Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Batu Karang 8

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 8


"Sudahlah Raden Ayu" kataku ke mudian aku akan pergi dan hentikan se muanya yang pernah Raden Ayu lakukan, mumpung belum ada seorangpun yang mengetahui dari keluarga tuan. Dari keluarga Ranakusuman, apalagi putera Raden Ayu yang meningkat dewasa itu" Aku tidak menghiraukannya lagi. Akupun segera pergi meninggalkannya. Meninggalkan Raden Ayu Galihwarit yang sering disebut Raden Ayu Sontrang itu, dan mayat seorang kumpeni di pinggir ja lan yang sepi. Aku tida k peduli lagi kepada sais yang aku sangka ketakutan itu" "Kenapa sekedar kau sangka?" tiba-tiba Kiai Danatirta bertanya. Ki Dipana la menarik nafas dala m-da la m. Dipandanginya Kiai Danatirta sejenak, lalu "Ceriteranya masih panjang kakang. Apakah kakang t idak me njadi je mu?" "Ceriterakanlah" berkata Kia i Danatirta ke mudian. Ki Dipanala me narik nafas dalam-dala m. "Aku ingin mendengar kelanjutan ceritera mu. Nanti saja kau makan hidangan yang ada. Sekarang kau berceritera terus" Ki Dipanala tersenyum. Namun dari matanya memancar perasaannya yang pahit mengenangkan apa yang pernah terjadi itu. "Jadi, aku sudah me mbunuh seorang kumpeni kakang" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya "Itulah yang ingin aku katakan. Jadi perwira kumpeni yang mati itu kaulah yang me mbunuhnya?" Ki Dipana la mengangguk. "Ternyata Raden me mbuka rahasia mu" Ayu Galihwarit benar-benar tidak
"Ya kakang. Raden Ayu Galihwarit tidak me mbuka rahasiaku. Ia tidak mengatakannya kepada siapapun. Dan
akupun me menuhi janjiku pula. Aku merahasiakannya. Tidak seorangpun yang pernah mengetahui ha l itu terjadi. Kepada kakangpun baru sekarang a ku mengatakannya" Ki Dipanahi berhenti sejenak, lalu "Agaknya sesuatu telah menggerakkan hati Pangeran Ranakusuma. Tetapi, meskipun ia mulai curiga, bahkan anak laki-lakinya itupun mula i bertanya-tanya tentang tabiat ibunya, namun Pangeran Ranakusuma itu masih saja me mbiarkannya berbuat demikian. Mungkin Pangeran itu ingin mene mukan bukti-bukti yang mantap" "Jadi Raden Ayu itu tidak sembuh meskipun kau pernah mene mukannya?" "Hanya untuk beberapa waktu. Tetapi penyakit, itu kambuh ke mbali. Na mun aku se mula tidak me mpedulikannya lagi. Aku tidak akan menca mpuri persoalannya. Jika aku me mbunuh orang asing itu, sama seka li bukan karena aku ingin menca mpuri persoalan Raden Ayu Galihwarit meskipun hatiku menjadi sakit sekali" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. "Dan sais itupun tidak mengatakan kepada siapapun juga tentang kau dan tentang Raden Ayu Sontrang?" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Sekarang tidak dapat berkata kepada siapapun juga " "Kenapa?" "la sudah mati" "Mati?" "Ya" "Apakah Raden Ayu Galihwarit menyuruh seseorang me mbunuhnya" mencurigainya dan
Sejenak Ki Dipanala termenung. Na mun ke mudian katanyala mbat "Akulah yang me mbunuhnya"
"Kenapa kau?" "Sais itu sebenarnya sama sekali tidak ketakutan ketika aku me mbunuh orang asing itu. Meskipun ia t idak me ngatakan kepada siapapun juga, namun ia me mpunyai maksud tertentu" Ki Dipanala berhenti sejenak "kakang, bukankah saat itu Surakarta menjadi ge mpar" Tetapi saat itu Raden Ayu Galihwarit mengatakan, bahwa ia tidak tahu menahu tentang pembunuhan itu. Tiba-tiba saja ketika orang asing itu mengantarkannya pulang seperti dipesankan oleh Pangeran Ranakusuma. ia sudah diserang oleh seseorang yang tidak dikenalnya" "Tetapi" Kiai Danatirta me motong "Apakah tidak seorangpun yang bertanya, kenapa kereta itu lewat jalan yang sepi di pinggir kota?" "Beberapa orang telah me ncuriga i sais itu kakang. Bahwa ia dengan sengaja telah mengumpankan perwira kumpeni itu. Mereka me mpertimbangkan, bahwa orang-orang yang duduk di dala m kereta, tidak mengetahui, jalan manakah yang sudah mereka lewati karena mereka tidak me mperhatikannya. Apalagi orang asing itu masih belum begitu mengena l jalanjalan di Surakarta. Tetapi Raden Ayu Ga lihwarit yang mence maskan nasibnya sendiri, bahwa sais itu akan berceritera tentang dirinya, mencoba me mbelanya. Menurut Raden Ayu Galihwarit, orang asing itu me mang ingin melihat beberapa bagian dari kita Sura karta" "Di mala m hari?" "Di siang hari ia tidak me mpunyai waktu lagi. Apalagi ma la m masih belum terla mpau larut" "Apa tidak ada seorangpun yang justru mencurigai Raden Ayu Galihwarit?" "Kumpeni-kumpeni itu yakin, kalau perempuan bangsawan itu dapat dipercaya"
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Lalu "Tetapi bagaimana sais itu ke mudian terbunuh" Apakah Raden Ayu Galihwarit mengupahmu?" Ki Dipanala mengge lengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak menerima upah dan aku me mang bukan seorang pembunuh. Tetapi agaknya Raden Ayu Galihwarit tidak mau me libatkan orang lain lagi di dala m persoalan ini. Itulah sebabnya ia datang kepadaku dan minta kepadaku, agar aku me mbunuh sais itu" "Apakah sais itu akan me mbuka rahasia?" Ki Dipanala mengangguk "Sa is itu menganca m akan me mbuka rahasia" "Ia me meras?" "Ya" "Barangkali itulah yang ditakutkan atasmu. Mungkin pada suatu saat kau akan me merasnya juga. Setelah sais itu, maka datang giliranmu untuk disingkirkan" Ki Dipanala benar" mengangguk-angguk. Jawabnya "Kakang
"Apakah sais itu me meras harta benda Ranakusuma n" "Jika de mikian, aku sudah berjanji untuk t idak menca mpuri persoalan itu. Tetapi sikapnya yang sangat menyinggung perasaan itulah yang membuat aku marah dan me mbunuhnya. Apalagi ia dengan sengaja melawan a ku. Karena itu, sebenarnya ia bukan seorang penakut yang gemetar melihat aku me mbunuh orang asing itu" "Jadi apa yang diperas?" "Itulah yang gila. Sais yang masih muda itu telah me meras Raden Ayu Galihwarit"
"Ya, tetapi apakah yang ingin didapatkannya dari Raden Ayu itu?" "Raden Ayu itu sendiri" "He" Kiai Danatirta jawaban Ki Dipanala. benar-benar terkejut mendengar
"Ya kakang. Yang diinginkan oleh sais itu adalah Raden Ayu Galihwarit yang meskipun lebih tua daripada sais itu, namun kesegarannya telah membuat sais itu menjadi gila. Sais itu ingin berbuat terlalu banyak atas Raden Ayu Galihwarit seperti orang asing yang telah a ku bunuh itu" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m sambil mengusap dadanya. Katanya "Apakah dunia ini benar-benar sudah hampir kia mat" Kenapa hal yang serupa itu dapat terjadi diatas bumi Surakarta ini" "Ya kakang. Itulah yang telah me mua kkan aku. Jika Raden Ayu Galihwarit menolak, maka ia akan me mbuka rahasia pembunuhan itu kepada kumpeni dan kepada Pangeran Ranakusuma serta me mbuka rahasia hubungan Raden Ayu Galihwarit dengan orang-orang asing yang banyak diketahuinya" "Dan kau percaya begitu saja" Mungkin itu hanya sekedar ceritera Raden Ayu Galihwarit untuk me ma ksamu me mbunuh sais itu" "Se mula a ku menyangka de mikian kakang. Tetapi ternyata tidak. Ketika hal itu aku tanyakan langsung kepada Raden Ayu Galihwarit, maka ia bersedia me mbukt ikan apa yang dikatakannya" "Apa yang sudah dilakukannya?" "Ia me mberitahukan kepadaku, apa yang harus dilakukannya untuk me menuhi niat sais yang gila itu. Sais itu akan menje mput Raden Ayu Galihwarit seolah-olah ia mendapat perintah dari kumpeni. Raden Ayu Galihwarit harus
berusaha agar ia pergi seorang diri tanpa emban atau pengawal seperti yang sering dilakukan jika ia dije mput oleh orang-orang asing dari rumahnya. Orang asing yang banyak me mberi harapan bagi Pangeran Ranakusuma dan banyak me mberikan kece merlangan bagi istananya, sehingga Pangeran Ranakusuma tidak dapat me larang, jika isterinya pergi mengunjungi pertemuan yang diselenggarakan oleh kumpeni, apalagi penyelenggaraan itu dilakukan di rumah para bangsawan pula" Ki Dipana la berhenti sejenak, lalu "Tetapi saat yang ditentukan itu sama seka li bukan atas perintah kumpeni tetapi atas kehendak sa is itu sendiri" "O. Dosa itu berke mbang begitu cepatnya" "Ya ka kang. Dan a ku harus me lindungi dosaku dengan dosa baru yang harus aku lakukan. Aku harus me mbunuh lagi" Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku harus menunggu di te mpat yang sudah ditentukan oleh sais itu sendiri me nurut petunjuk Raden Ayu Galihwarit, yang ternyata adalah sebuah pondok kosong milik orang tua sais yang gila itu. Di dala m pondok itu a ku harus menanti dengan hati yang berdebar" "Dan mereka datang?" Kia i Danatirta menjadi tidak sabar. "Ya. Ketika senja mulai turun aku mendengar derap kaki kuda. Justru sebelum gelap. Langit masih merah oleh sisa cahaya matahari yang tersangkut di tepi gumpalan awan yang mengapung di langit" Kiai Danatirta menarik nafas dala m-dala m. "Sebenarnyalah bahwa dada ini akan retak oleh ke muakan ketika aku mendengar mere ka mendekati pintu rumah sais yang kosong itu" Ki Dipana la berhenti sejenak. Ke mudian katanya "Silahkan Raden Ayu" berkata sais itu di luar pintu. Suaranya benar-benar me mbuat kepa la pening ka kang" Kiai Danatirta menahan nafasnya.
Dan Ki Dipana la meneruskan "Aku mencoba menahan nafas ketika aku mendengar pintu berderit terbuka. Dan aku dengar Raden Ayu Galihwarit mengumpat "Kau gila. Kau akan dibunuh oleh Pangeran Ranakusuma" Tetapi sais itu tertawa "Tuan tidak akan mengatakannya seperti yang dikatakan oleh pe mbunuh orang asing itu" "Gila, kau dengar perca kapan ka mi" "Aku dengar Raden Ayu" "Tetapi ka lau kau masih menggangguku, menyesal" berkata Raden Ayu itu. kau akan
"Kenapa tidak. Setiap saat kita dapat singgah ke rumah ini. Jika tuan puteri akan melayani orang-orang bule itu, tuan puteri akan aku persilahkan singgah dahulu. Bukankah aku berkulit sawo matang seperti Raden Ayu, dan orang-orang asing itu berkulit se merah kulit manggis dan jauh lebih kasar dari kulit ku" "Gila, kau me mang gila. Aku tidak mau berbuat gila seperti itu?" "Raden Ayu tidak me mpunyai pilihan la in" "O" terdengar Raden Ayu Galihwarit menahan tangisnya. "Jangan menangis Raden Ayu. Marilah kita hayati satusatunya pilihan yang dapat tuan puteri lakukan agar aku tidak menga mbil keputusan lain" "Kau lebih baik me mbunuh a ku " tangis Raden Ayu itu. "Silahkan duduk. Bukankah aku harus mengantar Raden Ayu kembali setelah gelap" Sebaiknya kita tidak me mbuang waktu" Aku mendengar suara Raden Ayu Galihwarit gemetar. Mulamula aku menjadi ragu-ragu untuk bertinda k. Mungkin Raden
Ayu itu me mang harus me nanggung dosanya dan mendapat hukuman karenanya. Tetapi aku tidak dapat menahan perasaan muak yang menyesak dada ini, sehingga karena itu, maka nafaskupun menjadi tersengal-sengal. Bahkan bukan saja perasaan muak. tetapi juga oleh kekhawatiran, bahwa apabila orang itu dikecewakan oleh Raden Ayu Galihwarit pada suatu saat, dimana puleri bangsawan itu sudah tidak dapat bertahan lagi mengala mi pemerasan yang paling parah itu, maka ia akan sampai pada suatu keputusan untuk me mbuka rahasia Raden Ayu Galihwarit dan rahasiaku sendiri. Sais yang gila itu tentu tidak akan me mpedulikan lagi, malapetakan apa yang akan aku alami dan kehinaan yang akan dihayati oleh Raden Ayu Galihwarit. meskipun jika Raden Ayu Galihwarit me mbuka rahasia tentang sais itu sendiri, ia akan dapat dihukum mati pula" Kiai Danatirta masih mengangguk-angguk. Tetapi terasa kulit di seluruh tubuhnya mere mang. Yang terjadi itu adalah hukuman yang pa ling la knat bagi Raden Ayu Galihwarit. "Dan kau tida k me mbiarkannya terjadi?" Ki Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Hatiku bagaikan terpecah-pecah. Aku tidak dapat membiarkannya terjadi. Ketika kegilaan sais itu menjadi se makin meretakkan dada ini, tiba-tiba saja aku sudah meloncat masuk ke ruangan itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit mengetahui bahwa aku ada di rumah itu pula, tetapi kehadiranku di ruang itu me mbuatnya terpekik kecil. Sejenak wajahnya menjadi merah. Namun ke mudian sepercik harapan tampak di matanya. Sais itupun terkejut bukan kepalang. Seperti yang aku duga. bahwa ia tidak akan menjadi ketakutan dan berdiri gemetar. Ternyata kehadiranku me mbuatnya marah bukan buatan.
"Kau" geramnya. "Akupun sudah dibakar oleh ke marahan yang meluap-luap, sehingga aku menjawab kasar Aku datang untuk menghentikan kegilaan ini" "Kau sudah me mbunuh orang asing itu. Apakah kau juga aku me mbunuh aku" sa is itu bertanya. "Ya" Tetapi ternyata orang itu tidak takut sama sekali. Bahkan iapun tertawa sambil berkata "Kau sangka aku menjadi ketakutan seperti yang kau lihat di bawah pohon pada saat kau me mbunuh orang asing itu" "Aku tida k peduli" "Jangan menyesal kalau kaulah yang akan mati. Me mang sepantasnya kau mati, supaya tidak ada orang lain yang akan me meras lagi kepada Raden Ayu Galihwarit, karena jika kau berhasil me mbunuh aku, maka kaulah yang akan me lakukannya" "Aku bukan binatang buas yang pantas diburu" Tetapi ia masih juga tertawa. Suara tertawanya yang tidak begitu keras itu me mbuatku se ma kin terbakar. Karena itulah maka a kupun ke mudian kehilangan penga matan diri. Apalagi tidak ada jalan yang me mang lebih baik dari me mbungka m untuk sela mala manya. Dengan de mikian, maka akupun berkata langsung kepadanya "Sekarang aku tidak me mpunyai pilihan la in. Me mbunuh kau atau aku akan terbunuh. Jika kau tetap hidup, artinya akan sama saja dengan kematian bagiku, karena kati tidak akan lagi menye mbunyikan rahasia yang pernah kau lihat itu" "Ya. Aku akan membunuhmu atau akan menyeretmu di belakang keretaku sehingga kulitmu akan terkelupas di sepanjang jalan kita ini. Bila kau masih hidup, maka
kumpenilah yang akan menyelesaikanmu meskipun terlebih dahulu luka-luka mu akan dibasahi dengan air gara m" Me mang mengerikan sekali jika hal itu benar-benar terjadi. Diseret di belakang kereta yang dilarikan kencang-kencang. "Nah, kau me mang tidak ada pilihan lain" katanya "dan Raden Ayu Galihwarit pasti akan tetap berdia m diri" Aku sudah tidak dapat menahan kemarahan di dala m dada. Tetapi aku masih dapat berpikir sehingga aku tidak mau tenggelam dala m kehilangan na lar karena ke marahanku. Meskipun aku sudah siap, tetapi aku tidak segera menyerangnya. Aku menunggu sa mpai orang itupun menjadi sangat marah dan akan lebih baik kalau sa is itulah yang kehilangan nalar dan bertempur dala m nyala ke marahan yang tidak terkendali. "Ayo, apa lagi yang kau tunggu?" katanya. "Kumpeni" jawabku "Bukankah kereta itu kereta seorang perwira kumpeni" Mungkin yang sudah mati aku bunuh, tetapi mungkin kereta orang lain. Tetapi pasti bukan keretamu sendiri. Orang yang me miliki kereta itu pasti akan mencarimu. Mereka pasti akan melihat kereta berhenti di pinggir jalan itu dan mencarimu ke rumah ini" "Aku akan se la mat. Raden Ayu Galihwarit tentu akan tetap dia m dan me lindungi aku" "Tida k. Raden Ayu Galihwarit sebenarnya dapat berterus terang saja kepada kumpeni karena se mua yang kau kehendaki masih belum terlanjur terjadi. Mereka tidak akan menya mpaikan rahasia itu kepada Pangeran Ranakusuma, karena mereka sendiri a kan terlibat di dala mnya. Dan sudah tentu bahwa karena kau terlampau banyak mengetahui, maka kaupun akan dibunuhnya juga" "Gila" Orang itu me nggeretakkan giginya.
"Jangan menyesal" "Persetan dengan kau. Apapun yang akan terjadi atasku tetapi niatku tidak boleh gagal. Kau akan aku bunuh, dan aku akan me laksanakan niatku. Aku tidak peduli kepada kereta itu dan kepada kumpeni yang akan mencarinya" "Omong kosong. Kau tidak akan berani mela kukan karena itu akan berarti ke matianmu" Orang itu termangu-mangu sejenak. Na mun agaknya ia telah benar-benar menjadi marah. "Aku akan segera me mbunuhmu" ia menggera m sa mbil me langkah maju. "Se makin cepat se makin ba ik" Dan tiba-tiba saja bahwa orang itu me narik sebuah pisau belati dari balik bajunya Raden Ayu Galihwarit mundur selangkah sa mbil me mbenahi pakaiannya. Kilatan pisau itu mendebarkan jantungnya. Ia mengharap bahwa aku dapat me menangkan perkelahian yang sebentar lagi tentu akan terjadi. Dengan demikian maka ia berharap dapat terlepas dari nafsu sais yang gila itu. "Tetapi apakah Dipana la tidak akan mela kukan kegilaan yang sama?" Raden Ayu Galihwarit mungkin bertanya kepada diri sendiri. Tetapi agaknya baginya aku masih lebih baik dari sais yang ganas itu. Selain ia me mang sudah mengena l diriku ini dengan baik, maka akupun adalah seorang, hamba istananya dan bekas seorang prajurit pula yang memiliki tingkatan yang tidak terlampau rendah. Sejenak ke mudian ma ka Raden Ayu Galihwarit me langkah semakin surut mele kat di sudut dinding ketika ia melihat sais itu me loncat menerka m aku sa mbil mengayunkan pisaunya. Tetapi aku sudah bersedia sepenuhnya. Bahkan ketika aku me loncat mengelak, aku telah menarik kerisku dari wrangkanya.
Sejenak kemudian terjadilah perkelahian yang seru. Ternyata sais itu bukannya sekedar seorang sais yang hanya pandai mengendalikan kuda. Ternyata ia adalah seorang yang mengenal dengan baik tata olah kanuragan, sehingga ia untuk beberapa lamanya ma mpu me ngimbangi ilmuku. Tetapi aku adalah bekas seorang prajurit yang pernah mendapat kepercayaan dari atasanku di medanmedan perang. Dengan bekal yang ada padaku, ternyata aku me miliki beberapa keunggulan. Meskipun orang itu me miliki ilmu yang sudah lengkap, tetapi ia masih jauh dari aneka warna pengalaman, sehingga masih banyak kesempatan bagiku untuk mene mbus pertahanannya. Demikianlah, ma ka akhirnya akupun sampai pada puncak dari perkelahian itu. Setelah aku mengetahui kele mahan dan kekuatan yang ada padanya, maka akupun segera berusaha mengakhirinya. Meskipun se mula terasa agak sulit, na mun akhirnya aku berhasil mendesak dan menguasainya sehingga saat-saat yang menentukan itu datang. Tiba-tiba saja sais itu menjadi pucat. Dengan suara Terbata-bata ia berkata "Apakah benar-benar kau akan me mbunuhku?"
Tidak ada kegilaan seperti perasanku pada saat itu. Aku sama sekali tidak lagi dapat mengekang diri. Meskipun sais yang tidak menyangka mendapat lawan yang dapat menga lahkannya itu benar-benar menjadi ce mas akan dirinya, namun aku tidak menghiraukannya lagi. "Jangan bunuh a ku" Aku masih mendengar suaranya. Tetapi aku tidak me mpunyai pilihan lain. Aku desak ia ke sudut dan aku tidak mau mendengar lagi ia berkata separah katapun. Karena itu, maka ketika aku me lihat mulutnya mula i bergerak di saat-saat yang paling menetukan, aku tida k mau menunggu. Sebuah tika man yang tepat telah menghunja m di dadanya. Yang terdengar kemudian adalah orang itu mengerang. Ketika aku menarik kerisku, iapun terjere mbab jatuh. Mati. Sejenak aku berdiri dengan tangan bergetar. Baru sesaat ke mudian a ku sadar, bahwa di ruang itu ada seorang perempuan yang ge metar ketakutan. Ketika aku me mandang sela-sela daun pintu yang tidak tertutup rapat, maka senjapun sudah menjadi se makin sura m. Ternyata aku tidak berkelahi terlalu la ma. "Raden Ayu harus segera kembali ke istana Ranakusuman" Aku berkata kepada perempuan itu. Aku sudah tidak begitu jelas lagi me lihat perubahan wajahnya di dala m keremangan ma la m yang sudah turun perlahan-lahan. "Bagaimana a ku akan pulang?" bertanya Raden Ayu. "Terserah kepada Raden Ayu. Tugasku sudah selesai" "Tetapi, apa yang dapat aku katakan kepada Pangeran Ranakusuma tentang diriku" "Terserah kepada Raden Ayu" "Tida k. Aku me merlukan pendapatmu"
Aku tidak peduli. Tetapi ketika aku me langkah pergi, Raden Ayu Ranakusuma telah menahanku, bahkan berpegangan lenganku. "Aku tidak dapat pulang sendiri dan aku tidak me mpunyai alasan untuk mengatakan sesuatu kepada Pangeran Ranakusuma " "Terserah kepada Raden Ayu. Itu bukan urusanku" "Dipana la, Dipanala. jangan tinggalkan aku sendiri di sini" tangisnya sambil berpegangan lenganku erat-erat. Untunglah bahwa aku sudah setua ini. Atau aku me mang bukan sejenis orang yang me miliki darah yang terla mpau panas, sehingga aku tidak mudah dibakar oleh nafsu yang gila itu meskipun Raden Ayu Ranakusuma agaknya sudah benarbenar kehilangan keseimbangan berpikir. Pada saat itu Raden Ayu Galihwarit pasti sudah kehilangan nalarnya sehingga untuk me mbawanya pulang dan menyerahkannya dengan selamat dan alasan-alasan yang dapat diterima oleh Pangeran Ranakusuma, apapun imba lannya pasti akan diberikan. Na mun justru karena itu aku menjadi se makin muak. Ha mpir saja aku le mparkan pere mpuan itu. Untunglah bahwa aku segera sadar, bahwa aku adalah hambanya. Aku adalah seorang abdi Ranakusuman. Karena itu, maka akupun mencoba untuk menenangkan diri dan pengendapkan perasaan. Dalam kere mangan yang semakin kela m aku masih me lihat sesosok tubuh yang terbujur di lantai bergelimang darah. "Antarkan aku pulang" se kali lagi aku mendengar tangis Raden Ayu Galihwarit. Akhirnya akupun berpikir, bagaimana me mbawa Raden Ayu itu ke mba li ke ruma hnya. "Marilah, hamba antar Raden Ayu pulang dengan kereta itu" Akupun ke mudian menga mbil keputusan.
"Tetapi apa yang akan aku katakan kepada Pangeran Ranakusuma?" "Raden Ayu dapat mengatakan apa saja" "Ya, tetapi apa" Dan kenapa tiba-tiba kau membawa kereta ini ke mbali ke Ranakusuman" Dan baga imana dengan mayat sais itu?" "Raden Ayu dapat mengirimkan utusan kepada orang yang me mpunyai kereta itu. Orang itu tentu akan berkata bahwa bukan dia yang menyuruh sais itu menje mput Raden Ayu" "Lalu kenapa kau yang membawa itu, dan kenapa sais itu mati?" "Sais itu menipu Raden Ayu" "Ia me mang menipu, maksudku bagaimana aku harus mengatakan?" me meras. Tetapi
"Sais itu menipu, ke mudian ingin mera mpok Raden Ayu. Ketika kereta ini dipacu. Raden Ayu me lihat ha mba di pinggir jalan. Raden Ayu berteriak me manggil, dan ha mba se mpat menghentikan kereta itu. Hamba bunuh saisnya dan hamba me mbawa Raden Ayu ke mbali" "Tetapi kenapa di rumah ini" "Ia mencoba berse mbunyi" "Lalu apakah a lasanmu bahwa kau berada di ja lan yang dilalui kereta ini" "Serahkan kepada ha mba" Sejenak Raden Ayu Galihwarit berpikir. Na mun ke mudian iapun berkata sambil mengangguk kecil "Baiklah. Mudahmudahan ka mas Ranakusuma tida k bertanya terlampau banyak" "Mudah-mudahan"
Raden Ayu Galihwaritpun ke mudian berjalan tertatih-tatih ke kereta yang masih ada di tepi jalan. Aku mengikutinya dengan hati yang berdebar-debar. Namun akupun mulai berpikir, apakah yang harus aku katakan kepada Pangeran Ranakusuma. Ternyata bahwa usaha Raden Ayu Galihwarit untuk me mbersihkan dirinya berhasil. Seorang kumpeni datang ke Ranakusuman sa mbil me maki-ma ki. Ia merasa menyesal bahwa keretanya telah dipergunakan oleh sais itu untuk mera mpok. "Untunglah bahwa usaha itu gagal" katanya dengan nada yang kaku. Kedatangan orang asing itu me mang me mpengaruhi sikap Pangeran Ranakusuma. Ia percaya bahwa isterinya telah tertipu dan aku yang kebetulan me lihatnya telah menolongnya. "Tentu sais itu pula yang menjebak kawanku, perwira yang terbunuh itu" berkata orang asing itu "Tetapi agaknya ia belum se mpat mera mpok saat itu. Sejak saat itu sebenarnya aku sudah curiga, tetapi Raden Ayu sendiri yang me ngatakan bahwa sais itu tidak bersalah" Demikianlah se mua kesalahan telah berhasil dile mparkan kepada sais yang mati itu. Dan akupun terlepas pula dari segala sangkut paut dan keterlibatan atas kematian sais itu. Sementara Raden Ayu Galihwaritpun berhasil menghindarkan diri dari ke marahan Pangeran Ranakusuma " Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya "Jadi itulah agaknya yang menjadi sebab, kenapa Raden Ayu Galihwarit t idak dapat berbuat apa-apa atasmu" "De mikianlah agaknya kakang" "Sayang, bahwa ia justru tidak mela kukannya karena ia merasa berterima kasih kepada mu. Jika demikian, ma ka ia
akan menghent ikan se mua ke lakuannya yang binal itu, dan berbuat baik kepada mu dengan jujur. Ternyata bahwa yang dilakukan justru kebalikan dari itu. Ia sa ma seka li tidak merasa menyesal dan bahkan me nganggap kau sebagai orang yang paling berbahaya baginya" "Ternyata demikian yang terjadi kakang. Meskipun di antara kami dengan dia m-dia m ada se maca m perjanjian, bahwa ka mi t idak akan sa ling me mbuka rahasia, na mun agaknya Raden Ayu Galihwarit menganggap bahwa dengan me mbunuhku, ma ka persoalannya menjadi lebih jernih. Ia akan berhasil melenyapkan se mua rahasia yang hanya aku ketahui, jika rahasia itu aku bawa mati seperti sa is itu pula" Kiai Danatirta masih mengangguk-angguk. Lalu katanya "Ternyata Raden Ayu Galihwarit adalah orang yang sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari yang aku duga. Ia sampai hati melakukan pe mbunuhan meskipun tida k dengan tangan sendiri. Sudah barang tentu bahwa nasib Raden Juwiringpun pada suatu saat terancam pula olehnya" "Ya ka kang. Ke mungkinan itu me mang dapat terjadi" Kiai Danatirtapun terdiam sejenak. Wajahnya yang tenang dan dalam itu t iba-tiba seakan-akan bergejola k. Tetapi hanya sejenak, karena sejenak kemudian maka perasaan yang me lonjak sesaat itupun segera dapat dikuasainya ke mbali. Namun de mikian bagi Dipanala masih ada persoalan yang dihadapinya. Setelah ia terlepas dari maut, lalu apakah yang akan dilakukannya" Karena itu, maka iapun ke mudian minta pertimbangan kepada Kiai Danatirta tentang persoalannya itu. Persoalan yang sangat rumit baginya. "Apakah aku masih akan ke mbali ke istana Ranakusuman kakang?" Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dala m. Me mang sulit bagi Ki Dipana la untuk menentukan sikap. Jika ia tidak ke mba li
ke Ranakusuman, ma ka Raden Ayu Galihwarit pasti akan menjadi semakin ce mas akan dirinya sendiri. Raden Ayu itu tentu menduga, bahwa Dipanala mengetahui bahwa ia telah berusaha me mbunuhnya. Dengan demikian, maka nafsu me mbunuh itu akan menjadi se makin bergejolak di dala m hatinya, dan sebelum ia berhasil, ia pasti tidak a kan berhenti, karena masalahnya akan menyangkut na manya dan kedudukannya. Apalagi keluarga Dipana la masih tinggal di belakang istana Ranakusuman, sehingga mungkin Raden Ayu yang garang itu akan melepaskan dendamnya kepada keluarga Dipana la, atau mempergunakan keluarga itu untuk me ma ksakan kehendaknya atas Dipanala. Tetapi jika ia ke mbali ke Ranakusuman, maka iapun akan berada di dala m bahaya. Namun setelah berpikir sejenak, Kiai Danatirta itu berkata "Sebaiknya kau ke mba li Dipanala?" Ki Dipanala me mandang wajah Kia i Danatirta yang dalam, itu. "Berbuatlah seolah-olah kau tidak mengetahui apa yang telah terjadi atasmu. Kau tidak usah menyinggung-nyinggung masalah itu sebagai masalah yang menyangkut keluarga Ranakusuman" "Tetapi bukankah Raden Rudira mengetahui, bahwa aku sudah mengala mi" Jika aku dia m sa ma sekali, apakah hal itu justru tidak mencuriga kan bagi mereka" "Maksudku, kau jangan menyinggung na ma penghuni Ranakusuman. Kau dapat melaporkan bahwa kau telah dira mpok di perja lanan. Kau dapat mengatakan apa yang terjadi. Tetapi kau tidak tahu siapakah yang lelah mela kukan itu" Ki Dipanahi mengangguk-angguk. "Na mun bagaimanapun juga, kau harus berhati-hati. Usaha itu tentu tidak akan berhenti sampai sekian. Semakin la ma kau
pasti dianggapnya sebagai orang yang semakin berbahaya bagi Raden Ayu Galihwarit" "Ki Dipana la mengangguk-angguk. la sadar sesadarsadarnya, bahwa kini ia benar-benar di da la m kesulitan, apapun yang dila kukannya. "Ki Dipanala" berkata Kiai Danatirta ke mudian "Aku adalah orang tua. Mungkin aku tidak me mpunyai kema mpuan apapun juga untuk me mbantumu. Tetapi karena sedikit banyak persoalan ini menyangkut hubunganmu dengan padepokan ini, maka jika kau se mpat, katakanlah kesulitan-kesulitanmu kepadaku" "Ah, kakang tidak terlibat. perbuatanku sendiri. Dan me mpertanggung jawabkannya" Semuanya adalah hasil aku me mang harus
"Tetapi ke marahan Raden Rudira kepadamu terutama karena kau telah menentang niatnya untuk me mbawa Arum. Bahwa ibu dan ayahnya mengurungkan niatnya untuk mendera mu di hala man Ranakusuman, bukannya karena mereka me larang, tetapi mereka takut jika kau me mbuka rahasia itu kepada setiap orang" Ki Dipana la mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Terima kasih kakang. Sebenarnyalah bahwa aku me merlukan perlindungan. Pada suatu saat mungkin aku me mang harus menyingkirkan keluargaku dari rumah yang sekarang aku dia mi" "Me mang mungkin mereka mengusirnya. mereka sudah berhasil me mbinasakan kau" Tetapi jika
"Bukan saja karena Raden Ayu Galihwarit ingin me mbunuhku. Tetapi kota Surakarta memang menjadi semakin panas. Pengaruh orang asing yang semakin la ma menjadi sema kin terasa menjerat kaki dan tangan kita sendiri, telah menumbuhkan persoalan baru. Beberapa orang Pangeran tidak menerima keadaan ini. Dan menurut Raden
Rudira yang baru datang dari Sukawati, aku mendengar bisikbisik di antara para pelayan dan hamba yang lain yang mendengarnya, bahwa keadaan Sukawati terasa sangat aneh. Rakyat Sukawati seakan-akan bukan lagi merupakan rakyat biasa seperti yang kita lihat di padukuhan-padukuhan la in. Rakyat Sukawati me mpunyai bentuknya tersendiri" "Bagaimana dengan rakyat Sukawati itu?" "Mereka me miliki sifat-sifat yang aneh. Seorang pengiring yang mengikut i Raden Rudira ke daerah Sukawati mengatakan bahwa ia seakan-akan masuk ke dala m suatu mimpi yang menggetarkan. Seakan-akan setiap orang di Sukawati adalah prajurit-prajurit yang siap untuk bertempur" "Tentu itulah sikap Pangeran Mangkubumi. Jika Raden Rudira mengatakan hal itu kepada ayahanda Pangeran Ranakusuma, maka kumpenipun tentu akan segera mendengarnya" "Tetapi Sukawati sudah siap menghadapi setiap ke mungkinan. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi ke mungkinan yang manapun jika Pangeran Mangkubumi me mang sudah bersikap de mikian" "Sebenarnyalah harapan kita tergantung kepadanya" "Menilik suasananya kakang, agaknya bagaikan bisul yang sudah masak. Entah pagi, entah sore, maka bisul itu akan segera pecah" "Apakah kau sudah merasakan?" "Ya ka kang. Baru-baru ini datang utusan kumpeni dari Semarang. Tentu ada persoalan yang akan berkembang lagi. Dan aku yakin bahwa hal itu pasti akan menyangkut persoalan Pangeran Mangkubumi dan segala kegiatannya" "Tentu kita tidak a kan dapat tinggal dia m. Jika angin bertiup ma ka kita harus bersikap. Tetap tegak atas
ke ma mpuan diri atau merunduk ke arah angin. Dan orang asing itu adalah angin yang sangat deras. Ki Dipanala mengangguk-angguk. Lalu katanya "Aku berada di padang ila lang" "Yang akan merunduk karena he mbusan angin" "Ya kakang. Aku mengetahui dengan pasti sikap Pangeran Ranakusuma " "Kau tida k dapat me mberikan pendapat" Bukankah sa mpai sekarang suaramu masih di dengar?" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Tetapi persoalannya hampir sa ma dengan persoalan Raden Ayu Galihwarit" "He?" Kiai Danatirta terkejut. "Tetapi bukan secara kebetulan. Pangeran Ranakusuma me mang me lakukannya dengan sengaja meskipun akhirnya ia terjerat oleh kebiasaannya itu. Aku pernah dijadikan penghubung antara Pangeran Ranakusuma dengan Raden Ayu Retnasasi" "Raden Ayu Retnasasi" Aku pernah mendengar na manya. Tetapi bukankan Pangeran Ranakusuma me mang beristeri lebih dari seorang?" "Jika Raden Ayu Retnasasi itu orang lain, maka persoalannya tidak akan terla mpau sulit. Pangeran Ranakusuma dapat mengawininya. Mungkin Raden Ayu Galihwarit akan marah, tetapi tidak akan bertahan la ma dan persoalannya akan berkembang seperti yang pernah terjadi. Tetapi yang lebih parah adalah karena Raden Ayu Retnasasi adalah adik kandung Raden Ayu Galihwarit sendiri" "He, itupun suatu kegilaan yang berlebih-lebihan" "De mikianlah keadaan istana Ranakusuman"
"Jika terjadi sesuatu dengan Raden Ayu Retnasasi apakah yang dapat dilakukan oleh Pangeran Ranakusuma?" "Tida k apa-apa. Raden Ayu Retnasasi sudah bersuami" "O" Kiai Danatirta me mijit-mijit keningnya sa mbil mengge leng-geleng le mah "Bukan main. Aku ingat sekarang. Raden Ayu Retnasasi agak berbeda dari kakaknya Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang. Raden Ayu Retnasasi bertubuh kecil, tetapi lincah seperti burung sikatan" "Ya. Begitulah kira-kira" "Ternyata keluarga yang tampaknya menyilaukan itu, agaknya adalah keluarga yang rapuh sekali. Pada saatnya akan datang kekecewaan yang mencengka m se isi ruma h itu" "Termasuk aku kakang, karena akupun sudah terlibat begitu jauh dari seluruh persoalan yang ada di istana itu" "Tetapi kau dapat menyingkir Dipanala" "Terla mbat kakang. Aku harus mempertanggung jawabkan semua yang pernah aku lakukan selama aku berhubungan dengan Keluarga itu. Bahkan hampir saja aku digilasnya. Tetapi agaknya lambat laun hal itu akan terjadi juga, karena mereka tentu t idak a kan berhenti berusaha" "Tetapi kau tidak akan sekedar menundukkan kepala sambil mengacukan ibu jarimu untuk me mpersilahkan mereka me mengga l lehermu. Apalagi kau me miliki senjata yang dalam keadaan yang paling berbahaya masih dapat kau pergunakan" Ki Dipana la menarik nafas dala m-dala m. "Na mun adalah kewajibanmu untuk berusaha melindungi dirimu sendiri. Kau me ma ng harus berhati-hati sekali" "Kali ini agaknya Pangeran Ranakusuma belum terlibat dalam usaha untuk me nyingkirkan aku. Tetapi la in kali. mungkin ia lah yang melakukannya, dan tentu jauh lebih cermat dari usaha isterinya"
Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula, tetapi ia t idak menyahut, sehingga dengan de mikian keduanyapun berdia m diri untuk beberapa saat lamanya. Dala m pada itu, mala mpun menjadi se ma kin mala m. Angin yang dingin berhe mbus me nyentuh kulit. Di kejauhan terdengar derik bilalang bersahut-sahutan disela-sela rintih angkup yang sa mar-sa mar. "Sudahlah" berkata Kia i Danatirta ke mudian "beristirahatlah. Kau tentu le lah setelah menyelesaikan perjalanan yang kurang menyenangkan itu. Apalagi kau masih harus berkelahi" Ki Dipana la tersenyum. Jawabnya "Terima kasih kakang" "Tidurlah di gandok kiri" "Terima kasih" Ketika Ki Dipanala berdiri bersama-sa ma dengari Kiai Danatirta, maka ia berkata "Aku akan me mbawa anak panah itu kembali besok. Aku akan berpura-pura tidak tahu, siapakah pemilik anak panah itu, dan aku tidak akan mengatakan bahwa Buntal terlibat dala m perkelahian ini. Kiai Danatirta tersenyum pancinganmu mengena" "Cobalah, mudah-mudahan
Demikianlah maka keduanyapun ke mudian meningga lkan pendapa. Ki Dipanala pergi ke gandok kiri. sedang Kiai Danatirta masuk ke ruang da la m. Ternyata bahwa kedua anak-anak muda itu sudah tidur. Juwiring tidur sambil me megang bajunya yang dilepasnya. Agaknya ia merasa udara terlalu panas ma la m itu, sedang Buntal pun juga t idak berbaju. Sambil mengangguk-angguk Kiai Danatirta meningga lkan bilik itu. Ia berhenti ketika ia melihat bilik Arum masih terbuka
sedikit. Dari celah-celah pintu itu ia me lihat Arum terbaring di pembaringannya. Tetapi agaknya ia masih belum tidur. Arum terkejut ketika ia mendengar pintu itu berderit perlahan-lahan. Dengan cekatan ia meloncat bangkit. Namun gadis itupun menarik nafas dala m-dala m ketika ia me lihat Kiai Danatirta berdiri di muka pintu. "Ayah mengejutkan aku" gadis itu bersungut-sungut. Kiai Danatirta tersenyum. Kemudian ia bertanya "Kenapa kau belum tidur?" "Belum ayah. Udara panas sekali mala m ini" "Kau me mikirkan kiriman itu" Bukankah kau mendapat kirima n khusus dari Raden Ayu Ranakusuma, di samping kirima n-kiriman yang lain" "Ah" desis gadis itu. "Kain itu tentu bagus sekali" "Ah" sekali lagi Arum berdesis. "Tidurlah" berkata Kiai Danatirta ke mudian. Arumpun segera me mbaringkan dirinya. Ia hanya berpaling sambil tersenyum ketika ia melihat ayahnya menutup pintu biliknya rapat-rapat. Sejenak ke mudian Kiai Danatirtapun masuk pula ke dala m biliknya. Tetapi seperti Ki Dipanala, maka orang tua itu tidak segera dapat tertidur. Angan-angannya berterbangan mengitari setiap persoalan yang seakan-akan saling susul menyusul dengan cepatnya. Arum, Juwiring, Buntal, Sura, Dipanala ke mudian tentang Surakarta dan kumpeni. Menjelang dini hari, barulah Kiai Danatirta dapat tidur sejenak. Karena sebentar kemudian ayam jantan telah berkokok saling sahut menyahut.
Dala m pada itu, Raden Rudira dan Mandra masih berada di simpang e mpat di luar kota. Mereka duduk sambil berbincang, meskipun keduanya tampak ge lisah. "Kenapa sa mpai gagal, Mandra?" bertanya Rudira gera m. "Aku tidak menyangka Raden. Tetapi menurut pengamatanku ada seseorang yang ikut serta dalam perkelahian itu" "Ya" "Apakah mengetahuinya?" Raden
Raden Rudira mengge lengkan kepalanya. Katanya "Dari mana aku tahu. Di da la m mala m gelap dan jarak yang tidak terla lu de kat" "Tetapi Raden dapat me mbidik dengan tepat" aku hanya wajahnya" me merlukan "Untuk me mbidik seseorang bentuknya. Bukan garis-garis
"Tetapi apakah Raden tidak keliru?" "Aku yakin tidak. Aku adalah pe mburu yang baik" "Ya. Raden adalah seorang pemburu yang baik" guma m Mandra mudah-mudahan Dipanala tidak mengetahui apakah yang sebenarnya lelah terjadi" "Lalu apa yang akan kita katakan kepada ibunda?" "Apa yang ada saja tuan. Mungkin usaha ini harus diulangi."
Raden Rudira merenung sejenak, lalu tiba-tiba saja ia berkata "Kenapa kau suruh cucurut-cucurut itu mela kukan tugas yang penting ini Mandra, sehingga kita telah me lewatkan kese mpatan yang bagus ini" "Maaf Raden. Aku kira mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Tetapi jika tidak ada orang lain yang ikut ca mpur aku kira Dipanala sudah terbunuh" "Aku harus tahu siapakah orang itu" "Dari siapa tuan akan tahu?" Raden Rudira merenung sejenak. Na mun ke mudian katanya "Dipana la pasti akan kembali ke Ranakusuman. Ia akan berceritera tentang perjalanannya" "Apakah jika ia mengetahui bahwa kita terlibat di dala mnya ia masih juga a kan ke mba li?" Raden Rudira tidak segera menyahut. Namun sekali lagi ia menggera m "Kau me mang terla mpau bodoh untuk me milih orang" "Aku minta maaf Raden" Raden Rudira menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian iapun berguma m seperti kepada diri sendiri "Mudah-mudahan Dipanala ke mbali ke Ranakusuma n. Ia akan berceritera, siapakah yang me mbantunya" "Mudah-mudahan Ranakusuman" ia masih berani ke mbali ke
"Ia harus ke mbali" bentak Raden Rudira "Jika ia t idak ke mbali, berarti ia mengetahui bahwa kita sudah terlibat. Dan itu berbahaya sekali. Kita harus me mburunya ke mana ia pergi dan me mbunuhnya" "Ya, ya Raden. Kita harus me mbunuhnya"
"Tetapi apa yang sekarang harus kita lakukan?" Raden Rudira menahan ke marahan yang masih bersarang di dadanya. Tetapi ia tidak mau menyakiti hati Mandra agar iapun tida k berkianat. "Marilah kita ke mbali. Tuan akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi" Raden Rudira menarik nafas dalam. Lalu "Marilah kita segera kembali. Mudah-mudahan kita masih mene mukan jalan yang sebaik kali ini, agar kita tidak usah me mburunya seperti me mburu kijang di hutan perburuan itu. Keduanyapun ke mudian dengan lesu pergi ke kuda mereka yang tertambat di pohon perdu. Dengan lesu pula mereka me loncat naik dan berja lan me masuki kota Surakarta. Kota yang masih lengang itu udaranya terasa sangat panas sepanas hati mereka karena kegagalan yang diala minya untuk yang kesekian kalinya. "Pada suatu saat aku harus berhasil" geram Raden Rudira di dala m hati "Jika besok Dipanala ke mbali dan menyebut orang yang me mbantunya itu, aku akan segera menga mbil sikap. Sebaiknya tida k tanggung-tanggung" Dala m pada itu, semala m suntuk Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak dapat tertidur sekejappun. Dengan gelisah ia menunggu kedatangan puteranya yang mengawasi tugas orang-orang yang mencegat Dipanala. Semakin dekat fajar menyingsing. Raden Ayu Galihwarit menjadi sema kin ce mas. Jika terjadi sesuatu dengan Raden Rudira dan rahasia itu dapat diketahui oleh Dipanala, maka orang itu pasti akan me mbuka segala rahasianya pula, meskipun itu akan berakibat mati bagi Dipanala, karena dalam keadaan yang me ma ksa Raden Ayu Galihwarit pasti akan me mbuka rahasia Dipanala pula, karena Dipanala sudah me mbunuh seorang perwira kumpeni.
Tetapi jika Pangeran Ranakusuma dan terlebih-lebih anak laki-lakinya ini mendengar rahasianya, maka iapun pasti akan terhina untuk sela ma-la manya. Ia akan tersisih dari pergaulan yang wajar para bangsawan dan ia pasti akan diusir dari Ranakusuman. Meskipun Pangeran Ranakusuma adalah seorang bangsawan yang tidak terla mpau ketat me megang kebiasaan yang berlaku bagi isteri-isterinya, karena hubungannya yang luas dengan orang-orang asing, namun apakah ia akan dapat membiarkan isterinya berbuat terlampau jauh. Dan apakah kata putera laki-lakinya tentang dirinya?" Kegelishan itu me muncak ketika ayam jantan sudah mulai berkokok bersahut-sahutan menje lang pagi. Na mun Raden Rudira dan Mandra masih juga be lum ke mbali. Dala m kegelisahan yang tidak tertahankan lagi, maka Raden Ayu Galihwaritpun segera bangkit dan keluar dari biliknya. Beberapa orang abdi melihatnya dengan heran. Tidak menjadi kebiasaan Raden Ayu Galihwarit bangun terla mpau pagi, karena ia adalah seorang pere mpuan bangsawan yang menda mba kan ka mukten yang berlebih-le lbihan, sehingga sama sekali t idak terlintas di dala m angan-angannya untuk berbuat sesuatu yang dianggapnya dapat merendahkan martabat kebangsawanannya. Seperti orang yang sedang dicengka m oleh kebingungan yang sangat. Raden Ayu Galihwarit duduk di ruang depan, meskipun ia belum me mbenahi dirinya. Dan hal itupun adalah di luar kebiasaannya, la belum keluar dari biliknya sebelum ia yakin bahwa ia sudah me njadi sangat cantik. Raden Ayu Galihwarit tersentak ketika ia melihat regol terbuka. Yang, pertama dilihatnya adalah kepala seekor kuda yang tersembul dari sela pintu. Na mun Raden Ayu Galihwarit sudah mengenal kuda itu baik-baik. Kuda itu adalah kuda puteranya Raden Rudira.
Karena itu, ma ka Raden Ayu Galihwaritpun segera berdiri dan melangkah dengan tergesa-gesa ke tangga depan. Demikian Raden Rudira masuk, maka iapun segera me manggilnya. Raden Rudira berpaling mendengar suara ibunya. Dan iapun segera berbelok ke tangga pendapa Ranukusuman diikuti oleh Mandra. Dengan tidak sabar Raden Ayu Galihwarit menyongsong kedatangan anaknya. Hampir berlari-lari ia turun tangga dan berdiri di bawah kuncung. Demikian Raden Rudira me loncat dari kudanya, ibunya segera bertanya "Bagaimana?" Raden Rudira menarik nafas dala m-dala m. Seka li ia berpaling kepada Mandra. na mun orang itu sedang menundukkan kepa lanya dala m-dala m. "Bagaimana?" sekali lagi Raden Ayu Galihwarit berdesis. "Aku berhasil mengawasi mereka ibu" jawab Raden Rudira. "Sst, jangan terlampau keras. Ayahanda masih tidur di dalam biliknya. Ia tidak boleh mengetahui rencana ini" Raden Rudira mengangguk. Na mun terasa tenggorokannya bagaikan tersumbat. Ternyata terlampau berat baginya untuk mengatakan kegagalannya. Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Ketika ibunya mendesaknya, maka iapun harus menceriterakan apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba saja wajah Raden Ayu Galihwarit yang gelisah itu menjadi pucat. Dengan suara yang terputus-putus ia bertanya "Jadi, jadi Dipanala itu masih hidup?" "Ya. Aku menyesal sekali bahwa aku gagal lagi kali ini"
"Bodoh sekali. Kenapa kalian tidak berhasil me mbunuh kelinci yang a kan dapat menjadi sebuas serigala itu?" "Sekarang ka mi gagal ibu. tetapi percayalah bahwa pada suatu saat ia akan mati. Akulah orang yang paling mendenda mnya. Akulah yang akan selalu berusaha me musna kannya" "Jangan menunggu ia menerka m aku" "Kenapa dengan ibu?" bertanya Raden Rudira. Pertanyaan itu telah mengejutkan Raden Ayu Galihwarit. Namun dengan tergesa-gesa ia menyambung "Tidak. Maksudku, menerka m kita se muanya. Ia akan dapat berkhianat seperti Sura" "Ibunda dan ayahanda terlalu me manjakannya. Aku sudah ingin menderanya dengan rotan sa mbil mengikatnya pada pohon sawo kecik itu. Tetapi ayahanda dan ibunda me larangnya" Dada Raden Ayu Galihwarit me njadi se ma kin berdebardebar. Katanya "Itu tidak bija ksana. Jika didengar oleh Pangeran-Pangeran yang lain, maka kita seakan-akan menjadi orang yang paling keja m di Surakarta" Raden Rudira menarik nafas dala m-dala m. "Tetapi orang itu harus dimusnahkan" guma m Raden Ayu Galihwarit. Lalu "Kenapa bukan Dipana la saja yang kau bunuh dengan panahmu. Jika kau berhasil me mbidik orang itu, kaupun pasti berhasil me mbunuh Dipanala" "Tetapi orang yang tertangkap itu akan sangat berbahaya ibu. Ia dapat mengatakan siapakah yang menyuruhnya" "Orang itupun kau bunuh pula" "Itulah yang sulit. Orang yang berkelahi di pihak Dipanala itu me mpunyai kese mpatan untuk menyeretnya dan me mukulnya hingga pingsan. Ke mudian menyembunyikannya
di balik tanggul. Tentu aku tidak dapat mendekatinya, agar aku tidak dapat dikenai oleh orang yang me mihak Dipanala itu, karena aku be lum pasti dapat me mbunuhnya" "Siapakah orang itu?" "Aku tida k mengenalnya di da la m gelap dan jarak yang tidak cukup de kat" Raden Ayu Galihwarit menundukkan kepalanya. Persoalan itu justru me mbuatnya semakin ge lisah. Na mun tiba-tiba saja ia menggera m "Tetapi orang itu harus dibunuh. Segera" Ketika ia menyadari keadaannya, ia menyambung "Jika tida k, maka semua keinginanmu pasti akan diha lang-halanginya. Sebenarnya aku tidak berkeberatan jika kau menga mbil gadis itu Mungkin ia berguna bagiku dan bagimu. Apa salahnya kau menga mbil seorang gadis padepokan, karena kau putera seorang Pangeran?" Ternyata kata-kata itu berhasil me mba kar hati Raden Rudira, sehingga iapun menyahut "Ya. Ia akan aku bunuh segera. Jika aku tidak berbuat cepat, ma ka gadis itu akan menjadi selir ka mas Juwiring, karena mereka tinggal bersamasama di padepokan itu" Raden Ayu Galihwarit tidak menghiraukan kata-kata itu. Baginya yang penting ada lah, Dipanala terbunuh. "Jika Dipanala ke mbali, ia tentu akan berceritera tentang orang yang menolongnya itu" berkata Raden Rudira ke mudian. "Apakah mungkin orang yang selalu kau sebut-sebut sebagai petani dari Sukawati itu?" bertanya ibunya. Dada Raden Rudira berdesir. Namun iapun ke mudian menjawab "Tentu bukan. Ia memerlukan waktu untuk menga lahkan lawan-lawannya. Tentu tidak demikian dengan petani dari Sukawati itu. Dengan gerak yang sederhana ia
berhasil me maksa Sura untuk menyerah dan tidak berdaya lagi" "Ya, Dipanala akan berceritera. Tetapi apakah ia akan berani ke mba li ke mari?" "Ia tidak tahu bahwa akulah yang me mbunuh tangkapannya. Jika ia tidak ke mbali ke mari, artinya ia mengetahui rahasia ini" "O" Raden Ayu Galihwarit menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Kenapa ibu?" "Aku kasihan kepada mu. Jika ia tahu akan rahasia ini, maka nama mu akan terce mar" "Jangan hiraukan. Aku dapat menyebutnya sebagai fitnah belaka karena ia tidak akan dapat me mbuktikannya" Raden Ayu Galihwarit menganggukkan kepalanya. Namun ke mudian ia menundukkan wajahnya dala m-da la m. "Sudahlah ibu" berkata Rudira "Jangan hiraukan lagi. Aku akan menyelesaikan se muanya. Sekarang aku akan menyingkirkan kuda ini" Raden Ayu Galihwarit mengangguk pula meskipun terasa hatinya menjadi se makin parah. Tetapi ia masih me mpunyai harapan bahwa Rudira akan segera menyelesaikannya. "Tentu Dipanala t idak mengetahui bahwa yang me mbunuh tangkapannya itu adalah Rudira" berkata Raden Ayu Sontrang di dala m hatinya. Demikianlah Raden Rudira dan Mandrapun me ningga lkan Raden Ayu Galihwarit. Sejenak Raden Ayu itu masih berdiri di tempatnya. Namun ketika dilihatnya seorang juru taman menyapu hala man, maka iapun segera menyadari keadaannya. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke ruang dalam. Sejenak ia berdiri di muka bilik sua minya. Dari se la-sela pintu
ia melihat di pe mbaringan di sebelah pintu itu, Pangeran Ranakusuma masih terbaring dia m. "Ka mas Ranakusuma masih tertidur. Tetapi pintu biliknya sudah terbuka. Tentu ia sudah pergi ke pakiwan dan tidak rapat menutup pintu biliknya" pikir Raden Ayu Galihwarit. Tetapi Raden Ayu Galihwarit terkejut ketika ia mendengar suara suaminya yang masih berbaring "Masuklah" Perlahan-lahan Raden Ayu Galihwarit me langkah ma ju. Hatinya yang gelisah menjadi se ma kin gelisah. "Apakah Pangeran Ranakusuma pembicaraanku dengan Rudira?"Ia bertanya sendiri. mengetahui kepada diri
Ketika Raden Ayu Galihwarit sudah berdiri di depan pintu dalam bilik, Pangeran Ranakusumapun segera bangkit. Sambil duduk di bibir pe mbaringannya ia bertanya "Kau bangun terlalu pagi hari ini, apakah ada sesuatu yang penting?" Raden Ayu Galihwarit mengge lengkan kepalanya. Jawabnya "Tida k ka mas. Tetapi tiba-tiba saja. aku menjadi ge lisah. Biasanya aku melepaskan Rudira pergi berburu dengan hati yang tenang" "Apakah anak itu pergi berburu?" Raden Ayu Galihwarit mengangguk. "Berbeda dengan kebiasaannya, ia membawa beberapa orang pengiring" "Aku sudah bertanya kepadanya. Tetapi kini ia me mperguna kan cara lain. Orang yang berjumlah se ma kin banyak, akan mengganggu binatang buruannya" "Apakah ia me ndapat sesuatu?" Raden Ayu Galihwarit menggeleng. Jawabnya "Tidak"
Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Katanya "Akhirnya sama saja. Dengan atau tidak dengan pengiring, ia tidak mendapat seekor kelincipun" Raden Ayu Galihwarit tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk untuk menyembunyikan getar di dala m hatinya. "Dima na Rudira se karang?" "Di belakang, ka mas" "Tingkah lakunya menjadi se makin aneh sekarang. Dahulu ia berburu di mala m hari. Kadang-kadang dua tiga mala m ia berada di hutan buruan. Bahkan dahulu ia sering me mbawa seekor rusa atau Setidak-tidaknya kulitnya, jika rusanya sudah dimakan bersa ma pengiring-pengiringnya di tengah-tengah hutan. Tetapi akhir-akhir ini ia tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Menurut penilaianku ia adalah seorang pembidik yang baik. Tetapi ia ma las sekali mengikut i buruannya" Raden Ayu Galihwarit tida k menyahut, la ingin segera diperkenankan meningga lkan suaminya yang masih tetap duduk di bibir pe mbaringannya. Raden Ayu Galihwarit menarik nafas lega ketika Pangeran Ranakusuma berkata "Apakah kau akan mandi?" mandi" "Ya ka mas, aku belum
"Mandilah. Suruhlah seseorang menyediakan air panas buatku" "Baiklah Pangeran" sahut Raden Ayu Galihwarit sa mbil bergeser surut.
Tetapi ketika ia sampa i di pintu Pangeran Ranakusuma me manggilnya sa mbil bertanya "Apakah Dipanala sudah ke mbali?" "Sepengetahuanku belum ka mas" jawab Raden Ayu Galihwarit dengan dada yang semakin berdebar-debar. Rasarasanya lantai yang dipija knya menjadi panas. "Kenapa belum?" "Bukankah sudah menjadi kebiasaannya bermala m di padepokan itu" Bahkan pernah ia berma la m sa mpai dua ma la m berturut-turut" Pangeran Ranakusuma mengangguk. Lalu katanya "Mandilah" Dengan tergesa-gesa Raden Ayu Galihwaritpun segera meninggalkannya sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya lebih banyak lagi. Dala m pada itu, selagi Raden Ayu Galihwarit ke mudian sibuk me mpercantik dirinya. Sementara itu di padepokan Jati Aking Ki Dipanalapun sedang berkemas, ia benar-benar ingin ke mbali ke Ranakusuman, justru secepat-cepatnya. "Aku tiba-tiba saja ingin segera menghadap Pangeran Ranakusuma berdua. Aku ingin tahu kesan di wajah mereka ketika mereka melihat kehadiranku. Juga anak laki-la kinya itu apabila ia berada di istananya" guma m Dipana la sambil mengusap leher kudanya. Kiai Danatirta yang berdiri sarribil bersilang tangan berkata "Tetapi hati-hatilah Dipanala. Banyak hal yang tidak terdugaduga dapat terjadi. Tetapi juga mungkin karena kita salah menilai keadaan" "Ya ka kang. Aku akan selalu berhati-hati"
"Bukan saja karena keadaan di Ranakusuman sendiri, tetapi keadaan Surakarta pada umumnya. Jika terjadi huru hara, cobalah menghubungi ka mi di padepokan ini. Tetapi kau juga harus menjaga dirimu, karena dala m keadaan yang demikian, kesempatan untuk me mbunuhmu tanpa perkara akan menjadi semakin besar. Tidak ada orang yang sempat mengurus ke matianmu jika benar-benar pecah perartg karena ketidak puasan yang sudah tidak lagi dapat tertahan di dada beberapa orang Pangeran yang justru berpengaruh" "Ya ka kang. Aku akan mencoba" "Ki Dipanala. Apakah tidak sebaiknya keluarga mu sajalah yang lebih dahulu kau singkirkan?" "Aku juga berpikir demikian kakang, tetapi tentu tidak segera agar tidak menumbuhkan kecurigaan bahwa aku akan me larikan diri karena percobaan pe mbunuhan yang gagal ini" Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Tentu aku tidak a kan berkeberatan jika kau bawa keluarga mu ke mari. Arum akan mendapat kawan yang sebaya" Ki Dipanala menarik nafas dalami. Katanya "Terima kasih kakang. Kau terlalu baik terhadapku, terhadap keluargaku dan terhadap momonganku, Raden Juwiring" "He, apa yang sudah aku lakukan?" bertanya Kiai Danatirta. Ki Dipana la tersenyum. Mereka ke mudian terdia m ketika Juwiring datang mende kat. Sambil tersenyum ia berkata "Biarlah aku me masang pelana kuda pa man. Agaknya paman sedang dicari oleh Arum" "Kenapa?" bertanya Ki Dipanala. "Makan pagi telah tersedia" Ki Dipanala tertawa. Dan Kiai Danatirtapun ke mudian me mpersilahkannya masuk ke ruang da la m.
Setelah makan pagi, ma ka Ki Dipanalapun segera minta diri kepada Kiai Danatirta dan ketiga anak-anak muda yang mengantar mereka sa mpai ke regol hala man. Dengan wajah yang cerah Ki Dipanala berkata "Aku akan ke mbali ke Ranakusuman. Mudah-mudahan aku segera mendapat tugas serupa, me mbawa Barang-barang yang lain lagi ke mari" Juwiringpun tertawa pula. Katanya "Tetapi paman harus me mbawa beberapa orang pengawal agar paman tidak dira mpok orang di perjalanan. Tentu Buntal tidak dapat setiap hari menunggu kedatangan pa man di sawah" Yang mendengar kata-kata Juwiring itupun tertawa pula. Buntal bahkan menyahut "Aku akan menyongsong paman ke Surakarta jika aku tahu kapan pa man akan datang, dan apakah pa man me mbawa kain lurik berwarna cerah buatku" Ki Dipanalapun tertawa pula, meskipun ia tida k dapat menyingkirkan debar dadanya karena peristiwa yang telah terjadi itu. "Tetapi pa man tidak usah me mbawa apa-apa lagi buatku" berkata Arum ke mudian. "Kenapa" Kain itu pe mberian Raden Ayu Galihwarit. Apakah kain itu kurang baik buatmu?" "Bukan kurang baik, tetapi terlalu baik. Dan apakah pemberian itu tidak menyimpan pa mrih apapun" Ki Dipana la tersenyum. Jawabnya "Aku tidak tahu. Tetapi jika aku yang diberinya, aku akan menerima nya dengan senang hati, apapun pamrih yang tersimpan di dala m hatinya. Asal aku tida k goyah dari sikap dan pendirianku" "Itulah yang namanya me manfaatkan keadaan" sahut Kiai Danatirta sambil tertawa. Demikianlah, maka ketika matahari se makin tinggi dan panasnya terasa mulai menggigit kulit, Ki Dipanalapun meninggalkan padepokan Jati Aking. Dipacunya kudanya
menyusur jalan persawahan yang dilaluinya pada saat ia datang ke padepokan itu. Ketika ia sa mpai Di tempat ia dicegat beberapa orang perampok yang sekaligus akan me mbunuhnya itu, maka iapun berhenti. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang berada di sawah masing-masing, maka iapun me mbiarkan kudanya minum seteguk di parit di pinggir jalan, sementara ia me mperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ternyata di sebelah parit induk yang agak besar terdapat gerumbul-gerumbul perdu diatas tanggul. Namun agaknya tanggul itu cukup lebar untuk berpacu diatas punggung kuda. "Dari sana anak panah itu dilepaskan" Ia berguma m. Lalu "Ketika Buntal me mburunya sambil berloncat-loncatan, mereka lari ke kuda mereka yang ditambat di balik gerumbulgerumbul itu dan berpacu menjauh" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Disentuhnya sebuah batu di pinggir jalan dengan kakinya. Di situlah orang yang berpakaian petani dengan tutup kepala yang lebar itu duduk menunggunya. Tetapi ternyata orang itu telah dibinasakan oleh Raden Rudira sendiri. Sejenak kemudian barulah Ki Dipana la meloncat ke punggung kudanya dan meneruskan perjalanannya kemba li ke istana Ranakusuman. Tetapi setiap kali ia terngiang pesan Kiai Danatirta "Hati-hatilah" -ooo0dw0ooo(Cersil, Silat Mandarin) http://zheraf.wapamp.com/
Jilid 7 KI DIPANALA menarik nafas dala m-dala m. Di perjalanan Ki Dipanala tidak terla lu sering beristirahat meskipun ia tidak berpacu terlalu cepat. Sekali-sekali ia berhenti sejenak untuk me mberi kese mpatan kudanya beristirahat. Apalagi ketika ia sudah mendekati kota. Kudanya berjalan semakin la mban. Ia berharap bahwa apabila ia datang di istana Ranakusuman, Pangeran Ranakusuma sudah ada di istana, jika Pangeran itu pergi menghadap Susuhunan. Karena itulah maka ketika ia mendekati regol Ranakusuman matahari sudah condong jauh ke Barat, meskipun panasnya masih terasa menyengat kulit Meskipun sejak ia me masuki kota ia sudah berusaha mengatur perasaannya, namun ia masih merasa berdebardebar juga ketika ia berdiri di depan regol yang terbuka. Dengan agak ge metar ia meloncat turun dari kudanya dan menuntunnya masuk ha la man.
Para penjaga regol mengangguk sambil menyapanya. Salah seorang bertanya "Kau berma la m di padepokan itu?" "Ya" jawab Ki Dipanala. Lalu yang lain "Kau bawa ubi manis atau ge mbili?" Ki Dipanala mencoba terserryum. Jawabnya " Sayang, aku tidak se mpat. Aku datang lewat senja, dan pagi-pagi aku sudah berangkat lagi" "Seharusnya kau me mbawa ge mbili ungu. Manisnya bukan ma in" Ki Dipana la masih saja tersenyum, na mun ia t idak menjawab. Debar jantungnya terasa justru menjadi sema kin keras sehingga sejenak ia masih saja berdiri di regol sa mbil termangu-mangu. Namun ke mudian hatinyapun menjadi bulat. Apapun yang akan dihadapi. Karena itu, maka iapun me langkah maju sambil menuntun kudanya. Ki Dipanala terkejut ketika ia mendengar suara seorang perempuan menyapanya. Ketika ia berpa ling dilihatnya Raden Ayu Galihwarit berdiri di pintu butulan. "He, kau sudah pulang Dipanala?" Ki Dipanala mengangguk dala m-dala m sa mbil menjawab "Ya Raden Ayu. Baru saja ha mba datang" "Ke marilah" Panggil Raden Ayu Galihwarit. "Apakah ha mba diperkenankan mena mbatkan kuda ini?" "Ikat saja pada pohon itu. Ke marilah" Ki Dipanala menjadi sema kin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat me mbantah. Diikatnya kudanya pada sebatang pohon soka putih yang tumbuh di hala man sa mping, dan dengan hormatnya ia mendekati Raden Ayu Galihwarit
Dadanya berdesir ketika ia melihat di belakang Raden Ayu itu berdiri anak laki-la kinya. Raden Rudira. Ketika Ki Dipanala berjalan mende kat, maka Raden Ayu Galihwaritpun masuk ke ruang dala m dan duduk menghadap pintu, sementara Ki Dipanala merayap naik tangga dan ke mudian duduk bersila di lantai di hadapan Raden Ayu Galihwarit. Raden Rudira yang kemudian masuk ke ruang itu pula berdiri di sisi ibundanya. Dengan tajamnya. dipandanginya Ki Dipanala yang me nundukkan kepalanya dala m-dala m. "Bagaimaha. kabar kepergianmu ke padepokan Jati Aking?" bertanya Raden Ayu Galihwarit. "Ha mba telah mela kukan tugas ha mba sebaik-baiknya Raden Ayu. Hamba telah sa mpai ke padepokan Jati Aking" "O" Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. "Apakah kau sudah berte mu dengan Juwiring?" Lalu
Namun sebelum Ki Dipanala menjawab, ia mendengar suara dari ruang da la m "Suruh Dipanala ke mari" Raden Ayu Galihwarit mengerutkan keningnya. Tetapi ia kenal betul, bahwa suara itu adalah suara Pangeran Ranakusuma sehingga ia tida k dapat lagi me mbantahnya. "Menghadaplah" berkata Raden Ayu Galihwarit. Ki Dipanalapun ke mudian bergeser sambil berjongkok bagaikan merayap masuk ke ruang dala m menghadap Pangeran Ranakusuma yang duduk dengan wajah yang buram, se mentara Raden Ayu Galihwarit me ngikutinya di belakang, dan yang ke mudian duduk di sisi Pangeran Ranakusuma. Tetapi Rudira tida k ikut masuk ke ruang da la m. Bahkan dengan wajah bersungut-sungut ia berjalan keluar mene mui Mandra di hala man belakang.
"Dipana la sudah datang" bisiknya di telinga Mandra. "O. apakah yang dikatakannya kepada Pangeran" "Aku tidak tahu. Ibunda duduk bersama ayahanda. Lebih baik a ku menyingkir" Mandra mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Kita menunggu perintah Raden Ayu" Dala m pada itu, Dipanala yang menghadap Pangeran Ranakusuma duduk tepekur. Ia tidak berani mengangkat wajahnya sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu kepadanya. Baru sejenak ke mudian terdengar suara Pangeran Ranakusuma "Apakah se mua kiriman ka mi sudah kau sampaikan?" "Sudah Pangeran. Hamba sudah sampai di padepokan Jati Aking. Ha mba sudah bertemu dengan Kiai Danatirta dan Raden Juwiring" "Baik. Mereka tentu senang me nerima kiriman itu. Barangkali ka li ini adalah kiriman ka mi yang paling banyak sejak ia berada di padepokan itu" "Ha mba Pangeran" "Dan apakah kirimanku untuk Arum juga sudah kau sampaikan?" bertanya Raden Ayu Galihwarit. "Sudah Raden Ayu. Hamba sudah menya mpaikannya langsung kepada anak itu" "Apa katanya?" "Anak padepokan itu belum pernah melihat kain sebagus itu sehingga ia menjadi kagum karenanya. Bahkan hampir tidak dapat mengerti, bahwa ada kain yang sebagus itu" Raden Ayu Galihwarit tersenyum sa mbil menganggukangguk. Tetapi hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Kain
itu seharusnya tidak sampai ke tangan Arum. Ka in itu seharusnya merupakan hadiah khusus bagi penyamunpenyamun yang berjanji akan me mbunuh Ki Dipana la "Dan uang itu?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Se muanya sudah ha mba sa mpaikan. Raden Juwiring dan Kiai Danatirta beserta anak perempuannya mengucapkan beribu-riibu terima kasih atas ke murahan Pangeran" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak berprasangka apapun terhadap perjalanan Dipanala. Karena itu maka ia tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan iapun ke mudian berkata "Baiklah. Beristirahatlah. Kau sendiri tentu akan mendapat bagianmu juga" "Ha mba telah menerimanya sebelum ha mba berangkat Pangeran" "Itu masih belum cukup. Aku a kan mena mbah besok" "Terima kasih Pangeran. Hamba mengucapkan beribu-ribu terima kasih" "Kau boleh Ranakusuma. pulang sekarang" berkata Pangeran
"Tetapi tuan, apakah ha mba diperkenankan me mberitahukan apa yang terjadi di perjalanan yang baru saja hamba jalani" "He?" "Maafkan ha mba Pangeran, bahwa ha mba akan sekedar berceritera. "Tentang apa?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Tentang perjalanan hamba lakukan" yang baru saja hamba
"Tentu perjalanan yang menarik sekali" potong Raden Ayu Galihwarit, namun diteruskannya "sebenarnya Pangeran
Ranakusuma sudah akan beristirahat. Karena itu aku tidak menghadapkan kau kepada Pangeran, jika Pangeran sendiri tidak me manggilmu karena aku tidak mau mengganggunya. Simpanlah ceritera mu itu untuk besok atau lusa apabila Pangeran tidak sedang sibuk atau akan beristirahat seperti sekarang ini" "O" Ki Dipanala menjadi kecewa. Tetapi ia masih menunggu perintah Pangeran Ranakusuma. Sejenak Pangeran Ranakusuma berpikir. Lalu katanya "Sebenarnya aku me mang ingin tidur sebentar. Tetapi baiklah, katakan apa yang kau a la mi" Hati Raden Ayu Galihwarit menjadi berdebar-debar. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Rudira, jika Dipana la menuduh Rudira telah me mbunuh pera mpok itu, maka Dipanala harus dapat me mbuktikannya. Jika tidak, maka ia justru dapat dianggap me mfitnahnya. Karena itu Raden Ayu Galihwarit tida k dapat mencegahnya lagi. Mau t idak mau ia harus mendengar apa yang akan dikatakannya. Tetapi jika Dipanala itu berceritera sa mpai kepada ceritera yang paling dirahasia kannya, maka se muanya pasti akan menjadi kacau. "Pangeran" berkata Dipanala ke mudian "ternyata bahwa perjalanan hamba kali ini mengala mi sebuah gangguan yang hampir saja menewaskan ha mba" "He" Pangeran Ranakusuma terkejut mendengar ceritera Dipanala itu, sehingga ia tergeser maju "Apa yang kau katakan?" "Empat orang penyamun telah menunggu ha mba di bulak Jati Sari. Tidak jauh lagi dari padepokan Jati Aking" "Penyamun?" Ki Dipanala Pangeran" mengangguk sa mbil menjawab "Ha mba
Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi tegang. Sementara itu Ki Dipana la mencoba untuk menila inya, apakah Pangeran Ranakusuma benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi. Namun menilik sikapnya, agaknya Pangeran Ranakusuma benar-benar tidak terlibat di da la mnya. Ketika Ki Dipanala mencoba me mandang wajah Raden Ayu Galihwarit, tampaklah wajah itu menjadi merah. Na mun sejenak kemudian terdengar Raden Ayu itu bertanya "Bagaimana mungkin penyamun itu menunggumu di bulak Jati Sari?" "Ha mba tidak me ngerti Raden Ayu, tetapi sebenarnyalah hamba telah ditunggu oleh e mpat orang penyamun. Apakah penyamun itu sengaja menunggu ha mba atau tidak, hamba sama sekali tidak tahu. Tetapi yang hamba heran, penyamun itu mengetahui bahwa ha mba me mbawa Barang-barang dan sekedar uang ke padepokan Jati Aking" "Ah, aneh sekali" sahut Raden Ayu Galihwarit. "Apakah di bulak itu me mang sering terjadi hal serupa itu menurut ceritera orang-orang Jati Sari?" bertanya Pangeran Ranakusuma. Ki Dipanala menggelengkan kepalanya "Tidak Pangeran. Bulak itu adalah bulak yang aman. Bahkan seluruh daerah Jati Sari hampir tidak pernah lagi terdengar kerusuhan apapun yang terjadi" Pangeran Ranakusuma merenung sejenak. Ceritera itu ternyata sangat menarik perhatiannya. "Tetapi" Raden Ayu Galihwaritlah yang berkata kemudian "sekarang kerusuhan me mang mulai menjalar. Orang-orang yang tidak tahu diri berusaha menentang persahabatan antara orang-orang asing itu dengan bangsa sendiri. Mereka yang berjiwa kerdil menganggap bahwa persahabatan itu merugikan diri sendiri"
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m. "Tetapi ha l itu masih belum terasa sampa i ke padepokan Jati Aking Raden Ayu" Sahut Dipanala. "Mungkin baru sekarang kerusuhan itu mulai, dan kau adalah korban yang pertama. Dengan alasan yang dibuatbuat, seolah-olah orang-orang itu mencoba menegakkan harga diri, na mun sebenarnya mereka hanya sekedar menumbuhkan keributan dan akibatnya mereka dengan leluasa dapat melakukan kejahatan" Terasa dada Ki Dipanala berdesir. Kata-kata itu sama sekali tidak dapat diterima oleh perasaannya. Namun ia tidak me mbantahnya, karena kata-kata itu diucapkan oleh Raden Ayu Galihwarit di hadapan Pangeran Ranakusuma yang berkuasa di lingkungan istana Ranakusuma ini. Pangeran Ranakusuma sendiri tida k menyahut. Na mun ke mudian ia justru bertanya "Tetapi bukankah kau berhasil me lepaskan diri dari tangan para penya mun itu?" "Ya Pangeran. Hamba terpaksa berkelahi me lawan mereka. Tetapi karena hamba hanya seorang dan hamba tidak lebih hanya bersenjatakan sebilah keris yang pendek ma ka hamba hampir saja tidak dapat melihat sinar matahari yang terbit di pagi hari ini dan ha mba tidak akan dapat menghadap Pangeran sekarang ini" "Jadi" Kenapa kau masih hidup?" "Seseorang telah menolong ha mba" "Siapa?" bertanya Raden Ayu Galihwarit dengan sertamerta. Seperti Raden Rudira, ma ka iapun ingin seka li mendengar na ma orang yang telah me nolong Dipanala itu. Sejenak Dipanala berpikir. Na mun ke mudian ia mengge lengkan kepalanya sa mbil berkata "Sayang Raden Ayu, hamba tida k mengenal orang itu. Ha mba hanya me lihatnya sepintas di da la m gelap, dan ia adalah seorang petani"
"Petani dari Sukawati itu?" bertanya Pangeran Ranakusuma dengan wajah tegang. "Ha mba tidak dapat mengatakan dengan pasti. Mala m sudah terlampau gelap, dan hamba tidak mendapat kesempatan untuk berbicara terlampau la ma, karena orang itu segera meninggalkan ha mba" "Kenapa ia segera pergi?" Ki Dipanalapun lalu menceriterakan bahwa orang yang menolongnya itu berhasil menangkap seorang dari para penyamun itu, tetapi sayang, sebuah anak panah telah me mbunuh penya mun itu. "Orang itupun ke mudian me mburu orang yang melepaskan anak panah itu Pangeran" berkata Dipanala ke mudian "dan hamba tidak berte mu lagi sa mpai sekarang, sehingga hamba masih belum se mpat mengucapkan iterima kasih" "Tida k mungkin" tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit me mbantah "Kau tentu tahu siapa orang itu" Ki Dipanala menjadi terheran-heran. Dipandanginya Raden Ayu Galihwarit dan Pangeran Ranakusuma berganti-ganti. "Kalau orang itu tidak mengenalmu dan sebaliknya, tentu ia tidak akan menolongmu. Dan di daerah yang jauh terpencil itu tentu tidak banyak orang yang ma mpu me mberikan pertolongan kepada mu me lawan para pera mpok itu" Ki Dipanala masih juga terheran-heran. Lalu jawabnya "Ampun Raden Ayu. Hamba benar-benar tidak tahu. Dan apakah salahnya jika ha mba tahu siapa kah yang menolong hamba itu mengatakan kepada Raden Ayu dan Pangeran Ranakusuma?" Wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi gelisah sejenak. Namun ke mudian sa mbil me ngangguk-angguk ia berkata le mbut "Sebenarnya aku ingin tahu siapakah orang itu. Ia sudah menyela matkan kau dan barang-barang yang kami
kirimkan ke padukuhan Jati Sari. Seharusnya kamipun mengucapkan terima kasih dan sekedar hadiah baginya dengan tulus" "Ya" sahut Pangeran Ranakusuma mengucapkan terima kasih kepadanya" "Ka mi wajib
Ki Dipana la mengumpat di dala m hati. Ada saja alasan yang lapat diberikan oleh Raden Ayu Galihwarit untuk me mbayangi sikapnya. Hampir saja ia berhasil me mancing sikap Raden Ayu itu sehingga me nimbulkan kecurigaan Pangeran Ranakusuma, tetapi ada juga cara untuk mengaburkannya. Namun dala m pada itu, Ki Dipanala masih be lum mengatakan se muanya yang telah dipersiapkannya. Masih ada satu persoalan lagi yang akan dikatakannya. Karena itu maka katanya kemudian "Pangeran, hamba akan berusaha untuk mene mukan orang itu. Me mang Di te mpat terpencil tidak banyak orang yang dapat membantu ha mba berkelahi me lawan e mpat orang perampok. Tentu tidak banyak petani yang memiliki ke ma mpuan serupa itu di Jati Sari. Hanya petani-petani di Sukawati sajalah yang me miliki ke ma mpuan demikian" Ki Dipana la berhenti sejenak, lalu "ternyata bahwa petani dari Sukawati itu pulalah yang pernah ikut ca mpur dalam persoalan putera-putera tuanku di bulak Jati Sari beberapa waktu yang lalu" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Tetapi Raden Ayu Galihwarit berkata "Tidak se mua petani di Sukawati. Tentu hanya satu dua orang yang kebetulan me miliki ke ma mpuan serupa itu, seperti juga satu dua orang Jati Sari" "Mungkin juga de mikian Raden Ayu?" sahut Ki Dipanala "dan karena itulah ha mba akan mencarinya untuk mengucapkan terima kasih hamba sendiri dan pernyataan terima kasih dari Pangeran berdua"
"Kau harus segera mene mukannya" berkata Raden Ayu Galihwarit "supaya ia tidak se mpat menganggap ka mi sebagai orang yang tidak mengena l terima kasih" "Tetapi itu bukan salah ka mi" Pangeran Ranakusumalah yang menjawab "Ia sengaja merahasiakan dirinya" "Belum tentu. Mungkin ia mengejar orang yang. me lepaskan anak panah itu sa mpa i jarak yang jauh. Ketika ia ke mbali Dipanala sudah meninggalkan te mpatnya" "Seandainya demikian, itupun bukan salah ka mi pula. Ia tentu tahu bahwa semuanya itu terjadi karena ketidak sengajaan" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Ia sadar bahwa pembicaraan itu seakan-akan merupakan pe mbicaraan yang tidak mapan. Masing-masing mencari kele mahan dan mencoba menye mbunyikan kenyataan yang sebenarnya diketahuinya, kecuali Pangeran Ranakusuma yang kadang-kadang menjadi bingung mendengar pe mbicaraan itu. Dala m pada itu Raden Ayu Galihwaritpun menjawab pula "Tetapi bukankah lebih cepat akan menjadi lebih ba ik Pangeran?" "Ya, me mang lebih cepat lebih baik" lalu katanya kepada Dipanala "Bukankah lebih cepat lebih baik Dipanala?" "Ya Pangeran. Hamba akan mencarinya secepat-cepatnya. Lebih cepat me mang lebih ba ik "Ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi ha mbapun akan mencari pera mpok-perampok yang berhasil melarikan diri itu. Ha mbapun akan mencari orang yang me mbunuh pera mpok yang telah tertangkap itu. Hamba tahu bahwa orang yang melepaskan anak panah itu tentu me mpunyai sangkut paut dengan penyamun yang terbunuh itu" "Ya. Itu dapat dimengerti. Orang itu tentu sekedar ingin menghilangkan jejak"
"Atau dengan tujuan lain yang tidak kita mengerti" Raden Ayu Galihwarit me motong "Tetapi bagiku Dipanala, mencari orang yang telah menolongmu itu jauh lebih pent ing dari mencari pe mbunuh itu. Sebenarnya kita tidak bersangkut paut dengan pembunuh itu. Apalagi kau sudah dapat ke mba li dengan sela mat" "Tentu tidak" Pangeran Ranakusuma lah yang menjawab "Ia masih tetap berbahaya bagi Dipanala. Lain kali, jika Dipanala pergi ke Jati Aking, ia akan mengala mi keadaan yang serupa jika orang itu masih belum diketemukan" Raden Ayu Galihwarit me narik nafas dala m-dala m. Dengan dada yang berdebar-debar ia mengikuti pe mbicaraan selanjutnya. Dan Ki Dipana lapun berkata "Pangeran, sebenarnyalah hamba me mpunyai bahan untuk me mulainya, mencari orang yang melepaskan anak panah itu. Walaupun terlampau kecil dan barangka li kurang cukup untuk sa mpai pada orang yang aku cari itu" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun Raden Ayu Galihwaritlah yang menjadi sangat berdebar-debar dan ce mas. "Apakah yang Ranakusuma. kau punyai?" bertanya Pangeran
"Apakah ha mba dapat menga mbilnya tuan?" bertanya Ki Dipanala. "Ambillah. Aku ingin me lihatnya" Ki Dipanalapun ke mudian bergeser surut dan turun ke halaman samping menga mbil barang yang dikatakannya. Kemudian sa mbil menjinjing sebuah anak panah ia menghadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit ke mbali. "Inilah yang dapat hamba bawa Pangeran. Anak panah inilah yang telah me mbunuh penya mun itu. Anak panah ini
adalah satu-satunya landasan yang dapat hamba pakai untuk mene mukan siapakah pembunuh penyamun itu yang seperti tuan katakan, bahwa pembunuh itu tentu tersangkut dalam usaha perampokan itu" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya, sedang wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang. "Berikan anak panah itu" berkata Pangeran Ranakusuma. Ki Dipanalapun bergeser maju untuk menyerahkan anak panah itu. Anak panah yang masih dikotori dengan noda-noda darah yang sudah kering. Ketika Pangeran Ranakusuma, melihat anak panah itu, tibatiba saja jantungnya serasa menghentak-hentak. Tangannya menjadi gemetar dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Sebagai seorang ayah yang sering ikut serta dalam kesenangan anaknya yang paling dimanjakannya, Pangeran Ranakusuma dapat mengenal anak panah itu meskipun belum pasti, karena pada umumnya setiap anak panah telah diberinya ciri tersendiri sebagai suatu kebanggaan. Anak panah yang ke mudian dipegang oleh Pangeran Ranakusuma itu adalah anak panah yang pernah dikenalnya dengan ciri-ciri yang jelas pada warna dan garis-garis yang melingkar. Warna kuning e mas di pangkal anak panah itu dan sebuah guratan pada bedornya. Guratan yang tidak terdapat pada anak panah yang lain sela in jenis anak panah itu. Bukan saja Pangeran Ranakusuma, tetapi Raden Ayu Galihwaritpun menjadi pucat. Jika Dipanala dapat mengenal ciri-ciri anak panah itu, maka ia akan mendapat rint isan jalan untuk mene mukan pe mbunuh itu. Raden Ayu Galihwarit tidak begitu me ngerti akan ciri-ciri anak panah puteranya. Tetapi ia tahu bahwa ciri-ciri itu pasti ada karena puteranya dapat membedakan antara anak panahnya dengan anak panah pe mburu-pe mburu yang lain apabila kebetulan mereka berbareng pergi ke hutan perburuan.
Namun Raden Ayu Galihwarit tidak dapat mengatakan apapun juga. Ia hanya menunggu saja, apa yang akan diperbuat oleh Pangeran Ranakusuma. Ki Dipanala yang me mperhatikan wajah-wajah itu dapat meraba, bahwa sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma dapat mengenali anak panah itu meskipun ia belum mengatakannya. Sedang kecemasan yang me mbayang di wajah Raden Ayu Galihwaritpun me mpunyai kesan tersendiri pada Ki Dipanala, sehingga ia ha mpir pasti bahwa yang terjadi adalah seperti yang diduganya. Dan iapun hampir pasti bahwa rencana pembunuhan itu hanya dibuat oleh Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira di luar pengetahuan Pangeran Ranakusuma. Pangeran Ranakusuma masih dengan tegang menga matamati anak panah yang kemudian sudah di tangannya. Namun ia tidak mengatakan sesuatu tentang anak panah itu. "Pangeran" Ki Dipanala yang mula-mula berkata "Apakah Pangeran dapat mengenal ana k panah itu" Jika Pangeran dapat mengenalnya, maka pe mbunuh itu akan segera dapat dikete mukan" "Bodoh se kali" tiba-tiba Pangeran Ranakusuma me mbentak. Wajahnya menjadi merah pada m. Dengan anak panah itu ia menunjuk hidung Ki Dipanala sambil berkata "Kau sangka aku seorang cucuk yang melayani para bangsawan yang sedang berburu, sehingga dengan demikian aku dapat mengenal anak panah yang beratus-ratus jenisnya itu" Dan alangkah bodohnya jika kau berpikir bahwa pe milik anak panah inilah yang telah me mbunuh penyamun itu. Tentu siapapun juga dapat me mperguna kan anak panah yang manapun. Mungkin satu dua anak panah jenis ini tertingga l di hutan perburuan. Orang yang menemukan anak panah itu dapat saja mempergunakan untuk berbuat apa saja. Hanya orang gila sajalah yang percaya dan pasti bahwa pe mbunuh itu adalah pe milik anak panah ini"
Ki Dipanala yang ditunjuk hidungnya bergeser sejengkal surut. Namun ke mudian ia me mberanikan diri berkata "Pangeran. Memang de mikianlah ke mungkinan itu dapat terjadi. Tetapi kemungkinan seperti yang ha mba katakanpun dapat pula terjadi. Karena itu, apakah salahnya jika anak panah itu ha mba simpan dan ha mba jadikan bukt i dala m pengusutan. Seandainya tuduhan itu salah, maka bukankah tertuduh belum menja lani hukuman apapun juga" "Tuduhan adalah hukuma n yang paling keji bagi orang yang tidak bersalah. Karena itu, anak panah ini sa ma seka li tidak ada gunanya dan tidak ada harganya sebagai barang bukti" Adalah di luar dugaan Dipanala bahwa dengan wajah yang seakan-akan terbakar Pangeran Ranakusumapun ke mudian me matahkan anak panah itu menjadi potongan-potongan yang kecil. Menghancurkan bulu-bulu dijuntainya dan me le mparkannya ke sudut ruangan. "Pangeran" desis Ki Dipanala. "Jangan kau sebut lagi anak panah itu. Kau sudah cukup la ma mengha mba di istana ini setelah kau tidak lagi menjadi seorang prajurit. Menurut pendengaranku kau adalah prajurit yang cakap. Tetapi ternyata kau bodoh sekali seperti kerbau yang paling dungu" Raden Ayu Galihwarit yang melihat Pangeran Ranakusuma menghancurkan satu-satunya bukti itu me narik nafas dalamdalam. Ia merasa seakan-akan dadanya yang terbakar itu tersiram oleh air yang sejuk. Dengan demikian maka tidak ada bukti lagi yang dapat dipergunakan unluk menuduh Rudira jika benar ciri-ciri panah itu adalah ciri-ciri anak panah puteranya. Dala m pada itu Ki Dipanala yang masih duduk di lantai berkata "Pangeran, apakah tindakan yang Pangeran lakukan itu cukup bijaksana?"
"Aku meyakini perbuatanku. Aku akan sangat merasa malu atas kebodohanmu jika orang lain mengetahuinya. Karena itu sekarang pergilah. Pulang ke rumahmu dan kalau kau ingin mencari orang yang telah menolongmu, carilah. Juga jika kau ingin mene mukan pe mbunuh itu usahakanlah. Tetapi jangan me mperguna kan cara yang paling bodoh dan me malukan itu" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Lalu iapun bertanya "Tetapi bagaimanakah cara yang paling baik dapat hamba te mpuh Pangeran" "Aku tida k se mpat me mikirkannya" Ki Dipana la mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Me mang banyak se kali kenyataan yang tidak dapat diungkapkan. Kenyataan yang paling buruk dan kenyataan yang paling baik. Mungkin ha mba tidak dapat mene mukan penolong ha mba, tetapi hamba juga tidak dapat mene mukan pembunuh penyamun itu. Kedua-duanya adalah kenyataan yang telah terjadi, tetapi kedua-duanya tetap tidak akan pernah dapat diketahui kebenarannya. Siapakah mereka itu" "Cukup. Cukup. Kau tidak usah mengigau" bentak Pangeran Ranakusuma. "Baiklah Pangeran" jawab Ki Dipanala "Me mang demikianlah agaknya. Seperti kenyataan yang berlaku atas diri hamba sendiri. Mungkin ha mbapun pernah mela kukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk tanpa diketahui orang lain, sehingga perbuatan hamba itu akan tetap tersembunyi untuk sela ma-la manya tanpa mendapat hukuman apapun" Tiba-tiba saja wajah Pangeran Ranakusuma menjadi pucat. Dan hampir bersamaan itu pula. keringat dingin menga lir di tubuh Raden Ayu Galihwarit. Kedua-duanya menjadi sangat cemas bahwa Ki Dipanala akan me ngatakan rahasia yang selama ini telah disimpannya rapat-rapat. Rahasia yang ada pada kedua-duanya dan yang kedua-duanya diketahui oleh Ki Dipanala.
Tetapi Ki Dipanala ke mudian menarik nafas dala m-dala m sambil lerkata "Baiklah ha mba mohon diri. Ha mba melihat bahwa Pangeran dan Raden Ayu agaknya merasa terganggu oleh kehadiran ha mba di sini. Ha mba mohon maaf. Hamba sama sekali tida k bermaksud me mbuat Pangeran dan Raden Ayu menjadi gelisah. Ha mba akan berusaha mene mukan orang yang telah menolong ha mba dan seka ligus pe mbunuh penyamun itu tanpa mengganggu ketenangan dan ketenteraman Pangeran berdua" "Aku tidak peduli" sahut Pangeran Ranakusuma "pergilah. Aku akan beristirahat. Aku akan mencoba me lupakan kebodohan yang pernah kau perbuat" Ki Dipanala mengangguk dala m-dala m. Tetapi katanya "Na mun perkenankanlah ha mba sekali lagi menyampaikan terima kasih putera Pangeran, Raden Juwiring, Kiai Danatirta dan anak gadisnya Arum" Pangeran Ranakusuma tida k menjawab. Wajahnya masih buram, serta tatapan matanya hinggap di sudut yang jauh. Ki Dipana lapun ke mudian bergeser surut. Raden Ayu Galihwaritlah yang kemudian berkata "Beristirahatlah. Jika kau masih terlalu lelah, jangan kau hiraukan lagi apa yang sudah terjadi. Kau sudah disela matkan sehingga kau wajib mengucap sukur kepada Tuhan. Dan kau t idak perlu mencari keributan lagi dimana-mana dengan mencari orang yang tidak je las tanda-tandanya" "Baiklah Raden Ayu. Hamba akan melepaskan persoalan ini seperti persoalan-persoalan yang telah pernah hamba jumpai sebelumnya. Sengaja atau tidak sengaja" Sepercik warna merah me mbayang di wajah Raden Ayu Galihwarit, sedang Pangeran Ranakusuma me mbela lakkan matanya me mandanginya. Tetapi Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-da la m sa mbil bergeser surut. Akhirnya ia turun dari tangga dan meninggalkan pintu ruang da la m.
Sejenak ia berdiri sa mbil menghela nafas dalam-da la m, serasa udara di hala man itu menjadi se makin segar. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya di hala man sa mping itu, dilihatnya Raden Rudira dan Mandra berdiri aga k jauh di kebun bela kang. Tetapi Ki Dipanala tidak menghiraukannya lagi. Kini ia sudah mendapat kepastian justru karena tingkah laku Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, ke mudian iapun me lepaskan kudanya dan menuntunnya ke belakang. Seperti yang diperintahkan oleh Pangeran Ranakusuma ma ka iapun langsung lewat pintu butulan pulang ke rumahnya di belakang dinding hala man istana Ranakusuman. Sepeninggal Ki Dipanala, ma ka Pangeran Ranakusumapun masih duduk merenung di te mpatnya. Raden Ayu Galihwarit yang duduk di sampingnya tidak berani menegurnya, sehingga dengan demikian keduanya duduk sa mbil berdia m diri untuk beberapa saat lamanya. Masing-masing dihanyutkan oleh angan-angan yang buram tentang peristiwa yang baru saja terjadi atas Dipanala, tentang anak panah dan tentang usaha Dipanala untuk mene mukan orang yang menolongnya dan sekaligus orang yang telah membunuh penyamun itu dengan anak panah. Anak panah yang sebenarnya dapat dikenal langsung oleh Pangeran Ranakusuma. Raden, Ayu Galihwarit menjadi berdebar-debar ketika ia me lihat Pangeran Ranakusuma bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke sudut ruangan. Diambilnya anak panah yang telah dipatah-patahkannya dan sekali lagi dia mat-amatinya. "Apakah kau mengenal anak panah ini?" bertanya Pangeran Ranakusuma kepada isterinya. Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu sejenak. Ke mudian jawabnya "Apalagi aku Pangeran. Aku sa ma seka li tidak mengetahui ciri-ciri dari anak panah milik siapapun karena aku tidak pernah me lihatnya"
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
"Bukan milik orang la in. Tetapi anak panah se maca m ini?" Raden Ayu Galihwarit mengge lengkan kepalanya. Katanya "Aku tida k tahu, ka mas" Pangeran Ranakusuma me mandang isterinya dengan tajamnya. Sebagai seorang Pangeran ia memiliki pandangan yang jauh dan luas, ia mampu mengurai persoalan yang dihadapinya dan ke mudian menga mbil kesimpulan. Pembicaraan yang singkat dengan Dipana la dan anak panah yang dikenalnya baik-baik itu me mberikan ga mbaran kepadanya, siapakah yang telah merencanakan pe mbunuhan atas Ki Dipanala itu. Pangeran Ranakusumapun masih dapat mengingat apa yang telah dilakukan oleh isterinya ketika Dipanala a kan berangkat ke padepokan Jati Aking. "Itulah sebabnya, ia berusaha memperla mbat keberangkatan Ki Dipanala" berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hati. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak tahu pasti, alasan apakah yang telah mendorong Raden Ayu Galihwarit untuk me lakukan rencana pe mbunuhan itu. Setelah merenungi anak panah yang telah patah-patah itu, Pangeran Ranakusumapun berkata "Ba iklah. Aku akan beristirahat. Aku akan tidur" "Silahkanlah Pangeran" sahut Raden Ayu Ga lihwarit. Raden Ayu Galihwarit mengantarkan suaminya sampai ke pintu biliknya. Ketika Pangeran Ranakusuma masuk maka Raden Ayu itupun berdiri sejenak di muka pintu. Ke mudian pintu itupun didorongnya dan tertutup rapat. Dengan tergesa-gesa pergi ke ruang dalam. Disuruhnya seorang pelayannya me manggil puteranya Raden Rudira. Dengan gelisah Raden Rudira mendapatkan ibunya yang tidak ka lah gelisahnya. Dengan suara yang dalam dan la mbat Raden Ayu Galihwarit berkata "Ki Dipana la me mbawa anak
panah yang bernoda darah. me mbunuh penya mun itu"
Anak panah yang telah "He" wajah Raden Rudira menjadi pucat. Lalu " Di manakah anak panah itu sekarang?" "Ada pada ayahandamu. Ketika ayahandamu menerima anak panah itu, ia menjadi marah dan anak panah itu dipatahkannya" "Apakah ayahanda mengetahui bahwa anak panah itu anak panahku?" "Mungkin" "Dan ayahanda marah kepadaku?" "Tida k" Raden Ayu Ga lihwarit menggeleng. Lalu diceriterakannya apa yang dilakukan dan dikatakan oleh Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala. Raden Rudira menarik nafas dala m-dala m. Katanya "Jadi ayah justru marah kepada Dipanala?" "Ya" "Me mang Dipanala bodoh seka li. Jika ada orang yang tahu hahwa anak panah itu anak panahku, tentu itu tidak dapat menjadi bukti yang kuat, bahwa aku telah me lakukannya. Aku me mang sering kehilangan anak panah selagi aku berburu seperti yang dikatakan oleh ayahanda itu" Raden Ayu Galihwarit mengangguk-anggukkan kepa lanya. Iapun menjadi agak tenang pula, bahwa anaknya tidak dapat langsung mendapat tuduhan. Tetapi ia masih tetap gelisah tentang dirinya sendiri. Apakah pada suatu saat Dipanala tidak akan me mbuka rahasianya" Karena itu maka Raden Ayu Galihwaritpun berkata "Tetapi Rudira, bagaimanapun juga Dipanala adalah orang yang paling berbahaya bagi kita sekarang. Tentu ia masih tetap
menuduhmu, karena agaknya Dipanalapun mengena l anak panah itu" "Ia akan segera terbunuh" gera m Raden Rudira. "Tetapi biarlah ia mene mukan orang yang menolongnya lebih dahulu. Orang itupun cukup berbahaya bagi kita" "Mustahil kalau menolongnya itu" ia tidak mengetahui siapakah yang
"Mungkin petani dari Sukawati itu" Raden Rudira menggeretakkan giginya. Katanya "Seharusnya Sukawatipun dihancurkan pula. Kumpeni harus menga mbil tinda kan yang tegas terhadap Pangeran Mangkubumi" "Ssst" desis ibunya "itu bukan persoalanmu. Kangjeng Susuhunan dan Kumpeni tentu sudah me mbuat perhitungan sebaik-baiknya. Mereka menyadari sikap Pangeran Mangkubumi" "Tetapi tidak boleh terlambat. Jika terlambat, maka semuanya akan menyesal, karena agaknya Sukawati sudah sampai pada persiapan untuk mela kukan perang. Perang yang sebenarnya" "Apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang Sukawati untuk me lawan senjata kumpeni?" "Ya" Raden Rudira mengangguk-angguk pula "Mereka akan ditumpas. Tetapi lebih baik me mbunuh anak macan daripada menunggu ia menjadi besar dan buas" Ibunya mengangguk-angguk. Tanpa sesadarnya ia berkata "Aku akan berusaha meyakinkan Kumpeni" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Katanya "Ibunda akan meyakinkan mereka?"
"Ya. Bukankah aku mengena l beberapa orang perwira yang sering berkunjung ke mari" Raden Rudira tidak segera menjawab. Kumpeni baginya adalah orang-orang yang aneh. Ia kadang-kadang merasa bahwa kehadiran kumpeni di Surakarta itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Tetapi kadang-kadang ia merasa bahwa kumpeni itu sangat menyinggung perasaannya. Ia tidak senang melihat ibunya bergaul terlampau rapat dengan mereka. Bahkan kadang-kadang Raden Rudira merasa cemas, bahwa ia akan kehilangan ibunya yang sangat mengasihinya dan me ma njakannya. Dan Raden Rudira tidak dapat mengerti kenapa ayahandanya tidak berbuat sesuatu melihat ibunya kadangkadang hadir di dala m perte muan-pertemuan tanpa dikawaninya. Betapapun sibuknya ayahandanya dalam keadaan yang gawat akhir-akhir ini, tetapi ia wajib me mberikan sebagian waktunya bagi ibunya. Atau jika tidak, ayahandanya dapat melarangnya sa ma sekali. Tetapi Raden Rudira yang sudah menginjak dewasa itu dapat mengerti juga bahwa ayahandanya memerlukan kumpeni. Untuk mendapatkan ke kuasaan yang lebih besar di istana, ayahnya me merlukan dukungan. Kini kumpeni ternyata me mpunyai pengaruh yang kuat di istana, sehingga dukungan dari kumpeni akan dapat menentukan. Namun setiap ka li Raden Rudira me mikirkan hal itu, terasa kulitnya meremang. Tetapi ia selalu berusaha menghindarkan diri dari perasaannya yang kadang-kadang dengan kuat mencengka mnya "Apakah ayahanda telah me mpergunakan ibunda untuk kepentingan dirinya dan apakah agaknya ibunda sendiri merasa bahwa hal itu justru suatu kesempatan baginya?" Raden Rudira terkejut ketika ibunya berkata "Apakah yang kau renungkan Rudira?"
"O" Rudira tergagap "Tidak apa-apa ibu. Tetapi anak panah itu?" "Anak panah itu sudah di tangan ayahandamu. Dan sudah tentu bahwa ayahandamu tidak akan berbuat apa-apa. terhadapmu" "Apakah ibu yakin?" "Ibu yakin. Mungkin ayahanda akan bertanya kepadamu. Tetapi sebaiknya kau menghindar untuk se mentara" Raden Rudira mengangguk-angguk. Me mang masih be lum terlintas di kepalanya, untuk mengucapkan pengakuan meskipun kepada ayahnya sendiri. Ia masih a kan berusaha untuk mela kukan tugasnya sampai berhasil. Dipanala harus mati. Pada saat yang bersamaan, di dada ibunyapun mengge letar semaca m keputusan yang pasti "Dipanala harus mat i" Tetapi mereka tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya dipikirkan oleh Pangeran Ranakusuma. Sambil berbaring ia mencoba untuk melihat kemba li apa yang sudah dilakukan oleh isteri dan anak-anaknya, sehingga akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa sebenarnyalah Rudira telah me lakukannya bersama-sa ma dengan Raden Ayu Galihwarit. "Aku harus meyakinkannya. Aku harus mendengar sendiri dari mereka pengakuan itu" katanya sambil menghentakkan tangannya. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertindak tergesa-gesa. la tidak segera me manggil anaknya selagi ada ibunya. Untuk mendapatkan waktu itu sebenarnya Pangeran Ranakusuma tidak terla mpau sulit. Ketika Raden Ayu Galihwarit mengajaknya pergi atas undangan seorang Pangeran yang sedang menyambut kedatangan seorang perwira kumpeni setelah senja, Pangeran Ranakusuma
berkata "Aku sedang sibuk sekali. Keadaan menjadi se ma kin panas. Pergilah sendiri dan katakan, bahwa aku minta maaf karena aku tidak dapat hadir. Aku harus menghadap ke istana" "Apakah kakanda tidak dapat menunda sa mpai esok pagi?" "Tida k. Aku harus segera menghadap" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu "Apakah pertemuan itu harus aku hadiri?" "Bukankah Pangeran juga menerima undangan khusus" "Terlalu mendadak. Seharusnya mereka mengundang aku sehari atau dua hari sebelumnya, sehingga aku sempat mengatur wa ktu" "Pertemuan ini bukan pertemuan resmi ka mas. Sekedar pertemuan di antara beberapa orang terpenting di Sura karta" "Tetapi aku lebih penting me nghadap Susuhunan ma la m ini" "Ka mas Pangeran sela lu me mbiarkan aku pergi sendiri" "Maaf, aku adalah seorang Pangeran yang selalu harus me mberikan pertimbangan-pertimbangan yang penting bersama dengan beberapa orang penasehat Susuhunan. Itulah sebabnya aku harus hadir dala m perte muan-pertemuan khusus" "Baiklah Pangeran" Raden Ayu Galihwarit me mberengut "Aku terpaksa pergi sendiri. Tetapi aku akan ke mbali segera sebelum terla mpau ma la m" "Bawalah keretanya jika kau perlukan" "Tida k Pangeran. menje mput?" Bukankah biasanya mereka datang
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.
Namun demikian setiap kali Pangeran Ranakusuma harus menahan perasaannya melihat Raden Ayu Galihwarit itu merias dirinya agak berlebih-lebihan, seperti seorang gadis yang terlambat kawin menghadiri peralatan sambil mengharap untuk mendapatkan perhatian dari para jejaka. Sebenarnya di dalam hati kecilnya, ada juga perasaan yang mengge litik hatinya. Namun karena Pangeran Ranakusuma mengharapkan kekuasaan yang terlalu besar di istana Kangjeng Susuhunan, ma ka kadang-kadang ia menghindarkan diri dari perasaan-perasaan di hatinya itu. Bahkan kadangkadang ia bersikap t idak jujur kepada diri sendiri dan berkata "Ia adalah seorang isteri yang setia. Aku memberikan apa yang dimintanya. Tentu ia tidak akan me mbiarkan orang lain me langgar pagar ayu" Tetapi bagaimanapun juga, Pangeran Ranakusuma tidak dapat menghapus getar yang kadang-kadang mengguncangkan dadanya. Derap kereta yang kemudian me mbawa Raden Ayu Galihwarit pergi meninggalkan hala man istana Ranakusuman terasa menggetarkan jantung Pangeran Ranakusuma. Meskipun hal itu bukan untuk yang pertama kalinya, namun ia tidak dapat mengingkar kata hatinya meskipun kadang-kadang ia berhasil berpura-pura dan acuh tida k acuh. Ternyata bukan saja Pangeran. Ranakusuma yang me mandang kereta itu sampai hilang ditelan pintu regol. Raden Rudirapun me mandang dari kejauhan dengan hati yang berdebar-debar. Ibunya selalu pergi dengan atau tidak dengan ayahnya. Meskipun ibunya mengasihi dan me manja kannya, tetapi rasa-rasanya perhatian ibunya terhadap pertemuanpertemuan, makan-makan dan kege mbiraan di antara para bangsawan dan orang-orang asing itu telah mera mpas sebagian perhatian ibunya terhadap dirinya. "Tetapi pada suatu saat ibunda me merlukan orang asing itu" berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Tetapi Raden
Rudira itu sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Jika orang asing itu dapat dimanfaatkan oleh ibunya, maka ha l itupun sekedar untuk kepentingannya sendiri. Raden Rudira hampir tidak pernah me mikirkan pergolakan yang terjadi di Surakarta dari sumber persoalannya. Ia melihat Surakarta pada permukaannya saja. Dan ia berusaha untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa menghiraukan masalah lain yang a kan bersangkur paut. Raden Rudira yang sedang merenung tingkah ibunya itu mengerutkan keningnya, ketika seorang pelayan datang kepadanya dan berkata "Raden dipanggil oleh ayahanda" "Ayahanda me manggil a ku?" Rudira me njadi berdebardebar. "Ya. Ayahanda Raden ada di ruang da la m" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia harus datang menghadap. Dengan dada yang berdebaran Raden Rudira masuk ke ruang dala m. Dilihatnya ayahandanya duduk dengan wajah yang berkerut merut. "Ke marilah" suara Pangeran Ranakusuma datar. Raden Rudira menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah ayahnya yang dingin dan sa ma sekali tidak me mandang kepadanya. Tetapi iapun me langkah semakin dekat dan ke mudian berdiri termangu-mangu. Sikap ayahnya itu bagi Raden Rudira adalah sikap yang agak lain dari sikapnya sehari-hari terhadapnya. "Duduklah" desis ayahnya. Raden Rudirapun ke mudian duduk dengan ge lisah menunggu apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya.
Tetapi untuk beberapa saat la manya Pangeran Ranakusuma masih berdia m diri, sehingga Raden Rudirapun menjadi se makin ge lisah pula. Akhirnya Raden Rudira tidak dapat menahan desakan di dalam hatinya yang meronta-ronta. Karena itulah maka iapun me ma ksa dirinya untuk bertanya "Apakah ayahanda me manggil aku?" Ayahnya menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya. Aku ingin berbicara sedikit" "Apakah yang akan ayahanda bicarakan?" Raden Rudira memandanginya sejenak. Namun kemudian dile mparkannya pandangannya ke mbali ke kejauhan. "Rudira" berkata ayahanda kemudian "apakah kau sudah mendengar ceritera yang terjadi atas Dipanala?" Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Namun iapun menganggukkan kepalanya sambil menjawab "Ya ayah. Aku sudah mendengar" Ayahnya mengangguk. Tetapi pe mbicaraan itupun terputus ketika seorang abdi menyalakan se mua la mpu di setiap ruangan di dala m istana Ranakusuman. Dari ruang yang paling bela kang sa mpai pendapa dan bahkan regol hala man, me lengkapi beberapa buah la mpu yang sudah dinyalakan lebih dahulu. Raden Rudira menundukkan kepalanya. Rasanya ia sedang menghadap untuk diadili karena kesalahan yang telah dilakukannya. "Rudira" berkata ayahandanya lebih lanjut "Apakah kau tidak tertarik oleh ceritera itu?" Raden Rudira menarik nafas dalam-dala m untuk menentera mkan hatinya. Jawabnya "Ceritera itu menarik sekali ayahanda. Ternyata di daerah Surakarta mula i terjadi
kerusuhan-kerusuhan sejak beberapa orang bangsawan yang iri hati me lihat perke mbangan ke kuasaan bangsawan yang lain, menarik diri dari pe merintahan di Surakarta" Ayahandanya terkejut mengatakan kepada mu?" dan bertanya "Siapa yang
"Bukankah ayahanda pernah mengatakan?" "Bukan menarik diri. Tetapi ada beberapa orang putera Pangeran yang lolos dari kota. Karena itulah maka ayah mereka untuk se mentara terpaksa me mbekukan diri dari pemerintahan karena tingkah anak mereka. Tetapi sekelompok anak-anak muda itu bukan pergi dari rumah mereka untuk mera mpok" "Tetapi akibat dari kerusuhan yang mereka lakukan, maka ketenteraman menjadi se makin buruk di Surakarta" "Me mang hal itu mungkin sekali. Tetapi menurut pendengaranku, mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa. Salah seorang dari mereka telah bertapa di lereng pegunungan untuk mendapat pepadang, apakah yang sebaiknya dila kukannya" "Tetapi jika mereka dibiarkan saja berkeliaran di luar kota Surakarta ayah, keadaan pasti akan bertambah buruk. Apalagi jika ayahanda mengetahui keadaan padukuhan Sukawati. Karena itu Kangjeng Susuhunan seharusnya mulai me mperhatikan sikap Pangeran Mangkubumi" "Rudira" berkata ayahandanya kemudian "lepas dari setuju atau tidak setuju terhadap tujuan dan cara mereka mencapai tujuan, namun aku masih menaruh hormat kepada mereka, karena mereka adalah anak-anak muda yang bercita-cita. Mereka ikut me mikirkan hari depan Surakarta menurut penilaian mereka" "Ayah sependapat dengan mereka?"
Ayahnya menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Tidak. Aku tidak sependapat dengan mereka. Tetapi aku menghormati mereka dengan cita-citanya" "Tetapi bukankah ayah berpihak kepada Kangjeng Susuhunan dan Kumpeni, sehingga jika terjadi sesuatu, ayah pasti akan berhadapan dengan siapapun yang melawan kekuasaan Kangjeng Susuhunan di Surakarta?" Pangeran Ranakusuma me nganggukkan kepa lanya. Jawabnya "Ya. Tetapi aku tetap hormat kepada mereka. Soalnya adalah perbedaan pendapat antara mereka dan aku. Aku tetap setia kepada kekuasaan Raja, dan mereka me merlukan perubahan" Raden Rudira tidak menjawab lagi. Kepalanya teranggukangguk kecil. "Nah Rudira" berkata ayahandanya "seharusnya kaupun mulai me mperhatikan keadaan yang berkembang terus ini. Kau harus mula i mene mpatkan dirimu dala m sikap tertentu. Bukankah saudara-saudara sepupumu yang sebaya dengan kau sudah mulai bersikap pula?" "Yang ayahanda maksud, mereka yang meningga lkan kota?" "Ya, dan mereka yang setia. Kau tidak dapat berdiri sendiri di dala m keadaan yang gawat. Kau harus tergabung di dala m suatu kelompok bersa ma saudara-saudara sepupumu yang sesuai pendirian dan sikapnya" Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kau termasuk anak muda yang me miliki ke ma mpuan. Kau adalah pembidik yang baik. Jika kau masih saja menurut i kata hatimu sendiri, pada suatu saat yang paling gawat, kau akan mendapat kesulitan" Raden Rudira tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.
"Tetapi jika berada di antara saudara-saudaramu itu, kau pasti akan mendapat tempat yang baik karena kelebihanmu. Bukankah mereka menyebutmu sebagai pe mburu terbaik di antara mereka?" "Ya ayah" "Nah, karena itu, beradalah di lingkungan mereka agar kau dapat mengikut i perke mbangan keadaan secara terusmenerus" Raden Rudira tidak menyahut. Tetapi ia masih agak bingung. Apakah yang dikatakan ayahandanya itu ada sangkut pautnya dengan ceritera tentang Dipanala yang ditanyakannya itu. "Rudira" suara ayahnya tiba-tiba menjadi da la m "karena itu kau jangan terlampau dala m hanyut dalam kepentinganmu sendiri. Dala m pergolakan yang sema kin panas ini, setiap keadaan akan menjadi sepercik api yang dapat menyala dan me mba kar suasana. Pertentangan yang tidak perlu harus dihindarkan. Kita harus dapat mengikat hati rakyat Surakarta, agar mereka tidak mudah dipengaruhi oleh sikap dan usaha yang tampaknya akan me nguntungkan mereka" Raden Rudira mengerutkan keningnya. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ayahnya sudah mulai me mpersoalkan dirinya dan tinda kannya atas Ki Dipanala. Dan dugaannya itu tidak salah. Sejenak kemudian ayahandanya berkata "Rudira. Seharusnya kaupun me mbantu agar rakyat Surakarta menganggap bahwa para bangsawan yang kini berkuasa di bawah perintah Kangjeng Susuhunan Pakubuwana sekarang ini, adalah pelindung ra kyat. Dengan demikian kau jangan menyakiti hati rakyat dan orang-orang terdekat yang dapat menimbulkan kesan kesewenangwenangan" Raden Rudira masih tetap berdia m diri.
Dracula 5 Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis Misteri Lukisan Tengkorak 6

Cari Blog Ini