Ceritasilat Novel Online

Muslihat Dewi Berlian 1

Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian Bagian 1


RINGKASAN EPISODE YANG LALU
(PENGADILAN RIMBA PERSILATAN)
SETELAH BERHASIL MENDAMAIKAN RATIH
DAN KAKAK SEPERGURUANNYA, LESMANA, RAJA
NAGA SEGERA BERKELEBAT MENUJU LEMBAH
LINGKAR. TAK LAMA SETELAH RAJA NAGA PERGI, DI
TEMPAT YANG BARU DITINGGALKANNYA TIBATIBA MUNCUL SATU SOSOK TUBUH DARI DALAM
TANAH. SOSOK ITU RUPANYA SEORANG KAKEK
YANG MENGENAKAN PAKAIAN PANJANG SEPERTI
WARNA TANAH. KAKEK ITU PUN BERGUMAM.
"TINDAKAN PEMUDA ITU SUNGGUH LUAR BIASA. DIA DAPAT MENUNTASKAN URUSAN ANTARA
KAKAK DAN ADIK SEPERGURUAN ITU. HEBAT...
HEBAT...! SEKARANG PASTI SI RAJA NAGA ITU
MENUJU LEMBAH LINGKAR, SEBAIKNYA KUIKUTI
SAJA!" SESAAT MATANYA MENATAP LANGIT YANG
TELAH KELAM, LALU TUBUHNYA BERKELEBAT KE
ARAH YANG DITUJU RAJA NAGA.
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SUASANA di tempat yang agak landai dan dipenuhi dengan pepohonan itu sepi. Hanya suara hewan
malam yang terdengar. Angin timur laut berhembus
dingin, menggeresek dedaunan yang cukup menimbulkan suara mendebarkan. Malam terus beranjak dan
tak lama lagi akan tiba pada puncaknya.
Datuk Bunaeng tak bersuara. Matanya memandang tajam pada Dewi Berlian yang baru saja menceritakan sesuatu yang cukup mengejutkan sekaligus
membuat kemarahannya semakin naik. Diliriknya
Pangku Jaladara yang terbujur dalam keadaan telentang di atas tanah.
Sesuai dengan apa yang direncanakan, Datuk
Bunaeng bersama Ratu Tongkat Ular dan Resi Hitam
terlebih dulu tiba di Lembah Lingkar. Kakek berjubah
hitam yang sepasang alisnya menyatu ini menggeram
karena tak melihat sosok Dewi Berlian. Tetapi kegeramannya itu lenyap tatkala perempuan berpayudara
montok yang mengenakan pakaian panjang warna hijau dipenuhi butiran berlian itu muncul dengan menyeret tubuh Pangku Jaladara, yang kemudian dibantingnya hingga terbujur di atas tanah.
Kemudian tanpa membuang waktu Dewi Berlian
memberitahukan sesuatu yang mengejutkan kakek berambut dikelabang itu!
"Bagus kalau Raja Naga berani datang ke Lembah
Lingkar!" deals kakek berambut dikelabang itu dingin.
"Itu tandanya, siap untuk mencari mampus!"
Dewi Berlian yang sedang menjalankan rencana
busuknya, tersenyum dalam hati.
"Dengan begini, aku dapat mengadu domba antara Datuk Bunaeng dengan Raja Naga. Tetapi bila tindakanku ini tidak dibantu oleh Pangku Jaladara mustahil perkembangannya seperti itu."
Wajah perempuan yang pakaian bawahnya terbelah di kanan kiri hingga batas pinggul ini, sedikit berubah ketika melihat
tatapan kakek bongkok berkulit
sangat hitam. Belum lagi bibir keriput si kakek tersenyum-senyum sendirian, dan
sesekali memberi isyarat
seperti kecupan.
"Keparat! Siapa kakek setan ini" Tatapannya penuh birahi dan membuatku menjadi begitu muak!"
Kakek yang bukan lain Resi Hitam itu mendesis
pada Datuk Bunaeng, "Bunaeng! Lama kudengar kabar tentang seorang perempuan
jelita yang berjuluk Dewi
Berlian! Sekian lama pula kubayangkan betapa cantik
wajahnya dan begitu panas tubuhnya! Lama pula kupendam hasratku untuk menggelutinya! Dan tak kusangka tak kuduga, kalau hari ini aku berjumpa dengannya! Dan... wah, wah! Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kecantikan dan kemolekannya jauh melebihi apa
yang kubayangkan!"
Datuk Bunaeng menyeringai lebar. Di pihak lain,
Dewi Berlian menggeram keras. Sementara itu, sesuai
rencana yang dijalankan, Pangku Jaladara yang berlagak pingsan, menggeram dalam hati.
"Terkutuk! Siapa kakek berkulit hitam yang sempat kulihat tadi" Setan laknat! Lancang betul mulutnya berbicara seperti itu. Huh! Suatu saat, dia harus mampus di tanganku!"
Resi Hitam berkata lagi, "Bunaeng! Kau lihat bukit kembarnya yang padat dan memperlihatkan sebagian besar kepadatannya itu" Ah, kedua tanganku ini
rasanya sudah tak mampu kutahan lagi untuk meremasnya! Tentunya begitu kenyal, lembut dan menggemaskan! Dan kau lihat sepasang pahanya yang gempal
aduhai" Gila! Aku bisa mati berdiri bila belum menikmatinya!" "Kakek hitam! Jaga mulutmu kalau bicara!!" bentak Dewi Berlian tak dapat
menguasai lagi amarahnya.
Kehadiran kakek itu memang di luar dugaannya. Sebelumnya, dia hanya menyangka kalau Datuk Bunaeng
dan Ratu Tongkat Ular saja yang berada di Lembah
Lingkar. Resi Hitam menyeringai lebar.
"Mengapa harus gusar" Aku laki-laki dan memiliki kejantanan yang luar biasa! Dan kau perempuan
yang memiliki tubuh montok luar biasa! Bukankah ini
sesuatu yang menguntungkan" Kejantananku dapat
kutumpahkan pada tubuhmu yang montok, yang tentunya juga akan kau nikmati!!"
Srraaattt!! Belum habis seruan Resi Hitam terdengar, satu
cahaya gemerlapan yang menebarkan hawa panas sudah menggebrak ke arahnya!
Kepala Resi Hitam seketika menegak. Sorot matanya tajam berapi-api. Mendadak disentakkan tangan
kanannya ke atas. Gumpalan awan hitam tiba-tiba
bergerak naik diiringi suara bergemuruh. Menyusul
awan hitam itu tiba-tiba turun dengan deras dan seperti halnya sebuah tangan, menangkap dan memaksa
masuk cahaya gemerlapan yang dilancarkan Dewi Berlian! Begitu masuk, terdengar letupan yang keras!
Blaaarrrr!! Awan hitam itu muncrat berhamburan sementara
cahaya gemerlapan tadi tertungkup jatuh di atas tanah yang membuat tanah muncrat
setinggi setengah tombak. Di tempatnya, napas Dewi Berlian memburu keras. Sorot matanya bengis tak berkedip.
Di pihak lain, sepasang mata Resi Hitam melotot.
Bukan jengkel karena mendapatkan serangan mendadak dan tatapan seperti itu, melainkan mengarahkan
pandangannya pada bungkahan sepasang bukit montok milik Dewi Berlian yang naik turun.
"Astaga!" desisnya sambil menelan ludah. "Pasti nikmat betul kalau aku
menyusupkan kepalaku di be-lahan kedua bukit itu!"
"Terkutuk!!" maki Dewi Berlian berang dan siap melancarkan serangannya lagi.
Tetapi suara Datuk Bunaeng menghentikannya.
"Tak perlu gusar untuk urusan yang sepele ini!
Kita adalah kawan, demikian pula dengan Resi Hitam!
Tahan segala kemarahanmu, Dewi Berlian! Karena
orang yang sama-sama kita tunggu akan muncul di sini!" Dewi Berlian melirik dengan tatapan ganas. Tak menyukai apa yang dikatakan
oleh Datuk Bunaeng. Di
pihak lain, Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati.
"Huh! Mengapa Bunaeng harus menahannya"
Aku ingin melihat dia bertarung dengan Resi Hitam!
Aku berharap kalau kedua-duanya sama-sama terluka!
Bahkan kalau mungkin, mampus sekarang juga! Jadi... dendam lamaku pada Resi Hitam yang pernah
memperkosaku empat puluh tahun lalu, tak perlu kutindih seperti sekarang! Ah, aku sendiri sebenarnya
sudah tak mampu menahan gejolak dendamku! Tetapi,
aku melihat sebuah keuntungan yang lebih besar bila
aku tetap menahan amarahku!"
"Bunaeng! Rencana yang ada hanyalah kau dan
aku! Tetapi kehadiran Ratu Tongkat Ular di sini bukanlah suatu masalah, karena pada awalnya dia sudah
bergabung denganmu! Tetapi kakek keparat bermulut
kotor itu, sungguh bukanlah sesuatu yang menyenangkan melihatnya hadir!"
Datuk Bunaeng menyeringai.
"Tak perlu gusar! Kita akan saling bantu untuk
mendapatkan sebuah keuntungan yang besar Dewi
Berlian, tak lama lagi kau akan melihat betapa menguntungkannya dengan hadirnya dia di sini!!"
Sebelum dewi Berlian menyahut, Resi Hitam sudah mendesis sambil menyeringai, "Ya! Kau akan mendapatkan keuntungan, yang
terbanyak di antara
orang-orang yang hadir di sini! Karena, kau akan merasakan kejantananku yang akan membuatmu menjerit serta menggelepar setinggi langit! Seperti yang dira-sakan oleh nenek
berpakaian compang-camping itu
empat puluh tahun lalu!"
Dewi Berlian melirik Ratu Tongkat Ular. Yang dilirik tersenyum. Tetapi Dewi Berlian menangkap satu
gejolak amarah yang dipendam pada pancaran mata
Ratu Tongkat Ular.
"Hemmm... tentunya perlakuan kotor yang dilakukan oleh Resi Hitam padanya! Jelas kutangkap kalau Ratu Tongkat Ular menyimpan amarah kendati bibirnya tersenyum."
Datuk Bunaeng berkata, "Untuk saat ini, semua
yang hadir di sini kecuali Pangku Jaladara, adalah kawan seperjuangan. Keinginan
kita adalah menguasai
rimba persilatan dan membuat para jago tunduk di telapak kaki kita! Rencanamu yang hendak menjadikan
Pangku Jaladara sebagai boneka, membuat semangatku semakin membesar! Walaupun aku tak bisa melupakan dendamku pada mendiang Resi Kala Jinjit, tetapi rencanamu itu lebih menyenangkan dari apa pun
juga! Kita akan merebut kembali kalung Laba-laba Perak sekaligus membunuh Raja Naga! Pangku Jaladara
tetap kita biarkan hidup! Dia akan kita nobatkan menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Dengan adanya
kalung Laba-laba Perak, maka dirinya akan sah menjadi seorang ketua! Itu artinya...."
Kata-kata Datuk Bunaeng tiba-tiba terputus karena terdengar dengusan Resi Hitam yang keras, disusul dengan kata-katanya, "Huh! Menangkap gerakan yang ada, aku merasa pasti
mengenal salah seorang
dari mereka!!"
Sudah tentu kata-kata yang tak ada ujung pangkalnya itu, membuat yang lainnya terkejut. Termasuk
Dewi Berlian, yang sama-sama menatap kakek berkulit
hitam legam itu yang sedang menegakkan kepala.
Di saat lain, masing-masing orang segera tahu
apa yang dimaksud oleh Resi Hitam.
Dewi Berlian membatin, "Jangan-jangan.... Raja
Naga yang datang. Tetapi, mengapa Resi Hitam tadi
bergumam kalau dia mengenal salah seorang dari yang
datang ini" Kalau begitu, berarti yang datang bukan
hanya seorang. Apakah Raja Nags datang bersama seseorang yang menurutnya dapat dijadikan sebagai
pen-damping?"
Sementara itu Datuk Bunaeng membatin,
"Hemm... aku berharap kalau yang datang ini adalah Raja Naga. Dia telah
mencoreng wajahku dengan tindakan busuknya! Dan sudah tentu tak akan pernah ku
maafkan apa yang telah terjadi! Dewi Berlian telah
mengusulkan sesuatu yang menurutku sangat baik!
Dan setelah semuanya berjalan lancar, setelah Pangku
Jaladara kujadikan sebagai bonekaku, maka tinggal
membunuh Dewi Berlian! Tetapi tentunya... ha ha ha...
ingin kulihat Resi Hitam memperkosanya terlebih dulu
sebelum mampus...."
Tiba-tiba terdengar lagi kata-kata Resi Hitam,
"Bau sirih yang dikunyahnya sangat kukenal! Dan aku yakin dia adalah orang yang
kukenal! Dan hei... aku
juga mengenal orang yang bersamanya! Wah! Ini bisa
ramai! Mengapa bukan Langlang Benua yang muncul
di tempat ini"!"
Kali ini tak ada yang bersuara. Masing-masing
orang menunggu siapa yang akan muncul. Lima kejapan mata kemudian, mendadak saja dua sosok tubuh
dengan gerakan yang sangat ringan melompati sebuah
ranggasan semak tanpa membuat semak itu bergerak
sedikit pun! Lalu tanpa suara yang terdengar, masing-masing
orang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari orang-orang itu.
Resi Hitam langsung mendengus. "Huh! Apa yang
kuduga memang benar! Bau sirih-nya begitu menyengat! Dewi Pengunyah Sirih... bagaimana kabarmu" Dan
perlu apa kau tiba di tempat itu?"
Dua orang yang baru muncul itu bukan lain adalah Dewi Pengunyah Sirih dan Dewa Jubah Biru. Sementara Dewa Jubah Biru tetap mengedipkan matanya
yang memang selalu bergerak-gerak, Dewi Pengunyah
Sirih menghentikan kunyahan sirihnya.
Matanya tak berkedip pada kakek bongkok berkulit hitam yang berseru tadi.
"Resi Hitam... astaga! Tak pernah kusangka dia
akan muncul di sini! Katanya, terakhir kali kabar yang kudengar, dia sudah pergi
entah ke mana setelah bertarung dengan Langlang Benua dan tak seorang pun


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memenangkan pertarungan itu. Kalau dia muncul di sini, tentunya urusan akan jadi kapiran!"
Habis membatin demikian, dengan mengunyah
sirihnya kembali, nenek berkonde kecil ini berkata,
"Katanya, orang yang telah lama menghilang suatu saat memang akan bisa muncul
kembali! Katanya pu-la, kemunculan orang yang telah lama menghilang itu
tentunya ada urusan yang mendesak dan penting! Resi
Hitam... kau sendiri mengapa berada di tempat ini"
Ku-pikir kau sudah mampus dimakan usiamu!!"
Di saat Dewi Pengunyah Sirih berkata-kata, Ratu
Tongkat Ular menggenggam tongkatnya erat-erat. Sorot
matanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru.
"Terkutuk! Beberapa hari lalu dia mempecundangiku di halaman Perguruan Laba-laba Perak! Bagus
kalau dia berani muncul sekarang, berarti... urusan
memang harus segera diselesaikan!"
Sementara itu, wajah hitam kakek berkulit hitam
semakin menghitam. Kalau sejak tadi ucapannya selalu bernada kotor dan diucapkan penuh ejekan, kali ini berubah geram.
"Dewi Pengunyah Sirih! Orang bertanya malah
kau balas tanya! Apakah tindakan itu sudah menunjukkan kalau kau kini memiliki kemampuan yang lebih
tinggi"!"
"Katanya, kalau orang bertanya dibalas tanya,
bukan sesuatu yang bagus! Tetapi katanya pula, tergantung bagaimana orang itu sendiri!"
Jawaban Dewi Pengunyah Sirih membuat berang
Resi Hitam. Tetapi kakek ini tak melakukan apa-apa,
bahkan berbicara lagi pun tidak.
Di pihak lain Dewi Berlian menjadi tidak enak
sekarang. Dipandanginya kedua orang yang baru datang itu dengan seksama.
"Rasanya, apa yang kuinginkan saat ini sulit untuk dicapai. Tak kusangka kalau Dewi Pengunyah Sirih dan Dewa Jubah Biru akan muncul di sini. Bila Raja Naga muncul, tentunya keduanya tak akan tinggal
diam untuk membantunya. Hemmm... ketimbang seluruh rencanaku akan terbuka, sebaiknya aku menyingkir saja dari sini untuk menunggu kesempatan membunuh Raja Naga bila dia memang berhasil meloloskan
diri dari bencana di Lembah Lingkar. Dan rasanya, aku memang harus mempergunakan
tanganku sendiri untuk membunuhnya!"
Sebelum Resi Hitam berkata, Ratu Tongkat Ular
yang sudah tak mampu lagi menahan amarahnya melihat kemunculan Dewa Jubah Biru sudah buka mulut, "Kakek lancang berjubah biru! Kau memiliki nyali yang tinggi untuk datang
ke tempat ini, padahal kau
tahu kalau maut sudah menghadangmu!"
Dewa Jubah Biru tersenyum, tetap mengedipngedipkan matanya.
"Ratu Tongkat Ular... mengapa harus gusar" Kau
sendiri yang bermaksud untuk membunuh Lesmana
yang saat itu sedang bertarung dengan adik seperguruannya sendiri! Lantas, mengapa kau harus gusar bila aku membantu Lesmana"!"
"Kau tidak tahu urusan, tetapi lancang mencampuri urusan orang!"
"Astaga!" Kedipan mata Dewa Jubah Biru semakin menguat. "Jadi... ternyata aku
tidak tahu urusan ya" Busyet betul! Lancang betul! Ya, ya... betul-betul lancang
diriku ini kalau begitu! Kau betul, kau betul!"
Justru gelegak amarah Ratu Tongkat Ular tak bisa ditahan lagi mendengar kata-kata yang penuh ejekan itu. Tangan kanannya yang memegang tongkat hitamnya yang pada bagian atasnya terdapat ukiran kepala ular, tiba-tiba amblas pangkalnya! Pertanda kemarahan si nenek sudah memuncak.
Dewi Berlian membatin, "Hemmm... aku memang
sebaiknya meninggalkan tempat ini. Ratu Tongkat Ular
akan berhadapan dengan Dewa Jubah Biru. Resi Hitam tentunya untuk saat ini memilih lawan Dewi Pengunyah Sirih, walaupun tadi dia menyayangkan mengapa bukan Langlang Benua yang muncul. Dan.... Datuk Bunaeng tentunya tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk membunuh' Raja Naga bila pemuda
itu hadir di sini! Bagus! Seluruh rencanaku bisa tercapai sekarang, aku tak
perlu risau!"
Dewa Jubah Biru berkata, "Ratu Tongkat Ular..!
kau hanyalah seorang perempuan tua yang bodoh! Kau
bisa berada di bawah kaki Bunaeng saja sudah menunjukkan kebodohanmu! Apalagi sekarang bersamasama dengan Resi Hitam! Apakah kau melupakan
aibmu empat puluh tahun yang lalu"!"
Menegak kepala Ratu Tongkat Ular mendengar
kata-kata Dewa Jubah Biru. Untuk sesaat kemarahannya menggelegak kembali pada Resi Hitam yang justru seolah sudah melupakan kejengkelannya pada
Dewi Pengunyah Sirih dan saat ini sedang menatap lekat-lekat pada payudara montok Dewi Berlian, karena
pakaian yang dikenakan perempuan bermahkota itu
begitu rendah hingga memperlihatkan sebagian besar
bungkahan payudaranya! Bahkan Resi Hitam yang cabul ini yakin, hanya sekali tarik saja akan terlihat bulat-bulat seluruh bukit
kembar menggiurkan itu!
Ratu Tongkat Ular merandek dingin, "Aku semakin tidak sabar untuk membunuhmu!!"
"Membunuhku" Astaga!" seru Dewa Jubah Biru
cukup keras, matanya semakin berkedip-kedip. "Untuk saat ini yang seharusnya
dilakukan, adalah mencari
siapa orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak dan menimpakan tanggung jawabnya pada pemuda berjuluk Raja Naga! Atau...."
Dewa Jubah Biru mengedarkan pandangannya
berkeliling, menatap satu persatu orang yang berada di sana yang masing-masing
menggeram kecuali Dewi
Pengunyah Sirih. Perlahan-lahan matanya diarahkan
pada Datuk Bunaeng menyusul kata-katanya, "Salah seorang di antara kalian yang
telah melakukan tindakan pengecut seperti itu"!"
*** DUA KEMARAHAN Datuk Bunaeng kontan meledak.
Tangan kanannya menuding gusar. "Keparat tua! Kehadiranmu di sini hanya mencari
petaka belaka! Ratu
Tongkat Ular! Aku sudah bosan dengan kakek keparat
satu ini! Bila kau ingin membunuhnya sekarang, lakukan!!" Memang itulah yang sejak tadi ditunggu oleh Ra-tu Tongkat Ular. Si nenek
sudah tak sabar untuk
membalas kekalahannya di halaman depan Perguruan
Laba-laba Perak. Dengan mengerahkan separo tenaga
dalamnya, Ratu Tongkat Ular sudah menggebrak dengan tongkat yang digerakkan dengan cara diputar.
Menghampar gelombang angin memutar yang memperdengarkan suara bergemuruh.
Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesis pelan, "Ah, sungguh memalukan sebenarnya! Aku yang tua ini
harus ikut campur
dalam urusan seperti ini!"
Belum habis ucapannya, saat itu juga diangkat
kedua tangannya.
Wusss! Blaaam!! Gemuruh angin yang keluar dari putaran tongkat
si nenek berpakaian compang-camping yang memperlihatkan bukit kembarnya yang sudah loyo dan turun
ke bawah, pecah berantakan terhantam gelombang angin dahsyat yang keluar dari dorongan kedua tangan
Dewa Jubah Biru. Tindakan yang dilakukan Dewa Jubah Biru semakin membuat kemarahan Ratu Tongkat
Ular berlipat ganda. Dipercepat serangannya yang bertambah ganas! Di pihak lain, Resi Hitam mendesis, "Bunaeng!
Aku ikut denganmu hanya untuk menantang Langlang
Benua yang menurutmu akan muncul! Tetapi sebelum
kulakukan itu, sebaiknya aku melemaskan otot-otot di
tubuhku!!"
Belum habis ucapannya, Resi Hitam sudah
menggebrak ke depan, ke arah Dewi Pengunyah Sirih
yang menegakkan kepalanya. Dilihatnya dua bongkah
awan hitam melesat cepat.
Si nenek tak berkedip, tak beranjak pula. Sosoknya tak bergeming. Kaku. Dua bongkah awan hitam itu
semakin mendekat, tetapi tak ada tanda-tanda kalau si nenek berkonde kecil ini
akan melakukan gerakan.
Namun tiba-tiba... cuiiihhh!!
Mulutnya disentakkan dengan cepat. Seketika
berhamburan cairan merah yang berasal dari sirih
yang selalu dikunyahnya terus menerus.
Muncratan cairan merah yang menyebar itu masuk ke dalam awan-awan hitam milik si kakek bongkok. Sesaat tak terjadi apa-apa. Namun di lain saat, ti-ba-tiba saja terjadi
letupan yang sangat keras.
Blaaaarrrr!! Awan-awan hitam yang dilepaskan Resi Hitam
muncrat bertebaran dengan cepat. Resi Hitam tegak di
tempatnya, tetapi sosok Dewi Pengunyah Sirih surut
tiga langkah ke belakang dengan napas memburu.
"Astaga! Kandungan tenaga pada awan-awan hitamnya tadi sungguh luar biasa!" desisnya.
Resi Hitam menggeram.
"Huh! Kau kuberi kesempatan bernapas dalam
lima gebrakan!" bentaknya sengit yang segera menerjang kembali.
Pertempuran yang terjadi kemudian sungguh melebihi amukan seratus ekor gajah liar. Tanah berhamburan di sana-sini akibat serangan-serangan yang
gagal. Pepohonan bergetar hebat dan membuat dedaunannya meranggas. Lembah Lingkar bergetar hebat!
Masing-masing orang berusaha untuk mengalahkan satu sama lain. Kalau Resi Hitam dalam dua gebrakan berikutnya berhasil mendesak Dewi Pengunyah
Sirih, demikian pula halnya dengan Dewa Jubah Biru.
Setiap kali dilancarkan serangannya, setiap kali pula Ratu Tongkat Ular tak
berani membentur atau memapaki. Si nenek merasa lebih aman bila menjauh dulu
baru kemudian membalas.
"Terkutuk! Kesaktian kakek satu ini memang luar
biasa! Huh! Seharusnya aku memilih lawan Dewi Pengunyah Sirih!" maki Ratu Tongkat Ular sambil menghindar.
Dewa Jubah Biru berseru sambil melenting ke
atas, "Ratu Tongkat Ular! Sebaiknya kau segera meninggalkan tempat ini! Tak ada
perlunya kau bersamasama dengan Bunaeng!"
"Tutup mulutmu, Orang Tua! Sebelum kulihat
kau mampus, sejengkal pun aku tak akan mundur!"
hardik Ratu Tongkat Ular geram, menyusul dia menerjang ganas. Tongkat berkepala ularnya digerakkan dengan
cara diputar. Gelombang angin mengerikan menyusur
tanah ke arah Dewa Jubah Biru. Tanah-tanah itu bermuncratan, meletup-letup keras.
Dewa Jubah Biru menarik napas pendek.
"Aku tak ingin melakukan pertarungan seperti
ini. Yang kuinginkan hanyalah membuktikan ketidak
bersalahan Raja Naga...," desisnya pelan.
Mendadak ditepukkan tangannya satu kali. Terdengar suara tepukan sebagaimana lazimnya. Tidak
pelan, tetapi juga tidak keras. Namun kejap itu pula
terlihat gumpalan asap biru yang perlahan-lahan bertebaran, lalu dengan cepatnya bersatu membentuk seperti sebuah dinding.
Ratu Tongkat Ular sesaat terkejut. Tetapi dilipatgandakan tenaga dalamnya untuk terus menyerang,
bahkan bermaksud menerobos dinding asap berwarna
biru itu. Blaaamm! Blaaammm!
Gelombang angin mengerikan yang keluar dari
putaran tongkatnya menghantam dinding asap itu. Astaga! Dinding yang terbentuk dari asap berwarna biru
itu tak bergeming sama sekali. Justru gelombang angin Ratu Tongkat Ular yang
berpentalan ke berbagai penjuru. Menerabas ranggasan semak hingga rata ujungnya, menghantam sebuah pohon yang bergetar sehingga langsung menggugurkan dedaunan, juga membuat
Datuk Bunaeng menggeram keras seraya mendorong
tangannya. Karena pentalan gelombang angin Ratu
Tongkat Ular mengarah padanya!
Blaaaarrr!! Gelombang angin yang mengarah padanya pecah
berantakan, disusul dengusannya.
"Keparat tua! Rupanya kau terlalu tangguh untuk
Ratu Tongkat Ular! Huh! Ingin kulihat seberapa hebat
sebenarnya kemampuanmu!!"
Tetapi sebelum Datuk Bunaeng menerjang, Ratu
Tongkat Ular sudah berseru, "Datuk! Bukannya bermaksud untuk menolak bantuanmu!
Tetapi, apa pun
yang terjadi, aku akan tetap menghadapinya!"
Kakek berambut dikelabang itu menggeram. Sorot matanya bengis mengiriskan.
"Kau kuberi kesempatan tiga gebrakan lagi! Bila
kau tidak mampu juga untuk membunuhnya, aku
akan mengambil alih!" bentaknya geram.
Apa yang didengarnya itu menambah kemarahan
Ratu Tongkat Ular. Dia menerjang lagi dengan keganasan yang lebih menggila. Bahkan kali ini tongkatnya
digerakkan seperti ular mematuk. Secara tiba-tiba,
"Sraaattt!"
Cairan bening melesat dari mulut ukiran kepala
ular yang sedikit membuka.
Dewa Jubah Biru langsung melompat ke samping
kanan. Craasss!! Tanah di mana sebelumnya dia berdiri tadi, seketika bolong dan mengeluarkan asap.
"Hemm... dia sudah mengeluarkan senjata raha

Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sianya," desis Dewa Jubah Biru dalam hati. "Bukan masalah besar sebenarnya
bagiku untuk mengalahkannya. Dan rasanya lebih baik memang mempermainkannya saja. Tetapi, bila dalam tiga gebrakan berikutnya aku belum dapat dikalahkannya, berarti Bunaeng akan turun tangan. Ah, itu juga bukan masalah
besar. Tetapi itu artinya, aku justru akan lebih lama terlibat dalam
pertarungan. Sebaiknya, biar aku mengalah saja...."
Memutuskan demikian, tiba-tiba saja Dewa Jubah Biru melesat ke depan bersamaan Ratu Tongkat
Ular sedang menggerakkan tongkatnya seperti mematuk, yang membuat cairan bening melesat kembali. Si
kakek memang mau tak mau harus menghindarinya.
Tetapi tatkala tiba-tiba Ratu Tongkat Ular melesat dengan kaki kanan mencuat, si
kakek sengaja tak menghindarnya. Bukk!! Dada kurusnya terhantam tendangan kaki kanan
Ratu Tongkat Ular. Apa yang dihasilkannya itu membuat Ratu Tongkat Ular menyeringai lebar. Di liriknya Datuk Bunaeng yang
mengangguk kaku. Dewa Jubah
Biru sendiri sengaja membuat tubuhnya terhuyung ke
belakang. Padahal dia sama sekali tak merasa sakit!
Karena sebelumnya Dewa Jubah Biru sudah menamengkan dirinya dengan hawa murni yang dimilikinya.
Ratu Tongkat Ular menggebrak kembali.
Datuk Bunaeng menengadah. Melihat rembulan
yang tak lama lagi berada tepat di tengah kepala.
"Sebentar lagi Raja Naga akan tiba di sini, begitu yang dikatakan Dewi Berlian.
Huh! Tak sabar rasanya
untuk membunuh pemuda keparat yang telah memfitnahku itu!"
Di pihak lain, perempuan berpakaian hijau yang
dipenuhi butiran berlian itu menarik napas pendek.
Dadanya yang membusung menggiurkan terangkat sejenak membuat bungkahan bagian atasnya yang terbuka lebar terangkat pula.
"Tak lama lagi rembulan tepat berada di atas kepala. Itu artinya, Raja Naga akan segera muncul. Dalam keadaan seperti ini, rencanaku bisa gagal. Tetapi aku belum mendapatkan
kesempatan untuk meninggalkan tempat ini"
Diam-diam diliriknya Pangku Jaladara yang masih berlagak pingsan.
Di pihak lain, Resi Hitam semakin ganas melancarkan serangannya pada Dewi Pengunyah Sirih. Si
nenek berkonde kecil itu sama sekali tak mendapatkan
kesempatan untuk membalas. Bahkan untuk memuncratkan cairan sirihnya saja dia mendapat kesulitan.
Yang terlihat sekarang, bagaimana Dewi Pengunyah Sirih harus melompat-lompat untuk menghindari ganasnya serangan Resi Hitam.
"Satu gebrakan lagi!" bentakan keras itu terdengar, bersamaan meluruknya tubuh
Resi Hitam. Gelombang angin yang mendahului lurukan tubuhnya, menyeret tanah yang membuat Dewi Pengunyah Sirih
menjadi panik. Tetapi si nenek masih mencoba untuk menghindar dan membalas, kendati disadarinya betul kalau serangan balasannya tak berarti banyak.
Sementara itu Dewa Jubah Biru yang memutuskan untuk mengalah karena tak ingin memperpanjang urusan, begitu mendengar bentakan Resi Hitam
pada Dewi Pengunyah Sirih, lagi-lagi membiarkan tubuhnya terhantam tendangan Ratu Tongkat Ular. Dan
lagi-lagi dibuat tubuhnya tergontai-gontai. Namun kali ini, gontainya dibuat ke
arah Dewi Pengunyah Sirih.
Seperti tak sengaja, ditabraknya tubuh si nenek
berkonde kecil itu yang sedang kesulitan menghadapi
sergapan Resi Hitam. Bahkan dengan cara dibuat tak
sengaja, diam-diam tangan kanan Dewa Jubah Biru
menepak tangan kiri si nenek hingga terangkat naik.
Saat itu pula menderu gelombang angin berkekuatan tinggi! Resi Hitam yang sudah siap untuk melancarkan
serangannya tersentak dan mau tak mau mundur.
Blaaarrr!! Gelombang angin itu menghantam ranggasan
semak yang seketika berhamburan ke udara.
Resi Hitam yang telah hinggap di atas tanah dengan ringannya menggeram dingin.
"Terkutuk! Rupanya kau hanya berlagak mengalah, hah"! Setan laknat! Akan kucacak tubuhmu sampai sekecil-kecilnya!!"
Sementara itu, Dewi Pengunyah Sirih yang telah
berdiri tegak kembali, mementangkan matanya lebarlebar. Mulutnya sesaat berhenti mengunyah sirihnya.
"Hemm... aku dalam kesulitan untuk membalas
tadi, tetapi tahu-tahu tangan kiriku terangkat naik
akibat tak sengaja ditepak oleh Dewa Jubah Biru...,"
desisnya dalam hati. "Tak mungkin, tak mungkin itu tak disengaja. Karena
gelombang angin yang meng-hempas tadi bukan aku yang melakukannya, melainkan keluar dari tepakan Dewa Jubah Biru. Berarti...
aku tahu sekarang. Si kakek rupanya mengalah pada
Ratu Tongkat Ular. Yang tentunya dilakukan karena
tak mau Datuk Bunaeng turun tangan yang berarti
akan semakin memperpanjang urusan. Aku mengerti
apa yang dimaui oleh si kakek..."
Ratu Tongkat Ular yang telah berdiri di sebelah
kanan Datuk Bunaeng berkata, "Datuk! Kau lihat sendiri, aku telah mampu
menendangnya dua kali! Dan
aku yakin... tulang dadanya ada yang retak!"
Datuk Bunaeng mengangguk dingin, tetapi matanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru yang perlahan-lahan sedang mencoba berdiri tegak. Bahkan seperti kehabisan tenaga, dipegangnya pundak Dewi
Pengunyah Sirih sebagai tumpuan.
"Bantu aku...," desisnya.
Sambil membantu, Dewi Pengunyah Sirih membatin, "Hebat! Sandiwaranya sungguh hebat! Katanya, kalau orang yang
bersandiwara itu lebih berada pada
dua tujuan. Pertama, berpura-pura untuk mengalah.
Kedua berpura-pura menutupi ketakutannya. Aku lebih cenderung pada dugaan kalau Dewa Jubah Biru
ada pada tujuan pertama."
Di seberang, Ratu Tongkat Ular menyeringai penuh kepuasan. Resi Hitam sedang bersiap lagi untuk
menyerang. Dewi Berlian melihat kesempatan untuk
meninggalkan tempat itu, diam-diam dia melangkah
mundur mendekati Pangku Jaladara yang berlagak
pingsan. Sementara itu, mata Datuk Bunaeng tak berkedip pada Dewa Jubah Biru.
"Sejak tadi, kalau kakek yang selalu mengedipngedipkan matanya itu mau menyerang, tentunya dengan mudah dia dapat membunuh Ratu Tongkat Ular.
Tetapi sejak tadi pula kulihat kalau dia tidak melakukan tindakan itu. Dan
sekarang, setelah kukatakan
pada Ratu Tongkat Ular kalau dia hanya kuberi kesempatan tiga gebrakan lagi, tiba-tiba saja Dewa Jubah Biru menjadi terdesak. Hemmm... ada sesuatu
yang janggal?"
Sembari memandang, Datuk Bunaeng terus berpikir. "Saat tendangan kaki kanan Ratu Tongkat Ular menghantam dadanya, tubuhnya
terhuyung-huyung.
Mengarah pada Dewi Pengunyah Sirih yang sudah terdesak hebat. Lalu menabrak Dewi Pengunyah Sirih
yang secara tidak langsung selamat bahkan mampu
melancarkan serangannya. Ini mustahil! Mustahil sekali mengingat Dewi Pengunyah Sirih sudah kehilangan kesempatan! Bahkan dia tak akan mampu untuk... keparatttt!!"
Mendadak kepala Datuk Bunaeng menegak ketika pikirannya tiba pada sesuatu yang seketika membuatnya gusar berlipat ganda.
Dengan tangan menuding dan suara sarat kemarahan, dia berseru keras, "Dewa Jubah Biru! Kau bisa mengelabui Ratu Tongkat
Ular dengan cara mengalah
seperti itu! Kau bisa mengelabui Resi Hitam dengan
berlagak kalau Dewi Pengunyah Sirih yang menyerangnya! Tetapi... kau tak bisa mengelabuiku!!"
Dewa Jubah Biru berbisik, "Dewi... rasanya aku
memang harus melibatkan diri dalam urusan ini kendati aku tak mau melakukannya. Yang kuinginkan
adalah mengetahui siapa yang telah memfitnah Raja
Naga dan membunuh Resi Kala Jinjit."
Kata-kata Dewa Jubah Biru itu menambah keyakinan Dewi Pengunyah Sirih apa yang diduganya itu
benar. Dianggukkan kepalanya sambil menatap tajamtajam pada Datuk Bunaeng.
"Katanya, kalau orang yang tak mampu menghadapi orang lain itu sebaiknya mengalah atau berlalu bi-la ingin selamat. Katanya
pula, bila memang ada orang
lain yang merupakan seorang sahabat yang diperkirakan mampu menghadapi lawannya, lebih baik melimpahkan lawannya pada sahabatnya itu. Terus terang,
aku tak mampu menghadapi Resi Hitam. Kita berganti
lawan." "Karena kuputuskan untuk meneruskan semua
ini, aku setuju!" bisik Dewa Jubah Biru.
Sementara itu, mendengar teriakan Datuk Bunaeng, Ratu Tongkat Ular seketika mengalihkan pandangannya pada si kakek berambut dikelabang. Menyusul diarahkan pandangannya pada Dewa Jubah Biru yang kini berdiri tegak tanpa kurang apapun.
Sadar kalau dirinya dikelabui orang, memerah
paras Ratu tongkat Ular. Seluruh tubuhnya bergetar
dengan aliran darah yang bertambah cepat.
Datuk Bunaeng membentak lagi, "Dewa Jubah
Biru! Akulah lawanmu sekarang!!"
Namun sebelum Datuk Bunaeng melancarkan serangan, tiba-tiba saja melesat satu sosok tubuh dari
sebelah kanan. Lesatan tubuh yang kemudian berputar di udara tiga kali itu, membuat orang-orang yang
berada di sana mengarahkan pandangannya.
Begitu pula tatkala sosok tubuh itu berdiri tegak
di atas tanah. Wajahnya tampan, agak sedikit berkeringat. Mengenakan rompi ungu yang terbuka di bagian dada. Berambut dikuncir kuda. Dan... sorot matanya memancarkan keangkeran yang dalam!
*** TIGA HUH! Kupikir kau tidak punya nyali" Tetapi akhirnya kau hadir juga di Lembah Lingkar!" bentakan
Datuk Bunaeng seketika terdengar. Kemarahannya
pada Dewa Jubah Biru seketika dialihkan begitu melihat siapa orang yang datang.
Pemuda yang baru saja muncul itu terdiam. Sorot
matanya tajam, menebarkan keangkeran yang mampu
menciutkan hati lawan. Bibirnya merapat, memperlihatkan kedinginan wajahnya. Diperhatikannya satu
persatu orang yang berada di sana.
"Hemm.... Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah
Sirih rupanya sudah hadir di sini pula. Ada orang yang baru kukenal. Kakek
bongkok berkulit sangat hitam
itu," katanya dalam hati. Lalu diperhatikan orang yang tadi membentaknya. Di
lain saat dia merandek dingin,
"Tindakan busuk yang dilakukan seseorang kemudian dilimpahkan kepadaku, tak akan
pernah ku maafkan
kecuali orang itu mendahului untuk meminta maaf!!"
Sadar ke mana arah kata-kata pemuda di hadapannya, wajah Datuk Bunaeng memerah. Mulutnya
merapat dalam dengan sorot mata bengis.
"Kau datang ke Lembah Lingkar hanya untuk
menjemput kematian yang akan kuturunkan, tetapi
kau masih berani banyak ucap! Raja Naga! Tindakan
yang telah kau lakukan dengan mencuri kalung, Labalaba Perak kemudian mengalihkan tanggung jawab kepadaku, tak akan pernah ku maafkan! Kecuali... kau
mematahkan lehermu sendiri di hadapanku!"
Murid Dewa Naga terdiam. Matanya tajam tak
berkedip pada Datuk Bunaeng.
"Yang kukatakan tadi, dikatakannya juga. Aku
menuduhnya yang telah melakukan tindakan busuk
terhadapku, tetapi dia justru ganti menuduhku! Apakah ada sesuatu yang salah di sini" Atau... dia hanya mencoba untuk
memutarbalikkan kenyataan" Kurang
ajar! Tak akan kubiarkan dia memfitnahku terus menerus seperti ini"!"
Sementara Raja Naga membatin, kakek yang
alisnya bersatu itu menggeram lagi, "Selain menimpakan tanggung jawab kepadaku,
kau juga melakukan
kesalahan besar! Dengan kata lain, kau telah menggagalkan seluruh rencanaku untuk menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak!" Lalu serunya tanpa mengalihkan perhatian pada Raja
Naga, "Dewi Berlian! Siapa yang lebih dulu berkenan untuk membunuh pemuda
celaka ini"!"
Di seberang, pemuda yang kedua lengannya sebatas siku dipenuhi sisik coklat itu mengalihkan sejenak pandangannya dari Datuk
Bunaeng. "Dewi Berlian" Aneh! Mengapa Datuk Bunaeng
memanggil perempuan mesum itu sementara dia tidak
berada di sini" Jangan-Jangan... kakek berambut dikelabang ini mendadak menjadi sinting?"
Masih tetap tak mengalihkan pandangannya pada Raja Naga, Datuk Bunaeng berkata lagi, "Kau tak menjawab, Dewi Berlian!
Berarti, akulah yang berhak
untuk membunuhnya!!"
Habis kata-katanya, Datuk Bunaeng surutkan
kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya sedikit dibungkukkan hingga condong ke depan. Kepalanya ditegakkan dengan kedua tangan hendak disilangkan.


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau akan menyesal pernah mengenal seseorang
yang bernama Datuk Bunaeng, Anak muda!!"
Habis bentakannya, Datuk Bunaeng sudah siap
menerjang ke depan. Namun sebelum dilakukan, terdengar seruan Ratu Tongkat Ular,
"Datuk Bunaeng! Dewi Berlian tidak ada di tempat!" Seketika Datuk Bunaeng memalingkan kepalanya. "Keparat terkutuk! Ke mana perempuan mesum itu"!" bentaknya keras ketika
tak melihat Dewi Berlian.
"Setan laknat! Apa yang dilakukannya"! Ke mana perginya Pangku Jaladara yang
pingsan"!"
Bukan hanya Datuk Bunaeng yang terheranheran, tetapi juga yang hadir di sana. Sementara itu
Raja Naga membatin, "Hemmm... dia tidak sinting.
Nampaknya Dewi Berlian belum lama ini sudah berada
di sini. Tetapi sekarang sudah pergi lagi. Dan Pangku Jaladara yang pingsan"
Aneh! Ada apa ini" Sebelumnya Dewi Berlian mengatakan kalau Datuk Bunaeng
sengaja menjebakku karena Ratu Sejuta Setan yang
ternyata.....Tetapi, mengapa dia berada di sini" Dan
mengapa pula Datuk Bunaeng berseru seperti tadi?"
"Setan keparat!!" menggelegar suara Datuk Bunaeng. "Apa-apaan ini"!"
Resi Hitam menyahut, "Kau telah dikelabui perempuan celaka itu, Bunaeng!"
"Tak mungkin dia berani mengkhianatiku!"
"Buktinya dia tidak lagi berada di sini!"
Datuk Bunaeng mengertakkan gigi-giginya hingga
berbunyi. Matanya menyorot berapi-api. Mulutnya merapat. "Setan keparat! Apa maksud Dewi Berlian menghilang seperti ini" Apakah
dia memang mengelabuiku"
Tetapi kurasa tidak! Bila dia berani melakukannya, berarti dia berani menghadang
kematian! Bisa jadi kalau sebenarnya dia hendak menyandera Pangku Jaladara
sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hemm...
suatu ide yang bagus! Karena selama Pangku Jaladara
masih berada dalam kekuasaannya, berarti seluruh
rencana akan tetap dapat dilaksanakan. Pemuda itulah yang harus kubunuh sekarang!"
Kejap itu pula tanpa mengucapkan sepatah kata
juga, Datuk Bunaeng sudah menerjang ke arah Raja
Naga. Gelombang angin yang keluar dari lesatan tubuhnya, sejenak membuat Raja Naga terhenyak. Tetapi
di lain saat, dia sudah menerjang pula ke depan.
Buk! Buk!! Benturan keras terjadi dua kali. Datuk Bunaeng
sesaat terkejut seraya mundur. Dipandangi tangan kanan kirinya yang cukup ngilu dengan mata membelalak. "Gila! Tenaga dalamnya tak bisa dipandang setelah mata!" geramnya dalam
hati. Di pihak lain, Raja Naga sendiri harus terjajar
akibat benturan yang terjadi tadi. Kedua tangannya
sebatas siku yang dipenuhi sisik coklat sedikit bergetar. "Hebat! Kedua tanganku
dibuatnya bergetar," desisnya dalam hati.
Di pihak lain, Dewa Jubah Biru mendesis.
"Aneh! Tak kurasakan adanya satu tenaga yang
keluar dari kedua tangan pemuda berompi ungu itu.
Tetapi Bunaeng dibuat terkejut. Jangan-jangan... pemuda itu memang tak mengeluarkan tenaga. Itu artinya... kedua tangannya sebatas siku yang dipenuhi
sisik coklat memiliki kekuatan besar!"
Sementara itu Resi Hitam membatin dengan kening berkerut. "Di saat menyerang, dapat kurasakan tenaga Bunaeng. Tetapi pemuda itu" Edan! Nampaknya dia tidak
mengeluarkan tenaga sama sekali, karena kalau dia
mengeluarkan tenaganya, tentunya dapat kurasakan.
Tetapi... astaga! Berarti, tenaga dalamnya lebih tinggi dari Bunaeng!"
Sementara itu, Datuk Bunaeng sendiri sudah
menerjang kembali. Jari jemarinya dibuka lebar-lebar.
Lalu laksana menepuk seekor lalat, digerakkannya ke
arah Raja Naga.
Saat itu pula menggebah gelombang angin berkekuatan lipat ganda, mengarah dari dua sisi karena Datuk Bunaeng menggerakkan tangan kanan kirinya
yang membuka pada arah yang berlawanan.
Raja Naga menjerengkan matanya. Dapat dirasakan kekuatan yang keluar dari gelombang angin yang
menerjang ke arahnya. Tiba-tiba saja kaki kanannya
digerakkan di atas tanah.
Brrooll!! Bersamaan tanah yang berderak dan bergelombang cepat ke arah Datuk Bunaeng, dia melompat ke
depan seraya mendorong tangan kanan kirinya. Raja
Naga sudah melancarkan dua serangan sekaligus!
Blaaaam! Blaaammm!!
Gelombang angin yang disemburati asap merah
melabrak putus gelombang angin yang dilepaskan Datuk Bunaeng. Letupan yang sangat keras terjadi. Tempat itu sesaat bergetar. Menyusul tanah di mana Datuk Bunaeng berdiri tadi rengkah dan membuyar ke
udara. "Terkutuk!" maki Datuk Bunaeng geram.
Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang
tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu, Datuk
Bunaeng segera menerjang kembali. Tubuhnya mumbul di udara. Laksana berjalan di atas angin, kedua
kakinya bergerak cepat. Akibatnya, tanah yang berhamburan ke udara.
Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang keluar dari gerakan kedua kaki Datuk Bunaeng menerpa
dadanya. Gontaian tubuhnya semakin menjadi-jadi.
Sadar kalau dia tidak bergerak cepat akan mendapatkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini
segera mendorong kedua tangannya ke atas.
Blaaamm! Blaaamm!!
Letupan yang terjadi semakin membuatnya kehilangan keseimbangan. Sementara itu, Datuk Bunaeng
yang masih berada di udara memutar tubuh. Dan
mendadak saja dia meluruk dengan kedua kaki siap
menghantam dada Raja Naga.
Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, murid
Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan
kanannya digerakkan ke depan.
Buk! Kaki kanan Datuk Bunaeng dapat ditahannya, tetapi kaki kiri Datuk Bunaeng telak mengenai dadanya!
Buk! Dan... wussss!!
Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk.
Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Datuk Bunaeng yang sedemikian cepat itu akan menghantam
kepalanya. "Huh! Hanya begini saja kemampuan orang yang
berani memfitnahku!" desis Datuk Bunaeng setelah hinggap kembali di atas tanah.
Raja Naga tersenyum sambil memegangi dadanya
yang terasa sesak.
"Kuakui kalau kemampuanmu sangat luar biasa,
Datuk! Tetapi sayangnya, aku tak akan mundur sebelum mendengar pernyataan maafmu!"
"Keparat!!" teriakan itu menggelegar keras. "Kau yang telah mencuri kalung Labalaba Perak kemudian
memfitnahku! Sekarang kau menuntutku untuk meminta maaf! Gila! Pernyataan gila yang kau berikan
padaku!!" Belum habis ucapan itu terdengar, Datuk Bunaeng sudah menerjang ke depan. Kali ini lebih ganas
dari serangan sebelumnya.
Raja Naga menegakkan kepalanya. Sorot matanya
bertambah angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pa-da kedua tangannya sebatas
siku, semakin kelihatan,
bahkan sedikit menyala. Pertanda kemarahannya sudah siap meledak!
Kejap itu pula kaki kanannya disepakkan di atas
tanah. Tanah membuyar, menghalangi pandangan. Tetapi langsung bertebaran tatkala gelombang angin
yang keluar dari lesatan tubuh Datuk Bunaeng menabraknya. Menyusul kedua tangan Datuk Bunaeng bergerak cepat, menyambar ke arah leher Boma Paksi.
Yang diserang segera menggerakkan kedua tangannya dengan kedudukan membuka.
Buk! Buk! Kalau sebelumnya Datuk Bunaeng terjajar ke belakang karena terkejut, kali ini dia tak peduli. Usai berbenturan, mendadak
sontak tubuhnya berputar ke
belakang dengan kaki kanan melesat ke atas.
Boma Paksi cepat tarik kepalanya ke belakang.
Terlambat sedikit saja, dagunya akan patah!
Datuk Bunaeng benar-benar tak mau memberi
kesempatan pada Raja Naga. Serangannya terus berdatangan susul menyusul. Tanah dan ranggasan semak
berhamburan tak menentu. Letupan demi letupan terjadi ganas dan mengerikan. Lembah Lingkar laksana
dilanda gempa mengerikan.
Dewi Pengunyah Sirih berbisik pada Dewa Jubah
Biru, "Katanya, kalau seseorang menolong orang lain yang dalam kesulitan, maka
keberuntungan akan ber-pihak padanya. Apakah kau berpikir yang sama?"
Kakek yang kedua matanya selalu berkedip-kedip
itu mengangguk-angguk.
"Kau betul. Tetapi, aku belum melihat kalau pemuda bermata angker itu akan segera kalah."
"Katanya, kalau kita sudah melihat kedudukan
seperti itu, maka kekalahan akan segera datang. Apakah kita akan berdiam diri saja?"
Dewa Jubah Biru tak menjawab. Dia terus memperhatikan bagaimana Raja Naga yang mau tak mau
terdesak hebat. Memang sejauh ini, pemuda dari Lembah Naga itu masih dapat menghindar atau memapaki
serangan lawan. Tetapi dua jurus berikutnya, Boma
Paksi mulai terdesak.
"Bunaeng! Menghadapi anak kemarin sore saja
kau harus membutuhkan waktu yang lama"! Apakah
kau memang tidak mampu, atau kau menunggu sampai aku turun tangan"!"
Ejekan yang terdengar keras itu membuat wajah
Datuk Bunaeng memerah.
"Keparat kakek hitam itu! Kalau saja tenaganya
tak kubutuhkan untuk menghadapi kemungkinan
munculnya Langlang Benua, tak akan pernah aku datang menjumpainya!" makinya geram dalam hati.
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Sebenarnya
aku bisa menghadapinya. Tetapi ada yang masih kupikirkan. Dan aku harus menghemat tenaga...."
"Bunaeng! Cepat kau bunuh pemuda keparat itu!
Anuku sudah tak bisa diajak berunding lagi! Aku harus cari perempuan bahenol itu!"
Ejekan Resi Hitam semakin membuat Datuk Bunaeng bertambah ganas.
Dewi Pengunyah Sirih berbisik lagi pada Dewa
Jubah Biru, "Katanya, bila menunggu terlalu lama untuk menolong seseorang yang
mengalami kesulitan justru akan mencelakakan yang akan ditolong. Juga
akan membuat yang menolong akan menyesali tindakannya bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apakah kita masih diam saja?"
"Aku masih memikirkan tentang siapakah orang
yang mencuri kalung Laba-laba Perak yang kemudian
memfitnah Raja Naga. Nampaknya Datuk Bunaeng
bukanlah orang yang melakukannya. Terbukti, dia begitu kesal karena menyangka Raja Naga yang telah
memfitnahnya."
Dewi Pengunyah Sirih manggut-manggut. Mulutnya terus mengunyah sirihnya.
"Dewi Berlian sudah tidak ada di tempat," tahu-tahu dia ngomong begitu.
"Kepergiannya pun tak diketahui sama sekali. Bahkan Bunaeng sendiri tidak tahu.
Apakah kau memikirkan sesuatu, Orang Tua?"
Dewa Jubah Biru melirik perempuan tua berkonde kecil di sampingnya.
"Menurutmu.... Dewi Berlian pelakunya?"
"Katanya, bila bicara tanpa bukti adalah sebuah
fitnah. Aku tak mau dikatakan memfitnah. Apalagi
memfitnah perempuan mesum seperti Dewi Berlian!
Fiuh!" Dewa Jubah Biru kembali mengarahkan pandangannya ke depan, di mana saat
ini Raja Naga benarbenar sudah kehilangan tempo penyerangannya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, perlahan-lahan
kakek berjubah biru itu menarik napas panjang.
"Rasanya... memang tak ada jalan lain. Kita harus membantunya...."
Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepalanya. "Bersiaplah...."
Namun sebelum masing-masing orang melesat ke
depan, mendadak saja satu bayangan berkelebat sedemikian cepat dari balik ranggasan semak. Ranggasan semak itu tak bergerak sama sekali. Bahkan sama
sekali tak ada angin yang timbul dari gerakan orang
yang tiba-tiba melesat.
Blaaarrr!! Serangan ganas Datuk Bunaeng luput pada sasarannya. Karena pemuda yang diserangnya telah lenyap
dari pandangan disambar oleh satu bayangan yang
berkelebat sedemikian cepat dan telah lenyap pula dari pandangan.
"Heeiiii!!" terdengar seruan Resi Hitam keras dan
bergetar. Mulut kakek berkulit hitam legam ini terbuka dengan mulut menganga
lebar. Bahkan tangan kanannya yang menuding seolah menjadi kaku!
Di pihak lain, Dewa Jubah Biru sudah menyambar tangan kanan Dewi Pengunyah Sirih dan membawanya ke arah perginya bayangan yang menyambar
Raja Naga. "Gilaaa!!" terdengar teriakan Resi Hitam keras, berapi-api. "Jahanam keparat!
Aku mengenal gerakan itu... aku sangat mengenalnya...."
Datuk Bunaeng yang tadi sempat tertegun segera
berseru, "Resi Hitam! Siapakah manusia keparat yang lancang menghalangi niatku


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berani mampus itu"!"
"Dia... dia...," suara Resi Hitam geram. Nafasnya mendadak terengah-engah saking
geramnya. Kedua
tangannya mengepal kuat. Seiring dihentakkan kaki
kanannya di atas tanah, suara Resi Hitam menggelegar, "Dia... dia Langlang Benua!!"
Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu Tongkat Ular
sama-sama menegakkan kepala mendengar kata-kata
Resi Hitam. Masing-masing orang melihat bagaimana
ganasnya wajah Resi Hitam.
"Keparat!" maki Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu serunya, "Kita tak boleh membuang
waktu! Ratu Tongkat Ular! Kau cari Dewi Berlian sampai ketemu! Resi
Hitam... kita mengejar Langlang Benua yang membawa
Raja Naga!"
Sementara Ratu Tongkat Ular segera meninggalkan tempat itu, Datuk Bunaeng masih berkata, "Terlambat sedikit saja, kedudukan
kita akan berbahaya!"
Resi Hitam menoleh. Pandangannya sengit.
"Bunaeng! Dengan ucapanmu kau menganggap
aku tak memiliki arti!"
Datuk Bunaeng terkejut dibentak seperti itu. Sebelum dia membantah ucapan Resi Hitam, Resi Hitam
sudah berseru, "Kau akan melihatnya nanti! Akan ku-patah-patahkan tulang di
dalam tubuh Langlang Benua!" Habis bentakannya, Resi Hitam segera melesat, disusul oleh Datuk Bunaeng
yang sekarang merasa
menjadi tidak enak. Tetapi di lain saat, perasaan itu telah hilang bersamaan
kegeramannya yang muncul
kembali. *** EMPAT JAJARAN pagi telah menghampar kembali untuk
yang kesekian kalinya. Tempat yang dipenuhi pepohonan itu sepi. Tak terdengar suara hewan-hewan yang
berkeliaran menyambut pagi. Bahkan angin pun seolah tak berhembus, tak mampu menepiskan gumpalan
kabut tebal yang menyelimuti tempat itu. Tak jauh dari tempat yang sepi itu,
nampak sebuah gunung menju-lang tinggi.
Di lereng gunung itulah tiga sosok tubuh sedang
duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua yang
hanya menundukkan kepalanya. Lelaki tua berwajah
keriput itu diperkirakan berusia sekitar delapan puluh lima tahun. Mengenakan
pakaian putih compang-camping. Rambutnya yang putih panjang tak beraturan. Kumisnya melintang menjulai. Tetapi yang sungguh mengejutkan, adalah janggut putih yang dimilikinya. Begitu panjang. Di saat si kakek duduk saja
janggut itu sudah melingkar di atas tanah.
Tanpa mengangkat kepalanya, si kakek berkata,
"Aku sama sekali tak menyangsikan cerita kalian, karena apa yang terjadi di
Perguruan Laba-laba Perak
aku juga sudah mendengarnya. Tetapi, rasanya sungguh aneh, bila murid Dewa Naga lancang mencuri kalung Laba-laba Perak...."
Lelaki berkepala plontos yang duduk di sebelah
kanan membuka mulut, "Musang Berjanggut. Kami
bukanlah orang yang suka memfitnah orang lain. Kau
sendiri sudah mendengar berita itu. Sekarang, apakah
kau masih juga menyangsikannya?"
"Kala Sringgil... apa yang kukatakan tadi hanyalah sebuah pikiran yang tiba di benakku," sahut si kakek berjuluk Musang
Berjanggut tetap menundukkan
kepalanya. Lelaki berkepala plontos yang mengenakan pakaian putih terbuka di bahu kiri, melirik lelaki yang mengenakan pakaian yang
sama dengannya yang duduk di sebelah kanannya.
"Bantu aku untuk menjelaskannya...."
Lelaki berkepala plontos pula tetapi berkumis
tebal segera berkata, "Musang Berjanggut... aku dan Kala Sringgil sudah mencoba
untuk menangkap murid
Dewa Naga. Tetapi terus terang, kami memang tak
sanggup untuk melakukannya. Bahkan, Pendekar Kaki
Satu pun tak berhasil menangkapnya...."
Lelaki berpakaian hitam yang terbuka di dada
menganggukkan kepalanya.
"Apa yang dikatakan Jala Sringgil benar."
Musang Berjanggut mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi tak mengangkat wajahnya.
"Memang... aku tak bisa membuktikan apa yang
menjadi pikiranku sekarang kecuali berhadapan langsung dengan murid Dewa Naga itu."
"Musang Berjanggut... kami sama sekali tak menyangsikan tindakan busuk murid Dewa Naga. Sebagai
sahabat mendiang Resi Kala Jinjit, kami tetap bermaksud untuk menangkapnya," kata lelaki yang kaki kanannya buntung. Tongkat yang dipergunakan sebagai
penyangga tubuhnya tergeletak di samping kanannya.
"Selain itu, kami juga tidak bisa tinggal diam melihat perlakuannya yang hina
itu. Mencuri kalung Laba-laba
Perak sebagai lambang sahnya seseorang menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak, adalah tindakan yang
mencoba mencoreng arang di wajah perguruan itu
sendiri!" Kakek berjanggut panjang itu menganggukanggukkan kepalanya. Tetap tak mengangkat wajahnya. Pendekar Kaki Satu berkata lagi, "Setelah gagal menangkap Raja Naga, tak
sengaja aku berjumpa dengan Kala Sringgil dan Jala Sringgil. Yang sungguh luar
biasa, kami memiliki niat yang sama untuk datang dan
meminta bantuanmu."
(Untuk mengetahui gagalnya Kala Sringgil dan
Jala Sringgil menangkap Raja Naga, silakan baca :
"Misteri Laba-laba Perak". Dan untuk mengetahui tentang gagalnya Pendekar Kaki
Satu menangkap Raja
Naga, serta perjumpaannya dengan Kala Sringgil dan
Jala Sringgil, silakan baca : "Pengadilan Rimba Persilatan"). Suasana hening.
Masing-masing orang tak ada yang membuka mulut. Kala Sringgil dan Jala Sringgil
memperhatikan Musang Berjanggut yang tetap menundukkan kepala. Sementara itu, Pendekar Kaki Satu
membatin, "Bila Musang Berjanggut mengatakan kalau dia menyangsikan tindakan
Raja Naga, kemungkinan
itu memang sebuah kenyataan. Tetapi, ah... mungkin
memang ada sesuatu di balik semua ini. Hanya saja..."
Kata batin Pendekar Kaki Satu terputus, karena
kakek berjanggut panjang sudah buka mulut, "Sebelum ada pembuktian, memang sulit
untuk mempertahankan pendapat."
Kata-kata Musang Berjanggut secara tidak langsung sudah menunjukkan kesediaannya untuk menangkap Raja Naga, walaupun di balik kata-katanya
dia akan melakukannya tetapi dengan maksud untuk
mencari kebenaran.
Ketiga orang di hadapannya segera merangkapkan tangan di depan dada masing-masing.
Jala Sringgil berkata, "Terima kasih atas kesediaanmu, Musang Berjanggut."
"Sebelum kalian meninggalkan tempat ini, ada
yang hendak kutanyakan. Apakah kalian mendengar
munculnya Langlang Benua?"
Ketiga orang itu berpandangan satu sama lain
sebelum Pendekar Kaki Satu berkata, "Aku belum
mendengar munculnya Langlang Benua. Tetapi, bukankah memang sulit untuk mencari kakek yang gemar bertualang, itu?"
"Seperti halnya dengan kita, Langlang Benua
adalah sahabat dari Resi Kala Jinjit. Kematian Resi Ka-la Jinjit telah membuat
rimba persilatan berkabung.
Aku yakin, kalau Langlang Benua juga telah mendengarnya." "Maksudmu... dia memang telah kembali?"
"Aku hanya menduga."
"Bagus kalau dia telah kembali! Itu artinya, akan memudahkan kita untuk
menangkap Raja Naga!"
Tetap tanpa mengangkat wajahnya, Musang Berjanggut mengangguk.
"Itu pun harus kita buktikan kebenarannya. Sekarang, segera kalian tinggalkan tempat ini. Menurutku pada lima hari di muka, bencana akan terjadi di Lembah Lingkar."
"Lembah Lingkar"!" seruan itu terdengar dari tiga mulut secara bersamaan.
Musang Berjanggut tak menjawab. Bahkan semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Masingmasing orang segera tanggap, kalau kakek di hadapan
mereka sudah tak mau diganggu. Bahkan bila mereka
bertanya pun sudah tentu tak akan mendapatkan jawaban. Masing-masing orang segera berdiri. Setelah merangkapkan tangan dan memberikan penghormatan
pada Musang Berjanggut, ketiganya sudah melangkah
meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal ketiganya, Musang Berjanggut mendesah pendek. Tetapi tidak mengangkat wajahnya.
"Rimba persilatan semakin kacau. Seorang anak
muda yang telah banyak membela kebenaran, harus
mendapatkan musibah yang cukup mengerikan. Ah,
bila urusan ini tidak segera dituntaskan, tentunya petaka akan
berkelanjutan...."
Kejap lain, Musang Berjanggut terdiam tetap
dengan kepala tertunduk. Kabut tebal masih menyelimuti tempat itu.
* * * Sekitar lima puluh tombak dari kediaman Musang Berjanggut, ketiga orang yang baru menjumpainya menghentikan langkah masing-masing di jalan
setapak. Kala Sringgil langsung berkata, "Pendekar Kaki
Satu... apakah tidak sebaiknya kita berpencar saja"
Maksudku, dengan berpencar akan memudahkan kita
untuk menemukan Raja Naga."
Lelaki berkaki buntung itu mengangguk.
"Aku pun berpikir hal yang sama denganmu, Kala
Sringgil. Dan masih ada yang kupikirkan."
"Tentang sikap Musang Berjanggut yang menyangsikan tindakan Raja Naga?"
"Selain itu, juga dengan apa yang dikatakannya
tentang bencana di Lembah Lingkar."
"Aku juga memikirkan hal yang sama."
Jala Sringgil berkata, "Apakah tidak sebaiknya ki-ta segera menuju ke Lembah
Lingkar?" "Itu memang suatu yang tepat. Tetapi, masih lima hari di muka. Berarti kita
hanya akan membuang waktu bila sudah tiba di sana," kata Pendekar Kaki Satu.
"Padahal sebelum hari itu tiba, kemungkinan besar kita masih dapat menemukan Raja Naga."
"Kalau begitu, sebaiknya kita memang mencari
pemuda itu dulu," kata Jala Sringgil. "Dan itu artinya, kita tidak perlu
berpencar."
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Kaki Satu.
"Kita sama-sama pernah berhadapan dengan Raja Naga dan sama-sama mendapatkan kesulitan untuk
mengalahkannya. Bukankah sebaiknya kita bersatu
saja untuk menghadapinya" Maksudku, dengan bersatu-nya kita, kekuatan yang kita miliki semakin bertambah. Itu artinya, kemungkinan besar kita dapat
meringkus anak muda pembuat celaka itu. Jadi, kita
tak perlu lagi harus mendatangi Lembah Lingkar."
Baik Pendekar Kaki Satu maupun Kala Sringgil
sama-sama tak buka mulut. Masing-masing orang
memperhatikan Jala Sringgil. Sesaat kemudian, Pendekar Kaki Satu berkata, "Usul yang kau kemukakan itu memang baik. Kemungkinan
besar untuk meringkus pemuda itu dapat kita lakukan dengan lebih mudah. Tetapi, aku menangkap gelagat lain dari ucapan
Musang Berjanggut."
Pendekar Kaki Satu menghentikan ucapannya.
Lalu memandangi Kala Sringgil dan Jala Sringgil bergantian. Karena kedua orang berkepala plontos itu tak ada yang menjawab. Segera
dilanjutkan lagi kata-katanya, "Musang Berjanggut mengatakan, bencana
akan terjadi di Lembah Lingkar. Jelas kalau ini berhubungan dengan tindakan Raja
Naga. Bila Raja Naga
seorang diri berada di sana, kemungkinan itu sangat
kecil. Tetapi tentunya, akan adanya orang-orang yang
muncul di sana selain Raja Naga dan kita bertiga...."
"Astaga!" Kala Sringgil mendesis.
"Mengapa aku tak memikirkan soal itu?"
"Itu pun baru kupikirkan," kata Pendekar Kaki Satu jujur.
"Kalau begitu, ya... seperti usulku semula, sebaiknya kita memang berpisah di sini...."
Pendekar Kaki Satu memandang Jala Sringgil.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapat yang terbaik, bagiku akan selalu
membawa keuntungan...."
"Baiklah," kata Pendekar Kaki Satu sambil mengangguk. "Kita akan berjumpa lagi
lima hari mendatang di Lembah Lingkar."
Setelah melihat kedua lelaki berkepala plontos itu
mengangguk, Pendekar Kaki Satu segera melangkah
meninggalkan mereka.
"Jala Sringgil," kata Kala Sringgil setelah Pendekar Kaki Satu lenyap dari
pandangan. "Aku jadi memikirkan apa yang disangsikan oleh Musang Berjanggut
mengenai tindakan murid Dewa Naga. Apakah memang benar dia yang telah mencuri kalung Laba-laba
Perak dan membuat keonaran" Kita juga menuduhnya
sebagai pembunuh Resi Kala Jinjit. Ah, keadaan ini
membuat kepalaku menjadi pusing...."
Jala Sringgil mengangguk. Sambil mengusap
lembut kumis melintangnya dia menjawab, "Walaupun aku juga memiliki keraguan
seperti itu, tetapi untuk
saat ini, perhatianku tetap tertuju pada Raja Naga."
"Yang hendak kita lakukan sekarang, menangkapnya atau menanyakan kebenaran?"
Jala Sringgil terdiam, karena dia memang tidak
tahu harus menjawab apa.
Didengarnya lagi kata-kata Kala Sringgil, "Sudahlah! Kita tetap berusaha untuk
menangkap pemuda
dari Lembah Naga itu!"


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau benar! Karena sejauh ini, aku belum melihat keterlibatan orang lain dalam urusan ini!"
Kejap lain, kedua orang itu sudah melangkah
menempuh arah yang berlawanan dengan Pendekar
Kaki Satu. *** LIMA PADA saat bersamaan dengan melangkahnya Kala Sringgil dan Jala Sringgil, dari balik ranggasan semak setinggi dada yang
jaraknya cukup jauh dengan
tempat di mana Kala Sringgil dan Jala Sringgil berada, terdengar kata-kata yang
cukup keras, "Berita kematian Resi Kala Jinjit-lah yang membuatku untuk sementara menghentikan pelanglangbuanaanku." Pemuda berlengan sebatas siku dipenuhi sisik
coklat itu memandang tak berkedip pada kakek yang
barusan bicara di hadapannya.
"Bila tak ku saksikan sendiri, mungkin aku tak
percaya melihat ada orang yang memiliki kulit berwarna seperti tanah," desisnya dalam hati. "Bahkan ram-butnya yang tak beraturan
hingga punggung pun berwarna seperti tanah. Dia mengaku berjuluk Langlang
Benua." Kakek berkulit keriput namun karena warna kulitnya seperti tanah hingga tak begitu terlihat keriput
di sekujur tubuhnya berkata lagi, "Kematian Resi Kala Jinjit menimbulkan banyak
pertanyaan di benakku,
hingga aku mencoba untuk mencari kejelasan. Sebelum kudapatkan kejelasan, berita tentang kekacauan
yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak sudah menyengat telingaku. Seorang pemuda yang julukannya
ramai dibicarakan orang akhir-akhir ini, dikatakan sebagai pencuri."
Raja Naga menarik napas pendek. Sorot matanya
tetap angker. "Orang tua... tentunya akulah orang yang kau
maksud. Aku tak bisa membantah bila kau juga menuduhku seperti itu, karena hingga saat ini, aku belum memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan
kalau diriku tidak bersalah."
"Sama sekali aku tak menuduhmu seperti itu,
aku hanya ingin menanyakan kebenaran."
"Kebenaran itu ada di depan mata, tetapi sekali
lagi, aku sulit untuk membuktikannya."
"Keteguhan dan keyakinan ucapan sudah cukup
bagiku." "Aku tidak mencuri kalung Laba-laba Perak!"
"Agar menjadi jelas, silakan kau menceritakan
padaku." Segera Raja Naga menceritakan nasib sial yang
dialaminya (Baca : "Misteri Laba-laba Perak"). Dilihatnya kakek yang kulitnya
berwarna seperti tanah itu
mengangguk-anggukkan kepala.
"Bagaimana dengan kematian Resi Kala Jinjit?"
"Aku tidak tahu sama sekali. Tetapi sebelum persoalan menjadi panjang seperti sekarang, secara tak
sengaja aku mencuri dengar percakapan dua orang.
Tentang tindakan Datuk Bunaeng yang hendak melakukan makar."
"Apakah kau mendengar kalau Datuk Bunaeng
yang telah membunuh Resi Kala Jinjit?"
"Tidak sama sekali."
"Berarti bukan dia yang melakukannya."
"Bukti belum terkumpul, Orang Tua."
"Aku paham maksudmu. Bunaeng memiliki dendam setinggi langit pada Resi Kala Jinjit. Bahkan setelah Resi Kala Jinjit tewas
tanpa diketahui siapa pembunuhnya, dia tetap berkeinginan untuk menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak. Dan dia akan dengan
bangga mengumumkan dirinya sebagai pembunuh Resi Kala Jinjit, karena dengan cara seperti itu dia akan mendapatkan kepuasan
dari dendam lamanya."
Pemuda tampan berambut dikuncir itu tak menjawab. Matanya memperhatikan terus kakek yang telah
menyambarnya di Lembah Lingkar.
"Aku mengenal Bunaeng, bahkan sangat mengenalnya." "Kalau memang bukan dia sebagai pembunuh
Resi Kala Jinjit dan orang yang memfitnahku, kemungkinan besar ada orang ketiga yang mengadu
domba." "Pikirkan terus, Anak muda."
Raja Naga terus berkata-kata, "Ketika tiba di
Lembah Lingkar, aku langsung menyuruh Datuk Bunaeng agar meminta maaf padaku atas tindakannya,
karena dugaanku dialah orang yang telah memfitnahku. Tetapi justru Datuk Bunaeng yang memaksaku
untuk meminta maaf padanya, karena dia menuduhku
sebagai orang yang memfitnahnya."
"Berarti ada kesalahan di sini, bukan?"
Seperti tak mempedulikan kata-kata Langlang
Benua, Raja Naga melanjutkan kata-katanya, "Sebelum tiba di Lembah Lingkar, aku
berjumpa dengan
Dewi Berlian. Dari perempuan bermahkota itulah aku
tahu kalau Datuk Bunaeng berada di Lembah Lingkar.
Dikatakannya pula, kalau Datuk Bunaeng mendendam
padaku. Dikarenakan saudara seperguruannya yang
berjuluk Ratu Sejuta Setan tewas di tanganku."
"Kau harus membuktikan ucapan Dewi Berlian."
"Pemberitahuan Dewi Berlian semakin memperkuat dugaanku kalau Datuk Bunaeng adalah orang
yang berada di balik peristiwa rumit ini. Aku sama sekali tak memikirkan adanya
kemungkinan lain, kecuali
satu pikiran yang timbul setelah mendengar kata-kata
Datuk Bunaeng."
"Katakan."
"Secara tiba-tiba Datuk Bunaeng memanggil Dewi
Berlian! Dengan tujuan siapakah yang akan lebih dulu
menyerangku! Saat itu aku cukup terkejut mendengarnya, mengingat sama sekali tak kulihat Dewi Berlian di sekitar sana."
"Dia ada di sana."
"Ya! Sebelumnya dia berada di sana. Dan yang
mengherankanku, mengapa Dewi Berlian justru hadir
di Lembah Lingkar" Juga mengapa Datuk Bunaeng
berseru seperti itu?"
"Kau sudah memikirkan kelanjutannya?"
"Aku masih memikirkannya sekarang."
"Pikirkan lagi."
"Keherananku itu semakin menjadi-jadi. Terus
kupikirkan tentang kata-kata Dewi Berlian padaku dan
seruan Datuk Bunaeng pada Dewi Berlian yang tentunya sebelumnya berada di sana tetapi kemudian berlalu. Mengapa, itulah pertanyaanku yang ada."
"Pikirkan lagi."
"Pikiranku sekarang, justru mengarah pada sesuatu yang mengejutkanku sendiri."
"Apakah itu?"
"Dewi Berlianlah dalang dari semua ini."
"Mengapa?"
"Pertama, di saat aku berjumpa dengannya, dia
mengatakan kalau Datuk Bunaeng adalah orang yang
juga mendendam padaku atas kematian Ratu Sejuta
Setan. Dan mengatakan padaku, kalau Datuk Bunaeng berada di Lembah Lingkar tepat tengah malam.
Aku percaya saat itu. Tetapi keherananku pun segera
timbul, karena sebelum tengah malam Datuk Bunaeng
yang bersama dengan Ratu Tongkat Ular dan seorang
kakek berkulit hitam legam sudah berada di sana. Juga hadirnya Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih. Bayanganku, jauh sebelum tengah malam, Datuk
Bunaeng sudah berada di sana."
"Katakan yang kedua."
"Yang kedua, Dewi Berlian ternyata juga hadir di sana walaupun aku tak sempat
berjumpa dengannya.
Ini mengherankan, karena dikatakannya tepat tengah
malam Datuk Bunaeng tiba di Lembah Lingkar. Kalau
kemudian Dewi Berlian hadir di sana sebelum tengah
malam, berarti dia telah tahu kalau Datuk Bunaeng
akan hadir di Lembah Lingkar sebelum tengah malam."
"Yang ketiga!"
"Ketiga, dari seruan Datuk Bunaeng pada Dewi
Berlian. Mengapa Datuk Bunaeng berseru seperti itu"
Apa yang sebenarnya dikatakan Dewi Berlian" Dan
mengapa Dewi Berlian berlalu tanpa sepengetahuan
siapa pun. Terbukti, mereka cukup terkejut karena
menyadari Dewi Berlian tidak berada di sana."
"Apakah masih ada alasan yang keempat?"
"Ya! Yang keempat, siapa sebenarnya yang memiliki hubungan dengan Pangku Jaladara yang katanya
berada di sana dalam keadaan pingsan?"
"Alasan atau tepatnya pertanyaanmu ini cukup
membingungkanku."
"Datuk Bunaeng mendendam pada Resi Kala Jinjit sampai ke akar-akarnya. Bahkan dia bermaksud
untuk menghancurkan siapa pun juga yang mempunyai hubungan dengan Resi Kala Jinjit. Sasarannya
yang pertama adalah menghancurkan Perguruan Labalaba Perak. Tetapi mengapa dia tidak membunuh
Pangku Jaladara?"
"Kau pikir itu ada hubungannya dengan Dewi
Berlian?" "Hanya itu kemungkinannya. Tetapi yang membuatku tak mengerti, bila memang Dewi Berlian berada
di balik semua ini, apa yang diinginkan sebenarnya dariku" Kalau memang dia,
mengapa dia melakukannya
padaku" Aku belum lama mengenal Dewi Berlian."
"Itulah yang harus kau temukan jawabannya,"
sahut Langlang Benua. Lalu melanjutkan, "Dan karena kau memikirkan rangkaian
semua alasanmu itu, kau
mengalah pada Datuk Bunaeng hingga kau tidak menyerang sepenuh hati?"
Mendengar pertanyaan itu kepala Raja Naga menegak. Matanya yang tetap bersorot angker tak berkedip memandang kakek di hadapannya.
"Orang tua,.. apakah aku salah bila kukatakan
kau sudah berada di Lembah Lingkar cukup lama?"
Langlang Benua mendengus.
"Aku bertanya, malah dibalik tanya!"
"Tetapi, bukankah apa yang kukatakan itu sebuah kebenaran?" tanya Raja Naga lagi. Lalu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, dia berkata; "Aku tahu mengapa kehadiranmu tidak diketahui di sana.
Kau tentunya menyatu dengan tanah, bukan?"
Langlang Benua cuma mendengus.
"Dan aku tahu, kaulah orang yang telah membentur serangan dari Kala Sringgil dan Jala Sringgil
sebelumnya. Ah, maafkan aku. Karena kala itu aku
sempat gusar, mengingat tindakan yang kau lakukan
dapat mengacaukan keadaan."
"Karena aku ingin tahu sebuah kebenaran."
Raja Naga menganggukkan kepalanya. Diingatnya lagi bagaimana satu serangan yang tiba-tiba muncul telah membentur serangan Kala Sringgil maupun
Jala Sringgil (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").
Langlang Benua berkata, "Sekarang... setelah kau mendapatkan satu pikiran
tentang rangkaian dari persoalan rumit ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tetap akan mencari bukti kalau aku tidak
bersalah. Karena orang-orang seperti Kala Sringgil, Ja-la Sringgil dan Pendekar
Kaki Satu, serta mungkin masih ada orang yang lain yang berhubungan erat dengan
Resi Kala Jinjit, tentunya akan tetap mengejarku kare-na menganggap aku sebagai
pengacau."
"Bagus bila itu kau lakukan!"
"Dari apa yang telah kita bicarakan, ada satu pikiran yang muncul di benakku
Setan Harpa 14 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Bromo 1

Cari Blog Ini