02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 11
terlampau bersih. Namun ketika ia dihadapkan pada kenyataan,
maka perempuan itu tiba-tiba telah berubah menjadi iblis betina
yang paling memuakkan. Tetapi, kini perempuan itu tampak
betapa garangnya, seperti seekor harimau liar yang sedang
lapar. Sebelum Arya Teja dapat berbicara seterusnya, terdengar
Paguhan berkata, "Sebaiknya kau tidak kemari, Wulan. Biarlah
kami menentukan keputusan. Pada saatnya salah seorang dari
kami akan datang memberitahukan kepadamu."
Terasa berbagai perasaan menyesak di dada Rara Wulan.
Terlalu banyak yang akan dikatakannya, tetapi justru karena itu,
mulutnya seolah-olah tidak dapat menampungnya. Kata-kata itu
seakan-akan berebut dahulu ke luar dan justru telah menyumbat
mulutnya. Dalam kediaman itu terdengar di kejauhan suara anjing liar
memekik. Kemudian sepi. Yang mula-mula terdengar adalah kata-kata Arya Teja,
"Pergilah. Biarlah kami menentukan siapakah yang akan dapat
keluar dari tempat ini."
Mata Rara Wulan seolah-olah telah menyala. Sahutnya,
terbata-bata, "Lalu apakah yang akan kau lakukan setelah salah
seorang terbunuh di tempat ini" Apakah kau sangka bahwa
persoalan itu akan selesai?" Rara Wulan menggeleng. "Tidak.
Persoalan yang sebenarnya masih belum selesai."
"Tetapi persoalan antara kami berdua telah selesai. Persoalan
antara dua orang laklaki," desis Paguhan.
"Bohong. Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan
dua orang laklaki. Sejak semula kau menganggap aku seperti
barang yang tidak dapat ikut serta menentukan sikap. Kau
pergunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam kekosongan
perasaan, pada saat aku kesepian kau datang dau memberikan
kesegaran. Tetapi kau seret aku ke dalam neraka yang paling
jahanam." "Jangan menyalahkan aku, Wulan. Aku juga tidak akan
menyalahkan kau. Tetapi, Arya Teja adalah gambaran dari
seorang laklaki yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia sama
sekali tidak berpikir tentang seseorang yang telah diikatnya
dalam pembicaraan sebelum menjadi isterinya. Ditinggalkanya
perempuan itu dalam kesepian, tanpa batas."
Kata Paguhan terpotong oleh Arya Teja, "Dan selama itu,
telah didengarnya bisikan iblis ditelinganya yang
menjerumuskannya ke dalam dosa."
"Huh, kau tidak ingin bercermin tentang dirimu sendiri.
Hubungan kami adalah hubungan yang wajar, yang terjadi
antara seorang laklaki dan perempuan. Yang paling gila adalah
ikatan yang telah kau pasang tanpa memikirkan, akibat yang
dapat terjadi. Kau sangka bahwa Rara Wulan itu seorang
perempuan yang berhati batu" Tidak Arya. Ia adalah seorang
perempuan biasa. Perempuan yang dijalari oleh nafsu-nafsu
manusiawi pada masa-masa remaja. Ia tidak akan dapat
membohongi diri sendiri. Ia telah berbuat dengan jujur sesuai
dengan suara hati nuraninya. Ia tidak dapat menyimpan
dorongan-dorongan yang paling peka yang menjalari darahnya.
Dan aku pun telah berbuat sesuai dengan hasrat yang paling
dalam di dalam diriku. Aku bukan seorang yang suka berpurapura
seperti kau. Aku adalah seorang yang jujur kepada diriku
sendiri seperti Rara Wulan pada saat itu. Tetapi ikatan-ikatan
yang kau belitkan pada dirinya telah membuatnya sengsara
seperti yang kau lihat saat ini. Kau yang hidup dalam suatu dunia
yang kau penuhi sendiri dengan berbagai macam tantangantantangan
dan ikatan-ikatan yang selalu menyiksa diri. Tetapi
jangan kau seret orang lain besertamu."
"Paguhan," Arya Teja menggeram sambil meremas tangkai
tombak pendeknya, "itukah yang kau sebut kejujuran kepada diri
sendiri" Kau anggap bahwa, setiap nafsu yang menyala di
dalam diri harus mendapat penyaluran tanpa memikirkan
akibatnya" Penyaluran yang tidak mapan sekalipun" Paguhan,
kau benar-benar seorang yang berhati iblis. Kalau setiap
manusia menganggap bahwa kejujuran adalah tanpa
pengekangan diri, maka dunia akan dibakar oleh berkobarnya
segala macam nafsu lahiriah. Manusia akan terlempar kembali
ke dalam lembah kehidupan yang biadab. Peradaban manusia,
dalam satu segi yang dijiwai oleh sifat-sifat manusia yang
biadab, adalah jauh lebih parah dari pada kehidupan dimasamasa
manusia sama sekali belum mengenal peradaban.
Kejujuran mereka bukan kejujuran yang pura-pura. Kejujuran
sebagai senjata untuk melakukan perbuatan yang pada
jamannya adalah perbuatan yang paling kotor. Kalau perbuatan
itu kau anggap, karena perempuan itu tidak berhati batu, maka
anggapan itu adalah senafas dengan kedujuran yang lamis."
"Huh," Paguhan memotong, "kau benar-benar sudah
kehabisan nalar. Kau adalah seorang yang tidak melihat getar di
dalam diri seseorang karena kau selalu menindas getar yang
serupa yang tumbuh di dalam dadamu. Supaya kau dianggap
sebagai seorang yang bersih, seorang yang baik, seorang yang
tidak bernoda, maka kau telah menumpas semua gerak naluriah
di dalam hatimu. Tetapi, apakah kau dengan demikian berlaku
jujur" Apakah kau benar-benar berbuat demikian itu" Tak
seorang pun yang tahu, apa yang telah kau lakukan dirantau.
Tak seorang pun tahu, bahwa kau benar-benar melakukan
seperti keinginanmu, agar setiap orang menganggap kau
demikian." "Paguhan," berkata Arya Teja, "aku adalah seseorang yang
menghargai apa yang lelah menjadi keputusan bersama dari
orang-orang tua kita, yang lambat laun telah membentuk
peradaban kita sekarang ini. Keputusan yang tidak tergurat di
dalam rontal yang manapun juga, tetapi terasa telah menjiwai
nafas kehidupan kita. Jangan kau sangka bahwa hal itu lahir
dengan serta-merta. Tetapi kelahirannya pasti didorong oleh
pengalaman yang beribu tahun. Bahwa kita telah membuat
dinding batu di sekeliling halaman rumah kita adalah salah satu
bentuk yang serupa seperti kita telah membuat pagar ayu dalam
hubungan antara laklaki dan perempuan. Sedumuk batuk
senyari bumi taruhannnya senilai keagungan ikatan antara lakilaki
dan perempuan." Wajah Paguhan yang tegang menjadi semakin menegang.
Nafasnya berdeburan di dalam rongga dadanya. Sejenak ia
terbungkam. Namun sejenak kemudian meledaklah suara
tertawanya, seperti suara iblis dari dalam kubur. Dengan lantang
ia berkata disela-sela derai suara tertawanya, "Oh, tenggelamlah
kau dalam ikatan-ikatan yang mencekik tata kehidupan itu.
Tetapi aku tidak mau. Aku ingin bebas seperti burung garuda di
langit. Tidak ada ikatan yang dapat mengikat kebebasanku. Apa
pun yang aku kehendaki, hendaknya terjadi. Hubunganku
dengan Rara Wulan adalah salah satu bentuk kebebasan itu.
Aku tidak mau orang lain mencampuri kebebasanku. Aku
bertanggung jawab atas segalanya. Aku akan menghadapi
setiap orang yang akan mengganggu gugat bentuk kebebasan
yang aku kehendaki."
Arya Teja menggeram mendengar jawaban Paguhan di
antara suara tertawanya. Terdengar suaranya bernada berat,
"Aku tidak akan mempersoalkan kebebasan yang kau dambakan
itu, seperti burung garuda di angkasa. Aku tidak mempunyai
hubungan apapun dengan kau selain sebagai seorang teman
biasa. Aku tidak akan kehilangan seandainya kau terjerumus
dalam jurang yang paling nista sekalipun. Tetapi kau jangan
menyentuh hidupku dalam segala seginya. Kau jangan
menyinggung ujung dari hakku atas pribadiku dan segala
hubungannya." Arya Teja berhenti sejenak. Terasa dadanya
menjadi sesak dan bahkan seakan hampir meledak. Sejenak
kemudian terdengar suaranya dalam nada yang berat, "Tetapi
Paguhan, kegilaanmu itu telah melanggar segsegi
kehidupanku. Bahkan yang paling berharga dalam hidupku.
Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal diam. Aku tidak
akan dapat membiarkan kau dalam kegilaan itu."
Suara tertawa Paguhan telah lenyap bersama gemanya,
dihanyutkan oleh angin yang bertiup semakin kencang. Yang
terdengar kemudian adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi
sebelum ia mengucapkan kata-kata, terdengar suara Rara
Wulan melengking tinggi, "Kalian berdua telah dicengkam oleh
kegilaan kalian masing-masing. Kalian memandang dunia ini dari
sudut kepentingan kalian. Kalian berbicara dalam hubungan ini
menurut pendirian dan kesenangan kalian sendiri. Sedang
pendirian kalian tidak akan dapat bertemu. Paguhan adalah
gambaran dari seorang iblis yang paling gila, yang telah
mempergunakan setiap kesempatan untuk menyeret seseorang
ke dalam neraka yang paling dalam, sedang Arya Teja adalah
seorang pemimpin yang memuakkan, yang hidupnya hanya
dibayangi oleh gambaran-gambaran yang paling indah tanpa
mengenal kenyataan, tanpa mengenal noda-noda yang melekat
pada setiap hati yang tersimpan di dalam dada ini." Rara Wulan
berhenti sejenak. Nafasnya serasa bekejaran lewat lubang
hidungnya, sedang dadanya mengelombang semakin cepat.
Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata, "Tetapi, yang
paling berdosa dalam persoalan ini adalah aku. Aku yang telah
membuat kalian berdiri berhadapan dalam kegilaan kalian
masing-masing. Aku telah menyerahkan diriku kedalam tangan
iblis yang paling jahat, sementara aku menempatkan diriku ke
dalam keindahan mimpi yang paling mengasyikkan. Tetapi
kenyataan telah melemparkan aku ke keadaanku sekarang yang
telah mendorong kalian berdua untuk menggenggam senjata
dan berusaha saling membunuh. Hal itu tidak akan terjadi
apabila aku tidak memulas diriku seperti bidadari, tetapi
menyerahkan diri ke dalam tangan iblis yang paling laknat."
Sekali lagi Rara Wulan berhenti. Nafasnya terasa menjadi
semakin sesak. Wajahnya menjadi merah membara dan
matanya seolah-olah menyalakan api yang berkobar di dalam
dadanya. Suaranya yang gemetar kemudian terdengar lagi,
"Karena itu, kalian tidak akan dapat menyelesaikannya tanpa
aku. Ayo, katakan, apakah yang akan terjadi seandainya salah
seorang dari kalian telah mati" Hubungan apakah yang ada di
antara salah seorang dari kalian yang hidup itu dengan aku"
Tidak. Persoalan itu masih belum selesai. Jalan yang paling
singkat dari penyelesaian itu adalah apabila kalian
menghunjamkan senjata kalian bersama-sama di dalam dadaku
ini. Aku akan mati. Dan tidak ada lagi yang dapat kalian
pertengkarkan." Ketika Rara Wulan itu terdiam, maka suasana di bawah
Pucang Kembar itu telah dicengkam oleh keheningan. Masingmasing
berdiri tegang kaku. Yang terdengar hanyalah suara
angin berdesir di dedaunan. Lamat-lamat suara cengkerik
berderik di antara bunyi rintihan burung kedasih yang ngelangut.
Sekalsekali di kejauhan masih terdengar gonggong anjinganjing
liar. Tetapi kemudian sunyi. Anjing-anjing yang telah
menjadi kenyang itu agaknyna telah kembali ke dalam sarang
mereka. Arta Teja dan Paguhan tersentak ketika mereka mendengar
suara Rara Wulan terbata-bata. "Ayo, siapakah yang jantan di
antara kalian" Di sinilah terletak sumber dari persoalan ini, di
sini, di dalam dadaku. Hanya dengan melubangi dadakulah
maka semua persoalan akan dapat selesai."
Kedua laklaki itu sama sekali tidak bergerak. Mereka terpaku
diam seperti, sepasang patung dari dua orang jantan yang
menggenggam senjata masing-masing.
"Ayo, siapakah yang paling jantan di antara kalian berdua"
He, cepatlah. Kenapa kalian diam saja" Apakah kalian telah
menjadi pengecut yang tidak berani melihat darah" Aku akan
merasa berbahagia apabila kalian berani membunuh aku
sekarang. Arya Teja adalah suamiku, sedang Paguhan adalah
laklaki yang akan menjadi ayah dari anakku apabila ia kelak
lahir. Tetapi bagiku, mati adalah jalan yang sebaik-baiknya.
Hidupku dan hidup anak ini kelak akan selalu menumbuhkan
persoalan yang tidak ada henthentinya."
Tidak seorang pun yang menyahut. Kedua laklaki itu
terpukau dalam kediaman. Samar-samar dalam cahaya bulan
mereka melihat Rara Wulan seperti seekor harimau betina yang
paling liar. Rambutnya terurai lepas di punggungnya bergetar
karena sentuhan angin padang yang kering.
Tanah berumput yang terbentang di bawah Pucang Kembai
itu menjadi sepi, sesepi tanah pekuburan. Mereka yang berdiri
tegak di bawahnya, seakan-akan telah membeku seperti pokokpokok
pohon semboja. Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman yang tegang.
Yang pertama-tama menyobek sepinya malam adalah suara
Rara Wulan. "Kenapa kalian diam saja mematung, he" Ayo,
siapa yang paling jantan lakukanlah lebih dahulu.
Menghunjamkan senjata-senjata kalian itu di dadaku. Dada yang
dipenuhi oleh nafsu iblis yang paling jahat, yang tidak pantas lagi
bersentuhan dengan orang-orang yang merasa dirinya beradab.
Meskipun peradaban itu telah menyeretku dalam keadaan yang
paling parah, tetapi aku akan tetap menghormatinya. Terkutuklah
apa yang telah terjadi, terkutuklah kau Paguhan yang ingin
membebaskan dirinya seperti burung garuda di langit, tanpa
batas-batas peradaban, yang dapat menerkam setiap anak
kambing yang tersesat di padang penggembalaan."
Sekali lagi kebekuan mencengkam suasana. Yang terdengar
adalah suara nafas mereka yang memburu di lubang-lubang
hidung mereka. Kedua Laklaki itu hampir tidak bergerak sama
sekali. Mereka terpaku, dan seolah-olah telah membeku.
"Ayo cepatlah!" mereka mendengar lagi Rara Wulan berteriak
semakin keras. "Ayo, siapa yang lebih jantan di antara kalian?"
Kini, Rara Wulan melangkah maju. Tubuhnya gemetar dan
wajahnya tengadah. Tetapi, wajah itu seakan-akan sudah bukan
wajah Rara Wulan lagi yang mereka kenal seharhari. Wajah itu
adalah wajah yang paling mengerikan, seperti wajah iblis yang
haus menghisap darah, seperti wajah wewe yang merindukan
bayi, tetapi juga seperti wajah mayat yang paling putus-asa
dijerat oleh kematian yang paling mengerikan.
"Ayo," terdengar suaranya benar-benar seperti suara hantu,
"senjata siapakah yang lebih tajam" Inilah dada yang
menyimpan hati yang hitam, sehitam arang. Dan inilah dada
yang menyimpan hati yang dibakar oleh nafsu sepanas bara.
Dan inilah hati yang sedang berputus asa dicengkam oleh
penyesalan dan putus asa. Karena itu, kalau kalian jantan,
hunjamkanlah senjata itu ke dalam dada ini."
Selangkah demi selangkah Rara Wulan maju. Samar-samar
dalam bayangan sinar bulan yang penuh, dalam desau angin
malam dalam belaian suara burung kedasih yang ngelangut.
"Kenapa kalian diam saja" Apakah kalian telah mati
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membeku lebih dahulu daripada aku."
Rara Wulan menjadi semakin dekat. Beberapa langkah dari
kedua laklaki itu Rara Wulan berhenti. Bayangan rambutnya
yang hitam, yang terurai dengan kusutnya, membuat wajahnya
menjadi semakin mengerikan.
"Paguhan, katanya kau menggenggam sepasang senjata
kebanggaan. Ayo, tusukkanlah senjata itu bersama-sama di
sini," Rara Wulan menunjuk dadanya. Selangkah ia maju
mendekati Paguhan. Tetapi tanpa sesadarnya Paguhan
melangkah surut. Ketika Rara Wulan maju lagi, maka Paguhan pun sekali lagi
melangkah surut. "Apakah kau akan lari, Paguhan?"
Paguhan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin
tegang daripada ia harus berhadapan dengan Arya Teja.
"Oh, kiranya kau seorang pengecut yang paling licik di dunia.
Kau telah menodai aku dengan seribu satu macam alasan,
meskipun aku tidak ingkar, meskipun aku mengakui sambil
menengadahkan dada, bahwa itu adalah salahku, tetapi
sekarang kau tidak berani membuat penyelesaian yang paling
baik. Membelah dadaku."
Paguhan tidak menjawab, tetapi tubuhnya tiba-tiba menjadi
gemetar. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah merasakan
sentuhan yang paling mengerikan seperti yang dihadapinya kini.
Karena Paguhan selalu menghindar, maka tiba-tiba Rara
Wulan berpaling kepada Arya Teja. Arya Teja masih berdiri
tegak di tempatnya dengan tombak pendek tergenggam di
tangannya. Belum lagi Rara Wulan berbuat sesuatu, maka tatapan
matanya telah mencengkam dada Arya Teja. Darahnya seolah
berhenti mengalir. Apalagi ketika selangkah Rara Wulan maju
mendekatinya. "Kau Arya Teja. Barangkali kau lebih jantan dari Paguhan.
Kau pemimpi yang dimabukkan oleh khayalan tentang
kejernihan wajah bidadari di dalam sorga. Bangunlah. Bangunlah
dari mimpi yang indah tetapi memuakkan itu. Bukankah kau
telah bertekad untuk membunuh aku" Nah, sekarang,
lakukanlah. Aku akan berterima kasih kepadamu. Ternyata kau
telah menang dalam perang tanding melawan Paguhan,
meskipun kau tidak perlu membunuhnya, karena ternyata kau
telah berani melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh
Paguhan." Seperti Paguhan, Arya Teja justru menjadi gemetar. Ketika
Rara Wulan setapak maju, ia pun surut selangkah.
"He, apakah kau juga seorang pengecut seperti Paguhan?"
Tidak ada jawaban. Tetapi seperti dicengkam oleh pengaruh
yang tidak dimengertinya Arya Teja berusaha untuk menjauhi
Rara Wulan yang mendekatinya.
"Oh, ternyata kalian adalah pengecut. Pengecut yang paling
licik. Yang hanya berani mengagungkan kejantanan dalam
persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tetapi pada
hakekatnya kalian adalah pengecut." Rara Wulan berhenti
sejenak. Nafasnya menjadi semakin memburu. Terputus-putus
suaranya yang melengking tinggi, "Ayo, siapa yang berani
membunuh aku?" Lalu, "Baiklah. Baiklah, apabila kalian tidak
berani melakukannya. Sekarang, Arya Teja, atau kau Paguhan,
marilah, berikanlah senjata-senjatamu. Biarlah aku sendiri yang
melakukannya. Marilah," suara Rara Wulan menurun, tetapi
justru semakin mengerikan, seperti suara dari balik batas maut,
dari seorang iblis betina yang merindukan anaknya. "Marilah,
anak-anak. Marilah, berikanlah senjata itu. Paguhan atau kau
Arya Teja. Marilah anak-anak manis, aku pinjam dolananmu."
Paguhan dan Arya Teja adalah dua orang lelaki jantan, yang
tidak pernah merasa gentar menghadapi setiap keadaan.
Senjata di tangan mereka adalah pertanda bahwa mereka telah
siap menghadapi apa pun juga dengan akibat yang betapapun
parahnya. Saat itu, di bawah Pucang Kembar, mereka pun telah siap
menghadapi pertarungan yang menentukan. Mati atau
mematikan. Tetapi tiba-tiba kini dada mereka telah digoncangkan oleh
kengerian yang luar biasa. Belum pernah terjadi, bahwa dua
orang laklaki seperti Paguhan dan Arya Teja, menjadi gemetar
karena perasaan yang seaneh saat itu. Belum pernah terjadi
bahwa hampir setiap bulu kedua laklaki itu meremang.
Namun ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dalam
keadaannya. Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan diri
mereka, untuk meninggalkan tempat itu. Bahkan kalau mungkin
lari secepat-cepatnya. Tetapi, kejantanan mereka ternyata telah menahan mereka
dalam debar yang semakin berdentangan.
Di antara desau angin malam masih terdengar suara Rara
Wulan, "Marilah, marilah anak-anak manis. Berikan dolananmu."
Paguhan dan Arya Teja itu setiap kali melangkah surut di luar
kesadaran mereka. Yang tampak di mata mereka adalah hantu
betina yang mengerikan, yang seakan-akan ingin menghisap
darah mereka dari ubun-ubun.
Paguhan dan Arya Teja hampir tidak tahan lagi ketika tiba-tiba
mereka mendengar Rara Wulan itu tertawa. Tertawa mengerikan
sekali. Suaranya melengking menyusur tebing pegunungan,
memantul kembali menggelombang, seperti tanah yang
terbentang di bawah Pucang Kembar itu telah dikepung oleh
ribuan hantu betina yang tertawa bersama-sama.
Tetapi, ketika suara tertawa itu telah menurun, maka sekali
lagi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tertatih-tatih
mendekati mereka itu. Sebelum mereka menyadari siapakah
yang datang kemudian, terdengarlah orang itu berkata dalam
nada yang terlampau dalam, "Wulan, Rara Wulan."
Rara Wulan yang sedang dikuasai oleh kegelapan hati itu
masih dapat mendengar suara itu. Tiba-tiba sisa-sisa suara
tertawanya terputus, dan lenyap ditelan oleh angin malam.
Ketika perempuan itu berpaling, maka dilihatnya seseorang
datang kepadanya perlahah-lahan. "Rara Wulan, kenapa kau"
Aku mencarimu, anakku."
Rara Wulan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba kepalanya
terasa pening dan matanya berkunang-kunang. Tetapi, ia masih
mendengar orang yang datang itu berkata, "Eling, Ngger." Lalu
dengan lembutnya orang itu berkata sambil mengembangkan
kedua tangannya, "Marilah, anakku. Marilah. Aku telah bersusah
payah mencarimu. Ternyata kau ada di sini, di antara dua ekor
serigala yang sedang herkelahi memperebutkan kejantanan.
Marilah, anakku." Sejenak Rara Wulan, mematung. Kepalanya terasa semakin
pening, dan pandangan matanya menjadi semakin kabur.
Hampir di luar sadarnya tiba-tiba ia memekik sambil berlari
kearah orang yang datang sambil mengembangkan tangannya
itu, "Bibi, Bibi, o ?""
Dengan serta merta Rara Wulan menjatuhkan dirinya dalam
pelukan perempuan yang baru datang itu. Bibi Arya Teja, yang
kemudian dengan lembutnya membelai rambut Rara Wulan yang
kusut terurai sambil berbisik lirih, "Kenapa kau, anakku?"
Yang terdengar kemudian adalah suara tangis Rara Wulan
yang meledak. Namun, sesaat kemudian suara itu menurun, dan
akhirnya diam sama sekali.
Perempuan tua itu hampir terjatuh menahan tubuh Rara
Wulan yang menjadi pingsan. Perlahan-lahan tubuh itu
diletakkannya di atas tanah yang basah oleh embun.
Kini perempuan tua itulah yang berdiri tegak di sisi tubuh Rara
Wulan. Perempuan itu memandangi Paguhan dan Arya Teja
bergantganti. Perasaan yang aneh masih saja merayap di hati kedua laki
jantan itu. Mereka terpukau melihat apa yang baru saja terjadi,
sehingga seakan-akan mereka tidak tahu, tanggapan apakah
yang telah terjadi di dalam diri masing-masing. Tetapi, setelah
Rara Wulan terbaring diam, dan kini yang tegak di hadapan
mereka adakah perempuan tua itu, namun kengerian masih saja
tergores di dalam dada mereka.
"Nah," terdengar suara perempuan itu, "lihat. Inikah
penyelesaian yang kalian kehendaki?" Kedua laklaki itu
terbungkam. "Kini, kalian melihat tubuh Rara Wulan yang pingsan setelah
sekian lama ia menahan gejolak perasaannya. Ia tidak kuat
melawan gelora itu di dalam dirinya, sehingga ia menjadi gelap
hati dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Perempuan
itu berhenti sejenak. Lalu, "Seandainya, ya, seandainya
perempuan ini bangun, dan yang ditemuinya adalah peristiwa
yang menggoncang perasaannya, maka aku pasti, aku yakin,
bahwa Rara Wulan akan menjadi gila. Gila. Sebenarnya gila.
Apakah kalian tidak percaya" Bagi perempuan muda ini
memang lebih baik mati, daripada menjadi gila. Dan sebab
daripada itu adalah kalian berdua. Paguhan yang telah
mempergunakan kesempatan selagi gadis itu dahulu kesepian,
dan Arya Teja yang menjadi gila karenanya."
Kedua laklaki yang menggenggam senjata di tangannya itu
masih terbungkam. "Nah, apakah kalian masih ingin melihat darah mengalir di
bawah Pucang Kembar" Kalau demikian, maka aku
menganjurkan, sebelum kalian berkelahi, maka biarlah salah
seorang dari kalian memenuhi permintaan Rara Wulan ini.
Bunuhlah selagi ia masih dalam keadaannya. Bunuhlah
perempuan ini, sehingga kalian akan menjadi lebih puas. Malam
ini, pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar ini ada
tiga jiwa yang melayang. Jiwa perempuan ini, anak yang masih
di dalam kandungannya dan salah seorang dari kalian berdua
yang ingin disebut dirinya pahlawan."
Ketika perempuan itu terdiam sejenak, maka kesepian yang
tajam telah mencengkam suasana. Hanya desir angin yang
terdengar diantara derik suara bilalang.
Namun di dalam kesepian, ternyata dada kedua laklaki yang
di tangannya masih tergenggam senjata itu, telah bergolak
dengan dahsyatnya. Kata-kata bibi Arya Teja langsung menusuk
ke dalam jantung, melampaui tajamnya senjata yang ada di
tangan masing-masing. Betapa keras hati mereka, betapa tumpul perasaan-perasan
mereka, namun apa yang mereka lihat, ternyata telah membuat
hati mereka menjadi cair. Nafsu mereka untuk saling membunuh
perlahan-lahan menipis, seperti embun di pagi hari.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua itu,
"Bagaimana" Kenapa kalian diam saja" Siapakah yang lebih
jantan dan berani melakukannya" Aku ingin melihat, dan biarlah
aku menjadi saksi. Bahkan di bawah Pucang Kembar ini,
seorang laklaki telah berani berbuat dengan penuh kejantanan
dan kepahlawanan, membunuh seorang perempuan yang
sedang mengandung dan dalam keadaan pingsan. Ayo,
siapakah yang jantan di antara kailan?"
Tidak seorang pun yang bergerak, bahkan ujung jari kakipun
tidak. "Siapa?" teriak perempuan itu.
Kedua laklaki itu masih membeku di tempatnya.
Bibir Arya Teja sejenak berdiam diri. Nafasnya menjadi makin
cepat mengalir, dan dadanya yang tipis menjadi bergelombang
dengan cepatnya. Tetapi kedua laklaki itu masih tetap tegak di tempatnya.
Keheningan yang tegang telah menjelajahi tanah yang
terbentang di seputar Pucang Kembar itu. Di kejauhan masih
terdengar suara binatang malam berderik-derik, dan kadangkadang
suara burung kedasih yang sayup-sayup, seperti
senandung yang sedih. "Apakah kalian tidak dapat berbuat sesuatu?" bertanya bibi
Arya Teja itu. "Apakah kalian akan berdiri saja di tempat itu
semalam suntuk?" Pertanyaan itu telah menggerakkan hati kedua laklaki itu.
Mereka menyadari, apa yang sedang mereka hadapi. Tetapi
mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebaiknya mereka
kerjakan. "Baiklah, kalau kalian tidak lagi ingin membunuh. Bukankah
begitu?" pertanyaan itu terlontar dari mulut perempuan tua itu.
"Ternyata kalian tidak melakukannya."
Tidak ada jawaban "Bagaimana, he?"
Kedua laklaki itu menjadi bingung.
"Jawablah, jawablah pertanyaanku," sejenak kemudian
perempuan itu berkata pula, "kalau kalian tidak dapat menjawab
dengan perkataan, jawablah dengan perbuatan. Kalau kalian
masih ingin membunuh, segera lakukanlah. Kalau salah seorang
tidak segera melakukan, maka aku anggap, bahwa kalian telah
merubah keputusan bahwa kalian telah merubah pendirian kalan
untuk meneteskan darah di bawah Pucang Kembar ini. Sebagai
laklaki jantan keputusan bersama harus dihargai seperti kalian
menghargai jiwa sendiri."
(***) Buku 33 DADA kedua laklaki itu berdesis tajam. Sejenak mereka
merasa terjebak dalam suatu keputusan yang tidak mereka
kehendaki sehingga hati mereka melonjak. Tetapi ketika
terpandang oleh mereka tubuh Rara Wulan yang terbujur di
tanah itu, maka mereka, menjadi ragu-ragu. Karena itu mereka
masih berdiri saja tanpa bergeser setapak pun.
Perempuan tua itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
"Terima kasih. Terima kasih, bahwa kalian berdua telah
mengambil keputusan yang bijaksana. Ternyata betapa
kerasnya hati kalian, namun kalian adalah manusia yang
berperasaan. Kalian masih mempunyai kesadaran diri dalam
kemanusiaan kalian yang utuh. Ternyata kalian benar-benar
telah mengambil keputusan, bahwa persoalan kalian telah
selesai sampai disini."
Sesuatu menggelepar di dalam dada kedua laklaki itu.
Tetapi tidak sesuatu yang mereka lakukan. Mereka kemudian
mendengar perempuan itu berkata, "Kalian adalah laklaki
jantan, yang menghadapi maut dengan dada tengadah, apabila
kalian telah mengucapkannya dengan lidah kalian, bahwa kalian
bertekad untuk saling membunuh. Tetapi keputusan kalian kini
adalah jauh lebih berharga. Kalian tidak mengucapkannya
dengan lidah kalian, tetapi kalian mengucapkannya di dalam
hati. Janji di dalam diri bagi laklaki tidak akan berubah lagi,
seperti janji di dalam hati kalian saat ini. Menurut pendapatku
kalian tidak perlu merasa tersinggung kejantanan kalian, karena
ternyata kalian telah berbuat kejantanan yang jauh lebih
berharga bagi kemanusiaan dari pada saling berbunuh-bunuhan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa arti." Kedua laklaki itu seolah-olah telah terikat oleh suatu pesona
tanpa dapat mereka atasi. Mereka seolah-olah tidak mampu
melawan kata-kata perempuan tua yang berdiri di sisi tubuh
Rara Wulan yang terkapar di atas tanah.
"Baiklah. Aku menghargai keputusan kalian. Semua
persoalan telah selesai. Semua persoalan yang telah terjadi
harus dilupakan. Aku tahu, bahwa persoalan itu sendiri memang
tidak dapat berhenti, sebab anak di dalam kandnngan itu akan
menjadi besar dan akan lahir. Kelahiran anak itu adalah
kelanjutan dan persoalan yang telah terjadi. Tetapi aku
mengharap bahwa kalian terikat oleh putusan jantan kalian yang
baru saja kalian ucapkan di dalam hati, bahwa kalian
menganggap semua persoalan telah selesai. Kalian harus
mempunyai jiwa besar menghadapi kenyataan ini. Kenyataan
yang tidak akan terhapus, meskipun disiram dengan darah dan
dipertaruhkan dengan tiga buah nyawa."
Bibi Arya Teja berhenti sejenak. Dipandanginya kedua lakilaki
yang berdiri tegak itu bergantganti. Dibiarkannya kedua
laklaki itu sejenak memandang ke dalam hati masing-masing.
Sekali lagi suasana di bawah Pucang Kembar itu dicengkam
oleh kesenyapan. Tetapi wajah-wajah yang tegang itu masih
juga tegang. Senjata-senjata di dalam genggaman itu masih juga
tercengkam kuat-kuat. Namun hati mereka, kedua laklaki yang menggenggam
senjata itu, ternyata sudah tidak sekeras batu akik. Terasa
sesuatu menjalari urat nadi mereka. Semakin lama semakin
tebal tergores di dinding hati.
Penyesalan. Mereka tidak tahu benar, apakah yang mereka sesalkan
sebenarnya. Tetapi mereka kini melihat, bahwa sebaiknya apa
yang terjadi itu tidak pernah mereka lakukan. Paguhan yang
keras hati dan keras kepala, lambat-laun melihat, bahwa akibat
dari perbuatannya sama sekali tidak diduga-duganya. Apalagi
apabila dilihatnya tubuh Rara Wulan terbaring diam di atas
rerumputan. "Aku dapat tidak mempedulikan apa yang terjadi atas diriku
karena aku memang tidak pernah memperhitungkannya, tetapi
ternyata Rara Wulan mengalami goncangan perasaan terlampau
berat," desis Paguhan di dalam hatinya.
Sedang Arya Teja pun menyesal pula. Setelah ia mengikat
gadis itu dalam pembicaraan, maka gadis itu ditinggalkannya
terlampau lama sehingga hal yang sama sekali tidak
diinginkannya itu terjadi. Seandainya ia tidak mengikat gadis itu
dalam pembicaraan seperti yang telah dibicarakan oleh orangorang
tua mereka, maka tidak akan ada persoalan bagi Rara
Wulan. Gadis itu dapat segera kawin dengan Paguhan. Tetapi
semua itu telah terlanjur. Setitik noda telah melekat di tubuh
Rara Wulan. Noda yang tidak akan terhapuskan sepanjang
hidupnya. "Apakah aku cukup kuat untuk dapat melupakannya?"
pertanyaan itu membersit di dalam dada Arya Teja.
Kedua laklaki itu terkejut ketika mereka mendengar
perempuan tua yang berdiri disamping Rara Wulan itu berkata,
"Kenapa kalian diam saja seperti sedang kehilangan akal?"
Sesaat Paguhan dan Arya Teja saling berpandangan. Tetapi
sorot mata mereka sudah tidak lagi memancarkan api yang
menyala di dalam dada mereka. Namun mereka masih tetap
terbungkam. "Apakah kalian tidak dapat berbicara sepatah kata pun?"
Masih tidak ada jawaban. "Dika demikian, maka biarlah aku yang berbicara. Kalau
kalian menolak, maka kalian harus segera menyatakannya."
perempuan itu diam sebentar, lalu, "Persoalan kalian telah
selesai. Rara Wulan adalah isteri Arya Teja. Anak di dalam
kandungan ini anak Arya Teja."
Terasa dada kedua laklaki itu berguncang. Tetapi mereka
tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka benarbenar
seperti sedang dicengkam oleh sebuah pesona yang tidak
dapat mereka atasi. Mereka masih berdiri diam ternganganganga
ketika mereka mendengar perempuan tua itu berkata,
"Semua persoalan yang pernah terjadi dianggap tidak pernah
ada. Tetapi persoalan yang akan datang pun tidak boleh ada.
Arya Teja harus menerima keputusan ini dengan jiwa besar, dan
Angger Paguhan harus melepaskan semua kepentingan dengan
Rara Wulan dengan jiwa yang besar pula."
Kedua laklaki itu berdiri saja tegak di tempatnya bagaikan
patung batu. Diam. Hanya senjata-senjata mereka sajalah yang
kemudian tertunduk lesu. Seperti hathati mereka yang menjadi
lesu pula. Mereka seakan-akan tidak lagi mempunyai gairah apa
pun untuk ikut serta menentukan hari depan mereka sendiri.
Dan kedua laklaki itu menggerakkan kepalanya ketika
mereka mendengar bibi Arya Teja itu berkata, "Nah, Arya Teja
dan Angger Paguhan. Kalian tidak menyanggah sepatah kata
pun. Berarti kalian telah berjanji bahwa kata-kataku itu seakanakan
telah anger ucapkan berdua sebagai janji di dalam hati.
Janji jantan yang tidak akan dapat diganggu gugat lagi."
Kedua laklaki itu masih membatu.
"Nah, kalau demikian, maka marilah kita kembali ke dalam
persoalan yang wajar." Perempuan tua itu berhenti sebentar,
lalu, "Arya Teja. Kini kau harus menyadari, bahwa isterimu
sedang pingsan di sini. Kau tidak boleh membiarkannya, supaya
nyawanya dapat tertolong bersama nyawa yang sedang
dikandungnya." Terasa perasaan Arya Teja tersentak. Sebersit penolakan
menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak pernah dapat mengucapkan
penolakan itu. "Kenapa kau diam saja?" bertanya bibinya. "Bawalah isterimu
pulang. Tidak ada seorang pun yang tahu akan persoalan kalian.
Pelayan-pelayan dirumahmu pun tidak mengetahuinya. Kalian
berdua harus merahasiakan persoalan ini, untuk kepentingan
anak yang masih berada di dalam kandungan itu, sebagai
pemenuhan janji kalian."
Sesaat mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kedua laklaki
itu seakan-akan membeku di tempatnya."
"He, kenapa kalianl diam saja" Arya Teja, berbuatlah sesuatu
supaya isterimu selamat."
Sebuah keragu-raguan yang tajam telah menggores dinding
hati Arya Teja. Ia tahu, banwa keadaan Rara Wulan dapat
membahayakannya. Tetapi terasa kakinya menjadi seberat
timah untuk digerakkan. "Arya Teja," suara bibinya menjadi semakin keras, "kemarilah.
Berbuatlah sesuatu, jangan mimpi."
Sebuah pergolakan terjadi di dalam hati Arya Teja. Ia masih
saja dicengkam oleh keraguan. Meskipun hatinya sudah mulai
cair, namun ia masih belum dapat melepaskan diri dari
kungkungan perasaannya. Ia tahu benar, bahwa perempuan itu
telah bernoda. Ia tahu, dan ia tidak dapat menghapus
pengetahuannya tentang itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya tergetar ketika ia mendengar suara
Paguhan lemah, tanpa diduga-duganya. "Arya Teja, apakah aku
kau ijinkan melakukannya untukmu. Aku tidak ingin melihat Rara
Wulan membeku di sini."
Terasa sebuah singgungan yang tajam menyentuh jantung
Arya Teja. Tiba-tiba ia menggeram. "Aku dapat melakukannya
sendiri, Paguhan." "Maaf, bukan maksudku menyinggung perasaanmu. Aku ingin
berbuat sesuatu. Aku menyesal bahwa hal yang serupa ini telah
terjadi pada Rara Wulan."
Sekali lagi dada Arya Teja tergetar. Tetapi ia mendapat kesan
yang lain dari kata-kata Paguhan itu. Ia merasakan penyesalan
yang jujur terpancar dari padanya. Sehingga justru karena itu
sejenak ia mematung tanpa dapat menjawab kata-kata itu.
Namun segera ia seakan-akan terbangun dari mimpinya
ketika ia mendengar kata-kata Paguhan, "Apakah kau
mengijinkan Arya Teja" Mudah-mudahan Rara Wulan dapat
diselamatkan." Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah orang
yang paling kecewa atas persoalan itu. Kecewa bahwa ia
dihadapkan pada peristiwa yang tanpa pilihan. Maju tahu
(takut"), mundur hancur.
Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Ia harus menelan segala
kepahitan yang dihadapinya. Kepahitan yang tidak akan dapat
dihapuskannya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya.
Melupakan sesuatu yang telah terjadi. Sebenarnya telah terjadi.
Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya, betapa ia
harus menekan perasaanya. Ia harus menyentuh perempuan itu.
Perempuan yang sudah bernoda.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Paguhan masih berdiri tegak di
tempatnya. Sorot matanya benar-benar membayangkan
penyesalan. Tetapi Paguhan tidak mengalami akibat apa pun
yang langsung menyertai hidupnya kemudian. Tidak setiap hari
ia dihadapkan pada kekecewaan yang harus dilupakan. Ia cukup
menyesali perbuatannya. Apabila penyesalan itu jujur, ia tidak
akan mengulanginya. Tetapi bagaimana dengan noda yang telah
melekat pada keluarganya" Pada isterinya yang setiap hari akan
selalu membayanginya"
Terdengar Arya Teja menarik nafas. Dalam sekali, sedalam
kepedihan yang menghunjam di hatinya.
Tetapi kali ini Arya Teja tidak dapat berbuat lain. Rara Wulan
tidak akan dapat dibiarkannya begitu saja. Meskipun jauh di
dasar hatinya kadang-kadang terbersit keinginan untuk
membiarkan saja Rara Wulan itu mati, namun kemanusiaan
yang melapisi pandangan hidupnya tidak membenarkannya.
Karena itu betapa hatinya serasa seperti digores ujung senjata
yang paling tajam, diangkatnya juga Rara Wulan itu dan
dipapahnya pulang ke rumah. Meskipun demikian, di sepanjang
jalan kadang-kadang timbul juga pertanyaan di dalam hatinya,
"Kenapa aku harus mengalami peristiwa ini" Dosa apakah yang
pernah aku lakukan atau dilakukan oleh keluargaku?"
Sebagai manusia maka peristiwa itu benar-benar telah
mengguncangkan keseimbangannya. Pada saat-saat permulaan
ia melangkahkan kakinya pada dunianya yang baru, setelah
ditinggalkannya dunianya yang lama, ia harus mewarnai dunia
kekeluargaannya itu dengan noda yang paling kotor. Dan ia tidak
dapat melepaskannya. Harhari berikutnya adalah harhari yang penuh dengan
penderitaan. Rara Wulan tidak dapat melepaskan dirinya dari
perasaan bersalah. Kadang-kadang masih meledak ungkapanungkapan
penyesalannya yang tidak terkendali, sehingga
hampir-hampir ia berbasil membunuh dirinya. Tetapi bibi Arya
Teja dengan sabar selalu menasehatinya. Selalu memberinya
petunjuk-petunjuk. "Tetapi aku tidak akan dapat menahan penderitaan ini, Bibi,"
berkata Rara Wulan pada suatu saat. "Kandunganku selalu
memberikan bayangan yang mengerikan. Kandungan yang
selalu berada bersamaku ini, selalu mengatakan kepadaku,
bahwa aku adalah manusia yang paling rendah di dunia. Aku
mengharap, bahwa Kakang Arya Teja memberi aku hukuman
yang paling berat. Membunuh aku atau apa pun yang
diinginkannya. Tetapi dengan caranya, maka aku tidak akan
dapat menanggungkannya. Hukuman ini jauh lebih berat dari
hukuman apa pun juga. Tidak sepatasnya aku dimaafkannya.
Dan maafnya adalah siksaan yang tidak tertanggungkan."
Bibi Arya Teja mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya sareh, "Wulan, apakah kau benar-benar merasa
bersalah." "Ya, Bibi, dan aku bersedia menerima hukumannya."
"Kenapa kau masih juga merasa berkeberatan, Wulan.
Hukumanmu telah ditentukan. Kau dimaafkan. Memang
hukuman itu adalah hukuman yang paling berat bagimu. Tetapi
kau rela menanggungkannya. Tidak sepantasnya kau mencari
jalan yang paling dekat untuk menghindarinya. Mati. Tidak
sepantasnya hukuman itu menyangkut bayi di dalam
kandunganmu yang tidak ikut bersalah."
"Tetapi kelahirannya yang tidak dikehendaki itu, buatnya
tersiksa pula di sepanjang hidupnya kelak."
Bibi Arya Teja menggelengkan kepalanya. "Tidak Wulan.
Kalau kau menerima semuanya ini dengan ikhlas, Arya Teja pun
melakukannya dengan ikhlas dan jujur, dan Paguhan menyesali
perbuatannya sepenuh hati, maka tidak akan ada persoalan lagi
di antara kalian. Kalian harus bersikap wajar, sehingga tidak
menimbulkan pertanyaan pada orang-orang lain yang tidak tahu
persoalannya." Rara Wulan setiap kali hanya dapat menganggukkan
kepalanya sambil menangis. Tetapi ia selalu bertanya-tanya,
sampai di mana kesediaan Arya Teja untuk memaafkannya"
Harhari merayap melintasi pekan dan bulan. Saat-saat yang
mendebarkan menjadi semakan dekat. Kelahiran bayi di dalam
kandungan Rara Wulan. Meskipun Arya Teja dan Rara Wulan, atas nasehat dan
petunjuk yang terus-menerus dengan kesabaran hampir tanpa
batas dari bibinya, berusaha berlaku dan berbuat wajar, namun
mereka masih belum dapat menghapuskan tirai yang seakanakan
masih terbentang di antara mereka. Tirai yang harus
mereka lupakan. Tetapi mereka menyadari, bahwa tirai itu
pernah terbentang di antara mereka.
Ketika saat itu tiba, maka hampir-hampir perasaan Arya Teja
meledak tanpa dapat dikendalikan. Tetapi setiap kali bibinya
selalu membujuknya, menekan dan mengendalikannya dengan
segala macam cara, agar Arya Teja dapat menerima kenyataan
itu, meskipun perempuan tua itu sadar, betapa pahit hati Arya
Teja yang masih muda itu. Sehingga akhirnya, Arya Teja tidak
dapat menghindarkan diri. Menerima kelahiran anak Rara Wulan
itu sebagai anaknya sendiri. Seorang anak laklaki, yang
diberinya nama Sidanti. Kelahiran Sidanti mendapat sambutan yang hangat dari
setiap orang di Menoreh. Mereka merasa ikut bergembira,
bahwa Airya Teja telah mendapatkan, seorang putera. Mereka
sama sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya tersimpan di
dalam hati Arya Teja dan Rara Wulan. Hati yang sebenarnya
telah retak dan sulit untuk dipertautkan kembali.
Meskipun demikian, betapa pahit perasaan mereka, mereka
mencoba menerima segala cara tetangga-tetangga memberi
selamat kepada mereka. Setiap malam pendapa rumahnya
selalu dipenuhi oteh para tetangga yang baik, yang ingin ikut
serta menyatakan kegembiraan hati.
Perempuan-perempuan sibuk membantu di dapur,
menyelenggarakan jamuan untuk setiap malam. Sebagian yang
lain menunggu bayi laklaki itu bergantganti. Di pendapa
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar setiap malam kidung kegembiraan dilagukan oleh
setiap tamu bergantganti. Kidung kegembiraan menyambut
kedatangan anak laklaki Arya Teja. Kidung yang berisi doa agar
bayi itu selamat untuk seterusnya, dijauhkan dari bahaya.
Namun ada juga tamu-tamu perenpuan yang berbisik di
antara mereka, "Bayi ini lahir sebelum waktunya. Lihat tubuhnya
tampak lemah sekali. Tetapi suara tangisnya terlampau kuat."
Perempuan yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, "Ya, ibunya sakit-sakitan saja. Selama mengandung
anak ini, hampir tidak pernah ia sempat melihat sinar matahari di
luar bilik. Bahkan anak ini hampir-hampir membawa nyawa
ibunya." "Ya," desis yang lain. "Arya Teja belum genap sepuluh bulan
kawin." Dan perempuan-perempuan itu bersepakat, bahwa kelahiran
Sidanti agak terlampau cepat. Apalagi Sidanti tampak terlampau
lemah pada saat lahirnya, karena selama ia di dalam
kandungan, ibunya selalu dikejar oleh siksaan batin.
Namun di dalam pertumbuhannya, Sidanti menjadi anak lakilaki
yang cukup kuat dan tangkas. Nakalnya bukan main.
Kesehatannya berangsur menjadi baik. Bahkan anak itu seolaholah
tida pernah disinggahi penyakit.
Tetapi bagaimanapun juga, bayangan wajah Paguhan
tercetak juga di wajah anak laklaki itu. Bagaimanapun juga Arya
Teja ingin melupakanya, tetapi setiap kali ia melihat Sidanti
maka setiap kali ia selalu teringat, bahwa anak laklaki itu
mencerminkan darah yang menitik di dalam urat nadinya.
Sehingga betapapun juga apa yang telah terjadi itu selalu
membayangi siang dan malam.
Bibi Arya Teja yang menjadi semakin tua melihat kepedihan
itu. Perempuan tua itu pun melihat, bahwa Sidanti benar-benar
telah dilahirkan dalam ujud yang hampir serupa dengan
Paguhan. Dan perempuan tua itu menyadari, betapa anak itu
dapat menjadi pagar yang membatasi Arya Teja dan Rara Wulan
sebagai suami isteri. Karena itu maka perempuan tua itu mencoba untuk mencari
jalan yang baik tanpa menimbulkan banyak persoalan. Maka
diambilnya anak itu, dan dibawanya ke rumahnya.
"Anak itu sepantasnya berada di rumahku," berkata orang tua
Arya Teja. "Biarlah kami setiap hari dapat mendukung cucu
kami." "Ah," jawab bibi Arya Teja, "kalian tidak merasa kesepian di
rumah. Kalian masih mempunyai kawan untuk bercakap. Tetapi
aku tinggal seorang diri. Biarlah Sidanti tinggal bersamaku untuk
beberapa tari." Tetapi yang dikatakan beberapa hari itu ternyata terlampau
panjang. Hanya kadang-kadang saja Sidanti tinggal bersama
ibunya, tetapi kemudian kembali kerumah neneknya ke rumah
bibi Arya Teja. Namun ternyata dengan demikian Sidanti menjadi manja. Bibi
Arya Teja yang tahu benar tentang keadaan anak itu, terlampau
menaruh belas kasihan, sehingga anak itu hampir tidak pernah
dikecewakannya. Semua kehendaknya selalu diberinya, dan
semua keinginannya selalu dipenuhinya.
Pengangkatan. Arya Teja menjadi Kepala Perdikan Menoreh,
seperti yang telah dijanjikan, setelah ayahnya merasa terlampau
lelah untuk memerintah, mempengaruhi kehidupan Sidanti pula.
Ia merasa, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan yang
besar. Ayahnya ternyata mempunyai kedudukan yang lebih
besar dari kakek yang digantikannya. Kakeknya bukan seorang
Kepala Tanah Perdikan, tetapi ayahnya selain mendapat wisuda
menggantikan kakeknya, juga mendapat anugerah khusus.
Demikianlah anak laklaki itu tumbuh menjadi anak yang
semakin besar. Padanya tampak semakin jelas, kelebihankelebihannya
dari anak anak sebayanya. Keberaniannya,
kecerdasannya dan kecepatannya untuk menerima petunjukTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
petunjuk tentang berbagai macam hal. Namun, kemanjaannya
pun tumbuh sejalan dengan pertumbuhan badannya.
Anak itulah yang bernama Sidanti. Sidanti anak Rara Wula,
dari keturunan seorang laklaki yang bernama Paguhan, yang
kemudian bergelar Ki Tambak Wedi.
Malam yang gelap menjadi semakin kelam. Angin yang silir
bertiup menggoyangkan dedaunan. Lamat-lamat terdengar
burung kedasih seolah-olah meneriakkan kepedihan hati.
Seleret bulan muda bertengger di langit yang hitam di antara
bintang gemintang yang cerah. Desau angin malam menyapu
wajah Tanah Perdikan Menoreh yang lelap dalam tidurnya.
Tetapi bergolaklah sepasang dada, yang telah mendengar
ceritera tentang Arya Teja dan Paguhan. Sepasang dada anak
muda yang merasa dirinya bersaudara seayah dan seibu.
Namun ternyata hanya seibu saja, tetapi tidak seayah.
Sidanti sendiri mendengarkan ceritera itu dengan hati yang
tegang. Melampaui ketegangan hatinya pada saat-saat ia
menghadapi lawan di medan perang, atau menghadapi lawan
bertanding di dalam perang tanding seorang lawan seorang.
Sejenak hatinya terasa gelap. Namun kemudian terungkatlah
perasaan yang meledak di dalam dadanya. Tiba-tiba ia meloncat
berdiri. Dengan mata yang merah menyala ia menunjuk wajah
gurunya dan sekaligus ayahnya. Dengan suara lantang ia
berkata terputus-putus oleh gelora di dalam dadanya, "Kau, kau,
kau menodai nama baik ibuku. Kau telah membuat aku menjadi
orang yang paling terkutuk." Bibir Sidanti masih bergetar, tetapi
kerongkongannya serasa telah tersumbat.
Selangkah daripadanya Argajaya duduk mematung. Sejenak
ta tidak dapat berbuat apa pun juga selain berdesah. Dadanya
terasa berdeburan seakan-akan ingin meledak, Arya Teja adalah
kakaknya yang kemudian bernama Argapati bergelar Ki Gede
Menoreh. Ternyata laklaki yang bernama Paguhan dan
kemudian bergelar Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah
merusak perasaan kakaknya dan iparnya. Ia telah menaburkan
benih yang akan tumbuh menjadi rerungkudan yang penuh
dengan durduri yang tajam.
Tetapi Argajaya tidak dapat segera berbuat sesuatu.
Diawasinya saja Sidanti yang berdiri beberapa langkah di
hadapan gurunya dengan tubuh gemetar.
Ki Tambak Wedi masih duduk dengan tenang di tempatunya.
Namun wajahnya tampak menjadi suram, sesuram hatinya.
Dipandanginya wajah Sidanti yang menegang. Bibirnya yang
bergerak, tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya
lagi. "Duduklah, Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi.
Sidanti masih berdiri. Matanya masih menyala. Dan bahkan ia
berkata terbata-bata, "Itu, itulah sebabnya." Tetapi kata-katanya
terputus. "Apakah yang disebabkan dan apakah yang menyebabkan,"
bertanya gurunya. "Sekar Mirah," terlompat dari sela-sela bibir Sidanti.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
masih saja duduk di tempatnya. Katanya, "Aku mengerti
maksudmu Sidanti. Kau ingin mengatakan, bahwa segala
macam kegagalanmu itu adalah akibat dari dosa-dosa yang
pernah aku lakukan bersama ibumu." Ki Tambak Wedi berhenti
sejenak, lalu, "Mungkin kau benar. Tetapi itu tidak mutlak.
Sebenarnya aku menyesali apa yang telah terjadi. Penyesalan
itu tidak sekedar terucapkan di antara bibirku. Tetapi penyesalan
itu langsung menghunjam ke pusat jantung." Sekali lagi Ki
Tambak Wedi berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dalam
sekali. Lalu dilanjutkannya, "Kau tahu Sidanti, bahwa untuk
seterusnya aku tidak pernah dapat terpikat oleh perempuan.
Perempuan yang bagaimanapun juga. Setiap kali aku teringat
akan dosa dan noda yang pernah aku lekatkan di tubuh ibumu.
Dan setiap kali aku dikejar oleh penyesalan. Aku mencoba
melupakannya dengan cara apa pun. Dengan cara yang paling
kotor sekalipun. Aku mencoba menganggap bahwa aku tidak
pernah berdosa. Aku datangi perempuan-perempuan yang
dengan sukarela menyerahkan dirinya. Tetapi setiap kali aku
selalu melarikan diriku daripadanya karena perasaan bersalah
itu tidak pernah dapat aku lupakan. Dan akhimya aku terdampar
di padepokan Tambak Wedi. Aku mencoba menenteramkan
diriku dengan cara yang lain. Aku menyibukkan diri dengan
ilmuku, dengan segala macam kerja yang semula tidak berarti.
Aku menjadi semakin gairah, ketika aku mendapat kesempatan
menuntunmu karena bibi Arya Teja yang kemudian bernama
Argapati itu menjadi semakin tua dan tidak lagi mampu berbuat
apa-apa. Ia menyarankan agar anak itu, tidak menimbulkan
persoalan apa pun kelak. Tetapi agaknya keluarga Argapati tidak
dapat menerimamu. Aku tahu bahwa Argapati berusaha untuk
dapat menjadi seorang ayah yang baik. Tetapi perasaannya
setiap kali terungkat. Akhirnya kami bersama-sama menemukan
suatu cara. Kau tetap dianggap sebagai anak Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh dengan segala macam hak dan
kuwajiban. Tetapi kau diserahkan kepadaku di padepokan
Tambak Wedi sebagai seorang murid. Kami masing-masing
berjanji bahwa tidak ada orang lain yang tahu kecuali kami
berempat. Aku, ibumu, Argapati dan bibinya. Kini dua di antara
mereka telah meninggal. Bibi Argapati dan ibumu."
Wajah Sidanti masih membara semerah soga. Matanya
memancarkan perasaan yang bergolak di dalam dirinya.
Tubuhnya yang gemetar masih belum beranjak dari tempatnya.
"Duduklah, Sidanti."
Sidanti masih tetap berdiri.
"Duduklah." Wajah Sidanti masih membara.
"Kita sudah terlibat dalam persoalan itu," berkata gurunya.
"Argapati ingkar janji menurut penilaianku. Bagaimana
penilaianmu, Sidanti?"
Sidanti tidak menjawab. Tanpa sesadarnya ia berpaling
kepada pamannya yang masih duduk dengan tegangnya.
Sidanti merasakannya betapa dadanya menjadi pepat dan
pikirannya menjadi gelap.
"Jangan menyalahkan aku lagi, Sidanti," berkata Ki Tambak
Wedi masih dalam keadaannya. Tenang walaupun suram. "Aku
sudah cukup tersiksa oleh kesalahanku itu. Seandainya ibumu
masih ada, maka aku akan pasrah, apa pun yang akan kau
lakukan seandainya kau merasa aku menjadi sumber bencana
yang menimpa dirimu. Tetapi kini keadaannya sudah lain. Ibumu
sudah tidak ada. Tidak ada lagi orang yang memberati
perasaanku. Aku menjadi seakan-akan terbebas dari sebuah
belenggu yang selama ini mengikatnya.
Sidanti masih membeku. Tetapi wajah Argajaya menjadi
semakin tegang. Ia kini tahu benar persoalannya. Persoalan itu
berpusar pada persoalan antara kakaknya Argapati dan Ki
Tambak Wedi. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya Argapati
apabila tidak segera menerima tawaran Ki Tambak Wedi untuk
membantu Sidanti, madeg kraman melawan pemerintahan
Pajang. Sedang Sidanti itu sama sekali tidak ada sentuhan
darah dengan kakaknya itu.
Meskipun demikian Argapati tidak segera berbuat sesuatu. Ia
tahu benar, siapakah Ki Tambak Wedi itu. Dan ia belum tahu,
apakah yang akan terjadi dengan Sidanti.
Argajaya yang licik itu sengaja tidak segera menyatakan
sikapnya, meskipun sikap itu telah ada di dalam dadanya. Ia
menunggu apakah yang akan terjadi. Peristiwa apakah yang
akan berkembang kemudian. Dengan demikian maka Argajaya
masih juga tetap diam di tempatnya. Ditahankannya
perasaannya, agar tidak meluap ke luar sehingga menimbulkan
akibat yang tidak dikehendakinya.
Sidanti sendiri masih saja membeku di tempatnya. Seakanakan
anak muda itu telah kehilangan akalnya. Ia tidak tahu apa
yang sebaiknya dilakukan. Darahnya yang meluap-luap tiba-tiba
serasa berhenti mengalir. Yang berada di hadapannya itu adalah
bukan sekedar gurunya, tetapi ia adalah ayahnya, meskipun
karena perbuatannya ibunya menjadi tersiksa sepanjang
hidupnya. Dengan ceritera itu, maka barulah ia kini mengetahui
sebabnya, kenapa kelakuan ibunya selama ini terasa terlampau
berlebih-lebihan. Kesetiaannya, kesediaannya untuk melakukan
apa saja sesuai dengan keinginan suaminya dan, betapa ia
menghormati Argapati, meskipun Argapati sendiri sama sekali
tidak menunjukkan keinginannya untuk berbuat sewenangwenang.
Ternyata kesediaan itu tidak tumbuh dari dasar hatinya,
tetapi semuanya itu terdorong oleh suatu keinginan untuk
menebus dosa dan hutang budi
Sejenak Sidanti mencoba membayangkan apa yang telah
terjadi di dalam lingkungan keluarga Argapati. Namun bayangan
itu semakin lama menjadi semakin kabur.
Lamat-lamat ia mencoba mengenali kembali Argapati, ibunya
dan adiknya Pandan Wangi. Tetapi dalam gejolak perasaannya,
ia tidak berhasil untuk meneropong sebaik-baiknya keadaan
keluarga itu. Termasuk dirinya sendiri.
Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi
berkata, "Duduklah, Sidanti."
Sidanti masih mematung. "Apakah kau masih tetap berpendapat bahwa aku telah
berkhianat terhadap ibumu?"
Tidak ada jawaban. "Seandainya benar demikian, apakah yang dapat kau lakukan
sekarang" Argapati sudah menyatakan sikapnya. Ia tidak dapat
melindungimu dari telunjuk orang-orang Pajang. Dan itu adalah
wajar sekali, karena sejak semula Argapati tidak ikhlas
menerima kau sebagai anaknya. Ia hanya menginginkan ibumu.
Bukan kau." Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dalam dadanya.
Seandainya saat itu Argapati ada diruangan itu, maka ia pasti
akan menunjuk kedua-duanya, Argapati dan Ki Tambak Wedi,
sambil berteriak, "Kalian adalah pengkhianat-pengkhianat yang
paling jahat." Tetapi yang didengarnya adalah suara Ki Tambak Wedi,
"Duduklah, Sidanti. Buatlah pertimbangan-pertimbangan yang
baik." Sidanti sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Otaknya
serasa menjadi pepat, dan ia tidak menyadari apa yang
sebenarnya sedang dilakukan dan apa yang sebaiknya harus
dilakukan. Ternyata Ki Tambak Wedi membiarkannya saja dalam
sikapnya itu. Perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya
sambil berkata, "Itulah yang sebenarnya telah terjadi atas diriku
dan kakakmu Argapati. Sekarang terserah kepadamu, di mana
kau akan berdiri. Tetapi kau harus ingat, bahwa kau bersamasama
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami telah terlibat dalam persoalan yang serupa. Melawan
orang-orang Pajang. Sedang kakakmu Argapati sama sekali
tidak ingin berbuat apa-apa. Baginya kedudukan ternyata jauh
lebih penting dari apa pun juga. Dari adiknya sendiri dan dari
seseorang yang telah diakuinya sebagai anaknya."
Argajaya pun tidak segera menjawab. Ia masih berdiam diri
sambil menunggu perkembangan dari keadaan Sidanti.
"Bagaimanakah pendapatmu?" bertanya Ki Tambak Wedi
kemudian. Argajaya masih juga berdiam diri, meskipun hatinya
bergelora. Bagaimanapun juga Argapati adalah kakaknya.
Meskipun dalam banyak persoalan ia tidak sependapat dengan
kakaknnya, bahwa di dalam saat yang paling genting sekalipun
kakaknya tidak bersedia melindunginya, tetapi Argapati adalah
kakaknya. Apabila di dalam persoalan ini ia harus memilih, maka ia
harus membuat pertimbangan semasak-masaknya. Ternyata
Sidanti sama sekali tidak ada persambungan darah dengan
dirinya. Sidanti bukan putera Argapati.
Karena Argajaya juga tidak segera menjawab, maka Ki
Tambak Wedi itu bergumam, "Memang keadaan, ini sama sekali
pasti tidak pernah kalian duga-duga sebelumnya. Tetapi bagi
kalian, terutama Sidanti, yang masih cukup muda, cobalah
memandang ke hari depan. Jangan terpukau kepada masa
lampau, betapapun indahnya, atau betapapun buruknya. Yang
penting, bagaimanakah yang akan datang. Nah, apakah kau
sudah mulai membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa
datang?" Tak ada jawaban. "Sidanti," berkata Tambak Wedi itu pula, "aku telah berbuat
apa saja buat hari depan itu. Hari depanmu. Karena aku akan
merasa ikut menikmati, apa yang akan kau dapatkan. Justru
karena kau anakku. Aku mengharap bahwa Argapati pun akan
berbuat demikian. Aku mengharap ia jujur menerima kau
sebagai anaknya. Tetapi ternyata aku keliru. Argapati sama
sekali tidak bersungguh-sungguh. Ia memberikan kau kepadaku
bukan sekedar pemecahan masalah tetapi benar-benar ingin
menyingkirkan kau dari Menoreh. Nah, apakah kau tidak
merasakannya?" Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu,
"Sekarang, kau sudah cukup dewasa. Pertimbangkan olehmu,
mana yang baik dan mana yang tidak baik."
Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, maka ruangan itu menjadi
terlampau sepi. Kesepian yang mencengkam sampai ke pusat
jantung. Namun di dalam dada Sidanti terjadilah pergolakan yang
terlampau dahsyat. Benturan-benturan perasaan yang sangat
membingungkannya. Keluarga yang memeluknya sejak kanakkanak,
tanpa diduga-duganya kini pecah berserakan seperti
belanga yang jatuh menghantam batu. Sedak kecil ia merasakan
bahwa ia berada di dalam satu lingkungan yang baik, di dalam
satu keluarga yang menyenangkan. Baginya Argapati adalah
ayahnya. Ia tidak pernah merasakan, bahkan segelugut kolangkaling
terbelah tujuh ia tidak akan menyangka, bahwa Argapati
itu bukan ayah kandungnya.
Tetapi tiba-tiba kini ia dibenturkan pada suatu kenyataan.
Meskipun kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu. Namun menurut
pertimbangannya, hal yang demikian itu, sudah pasti bukan
hanya sekedar dongengan. Seandainya Ki Tambak Wedi
berbohong, maka ia adalah pembohong yang paling besar pada
jamannya. Dengan demikian maka Sidanti tidak segera dapat
menemukan sikap. Dalam keragu-raguan, dipandanginya
pamannya Argajaya yang masih juga berdiam diri.
Tetapi ketika terpandang olehnya wajah Argajaya, sekali lagi
dada Sidanti berdesir. Orang itu ternyata sama sekali bukan
pamannya. Bahkan bukan sanak bukan kadangnya. Argajaya
adalah adik Argapati yang telah dikecewakan oleh gurunya, oleh
ayahnya. Apakah dengan demikian ia dapat mengharapkan
Argajaya itu berada di pihaknya, seandainya ia memilih berdiri di
sebelaah Ki Tambak Wedi. Gelora di dalam dada Sidanti itu menjadi kian bergemuruh. Di
dalam angan-angannya berloncatanlah berbagai kenangan
masa harapannya. Ia mencoba melihat kembali apakah yang
pernah dilakukan oleh Argapati untuknya dan apa yang telah
dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Dua wajah yang membayang di
pelupuk matanya. Ia kini harus memilih satu di antara dua. Dan
kenyataan ini terasa benar-benar pahit.
Namun ia harus menentukan sikap. Ia tidak dapat selalu
bergantungan di dunia angan-angannya tanpa berjejak di atas
kenyataan. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Betapa Argapati baginya adalah seorang ayah yang baik,
yang sabar dan ramah, tetapi kenyataan telah memisahkannya.
Argapati sama sekali bukan seorang yang sabar dan ramah.
Justru karena Argapati tidak dapat menghapus kenangannya
atas peristiwa kelahiran Sidanti, maka dipaksakannya dirinya
berbuat sebaik-baiknya. Sekali lagi Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak
Wedi berkata, "Duduklah. Pikirkanlah dengan baik. Kau harus
membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang."
Kali ini Sidanti benar-benar terhisap oleh pengaruh yang tidak
dikenalnya. Perlahan-lahan ia meletakkan dirinya, duduk di
sebelah gurunya. "Kau harus bersikap dewasa. Jangan seperti kanak-kanak
yang bingung karena kehilangan barang mainan," berkata
gurunya. Sidanti masih berdiam diri. Dua wajah yang sama-sama
dikenalnya dengan baik masih terbayang. Tetapi bagi mata hati
Sidanti, wajah Argapati semakin lama menjadi semakin kabur.
"Sikap Argapati selama ini bukanlah sikap yang jujur," berkata
Ki Tambak Wedi. "Ia ingin dianggap dirinya seorang yang baik,
yang berjiwa besar dan yang dengan lapang dada memaafkan
orang lain. Tetapi ia telah merendam dendam dan kebencian di
dalam dadanya, yang setiap saat akan meledak dengan
dahsyatnya. Ia berbuat begitu baik kepadamu sama sekali bukan
untuk kepentinganmu, tetapi ia berbuat untuk kepentingannya
sendiri." Sidanti mengerutkan keningnya. Bayangan wajah Argapati
semakin lama menjadi semakin suram.
Seperti yang dialaminya selama ia berada di Tambak Wedi,
gurunya yang ternyata juga ayahnya itu telah berbuat apa saja
untuknya. Ia telah mendorongnya untuk berusaha naik ke tangga
yang lebih tinggi di dalam tata keprajuritan. Meskipun usaha itu
tidak berhasil, tetapi ia telah terlampau banyak berbuat
untuknya. Apa saja. Sehingga yang terakhir dikorbankannya
padepokannya, Tambak Wedi.
Neraca di dalam hati Sidanti semakin lama menjadi semak
miring. Apalagi yang kini berada di sisinya adalah Ki Tambak
Wedi itu sendiri sehingga dengan demikian, maka pengaruh
kehadirannya, ternyata ikut menentukan pilihan yang harus
dijatuhkannya. Tetapi tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di
dalam hatinya. Seandainya ia berpihak kepada, Ki Tambak
Wedi, apakah yang kemudian dapat dilakukan olehnya" Kepala
Tanah Perdikan Menoreh adalah Argapati. Argapati dapat
memerintahkan apa saja yang dikehendakinya atas orang-orang
Menoreh. Argapati dapat memerintahkan untuk menangkapnya
bersama-sama Ki Tambak Wedi.
Namun pertanyaan itu tidak diucapkannya. Ditempat itu hadir
pula Argajaya, adik Argapati, sehingga pembicaraan mengenai
hal itu tidak akan dapat dilakukannya dengan baik.
Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi dapat menduga-duga
hatinya. Keragu-raguan yang membayang di wajahnya. Karena
itu maka Ki Tambak Wedi itu berkata berterus-terang, "Bagiku
tidak ada pilihan lain daripada memenuhi perjanjian itu di bawah
Pucang Kembar, pada saat purnama naik seperti yang pernah
terjadi dahulu. Aku mengharap bahwa kali ini aku dapat
membunuhnya." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak,
diperhatikannya wajah Argajaya yang menjadi semakin tegang.
Dan ia berkata seterusnya, "Seandainya tidak, maka aku pun
tidak akan bersedia mati tanpa arti. Kalau aku tidak dapat
membuat penyelesaian macam itu, maka aku harus berbuat
banyak. Aku harus melakukan perlawanan atas kekuasaan
Argapati di bukit Menoreh ini, sebelum aku dapat
mempergunakan seluruh kekuatan yang ada di sini. Kau adalah
pewaris yang syah meskipun kau bukan anaknya. Setiap hidung
tahu, bahwa kau kelak akan mewarisi tanah ini. Itulah sebabnya
agaknya Argapati menjerumuskan kau ke dalam bencana." Ki
Tambak Wedi sekali lagi berhenti berbicara. Sekali lagi
diperhatikannya wajah Argajaya. Lalu, "Kau tidak usah
mencemaskan apa yang terjadi seandainya Argapati terbunuh
olehku kelak. Tidak ada orang yang tahu, persoalan apa yang
terjadi. Apabila seseorang mendengar perjanjian ini di halaman
rumah Argapati, mereka pun tidak akan jelas menangkap
maksudnya. Sepeninggal Argapati, maka kaulah yang akan
menjadi kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Wajah Argajaya tiba-tiba menjadi merah menyala. Ia kini tidak
dapat mengendalikan diri lagi, sehingga meloncat kata-katanya,
"Itu adalah cara yang licik. Kiai, aku adalah adik Argapati.
Setelah aku tahu, bahwa Argapati tidak berputerakan Sidanti,
maka akulah yang lebih berhak atas tanah ini seandainya
Kakang Argapati tidak ada lagi."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
menggelengkan lemah. "Tidak, Ngger. Kalau Sidanti disisihkan
dari urutan pewaris tanah ini, maka di dalam rumah Argapati
masih ada lagi seorang gadis yang cukup garang, Pandan
Wangi. Apabila Sidanti disingkirkan, maka Pandan Wangi adalah
satu-satunya pewaris tanah ini. Suaminyalah yang kelak akan
dapat menyebut dirinya. Ki Gede Menoreh."
Sekali lagi warna merah membersit diwajah Argajaya. Katakata
Ki Tambak Wedi itu tepat mengenai sasarannya.
Demikianlah agaknya apabila Sidanti tidak lagi dapat menduduki
jabatan Argapati, maka PandanWanglah yang kelak akan
berhak atas kedudukan itu.
Dengan demikian, maka Argajaya itu pun tidak segera dapat
berkata sesuatu, meskipun terasa dadanya menjadi terlampau
pepat. Ruangan itu sejenak menjadi sunyi. Mereka mencoba untuk
melihat dari seginya masing-masing, apakah yang sebenarnya
sedang mereka hadapi. Tetapi putaran dari segi pandangan
mereka, terutama adalah kepentingan mereka sendiri.
Kepentingan diri pribadi. Sidanti yang kecewa mendengar
kenyataan tentang dirinya, mencoba untuk menemukan
imbangan dari kekecewaannya itu. Justru ia ingin menjadi
seorang yang jauh lebih besar dari kenyataan yang dihadapinya.
Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti ternyata bukan putera
Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hak atas
tanah ini kelak akan diwarisinya. Namun itu bukan karena ia
sebenarnya berhak, tetapi hal itu dapat terjadi sekedar karena
belas kasihan Argapati kepadanya, kepada ibunya.
(BERSAMBUNG) "Tidak!" tiba-tiba ia menghentak di dalam hatinya. "Aku tidak
mau sekedar menerima belas kasihan orang. Aku harus dapat
menentukan nasibku sendiri. Apa pun yang harus aku tempuh."
Sekilas dipandangnya Argajaya yang masih terdiam
merenungi persoalannya. "Bagaimana, Sidanti?" bertanya gurunya. "Apakah kau sudah
menemukan keputusan yang paling baik buat kau lakukan" Aku
tidak ingin memaksamu untuk segera mengambil sikap. Kau
masih mempunyai waktu, supaya keputusanmu tidak kau ambil
dengan tergesa-gesa."
Sidanti masih belum dapat menjawab. Tetapi dari sorot
matanya, Ki Tambak Wedi yang telah dipenuhi oleh pengalaman
hidup, oleh pahit manisnya kehidupan itu, dapat meraba, bahwa
Sidanti telah hampir dapat dikuasainya sepenuhnya. Sidanti,
yang selama ini digadangnya untuk menjadi seseorang yang
berkedudukan baik. Jauh lebih baik dari keadaannya sekarang.
Namun justru karena itu, maka sikap Sidanti menjadi sombong,
tergesa-gesa, dan manja seperti kemanjaannya masa kanakkanak.
"Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi, "kita sudah tidak dapat
mundur lagi. Kita sudah berdiri berhadapan dengan kekuasaan
Pajang. Sedang di sini, Argapati sama sekali tidak dapat kita
harapkan. Karena itu kita harus mendapatkan kekuatan iu sendiri
tanpa bersandar kepada Argapati."
Sidanti mengerutkan keningnya, sedang wajah Argajaya
menjadi semakin menegang.
"Apa pun yang kita kemukakan kepada orang-orang Pajang,
pasti tidak akan didengar oleh mereka. Kita sudah dianggap
memberontak. Untuk itu maka kita memerlukan kekuatan."
Sidanti masih diam. Sedang Ki Tambak Wedi meneruskannya
sambil melihat wajah Argajaya dengan sudut matanya. "Tidak
ada di antara kita yang dapat melepaskan diri. Besok atau lusa,
atau sebulan dua bulan lagi, kita akan selalu dikejar-kejar oleh
petugas-petugas sandi dari Pajang apabila kita tetap dalam
keadaan itu. Tetapi keadaan akan sangat berbeda apabila kita
berdiri tegak bersama sepasukan prajurit dengan panjpanji di
atas kepala kita. Tidak seorang pun yang menyahnt, dan Ki Tambak Wedi
berkata terus, "Kesimpulannya adalah, menyusun kekuatan.
Siapa yang menghalangi, harus dimusnahkan. Bukankah begitu,
Sidanti?" Sidanti tidak menyahut. Tetapi Ki Tambak Wedi melihat
bahwa kata-katanya telah menyusup ke pusat jantungnya. Yang
menjadi pusat perhatiannya kini adalah Argajaya. Ia mengharap
orang itu tidak melepaskan diri daripadanya. Argajaya sudah
terlanjur terlibat dalam perlawanan atas Pajang. Ia harus
memberikan kesan, bahwa tidak ada jalan lain baginya untuk
bersama-sama melawan Pajang.
Tetapi Argajaya itu masih tetap membeku. Meskipun demikian
di dalam dadanya, bergelora pertimbangan-pertimbangan yang
saling berbenturan. Perasaannya sebagai seorang adik, benarbenar
tersinggung. Tetapi ia merasakan kebenaran kata-kata Ki
Tambak Wedi, bahwa orang-orang Pajang pasti
menganggapnya sebagai seorang buruan. Padahal, kakaknya,
Argapati, tidak bersedia untuk berdiri melawan Pajang. Dan
bahkan benar juga agaknya kata-kata Ki Tambak Wedi bahwa
kakaknya pasti tidak akan melindunginya, untuk tidak diikutsertakan
dalam kesalahan yang pernah dilakukan atas Pajang,
sehingga dapat membahayakan kedudukannya sebagai seorang
Kepala Tanah Pedikan. Jabatan itu akan dapat dicabut dan
diserahkan kepada orang lain, atau kedudukan Tanah Menoreh
sebagai Tanah Perdikan dapat dibatalkan.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baik Sidanti maupun Argajaya sudah dapat membayangkan
jalan apakah yang akan ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Mereka
sadar, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil kesempatan
untuk mengumpulkan orang-orang Menoreh sendiri yang
bersedia melawan Argapati. Mungkin Sidanti sebagai seorang
yang selama ini dikagumi oleh anak-anak muda Menoreh dapat
dimanfaatkan untuk menarik kekuatan anak-anak muda di
pihaknya. Gelora di dalam dada Argajaya menjadi semakin bergemuruh.
Ia berdiri di simpang jalan yang sulit.
Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
"Semuanya telah jelas bagi kita. Aku menunggu keputusanmu
Sidanti, meskipun aku sudah dapat menduga, apakah yang
sebenarnya tersimpan di dalam dadamu. Agaknya kau telah
memilih jalan yang benar. Bagimu hanya ada satu cara untuk
melangkah maju. Melawan Pajang. Setiap tindakan yang kau
lakukan harus beralaskan pendirian itu. Sebab apabila tidak
demikian, maka kau akan dibinasakan oleh orang-orang Pajang
tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan mungkin Pajang tidak
perlu mengirimkan pasukannya kemari, tetapi mereka dapat
mempergunakan tangan Argapati." Ki Tambak Wedi itu berhenti
sejenak perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya. "Angger,"
katanya kemudian, "aku tahu bahwa kau berada dalam kesulitan.
Tetapi kau harus bijaksana. Kau tidak dapat bergantung kepada
kakakmu itu. Kita harus menentukan sikap. Tetapi bagiku dan
bagi Sidanti, agaknya jauh lebih mudah melakukannya karena
Argapati tidak bersangkut paut apa pun dengan aku dan Sidanti
sepeninggal Rara Wulan. Tetapi kau adalah adiknya."
Argajaya tidak segera dapat menjawab. Tetapi hatinya
bertanya, "Apakah yang kelak akan terjadi atas aku dan
keluargaku seandainya Sidanti berhasil" Sidanti akan menjaei
Kepala Tanah Perdikan, berdasarkan atas kemenangannya dan
berdasarkan atas hak yang diakui oleh orang-orang Menoreh.
Lalu, bagaimana dengan aku?" Kebimbangan dan keraguraguan
telah melanda dinding jantung Argajaya sehingga terasa
dadanya menjadi berdentangan semakin keras.
Dengan demikian, maka justru ia menjadi semakin diam.
Dicobanya untuk memecahkan persoalan itu supaya ia tidak
terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu.
Agaknya Ki Tambak Wedi sengaja membiarkannya berpikir.
Sejenak orang tua itu berdiam diri sambil memandangi nyala
lampu minyak di atas ajuk-ajuk.
Di dalam angan-angan, Argajaya telah dapat melihat, bahwa
Tembak Wedi akan menuntun Sidanti untuk melakukan
perebutan kekuasaan di Menoreh sebelum ia melangkah
semakin jauh. Sidanti, akan mempercepat mengambil hak yang
sudah dijanjikan atasnya dengan kekerasan.
Argajaya mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar
Tambak Wedi berkata, "Kau harus mempergunakan nalar
pikiranmu, Ngger, bukan perasaanmu. Dalam hubungan keluar
kau adalah adik Argapati. Tetapi di dalam persoalan ini, kau
sama sekali tidak mendapat tempat di dalam kedudukannya
sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh ini." Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak, kemudian, "Demikian juga seharusnya
penilaian atas Sidanti. Ternyata ia bukan kemanakanmu. Tetapi
kau dapat bekerja bersamanya untuk menegakkan kejantanan di
atas tanah perdikan ini. Kau jangan menyangka, bahwa Sidanti
akan berhenti sampai kedudukan tertinggi di tanah ini. Tanah ini
hanya sekedar pancadan baginya. Sebab ia sudah terlanjur
berdiri bertentangan dengan Pajang. Sikap itu harus dilanjutkan.
Pajang kini masih belum mantap benar. Karena itu, kita bekerja
lebih cepat. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari sampai
saatnya purnama naik. Kita masih dapat menentukan sikap yang
harus kita lakukan. Kalau dalam saat yang pendek ini Sidanti
dapat berhubungan dengan anak-anak muda Sangkal Putung
dan apabila Angger Argajaya bersedia menghubungi pihak-pihak
lain, maka aku benar-benar akan membunuh Argapati. Dengan
demikian maka Sidanti akan segera mendapat kesempatan itu.
Menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Tetapi itu hanya untuk
sementara, Ngger. Sebab, seterusnya Sidanti harus mendapat
tempat yang baik. Dan kedudukan tertinggi di daerah ini akan
segera ditinggalkannya. Sudah tentu Sidanti tidak akan
menyerahkannya kepada orang lain. Kepada suami Pandan
Wangi pun tidak, karena Angger Argajaya yang telah banyak
membantunya. Dada Argajaya menjadi berdebar-debar. Janji itu
menyenangkan sekali. Tetapi Argajaya bukan anak-anak. Ia
masih dapat merasakan, berdasarkan atas pengalamannya, dan
firasatnya, bahwa Tambak Wedi tidak akan berbuat sebaik itu
kepadanya. Tetapi wajahnya menjadi merah padam ketika ia mendengar
Ki Tambak Wedi berkata, "Tetapi kalau Angger Argajaya tidak
bersedia bekerja bersama dengan kami, maka akibat yang
paling parah akan terjadi padamu. Besok atau lusa, kau akan
dihadapkan ke tiang gantungan di alun-alun Pajang tanpa
pembelaan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Juga seandainya
besok atau lusa Argapati sendiri yang akan menangkapmu, atau
orang-orang lain yang kau kecewakan."
Argajaya tahu benar ancaman ini. Meskipun yang diucapkan
oleh Ki Tambak Wedi adalah nama-nama Pajang dan Argapati,
tetapi Argajaya menyadari, bahwa apabila ia tidak bersedia ikut
serta, maka Ki Tambak Wedi pasti tidak akan segan-segan
berbuat sesuatu atasnya. Tetapi Argajaya bukanlah seorang yang bodoh, ia pun
memiliki akal yang tidak kalah liciknya dari Ki Tambak Wedi.
Karena itu, maka setelah ia berpikir dengan memperhitungkan
segenap kemungkinan, ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, "Ya, Kiai, aku dapat mengerti. Aku memang
harus mengesampingkan hubungan keluarga dan kepentingankepentingan
pribadi dari kepentingan-kepentingan yang lebih
jauh." Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
bergumam , "Terima kasih, Ngger. Agaknya kau tahu, apakah
yang sebaiknya kau lakukan." Ki Tambak Wedi itu berhenti
sejenak, lalu, "Nah, kita harus mempergunakan setiap
kesempatan sebaik-baiknya. Kita harus segera menyusun
rencana. Kita manfaatkan ketidakpuasan yang ada di Tanah
Perdikan ini. Kita harus dapat meniupnya dan membakar Tanah
ini dengan ketidakpuasan itu, sehingga tanah ini akan menjadi
karang abang. Di atas reruntuhan itu kita akan membangunkan
sesuatu kekuatan yang tidak dapat terpatahkan. Kita akan
madeg kraman, melawan kekuasaan Adiwijaya. Kita harus dapat
menguasai Alas Mentaok sebelum hutan itu dikuasai oleh
Pemanahan." Sekali lagi Ki Tambak Wedi berhenti. Ditariknya
nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan
perasaannya yang sedang meluap. Kemudian katanya, "Ah, aku
sudah meloncat terlampau jauh. Sekarang, apakah yang
sebaiknya kita lakukan di atas Tanah ini untuk melepaskan
kekuasaan Argapati yang ternyata terlampau mementingkan
dirinya sendiri dari pada kejantanan, harga diri, dan cita-cita itu?"
Argajaya mengerutkan keningnya. Kemudian dianggukanggukkannya
kepalanya. Katanya, "Terserahlah kepada Kiai.
Aku sama sekali belum sempat memikirkannya. Persoalan ini
baru saja aku ketahui, dan keputusanku pun baru saja, aku
ketemukan." Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sama sekali tidak dilihatnya, bahwa Argajaya itu tersenyum di
dalam hati. Di dalam dasar hatinya, ia berkata, "Biarlah Sidanti
mengusir Kakang Argapati. Tetapi pada saatnya, akulah yang
akan duduk di atas tempat tertinggi di Menoreh itu. Kakang
Argapati memang sebaiknya disingkirkan. Selagi ia masih ada,
maka aku dan keturunanku tidak akan mendapat kesempatan
itu. Tetapi apabila Kakang Argapati sudah tidak ada, maka
kemungkinan itu akan datang. Sidanti sama sekali tidak berhak
atas kedudukan itu. Sepatah kata yang membukakaan rahasia
itu, maka setiap orang di Menoreh akan berpihak kepadaku.
Darah trah kepemimpinan di Menoreh sepenuhnya mengalir di
dalam tubuhnya. Tetapi jalan lain tidak aku lihat saat ini kecuali
bergabung dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Memperbanyak
jumlah pengikutnya dan menyalakan api ketidak-puasan di atas
Bukit ini. Tetapi api itu kelak harus membakar hangus dua orang
ayah beranak yang telah menghancurkan segala sendsendi
peradaban atas isteri Kakaing Argapati, dan sekarang
berkeinginan untuk membinasakannya Kakang itu sendiri."
Sekali lagi Argajaya tersenyum di dalam hati. Ketika
kemudian Ki Tambak Wedi sibuk berbicara tentang rencananya,
maka Argajaya pun sibuk membuat perhitungan-perhitungan di
dalam hatinya. Menangkap segala rencana Ki Tambak Wedi itu
dan menyesuaikan dengan rencana yang disusunnya sendiri.
Temyata rencana Argajaya tidak kalah besar dan jauh dari
rencana Tambak Wedi. Ia dapat memanfaatkan usaha-usaha
yang akan dapat memberinya keuntungan. Dan ia akan dapat
meminjam tangan Ki Tambak Wedi untuk kepentingannya,
meskipun menilik tata lahir Ki Tambak Wedlah yang akan
memanfaatkanapa. "Tetapi aku harus melihat perkembangan dari setiap rencana
mereka," kata Argajaya di dalam hatinya. "Sehingga untuk itu
aku harus mendapat kesempatan untuk selalu berada di antara
mereka." Sekali lagi Argajaya tersenyum di dalam hatinya. Ia harus
menjadi orang penting. Ia harus, menunjukkan kesetiaannya
kepada Ki Tambak Wedi dan Sidanti supaya ia mendapat
kepercayaan, sehingga pada saatnya ia dapat bertindak sesuai
dengan rencananya sendiri.
"Tetapi untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, aku tidak akan
dapat berbuat sendiri," berkata Argajaya di dalam hatinya. "Aku
harus menghubungi orang-orang yang pernah aku kenal dan
aku, percaya." Terbayang di kepala Argajaya seorang tua yang dikenalnya
dengan baik. Meskipun ia belum yakin bahwa orang tua itu
bersedia membantunya, tetapi ia akan mencobanya.
"Hubungan orang tua itu dengan Kakang Argapati agak
kurang baik," desahnya di dalam dadanya. "Mudah-mudahan
aku berhasil membujuknya dan membawanya di dalam
rencanaku. Kalau Kakang Argapati telah tersisihkan, apalagi
terbunuh, maka orang lua itu akan dapat menyingkirkan Ki
Tambak Wedi. Sidanti bukan soal yang sulit bagiku. Apalagi
rahasianya telah berada di tanganku."
Argajaya itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki
Tambak Wedi bertanya, "Apakah kau ragu-ragu, Ngger?"
"Memang ada keragu-raguan itu, Kiai. Aku adalah adik
Kakang Argapati. Tetapi aku sedang mencoba mempergunakan
pikiranku. Bukan perasaanku."
"Aku percaya bahwa Angger akan dapat mengatasi perasaan
itu. Dengan demikian, aku tidak akan terlampau banyak bekerja
menjelang pertemuan di bawah Pucang Kembar itu. Bukankah
begitu" Aku percaya bahwa pengaruhmu di sini cukup kuat,
sehingga bersama-sama dengan Sidanti, kalian segera akan
berhasil membelah Menoreh menjadi dua kekuatan. Sidanti dan
Angger Argajaya di satu pihak dan Argapati di lain pihak." Ki
Tambat Wedi berhenti sejenak, lalu, "Dapatkah aku membuat
perhitungan demikian?"
Argajaya mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakmya
sendiri ia berpaling kepada Sidanti. Kemudian katanya perlahanlahan,
"Bagaimana pendapatmu, Sidanti?"
Sejenak Sidanti berpikir. Ia mencoba untuk menjajagi
keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ia berkata, "Aku
terlampau lama berada di luar Tanah Perdikan ini, sehingga aku
tidak segera dapat mengatakannya. Paman-lah yang setiap saat
berada di Tanah ini. Melihat watak dan sifat orang-orangnya.
Mendengar dan mengerti kemauan dan kesenangannya."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia berdesis, "Ada pihak yang tidak senang kepada Kakang
Argapati, justru karena ia ingin menjadikan Tanah ini terlampau
baik. Kakang Argapati mencoba mencegah perjudian sabung
ayam dan kesenangan lain yang telah mendarah daging bagi
orang-orang Menoreh. Sejak ia menjadi Kepala Tanah Perdikan,
ia sudah mulai mencoba. Tetapi setiap kali ia merasa gagal.
Setiap kali ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa hal-hal yang
tidak dikehendaki itu tetnyata masih tersebar luas di Tanah
Perdikan ini. Seakau-akan seemakin lama bahkan menjadi
semakin meluas. Tetapi Kakang Argapati pun agaknya tidak
jemu-jemu pula berusaha. Cara yang dianggapnya baik selalu
dicobanya. Setiap kali ia gagal, setiap kali pula ia menemukan
cara yang lain. Terlebih-lebih lagi pada saat paceklik yang jarang
sekali menerkam Tanah Perdikan ini. Beberapa tahun yang
lampau Tanah ini mengalami paceklik panjang. Dalam saat yang
demikian itulah agaknya Kakang Argapati hampir kehabisan
kesabaran, sehingga cara yang ditempuhnya menjadi tampak
terlampau keras dan kasar. Beberapa pihak menjadi tidak
senang atas sikap itu." Argajaya berhenti sejenak untuk menarik
nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat apakah yang pernah
terjadi di Tanah Perdikan ini, dan apakah yang sebaiknya
dikatakannya pada saat itu. Sejenak kemudian disambungnya,
"Bukan saja mereka yang telah dicengkam oleh judi, sabung
ayam, sabung gemak, dan bahkan jirak dan dakon dengan
taruhan, beradu kemiri dan yang lain-lain, tetapi juga orangorang
kaya menjadi kecewa. Pada saat yang paling sulit, Kakang
Argapati telah meminjam padi dan beras dari orang-orang kaya
untuk orang-orang miskin. Pada saat yang paling sulit itu pun
Kakang Argapati agaknya hampir kehilangan kesabaran karena
kecemasannya melihat rakyatnya diserang oleh kelaparan. Pada
saat itulah Kakang Argapati mengambil beras dan padi orangorang
kaya itu, meskipun menurut perjanjian yang dibuat,
Kakang Argapati akan mengembalikan. Tetapi orang-orang kaya
merasa haknya dirampas dengan paksa oleh Kakang Argapati.
Mereka merasa bahwa Kakang Argapati telah menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai Kepala Tanah Perdikan, untuk memeras
orang-orang kaya di Tanah ini."
Ki Tambak Wedi memperhatikan keterangan Argajaya itu
dengan dahi yang berkerut-merut. Namun sejenak kemudian ia
tersenyum. Katanya, "Apakah Angger Argajaya mengenal orangorang
yang menjadi sakit hati itu?"
"Aku mengenal sebagian terbesar dari mereka."
"Apakah mereka tidak terikat oleh kesetiaan dan kebanggaan
atas keturunan Argapati."
"Ya. Itulah yang menahan mereka untuk berbuat sesuatu.
Mereka merasa bahwa trah Argapati tidak dapat diganggu gugat
memegang pimpinan di Tanah ini."
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi suram. Ia menyadari,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesetiaan yang sudah tertanam sejak nenek moyang itu
memang sulit untuk diatasi. Tidak ada orang lain yang lebih baik
daripada jalur keturunan Argapati. Tidak ada orang lain yang
pantas untuk menyebut drinya Ki Gede Menoreh, selain Argapati
turun-tumurun. Karena itu maka gumamnya, "Itu merupakan
penghalang yang besar. Kita tidak akan dapat memutuskan
ikatan itu dengan mudah."
Tetapi segera Argajaya menyahut, "Kita tidak usah
mencemaskannya. Kita harus meyakinkan kepada mereka,
bahwa Sidanti adalah jalur yang sah. Kita hanya sekedar
mempercepat persoalan, karena menurut wawasan kita Kakang
Argapati sudah tidak dapat memenuhi kuwajibannya."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar keterangan Argajaya itu. Bahkan kemudian ia
tersenyum. Memang masuk akal, bahwa dengan demikian,
orang-orang yang tidak puas dengan Argapati akan mendapat
saluran untuk menentukan sikap, mencari orang baru yang dapat
diharapkan memenuhi keinginan mereka. Dan orang baru itu
adalah jalur yang tidak menyimpang dari lajer induk.
"Sidanti akan bernama Argapati dan bergelar Ki Gede
Menoreh," desis Ki Tambak Wedi di dalam hati. "Apabila
demikian, maka Argajaya pada saatnya tidak akan berguna lagi.
Ia adalah duri di dalam daging yang setiap saat dapat
menumbuhkan luka yang berbahaya. Ia akan dapat berkhianat
dan menyingkirkan Sidanti, apalagi setelah diketahuinya bahwa
Sidanti sama sekali bukan putera Argapati." Ki Tambak Wedi itu
tersenyum di dalam hati. "Tetapi aku memerlukannya sekarang untuk memecah
kekuatan Menoreh." Namun pada saat itu Argajaya tersenyum juga di dalam
hatinya. "Aku sudah mimegang rahasia itu. Pada saatnya kau
akan tersingkirkan dari Menoreh, setelah orang-orang Menoreh
mengetahui, bahwa kau bukaun trah Argapati, Sidanti."
Pada saat yang bersamaan, Argapati sendiri sedang sibuk
dengan puterinya Pandan Wangi. Pada saat gadis itu menyadari
kenyataan yang dihadapinya, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat.
Tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkannya. Tubuhnya
menjadi gemetar, dan keringat dingin mengalir dari segenap
tubuhnya. Argapati terkejut ketika ia mendengar Pandan Wangi
memekik kecil. Tetapi sejenak kemudian gadis itu jatuh terkulai
lemas. Pingsan. Bukan saja Argapati yang menjadi cemas, tetapi pelayanpelayan
yang dipanggilnya pun menjadi bingung pula. Mereka
kemudian menggelusut tubuh Pandan Wangi dengan
berambang, jahe, dan minyak kelapa. Beberapa orang
menggosok keningnya dengan jeruk dan air hangat. Sedang
beberapa orang yang lain berkumat-kumit tanpa mengetahui apa
yang sedang diucapkannya sendiri.
"Kenapa Pandan Wangi menjadi pingsan?" bertanya salah
seorang sambil berbisik. Kawannya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."
Argapati sendiri kemudian menekan dadanya sambil menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi mengalami kejutan
yang sangat, sehingga ia tidak dapat mempertahankan
kesadarannya. Karena itu setelah usaha yang wajar tidak dapat
membangunkan Pandan Wangi, maka berkatalah Argapati,
"Bawalah Pandan Wangi ke dalam biliknya. Hathati. Aku sendiri
akan mencoba menyadarkannya."
Perlahan-lahan tubuh Pandan Wangi dipapah oleh beberapa
orang, dibawa ke dalam biliknya. Setelah gadis itu dibaringkan di
pembaringannya, maka Argapati pun berkata, "Tinggalkan gadis
ini seorang diri." Para pelayan menjadi semakin bingung. Mereka bertanyatanya
di dalam hati, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Gede
Menoreh" Tetapi para pelayan itu dengan penuh pertanyaan di dalam
hati, satu-satu melangkah meninggalkan bilik itu. Namun
meskipun bilik itu kemudian ditutup oleh Argapati, mereka sama
sekali tidak beranjak dari samping pintu. Mereka ingin
mengetahui, apakah yang akan terjadi atas Pandan Wangi. Bagi
para pelayan, Pandan Wangi adalah seorang gadis kesayangan.
Para pelayan tahu, bahwa gadis itu telah ditinggalkan oleh
ibunya. Apalagi Pandan Wangi abalah gadis yang ramah dan
baik, sehingga para pelayan senang kepadanya.
Di dalam bilik itu, Argapati duduk di samping puterinya. Tubuh
gadis itu telah dibasahi oleh minyak kelapa, berambang, air jeruk
dan bermacam-macam ramuan untuk mencoba
menyadarkannya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap pingsan.
Argapati tidak dapat membiarkannya dalam keadaan yang
demikian Maka dirabanya dahi anak itu. Dipusatkannya segenap
kekuatan batinnya, memanjat langsung kepada Tuhan Maha
Peeicipta. Terasa tangan Argapati itu menjadi gemetar. Kepalanya
semakin lama menjadi semakin menunduk. Dengan dada yang
semakin lama menjadi semakin bergetar. Argapati berusaha
sekuat-kuat tenaga batinnya untuk memohon agar anaknya
segera menjadi sadar. Setitik air seakan-akan menetes ke atas bara api di bawah
kakinya ketika ia merasakan gerak yang lemah sekali pada
anaknya itu. Agaknya saluran kekuatan hati dan kemantapannya
memohon telah bergetar pula di dalam dada anak itu.
Argapati yang telah mencurahkan segenap kemungkinan
yang ada di dalam dirinya itu kemudian menarik nafas dalamdalam.
Wajah puterinya menjadi berangsur merah. Meskipun
Pandan Wangi masih belum sadar, namun tampaklah bahwa
gelombang dadanya menjadi semakin keras.
Perlahan-ahan Argapati kemudian bangkit. Diambilnya air
dingin di dalam kendi yang terletak di geledeg di sudut bilik itu.
Dengan hathati dititikkan air dari dalamnya. Perlahan-lahan
sekali, dengan sangat hathati. Setitik demi setitik.
Argapati hampir berteriak kegirangan ketika ia melihat
puterinya itu membukakan matanya. Yang pertama-tama
dipandangnya adalah pelita yang terletak di atas ajuk-ajuk, yang
melekat pada tiang bilik itu. Kemudian perlahan-lahan kepalanya
bergerak, beredar ke seluruh ruangan. Ketika terpandang
olehnya, Argapati, ayahnya, maka dengan serta-merta Pandan
Wangi itu berusaha bangkit. Tetapi tubuhnya menjadi terlampau
lemah, sehingga ia terjatuh lagi di pembaringannya.
"Jangan bergerak, Wangi," desis ayahnya perlahan-lahan.
Pandan Wangi tidak berusaha bangkit lagi dari
pembaringannya. Ditatapnya saja wajah ayahnya dengan mata
yang basah. Ketika kemudian Argapati itu duduk lagi di
sampingnya setelah meletakkan kendi di tempatnya, maka
dengan serta-merta diraihnya tangan ayahnya, diletakkannya di
atas wajahnya. Maka meledaklah tangis Pandan Wangi, seperti bendungan
yang pecah oleh banjir bandang.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Betapa hatinya serasa
diiris dengan ujung senjata yang paling tajam. Namun sedikit
kelegaan menyusup di dalam relung hatinya. Pandan Wangi
telah dapat menangis. Telah dapat meluapkan perasaan yang
tertahan. Semoga dengan demikian dadanya menjadi agak
lapang. Sejenak Argapati duduk saja berdiam diri di samping
puterinya yang sedang menangis. Dibiarkannya saja Pandan
Wangi menumpahkan sesak di dadanya, meskipun dadanya
sendiri serasa akan retak. Setiap isak tangis puterinya seolaholah
seujung tombak yang menyentuh jantungnya.
Baru ketika tangis Pandan Wangi telah sedikit mereda,
Argapati mencoba menghiburnya. Katanya, "Pandan Wangi. Aku
sudah menyangka bahwa kau akan terkejut mendengar ceritera
itu. Tetapi aku mengharap bahwa kau dapat menanggapinya
secara dewasa. Jangan kau tangkap ceritera itu dengan sikap
kekanak-kanakan." Dada Pandan Wangi masih terasa terlampau sesak.
Meskipun demikian terlontar juga kata-katanya di sela-sela isak
tangisnya, ?"yah, kenapa aku dilahirkan?"
Argapati mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu tidak
diduga-duganya. Pandan Wangi tidak bertanya tentang Sidanti,
tetapi ia bertanya tentang diri sendiri. Karena itu maka Argapati
pun bertanya pula, "Apakah yang kau maksudkan Sidanti"
Pandan Wangi menggeleng lemah. Katanya, "Bukan, Ayah.
Bukan Kakang Sidanti. Tetapi aku, ya kenapa aku dilahirkan
dalam keadaan ini." Argapati menjadi semakin tidak mengerti. "Kenapa Wangi"
Tidak ada persoalan apa-apa padamu. Persoalan kakakmu,
Sidanti, pun sebenarnya telah selesai. Aku tidak akan
mengusiknya. Bagaimana pahit perasaanku, tetapi aku sudah
menerimanya sebagai anakku. Aku mengharap bahwa Ki
Tambak Wedi akan bersikap jujur. Ia mengangkat Sidanti
sebagai muridnya, tidak sebagai anaknya yang dimanjakannya
dengan berlebih-lebihan. Kini Sidanti terperosok ke dalam
kesulitan, dan kesulitan itu akan dibebankan kepadaku, kepada
Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku pun tidak akan
ingkar. Aku memang wajib menyelesaikann karena Sidanti
adalah anakku. Tetapi tidak dengan cara yang ditempuh oleh Ki
Tambak Wedi. Aku memilih cara yang lain, ya lebih sesuai
dengan sikap dan kedudukanku. Tetapi Ki Tam Wedi salah
paham. Dan ia menganggapku berkhianat."
"Aku mengerti, Ayah," sahut Pandan Wangi sambil terisak.
"Aku mengerti. Tetapi justru Kakang Sidanti telah mendapat
tempat yang wajar seandainya kini ia tidak berbuat kesalahan,
seandainya ia kini menurut kehendak Ayah."
"Ya, lalu kenapa dengan kau?"
"Bagaimanapun juga kelahiran Kakang Sidanti didasari atas
kehendak bersama dari ayahnya dan ibunya, meskipun akhirnya
disesali. Tetapi pada saat-saat itu, ada sentuhan kehendak
bersama di antara keduanya."
"Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan kau, Wangi."
"Tidak, Ayah," sahut Pandan Wangi. "Aku dilahirkan tanpa
kesediaan yang jujur dari ayah dan ibu. Ayah dan ibu ternyata
tidak saling mencintai lagi. Setelah peristiwa itu terjadi, maka
hubungan Ayah dan ibu hanyalah sekedar hubungan yang diikat
ketentuan lahiriah. Tetapi di antara Ayah dan ibu sama sekali
sudah tidak ada ikatan batin, ikatan jiwa secara murni. Dalam
keadaan yang demikian itulah aku dilahirkan."
"Wangi, apakah yang kau katakan itu?"
"Hubungan antara Ayah dan ibu adalah hubungan yang diatur
oleh keharusan duniawi. Ayah dan ibu seolah-olah hanya ingin
memenuhi kuwajiban masing-masing sebagai suami isteri.
Tetapi kelahiran yang demikian adalah kelahiran tanpa arti.
Kelahiran yang hanya dipaksakan oleh ikatan duniawi sematamata
tanpa hakekat yang sebenarnya dari hubungan antara
suami dan isteri." "Wangi, dari mana kau dapat berkata begitu?"
"Bukaukah aku sudah dewasa ayah?"
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi kian
pedih ketika tangis Pandan Wangi menjadi semakin meledakledak.
"Wangi," berkata Argapati, "tanggapanmu atas Sidanti dan
dirimu sendiri terlampau dipengaruhi oleh kedirianmu. Kau
terlampau kecewa melihat kenyataan itu. Tetapi sebenarnya
tidak tepat seperti apa yang kau katakan. Coba Wangi, apakah
kau masih juga menganggap bahwa kelahiran Sidanti diciptakan
oleh hakekat hubungan antara seorang ayah dan seorang ibu"
Kau telah membuat pertentangan yang tajam dari peristiwaperistiwa
itu. Kau memandang pada puncak-puncak peristiwa
tanpa memperhatikan perkembangan jiwa yang terjadi kemudian
padaku dan pada ibumu. Wangi, kau dapat membayangkan
bahwa dapat terjadi kelahiran Sidanti, betapa kemudian ibumu
menyesalinya. Sedang kelahiranmu memberikan kebahagiaan
kepadanya dan kepadaku. Kami mengharapkan bahwa dengan
kelahiranmu keretakan yang pernah ada itu akan dapat
terhapuskan, setidak-tidaknya dikurangi. Bukankah dengan
demikian kelahiranmu itu merupakan kerunia atas kami berdua
tanpa menilik perasaan kami masing-masing pada saat-saat
sebelumnya?" "Tetapi perasaan bahagia itu adalah sekedar pelarian dari
kekecewaan yang pernah mencengkam hati Ayah dan ibu,"
tanpis Pandan Wangi menjadi semakin mengeras.
"Wangi, jangan terlampau dilanda oleh perasaan."
"Ayah," terdengar suara Pandan Wanni di antara isaknya,
"aku tidak menyalahkan Ayah apabila Ayah selain diliputi oleh
kekecewaan di dalam lingkungan keluarga. Betapa ayah
mengasihi aku dan ibu dan bahkan Kakang Sidanti, tetapi sejak
aku meningkat dewasa, aku merasakan sesuatu yang aneh
tersimpan di hati ayah. Ayah sering menyendiri. Ayah sering
melakukan pekerjaan ayah jauh melampaui batas waktu yang
sewajarnya. Ayah sering pergi berburu dan bahkan Ayah
menerajarku berburu pula. Bukan sekedar berburu, tetapi Ayah
mendidik aku seperti Ayah mendidik seorang anak laklaki
dalam olah kanuragan." Pandan Waneri terhenti sejenak.
Isaknya serasa menyumbat kerongkongan. Sejenak kemudian
terdengar ia berkata sendat, "Apakah sebenarnya maksud ayah
mengajariku ilmu itu" Ilmu cabang perguruan Menoreh menurut
istilah Ayah" Kenapa tidak kepada Kakang Sidanti yang justru
dibawa oleh ayahnya yang sebenarnya ke Tambak Wedi?"
Sekali lagi Pandan Wangi berhenti, tetapi ketika ayahnya ingin
menjawab, dipotongnya, "Aku kini dapat meraba perasaan Ayah
waktu itu. Waktu Ayah memutuskan untuk memberi aku ilmu
perguruan Menoreh meskipun aku tidak dapat memenuhi
keinginan Ayah maju dengan cepat seperti seorang anak lakilaki."
Argapati tidak segera menjawab. Ia merasakan kehalusan
perasaan Pandan Wangi. Perasaan seorang gadis yang kecewa.
Rara Wulan bagi Pandan Wangi adalah seorang perempuan
yang putih bersih tanpa cacat. Ibu bagi seorang putri adalah
gambaran dari kesucian yang mulus. Namun tiba-tiba anggapan
itu telah berbenturan dengan kenyataan yang dihadapkan
kepadanya. Sebersit penyesalan mengorek hati Argapati. Tetapi
kemudian ia merasa bersukur, bahwa ia cukup mempunyai
kekuatan untuk mengatakan kenyataan itu. Pandan Wangi
mendengar langsung dari mulutnya sendiri, dari mulut ayahnya,
bukan dari orang lain, meskipun kejutan perasaan itu akan
terlampau parah baginya. "Ayah," terdengar suara Pandan Wangi lemah, "bukankah
Ayah ingin mendapatkan imbangan dari kekecewaan Ayah
terhadap kelahiran Kakang Sidanti" Ayah ingin seorang anak
laklaki yang dapat memberi kebanggaan bagi Ayah. Tetapi
Kakang Sidanti tidak dapat Ayah terima dengan sepenuh hati.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itulah maki Ayah mencoba membuat aku menjadi
seorang anak laklaki meskipun dalam hidupku seharhari aku
tetap seorang gadis."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Betapa tajamnya perasaanmu, Wangi. Sebagian terbesar kau
telah benar menebak perasaanku. Tetapi kau kurang tepat
menilai hakekat dari persoalannya. Seperti bibi pernah
menganggapku sebagai seorang pemimpi, maka aku pun pernah
mengutuk kenyataan itu. Tetapi itu sudah terjadi, Wangi. Dan
aku mencoba untuk pasrah diri pada keharusan itu. Jangan
berpijak pada ledakan kenyataan itu sendiri. Tetapi kau harus
mencoba menyelusur perkembangan jiwaku dan ibumu. Kau
lahir dalam pengharapan."
"Itulah yang Ayah lakukan. Ayah terlampau sadar dalam
keutuhan nalar, bahwa harus lahir seorang anak yang akan
menjadi adik Sidanti, karena Sidanti tidak sepenuhnya menjadi
isi dari keluarga ini. Bukan didorong oleh tambatan batin di
antara Ayah dan ibu. Kesadaran atas suatu keharusan
mendapatkan anak itulah yang telah mengurangi nilai daripada
kelahiran anak itu sendiri. Kesadaran itu telah mendorong Ayah
dan ibu dalam suatu kuwajiban yang harus dilakukan. Hanya
sekedar kuwajiban." "Kau membedakan antara kuwajiban dan harapan di dalam
persoalan ini, Wangi. Di dalam persoalan kelahiranmu, jangan
terlampau tajam menarik garis antaranya. Cobalah kau
menenangkan hatimu, supaya kau dapat berpikir lebih bening.
Bahwa aku melakukan kuwajiban memang selalu didasari oleh
peugharapan. Jangan kau samakan antara pengharapan atas
sesuatu dengan pamrih untuk diri sendiri, meskipun keduanya
saling mengait." Isak Pandan Wangi masih terdengar satu-satu. Kelembutan
suara ayahnya mernberinya sedikit ketenteraman. Tetapi setiap
kali teringat olehnya, apa yang telah terjadi atas ibunya, maka
hatinya serasa ditusuk dengan sembilu.
"Kau harus menilai hal ini sebagai suatu kenyataan yang
sudah tidak dapat diingkari lagi, Wangi. Kau harus menerimanya,
meskipun aku tahu, betapa sakit luka yang tergores di hatimu.
Aku tahu, bagaimana hatimu hancur melihat kenyataan tentang
ibumu. Tetapi seperti aku pada saat itu, yang hampir-hampir
kehilangan pegangan dan kehilangan akal, sehingga aku
hampir-hampir berbuat sesuatu di luar sadarku, maka kaupun
akhirnya harus menerimanya. Mau tidak mau. Kenyataan itu
tidak akan terhapuskan meskipun seandainya kau ingin
menolaknya, sebab kenyataan itu telah terjadi. Seperti aku pada
saat itu mendengar kata-kata tentang keadaanku, Wangi, bahwa
sebaiknya aku tidak terpukau pada peristiwa yang sudah terjadi.
Tetapi, bagaimana dengan harhari mendatang. Demikian juga
hendaknya kau. Jangan terpukau oleh peristiwa yang sudah
lama lalu. Tetapi apakah yang akan segera terjadi?"
"Apakah hal itu mungkin, Ayah?"
"Dalam batas kemungkinan, Wangi. Tetapi kita harus
berusaha." "Aku tidak dapat melepaskan diri dari hari kemarin, Ayah.
Seperti Ayah katakan, bahwa yang terjadi kemarin adalah
kenyataan yang tidak dapat aku ingkari. Kenyataan tentang
diriku, tentang ibuku dan tentang Kakang Sidanti. Apakah
sekarang aku dapat melepaskan diri dari kenyataan itu, sehingga
aku, Pandan Wangi yang sekarang bukan Pandan Wangi yang
lahir karena Ayah menjadi suami ibu, dalam ikatan lahiriah"
Apakah Kakang Sidanti dapat melepaskan diri dari kenyataan
bahwa ia adalah anak Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi"
Apakah ibu dapat menghapus noda yang telah tercoreng di
keningnya, sebagai seorang gadis yang menyerahkan
kehormatannya karena nafsu yang menyala di dalam dadanya"
Apakah ibu dapat mencuci dirinya dan membersihkan namanya
meskipun ia menjadi isteri Kepala Tanah Perdikau Menoreh"
Tidak, Ayah. Tidak. Ibu telah berbuat sesuatu yang paling keji,
yang paling kotor. Dan aku, aku adalah anakhya."
Tiba-tiba tangis Pandan Wangi itu menjadi semakin keras
kembali setelah agak mereda. Dihentak-hentakkannya
tangannya pada dadanya yang terasa terlampau sesak.
(BERSAMBUNG) Pelayan-pelayannya yang berdiri di luar pintu menjadi heran.
Mereka mendengar Pandan Wangi menangis. Mereka
mendengar seakan-akan Pandan Wangi itu berbantah dengan
ayahnya. Tetapi mereka tidak mendengarnya dengan jelas.
Mereka tidak mengerti apakah sebenarnya yang dipersoalkan.
Karena itu, maka mereka menjadi semakin lama semakin
cemas. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apaapa.
Mereka tidak berani mengetuk pintu dan bertanya, apakah
sebenarnya yang telah terjadi.
"Wangi," Argapati kemudian berbisik perlahan-lahan,
"tenanglah. Jangan menyesali diri dan kehadiran dirimu. Ingat,
bahwa segala sesuatu tergantung sekali kepada kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa. Kelahiranmu adalah karena kuasanya.
Jangan mempersoalkan lantaran kelahiranmu. Tetapi kau adalah
hamba-Nya, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih
pula. Terimalah segalanya dengan ikhlas. Kalau kau ikhlas
Wangi, tidak ada lagi persoalan bagimu. Persoalan masa lalu itu
akan selesai. Marilah kita mulai berbicara dengan masa depan.
Masa depanmu dan masa depanku, masa depan Tanah
Perdikan Menoreh." Argapati berhenti sejenak, lalu, "Sekarang
tidak ada lagi yang dapat aku bawa berbicara Wangi, kecuali
kau, meskipun kau seorang gadis."
Pandan Wangi masih juga menangis. Tetapi tangisnya kini
telah mereda. Namun masih terasa luka di hatinya terlampau
pedih. Ternyata kebahagiaan keluarganya selama ini adalah
kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang dibuat-buat bahkan
dipaksakan oleh ayah dan ibunya.
Meskipun demikian kata-kata ayahnya berhasil juga sedikit
memberinya harapan. Masa depan, dan menerima semuanya
dengan ikhlas. Masih terngiang suara ayahnya, "Kau adalah
hamba-Nyi terkasih, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya
terkasih pula." Pandan Wangi mencoba menghibur hatinya sendiri untuk
mengurangi sesak nafasnya. Bahwa Tuhan adalah Maha Kasih
Kepada-Nya-lah setiap orang harus menyandarkan dirinya.
Ketika tangis Pandan Wangi kemudian mereda kembali,
berkatalah Argapati, "Beristirahatlah, Wangi. Nanti aku ingin
berbicara denganmu. Mudah-mudahan kau mendapat
ketenteraman hati. Tetapi kita nanti akan berbicara dengan
nalar. Sejauh dapat kita pergunakan dan sejauh kita dapat
menyeimbangkan perasaan."
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi ia mengangguk kecil.
"Kau menebak hampir tepat, kenapa aku menyerahkan ilmu
kepadamu dan mendidikmu seperti seorang anak laklaki dalam
olah kanuragan. Kenapa tidak kepada Sidanti." Argapati diam
sejenak, lalu, "Kini kau mendapat jawabnya. Perasaan itu
seolah-olah menjadi firasat bagiku, bahwa aku harus berbuat
demikian." Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Kalau kau dapat tidur, tidurlah, Wangi. Kita besok melihat
hari yang bakal datang dengan hati yang dipenuhi oleh gairah
akan masa mendatang. Kita berdiri di tempat yang berbeda
dengan harhari yang lampau. Yang kita hadapi kini jauh lebih
berat daripada mengatur Tanah Perdikan ini, daripada berusaha
melenyapkan segala macam kemaksiatan dari Tanah tercinta
ini." Terdengar Pandan Wangi berdesis meskipun tidak jelas.
Tetapi Argapati dapat menangkap maksudnya, bahwa Pandan
Wangi akan mencoba melakukan pesannya. Beristirahat.
Argapati pun kemudian meninggalkan Pandan Wangi seorang
diri. Para pelayan yang masih ada di muka pintu segera
menyibak. Mereka, melihat betapa wajah Argapati diliputi oleh
kecemasan dan kemuraman. Tetapi tidak seorang pun yang
berani bertanya. Mereka hanya berani mengintip bilik Pandan
Wangi yang luas itu dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat.
Ketika mereka melihat Pandan Wangi masih berbaring diam,
maka mereka pun tidak berani masuk ke dalamnya.
"Biarlah ia tidur," desis salah seorang pelayan.
"Ya, biarlah ia tidur. Marilah kita pergi ke belakang."
"Bagaimanakah kalau ia memerlukan sesuatu?"
"Salah seorang dari kita bergantian menjaganya di sini. Di
muka pintu, supaya tidak mengganggunya."
Para pelayan itu pun kemudian satu-satu pergi meninggalkan
bilik itu. Salah seorang dari mereka menungguinya sambil duduk
bersandar uger-uger. Sekalsekali diintipnya Pandan Wangi
yang masih saja berbaring. Tetapi pelayan itu tidak berani
berbuat apa pun selain duduk terkantuk-kantuk.
Namun dalam pada itu dada Pandan Wangi masih bergolak
dengan dahsyat. Betapa ia mencoba berdiri tegak, melepaskan
diri dari persoalan-persoalan itu, selalu saja ia terdampar
kembali ke dalamnya. Ia tidak dapat melepaskan diri dari
kenyataan yang pahit itu. Tetapi seperti kata ayahnya, ia tidak
boleh terbenam pula di dalamnya dan tidak mampu lagi untuk
bangkit menghadapi masa depannya yang panjang.
Kini ia sadar, bahwa tanpa dirinya, ayahnya akan benar-benar
berdiri seorang diri. Sidanti dan bahkan pamannya sendiri, adik
ayahnya itu, Argajaya, telah meninggalkannya, meninggalkan
ayahnya. Maka perlahan-lahan tumbuhlah perasaan ibanya kepada
ayahnya. Kepada ayah yang dikasihinya, seperti ia mengasihi
ibunya. Tetapi ternyata bahwa peristiwa yang baru saja
Kisah Dewi Kwan Im 1 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Dewi Jalang Gunung Tunggul 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama