Ceritasilat Novel Online

Geger Batu Bintang 2

Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang Bagian 2


Tengkorak Hitam menepuk kedua
tangannya. Maka seketika kedua
tangannya telah memancarkan sinar hitam yang menyilaukan mata. Bersamaan dengan
itu, lima belas larik sinar hitam melesat ke arah Bidadari Hati Kejam.
Set! Set...! "Uts...!" .
Bidadari Hati Kejam cepat
berjumpalitan, mengandalkan ilmu
meringankan tubuhnya.
Seketika lima belas larik sinar
hitam yang mencelat dari tepukan
tangan Ratu Tengkorak Hitam,
menghantam beberapa batu besar yang berjarak sepuluh tombak hingga
berantakan dan berpentalan jauh. Dan ketika jatuh ke tanah, luruh jadi debu!
Saat itu juga wajah Bidadari Hati Kejam jadi pias melihat kesaktian
lawannya. Kemarahannya pun bertambah naik. Sesungguhnya, dia memang berhati
kejam. Terutama, terhadap orang-orang golongan sesat. Makanya dia dijuluki
Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu tak mau bertindak ayal lagi.
Begitu tepukan.tangan dari Ratu
Tengkorak Hitam terdengar, segera pengebut di balik bajunya dicabut.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Beberapa kali kibasan, maka angin laksana topan marah kontan menderu dahsyat.
Kedahsyatan angin itu benar-benar terbukti. Saat itu juga, lima belas larik
sinar hitam Ratu Tengkorak Hitam mencelat balik ke pemiliknya.
"Heh..."!"
Seketika terdengar seruan
tertahan dari mulut Ratu Tengkorak Hitam. Saat itu juga, tubuhnya
berkelebat cepat.
"Untungnya kugunakan jurus
'Rangkai Bunga Habisi Kumbang' melalui senjataku ini. Hasilnya, bukan hanya
membuat Ratu Tengkorak Hitam tunggang-langgang, tetapi membuat kuyakin kalau dia
tak menguasai secara benar jurus tadi. Kalau yang mempergunakan Raja Lihai
Langit Bumi, sinar hitam yang telah dilepaskan tak akan berbalik ke pemiliknya.
Malah mungkin bisa menyusup masuk ke dalam lawan, kendati berada di lobang semut sekalipun. Hhh!
Raja Lihai Langit Bumilah yang kupikit
mampu menandingi ilmuku puluhan tahun lalu. Tetapi aku dan dia berada dalam
jalan lurus, hingga tak pernah terjadi bentrokan."
Sementara itu, Ratu Tengkorak
Hitam telah berdiri tegak kembali dengan wajah pias. Tangannya tak lagi berada
di depan dada. "Aku mengaku kalah padamu,
Bidadari Hati Kejam! Tetapi urusan ini tak akan kulupakan!" desis Ratu Tengkorak
Hitam, dingin. . 1
"Ratu Tengkorak Hitam! Kau boleh tinggalkan tempat ini. Tetapi, nyawa busukmu
harus kau tanggalkan
Usai berkata begitu, pengebut di
tangan Bidadari Hati Kejam bergerak.
Namun, orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat cepat. Akibatnya,
hantaman pengebut yang dilepaskannya menghantam batu besar hingga hancur menjadi
debu. "Kurang ajar! Hhh! Nyawamu sudah ada di tanganku, Ratu Tengkorak
Hitam!" maki Bidadari Hati Kejam.
Nenek berkonde itu berdiri dengan tubuh agak mencangkung. Diselipkannya lagi
pengebut ke balik pakaiannya.
"Urusan ini telah jadi kapiran.
Manusia Mayat Muka Kuning belum
kutemukan. Manusia itu harus kucabut nyawanya, karena memaksaku keluar dari
kediamanku. Belum lagi selesai urusan itu, muncul Ratu Tengkorak Hitam. Hhh!
Mengapa sahabatku mengajarkan jurus andalannya pada Ratu Tengkorak Hitam"
Apakah dia sudah membelot dari jalur lurus yang telah dijalani berpuluh tahun"
Kalau Raja Lihai Langit Bumi telah mencoreng arang di mukanya
sendiri, tak segan-segan aku turun tangan meskipun nyawa taruhanhya!
Tentang burung Rajawali Emas yang muncul membawa bongkahan batu sakti yang
disebut Batu Bintang, rupanya telah memancing keluar para tokoh rimba
persilatan. Hhh.... Urusanku bisa berubah kacau! Lalu aku...
sialan! Bocah itu pasti sudah jauh!
Aku sudah jatuh hati pada bocah nakal itu! Sialan lagi! Mengapa dulu orang-orang
rimba persilatan
menjulukiku Bidadari Hati Kejam" Padahal, julukan itu hanya pas untuk golongan sesat yang
akan mampus di tanganku! Sialan, dasar sialan! Padahal aku berhati
lembut!" Dengan wajah tak karuan dan mulut menyang-menyong, nenek berkonde itu mendumal.
Sesekali kaki kanannya
diangkat dan dihentakkan di tanah.
Tanah yang dihentak itu tidak amblas.
Bahkan batu besar yang berjarak tiga tombak dengan dirinya bergeser sejauh
sepuluh tombak.
Sesaat kemudian, si nenek
berkelebat ke arah perginya Tirta.
* * * Akibat kambing-kambing yang
digembalakan hilang entah ke mana, Tirta merasa harus bertanggung jawab.
Bocah ini terus melangkah, tanpa
mempedulikan kelelahan dan kepenatan tubuhnya. Tak dipedulikannya sinar mentari
yang mencorong garang. Masih untung perutnya sudah diisi dengan memakan buahbuahan yang disediakan Bidadari Hati Kejam tadi.
Kini Tirta menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon. Rasa haus mulai mencekik tenggorokannya. Sambil
menghenyakkan pantatnya, kepalanya menengadah. Dicarinya buah-buahan pohon yang
akan dijadikan tempat
berteduh. Tetapi, nihil. Begitu pula dengan beberapa pohon lain yang
dilalui tadi. Sementara rasa haus makin mencekiknya. Sedangkan keringat semakin
banyak,tumpah, seperti kesia-siaan belaka.
"Waduh! Ke mana lagi aku harus mencari kambing-kambing itu" Berabe kalau
begini!" keluh bocah berusia sekitar dua belas tahun itu seraya menghembuskan
napas panjang. "Pokoknya, aku tidak akan pulang sebelum membawa kambing-kambing itu!
Tetapi... aku rindu pada Ibu. Aku ingin jumpa Ibu. Sedang apa Ibu
sekarang, ya" Tentunya Ibu sangat
mencemaskan aku, sama seperti Ayah.
Ah, Ibu.... Sebentar lagi kita akan bertemu, setelah kutemukan kambing-kambing
itu." Di benak bocah ini segera
membayangkan seandainya bertemu
ibunya. Akan dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang yang tentunya sangat cemas
memikirkannya. Lalu akan
diceritakan pada ayahnya kalau dia tidak pulang, karena harus bertanggung jawab
atas hilangnya kambing-kambing milik Juragan Lanang.
Bibir Tirta tersenyum memikirkannya. "Kata Ibu... aku diberi nama Tirta. Karena Ibu mengharapkan kehi-dupanku akan
melaju terus. Tirta itu berarti air. Setiap air sungai,
gunung, dan lainnya, semuanya mengalir ke laut. Ibu ingin hidupku kelak
seperti itu. Hanya mendapatkan
hambatan kecil yang tak seberapa, dan akhirnya menuju cita-cita yang
kuinginkan. Kata Ibu, air mengalir itu terus bergerak tanpa menghiraukan
rintangan. Air selalu menjadi teman manusia. Tetapi air bisa jadi musuh manusia.
Ibu berharap aku menjadi teman manusia sesama, dan menjadi lawan bagi orangorang durjana. Hmm...
Hebat sekali Ibu memberi nama buatku.
Kata Ayah aku diberi nama Tirta karena saat aku hendak dilahirkan, Ibu sedang
pergi mandi. Dan hampir saja aku
mbrojol di sungai bila saja Ibu tidak cekatan dan Ayah tak segera datang.
Karena saat pertama aku dilahirkan sudah berteman dengan sungai.
Akhirnya, aku dinamakan Tirta. Ah....
Kedua cerita itu ciikup membuatku senang."
Selagi Tirta tersenyum sendirian.
Werrrr...! "Koaaakkk!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagai membedah langit, disusul suara sangat
dahsyat, seperti mengalahkan kerasnya suara guntur.
Tirta tersentak dan langsung
berdiri. Seketika kepalanya menengadah ke langit. Dari tempatnya berdiri, yang
terhalang rimbunnya dedaunan, mata kecilnya melihat kelebatan
bayangan keemasan. Sangat indah, dan membuatnya terpana beberapa saat.
Apalagi, bayangan raksasa
keemasan itu tidak segera berlalu seperti yang pertama kali dilihatnya.
Justru terbang berputaran tetap dengan suara menggebah.
"Aku yakin, bayangan keemasan yang kulihat itu adalah seekor burung.
Tetapi... burung apa yang besarnya empat kali seekor gajah dewasa?"
Kalau bocah lain yang melihat
burung raksasa itu, tentu akan
langsung berlari ketakutan. Tetapi
Tirta yang memang penasaran, justru jadi tertarik.
"Hoooiii! Burung raksasa! Ayo, turun! Ajak aku terbang untuk mencari kambingkambing yang hilang!" teriak si bocah, tanpa sadar.
Burung rajawali keemasan itu
berkaok-kaok keras. Suaranya
mengguntur, sekaligusi mengerikan.
"Wah.... Kalau tidak mau, ya sudah! Pergi sana! Jangan ganggu aku!
Kedatanganmu "tak bisa menghilangkan rasa hausku, tahu"!" seru Tirta seraya
menurunkan kepalanya kembali.
Dan tanpa sengaja, mata bocah ini melihat sebatang rumput yang tumbuh tak jauh
dari tempatnya berdiri. Cepat kakinya melangkah menghampiri. Dan niatnya
untuk mencabut rumput
diurungkan, karena di tempat itu tak ada rumput lain, kecuali rumput yang
mendatangkan rasa heran di hatinya.
Rumput itu tak berwarna hijau, tapi berwarna kuning seperti rumput kering.
Di ujung rumput, tampak putih bunga kuning yang indah.
Lebih banyak didorong rasa
herannya, Tirta mencabut rumput itu.
Diamat-amatinya sejenak. Karena
kebiasaannya yang suka menghisap-hisap rumput, mulailah rumput aneh itu
dimasukkan ke mulutnya. Lalu dihisap-hisapnya.
"Manis.... Lumayan buat penghilang hausku meskipun hanya sedikit."
Masih menghisap-hisap sari rumput yang terasa manis, bocah itu kembali
menengadahkan kepalanya ke atas.
Burung rajawali raksasa keemasan itu masih berputar di angkasa. Sayapnya
mengepak berulang-kali, menimbulkan suara mengguntur.
"Sudah sana pergi! Aku mau tidur dulu sebelum melanjutkan mencari
kambing-kambing itu!"
Lalu dengan santai dan masih
menghisap-hisap sari manis dari rumput yang dicabutnya, Tirta kembali ke pohon
tadi. Tubuhnya segera
disandarkan di bawahnya.
Namun yang tak disangka Tirta,
burung raksasa itu bukannya terbang menjauh, tapi justru menukik. Angin besar
kontan menerbangkan dedaunan saat burung raksasa itu hinggap di atas tanah.
Bukan main tercengangnya Tirta
melihat betapa besarnya burung yang berjarak dua puluh tombak dari
hadapannya. Tak sadar kedua matanya melebar dengan mulut terbuka. Rumput yang
bersari manis tadi terlepas dari gigitannya.
Dan lagi-lagi bukannya ketakutan, si bocah justru bangkit dan berjalan mendekati
rajawali raksasa itu.
Mukanya kesal sekali.
"Ayo terbang lagi sana! Aku mau
tidur!" usir Tirta dari jarak tiga tombak.
Tetapi kemudian, si bocah melongo ketika burung raksasa itu menegakkan kepala.
Bola matanya yang kemerahan menatap langsung ke arah Tirta.
Dari melongonya, pandangan Tirta berubah menjadi kagum. Diamatinya burung
rajawali raksasa itu dari
kepala sampai kaki.
Paruh burung itu besar dan kokoh, melengkung kuat dengan ujung runcing tajam.
Lehernya penuh bulu tebal
berwarna keemasan bercampur kemerahan.
Di atas kepalanya, terdapat jambul berwarna keemasan yang sangat terang.
Bagian badannya berwarna keemasan, bercampur kemerahan dan kebiruan.
Sayapnya berwarna keemasan, bercampur abu-abu. Yang paling menarik adalah
ekornya. Lebar panjang, berwarna
keemasan. Kedua kakinya yang sebesar kaki manusia dewasa itu tampak kering,
sekeras baja dan agak bersisik. Jari-jarinya mekar, dengan kuku-kuku
runcing tajam dan melengkung. Bola matanya yang besar berwarna kemerahan.
"Hei, Rajawali.... Peliharaan siapakah kau ini" Apakah ada manusia raksasa di
zaman ini?" ucap Tirta, perlahan-lahan.
Rajawali itu seperti mengerti
kata-kata Tirta. Kepalanya digerak-gerakkan seperti menggeleng sambil
mengeluarkan suara berkoak-koak.
Kening Tirta berkerut.
"Hei" Kau pintar sekali rupanya!
Pemilikmu pasti sudah mengajarkanmu untuk bercakap-cakap, bukan" Kalau begitu,
ayo cepat tinggalkan tempat ini. Kau harus kembali pada pemilikmu.
Kasihan dia kalau mencari-carimu."
Tetapi rajawali itu kembali
menggerak-gerakkan kepalanya seperti menggeleng. Lalu kepalanya bergerak-gerak
ke arah belakang. Tirta
mengerutkan keningnya kembali.
"Apa maksudmu?" tanyanya bingung.
Si bocah memperhatikan sekali
lagi tanpa kedip pada rajawali yang menggerak-gerakkan kepalanya lagi ke arah
belakang. Tirta berjalan
menyamping sepuluh tombak, karena terhalang tubuh besar itu untuk
melihat ke belakang. Dia celingak-celinguk beberapa saat.
"Hoooii! Tidak ada siapa-siapa di belakang" Apa maksudmu barusan tadi?"
Kembali rajawali itu menggerakgerakkan kepalanya. Tirta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Maksudmu,
aku ikut denganmu, ya?" Kali ini Tirta melihat rajawali itu mengangguk-angguk.
"Wah! Nanti saja! Aku harus
mencari kambing-kambingku dulu. Sebenarnya sih, aku mau menunggangimu, Karena
dari atas tentunya lebih mudah
mencari kambing-kambing yang hilang, bukan" Tetapi, tidak ah...! Nanti aku malah
jatuh." Tirta melihat sepasang mata
rajawali itu meredup. Hatinya jadi tidak enak.
"Wah.... Jangan begitu dong.
Nanti saja aku ikut denganmu setelah kutemukan kambing-kambingku, ya" Kalau
begitu sampai ketemu lagi...."
Lalu dengan santainya, Tirta
melangkah kesamping dan menuju ke arah timur. Ditinggalkannya rajawali
raksasa yang nampak sedih diperlakukan seperti itu.
Tak lama kemudian, burung itu pun mengepakkan lagi kedua sayap besarnya.
Tubuhnya langsung mengangkasa dengan suara gemuruh keras. Tirta sampai menoleh
dan mengusap usapdadanya.


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Copot! Copot! Ya sudah terbang saja sana!"
Tetapi rajawali keemasan itu
justru terbang berputaran di atas kepalanya. Tirta yang melangkah di bawahnya
segera menghentikan langkah dan mendongak.
"Hei! Sana dong! Suaramu justru akan membuat kambing-kambing yang sedang kucari
makin kabur!"
Tetapi burung itu terus terbang
di atas kepalanya. Akibatnya, kepakan sayapnya menimbulkan angin besar.
Tirta mendumal panjang pendek.
Lalu tanpa menghiraukan rajawali
raksasa itu lagi bocah itu kembali melangkah. Tetapi, lama-kelamaan
bertambah jengkel.
"Hooiii! Sana dong! Suaramu itu bikin takut kambing-kambingku! Aku harus
bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing itu!" teriak Tirta.
Dan seperti menuruti kata-kata
Tirta, rajawali raksasa itu terbang dan lenyap dari pandahgan. Bocah itu lantas
tersenyum dengan sikapjumawa.
"Nah, begitu dong. Kan urusanku jadi beres."
Namun sebelum si bocah mulai
melangkah, mendadak....
"Berhentiii...!"
* * * Tirta kontan menghentikan langkahnya dan menoleh ketika terdengar bentakan menggelegar. Di samping kanannya
berjarak dua tombak, berdiri seorang lelaki tinggi besar berbaju merah. Matanya
menatap dingin penuh kesengitan.
"Dikira siapa" Tidak tahunya tukang sampah," gumam Tirta seraya melangkah
kembali dengan anehnya.
Tapi.... Tap! Mendadak, sebuah tangan penuh
bulu tahu-tahu telah menyambar tangan
Tirta. Ketika tangannya ditarik, Tirta tersuruk ke belakang.
"Apa-apaan ini" Lepaskan!" umpat si bocah.
Lelaki tinggi besar yang baru
datang itu tak lain
adalah Kaki Gledek. Setelah berhasil mengelabui Manusia Mayat Muka Kuning, dia yang
bersikeras untuk mendapatkan Batu Bintang terus melanjutkan langkah. Dan tak
disangka, lelaki ini melihat
rajawali itu berada di atas kepala bocah itu.
"Kemana rajawali itu pergi?"
tanya Kaki Gledek dingin, penuh
ancaman. Tatapan matanya melebar pada Tirta yang merasa kesakitan akibat
lengannya dicekal keras.
"Mana aku tahu" Justru dia
kusuruh pergi!" sahut Tirta, kesal.
"Bodoh! Panggil burung itu ke sini!"
"Wah.... Bagaimana caranya" Aku tidak tahu dia datang lagi! Kambing-kambingku
yang hilang bisa makin jauh kalau mendengar suara burung itu datang."
"Bocah keparat! Kutampar mulutmu yang lancang hingga kau mau bicara!"
Kaki Gledek mengangkat tangan
kirinya. Segera dilayangkannya
tamparan pada pipi Tirta. Bocah itu langsung memejamkan matanya.
Tetapi bukan tamparan keras yang
dirasakan Tirta. Justru lengannya dicengkeram orang tinggi besar itu tiba-tiba
terasa terlepas. Dan....
Wuuut! Tamparan Kaki Gledek meleset.
"Hei!"
Orang tinggi besar itu menarik
wajah tegang dengan mulut terbuka lebar. Sungguh heran Kaki Gledek, karena
tamparan yang sangat dekat luput begitu saja.
"Bocah sialan! Kuhajar kau!" maki Kaki Gledek.
Dengan garangnya, Kaki Gledek
menyerbu ke arah Tirta yang lagi-lagi memejamkan mata sambil menekap
kepalanya dengan kedua tangan. Namun lagi-lagi bocah itu .merasakan
tubuhnya bagai ada yang menarik dari hajaran Kaki Gledek.
Dua kali hajaran tak kena
sasaran, kaki Gledek menghentikan tindakannya. Dia tegak berdiri. Kepalanya
langsung menoleh ke sana
kemari. "Tak mungkin bocah ini bisa
menghindar begitu saja. Pasti ada orang iseng yang menolongnya," gu-mam Kaki
Gledek. "Orang iseng yang mau cari mampus! Lekas keluar sebelum kupatah-patahkan
seluruh tulang dalam tubuhmu!" bentaknya.
Tak ada sahutan yang terdengar.
Tak ada sosok tubuh yang mencelat
keluar. Yang ada, justru Tirta yang tengah mengintip dari balik lengannya yang
tertekuk ke atas. Dilihatnya orang tinggi besar berbaju merah itu sedang
celingukan mengumbar bentakan keras ke sana-sini.
Tirta yang berotak cerdik buruburu mundur mempergunakan kesempatan.
Lalu tubuhnya berbalik dan berlari.
Dari ekor matanya, Kaki Gledek
bisa melihat kalau bocah itu berniat melarikan diri. Segera tangan kanannya
diangkat, siap melancarkan satu
pukulan jarak jauh.
"Hei..."!"
Namun lagi-lagi lelaki itu
melongo. Karena dalam sekali kerjapan mata, bocah itu sudah tak nampak di
hadapannya. Rasanya mustahil bila bocah itu memiliki ilmu meringankan tubuh.
"Keparat!" makinya sambil menurunkan tangannya kembali.
Mata belo Tirta seakan tak
percaya melihat apa yang terjadi di hadapannya. Semakin kuat keyakinannya kalau
ada orang yang menolong bocah itu. Dan akhirnya, diyakini kalau orang yang
menolong bocah itu memiliki ilmu sangat tinggi. Terbukti dia tak mampu menemukan
Tirta yang dibawa sosok yang masih belum jelas siapa.
"Sialan! Siapa orang itu
sebenarnya?" maki Kaki Gledek dengan
wajah membesi. Apa yang terjadi itu dirasakan
lelaki tinggi besar itu seolah menjadi tantangan baginya. Dia tak akan
membiarkan ada orang lain menghina seperti itu. Tetapi tiba-tiba dia menjadi
kecut ketika tiba pada satu pikiran.
"Apakah Martusia Mayat Muka
Kuning yang melakukannya karena sudah tahu aku mengelabuinya" Atau, Ratu
Tengkorak Hitam yang secara tidak langsung ingin menculik bocah itu" Ini bisa
jadi, karena dia juga melihat bocah itu seperti bercakap-cakap
dengan Rajawali Emas! Sialan! lebih baik kutinggalkan tempat ini dan
meneruskan mencari Rajawali Emas.
Sambil lalu, aku harus menemukan bocah sialan itu. Karena, dialah sekarang kunci dari semua
rahasia yang terpendam ini. Bila melihat si bocah yang seperti bercakap-cakap dengan Rajawali
Emas itu, aku yakin dia mampu memanggilnya. Berarti, memang dialah kunci dari
semua ini. Dan dia harus kumiliki dan kupaksa untuk memanggil turun rajawali
itu. Tetapi dasar
sialan! Siapa yang menggangguku tadi, hingga aku gagal menangkapnya?"
Sambil mcmaki tak karuan dengan
pikiran tak menentu, Kaki Gledek
mencelat ke arah Tirta pergi tadi.
* * * 5 Sudah empat hari Tirta tak kembali ke rumah, sejak mencari kambing-kambing yang hilang. Di rumahnya, keadaan
ibunya jauh dari sifat
keriangan sehari-harinya. Wanita yang tengah dirundung kerinduan pada
putranya itu jadi enggan makan. Perasaannya benar-benar tak enak. Yang diingat
hanya putranya semata.
Layung Seta menarik napas panjang sambil menatap wajah pucat istrinya.
"Mentari... makanlah...," bujuk lelaki ini, mendesah.
Mentari tersenyum tipis.
"Apa anak kita sudah kembali, Kakang?" tanya wanita itu bagai hafalan belaka.
Tak ada nada pertanyaan.
Layung Seta menggeleng. Hatinya
kian pedih. Apalagi mengingat bahwa dia telah menghajar anak buah Juragan Lanang
yang mendesaknya agar
menyerahkan sepuluh ekor kambing yang belum kembali.
Tiba-tiba salah seorang lelaki
masuk terburu-buru ke dalam ruangan.
"Ada apa, Mardi?" sambut Layung Seta, dengan sebuah pertanyaan.
"Layung.... Orang-orang Juragan Lanang si lintah darat itu datang
kembali," lapor lelaki bernama Mardi.
Layung Seta menarik napas pendek.
"Hm.... Urusan bisa jadi makin panjang. Siapa saja yang berada di depan?"
"Aku. Sumirat, Gondo, dan Wajak,"
jelas Wardi. "Katakan pada mereka, jangan ada yang ikut campur."
"Layung.... Kau sahabat kami sejak kecil. Dan lagi, Juragan Lanang telah memeras
kita. Mana bisa kami membiarkan kau...."
"Kuhargai bantuanmu, Mardi,"
potong Layung Seta. "Tetapi perlu kau tahu, Juragan Lanang memiliki banyak anak
buah berkepandaian tinggi. Lebih baik kalian tetap berdiam tanpa
berbuat apa-apa. O, ya Mardi.... Kalau terjadi sesuatu... tolong selamatkan
istriku." Mardi menganggukkan kepala saja.
Hatinya penasaran ingin
membantu Layung Seta yang merupakan sahabatnya sejak kecil. Namun kemudian dia keluar
lagi. Di luar, dia melihat tiga
temarinya tengah berdiri di depan pintu masuk tengah menghaiangi langkah lima
orang lelaki berwajah bengis.
Salah seorang dari mereka adalah
lelaki yang sebelumnya dipecundangi Layung Seta. Namanya, Barok.
Merasa paling punya urusan, Barok melangkah satu tindak.
"Minggir kalian semua, bila masih ingat anak dan istri!" bentaknya, garang.
Lelaki yang bernama Sumirat
menggeram. Tangannya segera meraba hulu golok.
"Barok! Ternyata kau hanya jadi anjing peliharaan Juragan Lanang.
Bukankah kau tahu, siapa manusia
keparat yang berkedok sebagai juragan itu"!"desis Sumirat.
Barok memicingkan kedua matanya.
Hatinya mengkelap oleh kata-kata
Sumirat. "Jangan ikut campur, Sumirat!"
"Setan! Apakah pikirmu setelah menjadi anjing suruhan Juragan Lanang kau merasa
lebih jago dariku" Jangan jual lagak di hadapanku, Barok!" sahut Sumirat, tak
gentar. Bahkan mundur sejengkal pun tidak.
"Keparat! Kau ingin merasakan pukulanku rupanya"!" bentak Barok, Lelaki suruhan
Juragan Lanang itu sudah siap menurunkan tangan telengas.
Namun Sumirat sudah langsung menarik kaki kanannya ke belakang. Kini
tubuhnya agak condong ke depan dengan kedua tangan siap menangkis serangan.
Tetapi belum lagi bentrokan itu
terjadi, Layung Seta telah berdiri di depan pintu rumahnya.
"Minggir, Sumirat! Ini urusanku dengan orang-orang tak punya otak
itu!" teriaknya, lantang.
Sumirat kembali pada sikap
semula. Dan dia langsung menoleh ke arah Layung Seta yang sudah melangkah ke
arahnya. Sebentar saja ayah dari Tirta itu sudah berdiri di sisinya sambil
menatap Barok. Tanpa sadar lelaki suruhan Juragan Lanang itu mundur dua tindak,
langsung bersembunyi di belakang lelaki berbaju hitam.
"Layung,... Lebih baik kau masuk ke dalam. Urusan ini sudah kepalang basah. Biar
kami menghadapinya. Terutama, anjing itu!" seru Sumirat seraya menunjuk ke arah
Barok. Layung Seta menghembuskan napas
perlahan. Tangan kanannya memberi isyarat pada Sumirat agar diam.
"Ini jadi urusanku. Lebih baik kalian minggir," tandas Layung Seta.
Sumirat hendak membantah, tetapi
Layung Seta sudah memotong kembali.
"Ingat! Sebagai sahabat, aku sangat menghargai pengorbanan kalian.
Tetapi aku tak ingin kalian menjadi sasaran manusia-manusia ini!"
Lalu dengan gagah Layung Seta
maju dua tindak. Dia berhenti pada jarak dua Jombak dari orang-orang yang
memandang bengis padanya.
"Barok...! Apakah kau tak puas juga setelah kuhajar tadi pagi"!"
Merasa bersama teman-temannya,
sikap Barok jadi lebih hebat dari
semula. Lelaki yang tak tahu malu itu maju dua tindak dengan kedua tangannya
melipat. Sementara, Layung Seta masih bersikap tenang. Tapi sahabat-sahabatnya
yang berada di belakang sudah tak sabar untuk menghajar rontok gigi Barok yang
terlihat pongah kini.
"Juragan Lanang menitip pesan padamu, Layung! Bila sampai besok sepuluh ekor
kambingnya yang dilarikan anakmu belum kembali, rumah ini akan disita! Dan kau
yang belum melunasi hutang padanya, harus bekerja disa-wahnya. Begitu pula
istrimu. Dia harus bekerja sebagai babu!" kata Barok.
"Omonganmu membuat darahku
mendidih, Barok! Anakku tidak membawa kabur kambing-kambing itu!" desis Layung
Seta. "Kalau begitu, di mana anakmu sekarang, ha"!" bentak Barok, sok galak.
"Sudah empat hari ini anakku tak tahu di mana rimbanya. Bersama
sahabat-sahabatku ini, aku sudah
mencarinya ke mana-mana. Namun dia tak kutemukan."
"Anakmu tentunya sudah menjual kambing-kambing itu. Dan sekarang, dia
bersembunyi karena takut kuhajar."
Mendengar tuduhan Barok. hati
Layung Seta jadi mengkelap. Napasnya jadi sesak dengan bahu turun naik.
"Jaga mulutmu, Barok. Sekali lagi
kau menuduh begitu, aku tak akan
bertindak segan lagi!"
"Urusan Juragan Lanang telah kusampaikan padamu, Layung. Sekarang kita teruskan
urusan tadi pagi. Nah!
Kuajak teman-temanku ini untuk
menghajarmu, Layung!"
Belum lagi Layung Seta berkata,
tiga orang teman Barok sudah
menerjang. Sementara, Barok tersenyum-senyum.senang. Di benaknya sudah
terbayang, kalau Layung Seta akan babak belur. Belum lagi ketika matanya melirik
lelaki tinggi besar berbaju hitam terbuka yang masih tenang-tenang saja. Akan
disaksikannya satu
pembalasan mengasyikkan.
Sementara Layung Seta menghadapi
tiga lawan ganas, sahabat-sahabatnya hanya saling berpandangan. Tangan mereka
sudah gatal hendak membungkam mulut Barok.
Menghadapi tiga serangan ganas
itu, Layung Seta nampak masih berada di atas angin. Bahkan dalam jurus
keempat.... Duk! Des...! Dua lawan kontan jatuh terduduk
sambil mendekap perut akibat tendangan keras Layung Seta. Kemudian....


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Des! "Aaakh...!"
Tendangan memutar yang dilakukan
Layung Seta sambil melompat, kontan menghantam penyerang terakhir yang masih
bertahan. Terdengar suara
keluhan tertahan saat tubuhnya ambruk, menyusul dua temannya yang tengah
kesakitan. Sambil menahan sakit ketiga
lelaki itu buru-buru beringsut ke belakang, mehjauhi Layung Seta yang sedang
mengatur napas perlahan dengan tatapan ke arah Barok dan lelaki
berbaju hitam terbuka, memperlihatkan bulu-bulu di dada.
Bersamaan dengan itu....
"Hebat kau, Layung Seta!
Sayangnya, kau telah mempermalukan sahabatku ini! Perkenalkan! Orang-orang
menjulukiku Cakar Harimau,"
dengus lelaki berbaju hitam. Suaranya berat,'bagai gerengan harimau."
Layung Seta hanya tersenyum
tipis. "Kita tak saling kenal. Tapi kau telah membuat urusan. Bila kau
pergunakan otak, maka kau akan tahu.
Sahabat macam Barok itu tak patut kau bela," sahut Layung Seta, tenang.
"Peduli setan ucapanmu, Layung Seta! Kau telah mempermalukan
sahabatku. Dan itu berarti, kau telah membuatku malu pula! Ingin kurasakan
kehebatanmu itu, Layung!"
Begitu habis kata-katanya, lelaki yang mengaku berjuiuk Cakar Harimau
menerjang cepat. Kedua tangannya yang membentuk cakar mengibas-ngibas, siap
mencabik-cabik tubuh lawan.
Layung Seta sejak semula yakin
kalau lawan bukanlah orang sambarangan. Maka dia coba menjajaki dengan mengandalkan kecepatan menghindar. Di
samping itu, dia juga mencoba menguras tenaga lawan sambil sesekali mengirim
serangan mendadak.
Namun agaknya, Cakar Harimau
memang jelas harus diperhitungkan.
Pada jurus kesembilan Layung Seta sudah terkesiap ketika bajunya
tercabik-cabik oleh cakaran Cakar Harimau. Bahkan paha kanannya telah berdarah,
tergores oleh kuku-kuku tajam lawan.
Layung Seta mundur lima langkah
ke belakang. Matanya tak berkedip menatap lawan yang sedang menerjang.
"Kau akan mendapat tanda
peringatan dariku, Layung!" .
Namun sebejum dua cakar lawan
mencabik, empat bayangan telah
berkelebat ke arah Cakar Harimau yang sama sekali tak menduga.
Plak! Plak! Des! Des! Dua bayangan memapaki serangan,
dan dua lagi menghantam tubuh Cakar Harimau. Akibatnya lelaki tinggi besar penuh
bulu itu terjajar mundur dengan kegeraman meradang.
Di tempat lain, empat sahabat
Layung Seta yang tadi berkelebat sudah berdiri gagah. Mereka langsung
melingkari Layung Seta yang tengah menahan sakit. Seolah, mereka hendak
melindungi lelaki itu.
"Ah.... Apa jadinya bila urusan ini menjalar pada sahabat-sahabatku itu?" kata
batin Layung Seta resah.
Tetapi dia juga bersyukur. Karena bila keempat sahabatnya tidak menghalangi
serangan lawan, tak urung tubuhnya akan penuh luka-luka.
"Bukan kau yang kuinginkan!
Tetapi, Barok yang membuat onar!" kata Sumirat, dingin.
"Setan alas!" maki Barok keras, tetapi tak berani unjuk gigi.
Lelaki ini tahu, kalau keempat
orang itu bukanlah lawannya. Jalan satu-satunya yang paling baik adalah memanasmanasi Cakar Harimau, yang tengah melotot dengan pipi menggembung.
"Hajar dia, Cakar Harimau. Masa kau keder hanya karena hantaman macam itu" Ayo,
bunuh dia! Bukankah kau ingin mengabdi pada Juragan Lanang"
Akan kubantu omong agar kau diterima olehnya!"
Kata-kata Barok mengena tepat
pada sasaran. Seketika kedua tangan Cakar Harimau mengepal keras, hingga
menampakkan otot-otot kekarnya. Begitu kedua tangan yang membentuk kepalan
itu membuka, seketika terbentuk cakar-cakar kokoh.
"Jangan salahkan aku bila nyawa kalian putus!"
Habis membentak begitu tubuh
Cakar Harimau menerjang dahsyat. Kedua tangannya yang membentuk cakar siap
mencabik-cabik sasaran.
Wuuttt! Wuuuttt!
Bila Sumirat menghadapi sendiri
sudah tentu akan mati konyol. Tetapi dibantu ketiga temannya, gebrakan Cakar
Harimau justru hanya bagai permainan anak kecil belaka. Diserang dari empat
penjuru, membuat lelaki penuh bulu itu kewalahan juga.
Dess! Setelah lima belas gebrakan
bcrlalu, Mardi berhasil menyarangkan tendangan ke punggung Cakar Harimau.
Menyusul, dua jotosan sekaligus dari Gondo dan Wajak bersarang di dada lawan.
Terakhir, tendangan keras
Sumirat menghantam telak kepala,
membuat Cakar Harimau terhuyung
pusing. Bila saja keempatnya menginginkan kematian Cakar Harimau saat ini juga, hanya
dalam satu gebrak saja lelaki penuh bulu itu pasti akan bergelimang tanah.
Tetapi mereka adalah orang-orang yang tak menginginkan
pertumpahan darah lebih panjang.
"Barok...! Bawa manusia-manusia
itu pergi dari sini sebelum kemarahan kami naik!" ujar Sumirat keras dengan
pancaran mata dingin, penuh bahaya.
Barok tak ubahnya telah menjelma
menjadi anak ayam kehilangan induk.
Wajah garangnya lenyap seketika.
Terburu-buru dibangunkannya Cakar Harimau yang juga berusaha bangkit dengan
tubuh sakit akibat pukulan empat lawannya. Kendati demikian, tatapannya
justru makin nyalang
menyiratkan dendam berkepanjangan.
"Ingat...! Aku tak akan melupakan semua ini...," ancamnya.
"Jangan katakan telengas, bila akhirnya kami akan turun tangan lebih keras!"
sahut Sumirat. Terburu-buru, kelima orang yang
menderita ke-kalahan itu meninggalkan tempat ini. Dendam bukan hanya ada di hati
Cakar Harimau, namun juga di hati Barok. Bahkan kekalahannya sekarang ini lebih
menyakitkan. Padahal, dia sudah membawa kawan yang berkepandaian lebih tinggi.
Namun, ternyata dia mampu membalas kekalahan pagi tadi.
Sementara itu, Sumirat tengah
membantu Layung Seta berdiri. Hati ayahnya Tirta itu makin tak tenang sekarang.
Pandangannya beredar pada empat sahabatnya yang berdiri di
hadapannya. "Kalian hanya membuat susah diri sendiri," desahnya.
"Jangan berkata begitu," ujar Sumirat "Sejak kecil kita berlima bersahabat.
Maka, sampai hari ini pun kita tetap bersahabat. Susah senang selalu ditanggung
bersama, meskipun kini kita lebih banyak mengurus
keluarga masing-masing. Layung... ada satu pertanyaan yang mengganjal
hatiku...."
Layung Seta yang sudah agak pulih dari sakitnya mendesah pendek. Lalu ditatapnya
Sumirat. "Katakan...."
"Mengapa kau berhutang pada
Juragan Lanang?"
Kali ini Layung Seta terdiam
sesaat. Kembali pandangannya menghujam pada keempat sahabatnya yang masih
menunggu jawabannya.
"Aku waktu itu sakit, dan tak punya uang berobat," jelas Layung Seta.
"Mengapa kau tidak datang pada kami?" tanya Sumirat.
"Aku tak ingin merepotkan
kalian." "Jangan berkata begitu, Layung!"
sela Gondo. "Kau tetap tak berubah sejak kita sama-sama belum menikah yang
selalu menganggap kalau bantuan kami hanya akan merepotkan. Padahal sebagai
sahabat, kami selalu siap membantu bila diperlukan. Meskipun tak jauh beda
dengan keadaanmu, tetapi
akan kami usahakan untuk membantumu."
Layung Seta tersenyum.
"Sudahlah.... Itu jadi urusanku."
"Berapa uang yang kau pinjam dari Juragan Lanang?" tanya Wajak.
"Tidak banyak."
"Layung... katakan! Sebisanya kami akan membantumu agar kau lepas dari
rongrongan orang-orang Juragan Lanang"
Lagi Layung Seta memandang satu
persatu sahabatnya.
"Bisakah kita bicarakan urusan ini nanti?"
Keempat sahabat Layung Seta
saling tatap dan menganggukkan kepala.
Mereka sangat hafal akan sifat Layung Seta yang selalu tak mau merepotkan orang
lain. "Terima kasih atas bantuan kalian tadi. Dan... kita semua harus berhati-hati.
Karena aku yakin, orang-orang celaka itu pasti akan datang kembali."
"Bagaimana dengan Tirta?"
"Besok pagi, aku akan mencarinya lagi. Mungkin aku harus menembus hutan
perbatasan Lembah Permata sampai ke daratan di sebelah timur sana. Bahkan kalau
perlu, aku tak akan kembali sebelum menemukannya. Sekarang, kemba-lilah kalian
ke rumah masing-masing.
Kuucapkan terima kasih atas bantuan kalian."
Tanpa menunggu jawaban keempat
sahabatnya, dengan agak terpincang
Layung Seta masuk kembali kerumahnya.
Rasa tak tenang makin membiasi seluruh perasaannya. Pikirannya makin kacau tak
menentu. Pikiran tentang. perginya Tirta
yang sampai saat ini belum ada kabar, sudah benar-benar mengganggu pikiran
Layung Seta lagi tentang istrinya yang semakin lama bertambah parah sakitnya.
Dan sekarang, urusan dengan
Juragan Lanang bukan lagi urusan
biasa. Juga,.pada Barok yang telah membawa dendam pribadi. Kepergian Barok
membawa kekalahan bersama lelaki berbulu lebat yang berjuluk Cakar Harimau, juga
bukan masalah enteng.
"Masalah ini makin berkembang.
Dan tak sengaja, aku telah melibatkan empat sahabatku," gumam batin Layung Seta.
* * * 6 Manusia Mayat Muka Kuning menghentakkan kakinya sekali lagi ke tanah yang dipijaknya dengan kegeraman
membludak. Seketika tanah itu melesak sedalam batas dengkul. Lalu kakinya
ditarik kembali dengan wajah mengkelap marah, makin memancarkan sinar kuning
yang makin kuat. Butiran tanah dan
debu yang menempel pada kakinya, luruh begitu saja seperti menempel pada sebuah
benda licin. "Setan keparat kau, Kaki Gledek!
Aku yakin manusia keparat itu telah mengelabuiku tentang Batu Bintang yang telah
didapatkan Ratu Tengkorak Hitam.
Tetapi, manusia itu tidak ada di
Lembah Permata. Bahkan sudah kucari di luar lembah keparat itu pun tidak ada
Kutu busuk! Nyawa Kaki Gledek harus benar-benar tanggal saat ini!!"
Pandangan Manusia Mayat Muka
Kuning beredar ke seluruh penjuru tempat. Tapi yang nampak hanyalah julangan
Gunung Slamet di kejauhan dan hutan-hutan hijau yang menyimpan
beribu-ribu teka-teki.
"Di mana aku harus menemukan Ratu Tengkorak Hitam yang menurut Si Kaki Gledek
telah mendapatkan Batu Bintang"
Bila ucapan orang busuk berbaju merah itu hanya bualan, aku bersumpah akan
kucabik-cabik tubuhnya menjadi sayalan daging!" geram Manusia Mayat Muka Kuning.
"Hmm.... Apakah saat ini Bidadari Hati Kejam sudah muncul" Aku sengaja
memancingnya keluar dari kediamannya agar urusan yang kurencanakan dengan mudah
bisa kuselesaikan. Sasaranku tetap Batu Bintang dan melihat
Bidadari Hati Kejam terkapar. Puluhan tahun lalu, wanita keparat itu pernah
mempermalukan aku di depan para tokoh rimba persilatan saat pertandingan akbar
di Lembah Maut. Dan dendam itu kini makin membara di hatiku.
Kurencanakan satu permainan menarik untuknya. Dan dia akan terkapar mampus di
tangan para tokoh lainnya. Mengenai sahabatnya Raja Lihai Langit Bumi, aku juga
telah merencanakan satu permainan untuknya. Akan kubuat kalang kabut seluruh
rimba persilatan. Hhh! Batu Bintang! Batu kesaktian itu harus kumiliki. Di mana
Ratu Tengkorak Hitam kalau memang benar telah mendapatkan Batu Bintang?"
Selagi lelaki tua berwajah kuning itu mengumbar kemarahannya sendiri, tiba-tiba
terdengar kesiur angin
pelan. Perubahan angin itu membuat Manusia Mayat Muka Kuning menyiapkan tenaga
dalamnya di kedua tangan. Hanya manusia semacam dirinyalah yang tahu kalau angin
yang mendadak berubah pelan itu justru merupakan sebuah serangan tak nampak.
Karena begitu angin tadi terasa menghembus wajahnya, cepat tangannya disilangkan
sambil menghembuskan napas.
Blap! Bersamaan dengan itu, meluncurlah asap tebal semacam kabut berwarna kuning,
langsung menghantam angin pelan yang datang tadi. Bukan main apa yang terjadi
kemudian. Karena begitu
kabut kuning menghantam angin pelan itu....
Blaarrr! Seketika terdengar suara bagai
ledakan disertai percikan api ke
segala arah. Manusia Mayat Muka Kuning
menyurutkan satu langkah dengan paras wajah berubah. Wajahnya makin
bertambah kuning tanda kemarahan telah mengusik perasaannya.
"Gila! Baru kali ini kulihat ada sebuah serangan aneh yang cukup
mengerikan. Siapa orang di balik angin pelan yang berhembus tadi?"
Habis membatin begitu, Manusia
Mayat Muka Kuning sedikit mengangkat kepalanya. Kedua telapak tangannya
diletakkan di sisi kanan dan kiri mulutnya.
"Orang yang ingin mampus! Cepat tampakkan muka sebelum seluruh tempat ini
kuobrak-abrik!" teriaknya, setinggi langit.
Manusia Mayat Muka Kuning
menunggu dengan hati tegang bercampur kemarahan berlipat ganda. Akan tetapi, tak
ada yang muncul.
"Cepat tampakkan wajah hinamu, sebelum kuputuskan untuk mencabik-cabik tubuhmu!"
teriaknya lagi.
Lagi tak ada suara yang
terdengar. Tak ada orang yang datang dan bisa tertangkap oleh matanya.
"Setan keparat! Sudah tentu dia bukan manusia sembarangan. Apakah Bidadari Hati
Kejam yang sudah muncul di hadapanku" Bukankah senjata pengebut di tangannya
yang pernah mempermalukan aku" Kesaktian pengebut itu sangat tinggi, sehingga mampu
menerbangkan lima belas pohon sekali kebut. Apakah nenek hina itu yang tengah
pamer kekuatan barusan" Hmm....
Aku mulai bisa menduga kalau nenek itu yang memang melakukan serangan. Setan
keparat! Akan kucari dia!"
Setelah membuat keputusan, lelaki berwajah kuning itu berkelebat ke seantero


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya dalam lima
tarikan napas, tempat yang luas itu telah dijelajahi. Namun, tak ada seorang pun
yang dilihatnya.
Kembali Manusia Mayat Muka Kuning berdiri tegak dengan tatapan menyipit penuh
kemarahan. "Apakah dia takut karena anca-manku tadi, dan sekarang sudah lenyap dari
hadapanku?" kata batinnya dingin.
"Bisa jadi dia hanya mencoba mengusikku saja. Dan ternyata, serangannya tak
mampu menerobos perta-hananku! Kalau begitu, aku harus cepat menjalankan
rencana, di samping
mencari Ratu Tengkorak Hitam untuk mendapatkan penjelasan tentang kebe-radaan
Batu Bintang."
Lelaki berwajah kuning itu tak
mau buang waktu lebih lama. Cepat tubuhnya berkelebat meninggalkan
tempat itu. Beberapa saat setelah kepergian
Manusia Mayat Muka Kuning, entah dari mana datangnya muncul satu sosok
bertubuh tinggi kurus terbungkiis pakaian putih dengan selempang kain putih dari
bahu kanan ke pinggang kiri. Seluruh bulu yang ada di
kepalanya sudah memutih.
"Manusia Mayat Muka Kuning, orang yang berada di belakang serangkaian
pernbunuhan. Hmm... Geger Batu Bintang agaknya telah memancing kemunculan para
tokoh persilatan. Kini aku tahu, siapa saja yang sudah muncul. Manusia Mayat
Muka Kuning, Ratu Tengkorak Hitam, Kaki Gledek, dan Bidadari Hati Kejam. Sebuah
kemunculan mcnyolok dari orang-orang
tak bersahabat. Bila
mereka bergabung, bisa kutaksir
Bidadari Hati Kejam tak akan berkutik menghadapi. Tetapi dasar nenek anginanginan yang kadang-kadang ganjen, memang sukar sebenarnya untuk menjajaki
seberapa tinggi kesaktiannya.
Baiknya, kucoba untuk menyelidiki persoalan Batu Bintang. Barangkali Batu
Bintang bisa diselamatkan dari tangan-tangan nakal."
Lelaki tua ini menganggukanggukkan kepalanya. Seolah dia tengah
memecahkan satu persoalan yang teramat sulit.
"Hmm.... Di luar masalah Batu Bintang, sebenarnya masih ada sesuatu yang kucari
selama ini. Rumput Selaksa Surya. Puluhan tahun aku mencari rumput itu Sampai ke
tanah seberang.
Namun, belum juga kudapatkan. Hanya ada sebuah Rumput Selaksa Surya di dunia
ini. Warnanya kuning, seperti rumput kering. Dan, ada putik bunga di ujungnya.
Tak akan pupus sebutir pun bongkahan putih bunga kecil di
ujungnya, meskipun badai besar
melanda. Bahkan meski terinjak ribuan gajah, rumput itu akan tetap tegar.
Tak seorang pun yang tahu tentang rumput itu selain aku. Karena, Sepuh Mahisa
Agni mengatakan tentang rumput itu ketika usiaku baru berusia empat puluh tahun.
Kini, tiga puluh dua tahun berlalu sudah, namun belum juga kutemukan Rumput
Selaksa Surya."
Benak lelaki ini terus
menerawang, membayang-kan kisah tiga puluh dua tahun yang lalu. Seolah, bayangan
itu tak akan hilang dari ingatannya.
"Hmm.... Barang siapa yang
menghisap sari manis dari rumput itu, dia akan memiliki tenaga dalam tinggi.
Dan ilmu meringankan tubuhnya pasti tak akan ada duanya. Dan sayangnya, bila
tidak tahu bagaimana caranya
mengendalikan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang didapati, maka dia
akan tewas akibat tekanan tenaga dalamnya sendiri. Bahkan, bisa
memecahkan seluruh jalan darahnya.
Hmm.... Sambil menyelamatkan Batu Bintang, akan kucari pula Rumput
Selaksa Racun."
Lelaki tua berambut dan berkumis
putih lebat itu mengusap jenggotnya yang putih pula. Setelah terdiam
beberapa saat, seperti munculnya yang seperti setan, tubuhnya pun lenyap begitu
saja. Senja telah tiba ketika Tirta
turun dari pohon manggis hutan. Di tangannya, kini terdapat sepuluh buah manggis
yang masak, Sambil bersandar duduk di bawah pohon manggis hutan yang dinaikinya
tadi, perutnya yang terasa lapar diisi dengan buah-buahan itu."
Bocah yang sedang kebingungan
akibat hilangnya kambing-kambing yang digembalanya itu memang tak berani pulang.
Itu wajar saja, karena dia khawatir pada ayahnya yang kemungkinan akan menjadi
buruh tanpa upah di sawah Juragan Lanang. Di sisi lain, bocah ini merasa
bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing itu.
Setelah kenyang perutnya, si
bocah mengusap-usap rambut panjangnya yang dipermainkan angin dingin.
"Huh! Ke mana lagi harus kucari kambing-kambing itu" Benar-benar
brengsek! Ini pasti karena nenek jelek bernama Ratu Tengkorak Hitam dan
lelaki jelek si Kaki Gledek. Huh!
Kupukul nanti kepala kedua orang itu kalau bertemu!"
Pandangan si bocah menyapu ke
sekitar tempat yang benar-benar asing baginya. Namun, tak ada rasa takut sedikit
pun yang muncul. Kecuali, tentunya takut bila teringat cerita temah-teman
sebayanya yang sering mengatakan ada kuntilanak yang suka melarikan anak kecil.
"Uh! Aku ada di tempat terbuka.
Luas lagi. Banyak pohon. Bisa ngumpet nanti bila ada kuntilanak yang
datang!" "Koaaakkk!"
Tiba-tiba terdengar suara
mengguntur. Begitu keras, hingga si bocah langsung berdiri. Kalau saja Tirta tak
mengenali teriakan yang mengguntur itu, tentunya sudah lari terbirit-birit.
Tetapi wajahnya hanya nampak pias sesaat. Selebihnya,
kepalanya mendongak menatap ke
angkasa. Dalam remang cuaca yang
meredup, dilihatnya lagi rajawali raksasa keemasan
yang terbang berputaran di atas kepalanya.
"Lagi-lagi burung itu! Hoooii, Burung Besar! Mau apa sih kau
mengikutiku terus" Apa kau ingin
membuat telingaku jadi hudek karena mendengar kerasnya suaramu, ya"!"
sentaknya. Rajawali keemasan itu terus
terbang dengan suara keras disertai koakan kerasnya. Dia berputaran
bagaikan merencanakan sesuatu di atas kepala Tirta yang masih mendongak.
"Bisa budek kalau begini terus menerus!" maki si bocah, sebal. "Hayo, sana
pergi! Aku kan mau istirahat!
Ayo, sana! Jangan ganggu aku!"
"Koaaakkk!"
"Ampuuunnn!" seru Tirta jengkel.
"Kau ini...."
Seruan Tirta terputus ketika
tiba-tiba bola matanya yang kecil cerah menangkap benda jatuh dari ekor tubuh
rajawali raksasa. Meluncurnya benda nampak bagai cahaya keemasan yang jatuh
tegak lurus ke bumi.
Plukkk! Seharusnya, benda yang jatuh dari tempat yang tinggi akan melesak masuk ke
tanah, Tetapi, benda itu justru bergulingan tepat di kaki Tirta.
Kalau tadi Tirta terus menatap ke atas, kali ini mata bulatnya dialihkan pada
benda yang baru jatuh di
dekatnya. Sebuah benda sebesar kepala yang memancarkan warna keemasan.
Begitu indahnya, hingga membuat si bocah terpana beberapa saat. Tirta tak
tahu harus melakukan apa, kecuali menatap bulat-bulat pada batu keemasan itu.
Sementara itu, burung rajawali
keemasan di angkasa masih berputar tepat di atas dengan kepakan sayap yang
menimbulkan angin keras dan suara dahsyat.
Dari keterpanaan menatap benda
mirip batu itu, Tirta menengadah.
"Hoooiii! Burung Emas! Apakah batu emas itu milikmu" Ayo, turun! Aku akan
mengembalikannya padamu!" teriak si bocah.
Tetapi Rajawali Emas itu tetap
terbang di angkasa. Buru-buru Tirta mengambil batu keemasan itu. Yang
mengherankannya, batu keemasan sebesar kepala itu sangat ringan! Sebelum bocah
ini berteriak kembali, matanya menangkap tiga buah bayangan dalam batu keemasan
itu. Dua bayangan kepala rajawali berwarna emas, dan sebuah bintang dengan warna
sama. Kening bocah itu berkernyit.
"Batu apakah ini" Apakah batu ini memang milik burung itu dan meluncur ke bawah"
Atau:.. batu dari langit?"
gumam si bocah tak mengerti, lalu kembali menengadah. "Hoooiii, Burung!
Ayo turun! Kalau memang batu ini
milikmu, aku akan mengembalikannya!"
Burung rajawali itu terus
berputaran saja di atas angkasa sambil
berkaok-kaok. Seolah tak dipedulikannya seruan Tirta.
Berulangkali Tirta meneriakkan
agar burung itu turun agar mengambil batu keemasan yang kini dipegangnya.
Tetapi, burung itu terus saja
berputaran di angkasa.
Tirta jadi mendumal dengan tenggorokan terasa sakit karena terlalu banyak berteriak. Dilemparnya batu itu ke
tanah dekat kakinya. Lalu tanpa peduli lagi, kakinya melangkah ke pohon manggis
hutan. Cepat tubuhnya dihenyakkan, duduk bersandar.
"Kalau tidak mau turun juga, ya sudah. Toh, aku juga tidak rugi,"
ocehnya. Tetapi ketika rajawali itu justru terbang menjauh darinya, Tirta buru-buru
berdiri. "Hoooiii! Kau mau ke mana"!
Bagaimana dengan batu ini"!" serunya kembali.
"Mengapa harus repot-repot,
Bocah" Aku bersedia menerima batu itu."
* * * 7 Suara tawa mengikik terdengar di
belakang Tirta. Cepat bocah berwajah tampan yang berani itu menoleh. Kini,
tampak seorang perempuan tua berbaju hitam yang selalu mengunyah susur berada di
belakangnya. Si nenek
menatap penuh hasrat pada batu di sisi Tirta.
"Batu Bintang. Sungguh beruntung nasibku ini. Jauh sudah melangkah, yang dicari
berada di depan mata,"
gumam si nenek yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam. Lalu dengan seringaian lebar
kakinya melangkah, hendak mengambil batu keemasan yang
disebutnya Batu Bintang.
Tetapi Tirta buru-buru mengambilnya. Didekapnya batu itu begitu erat, seolah takut akan diambil si nenek yang
masih dikenalinya.
"Hei"!"
tersirat darah Ratu
Tengkorak Hitam melihat tindakan si bocah. "Bocah keparat! Berikan batu itu
kepadaku!"
"Tidak! Batu ini milik burung rajawali raksasa tadi! Aku tidak boleh
mengambilnya, Nek! Dan mana berani aku memberikannya padamu, karena batu ini
bukan milikmu?" tolak Tirta, tegas.
Perempuan tua berbaju hitam itu
menggeram. "Kurang ajar! Kalau sebelumnya gagal menempelengmu, kali ini akan kuhajar kau
habis-habisan!"
"Jangan pemarah begitu, Nek. Batu ini bukan milikku. Juga, bukan
milikmu. Berarti, kita harus
mengembalikannya, bukan" Dan pemiliknya adalah burung rajawali raksasa tadi."
"Setan keparat! Cepat berikan Batu Bintang kepadaku!" bentak Ratu Tengkorak
Hitam dengan mata melotot.
Seolah tak tahu kalau orang
sedang berada dalam kemarahan tinggi, Tirta mertdesis, "Namanya Batu Bintang,
ya" Ya sudah kalau begitu.
Aku akan mengejar burung rajawali itu dulu, Nek. Batu yang kau sebut Batu
Bintang ini harus kukembalikan."
Sebelum Tirta berbalik, tangan
kanan Ratu Tengkorak Hitam sudah
bergerak. Tap! Cengkeraman tangan kanan si nenek telah mencengkeram lengan Tirta dengan ketat.
"Hei!" seru bocah itu tertahan.
Dan tanpa banyak kata lagi tangannya bergerak. Dan....
Plas! Cengkeraman Ratu Tengkorak Hitam
yang sangat keras lolos begitu saja.
Bagi Tirta, halitu bukanlah sebuah keanehan. Bahkan tak menimbulkan
keheranan sedikit pun. Sementara, si nenek tertegun dengan mulut terbuka.
Tak percaya dia mendapati apa yang dialaminya barusan.
Dan rupanya, bukan hanya si nenek yang keheranan melihat apa yang
terjadi barusan. Satu sosok tubuh yang mengintip dari sebuah batu besar yang ada
di tempat itu jadi melotot lebih lebar.
"Gila! Rupanya bukan aku saja yang gagal menangkap bocah itu. Ratu Tengkorak
Hitam pun tak mampu
sepertinya. Siapa si bocah sebenarnya yang dalam usia sekecil itu memiliki
tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh hebat" Hmmm.... Seharusnya aku bisa
lebih dulu merebut Batu Bintang yang ada pada bocah itu. Tetapi,
urusanku bisa berantakan bila harus bertarung dengan Ratu Tengkorak Hitam.
Biar kulihat dulu, apa yang terjadi."
Di tempatnya, Ratu Tengkorak
Hitam baru sadar dari ketersimaannya ketika Tirta sudah menjauh. Bukan dalam
arti hanya lima atau sepuluh tombak, melainkan hampir mencapai lima puluh
tombak! "Gila!" desis si nenek dengan wajah masih berkerut tak mengerti.
"Mengapa begitu mudah dia lepas dari cengkeraman tanganku ini" Dan
sekarang... bocah itu sudah menjauh.
Gila! Kenapa jadi begini?"
Lalu dengan sekali kempos, tubuh
si nenek melesat cepat dengan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. pan tahutahu, dia telah berdiri di
hadapan Tirta. Kontan si bocah
menghentikan langkahnya. Bocah pemberani itu mendumal melihat si nenek menghalangi jalannya.
"Nek! Cepat minggir! Kalau malam sudah datang, aku sulit mencari burung rajawali
itu dan mengembalikan Batu Bintang ini" Ayo sana! Kau suka sekali mengganggu
orang, ya" Huh! Kau membuat urusanku menemukan kambing-kambing yang hilang itu
jadi makin panjang saja. Eh! Kau kan, sebelumnya berada bersamaku di Lembah
Permata" Apakah kau melihat kambing-kambingku, Nek"
Ayolah... jangan-jangan kambingkambing itu kau sembelih dan kau
panggang. Soalnya bukan punyaku. Kalau kau...."
"Bocah keparat!" potong si nenek.
"Berikan Batu Bintang itu!"
Selain memiliki sitat pemberani,
Tirta juga memiliki sifat keras
kepala. Dan rasa takutnya yang sempat muncul, mendadak lenyap melihat sikap si
nenek yang akan memaksakan
kehendaknya. "Tidak! Kau sudah kubilang, batu ini bukan punyaku. Dan juga, bukan punyamu! Kau
ini senang mengambil benda milik orang lain ya, Nek?"


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kontan mengkelap hati si nenek.
Kali ini tangannya mendadak bergerak dengan kekuatan dahsyat. Tetapi lagi-lagi
cengkeramannya berhasil dihindari Tirta dengan sebuah liukan amat cepat.
Merasa penasaran, si nenek mencoba
menangkap lagi. Tetapi, kembali dia hanya menangkap angin.
Mereka dipermainkan, si nenek
mengubah siasat. Kali ini dia bukan hanya bermaksud menangkap, tetapi juga
menghajar si bocah habis-habisan.
Begitu tangan kanannya mencoba kembali menangkap, langsung disusulinya dengan
satu tendangan kemuka.
Des! Karena Ratu Tengkorak Hitam
mempergunakan ilmunya, maka tak ayal lagi tendangannya menghajar telak dada
Tirta. Dan meskipun tendangannya
mempergunakan sepersepuluh dari tenaga dalam yang seharusnya sudah bisa
mematahkan sebuah pohon cukup besar, ternyata bocah sekecil Tirta hanya terjajar
beberapa langkah.
Sungguh merfgherankan. Dan mata
si nenek pun terbuka lebih lebar.
Mestinya, bocah itu akan tewas dengan dada remuk. Tapi sekarang"
"Enak saja main tendang begitu!
Apa mau kau kutendang?"
Ratu Tengkorak Hitam masih tak
percaya dengan apa yang dilihatnya hingga masih berada dalam keterpanaan.
Begitu pula sosok di balik batu yang tak lain si Kaki Gledek.
Lelaki ini memang telah berhasil
memulihkan luka-luka akibat serangan tak terduga dari Manusia Mayat Muka Kuning.
Dia sendiri sedikit bersyukur
karena yang terkena hanyalah kedua tangannya yang tak terlalu berarti baginya.
Dia lebih sayang kedua
kakinya, yang merupakan senjata
terdahsyatnya. "Benar-benar luar biasa!" desis Kaki Gledek terkagum-kagum melihat kejadian di
depan matanya. "Tetapi, aku harus tetap mendapatkan Batu
Bintang.",
Sedangkan si nenek yang tengah
keheranan sekaligus kemarahan, masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
Sesaat kemudian, dia telah lepas
kendali. Tanpa banyak cakap lagi, si nenek menendang Tirta tak ubahnya seperti menghadapi
musuh. "Aku pantang membunuh bocah.
Tetapi, urusan sudah terjadi. Batu Bintang harus kudapatkan sebelum
diketahui banyak orang!" dengus batin si nenek sambil terus mencecar.
Tetapi, lagi-lagi Tirta yang jadi bulan-bulanan segera kembali bangkit tanpa
kurang suatu apa. Hanya di
tempat yang terkena hajarannya
menimbulkan warna merah.
Dalam keheranan tak berkesudahan, Ratu Tengkorak Hitam terus mencecar.
Kali ini seperlima tenaga dalamnya sudah dipergunakan. Dan anehnya ketika bocah
itu melangkah mundur, dalam pandangannya berganti dengan lompatan
sejauh tiga tombak ke belakang.
Akibatnya sergapan si nenek luput. Namun dia segera
meneruskan dengan
serangan berikutnya.
Tirta yang wajahnya pias sekarang hanya bisa memperhatikan saja. Tetapi bagai
ada sesuatu yang menariknya, tubuhnya dibuang ke kiri, lalu
melompat ke depan. Sebuah gerakan yang sangat luar biasa ringannya!
"Wiii!"
Bocah itu berteriak keras ketika
tubuhnya seperti terbang belaka,
menjauh dari Ratu Tengkorak Hitam.
Lalu buru-buru dia berlari.
Tirta merasa larinya biasa saja,
dengan hati ketakutan setengah mati.
Namun dalam penglihatannya Ratu
Tengkorak Hitam, larinya Tirta benar-benar menunjukkan ilmu meringankan tubuh
yang sangat tinggi.
"Gila! Anak siapa dia" Dalam waktu empat hari saja, dia hebat sejak aku pertama
kali bertemu dengannya,"
puji batin Ratu Tengkorak Hitam, "Hhh!
Sebelum Batu Bintang jatuh pada orang lain, secepatnya aku harus
mendapatkannya."
Tiba-tiba ekor mata si nenek
menangkap kelebatan tubuh dari balik sebuah batu besar. Sejenak dia
tersentak, tetapi segera tahu siapa bayangan merah yang berkelebat cepat
barusan. "Setan alas! Si Kaki Gledek!
Rupanya manusia itu masih mau cari penyakit. Dan rasanya, sejak tadi dia
memperhatikan aku dipermainkan bocah sialan itu. Hmm.... Bukan urusan itu yang
menjadi pikiranku! Karena, Kaki Gledek tahu juga tentang Batu Bintang yang telah
dijatuhkan rajawali
peliharaan Sepuh Mahisa Agni, dan berada di tangan bocah bernama Tirta.
Aku harus memburu bocah itu sebelum jatuh ke tangan Kaki Gledek."
Berpikir sampai di situ, si nenek siap mengemposkan tubuh. Namun
Naga Beracun 7 Pendekar Binal Karya Khu Lung Istana Tanpa Bayangan 3

Cari Blog Ini