Ceritasilat Novel Online

Geger Batu Bintang 1

Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang Bagian 1


GEGER BATU BINTANG Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Rajawali Emas
Dalam Episode 001 :
Geger Batu Bintang
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Angin barat bertiup kencang,
memapas Lembah Permata yang penuh rerumputan segar. Di pagi muda ini, terdengar
alunan suara seruling bambu yang mengisi kehampaan lembah. Suaranya mendayudayu, sepertinya ditiup oleh seorang yang sangat ahli. Tetapi dugaan itu keliru,
karena yang meniup justru adalah seorang bocah bertelanjang dada di sebuah gubuk
reyot. Jemari kecilnya lincah menari-nari di atas lobang-lobang seruling. Mulutnya
melancip, saat meniup.
Dari cara duduknya, nampak si
bocah yang kira-kira berusia dua belas tahun itu begitu santai. Tubuhnya merebah
dengan menumpangkan kaki kanan pada kaki kirinya yang tertekuk.
Tak jauh dari gubuk tempat si
bocah berambut gondrong itu berada, sepuluh ekor kambing sedang merumput.
Begitu asyiknya, apalagi diiringi alunan seruling.
Namun, tiba-tiba saja alunan seruling yang ditiup si bocah terhenti.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara mengembik dari mulut kambing-kambing yang
sedang digembalakan saling sahut dan tumpang tindih. Si bocah yang sejak delapan
bulan terakhir ini sudah menggembalakan kambing, tentu saja sudah sangat hafal.
Dia yakin kalau
suara itu bukanlah embikan biasa, melainkan penuh ketakutan. Dan berarti pasti
ada penyebabnya.
Seketika si bocah melompat dari
gubuk reyot yang tadi diduduki. Mata kecilnya yang bundar menatap tak
berkedip pada kambing-kambingnya yang kini berlari liar.
"Aneh! Ada apa ini" Mengapa
kambing-kambing konyol itu kabur
ketakutan. Sudah enak bersantai, jadi ada urusan!" maki si bocah panjang pendek.
Sebelum si bocah berwajah tampan
itu bergerak untuk menggiring kambing-kambingnya kembali, mendadak....
"Kraaakh...!"
Terdengar suara keras yang
membedah angkasa. Bahkan sampai
menggetarkan lembah tempat si bocah berada. Dan ini membuat kepalanya mendongak.
Matanya menangkap satu
bayangan raksasa di angkasa. Begitu cepatnya, sehingga yang tertangkap hanyalah
bayangan penuh warna
keemasan. Si bocah garuk-garuk kepalanya,
lalu membuang ketombe yang menempel di tangannya. Keningnya berkerut. Dan kejap
berikutnya mulutnya terlihat menyang-menyong.
"Masa di pagi yang cerah ini aku melihat setan" Hiii.... Setan apa yang melayang
seperti warna emas di
angkasa?" Si bocah bergidik. Untuk beberapa lama dia masih tegak dalam jarak lima langkah
dari gubuk tempatnya bersantai tadi. Ekor matanya melirik lagi ke atas,
berkeliling bagai mencari
bayangan keemasan tadi. Tetapi,
bayangan itu telah sirna secepat
datangnya. Bagai disadarkan kalau kambingkambingnya kocar-kacir, si bocah
mendengus. Lalu dia berlari untuk mengumpulkan kambing-kambing itu.
Memang, alam telah menempa dirinya menjadi kuat. Meskipun tersengat lelah tak
menentu, akhirnya kambing-kambing itu berhasil dikumpulkannya lagi.
"Awas! Kalau kalian lari lagi, aku potong!" rutuk si bocah, mengomel.
Tetapi sejurus kemudian kepalanya menoleh seolah khawatir ada yang
mendengar kata-katanya.
"Hiii.... Kalau Juragan Lanang mendengar, bisa leherku yang di-potong."
Kembali si bocah menatap angkasa
luas, seolah masih berusaha menemukan bayangan keemasan yang tadi sempat
tertangkap matanya. Namun setelah beberapa saat menunggu, bayangan
keemasan itu tak lagi nampak.
"Apakah ada setan gentayangan yang menimbulkan suara seperti
lengkingan seekor burung" Ah.... Kalau
memang tadi seekor burung, mana ada yang begitu besar?"
Lalu tanpa peduli lagi, dan
seolah melupakan bayangan keemasan yang dilihatnya tadi, si bocah kembali
menaiki gubuk tempatnya bersantai
tadi. Baru saja pantatnya dihenyakkan, mendadak saja ekor mata si bocah
melihat kelebatan hitam dari arah kiri. Begitu cepatnya, sehingga ketika
kepalanya menoleh satu sosok hitam sudah berdiri di hadapannya. Kepala sosok
yang ditutupi rambut hitam panjang sampai pinggul itu mendongak ke angkasa.
Kening si bocah berkerut, menatap sosok aneh di hadapannya yang ternyata seorang
perempuan berbaju panjang warna hitam.
"Busyet! Kok banyak sekali setan gentayangan pagi ini" Kalau tadi setan warna
emas yang ada di angkasa,
sekarang setan keriput baju hitam yang berdiri di depanku" Hiii.... Lebih baik
aku pulang saja mengembalikan kambing-kambing ini. Masa bodoh
kambing-kambing itu masih lapar! Masa bodph dimarahi Juragan Lanang, daripada
dicekik setan hitam ini!"
Sehabis berpikir demikian, si
bocah mengendap-endap menyelinap dari arah kanan perempuan tua berbaju hitam
panjang. Tetapi....
Tap! Mendadak, leher si bocah telah
dicengkeram nenek baju hitam yang baru datang tadi.
"Mau ke mana kau, Bocah Jelek?"
desis si nenek dingin,
penuh lengkingan. Si bocah mengkeret dengan leher
terasa sakit. Lehernya berusaha dige-rakkan, tetapi justru membuatnya makin
kesakitan dengan napas tercekik.
"Nek! Lepaskan tanganmu ini! Aku bisa mampus!" pinta si bocah dengan suara
tersendat sengau.
Si nenek melepaskan cengkeramannya, membuat tubuh si bocah
langsung ambruk. Tangan kecil si bocah segera mengusap-usap lehernya yang sakit
dengan tatapan penuh kemarahan pada si nenek.
Sesaat si bocah terdiam. Dia tak
jadi melontarkan umpatannya, begitu melihat wajah si nenek yang matanya bersinar
kelabu dan masuk ke dalam itu. Dari sini, si bocah bagai melihat ada ancaman
mengerikan. Wajah penuh keriput dengan bibir warna merah
karena susur yang masih dikunyah, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa
ngeri. Tetapi dasar bersifat pemberani,
kengerian si bocah hanya melingkar sesat saja. Dia lantas bangkit
perlahan-lahan, seraya bertolak pinggang di hadapan si nenek.
"Siapa kau ini, Nek" Enak-enaknya mencekik leherku" Memangnya aku
kambing!" maki si bocah, mengkelap.
Kalau bukan seorang bocah yang
membentak seperti itu, dalam satu kedipan mata, nyawa si pembentak akan
melayang. Tetapi si nenek tidak
berbuat apa-apa, meskipun suaranya penuh ancaman.
"Bocah kurang ajar! Apakah kau belum pernah mendengar namaku, hah"!"
bentak si nenek.
"Kalau kau sudah dengar, aku tidak tanya!" balas si bocah.
Kontan memerah kelam wajah si
nenek mendengar bentakan ketus si bocah barusan.
"Kurang ajar! Fruhhh...!"
Bentakan si nenek disertai
semburan merah dari mulutnya, langsung menerpa wajah si bocah yang buru-buru
menghapusnya. "Bau!"
"Bocah sialan! Namaku Mara Hitam Ritrik! Orang-orang menjulukiku Ratu Tengkorak
Hitam! Cepat berlutut, sebelum nyawamu melayang!"
Bukannya ciut nyalinya mendengar
ancaman nenek baju hitam, si bocah yang yakin kalau prang di hadapannya bukan
setan gentayangan makin melotot garang.
"Namaku Tirta! Orang-orang menjulukiku si Penggembala Kambing! Nah!
Apakah kau takut denganku"!" kata si bocah sambil mendongakkan kepala dan tetap
bertolak pinggang.
Makin mengelam paras si nenek
yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam.
Darahnya benar-benar mendidih.
"Bocah kurang ajar! Anak siapa kau ini, hah"!" bentak si Ratu Tengkorak Hitam.
"Aku datang dari langit! Aku utusan para Dewata! Nah! Kalau kau takut, ayo
minggat!"seru si bocah bernama Tirta makin keterlaluan.
Tangan kanan Mara Hitam Ritrik
alias Ratu Tengkorak Hitam terangkat, siap menempeleng Tirta. Sebenarnya, dia
hanya ingin menakut-nakuti saja.
Tetapi di luar dugaan, Tirta justru membuka kedua matanya lebih lebar.
"Kurang ajar! Nama besarku akan pupus bila orang-orang mendengar aku membunuh
seorang bocah seperti kau ini! Bocah! Sejak kapan kau berada di sini?" si nenek
mencak-mencak tak karuan.
"Mau apa tanya-tanya?" sahut Tirta, seenaknya.
"Jawaaabbb!" suara keras itu mcnggelegar, membuat Tirta mengkeret.
"Tadi pagi!" sahut Tirta acuh tak acuh. Diam-diam, dia ketakutan
setengah mati sebenarnya.
"Apakah kau melihat burung berbulu keemasan lewat di lembah ini?"
"Tidak! Yang ada nenek jelek hitam!"
"Kurang ajar!"
Kali ini Ratu Tengkorak Hitam tak mau hanya menakut-nakuti, tetapi siap untuk
menempelang. Bukan main keta-kutannya Tirta. Dia bersiap-siap untuk kabur.
Namun.... "Heran... rupanya Ratu Tengkorak Hitam hanya berani menghadapi anak kecil!
Apakah sudah tak punya nyali lagi menghadapi yang lebih?"
Sekonyong konyong lerdengar satu
suara yang langsung menghentikan
keinginan Ratu Tengkorak Hitam untuk menghajar Tirta.
Ratu Tengkorak Hitam cepat
menurunkan tangan seraya betbalik ke belakang. Matanya menyipit dengan mulut
masih mengunyah susur.
"Rupanya Kaki Gledek yang datang ke sini" Apakah Goa Setan sudah
terlalu busuk untuk kau diami?" kata si nenek.
Orang yang baru datang ternyata
bertubuh tinggi besar. Rambutnya
panjang tak beraturan. Wajahnya yang kasar dihiasi codet di pipi kanan.
Hidung dan bibirnya besar. Pakaiannya merah-merah dengan ikat pinggang warna
kuning. Dan lelaki bernama Kaki Gledek ini terbahak-bahak mendengar sambutan si
nenek. Tawanya yang keras menggetarkan, seolah hendak memamerkan tenaga dalamnya.
Si nenek raenggeram sambil mengalirkan tenaga dalam pada telinganya.
Sementara Tirta, si bocah pemberani yang bersiap kabur tadi, langsung jatuh
pingsan begitu serangan tenaga dalam itu menghantam gendang
telinganya. Kambing-kambing yang tadi dikumpulkannya kembali dengan susah payah
kini sudah berlarian entah ke mana.
"Ratu Tengkorak Hitam.... berita munculnya Rajawali Emas burung
kesayangan Sepuh Mahisa Agni atau yang berjuluk si Malaikat Dewa, telah
singgah pula ke Goa Setan. Batu
Bintang yang ada di ekor burung itulah yang tentu memaksamu keluar dari
Sungai Terkutuk itu bukan?" tanya si Kaki Gledek.
Wajah si nenek kelam. Jelas, dia
tak bisa memandang remeh pada lelaki tinggi besar itu. Nama besar Kaki Gledek
telah membedah rimba persilatan sejak lima belas tahun lalu. Kesaktian sepasang
kakinya tak bisa disangsikan lagi. Selama ini, Ratu Tengkorak Hitam memang belum
pernah bertarung. Dan agaknya, pertarungan mereka akan
segera berlangsung.
Diam-diam Ratu Tengkorak Hitam
bukan hanya mengalirkan tenaga dalam pada dua telinga lebarnya, tetapi pada
seluruh tubuh. Terutama
sepasang tangannya yang kurus.
"Bukan hanya aku yang mendengar tentang Batu Bintang, sebuah bahan yang bisa
dibuat sebuah senjata
tangguh dan sakti. Karena ada dua orang yang hendak mendapatkannya, maka tak ada
jalan lain kecuali menentukan siapa yang berhak mendapatkannya."
Kaki Gledek mengumbar tawanya
hingga makin keras, membuat lembah itu bagai bergetar hebat. Rerumputan dalam
jarak lima puluh tombak pun sampai terpapas. Sementara yang di sekitar mereka
justru ternyata masih tumbuh utuh. Dari sini bisa ditebak kalau Kaki Gledek
bukan hanya memiliki
tenaga dalam tinggi, melainkan juga mampu memindah-mindahkan tenaga dalam jarak
puluhan tombak.
"Usui yang menarik! Apakah...."
"Bacot busuk tak berguna!" sentak Ratu Tengkorak Hitam.
Begitu habis membentak, si nenek
melakukan gempuran. Kedua
kepalan tangannya mendadak berubah menjadi hitam berkilatan. Tubuhnya yang
meluruk hebat, seolah bagai bayangan hitam mengerikan
dinamakan 'Jalan Hitam Kematian'. Sebuah kesaktian yang didapat dari gurunya yang berjuluk
Maharaja Tengkorak Hitam.
Puluhan tahun lalu, jurus 'Jalan
Hitam Kematian' yang mematikan memang
menjadi momok dalam rimba persilatan.
Tak seorang pun yang mampu mengatasi keampuhan jurus mengerikan itu. Dan Ratu
Tengkorak Hitam rupanya beruntung. Karena sebelum gurunya menemui ajal akibat
sakit, dia masih sempat diwarisi jurus mematikan itu.
Kaki Gledek bukannya tidak tahu
kalau si nenek mempergunakan jurus mematikan. Maka bisa ditebak kalau Ratu
Tengkorak Hitam menghendaki pertarungan singkat.
Begitu tubuh si nenek menggebah,
lelaki tinggi besar itu mencelat ke depan seraya menggelar jurus 'Kaki Gledek
Kirim Nyawa'. Seketika sinar merah melingkupi kedua kakinya yang penuh bulu.
Begitu dahsyatnya jurus yang diperlihatkan, sehingga menciptakan suara berdentum


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ubahnya gledek menyalak disertai angin besar bergemuruh.
Dan benturan hebat pun tak
terelakkan. Blarrr! Tanah yang dipijak kedua orang
itu kontan bergetar. Perbukitan yang mengelilingi lembah bagai bergoyang hebat.
Kilatan sinar hitam dan merah mencelat tinggi. Rerumputan terbang terpapas dan
luruh kembali. Di tempat lain, tubuh Tirta yang masih pingsan terlempar sepuluh
tombak ke belakang.
Bahkan gubuk tempat Tirta biasa
bersantai terbang terbawa angin yang terjadi.
Dari kepulan debu tebal, mencelat dua sosok tubuh ke belakang. Tubuh tinggi
besar milik Kaki Gledek
terhuyung tiga tombak. Kedua kakinya bagai patah, akibat benturan tadi.
Segera dia berdiri tegak seraya mengalirkan tenaga dalam pada kakinya. Dari
mulutnya mengalir darah segar. Sementara, Ratu Tengkorak Hitam hanya terjajar
mundur satu tombak. Kea-daannya masih terlihat segar bugar dengan tangan tetap
menyala hitam. "Kembali ke tempat asalmu, Orang Tak Berguna! Aku tak segan-segan
menurunkan tangan telengas!" ancam si nenek dengan suara dingin.
"Jurus 'Jalan Hitam Kematian'
benar-benar bukan omong kosong. Tenaga dalam orang tua keriput ini juga tidak
main-main," kata batin Kaki Gledek dengan wajah setengah pias. "Hhh!
Manusia hina ini tak akan kulepaskan, meski aku harus mati. Batu Bintang harus
kumiliki!"
Lalu si Kaki Gledek menatap
tangan Ratu Tengkorak Hitam.
"Setan gentayangan! Kita baru bertarung satu gebrakan. Dan apakah itu takberarti
aku akan mundur"
Selangkah pun tak terlintas niat dalam otakku!" desis si Kaki Gledek.
"Kalau begitu, terimalah
kematian!"
Kembali Ratu Tengkorak Hitam
membuka jurus 'Jalan Hitam Kematian'.
Tubuhnya kembali meluruk dengan tangan hitam berkilatan. Kaki Gledek yang baru
merasakan kehebatan jurus itu, cepat melipat gandakan tenaga dalamnya. Tak ingin
menderita kerugian, segera jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi' dilepaskan.
Blarrr...! Kembali benturan dahsyat terjadi.
Bahkan lebih dahsyat dari yang
pertama. Namun kali ini akibatnya kebalikan dari yang pertama. Tubuh Ratu
Tengkorak Hitam tampak mertcelat tiga tombak ke belakang dengan kedua tangan
terasa remuk. Sementara Kaki Gledek masih berdiam tegak dengan langit.
"Apakah hanya begitu saja
kehebatan 'Jalan Hitam Kematian'?"
ejek lelaki tinggi besar itu penuh seringaian.
Si nenek cepat mengalirkan hawa
murni ke kedua tangannya, lalu
menyilangkannya di dada. Mata
kelabunya bagai mencelat keluar.
"Huh! Kali ini nyawamu akan putus dari badan!"
Mendadak saja si nenek memutar
kedua tangannya di depan dada. Semula perlahan, namun semakin lama semakin
bertambah cepat. Tangannya bagai
berubah menjadi ribuan jumlahnya. Dan seketika, angin yang ditimbulkan
akibat putaran tangannya melesat
kedada Kaki Gledek. Begitu cepat, hingga....
Desss...! Lelaki tinggi besar itu mundur
dua langkah. "Sinting!" maki si Kaki Gledek dengan dada terasa bergetar. "Jurus apa yang kau
perlihatkan, hah"!"
"Jurus 'Angin Dendam Punah
Nyawa'! Putuslah nyawamu, Setaaannn!"
Diiringi angin gemuruh, tubuh
Ratu Tengkorak Hitam menerjang. Begitu cepat, hingga sukar ditangkap mata. Di
tempatnya, Kaki Gledek tercekat dengan dada berdebar lebih cepat. Rasanya untuk
menghindar sudah tak mungkin lagi. Jalan satu-satunya, memang harus memapaki.
Saat itu juga, Kaki Gledek
mengerahkan jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi'. Tubuhnya langsung mencelat dengan
kaki kanan dan kiri menggebah ke depan. Lalu....
Blarrr! Blaarrr!
Dua suara seperti gunung batuk
terdengar hebat. Asap tebal tampak mengepul saat terjadi benturan
barusan. Satu sosok tubuh yang
ternyata tubuh Kaki Gledek mencelat lima tombak ke belakang. Begitu sampai di
tanah, dia ambruk, tak mampu kuasai
keseimbangan. Tetapi begitu Ratu Tengkorak
Hitam menderu kembali siap habisi nyawanya, tanpa membuang tempo lagi Kaki
Gledek bangkit. Dan dengan
mengerahkan tenaganya, dia berlari lintang pukang ke arah timur!
Melihat lawannya kabur, si nenek
cepat menahan gerakannya seraya
membuat putaran di udara. Dan begitu mendarat di tanah, pipi peotnya
menggembung mengerikan, penuh jalur-jalur kerut menakutkan. Dan seketika kedua
tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh.,
Wusss...! "Uts...!"
Blarrr...! Bila saja Kaki Gledek tak
mencelat cepat, tak mustahil nyawanya akan putus. Tanah yang terhantam
pukulan 'Angin Dendam Punah Nyawa'
kontan berlobang sedalam satu tombak.
Dan dari tempatnya, Ratu Tengkorak Hitam melihat tubuh lawannya lenyap perlahanlahan. "Manusia hina keparat! Bila
bertemu lagi, tak akan kuampuni nyawa busukmu!"
Tiba-tiba Ratu Tengkorak Hitam
terdiam. Bagai teringat akan niatnya semula untuk mencari Rajawali Emas.
"Hhh! Aku tak boleh membuang waktu. Rajawali Emas yang membawa
bongkahan batu keemasan yang disebut Batu Bintang, harus kudapatkan sebelum
banyak yang mencari. Rimba persilatan saat ini sedang kacau. Siapa yang lebih
kuat, dialah yang akan berjaya.
SekaliguS, menjadi orang kuat dalam rimba persilatan!"
Lalu tanpa buang waktu, Ratu
Tengkorak Hitam berkelebat meninggalkan lembah yang kini telah porak poranda.
Kenyamanan dan kepermaian lembah telah terusik akibat pertarungan yang
sebenarnya berjalan
singkat. * * * 2 Kaki Gledek menghentikan larinya
di perbatasan sebuah hutan lebat yang masih perawan. Kini matanya baru
terbuka, setelah membuktikan kesaktian Ratu Tengkorak Hitam. Maka melarikan diri
adalah jalan yang paling tepat.
Baginya, mendapatkan Batu Bintang adalah yang lebih utama.
Begitu sepasang kaki lelaki
tinggi besar terbungkus baju merah ini menginjak perbatasan hutan, matahari
telah merangkak ke ufuk barat. Kepalanya langsung menoleh ke belakang. Kini
bayangan Ratu Tengkorak Hitam tak terlihat lagi. Tetapi Kaki Gledek
yakin kalau si nenek tak akan
melepaskannya. Maka, lelaki ini memutuskan untuk meneruskan larinya. Kembali ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada puncaknya. Setelah tiga kali
penanakan nasi terlewatkan, Kaki
Gledek telah tiba di ujung hutan
belantara itu. Kaki Gledek mengatur napas dalamdalam. Meskipun kelelahan masih
membias di wajahnya, namun kegeramannya masih tampak akibat kekalahannya dari Ratu Tengkorak Hitam.
"Peduli setan dengan wanita peot itu! Aku harus mencari Batu Bintang.
Entah, di mana burung raksasa keparat itu berada sekarang. Tetapi jelas, sebelum
aku bertemu si nenek peot itu, burung raksasa sialan tadi menuju ke arah timur!
Sebaiknya, kutinggalkan hutan ini sebelum malam menjelang!"
Tetapi baru saja Kaki Gledek
melangkah satu lindak, tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa menghentak yang
demikian keras, membuat Kaki Gledek tercekat. Suara tawa itu bukan hanya
menggugurkan dedaunan, tetapi juga mematahkan ranting-ranting pohon!
Jelas, betapa tingginya tenaga dalam si pemilik tawa!
Belum sempat lelaki tinggi besar
itu menenangkan batinnya, sesosok
bayangan telah berkelebat turun dari sebuah pohon. Dan tahu-tahu, bayangan itu
telah berdiri tiga tombak di
hadapannya. Sepasang mata Kaki Gledek membuka lebih lebar, menatap wajah dingin di
hadapannya yang berdiri agak mem-bongkok. Untuk beberapa lama, lelaki berbaju
merah yang baru saja menderita kekalahan dari Ratu Tengkorak Hitam ini tak
berbuat apa-apa. Kecuali, tegak berdiri dengan pandangan lebih membesar tak
percaya pada sosok di hadapannya.
"Manusia Mayat Muka Kuning...,"
desisnya dengan suara, bergetar. Tanpa disadari bukan hanya suaranya bergetar,
tubuhnya pun mendadak gemetar.
Orang yang baru turun dari pohon
itu berwujud aneh. Tubuhnya kurus mencangkung tanpa baju, menonjolkan tulangtulang di sekitar dada dan perut. Celananya pangsi berwarna hitam kusam. Rambut
panjangnya tergerai sampai punggung. Yang mengerikan dari wujud anehnya,
wajahnya berwarna
kuning. Namun sekujur tubuhnya berwarna hitam. Wajah kuning nan dingin itu
seperti mayat saja. Orang itulah yang akhir-akhir ini menjadi momok dalam rimba
persilatan, baik golongan lurus maupun sesat. Dialah yang
dikenal sebagai Manusia Mayat Muka Kuning.
"Kaki Gledek... cecunguk dari Goa Setan yang berani berlagak di
hadapanku!" ejek Manusia Mayat Muka Kuning. Suaranya terdengar dingin, namun
mampu membuat merah telinga Kaki Gledek yang tengah berusaha menindih rasa takut
dan gemetar tubuhnya. Namun usahanya sia-sia saja.
"Aku.... Maafkan aku.... Aku tak sengaja berada di sini...," ucap Kaki Gledek
terpatah-patah dengan wajah pias.
"Tak seorang pun yang kubiarkan hidup setelah pamer wajah di
hadapanku! Kaki Gledek! Ajal sudah membentang di depanku. Dan nyawamu siap lepas
dari badan!" ancam Manusia Mayat Muka Kuning sambil maju satu tindak. Sikapnya
benar-benar mengancam. Tanpa sadar Kaki Gledek mundur
tiga tindak. "Tunggu! Jangan turunkan tangan telengas dulu, sebelum mendengarkan katakataku!" cegah Kaki Gledek, setelah
berusaha membangkitkan
keberaniannya. "Otak licik dalam benak busukmu mau coba mempengaruhiku"!" desis Manusia Mayat
Muka Kuning, dingin.
"Aku... aku punya keterangan bagus. Dan tentunya, kau sangat ingin
mendengarnya," bujuk Kaki Gledek berusaha tenang. Otak liciknya bekerja
keras, untuk menutupi kepengecutannya.
Ketika Manusia Mayat Muka Kuning
menghentikan langkah dan berdiri
mencangkung menatapnya, Kaki Gledek tersenyum.
"Pernahkah kau mendengar tentang seekor rajawali
raksasa berwarna
keemasan?" susulnya.
"Iihh! Siapa pun tahu, burung raksasa itu peliharaan Sepuh Mahisa Agni yang
berjuluk Malaikat Dewa!"
dengus lelaki berwajah kuning berusia tujuh puluh tahun itu,
"Tentunya kau tahu tentang Batu Bintang yang ada di ekor burung itu, bukan?"
Sepasang mata lelaki berwajah
kuning itu menyipit. Matanya tak
berkedip menatap Kaki Gledek yang berusaha menenangkan diri.
"Apa maksudmu?" tanyanya, tetap bernada dingin.
"Aku punya kabar bagus untukmu,"
kata Kaki Gledek.
"Katakan!"
"Janji untuk melepaskan aku dari sini?"
"Setan hina! Kau coba-coba
mempengaruhiku, hah"!" bentak Manusia Mayat Muka Kuning seraya menjentikkan jari
telunjuknya. Dan....
Sraattt! Seketika sinar kuning bagai jarum melesat ke arah Kaki Gledek. Lelaki
tinggi besar berbaju merah itu
tercekat dan langsung melompat. Namun, lesatan sinar kuning itu lebih cepat
daripada gerakannya. Bukan disebabkan karena luka dalam akibat pertarungan
dengan Ratu Tengkorak Hitam, melainkan karena sinar kuning itu memang melesat
lebih cepat! Satu kehebatan kecil yang diperlihatkan Manusia Mayat Muka
Kuning. Crasss! "Aaah...!"
Tak urung tangan kanan Kaki
Gledek terserempet sinar kuning.
Perihnya tak terkira. Bahkan sekujur tubuhnya terasa seperti terbakar. Dia
mengeluh panjang pendek, namun tak berani membentangkan tatapan marah pada
lelaki berwajah kuning yang
menggiriskan itu.
Manusia Mayat Muka Kuning
menyeringai buas.
"Kau akan mampus bila ocehan mulutmu hanya bualan belaka!"
Kaki Gledek mendekap tangan kanannya dengan tangan kiri. Dialirkannya hawa murni untuk mengusir panas
menyengat yang menyerangnya.
"Mana berani aku bertindak bodoh di hadapanmu" Siapa pun tak akan
berani unjuk gigi melihat kesaktianmu.
Namun perlu kutegasi, berita yang akan kusampaikan bukan hanya ocehan
belaka," tandas Kaki Gledek, merendah.
Manusia Mayat Muka Kuning tersenyum mendengar kata-kata Kaki
Gledek. "Bagus! Berarti kau sayang nyawa!
Katakan! Di mana burung rajawali
raksasa itu berada?"
Menyadari kalau lelaki tua
berwajah kuning itu akan menjanjikan kebebasan baginya, Kaki Gledek sengaja
mengulur waktu untuk membuktikan lebih jelas.
"Kukatakan berita ini, tetapi lepaskan nyawaku."
"Tak pernah ludah yang terbuang kujilat lagi. Tetapi, ingat! Bila hanya ocehan
busuk, ke ujung neraka pun kau harus mati di tanganku."
Diam-diam Kaki Gledek tersenyum


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puas dalam hati. Maka dengan terputus-putus, diceritakannya tentang perkelahiannya dengan Ratu Tengkorak Hitam.
"Aku terluka dalam sebenarnya.
Bila aku tidak cepat melarikan diri, tak mustahil nyawaku akan putus di tangan
Ratu Tengkorak Hitam," tutur Kaki Gledek di ujung ceritanya.
"Apa hubungannya cerita busukmu ini dengan bualanmu tentang Batu
Bintang?" tanya Manusia Mayat Muka Kuning, merasa tak puas dengan cerita Kaki
Gledek. "Nenek poet dari Sungai Terkutuk itu memiliki Batu Bintang!" sahut Kaki Gledek
penuh keyakinan kalau omong
kosongnya akan dimakan bulat-bulat oleh lelaki berwajah kuning dan
berbentuk tirus.
"Bualan usang!"
Di luar dugaan Kaki Gledek,
Manusia Mayat Muka Kuning menggebah keras. Tangan kanannya siap diayunkan lagi.
Buru-buru Kaki Gledek mengangkat tangannya.
"Tunggu!" cegah Kaki Gledek. "Aku mengatakan apa adanya! Batu Bintang telah
dijatuhkan oleh burung Rajawali Emas milik Sepuh Mahisa Agni dan Ratu Tengkorak
Hitam yang telah mendapatkannya. Dan aku pun bertarung untuk merebut Batu
Bintang yang menggegerkan itu."
Melihat ketakutan dan ketakberdayaan orang tinggi besar di
hadapannya, Manusia Mayat Muka Kuning menurunkan tangan kanannya perlahan-lahan.
"Untuk saat ini, aku bisa
mempercayai kata-kata berbisamu itu.
Tetapi, ingat! Nyawamu ada di tanganku bila ini hanya ocehan busuk!"
"Kupertaruhkan kebebasanku
untukmu!" tandas Kaki Gledek meya-kinkan. Saat ini jalan yang terbaik adalah
lepas dari Manusia Mayat Muka Kuning. Apa yang dialami lelaki baju merah itu tak
ubahnya lepas dari mulut buaya, dan tiba di mulut harimau.
"Bagus! Di mana Ratu Tengkorak
Hitam berada?"tuntut Manusia Mayat Muka Kuning.
"Ketika aku melarikan diri, dia berada di Lembah Permata!"
"Aku akan mencari wanita peot itu!" kata Manusia Mayat Muka Kuning.
Kaki Gledekyang merasa terbebas
dari ancaman maut di hadapannya,
tersenyum lagi dalam hati. Namun di wajahnya masih memperlihatkan
kengerian. "Dan tentunya, kau tak lupa akan janjimu, bukan?" usik Kaki Gledek tersenyum.
"Sama sekali tidak! Kebebasan kuberikan padamu. Nyawa kubiarkan menempel di
tubuh hina itu.
Tetapi...."
Di ujung kalimatnya, Manusia
Mayat Muka Kuning menjentikan jarinya.
Tik! "Aaakkhhh...!"
Kaki Gledek kontan menjerit
setinggi langit ketika dua buah sinar kuning melesat masuk ke dalam kedua
tangannya. Tubuhnya langsung ambruk terguling. Panasyang membakar segera merajah
sekujur tubuhnya.
"Seperti janjiku, nyawamu tak kuambil!" Sehabis berkata dingin, Manusia Mayat
Muka Kuning melesat cepat bagai kilat. Ditinggalkannya Kaki Gledek yang masih
meraung kesakitan, berusaha menahan serangan
panas pada sekujur tubuhnya.
Matahari bertambah redup di kaki
barat. Udara dingin mulai menaungi Lembah Permata yang permai dan
sekarang porak-poranda akibat pertem-puran Ratu Tengkorak Hitam melawan si Kaki
Gledek. Burung-burung di kejauhan beterbangan, dari Lembah Permata yang nampak
hanya bayang-bayang hitam
belaka, Tirta, bocah dua belas tahun yang gagah berani itu, perlahan-lahan
siuman dari pingsannya. Tubuhnya
menggeliat dan terasa sakit sekali.
Ketika berusaha duduk, terdengar
keluhan kecil dari mulut merahnya..disertai mata yang tertutup
kembali karena menahan sakit.
"Aaakhhhh."
Perlahan-lahan Tirta membuka mata seraya menahan sakit. Pandangannya yang
pertama redup, lama kelamaan membuka. Kini, didapatinya lembah yang telah
berantakan. "Oh! Apa yang terjadi?" desisnya bingung dengan kepala masih terasa pusing.
"Seingatku, tadi kan ada si nenek peot galak yang mengaku berjuluk Ratu
Tengkorak Hitam. O, iya. Lalu, datang lelaki jelek berbaju merah yang dipanggil
Kaki Gledek. Ke mana
mereka?" Sejenak bocah cerdik yang berani
itu terdiam. "Aku ingat sekarang," desisnya lagi. "Orang berbaju merah itu tertawa keras.
Kurasakan telingaku sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Ih!
Mengapa ada suara tawa yang bisa
membuat telinga sakit begitu, ya"
Untungnya cuma pingsan. Kalau sampai mati, siapa yang akan menggembalakan
kambing-kambing Juragan Lanang. Kalau tak ada yang menggembala... oh!"
Mendadak saja sepasang mata
bundar milik Tirta terbuka lebih
melebat. Kepalanya menoleh ke sana kemari Namun tak seekor kambing pun berada di
sana. Maka tanpa menghiraukan keadaan
tubuhnya yang masih terasa sakit dan pegal, bocah itu berdiri. Rasa takut kini
menjalari perasaannya, hingga membuatnya tidak tenang.
"Apa yang harus kukatakan pada Juragan Lanang mengenai kambing-kambingnya yang
lenyap" Apa yang harus kulakukan sekarang" Aku harus mencari kambing-kambing
itu. Kalau aku pulang tanpa kambing-kambing itu, Ayah pasti akan dimarahi
Juragan Lanang lagi.
Buktinya, ketika seekor kambing
Juragan Lanang lecet kakinya akibat terperosok di lobang, ayahlah yang dimarahi
dan disuruh bekerja di
sawahnya, tanpa dibayar selama dua minggu. Padahal aku tahu, saat itu Ayah
sedang berusaha membayar
hutangnya. Oh.... Aku harus
mencarinya! Peduli aku akan pulang malam atau tidak. Aku tidak ingin melihat
Ayah kembali bekerja pada Juragan Lanang tanpa dibayar sepeser pun! Apalagi,
mengingat hutang Ayah yang belum juga lunas...."
Setelah menguatkan hatinya,
perlahan-lahan Tirta mulai berlari.
Tetapi karena rasa sakit akibat tubuhnya terpental jauh setelah ter-jadinya
benturan dua tenaga dalam tinggi antara Ratu Tengkorak Hitam dengan Kaki Gledek,
membuat tubuhnya tersuruk.
Namun kekerasan hati Tirta benarbenar besar. Biasanya, saat hari
menjelang malam seperti ini" dia tak berani berada di Lembah Permata
seorang diri. Namun karena tak enak membayangkan apa yang akan dialami ayahnya
nanti, terpaksa dia bangkit dan mencari kambing-kambing itu.
Tirta bertekad, harus menemukan
kambing-kambing itu. Sesuai ajaran ayahnya, segala beban di pundak harus dijaga
penuh. Segala kewajiban telah dipikul, harus dipertanggungjawabkan secara utuh.
Malam mulai datang. Dusun Bojong
Pupuk yang tak jauh dari Lembah
Permata, seolah mati setelah seharian para penduduknya bekerja keras di sawah
dan ladang. Lampu sentir yang
ada di setiap rumah mulai dihidupkan, memberikan penerangan yang tak
seberapa terang.
Di depan salah sebuah rumah yang
terletak di tepi perbatasan Dusun Bojong Pupuk bagian selatan, nampak seorang
lelaki berusia kira-kira tiga puluh tahun tengah mondar-mandir saja.
Sesekali lelaki berwajah cukup tampan itu berhenti melangkah, lalu melongok ke
arah jalan tempat orang biasa
datang dari sana.
Berkali-kali terdengar desahan
bernada gelisah dari hidung si lelaki, berbaur suara jangkrik dan kodok yang
mulai unjuk gigi sejak mahatari masuk ke peraduannya.
"Ke mana bocah itu" Mengapa
sampai saat begini belum juga datang"
Apakah dia tertidur seperti waktu lalu?" desis lelaki itu gelisah.
Kepalanya melongok lagi ke arah jalan, namun yang ditunggunya belum muncul juga.
Pintu rumah sederhana itu berderit dan terbuka. Tampak seorang perempuan berwajah cantik muncul
tergesa, langsung menghampiri lelaki itu.
Si lelaki menghentikan langkahnya. Pandangannya cepat beralih pada perempuan itu.
"Bagaimana, Kakang Layung Seta"
Apakah Tirta sudah datang?" tanya si
perempuan begitu sarat kegelisahan.
Seperti yang dilakukan lelaki tadi, perempuan ini pun melongok ke arah jalan,
arah kedatangan Tirta biasanya.
Lelaki yang ternyata ayah Tirta
itu menggeleng. Ditatapnya wajah pucat penuh gelisah milik perempuan yang tak
lain istrinya. "Belum, Mentari! Mungkin dia tertidur di gubuk," sahut lelaki bernama Layung
Seta. "Susul saja, Kang. Aku khawatir terjadi sesuatu pada anak kita," pinta perempuan
bernama Mentari itu.
Layung Seta menarik napas pendek.
Lalu ditatapnya wajah istrinya seraya anggukkan kepala.
"Aku akan menyusulnya, Bu," kata Layung Seta.
Segera lelaki ini masuk ke dalam
rumah. Sebentar saja, dia sudah muncul kembali. Namun kini, di pinggangnya telah
terselip sebilah golok.
"Mentari... tunggulah di rumah.
Barangkali saja aku selisih jalan dengan Tirta."
Mentari mengangguk.
"Hati-hati, Kakang."
Layung Seta mengangguk, lalu
bergegas menuju ke arah timur, ke arah Lembah Permata.
Jalan setapak penuh rumput dan
cukup gelap, tak terlalu sulit dilalui Layung Seta. Sebagai putra Dusun
Bojong Pupuk, jalan-jalan itu sudah sangat dihafalnya, Bahkan, sewaktu seusia
putranya, Lembah Permata
merupakan salah satu tempat yang
sering didatangi, selain sungai di sebelah selatan.
Sepenanak nasi telah berlalu,
saat lelaki yang tengah gelisah
memikirkan anak semata wayangnya itu tiba di Lembah Permata. Pahdangannya
langsung beredar ke seantero lembah.
Namun tak nampak seorang pun di tempat ini. Pikirnya, Tirta tentu berada di
gubuk. Akan tetapi, kening Layung Seta
jadi berkerut heran. Sepanjang
ingatannya, sejak gubuk itu dibuatnya lima bulan lalu, dia sangat hafal letak
gubuk itu. Namun pada Kenyataannya, tak ada gubuk yang dicarinya.
Dan dia makin heran melihat rerumputan di sekitar tempat itu terpapas.
"Apakah tadi ada angin topan di sini?" tanyanya tak mengerti.
Namun sejurus kemudian, Layung
Seta yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, bisa melihat jejak-jejak kaki yang
seperti terseret di beberapa tempat. Dia berjongkok,
langsung mengamati tanah di sekitarnya dengan bantuan sinar rembulan yang membulat penuh.
Perasaan lelaki ini makin cemas
memikirkan nasib Tirta. Dia tegak
lagi, dan segera menjelajahi lembah itu dengan mata lebih terbuka. Dan di selasela pencariannya, Layung Seta meneriakkan nama putranya.
Waktu terus bergulir. Suasana
cemas dan mencekam makin menyiksa hati Layung Seta. Setelah lelah mencari,
langkahnya berhenti di tengah-tengah Lembah Permata.
"Di mana Tirta berada" Apakah dia saat ini dalam keadaan sehat" Ataukah celaka
karena pertarungan hebat yang sepertinya baru terjadi?" gumamnya, berkata pada
diri sendiri. Lelaki yang tengah mencemaskan
anaknya itu menarik napas berkali-kali. Kepalanya mendongak, menatap rembulan
yang sudah berada tepat di tengah kepala. Diputuskan untuk segera kembali ke
rumah, setelah teringat akan istrinya yang tentunya tengah cemas menunggu.
Layung Seta membayangkan, betapa
sedihnya Mentari mendapati
dirinya pulang tanpa Tirta.
* * * 3 Matahari mengintip malu-malu dari balik Gunung Slamet yang tinggi
menjulang. Udara nampak cerah dalam bentangan langit biru di angkasa.
Angin membelai lembut tubuh Gunung Slamet. Dalam jarak ribuan tombak dari gunung
yang berdiri angkuh itu
terdapat sebuah sungai yang mengalir deras bergemuruh. Di dekatnya berdiri
pepohonan yang tak begitu tinggi, namun dedaunan yang melingkupinya sangat
rimbun. Burung-burung beterbangan seolah
menyambut pagi yang cerah ini. Di sisi sungai, satu sosok tubuh kecil
bertelanjang dada tampak terbaring lemah tak berdaya.
Selang beberapa saat, satu
bayangan berkelebat dan berhenti di tepi sungai, Ternyata yang baru datang
adalah seorang perempuan tua dengan rambut dikonde. Tubuhnya agak
membungkuk. Dia terkekeh-kekeh melihat air sungai yang menawarkan kesegaran.
Di tangan kanannya tampak sebuah
pengebut bergagang baja.
"Hik hik hik.... Pasti nyaman tubuhku bila mandi di sini. Hmmm....
Tak ada manusia di sini. Berarti, tak akan ada yang mengintipku," oceh nenek
berkonde itu cukup nyaring. Si nenek menoleh ke kanan dan kiri, lalu buru-buru
membuka baju batik kusamnya. Di balik baju batik kusam itu, nampak sebuah kutang
putih. Sepertinya dada itu memang tak ada yang perlu
ditutupi, karena memang terlihat rata.
Namun ketika akan melepaskan kain
batik kusam yang melilit bagian bawah, mendadak saja mata celongnya menyipit.
"Kunyuk! Ada bocah tidur di sana!
Keparat! Meskipun cuma bocah, tetapi memiliki mata!" rutuk si nenek.
Buru-buru si nenek mengenakan
lagi baju batik kusamnya. Lalu
pengebutnya diselipkan ke balik
pinggangnya, Dan hanya sekali lompat, tubuh bungkuknya sudah tiba di sisi tubuh
bocah yang dilihatnya.
"Bocah! Bangun! Aku ingin mandi!"
bentaknya garing.
Tetapi, bocah yang terlungkup itu tak bergeming sama sekali. Kening nenek
berkonde ini jadi berkerut.
Lalu, tubuhnya membungkuk. Dan dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau tubuh
bocah itu pingsan. Perlahan-lahan dibalikannya tubuh bocah yang ternyata Tirta.
"Hmm... bocah bagus. Wajahnya tampan. Dan, ya... ampun... tulang belulangnya
sangat kokoh! Hik hik hik.... Tak perlu kuurusi segala


Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persoalan busuk hari ini. Keinginanku untuk dapatkah seorang murid tampaknya
sudah di depan mata," gumam si nenek.
Jemari tangan kanan nenek
berkonde yang kurus itu menekan
beberapa urat di bagian dada dan
kepala Tirta. "Luar biasa! Denyutan nadi dan aliran darah bocah ini sangat kuat.
Tak seperti orang pingsan. Anak siapa dia" Peduli setan sekalipun dia anak
dedemit sungai ini!"
Lalu dengan ringan nenek berkonde itu mengangkat tubuh Tirta
yang pingsan. Segera dibawanya bocah itu ke sebuah gubuk yang
Di dalam gubuk, si nenek yang
masih penuh pesona itu menatap wajah dan tubuh Tirta yang masih pingsan.
Rupanya, kelelahan tak bisa ditahan lebih lama lagi oleh bocah pemberani ini,
untuk teruskan langkah mencari kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang.
"Hebat!. Hebat! Nasibmu sangat beruntung, Kunti Pelangi! Kau akan dapat murid
pandai yang bisa mewarisi seluruh ilmumu!" oceh si nenek berkonde.
Seolah si nenek berkata pada
orang lain. Padahal, yang di sebutkan tadi adalah namanya sendiri. Dan kali ini
ditekannya dua buah urat yang ada di bawah lengan kanan dan kiri Tirta.
Sesaat, dialirkannya tenaga dalam melalui jari-jemari tangan si bocah.
Bibir keriput nenek bernama Kunti Pelangi itu melepas senyum.
"Luar biasa! Tak
percuma aku membuang waktu. Bocah ini akan
kujadikan muridku. Nah! Dia mulai bergerak sekarang."
Nenek Kunti Pelangi menatap tajam
Tirta yang mulai bergerak. Mata bocah nekat berhati kuat itu perlahan-lahan
terbuka. Dan yang tertangkap matanya pertama kali adalah seringai nenek.
"Setaaannn! Setaaannn!" teriak Tirta, kalap.
Si bocah hendak melompat. Tetapi
tangan nenek berkonde itu cepat
menangkap tangan Tirta. Wajahnya yang tadi selalu tertawa karena merasa mendapat
murid yang selama ini
dicarinya, lenyap bagai ditarik setan mendengar jeritan Tirta,
"Bocah keparat! Sembarangan kau berani menghina Bidadari Hati Kejam!"
Tirta mengerjapkan matanya
berulangkali. Tubuhnya segar sekarang, setelah mendapat penyembuhan aneh yang
dilakukan nenek yang ternyata berjuiuk Bidadari Hati Kejam.
"Tetapi... wajahmu, Nek....
Mengerikan sekali.... Aku mau pulang!
Aku mau pulang! Oh! Tidak, tidak aku tidak mau pulang! Aku harus mencari
kambing-kambingku!"
Kening Bidadari Hati Kejam
berkernyit hingga wajah keriputnya makin menggetarkan nyali Tirta.
"Apa maksudmu dengan kambing-kambing" Apakah kau pikir wajahku seperti
kambing"!" sengat si nenek berkonde keras, membuat Tirta sampai menekap telinga
dengan kedua tangannya. Tetapi hati bocah pemberani itu
mulai yakin sekarang, kalau nenek bergigi jarang itu bukan setan
gentayangan. Otaknya yang cerdik tahu kalau perempuan tua itu sedang marah.
Maka buru-buru bibirhya mengulas
senyum. '"'
"Mana berani aku bilang kalau kau seperti kambing, Nek" Kalaupun mirip kambing,
kau kan berjenggot?" cetus Tirta.
"Setan kebluk! Kutampar sobek mulutmu!" sentak Bidadari Hati Kejam, dengan
tangan terangkat.
"Ampouuun! Jangan, Nek! Jangan tampar. Aku harus cari kambing-kambing Juragan
Lanang yang hilang."
"Sekali lagi bicara ngaco,
kukirim nyawamu ke akhirat!"
"Jangan, nanti aku tidak tahu pulang!"
Jawaban Tirta sepertinya asal
saja. Padahal ja-waban itu muncul dari kepolosannya. Dan ini membuat si nenek
terkikik-kikik. Tangan kanannya
dilepaskan dari lengan Tirta. Si bocah segera usap-usap lengannya yang rada
memerah. "Siapa namamu, Bocah?" tanya Bidadari Hati Kejam.
"Tirta," sahut si bocah.
"Siapa nama orangtuamu?"
"Ayahku bernama Layung Seta.
Ibuku bernama Mentari."
"Bocah pemberani," kata batin nenek berkonde itu dengan seringainya.
"Nek, tadi kau menyebut dirimu Bidadari Hati Kejam. Apakah kau memang kejam,
Nek?" tanya Tirta, membuat si nenek terkejut.
"Bocah sok tahu! Tahu apa kau soal kejam, hah"!" bentak Bidadari Hati Kejam.
"Ayahku mengatakan, kalau kita sebagai manusia, hidup harus rukun.
Berada dalam jalur lurus dan putih yang menggelombang. Jangan sampai salah
jalan. Bila semua berhasil
dilakukan, berarti kita memiliki hati bersih dan mulia. Sehingga, seluruh sifat
kejam akan sirna."
Untuk yang kesekian kali, kening
Bidadari Hati Kejam berkernyit.
Ditatapnya dalam-dalam Tirta yang masih menyang-menyong mulutnya. Seolah si
bocah tak menyadari kalau perempuan tua itu masih terheran-heran mendengar katakatanya. "Nek... jangan menatapku seperti itu," ujar Tirta, merasa jengah ditatap begitu.
Nenek berkonde itu merubah raut
wajahnya. "Aku ingin kau menjadi muridku, Bocah."
"Murid" Maksudmu... kau jadi guruku" Belajar apa kita nanti, Nek?"
"Pertanyaan bodoh," dengus batin
Bidadari Hati Kejam.
Namun di kejap lain si nenek
menyadari kalau pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar yang muncul dari
seorang bocah berhati bersih.
"Mungkin kau terlalu kecil untuk mengetahui siapa aku ini, Bocah.
Tetapi, aku telah menjatuhkan pilihan padamu. Kaulah yang akan mewarisi seluruh
ilmu yang kumiliki. Sekaligus menunaikan segala urusan yang
membentang di depanku," kata Bidadari Hati Kejam.
"Ilmu apa, Nek?" tanya si bocah.
"Kesaktian."
"Wah! Rasanya tak mungkin. Kau saja berhati kejam. Jangan-jahgan setelah aku
belajar padamu, hatiku jadi kejam juga. Tidak ah! O ya. Nek, Apakah kau melihat
kambing-kambingku?"
Lagi-lagi kening nenek berkonde
itu berkernyit mendengar ocehan Tirta.
Ratusan anak manusia yang ingin
berusaha mempelajari seluruh kesaktian yang dimilikinya. Namun, tak satu pun
yang berkenan di hati Bidadari Hati Kejam. Sekarang, bocah bertelanjang dada
yang duduk di balai-balai kusam dan reyot di hadapannya itu justru menolak"
"Gila! Pertanda apa ini" Apakah kesaktianku tak berarti apa-apa di hadapan bocah
ini?" rutuk si nenek dalam hati sambil membuang pandangan
ke arah lain dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Mendadak, si nenek menatap Tirta dengan penuh harap.
"Bocah bagus! Kau pasti akan memintaku menjadi gurumu bila sudah kuperlihatkan
kesaktian yang kumiliki."
Lalu tanpa menunggu jawaban lagi, Bidadari Hati Kejam sudah menarik tangan kanan
Tirta yang masih ter-bengong. Dan tahu-tahu dia mencelat keluar gubuk, membawa
si bocah. "Hoooiii!" jerit Tirta ngeri sambil memejamkan kedua matanya.
"Di mana kita berada sekarang, Nek?" tanya Tirta, ketika telah membuka matanya.
Dan kini mereka
berada di sebuah tanah lapang yang sangat luas, penuh bebatuan di sana-sini.
"Banyak omong! Kau lihat batu itu"!" tunjuk Bidadari Hati Kejam.
"Sejak tadi juga sudah kulihat!
Apanya yang aneh dengan batu itu. Di sungai juga banyak batu seperti itu!"
"Bukan batunya yang harus kau lihat, Kebluk! Tetapi..."
Begitu kata-kata Bidadari Hati
Kejam habis, tangannya mengibas-ngibas di depan wajah keriputnya. Tak ada angin
yang menderu. Tak ada suara yang terdengar.
"Apa yang kau lihat?" tanya
Bidadari Hati Kejam. "Masih batu itu!
Sudahlah, Nek.... Aku harus mencari kambing-kambing itu bila tak ingin kena
marah Juragan Lanang!"
"Bocah kebluk! Kau lihat
sekarang! Fuhhh...!"
Bidadari Hati Kejam menghembuskan napas panjang dari mulut, mengarah pada batu
besar yang berjarak sepuluh tombak dari hadapannya dan Tirta. Dan mendadak saja,
batu besar itu menjadi seperti serpihan debu yang kontan beterbangan.
Setelah nenek berkonde itu
menghentikan tiupannya dan debu pada batu itu menghilang, justru Tirta yang
terjingkat. "Kambingku!" sentak si bocah.
Tak! "Awww"
Nenek berkonde ini menjitak
kepala Tirta. Kontan bocah itu
mengusap-usap kepalanya. sambil
meringis kesakitan.
"Bodoh! Dari jarak sepuluh
tombak, batu itu telah kuukir menjadi bentuk kambing! Bagaimana menurutmu, Bocah
Kebluk?" "Hebat!" sahut Tirta, mendumal.
Suarariya menyentak, karena jengkel dijitak Bidadari Hati Kejam.
Si nenek melototkan matanya lebih lebar.
"Hanya hebat katamu?" katanya,
bernada jengkel.
"Habis, apa dong?" tukas si bocah.
"Langsung menyembah di hadapanku!
Dan kau memintaku untuk mengangkatmu sebagai murid!" ujar Bidadari Hati Kejam,
tegas. "Siapa bilang aku mau menjadi muridmu?"
"Mau kujitak lagi?"
"Ampun, ampun!" Tirta sudah melipat kedua tangannya di kepala.
"Jangan jitak lagi, Nek! Sakit! Soal jadi murid, soal gampang, Nek. Tetapi aku
tidak mau dimarahi Juragan Lanang gara-gara jadi muridmu. Lagi pula, aku harus
bertanggung jawab terhadap
kambing-kambing yang hilang! Sudah ya, Nek?"
Perlahan-lahan Tirta menurunkan
kedua tangannya dari kepala. Ketika melihat nenek berkonde tak melakukan apaapa, dia melangkah perlahan.
"Aku mau cari kambingku, ah!"
katanya, dengan suara terayun.
Ditinggalkan begitu, si nenek
hanya melongo saja. Sementara, Tirta sudah melenggang santai sambil
bersiul-siul. "Aneh! Kenapa jadi begini?" desis Bidadari Hati Kejam, seolah baru sadar kalau
bocah yang keras kepala dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi itu sudah
berlalu. Padahal hanya
sekali kelebat, dengan mudah dia sudah akan tiba melebihi jarak yang telah
ditempuh Tirta. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Hatinya masih kagum atas
sifat Tirta yang tak bisa
disembunyikannya. "Bocah itu harus kudapatkan! Dialah satu-satunya anak manusia
yang cocok untuk menerima seluruh ilmu yang kumiliki! Urusan dengan Manusia
Mayat Muka Kuning, biar kutunda dulu untuk membujuk bocah kebluk itu. Tetapi aku
juga penasaran dengan berita munculnya Rajawali Emas, hewan peliharaan Sepuh
Mahisa Agni yang membawa Batu Bintang di ekornya.
Baiknya, kukejar bocah sialan itu."
Baru saja si nenek hendak
melangkah, mata tajamnya sudah
menangkap bayangan yang melesat dari arah samping berjarak lima tombak dari
tempat- berdiri.
"Tak permisi sangat menyakitkan hati bagi yang melihat!" serunya.
"Ingin kulihat, siapa kau adanya"!"
Tangan kanan Bidadari Hati Kejam
langsung mengembang, lalu mengibas ke arah bayangan hitam yang berkelebat.
Wussss! Merasakan angin deras menderu ke
arahnya, bayangan hitam itu
menghentikan larinya. Dan seketika tubuhnya dibuang ke belakang.
Blarrr! Angin yang dilepaskan dari
pukulan jarak jauh Bidadari Hati Kejam kontan menghantam tanah, hingga bolong
dua tombak. Sementara bayangan hitam tadi sudah berdiri tegak kembali.
Kepalanya langsung menoleh, dengan tatapan penuh kemarahan.
"Hup!"
Bidadari Hati Kejam
seketika mengempos tubuhnya. Dan kini, dia telah berdiri dalam jarak tiga tombak di
hadapan bayangan hitam tadi.
* * * "Ratu Tengkorak Hitam!" dengus Bidadari Hati Kejam sambil menatap tak berkedip
pada sosok di hadapannya.
"Pantas bersikap tanpa sopan santun.
Ada urusan apa hingga kau nampaknya tergesa-gesa?"
Sosok bayangan yang baru muncul
itu memang Ratu Tengkorak Hitam.
Setelah mengalahkan Kaki Gledek, Ratu Tengkorak Hitam mencoba menyusulnya.
Namun dia tak berhasil mendapatkan Kaki Gledek.
Ratu Tengkorak Hitam menatap
tajam Bidadari Hati Kejam. Dia tahu, siapa yang berada di hadapannya.
"Hmmm... Bidadari Hati Kejam....
Kudengar kau sudah lama mengundurkan diri dari rimba persilatan. Kini, tiba-tiba
muncul dan membuat urusan.
Apa yang memancingmu muncul kembali ke
alam yang penuh keangkara murkaan ini?" tanya Ratu Tengkorak Hitam, dingin.
Sementara, mulutnya tak henti-hentinya mengunyah susur.
"Pertanyaan bagus. Tapi, sekaligus menunjukkan kebodohan orang yang berbicara.
Apa urusanmu tanya-tanya begitu, hah"!"
"Bicara boleh, asal jangan
menikam hati. Kau telah menebarkan satu bibit yang akan muncul dan
berkembang dalam!"
balas Ratu Tengkorak Hitam lebih dingin. Gerakan mengunyah susurnya semakin cepat, pertanda
tak suka dihina. "Dan aku yakin, kemunculanmu kembali ke rimba persilatan,
karena kau menghendaki Batu Bintang pada ekor rajawali
raksasa keemasan peliharaan Sepuh Mahisa Agni!"
Nenek berkonde yang bicaranya
terkadang keras bernada kejam, lebih lebar membuka matanya. Dan tiba-tiba saja,
raut wajahnya yang penuh kerut-merut berubah kelam. Bola matanya seperti hendak
lompat keluar. Entah, apa yang terjadi. Karena tiba-tiba saja, Ratu Tengkorak
Hitam, jadi keder hatinya. Namun, perempuan berbaju panjang warna hitam yang
telah lama malang melintang itu tak menampakkan rasa keder yang datang mendadak.
"Hmm.... Berita Rajawali Emas yang membawa Batu Bintang rupanya
sudah cepat menyebar. Perempuan bengis dari golongan sesat ini sudah turun
tangan," kata batin Bidadari Hati Kejam.
Nenek berkonde itu berusaha mene

Rajawali Emas 01 Geger Batu Bintang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan gejolak amarahnya. Namun begitu, napasnya terlihat turun naik amat cepat.
"Sekian tahun lamanya tak ku-jajaki dunia kotor ini. Selagi muncul harus
merampungkan urusan, justru mendapat urusan lain. Ratu Tengkorak Hitam ada di
depan mata. Maka, ajal sudah terbentang!" kata Bidadari Hati Kejam, penuh
tekanan. Ratu Tengkorak Hitam hanya umbar
tawa. Sehingga, cairan merah campuran ludah busuknya dan perahan susur yang
selalu digigit melompat keluar.
Meskipun sikapnya tenang, namun diam-diam kedua tangannya telah merangkum jurus
'Angin Dendam Punah Nyawa'.
"Kalau dulu banyak orang membi-carakan hilangnya Bidadari Hati Kejam dikarenakan
tak punya lawan yang mampu menandingi, tetapi hari ini semuanya hanya bual
kosong belaka. Ternyata, mundurnya Bidadari Hati Kejam tak lebih karena takut
mengumbar kesaktian yang sudah menurun," ejek Ratu Tengkorak Hitam.
Suara penuh ejekan bagai satu
sengatan lebah singgah di telinga Bidadari Hati Kejam. Dan ini membuat
dadanya kian menghentak-hentak.
"Hanya ada dua pilihan. Minggat dari depan mataku, atau rela
kehilangan nyawa!" ancam Bidadari Hati Kejam, makin sarat kemarahan.
Perlahan-lahan Ratu Tengkorak
Hitam membuka kedua kakinya, agak melebar. Kali ini tangan kanannya diangkat
menyatu dada. Sementara, tangan kirinya berada lurus di samping pinggul.
"Kupilih yang kedua. Karena, aku ingin mencoba menjajaki kesaktianmu yang konon
tak pernah terkalahkan sejak tiga puluh tahun belakangan ini," sahut Ratu
Tengkorak Hitam, mantap.
"Kau sudah membuat keputusan,"
desis Bidadari Hati Kejam seraya
membuka kedua tangan di dada. "Jangan salahkan bila nyawamu putus!"
Tanpa membuang tempo, tubuh
Bidadari Hati Kejam sudah meluruk disertai angin bergemuruh yang seolah
menyambar dahsyat.
* * * 4 Tubuh Bidadari Hati Kejam yang
sudah mencelat siap melepaskan satu serangan, disambut Ratu Tengkorak Hitam
dengan jurus 'Angin Dendam Punah
Nyawa'. Buukkk! "Aaakh...!"
Dua tangan yang sama-sama telah
berisi tenaga dalam tinggi bertemu dalam satu benturan keras. Kedua
perempuan tua itu sudah sama-sama berseru tertahan. Bidadari Hati Kejam hanya
mundur tiga tindak. Segera
dikerahkannya hawa murni untuk
mengobati lengannya yang terasa agak ngilu. Sedangkan Ratu Tengkorak Hitam
mencelat tiga tombak ke belakang.
Bukan hanya lengannya saja yang terasa seperti patah, tapi juga tulang
pangkal lengannya pun agak masuk ke dalam, menabrak dadanya.
Dari benturan yang baru saja
terjadi, Ratu Tengkorak Hitam
sebenarnya maklum kalau nama besar Bidadari Hati Kejam bukan omong kosong
belaka. Apalagi ketika menahan
serangan dengan salah satu jurus
andalannya, yang membuat Kaki Gledek lintang pukang. Ternyata, jurus
andalannya tak banyak membawa arti pada Bidadari Hati Kejam.
"Peduli setan! Setinggi apa pun ilmu nenek berkonde itu, aku tak akan mundur!"
rutuk Ratu Tengkorak Hitam dalam hati.
Bet! Bet! Kembali Ratu Tengkorak Hitam
mempersiapkan jurus andalan lainnya,
'Undang Maut Sedot Darah'. Sebuah jurus yang sangat dahsyat, karena dari jarak
dua puluh tombak telah mampu menyedot darah lawan hingga habis.
Perubahan wajahnya nampak jelas.
Butiran keringat mendadak muncul.
Tubuhnya bergetar. Bukan karena
menahan sakit, melainkan karena tenaga yang dialirkan pada kedua lengannya yang
kini berubah makin hitam.
Namun belum lagi nenek berbaju
panjang warna hitam itu melepaskan pukulannya....
"Undang Maut Sedot Darah!"
Bidadari Hati Kejam yang berdiri empat tombak mendesis keras agak tertahan.
"Tak mungkin sahabatku si Raja Lihai Langit Bumi mau menurunkan ilmu
andalannya itu padamu! Kau pasti telah mencurinya, Perempuan Hina!" lanjut
Bidadari Hati Kejam, mengkelap.
Ratu Tengkorak Hitam sebenarnya
cukup terkejut mendengar
seruan Bidadari Hati Kejam yang bisa menebak jurusnya. Namun rasa terkejutnya segera
ditindih dengan mengumbar tawanya kembali.
"Peduli setan setiap ucapanmu, Bidadari Hati Kejam!" seru Ratu Tengkorak Hitam
disertai muncratan cairan warna merah. "Yang perlu kau ketahui sekarang, jurus
'Undang Maut Sedot Darah' telah aku kuasai! Lebih baik, akui kekalahanmu sebelum
darah yang mengalir tak seberapa dalam tubuh rentamu itu akan sirna sekali tekan!"
Wajah si nenek berkonde itu
membesi. "Raja Lihai Langit Bumi. Ada hubungan apa dia dengan wanita tua hina
ini" Tak mungkin dia akan
menurunkan ilmu itu pada Ratu
Tengkorak Hitam yang terkenal senang membual. Apakah sekarang dia sudah menjadi
sahabatnya, Rasanya sangat tipis kemungkinannya seandainya Ratu Tengkorak Hitam
mampu mengalahkan dan memaksa Raja Lihai Langit Bumi untuk mengajarkan jurus
'Undang Maut Sedot Darah'. Dalam dua gebrakan saja Ratu Tengkorak Hitam pasti
akan terkapar. Hhh! Jurus 'Undang Maut Sedot Darah'
adalah jurus yang mengerikan. Meskipun dua kali pernah kulihat Raja Lihai Langit
Bumi memamerkannya padaku, tetapi aku tidak tahu kelemahannya.
Peduli dedemit gunung karang
sekalipun! Akan kubuat melek mata Ratu Tengkorak Hitam! Tetapi, hubungan apa
yang telah terjadi antara Raja Lihai Langit Bumi, hingga jurus mautnya berhasil
dipelajari Ratu Tengkorak Hitam?"
"Apakah kau belum membuat
keputusan?" sentak Ratu Tengkorak Hitam malan mengunibar seringai lebar.
Sehingga, membuat kerut di wajahnya makin nampak. "Kini kau yang tentukan
pilihan! Akui kekalahanmu dan menjadi
pengikutku atau kau akan mampus dengan tubuh kering"!"
"Sesumbarmu terlalu tinggi. Ratu Tengkorak Hitam!" desis Bidadari Hati Kejam
dengan wajah garang. "Meskipun aku tak tahu, apa hubunganmu dengan Raja Lihai
Langit Bumi, tak akan kulepaskan manusia busuk seperti kau ini!"
"Kita membuktikan ucapanmu itu, Bidadari Hati Kejam!"
Habis berkata begitu, Ratu
Dewi Penyebar Maut V I I 1 Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib Hina Kelana 31

Cari Blog Ini