02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 6
muda itu. Tetapi mereka tahu maksud gurunya. Meskipun
demikian darah muda yang mengalir di dalam tubuh mereka
serasa bergolak. Apabila gurunya menghendaki demikian, maka
seolah-olah perjalanan mereka ke Menoreh tidak lebih dari
perjalanan yang sia-sia bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak
boleh apa-apa. Mereka akan menjadi seorang perantau yang
sekedar ingin melihat sebuah pegunungan yang membujur ke
Selatan di sebelah Alas Mentaok. Tidak lebih dari itu. Mungkin
mereka akan melihat dan mendengar ceritera tentang sikap Ki
Argapati. Ki Tanu Metir melihat kekecewaan di dalam sorot mata kedua
muridnya. Karena itu maka ia pun berkata, "Tetapi jangan
menganggap bahwa perjalanan ini tidak ada artinya.
Seandainya, ya seandainya Ki Argapati mendengarkan ceritera
Sidanti, kemudian menyiapkan pasukan segelar sepapan, nah,
kalian akan berjasa terhadap Pajang."
"Apakah kita akan melawan pasukan segelar sepapan yang
dipimpin oleh Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh dan Ki
Tambak Wedi itu?" bertanya Swandaru dalam kekecewaannya.
Ki Tanu Metir yang telah mendalami jiwa murid-muridnya itu
tersenyum. Jawabnya, "Sudah tentu tidak, Ngger. Tetapi
bukankah dengan demikian kita akan dapat melaporkannya
kepada pimpinan Prajurit Pajang?"
"Dan kita tidak dapat berbuat apa-apa pula" Kita hanya
sekedar melaporkannya. Kemudian datang pasukan Pajang
yang lengkap di bawah pimpinan senapatsenapati tertingginya,
mungkin Gede Pemanahan sendiri, mungkin Ki Penjawi atau
bahkan Ki Patih Mancanegara, atau setidak-tidaknya Kakang
Untara didampingi oleh Paman Sumangkar," sahut Swandaru.
Sekali lagi Ki Tanu Metir tersenyum. Katanya, "Kita dapat
berbuat banyak. Tetapi ingat, bukan untuk kepuasan pribadi. Kita
dapat berbuat seperti apa yang kita lakukan di Tambak Wedi.
Memberikan jasa-jasa baik terhadap pasukan Pajang."
Kedua murid Kiai Gringsing itu terdiam. Sadarlah mereka kini,
bahwa perjalanan ini sama sekali bukan perjalanan seperti yang
mereka inginkan selama ini. Mereka ingin pergi ke Menoreh,
menemui Sidanti dan Argajaya untuk membuat perhitungan.
Mencari cara untuk dapat melepaskan kemarahan yang
membakar hati. Perang tanding. Tetapi yang terjadi akan jauh
berbeda. Meskipun demikian, mereka dapat mengerti maksud gurunya.
Nalar mereka dapat menerima. Bahkan mereka tidak dapat
berpikir lain daripada untuk kepentingan Pajang itu. Tetapi
perasaan merekalah yang kadang-kadang masih terasa bergolak
di dalam dada mereka. Perasaan yang mereka tekan sedapatdapat
menurut pertimbangan nalar.
Namun, Ki Tanu Metir pun menyadari, apakah pada suatu
saat perasaan itu tidak terdorong keluar tanpa mereka sadari"
Apakah mereka pada suatu saat tidak diledakkan oleh perasaan
yang justru kini sedang mereka tekan kuat-kuat"
"Mudah-mudahan aku dapat mengendalikan anak-anak ini,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Tetapi yang dikatakan
adalah, "Baiklah kita tentukan, besok lusa kita berangkat."
Tiba-tiba kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu
marasa perjalanan yang akan mereka lakukan terlampau
hambar. Tidak ada lagi dorongan yang melonjak-lonjak di dalam
dada mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh bagi
mereka kini hanyalah sebuah perjalanan biasa. Perjalanan
seperti yang pernah mereka lakukan semasa kanak-kanak
mereka. Pergi ke kademangan lain bersama kakek untuk melihat
sanak keluarga yang sudah lama tidak berjumpa. Bukan lagi
perjalanan dalam gairah darah remaja mereka.
Meskipun demikian mereka ingin juga mempergunakan
kesempatan itu. Mungkin mereka dapat melihat Alas Mentaok
lebih banyak dari yang pernah mereka lakukan. Mungkin mereka
akan mendapat pengalaman-pengalaman lain di sepanjang
perjalanan, dalam perburuan binatang di dalam hutan.
Kiai Gringsing yang tua itu dapat melihat gejolak di dalam
dada murid-muridnya. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan
apa pun. Dibiarkannya muridnya untuk melihat sendiri dan
mengalaminya, apa yang akan mereka jumpai di sepanjang
jalan. Mereka akan segera meyakini bahwa perjalanan ini
bukanlah sebuah tamasya yang sejuk. Daerah-daerah yang
akan mereka lewati akan memberitahukan kepada mereka,
bahwa mereka tidak boleh tidur di sepanjang langkah mereka.
"Nah," berkata Kiai Gringsing itu kemudian, "sejak kini kalian
harus mempersiapkan diri. Kalian tidak perlu membuat ceritera
tentang perjalanan ini kepada kawan-kawan kalian. Besok,
sehari kalian masih berada di kademangan ini. Tetapi fajar
berikutnya, kalian harus sudah berada di perjalanan. Supaya
perjalananmu tidak terganggu, maka senjata-senjata yang harus
kalian bawa pun harus kalian sesuaikan dengan keadaan. Kalian
tidak perlu membawa pedang-pedang kalian yang panjang itu.
Kalian dapat membawa keris-keris sipat kandel yang dapat
kalian sembunyikan di bawah baju, dan senjata yang
memberikan kepercayaan kepada diri, cambuk yang dapat
dililitkan seperti sehelai ikat pinggang."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung
Sedayu memang mempunyai sebilah keris peninggalan yang
dibawanya dari Jati Anom dan Swandaru pun memilikinya pula
dari ayahnya. "Sekarang, kalian dapat mulai dengan persiapan-persiapan
kalian," berkata gurunya pula.
"Kami sudah siap, Guru," jawab Swandaru. "Seandainya
besok pun kami sudah siap pula untuk herangkat."
"Kalian masih harus mencuci pakaian. Selembar dua lembar
kalian harus membawa ganti pakaian."
"Apakah itu perlu bagi seorang perantau?" bertanya
Swandaru. "Perlu, Ngger. Seandainya kau kedinginan di jalan, maka kau
akan mempunyai selimut. Seandainya tempatmu bermalam
penuh dengan nyamuk, maka kau dapat menutup seluruh
tubuhmu. Apalagi apabila pakaian yang kau pakai itu sobek, kau
akan mempunyai ganti."
"Kita akan berhathati, Kiai. Aku kira aku tidak akan berjalan
menerobos semak-semak duri."
"Memang, kita dapat berhathati. Tetapi bagaimanakah kalau
baju kita itu sobek bukan karena duri, bukan karena rantingranting
yang patah dan bukan pula karena umurnya yang tua?"
"Lalu kenapa guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Memang mungkin baju-baju kita sobek karena duri, rantingranting
dan karena ketuaannya. Tetapi yang perlu kau sadari
bahwa bajumu itu akan dapat sobek karena ujung pedang.
Bahkan bukan saja bajumu, tetapi mungkin kulitmu."
Kedua muridnya mengerutkan keningnya. Hampir bersamaan
mereka bertanya, "Pedang siapa" Bukankah kita hanya sekedar
berjalan-jalan di telatah Menoreh dan tidak berbuat apa-apa."
"Memang kita tidak berbuat apa-apa. Tetapi orang lain dapat
berbuat apa-apa atas kita. Dan apakah kita hanya membiarkan
saja apa yang terjadi itu?"
"Oh," kedua muridnya menarik nafas dalam-dalam. "Ya,
demikianlah," gumam mereka di dalam hati, "memang hal-hal
yang serupa itu akan dapat terjadi."
Demikianlah maka mereka pun kemudian mempersiapkan diri
mereka. Menyiapkan sepengadeg pakaian yang akan mereka
bawa dalam perjalanan. Mereka menyiapkan senjata-senjata
khusus mereka menurut nasehat gurunya. Sebuah cambuk
bertangkai pendek dan berjuntai panjang yang mereka buat dari
janget berangkap tiga ganda. Sebagai senjata di dalam
perkelahian yang sebenarnya, maka senjata itu dilengkapi
dengan karah-karah baja. Tidak hanya ditangkainya, tetapi
hampir di setiap cengkang, janget-janget itu terikat oleh kepingan
baja yang tipis. Dalam keadaan yang memaksa, maka tangkai
yang pendek bersalutkan kepingan baja itu akan mampu
membentur senjata-senjata tajam. Dan dalam keadaan yang
khusus pula, maka mereka akan dapat mempergunakan
cambuk-cambuk itu tidak seperti yang lazim. Mereka dapat
memegang senjata mereka pada ujung jangetnya, dan tangkai
yang pendek itu akan menjadi sebuah penggada yang
bertangkai panjang dan lemas.
Kiai Gringsing telah mengajari murid-muridnya untuk
mempergunakan senjata-senjata itu dalam segala keadaan dan
kemungkinan. Bahkan mereka mampu mempergunakan dalam
rangkapannya. Cambuk di tangan kanan dan keris-keris mereka
di tangan kiri. Dengan senjata itu, maka semua macam senjata
akan dapat mereka hadapi. Bahkan mereka yang berpedang di
tangan kanan dan berperisai baja di tangan kiri. Meskipun
senjata mereka hanya sekedar sehelai cambuk, tetapi saluran
kekuatan yang memancar dari senjata itu, akan mampu
merenggut senjata-senjata lawan dan bahkan mematahkan
tulang-tulang leher. Apalagi apabila senjata itu berada di tangan
Kiai Gringsing sendiri. Meskipun demikian Kiai Gringsing itu berkata, "Aku
mengharap bahwa kalian tidak akan pernah mempergunakan
senjata-senjata itu. Mudah-mudahan yang terjadi adalah
perlakuan yang baik di antara sesama. Juga apa yang akan kita
alami dan kita perbuat. Betapa dahsyatnya senjata macam apa
pun, tetapi kedahsyatanya hanyalah terbatas. Ingat, hanya
terbatas. Terbatas sekali."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, meskipun nasehat gurunya itu terdengar janggal di
telinga mereka. Mereka mempersiapkan diri dengan segala
perlengkapan. Tetapi gurunya mengatakan kepada mereka,
bahwa mudah-mudahan mereka tidak perlu mempergunakan
senjata itu. Tetapi kedua anak-anak muda yang sudah cukup lama
bergaul dengan Kiai Gringsing itu segera menangkap
maksudnya. Kiai Gringsing lebih senang apabila tidak perlu
mempergunakan kekerasan apa pun apabila benar-benar tidak
dipaksa oleh keadaan. Sedikit banyak, sifat itu telah
mempengaruhi kedua muridnya, meskipun kadang-kadang
darah muda mereka masih juga melanda dinding jantung dengan
dahsyatnya, sehingga nasehat-nasehat serupa itu sering mereka
lupakan. Dan kini gurunya berkata pula kepada mereka tentang hal itu,
bahkan gurunya menambahkannya, bahwa betapapun
dahsyatnya sepucuk senjata, tetapi kedahsyatan itu hanyalah
terbatas. Terbatas sekali.
Ingatan kedua anak-anak muda itu langsung membubung
tinggi kepada Kekuatan yang Maha Besar. Kekuatan yang
memancari dan menyumberi segala kekuatan, kekuatan yang
berjalan di sepanjang jalan yang dikehendakNya. Meskipun
setiap manusia selalu disertai oleh segala kekurangan dan
kepicikannya, sehingga setiap langkahnya tidak akan ada yang
sempuma di hadapan yang Maha Besar, tetapi adalah menjadi
kuwajiban manusia untuk berusaha mendekatkan diri kepada
kebenaran. Kebenaran yang mutlak. Sedang penilaian tentang
kebenaran yang mutlak itu tidak akan dapat diberikan oleh
manusia. Kebenaran yang mutlak hanyalah berada pada Tuhan
yang Maha Benar. Sehingga jalan manusia untuk mendekat
kepada kebenaran adalah mendekat kepada Tuhannya.
Mencoba sejauh-jauhnya melakukan segala petunjuk-Nya yang
didasari semata-mata atas kasih-Nya, menjauhkan manusia dari
kesesatan. Apabila ingatan mereka telah menyentuh kepada Sumbernya,
maka baik Agung Sedayu dan Swandaru segera menjadi tenang.
Meskipun sifat manusia adalah khilaf, tetapi lambaran
kepercayaan yang kuat akan mengurangi sejauh-jauhnya
kekhilafan itu. Dengan demikian maka sikap dan pandangan
mereka terhadap keadaan menjadi tenang pula. Mereka tidak
diburu lagi oleh berbagai macam kebencian dan dendam.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian menyiapkan diri mereka. Namun kini bukan senjata
merekalah yang utama, bukan lagi kebencian dan dendam yang
mendorong mereka untuk pergi, tetapi terpercik hasrat yang
cerah di dalam dada mereka. Bahwa mereka harus dapat
berbuat sesuatu untuk kepentingan sesama. Inilah yang harus
mereka lakukan. Meskipun demikian mereka pun tetap
menyadari, bahwa untuk itu, mungkin mereka harus
menghentikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
tujuan mereka. Bahkan mungkin akan perlu dilakukan dengan
kekerasan apabila terpaksa sekali. Tetapi kekerasan itu bukan
tujuan. Kekerasan itu hanya sebagai alat. Karena itu, maka alat
itu, kekerasan, tidak boleh bertentangan dengan tujuannya.
Adalah tidak wajar, seandainya untuk kepentingan
kemanusiaan, maka dilakukan tindakan-tindakan di luar
perikemanusiaan. Untuk menghentikan tindak yang melanggar
hukum kemanusiaan telah dilakukan tindak kekerasan yang
serupa. Ketika malam menjadi semakin dalam, di hari berikutnya,
Swandaru duduk di ruang dalam rumahnya bersama ayah dan
ibunya, yang sibuk melipat pakaiannya sepengadeg. Besok pada
saat fajar menyingsing, Swandaru akan pergi mengikuti gurunya,
mencari pengalaman-pengalaman baru di dalam hidupnya.
"Apakah kau akan memerlukan waktu yang lama Swandaru?"
bertanya ayahnya. Swandaru menggelengkan kepalanya, jawabnya, "Aku belum
tahu ayah. Mudan-mudahan tidak terlampau lama."
"Kau harus cepat kembali Swandaru," berkata ibunya.
Tampaklah matanya menjadi basah. Untuk pertama kalinya ia
melepaskan anak laklakinya itu pergi meninggalkan
kademangan, merantau untuk waktu yang tidak tertentu. Ketika
Swandaru pergi mencari Sekar Mirah, sama sekali tidak terasa
kekhawatiran seperti saat ini. Bukan karena mereka tidak tahu,
betapa berbahayanya perjalanan ke Tambak Wedi, tetapi
lerdorong oleh kecemasan, kemarahan dan perasaan-perasaan
lain yang menyesak, maka justru mereka berbangga melihat
Swandaru meninggalkan rumah mereka mencari adiknya. Tetapi
perasaan kedua orang tua itu kini berbeda. Seolah-olah mereka
melepas Swandaru ke dalam kegelapan yang tidak mereka
ketahui, apakah yang telah menunggunya di balik kelam itu. Kini
tdak ada lagi dorongan apa pun di dalam diri kedua orang tua itu,
untuk melepaskan Swandaru pergi. Karena itu, maka terasa
betapa berat hati mereka.
"Segalanya akan sangat tergantung kepada guru," sahut
Swandaru. Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,
semuanya sangat tergantung kepada gurumu. Aku pun telah
mengatakan kepada gurumu, perjalananmu yang pertama ini
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seharusnya tidak akan menjadi terlampau berat bagimu dan
angger Agung Sedayu."
"Mudah-mudahan ayah."
"Kau harus hathati di sepanjang jalan Swandaru. Meskipun
aku tidak tahu benar, tetapi aku membayangkan Bahaya yang
akan kau hadapi di sepanjang jalan," berkata ibunya.
"Ya, Ibu." "Kau harus dapat membawa diri. Harus kau pilih jalan yang
jauh dari reribed. Jangan banyak membuat persoalan dan
jangan terburu oleh nafsu."
"Ya, Ibu. Tetapi sebagian terbesar akan sangat tergantung
pula kepada guru." Kedua orang tua-tua itu menganggukkan kepala mereka.
Terdengar suara Ki Demang lirih, "Aku percaya kepada gurumu,
Swandaru. Gurumu bukan orang yang dikuasai oleh nafsu.
Bukan orang yang cepat kehilangan nalar dan akal. Ia seorang
yang rendah hati dan tepa slira."
Swandaru tidak menjawab. Namun terasa olehnya betapa
hatinya menjadi berdebar-debar. Perpisahan yang dipersiapkan
memang kadang-kadang terasa terlampau berat. Agaknya lebih
baik apabila tiba-tiba saja ia berangkat karena desakan suatu
persoalan yang penting seperti pada saat hilangnya Sekar Mirah.
Meskipun ada kemungkinan pada saat itu, bahwa ia tidak akan
kembali bersama wadagnya, tetapi hanya namanya saja, tetapi
saat itu perasaannya tidak seberat perasaannya di saat ini.
Meskipun demikian, hasratnya untuk pergi telah bulat. Ia pasti
akan berangkat besok menjelang fajar bersama gurunya dan
saudara seperguruannya, Agung Sedayu.
Dalam pada itu Aguug Sedayu sedang duduk di halaman
bersama pamannya, Widura. Pamannya, seperti juga ayah
Swandaru, memberinya berbagai nasehat. Meskipun Widura
tidak memiliki pengalaman dan ilmu seluas Kiai Gringsing, tetapi
ia dapat juga memberikan beberapa nasehat yang baik kepada
Agung Sedayu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Agung Sedayu
berkata, "Aku akan selalu mengingat segala pesan Paman."
"Baik, Sedayu. Aku mengharap bahwa kau tidak saja
menjunjung tinggi namamu, nama perguruan dan gurumu, tetapi
juga nama keluargamu. Kau adalah putera Kakang Sadewa.
Nama Sadewa ternyata lebih banyak dikenal orang dari nama
ayahmu itu sendiri. Daripada nama ayahmu yang sebenarnya.
Sejak ayahmu mengenal dunia ini dengan sadar, ia telah
membenci kejahatan. Banyak hal yang telah dilakukan oleh
ayahmu di masa mudanya. Mudah-mudahan kau pun akan
mewarisi sifat-sifatnya itu. Dalam beberapa bentuk aku telah
melihat sifat-sifat ayahmu ada di dalam diri kakakmu. Sedang
kau membawa beberapa macam sifat dari ibumu. Tetapi
bagaimanapun juga akhirnya kau adalah seorang perkasa
seperti Kakang Sadewa. Bahkan suatu perpaduan yang akan
sangat manis apabila di dalam dirimu terdapat sifat ayahmu,
seorang yang tegak berdiri di atas kebenaran sejauh-jauh dapat
dijangkau oleh nalar dan perasaan manusia yang tidak
sempurna ini, tetapi juga dibumbui oleh kasih yang tulus dan
jujur seperti yang terpancar dari keibuan ibumu." Widura berhenti
sejenak. Ditatapnya kepala Agung Sedayu yang tunduk, lalu
sejenak kemudian dilanjutkannya, "Meskipun sifat-sifat yang
demikian seolah-olah hanya terdapat di dalam dongeng-dongeng
dapat disebutkan beberapa macam watak matusia yang
berlawanan sama sekali, yang benar seolah-olah tidak pernah
terkena salah, dan yang salah seakan-akan tidak memiliki
kebenaran sama sekali, namun kau harus mampu menempatkan
dirimu menurut pilihan yang tepat. Adalah pasti bahwa
seseorang pernah berbuat kesalahan, tetapi kesadaran untuk
berbuat baik harus kau miliki." Sekali lagi Widura berhenti
sejenak, dan kemudian, "Yang lebih penting Sedayu, kau harus
selalu merasa dekat dengan Tuhanmu. Dengan demikian kau
akan tabah menghadapi setiap persoalan, tetapi dengan
demikian kau juga akan selalu takut berbuat kesalahan."
Agung Sedayu masih menundukkan kepalanya. Seperti pada
saat-saat ia makan nasi, terasa bahwa tubuhnya, wadagnya,
menjadi semakin segar dan kuat. Maka kata-kata pamannya
merupakan makanan bagi kesadaran rokhaniahnya. Makanan
yang memberinya kesegaran batin.
"Begitulah, Sedayu," berkata pamannya kemudian.
"Sebenarnya aku tidak perlu berbicara terlampau panjang. Aku
percaya bahwa gurumu akan berbuat seperti yang aku
harapkan. Kiai Gringsing adalah orang yang tepat bagimu.
Sayang aku tidak dapat mengenalnya dengan pasti, siapakah
sebenarnya Ki Tanu Metir. Tetapi bahwa ia telah mengenal
ayahmu dengan baik, telah memberikan harapan, bahwa ia
adalah orang yang tepat untuk menuntunmu. Adalah suatu tekateki
bagiku, bahwa Ki Tanu Metir telah mengenal hampir setiap
orang yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Ia
mengenal Ki Tambak Wedi, Ki Sumangkar, Ki Gede
Pemanahan, dan agaknya Ki Gede Menoreh pula. Tetapi orangorang
itu tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti, siapakah
Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Orang itu telah
mengenal aku pula, sebelum aku mengerti dengan siapa aku
berhadapan. Mungkin ayahmulah satu-satunya orang yang
dapat menyebut dengan pasti, siapakah sebenarnya Kiai
Gringsing yang aneh itu."
Agung Sedayu kini mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setiap hari ia berada bersama-sama dengan gurunya. Tetapi
seolah-olah orang tua itu masih saja diselaputi oleh segumpal
kabut yang tebal. Namun telah tertanam keyakinan di dalam
dada mereka yang mengenal Kiai Gringsing, bahwa orang ini
sama sekali bukan orang yang berada di jalan yang sesat.
Dalam pada itu terdengar Widura berkata, "Sedayu, apakah
semua persiapan telah kau atur dengan baik?"
"Sudah, Paman."
"Apakah kau akan membawa senjata pula?"
"Ya, Paman. Senjata khusus menurut petunjuk Kiai Gringsing.
Selain sesuai dengan ajaran tata gerak yang diberikan, maka
senjata itu tidak akan terlampau jelas seperti sehelai pedang."
"Ya, senjata itu dapat kau lingkarkan seperti ikat pinggang."
"Ya, Paman. Dan sebilah keris. Kerisku akan aku bawa pula
besok." Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
"Mudah-mudahan kerismu selalu memberimu peringatan. Kau
tidak boleh melupakan dirimu dan keadaanmu. Kau pernah
merasakan, betapa sakitnya orang disiksa oleh ketakutan.
Karena itu jangan menakut-nakuti orang lain. Sebab orang lain
pun akan merasakan seperti apa yang pernah kau rasakan." 1
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab "Ya,
Paman." "Sekarang beristirahatlah. Besok kau akan berangkat pagipagi
sekali. Di manakah gurumu sekarang?"
"Mungkin guru baru berjalan-jalan, Paman. Kami mendapat
kesempatan malam ini untuk minta diri dan mempersiapkan
bekal yang akan kami bawa."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
menyuruh Agung Sedayu untuk segera bertstirahat, karena
malam telah menjadi semakin malam.
Sejenak kemudian Widura itu pun telah meninggalkan
kemanakannya, dan masuk ke pringgitan. Ia masih melihat di
ruang dalam, dari celah-celah pintu yang terbuka sedikit,
Swandaru duduk di hadapan ayah dan ibunya. Tetapi ia tidak
melihat Sekar Mirah di antara mereka.
Sementara itu Agung Sedayu masih saja duduk di halaman.
Dari tempatnya ia melihat beberapa orang prajurit yang berjagajaga
di regol halaman, di bawah sinar pelita yang redup. Tetapi
tempat duduk Agung Sedayu sendiri terlindung oleh bayingbayang
yang agak gelap. Sejenak ia merenungi regol halaman kademangan itu.
Pertama kali ia datang ke Sangkal Putung, regol halaman itu
selalu tertutup. Beberapa orang pengawal membawanya dan
memberikan tanda-tanda dengan ketokan pintu regol. Kemudian
Ki Demang Sangkal Putung sendirilah yang membawanya dari
regol halaman menyeberangi pelataran, naik ke pendapa dan
kemudian menghadap pamannya.
Agung Sedayu meuarik nafas. Besok justru ia akan
meninggalkan halaman ini.
Ketika angin malam yang sejuk menyentuh keningnya, terasa
udara yang dingin seakan-akan merasuk sampai ke tulang
sungsum. Ketika ia bergeser dari tempat duduknya untuk berdiri dan
meninggalkan tempat yang dingin, dan menghindari gigitan
nyamuk yang buas, maka tiba-tiba ia terkejut menydengar desir
lembut di belakannya. Agung Sedayu mengurungkan niatnya.
Diperhatikannya suatu itu yang semakin lama menjadi semakin
dekat. Tetapi Agung Sedayu tidak perlu cemas, sebab ia berada
di dalam lingkungan dinding halaman kademangan yang tinggi.
Meskipun demikian ia tidak boleh lengah.
Hatinya menjadi kian berdebar-debar ketika terdengar desir
itu menjadi semakin dekat. Namun pendengarannya yang terlatih
segera dapat mengetahui, bahwa langkah itu sama sekali tidak
berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia berpaling. Tetapi sekali lagi ia
terperanjat. Di dalam keremangan ia melihat sesosok tubuh
berdiri tegak beberapa langkah dari padanya. Seorang
perempuan. Tergagap Agung Sedayu menyapa lirih, "Kau,
Mirah?" Yang berdiri itu adalah Sekar Mirah. Tetapi ketika ia
mendengar suara Agung Sedayu, tiba-tiba saja terasa darahnya
membeku. Gadis itu menjadi kebingungan dan tidak mengerti
apa yang harus dilakukahnya.
Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah membeku di
tempatnya, menjadi bingung pula. Perlahan-lahan ia berdiri,
tetapi ia tidak melangkah maju.
Sejenak mereka berdiri tegak berhadapan dalam jarak
beberapa langkah. Tetapi masing-masing saling terbungkam
dalam ketegangan. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu berhasil
menguasai dirinya. Dicobanya untuk menenangkau detak
jantungnya, dan perlahan-lahan ia bertanya, "Mirah. Kenapa kau
berada di situ?" Sekar Mirah masih membeku. Pertanyaan Agung Sedayu itu
telah membuatnya semakin bingung. Seolah-olah pertanyaan itu
bergulung-gulung di kepalanya, "Ya, kenapa aku berada dinisi?"
Tiba-tiba Sekar Mirah menyadari dirinya, bahwa ia adalah
seorang gadis, seorang gadis yang sedang menginjak dewasa.
Karena itu maka terasa wajahnya menjadi panas.
Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara Agung
Sedayu mengulangi, "Kenapa kau berada di sini di malam
begini?" Sekar Mirah masih terdiam.
"Apakah kau disuruh oleh ayah atau ibumu?"
Sekar Mirah tidak menjawab.
"Atau," Agung Sedayu tidak dapat mencari pertanyaan yang
lain. Sekali lagi keduanya terdiam. Namun Agung Sedayu kini
sudah tidak lagi dikuasai oleh kejutan yang membingungkan. Ia
telah berhasil menguasai perasaannya.
Karena Sekar Mirah masih juga berdiam diri, maka selangkah
Agung Sedayu maju mendekatinya sambil bertanya pula,
"Mungkin kau mempunyai sesuatu keperluan Mirah" Mungkin
dengan seseoramg" Pelayanmu baraugkali, atau keperluankeperluan
lain yang harus segera kau selesaikan."
Sekar Mirah masih berdiam diri. Tetapi perlahan-lahan
digelengkannya kepalanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia kini menjadi
gelisah. Bukan karena kehadiran Sekar Mirah, tetapi bagaimana
ia mendapatkan jawaban dari padanya atas pertanyaanpertanyaannya.
"Hari sudah jauh malam, Mirah. Apakah kau tidak pergi tidur,
atau beristirahat?" Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Dalam keremangan
malam Agung Sedayu tidak dapat melihat wajah itu dengan
jelas. Namun kemudian perlahan-lahan terdengar gadis itu
berkata, "Aku sudah lama menunggu di sudut rumah."
"O, kenapa baru sekarang kau datang kemari?"
"Kau baru berbicara dengan Paman Widura. Aku tidak berani
mengganggu." "Dan kau menunggu saja di sudut rumah itu."
"Ya, hampir aku tidak sabar. Pamanmu terlampau lama."
"Aku mendengarkan nasehat-nasehatnya. Lalu, apakah kau
juga ingin berbicara sesuatu dengan aku?"
Sekali lagi Sekar Mirah terdiam.
"Bagaimana?" desak Agung Sedayu.
"Kau aneh, Kakang," tiba-tiba terdengar suara itu menjadi
sendat. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar
suara Sekar Mirah lambat, "Bukankah besok kau akan pergi
meninggalkan Sangkal Putung?"
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi terasa debar
jantungnya menjadi semakin cepat. Baru kini ia menyadari
kesalahannya, ia tidak memerlukan untuk minta diri kepada
Sekar Mirah, meskipun secara tidak langsung ia sudah
mengatakannya, bahwa ia akan pergi bersama guru dan
saudara seperguruannya, Swandaru.
Sejenak keduanya terdiam. Di kejauhan terdengar tengara
menggema memenuhi kademangan. Ternyata tanpa mereka
sadari, malam telah hampir sampai di pusatnya.
Sekar Mirah mengangkat wajahnya mendengar tengara
kentongan itu. Ia harus segera masuk ke dalam biliknya. Apabila
ibunya mengetahui bahwa diam-diam ia merayap ke luar rumah
di tengah malam begini, maka ibunya pasti akan marah
kepadanya. "Kakang," desis Sekar Mirah kemudian, "sudah tengah
malam. Aku harus segera tidur."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Jawabnya
"Tidurlah, Mirah. Aku besok minta diri kepadamu, kepada
seluruh keluarga di kademangan ini."
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Desisnya, "Aku hanya
dapat mengucapkan selamat jalan, Kakang."
"Terima kasih, Mirah," sahut Agung Sedayu, "mudahmudahan
aku selamat diperjalanan dan keluarga di sini pun
selamat seluruhnya."
"Mudah-mudahan kau segera kembali. Aku mengharap
bahwa kau akan kembali ke Sangkal Putung, Kakang, tidak ke
Jati Anom."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlampau
jauh di masa damai Mirah."
Sekar Mirah terdiam. Ia mengharap Agung Sedayu
mengatakan banyak hal tentang dirinya. Tetapi Agung Sedayu
pun terdiam pula. Bahkan dadanya yang sudah mulai tenang
menjadi berdebar-debar kembali.
Alangkah jauh perbedaan sifat antara Agung Sedayu dan
Sidanti. Sekar Mirah pernah berkawan agak rapat dengan
Sidanti, karena gadis itu mengagumi Sidanti sebagai seorang
pahlawan yang tiada bandingnya di Sangkal Putung selain
Widura sendiri pada saat itu. Tetapi ternyata bahwa ia hanya
sekedar mengaguminya. Tidak lebih daripada itu. Meskipun
Sidanti agak lebih banyak memberikan waktunya untuk
bersama-sama dengan Sekar Mirah berjalan-jalan, berbicara
dan bahkan kadang-kadang seperti anak-anak mereka bermainmain,
namun ternyata Sidanti tidak dapat mengikat hati Sekar
Mirah seerat tali yang dilepaskan oleh Agung Sedayu dengan
kediriannya. Dengan segenap sifat-sifatnya. Meskipun Sekar
Mirah lebih senang melihat seorang laklaki yang agak banyak
membanggakan dirinya seperti Sidanti, namun ada unsur lain
yang tidak dapat dimengerti oleh Sekar Mirah, kenapa Agung
Sedayu pun dikaguminya pula. Apalagi setelah, ia menyadari
bahwa hampir di dalam segala hal Agung Sedayu tidak dapat
dikalahkan oleh Sidanti, sejak mereka beradu dalam kecakapan
memanah. "Tetapi Agung Sedayu tidak pernah berkata dengan bangga
"Mtrah, tinggallah kau disini. Besok aku akan bertemu dengan
Tohpati, biarlah aku penggal lehernya, aku bawa pulang
kepalanya ke kademangan ini untuk menjadi alas kakimu" dan
Agung Sedayu juga tidak pernah berkata kepadanya "Apapun
yang kau minta Mirah. Aku akan sanggup mengadakan. Tak ada
orang yang dapat menghalangi aku. Tak ada jarak yang dapat
membatasi gerakku. Lautan akan aku keringkan dan gununggunung
akan aku runtuh dan ratakan"."
Tidak. Agung Sedayu tidak pernah berkata demikian. Pada
saat anak muda itu datang ke Sangkal Putung uatuk pertama
kalinya, memang ia berceritera tentang perkelahiannya dengan
beberapa orang di sepanjang perjalanannya. Tetapi Agung
Sedayu untuk seterusnya tidak pernah berbangga atas dirinya.
Bahkan di saat-saat itu, di saat-saat ia baru saja berada di
kademangan ini tampaknya selalu dicengkom oleh keraguraguan
dan kecemasan. "Ia terlampau takut terhadap pamannya," pikir Sekar Mirah
saat itu. Setiap kali Agung Sedayu hanya berkata kepadanya, "Mudahmudahan
aku berhasil mengatasi lawan-lawanku, Mirah." Hanya
itu. Hanya itu saja yang dikatakan, seolah-olah ia tidak meyakini
kekuatan sendiri. Sebenarnya Sekar Mirah agak kecewa
terhadap sikap itu. Sikap yang menurut Sekar Mirah kurang
jantan. Kurang tatag dan ragu-ragu. Namun meskipun demikian
anak muda itu telah mengikat hatinya, dalam keadaannya itu.
Dan kali ini pun Agung Sedayu berkata kepadanya, "Mudahmudahan
aku selamat di perjalanan dan keluarga di sini pun
selamat seluruhnya."
Kenapa Agung Sedayu itu tidak berkata, "Mirah, aku akan
pergi ke Menoreh. Kelak aku akan kembali dengan membawa
kepala Sidanti untuk alas kakimu. Kau akan dapat melepaskan
dendammu kepadanya. Dan kepala itu adalah tanda
katresnanku kepadamu."
Tidak, Agung Sedayu tidak berkata demikian. Bahkan
kemudian ia mendengar Agung Sedayu yang berdiri mematung
di hadapahnya itu berkata, "Pergilah tidur, Mirah. Mudahmudahan
kau besok pagi tidak terlambat bangun, sehingga kau
dapat melihat keberangkatanku bersama Kiai Gringsing dan Adi
Swandaru." Terasa leher gadis itu tersumbat, sehingga ia tidak dapat
menyahut. Ia menjadi kecewa. Perpisahan itu sama sekali tidak
berkesan kejantanan seorang prajurit yang pergi berperang.
Tetapi anak muda yang bemama Agung Sedayu itu minta diri
kepadanya seperti seorang perantau yang akan mencari sesuap
nasi bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Kata-kata yang
diucapkan tidak lebih dari "Mudah-mudahan aku selamat."
Tetapi Sekar Mirah tidak dapat berdiri di tempatnya terlampau
lama. Ia harus masuk ke dalam biliknya. Karena itu maka
katanya, "Selamat malam, Kakang. Besok aku akan bangun
pagpagi sekali untuk menyiapkan makan pagi kalian sebelum
berangkat." Terasa desir yang lembut menggores jantung Agung Sedayu.
Ia sendiri tidak tahu, pengaruh apa yang telah menyentuh isi
dadanya. Hampir setiap hari Sekar Mirah dan pembantupembantunya
menyiapkan makan untuk mereka. Untuk
pamannya, untuk dirinya dan untuk para prajurit Pajang di
Sangkal Putung. Tetapi ketika Sekar Mirah mengatakan itu
langsung kepadanya, terasa debar dadanya menjadi semakin
cepat. "Terima kasih, Mirah," hanya itulah, yang diucapkannya, lalu
dilanjutkannya, "Selamat malam."
Tetapi Sekar Mirah masih belum juga beranjak dari
tempatnya. Gadis itu masih berdiri saja seolah-olah mematung.
Ia masih mengharap Agung Sedayu mengatakan sesuatu
kepadanya, sebagaimana seorang laklaki yang perkasa siap
untuk berangkat ke medan perang, meninggalkan seorang
kekasih yang dicintainya.
*** Tetapi Agung Sedayu tidak berkata apa-apa. Agung Sedayu
pun menjadi seakan-akan beku ketika ia melihat Sekar Mirah
masih saja berdiri mematung.
"Oh," desah Sekar Mirah di dalam hatinya. Hatinya yang
menjadi kisruh. Agung Sedayu malahan menjadi beku. Diam dan tidak
berkata-kata lagi. Tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya membelakangi. Hampir
meledak tangis yang ditahan di dadanya. Ia menjadi kecewa
melihat sikap itu. Sikap yang bagi Sekar Mirah kurang jantan.
Kurang berani. Bukan kurang berani menghadapi lawan, tetapi ia
sama sekali tidak berkata-kata apa-apa kepadanya. Dan
sikapnya menunjukkan keragu-raguan yang menjemukan.
Agung Sedayu menjadi bingung melihat Sekar Mirah yang
tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sekuat
tenaga gadis itu bertahan untuk tidak menangis. Untuk sesaat ia
berhasil. Meskipun demikian dadanya serasa akan meledak.
Karena Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu, maka Sekar
Mirah pun tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi
daripadanya saat itu. Ia tidak akan dapat mendengar kata-kata
yang dapat membuat jantungnya bergetar. Baik Agung Sedayu
sebagai seorang laklaki yang mempunyai banyak kelebihan
dari laklaki yang lain, yang sudah ternyata bahwa ia mampu
melawan Sidanti, bahkan dalam, beberapa hal ia telah
melampauinya, maupun sebagai seorang laklaki yang telah
menjerat hatinya. Laklaki yang meskipun tidak memberikan
kebanggaan kepadanya, namun dalam keseluruhannya Agung
Sedayu telah mengikatnya terlampau erat.
Agung Sedayu terlalu sopan. Bukan, bukan terlalu sopan,
tetapi hatinya selalu dicengkam oleh keragu-raguan. Meskipun ia
telah berhasil memecahkan dinding yang mengurungnya dalam
ketakutan, namun ia masih belum berhasil melepaskan diri dari
kebimbangan dan keragu-raguan untuk bersikap. Apalagi
apabila terkenang olehnya sikap kakaknya, Untara.
Agung Sedayu yang ragu-ragu itu terperanjat ketika tiba-tiba
saja, ia melihat Sekar Mirah itu meloncat berlari
meninggalkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia memanggil,
"Mirah. Mirah."
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan tidak mendengarnya. Ia
berlari terus meninggalkan Agung Sedayu berdiri seorang diri
sambil termangu-mangu. Ia menjadi semakin bingung
menghadapi Sekar Mirah. Ia tidak mengerti apa yang harus
dilakukan. Sekar Mirah yang yakin benar, bahwa Agung Sedayu tildak
akan mengejarnya, kemudian berhenti di belakang rumahnya.
Dicobanya untuk menekan hatinya yang seolah-olah sedang
mendidih oleh kekecewaan. Ia masih sadar, bahwa ia tidak boleh
mengejutkan ayah dan ibunya. Mungkin Swandaru yang masih
juga belum tidur. Perlahan-lahan didorongnya lawang leregan di
butulan belakang. Kemudian dengan hathati pintu itu ditutup
kembali setelah ia melangkah masuk. Dengan hathati pula
diangkatnya slarak kaju dan disilangkannya pada daun pintu.
Berjingkat ia melangkah menuju ke biliknya.
Rumahnya sudah terlampau sepi. Ia tidak mendengar suara
apa pun lagi. Ketika ia lewat melalui bilik ibunya, hatinya menjadi
berdebar-debar. Tetapi bilik itu telah tertutup.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun
kekecewaan di dalam dadanya hampir tidak tertahankan lagi,
seakan ingin meledak. Dengan hathati ia melangkah ke pintu biliknya. Bilik itu
tertutup rapat. Ia sendirilah yang menutupnya ketika ia diamdiam
pergi ke luar. Perlahan-lahan sekali ditariknya pintu leregan
bilik itu. Perlahan-lahan sekali supaya tidak menimbulkan bunyi.
Bunyi derit yang lembut sekalipun.
Sedikit demi sedikit pintu itu terbuka. Semakin lebar. Dan
ketika ia menjenguk ke dalam, hampir-hampir ia menjadi
pingsan. Jantungnya serasa berhenti berdetak karena kejutan
yang luar biasa. Untunglah ia tidak menjerit keras-keras.
Ditihatnya seorang duduk di atas pembaringannya. Sinar pelita
yang redup agak kemerah-merahan memancar jatuh di atas
wajah yang bulat gemuk. Swandaru. Swandaru menahan suara tertawanya melihat adiknya
terkejut bahkan hampir menjadi pingsan. Perlahan-lahan ia
berdiri dam berkata lambat, "Masuklah. Apakah kau terkejut?"
Sekar Mirah masih terbungkam. Detak jantungnya masih
belum berjalan wajar. Kedua telapak tangannya masih menutupi
mulutnya yang hampir berteriak.
"Masuklah. Aku tidak ingin mengejutkan kau."
Sekar Mirah masih berdiri membeku.
"Masuklah, Mirah. Darimanakah kau."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia tidak berbuat apa pun
ketika kakaknya mendekatinya membimbingnya masuk ke dalam
biliknya dan mendotongnya duduk di atas pembaringannya.
"Maafkan aku, Mirah. Aku tidak ingin mengejutkan kau Aku
sengaja menunggumu, karena aku akan minta diri pula
kepadamu." Sekar Mirah masih terdiam. Dan Swandaru berkata terus
sambil berdiri di mukanya. "Apakah kau tadi menemui Kakang
Agung Sedayu di luar?"
Sekar Mirah tidak menyahut. Kejutan yang menghentak
dadanya masih belum mereda.
Swandaru pun kemudian berdiam diri untuk sesaat,
Dibiarkannya adiknya menjadi tenang. Perlahan-lahan ia
berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang sempit itu.
Angin malam yang dingin menyusup lubang-lubang dinding
menyentuh tubuh-tubuh mereka. Di kejauhan terdengar suara
angkup nangka mencicit seperti sedang menjerit-jerit. Sekali lagi
terdengar suara tengara kentongan di kejauhan, sahutmenyahut.
Kini malam benar-benar telah sampai ke pusatnya.
Tengah malam. Bukan saja suara kentongan dalam nada dara
muluk yang terdengar sahut-menyahut, tetapi kemudian disusul
oleh kokok ayam jantan untuk yang pertama kalinya, menjalar
dari kandang ke kandang, merambat ke seluruh kademangan.
Swandaru menarik nafasnya. Ketika disangkanya adiknya
telah agak tenang, maka ia pun berkata, "Aku ingin minta diri
kepadamu, Mirah." Tetapi ternyata Sekar Mirah masih belum menjawab.
Meskipun kejutan yang menghentak dadanya telah mereda,
tetapi kekecewaan atas Agung Sedayu masih belum terhapus.
Bahkan kemudian ia menjadi sangat jengkel terhadap kakaknya
yang telah mengejutkannya.
"Kau marah, Mirah?" bertanya Swandaru. "Aku sama sekali
tidak sengaja mengejutkan kau." Tetapi Swandaru tersenyum di
dalam hatinya. Ia sengaja menutup pintu bilik Sekar Mirah,
supaya gadis itu terkejut. Tetapi biasanya Sekar Mirah tidak
terlampau lama marah kepadanya. Sejenak saja kemarahannya
telah menjadi cair. Tetapi kali ini, justru besok ia akan pergi.
Sekar Mirah agaknya benar-benar marah kepadanya.
"Aku minta maaf Mirah. Aku datang untuk minta dirBesok
aku akan pergi," Swandaru berhenti sejenak. Dilihatnya Sekar
Mirah menundukkan kepalanya. "Besok aku dan Kakang Agung
Sedayu akan pergi melintasi hutan Mentaok, pergi ke Menoreh.
Bukankah kau sudah mendengarnya pula" Kami akan pergi
bersama guru, Kiai Gringsing." Sekali lagi Swandaru berhenti
berbicara. Dpandanginya kepala Sekar Mirah yang tunduk. Lalu
diteruskannya, "Apakah kau mempunyai pesan sesuatu"
Katakanlah. Mungkin kau mempunyai kepentingan. Apakah kau
ingin aku memenggal kepala Sidanti dan membawanya pulang
supaya kau menjadi bersenang hati, atau bahkan kedua-duanya
dengan kepala Argajaya?"
Tiba-tiba Sekar Mirah tersentak. Dengan serta-merta ia
menengadahkan kepalanya. Kata-kata itulah yang ingin
didengarnya. Tetapi tidak dari mulut kakaknya. Ia ingin
mendengar dari mulut Agung Sedayu. Betapa hatinya menjadi
terlampau kecewa. Tiba-tiba saja gsdis itu meloncat berdiri,
berlari kepada kakaknya. Dengan tangisnya ia berkata sambil
mencubiti kakaknya bertubtubi. "Kau terlampau nakal, Kakang.
Kau terlampau nakal. Kau mengejutkaa aku sehingga aku
hampir menjadi pingsan."
"Oh, oh," Swandaru terkejut. Terasa jarjari Sekar Mirah
menyengat tanpa hentinya. "Mirah. Mirah."
"Kau terlampau nakal," desis Sekar Mirah. Tangannya masih
saja mencubiti kakaknya. Ia ingin melepaskan segala macam
perasaan yang menghentak-hentak di dadanya. Ia ingin
melepaskan kekecewaan yang ditahannya. Ia ingin
menumpahkan tangisnya yang disimpannya, sehingga dadanya
serasa akan pecah. "Mirah, Mirah," Swandaru hampir berteriak, "aku minta maaf."
Tiba-tiba Sekar Mirah menghentikan cubitannya. Dan yang
tidak disangka-sangka oleh Swandaru Sekar Mirah itu meremas
leher bajunya sambil menangis sejadjadinya. "Kakang," gadis
itu berdesah. "He," Swandaru yang selama ini menyangka bahwa Sekar
Mirah marah kepadanya, menjadi bingung. "Kau benar-benar
marah kepadaku, Mirah."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangis Sekar Mirah tidak mereda.
Swandaru menjadi semakin bingung. Ia tidak menyangka
bahwa permainannya akan membuat Sekar Mirah benar-benar
marah. Tetapi Swandaru tidak mengerti apa yang sedang
bergolak di dada adiknya.
"Aku minta maaf, Mirah. Aku tidak ingin membuatmu marah."
Swandaru melihat Sekar Mirah perlahan-lahan
menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kakang. Aku tidak marah
kepadamu." "Oh," Swandaru semakin tidak mengerti. "Lalu, kenapa
kau menangis?" Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tangisnya masih saja
menyesakkan dadanya. "Duduklah Mirah. Kau dapat berkata dengan tenang."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menurut saja ketika
sekali lagi Swandaru mendorongnya duduk di atas
pembaringannya. "Apakah kau baru saja bertemu dengan Kakang Agung
Sedayu?" "Ya," Sekar Mirah mengangguk.
"Apakah kau bertengkar?"
Sekar Mirah menggeleng. "Tidak, Kakang."
"Lalu, kenapa kau menjadi marah, dan akulah yang menjadi
kambing hitam, sehingga tubuhku menjadi merah biru kau cubiti.
Bahkan kau menggigit lenganku."
Sekar Mirah tidak segera menyahut.
"Agaknya kau bertengkar dengan Kakang Agung Sedayu."
Sekali lagi Sekar Mirah menggeleng. "Tidak. Aku tidak
bertengkar. Bahkan Kakang Agung Sedayu hampir berdiam
diri saja. Ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya minta diri dan
berkata "Mudah-mudahan aku selamat, Mirah." Hanya itu."
Swandaru mengerutkan keningnya. "Lalu apakah yang harus
dikatakan?" "Ternyata ia adalah seorang yang dicengkam oleh keraguraguan.
Ia seorang laklaki yang perkasa, yang memiliki
beberapa kelebihan dari orang lain. Dari Sidanti dan Argajaya.
Tetapi ia tidak berani berkata seperti yang kau katakan, Kakang.
Ia tidak berani berkata jantan seperti Kakang Sidanti dahulu."
"Hus," Swandaru memotong, "kau masih juga menyebutnyebut
nama Sidanti?" Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Ia telah terdorong
mengucapkan nama itu. Terdorong oleh kekecewaannya atas
sikap Agung Sedayu yang menurut penilaiannya tidak sejantan
Sidanti. "Mirah," berkata Swandaru "aku tidak senang mendengar
nama itu masih kau sebut-sebut. Kalau kau masih juga ingin
menyebut nama itu, maka kau harus berkata "Bawalah kepala
Sidanti itu kepadaku." Jangan kau ucapkan kalimat yang lain
tentang anak setan itu."
Sekar Mirah membersihkan air yang meleleh di pipinya
dengan lengan bajunya. Katanya, "Kakang, aku merasakan
perbedaan sikap antara keduanya, Sidanti dan Kakang Agung
Sedayu. Kakang Agung Sedayu adalah seorang pendiam yang
menjemukan sekali. Seorang yang ragu-ragu dan tidak mengerti
kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya. Ia tidak menyadari
kelebihannya dari orang lain, atau memang ia seorang yang
sama sekali tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri."
"Hem," Swandaru bergumam.
"Tetapi Sidanti tidak. Sidanti yakin akan dirinya. Ia mempunyai
ketetapan hati untuk melakukan suatu pekerjaan. Ia mempunyai
kepercayaani kepada diri sendiri."
"Jangan, Mirah. Jangan kau ulangi lagi," potong Swandaru.
Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun
tekanan nadanya benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak
senang mendengarnya. Tetapi Sekar Mirah masih berkata, "Aku raengagumi anakanak
muda yang perkasa, yang percaya kepada diri sendiri dan
mempunyai cita-cita yang mantap."
"Seperti Sidanti?"
Sekar Mirah terdiam. "Seharusnya Sidanti sudah mati bagimu, Mirah. Atau kau
benar-benar ingin melihat anak setan itu mati?"
Sekar Mirah masih berdiam diri.
"Mirah," berkata Swandaru, "betapa perkasa anak muda yang
bernama Sidanti itu, tetapi ia tak akan mampu melampaui
Kakang Agung Sedayu. Bahkan sekarang, aku pun sanggup
dipasang di hadapannya dengan senjata di tangan. Anak itu
pernah menampar wajahku beberapa kali. Tetapi untuk
seterusnya tidak akan dapat terjadi lagi selagi aku masih mampu
bernafas." Sekar Mirah seakan-akan menjadi beku di tempatnya.
Kepalanya menunduk, sedang tangannya bermain-main dengan
ujung bajunya. Tetapi tampak pipinya masih basah.
"Sidanti sekarang sudah bukan tandingan Agung Sedayu
lagi." Sekar Mirah menangkat wajahnya, katanya, "Tetapi sifatsifatnya
yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan itu membuat
aku benci kepadanya."
Swandaru menarik nafas. Kemudian katanya, "Apakah kau
membenci Kakang Agung Sedayu."
"Ya, aku benci kepadanya. Tidak ada seorang pun yang
paling aku benci selain Kakang Agung Sedayu."
"Betul begitu?"
"Ya." "Baiklah," berkata Swandaru sambil melangkah mundur.
"Sekarang aku akan menemuinya."
"Kenapa?" bertanya Sekar Mirah dengan serta-merta.
"Mirah," berkata Swandaru bersungguh-sungguh, "aku adalah
kakakmu. Aku sudah bekerja dengan susah payah untuk
melepaskan kau dari sarang Tambak Wedi. Karena itu adalah
kuwajibanku untuk membelamu. Kalau kau benci kepada
Kakang Agung Sedayu, maka akupun harus berlaku demikian
juga. Aku akan pergi mendapatkannya. Dimana ia sekarang?"
"Untuk apa kau menemuinya?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku harus menyampaikannya "Sekar Mirah benci kepadamu".
Begitulah. Aku harus berkata kepadanya supaya ia mengerti
akan dirinya. Selama ini ia merasa mendapat hati. Apalagi
sepeninggal Sidanti."
"Apa yang akan kau perbuat itu, Kakang?" Sekar Mirah
menjadi cemas. "Sudah aku katakan. Ia harus menyadari dirinya, bahwa kau
benci kepadanya. Ia harus mengerti. Seandainya ia menjadi
kecewa, biarlah ia pergi dan memisahkan diri dari aku dan guru
besok. Apalagi seandainya ia marah, biarlah aku akan
menghadapinya. Aku tidak akan gentar. Seandainya aku kalah,
maka aku dapat mengerahkan segenap anak-anak muda
Sangkal Putung untuk menangkapnya dan memukulinya sampai
mati sekalipun." "Kakang." "Aku pergi sebentar. Tidak terlampau lama. Aku akan segera
kembali memberilahukan kepadamu, bahwa aku telah memukuli
anak yang kau benci itu."
"Kakang." "Jangan tidur dulu, Mirah. Aku segera kembali."
Swandaru segera memutar tubuhnya. Tetapi ketika ia baru
melangkah setapak tiba-tiba Sekar Mirah memegangi bajunya.
"Kenapa, Mirah."
"Jangan, Kakang. Jangan."
"Kenapa jangan" Lepaskan aku. Anak itu harus mendapat
pelajaran." "Jangan, Kakang. Jangan."
"Biar, biar saja. Lepaskan aku. Kenapa kau menahan. Bajuku
akan sobek karenanya."
"Kau tidak usah berbuat apa-apa, Kakang."
"Tidak, Mirah. Kakang Agung Sedayu harus segera
mendengar, bahwa kau membencinya. Ia harus segera
menyadari dirinya dan tidak melanjutkan mimpinya yang
mengasyikkan itu. Ia harus segera bangun dan melihat
kenyataan, bahwa Sekar Mirah bukanlah gadis yang pantas
diharapkannya. Aku harus menemuinya sekarang, dan langsung
memberitahukannya. Jangan takut seandainya ia marah.
Sangkal Putung penuh dengan anak-anak muda yang sanggup
berbuat apa saja untukku."
Tetapi Sekar Mirah masih saja memegangi bajunya. Bahkan
semakin keras, sehingga Swandaru yang telah melangkah maju
itu terpaksa surut, supaya bajunya tidak sobek karenanya.
"Kenapa kau mencegah, Mirah" Aku tidak senang
menyimpan perasaan itu di dalam hati. Aku ingin persoalanmu
dengan Kakang Agung Sedayu menjadi jelas."
"Jangan, Kakang, jangan kau katakan kepadanya."
"Biar, biar saja. Apakah kau mencemaskan aku?"
"Tidak. Tetapi jangan kau katakan."
"Kenapa" Coba katakan, kenapa" Bukankah kau
membencinya" Bahkan Agung Sedayu adalah orang yang paling
kau benci di dunia ini, melampaui kebencianmu kepada Sidanti."
Tiba-tiba tanpa disadarinya Sekar Mirah menggeleng. "Tidak.
Tidak begitu." "He?" Swandaru mengerutkan keningnya. "Jadi bagaimana?"
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menundukkan.
kepalanya. Melihat Sekar Mirah mencoba menghindari pandangan
matanya, Swandaru tidak dapat lagi menahan tertawanya. Tibatiba
saja suara tertawa itu berderai, meskipun anak yang gemuk
itu berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak mengejutkan ayah dan
ibunya yang belum lama masuk ke dalam bilik mereka.
Sekar Mirah terkejut mendengar Swandaru tertawa. Ketika
gadis itu mengangkat wajahnya, dilihatnya Swandaru menutup
mulutnya dengan sebelah telapak tangannya, sedang tangannya
yang lain memegangi perutnya yang bulat.
"Kenapa kau tertawa?" Sekar Mirah bertanya.
Swandaru tidak segera menjawab, ia masih tenggelam dalam
derai tertawanya. "Kakang, kenapa kau tertawa" Kenapa he?" Sekar Mirah
menjadi semakin bernafsu.
"Mirah," Swandaru menahan diri sehingga nafasnya menjadi
terengah-engah, "lain kali hathatilah berbicara. Kau berkata
bahwa kau benci kepada Kakang Agung Sedayu, tetapi kau
memegangi bajuku sehingga hampir sobek ketika kau dengar
aku akan menyampaikannya kepada Kakang Agung Sedayu."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menyadari
bahwa agaknya Swandaru tidak benar-benar ingin
menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Ternyata Swandaru
itu telah mengganggunya lagi setelah kakaknya itu
mengejutkannya, ketika ia memasuki bilik ini. Karena itu maka
sekali lagi Sekar Mirah itu meloncat. Kakaknya itu seolah-olah
diterkamnya dan dicubutinya habis-habisan
"Mirah, Mirah."
Sekar Mirah tidak mendengarkannya. Bahkan kemudian
Sekar Mirah menggigit lengan Swandaru sekali lagi. Lebih keras.
"Mirah. He, aku kapok, Mirah. Aku tidak akan mengganggumu
lagi." "Terlalu kau, Kakang, terlalu," Sekar Mirah menjadi semakin
bemafsu, sehingga Swandaru terpaksa melonjak-lonjak
kesakitan. Tetapi ia tidak berhasil mencegah Sekar Mirah
menyakitinya. Sekar Mirah itu baru berhenti ketika ia mendengar suara dari
dalam bilik ayahnya, "Mirah, kau kenapa?"
Sekar Mirah segera melangkah surut, sedang Swandaru
berdiri tegak di tempatnya. Mereka kemudian mendengar
langkah ayahnya tergesa-gesa.
Ketika pintu bergerit, dan kemudian perlahan-lahan terbuka,
maka mereka melihat ayahnya berdiri di ambang pintu dengan
wajah yang tegang. "Oh, kau Swandaru," desah ayahnya setelah dilihatnya
Swandaru di dalam bilik itu juga. "Apa yang kau kerjakan"
Apakah kalian bertengkar?"
Swandaru menggeleng. "Tidak, Ayah."
"Apakah kau baru menangis, Mirah?"
"Tidak, Ayah," jawab Sekar Mirah.
Ayahnya terdiam. Tetapi ia tidak percaya mendengar jawaban
Sekar Mirah. Ia melihat mata gadis itu masih merah.
Sejenak kemudian ia berkata, "Swandaru, apakah kau masih
saja suka mengganggu adikmu?"
Swandaru menundukkan kepalanya "Tidak, Ayah. Aku tidak
menganggu." Hampir saja Sekar Mirah berteriak membantah. Tetapi ia
berhasil menahan dirinya. Ia malu apabila kakaknya nanti
mengatakan persoalannya dengan Agung Sedayu.
"Lalu kenapa Sekar Mirah menangis?"
Swandanu menjadi bingung sejenak. Lalu tiba-tiba saja ia
menjawab, "Ia ingin ikut bersama aku besok ayah."
"He," ayahnya terkejut, dan bahkan Sekar Mirah pun terkejut
pula. Tetapi ia tidak membantah.
"Benarkah begitu, Mirah?" bertanya ayahnya.
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangnya wajah
kakaknya sejenak. Ketika dilihatnya wajah itu membayangkan
kecemasan hatinya apabila ia mengingkarinya, maka timbullah
iba di hati gadis itu. Ia sudah puas mencubiti kakaknya sehingga
merah biru, bahkan menggigitnya.
"Ya, Mirah, kau akan ikut serta besok?"
Tiba-tiba Sekar Mirah mengangguk berat dan jawabannya
seolah-olah tersangkut di kerongkongan, "Ya, Ayah. Aku ingin
ikut." "Oh," ayahnya menarik nafas dalam. Dan Swandaru pun
menarik nafas panjang pula. Bahkan kemudian ia berkata, "Aku
melarangnya, dan anak itu memang menangis. Tetapi tidak lama
ia agaknya menyadari kekeliruannya."
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Sokurlah. Kau jangan terlampau menuruti
perasaanmu saja, Mirah. Perjalanan ini bukan perjalanan
tamasya. Kau harus dapat membayangkan bahaya yang
mengancam di sepanjang perjalanan, apalagi Alas Mentaok
yang garang itu." Sekar Mirah tidak segera menjawab, tetapi ia mengumpat di
dalam hatinya. Ayahnya justru marah kepadanya, meskipun
ceritera itu hanya sekedar ceritera yang dibuat-buat oleh
kakaknya Swandaru. Meskipun demikian adalah lebih baik
daripada kakaknya mengatakan persoalannya yang sebenarnya.
Karena kedua anak-anaknya diam, maka Ki Demang itu
berkata kepada Swandaru, "Nah, Swandaru. Beristirahatlah.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Besok kau akan mulai dengan perjalanan itu."
"Baik, Ayah," jawab Swandaru. Dan ayahnya meneruskan kali
ini kepada Sekar Mirah, "Kau pun harus segera tidur, Mirah.
Besok kau harus bangun pagpagi benar untuk mempersiapkan
makan pagi buat kakakmu dan Kiai Gringsing beserta Angger
Agung Sedayu." "Ya, Ayah," jawab Sekar Mirah sambil menundukkan
kepalanya. Ayahnya itu pun kemudian pergi meninggalkan bilik itu
bersama Swandaru. Setelah menutup pintu lereg biliknya, Sekar
Mirah segera merebahkan dirinya di pembaringannya. Sejenak
ia masih mengumpat-umpat karena kenakalan kakaknya. Tetapi
kemudian angan-angannya segera bergeser kepada Agung
Sedayu. Anak muda itu memang aneh baginya. Aneh. Ia tidak
mengerti kenapa anak muda yang perkasa seperti Agung
Sedayu, seolah-olah tidak mempunyai keberanian untuk
menentukan sikap dan berbuat sesuatu yang menggetarkan hati.
Sekar Mirah itu terkejut ketika tiba-tiba pintunya bergerit dan
sekali lagi terbuka. Berjingkat Swandaru masuk ke dalam sambil
meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya.
Perlahan-lahan Sekar Mirah bangkit. Ketika ia akan berdiri,
kakaknya berkata, "Tak usah berdiri, aku hanya sebentar. Aku
masih merasa belum selesai dengan persoalanmu."
"Apa lagi?" bertanya Sekar Mirah sambil bersungut.
"Tentang Kakang Agung Sedayu," jawab Swandaru.
Kemudian perlahan-lahan ia berkata lancer, "Dengar. Kau salah
sangka tentang Kakang Agung Sedayu. Aku ternyata lebih
banyak mengenal sifatnya daripada kau. Kakang Agung Sedayu
adalah seorang yang rendah hati. Seorang yang bagiku
terlampau baik. Ia tidak pernah menyornbongkan dirinya tanpa
maksud. Mungkin ia pernah mengucapkan kata-kata yang
berlebih-lebihan pada saat ia datang. Tetapi maksudnya untuk
menenteramkan hati kita di sini, bahwa kedatangannya akan
dapat membantu melindungi kademangan ini. Tetapi
sebenarnyalah ia seorang yang rendah hati. Kau ingat, bahwa ia
tidak turut dalam perlombaan memanah dahulu meskipun
kecakapannya memanah tiga kali lipat dari Sidanti" Kau harus
mengerti, memang Kakang Agung Sedayu berbeda dengan
Sidanti dan berbeda dengan aku sendiri dan dengan kau. Tetapi
yang rendah hati bukanlah seorang penakut atau pengecut. Itu
adalah caranya. Ia tidak akan berkata bahwa lautan akan
diloncatinya, dan gunung akan disamparnya sampai rata. Tidak.
Ia hanya akan berkata "Mudah-mudahan aku selamat". Kau
mengerti, Mirah?" Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi kepalanya
ditundukkannya dalam-dalam.
"Nah, sekarang tidurlah. Aku sudah puas. Terserahlah
kepadamu, kepada caramu menilai Kakang Agung Sedayu."
Swandaru tidak menunggu jawaban Sekar Mirah. Sambil
berjingkat ia melangkah keluar pintu dan berjalan hathati ke
pringgitan. Malam ini ia tidur di bentangan tikar di pringgitan
bersama Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu telah
merebahkan dirinya pula meskipun masih belum tertidur. Namun
sejenak kemudian mereka pun telah memejamkan mata dan
perlahan-lahan mereka jatuh tertidur.
Sebelum fajar pecah di Timur, Agung Sedayu dan Swandaru
telah bersiap. Kiai Gringsing sudah berada di antara mereka pula
di pringgitan. Seteguk-seteguk mereka minum air hangat dan
setelah mereka makan pagi, maka mereka pun segera
berkemas. Beberapa orang mengantarkan mereka sampai ke regol
halaman ketika mereka kemudian berangkat. Widura, Ki
Demang dan Nyi Demang, Sekar Mirah, dan satu dua orang
yang lain. Tidak banyak yang mengerti bahwa hari itu Kiai
Gringsing dan kedua muridnya akan meninggalkan Sangkal
Putung. Sumangkar yang tua pun berdiri sambil menganggukanggukkan
kepalanya di sisi regol halaman. Terasa sesuatu
bergetar di dalam dadanya. Bahkan ia berbisik lirih kepada Kiai
Gringsing, "Kiai, aku iri hati kepadamu. Kau mempunyai dua
orang murid yang dapat kau banggakan. Tidak banya sikap dan
tindak-tanduk, tidak hanya ketangkasannya menggenggam
senjatamu yang aneh itu, tetapi mereka adalah anak-anak yang
baik." Kiai Gringsing tersenyum, jawabnya, "Mudah-mudahan aku
berhasil untuk seterusnya."
"Aku menjadi sangat prihatin Kiai," sumbung Sumangkar.
"Perguruanku akan segera putus sampai ujung umurku. Dahulu
aku mengharapkan Angger Tohpati akan menjadi penyambung
cabang perguruanku lewat Ki Patih Mantahun. Tetapi ia telah
tidak ada lagi. Dan aku sampai saat ini tidak mempunyai seorang
murid pun." "Kau dapat menemukannya, Adi," sahut Kiai Gringsing yang
ikut merasakan betapa sepinya hati orang tua itu.
"Aku belum melihat."
"Mudah-mudahan Adi segera menemukannya."
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
berkata apa-apa lagi. Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun berangkat
meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Sekali lagi orangorang
tua di Sangkal Putung itu memberikan doa selamat
kepada mereka, dan sekali lagi Sekar Mirah mendengar Agung
Sedayu berdesis kepadanya, "Mudah-mudahan aku selamat dan
segera kembali ke kademangan ini."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
menyembunyikan pelupuk matanya yang bendul karena
tangisnya semalam. Bahkan saat ini pun matanya telah menjadi
basah pula. Dua anak-anak muda yang paling dekat dengan
dirinya bersama-sama pergi. Agung Sedayu dan kakaknya
Swandaru. Meskipun hampir setiap hari kakaknya selalu
mengganggunya tetapi setiap kali kakaknya tidak di rumah,
terasa rumahnya menjadi sepi. Swandaru adalah satu-satunya
saudaranya. Dan kali ini Swandaru pergi untuk waktu yang tidak
tertentu. Sedangkan anak muda yang lain, Agung Sedayu,
meskipun ia tidak sesuai dengan sifat-sifatnya yang kurang
jantan menurut penilaian Sekar Mirah, namun anak muda itu
benar-benar telah menambat hatinya dengan segala sifatsifatnya
yang tidak disukainya itu. Kepergian Agung Sedayu
pasti akan membuatnya semakin sepi.
Memang terasa, kata-kata anak muda itu seolah-olah
memberi kedamaian di hatinya. Tidak terbayang kekerasan dan
perkelahian. Tidak tersirat dendam dan kebencian terhadap
siapa pun juga. Tetapi apabila darahnya sedang mendidih
mengingat perlakuan Sidanti atasnya, maka bagi Sekar Mirah
sikap yang penuh kedamaian dan kesejukan itu adalah sikap
yang terlampau lemah. Ia sendiri menyimpan dendam tiada
taranya kepada Sidanti dan orang-orangnya. Juga kepada Ki
Tambak Wedi. Ia ingin Agung Sedayu mendendamnya seperti
dirinya. Mengancam dan menggenggam keinginan untuk
membalas dendam dan sakit hatinya.
Tetapi Agung Sedayu hanya sekedar berkata kepadanya
"Mudah-mudahan aku selamat, Mirah. Dan segera kembali ke
kademangan ini." Meskipun demikian ketika ketiga orang in mulai
melangkahkan kakinya meninggalkan regol halaman, terasa
dadanya menjadi sesak. Ia melihat Swandaru melambaikan
tangannya kepadanya dan berkata, "Baik-baiklah menjaga
dirimu, Mirah." Sekar Mirah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia ingin
menjawab dan mengucapkan selamat jalan, tetapi
tenggorokannya serasa tersumbat. Itulah sebabnya ia hanya
berdiri saja mematung. Dicobanya untuk menggerakkan
tangannya, membalas lambaian tangan kakaknya. Tetapi tangan
itu serasa menjadi terlampau kaku.
Meskipun demikian Sekar Mirah itu berhasil menahan air
matanya untuk tidak membanjir dari pelupuknya yang basah.
Tiba-tiba timbul di dalam hatinya, bahwa sikap yang sebaikbaiknya
adalah melepaskan keduanya dengan tabah, dengan
dada tengadah. Ia tidak ingin menangis lagi seperti kanak-kanak
dan perempuan cengeng. Ia bukan kanak-kanak lagi, dan ia
bukan perempuan yang cengeng.
Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Dan sesaat kemudian
ia berhasil mengangkat tangannya dan melambaikan tangan itu.
Dipaksanya bibirnya untuk tersenyum.
Tiba-tiba Sekar Mirah itu berkata lantang, "Selamat jalan
Kakang Swandaru, selamat jalan Kakang Agung Sedayu.
Mudah-mudahan kalian kembali dengan selamat setelah kalian
berhasil melepaskan sakit yang menyekat hati. Perjalanan kalian
adalah perjalanan jantan, bukan perjalanan perawan-perawan
yang pergi ngunggah-unggahi."
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya mendengar kata-kata
Sekar Mirah. Tetapi ia tersenyum saja. Dibiarkannya Swandaru
menjawab, "Doakan, Mirah."
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengar Agung Sedayu
menjawab sepatah kata pun. Bahkan ia melihat wajah itu
membayangkan keragu-raguannya. Sesaat dipandanginya wajah
gurunya. Tetapi ia tidak mendapatkan kesan sesuatu, meskipun
ia melihat gurunya itu tersenyum.
Sekar Mirah berdesah di dalam hatinya. "Sekali lagi aku
melihat wajah yang menjemukan itu. Ragu-ragu, ragu-ragu,
selalu dalam keragu-raguan," ia mengumpat di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak dapat melepaskan bayangan wajah yang selalu
ragu-ragu itu. Ketiganya, Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru pun
semakin lama menjadi semakin jauh. Sementara itu langit
menjadi semakin cerah. Orang-orang yang berdiri di luar regol
kademangan masih melihat ketiganya berjalan perlahan-lahan
semakin lama semakin sayup. Sejenak kemudian maka ketiga
orang yang tampaknya menjadi semakin kecil itu mengghilang di
tikungan. Betapa gelora di dada Sekar Mirah serasa mengguncangguncang
jantungnya, namun ia bertahan untuk tidak menangis.
Diangkatnya kepalanya dan ditengadahkannya wajahnya. Ia
kemudian berjalan di samping ayahnya masuk ke dalam
halaman dan berjalan naik ke pendapa beriringan dengan
ibunya, Sumangkar, Widura dan beberapa orang lain. Meskipun
demikian, tidak banyak dari mereka yang berbicara. Satu dua
saja berdesis perlahan-lahan dan hanya beberapa kata-kata.
Kemudian hening lagi. Ketika Widura, Sumangkar, dan Ki Demang meletakkan
dirinya, duduk di pringgitan kademangan, maka Sekar Mirah
berjalan di belakang ibunya langsung masuk ke ruang dalam.
Nyai Demang itu pun agaknya menahan dirinya untuk tidak
menangis ketika melepaskan Swandaru. Ditabahkannya hatinya,
dan ditahankannya perasaannya. Ternyata sikapnya
mempengaruhi sikap Sekar Mirah pula. Sekar Mirah yang
bertahan matmatian itu seolah-olah mendapat kekuatan baru
melihat sikap ibunya yang tenang dan seolah-olah meyakinkan,
bahwa perjalanan kakaknya tidak akan menemukan kesulitan.
Meskipun demikian, Sekar Mirah yang kemudian masuk ke
dalam biliknya masih harus mencari kekuatan untuk tidak
terbenam ke dalam sikap seorang gadis yang ditinggalkan oleh
orang-orang yang dikasihinya. Ia kemudian terpaksa
menyibukkan dirinya dengan segala macam kerja. Membenahi
biliknya, pakaiannya dan kemudian gadis itu berlarlari ke luar,
pergi ke perigi. Diraihnya senggot timba, dan dengan
menggeretakkan giginya, ia mulai menimba air, mengisi gentong
dan jembangan. Tetapi dengan menimba air dari sumur itu, hatinya masih saja
berguncang. Karena itu dilepaskan senggot timba itu sehingga
suaranya berderak-derak. Gadis itu kemudian berlari ke
tumpukan kayu di sudut kandang. Diraihnya sebuah parang, dan
dengan sekuat-kuat tenaganya dihantamkannya parang itu pada
seonggok kayu di samping kandang itu.
Gadis yang sedang bertahan diri terhadap deraan
perasaannya itu terkejut ketika ia mendengar sapa lembut di
belakangnya, "Kenapa kau menjadi terlampau gelisah, Mirah."
Sekar Mirah itu mengangkat wajahnya dan kemudian
berpaling ke arah suara itu. Ia menarik nafas lega ketika
dilihatnya yang berdiri di samping kandang itu adalah Ki
Sumangkar. "O," desah gadis itu, "Kiai mengejutkan aku."
Sumangkar tersenyum, katanya, "Kau terlampau sibuk. Itulah
sebabnya maka kau terkejut."
"Ya, aku terlampau sibuk," sahut Sekar Mirah, "tetapi
bukankah Kiai duduk-duduk di pringgitan bersama ayah dan
Paman Widura?" "Mereka pun telah sibuk dengan kuwajiban masing-masing."
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
Sumangkar itu bertanya lagi, "Kenapa kau sendiri akan
memotong kayu itu" Tidakkah ada orang lain" Pembantupembantu
kademangan ini" Tentu lebih baik laklakilah yang
memotong dan membelah kayu itu. Kalau tidak ada seorang pun
yang hari ini sempat, maka kau dapat minta tolong kepada
prajurit-prajurit yang sedang beristirahat."
"Tidak, Kiai," sahut Sekar Mirah, "aku pun dapat memotong
dan membelah kayu. Apakah bedanya seorang laklaki dengan
seorang perempuan" Aku dapat juga mengambil air di sumur itu
setiap pagi, aku juga dapat bekerja keras seperti laklaki. Dan
aku kira tenagaku pun cukup kuat meskipun tidak memadai lakilaki
yang kuat. Tetapi aku berani beradu tenaga dengan laklaki
yang sedang." Sumangkar tersenyum, katanya, "Aku percaya, Ngger,
memang kau adalah seorang gadis yang rajin. Dengan demikian
maka tenagamu pun akan berkembang dengan baik. Kau dapat
membawa padi setenggok penuh di dalam dukungan, seperti
yang dibawa oleh laklaki di atas kepalanya. Kau memang
seorang gadis yang memiliki tenaga yang cukup."
"Nah, kalau demikian, kenapa aku harus minta bantuan lakilaki
hanya sekedar ingin memotong dan membelah kayu?"
"Ya, ya. Aku keliru."
Mendengar jawaban itu, Sekar Mirah justru terdiam.
Ditatapnya mata orang tua yang tersenyum di hadapannya. Di
wajah itu dilihatnya goresan-goresan umur yang semakin dalam.
"Nah, teruskanlah, Ngger," berkata Sumangkar kemudian.
Sekar Mirah masih berdiam diri. Tetapi ia menjadi segan untuk
meninggalkan pekerjaan itu, karena ia sudah terlanjur
membanggakan dirinya. "Silahkan, Ngger. Aku tidak mengganggu, bukan?"
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"O, tidak," jawab Sekar Mirah ragu. Namun tanpa disadarinya
gadis itu kini menatap seonggok kayu di hadapannya. Kayu yang
masih belum terpotong pendek dan terbelah. Kayu yang baru
saja ditebang dan dipotong-potong panjang, ditimbun di samping
kandang. Kini Sekar Mirah akan memotong-motong kayu itu menjadi
pendek dan kemudian membelahnya dengan kapak, supaya
kayu itu lekas menjadi kering dan siap untuk dibakar di dapur.
Sekali gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak
pernah melakukannya. Tetapi ia tidak boleh mundur. Ia sudah
terlanjur mengatakan, bahwa ia pun mampu melakukannya.
Tidak hanya laklaki. Karena itu, maka segera diayunkannya parangnya, sekuat
tenaga dihantamkannya kepada sepotong kayu yang tertimbun
di hadapannya. Terdengar gadis itu berdesis kecil. Begitu
kuatnya ia mengayunkan parangnya, sehingga terasa tangannya
menjadi sakit. Tetapi ia tidak mau berhenti, sekali lagi parang itu
diayunkan, dan sekali lagi ia berdesis. Tetapi parang itu terayun
sekali lagi, sekali lagi dan sekali lagi.
Sumangkar yang melihat gadis itu berusaha dengan sekuatkuat
tenaganya memotong kayu itu tersenyum di dalam hatinya.
"Gadis ini memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat
kakaknya, Angger Swandaru. Tetapi orang-orang yang
demikianlah kadang-kadang yang akan dapat mencapai citacitanya.
Ia tidak gentar menghadapi rintangan dan hambatan.
Tenaganya pun ternyata cukup kuat. Sayang ia tidak
menggenggam tangkai parang itu dengan baik, sehingga
tangannya akan segera terasa sakit, dan bahkan mungkin akan
dapat terkilir karenanya."
Karena itu maka Sumangkar itu pun segera melangkah maju,
perlahan-lahan ia berdesis, "Luar biasa, Ngger. Luar biasa."
Sekar Mirah berhenti sejenak. Ketika ia menegakkan
punggungnya, terasa punggungnya pun menjadi sakit. Karena
itu, maka dengan sebelah tangannya ia menekan lambungnya.
Sumangkar yang melihat gadis itu berusaha dengan sekuatkuat
tenaganya memotong kayu itu tersenyum di dalam hatinya.
"Gadis ini memang agak keras kepala. Mirip dengan sifat-sifat
kakaknya, Angger Swandaru. Tetapi orang-orang yang
demikianlah kadang-kadang yang akan dapat mencapai citacitanya.
"Sakit?" bertanya Sumangkar.
"Tidak, Kiai, aku tidak merasa apa-apa."
"Bagus," sahut Sumangkar, "kau memang luar biasa, Ngger.
Kayu itu akan segera terpotong."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Ia merasa orang tua itu
menyindirnya, karena luka pada kayu itu masih belum senyari.
Sumangkar agaknya dapat menangkap perasaan Sekar
Mirah itu, sehingga dengan tergesa-gesa ia menyambung,
"Maksudku, kalau Angger Sekar Mirah meneruskannya, maka
kayu itu pun pasti akan terpotong."
Sekar Mirah mengangguk perlahan-lahan.
"Tetapi, Mirah," berkata Sumangkar kemudian, "agaknya kau
kurang baik menggenggam parangmu. Coba, berikanlah
parangmu itu." Tanpa sesadarnya, maka parang itu diserahkannya kepada
Sumangkar. "Begini," berkata Sumangkar, "lihat beginilah seharusnya kau
menggenggam parang itu. Ayunkan perlahan-lahan, lurus ke
depan supaya parang ini tidak menggeliat. Kau dapat
mengayunkan dan membuat luka-luka di kayu ini agak miring,
tetapi jangan terlampau banyak. Kemudian dari arah miring yang
berlawanan. Kalau kau sudah dapat tepat menjatuhkan
parangmu pada luka yang pertama, maka barulah kau ayunkan
parang ini semakin keras. Dengan demikian, kau tidak membuat
luka di beberapa tempat seperti ini. Ini terjadi karena kau tidak
ajeg menggerakkan parangmu dalam ayunan yang ajeg pula.
Nah, cobalah." Sekar Mirah tanpa sesadarnya memperhatikan dan
mendengarkan keterangan Ki Sumangkar itu baik-baik.
Diamatinya dengan saksama bagaimana Ki Sumangkar
menggenggam tangkai parangnya, kemudian bagaimana ia
mengayunkan parang itu. "Aku juga dapat melakukannya," tiba-tiba Sekar Mirah
berkata. Sumangkar tersenyum. Diserahkannya parang itu kepada
Sekar Mirah sambil berkata, "Cobalah."
Perlahan-lahan Sekar Mirah mengayunkan parangnya. Satu
kali, dua kali, tiga kali. Kini ia sudah, dapat menjatuhkan mata
parangnya pada luka yang telah dibuatnya. Tidak bergeser lagi
setiap kali. Semakin lama semakin keras, semakin keras.
"Bagus," desis Ki Sumangkar.
Sekar Mirah tidak menyahut. Tetapi seakan-akan ia
tenggelam dalam keasyikan memotong kayu itu.
Sumangkar melihat keringat yang bercucuran di kening gadis
itu, maka katanya, "Sudahlah, Mirah. Kau letih. Biarlah saja
dilanjutkan oleh orang lain."
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan tidak mendengar kata-kata
itu. Bahkan ia bekerja semakin keras. Ayunannya menjadi
semakin cepat dan cepat. Luka pada batang kayu itu dengan
cepat bertambah dalam. Percikan tatalnya melontar-lontar ke
segenap arah. Bahkan satu dua memercik ke wajah Sekar Mirah
sendiri. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menghiraukannya.
"Sudahlah, Ngger," Sumangkar mengulangi, tetapi Sekar
Mirah seakan-akan masih belum mendengarnya.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam
hati, "Gadis ini memang keras kepala. Ia sama sekali tidak mau
mundur apabila ia ingin berbuat sesuatu."
Baju Sekar Mirah sudah menjadi basah kuyup oleh
keringatnya yang seperti diperas dari dalam tubuhnya. Namun ia
sama sekali tidak ingin berhenti bekerja. Semakin lama semakin
keras dan cepat. Sekali lagi Sumangkar menarik nafas dalam" Kini ia melihat
Sekar Mirah itu melepaskan parangnya, menekan lambungnya
dengan kedua tangannya. Kemudian diusapnya keringat yang
menetes dari keningnya dengan lengan bajunya.
"Heh," Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya,
"putus juga akhirnya."
"Luar biasa, Ngger," desis Ki Sumangkar.
Sekar Mirah berpaling, "Apakah yang luar biasa" Bukankah
pekerjaan ini pekerjaan yang biasa saja" Tidak ada apa-apa
yang lain dari kerja biasa, memotong kayu?"
"Ya, ya," sahut Sumangkar, "tetapi bahwa Angger Sekar
Mirah yang melakukan itulah yang luar biasa. Bahkan seorang
laklaki pun mungkin tidak akan dapat selesai secepat itu."
Sekar Mirah tidak menjawab. Sekali lagi ia mengusap
peluhnya dengan lengan bajunya. Perlahan-lahan ia berdesah,
"Ah, lelah juga akhirnya, Kiai."
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Lelah, tentu lelah. Angger
sudah bekerja terlampau keras. Kayu itu sudah terpotong."
Tertatih-tatih Sekar Mirah itu melangkah dan menjatuhkan
dirinya di bebatur kandang. Sekali ia menarik nafas panjang.
"Lenganku menjadi sakit, Kiai, dan telapak tanganku terasa
nyeri." Tetapi segera disambungnya, "Tidak, Kiai, tidak hanya
nyeri, tetapi lihat tanganku menjadi melempung sebesar biji
jagung di dua tempat."
"Angger belum biasa," jawab Sumangkar, "tetapi apabila
Angger telah biasa, maka tangan itu tidak, akan melempung
lagi." Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, beristirahatlah. Kau pasti lelah sekali." Sumangkar itu
berhenti sejenak. Tanpa dikehendakinya sendiri, diamatinya
gadis yang keras hati itu dengan saksama. Tubuhnya yang bulat
padat seperti kebanyakan gadis padesan yang bekerja keras
setiap hari. Di sawah dan di rumah. Wajahnya yang
memancarkan kekerasan hatinya itu dan matanya yang
memandang hari depannya dengan penuh keyakinan.
"Sayang ia seorang gadis," desah orang tua itu di dalam
hatinya, "seandainya ia seorang laklaki muda, mungkin ia tidak
akan kalah dari kakaknya Swandaru."
Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
disadarinya. Dan ia berkata pula di dalam hatinya, "Apakah
salahnya, meskipun ia seorang gadis. Mungkin ia akan lebih baik
dari seorang anak laklaki. Sekarang gadis tidak akan kalah dari
seorang anak muda apabila cukup terlatih. Seorang gadis
mempunyai kelebihannya sendiri disesuaikan dengan kodratnya.
Perasaan seorang gadis biasanya lebih tajam dari seorang lakilaki
apalagi firasatnya. Mungkin seorang gadis akan lebih cepat
dapat menanggapi keadaan dari seorang laklaki. Tetapi
seorang gadis harus dituntun untuk mempergunakan nalar.
Tidak hanya sekedar perasaan saja."
"Angger Sekar Mirah agaknya dapat berlaku demikian.
Tenaganya cukup kuat, perasaannya cukup tajam dan nalarnya
akan dapat juga berkembang dengan baik."
Sumangkar tidak dapat lagi mengelakkan diri dari cengkaman
perasaannya. Ia merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya
pada gadis itu. Kekerasan hati, kekuatan jasmaniah dan
ketabahannya. "Aku belum pernah merasa tertarik kepada seseorang seperti
kepada gadis ini," katanya di dalam hati, "bahkan anak-anak
muda yang pernah aku jumpai pun tidak menarik perhatianku.
Aku pernah melihat kelebihan Angger Alap-alap Jalatunda dari
anak-anak muda yang lain kecuali Angger Tohpati. Bahkan
apabila mendapat kesempatan dan tuntunan, Alap-alap
Jalatunda tidak akan kalah dari Angger Sanakeling dan bahkan
Angger Sidanti. Tetapi watak anak itu sangat menjemukan dan
bahkan memuakkan. Ilmuku akan jatuh ke tanah yang subur
tetapi sangar. Aku tidak mau." Sumangkar itu tiba-tiba
mengangguk-anggukkan kepalanya, "Apakah salahnya apabila
muridku seorang gadis?"
Tetapi Sumangkar menyimpan perasaan itu di dalam hatinya.
Ia ingin mengenal gadis itu lebih banyak. Sifat-sifatnya, tabiatnya
dan yang terpenting baginya adalah wataknya. Apakah gadis itu
akan dapat menjadi penyambung perguruannya yang baik. Tidak
saja dalam olah kanuragan tetapi juga dalam solah tingkah dan
tindak tanduk. Sebelum Tohpati mati, maka ia adalah satusatunya
harapan bagi perguruannya. Tetapi ia terseret ke dalam
arus yang telah menjerumuskannya ke dalam langkah yang
sesat. Sebenarnya sikap Tohpati itu sendiri dapat memberinya
kebanggaan. Namun landasan untuk berpijak bagi Macan
Kepatihan itu kemudian, yang tidak dapat dibenarkannya.
Sumangkar itu tersadar dari angan-angannya ketika ia melihat
Sekar Mirah berdiri. Ia mengusap telapak tangannya sambil
berdesis, "Aku harus membuat obat untuk menyembuhkan
tanganku yang melempung ini, Kiai."
"Apakah yang akan kau pergunakan untuk mengobatinya?"
"Kencur." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kelak, kalau Angger telah menjadi biasa, maka tangan Angger
itu tidak akan melempung lagi."
"Aku akan membiasakannya. Setiap hari."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah.
Tetapi hathati. Jangan sampai mengenai tangan atau bagianbagian
tubuhmu sendiri." "Aku dapat berhathati," sahut Sekar Mirah.
Sumangkar tersenyum. Dibiarkarmya gadis itu pergi
meninggalkannya. Tetapi kesan yang didapatinya dari gadis itu
tidak juga disingkirkannya. Bahkan tumbuhlah keinginan yang
mendesak untuk berbuat sesuatu sebelum umurnya menjadi
semakin tua, dan ia akan segera menurun dari puncak
kemampuannya, sebelum ia berkesempatan menurunkan
ilmunya. Sementara itu Sekar Mirah langsung pergi ke dapur untuk
mencari beberapa potong kencur untuk mengobati tangannya.
Tetapi ia benar-benar bertekad untuk membuat tangannya tidak
lagi secengeng itu. "Tanganku harus menjadi tangan yang kuat," desisnya di
dalam hatinya. Dan ia benar-benar ingin berbuat untuk itu.
Sumangkar terkejut ketika di hari berikutnya, ia melihat Sekar
Mirah telah sibuk di samping kandang. Meskipun tangannya
masih terasa sakit, tetapi rasa sakit itu sama sekali tidak
dihiraukannya. Dengan sepenuh minat ia mengayunkan parang
memotong sebatang kayu yang teronggok di samping kandang.
"Apakah lengan Angger sudah tidak sakit lagi?" bertanya
Sumangkar. "Tanganku terlampau cengeng, Kiai," jawabnya, "aku harus
mengajarnya untuk menjadi sedikit kuat."
Sumangkar tersenyum. Ia menjadi semakin tertarik kepada
gadis yang mempunyai tekad sebesar itu. Menurut perhitungan
Sumangkar, untuk kepentingan yang lebih besar, maka ia akan
tidak segan-segan untuk berbuat jauh lebih banyak lagi.
"Mirah," berkata orang tua itu, "sebaiknya Angger jangan
memaksakan diri. Aku senang melihat Angger bekerja keras
tetapi Angger harus mengingat kekuatan tubuh Angger."
"Kalau aku memanjakan diri Kiai," jawab Sekar Mirah, "maka
aku akan menjadi seorang yang akan selalu bergantung kepada
orang lain. Tidak Kiai, aku harus berbuat sesuatu supaya aku
mampu berdiri tegak seperti orang-orang lain. Seperti Kiai,
seperti ayah dan seperti Kakang Swandaru. Aku tidak mau
selalu menjadi beban orang lain, seperti apa yang baru saja
terjadi. Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika Sidanti
mengambil aku dari padepokan ini."
"Oh," Sumangkar mengerutkan keningnya.
"Dengan melatih diri mengayunkan parang ini, setidaktidaknya
aku akan dapat berbuat sesuatu, melawan sedapatdapat,
sementara mulutku dapat berteriak memanggil orang
lain." Sumangkar tertawa, "Kau memang luar biasa. Seharusnya
kau tidak usah menilai diri seperti ayahmu dan kakakmu
Swandaru, sebab mereka adalah laklaki."
"Apa bedanya?" Sekar Mirah tiba-tiba mengangkat wajahnya
dan menengadahkan dadanya, "apakah perempuan selamanya
harus bergantung kepada laklaki. Tidak Kiai. Ada juga hak bagi
seorang perempuan untuk membela diri. Bukankah di dalam
ceritera-ceritera dan dongeng-dongeng banyak juga disebutkan
bahwa seorang perempuan mampu juga menjadi prajurit?"
"Ya, ya Ngger. Apalagi ceritera pewayangan."
"Nah, kalau demikian apakah salahnya aku menjadi seorang
yang mampu menyelamatkan diriku sendiri seperti laklaki."
"Ya. ya Ngger," sahut Sumangkar, "tetapi itu tidak terlampau
mudah. Tenaga seorang laklaki menurut kodratnya berbeda
dengan seorang perempuan. Seorang pemuda akan berbeda
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan seorang gadis."
"Aku tahu, Kiai, tetapi seorang perempuan yang lemah dan
sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, akan jauh lebih lemah
dari seorang perempuan yang lemah tetapi berusaha untuk
menemukan kekuatan di dalam kelemahanya."
"Oh," Sumangkar mengerutkan keningnya, "pendapat Angger
mengagumkan." "Tidak mengagumkan, Kiai. Pendapat itu lahir karena
pengalaman yang pahit yang pernah aku alami. Aku tidak mau
pengalaman semacam itu terulang. Aku senang seandainya aku
dapat sedikit memiliki kekuatan untuk menjaga diri. Aku tidak
mau menjadi seorang yang menyerah kepada kelemahannya.
Aku harus menemukan kekuatan."
Sumangkar tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat tekad
yang menyala di wajah gadis itu.
"Kiai, sejak kecil aku mengagumi sifat-sifat jantan. Aku kagum
melihat laklaki memancarkan kelaklakiannya. Tidak seperti
laklaki yang cengeng, yang ragu-ragu dan kehilangan
kepercayaan diri." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi
semakin mengenal watak dan sifat-sifat dari gadis puteri Ki
Demang Sangkal Putung itu. Keras hati seperti kakaknya,
Swandaru. Dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik
kepadanya. Seolah-olah orang tua itu menemukan tanah yang
subur terbentang di hadapannya setelah bertahun-tahun ia
kehilangan sawah garapannya.
"Angger," orang tua itu kemudian berkata, "Angger benarbenar
membuat aku heran. Meskipun Angger selama ini seolaholah
tidak lepas dari sisi ayah dan ibu, tetapi wawasan Angger
Sekar Mirah ternyata cukup jauh. Pengalaman Angger yang baru
saja terjadi itu masih belum cukup untuk membuat Angger Sekar
Mirah menjadi berwawasan sedemikian jauhnya, seandainya di
dalam diri Angger sendiri tidak tersimpan benih-benih yang baik
seperti yang tersimpan di dalam diri Angger Swandaru.
Pengalaman yang terjadi atas Angger Sekar Mirah dapat
menumbuhkan bermacam-macam akibat. Bagi orang lain, maka
akibatnya akan sangat berbeda. Seseorang dapat menjadi
semakin berkecil hati. Semakin ketakutan dan kehilangan
kepercayaan. Bahkan pada orang lain lagi dapat menumbuhkan
keputus-asaan dan rendah diri. Tetapi sebaliknya kau menjadi
semakin teguh seperti karang yang setiap hari dihantam oleh
ombak." "Oh, sejak kemarin Kiai selalu memuji. Mudah-mudahanlah
demikian hendaknya."
"Aku tidak memuji, Mirah. Aku mengatakan sebenarnya,"
sahut Ki Sumangkar, "tetapi sadarilah. Bahwa sekedar
menggenggam tangkai parang itu masih jauh daripada cukup
untuk menjaga diri. Menjadikan telapak tanganmu bertambah
kebal itu pun bukan jalan dan cara yang cukup."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Ya, aku
tahu, Kai. Aku tahu bahwa hanya dengan demikian, maka pasti
tidak akan berarti apa-apa bagi keselamatan diri. Tetapi setidaktidaknya
aku sudah mulai untuk suatu tujuan yang lebih jauh."
"Apakah tujuan itu?"
Sekar Mirah terdiam. Dipandanginya wajah Sumangkar yang
telah digoresi oleh garis-garis tahun. Orang ini tampaknya
menjadi semakin tua. Dan tiba-tiba saja terungkat di dalam hati gadis itu, bahwa
orang tua ini adalah seorang yang memiliki kemampuan seperti
Kiai Gringsing, seperti Ki Tambak Wedi, seperti Ki Patih
Mantahun menurut pendengarannya, seperti Ki Gede
Pemanahan. Dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Ia melihat ujud
yang sederhana. Seperti Ki Tanu Metir. Tetapi pada
kesederhanaan itu memancar kelebihan-kelebihan yang dahsyat
seperti Ki Tanu Metir pula. Katanya di dalam hati. "Apakah aku
dapat memperoleh sesuatu dari orang tua itu?"
Dalam keragu-raguannya ia mendengar Sumangkar itu
berkata, "Mirah, coba, biarlah aku yang memotong kayu itu."
Sekar Mirah seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang
dapat menumbuhkan harapan di dadanya. Dengan terbata-bata
ia menjawab, "Tidak, Kiai. Tidak usah. Biarlah aku saja yang
menyelesaikannya. Seandainya tanganku tidak mampu karena
sakit, maka biarlah orang-orangku yang menyelesaikannya."
Sumangkar tersenyum. "Berikanlah parang itu."
Sekar Mirah menjadi seakan-akan kehilangan kesadarannya
ketika Sumangkar maju beberapa langkah. Mengajukan
tangannya dan mengambil parang di tangan Sekar Mirah.
"Lihatlah, Ngger, beginilah seharusnya Angger memotong
kayu," berkata orang tua itu sambil melangkah mendekati
sebatang kayu yang lain terbujur di sisi kandang. Kayu itu bukan
sekedar sepotong dahan atau cabang yang sedang. Tetapi kayu
itu adalah sepotong kayu yang cukup besar.
"Apakah Kiai akan memotong kayu itu?" bertanya Sekar
Mirah. "Ya,"jawab Sumangkar.
"Hanya dengan parang?"
"Ya." "Seharusnya dipergunakan kapak. Dan seharusnya bukan
Kialah yang melakukannya."
Sumangkar tersenyum. Kini ia telah berdiri di samping batang
kayu yang menelentang itu. Dipandangnya batang kayu itu
sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia berjongkok. Ia harus
membuat gadis Sangkal Putung itu menjadi kagum. Karena itu
kali ini ia tidak sekedar memberikan contoh, bagaimanakah
caranya menggenggam tangkai parang seperti kemarin. Tidak
cuma memberi contoh bagaimanakah parang itu harus
diayunkan. Tetapi kali ini ia akan memberikan contoh yang lain,
contoh yang bukan sekedar tenaga lahiriahnya. Seperti Kiai
Gringsing mampu melecutkan cambuknya dan menimbulkan
ledakan yang dahsyat, maka orang tua ini pun mampu
menyalurkan kekuatan-kekuatan yang tidak tampak pada gerak
dan tingkah laku seharhari.
Perlahan-lahan Sumangkar mengangkat parangnya. Di
pusatkannya segenap kekuatannya. Ketika perlahan-lahan pula
parang itu terangkat kemudian terayun dengan derasnya, maka
Sekar Mirah seolah-olah tidak dapat bernafas lagi. Dadanya
seakan-akan berhenti bekerja dan segenap perhatiannya
tertumpah kepada mata parang Ki Sumangkar. Bahkan
jantungnya pun terasa berhenti berdetak.
Sejenak kemudian, Sekar Mirah berdesis menyaksikan
parang itu membenam ke dalam batang kayu itu. Membenam
dalam-dalam. Seperti membenamkannya ke dalam sebatang
pokok pisang. Terdengar mulut gadis itu sekali lagi berdesis. Tetapi kedua
tangannya kemudian menutup mulutnya yang ternganga. Ia tidak
percaya kepada penglihatannya. Benarkah parang itu
membenam hampir separo ke dalam batang sebesar itu"
Sejenak ia melihat Sumangkar mencoba menarik parangnya
yang membenam itu. Tetapi ternyata parang itu tidak cukup kuat.
Parang itu adalah parang pemotong kayu. Karena itu maka
parang itu tidak dapat mengimbangi kekuatan Sumangkar yang
tercurah. **** Buku 30 KETIKA SUMANGKAR menghentakkan tangkai parang itu,
maka yang kemudian berada didalam genggamannya hanyalah
tinggal tangkainya saja. Ternyata parang itu patah. Kekuatan
Sumangkar dan jepitan batang kayu yang ditebasnya ternyata
melampaui kekuatan parang pembelah kayu itu.
"Ah," sekali terdengar Sekar Mirah berdesah.
"Patah ..ngger ," Sumangkar berkata lirih, "aku tidak sengaja
mematahkannya." Sekar Mirah masih saja berdiri tegak mematung. Ia sedang
terpukau oleh penglihatannya yang dianggapnya tidak masuk
akal. "Kekuatan apakah yang tersimpan di dalam tubuh orang tua
ini ?" katanya didalam hati.
Dan ia mendengar Sumangkar berkata, "Kalau parang ini
tidak patah ngger, aku akan memotong kayu itu. Tetapi parang
ini telah patah." Sekar Mirah tidak menjawab. Ia masih berdiri membeku.
"Apakah kau heran?" bertanya Sumangkar.
Tanpa sesadarnya Sekar Mirah menganggukkan kepalanya.
"Tidak mengherankan sama sekali ," berkata Sumangkar
kemudian, "kaupun akan dapat melakukannya Mirah."
"He," alis Sekar Mirah terangkat, sekali lagi ia tidak percaya
kepada inderanya. Apakah benar ia mendengar Sumangkar
berkata, "Kau pun akan dapat .melakukannya Miirah."
Dan Sumangkar itu berkata seterusnya, "Aku tidak
berbohong. Kalau kau ingin dapat berbuat demikian, maka
kaupun akan dapat melakukannya."
"Apakah Kiai bergurau?" desis Sekar Mirah kemudian.
Sumangkar lersenyum. Jawabnya, "Tidak ngger, aku tidak
bergurau. Apakah kau sangka bahwa- sejak lahir aku dapat
melakukan hal yang demikian itu" Apakah kau sangka bahwa
sejak kanak-kanak Kiai Gringsing mampu melecutkan
cambuknya seperli Iedakan guntur di langit" Apakah kau sangka
bahwa Ki Tambak Wedi mampu memecahkan dada lawannya
hanya dengan Iemparan gelang-gelang besi atau Ki Gede
Pemanahan mampu memecah regol Kadipaten Jipang dengan
sehelai kerls yang kecil saja, kerisnya yang bernama Kiai Naga
Kumala sejak mereka Iahir?"
Sekali lagi Sekar Mirah berdiri mematung. Terasa sesuatu
bergetar didalam dadanya.
"Nah, bagaimanakah perasaanmu" Heran atau curiga bahwa
aku dan orang-orang tua seperti aku ini telah kerasukan setan"
Tidak Mirah. Kami tidak mencari kekuatan tenaga jasmaniah dan
tenaga tersimpan didalam diri kami masing-masing ini dengan
bantuan setan-setan. Tidak. Dengan demikian kita telah
menentang sumber kekuatan itu sendiri. Meskipun ada juga
orang yang mencarinya dalam dunia yang hitam, tetapi betapa
besar tenaga yang dapat dilahirkan oleh kekuatan hitam, namun
Yang Maha Kuat, Yang Maha Kuasa, adalah sumber dari semua
yang ada. Juga sumber dari kekuatan yang kasat mata dan yang
tidak kasat mata. Karena itu jangan menyangka bahwa kami
harus mencari kekuatan semacam ini kemana-mana. Sebab
pada dasarnya kekuatan itu telah ada di dalam diri kami masingmasing.
Soalnya, apakah kita mampu mengungkapkannya atau
tidak . Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Bahkan tanpa
berkedip ditatapnya wajah Ki Sumangkar. Dan ia mendengar
orang tua itu meneruskannya, "Sekar Mirah. Kita tinggal
memohon kepada Sumber Kekuatan di dalam diri, kepada Yang
Maha Tinggi, apakah kita diperkenankan mempelajari kekuatan
di dalam diri kita, kemudian mengenalnya dan
mengungkapkannya." Sekali Iagi Ki Sumangkar itu berhenti
berbicara. Dilihatnya Sekar Mirah dengan penuh minat
mendengarkannya. "Karena itu, "berkata Sumangkar pula, "kita tidak perlu
mencari apapun di luar Sumbernya. Kita tidak perlu mencari
kekuatan di lereng-lereng gunung, di gua-gua yang singup,
disamping batu-batu yang besar atau di bawah pohon-pohon
yang rimbun dan angker. Tidak. Sebab Sumber dari segala
Hidup dan Kekuatan itu seolah-olah mata air yang mengalir ke
segenap penjuru. Ke segenap saluran. Dan kita adalah salah
satu dari saluran yang diciptakannya pula. Dengan demikian
apabila kita membuka bendungan, segera aliran itu akan
membasahi diri kita. Soalnya, apakah kita mampu membuka
bendungan itu cukup lebar. Dan untuk melakukannya, untuk
mendapatkan aliran yang cukup, kita harus berusaha dan
memohon. Berusaha dan memohon. Berusaha sebagai
kenyataan kesungguhan dari permohonan itu. Dan itu tidak perlu
dilakukan di tempat-tempat yang angker. Kita dapat
melakukannya di sembarang tempat. Bahkan di tengah-tengah
pasar sekalipun asal kita mampu memusatkan kehendak dan
setiap getaran di dalam diri, untuk melakukannya." Sekali lagi
Sumangkar berhenti. Seakan-akan ia ingin mengetahui, apakah
Sekar Mirah dapat menangkap dan mengendapkan katakatanya.
Sejenak kemudian Sumangkar itu berkata pula. "Tetapi
ngger, kadang-kadang kita memang memerlukan tempat yang
sepi dan tersendiri. Bukan karena kita memerlukari bantuan
kekuatan-kekuatan yang ada dalam kesepian dan kesendirian,
bukan karena kita tidak percaya bahwa Sumber kita cukup kuat,
sehingga kita mencari sumber yang lain meskipun sumber itu
dialiri oleh kekuatan hitam, tidak. Kalau kita menyepi dan
menyendiri itu adalah sekedar usaha supaya pemusatan pikiran
dan seluruh kehendak dapat menjadi bulat dan bersungguhsungguh
menghadap kepada Sumber Hidup kita untuk
memohon agar kita diperkenankan mengungkapkan kekuatankekuatan
yang ada di dalam diri kita atas kurnia-Nya. Sudah
tentu, dengan janji di dalam diri, bahwa tujuan daripadanyapun
tidak menyimpang dari jalan yang ditunjukkannya."
Perlahan-lahan Sumangkar melihat Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya meskipun ia tidak
seluruhnya dapat mengerti keterangan Sumangkar itu, namun ia
dapat merasakan dan menghayatinya. Meskipun dari sorot
matanya, Sumangkar masih melihat keragu-raguan.
"Apakah kau ragu-ragu ngger ?" orang tua itu bertanya.
"Mungkin kau bertanya di dalam hati, seandainya demikian,
kenapa kekuatan-kekuatan itu sering berbenturan?"
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi sebagian terbesar dari
dugaan Ki Sumangkar itu benar. Ia memang menyimpan
pertanyaan itu di dalam hatinya.
"Sekar Mirah," berkata Sumangkar itu pula, "seandainya kita
bersama-sama memiliki pengertian yang sama dan penilaian
yang sama tentang kebenaran, maka kita pasti tidak akan
bertengkar satu sama lain kecuali dengan orang-orang yang
sengaja mengambil kekuatan dari dunia yang hitam. Tetapi
kenyataan yang terjadi, kita yang merasa diri kita bersama-sama
mencari kekuatan dari Sumber hidup kita, masih juga
berbenturan. Itulah kekurangan manusia. Betapapun manusia
merasa dirinya mumpuni, tetapi manusia tidak akan dapat
mengenal kebenaran yang mutlak. Rahasia kebenaran ini tidak
akan dapat dikuasal oleh manusia yang manapun, selagi ia
masih terikat dengan hidup duniawinya. Adalah picik sekali,
apabila seseorang menganggap dirinya benar mutlak dan oran
lain salah mutlak Tetapi sekali lagi kita dihadapkan pada
kekurangan manusia, kebodohan, kekerdilan dan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesombongannya. Meskipun disadarinya juga bahwa tidak dapat
digayuhnya kebenaran yang mutlak, namun selalu saja kita
saling menyalahkan orang lain dan menggenggam kebenaran
menurut penilaian diri."
Wajah Sekar Mirah menjadi semakin tegang. Ia mencoba
mengerti arti kata-kata Sumangkar. Namun tidak seluruhnya
dapat dicernakannya. Meskipun demikian, ia dapat menjajagi
maksud Ki Sumangkar. "Nah Mirah," berkata Sumangkar itu kemudian, "aku
terlampau banyak berbicara. Aku bukan orang yang bersih
dalam hidupku. Aku adalah seseorang yang baru saja mendapat
pengampunan karena aku ikut melawan kekuasaan Pajang
karena kebodohan dan kesombonganku." Orang tua itu berhenti
sejenak, tetapi dari sorot matanya terpancar perasaan yang
aneh. Namun tidak terucapkan. Sebenarnya bahwa di dalam
dada Sumangkar tersimpan pula perasaan yang tidak dapat
lepas daripadanya, bahwa orang-orang Pajangpun seperti juga
dengan dirinya, bodoh dan sombong. Sehingga benturan
diantara saudara, Pajang dan Jipang dapat terjadi.
Tetapi Sumangkar itu menggelengkan kepalanya. Katanya di
dalam hati, "Mudah-mudahan kata Ki Gcde Pemanahan itu
benar, bahwa ia bertempur tidak karena perasaan benci. Ia
bertempur karena cintanya kepada sesama, kepada orang-orang
Pajang dan Jipang, kepada rakyat Demak seluruhnya. Agar
mereka terlepas dari kekuasaan yang tidak sewajamya. Tetapi
bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan itu masih juga tidak
dapat melepaskan diri dari hidup duniawinya."
Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar
suara Sekar Mirah bertanya kepadanya, "Kiai, apakah Kiai
berkata sebenarnya bahwa akupun dapat melakukan seperli
yang Kiai lakukan itu?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
"Ya, ya ngger. Kau akan dapat berbuat seperti itu apabila kau
berkeinginan dengan sungguh-sungguh."
"Tentu Kiai, aku berkeinginan sungguh-sungguh. Apakah aku
dapat belajar untuk itu?"
Sumangkar tersenyum, jawabnya, "Apakah kau ingin belajar?"
"Ya Kiai. Aku ingin. Aku tidak mau menjadi seseorang yang
hanya dapat menggantungkan diriku sendiri kepada orang lain.
Kepada ayah dan kepada kakang Swandaru. Kalau aku dapat
berdiri sendiri, setidak-tidaknya menjaga diriku sendiri, maka aku
akan senang sekali."
"Ya ngger. Tetapi sebelumnya kau harus mengetahuinya,
bahwa sebelum sampai ketingkatan itu, kau harus bekerja keras.
Belajar dan berlatih. Kau akan masuk ke dalam cara hidup yang
berbeda dengan yang selama ini kau jalani. Kau tidak akan lagi
tenggelam dalam kesibukan di dapur, meskipun itu tidak akan
dapat kau tinggalkan sebagai seorang gadis. Betapapun juga,
kau tetap seorang gadis yang harus melakukan pekerjaan dari
seorang gadis dan kelak seorang ibu. Tetapi sebagian waktumu
akan kau pergunakan untuk belajar dan berlatih. Kau akan
menjadi Ielah dan bermandikan keringat. Kau akan kehilangan
banyak waktu untuk bermain-main dengan gadis-gadis
sebayamu. Kau akan kehilangan waktu untuk membuat
permainan Nini Towong, untuk melihat siwur yang melonjaklonjak,
karena kau sendiriIah yang harus melonjak-lonjak."
"Ya Kiai. Tentu aku sanggup melakukannya. Aku sudah
semakin besar, dan aku sudah tidak pantas lagi ikut bermain Nini
Towong. Bahkan permainan apapun lainnya."
Sumangkar terdiam sejenak. Dipandanginya wajah gadis itu.
Lalu katanya, "Tetapi kau adalah seorang gadis ngger. Kau tidak
dapat mengambil keputusan sendiri seperti kakakmu Swandaru.
Kau harus minta ijin kepada ayah dan ibumu."
"Ah, itu tidak perlu Kiai. Aku sudah cukup dewasa untuk
menentukan jalanku sendiri."
Sekar Mirah menjadi kecewa ketika ia melihat Sumangkar
menggelengkan kepalanya. "Ini bukan sekedar bermain-main
ngger. Kau harus menjalani cara hidup yang jauh berbeda. Dan
untuk itu ayah dan ibumu harus tahu dan mengijinkannya."
"Tidak perlu Kiai. Tidak perlu. Bagaimana seandainya ayah
dan ibu tidak mengijinkannya."
"Kalau ayah dan ibumu tidak mengijinkannya, kaupun harus
mundur." "Tidak. Tidak. Aku tidak mau mundur. Aku harus berjalan
terus seperti yang aku inginkan."
"Ini adalah ujianmu yang pertama Sekar Mirah. Untuk menjadi
seorang murid yang baik, kau harus menunjukkan sikap yang
baik. Akupun akan mencoba memilih murid yang baik, yang
patuh kepada guru dan orang tuanya. Apabila terhadap guru dan
orang tuanya sudah tidak ada kepatuhan, maka apakah ia kelak
akan dapat mematuhi segala macam nasehat dan petunjuk dari
guru dan orangtua itu, apabila kita telah berpisah" Katakan
misalnya, apabila aku yang tua ini dan ayah bundamu telah tiada
?" "Oh," Sekar Mirah berdesah perlahan sekali. Sumangkar tidak
segera melanjutkan kata-katanya. Dilihatnya Sekar Mirah
menundukkan kepalanya. Kata-kata Sumangkar itu ternyata
tepat menyentuh dinding-dinding hatinya. Karena itu, maka untuk
sesaat mulutnya seakan-akan terbungkam.
"Nah, Sekar Mirah," kemudian Ki Sumangkar berkata
perlahan-lahan, "cobalah berbicara dengan ayah dan ibu. Kalau
kau mampu menjelaskan keinginanmu dan perasaanmu, maka
aku kira mereka tidak akan berkeberatan. Tetapi ingat, sebagai
seorang anak kau harus patuh terhadap orang tua. Itu adalah
pernyataan terima kasihmu kepada mereka yang telah
melahirkan, mengasuh dan membesarkan kau. Kau mengerti?"
"Ya Kiai," sahut Sekar Mirah Iambat sekali, suaranya seakanakan
bergetar di dalam kerongkongannya saja. "Aku akan minta
ijin kepada ayah dan ibu."
"Kalau kau dapatkan ijin itu Mirah, maka kita akan segera
mulai, sebelum aku menjadi semakin keriput dan tidak mampu
lagi berbuat apa-apa. Kakakmu Swandaru selalu memilih tempat
di samping Gunung Gowok untuk berlatih. Tempat itu cukup luas
dan sepi. Hampir tidak menarik perhatian dan terlindung pula."
"Ya Kiai. Sekarang juga aku akan menemui ayah dan ibu."
"Hathati. Jangan memaksa dan menyakiti hatinya. Bagi
Sangkal Putung masih belum lazim seorang gadis mempelajari
ilmu bela diri. Karena itulah maka kau pasti akan menghadapi
banyak kesulitan. Tetapi apabila ayah dan ibumu
mengijinkannya, maka kesulitan itu satu-satu akan kau langkahi."
"Ya Kiai." "Sekarang cobalah minta ijin ayah dan ibumu. Mudahmudahan
mereka mengerti, bahwa kau selalu terancam bahaya.
Kalau kau sedikit banyak mampu menjaga dirimu sendiri, maka
ayah dan ibumu tidak selalu gelisah apabila kau tidak berada
disisi mereka." "Baiklah Kiai," sahut Sekar Mirah, "aku akan berkata kepada
ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku diijinkan."
Gadis itupun segera meninggalkan Ki Sumangkar mencari
ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya itu terkejut melihat
sikapnya yang tampak gelisah dan tergesa-gesa.
"Apakah yang terjadi ?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada ayah
dan ibu bersama-sama," Sekar Mirah berkata dengan serta
merta tanpa kata-kata pendahuluan.
"Apakah yang penting itu?"
"Tentang diriku. Bukankah aku sudah besar."
Kedua orang tuanya mengerutkan alisnya. Mereka mendugaduga
maksud perkataan anaknya. Yang mula-mula tergetar
didada mereka adalah, Sekar Mirah merasa dirinya seorang
gadis dewasa dalam hubungannya dengan Agung Sedayu.
"Bukankah begitu ayah. Bukankah aku sudah cukup dewasa."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kalau kau
sudah dewasa, Ialu apakah maksudmu Mirah, kau adalah
seorang gadis. Meskipun kau sudah dewasa, kau tetap seorang
gadis." Dada Sekar Mirah berdesir mendengar jawaban ayahnya.
Terbata-bata ia berkata, "Justru aku seorang gadis ayah."
"Oh," ayahnya menjadi heran mendengar jawabnya, "kenapa
justru seorang gadis. Seorang gadis harus bersikap sopan dan
halus. Kau tidak boleh berbuat sekehendak hatimu Mirah,
betapapun perasaanmu dicengkam oleh suatu keinginan."
"Apakah sebenarnya perbedaan seorang gadis dan seorang
anak laklaki " Ayah, aku memerlukannya. Hidupku selama ini
selalu diancam oleh bahaya."
"Maksudmu Sidanti?"
"Ya, ayah. Aku harus mendapat ketenteraman, Karena itulah
aku akan melakukannya."
"Apapun yang terjadi atas dirimu Mirah. Tetapi itu tidak
pantas. Kau tidak dapat berbuat sehendak hatimu, menuruti
perasaanmu. Kau seorang gadis. Ingat, kau seorang gadis. Aku
sudah selalu memperingatkan kau, bahwa ada perbedaan
menurut tata kesopanan antara seorang gadis dan seorang anak
laklaki. Tata kesopanan itu sampai saat ini masih kita junjung
tinggi. Kalau kau kemudian kehilangan sifat-sifatmu sebagai
seorang gadis, maka alangkah cemarnya namamu dan nama
keluargamu. Kau menjadi gadis yang tidak berharga lagi."
"Ayah," potong Sekar Mirah, "kenapa dengan demikian aku
menjadi tidak berharga, bahkan mencemarkan nama ayah dan
ibu, bahkan seluruh keluarga" Tidak ayah, bahkan sebaliknya,
Aku akan mengangkat nama keluarga. Lebih daripada Itu, aku
tidak akan selalu menggantungkan nasibku kepada ayah, ibu
dan kakang Swandaru Geni."
"Tetapi caramu, Mirah. Caramu, yang tidak aku setujui. Kau
adalah seorang gadis. Sekali lagi, kau adalah seorang gadis.
Kau mempunyai sifat kodratl yang berbeda dengan seorang
anak laklaki. Kau mempunyai kedudukan yang telah diatur
dalam adat dan kebiasaan. Kau harus tunduk Mirah."
"Oh, terlalu. Itu terlalu sekali ayah." tiba-tiba Sekar Mirah tidak
dapat mengendalikan perasaannya. Air matanya mulai meleleh
di pipinya. "Mirah," terdengar suara ibu Sekar Mirah sareh, "ingatlah
Mirah, meskipun kau hanya anak seorang Demang, tetapi kau
harus tetap menjaga namamu Aku tidak menolak pilihanmu itu
Mirah, tetapi lebih baik kau diam. Lebih baik kau tidak berbuat
sesuatu lebih dahulu."
"Bagaimana hal itu dapat terjadi ibu, kalau aku hanya berdiam
diri. Tidak. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus berbuat
supaya itu dapat terjadi."
"Tidak Mirah," Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian
menjadi semakin keras. "Kau tidak boleh berbuat apa-apa. Kau
harus menunggu. Kalau benar Agung Sedayu dan kau telah
bersepakat untuk hidup bersama, biarlah ia datang kepadaku,
bersama dengan kakaknya atau pamannya. Ia harus
menyatakan kenginannya lebih dahulu. Baru kau berbuat
sesuatu. Sebelum itu, aku melarang kau berbuat apapun untuk
kepentingan itu." Hampir-hampir Sekar Mirah memekik mendengar kata-kata
ayahnya Sejenak ia berusaha menahan gelora di dadanya.
Kedua tangannya menutup wajahnya yang menjadi kemerahmerahan.
Ibunya terkejut melihat tanggapan yang tiba-tiba terjadi pada
anaknya. Seolah-olah kata-kata ayahnya telah langsung
memukul perasaannya, sehingga anak itu merasa terguncang
karenanya. Karena itu, maka runtuhlah ibanya. Sebagai seorang
ibu, maka perasaannya menjadi lebih cepat cair daripada
ayahnya. PerIahan-lahan Nyi Demang bergeser mendekatinya
dan membelai rambutnya. Katanya sareh, "Tenangkan hatimu
Mirah." Tetapi Sekar Mirah tidak mengucapkan sepatah katapun.
Gadis itu masih menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. "Kami bermaksud baik Mirah,"
berkata ibunya pula, "bukan
maksud kami melarangmu." Sekar
Mirah masih berdiam diri.
Yang terdengar adalah suara
ayahnya berat, "Aku terpaksa,
Mirah. Aku terpaksa berbuat
demikian untuk kepentinganmu
dan kepentingan keluargaku.
Siapapun angger Agung Sedayu,
seandainya ia putera Sultan
sekalipun, ia harus tahu menempatkan dirinya sebagai
seorang laklaki." Kedua suami isteri itu terkejut bukan buatan ketika mereka
melihat Sekar Mirah itu tiba-tiba meloncat. Dengan sekuat-kuat
tenaganya dicubitnya Iengan ayahnya. Tidak hanya sekali, tetapi
berkalkali. Hampir berteriak gadis itu berkata, "Ayah berbicara
sekehendak ayah saja. Aku tidak tahu apa yang ayah katakan."
"Mirah, Mirah," ayahnya mengaduh, "jangan Mirah. Tetapi
kenapa kau sebenarnya ?"
Ibunya yang duduk dengan mulut ternganga tidak dapat
berbuat apa-apa, seolah-olah ia menjadi beku ditempatnya.
"Mirah, kenapa kau ?" Ayahnyapun kemudian hampir
berteriak pula kesakitan. "Dengarlah aku. Tenanglah. Jangan
mengamuk begitu." "Ayah berbicara sekehendak sendiri, menurut kesenangan
ayah saja. Aku sama sekali tidak berbicara tentang Agung
Sedayu. Apa peduliku atas anak muda itu Aku berbicara tentang
diriku sendiri. Tentang Sekar Mirah. Tidak tentang orang lain."
Ki Demang Sangkal Putung suami isteri menjadi bingung.
Mereka saling berpandangan sejenak. Ketika Sekar Mirah
kemudian menjadi tenang dan duduk sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam Ki Demang bertanya, "Aku tidak
mengerti Mirah. Aku tidak mengerti sikapmu kali ini.
"Aku juga tidak mengerti apa yang ayah katakan."
"Mirah," ayahnya mengerutkan keningnya, "bukankah kau
mengatakan bahwa kau kini sudah dewasa ?"
"Ya, dan apakah hubungannya antara kedewasaanku dengan
Agung Sedayu?" Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung menjadi terdiam.
Sekali lagi kedua suami isteri itu saling memandang dengan
sorot mata yang memancarkan seribu macam pertanyaan yang
bergetar di dalam dada mereka.
"Ayah," tiba-tiba suara Sekar Mirah menjadi renyah dan tibatiba
saja gadis itu tidak menangis lagi. "Aku tidak berbicara
tentang orang Iain. Aku berbicara tentang diriku sendiri."
Ayahnya masih belum menjawab.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memburu Manusia Makam Keramat 1 Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Pendekar Muka Buruk 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama