaimana kalau aku ulangi kata-kata Macan Kepatihan"
Bahwa sepeninggalnya perselisihan akan tidak berlangsung
terus?" Sumangkar menganggukkan kepalanya. Jawabnya lirih, "Ya,
Kakang." "Nah, sekarang marilah kita singkirkan perasaan harga diri kita
masing-masing yang terlalu berlebih-lebihan. Sekarang
lakukan yang kau kehendaki. Menguburkan Tohpati dengan
baik menurut cara yang kau inginkan. Sesudah itu, kau akan
kembali dan persoalan akan selesai. Begitu?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata Kiai
Gringsing itu sama sekali tidak berbeda dengan kata-kata
Untara. Tetapi kini ia telah menjadi semakin menyadari
keadaannya. Bahkan kemudian ia berkata sambil
membungkukkan kepalanya. "Baik Kakang. Aku akan
menerima segala persoalan dengan senang hati. Kalau aku
harus menerima pengampunan, biarlah aku mengucapkan
terima kasih kalau aku akan menerima hukuman, biarlah
hukuman itu akan aku jalani."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia
melihat Untara akan mengucapkan sesuatu, cepat-cepat ia
mendahului, "Sekarang, bukankah Adi Sumangkar akan kau
persilahkan membawa Raden Tohpati. Ngger?"
Untara tertegun sejenak. Namun ia menganggukkan
kepalanya. "Ya Kiai."
"Dan kau akan menerimanya kembali kelak?"
Kembali Untara mengangguk, "Ya Kiai."
"Bagus. Aku bukan Panglima prajurit Pajang, bahkan seorang
prajuritpun bukan. Tetapi, aku yakin bahwa Angger Untara
memang akan berbuat demikian."
Hati Untara itupun menjadi luluh pula melihat sikap
Sumangkar yang kini seakan-akan melepaskan segala macam
kepentingan sendiri. Bahkan harga dirinya sekalipun. Karena
itu, maka terdengar Untara itupun kemudian berkata,
"Silahkan Paman Sumangkar. Kesempatan itu akan Paman
dapat seperti yang Paman kehendaki."
Sekali lagi Sumangkar menganggukkan kepalanya dalamdalam.
Katanya, "Terima kasih. Aku akan membawa angger
Tohpati di antara anak buahnya. Aku akan mengucapkan
kembali kata-kata terakhirnya, bahwa kematiannya akan
menjadi pertanda bahwa perselisihan tidak akan berlangsung
terus." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat dadanya
terasa bergetar. Ada yang akan dikatakannya, namun ia
menjadi bimbang. Namun setelah melalui beberapa
pertimbangan ia berkata, "Demi kakuasaan yang ada padaku
Paman Sumangkar, aku akan memberikan pengampunan
kepada anak buah Macan Kepatihan yang dengan suka rela
dan tulus menyerahkan dirinya. Namun seterusnya aku akan
melakukan tugasku sabaik-baiknya, apabila ada di antara
mereka yang menolak uluran tangan ini."
Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Namun betapapun juga
ia harus melihat kenyataan, memang sebenarnyalah bahwa
perkataan Untara itu benar. Apa yang terjadi bukannya satu
persetujuan antara seorang senapati Jipang dan seorang
senapati Pajang. Tetapi yang terjadi adalah penyerahan.
Manyerah karena tak ada lagi kekuatan untuk melawan.
Betapapun rasa sakit menghentak-hentak dada, namun
Sumangkar tidak lagi membantah kata-kata senapati muda
dari Pajang itu. Betapapun pahitnya kata-kata yang
dipergunakan, menyerahkan diri, namun tidak ada lain yang
dapat dilakukan untuk menghentikan kerusuhan-kerusuhan
yang masih akan berkembang berlarut-larut. Meskipun bagi
dirinya sendiri masih akan banyak dicari kemungkinankemungkinan
lain, bahkan kemungkinan yang terakhir, yang
baginya lebih baik daripada menyerah itu, yaitu mati, tetapi
kematiannya tidak akan berarti apa-apa bagi ketenteraman
yang akan dicarinya. Ketenteraman bagi rakyat Demak.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketenteraman seperti yang dipesankan oleh Tohpati. Bahkan
kematian Tohpati pun akan tidak berarti apa-apa.
Bila tanpa penyerahan dari anak buahnya. Malahan
kerusuhan akan menjadi semakin memuncak, sebab sisa-sisa
prajurit Jipang itu akan menjadi semakin tak terkekang.
Namun mudah-mudahan hilangnya pemimpin mereka, akan
memperlunak hati mereka. Mudah-mudahan mereka menjadi
seakan-akan kehilangan pegangan. Dan dalam keadaan yang
demikian, mereka akan mendengar kabar pengampunan yang
diberikan oleh Untara, bagi mereka yang bersedia
menyerahkan diri. Tetapi bukan saja bagi Sumangkar kata-kata itu mengetuk
hati. Widura yang mendengar kata-kata Untara itu
mengangkat kepalanya. Sesaat hatinya bergelora. Namun
kemudian ia berhasil mengendapkannya. Dalam saat yang
pendek ia dapat mangerti maksud dari kemanakannya itu. Dan
iapun kemudian tidak berkata apa-apa. Hatinya
dikendalikannya. Sebagai seorang prajurit yang telah cukup
berpengalaman, maka nalarnya mampu menguasai
perasaannya yang melonjak-lonjak menghadapi keputusan itu.
Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka melihat
beberapa orang hampir bersamaan mendesak maju. Yang
paling depan dari mereka adalah Swandaru. Dengan kalimat
yang patah-patah karena desakan perasaannya yang
bergejolak ia berkata, "Kakang Untara. Apakah artinya
pengampunan itu?" Bagian 10 Untara mengerutkan keningnya. Terasa bahwa keputusannya
mengejutkan beberapa anak buahnya sendiri. Dan barulah kini
terasa bahwa seharusnya ia tidak tergesa-gesa
mengucapkannya sebelum ia berbicara dengan beberapa
orang pemimpin pasukan Pajang dan Sangkal Putung, serta
memberi penjelasan kepada mereka. Namun kata-kata itu
sudah diucapkannya, karena ita maka jawabnya , "Adi
Swandaru. Kata-kataku cukup jelas. Aku akan memberikan
pengampunan bagi mereka yang dengan suka rela menyerah,
meskipun bukan pengampunan yang mutlak. Tetapi bagi
mereka yang tidak mematuhi perintah itu, akan aku hancurkan
sampai lumat." "Keputusan itu terlalu lunak. Kakang tidak memperhitungkan
kesalahan dan bencana yang telah mereka timbulkan."
Untara manggigit bibirnya. Ia dapat mengerti pertanyaan yang
dilontarkan oleh Swandaru itu. Maka jawabnya, "Kau benar
Swandaru. Tetapi kita tidak akan membiarkan diri kita terus
menerus berada dalam suasana perang. Perkelahian demi
perkelahian. Pertempuran demi pertempuran. Korban yang
akan terus menerus berjatuhan. Dan kegelisahan yang
semakin meningkat di antara rakyat."
"Tidak!" tiba-tiba terdengar suara lain, "Mereka akan kita
musnahkan dalam waktu yang singkat. Lihat, Kakang Citra
Gati telah menjadi korban. Aku telah terluka dan beberapa
anak buah telah terbunuh hanya dalam satu kali pertempuran,
kali ini. Belum lagi terhitung dalam peperangan-peperangan
yang lain. Apakah kita akan dapat melupakam korban-korban
yang telah berjatuhan itu" Apakah kita dapat melihat
kehadiran orang-orang yang tangannya bergelimang darah
kawan-kawan kita itu hidup di antara kita sendiri dengan
tenteram" Tidak. Hati kita akan selalu dikejar oleh perasaan
tanggung jawab dan kesetia-kawanan."
Untara berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya Hudaya berdiri
dengan teguhnya sebagai menara baja. Di tangannya masih
tergenggam pedangnya yang berjalur-jalur merah karena
darah. "Kau benar Hudaya," sahut Untara, "kau benar. Swandaru pun
benar. Tak ada lagi kini yang dapat menghalangi kita untuk
menghancurkan sisa-sisa pasukan Jipang yang sudah
kehilangan pemimpinnya itu. Mereka telah menjadi demikian
lemahnya sehingga kita akan dapat menumpasnya."
"Nah, kenapa kita akan memberikan pengampunan ?" teriak
Hudaya yang disusul oleh Sendawa, "Kita musnahkan saja
mereka." Untara menarik nafas dalam-dalam. Sedang Sumangkar yang
berdiri di hadapannya bergeser setapak menghadap suara itu.
Terasa dadanya yang pedih bertambah pedih. Lebih pedih
dari tusukan pedang di dada itu. Tetapi ketika ia akan
memotong kata-kata itu terasa Kyai Gringsing menggamitnya,
sehingga Sumangkar itu hanya mendekap kepedihan itu di
dalam hatinya. "Kalian benar," terdengar kembali suara Untara. "Kami akan
dapat melakukannya. Dan hal itu pasti akan kita lakukan.
Tetapi bagaimana dengan orang-orang Jipang yang kemudian
menyesal atas segala perbuatannya" Bagaimanakah
kemudian dengan musuh-musuh kita yang merasa dirinya
bersalah dan ingin menghentikan perlawanannya" Tidak
semua dari mereka tahu benar apa yang telah dilakukan. Nah,
bagi mereka yang dengan jujur merasa bersalah dan
menyerah, kita tunjukkan kebesaran jiwa kita. Sebagai mana
Tuhan akan mengampunkan dosa-dosa kita, kitapun harus
bersedia memaafkan kesalahan sesama. Tentu bagi mereka
yang jujur. Tuhan melihat kejujuran dan kecurangan di hati
kita. Tetapi kita tidak dapat melihat hati sesama. Namun kita
mempunyai cara-cara untuk itu. Melalui penelitian dan
percobaan. Nah, serahkanlah hal itu kepada pimpinan Pajang.
Namun dengan demikian kita mengharap bahwa
ketenteraman akan segera dapat dipulihkan. Sedang kita akan
segera melihat, siapakah yang dapat kita maafkan, dan
siapakah yang harus kita hancurkan. Meskipun aku harus
mengatakan sekali lagi, bahwa pengampunan yang aku
maksudkan, bukanlah pengampunan yang mutlak
membebaskan mereka dari tanggung jawab atas segala
perbuatan mereka." Untara itu berhenti sejenak. Dicobanya untuk melihat penilaian
orang-orang yang berdiri di sekitarnya atas kata-katanya.
Tetapi malam menjadi semakin gelap di pinggiran hutan itu,
sehingga Untara menjadi sulit untuk dapat melihat setiap
wajah dari anak buahnya. Namun sesaat tak ada seorangpun yang menyahut. Batas
hutan itu kembali diliputi oleh suasana yang sepi. Kembali
terdengar semakin jelas suara burung hantu dikejauhan.
Dalam kesunyian itu terdengar kemudian suara Untara
kembali. "Nah. Apakah kalian dapat mengerti maksudku?"
Jawaban Swandaru mengejutkan. Katanya, "Tidak."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia masih juga mendengar
beberapa orang bergumam di antara mereka.
"Jadi bagaimana kenginanmu Swandaru?" bertanya Untara
langsung kepada Swandaru.
Swandaru terkejut mendengar namanja disebut. Namun ia
menjawab. "Dihancurkan sampai tujuh turunan."
"Hem," sekali lagi Untara menarik nafas. Kemudian katanya,
"Jadi kita menutup pintu bagi mereka yang ingin menyerah
tanpa kecuali" Jadi kita mengingkari penglihatan kita, bahwa
ada di antara mereka yang berada di pihak Adipati Jipang
hanya karena terpaksa dan kemudian tidak dapat melepaskan
dirinya karena berbagai persoalan. Persoalan yang sangkutmenyangkut.
Ketakutan mereka terhadap ancaman kawan
sendiri, ketakutan mereka terhadap sikap para prajurit Pajang
yang tidak dapat dimengertinya, ketakutan mereka terhadap
bayangan mereka sendiri. Lebih-lebih bagi mereka yang pada
saat belum ada persoalan antara Jipang dan Pajang tidak
lebih dari seorang hamba dan prajurit Kadipaten. Mereka tidak
menyadari apa yang akan terjadi atas mereka. Dan bahkan
mereka telah mengutuk Arya Penangsang sedalam lautan.
Namun mereka tidak melihat jalan kembali, sehingga mereka
harus, mau tidak mau, turut serta dalam peperangan melawan
kita. Kepada mereka itulah kita akan mencoba membuka
pintu." "Bagaimana kita dapat membedakan satu dengan yang lain di
antara mereka" Bagaimana kalau kemudian orang-orang
semacam Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda datang
memenuhi seruan itu?" bertanya Hudaya dengan suara parau
bergetar. "Mereka harus menghadapi pertanggungan jawab. Mereka
yang benar-benar sadar akan perlawanannya, kepada mereka
itu akan berlaku hukuman yang akan diberikan oleh pimpinan
Pajang melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku."
"Sesudah mereka membunuh banyak orang di antara kita?"
desak Sendawa. "Ya. Kita akan memperhitungkan setiap perbuatan mereka.
Sebab mereka telah melakukannya dengan sengaja dan
sepenuh kesadaran mereka."
Kembali mereka terlempar dalam kesepian. Swandaru,
Hudaya, Sendawa dan banyak lagi di antara mereka yang
menjadi pening. Mereka tidak mengerti arti dari pengampunan
yang diberikan oleh Untara. Tetapi mereka mencoba untuk
melihat, apakah yang kelak akan terjadi. Betapa perasaan
mereka melonjak-lonjak, tetapi mereka tidak dapat berdebat
dengan senapati mereka. Sebagai seorang prajurit mereka
masih cukup menyadari kedudukan mereka. Karena itu
merekapun berdiam diri. Meskipun bukan berarti bahwa
mereka sependapat dengan senapatinya.
Untarapun kemudian tidak ingin berbantah terlampau lama ia
akan memberi penjelasan nanti kepada anak buahnya di
kademangan, atau kepada beberapa orang yang penting,
untuk di teruskan kepada setiap prajurit dan orang Sangkal
Putung. Ia sendiri dapat merasakan betapa beratnya
keputusan yang diambilnya itu. Namun salah satu saran yang
pernah di dengar langsung dari Panglima Wira Tamtama, Ki
Gede Pemanahan, adalah pengampunan semacam itu atas
mereka yang sama sekali tidak turut bertanggung jawab
terhadap persoalan antara Jipang dan Pajang sepeninggal
Sultan Trenggana. Karena itu, maka kemudian ia berpaling kepada Sumangkar
yang masih berdiri dengan tegangnya. "Paman Sumangkar
ambillah tubuh Macan Kepatihan. Terserah kepada paman,
apakah yang akan paman lakukan."
Sumangkar tersadar dari ketegangan yang mencengkamnya.
Sekali lagi ia membungkuk hormat. Lalu berlahan-lahan ia
melangkah mendekati tubuh Tohpati yang terbaring membeku.
"Terima kasih Ngger," katanya, "biarlah anak buahnya
melihatnya. Dan biarlah peristiwa ini menimbulkan kesankesan
baru terhadap sikap mereka selama ini."
"Bagus," sahut Untara.
Sumangkar kemudian mengangkat tubuh itu dan
disangkutkannya di atas pundaknya. Sekali ia memandang
berkeliling, atas orang-orang yang berdiri di sekitarnya.
Kemudian ia melangkah surut sambil berkata, "Aku akan
meninggalkan tempat ini atas ijin Angger Untara."
"Silahkanlah Paman," berkata Untara.
Sejenak kemudian Sumangkar itu melangkah di antara
beberapa orang yang menyibak memberinya jalan. Sesaat
kemudian bayangan itupun masuk ke dalam gelap malam di
antara dedaunan yang rimbun.
Sepeninggal Sumangkar tiba-tiba Untara berkata, "Sedayu,
ada perintah untukmu."
Sedayu terkejut, selangkah ia maju. Dengan wajah yang
tertanya-tanya ia menunggu perintah yang dikatakan oleh
kakaknya. "Ikuti Paman Sumangkar dengan diam-diam, kau harus dapat
melaporkan kepadaku. Di mana letak perkemahan mereka
dengan tepat. Sudut-sudut yang lemah dan penjagaanpenjagaan
yang ada di antara mereka."
Agung Sedayu terkejut mendengar perintah itu. Namun tidak
ada kesempatan untuk mempersoalkannya. Kakaknya
menyebutnya dengan perintah. Perintah seorang senapati
harus dilakukannya betapapun beratnya. Mengikuti
Sumangkar bukanlah pekerjaan yang mudah. Orang itu
adalah seorang yang sakti, yang pendengarannya jauh lebih
tajam dari pendengarannya sendiri.
Meskipun demikian, dada Agung Sedayu dijalari pula oleh
suatu perasaan yang tidak dapat diingkarinya. Bangga, namun
juga cemas. Bangga atas tugas yang dipercayakan
kepadanya, tidak kepada orang lain. Namun ia cemas bahwa
ia akan gagal melakukannya. Bukan karena ia tidak berani,
tetapi disadarinya sepenuhnya, siapa yang dihadapinya kali
ini. Dalam pada itu terdengar kakaknya berkata, "Agung Sedayu
kau harus kembali sebelum malam besok."
Tanpa berpikir Agung Sedayu menjawab, "Baik Kakang."
"Nah, cepat berangkat. Kalau kau terlambat kau akan
kehilangan jejak Paman Sumangkar."
"Baik Kakang," sahut Sedayu pula.
Namun sebelum Sedayu berangkat, terdengar Kyai Gringsing
berkata, "Apakah kau sungguh-sungguh, Untara."
Untara berpaling. Ditatapnya wajah Kyai Gringsing. Kemudian
jawabnya, "Tentu Kyai. Aku memerlukan laporan tentang
daerah lawan, keadaannya, kekuatannya dan segala macam
persoalan yang mungkin dapat kita perhitungkan dalam setiap
saat dan keadaan yang perlu."
"Bukankah kau mempunyai beberapa orang pembantu dan
bahkan ada yang dekat dengan lingkungan mereka?"
"Aku kurang mempercayainya seperti aku mempecayai Agung
Sedayu. Mungkin aku berhadapan dengan ular berkepala dua,
karena itu aku harus mencocokkan keadaan, sebelum aku
melakukan tindakan terakhir. Bukankah Sumangkar akan
menunjukkan jalan itu."
Kyai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, kemudian
katanya, "Kenapa Agung Sedayu, bukan orang lain, Angger
Widura misalnya?" Untara menggigit bibirnya. Sesaat ia terdiam, namun
kemudian ia menjawab, "Paman Widura adalah pimpinan
prajurit Sangkal Putung. Ia tidak dapat meninggalkam
tugasnya." "Bagus, bagus," desah Kyai Gringsing, "kau cerdik Untara."
"Kenapa?" bertanya Untara.
"Tidak apa-apa," sahut Kyai Gringsing. "Pergilah Agung
Sedayu." "Baik Kyai," sahut Agung Sedayu, kemudian dengan ringkas ia
mohon diri kepada kakak dan pamannya. "Aku berangkat
Kakang, dan aku minta doa Paman Widura, semoga berhasil."
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Widura berdiri tegak seperti patung. Ia menyadari bahaya
yang dapat terjadi atas kemanakannya. Sumangkar bukan
orang yang setingkat dengan anak muda itu, karena itu ia
ragu-ragu melepaskannya. Meskipun demikian, perintah itu
datang dari senapati yang mendapat kekuasaan langsung dari
Panglima Wira Tamtama Pajang, karena itu dengan hati berat
ia menjawab, "Hati-hatilah Agung Sedayu. Tugasmu
terlampau berat." Agung Sedayu tidak berkata apa-apa lagi. Ia takut kehilangan
jejak. Karena itu, segera ia melangkah, meninggalkan
kakaknya, pamannya dan para prajurit Pajang dan laskar
Sangkal Putung. Swandaru yang tertegun keheranan atas perintah itu, tiba-tiba
seperti orang tersadar dari mimpi. Terbata-bata ia berkata,
"Aku ikut serta Kakang Sedayu."
Sebelum Sedayu menjawab, terdengar Untara menyahut.
"Jangan Swandaru. Biarlah ia berjalan sendiri."
Yang mendengar jawaban Untara itupun menjadi heran pula.
Apakah sebenarnya maksud Untara dengan perintahnya
kepada adiknya itu. Perintah yang sangat berbahaya dan
hampir-hampir tak masuk akal mereka. Agung Sedayu harus
mengikuti jejak orang sesakti Sumangkar.
Namun kemudian mereka benar-benar harus melepaskan
Agung Sedayu. Mereka hanya dapat memandang anak muda
itu berjalan dan menghilang di dalam gelap searah dengan
menghilangnya Sumangkar. Demikian Agung Sedayu masuk ke dalam hutan, demikian ia
merasa terlempar ke dalam suatu daerah kelam yang sama
sekali tak dikenalnya, yang dapat dilihatnya hanyalah tabir
hitam pekat menyelubunginya. Satu-satu ia dapat melihat
remang-remang pepohonan yang sudah sedemikian dekat
dengan hidungnya. Namun yang lain tak dapat dilihatnya.
Barulah ia kini menyadari, betapa sulit tugas yang dibebankan
kepadanya. Ia tidak tahu, ke mana ia harus berjalan dan
bagaimana mungkin ia dapat mengikuti jejak orang yang
bernama Sumangkar. Ia sama sekali tidak mendengar langkah
kaki, desah nafas dan apalagi melihatnya.
Bagian 11 Tetapi ia tidak dapat kembali. Ia telah berangkat membawa
tugas Karena itu tugas itu harus dilakukannya sebaik-baiknya.
Apapun yang akan terjadi.
Sekali-sekali timbul di dalam hatinya perasaan-perasaan aneh
seperti yang pernah dimilikinya dahulu. Gendruwo bermata
satu, macan putih dari Lemah Tengkar, hantu berwajah
tampan dari gunung Gowok. Satu-satu kenangan itu timbul
tenggelam di dalam benaknya. Namun Agung Sedayu kini
bukanlah Agung Sedayu yang dahulu. Meskipun perasaannya
tentang hal-hal serupa masih saja sering membuat lehernya
meremang. Agung Sedayu itu pun kemudian berjalan setapak demi
setapak maju. Tangan kirinya meraba-raba batang-batang
pohon yang dilampauinya, sedang lengan kanannya kadangkadang
meraba hulu pedangnya, di lambung kiri. Setiap saat
ia memerlukan pedang itu, sebab setiap saat ia akan bertemu
dengan bahaya. Setelah agak lama Agung Sedayu berada di dalam gelapnya
hutan, maka perlahan-lahan matanya dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan. Perlahan-lahan ia dapat melihat beberapa
bagian hutan itu di sekitarnya. Bahkan ketika ia
menengadahkan wajahnya, ia masih dapat melihat bayangan
langit yang gelap karena mendung yang mengalir dari Selatan
di celah-celah dedaunan. Namun di antara awan yang kelabu
itu, Agung Sedayu kadang-kadang melihat seleret bintang
seolah-olah berkeredip kepadanya.
"Hem," Agung Sedayu menarik nafas. Ia masih belum tahu
sama sekali, ke mana ia akan pergi. Ia menjadi cemas;
jangan-jangan akan tersesat dan tidak dapat menemukan
jalan keluar. Tetapi bagaimanapun perasaannya bergolak, namun Agung
Sedayu itu berjalan terus. Ia tidak tahu, apakah ia akan dapat
bertemu dengan jejak Sumangkar atau tidak. Tetapi ia begitu
saja memilih jurusan tanpa diketahui arahnya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu berjalan terus. Setiap kali ia
berhenti memperhatikannya kalau-kalau ia mendengar
sesuatu. Mungkin langkah seseorang atau mungkin tarikan
nafasnya. Tetapi yang didengarnya hanyalah desir angin yang
menggerakkan dedaunan. Gemerisik lambat-lambat.
Agung sedayu berjalan terus. Perlahan-lahan di antara semaksemak
tang tumbuh di bawah pepohonan yang besar. Agung
sedayu tidak saja harus hati-hati menghadapi lawanlawannya,
tetapi ia harus hati-hati pula menghadapi segala
macam binatang. Lebih-lebih lagi ular. Binatang yang sangat
berbahaya dan hampir-hampir tak dapat dilihatnya bagaimana
binatang itu menyerang. Dalam keremangan malam yang gelap itu, tiba-tiba Agung
Sedayu melihat sesuatu. Ia melihat gerumbul-gerumbul
tumbuh tidak wajar. Namun kemudian ia mengambil
kesimpulan, bahwa gerumbul itu baru saja diterobos oleh
seseorang. Tidak hanya seseorang menilik dahan-dahan yang
patah dan daun yang terinjak-injak.
Dengan saksama Agung sedayu mencoba memperhatikan
gerumbul-gerumbul itu. Lama sekali, sebab malamnya pun
gelap sekali. Hampir ia mengamat-amati setiap daun dan
ranting. Diraba-raba dengan tangannya. Akhirnya Agung
Sedayu berkesimpulan, bahwa bukan Sumangkar yang
ditemukannya jejaknya, tetapi prajurit Jipang yang
mengundurkan diri. "Bukankah sama saja," pikir Agung Sedayu, "kedua-duanya
membawa aku ke sarang mereka."
Tetapi dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin
menyadari, betapa sulitnya pekerjaannya. Betapa bahaya
yang dihadapinya. Mungkin ia akan bertemu dengan beberapa
orang dari prajurit Jipang yang mengundurkan diri itu. Dan ia
harus bertempur di dalam hutan. Meskipun ia sering berlatih
bertempur malam hari dengan pamannya dan kakaknya
Untara, namun bertempur di dalam hutan yang gelap,
memerlukan kecakapan yang khusus.
"Jangan-jangan anak buah Macan Kepatihan sudah terlalu
biasa bertempur dalam gelap," katanya di dalam hati. Namun
ditepiskannya untuk menghibur dirinya sendiri. "Ah, tidak.
Mereka masih memerlukan obor waktu mereka menyerang
sangkal Putung di malam hari. Kalau demikian, maka kita
akan mendapat kemungkinan yang sama apabila kita harus
bertempur di malam gelap."
Kembali Agung Sedayu maju perlahan-lahan. Ia tidak mau
kehilangan jejak. Setiap kali ia berhenti mengamat-amati
setiap dahan-dahan perdu yang patah dan daun-daun yang
tersibak. Ditelusurinya bekas-bekas itu selangkah demi
selangkah. Dan ia tidak mau jejak itu terputus.
"Mereka berjalan tergesa-gesa," pikir Agung Sedayu
seterusnya "sehingga jejak mereka menjadi sangat jelas.
Mudah-mudahan aku dapat menemukan sarang mereka."
Semakin lama Agung Sedayu tenggelam semakin dalam ke
dalam hutan itu. Sedang malam pun semakin lama menjadi
semakin dalam tenggelam ke pusatnya.
Dalam pada itu Agung sedayu pun menjadi semakin mengenal
jejak-jejak yang harus diikutinya.
Namun kemudian terasa tubuhnya semakin lama menjadi
semakin penat. Sehari ia bertempur. Sehari ia tidak makan
dan minum kecuali makan pagi. Karena itu, kini terasa, betapa
ia lapar dan haus. Dengan demikian langkahnya pun menjadi
semakin lambat, bahkan kemudian ia berpikir, "Apakah tidak
lebih baik aku beristirahat" Besuk apabila hari menjadi terang,
aku pasti akan dapat menemukan sarang mereka." Namun
kemudian timbullah pikirannya yang lain, "Tetapi di siang hari
kedatanganku pasti segera diketahui oleh mereka. Padahal
besok sebelum malam aku harus sudah melaporkannya
kepada Kakang Untara."
Agung Sedayu menjadi bimbang. Akhirnya, betapapun
letihnya, betapapun haus dan lapar, ia berjalan terus. Ia
mengharap dapat menemukan tempat itu, kemudian ia
mengharap hujan turun supaya ia mendapatkan air untuk
minum. "Tetapi apabila hujan turun, aku akan kehilangan jejak. Dan
mungkin aku tidak akan dapat kembali menemukan jalan ini,"
pikirnya. "Ah, aku harus membuat tanda-tanda sendiri," desisnya tibatiba
. Agung sedayu itu pun segera menarik pedangnya. Ia ingin
membuat tanda-tanda yang lebih jelas dengan pedang itu,
supaya besok ia tidak tersesat pulang apabila hujan
menghapuskan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh orang-orang
Jipang. Apabila daun-daun yang tersibak itu akan menjadi
kabur karena hujan, dan karena daun-daun itu ditundukkan
oleh air hujan yang lebat.
Dengan pedangnya, Agung Sedayu membuat goresangoresan
yang dalam pada batang-batang pepohonan, dan
memotong dahan-dahan yang agak besar. Membuat tandatanda
dengan menancapkan beberapa potong kayu di tanah
dan berbagai macam yang lain dengan sangat teliti, supaya
suaranya tidak mengganggu ketenangan malam di dalam
hutan itu. Ketika kemudian terdengar burung hantu di kejauhan, kembali
leher Agung Sedayu meremang. Burung hantu mempunyai
kesan yang khusus bagi yang mendengarnya. "Ah," katanya di
dalam hati, "suara itu adalah suara burung hantu. Ia tidak
dapat bersiul dengan cara yang lain, seperti burung kepodang
misalnya." Namun meskipun demikian, setiap bunyi burung itu;
terasa sebuah ketukan di jantungnya.
Tetapi Agung Sedayu itu tiba-tiba tertegun. la mendengar
sebuah suara yang lain. Bukan suara burung hantu. Perlahanlahan,
namun terus menerus. Agung Sedayu itu pun berhenti. Diperhatikannya
suara itu dengan saksama.
Suara itu bukan suara binatang. Tetapi suara itu
adalah suara seseorang. Agung sedayu menarik nafas. Pedangnya masih di
dalam genggamannya, dan dengan ujung pedang mendatar setinggi perutnya
ia berjalan dengan sangat
hati-hati. Dengan penuh kewaspadaan ia mengamat-amati keadaan. Mencoba
menangkap setiap suara dan melihat setiap gerak. Namun
keadaan di hutan itu terlampau sepi. Dan suara itu masih saja,
didengarnya. Agung Sedayu itu pun kemudian berhenti. Semakin lama,
semakin jelas, bahwa suara itu adalah suara rintihan
seseorang. "Siapa?" desis Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera mendekatinya. Ia tidak
tahu pasti apa yang telah terjadi. Apakah suara itu suara
rintihan seseorang yang terluka dalam suatu perkelahian"
Kalau demikian maka lawan orang itu pasti masih ada di
sekitarnya dalam keadaan yang baik. Tetapi bagaimana kalau
karena sebab lain" Agung Sedayu itu pun kemudian malahan mencoba mencari
perlindungan di belakang dedaunan. Mungkin sesuatu terjadi.
Namun beberapa saat kemudian rintihan itu masih saja
didengarnya. Selain itu, sepi sehingga Agung Sedayu itu
menjadi tidak sabar. Meskipun ia tidak kehilangan kewaspadaan, namun ia
berusaha mendekatinya. Perlahan-lahan, menyusur gerumbulgerumbul
yang cukup pekat. Agung Sedayu masih cukup
sadar, bahwa bahaya mungkin akan menerkamnya dengan
tiba-tiba. Karena itu, maka setiap gerak selalu disertai dengan
kesiagaan tertinggi. Tetapi suara itu masih saja didengarnya. Terus menerus dan
dari arah yang sama. Maka dengan tidak banyak kesukaran
Agung Sedayu kemudian berhasil mendekatinya.
Ketika Agung Sedayu telah berada beberapa langkah saja dari
suara itu. Agung sedayu berhenti. Ia kini berada di dalam
sebuah gerumbul kecil. Sekali-sekali terasa tubuhnya
tersentuh beberapa macam tumbuh-tumbuhan berduri. Namun
ia berdiri saja tidak bergerak. Bahkan ia mencoba menguasai
suara pernafasannya. Dan suara itu masih saja didengarnya. Sebuah rintihan yang
panjang. Terus menerus tidak henti-hentinya. Ketika Agung
Sedayu mencoba mengamati keadaan di sekelilingnya, maka
tiba-tiba dilihatnya orang itu. Orang yang merintih-rintih
dengan pedihnya. Dalam keremangan. malam, Agung sedayu melihat tubuh
orang itu tergolek di tanah; di antara pohon-pohon perdu.
Sesaat Agung Sedayu masih tegak di tempatnya. Ia masih
ragu-ragu, apakah orang itu benar merintih karena sesuatu
penderitaan jasmaniah, atau karena sebab-sebab lain. Bahkan
dalam keadaan serupa itu, Agung Sedayu dapat berprasangka
bahwa orang itu sebenarnya sama sekali tidak menderita
apapun; namun dengan sengaja telah memancingnya untuk
mendekat. Adalah berbahaya sekali apabila tiba-tiba orang itu
menyerangnya selagi ia kehilangan kewaspadaan.
Namun suara orang itu selalu menyentuh-nyentuh
perasaannya. Rintihan itu terdengar sedemikian pedihnya.
Bahkan beberapa kali ia mencoba untuk memanggil beberapa
nama. Tetapi Agung Sedayu tidak begitu jelas mendengarnya.
Akhirnya Agung Sedayu, yang perasaannya mudah tergetar
karena bermacam-macam hal dan keadaan; menjadi tidak
sabar lagi. Seakan-akan ia melihat seseorang yang sedang bergulat
melawan maut. Itulah sebabnya, maka dengan sangat hatihati
ia melangkah maju lagi. Pedangnya terjulur lurus-lurus ke
arah tubuh yang terbaring itu. Setiap gerakan akan cukup
menjadi alasan untuk sekali loncat dan pedangnya akan
membenam di tubuh itu. Tetapi tubuh itu terbaring diam. Hanya suara rintihannya
sajalah yang terdengar menggamit hati.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika jarak orang itu tinggal beberapa langkah lagi, Agung
sedayu berhenti. Ditatapnya tubuh yang tergeletak itu dengan
saksama. Namun dalam keremangan malam, ia sama sekali
tidak dapat mengetahui, apakah ada sesuatu cedera
jasmaniah pada orang itu.
Dalam keadaan yang penuh dengan keragu-raguan dan
ketegangan terdengar Agung Sedayu berdesis, "Siapa kau,
dan kenapa kau terbaring di situ?"
Orang yang merintih itu agaknya mendengar suaranya.
Dengan suara yang parau dan tertahan-tahan ia menyapa
lirih, "Siapakah kau?"
"Aku bertanya siapa kau?" sahut Agung Sedayu curiga.
Agung Sedayu melihat orang itu bergerak. Selangkah ia
meloncat surut, dan pedangnya terjulur lurus ke depan.
Namun orang itu tidak bangkit dan suara rintihannya kembali
terdengar. Bagian 12 Tetapi Agung Sedayu masih saja dicengkam kebimbangan,
karena ia belum memliki pengalaman yang cukup menghadapi
berbagai keadaan yang belum dikenalnya.
Yang terdengar kemudian adalah desis yang sayu, "Aku
hampir mati karena lukaku. Apakah kau dapat memberi aku
air?" "Air?" ulang Agung Sedayu.
"Ya, kerongkonganku serasa kering."
Agung Sedayu menyadi bingung, Darimana ia mendapatkan
air, sedang ia sendiri haus bukan main. Karena itu maka
jawabnya,"Sayang. Aku tidak tahu kemana aku harus mencari
air." "Oh," orang itu mengeluh, lalu katanya, "siapakah kau?"
"Kau siapa" Dan kenapa kau terluka"
"Prajurit Pajang lah yang telah melukai aku."
Dada Agung Sedayu berdesir. Cepat ia dapat mengambil
kesimpulan, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Tetapi
kenapa ia terbaring sendiri di tengah-tengah hutan ini"
Apakah ini bukan sekedar pancingan untuk menjebaknya.
Tetapi Agung Sedayu telah terlanjur berdiri didekat orang itu,
karena itu maka ia bertanya pula, "Hem. Kenapa kau
dilukainya?" Orang yang terbaring itu menjawab sayup-sayup, "Kami
sedang berperang. He, siapakah kau" Apakah kau bukan
kawan kami ?" Agung Sedayu berbimbang sesaat. Kemudian
jawabnya,"Bukan."
"Oh, apakah kau orang Pajang" Kalau begitu selesaikan
pekerjaanmu. Bunuhlah aku dari pada aku tersiksa disini?"
"Kemana kawan2mu?"
Aku tidak tahu. Aku berjalan di ujung belakang karena lukaku,
sehingga tubuhku menjadi sangat lemah. Ketika aku terjatuh
disini; tak seorangpun yang melihatnya."
Agung Sedayu terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengurai
persoalan yang dihadapinya itu. Namun kata-kata orang yang
terbaring itu masuk diakalnya. Meskipun demikian ia tidak
dapat segera mempercayainya. Maka kembali ia
bertanya,"Orang manakah kau" Dan kenapa kau berperang
dengan orang Pajang?"
Orang itu tidak segera menyawab. Dicobanya untuk bergerak,
tetapi kemudian terdengar ia mengeluh panjang,"Aku sudah
tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali. Darahku
sudah terlampau banyak mengalir. Karena itu aku tidak perlu
merahasiakan diriku lagi. Aku adalah prajurit Jipang. Apakah
kau bukan orang Pajang?"
Kembali Agung Sedayu terdiam sesaat. Bagaimana ia harus
menyawab pertanyaan itu. Namun sehelum ia menyawab,
terdengar suara lemah dan parau dari orang yang terbaring
itu,"Kalau kau orang Pajang kau pasti tahu, kenapa kami
berperang melawan prajurit Pajang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan hatinya. Baru kemudian menjawab,"Ya. Aku
memang orang Pajang."
Orang yang terbaring itu menggeram. Kemudian
katanya,"Bagus. Kenapa kau bertanya segala macam sebab
peperangan ini" Kau hanya berpura-pura untuk memancing
pendirianku. Sekarang bunahlah aku daripada aku menderita."
"Ki Sanak," berkata Agung Sedayu kemudian, "kenapa kawankawan
mu tidak menolongmu?"
"Apa kepentinganmu menanyakan itu" Bukankah kau telah
membunuh kawan-kawanku pula. Sekarang apa yang kau
tunggu lagi" Hadiahmu akan bertambah sehelai kampuh
karena kau berhasil membunuh seorang lagi dari antara kami.
"Jangan berkata begitu."
"Kenapa?" "Didalam peperangan kita saling membunuh. Itu bukan
kemauan kita orang seorang. Tetapi kita dihadapkan pada
suatu keadaan yang tak dapat kita hindari. Bukankah kau
merasakannya juga." Terdengar nafas orangyang terbaring itu terengah-engah.
Ruparupanya didalam dadanya yang semakin lemah itu telah
menyala api kemarahan yang membakar segenap darah
dagingnya. "Persetan," geramnya. Namun terdengar suaranya
menjadi semakin dalam,"Sekarang bunuhlah aku supaya aku
tidak membunuhmu. Bukankah didalam peperangan hanya
ada satu pilihan dari dua kemungkinan, membunuh atau
dibunuh?" "Kita sekarang tidak berada dalam peperangan. Kita dapat
menemukan kemungkinan yang lain," sahut Agung Sedayu.
"Kenapa kau mengingkari tugasmu sebagai seorang prajurit"
Bunuhlah musuhmu. Habis perkara."
"Seorang prajurit bukanlah seorang manusia yang biadab.
Prajurit harus memiliki sifat kejantanan, namun harus memiliki
pula sifat-sifat ksatria."
Agung Sedayu berhenti sesaat. Ketika orang yang terbaring
itu tidak menyahut, maka diteruskannya,"Seorang kesatria
harus memiliki pengabdian yang lengkap. Bukan saja
pengabdian lahiriah. Pengabdian kepada tanah tumpah darah,
kepada kampung halaman, tetapi harus juga memiliki
pengabdian rohaniah. Pengabdiannya kepada tanah tumpah
darah, kepada kampung halaman harus dilambari atas
pengabdian dan kebaktiannya kepada Sumber hidupnya dan
kepada kemanusiaan."
"Jangan sesorah. Aku tidak dapat mendengar lagi," sahut
orang itu terbata-bata,"kalau benar kau memiliki sifat-sifat
yang tajam dalam pengabdianmu atas kemanusiaan, kenapa
kau tidak membunuh aku" Supaya aku tidak menderita?"
"Kau belum mati. Setiap nyawa yang masih melekat
ditubuhnya masih ada kemungkinan untuk hidup terus. Kalau
aku membunuhmu dengan dalih kemanusian, maka
kemanusiaan yang demikian adalah kemanusiaan yang tidak
berpijak pada Sumber Hidupnya, kepada Tuhannya."
"Dalam peperangan kau juga membunuh"
"Bukankah kita membunuh karena kita ingin menghindarkan
pembunuhan yang lebih besar" Kita membunuh dalam batasbatas
peri kemanusiaan. Sebab kita mempunyai keyakinan
bahwa kita sedang mempertahankan unsur kemanusiaan
yang lebih besar. Kita menghindarkan pembunuhan yang
bakal terjadi karena perbuatan lawan kita atas kami dan
keluarga kami. Meskipun cara yang dipergunakan berbedabeda.
Bahkan pembunuhan dengan cara perlahan-lahan
adalah lebih mengerikan. Kalau musuh kita merampas segala
milik kita, menindas kita dan memperlakukan kita diluar batas
peri-kemanusiaan, itu adalah sama kejamnya dengan
pembunuhan itu sendiri. Penghisapan, pemerasan, dan
pengingkaran atas keadilan dan kebenaran sejati."
Orang yang terbaring itu tidak menyahut.
"Ki Sanak. Lukamu agak parah. Kau tidak akan dapat barbuat
sesuatu lagi bagi kami. Karena itu aku tidak dapat
membunuhmu. Tetapi aku tidak mempunyai alat dan cara
untuk menolongmu." Orang tu masih terdiam. "Bagaimana?" Terdengar keluhan yang panjang dari mulut orang yang
terbaring ku. Kemudian katanya, "Terserah kepadamu. Kalau
kau tidak mau membunuhku, aku tidak dapat memaksamu."
"Kenapa kawan-kawanmu meninggalkan kau sendiri?"
"Mereka tidak mengetahuinya. Aku terjatuh jauh dibelakang
mereka. Dan suaraku tidak cukup keras untuk memanggil
mereka." "Apakah mereka belum lama lewat disini?"
"Belum." "Apakah paman Sumngkar juga baru saja lewat disini?"
"Sumangkar" la adalah juru masak kami, ia tinggal di
perkemahan." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Meskipun tidak
diketahuinya, apakan benar kata orang itu bahwa Sumangkar
seorang juru masak, namun menurut orang itu ternyata ia
belum lewat tempat ini. Karena itu, maka kembali Agung Sedayu berdebar-debar.
Kalau saja Sumangkar itu lewat dan melihatnya; apakah
katanya" Tetapi kembali timbul keragu-raguannya.
Sumangkar sudah berjalan lebih dahalu, apalagi ia seorang
sakti yang telah mengenal daerah dengan baik. Mustahil kalau
Sumangkar dapat dilampauinya.
Maka kemudian ia bertanya,"Apakah ada jalan lain
keperkemahanmu selain jalan ini?"
"Ada seribu jalan."
"Kenapa seribu?"
"Seribu jalan atau tak ada jalan sama sekali. Semua arah
dapat dilalui. Semua arah merupakan hutan yang pepat."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua
kata-katanya masuk akal baginya. Terasa orang yang telah
terluka itu berkata seadanya. Seakan-akan tak adayang
disembunyikannya lagi. Meskipun demikian Agung Sedayu
tetap tidak kehilangan kewaspadaan. Perlahan-lahan ia
mendekatinya. Dan sekali lagi ia mendengar orang itu
mengerang,,"Aku sangat haus."
Timbullah iba yang dalam dihati Agung Sedayu. Tetapi
apayang akan dilakukannya"
Ketika ia melangkah semakin dekat. Ujung pedangnya sama
sekali tidak bergeser dari arah tubuh orang yang terbaring itu.
Agung Sedayu kemudian melihat sesuatu terletak
disampingnya. Sebatang tombak. Agaknya tombak itu adalah
senjatanya. "Kau tak perlu bersiaga," desah orang itu, "aku tidak kuat lagi
mengangkat tombakku. Ambillah dan tusukan kedadaku. Aku
sudah tidak mampu melawan."
"Tidak," sahut Sedayu. Namun pedangnya tidak juga
menunduk. Orang itu mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati
Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena ibanya.
Dalam pada itu kebimbangan didadanya menjadi kian
melonjak-lonjak. Tetapi semakin dekat, Agung Sedayu dapat merasakan,
betapa nafas orang itu terengah-engah. Perlahan-lahan
erangnya menyentuh hatinya.
"Apakah lukamu parah?"
"Hampir mencabut nyawaku. Aku ingin itu lekas terjadi."
"Jangan," potong Agung Sedayu.
Orang itu tidak menyawab. Dalam keadaan yang tegang
Agung Sedayu mencoba mencari jalan untuk dapat menolong
orang itu. la kini telah menemukan jejak yang dapat
membawanya keperkemahan orang-orang Jipang. Kalau ia
dapat menolong orang ini, membawanya menepi dan keluar
dari hutan ini: mungkin orang ini akan tertolong. Seterusnya ia
dapat meninggalkannya di tepi hutan setelah diberinya minum,
atau menyerahkannya kepada kawan-kawannya apabila
masih ada yang dapat dijumpai di bekas-bekas pertempuran.
Mereka yang bertugas merawat orang yang terluka.
Tetapi kemudian ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana kalau
dengan demikian tugasnya terlambat. Bagaimana kalau
kemudian hujan yang lebat menghapus bekas-bekas jejak
orang-orang Jipang, sehingga ia tidak dapat menemukannya
lagi" Bagaimanakah kalau perintah yang harus dilakukannya
itu gagal" Agung Sedayu menjadi bimbang. Disatu pihak ia merasa wajib
melakukan tugasnya, namun dilain pihak ia merasa wajib
menolong jiwa yang sedang berjuang melawan maut.
Dalam keragu-raguan itu Agung Sedayu bahkan berdiri saja
ditempatnya seperti patuhg. Sekali-sekali ia ingin meneruskan
perjalannya, namun sesaat kemudian rintih orang yang terluka
itu seakan-akan menggores dalam di jantungnya.
Dalam kegelapan malam Agung Sedayu mencoba
memperhatikan tubuh itu sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ia
melangkah semakin dekat lagi.
"kau ingin melihat luka itu ?" desah orang yang terbaring itu.
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu berkata,"Iya."
"Mendekatlah. Lambungku sobek karena tusukan tombak
orang Pajang." Agung Sedayu mendekatkan wajahnya. Pedangnya kini
bahkan telah melekat didada orang itu. Sehingga akhirnya ia
dapat melihat luka itu. Benar-benar sebuah luka yang parah.
Darahnya masih saja mengalir tak henti-hentinya. Karena itu,
maka tiba-tiba ia menggeser pedangnya, dan meraba luka itu
dengan sebelah tangannya.
Orang itu" mengeluh. Dan keluhan itu telah membuat hati
Agung Sedayu semakin berdebar-debar karena ibanya.
Dalam pada itu kebimbangan didadanya menyadi kian
melonjak-lonjak. Ketika ia sibuk mempertimbangkan keputusan yang akan di
ambilnya, maka hutan itu menjadi sepi. Betapapun orang yang
terbaring itu mencoba menahan diri, namun masih juga
terdengar ia mengeluh. "Aku sangat haus," katanya.
"Disini tidak ada air," sahut Sedayu.
Orang itu terdiam. Agung Sedayupun terdiam pula.
Namun tiba-tiba Agung terkejut. Ia mendengar gemerisik daun
disampingnya. Cepat ia menegakkan pedangnya. Dengan
satu loncatan ia telah tegak diatas kedua kakinya yang kokoh.
Pedangnya telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal terjadi. Gemerisik dedaunan itu masih didengarnya. Bahkan semakin
jelas. Dan tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh muncul dari
dalam rimbunnya dahan perdu. Bukan sesosok tubuh saja,
tetapi sesosok orang lain tergantung dipundaknya.
"Paman Sumangkar," desis Agung Sedayu.
Sumangkar memandangi Agung Sedayu dengan tajamnya.
Seakan-akan mata itu dapat menyala didalam gelap. Dari
sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram,"Angger Agung
Sedayu, kenapa angger berada ditempat ini?"
Agung Sedayu menjadi bimbang. Bagaimana ia harus
menjawab pertanyaan itu " Karena itu untuk sesaat ia berdiam
diri. Namun keringat dinginnya telah membasahi seluruh
tububnya. Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata perlahanlahan,"
Aku sudah menyangka, bahwa seseorang pasti akan
mengikuti jalanku." Agung Sedayu masih berdiri kaku tegang ditempatnya,
seakan-akan anak muda itu membeku. Namun tanpa
dikehendakinya sendiri pedangnya perlahan-lahan terangkat
dalam genggamannya yang semakin kuat.
Yang terdengar adalah suara Sumangkar,"Ternyata dugaanku
tepat. Malahan angger Agung Sedayu sendiri yang telah
mendapat kehormatan mengikuti jejakku. Namun agaknya
angger terlalu tergesa-gesa. Angger tidak mencari jejakku,
tetapi angger telah terjerumus kedalam bekas-bekas jejak
orang-orang Jipang yang mengundurkan diri."
Bagian 13 Agung Sedayu menggigit bibirnya, ia melihat bahaya
menghadang di hadapanya. Namun sejak ia berangkat, ia
telah menyadari tugasnya. Tugas itu sangat berat. Tugas
untuk mengikuti seorang sakti seperti Sumangkar. Ternyata
bahwa bukan ia yang mengikuti orang itu tetapi sebaliknya,
Sumangkar-lah yang telah mengikutinya. Namun semuanya
sudah terjadi. Kini ia sudah langsung berhadapan dengan
bahaya. Terasa dada Agung Sedayu berdesir.
"Tetapi agaknya Angger Agung Sedayu menganggap bahwa
tak ada bedanya mengikuti jejakku atau jejak prajurit Jipang
itu. Memang sebagian anggapan Angger benar, karena
Angger pasti akan sampai pula di perkemahan kami."
Agung Sedayu masih berdiri mematung. Sepatah katapun ia
belum menjawab. Karena Agung Sedayu masih berdiam diri, kembali terdengar
suara Sumangkar, "Nah, Ngger, apakah Angger masih tetap
akan meneruskan usaha Angger untuk menemukan tempat
itu?" Terdengar Agung Sedayu menggeram. Pertanyaan itu benarbenar
memusingkan kepalanya. Ia mendapat tugas untuk
melihat dengan mata kepala sendiri perkemahan itu.
Menelusuri jalan-jalan yang dapat dilalui, bukan saja bagi
dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh kekuatan pasukan Pajang.
Kakaknya agaknya kurang puas dengan laporan-laporan yang
telah diterimanya mengenai perkemahan itu, sehingga salah
seorang kepercayaannya harus sempat mengetahui
kebenarannya. Namun apakah di hadapan Sumangkar ia
dapat mengatakan yang sebenarnya.
Dalam kebimbangan itu terdengar Sumangkar mendesak,
"Bagaimana?" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diaturnya debar
jantungnya, ketika ia menjadi agak tenang maka ia menjawab,
"Aku telah menerima perintah itu, dan aku harus
melakukannya. Kecuali kalau hal itu tidak mungkin aku
lakukan." "Apakah menurut penilaian Angger, Angger akan mungkin
melakukannya?" "Aku tidak tahu, tetapi aku harus mencoba."
"Apakah Angger tidak menyadari, bahwa aku adalah salah
seorang dari penghuni perkemahan itu?"
"Ya." "Bahwa aku akan dapat membunuh Angger Sedayu dengan
mudah apabila aku mau."
"Ya." "Nah, sekarang apakah Angger masih tetap dalam pendirian
Angger untuk berjalan terus?"
Dada Agung Sedayu bergolak. Ia adalah seorang anak muda
yang pada dasarnya tidak senang cepat mati. Bahkan
demikian takutnya Agung Sedayu kepada kematian itu,
sehingga ia pernah mengalami suatu masa yang sangat
memalukan. Namun kini, betapa ia tidak ingin mati, tetapi
terasa sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tugas yang
diberikan oleh kakaknya, seakan-akan sedemikian berat
membebani diri dalam pertanggungjawaban atas
kehormatannya. Karena itu, maka pertanyaan Sumangkar itu tiba-tiba telah
membakar jantungnya. Dengan wajah yang menyalakan tekad
yang membara di dalam dadanya terdengar Agung Sedayu
mendjawab, "Paman Sumangkar, aku telah berangkat
melakukan tugas atas perintah Senapati Pajang yang
ditempatkan di daerah ini, dan aku telah menyanggupkan diri
untuk melakukannya. Karena itu, aku harus berjalan terus.
Kalau aku harus terbunuh dalam tugas ini, maka itu adalah
salah satu akibat yang selalu dapat terjadi atas seseorang
yang sedang melakukan kewajiban yang penting."
Jantung Sumangkar berdentangan mendengar jawaban itu.
Bahkan terasa mulutnya menjadi gemetar, sehingga katakatanya
pun gemetar pula, karenanya.
"Angger, kau telah membuat aku bingung."
Agung Sedayu berdiam diri. Namun ia cukup bersiaga.
"Aku menyesal bahwa aku mengintip terlalu lama di belakang
gerumbul, sehingga aku melihat bagaimana Angger telah
berbuat atas salah seorang kawanku ini."
Tanpa disengaja Agung Sedayu berpaling ke arah orang itu
yang masih nampak mengerang, betapapun ia mencoba
menahan sakitnya. "Orang itu benar-benar terluka," katanya di dalam hati. "Kalau
apa yang dilakukan itu hanya sekedar pancingan, maka
setelah paman Sumangkar hadir di tempat ini ia tidak perlu
masih harus berbaring di tanah yang lembab dan kotor itu."
Tetapi yang didengarnya adalah kata-kata Sumangkar, "Kalau
aku tidak melihat, apa yang telah Angger lakukan dan Angger
katakan kepada orang yang terluka ini, maka aku tidak usah
berpikir terlampau panjang, mungkin Angger telah terbunuh
saat ini karena Angger telah mencoba memata-matai aku."
Gelora di dalam dada Agung Sedayu pun menjadi semakin
keras dan ia mendengar Sumangkar berkata terus. "Kenapa
Angger tidak mau membunuh atau membinasakan saja orang
itu, supaya aku tidak ragu-ragu melakukan perbuatan serupa
atas Angger. Kenapa Angger tidak membelah dadanya dan
menyilang punggungnya dengan pedang seperti yang pernah
dilakukan oleh Angger Sidanti atas Plasa Ireng dahulu?"
Agung Sedayu masih terbungkam. Yang terdengar hanyalah
gemeretak giginya karena berbagai perasaan yang bergelut di
dalam dadanya. Sejenak mereka terdiam. Sumangkar berdiri termangu-mangu
dengan Tohpati masih di pundaknya. Agung Sedayu tegak,
seperti patung seorang prajurit yang siap menusukkan pedang
di lambung lawannya. Sedang di sampingnya masih terbaring
seorang yang luka parah sambil mengerang kesakitan.
Angin malam yang dingin perlahan-lahan mengusik tubuh
mereka. Daun-daun yang bergetaran membuat suara
gemerisik, seperti suara orang yang saling berbisik di antara
batang-batang yang tegak berserak-serak.
Yang terdengar kemudian adalah suara orang yang terluka itu
perlahan-lahan , "Apakah kau Sumangkar juru masak itu?"
"Ya, aku Sumangkar juru masak."
"Apa kerjamu di sini?"
"Tidak apa-apa."
Orang itu mengerang kembali. Kemudian katanya, "Apa kau
dapat menolong aku?"
Sumangkar tertegun sejenak. Dan orang itu berkata terus,
"Rupa-rupanya kau sedang membujuk prajurit Pajang itu untuk
membunuhku Sumangkar, kalau kau dapat usahakanlah. Aku
memang sudah tidak akan dapat sembuh."
"Tidak." Tiba-tiba terdengar suara Agung Sedayu meledak. Suara itu
seakan-akan dilontarkannya dengan serta merta untuk
melepaskan tekanan-tekanan yang selama itu menghimpit
dadanya. Sumangkar terkejut mendengar teriakan itu. Bahkan orang
yang sudah terbaring itupun terkejut. Sekali ia menggeliat
namun kemudian kembali terdengar keluhnya semakin pedih
dan melambat. "Paman Sumangkar," berkata Agung Sedayu lantang,
"lakukanlah apa yang akan kau lakukan, kalau kau akan
mencoba membunuhku cobalah. Kalau aku mati terbunuh
cepatlah terjadi. Kalau aku mampu menyelamatkan diriku biar
segera terjadi pula. Kemudian salah seorang dari kita akan
mendapat kesempatan untuk menolong orang ini."
Yang terdengar adalah tarikan nafas Sumangkar. Bahkan
kemudian terdengar ia mengeluh, "Hem, kenapa Angger
Agung Sedayu yang mendapat tugas ini."
"Apa bedanya?" "Baiklah," berkata Sumangkar sambil mengangkat wajahnya.
"Aku adalah seorang prajurit. Aku tidak boleh tenggelam
dalam kebimbangan perasaanku. Aku harus dapat
mengendalikan perasaanku dengan nalar. Karena itu, maka
bagaimanapun juga Angger Agung Sedayu harus tidak dapat
mengikuti jejakku maupun jejak para prajurit Jipang."
"Aku sudah bersiap," sahut Agung Sedayu dengan tatagnya,
"apapun yang akan kau lakukan."
Terdengar Sumangkar menggeram. Namun ia tidak beranjak
dari tempatnya. Jantungnya terasa berdentangan dan otaknya
diamuk oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Sebagai
seorang prajurit ia tidak dapat mengorbankan pasukannya
terjebak dalam perangkap lawan. Namun sebagai manusia, ia
tidak dapat berbuat apa-apa atas Agung Sedayu setelah ia
melihat dan mendengar bagaimana anak muda itu bersikap
dan berpendirian terhadap salah seorang prajurit Jipang.
Kembali mereka terdampar dalam keheningan yang semakin
tegang. Angin malam terdengar seperti suara gemerisik,
seolah-olah suara tarikan nafas berpuluh-puluh, bahkan
beratus-ratus orang yang sedang mengintai kedua orang yang
berdiri kaku di tempat masing-masing.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang yang luka
parah itu, meskipun sangat perlahan-lahan, "Aku haus. Air.
Air." Dada Agung Sedayu tersentak mendengar keluhan itu. Suara
itu langsung menyentuh dadanya. Sehingga sesaat ia
berjuang untuk mengatasi perasaannya, namun terloncat pula
kata-katanya. "Orang itu perlu air."
Sumangkar mengangguk "Ya, ia sangat memerlukan air."
Tetapi keduanya tidak tahu, bagaimana cara untuk
menolongnya sebab masing-masing sedang terikat dalam
kewajiban mereka sendiri-sendiri.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba kembali mereka dikejutkan
oleh suara gemerisik yang lain. Seperti digerakkan oleh satu
tenaga gaib, mereka berpaling, bahkan digerakkan oleh naluri
mereka masing-masing, maka segera mereka bersiap
menghadapi setiap kemungkinan.
Buku 13 Bagian 1 TETAPI yang terdengar adalah suara tertawa lemah. Suara itu
melontar dari balik sebatang pohon yang besar. Hampir
bersamaan muncullah sebuah bayangan hitam, berjalan
beberapa langkah mendekati mereka.
"Hem, kalian telah terbenam dalam kepentingan kalian
masing-masing sehingga kalian tidak sempat memperhatikan
saat-saat yang paling berbahaya dalam hidup seseorang."
Agung Sedayu tersentak. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar la
berdesis, "Kiai Gringsing."
Kiai Gringsing tidak menjawab. la berjalan terus ke arah orang
yang terbaring itu. Dengan cekatan ia memijit-mijit beberapa
bagian dari sisi luka itu, kemudian mengambil sebungkus
ramu-ramuan obat-obatan dari dalam bajunya.
Terdengar orang itu berdesis, kemudian mengerang semakin
keras. "Memang agak pedih," berkata Kiai Gringsing, "mudahmudahan
akan dapat menolongmu," berkata Kiai Gringsing
sambil mengusap luka itu dengan ramuan obatnya.
Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, "Bawalah orang
ini ke tepi hutan. Carilah air untuknya, dan bawalah ke banjar
desa bersama orang-orang lain yang terluka."
"Kiai," potong Sumangkar, "apakah artinya ini?"
Kiai Gringsing berpaling. Dipandanginya wajah Sumangkar
dalam kesamaran gelap malam.
"Biarlah aku mencoba menolong jiwanya. Aku adalah seorang
dukun. Aku tidak dapat melihat seseorang yang berjuang
melawan maut tanpa berbuat apa-apa. Sedang kalian masih
saja bertengkar tanpa ujung pangkal. Sehingga aku tidak
tahan lagi bersembunyi sambil mendengar keluhan ini."
"Lalu, maksud Kiai seterusnya."
"Biarlah Agung Sedayu kembali ke Sangkal Putung. Akulah
yang akan mengambil alih tugasnya," sahut Kiai Gringsing.
Mendengar jawaban Kiai Gringsing itu wajah Sumangkar
menjadi merah padam. la tahu benar arti kata-kata itu. Dan ia
tahu, akibat dari kata-kata itu pula. Karena itu sesaat ia
terbungkam. Bukan saja Sumangkar yang terkejut, tetapi juga
Agung Sedayu terkejut. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Kiai,
apakah Kakang Untara akan membenarkan?"
"Kakangmu tidak akan berbuat apa-apa. Baginya, siapa saja
yang melakukan perintahnya tidak ada bedanya."
Sedayu masih ragu-ragu. la masih saja berdiri di tempatnya.
Sehingga Kiai Gringsing berkata pula, "Selagi masih ada
kesempatan, maka setiap jiwa yang terancam maut harus
mendapat pertolongan. Adalah wajib kita berusaha, namun
apabila ditentukan lain, kita manusia tidak dapat melawan
kehendak-Nya."
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Agung Sedayu masih ragu-ragu. Dan karena Agung
Sedayu ragu-ragu Kiai Gringsing berkata, "Agung Sedayu,
pergilah. Bukankah kau masih dapat mengenal jalan kembali.
Tempat ini masih belum terlampau dalam-dalam. Kau dapat
mengikuti jejak prajurit Jipang dalam-dalam arah yang
berlawanan." "Tetapi perintah itu."
Serahkan kepadaku. Kakakmu adalah seorang Senapati yang
cerdik. Aku tahu benar, kenapa yang diperihtahkannya adalah
kau. Bukan orang lain. Padahal Untara tahu, siapakah Adi
Sumangkar itu. Kakakmu pasti mempunyai perhitungan
sendiri. la pasti, bahwa aku tidak akan melepaskan kau sendiri
dalam tingkat sekarang. Sebab kakakmu segan untuk
langsung meminta aku melakukan pekerjaan ini."
Terasa sesuatu bergetar di dada Agung Sedayu. Ternyata
bukan dirinya sendirilah sasaran dari perintah kakaknya.
"Hem," Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Terdengarlah pula Sumangkar menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan seakan-akan orang tua itu mengeluh.
"Sekarang pergilah," perintah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi. Perintah
kakaknya baginya sama beratnya dengan perintah gurunya.
Namun bahwa gurunya akan mengambil alih tugasnya, telah
membesarkan hatinya. Perlahan-lahan Agung Sedayu menyarungkan pedangnya.
Dan perIahan-lahan pula ia berjongkok di samping gurunya.
Dengan hati-hati, orang yang terluka itu dipapahnya pada
kedua tangannya. "Berat?" bertanya Kiai Gringsing.
"Cukup berat," sahut Agung Sedayu.
"Hati-hatilah. Kalau kau telah memberinya minum maka orang
itu akan dapat kau papah pada lambungnya. Mungkin ia dapat
menggantungkan dirinya pada pundakmu. Kalau tidak, kau
masih harus mengangkatnya sampai kebanjar desa."
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya, "Baik Kiai."
Ketika Agung Sedayu kemudian berputar dan melangkah,
terdengar Sumangkar menggeram. "Kiai, ternyata senapati
Pajang itu tidak berkata sejujur hatinya."
"Kenapa?" sahut Kiai Gringsing.
Agung Sedayu yang mendengar perkataan Sumangkar itu
berhenti sambil berpaling. Tetapi Kiai Gringsing berkata,
"Berjalan terus Sedayu. Jangan menunggu orang itu mati."
Sedayu mengangguk. Ia melangkah kembali meninggalkan
gurunya dan Sumangkar masuk ke dalam gelapnya malam
yang semakin kejam. Orang di tangannya itu masih mengerang. Bahkan terdengar
ia berbisik, "Akan kau bawa kemana aku, Kisanak."
"Mencari air," sahut Agung Sedayu.
Orang itu terdiam. Namun perasaannya bergolak tidak
menentu. la tidak tahu, apakah yang telah mendorong prajurit
Pajang itu menyelamatkannya. Karena itu, maka rasa heran
dan haru berkecamuk di dalam dadanya.
"Kisanak," desisnya lirih, "bukankah bagimu lebih mudah
menusukkan pedangmu ke ulu hatiku dari pada membawa aku
mecari air?" Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam keadaan demikian
Agung Sedayu sama sekali tidak teringat lagi batas antara
prajurit Pajang dan prajurit Jipang. Namun perasaan
kemanusiaannyalah yang telah mendesak semua persoalan
yang pernah ada antara dirinya, sebagai seorang yang berada
dalam barisan Pajang dan orang itu prajurit Jipang.
Sepeninggal Agung Sedayu, Kiai Gringsing berdiri
berhadapan dengan Sumangkar yang masih membawa tubuh
Macan Kepatihan di pundaknya. Keduanya berdiri tegak
dalam jarak beberapa langkah saja.
"Kiai," berkata Sumangkar, "kalau benar Angger Untara akan
mengusahakan pengampunan kenapa Untara masih
dikungkung oleh perasaan curiga."
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ternyata Untara masih mengirim seseorang untuk mengikuti
aku. Bukankah dengan demikian, pengampunan yang
dikatakan itu tidak lebih dari satu jebakan saja bagi Jipang."
"Adi Sumangkar," berkata Kiai Gringsing, "kita yang selama ini
berdiri pada pihak yang bermusuhan, sudah tentu tidak dapat
melenyapkan kecurigaan hati kita masing-masing dalam
sekejap. Sudah tentu bukan hanya Angger Untara yang
bercuriga, bukankah kau bercuriga pula" Bukankah kau
bercuriga bahwa perkataan Untara itu hanya sekedar sebuah
pancingan. "Kalau tidak," sahut Sumangkar, "ia tidak akan mengirim
seseorang untuk mengikuti aku."
"Tetapi sebelum kau temukan Agung Sedayu di sini,
kecurigaan telah ada di hatimu. Bukankah kau katakan bahwa
kau sudah menyangka bahwa seseorang akan mengikuti
jejakmu" Bukankah itu juga semacam perasaan curiga" Nah,
kita sama-sama curiga. Lebih baik tidak usah aku ingkari.
Tetapi kecurigaan kami didasari atas kemauan yang baik.
Siapa yang menyerah, akan mendapat pergampunan
meskipun tidak mutlak seperti kata-kata Angger Untara. Yang
tidak mau menyerah itulah yang akan dimusnakan. Karena itu
Angger Agung Sedayu harus tahu, jalan yang dapat ditempuh
untuk menghancurkan mereka yang membangkang perintah."
Sumangkar masih saja berdiri seperti patung. Namun hatinya
berkata seperti apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu
pula, "kita iang selama ini berdiri pada pihak yang
bermusuhan, sudah tentu tidak dapat melenyapkan
kecurigaan hati kita masing-masing dalam sekejap."
Tetapi Sumangkar masih ingin menghindarkan diri dari
jebakan yang mungkin dibuat oleh Untara, katanya, "Kiai,
apakah tidak mungkin bahwa setelah Angger Untara
mengetahui perkemahan orang-orang Jipang, maka dengan
serta merta dihancurkannya, tanpa menunggu pernyataan
mereka yang berhasrat untuk benar-benar mencari jalan
kembali?" "Kecurigaan itu beralasan," sahut Kiai Gringsing. "Seperti juga
Angger Untara bercuriga. Jangan-jangan Sumangkar hanya
ingin mempengaruhi perasaan orang-orang Pajang untuk
mendapat kesempatan melepaskan bersama anak buah
Tohpati. Apakah kami dapat mengetahui dengan pasti, bahwa
apa yang dikatakan oleh Sumangkar untuk kembali setelah
menguburkan mayat Tohpati dan bersedia menerima segala
macam hukuman sebagai janji yang pasti ditepati?"
"Apakah kalian orang-orang Pajang tidak percaya kepadaku,
Kiai?" "Perasaan kami serupa. Seperti kau tidak percaya bahwa kami
yang benar-benar bertekad untuk menyelesaikan persoalan ini
sebaik-baiknya. Bahkan kau berprasangka, seolah-olah kami
akan menjebakmu dan orang-orang Jipang yang lain."
Sumangkar terdiam sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berpikir. Kemudian terdengar ia berkata, "Lalu,
apakah yang akan kau lakukan kini, Kiai?"
"Meneruskan pekerjaan Agung Sedayu."
"Memata-matai aku?"
"Ya." "Bagaimana kalau aku menolak."
"Adi Sumangkar. Kalau aku orang yang taat pada
kewajibanku, maka aku harus menjawab seperti Agung
Sedayu. Apapun yang akan terjadi. Tetapi untuk menghindari
hal-hal yang saling tidak kita inginkan, maka aku dapat
menjawab lain. Sebenarnya bagi Kiai Gringsing, sama sekali
tidak perlu, apakah Sumangkar sedang lewat, apakah ada
bekas-bekas anak buah Angger Tohpati, atau petunjukpetunjuk
yang lain. Bagi Kiai Gringsingi mencari
perkemahanmu tidaklah sesulit mencari kutu di kepala."
"Hem," Sumangkar menggeram, disadarinya kini dengan siapa
ia berhadapan. Kiai Gringsing ternyata telah mengucapkan
tekadnya. Dalam pada itu kadang-kadang tumbuh lagi niatnya
untuk membunuh dengan meminjam tangan Kiai Gringsing,
barangkali saat-saat yang sedemikian ini dapat
dimanfaatkannya. Kalau ia mencoba mengusir Kiai Gringsing,
maka ada kemungkinan mereka terlibat dalam perkelahian.
Tetapi Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Ia telah menyanggupi, melakukan pesan terakhir Macan
Kepatihan. Mengubur mayatnya baik-baik.
Kata-kata Kiai Gringsing itupun cukup tegas baginya, dan ia
percaya bahwa Kiai Gringsing mampu melakukannya, mencari
perkemahannya tanpa petunjuk-petunjuk apapun. Karena itu
maka akhirnya Sumangkar berkata, "Baiklah Kiai. Silahkan
Kiai melakukan pekerjaan Kiai Gringsing. Aku percaya, bahwa
Kiai akan berhasil."
"Terima kasih," sahut Kiai Gringsing. "Tetapi aku harap kau
tidak berprasangka. Angger Untara benar-benar berkemauan
baik untuk menyelesaikan persoalan sisa-sisa anak buah
Tohpati dengan menghindarkan pertumpahan darah sejauh
mungkin. Seperti yang dikatakannya, bahwa Panglima Wira
Tamtama sendiri memberinya saran itu."
"Ya. Ya. Kiai. Aku akan berjalan terus membawa mayat
Angger Macan Kepatihan di antara anak buahnya. Mungkin
mayat ini dan pesan-pesannya di saat terakhir akan
bermanfaat bagi penyelesaian itu. Aku akan mengakui
kekuranganku, bahwa aku tidak dapat menghalang-halangi
Kiai." "Marilah kita menganggap bahwa kita saat ini tidak bertemu.
Aku akan mencari jalan sendiri, sehingga apabila aku
menemukan perkemahammu, bukanlah karena kesalahan
Sumangkar, yang seakan-akan telah menuntun musuhnya
menemukan perkemahan sendiri."
"Baik Kiai. Kini aku akan pergi."
Kiai Gringsing mengangguk. "Silahkan," jawabnya.
Sumangkar pun kemudian berputar, meneruskan langkahnya,
menyusup ke dalam gerumbul dan menghilang di dalam
kelamnya malam. Sambil membawa mayat Raden Tohpati,
Sumangkar berjalan cepat-cepat untuk segera sampai ke
perkemahannya. Betapa hatinya menolak maksud Kiai
Gringsing untuk melihat perkemahannya dan mengetahui
segala seluk-beluknya, namun ia tidak mampu menghalangTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
halanginya. Sebenarnya Sumangkar ingin sampai saat-saat
terakhir, meskipun dirinya sendiri kemudian akan
menyerahkan dirinya bersama dengan orang-orang yang
sependirian, namun ia tidak akan membiarkan orang-orang
yang selama ini bersama-sama berdiri pada suatu pihak
mengalami bencana yang mengerikan. Yang seolah-olah
karena kesalahannya. Bahkan akan dapat dituduh, karena
pengkhianatannya, maka mereka akan dimusnahkan.
"Tetapi Kiai Gringsing memiliki beberapa kelebihan," desisnya.
Karena itu dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Ia
mencoba untuk berlaku seperti apa yang dikatakan oleh Kiai
Gringsing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu di dalam
hutan, seolah-olah Kiai Gringsing mencari jalan sendiri. Dan
apabila Kiai Gringsing itu sampai di perkemahan juga, itu
adalah karena kecakapannya sendiri.
Dalam kesibukan angan-angan, akhirnya Sumangkar menjadi
semakin dekat dengan perkemahannya. Beberapa langkah
lagi ia menyibak gerumbul terakhir dan beberapa langkah lagi,
orang tua itu telah sampai di halaman yang kotor dari
perkemahan yang sangat sederhana.
Seorang penjaga dengan tangkasnya meloncat, dan
pedangnya langsung diangkatnya setinggi dada sambil
membentak, "Berhenti! Siapa kau?"
Sumangkar berhenti. Dengan sareh ia menjawab,
"Sumangkar." "O," gumam orang itu. Namun tiba-tiba terdengar suaranya
menghentak, "Dari mana kau?"
Sumangkar tidak segera menjawab. la berjalan semakin
dekat. Dan tiba-tiba penjaga itu berkata, "He. apakah kau baru
saja berburu" Apakah yang kau dapatkan itu?"
Sumangkar tidak menjawab. la berjalan terus semakin dekat.
"Apa he" Apakah orang yang lain berhasil mendapatkat
buruan itu, dan kau harus memasaknya?"
"Tutup mulutmu!" bentak Sumangkar. Tiba-tiba saja dadanya
dirayapi oleh kemuakan yang sangat mendengar pertanyaan
yang manyakitkan hatinya. Yang dipundaknya itu adalah
mayat murid kakak seperguruannya, pamimpin tertinggi
prajurit Jipang sepeninggal patih Mantahun.
Penjaga itu terkejut mendengar bentakan itu. Sesaat ia diam
mematung, namun kemudian tumbuhlah marahnya. Juru
masak itu berani membentak-bentaknya. Baru saja ia kembali
dari peperangan yang hampir menghancur lumatkan
pasukannya. Baru saja ia menegang nyawanya. Belum lagi ia
sempat beristirahat, ia sudah mendapat tugas untuk berada
disudut-sudut penjagaan yang diperkuat bersama-sama
beberapa orang lain yang sama sekali tidak mengalami cidera.
Tiba-tiba juru masak itu membentak-bentaknya. Karena itu,
maka dengan kasar ia menjawab, "He, Sumangkar. Apakah
kau tidak dapat menjaga mulutmu he?"
Sumangkar tidak menjawab. Ia berjalan menyusur sisi
halaman perkemahan itu, tidak melewati tempat prajurit itu
berjaga-jaga. Tetapi pradiurit yang marah itu mengejarnya dan
sekali lagi membentaknya, "He, tikus tua. Mintalah maaf
supaya mulutmu tidak aku remas."
Tetapi orang tua itu berpalingpun tidak. Ia berjalam terus. la
ingin segera sampai ke pusat perkemahan dan menyerahkan
tubuh Macan Kapatihan kepada pimpinan yang masih ada.
Namun prajurit yang marah itu mengejarnya terus.
"Berhenti!" teriaknya. "Kalau tidak aku sobek punggungmu
dengan pedangku." Sumangkar berhenti. Sambil memutar tubuhnya ia berkata,
"Apakah sebenarnya yang kau kehendaki" Buruanku ini?"
"Keduanya. Buruanmu dan mulutmu."
Sumangkar yang hatinya sedang gelap itu tiba-tiba menjadi
bertambah gelap. Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba
tanpa disangka-sangka, tanpa ancang-ancang, terasa sesuatu
menyengat mulut prajurit itu. Demikian kerasnya sehingga
prajurit itu terlempar beberapa langkah ke samping. Terdengar
tubuhnya terbanting di tanah dan terdengar ia mengeluh
pendek. Dalam pada itu terdengar suara Sumangkar parau,
"Mulutmulah yang harus kau jaga."
Prajurit yang terbanting itu merangkak-rangkak bangun.
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulutnya yang berdarah, menghamburkan kata-kata kotor.
Setelah ia memungut pedangnya yang terlepas dari
tangannya, ia berdiri tegak sambil berkata, "Sumangkar.
Apakah kau sudah menjadi gila. Sekararg aku benar-benar
akan membunuhmu." Sebelum Sumangkar menjawab, prajurit yang marah itu telah
meloncat beberapa langkah maju sambil langsung
menusukkan pedangnya menghunjam ke arah jantung
Sumangkar. Namun sekali lagi prajurit itu terkejut. Sumangkar
itu seakan-akan lenyap dari tempatnya. Dan tiba-tiba sekali
lagi kepalanya terasa pening. Sekali lagi ia terdorong
beberapa langkah dan jatuh terbanting di tarah.
Kini terasa matanya berkunang-kunang. Hampir-hampir ia
kehilangan kesadaran. Kepalanya terasa hampir pecah dan
nafasnya hampir terputus di kerongkongan.
Prajurit itu mengerang. Dicobanya untuk mengatasi segala
macam perasaan sakitnya. Ketika ia dengan susah payah
berhasil bangkit dan duduk di atas tanah, maka yang
dilihatnya bayangan Sumangkar menghilang di dalam gelap.
"Gila," umpatnya, "orang itu telah menjadi gila."
Tertatih-tatih prajurit itu berdiri Sekali lagi ia memungut
pedangnya yang terlepas. Kepalanya yang pening dan sakit
itu masih mampu melontarkan berbagai pertanyaan tentang
juru masak yang dianggapnya sudah menjadi gila. Juru masak
yang malas itu tiba-tiba menjadi garang. Segarang babi hutan
jantan. Prajurit itu tak habis heran. Kenapa Sumangkar yang malas itu
dapat berubah menjadi seorang yang mampu melakukan
perbuatan di luar dugaannya, bahkan melampaui segala
kacepatan gerak yang pernah dilihatnya, pada pemimpinnya
yang disegani, Macan Kepatihan sekalipun.
Meskipun demikian, prajurit yang masih dibakar oleh
kemarahan itu sama sekali tidak puas mengalami perlakuan
itu. Mungkin adalah kebetulan saja Sumangkar mampu
berbuat demikian. la benar-benar ingin membuktikannya.
Karena itu kemudian dengan langkah yang gontai ia berjalan
kembali ke sudut penjagaannya minta ijin kepada kawankawannya
untuk mencari Sumangkar ke dapur.
"Kenapa kau?" bertanya seorang kawannya ketika in melihat
prajurit itu berjalan tertatih-tatih.
"Tidak apa-apa," jawabnya.
"Di mana orang tua itu. Bukankah yang kau kejar tadi
Sumangkar" Apakah ia mencoba menyembunyikan sesuatu?"
"Aku ingin melihatnya ke dapur."
Kawan-kawannya tertawa. Mereka menyangka bahwa prajurit
ingin mendapat sebagian dari hasil buruan orang tua itu.
Dalam pada itu Sumangkar berjalan terus. Sekali ia membelok
dan menyusur jalan sempit menuju ke kemah Macan
Kepatihan. la mengharap bahwa para pemimpin yang masih
ada, berada di tempat itu.
Semakin dekat Sumangkar dengan pintu kemah hatinya
menjadi semakin berdebar-debar. Sekali-sekali terbayang di
wajahnya, senapati Jipang yang dipanggulnya itu bertempur
sampai tltik darahnya yang terakhir untuk melindungi anak
buahnya, kemudian terbajang pula senapati muda dari Pajang
yang berkata kepadanya bahwa ia akan mengusahakan
pengampunan untuk mereka yang dengan kemauan sendiri
karena kesadaran, menyerah kepada pasukan-pasukan
Pajang di Sangkal Putung.
"Kedua-duanya adalah anak-anak muda yang perkasa,"
katanya di dalam hati. "Keduanya memiliki sifat-sifat yang
mengagumkan. Tetapi ternyata dalam olah kaprajuritan
senapati muda dari Pajang itu dapat melampaui Angger
Tohpati. Bukan saja ketrampilan bermain pedang, namun
ternyata senapati muda Pajang itu cukup cerdas dan
bijaksana. Seandainya apa yang dikatakannya benar,
pengampunan meskipun tidak mutlak, maka anak muda itu
adalah anak muda yang terpuji."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Umtara
telah mengijinkannya membawa mayat Macan Kepatihan
untuk dikuburkannya. Tetapi kemudian terdengar ia
bergumam. "Mudah-mudahan ini bukan sekedar suatu
jebakan saja. Ternyata angger Untara benar-benar mengirim
orang untuk mengikuti aku." Namun terdengar kembali
jawaban dari dasar hatinya. "Bukankah Kiai Gringsing dapat
melakukannya meskipun tidak mengikuti bekas kaki atau jejak
siapapun?" Dalam pada itu langkah Sumangkar menjadi semakin dekat
dengan pintu perkemahan Macan kepatihan. Sekali lagi ia
bertemu dengan seorang penjaga. Ketika penjaga itu
melihatnya segera ia menyapanya, "Siapa?"
"Aku, Sumangkar."
"O, kau mau kemana?"
"Di mana Angger Sanakeling?"
"Kau dapat rusa untuknya?"
"Ya," sahut Sumangkar pendek.
"Di dalam kemah itu. Mereka menunggu Raden Tohpati."
Bagian 2 Sumangkar mengangguk. Kemudian ia meneruskan
langkahnya. Namun baru beberapa langkah ia mendengar
prajurit itu bertanya dengan nada yang aneh, "He, Sumangkar.
Siapakah itu?" Sumangkar berhenti sejenak. Kemudian jawabnya, "Inilah
yang sedang mereka tunggu."
"He?" tiba-tiba prajurit itu gematar. Mulutnya serasa
terbungkam dan dengan lemahnya ia tersandar pada
sebatang pohon di samping kemah Macan Kepatihan itu.
Sumangkar melihat betapa besar pengaruh hilangnya Macan
Kepatihan atas para prajurit Jipang. Mereka seakan-akan
kehilangan kekuatannya. Meskipun Macan Kepatihan seorang
saja tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa prajuritnya dan
para pejuang lain, namun pengaruh dan wibawanya seakanakan
telah mencengkam segenap hati anak buahnya.
Sumangkar tidak berkata apa-apa lagi kepada prajurit itu.
Sambil menundukkan kepalanya ia berjalan terus ketika ia
sampai di muka pintu, ia tertegun sejenak. Dilihatnya cahaya
obor memancar lewat pintu yang masih terbuka sedikit jatuh di
atas tanah yang kotor lembab.
Dengan ragu-ragu Sumangkar mendekat. Disentuhnya pintu
itu dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba ia mendengar suara dari
dalam pintu itu menyentak, "Kakang tohpati."
Sanakeling terlonjak ketika dilihatnya sebatang tongkat baja
putih menyentuh pintu. Dengan sebuah loncatan ia telah
mencapai pintu diikuti oleh beberapa orang lain. Tetapi ketika
ia melihat, siapa yang berdiri di muka pintu dan apa yang
dibawanya, maka serasa darahnya membeku. Dengan suara
yang serak parau ia berkata, "Paman Sumangkar, apakah itu
Kakang Tohpati?" Sumangkar mengangguk. Tetapi ia tidak mengucapkan katakata.
Ketika ia melangkahi tlundak pintu semua orang yang
berdiri di dalamnya, menyibak. Merekapun terdiam seperti
Sumangkar. Dengan mata terbelalak dan hati melonjak-lonjak
mereka melihat Sumangkar meletakkan tubuh itu di atas
sebuah amben bambu. Terdengar suaranya berderit seolaholah
sebuah goresan yang tajam berderit di jantung mereka.
Sesaat mereka berdiri tegak seperti patung. Semua mata
tertancap kepada tubuh yang terbujur diam. Pakaiannya masih
berwarna darah karena lukanya yang arang kranjang. Sedang
di tubuh Sumangkar pun darah itu meleleh membasahi
pakaian orang tua itu pula.
Ruangan itu menjadi sunyi senyap. Tak seorangpun yang
bergerak. Hanya hati merekalah yang bergelora, melonjaklonjak
menggapai langit seperti sebuah nyala api yang
membakar gunung. Yang terdengar kemudian adalah desir angin yang
menggerakkan dedaunan. Sekali-kali kilat memancar di langit,
disusul oleh suara guruh bersahut-sahutan. Perlahan-lahan,
namun semakin lama semakin keras.
Tetapi ruangan itu masih tetap sepi.
Hati mereka seakan-akan pecah ketika mereka mendengar
Sumangkar berkata sambil menunjuk tubuh Tohpati itu
dengan tongkatnya, "Inilah orang yang kalian tunggu."
Yang pertama-tama bergerak adalah Sanakeling. Selangkah
ia maju mendekati tubuh yang terbujur itu. Sambil menggigit
bibirnya ia menunduk mengamat-amati mayat yang sudah
membeku dingin. Sanakeling menarik nafas dalam-dalam.
Luka itu luka arang kranjang.
Tiba-tiba orang kedua sesudah Macan Kepatihan itu
menggeram seakan-akan ingin melontarkan tekanan yang
menghimpit dadanya. "Raden Tohpati terbunuh dengan luka arang kranjang karena
ingin menyelamatkan kita." desah Sanakeling. Wajahnya yang
ditimpa oleh sinar obor yang nyalanya bergerak-gerak
disentuh angin tampak menjadi tegang dan buas. Seperti
seekor serigala yang kehilangan anaknya, Sanakeling itu
menggeretakkan giginya sambil menghentakkan kakinya di
tanah. Kembali ruangan itu tenggelam dalam kesenyapan. Hanya
nafas-nafas mereka yang bekejaran terdengar seperti desah
angin di luar, yang menggetarkan dedaunan dan rantingranting.
Sekali-kali kilat memancar di langit dan kembali suara guruh
terdengar bersahut-sahutan. Namun kemudian sunyi kembali.
Tetapi tanpa sepengetahuan mereka, di luar gubug yang satu
itu, semakin lama semakin banyak orang-orang Jipang
berkumpul. Mereka mendengar dari prajurit yang melihat
Sumangkar membawa mayat Tohpati memasuki gubug itu.
Berjejal-jejal mereka ingin menyaksikan apakah yang
dikatakan oleh kawannya itu benar.
Sumangkar, Sanakeling dan orang-orang yang berada di
dalam gubug itu terkejut ketika mereka mendengar pintu
berderak karena desakan orang-orang di luar. Ketika mereka
berpaling, mereka melihat wajah-wajah yang kaku tegang.
Sanakeling yang dibakar oleh luapan kemarahannya itu memandang mereka dengan mata yang menyala. Seakan-akan dari matanya memancar dendam tiada taranya. Seakan-akan dari matanya itu memancar tuntutan atas kesetiaan orang-orang Jipang kepada pemimpinya itu. Sumangkar melihat mata yang menyala itu. Sumangkar menangkap apa yang terbersit dari pancaran itu.
Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Ia belum sempat
menyampaikan pesan terakhir Macan Kepatihan kepada
Sanakeling, kepada Alap-alap Jalatunda, kepada pemimipinpemimpin
Jipang yang lain. Kini tiba-tiba pemimpin-pemimpin
Jipang yang marah itu akan langsung berhadapan dengan
para prajurit yang pasti akan mudah sekali terbakar hatinya.
Dalam keadaan yang sedemikian, maka mereka dapat
melakukan kebuasan dan kebiadaban yang mengerikan.
Apalagi kini Macan kepatihan sudah tidak ada lagi. Tidak ada
lagi yang dapat mencegah mereka melakukah apa saja yang
mereka kehendaki. Apa saja yang mereka lakukan, apalagi
untuk mengungkapkan kemarahan kebencian, dendam,
bahkan untuk mengucapkan kegembiraan hati mereka,
mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak wajar.
Sepeninggal Arya Jipang, sepeninggal Patih Mantahun, maka
sebagian besar para prajurit Jipang telah kehilangan
pegangan. Seandainya pada saat-saat yang demikian itu tidak
ada Macan Kepatihan, maka mereka akan dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang sangat liar, sebab mereka sudah
kehilangan tujuan. Namun kemungkinan yang lain, bahwa
sebagian besar dari mereka justru akan meletakkan senjata
mereka, apabila mereka mendapat kesempatan dan jaminan
bahwa kepada mereka tidak akan diperlakukan di luar batasbatas
ketentuan yang ada. Dan kini Macan Kepatihan itu sudah tidak ada. Kemungkinan
yang demikian itu pasti akan berlaku lagi. Sebagian dari
mereka pasti akan melepaskan dendam mereka, kebencian
mereka dan perbuatan-perbuatan lain yang tanpa terkendali.
Namun sebagian dari mereka justru akan meletakkan senjata,
apabila mereka mendengar jaminan yang telah diucapkan
oleh Untara, senapati Pajang yang langsung mendapat
kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.
Kini tinggal bagaimana cara menyampaikan kepada sebagian
besar para prajurit Jipang itu. Kalau Sanakeling yang
berbicara kepada mereka, maka pasti yang akan
dikobarkannya adalah dendam dan benci. Akan dibakarnya
hati para prajurit itu. Dan hati merekapun segera akan
terbakar. Mereka akan bertebaran ke segala penjuru dengan
bara di dada mereka. Dan mereka dapat berbuat apa saja di
sepanjang perjalanan mereka. Mereka dapat menakut-nakuti
rakyat padesan. Bahkan mereka akan dapat melakukan
berbagai perkosaan atas sendi-sendi kemanusian.
Karena itu Sumangkar harus bertindak cepat. Mendahului
Sanakeling yang menjadi buas, karena melihat Macan
Kepatihan yang terbunuh dengan luka arang kranjang.
Tatapi selagi Sumangkar sedang menimbang-nimbang, maka
yang terdengar dahulu adalah suara Sanakeling, "He, para
prajurit Jipang yang berani. Kini kalian dapat melihat, betapa
biadabnya orang-orang. Pajang Pemimpinmu terbunuh
dengan luka arang kranjang."
Dada Sumangkar berdesir mendengar kata-kata itu. Kata-kata
itu adalah permulaan dari cara Sanakeling membakar hati
mereka. Dada Sumangkar itu semakin bergelora ketika sekilas
ia melihat mata yang menyala pada setiap wajah para prajurit
Jipang. Dalam sinar obor yang kemerah-merahan, maka
dilihatnya mata mereka seakan-akan melampaui panas api
obor itu. Kali ini Sumangkar tidak mau terlambat lagi. Karena itu maka
segera ia menyahut, "Ya. Lihatlah. Angger Macan Kepatihan
telah meninggalkan kita. Macan Kepatihan yang garang ini
telah bertempur untuk melindungi kalian, sehingga nyawanya
sendiri telah dikorbankan."
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang yang berdiri di samping mayat yang terbujur itu
diam. Dan mereka mendengar kata-kata Sumangkar itu
dengan hati yang penuh haru.
Namun Sumangkar masih melihat bara di wajah-wajah
mereka. Bara yang justru menjadi semakin panas.
Tetapi Sumangkar berkata terus, "Nah. Apakah yang akan
kalian lakukan sebagai balas budi yang tiada taranya itu?"
Sanakeling sendiri menatap wajah Sumangkar dengan gelora
yang hampir menghimpit jalan pernafasannya. Yang pertamatama
berteriak adalah Sanakeling sendiri, "Pembalasan !"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di luar gubug itu. "Ya.
Pembalasan. Pembalasan. Nyawa dengan nyawa. Darah
dengan darah." Sumangkar meredupkan matanya. Ia melihat tekad yang
menggelora. Namun di antara suara yang bergemuruh itu,
terdengar jantungnya sendiri berdentangan melampaui
gemuruh suara orang-orang di luar gubug itu.
"Bagus!" teriak Sumangkar. "Bagus. kalian harus melakukan
pembalasan." Sumangkar berhenti sesaat. Lalu diteruskannya,
"Apakah kalian masih memiliki kesetiaan kepada pemimpinpemimpinmu
ini?" Para prajurit Jipang itu serentak menjawab, "Tentu. Kami
masih memiliki kesetiaan yang utuh."
Sumangkar memandang berkeliling. Sanakeling, A1ap-alap
Jalatunda, orang-orang yang berdiri di dalam dan di luar
gubug itu. Dengan hati-hati ia berbicara terus, "He, orangorang
Jipang. Aku menunggu saat Angger Tohpati
menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Aku menunggu
saat-saat Raden Tohpati mengucapkan pesan-pesannya yang
terakhir. Nah, apakah kalian ingin mendengar pesan yang
terakhir itu?" "Ya. Kami ingin mendengar," sahut mereka serentak.
Sumangkar terdiam sesaat. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah
sudah tiba saatnya menyampaikan pesan terakhir itu" Apakah
dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan salah paham
pada para pemimpin Jipang yang masih ada"
Namun Sumangkar berjalan terus meskipun ia harus berhatihati
sekali. Katanya, "Pesan itu amat sulit kita lakukan."
"Biar apapun yang harus kami lakukan, kami tidak akan
gentar," sahut mereka serentak.
"Terlalu berat," seakan-akan Sumangkar bergumam kapada
sendiri. "Jangan memperkecil arti kami yang ada disini, Paman,"
berkata Sanakeling dengan mata menyala. "Apakah kau
sangka kami tidak mempunyai cukup keberanian untuk
melakukannya?" "Memang," sahut Sumangkar, "kesetiaan hanya dapat
diwujudkan dengan perbuatan. Bukan sekedar kata-kata dan
janji. Namun apa yang harus kita lakukan seakan-akan berada
di luar jangkauan kita semua. Bahkan selama ini belum
pernah terpikirkan, bahwa kita akan melakukannya."
"Ya, apakah menyerang jantung kota Pajang" Apakah kami
harus berusaha membunuh Adiwijaya" Atau kami harus
membalas dendam atas kematian Arya Penangsang dengan
berusaha membunuh Ngabehi Loring Pasar meskipun secara
diam-diam. Atau Untara, Widura" Apa" Apa yang harus kami
lakukan?" teriak Alap-alap Jalatunda.
Sumangkar menggeleng. Selangkah ia maju dengan tongkat
baja putihnya terayun-ayun. Cahaya yang berkilat-kilat
memantul dari tongkatnya itu berwarna kemerah-merahan,
seperti sinar obor yang dengan lincahnya menari di ujungujung
bumbung dan jlupak. "Kalian lihat tongkat ini?" berkata Sumangkar kepada orangorang
Jipang. Misteri Gunung Monster 1 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Gerhana Darah Biru 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama