Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap Bagian 2
obrolan tak menyenangkan itu.
Bu ljah memberitahu ada lima orang tamu yang
menanyakan Sumiyati. Dua adalah reporter yang
selama ini membantu tugas-tugas Sumiyati. Duaduanya meninggalkan bahan berita untuk dipelajari.
Lalu Hendro, bekas temannya satu kuliah di Fakultas
Hukum..., hanya kunjungan biasa. Disusul Anton,
wartawan majalah Selecta yang selama enam bulan
terakhir berusaha mendekati Sumiyati. Anton sempat
ngobrol hampir dua jam dengan Bu ljah. Diakhiri
dengan pesan halus yang maksudnya jelas: agar Bu
Ijah bersedia membujuk Sumiyati agar menerima
lamaran Anton untuk menikah.
"Sia-sia saja kalau aku mencobanya, bukan?" Bu ljah
mengerling. "la pemuda baik," jawab Sumiyati tersenyum. "Siapa
orang satunya lagi?"
"Neng Mira." "Mira yang mana?"
"Jandanya Kusmin. Katanya dia setuju riwayat
perkawinannya dimuat di majalah...," kata Bu ljah
sambil menambahkan bahwa masih ada empat pucuk
surat dan sejumlah panggilan telepon untuk Sumiyati.
Selagi berendam di bak yang dipenuhi air hangat
elektris, Sumiyati mencoba membuang pikiran
mengenai ayahnya. Banyak pekerjaan penting yang
patut ia perhatikan. Mira itu, misalnya. Terakhir kali
suami Mira, keluar dari penjara, ia berhasil dibujuk
seorang pengusaha real estate berpredikat Haji
supaya merubah cara hidup di usia Kusmin yang
menjelang senja. Kusmin diberi pekerjaan sebagai
kepala keamanan di proyek-proyek si pengusaha.
Demi istri dan anak-anaknya yang sudah meningkat
dewasa Kusmin berusaha bekerja sebaik dan seulet
mungkin. Bahkan ia rajin mengikuti pengajian
bersama Mira di rumah majikannya. Keluarganya
mulai dapat hidup tentram dengan penghasilan
memadai. Anak-anaknya pun terlepas pula dari
frustrasi. Tetapi semua harapan yang mulai dibangun,
tiba-tiba hancur berantakan manakala berkembang
aksi penembak misterius yang mengambil korban
pelaku-pelaku atau bekas pelaku kriminil.
Suatu malam, Kusmin dijemput lima orang berpakaian
preman. Salah seorang dari mereka dikenal Mira
bernama Pranoto, berpangkat sersan. Kusmin yang
yakin dirinya sudah bersih, menurut saja diminta ikut
naik jip. Pranoto yang sersan itu memang bilang cuma
ingin ngobrol-ngobrol di kantor mereka.
Pagi harinya, tubuh Kusmin ditemukan orang terkapar
di pinggir jalan by-pass Soekarno-Hatta, dengan
tangan terikat tambang plastik dan kepala tertembus
peluru. Semenjak hari itu, Mira dan anak-anaknya....
Pintu kamar mandi diketuk dari luar.
"Ada telepon," terdengar suara Bu ljah. "Interlokal. Dari
Ciamis!" "Tunggu sebentar," sahut Sumiyati dan cepat-cepat
menyelesaikan mandinya. Kemudian dengan hanya handuk membungkus
sebagian tubuh ia pergi ke meja kerjanya dan
mengangkat pesawat telepon.
'Hallo" lni Kang Maman, ya?"
"Mia" Aku sudah khawatir kau tak mau menyahuti
teleponku." "Ada apa, Kang Maman?" tanya Sumiyati seraya
duduk santai di pinggir meja. Tak perduli tepi bawah
handuk jatuh melebar, menyebabkan bagian bawah
tubuh Sumiyati terbuka menganga.
"Aku habis dicaci maki lbu!" Sukiman tertawa,
sumbang di telepon. "Kau yang bikin gara-gara!"
"Tolong sampaikan permintaan maafku, Kang Maman."
"Sudah." "Apa jawabnya?"
"la baru mau terima, kalau kau sudah jadi isteriku
yang sah. Oh... jangan memotong dulu, Mia. Bukan itu
maksudku meneleponmu larut malam begini. Tetapi...,
apakah kau baik-baik saja. Maksudku...," Suki
man menggantung kalimatnya. Sumiyati menghela nafas. Menahan deburan
jantungnya. Baru setelahnya, ia memberitahu: "la ada
di dekatku, Kang Maman."
"Cukup dekat?" Sukiman bertanya khawatir.
"Aku belum tahu. Baru gambaran sekilas saja."
"Kau bisa mengatasinya?"
"Mudah-mudahan. Dengan doa Kang Maman."
"Pendirianku belum berubah, Mia."
"Terima kasih, Kang Maman. Biarlah aku sendiri yang
menghadapinya. Kau sendiri punya persoalan yang
sama beratnya, bukan?"
"Aku" Persoalan apa?"
Sumiyati mencoba tersenyum. Jawabnya: "lbumu.
Nah... Selamat tidur, Kang Maman!" la meletakkan
gagang telepon tanpa menanti komentar Sukiman. Ia
tak ingin berpanjang cerita lagi. Karena buntut
pembicaraan jelas itu ke itu lagi: kapan Sumiyati
bersedia dinikahi Sukiman. Cara memutuskan
hubungan telepon semacam itu memang agak kasar.
Tetapi apa yang dapat diperbuat Sumiyati" la tidak
akan pernah bersedia menerima lamaran seorang
lelaki. Karena, bila itu ia lakukan juga, maka
keturunannya kelak akan jatuh sebagai korban....
Duduk gelisah di pinggir meja, mata Sumiyati terpaut
keempat pucuk surat yang disebutkan Bu ljah. la
mempelajarinya sekilas dengan pikiran tetap gundah,
tak menentu. Surat dari Anton ia buang ke keranjang
sampah tanpa membukanya. Surat lainnya dari
penerbit terkemuka di Jakarta. Sebuah tawaran untuk
menerbitkan dalam bentuk buku saku sebuah serial
kisah nyata bersambung yang ditulis Sumiyati dan
telah dimuat di majalah tempatnya bekerja. Sumiyati
lantas teringat, kisah nyata yang sama juga telah
ditawar seorang produser film untuk diangkat ke layar
putih. Tentunya si penerbit buku telah mendengar
kabar itu, lalu cepat-cepat memanfaatkan naluri
bisnisnya. Dua pucuk surat lainnya ia singkirkan karena
dianggap Sumiyati tidak penting. la lalu mempelajari
beberapa panggilan telepon yang dicatat Bu ljah di
buku nota. Satu dari pimpinan redaksinya di Jakarta.
Tanpa pesan. Kapten Rukmana tentunya menemui
sesuatu, sehingga memerlukan menelepon meski ia
tahu Sumiyati pulang ke Ciamis. Juga tanpa pesan.
Panggilan telepon lainnya tidak menyebut nama,
kecuali catatan di kertas nota: Pemda Jabar. Di
belakangnya, tambahan pesan pendek yang ditulis Bu
Ijah dalam huruf-huruf besar - tentunya atas petunjuk
si penelepon. Bunyinya: INFORMASI POSITIF.
Dua panggilan telepon lainnya tidak menarik minat
Sumiyati. Lalu ia menyimak nama Muranis Chaniago,
Sarjana Hukum, Advokat. Pesannya adalah: Penting,
hubungi setiap saat! Sumiyati berpikir, urusan penting apa maka pengacara
yang disegani banyak orang karena sepak terjangnya
yang tanpa pandang bulu itu, meninggalkan pesan
dengan prioritas utama seperti itu.
Ada suatu detak lembut di jantung Sumiyati, yang
kemudian mendorongnya untuk menyambar gagang
telepon dan memutar nomor-nomor yang sudah
menyatu dengan benaknya. Setelah mendapatkan
sambungan, ia berkata tenang: "Bang Anis Chan" lni
Sumiyati." Muranis Chaniago tidak bertele-tele. "Sum" Kau ada
waktu datang ke kantorku?"
"Dinihari begini?"
"Besok siang. Pukul dua, kalau bisa."
"Oke." "Jangan terlambat!"
"0ke." Pesawat telepon baru saja ia letakkan ketika Bu ljah
mendadak muncul dengan wajah pucat. "la datang
lagi!" bisiknya tajam.
Selama beberapa detik Sumiyati tidak menangkap
maksud perempuan setengah baya yang selama tiga
tahun terakhir ini telah mendampinginya dengan setia.
Setelah akhirnya otaknya mampu mencerna dengan
baik, Sumiyati merinding tiba-tiba. la duduk tegang,
mengawasi pembantunya yang tampak mulai
ketakutan. Di tengah kesunyian malam, pelan-pelan Sumiyati
mendengar suara berisik di luar rumah. Datangnya
dari pekarangan samping. Ada ketukan-ketukan
lembut di jendela. Disertai suara geraman lembut, lalu
nafas-nafas berat yang terputus-putus.
Ketika bunyi ketukan itu makin keras, Sumiyati
beluncur dari meja dan setengah berlari ke ruang
tengah dan kemudian bersijingkat ke dekat jendela
samping yang tirainya tertutup rapat.
"Kau itu, Ayah?" ia bertanya, parau.
Diam sesaat. Lalu terdengar lagi desah nafas berat
yang sesekali berdesing. Tangan Sumiyati terangkat.
Gemetar, dengan maksud akan membuka jendela.
Tetapi maksudnya diurungkan manakala di luar rumah
terdengar suara hardikan lantang:
"Berhentil Siapa itu"!"
Ada langkah-langkah kaki berlari menjauh, disusul
teriakan-teriakan beberapa orang yang jelas
mengejar. Sekujur tubuh Sumiyati melemah, dan ia
tersandar di tembok dengan wajah pucat pasi.
Bu ljah datang memburu dan menyingkapkan tirai
jendela dan mengintip lewat kaca. Tirai kemudian ia
tutupkan kembali seraya berbisik cemas: "ltu si Eman
datang...." Butir-butir air mata melelehi pipi Sumiyati sementara
Bu ljah pergi ke pintu samping yang digedor dari luar.
Sumiyati tidak berani bergerak. Cemas dan takut
serta dukacita yang dalam bergalau dalam dadanya
yang terasa sesak mengerikan. Lamat-lamat ia dengar
suara percakapan antara Bu ljah dengan Eman dan
seorang lainnya lagi. "... kami baik-baik saja," Bu ljah rupanya menjawab
pertanyaan Eman. "Bajingan itu lolos lagi," terdengar suara Eman geram.
"Tetapi Kurdi dan Ading masih mengajarnya. Bajingan
itu nanti akan lihat, bahwa nyamuk pun tak dapat
selamat dari mata golok Kurdi!"
Sumiyati menjerit. Namun tak ada suaranya yang
keluar, kecuali erangan lirih dan air mata yang kian
membanjiri pipi. Jerit ketakutan hanya membuat
jantungnya melemah, dan ulu hatinya terasa melilit
sakit. "Kalian mengenali dia?" terdengar Bu ljah bertanya,
ingin tahu. "Tidak," jawab Eman.
Dan temannya menimpali: "la pakai mantel bulu.
Bertopeng lagi. Penjahat aneh dia itu...."
"Dan larinya cepat sekali!" Lagi Eman berbicara. "Oh
ya. Apakah Neng Sumiyati sudah tidur?"
"... sudah." "Biarkan saja. Jangan bangunkan. Kasihan. la tentunya
masih capek. Ayo, pak er-te. Kita minta bantuan yang
lain untuk ikut mengejar."
sangat penasaran ingin tahu
mengapa dia dibunuh dan siapa pembunuhnya. Tidak
seperti keluarganya Azis Partogi, yang menolak
almarhum diotopsi dan ingin menguburkan
jenazahnya secepat-cepatnya."
"Keluarga Azis Partogi sudah cukup menderita, Pak
Singgih." "Oh ya" Aku dengar, malah mereka jauh lebih
berbahagia dengan matinya si malang itu.
Menyangkut harta waris, tentu. Apakah kau
membiarkan mereka begitu saja, Rukmana?"
"Orang-orangku masih terus melakukan pengusutan,
Pak. Cara kerja mereka tak pernah kuragukan. Tetapi
bukan itu yang akan kita obrolkan dini-hari begini,
toh?" Sang tamu membuka tasnya yang lusuh. la keluarkan
beberapa catatan, yang sama lusuhnya. Setelah
membacakan beberapa istilah kedokteran, ia
kemudian berkata puas: "Biar aku hanya punya waktu
sedikit memeriksa jenazah Azis, tetapi aku berhasil
memperoleh beberapa petunjuk. Dan semua petunjuk
itu, juga kutemukan - bahkan lebih lengkap, di
catatan hasil otopsi jenasah Drs. Durasin dari dokterdokter sahabatku di rumah sakit Ciamis. Kesimpulan
yang dapat kutarik, Kapten Rukmana...."
"Di rumahku, tak usahlah berlaku formil, Dokter!" tegur
Rukmana Hadinata, lembut.
"Sialan, jangan memotongku!" dokter kepolisian itu
mendengus tak senang. "Kesimpulanku Rukmana, cara
kematian Azis dan Durasin adalah sama. Dan
pembunuh mereka, kalau bukan orang atau makhluk
yang sama, tentulah...."
"Makhluk, dokter?"
"ltu dia kejutan buatmu, Rukmana!"
"Oh ya?" "Ada saksi mata yang secara kebetulan melihat
sesosok tubuh melarikan diri dari tempat
ditemukannya mayat Durasin. Menurut saksi mata itu,
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rukmana, sosok tubuh itu berwarna gelap. Namun
sempat melintas di bawah sinar rembulan. Sekujur
tubuhnya berbulu. Matanya memerah saga. Dan
wajahnya, kalau itu dapat disebutkan wajah...,
berbentuk lancip. Dengan lidah terjulur panjang,
meneteskan semacam buih...."
"Kau menghendaki bulu kudukku merinding, Pak
Singgih?" Rukmana Hadinata tersenyum lebar.
"Benar. Karena aku masih punya kejutan lain buatmu."
"Aduh. Jangan terlalu banyak kejutan, dokter. Nanti
seisi rumahku pada terbangun kaget!"
"Mau dengar tidak?"
"Ya, mau!" "Nah. Menuruti amanatmu, aku sempatkan untuk
berdialog dengan dua orang pejabat kepolisian
setempat. Apa yang mereka peroleh bukan untuk
umum, khususnya wartawan. Memang masih perlu
dicek akurat atau tidak. Namun petunjuk yang
mereka peroleh, jelas mengarah ke satu alamat. Dan
alamat itu, Rukmana, adalah alamat kampung asal
gadis kita yang menarik hati itu..."
"Gadis kita, Pak?"
"Alaaa!" dokter Singgih tertawa mengejek: "Bukan kau
saja yang normal sebagai laki-laki, Rukmana. Kalaulah
aku jauh lebih muda, aku akan melakukan segala
cara untuk dapat tidur barang satu dua jam dengan
gadis itu!" "Husssh!" Rukmana menempatkan jari telunjuk di
bibir, seraya matanya melirik cemas ke pintu kamar
tidur isterinya. "Jangan keras-keras, ah. Dan eh. Kau
selalu menyebut gadis, tidak menyebut nama..."
"Kau berpura-pura!" tuduh dokter Singgih, dengan bibir
mencibir. Mendengar tuduhan itu, benarlah apa yang tadi
dikatakan tamunya. Mendadak, bulu punduk Rukmana
Hadinata pada merinding seketika. Suaranya seperti
tertelan, ketika ia berbisik: "Sumiyati?"
Dokter Singgih mengangguk-anggukkan kepala
botaknya yang tampak ditetesi butir-butir keringat. Ia
memandang tuan rumah, menunggu reaksi yang lebih
hebat. Tetapi Rukmana mengalami kejutan itu sekilas saja,
untuk seterusnya ia mencoba menenangkan diri dan
berkata pelan: "Satu kampung, oke. Tidak ada
salahnya...." "Ada, Rukmana."
"Ya?" "Mereka bahkan satu atap."
"la..., punya suami?"
"Senangkan dirimu, Rukmana. Sumiyati tidak berkata
bohong tentang status kegadisannya. Yang aku
maksud, adalah ayahnya."
"Oh, oh, oh. lni agak rumit, Dokter. Coba ceritakan
lebih jelas...!" Rukmana berkata begitu sambil di dalam
hati berharap bahwa yang ia dengar adalah ringkasan
sebuah novel misteri atau permainan trick dalam
sebuah film horror. Bukan suatu kenyataan, seperti
nyatanya kehadiran Sumiyati di lokasi penemuan
jenazah Azis Partogi. Tiba pada pemikiran itu,
belakang kepala Rukmana berdenyut.
Denyutan itu terasa ganjil.
Tidak menyenangkan. *
GONCANGAN yang dialami Sumiyati malam harinya
mereda setelah pagi-pagi ia dengar usaha pengejaran
terhadap ayahnya tidak memperoleh hasil apa-apa.
Meski masih diliputi tanda tanya, telepon pertama
yang ia terima pagi hari itu cukup menggembirakan
pula. Rukmana Hadinata menanyakan apakah ia sehatsehat saja. Kapten polisi itu juga mengingatkan,
bahwa undangannya makan malam bersama
Sumiyati masih tetap berlaku. Sebelum ditanya oleh
Sumiyati, Rukmana sudah lebih dulu menjelaskan
bahwa satu hari sebelumnya ia juga menelepon ke
rumah Sumiyati. "Siapa tahu kau pulang hari dari Ciamis dan janji
makan malam itu bisa kita tetapkan waktunya."
"Kau baik sekali, Kapten", komentar Sumiyati setulus
hati. "Laki-laki lain akan berbuat lebih baik untuk gadis
secantik engkau, Neng," Rukmana tertawa . "Andai
saja aku tidak terikat pada anak dan isteriku..."
"Apa kabar lbu di rumah, Kapten?"
Setelah sedikit berbasa-basi dan menyepakati untuk
makan malam dua hari berikutnya, Sumiyati
kemudian sibuk dengan pekerjaannya yang rutin.
Pukul 12 siang ia telah menyelesaikan dua artikel dan
satu berita. Dilengkapi dengan foto-foto eksklusif,
artikel, dan berita itu ia poskan ke alamat majalahnya
di Jakarta. Dari kantor pos ia memacu mobilnya ke
rumah Mira, janda bekas residivis kelas kakap itu.
Maksudnya hanya untuk menetapkan janji temu yang
waktunya lebih leluasa. Ternyata Mira
mengungkapkan bahan baru untuk dipelajari oleh
Sumiyati. "Sebelum suamiku dibawa mereka, kami pernah
didatangi seorang oknum," Mira bercerita dengan
bernafsu sehingga Sumiyati tak sampai hati untuk
mengatakan agar hal itu nanti saja dibicarakan.
"Suamiku mengetahui oknum itu terlibat dalam suatu
tindak pidana. la datang untuk mengancam suamiku
agar jangan membuka rahasia, kalau tidak.....," Mira
menghela nafas panjang, yang maknanya dapat
dimengerti Sumiyati. "Suamiku tahu akan posisinya
yang terjepit. Jadi ia memutuskan untuk tutup mulut.
Sialnya, keterlibatan oknum entah bagaimana
terungkap juga. Pangkatnya diturunkan satu tingkat
dan ia juga dimutasi ke jabatan yang kering. Kami
mengetahui itu dari surat kabar. Aku begitu cemas.
Tetapi suamiku tenang-tenang saja, merasa tidak
bersalah. Dan tiba-tiba malam itu, muncullah
mereka...." Mira memberikan identitas lengkap oknum yang ia
maksud, dan juga sejumlah petunjuk tambahan untuk
melengkapi bahan tulisan Sumiyati nantinya.
Waktu berlalu tanpa terasa, dan ketika Sumiyati
memarkir mobilnya di Jalan Braga, ia sudah terlambat
lima menit dari janji yang telah ia sepakati bersama
Muranis Chaniago. Bergegas Sumiyati memasuki
sebuah gedung bertingkat peninggalan jaman
Belanda. Naik ke lantai tiga, ia disambut oleh Rita
Suhardiman, sekretaris Muranis Chaniago.
"Kau sudah ditunggu, Sum," sambut Rita seraya
mengantar Sumiyati ke sebuah pintu tert utup. Pintu ia
ketuk, dibuka lalu mempersilahkan: "Masuklah."
Sebelum pintu kembali tertutup di belakangnya,
Sumiyati sempat mendengar Muranis Chaniago
berpesan pada sekretarisnya agar mereka tidak
diganggu selama pembicaraan belum selesai. Sumiyati
kemudian sadar, bahwa yang dimaksud "mereka"
bukan hanya ia dan si pengacara, tetapi juga dua
orang lainnya. Yakni dua orang tokoh yang mau tidak
mau membuat Sumiyati terkesiap. Jantungnya
berdegup kencang. Matanya sesaat menjadi liar.
Terbayang sosok tubuh ibunya terlempar dari pinggir
jalan, melayang ke pagar bambu yang dengan kejam
menyambut lambungnya, tembus sampai ke
punggung... Di belakang mejanya, Muranis Chaniago, Sarjana
Hukum, dengan matanya yang jeli dan awas
memperhatikan kesimpulan bahwa dua orang
tamunya yang lain telah dikenal baik oleh Sumiyati.
Sebaliknya, Barman Bratamenggala tampak
kebingungan dan memperlihatkan wajah tak senang.
Ada pun Eddi Bratamenggala, mengerutkan dahi
sebentar seraya menyimak Sumiyati dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. Eddi kemudian
menggelengkan kepala dengan kaku. Pertanda, ia
tidak dapa "Sumbangan Bank untuk wisma kami, sangat besar
sekali artinya. Apa lagi dari Pak Anis Chan kami
dengar, setelah Bapak kelak sudah resmi jadi Wakil
Gubernur, Bapak akan nyumbang lebih banyak lagi.
Adalah penting sekali untuk kita semua mengetahui..."
Muranis Chaniago batuk-batuk, sementara wajah
Barman Bratamenggala yang semula ramah dan
cerah, mendadak berubah kaku. Pimpinan wisma
jompo itu masih mengucapkan sekeranjang pujian
lagi sebelum tangannya ditarik oleh salah seorang
tamu yang memaksanya duduk dengan halus.
Barman Bratamengga pun duduk pula. Duduk
terhenyak, dengan pendaman kemarahan luar biasa
di sanubarinya yang menggelegak mengerikan. Ia
mengerti sekarang. Tiga puluh juta rupiah yang
diminta oleh Muranis Chaniago hanyalah merupakan
sebuah permulaan belaka! Transaksi hari ini, benar berbau kampanye untuk
jabatannya mendatang, juga jabatan putranya. Tetapi
secara tidak langsung, ia telah diikat untuk memberi
lebih banyak. Oleh karena dana dari Pemda untuk hal
semacam itu jelas sudah ditentukan batasnya, maka
Barman Bratamenggala sudah dapat membayangkan
kantong pribadinya kelak akan mengalami banyak
kebocoran yang harus ia tanggulangi sendiri...
"Anak jadah itu...!" ia membatin dengan mata melirik
tajam kearah Muranis Chaniago yang berlagak pilon
dengan pura-pura asyik beramah tamah dengan tiga
orang tamunya yang muncul belakangan itu.
Tak sampai sepuluh menit berikutnya, ketiga orang
tamu terhormat itu meninggalkan kantor pengacara
dengan mengantongi masing-masing Rp 10 juta untuk
yayasan mereka. Eddi Bratamenggala sudah lebih tenang. Ia juga sudah
mencium keuntungan yang akan ia dan ayahnya
peroleh di masa mendatang dari transaksi itu. Sayang,
ia telah mengabaikan bahwa semua itu merupakan
sebuah pemerasan halus, yang kelak dibelakang hari
dapat berkembang menjadi lebih kasar.
Adapun Barman Bratamenggala, dengan wajah
memerah dadu kembali mengawasi tuan rumah dan
tanpa duduk kembali ia berkata dengan suara
gemetar menahan amarah: "Kami tidak diperlukan
lagi, bukankah"!"
Suatu ungkapan yang menyiratkan bahwa ia merasa
dirinya telah diperlakukan tak ubahnya sebagai
sampah yang harus segera disingkirkan jauh-jauh.
Untuk mengimbanginya, ia menambahkan dengan
suara tajam: "Kuharap kita lain kali dapat bertemu
lagi, Tuan Pengacara. Dalam kondisi yang berbeda
tentunya." Lalu ia menggamit tangan putranya untuk bersiap-siap
pergi. Muranis Chaniago mendehem lembut. Hampir tak
acuh, ia bergumam: "Ada wartawati diantara kita,
kalau tak salah...." Dan pada Sumiyati ia berujar
penuh misteri: "Atau, kau ingin memberikan komentar
sebagai pribadi, Sumiyati?"
Sumiyati menahan senyum. la telah menangkap
lelucon mengagumkan dari pengacara bertubuh
pendek itu. Maka seraya duduk santai di tempatnya,
dia lantas menciptakan lelucon baru dengan sebuah
pertanyaan yang ditujukan pada anak beranak itu:
"Alangkah bahagianya, apabila almarhumah lbuku
dapat berkenalan dengan Tuan-Tuan berdua. Akan
lebih berbahagia lagi, seandainya Tuan-Tuan ini sudi
kiranya mendoakan ketenangan arwah beliau di alam
kubur!" Eddi Bratamenggala kembali bingung. Ada pun
ayahnya, masih terpengaruh oleh pendaman dendam
kesumat serta kemarahan tiada terperi, tampak
begitu susah payah untuk mengendalikan diri. Sadar
bahwa ia telah melakukan satu lagi kesalahan
terbesar yang pernah ia perbuat sepanjang hidupnya.
Berusaha selembut mungkin, ia berkata: "Agaknya,
permintaan maaf sudah terlambat untuk kami
sampaikan, Nona Sumiyati?"
Yang ditanya hanya diam dengan senyuman tipis di
bibir. Tetap tegak dengan angkuhnya, Barman
Bratamenggala langsung menyerbu: "Berapa kau
minta, Nona?" "Boleh aku mengutarakan sesuatu?" ia bertanya,
tenang dan dingin. "Silakan." "Sebaiknya, duduklah Tuan-Tuan. Kita rileks saja, oke?"
Sumiyati menyeringai, dengan mata sesaat tampak
berubah liar. Setelah kedua orang itu menuruti
permintaannya dengan setengah terpaksa, ia
memulai: "Tuan-Tuan ini adalah manusia-manusia
yang sangat beruntung. Jabatan dan kehidupan TuanTuan sekarang..." "Waktu saya sangat sedikit, Nona," Barman berbisik.
Tajam. "Oke. Aku akan langsung ke inti persoalan," desah
Sumiyati hambar. "Selain sebagai anggota komisaris di
bank terkemuka, Tuan Barman juga merangkap
jabatan penting di divisi pemasaran Pertamina depot
Jawa Barat. Tuan konon akan melepaskan jabatan
yang diperebutkan banyak orang itu, demi cita-cita
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuan untuk terjun ke karir politik. Berapa banyak
simpanan Tuan di bank" Berapa banyak pula yang
Tuan investasikan di...."
"Kau banyak tahu, Nona," tukas Barman
Bratamenggala, dengan nada yang mengandung
banyak makna. Salah satu makna yang sudah lumrah
diselami seorang wartawan, adalah:
Orang yang banyak tahu, hidupnya tidak akan
panjang. Sumiyati tetap tenang. Kembali mengulang
pertanyaannya: "Berapa banyak, Tuan Barman?"
"Kau melampaui batas pembicaraan kita, Nona.
Sebaiknya, sebutkanlah jumlah yang kau kehendaki!"
"Dalam puluhan juta?"
"Jumlah pasti, Nona!"
"Puluhan milyar?" Sumiyati tersenyum.
Bukan lagi merah dadu. Pucat bagaikan kertas sudah
wajah Barman Bratamenggala ketika ia mendesis:
"Jangan serakah, Nona!"
"Siapa yang serakah?" Sumiyati tetap tersenyum. "Aku
berbicara tentang kekayaan pribadi, Tuan Barman
Bratamenggala. Hanya sebagai perbandingan.
Misalkan kau punya puluhan milyar rupiah. Lalu kau
menyerahkan semuanya untukku. Apakah Tuan
Barman dengan harta karunmu itu ibuku dapat
dihidupkan kembali?"
*cb***
BARMAN BRATAMENGGALA tak mampu berkata-kata.
Tubuhnya yang tinggi besar mendadak loyo tak
berdaya. la seperti orang mimpi berjalan saja, ketika
sang anak menggamit lengannya dan setengah
menyeretnya ke pintu. Anak beranak itu menghilang,
bahkan tanpa pamit. Muranis Chaniago menutupkan pintu perlaha-lahan,
kemudian mendesah panjang. "Pukulan luar biasa,
Sum! Sehingga pukulan yang kuberikan sebelumnya
tak lebih dari gigitan nyamuk belaka!"
"Kuharap saja mereka tahu diri. Mau bersikap jantan,"
ujar Sumiyati seraya menggerakkan tangan waktu
Muranis Chaniago menawarkan rokok. Dengan cara
itu menyulut sebatang untuk dirinya sendiri. Duduk
santai di hadapan Sumiyati ia berkata: "Aku mengerti.
Kau berharap agar anak beranak itu membuat
pengakuan bersalah, permintaan maaf. Tentunya
tertulis dan secara terbuka. Di mass-media. Benar
bukan?" "Lebih dari itu, Bang Anis. Aku juga berharap ada
tindak lanjut. Mereka telah memanfaatkan uang serta
kedudukan mereka untuk menutupi-nutupi sejumlah
tindak pidana. Oleh karenanya mereka la ntas
mengundurkan diri dari jabatan-jabatan mereka yang
sekarang, maupun yang akan datang. Karena merasa
mereka tak pantas mendudukinya..."
"Kau percaya mereka mau melakukannya, Sum?"
"Tidak!" Sumiyati menggelengkan kepala. "Dan,
mereka telah membawa pergi rekaman itu. Rekaman
termahal yang pernah kuketahui!"
Muranis Chaniago terbatuk sebentar karena asap
rokok sempat tertelan. "Mestinya aku bert erima kasih
padamu, Sumiyati!" "Terimakasih, Bang Anis" Untuk apa?"
"Kau telah menyelamatkan sebagian harta waris
keluarga yang ada dibawah tanggung jawabku. Coba
lihat situasinya. Aku telah nekat berspekulasi, Sum. Si
Barman itu tidaklah kukhawatirkan benar. Uang tiga
puluh juta rupiah tak ada artinya buat dia. Yang aku
khawatirkan, justru engkau..."
"Aku?" "He-eh. Kau tahu bukan" Sebenarnya aku dapat saja
melakukan transaksi itu tanpa melibatkan dirimu.
Tetapi itu tidak fair, bukan" Jadi demi setiakawan aku
mengundangmu hadir. Dengan resiko..."
"Apa resikonya?"
"Kau menolak transaksi itu. Mengambil rekaman untuk
kau miliki sendiri. Padahal, Sum. Di luar sudah
menunggu tiga orang tamu-tamu terhormat. Yang
sudah diberi kepastian, mereka akan menerima
bantuan sosial masing-masing sepuluh juta rupiah,
kontan. Atau cheque, apabila uang itu keluar dari
kantongku sendiri..."
Sumiyati menggeleng takjub, kemudian tertawa
renyai. "Pantaslah kau dijuluki pengacara sinting Bang
Anis," katanya. "Tetapi sungguh mati, aku tak pernah
berpikir sejauh itu..."
"Mengapa" Bukankah kau dapat mempergunakan
rekaman itu untuk menuntut Barman dan anaknya di
pengadilan?" "Oh ya" Lalu apa yang terjadi, Bang Anis Chan.
Mereka akan membeli satu tim penasihat hukum
yang hebat-hebat, dan..."
"Ah. Sekeranjang sampah!"
"Oke. Sampah-sampah itu pasti berusaha agar
perkara klien mereka di dep, atau dinetralisir
sedemikian rupa. Sehingga anak-beranak haram
jadah itu akan tertawa terbahak-bahak, sementara
aku mengucurkan air mata darah!"
"Mengerikan," desah Muranis Chaniago masgul.
Teringat bahwa ia sendiri adalah seorang penasihat
hukum pula. "Tetapi kau masih punya cara lain.
Rekaman itu dapat kau sebar luaskan. Di mass-media.
Kau dapat mengolahnya sedemikian rupa..."
"Wah, Bang Anis. Kau agaknya lupa, sekarang ini
sedang musim-musimnya budaya telepon!"
"Betul juga!" Muranis Chaniago tersenyum getir.
"Lantas apa yang akan kau perbuat?"
"Belum tahu," Sumiyati mengangkat pundak.
"Lalu bagaimana kau tahu mengenai isi rekaman itu
tanpa pernah mendengarkannya?"
"Dengan menarik kesimpulan, Bang Anis. Dari faktafakta yang selama ini kukumpulkan. Ditambah
kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal ..."
"Mari kita cocokkan!" desak Muranis Chaniago
penasaran. "Oke. Azis Partogi tadinya seorang supir. Pekerjaan
yang memadai, karena ijasah es-em-a- pun tak ia
miliki. Kemudian, terjadi peristiwa. lbuku meninggal
sebagai korban tabrak lari. Pelakunya Eddy
Bratamenggala, anak tunggal dan kesayangan
keluarga terhormat dan kaya raya. Dengan setumpuk
janji-janji maka Azis Partogi mengambil alih tanggung
jawab secara hukum. Dia diberi modal usaha, asap
dapur keluarganya dijamin. Tetapi apa yang dapat
diperbuat seorang berpendidikan rendah, tidak
berpengalaman pula" Beberapa kali usahanya gulung
tikar, sementara cukongnya mulai bosan. Tahu
gelagat, Azis Partogi menempuh jalan lain. Atas
petunjuk orang-orang tertentu, ia membuka usaha
baru dengan memanfaatkan kedudukan seorang
cukong. Barman sebagai bankir, dan Eddi sebagai
pejabat yang ikut menentukan proyek-proyek di
Pemda Kabupaten." "Karena ia memegang kartu as, cukong-cukongnya
tak dapat menolak. Hanya, secara halus dan perlahanlahan dibuat rencana untuk menyingkirkan Azis
Partogi. Kembali ia mencium gelagat. Dan lagi-lagi, si
gelandangan yang ternyata masih punya otak itu,
mengambil tindakan penyelamatan. la merekam
sendiri apa-apa yang ia ketahui. Satu rekaman itu ia
kirimkan pada cukongnya sebagai bukti ia tak dapat
diremehkan. Sambil tak lupa memberitahukan bahwa
demi sekuriti dirinya, ia juga menyimpan satu
rekaman lagi. Dan ia menyimpannya di tempat yang
ia anggap paling aman, serta tidak dapat diduga
lawan-lawannya. Apakah penjelasanku idem-dito
dengan isi rekaman itu, bang Anis?"
Anis Chan batuk-batuk lagi, sampai tubuh pedeknya
terguncang. "Rokok terkutuk ini!" makin pelan. Lalu:
"Kalau dari sejak semula aku mengenalmu lebih dulu,
Sumiyati...," katanya. "Aku tak akan menggaji dua
orang pensiunan polisi untuk membantuku melacak
bahan-bahan yang kuperlukan untuk perkara klienku
selama ini....!" "Bagaimana mulanya sampai Azis Partogi jadi
klienmu, Bang Anis?" sela Sumiyati ingin tahu.
"Sederhana saja. Suatu hari, sekitar dua tahun yang
lalu, aku ditelepon Azis Partogi. Kami belum pernah
mengetahui satu sama lain. Tahu kau apa yang ia
bilang" la bilang, bahwa ia telah menyelidiki banyak
orang yang kira-kira dapat dipercaya, baru kemudian
ia putuskan akulah yang paling dapat dipercaya..."
Muranis Chaniago tersenyum dikulum seraya
memadamkan rokoknya di asbak. Meski ia sebut
terkutuk, toh ia menyulut juga sebatang lagi.
Kemudian: "Aku agak keki juga mendengarnya. Jadi aku tidak
langsung menerima permintaannya sebagai klien.
Kuminta ia memberikan tempo dua hari. Tempo yang
cukup untuk balas menyelidiki karakter dan
kelakuannya. Selain itu, kebetulan si Rita juga
menyimpan sejumlah kliping berita-berita yang kau
tulis tentang dia. Nah. Baru kunyatakan oke. Dan
meski yang ia titipkan padaku hanyalah sebuah
amplop berisi kunci duplikat sebuah kotak simpanan
di kantor pos, maka aku menentukah sendiri
honorarium bulananku yang harus ia bayar. la setuju.
Dan, itu adalah salah satu kasus paling mudah dan
sederhana tetapi dapat bayaran paling tinggi, yang
pernah kutahu, benda sepele yang tersimpan di kotak
pos itu ternyata berbuntut perkara besar dan unik
pula. Aku bahkan tak mengetahuinya, ketika kotak
pos kubuka dan..." Muranis Chaniago tiba-tiba membelalak. Seperti kaget
pada sesuatu. la bangkit, berjalan ke brankas dan
kemudian menyodorkan sebuah bungkusan kepada
Sumiyati. "Hampir lupa. la juga menitipkan ini
untukmu. Dan karena aku masih ingin hidup seribu
tahun lagi," Muranis Chaniago tertawa, "kuharap saja
isinya bukan dinamit!"
Setelah memandangi sejenak bungkusan di depan
matanya, Sumiyati bergumam: "Aku dapat menduga
isinya, Bang Anis. Kau benar. Bungkusan ini berisi
dinamit... ah, jangan kaget dulu. Aku maksud, isi
bungkusan ini dapat kumanfaatkan sebagai dinamit,
Buat Eddy Bratamenggala!" Sambil berkata demikian,
Sumiyati melepaskan lak pengikat lalu membuka
bungkusan dimaksud. Apa yang kemudian mereka
lihat adalah sehelai kemeja lelaki warna merah darah
dengan motif kembang. Muranis Chaniago tercengang. Nyeletuk heran: "Apaapaan si Azis itu" Sebagai pengakuan bersalah, ia
boleh saja memberimu hadiah. Tetapi mengapa harus
kemeja lelaki" Sudah lusuh pula. Apakah...."
Omelan Muranis Chaniago terputus ketika melihat
Sumiyati menatap kemeja merah itu dengan wajah
diliputi duka cita serta sudut-sudut kelopak mata
dilinangi butir-butir air bening. Setelah hening sejenak,
Muranis Chaniago yang tidak tahu mau berkata apa
lagi, lantas mengeluh: "Aku lapar. Kau mau ikut?"
Baru saja mereka berdua keluar dari kamar kerja
Muranis Chaniago, Leo Sambuaga telah mendatangi
dan memberitahukan ada serombongan tamu
menunggu dari tadi di kamar kerja asistennya itu.
"Buruh-buruh perkebunan, Pak," Leo menambahkan.
"Yang dari Cianjur Selatan itu?" tanya Muranis
Chaniago. "Benar, Pak. Tetapi kalau Bapak ada acara..., ia
tersenyum manis pada Sumiyati yang sedikit pun
tidak menanggapi meski kemudian Leo Sambuaga
mengerlingkan mata pada bossnya.
"Kau dapat mengaturnya, Leo?"
"Hanya pengumpulan data, Pak."
"Bagus Kau uruslah mereka...," Muranis Chaniago
menarik tangan Sumiyati menuju tangga, lalu behenti
mendadak. "Leo?" ia memanggil asistennya yang
masih berdiri memperhatikan betis mulus Sumiyati
dengan tatap mata mengandung birahi. Pemuda itu
tersentak kaget. Wajahnya memerah. Muranis
Chaniago maklum. Dan seraya tersenyum,
memaafkan, ia berkata: "Tentunya rombongan tamu
kita itu lelah karena perjalanan jauh, bukan" Beri
mereka minuman, Leo. Dan nanti akan kukirimi pula
nasi bungkus. Berapa orang semuanya?"
Setelah Leo Sambuaga menyebutkan jumlahnya,
Muranis Chaniago membimbing Sumiyati menuruni
tangga. Mereka memilih naik mobil Sumiyati dengan
keputusan dari rumah makan nanti si pengacara
dapat pulang dengan taksi. Sambil menjalankan
mobilnya tanpa tergesa-gesa, Sumiyati yang ingin
membuang lamunan menyedihkan tentang
almarhumah ibunya, bertanya sambil lalu:
"Agaknya kau selalu punya uang lebih untuk klienklienmu, Bang Anis?"
Muranis Chaniago gembira dengan perubahan sikap
Sumiyati. Dengan riang ia pun menjawab: "Aku ikuti
pesan almarhum Ayahku, Sum."
"Apa pesannya?"
"Kalau seseorang ingin tetap berdiri tegas, sebesar apa
pun kedudukan serta statusnya, orang itu harus selalu
siap mendampingi orang-orang yang jauh lebih kecil.
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hidup bersama mereka, dan berusaha menyelami
jiwa serta kebutuhan mereka..."
"Seorang Ayah yang mulia, Bang Anis."
"Karena dulunya beliau juga rakyat jelata, Sum...," dan
Muranis Chaniago bercerita secara ringkas tentang
almarhum ayahnya. "Ayah meninggalkan keluarganya
di Payakumbuh tanpa bekal modal kecuali tekad dan
keberanian. la merantau ke Jakarta dan memulai
pekerjaan sebagai tukang cuci piring di sebuah
restoran milik orang sekampung. Dalam waktu luang,
ia sempatkan ikut membantu di dapur..."
Berkat keuletan serta rajin pula, ayah Muranis
Chaniago dapat menabung sedikit-sedikit. Selain itu,
kepala koki di rumah makan Padang itu berbaik hati
pula memberi petunjuk-petunjuk mengenai resep
serta cara memasak makanan yang sesuai dengan
selera banyak orang. "Tetapi ingat. Kalau semua orang
memakai resep yang sama, maka akan terjadi
persaingan keras. Maka selalu camkan, bahwa kau
harus membuat resep khusus, yang setiap saat harus
kau kembangkan sejalan dengan semakin kerasnya
persaingan...," kepala koki itu menasihatkan.
Nasihat itu selalu diingat dan kemudian dilaksanakan
Ayah Muranis Chaniago ketika pada akhirnya ia
membuka usaha sendiri. Dimulai dengan sebuah
kereta dorong. Melalui perjuangan keras dan
menghadapi banyak tantangan selama sekian belas
tahun, barulah ayah Muranis Chaniago dapat berdiri
secara mapan. "Ketika beliau meninggal dunia, ia meninggalkan
untuk aku dan saudara-saudaraku dua buah restoran
terkemuka di Jakarta dan sembilan cabangnya di
Puncak, Bandung, Surabaya, bahkan sampai di Bali
serta Madura...," Muranis Chaniago nyata-nyata sangat
bangga pada ayahnya. "Untuk membuatnya lebih
mudah, Ayah juga meninggalkan kami perusahaan
peternakan ayam di Sindanglaya Puncak, serta
sebuah peternakan sapi di Lombok."
"Bukan main!" Sumiyati berdecak kagum. "Lalu
mengapa Bang Anis bersusah-payah jadi pengacara"
Bukankah dengan harta warisan ayah Bang Anis, kau
sudah bisa ongkang-ongkang kaki?"
"Soalnya, Sum. Sewaktu ayahku masih membuka
usaha kereta dorong, ia sering dikejar-kejar pihak
berwajib. Padahal ia juga membayar uang retribusi,
uang lpeda, pajak usaha yang kata oknum-oknum
yang menariknya semua resmi dan sah. Tetapi bila
dikejar-kejar, oknum-oknum itu tidak pernah
menampakkan batang hidung. Sekali, ketika kereta
dorong dengan segala isinya dihancurkan para
petugas, ia nekat berperkara ke pengadilan. Hasilnya,
tentu kau dapat menduga. la meninggalkan
pengadilan dengan status kembali jadi gelandangan.
Syukurlah ia termasuk orang yang tabah. Pantang
menyerah!" "Dan, Bang Anis beliau targetkan untuk memenuhi
impiannya yang lain. Impian, yang dari apa yang
selama ini kubuktikan dengan mata kepalaku sendiri
akhirnya menjadi kenyataan!"
"Apalah aku ini, Sumiyati!" Muranis Chaniago
mengelak dengan senyuman tersipu-sipu.
Mereka makan siang di salah satu restoran milik
keluarga Muranis Chaniago. Sebelum mereka
bersantap, tak lupa Muranis Chaniago berpesan pada
pegawai rumah makan agar membungkuskan 17
makanan lengkap, masing-masing 9 bungkus untuk
tamu-tamunya dan 8 bungkus untuk para
pegawainya. "Kirimkan secepatnya ke kantorku," katanya.
Selagi makan siang, mereka berdua tidak
mengobrolkan hal-hal yang ada kaitan dengan
pekejaan masing-masing. Yang mereka obrolkan
hanyalah hal-hal sepele yang terjadi disekitar
lingkungan mereka, terutama tentang watak-watak
manusia yang mereka anggap menggelikan.
Selesai makan dan istirahat sejenak seraya mencicipi
minuman dingin, Muranis Chaniago melakukan
sesuatu yang mengherankan Sumiyati. Pengacara itu
meminta rekening semua pesanannya dan langsung
membayar kontan. "Marketing harus tetap berjalan,
kalau tak ingin usaha kita gulung tikar," kata
pengacara bertubuh pendek itu, menjawab keheranan
yang tampak di mata Sumiyati. "Kalau ingin
mengambil bagian, ambillah dari keuntungan usaha.
Bukan dari modal!" Sebelum mereka berpisah, Sumiyati mendadak
teringat bahwa masih ada hal lain yang perlu ia
utarakan pada pengacara itu.
"Abang ingat Nyonya Novianti" la salah seorang klien
Abang. Janda pejabat Bea Cukai yang warisannya
pernah diributkan tidak saja antar keluarga, tetapi
juga oleh Pemerintah..."
"Mana aku lupa" la tidak saja masih muda dan cantik,
tetapi dompetnya juga selalu menganga terbuka agar
uangnya mudah mengalir keluar. Ada urusan apa kau
dengan dia?" "Bukan apa-apa. Aku mendapat penawaran untuk
membukukan dan juga memvisualkan tragedi
perjuangannya ke layar putih, selagi ia masih jadi
isteri muda pejabat itu, sampai ke perjuangannya
sebagai seorang janda yang berhasil lolos dari
sejumlah perangkap berbahaya. Barangkali, Bang Anis
Chan. Kau dapat membantuku membujuk ia memberi
lampu hijau. Juga menentukan pembagian
honorarium," Sumiyati tersenyum malu-malu.
"Dengarkan, Sum," pengacara pendek dan
penampilannya tidak istimewa itu berkata sungguhsungguh. "Kau telah banyak membantu dia dengan
tulisan-tulisanmu dulu. Nah. Senangkan hatimu ya.
Kujamin, lampu hijau itu akan kau peroleh. Dan soal
pembagian honorarium, lupakan sajalah. Kau hannya
akan membuatnya tertawa terpingkal-pingkal sampai
airmatanya berderai-derai."
"Dan aku bertambah kaya!" Sumiyati tertawa
bergelak. "Lalu aku dapat komisi pula," Muranis Chaniago tidak
mau kalah. "Apa permintaanmu, Bang Anis?"
"Makan malam di Puncak," bisik Muranis Chaniago,
dengan mata bersinar-sinar penuh harapan.
Sumiyati tersenyum manis. "Dan, kemudian langsung
pulang?" ia balas berbisik sembari mengerling nakal.
"Aku... aku tidak ingin memaksa. Aku...," Muranis
Chaniago menjadi gugup sendiri.
Sumiyati mengulurkan sebelah tangannya dari jendela
mobil, dan mengusap lembut wajah pengacara itu.
"Tak usah bingung, Bang Anis. Aku sendiri dengan
sejujurnya harus mengakui, bahwa aku senantiasa
menikmati kegembiraan menginap satu dua malam
denganmu di Puncak..."
"Kau membuatku hampir klenger, Sum."
"Jangan sekarang!" Sumiyati mendelik, lantas sambil
tertawa bergelak ia memacu mobilnya di jalan raya.
Juga tanpa tergesa-gesa. Mira siap meneri manya
setiap waktu. Membayangkan pembicaraan mereka
mungkin akan berlangsung sepanjang sore dan
malam, Sumiyati berhenti di sebuah supermarket.
memborong kue-kue, makanan serta minuman kaleng
yang pasti dapat menggembirakan anak-anak janda
residivis itu. Ketika berbelanja, ia sempat tertegun beberapa detik.
Ada suatu sentakan ganjil terasa menggigit
tengkuknya... *cb***
HATI-HATI sekali Eddi Bratamenggala membaringkan
tubuh Ayahnya yang besar dan berat itu di tempat
tidur, setelah mana ia buru-buru menelepon dokter
yang tinggal berdekatan. Dokter keluarga itu
menjanjikan akan datang dalam tempo lima menit.
Masih diliputi kecemasan, nomor telepon diputarnya
lagi untuk menghubungi Lion's Club. la memperoleh
keterangan bahwa Ibunya baru saja berangkat untuk
menghadiri pertemuan organisasi wanita pengusaha
bertempat di hotel Panghegar. Sesaat ia terpikir untuk
menelepon ke hotel dimaksud, tetapi niatnya
kemudian dibatalkan. Ibunya tak perlu ikut panik,
sebelum dokter memastikan kondisi kesehatan
Ayahnya. Dipencetnya tombol interkom, menghubungi pos
penjagaan di pintu gerbang.
"Alex" Dokter Pamudji sedang menuju kemari. Kalau
ia sudah datang, antarkan ia ke dalam!"
"Baik, Tuan Muda," terdengar sahutan di pesawat
interkom. "Oh ya, Alex. Waktu kami masuk tadi, aku tidak
melihat Ronggur. Ke mana dia?"
"Pergi sebentar, Tuan Muda. Membeli rokok...."
"Kalau nanti dokter Pamudji sudah pulang, suruh ia
menemuiku." "Baik, Tuan Muda."
Dengan pikiran menerawang, Eddi Bratamenggala
menyelinap ke kamar perpustakaan merangkap
kamar kerja Ayahnya. Dari laci sebuah meja ia
keluarkan sepucuk pistol Colt kaliber 32. Ditimangtimang sebentar, setelah mana senjata itu ia simpan
lagi di laci. Wajahnya murung dan gelap waktu ia kembali ke
kamar tidur Ayahnya dan melihat orang tua yang
sangat ia kasihi itu masih terbujur kaku seperti ketika
tadi ia tinggalkan. Mulut Ayahnya menganga terbuka
mencari hawa segar, sementara sepasang matanya
menatap kosong seperti mata orang mati.
Eddi Bratamenggala merintih dalam hati: "Kau telah
berbuat banyak untukku, Pa. Kini saatnya aku berbuat
sesuatu untukmu..." Lamunannya baru buyar setelah
dokter Pamudji masuk diiringkan Alex yang segera
berlalu setelah diberi isyarat oleh Tuan Muda-nya.
Tanpa menanyakan apa-apa, dokter yang sebaya
dengan pasiennya itu langsung bekerja. la memeriksa
sebentar, menggumamkan sesuatu lalu mengambil
alat suntik dari tasnya. Setelah diberi suntikan
penenang perlahan-lahan kelopak mata Barman
Bratamenggala terkatup dan nafasnya pun naik turun
dengan teratur. Dokter Pamudji sekali lagi memeriksa pasiennya
dengan mempergunakan stetoskop. Sambil
memasukkan perlengkapannya ke dalam tas ia
bergumam pada Bratamenggala muda: "Biarkanlah
Ayahmu beristirahat tanpa terganggu, Ed."
Eddi Bratamenggala mengangguk dan mengiringkan
dokter Pamudji ke luar dari kamar tidur. Baru saja ia
akan bertanya, dokter itu sudah mendahului: "Tak
usah khawatir. Ayahmu tidak apa-apa. Nadinya
normal. la memang masih lemah tetapi masih dalam
kadar yang tidak membahayakan. la hanya sedikit
shock, karena tekanan psikologis mendadak. Dari
pengalaman, Ed, aku menduga ia menderita suatu
goncangan jiwa yang tidak terduga. Katakanlah,
semacam perasaan bersalah...." la mengawasi wajah
Bratamenggala muda yang tampak menyembunyikan
sesuatu. Lalu bertanya lembut: "Kalau kau tak
keberatan, Ed. Apa yang terjadi?"
Eddi Bratamenggala menelan ludah. Lantas
mendengus: "Seperti Oom bilang tadi. Tekanan
psikologis..." "Dalam bentuk apa?"
Bratamenggala muda menatap tajam, sebelum
menjawab dengan pertanyaan yang lebih menyerupai
pernyataan: "Perlukah aku menjelaskannya, Oom
Pamudji?" Dokter itu menarik nafas panjang, kemudian berkata
dengan arif: "Aku hanya ingin melengkapi diagnosaku
saja, Ed. Baiklah. Ayahmu tak perlu dicemaskan betul.
Hanya ya.... setelah ia sadar, Ayahmu perlu dihibur.
Terserah bagaimana caramu menghibur dia..."
"Aku sudah menemukan cara itu, Oom," tukas
Bratamenggala muda dengan seulas senyuman
rahasia di bibir. "Ada resep untuk Papa?"
"Aku kira tak perlu, Ed."
"Syukurlah, Dan, oh ya. Nanti rekening akan kami
kirimkan." "Lupakanlah!" dokter Pamudji melambaikan tangan
dan masuk ke mobil yang pintunya telah dibukakan
supir. Mobil sang dokter baru saja melewati pintu gerbang
manakala seorang lelaki bertubuh tinggi kekar dengan
cacat bekas luka di pelipisnya, ke luar dari pos jaga
dan mengikuti Bratamenggala muda masuk ke dalam
rumah. Lelaki itu menunggu dengan tenang diruang
depan sementara Tuan Muda-nya masuk ke kamar
perpustakaan. Satu menit berikutnya, putra
majikannya itu telah meletakkan sepucuk senjata api
atas meja. Sedingin benda mengandung maut di atas meja itu,
Eddi Bratamenggala berkata:
"Uruslah seseorang untukku, Ronggur!"
Lelaki dengan codet di pelipis itu seketika bersikap
waspada. la tidak berpanjang lebar. Langsung saja ke
tujuan, ia bertanya: "Siapa, Tuan Muda?"
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seorang gadis!"
Mata Ronggur berkilat sedetik. la berdesah tajam:
"Nama dan alamatnya, Tuan Muda" Kalau bisa dengan
ciri-cirinya sekalian..."
Eddi Bratamenggala memberitahukannya. Juga
menginstruksikan, bahwa Ronggur boleh mengikutsertakan teman-teman kepercayaannya. "Kalau bisa
cukup satu orang saja. Makin sedikit saksi, makin
baik. Kau tahu cara terbaik melakukannya bukan?"
Senyuman tipis muncul di bibir tebal Ronggur.
Katanya: "Percayakan saja pada saya, Tuan Muda."
"Apa yang terbaik menurutmu, Ronggur?" bisik
Bratamenggala muda ingin tahu.
"Yah katakanlah, suatu aksi perampokan yang
sempurna," Ronggur melebarkan senyum sehingga
wajahnya tampak lebih simpatik. Eddi Bratamenggala
balas tersenyum. Sama simpatiknya. *cb***
KUMANDANG adzan dari masjid mengalun sayupsayup memberitahukan saatnya sholat Magrib telah
tiba. Mira bangkit dari duduknya seraya tak lupa
mengajak Sumiyati untuk sholat bersama-sama.
Ajakan itu membuat Sumiyati terkesiap, lantas
berkata buru-buru: "Maaf, Mbak. Aku lagi haid...!"
Selagi menunggu Mira dan anak-anaknya selesai
sholat, Sumiyati duduk tercenung. Berpikir. Tuhan tahu
ia tidak haid, dan bahwa ia telah berdusta. Tuhan,
dengan bantuan malaikat-malaikatnya tentu sedang
mencatat tambahan dosa Sumiyati disebuah buku
besar. Pada saat bersamaan, malaikat penjaga pintu
neraka menyeringai lebar sambil merancang siksaan
apa kelak yang paling patut diberikan pada Sumiyati.
"Mengapa aku ini?" Sumiyati merintih. "Siapakah diriku
sebenarnya" Apakah aku sudah tidak dapat
membedakan mana benar mana salah?" Sebaliknya,
ia juga memprotes ke alamat Tuhan: "Dulu aku
mencintaiMu. Aku selalu merasa begitu dekat dengan
Engkau. Lalu mengapa ketika suatu hari aku meminta
keadilanMu, Engkau justru berpaling dari aku?"
Sekujur tubuh Sumiyati gemetar. Darahnya
menggelegak, panas, wajahnya pucat. la merasa
tubuhnya terangkat, melayang ke udara tanpa batas,
kosong, dan hampa. Lalu sebelum pintu neraka
terbuka, ia merasa tubuhnya diguncang-guncang
keras dan namanya dipanggil-panggil malaikat
Mungkar dan Nangkir. "Sumiyati" Hei, Dik Sum! Apakah kau sakit?"
Sumiyati tersentak. Ternyata yang mengguncang
pundaknya dan memanggil namanya adalah tuan
rumah. "Ohhh...." ia mengerang.
"Ada apa, Dik Sum?"
"Perutku.... mual," jawab Sumiyati, kemudian terkejut
sendiri. Perutnya tak apa-apa. Nah. la telah berdusta
lagi. Alangkah gampangnya. Astaga...!
"Sebentar, kuambilkan minuman yang lebih hangat."
Sumiyati tidak bernafsu melarang tuan rumah. Namun
ketika Mira muncul dengan segelas minuman hangat,
ia menerimanya lalu menyicipinya dengan senang
hati. Tetapi ia menolak pil penawar sakit perut yang
juga disodorkan Mira. "Terima kasih, Mbak..., katanya
lesu. "Aku sudah lebih baik sekarang...!"
"Sungguh?" tanya Mira, tetap memperlihatkan wajah
cemas. "Sudahlah. Mungkin aku cuma sedikit letih."
"Kalau begitu, obrolan kita ditunda saja dulu untuk lain
hari. Dan.... He, Dik Sum. Apa tidak akan habis
baterainya?" Mira tiba-tiba menunjuk tape recorder di
meja. Tape mini itu masih berputar. Lembut, tanpa
bersuara. "Wah. Aku lupa mematikannya tadi!" Sumiyati
tertawa. Dijangkaunya tape recorder tersebut. Tetapi
kemudian diletakkan kembali, tanpa mematikannya.
Ia mengawasi pita kosong masih cukup untuk sedikit
wawancara lagi. Lalu sambil memperhatikan wajah
tuan rumah, ia menyeletukkan pertanyaan yang
terlintas sekilas di benaknya:
"Mbak Mira. Kau percaya bahwa Tuhan itu adil?"
"Lho. Kok nanya yang begituan, Dik Sum..."
"Mbak percaya?"
"Tentu saja. Malah yakin. Hakkul-yakin!"
"Tetapi dalam perjalanan menuju tobat, suamimu
telah mati ditembak semena-mena..."
Mira terdiam sehingga Sumiyati merasa bersalah telah
mengajukan pertanyaan yang tidak pantas
diutarakan. Sebelum Sumiyati menyatakan
penyesalan, Mira sudah berkata:
"Kau tahu kapan kau akan mati, Dik Sum?"
Giliran Sumiyati yang kini terdiam. la berpikir keras,
lalu: ".... tidak!" "Baiklah. Misalkan akhirnya ajal menjemputmu.
Kematian bagaimana yang kau dambakan, Dik Sum?"
"Yah...," Sumiyati kembali berpikir keras. la teringat
ibunya. Teringat leluhur-leluhur yang lebih dulu
meninggalkan mereka. la juga teringat ayahnya, lalu
dirinya sendiri. "Aku mengingini kematian yang wajar.
Normal. Tanpa aib tanpa siksaan rasa sakit..."
"Kau yakin kematian semacam itu yang kelak
menjemputmu, Dik Sum?"
"... tidak." "Mengapa?" "Karena perkara hidup dan mati ada di tangan
Tuhan..." Mira tersenyum manis. Katanya: "Begitu pula suamiku,
Dik Sum!" Sumiyati juga tersenyum. "Kau menjebakku, Mbak
Mira," katanya. "Jadi kau tidak pernah merasa dipalingi
Tuhan?" "Dik Sum. Tu han tidak akan berpaling dari kita, selama
kita tidak memalingi Dia lebih dulu!"
Kembali Sumiyati terdiam. la tidak tahu mau berkata
apa lagi, bahkan ia merasa terpukul oleh jawaban
Mira. Mujur, dalam keadaan Sumiyati tak berdaya itu,
terdengar pintu depan diketuk orang dari luar. Mira
bangkit dari kursi, sementara Sumiyati mematikan
tape recordernya. Sumiyati berpaling manakala ia
dengar namanya disebut. "Selamat malam. Apakah Sumiyati ada di sini?"
Kemudian Mira muncul lagi di ruang tengah, diiringkan
oleh Kapten Polisi Rukmana Hadinata yang
mengenakan pakaian preman. Sumiyati segera
bertukar sapa dengan Rukmana, setelah mana ia
berujar pada tuan rumah: "Mbak Mira. Perkenalkan, ini
Pak Rukmana. Ia adalah..."
Mira menukas, datar dan terdengar dingin: "Polisi. Aku
sudah tahu, Dik Sum. Bahkan kami sudah saling
mengenal..." Kenyataannya, wajah tuan rumah tampak kaku,
memperlihatkan sikap tak senang sementara Kapten
Rukmana Hadinata sempat gugup sebentar sebelum
kemudian berdesah lirih: "Apakah kau dan anak-anak
baik-baik saja, Nyonya Mira?"
"Bagaimana menurut dugaanmu, Kapten?" jawab Mira
dengan seulas senyuman mengejek di bibirnya.
Kapten polisi itu berusaha memperlihatkan sikap
setenang mungkin. Katanya: "Dulu sudah kujelaskan,
Nyonya. ltu hanya suatu kesalahpahaman!"
"Aku tidak bicara tentang suamiku. Aku bicara tentang
anak buahmu itu, Kapten..."
"Ia telah dimutasi, Nyonya."
"Hanya mutasi?"
"Sebelumnya, ia juga masuk sel."
"Mestinya ia dipecat dari dinas. Dipenjarakan!"
"Maaf, Nyonya. Atasanlah yang menentukan, bukan
aku!" jawab Rukmana Hadinata, rupanya dia mulai
tersinggung. Menyadari gelagat tak menyenangkan itu, Sumiyati
buru-buru bangkit dari kursinya lalu bertanya: "Ada
sesuatu yang penting, Pak Rukmana" Apakah kita
dapat membicarakannya di sini?"
Sang kapten memaklumi isyarat tersembunyi dibalik
kalimat Sumiyati. Maka ia coba tersenyum,
mengangguk sopan pada tuan rumah seraya berkata:
"Maaf aku telah mengganggu keasyikan kalian,
Nyonya. Tetapi aku terpaksa meminjam Sumiyati
sebentar. Ada yang perlu kami bicarakan...."
Sikap kaku tuan rumah segera berubah di saat
Sumiyati pamit. la merangkul dan mengecup pipi
gadis itu sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja dan
persahabatan mereka hendaklah tidak menjadi rusak
karena gangguan kecil yang terjadi setelah
kemunculan pihak ketiga itu. "Kapan saja kau
bermaksud datang, pintuku selalu terbuka untukmu,
Dik Sum...." "Terima kasih, Mbak. Oh ya, besok aku bermaksud
mewawancarai juga anak-anakmu. ltu, kalau Mbak
tak keberatan..." "Kuanggap kau adalah Kakak mereka, Dik Sum. Kau
bebas untuk menanyakan apa saja pada mereka.
Tetapi tentunya, seperti tadi telah kau saksikan
sendiri. Mereka belakangan ini semakin pemalu. Yah,
rendah diri maksudku..." Ucapan terakhir it u ia
lontarkan dengan mulut tersenyum dan mata tetap
tertuju pada Sumiyati. Namun, Rukmana Hadinata
sempat dibuat merah mukanya, sebelum ia bergegas
berjalan ke luar rumah. Sepanjang gang yang gelap dan sempit, baik Sumiyati
maupun Rukmana Hadinata tidak berkata sepatah
pun. Masing-masing diliputi pemikiran tentang apa
yang barusan berlangsung di rumah yang mereka
tinggalkan. Tiba di jalan raya, barulah Rukmana
membuka mulut: "Mana kunci mobilmu, Sumiyati" Kau
ikut mobilku saja..."
Terheran-heran Sumiyati memberikan kunci mobilnya.
Setelah mana Rukmana kemudian memanggil anak
buahnya yang berdiri menunggu di dekat mobil
Rukmana. "Sersan" Kau pindah ke mobil Nona
Sumiyati. Ikut kami dari belakang ...."
"Siap, Kapten," jawab anakbuahnya, sambil memberi
hormat. Setelah duduk di mobil Kapten Polisi itu, barulahlah
Sumiyati menyatakan keheranannya: "Apakah aku
ditangkap, Kapten?" Waktu mengajukan pertanyaan itu, darahnya
berdesir. Dingin. Yang ditanya mencoba tertawa.
Jawabnya: "Aku tak mendapat perintah untuk itu,
Sum!" "Lantas?" "Hai. Apakah kau tidak membaca
koran hari ini, Neng?" "Aduh. Aku lupa. Banyak yang harus kupikirkan dan
kerjakan, sehingga..."
"Astaga! Seorang wartawan tidak membaca koran!"
Rukmana tercengang. "Ada berita apa rupanya?" Sumiyati tak
memperdulikan sindiran itu.
Dengan sebelah tangannya, sang Kapten menyambar
selembar surat kabar dari dashboard yang ia sodorkan
ke belakang sambil tetap memperhatikan lalu-lintas di
jalan yang gelap gulita karena terkena giliran
pemadaman listrik. Sumiyati menerima koran
tersebut, dan mendengar suara datar Rukmana yang
menyuruhnya membuka halaman satu dan membaca
berita utama. Sambil tak lupa Rukmana menyalakan
lampu dalam mobil. Apa yang dibaca Sumiyati membuat darahnya
kembali berdesir, kini lebih cepat. Di bawah judul
menyolok: "PEMBUNUH SADlS MlSTERlUS KEMBALI
MAKAN KORBAN", Sumiyati membaca berita tentang
terbunuh matinya seorang janda pemilik warung di
wilayah Kabupaten Bandung. Malam sebelumnya,
janda itu bermaksud menutup warung nasi miliknya
ketika sesosok tubuh menyerbu masuk ke dalam. Si
janda dan putranya yang berusia 10 tahun tertegun
kaget dan ngeri melihat makhluk apa yang memasuki
warung mereka. Setelah kagetnya hilang, janda itu
menjerit. Akibatnya, tamu tak diundang tadi
menyerangnya sedemikian rupa, sementara putranya
cepat-cepat meloloskan diri. Sewaktu penduduk yang
dimintai tolong si anak, berdatangan ke warung,
mereka menemukan janda yang malang itu telah
meninggal secara mengerikan. Pembunuhnya sudah
menghilang sementara sebagian makanan yang ada
di warung itu, menurut putra almarhumah pasti telah
dicuri oleh si pembunuh. Uang didalam laci tak
diganggu gugat, demikian pula perhiasan yang dipakai
almarhumah. Tidaklah mengherankan, kalau
kemudian wartawan yang meliput berita itu
menambahkan tulisannya dengan sub judul:
Perbuatan biadab yang diduga telah dilakukan oleh
makhluk kelaparan! Belum habis berita itu dibacanya, tanpa disadari koran
telah terlepas jatuh dari tangannya. Hal itu sempat
tertangkap oleh Rukmana Hadinata lewat kaca spion.
Wajah si Kapten berubah murung. la dapat
merasakan keperihan hati si gadis, sehingga untuk
beberapa saat lamanya Rukmana berdiam diri saja.
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak sampai hati mengusik goncangan jiwa Sumiyati.
Gadis itu sendirilah yang kemudian memulai:
"Apa yang ada dalam pikiranmu, Kapten?"
Rukmana memikirkan jawaban yang paling pas dan
tidak bertele-tele. "Ayahmu," katanya tenang.
Tubuh Sumiyati menjadi kaku. la merintih. "Jadi, Anda
telah tahu..." Rukmana Hadinata menceritakan apa yang diperoleh
dokter Singgih di Ciamis. Sebelum memutuskan cara
yang terbaik menanyai Sumiyati, dan teringat pula
bahwa mereka ada janji makan malam, pada hari
tadi muncullah berita itu. Rukmana lalu mengadakan
penyelidikan bersama dengan pihak kepolian Polres
Kabupaten Bandung. Setelah itu ia baru memutuskan
untuk secepat mungkin berbicara dengan Sumiyati.
Karena Sumiyati tidak ada di rumah, ia perintahkan
anak buahnya melacak seisi kota. Usaha yang sia-sia,
karena menurut pembantu Sumiyati di rumah,
Sumiyati sebelum pergi hanya sempat mengatatakan
ke kantor pos. Barulah sore harinya, Rukmana yang
datang ke rumah Sumiyati untuk mencek apakah
gadis itu sudah pulang, di meja Sumiyati ia temukan
catatan jumlah nomor telepon. la menyingkirkan satu
panggilan telepon karena berasal dari dirinya sendiri.
Nomor panggilan lainnya ia hubungi satu persatu.
Sedikit menemui kesulitan karena Sumiyati tidak
mencantumkan nomor telepon kecuali nama si
penelepon. Rukmana sedikit beruntung dengan
Muranis Chaniago. Pengacara itu menjelaskan ia telah
makan siang dengan Sumiyati. Tetapi setelah mereka
berpisah, Muranis Chaniago tidak tahu ke mana
Sumiyati kemudian pergi. Pengacara itu sempat
menanyakan keperluan seorang Kapten Polisi mencari
seorang wartawati, padahal hari sudah malam.
"Ah. Aku hanya ingin ngobrol. Ada berita bagus, di
mana kami dapat bekerjasama," jawab Rukmana
bijaksana. Setelah bingung pa da siapa lagi ia bertanya dan
apakah ia harus terus menunggu sementara malam
telah merangkak naik, ia ngobrol sambil lalu dengan
pembantu rumah Sumiyati. Perempuan itu tiba-tiba
ingat bahwa ada seorang tamu bernama Mira mencari
Sumiyati satu hari sebelumnya. Setelah memperoleh
keterangan Mira mana yang dimaksudkan pembantu
itu, Rukmana langsung terbang dari rumah Sumiyati.
"Aku khawatir kehilangan kau," kata Rukmana
menjelaskan. "Karena dari pembantumu aku
mendengar, adakalanya kau pergi ke suatu tempat
dan tidak pulang ke rumah, tanpa pemberitahuan
lebih dulu. Katanya, hal itu kaulakukan bila ada
sesuatu yang penting perlu kau kejar dengan segera.
Tanpa memperdulikan waktu!"
Rukmana menggelengkan kepala.
"Sungguh, kau ini wartawati paling ulet yang pernah
kudengar, Sum." la melirik ke kaca spion dan melihat
Sumiyati tengah menyeka air matanya. Astaga, pikir
Rukmana, kecewa: jadi waktu aku ngomong, pikiran
gadis itu justru ke yang lain!
Tetapi kali ini Rukmana Hadinata tidak suka
membuang kesempatannya begitu saja. la
mendehem sebentar, lalu bertanya: "Apakah kau
sependapat dengan dugaan, bahwa yang menyerang
janda itu.... adalah sama dengan penyerang Azis
Partogi?" Lambat, baru terdengar keluhan Sumiyati: "Dugaan
siapa, Kapten?" "Siapanya tak penting bukan, Sum?"
"Lalu, apa yang Kapten inginkan?"
"Kerjasama, Sum."
"Menangkap.... Ayah.....?"
Rukmana hanya mengangguk, seraya menurunkan
kecepatan mobil yang kemudian ia belokkan masuki
halaman rumah Sumiyati. Mobil Sumiyati yang
dikemudikan Sersannya, ikut berhenti di belakang
mereka. Anak buahnya itu diperintahkan Rukmana
berjaga-jaga di luar sementara ia sendiri kemudian
membimbing Sumiyati yang melangkah gontai ke
pintu yang dibukakan oleh Bu ljah. Melihat
pembantunya tampak sangat khawatir, Sumiyati
mencoba tersenyum. Katanya: "Ambilkan aku pil
penenang, Bu ljah. Dan buatkan minuman untuk Pak
Rukmana. Oh ya.... antarkan juga satu untuk teman
Pak Rukmana yang menunggu di luar...."
Kerjasama antara mereka akhirnya disepakati.
Si Kapten bersikap bijaksana untuk menyetujui usul
Sumiyati, bahwa biarlah ia sendiri yang menunggu
dan menghadapi kalau Ayahnya muncul. Dengan
syarat, Rukmana harus segera dihubungi. "Aku akan
siaga di kantor," katanya. "Dan beberapa orang anak
buah akan kutugaskan berpatroli di sekitar rumahmu."
"Tolong, Kapten. Agar mereka jangan terlalu dekat,"
pinta Sumiyati. "Mengapa?" "Kalau Ayah tahu ia diawasi, ia tidak akan berani
masuk." "Baiklah." num darah lbu kandungnya. Kesulitannya bukan itu saja.
Ibunya sudah lama meninggal dunia..."
"Tak ada jalan keluar?"
"Ada, Bu. Tetapi justru hal itulah yang kuanggap
melanggar kodrat. Dan aku, sungguh mati, tak
sanggup melakukannya..."
Apa yang dapat diperbuat suami ljah hanyalah
memberi ramu-ramuan penangkal yang lebih dulu
sudah dimanterai dengan ayat-ayat suci. Sekali waktu
karena suaminya harus menangani pasien lain ljah
disuruh mengantarkan ramuan baru pada pasien yang
pengobatannya harus melanggar kodrat itu.
Sebelumnya, ljah telah diberitahu suaminya mengenai
keadaan si pasien. "la mengalami perubahan wujud," kata suaminya.
"Adapun ramuan yang kuberikan, hanyalah sebagai
daya upaya terakhir agar perubahan wujudnya tidak
terus menerus sepanjang waktu...."
Alangkah terkejutnya ljah setelah mengetahui pasien
dimaksud adalah Suharyadi. ljah mengantarkan
ramuan itu pas ketika malam baru saja jatuh dan
wujud Suharyadi tengah mengalami proses.
Wajahnya yang mengerikan, sempat membuat Ijah
ketakutan. Untunglah, Suharyadi dalam keadaan
dipasung hingga tidak dapat melepaskan diri dan
kemudian menyerang orang-orang yang
mendekatinya. Sewaktu ljah akhirnya memberanikan diri untuk
mendekat, makhluk mengerikan itu sesaat tampak
liar. Matanya yang berwarna merah kehijau-hijauan
mengawasi ljah dengan pandangan curiga. Mahkluk
itu sempat menggeram tubuhnya yang meliuk tajam,
siap untuk mencabik-cabik apa saja yang terjangkau.
Lalu, tiba-tiba saja, wajah mengerikan itu berpaling
dari ljah. Terdengar suara lolongannya yang lirih
menyayatkan hati. Sesudah dibujuk Karta, adik
Suharyadi, barulah makhluk itu menoleh. Dan pada
saat itulah, ljah menangkap ada butir-butir air bening
melelehi pipi.... ah, moncong makhluk yang ditumbuhi
penuh bulu itu. Makhluk malang itu, menangis....
*
lJAH tersentak ketika mendengar suara keresekkeresek. Buru-buru ia menyeka air mata yang tanpa
sadar melelehi pipinya pula. la mengintip lewat tirai
jendela. Namun di luar rumah tak tampak apa-apa,
kecuali kegelapan malam yang hitam mencekam. la
kembali lagi ke tempat duduknya semula.
Menghabiskan sisa kopi yang sudah dingin, dan
dengan sendirinya pikiran ljah kembali menerawang
jauh. Setelah beberapa kali bentrok dengan dukun-dukun
penganut ilmu hitam, suami ljah oleh pihak-pihak
tertentu dituduh telah mendalami ilmu teluh dan kitab
suci telah ia kotori dengan tujuan-tujuan yang
bertentangan. Hasutan yang jelas berasal dari pihak
lawan suaminya itu, termakan antara lain oleh Pak
Lurah yang pernah mengalami sakit hati karena ljah
dikawinkan dengan orang dari luar desa, bukan
dengan warga sedesa, khususnya anak bungsunya
yang diam-diam mencintai Ijah. Anak Pak Lurah itu
beberapa kali kawin, yang selalu diakhiri perceraian.
Karena tak kuat menanggung derita, anak Pak Lurah
Itu bunuh diri dengan menelan racun tikus. Lalu oleh
lawan-lawan suami ljah, anak Pak Lurah itu dikatakan
telah diracun dan diguna-gunai oleh suami ljah.
Kematian-kematian yang kemudian susul menyusul
dengan aneh menimpa beberapa warga desa, selalu
timpakan ke alamat suami ljah. Dalam situasi yang
sudah semakin panas, suami ljah kemudian
memutuskan untuk pindah ke daerah lain. Sebelum
pindah ia lebih dulu ingin mengobati beberapa orang
pasien langganannya, termasuk Suharyadi. Untuk
Suharyadi ia hanya mengirimkan sejumlah besar
ramuan yang tidak membutuhkan bantuan fisik.
Untuk itu ljah disuruh mengantarkan, sementara
suaminya sibuk mengobati dua orang pasien yang
datang ke rumah mereka. Sewaktu berada di rumah Suharyadi itulah suasana
panas mengalami puncaknya dan kebahagiaan hidup
ljah direnggut selama-lamanya. Suami dan dua orang
anaknya meninggal secara mengerikan setelah
beramai-ramai dikeroyok sekelompok penduduk yang
disokong oleh Pak Lurah dan saingan-saingan suami
ljah. Harlas, saudara sepupu Suharyadi yang
sebelumnya telah mencium bahaya itu buru-buru
pulan g dan kemudian menyeret ljah dari rumah
Suharyadi. "Mereka juga mencarimu dan akan membunuhmu ...,"
Harlas menjelaskan sambil membawa ljah ke suatu
tempat persembunyian di rongga bukit. Tak terperikan
perasaan ljah setelah mengetahui suami dan anakanaknya sudah tiada. Bahkan dirinya juga diincar
musuh-musuh suaminya, dengan tujuan menumpas
tuntas apa yang mereka katakan 'keluarga pemuja
setan terkutuk' yang dialamatkan pada suaminya, ljah
sendiri, serta anak-anaknya.
ljah pastilah sudah mati bunuh diri terjun dari bukit,
kalau tak keburu dicegah Harlas.
"Almarhum suami dan anak-anakmu tentulah kecewa
kalau perbuatan hina ini kau teruskan juga!" Harlas
memperingatkan. Lalu demi keselamatan ljah, ia
kemudian diboyong Harlas ke Bandung dan disuruh
tinggal bersama putri Suharyadi yang sudah berdikari
sebagai seorang penulis dan wartawati. Berada di
dekat Sumiyati ljah lambat laun dapat melupakan
kesedihannya. Sumiyati memperlakukannya begitu
baik dan penuh kasih sayang dan dirinya oleh
Sumiyati dianggap sebagai pengganti almarhumah
lbunya. la juga kemudian mengetahui lebih dalam
tentang diri Sumiyati. Setelah mana ia sangat merasa
bersyukur. Bahwa, tentulah almarhum suami dan
anak-anaknya akan lebih tenang di alam baka, kalau
mengetahui ljah masih bertahan hidup dan berusaha
untuk berbuat baik pada sesamanya. Suaminva telah
gagal mengembalikan harkat Suharyadi.
Tetapi ljah tidak ingin gagal. Suharyadi pernah
menyelamatkan jiwanya. Sebaliknya kini, tiba
saatnya ljah menyelamatkan jiwa orang lain.
Barangkali, ljah tidak akan mampu menyelamatkan
jiwa Suharyadi. Namun paling tidak, ia percaya
bahwa ia akan mampu menyelamatkan jiwa
Sumiyati, putri satu-satunya dari Suharyadi. Hambatan
yang dihadapi ljah hanya satu hal saja. Yakni, apa
yang pernah diucapkan suaminya dengan khawatir:
cara penyelamatan jiwa dan harakat Suharyadi,
terpaksa harus melanggar kodrat...!
*b***
TERDENGAR lagi suara keresak-keresek. Kali ini lebih
jelas. Tetapi datangnya bukan dari pintu yang
menghadap ke samping rumah. Melainkan dari langitlangit. Suharyadi-kah itu" Atau hanya tikus yang
berkeliaran" Ijah tak berani bergerak dari duduknya.
Ia menunggu dengan tegang. Sekilas teringat janjinya
pada Sumiyati agar segera membangunkan gadis itu
kalau sudah ada pertanda Ayahnya akan muncul.
Tetapi ljah memutuskan, bahwa ia mampu
menghadapi persoalan itu seorang diri. Sumiyati sudah
terlalu letih, sudah teramat menderita, sehingga gadis
malang itu tidak ingin ia usik dari tidurnya. Diterangi
cahaya temaram lampu duduk yang biasanya sengaja
dikecilkan, tampak wajah Ijah berkeringat. Bayangan
akan melihat makhluk mengerikan.... makhluk yang
wujudnya telah menetap karena memakan
pantangan yakni daging serta darah segar tanpa
meminum ramuan penangkal lebih dulu, ia coba
membuangnya jauh-jauh. Apa yang lebih ia
khawatirkan adalah, ada pihak yang melanggar
persetujuan, atau pihak yang iseng mengintip,
sehingga Sumiyati nantinya benar-bener harus
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerima aib yang lebih memalukan.
Ada sesuatu yang tiba-tiba pecah, berderak.
Lalu bunyi eternit jatuh berderai ke lantai disusul
munculnya sosok-sosok tubuh gelap. Bukan satu
sosok tubuh, melainkan dua sosok tubuh!
Dua. Astaga! Dan sosok-sosok tubuh itu berpakaian dan berwujud
normal sebagai manusia. Ijah segera menyadari situasi apa yang diluar
kehendak mereka, telah berlangsung begitu tiba-tiba.
Ia sudah siap menjerit, manakala suatu benda keras
dan dingin menempel sudah di jidatnya. Disertai
dengan bisikan mengancam: "Bersuara sedikit saja,
pistol ini akan meledakkan kepalamu menjadi bubur!"
Ijah terduduk kaku. Tak berdaya. *b***
DALAM KEADAAN tidak berdaya itu, jalan pikiran ljah
masih dapat bekerja dengan baik kecuali pada saat
tadi ia dilanda kejutan mendadak. Ia segera
mengetahui bahwa ia berhadapan dengan dua orang
pencuri, dan bukan pencuri sembarangan. Terbukti
kedua tamu tak diundang itu masing-masing
memakai topi kupluk menutupi sebagian wajah,
bersarung tangan dan alas kaki sepatu karet.
Tentunya mudah sekali buat mereka naik ke atap,
membuka genting, lalu terjun bebas menerobos
eternit. Jatuh dengan ringannya di lantai, tepat
didepan biji mata Ijah. Tahu perbuatan mereka
dipergoki saksi mata, kedua pencuri itu sedikit pun
tidak grogi. Yang seorang dengan sigap langsung
menodong pelipis Ijah, sementara yang lainnya
dengan tenang dan terampil mengikat Ijah dengan
seutas tali tambang plastik yang mereka bawa. Tanpa
bersusah payah, Ijah diikat erat dan kuat, langsung di
kursi yang ia duduki. Sebelum mulutnya dibungkam dengan secarik kain
rombeng, Ijah masih mampu berbisik: "Ambillah apa
yang kalian maui. Tetapi tolonglah, jangan kami
didera..." (?"") "Kami!" si penodong bergumam lembut. "Sia-sia
mendengar omelanmu. Diamlah. Dan jangan coba
berontak atau pun berteriak. "
Setelah dirasa ikatannya cukup kuat dan sumpalan
kain dimulut Ijah bisa membungkam mulut
perempuan tua itu, salah seorang lelaki yang
memegang pistol memberi perintah: "Kau jagalah
ditempat ini, dan awasi jika ada orang lain yang
lewat didepan rumah ini. Jika ada bahaya kau harus
memberi tanda. Sikat semua yang kau mau. Gadis itu
bagianku." Kawannya yang tadi mengikat tubuh Ijah, hanya
mengangguk meng-iyakan. Tanpa berkata apa pun
lagi si lelaki yang memegang pistol lantas masuk ke
dalam rumah. Dengan pistol ditangan, si pencuri celingukan di
ruangan tengah rumah. Matanya mengawasi ke
sebuah pintu kamar. Dan seperti mengetahui denah
rumah itu, dengan mengendap-endap langsung
menuju kamar tidur Sumiyati.
Intruksi yang diterimanya adalah: Bunuh gadis itu! Dan
hilangkan saksi mata! Apa yang dilihatnya didalam kamar sungguh
menakjubkan. Sumiyati yang sudah lelah mental maupun phisik,
terlentang tidur dengan nyenyaknya. Pakaian
bawahnya tersingkap tanpa disadari. Posisi kakinya
yang tidur tanpa aturan, hingga kedua pahanya yang
kuning langsat dan mulus padat berisi terlihat jelas
dan menantang. Apalagi dalam suasana kamar yang
hening dan sepi, dengan cepat bisikan syetan
menguasai nafsu kelelakian si pencuri.
"Ah.. Ternyata kau memang benar-benar seorang
gadis yang sangat cantik..." gumam si pencuri berpistol
itu. "Sebelum menjadi mayat, harus kucicipi dahulu
tubuhmu..." Lalu bagai harimau lapar ia menerkap mangsanya.
Tangan kirinya yang bebas langsung membekap
mulut Sumiyati. Gadis itu sontak terjaga dari tidur
nyenyaknya ketika merasakan tubuhnya tertindih
dengan sangat berat oleh seorang lelaki tak dikenal.
Mulutnya berusaha untuk berteriak, tetapi apa daya
tangan si lelaki membekapnya dengan sangat kuat.
Sepertinya tangan itu adalah tangan yang sudah
sangat terlatih dalam melumpuhkan gerak lawan.
Sadar dengan apa yang terjadi, Sumiyati berusaha
berontak. Tangan-tangannya berusaha mencakar dan
memukul-mukul. Sementara kedua belah kakinya
juga menendang, menghentak-hentak dibagian
bawah tempat tidurnya. Hal mana gerakan kaki si
gadis yang meronta-ronta itu semakin membakar
nafsu kebinatangan si lelaki. Nafasnya semakin
memburu. Lalu pistol itu ia taruh diatas tempat tidur.
Seketika dengan cepat tangan kanan si lelaki turun
kebawah dan secara paksa merenggut celana dalam
si gadis. Sumiyati tetap meronta, hatinya menjerit tak mau
dihina dan dipaksa seperti itu. Sekali lagi gadis itu
berusaha untuk berteriak, tetapi suara yang keluar
hanyalah lenguhan tertahan.
"Diamlah! Atau kubunuh kau...! kata si lelaki. Tampak
muka codetnya sangat mengerikan. Apalagi tangan si
lelaki yang tadi telah berhasil meloloskan celana
dalam Sumiyati, dengan sigap menjangkau pistol
yang terletak disamping tubuhnya. Lalu menempelkan
ujung laras pistol di pelipis Sumiyati. Mulut si lelaki
menyeringai buas. Tetapi bagi Sumiyati lebih baik mati daripada dihina.
Gadis itu semakin kuat meronta-ronta, membuat
tangan kiri si lelaki yang membekapnya kewalahan.
"Baik. Jika kau pilih mampus!" geram si lelaki.
Dan. Takk! Dipukulkannya gagang pistol itu dengan sekuat
tenaga di batok kepala Sumiyati dekat telinga.
Saking merasakan sakit yang tiada terperi akibat
dipukul dengan senjata yang terbuat dari logam yang
sangat keras itu, Sumiyati langsung pingsan tanpa
ingat apa-apa lagi! Maka pada detik-detik berikutnya, dengan sangat
bebas dan leluasa, si lelaki bermuka codet itu
melampiaskan seluruh hasrat kelelakiannya dengan
sangat buas diatas tubuh si gadis.
*
"Dimana berada barang-barang berharga milik
majikanmu?" tanya si pencuri yang mengikat Ijah di
ruang belakang. Ijah menatap wajah pencuri dengan sedikit takuttakut. Bodoh, pikirnya, bagaimana bisa menjawab,
mulutku 'kan disumpal pakai kain lap dapur.
"Jawab dengan mengarahkan dagumu saja. Dikamar
mana majikanmu menyimpan uang dan
perhiasannya?" kata si pencuri itu kemudian, seperti
mengerti apa yang ada dipikiran Ijah.
Tolol. Lagi-lagi Ijah memaki dalam hati. Jelas. Barangbarang berharga pasti terletak di dalam kamar
Sumiyati sendiri. Atau kalau punya uang banyak pasti
disimpan di sebuah Bank. Ijah hanya mengangkat
sedikit dagunya mengarah ke kamar Sumiyati.
Si lelaki pencuri melirik dengan ekor matanya ke arah
pintu kamar Sumiyati. Terdengar sayup-sayup suara
dengus nafas. Entah apa yang tengah berlangsung
dalam kamar itu. Tetapi yang pasti itu adalah dengus
nafas dari suara seorang lelaki. Apa yang sedang
diperbuat kawannya didalam kamar Sumiyati kini"
"Kamar kerja majikanmu, dimana?" lagi si pencuri
bertanya. Ijah mungkin menganggap si pencuri ini seorang yang
tolol dan bodoh. Atau setidak-tidaknya pencuri yang
belum berpengalaman menjarah rumah orang. Tapi ini
sengaja dilakukan oleh si pencuri yang bersama Ijah
ini, untuk mengalihkan perhatian dan memberikan
keleluasaan kepada kawannya yang saat ini sedang
berada di kamar Sumiyati untuk menjalankan
misinya. Bukan harta benda yang menjadi sasaran
utama mereka. Tetapi nyawa. Nyawa Sumiyati!
Dan jika ada barang-barang berharga yang dijarah, itu
hanya sebagai pengalih perhatian saja bagi pihak
berwenang ketika peristiwa ini diusut dan diselidik
kemudian. Kesan yang harus diciptakan adalah bahwa
pembunuhan Sumiyati karena peristiwa perampokan
biasa. Dengus nafas itu semakin jelas terdengar. Nafas dari
suara seorang lelaki yang terengah-engah. Dan suara
dengus nafas itu bukan hanya dari arah kamar
Sumiyati saja, tetapi dari arah lain. Dari ruang garasi!
Si pencuri yang berada didekat Ijah, memiringkan
kepala untuk mendengar lebih jelas dari arah mana
suara dengus itu berasal. Khawatir ada pihak lain
yang memergoki aksi mereka di rumah ini, si pencuri
itu setelah sekali lagi memeriksa sumpalan mulut dan
tali-tali yang mengikat Ijah segera menyelinap
menuju ruang garasi. Disana suara dengusan itu
semakin kuat dan jelas terdengar. Lamat-lamat dalam
kegelapan malam terlihat sesosok tubuh. Bukan sosok
manusia. Tetapi sosok binatang berbulu hitam,
bermulut lancip mirip seekor anjing, tengah berdiri
dengan sorot mata merah menyala menatap si
pencuri. Belum hilang rasa kaget pada diri si pencuri, tiba-tiba
secepat kilat makhluk itu menerjang. Langsung
mengarah ke leher si lelaki pencuri, yang tak sempat
menghindar, sehingga urat-urat nafas di
tenggorokannya terputus, --- Maaf, halaman 148 dan 149 hilang. Padahal ini
adalah kayaknya bagian yang paling "seru". Tulisan
yang diatas yang dimulai dengan tanda baca (?"")
adalah hasil khayalan saya sendiri... Hehe. Jika ada
yang keberatan saya akan menghapus bagian ini!
--- direnggut oleh gigi-gigi taring yang runcing tajam
disertai cakaran ku ku yang menekan serta menghujam masuk ke lambungnya. Kemudian, tanpa
memperdulikan lagi mangsanya yang sudah sekarat
itu, si penyerang berpaling cepat. Matanya
memandang kearah pintu kamar tidur yang terbuka.
Mata yang kilat-kilat merah, kehijau-hijauan. Bulu-bulu
tebal coklat kehitaman di sekujur tubuhnya seakan
pada tegak berdiri, sementara dari moncongnya yang
lancip keluar raung kemarahan.
Suara mengerikan itu membuat lelaki durjana di
kamar tidur Sumiyati bangkit dengan kaget.
Wajahnya yang memerah ketika menikmati
perpaduan tubuh dengan korbannya, mendadak
berubah pucat dilanda teror. Untuk satu dua detik
lamanya ia hanya terpana memandangi sosok tubuh
aneh yang melompat-lompat memasuki kamar.
Kemudian ia merasakan benda-benda tajam
menembusi batang lehernya, dadanya, lambungnya,
bahkan juga kemaluannya yang terbuka.
Di tengah cekaman teror itu, sisa akal sehatnya
bekerja dengan cepat. la menggapai senjatanya,
menekan pelatuk, dan telunjuknya yang gemetar
akibat menahan siksaan azab di seantero tubuh masih
mampu menarik picu senjata.
Letusan membahana membangunkan Sumiyati dari
mimpi paling buruk yang pernah dialaminya. Gadis itu
terlengah beberapa saat. Pandangan matanya kabur,
telinganya berdenging-denging sakit. Pada saat ia
berusaha mau bangkit, dua sosok tubuh besar dan
berat telah menimpa tubuhnya sehingga Sumiyati
kembali terlengah... *
MELALUI radio mobil Rukmana Hadinata mendapat
laporan dari komandan unit Siaga di kantornya,
bahwa gembong pencurian mobil yang mereka incar
telah diringkus selagi asyik main perempuan di salah
satu kamar hotel Trio, Jalan Gardujati. Unit Ranmor
(Kendaraan Bermotor) yang menangkap tersangka
menemui sedikit kesulitan karena tiba-tiba dari kamar
lain muncul seseorang dengan tanda pengenal resmi
sebagai Perwira Menengah salah satu Angkatan, dan
dia ini terang-terangan bermaksud melindungi si
tersangka. Rukmana memberikan beberapa petunjuk dan
instruksi untuk mengatasi kesulitan itu. "Mengenai
pelindung, biar aku nanti yang mengurusnya," ia
menentramkan. Laporan dari Unit lain baru saja masuk, ketika
Rukmana mendengar sesuatu yang membuatnya
terdongak. "Apakah kau mendengar bunyi tembakan,
Eko?" Sersannya yang sedang merokok di luar mobil,
menganggukkan kepala dengan sikap seketika
berubah siaga. "Saya dengar, Pak. Dan cukup dekat...."
"Astaga!" Rukmana Hadinata menjangkau pesawat
handie-talkie di dashboard lantas memanggil-manggil.
Karena tidak ada jawaban, ia segera memerintahkan
sersannya masuk ke mobil, setelah mana mereka
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian keluar dari bayangan kegelapan dan
meluncur ke arah bunyi tembakan itu terdengar. Tak
sampai dua menit berikutnya, Rukmana Hadinata
menyadari bahwa ia telah kecolongan!
Pintu depan rumah Sumiyati terpentang lebar. Hanya
dengan sekilas pandang, Rukmana sudah dapat
mengetahui bahwa pintu itu telah didobrak secara
paksa. Tetapi didobrak dari sebelah mana" Dari luar,
atau dari dalam" Pertanyaan itu terjawab sewaktu
Rukmana Hadinata yang menyerbu masuk ke dalam
rumah, melihat anakbuahnya yang tadi ia panggil
lewat handie-talkie, muncul dari sebelah dalam pintu
kamar tidur. Bawahannya itu tampak lucu
penampilannya. Di tangan, ia masih meng genggam
pucuk senjata api. Namun dari wajahnya yang pucatpasi dilanda teror, dapat ditarik kesimpulan bahwa
sedikit pun tidak menyadari kalau ia bersenjata dan
senjata itu dapat melindunginya dari ancaman
marabahaya. Meski tidak sampai mundur seperti bawahannya,
Rukmana toh harus mengakui bahwa setiap lembar
bulu apa pun di tubuhnya pada merinding ketika
menyaksikan pemandangan mengerikan di kamar
tidur. Darah membanjir, dan seseorang dengan bekas
luka di pelipis tampak tengah sekarat dengan lukaluka mengerikan. Tetapi apa yang membuat Rukmana
Hadinata sesaat ternganga dengan sekujur tubuh
terasa kaku dan dingin, adalah sosok tubuh lainnya
dengan luka tembakan yang menghancurkan
sebagian sis i kepalanya. Sosok tubuh semacam itu
hanya akan muncul dalam gambaran mimpi buruk
seorang penakut. Sebelumnya Rukmana telah
memperoleh gambaran yang sama, tetapi lewat
mulut orang lain. Itu akan jauh berbeda bila kita tidak
saja hanya mendengar, tetapi justru menyaksikannya
dengan mata kepala sendiri....
Untunglah berkat pengalamannya Rukmana Hadinata
lekas menguasai diri. la menyambar tubuh ketiga,
Sumiyati, yang syukur tidak cidera apa-apa. Gadis
yang tampak shock hebat itu ia seret keluar. Ia
serahkan pada anak buahnya yang rupanya juga
telah lebih baik keadaannya dan tampak sedang
sibuk membebaskan ljah dari kursi tempatnya terikat.
"Amankan mereka berdua!" kata Rukmana sambil
berlari menuju mobilnya di luar rumah. Ketika berlari
itu ia sempat melihat sosok tubuh lainnya terkapar di
lantai menuju pintu tembus ke garasi. la
menghentikan larinya. Memeriksa sosok tubuh yang
keadaannya hampir membuat Rukmana mau muntah
itu, dan kemudian mengetahui bahwa orang itu sudah
mati. Sersan Eko yang memahami apa yang sebaiknya
dilakukan, tidak ikut masuk ke dalam rumah. la
berjaga-jaga di luar dan dengan senjata di tangan ia
mengusir orang-orang yang berhamburan ingin
memaksa masuk ke rumah Sumiyati. Sersan itu
sempat heran setelah dengar ekor matanya ia
saksikan wajah komandannya yang pucat tak dialiri
darah. Tangan komandannya tampak gemetar ketika
menjangkau mic radio mobil lewat mana si
komandan mengeluarkan beberapa perintah dengan
suara gugup. Rukmana kemudian berlari-larian lagi masuk ke dalam
rumah. la memeriksa setiap sudut untuk meyakinkan
tidak ada sesuatu di rumah itu yang dapat
mendatangkan kesulitan baru. Tak sampai sepuluh
menit berikutnya suasana di dalam maupun di luar
rumah Sumiyati tak ubahnya suasana di sebuah
pertandingan sepakbola yang pemain-pemainnya
mendadak memperlihatkan keahlian mereka lainnya
sebagai petinju. Keadaan itu sudah disadari
sebelumnya oleh Rukmana. Maka pada waktu dan
situasi yang tepat, ia telah menyingkirkan Sumiyati
dan pembantunya dari rumah itu ke rumah terdekat
dan di bawah penjagaan ketat. Pasukan yang ia
minta datang telah ia perintahkan agar mencegah
siapa pun yang tidak berkepentingan, tidak
diperkenankan mendekati rumah Sumiyati selama
Rukmana dan anak buahnya sibuk menjalankan
tugas, kerjasama dengan dokter Singgih serta para
pembantunya: "Jangankan orang. Angin pun tak boleh
lewat!" Rukmana memperigatkan.
Tetapi wartawan bukanlah angin, dan tidak mau
dianggap angin. Mereka berhasil juga menerobos
lantas ikut sibuk, bahkan lebih sibuk dari polisi sendiri.
Rukmana Hadinata berusaha sedapat mungkin
menghindari mereka. Dan ia menjawab setiap
pertanyaan dengan tanpa kompromi: "Nanti saja di
kantor!" Salah seorang wartawan itu sempat membuat
Rukmana bertambah jengkel. Ia itu seorang pemuda
tampan dan diketahui Rukmana cukup potensial
dalam bidangnya. Ia juga bersemangat tinggi, dan
yang paling sering menyulitkan adalah keberaniannya.
Sementara rekan-rekannya mundur teratur, wartawan
muda dan tampan itu justru tak bergerak dihadapan
Rukmana. "Anda menyembunyikan teman kami, Kapten," ia
berkata datar. "Temanmu" Yang mana?"
"Sum Kuning." "Tak usah khawatirkan dia, Bung. Sum Kuning ada di
tempat yang aman," kata Rukmana berusaha
seramah mungkin. "Saya ingin bertemu dia, Kapten. Pribadi. Bukan
sebagai wartawan." "Aku tak melihat bedanya," jawab Rukmana, mulai
ketus. "Ada Kapten. Itu bila Kapten sudi memberi tahu Sum
Kuning bahwa saya, Anton...."
"Aku sudah tahu namamu, Bung!"
"Nanti dulu. Kapten. Anda belum mengerti apa yang..."
"Apakah kau juga telah mengerti, Bung Anton,"
potong Rukmana, "Bahwa kami sedang menjalankan
tugas" Tanpa diganggu tikus-tikus berkeliaran yang
mungkin saja menghapus jejak yang kami harus
selidiki?" Anton, wartawan dari majalah Selecta Group itu
menyeringai. la berkata dengan lembut, tetapi
menusuk: "Boleh saya mencatat kalimat Anda itu
dalam tulisan saya nanti, Kapten?"
Rukmana Hadinata sedikit tersentak, lalu balas
menyeringai. Jawabnya tak kalah lembut: "Yang itu
of-de record, Bung Anton," lantas tanpa menanti reaksi
si wartawan, Rukmana masuk ke kamar tidur
Sumiyati yang kemudian ditutup dan dijagai dari
sebelah luar oleh dua anggota pasukan bersenjata. la
sempat melihat Letnan Handoko menjemput sepucuk
pistol Colt kalimber 32 dengan mempergunakan
sehelai sapu tangan. Oleh si letnan senjata itu
dimasukkan ke sebuah kantong plastik besar yang di
dalamnya juga tampak sebuah topi kupluk hitam dan
sehelai celana dalam wanita.
"Singkirkan celana dalam itu, Letnan," desah Rukmana
tak senang pada bawahannya yang menatap heran.
"ltu tidak kita perlukan," tambah Rukmana kesal.
Ya, ia begitu kesalnya. Sumiyati hampir atau mungkin telah diperkosa. ltu
saja sudah membuat darah di sekujur tubuh kapten
polisi itu menggelegak menahan marah. la lebih
marah lagi setelah teringat kembali bahwa ia telah
kecolongan. Dan akibatnya, begitu fatal.
Sejak semula Rukmana telah menekankan agar dia
atau salah seorang anak buahnya ikut berjaga-jaga di
dalam rumah. Tetapi Sumiyati bersikeras menolak.
Dengan alasan, kehadiran orang tidak dikenal boleh
jadi akan membuat ayahnya mengamuk dan usaha
mereka berantakan. Brengseknya, Rukmana
menganggap alasan gadis itu masuk akal. Yang lebih
brengsek, adalah instruksi yang diberikan Rukmana
pada Bharada Solihin. Dari tempat persembunyiannya
tidak jauh dari rumah Sumiyati, Solihin diberi
pengarahan untuk mengawasi satu sosok tubuh yang
mungkin berkeliaran disekitar rumah Sumiyati. la
masuk ke dalam. Satu, bukan dua sosok tubuh.
Diembel-embeli ciri tambahan: "Orang itu tampaknya
memakai mantel bulu dan topeng mirip anjing."
Maka Solihin tidak bercuriga apa-apa ketika ada sosok
tubuh lewat di dekat tempatnya mengintai, karena
jumlahnya ada dua dan kedua orang itu pun meski
ngobrol perlahan namun sambil tertawa-t awa. Setelah
kedua orang itu menyelinap ke gang di samping
rumah sasaran, Solihin berpikir tentulah mereka
tetangga si gadis, atau peronda malam. Waktu itu
mereka tidak pula mengenakan topi kupluk. Namun di
bawah sinar rembulan, Solihin sempat menangkap
bayangan bekas luka di pelipis salah seorang yang
kemudian ia ketahui terbaring sekarat di tempat tidur
Sumiyati. Masih ada satu hal lain, yang paling brengsek. Ada
pihak ketiga yang merasa dirinya lebih pintar, lebih
mengetahui dari siapa pun juga. Di luar persetujuan
yang disepakati Rukmana bersama Sumiyati, pihak ke
tiga itu lantas menyusun rencana sendiri lalu diamdiam melaksanakannya tanpa memperhitungkan
untung rugi. Sialnya, Rukmana tidak dapat marah
kepada pihak ke tiga itu, ljah, yang dengan maksud
baik pada majikannya. Lagipula dalam bentuk mana
harus marah, menudingnya sebagai kambing hitam"
Karena, memang lain yang ditunggu, lain pula yang
datang. Jadi barangkali kesalahan sepenuhnya dapat
ditimpakan pada dua orang pencuri haram-jadah itu.
Kesalahan yang ternyata harus mereka tebus dengan
harga yang sangat mahal....
"Kapten?" dokte
r Singgih mengejutkan Rukmana
Hadinata dari lamunannya. "Kami sudah siap
mengangkut kedua jenazah ke rumah sakit..."
"Bagaimana dengan korban yang masih hidup,
Dokter?" tanya Rukmana, sekedar bertanya. Tanpa
minat. "Kukira saat ini ia sudah ada di meja bedah. Tetapi
aku meragukan, apakah ia tetap tinggal hidup
sebelum tiba di meja bedah...."
"Hem," Rukmana bergumam sambil menyulut
sebatang rokok. "Mau?" ia sodorkan sebatang untuk
dokter Singgih yang menolak dengan gelengan
kepala. "Katanya, isterimu bilang, kalau kau ngorok bunyi
nafasmu agak lain terdengarnya, Kapten. Jadi hatihatilah dengan nikotin itu...," dokter itu mengusap
keringat yang mengilati kepala botaknya, lantas
bergumam lirih: "Maukah kau mendengar
pengakuanku, kawan?"
"Apa itu, Dokter?"
"Bukan main, itulah yang timbul dalam pikiranku.
Barang yang diinginkan sudah tergenggam ditangan.
Tetapi aku malah bingung sendiri!"
"Pengakuan yang jujur, Dokter. Apa yang
membuatmu begitu gundah?"
"Barangnya, Kapten. Aku belum dapat memastikan
apakah dia itu manusia atau..., yah, binatang!"
"Anggap saja kedua-duanya!" komentar Rukmana
seraya menggamit lengan dokter Singgih keluar
meninggalkan kamar yang banjir darah dan otak itu.
"Kau akan menyetujui pendapatku, kalau kau ikut aku
pergi menanyai seseorang!"
Lalu mereka pergi ke rumah sebelah.
*c***
lJAH sudah mendengar jenazah Suharyadi akan
diotopsi. Maka tak heran kalau kemudian sekeranjang
protes sengit ia lampiaskan ke alamat dokter Singgih
yang menurut dia bermaksud merusak kesucian jasad
Suharyadi. Dokter Singgih sempat kewalahan
melayani protes perempuan setengah baya bermulut
nyinyir itu, sehingga diam-diam Rukmana Hadinata
menahan ketawa sembari merasa iba pada
sahabatnya itu. Dengan bijaksana Rukmana kemudian
mengalihkan persoalan dan berhasil memancing ljah
untuk membuka cerita tentang tokoh yang membuat
dokter Singgih begitu gundah.
"Suharyadi termasuk pemuda favorit saya di masa
masih gadis remaja tanggung," ljah berkata dengan
lamunan melambung. Lalu ia kisahkan kenangan yang
pernah dialaminya ketika sakit perutnya mengulah.
dan ia kehilangan celana dalam sehingga Suharyadi
dibuatnya tersipu-sipu malu. Kemudian ia berkisah
pula tentang apa yang ia ketahui langsung mengenai
pemuda favoritnya itu. ".... aku tak pernah melihat dia lagi selama tiga tahun
terakhir," katanya. "Tetapi aku percaya, Karta dan
Harlas tetap memberinya ramu-ramuan yang harus
mereka buat sesuai petunjuk yang kuberikan sebelum
aku meninggalkan kampung secara terpaksa. Jampijampi yang harus dibaca itu tak lupa saya beritahu.
Sayang ada manusia-manusia durjana sehingga
Suharyadi harus melanggar pantangan!"
Waktu berkata demikian, wajah ljah berubah marah,
seraya menjelaskan apa yang dia maksudkan.
Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa terasa waktu terus berlalu dan bahan obrolan
dengan sendirinya ikut pula berkembang, melantur
lebih jauh. Apalagi kalau yang diobrolkan ternyata
mengasyikkan pula. "Kalau kalian mau tahu, leluhur Suharyadi itu konon
anak buahnya Karaeng Galesung!" suatu saat, ljah
membuka cerita. "Karang apa?" dokter Singgih menggaruk kepalanya
yang plontos. "Kara-eng, Dokter, bukan karang!" Rukmana
membetulkan, lalu kemudian berpikir seraya
bergumam bingung: "Karaeng Galesung. Rasanya aku
pernah mendengar nama itu... entah dimana..."
"Pasti waktu Pak Rukmana masih belajar di sekolah
lanjutan," cetus pelayan Sumiyati yang gembira
dengan kelebihannya dari kedua orang berkedudukan
terhormat itu. Tragedi yang merenggut nyawa
pemuda favoritnya itu mulai tersisihkan oleh sifat
lumrah seorang wanita tua yang mulai nyinyir bila ia
sadar mengetahui sesuatu lebih banyak dari
pengetahuan orang lain. "Karaeng Galesung," katanya
bersemangat meski air mata belum kering dari pipi
tuanya, "adalah kepala pasukan pelaut Makasar yang
pernah membantu Pangeran Trunojoyo, Raja Kediri!"
Sementara dua orang temannya ngobrol di sebuah
ruang tertutup, tercengang mendengar penuturannya,
ljah terus berceloteh tentang apa yang katanya
pernah ia dengar dari almarhum suaminya, sementara
suaminya itu juga hanya mendengar dari penuturan
orang lain pula. Sebuah cerita dari mulut ke mulut
yang telah berkembang generasi demi generasi,
tentang leluhur Suharyadi yang ikut mempertahankan
Kediri dari serbuan pasukan Belanda yang waktu itu
disebut VOC. Kediri berhasil direbut VOC dengan
bantuan Aru Palaka dan tentara Bugis-nya. Pangeran
Trunojoyo serta pasukannya yang setia kemudian
melarikan diri ke bukit-bukit di Gunung Kawi,
termasuk leluhur Suharyadi. Tetapi karena adanya
pengkhianatan, akhirnya Pangeran Trunojoyo
terkepung dan menyerah pada Jonker, seorang suku
Ambon yang menjadi Kapten pasukan VOC setelah
mana kemudian Pangeran Trunojoyo ditikam oleh
musuh besarnya, Prabu Amangkurat ll.
"... tetapi aku bukan mau cerita tentang raja-raja yang
hebat itu," sela ljah di tengah ceritanya yang mau tak
mau membuat asyik dua pendengarnya. "Ada cerita
lain, yang lebih hebat. Yakni, tentang leluhur
Suharyadi, anak buah Karaeng Galesung itu...."
"Setelah Pangeran Trunojoyo ditangkap Jonker, leluhur
Suharyadi menyelinap jauh kedalam hutan. Di situ ia
mendalami ilmu kebal yang kemudian menjurus pada
ilmu hitam. la harus mengawini seorang perempuan
yang muncul seusai pertapaannya. Baru belakangan ia
mengetahui bahwa bila matahari digantikan
rembulan, perempuan yang ia peristri berganti wujud
pula dari manusia menjadi rubah atau serigala. Karena
sudah terikat sumpah keramat, mana rubah itu kalau
berwujud manusia cantik pula, leluhur Suharyadi lama
kelamaan menjadi terbiasa.
Tetapi ketika ia terpikat pada wanita lain, yang ini
wanita yang utuh sebagai wanita, leluhur Suharyadi
mulai mencari jalan untuk melepaskan diri dari
pengaruh istrinya. Dalam suatu kesempatan, istrinya
yang sedang hamil tua itu berhasil ia bunuh ketika
sedang menjalani proses ke wujud serigala. Sebelum
menghembuskan nafas, sang istri mengutuk lelaki
yang sial itu: "Aku akan terus mengganggumu,
maupun keturunan-keturunanmu ....!"
Bekas anak buah Karaeng Galesung itu ketakutan, lalu
melarikan diri dari Gunung Kawi. Selain itu ia juga
takut terhadap pasukan VOC. Maka dengan bantuan
beberapa orang kenalannya sesama pelaut Makasar
ia meneruskan pelariannya ke Banten bersama istri
barunya. Di Banten, ia mengabdikan diri pada pasukan
Sultan Hadji yang dibantu oleh VOC. Setelah Sultan
Hadji berhasil merebut kekuasaan dari Ayahnya,
leluhur Suharyadi itu sudah merasa jemu, lari dan lari
lagi. la lalu berbalik gagang dan memihak pada
pasukan Sultan Hadji. Hidupnya memang lebih tenang dan bahagia, sampai
suatu hari istrinya melahirkan anak pertama mereka.
Alangkah terkejutnya sang ayah yang tadinya
berbahagia itu, manakala bayi perempuannya yang
masih merah tiba-tiba mengeluarkan suara
perempuan dewasa yang mengatakan: "Masih ingat
aku, suamiku terkutuk"!" Lalu bayi itu tertawa
meringkik, disusul raung dan lolongan serigala dari
mulut yang sama. Mengertilah leluhur Suharyadi bahwa roh istri
pertamanya masih tetap mengikutinya ke mana pun
ia pergi, bahkan roh itu diam-diam telah menghuni
raga istrinya, lalu anaknya. Pada saat-saat tertentu,
apabila roh itu ingin melampiaskan dendam
kesumatnya, raga yang ia huni akan berubah wujud
menjadi serigala seperti wujudnya semasa hidup.
Sampai meninggalnya, bekas anak buah Karaeng
Galesung itu tidak pernah menemukan penangkal
kutuk yang ditimpakan pada dirinya maupun
keturunan-keturunannya. Baru pada dua generasi
berikutnya penangkal itu dapat ditemukan salah
seorang keturunannya. Roh serigala yang selalu
menghuni raga setiap keturunan bekas anak buah
Karaeng Galesung itu berhasil dienyahkan. Namun
sisa-sisa dendam kesumatnya tidak ikut hilang.
Dendam kesumat itu menyatu dengan darah
keturunan-keturunan Suharyadi. Yang apabila terjadi
sesuatu yang membangkitkan dendam kesumat
maka pengaruh roh itu akan kembal
i terasa. Dan si penyimpan dendam kesumat akan berubah wujud
menjadi serigala, selama dendam kesumatnya belum
terlampiaskan sampai tuntas...
Ketika ljah berhenti sebentar untuk menarik nafas,
kesempatan itu dipergunakan Rukmana untuk
menanyakan sesuatu yang tiba-tiba mengganggu
pikirannya: "Apakah menurut lbu, kutukan itu dapat
pula menimpa diri Sumiyati"!"
ljah baru saja akan membuka mulut, keti ka gadis
yang namanya disebut tahu-tahu saja membuka pintu
kamar dimana sebelumnya ia mengunci diri tanpa
bersedia didekati siapa pun juga. Shock masih terlihat
di wajahnya. Tetapi sinar matanya memandang cukup
tajam ketika terarah pada pembantunya, yang
seketika menjadi gelisah.
Gadis itu berpaling pada Rukmana Hadinata dan
dengan wajah menyimpan seribu misteri ia berujar
lirih: "Mau menolong saya, Kapten?"
"Dengan senang hati, Neng..." jawab Rukmana
tersenyum, meski di dalam sanubari ia bertanya Freelance 2 Lebih Dari Sekedar Lo Apsen Karya Dante Bunga Di Batu Karang 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama