Ceritasilat Novel Online

Sepasang Samurai Maut 2

Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut Bagian 2


berkat perlindungan yang diberikan murid-murid
setia Perguruan Gelombang Timur sempat berteriak menyaksikan kematian mertuanya yang begitu mengerikan. Namun apa yang dilakukan putra
bungsu Ki Wiracakrana itu merupakan tindakan
ceroboh yang amat merugikan. Pada saat kewaspadaannya itu hilang, dengan gerakan yang secepat kilat Buchohanco membabatkan samurainya
secara menyilang ke dada Raden Mas Satria Aji.
"Hoaaat...!"
Bret! "Aaa...!"
Raden Mas Satria Aji terpekik keras. Tubuhnya menggelinjang dengan sepasang kakinya
tergeser mundur beberapa langkah. Pedang di
tangannya pun terlepas. Kedua telapak tangannya
memegangi dada dan perutnya yang sobek.
Bruk! Raden Mas Satria Aji ambruk ke tanah lalu
tewas dengan tubuh berlumuran darah.
Kematian Ki Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji, dan Salandra, tak mengurangi keberanian murid-murid Perguruan
Gelombang Timur. Secara serentak mereka merangsek kedua lawan. Senjata mereka terus berkelebat melancarkan serangan sebagai upaya melampiaskan kemarahan pada sepasang muda-mudi yang telah menewaskan
orang-orang yang sangat dihormati.
Namun betapa mudahnya pasangan mudamudi bersenjata samurai itu menghadapi belasan
murid Ki Amongdrajat. Dengan ringan Parameswari dan Buchohanco melompat ke sana kemari.
Sambil sesekali menangkis serangan murid-murid
Perguruan Gelombang Timur.
"Hi hi hi...! Kalau aku mau, hanya semudah membalikkan telapak tangan akan kubantai
kalian, Cecunguk-Cecunguk Tak Tahu Diri!" um-pat Parameswari dengan tertawa
cekikikan sambil
menyarungkan samurainya. "Sayang aku tak
punya banyak waktu untuk melayani kalian," lanjutnya sambil menoleh ke wajah
Buchohanco yang juga sudah menyarungkan kembali samurainya. Buchohanco membalas tatapan mata Parameswari. "Kita cari yang lain sekarang!" usulnya dalam bahasa yang hanya
dimengerti Parameswari.
"Tentu saja, Kak. Hayo!" balas Parameswari dalam bahasa yang begitu asing bagi
telinga murid-murid Perguruan Gelombang Timur.
"Hayo!" sambut Buchohanco seraya menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah. Tubuhnya seketika melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya.
"Hip!" gadis cantik berpakaian longgar warna ungu pun melakukan hal yang sama.
Ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu meringankan
tubuh milik Parameswari tak beda jauh dari yang
dimiliki Buchohanco. Tak heran kalau hanya sekali hentakan kaki keduanya mampu bergerak sejajar, meninggalkan murid-murid Perguruan Gelombang Timur yang masih dibakar api kemarahan. *** 4 Di sebuah penginapan yang bagian depannya terdapat kedai, nampak hanya dikunjungi tiga orang tamu. Sementara pemilik kedai tidak
nampak di tempat itu.
Dua orang tamu yang duduk di bangku
paling pojok baru saja menyelesaikan makannya.
"Aku mengkhawatirkan
keadaan Ki Amongdrajat, Kakang," ucap seorang gadis cantik dengan mulut masih dipenuhi
suapan makanan terakhir. "Bisa jadi Datuk Beruang Hitam me-nyantroni kembali Perguruan
Gelombang Timur,
sebelum mewujudkan dendamnya padamu," lanjut gadis cantik berpakaian warna jingga yang tak
lain Mayang Sutera atau si Dewi Payung Emas.
"Apa alasanmu mengkhawatirkan Ki
Amongdrajat, Mayang?" tanya Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada cangkir
terbuat dari tanah yang masih berisi air setengah. "Ki
Amongdrajat itu bukan lelaki berilmu rendah,"
lanjut lelaki berpakaian warna kuning keemasan
sambil meraih gelas.
Mayang Sutera tak membantah ucapan Raja Petir. Tangannya juga tergerak meraih cangkir minuman di hadapannya.
"Apalagi murid-murid Perguruan Gelombang Timur tidak sedikit. Mereka rata-rata memiliki ilmu yang setidaknya dapat meringankan beban Ki Amongdrajat dalam mengusir seorang tua
macam Datuk Beruang Hitam," lanjut Jaka setelah meneguk air.
"Kau betul, Kakang" sambut Mayang Sute-ra. "Namun aku berkesimpulan ilmu yang
dimiliki Datuk Beruang Hitam berada di atas Ki
Amongdrajat. Kesimpulan itu dapat kutarik berdasarkan kekalahan Ki Wiracakrana hanya dalam
beberapa gebrakan saja," tandas Mayang Sutera mengemukakan rasa khawatirnya.
"Hm...!" Jaka bergumam setelah mendapatkan kesimpulan kekasihnya yang sedikit banyak mengandung kebenaran, "Lalu apa usulmu selanjutnya?" tanyanya memancing
pendapat gadis cantik itu.
"Tentu saja kita harus mengunjungi kembali Perguruan Gelombang Timur," jawab Mayang Sutera tegas.
"Sekarang?"
"Lebih cepat lebih baik," sambut Mayang Sutera. "Baik"
Raja Petir langsung bangkit dari duduknya.
Bersamaan dengan itu lelaki penjaga kedai keluar, maka langsung saja Jaka melambaikan tangannya dan membayar hidangan yang telah disantapnya. "Ayo, Mayang!" ajak Jaka setelah pelayan itu pergi dari hadapannya.
Hari masih pagi ketika Raja Petir dan
Mayang Sutera meninggalkan Desa Blanjangan
tempat kedai dan penginapan itu berada. Matahari baru saja beranjak dari peraduan. Sinarnya
mulai menghangatkan bumi dan mengusir embun-embun yang menempel di pucuk dedaunan.
"Kakang, sebaiknya kita percepat saja
langkah kita! Kita harus segera sampai ke Desa
Pasir Putih. Kalau tidak, kita pasti kesiangan atau bahkan kesorean sampai di
sana," usul Mayang Sutera. "Naluriku mengatakan kalau di Perguruan Gelombang
Timur telah terjadi sesuatu."
"Ayolah!" sambut Raja Petir.
"Hips!" Mayang Sutera pun segera menggenjot kakinya dan melesat cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
"Hops!" Raja Petir melakukan hal yang sa-ma. Maka seketika dua sosok bayangan
kuning terlihat berkelebat cepat.
* * * "Kakang! Kau lihat di sana"!" seru Mayang Sutera seraya menunjuk ke tempat
kerumunan orang di pelataran Perguruan Gelombang Timur.
"Hhh..., aku yakin dugaanku tak meleset! Pasti telah terjadi sesuatu di sana."
Tanpa membalas ucapan kekasihnya, Raja
Petir langsung bergerak maju melewati pintu
utama Perguruan Gelombang Timur yang dijaga
lima lelaki bersenjata pedang dengan sikap gagah.
"Celaka, Raja Petir!" sambut salah seorang penjaga dengan tubuh yang menjura
hormat "Dua orang asing telah mengamuk di perguruan ini,"
lanjut penjaga bertubuh kekar dan bermata lebar.
"Tamu asing?" ulang Jaka pelan, "Bukan Datuk Beruang Hitam?" tanyanya kemudian.
"Bukan, Raja Petir," jawab penjaga yang berambut gondrong tersanggul. "Mereka
sepasang muda-mudi. Yang lelaki sepertinya orang dari negeri Jepang dan dia tak
bisa berbicara bahasa ki-ta," lanjutnya.
"Betul Raja Petir," ujar penjaga yang lain menambahkan. "Kalau yang wanita orang
pribu-mi. Namanya... ehm... siapa namanya, ya?"
"Parameswari...!" sahut penjaga bertubuh pendek kekar.
Raja Petir sepertinya tak menanggapi pemberitahuan penjaga bertubuh pendek kekar. Tatapan matanya kini tertuju pada wajah cantik kekasihnya. "Benar firasatmu, Mayang," ucapnya pelan. "Lalu bagaimana keadaan Ki
Amongdrajat, Kisanak?" tanya Mayang Sutera dengan tak men-gacuhkan ucapan Raja Petir.
Lima lelaki penjaga pintu Perguruan Gelombang Timur tak segera menjawab pertanyaan
Mayang Sutera, mata mereka nampak saling berpandangan satu sama lain.
"Yah. Bagaimana keadaannya?" desak Raja Petir. "Dia... dia...," terbata-bata
ucapan yang keluar dari mulut lelaki bermata lebar itu.
"Ki Amongdrajat.. tewas, Nini," sambung lelaki berambut gondrong tersanggul.
"Ah!" Mayang Sutera tersentak mendengar pemberitahuan itu.
"Tiga belas murid perguruan pun mengalami nasib yang sama, Nini. Termasuk Kakang
Salandra dan Raden Mas Satria Aji. "
"Satria tewas?" gumam Jaka hampir tak
terdengar. "Mari kita masuk, Mayang!" ajaknya kemudian.
Dengan langkah-langkah lebar. Raja Petir
diikuti Mayang Sutera langsung memasuki pelataran menuju bangunan tempat tinggal Lurah
Amongdrajat "Nini Mayang...! Oh...!" Baru dua langkah Raja Petir dan Mayang Sutera melewati
puluhan lelaki yang berkerumun, Nuning Mutiara sudah
menyerbu dengan teriakan yang dibarengi isak
tangis memilukan. Putri Ki Amongdrajat itu langsung memeluk tubuh Mayang Sutera dengan kesedihan. "Dosa apa yang telah kulakukan hingga
harus mendapatkan cobaan seperti ini," keluh Nuning Mutiara terdengar lirih. Air
matanya mengucur membasahi pakaian Mayang Sutera.
"Tabahkan hatimu, Nuning!" hibur Mayang Sutera dengan tangan tergerak
mengendurkan pe-lukan wanita cantik berpakaian hijau pupus itu.
"Terimalah segalanya sebagai ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa! Jangan kau sesali
apa yang telah digariskan-Nya!" lanjutnya. Gadis cantik berjuluk Dewi Payung
Emas, mengangkat tangannya
menghapus air mata yang bergulir dari kelopak
mata Nuning Mutiara.
"Aku tak berada di sini ketika pembantaian
itu terjadi, Kakang Jaka. Aku tengah berada di
rumah mertuaku Ki Wiracakrana, tanpa ditemani
Kakang Satria. Padahal aku sudah mengajaknya,
tapi Kakang Satria menolak mungkin inilah arti
penolakannya," tutur Nuning Mutiara di sela-sela isaknya yang masih jelas
terdengar. "Kau tahu kenapa dua orang asing itu berbuat seperti itu, Nuning!" tanya Mayang Sutera hati-hati.
Nuning Mutiara pun segera menuturkan
masalahnya yang didengar dari beberapa orang
murid Ki Amongdrajat. Matanya yang indah tampak sembab karena terlalu banyak menangis. Raja Petir dan Mayang Sutera memaklumi betapa
hancur perasaan putri Ki Amongdrajat itu. Baru tiga hari hidup berumah tangga,
kini harus menerima kenyataan pahit. Suami dan ayahnya meninggal dalam keadaan mengenaskan.
"Apa tidak mungkin kalau mereka kini tengah memburu pendekar-pendekar lain, Kakang?"
tanya Mayang Sutera setelah mendengar penuturan Nuning Mutiara.
"Bukan hanya kemungkinan, Mayang. Mereka pasti gentayangan di wilayah Kadipaten Sunyilaga ini...," tukas Jaka.
"Kita harus mencegahnya kalau begitu,
Kakang," ujar Mayang Sutera lagi.
"Ya. Kita harus berbuat sesuatu untuk
menghentikan sepak terjang mereka," sahut Jaka.
"Ya. Tapi dari mana kita harus memulainya?" tanya Mayang Sutera.
Jaka berpikir sejenak, lalu dengan tangannya dia memanggil salah seorang murid Perguruan Gelombang Timur.
"Kau tahu ke mana arah perginya dua
orang asing itu?" tanya Jaka kepada murid Perguruan Gelombang Timur yang
menghampirinya.
"Ke arah selatan. Raja Petir," ucap lelaki bertubuh gempal itu.
Tatapan mata Raja Petir dan Mayang Sutera kini sama-sama tertuju pada wajah Nuning
Mutiara. "Sekarang juga kami pamit, Nuning. Sepak terjang lelaki berkebangsaan
Jepang itu ha- rus segera dihentikan," ucap Jaka.
Nuning Mutiara menganggukkan kepada.
"Hati-hatilah kalian!" jawab Nuning Mutiara.
"Tentu, Nuning," jawab Mayang Sutera.
"Kami pamit," ucap Jaka.
"Hops!"
"Hips!"
Sepasang pendekar muda itu langsung melesat ke selatan. Gerakan mereka yang cepat
nampak seperti kelebatan anak panah yang terlepas dari busurnya. Sementara matahari terus beranjak naik dengan sinarnya yang semakin panas.
*** 5 Mulut Hutan Gulinjang yang terletak di sebelah utara Desa Galuhnila nampak bermandikan
cahaya matahari yang terasa tak lagi menyengat.
Dari arah timur yang dibatasi pohon-pohon mahoni, tiba-tiba muncul sesosok lelaki berwajah
buruk rupa mengenakan pakaian dari kulit beruang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari
arah utara pun muncul sepasang muda-mudi


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang di punggung masing-masing tersampir sebilah samurai. "Kau tahu di mana letak perguruan yang
terdekat dari sini, Kisanak?" tanya seorang gadis cantik berpakaian longgar
warna ungu ketika saling berpapasan.
Lelaki berwajah buruk itu tak segera menjawab pertanyaan gadis cantik yang tak lain Parameswari. Matanya yang kemerahan dan terhias
alis tebal menatap wajah gadis cantik itu.
"Hei! Apa kau bisu"!" sentak Parameswari keras. Lelaki buruk rupa yang tak lain
Datuk Beruang Hitam tak tersentak mendengar bentakan
gadis cantik berpakaian warna ungu. Namun kemudian mulutnya mengembangkan senyum yang
terlihat begitu lucu.
"He he he...! Kalau butuh jawaban, seharusnya kau tak galak seperti itu, Anak Manis.
Sayang kalau wajahmu rusak oleh kegalakanmu.
Lagi pula akan memberi imbalan apa jika pertanyaanmu kujawab, heh"!" tanya Ki Samparal diiringi tawanya.
"Monyet jelek! Jangan banyak tingkah di
hadapanku, cepat jawab sebelum nyawamu kukirim ke neraka!" bentak Parameswari dengan jari telunjuk yang menuding wajah Ki
Samparal yang tampak tersentak.
Merah padam wajah Datuk Beruang Hitam
dikatakan sebagai monyet jelek. Matanya terbelalak menahan kegeraman pada gadis berpakaian
ungu itu. "Perempuan liar!" maki Ki Samparal tak kalah keras. Tangannya juga menuding
wajah cantik gadis di hadapannya. "Kau pikir tengah berhadapan dengan siapa saat ini" Lancang
benar mu- lutmu, heh..."! Tak tahukah kalau kau berhadapan dengan Datuk Beruang Hitam"!"
"Tua bangka jelek! Siapa pun kau, jika tak
menjawab pertanyaanku, maka nyawamulah yang
jadi taruhannya!"
Sring! Parameswari langsung mencabut samurai
dari warangkanya. "Cepat jawab sebelum samurai ini membelah dadamu!" desaknya
seraya menuding dada Datuk Beruang Hitam dengan ujung samurai. "Bocah bau kencur saja sombong! Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!"
tantang Ki Samparal
"Tua bangka tak tahu diri!" maki Parameswari. "Terima ini! Hiaatt..!"
Kaki kanan gadis cantik berpakaian ungu
itu menghentak kuat ke permukaan tanah. Seketika tubuhnya melesat cepat dengan tangan kanan bergerak melakukan tebasan menyilang mengarah dada Datuk Beruang Hitam.
Wuung! "Eits!"
Dengan cepat Datuk Beruang Hitam melompat ke kanan menghindari sambaran senjata
lawan. Babatan selanjutnya yang melesat lebih
cepat membuat tubuh lelaki tua berwajah buruk
itu terpaksa harus melenting dengan beberapa
kali putaran di udara.
Pada saat itu pula Buchohanco yang tadi
masih berdiam diri, langsung melesat. Dengan
samurai di tangan lelaki berpakaian serba putih
itu menyerang Ki Samparal.
"Hoaatt..!"
Wuung! Wuung! Datuk Beruang Hitam tentu saja terkejut
mendapatkan serangan yang dilakukan Buchohanco. Untuk melindungi dirinya dari sambaran
senjata lawan, Datuk Beruang Hitam dengan cepat meloloskan senjatanya yang berupa lempengan logam berbentuk cakar seekor beruang.
Sring! Trang! "Akh!"
Datuk Beruang Hitam memekik tertahan
ketika benturan keras terjadi. Suara berdentang
keras yang diiringi percik bunga api terlihat bersamaan dengan tergempurnya
tubuh Datuk Beruang Hitam. "Hih!"
Ki Samparal mendaratkan kakinya di tanah
dalam kedudukan agak goyah sedikit
"Hm...! Kuat sekali tenaga dalam lelaki
bermata sipit itu," gumam Datuk Beruang Hitam dalam hati.
"Hm...! Sayang sekali kau harus berumur
pendek, Monyet Jelek!" ejek Parameswari menyaksikan Datuk Beruang Hitam tak balas menyerang. "Ayo, Kak Bucho!" ajaknya kemudian dalam bahasa yang tak dimengerti Ki
Samparal. Tubuh Parameswari seketika mencelat diikuti lelaki berpakaian putih longgar dengan senjatanya yang berpindah ke tangan
kiri. Datuk Beruang Hitam yang sudah kenyang
makan asam garam rimba persilatan, mengerti
kalau lawan-lawannya akan menyerang dari dua
arah, kiri dan kanan. Maka senjatanya segera disilangkan di depan dada dengan
sikap waspada penuh. "Hiaatt...!"
"Hoaatt..!"
Tring! Trang! Dengan kecepatan yang mengagumkan Parameswari dan Buchohanco membabatkan senjatanya ke dada lawan. Namun kecepatan tangkisan
yang dilakukan Ki Samparal cukup membuat serangan sepasang muda-mudi bersenjata samurai
itu kandas di tengah jalan. Meskipun begitu, lela-ki tua itu terhuyung empat
langkah ke belakang.
Dan dirasakan tangannya bergetar hebat
"Hiaatt...!"
"Hoaatt..!"
Belum lagi kedudukan Datuk Beruang Hitam sempurna, Parameswari dan Buchohanco telah melesat memberikan serangan susulan.
Hal itu membuat Ki Samparal tampak kebingungan. Dirinya merasa ragu apakah akan
mampu menangkis serangan kedua lawannya.
Sementara tangannya masih dirasakan linu setelah benturan keras barusan.
"Hih!"
Sebelum serangan Parameswari dan Buchohanco mendekat, Datuk Beruang Hitam segera
saja menghentakkan senjatanya, memainkan
ajian 'Racun Beruang Kutub'. Maka seketika itu
juga. Slrrts...!
Slrrts...! Empat larik sinar kebiruan meluruk cepat,
lalu terpecah menjadi dua arah mencecar tubuh
Parameswari dan Buchohanco.
Dengan cepat Buchohanco yang berada
pada kedudukan paling depan segera memutar
senjatanya dengan kecepatan mengagumkan.
Wuung! Wrrr...! Samurai di tangan Buchohanco hilang bentuk, kini berganti dengan sinar putih yang bergu-lung melindungi tubuhnya dari
incaran sinar kebiruan. Tring! Tring! Luncuran sinar kebiruan hasil olahan 'Aji
Racun Beruang Kutub' berhasil dibendung dengan gerakan cepat Buchohanco.
"Ha ha ha...! Ceroboh sekali kau, Mata Sipit! Sebentar lagi kau akan mampus oleh Racun
Beruang Kutub yang mengalir melalui batang senjatamu! Ha ha ha...!" Datuk Beruang Hitam ter-bahak keras mengetahui siasatnya
berhasil. Se- mula dirinya beranggapan kalau lawan akan
menghindari serangannya dengan menjauhi sinar
kebiruan yang meluruk deras, tapi nyatanya tidak. "Tua bangka! Apa pun jenis racun yang kau keluarkan, kawanku ini tak akan
terpenga-ruh sedikit pun! Samurai di tangannya adalah
senjata pusaka yang mampu menawarkan racun,
bagaimanapun ganasnya!" beritahu Parameswari terang-terangan dan itu tentu saja
membuat Ki Samparal terkejut
"Sekarang, coba kau tahan kembali seranganku! Hiaatt..!"
"Hoaatt..!"
Wuung! Wuung...!
Tubuh sepasang muda-mudi bersenjata
samurai kembali meluruk menyerang Datuk Beruang Hitam. Samurai di tangan keduanya bergerak seperti baling-baling kapal di atas kepala
hingga menimbulkan deru yang cukup keras.
"Hihh...!"
Trang! Bret! "Akh...!"
Datuk Beruang Hitam terpekik keras ketika
ujung samurai di tangan Parameswari dengan cepat merobek bagian dadanya secara menyilang
dari atas ke bawah. Tubuhnya yang terbalut kulit Beruang terhuyung mundur dengan
tangan kiri mendekap dada yang terluka cukup lebar sampai
ke perut "Hoaat..!"
Buchohanco si lelaki dari Jepang rupanya
kurang puas. Ketika Datuk Beruang Hitam masih
terhuyung mundur, tubuhnya melesat cepat dengan kedudukan kaki kanan berada di depan hendak melakukan tendangan ke bagian kepala lawan. Plak! "Aaa...!"
Pekik melengking tinggi kembali keluar dari
mulut Ki Samparal ketika tendangan lurus cukup
keras menghantam telak kepalanya hingga mengakibatkan lehernya patah. Tubuhnya terpental
beberapa tombak ke belakang.
Pekik kematian melengking tinggi yang keluar dari mulut Datuk Beruang Hitam rupanya
samar-samar terdengar oleh sepasang muda-mudi
yang tak lain Raja Petir dan Mayang Sutera. Keduanya kontan saja menghentikan larinya.
"Kau dengar suara itu, Kakang?" tanya
Mayang Sutera. "Aku mendengarnya, Mayang. Sepertinya
dari arah utara," jawab Jaka dengan kening ber-kernyit, seakan ingin memastikan
arah tempat asal suara itu.
"Kita harus cepat ke sana, Kakang! Orang
itu pasti membutuhkan pertolongan kita," usul Mayang Sutera.
"Ayo!" sambut Jaka menyetujui ucapan kekasihnya.
* * * "Datuk Beruang Hitam?" desis Jaka mengenali sosok lelaki berwajah buruk yang tergeletak tanpa nyawa. Pada bagian dada
hingga perut terlihat luka yang menganga lebar, hingga menampakkan isi perut yang terburai keluar.
"Hm...! Siapa pelaku semua ini?" gumam Mayang Sutera bertanya sendiri.
"Dari lukanya, aku bisa menarik kesimpulan kalau senjata yang digunakan sejenis pedang
panjang," tukas Jaka menduga-duga.
"Samurai maksudmu, Kakang?" tanya
Mayang Sutera. "Ya. Dugaanku pelakunya orang yang telah
membantai Ki Amongdrajat dan murid-muridnya,"
jawab Jaka mantap.
"Hh...!" Mayang Sutera menarik napas geram. "Kepandaian mereka berarti cukuplah
tinggi, Mayang. Kita tak boleh kehilangan kewaspadaan jika berhadapan dengannya!" tandas Raja Petir. "Ayo kita teruskan pencarian
ini, Kakang! Kurasa mereka belum jauh dari daerah ini," ajak Mayang Sutera dengan langkah
kaki yang tergerak ke arah kelokan jalan sebelah kanan.
Raja Petir mengikuti saja arah jalan yang
diambil kekasihnya. Ditelusurinya terus jalan
memanjang yang ditumbuhi ilalang setinggi betis.
"Jalan buntu, Kakang," ucap Mayang Sute-ra kaget, larinya seketika terhenti lalu
berbalik menghadap Raja Petir. "Seharusnya jalan kiri yang kita ambil,"
lanjutnya seperti menyesali.
"Tak mengapa, Mayang. Kita balik lagi saja
jika begitu," putus Jaka setelah diyakininya kalau jalan yang diambilnya benarbenar salah. "Hh!" Mayang Sutera membanting kakinya kesal. "Semakin jauh saja jadinya jarak
kita dengan pembunuh Ki Amongdrajat," katanya menggerutu. Raja Petir tak
menimpali gerutuan Mayang
Sutera. Langsung dibalikkan tubuhnya bermaksud kembali ke tempat semula. Namun....
Blrgrgrg...! Sesosok bayangan hitam berjumpalitan keluar dari arah kanan yang ditumbuhi pohonpohon jati cukup besar. Kemunculan sosok itu
juga diiringi dengan sosok-sosok yang lain.
Srakk! Srakk! Delapan sosok lelaki berpakaian serba hitam telah berdiri menghadang jalan Raja Petir dan
kekasihnya. "Hm...." Mayang Sutera menggumam dengan langkah kaki tetap terayun mensejajari kekasihnya. "Mau apa kalian menghadang kami?" tanya Mayang Sutera kemudian. Tatapan
matanya bergerak-gerak memandang delapan lelaki gagah. Di
pinggang masing-masing tampak terselip sepasang pisau belati yang dihubungkan dengan ran

Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tai baja antara hulu satu dengan hulu yang lain.
Sementara rantai baja itu sendiri dililitkan di
pinggang. "Kami mau hartamu dan dirimu, Nini Manis," jawab lelaki berambut kemerahan. Wajahnya tampan, namun sayang giginya
tonggos. "Kalau harta jelas aku tidak punya, Kisanak. Tapi kalau diriku, kurasa kau salah meminta," kilah Mayang Sutera dengan suara yang cukup tenang. "Tidak kenalkah kau
dengan kawan-ku ini" Dia yang akan segera menghalangimu jika
kau meminta diriku."
"Hm! Kalian berdua seperti anak seorang
saudagar kaya. Dari dandanan kalian, dari pakaian kalian yang terbuat dari bahan yang mahal, aku yakin kalau di balik itu
tersimpan harta ber-limpah. Ayo, lucuti pakaianmu, aku ingin melihat!" pinta lelaki tonggos itu keras.
"Hei! Apa yang akan kau lihat?" tanya
Mayang Sutera meledek. "Kalian ingin melihat kawanku marah, heh"!"
"Cepat!" bentak lelaki tonggos seperti tak peduli ucapan Mayang Sutera.
"Baik! Tapi sebelumnya kalian harus tahu
dulu, siapa aku juga kawanku. Mungkin kalian
akan pergi atau lari terbirit-birit setelah mengetahui julukan kawanku ini,"
ucap Mayang Sutera.
"He he he...! Lucu juga kau, Anak Manis.
Sebutkan saja apa julukan kawanmu itu," pinta lelaki berambut merah dengan gigi
depannya yang maju ke depan. Mayang Sutera yang memang tak berselera
bertarung dengan delapan lelaki berpakaian hitam ketat segera saja menyebutkan julukan kekasihnya. Maksudnya tak lain agar delapan lelaki
itu mengurungkan niatnya untuk membegal.
"Raja Petir" Ha ha ha...! Jadi kawanmu ini
yang berjuluk Raja Petir" Hi hi hi..., mana mungkin! Mana mungkin kawanmu yang
semuda ini sudah memiliki kehebatan dan keharuman nama
seperti julukan Raja Petir! Kau pasti pendusta!
Kau gunakan julukan Raja Petir untuk menakutnakuti kami. Cuh!" lelaki tonggos meludah dengan kasar ke tanah.
Raja Petir hanya tersenyum menyaksikan
tingkah lelaki yang tak mempercayai bahwa dirinya pendekar yang begitu kesohor di kalangan
rimba persilatan. Hal itu bisa dimaklumi karena
mungkin orang itu hanya mengetahui nama julukan dari mulut orang-orang yang sesungguhnya
juga belum pernah bertemu secara langsung. Biasanya mereka hanya tahu sebutan Raja Petir
dan sepak terjangnya dari mulut ke mulut.
"Kalau kalian tak percaya, terserah. Tapi
jangan menyesal jika perbuatan kalian tak kuampuni!" gertak Mayang Sutera berusaha meyakinkan lelaki bergigi tonggos itu.
"Cuh! Ayo, serbu mereka!" perintah lelaki berambut merah dengan tangan terangkat
memberi isyarat.
Tiga lelaki bertubuh pendek seketika meluruk maju membuka serangan kepada Mayang Sutera. Sedangkan empat lelaki yang lain bergerak
cepat menyerang Jaka.
"Hyaa...!"
"Heaa...!"
Suara-suara pekikan keras seketika terdengar, seakan memecah keheningan ujung Desa
Galuhnila yang ditumbuhi pepohonan jati. Pekikan keras yang diliputi kemarahan itu terdengar
dari delapan lelaki berpakaian serba hitam yang
menyebut mereka sebagai penguasa daerah itu.
Mereka tak lain Gerombolan Begal Hutan Jati.
Dengan senjata sepasang belati, mereka
merangsek Raja Petir dan Mayang Sutera.
"Hyaa...!"
Wrrek! Wrett! Crakk! Dengan gerakan melompat indah, Mayang
Sutera menyongsong luncuran belati yang mengarah ke dadanya. Secepat kilat tangannya menangkap belati-belati itu, kemudian....
"Hih!"
Blugk! "Aaa...!"
Sebuah tendangan berputar yang dilakukan Mayang Sutera mendarat telak di dada lelaki
bertubuh pendek hingga terdorong satu tombak
ke belakang. "Hoek!"
Darah segar pun muncrat dari mulut lelaki
bertubuh pendek itu, sebelum akhirnya terkapar
tewas. Sementara pertarungan antara Raja Petir
melawan empat lawannya terlihat seperti tak bersungguh-sungguh. Dalam beberapa kali gebrakan
pendekar muda itu tak tampak memberikan serangan balasan. Hal itu membuat lawanlawannya kebingungan dan terlihat hampir putus
asa. Sebab setiap kali serangan gencar dilancarkan selalu membentur tempat kosong. Gerakan
sangat cepat yang dilakukan Raja Petir membuat
mereka tak tahu ke mana lenyapnya sosok lelaki
berpakaian kuning keemasan. Itulah kehebatan
jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang dikhususkan untuk menghindari serangan lawan dengan mengandalkan kecepatan gerak
"Hyaa...!"
"Heaat...!"
Dua lelaki berpakaian hitam kembali meluruk melancarkan serangan dengan senjata siap
diayunkan ke tubuh Raja Petir. Namun hanya
dengan hentakan kaki ringan ke tanah, tubuh
Jaka sudah melesat mendahului.
"Kau tidur saja, Kisanak! Hih!"
Tuk! Tuk! "Uuh...!"
Bruk! Bruk! Seketika kedua lelaki berpakaian hitam itu
ambruk di tanah terkena totokan pada jalan darah. Keduanya tak mampu bangkit untuk melanjutkan pertarungan.
"Bangsat!" maki lelaki tonggos yang merupakan pimpinan dari Gerombolan Pembegal
Hu- tan Jati. "Kau belum merasakan seranganku! Terima jurus 'Sepasang Belati
Mengibas Gunung'-ku
ini!" lanjutnya seraya memutar-mutar sepasang belati yang satu sama lain
ditautkan dengan rantai baja.
Wuuk! Wuuk! Raja Petir hanya menyaksikan saja lelaki
tonggos itu memutar-mutar senjatanya. Dirinya
tahu kalau jurus itu sama dengan yang digunakan kedua lawannya yang baru saja terkena totokan. Bedanya lelaki bergigi tonggos itu menggunakan jurus 'Sepasang Belati Mengibas Gunung'
dengan kekuatan tenaga dalam yang lebih tinggi.
Sehingga daerah sekitar tempat berputarnya dua
bilah belati seperti terlanda angin ribut. Daundaun berguguran dari tangkainya dan batu-batu
kerikil berpentalan, terlanda kekuatan angin putaran sepasang belati itu.
"Awaaas! Hiaa...!"
Wuuk! Tlak! Tlak! Bunyi seperti benturan dua benda keras
terdengar nyaring, ketika sepasang belati yang diputar dengan kekuatan tenaga
dalam itu mem- bentur dada Raja Petir.
Lelaki bergigi tonggos itu terkejut bukan
kepalang. Semula di pikirannya terlintas kalau
tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan
akan koyak terhantam senjatanya.
"Hhh...!"
Lelaki bergigi tonggos menarik napasnya
yang tersengal setelah mengerahkan jurus
'Sepasang Belati Mengibas Gunung' dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Tangan kanannya
dirasakan linu setelah benturan itu terjadi.
"Bagaimana" Masih ingin menyerang lagi?"
tanya Jaka dengan suara begitu tenang dan
memperlihatkan kewibawaan yang membuat Ketua Gerombolan Pembegal Hutan Jati tak kuasa
menjawab pertanyaannya.
"Ayo!" tiba-tiba saja lelaki berambut merah menggerakkan tangan dan
memerintahkan teman-temannya untuk meninggalkan Raja Petir
dan Mayang Sutera.
"Hai! Dua temanmu ini kenapa tak kau
bawa serta"!" seru Jaka melihat dua lelaki yang tertotok jalan darahnya
dibiarkan begitu.
Ketua Gerombolan Pembegal Hutan Jati
dan anak buahnya sedikit pun tak menoleh. Mereka terus berlari tanpa memikirkan keadaan dua
temannya yang masih terkulai lemas di tanah.
Raja Petir melangkah mendekati dua lelaki
bertubuh pendek yang terkulai tak berdaya. Mata
dua lelaki itu menyiratkan rasa ketakutan. Barangkali keduanya khawatir Jaka akan menghabisi nyawa mereka sekarang juga.
"Kalau aku orang jahat, mungkin esok pagi
kalian tak akan dapat menikmati sinar matahari
pagi. Sekarang juga tubuh kalian akan menjadi
bangkai! Namun aku tak mungkin melakukan hal
itu, Kisanak Kehidupan dan kebinasaan bukan
berarti di tanganku dan aku tak punya hak untuk
itu. Kehidupan dan kebinasaan hanya semata hak
Tuhan Yang Maha Esa yang menentukan. Kita
manusia tak ubahnya seperti boneka mainan
yang setiap saat harus menerima apa yang diingini-Nya. Kalau Kisanak berdua sadar akan hal itu, maka tak akan menjadi anggota
gerombolan pem-begal yang selalu berurusan dengan perbuatanperbuatan merugikan orang lain," papar Jaka panjang lebar.
Dua lelaki bertubuh pendek berpakaian
serba hitam itu hanya menundukkan kepala, namun dalam hati keduanya membenarkan ucapan
Raja Petir. "Ampunkan kami, Tuan Pendekar!" ucap
salah seorang lelaki yang bermata sipit. Kepalanya sedikit terangkat untuk dapat menyaksikan
wajah Raja Petir.
"Ya. Ampuni kami. Raja Petir!" sambut lelaki yang lain. Kepalanya juga terangkat
untuk memandang wajah tampan pendekar muda itu.
"Kami janji akan memisahkan diri dari Kakang Senagarta, kami akan keluar dari
Gerombolan Pembegal Hutan Jati, kami akan kembali ke masyarakat sebagai orang baik yang selalu hidup
saling hormat menghormati," lanjut lelaki berhidung besar dengan kepala menunduk
penuh hormat. "Kalian dapat memegang janji itu?" tanya Mayang Sutera tegas.
"Tentu saja, Nini," jawab lelaki berhidung besar. "Ya, Nini," timpal kawannya.
"Kami akan memegang janji itu."
"Kalau kalian mengingkari...?"
"Penggallah kepala kami, Nini! Kami rela,"
sahut lelaki bermata sipit sungguh-sungguh.
"Baiklah," sahut Jaka. "Siapa yang berdus-ta dengan janjinya, pasti akan
termakan dustanya yang mengundang bahaya lebih besar. Kau ingat
itu!" lanjutnya. Kemudian tangan kanannya terangkat dan meluncur cepat
melepaskan totokan
di tubuh dua lelaki berpakaian hitam itu.
Tuk! Tuk! "Akh!"
"Aaa...!"
Dua lenguhan tertahan pun terdengar berturut-turut mengiringi menggelinjangnya tubuh
dua lelaki yang tertotok tangan Raja Petir.
"Pergilah kalian, dan ingat janji itu!" perintah Mayang Sutera tegas.
"Baik Nini," sahut dua lelaki itu bersamaan. Keduanya bangkit lalu berlari
meninggal- kan Raja Petir dan Mayang Sutera.
"Hup!"
"Hup!"
Sesaat setelah kedua anak buah Gerombolan Pembegal Hutan Jati menghilang dari hadapannya. Raja Petir dan Mayang Sutera melanjutkan perjalanan yang sempat terhalang.
Hari sudah semakin tua usianya. Sinar
jingga di ujung bagian barat sudah hampir menghilang, berarti malam akan segera tiba menggantikan sore. Hawa dingin pun mulai merambat menyelubungi bumi. Beberapa ekor kelelawar beterbangan mulai mencari mangsa.
"Kita cari penginapan dulu, Mayang," ujar Jaka dengan langkah kaki pendek sambil
menun-tun pergelangan tangan gadis cantik yang begitu
dikasihinya. "Ya. Besok pagi kita cari sepasang mudamudi yang telah membunuh Ki Amongdrajat dan
beberapa muridnya," sahut Mayang Sutera dengan tatapan mata mesra jatuh ke wajah
tampan Raja Petir. *** 6 Matahari baru beranjak dari peraduannya.
Hutan Grantang yang masih dalam lingkup wilayah Desa Gedalewa terlihat mendapatkan sinar
yang cukup. Terlebih jalan setapak yang membatasi Hutan Grantang dengan perumahan penduduk yang terlihat berjejer dengan jarak sekitar li-ma belas batang tombak.
Dua lelaki penduduk desa nampak berjalan


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memperbincangkan sesuatu. Dari sikap
dan pakaian mereka, jelas kedua penduduk desa
itu termasuk orang persilatan. Atau paling tidak keduanya kini tengah menuntut
ilmu pada salah
satu perguruan yang ada di desanya.
"Kasihan Ki Amongdrajat ya, Jat," ujar lelaki tinggi kurus yang mengenakan baju
putih dan celana longgar warna hitam.
"Ya, kejadian benar-benar di luar dugaan...," sambut temannya yang bernama Jajat.
"Tapi lebih kasihan lagi Kakang Satria. Baru tiga hari dia merasakan keindahan
hidup berumah tangga, eh, sudah harus kembali menghadap Tuhan." "Hm...! Sepasang muda-mudi yang bersenjata samurai itu pasti memiliki
kepandaian yang
tinggi, ya Jat. Bukrinya Ki Amongdrajat sendiri
yang memiliki ilmu tinggi mampu dibinasakannya." "Ya. Kalau tidak" Uh! Ki Amongdrajat mana bisa ditundukkan," timpal Jajat.
Ahyar manggut-manggut menimpali kebenaran ucapan Jajat. Keduanya pun terus melangkahkan kaki dengan pembicaraan yang tak lepas
dari masalah kematian Ketua Perguruan Gelombang Timur. Cerita itu didengar dari guru mereka Ki Wanadara, yang juga berkawan
akrab dengan Ki Amongdrajat.
"Yar!" tiba-tiba Jajat berseru kaget ketika melihat dua orang yang mendadak
muncul dari kelokan jalan. Dua orang itu sepasang mudamudi yang mengenakan pakaian warna putih dan
ungu. Di punggung keduanya tersampir senjata
panjang dengan hulu berbentuk kepala seekor
naga. "Jat! Sepertinya...," Ahyar tak melanjutkan ucapannya, sementara matanya
memperhatikan ciri-ciri sepasang muda-mudi yang terus berjalan semakin mendekat.
"Bisa kalian tunjukkan di mana letak perguruan yang dekat dari sini?" tanya gadis cantik berpakaian ungu yang tak lain
Parameswari. Jajat dan Ahyar tak segera menjawab pertanyaan gadis cantik itu.
"Jangan takut, kami tak akan berlaku kasar kalau kalian mau menunjukkan perguruan
terdekat dari tempat ini," ujar Parameswari kemudian.
"Kalian seperti orang asing di tempat ini,"
tukas Jajat memberanikan diri. Ucapan itu seolah-olah keluar tanpa disadari. Mungkin karena
rasa gentar yang tiba-tiba menyeruak di hatinya, setelah mengenali ciri-ciri
yang dimiliki sepasang muda-mudi itu. Atau barangkali karena dirinya
salah seorang murid Perguruan Banyu Biru. Dari
ciri-cirinya, Ahyar dapat memastikan bahwa kedua orang asing inilah pembunuh Ki Lurah
Amongdrajat dan menantunya.
"Kami memang orang asing di sini, karena
itu kami bertanya pada Kisanak berdua," ujar Parameswari.
"Untuk apa kalian mencari perguruan di
dekat sini...?" tanya Ahyar ingin tahu.
"Hm...." Parameswari bergumam tak jelas.
"Apa untungnya kau mengetahui maksud kami?"
balik Parameswari bertanya dengan nada ketus.
Ahyar tak menjawab pertanyaan gadis cantik berpakaian warna ungu itu.
"Katakan cepat!" bentak Parameswari. Wajah gadis cantik itu mulai memancarkan kebengisan. Ahyar dan Jajat hanya membisu mendengar bentakan cukup keras itu. Tak sadar kaki keduanya telah mundur dua langkah.
"Hm...," kembali Parameswari bergumam
menyaksikan kelakuan dua lelaki yang ditanyainya. Sring! Dengan kecepatan yang mengagumkan, Parameswari meloloskan samurai dari warangkanya.
"Jika kalian tak mau bicara! Samurai inilah yang akan bicara!" gertak
Parameswari menuding wajah Ahyar dan Jajat dengan samurainya.
Ahyar dan Jajat yang sudah bisa membaca
maksud buruk sepasang muda-mudi itu tetap
membungkam. Kenyataan itu membuat Parameswari naik pitam. Maka tanpa banyak cakap gadis
cantik itu melesat cepat dengan samurai teracung ke udara.
"Haiit...!"
Wuut! Bret! Bret! "Aaa...!"
"Akhkh...!"
Hanya dalam satu gebrakan kedua pemuda
murid Perguruan Banyu Biru itu telah roboh di
ujung samurai Parameswari. Kedua warga Desa
Gedalewa itu terkapar tak bernyawa dengan dada
terbelah. Pakaian mereka basah berlumuran darah. "Hh...!"
Parameswari menarik napas dalam setelah
membersihkan ujung samurai dengan pakaian
dua lelaki yang telah dibunuhnya.
"Ayo, Kak Bucho! Kita lanjutkan pencarian
pendekar-pendekar desa ini," ajak Parameswari dalam bahasa yang hanya dimengerti
mereka berdua. "Hayo!" sambut lelaki bermata sipit yang mengenakan pakaian putih
longgar. Rambutnya
yang tergerai nampak bergerak-gerak dihembuskan angin siang itu.
Sepasang muda-mudi yang sejak kedatangannya telah menghebohkan kalangan persilatan
itu berjalan ke arah timur Desa Gedalewa. Sepasang samurai yang tersampir di punggung mereka, membuat keduanya dikenal sebagai Sepasang
Samurai Maut. "Kau lihat Kak Bucho, bangunan itu seperti
apa?" tanya Parameswari pada Buchohanco dengan telunjuk menunjuk sebuah bangunan
megah yang dari bentuknya layak disebut sebagai sebuah perguruan.
"Seperti sebuah perguruan, Wari," jawab Buchohanco dalam bahasa asing.
"Yah. Berarti sekarang kita akan berpesta,
membantai pendekar-pendekar yang berada di
dalam perguruan itu. Hi hi hi...! Ayo, Kak Bucho!"
Parameswari menarik tangan lelaki bermata sipit dengan sikap yang terlihat mesra. Dan lelaki itu dengan segera
mengikuti ajakan wanita
cantik yang tak lain kekasihnya.
* * * "Kami ingin bertemu pimpinan perguruan
ini," ujar Parameswari setelah langkah kakinya sampai di dekat bangunan yang
ternyata sebuah
perguruan. Pada sebuah batu sebesar kerbau
nampak nama perguruan tertulis dengan jelas.
Banyu Biru. "Siapa kalian dan ada perlu apa ingin bertemu dengan ketua kami?" tanya lelaki bertubuh tinggi tegap. Lelaki yang
bersenjata sebilah golok besar itu tampaknya penjaga gerbang perguruan.
"Lancang sekali kau ingin mengetahui urusan gurumu sendiri!" sahut Parameswari dengan suara ketus. "Kau belum pantas
menjadi seorang murid jika sikapmu seperti itu," lanjutnya dengan suara
membentak keras.
Lelaki penjaga Perguruan Banyu Biru tersentak kaget mendapatkan bentakan seperti itu.
Maka dengan sikap gagah penjaga gerbang itu
maju satu langkah.
"Kalian yang tak tahu tata kesopanan! Seharusnya kalian tahu apa kedudukan orang seperti kami yang bertugas menjaga keamanan perguruan ini! Sudah sewajarnya kalau kami ingin
tahu tujuan kedatangan kalian ke sini. Dan hal
ini sudah mendapat restu dari pimpinan kami,"
balas penjaga pintu gerbang Perguruan Banyu Biru dengan kata-kata yang terdengar mantap dan
tegas. "Hm..., begitu?" gumam Parameswari dengan tatapan dingin menusuk
Srat! Bret! "Aaa...!"
Pekik melengking tinggi kontan keluar dari
mulut lelaki penjaga yang bertubuh tegap itu.
Dadanya telah koyak, tersambar ujung samurai
yang digerakkan Parameswari dengan kecepatan
sukar diikuti tatapan mata biasa.
Saking cepatnya sambaran senjata gadis
berpakaian ungu, penjaga gerbang itu tak sempat
bergerak dari tempatnya dan langsung ambruk
tanpa nyawa. Kenyataan itu membuat penjaga
yang lain segera menghunus senjata mereka yang
berupa golok-golok besar.
"Perempuan setan!" maki penjaga bertubuh tinggi kurus. Goloknya sudah terangkat
melewati kepala dengan kuda-kuda siap melakukan serangan. "Hiaatt...!"
"Tahan!"
Sebuah bentakan keras sempat menghentikan maksud lelaki bertubuh tinggi kurus. Dan
seorang lelaki tua yang tak lain Ki Wanadara telah melompat menghadapi Sepasang
Samurai Maut. "Kau pemimpin perguruan ini?" tanya Parameswari dengan samurainya masih
tergenggam erat di tangan.
"Ya. Ada urusan apa hingga kalian membuat kekacauan di sini?" balik Ki Wanadara dengan sikap memperlihatkan
kewibawaannya sebagai Ketua Perguruan Banyu Biru.
"Aku putri tunggal Ki Tambak Seta. Jika
kau mengingat atau pernah kenal nama itu, berarti kau tahu pula julukan ayahku. Dengan begitu kau mengetahui pula kejadian yang telah menimpanya, serta Perguruan Selimut Iblis...," ujar Parameswari tegas.
"Tambak Seta...!" ulang Ki Wanadara dengan raut wajah menyimpan keterkejutan.
"Ya. Tambak Seta!" tegas Parameswari.
"Kurasa nama Tambak Seta tidaklah hanya
satu di jagad yang amat luas ini, Nisanak. Sebutkan Tambak Seta mana yang kau maksudkan,
dan apa nama julukannya!" pinta Ki Wanadara berupaya menutupi keterkejutannya.
Sesungguhnya lelaki tua itu merasa pernah kenal dengan
Tambak Seta, bahkan pernah menyatroni perguruannya pada belasan tahun silam. Namun apakah Tambak Seta yang dimaksudkan gadis cantik
berpakaian ungu di hadapannya adalah Tambak
Seta yang pada belasan tahun silam pernah
membuat heboh dengan sepak terjangnya" Pikir
Ki Wanadara mulai bertanya-tanya.
"Dengar baik-baik, Tua Bangka!" ujar Parameswari ketus. "Dari keterkejutanmu
ketika kusebutkan nama Tambak Seta, aku bisa menarik kesimpulan kalau kau pernah
mendengar na- manya. Atau bahkan kau ikut bersekongkol melenyapkan keluarga dan perguruannya! Tambak Seta ayahku, tokoh yang berjuluk Iblis Kematian
dan ibuku yang berjuluk Dewi Perenggut Nyawa.
Sedangkan perguruannya belasan tahun silam
secara tak adil dibumihanguskan oleh para pendekar sekadipaten Sunyilaga. Kau tentunya pernah mendengar nama Perguruan Selimut Iblis,"
sambung Parameswari dengan tatapan mata
membara memperlihatkan dendamnya yang sekian lama terpendam.
"Jadi..., kau yang telah menyingkirkan,
Ki...." "Ya. Dan sekaranglah giliranmu. Bersiaplah!" sergah Parameswari sambil
dengan perlahan tapi mantap mengangkat samurainya melewati
bahu. Ki Wanadara dalam keadaan diliputi rasa
terkejut menarik mundur langkahnya, mempersiapkan kedudukan untuk menjaga kemungkinan
yang paling buruk. Tangan kanannya tampak sudah mulai meraba hulu senjatanya yang berupa
cambuk berwarna biru gelap.
"Jaga seranganku, Ki! Hiaatt...!"
Parameswari langsung bergerak dengan
tangan menebaskan samurai terarah ke dada Ketua Perguruan Banyu Biru itu.
Wuung...! "Yaps! Heaa!"
Ki Wanadara menghentakkan kaki ketika
serangan itu mencapai depan dadanya. Seketika
tubuh lelaki tua itu mencelat ke udara. Sementara tangannya dengan cepat meloloskan cambuk
yang terlilit di perut. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam yang tak tanggung-tanggung,
Ketua Perguruan Banyu Biru itu menghentakkan
cambuknya. "Hih!"
Wuut! Wuutt...!
Ctar! Ctar...! "Aits...!"
Gantian Parameswari yang melompat ke
belakang. Gerakan yang dilakukannya tampak
sangat indah dan ringan, bahkan mendaratnya
pun tak menimbulkan suara yang berarti.
Pada saat Parameswari baru menjejakkan
kakinya di tanah, dua orang murid Perguruan
Banyu Biru telah menyongsongnya dengan tebasan dan tusukan golok besar, terarah ke pinggang dan dadanya.
"Hiaatt...!"
"Hyaa...!"
Bet! Wut! Kejelian dan kecepatan gerak yang dilakukan gadis cantik berpakaian warna ungu itu sempat membuat serangan yang dilancarkan dua murid Perguruan Banyu Biru hanya membentur
tempat kosong. Bahkan sebaliknya, sekali saja


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Parameswari menggerakkan tangannya yang
menggenggam samurai, dua pekik kematian berturut-turut memecah suasana pelataran perguruan itu. Bret! Bret! "Akhkh...!"
"Aaa...!"
Dua tubuh berpakaian serba biru itu seketika berkelojotan di tanah dengan dada terkoyak.
Darah segar pun mengucur membasahi tubuh
mereka. "Perempuan iblis!" maki Ki Wanadara menyaksikan kematian dua orang muridnya.
Mata lelaki setengah baya yang mengenakan pakaian
biru itu membelalak murka. Matanya membara
seperti mata naga terluka.
"Hih! Haaiit...!"
Kemarahan Ketua Perguruan Banyu Biru
tak terkendalikan. Tubuhnya melesat cepat dengan pecut yang siap dihentakkan ke kepala gadis
Parameswari. Namun sebelum niat Ki Wanadara
kesampaian, Buchohanco si lelaki bermata sipit
pun bergerak dari samping kanan.
"Hoaatt...!"
Wuung! Tas! "Heh"!"
Ki Wanadara terkejut bukan kepalang
mendapatkan senjatanya putus menjadi dua, tersambar samurai Buchohanco. Tubuhnya pun terdorong mundur ketika dua senjata itu bertemu di
udara. Jelas menandakan kalau tenaga dalamnya
berada di bawah tenaga dalam pemuda berpakaian serba putih itu.
"Hih...!"
Meski agak goyah, Ki Wanadara berhasil
mendarat di tanah. Tatapan matanya tetap tertuju pada wajah lelaki berambut panjang tergerai
dan bermata sipit itu.
"Hebat sekali tenaga dalamnya," batin Ki Wanadara seraya menghela napas dalamdalam berusaha menenangkan perasaan.
Sementara Buchohanco yang juga sudah
mendaratkan kakinya dengan kedudukan kudakuda sempurna, tampak menatap tajam wajah Ki
Wanadara dengan sorot mata yang penuh nafsu
membunuh. Senjatanya segera diletakkan menyilang di depan dada.
"Hrgr...!"
Buchohanco menggereng keras. Kedua tangannya mengangkat samurai tinggi-tinggi. Lelaki
bermata sipit dari negeri Jepang itu bersiap menyerang Ki Wanadara yang sudah tanpa senjata.
"Hoaatt...!"
*** 7 Pekikan keras terdengar mengiringi melesatnya sosok lelaki berpakaian putih dengan senjata yang berputar cepat hingga menimbulkan deru angin. Ki Wanadara sempat terkesima menyaksikan kecepatan gerak lawan dan kehebatan perputaran samurai. Namun kemudian tubuhnya melenting ke udara untuk mengelakkan serangan
secepat kilat itu. Lelaki tua berpakaian serba biru itu ternyata masih mampu
mempertunjukkan ke-bolehannya.
"Yaps!"
Wuung! Sambaran senjata Buchohanco hanya
membentur tempat kosong. Namun Ki Wanadara
sempat menghela napas ketika merasakan betapa
kuat sentakan angin yang timbul dari babatan
samurai itu. Buchohanco yang mendapatkan serangannya berhasil dipatahkan lawan nampak semakin
geram. Mata pemuda itu semakin jelas menyiratkan hawa membunuh yang kian bergejolak.
Maka segera saja dia menyiapkan serangan susulannya. "Hoaatt...!"
Tubuh Buchohanco melesat dengan gerakan lebih cepat. Perputaran samurainya pun menimbulkan deru yang lebih kuat. Namun....
Wuung! Trang! "Osh!"
Pemuda bermata sipit itu tersentak kaget.
Tubuhnya terpental balik sebelum sempat menyambar tubuh Ki Wanadara. Suara dentangan
tadi ternyata ditimbulkan sebuah benda kecil
yang meluncur dengan kecepatan tinggi dan
membentur samurainya. Benturan itu seakan
mengandung suatu kekuatan dahsyat hingga
membuat tubuh Buchohanco terpental ke belakang. Pemuda berpakaian serba putih itu bersalto di udara demi mementahkan daya
dorong akibat benturan dua tenaga yang cukup kuat.
Jligk! "Hrgghg...!"
Buchohanco menggeram seraya menatap
tajam sesosok tubuh berpakaian kuning keemasan yang mendadak sudah berada di samping kiri
Ki Wanadara. Tatapan matanya membara penuh
kemarahan. Ki Wanadara yang melihat kehadiran Raja
Petir merasakan kelegaan hati. Ketua Perguruan
Banyu Biru menyadari bahwa dirinya tak akan
mampu menghadapi permainan samurai pemuda
asing itu. Namun terhadap Raja Petir, pemuda
Jepang itu belum tentu dapat berbuat sekehendak hatinya. "Untung kau cepat dating, Raja Petir. Kalau tidak..."
"Lupakan itu, Ki!" potong Jaka dengan tatapan mata tak lepas pada wajah dingin
Bucho- hanco. Parameswari yang menyaksikan kehadiran
sosok Jaka segera saja bergerak mendekati Buchohanco. "Jadi kau yang berjuluk Raja Petir?"
tanya gadis cantik berwajah ayu itu.
"Orang-orang menyebutku begitu...," jawab Jaka dengan suara datar.
"Hm...!" Parameswari bergumam tak jelas, lalu tatapan matanya dialihkan ke arah
wajah Buchohanco. "Kita harus berhati-hati menghadapi orang
yang satu ini, Kak Bucho," ujar Parameswari dengan bahasa yang tak dimengerti
oleh Jaka, Ki Wanadara, juga Mayang Sutera yang sudah berdiri di samping kekasihnya.
"Ya. Aku sudah mengetahuinya dari tenaga
yang disalurkan melalui kerikil untuk menggagalkan maksudku melenyapkan tua bangka itu!" jawab Buchohanco.
"Raja Petir!" panggil Parameswari dengan suara kasar. "Kalau selama ini
pendekar-pendekar di Tanah Jawa ini tak kuasa mengimbangi ilmu kedigdayaan yang kau miliki, itu tak
akan berlaku bagi diriku. Apalagi terhadap Kak
Bucho. Sepasang Samurai Maut akan segera
mengubur dirimu yang besar kepala karena bisa
melemparkan kerikil." Parameswari tersenyum sinis lalu mencibirkan bibirnya.
Terhadap ucapan gadis cantik berpakaian
ungu itu. Raja Petir hanya mengembangkan senyum sebelum membalas perkataannya yang
terkesan begitu merendahkan.
"Aku memang tak memiliki kepandaian
apa-apa, Nini. Karena aku hanyalah seorang manusia yang lemah. Aku tahu, hanya Tuhan yang
memiliki kepandaian paling tinggi. Segala bentuk kepandaian adalah kepunyaanNya. Maka jangan-lah sesekali bersombong diri hanya karena memiliki senjata samurai. Senjatamu hanya pantas digunakan untuk memotong rumput, Nisanak,"
ucap Jaka membalas perkataan Parameswari
yang merendahkan.
"Banyak cakap juga kau rupanya, Raja Petir. Tapi tak apa, puaskanlah kau berbicara, sebentar lagi dirimu akan terkubur oleh ketajaman
dan kehebatan Sepasang Samurai Maut," kilah Parameswari seraya memamerkan
samurainya. "Akan kuhadapi samuraimu dengan tangan
kosong, Nini," tantang Jaka memancing kemarahan gadis cantik berbaju ungu.
"Kurang ajar! Kupotong lidahmu, Keparat!"
hardik Parameswari dengan kaki maju selangkah.
Seiring dengan terangkatnya kaki Parameswari, Mayang Sutera yang berdiri di sisi Raja
Petir pun melakukan hal yang sama.
"Biar aku yang menghadapinya, Kakang!
Kau hadapi saja lelaki sipit itu!" pinta Mayang Sutera tegas.
Raja Petir tak menimpali permintaan kekasihnya. Namun kepalanya meneleng ke kanan
dengan tangan tergerak ke muka memberikan
isyarat bahwa dirinya tak keberatan Mayang Sutera menghadapi Parameswari.
"Hips!"
Tiba-tiba tubuh Mayang Sutera melesat cepat keluar dari pelataran Perguruan Banyu Biru.
Gerakannya yang ringan dengan kecepatan yang
sukar diikuti mata biasa merupakan peringatan
bagi Parameswari agar tak meremehkan dirinya.
"Hm...!" Parameswari bergumam tak jelas.
"Hop!" dengan hentakan kaki dia menyusul sosok Mayang Sutera yang telah keluar
dari pekarangan
perguruan milik Ki Wanadara.
Jlig! "Ternyata kau punya kebolehan juga, Nini,"
gumam Parameswari setelah kakinya mendarat di
hadapan Mayang Sutera dengan jarak hampir dua
tombak. "Kau pikir cuma kamu perempuan yang
memiliki kepandaian, heh"!" balas Mayang Sutera ketus. Parameswari tak membalas
ucapan kekasih Raja Petir. Hanya tatapan matanya yang tertu-ju lurus ke wajah
cantik gadis bergaun jingga itu.
Mayang Sutera pun segera membalas tatapan tajam Parameswari. Sehingga dalam beberapa
saat kedua gadis cantik itu terlibat saling tatap dengan sikap siap bertarung.
* * * Sementara Mayang Sutera dan Parameswari terlibat pertarungan yang menentukan hidup
dan mati, di lain tempat terjadi juga hal yang sa-ma. Nampak Raja Petir tengah
memperlihatkan kemampuannya di hadapan pemuda bersenjata
samurai itu. "Keluarkan seluruh kemampuanmu mempermainkan samurai butut itu!" tantang Raja Petir. "Ngh...!"
Buchohanco meski tak mengerti ucapan
lawan, bisa membaca sikap mengejek yang dilakukan Raja Petir. Seketika gerengan kemarahan
pun terdengar dari mulutnya.
"Hoaatt...!"
Tubuh lelaki berjubah putih itu melesat
seiring dengan pekik kemarahannya. Lesatannya
yang cepat membuat rambut panjangnya berkibar-kibar. Sementara samurainya diputar hebat
hingga menjelmakan angin kencang yang menimbulkan deru yang sangat keras.
Wrr...! Wuung! "Eits! Hea...!"
Raja Petir segera melesat dengan mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir', ketika ujung samurai Buchohanco sejengkal
lagi menyentuh kulitnya. Tubuh Jaka sudah melesat bagai lidah
petir. Namun Buchohanco bukanlah jenis pemuda yang mudah menyerah. Meski serangannya
hanya menyambar tempat kosong, dengan gerakan yang tak terbaca lawan sebuah serangan susulan kembali dikirim dengan cepat dan beruntun. Wung! Wuung!
Berturut-turut ujung samurai Buchohanco
mencecar dada Raja Petir. Kenyataan itu membuat pendekar muda berpakaian kuning keemasan itu harus melenting ke udara menghindari
maut yang mengincar nyawanya.
Tanpa membuang-buang waktu, Buchohanco memburu tubuh Raja Petir. Dua tubuh kini
nampak di udara saling kejar. Kecepatan gerak
kedua pemuda itu membuat tubuh mereka tampak seperti bayangan kuning dan putih saling
berkelebat. "Hhh...! Hebat sekali ilmu samurai lelaki
sipit itu," gumam Raja Petir di tengah perputaran tubuh yang dilakukannya.
"Kecepatan dan tenaga dalamnya pun hebat."
Ternyata Buchohanco pun merasakan hal
yang sama. Meski tak henti-henti dia menebasnebaskan samurainya, hati pemuda Jepang itu
memuji kehebatan lawan dalam menghindari setiap serangan yang mengandung hawa kematian.
Sungguh, baru kali ini Buchohanco mendapatkan
perlawanan yang berarti. Selama ini orang yang
menjadi lawannya hanya mampu bertahan dalam
lima atau enam kali tebasan samurainya.
"Hebat sekali dia! Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna," kata hati Buchohanco memuji. "Akan kucoba terus.
Mampukah dia bertahan terus dalam kedudukan tercecar."
"Hoaatt...!"


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuuung! Wuung! Buchohanco terus membabatkan samurainya dengan kekuatan tenaga dalam yang semakin ditambah. Sasarannya kali ini adalah leher Raja Petir. Entah bagaimana
akibatnya jika sambaran itu mengenai sasaran.
Namun Raja Petir yang sudah mulai mampu membaca arah sambaran samurai lawan, secepat kilat bergerak ke kanan. Setelah itu segera dihentakkan kakinya kuat-kuat
hingga tubuhnya
melenting ke atas melewati ujung samurai Buchohanco. Pada saat itulah Raja Petir merubah siasat
pertarungan. Semula dirinya hanya bertahan
dengan jurus 'Lejitan Lidah Petir', kini ganti
memberikan serangan balasan dengan mengerahkan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
"Hiaa...!"
Tubuh Raja Petir meluruk turun dengan
kecepatan bagai gerakan elang raksasa menyambar anak ayam. Kedudukan tangan kirinya berada
di depan hendak menebas leher lawan.
Bet! Wuung! Di luar dugaan, Buchohanco melakukan
gerakan cepat dengan memindah samurainya ke
tangan kiri. Lalu dengan gerakan cepat menebaskannya untuk memapak sambaran tangan lawan. Melihat apa yang dilakukan lawannya, tangan kanan Raja Petir yang semula dipersiapkan
untuk menghantam dada Buchohanco akhirnya
digerakkan cepat untuk menghalau sambaran
samurai yang mengancam lambungnya.
"Hih!"
Plak! "Aaakh!"
Buchohanco terpekik ketika sambaran tangan kanan Raja Petir menghantam siku kirinya.
Tubuhnya terdorong dua langkah ke belakang.
Samurainya terlepas jatuh ke tanah.
Pada saat itu pula tubuh Raja Petir melesat
untuk melancarkan serangan susulan dengan
tendangan terarah ke pinggang Buchohanco.
"Hiaa...!"
Blugk! Tendangan Raja Petir menghantam telak
pinggang kanan Buchohanco. Tubuh pemuda
yang terbalut pakaian putih itu terjungkal lalu
bergulingan ke tanah.
Patut dipuji daya tahan lelaki dari negeri
Jepang itu. Tubuhnya serta-merta bangkit, meski
tendangan keras telah menghantam telak pinggangnya. Namun kebangkitannya kali ini tidak
untuk melakukan serangan. Buchohanco hanya
berdiri dengan sikap kuda-kuda rendah dan tangannya diletakkan di depan dada.
Mata Buchohanco tiba-tiba beralih menatap samurainya yang tergeletak di tanah. Mendadak senjata itu bergerak. Seperti ada yang memerintah samurai itu melesat melakukan tebasan
dahsyat ke tubuh Raja Petir. Ki Wanadara dan
beberapa orang muridnya yang menyaksikan pertarungan dari pelataran Perguruan Banyu Biru
tersentak menyaksikan kehebatan ilmu yang dimiliki lelaki bermata sipit itu. Tatapan mereka
terpaku pada samurai yang mampu bergerak
sendiri. "Heh"! Aits!"
Raja Petir yang juga terkejut menyaksikan
keanehan ilmu Buchohanco, langsung melenting
ke udara. Namun samurai yang diduga digerakkan dengan kekuatan batin itu terus mengejar, ke mana pun tubuhnya bergerak
menghindar. "Hhh...! Akan kucoba kehebatan samurai
ini dengan 'Aji Kukuh Karang'," ujar Jaka dalam hati. Maka ketika tubuhnya
kembali mendarat,
sebuah ajian yang dahsyat pun sudah tercipta.
Mendadak bagian dada hingga kepala Raja Petir
terbungkus sinar kuning menyilaukan mata, begitu pula pada bagian lutut hingga ujung kaki. Dan ketika samurai melesat memburu
tubuhnya, ma-ka.... Wuung!
Jraps! Samurai yang digerakkan Buchohanco
dengan mengerahkan kekuatan tenaga batin menempel di tubuh Raja Petir. Lelaki bermata sipit itu terkejut bukan kepalang.
Sehingga tak sadar
matanya menatapi samurai yang menempel pada
tubuh lawan. Pada saat itulah dengan kekuatan yang
dahsyat, Raja Petir menghentakkan samurai yang
menempel di tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Brett! Wuuung! Crab! "Aaakh...!"
Buchohanco terpekik ketika samurainya
dengan kecepatan yang tak terduga, menghunjam
telak di dadanya. Tubuh lelaki bermata sipit itu langsung terjungkal di tanah.
Nyawanya melayang
termakan senjata miliknya sendiri.
"Kak Bucho!"
Parameswari berteriak kuat ketika mendengar jerit kematian kekasihnya. Dibiarkan saja Mayang Sutera. Kini gadis
cantik berpakaian un-gu itu berlari menghampiri tubuh Buchohanco
yang terkapar kaku dengan samurai terhunjam di
dadanya. "Kak Bucho! Kita akan pergi bersamasama," teriak Parameswari dengan isak tangis yang memilukan.
Raja Petir dan Mayang Sutera tak berbuat
sesuatu, keduanya hanya berdiri di tempat masing-masing memandangi kelakuan Parameswari.
"Kau memang hebat, Raja Petir," tukas Parameswari dengan tatapan tajam menusuk
ke wa- jah Jaka. "Karena kehebatanmu yang telah berhasil membinasakan Buchohanco, maka
aku bu- kan apa-apa lagi bagimu. Aku akan pergi bersama
Kak Bucho kekasihku. Hih!"
Sreet! Raja Petir dan Mayang Sutera terkejut menyaksikan tangan kanan Parameswari yang
menggenggam samurai bergerak ke atas. Dengan
cepat, gadis cantik itu menggorok lehernya sendi-ri.
"Ukh...!"
Parameswari mengerang perlahan. Tubuhnya berkelojotan sesaat lamanya. Dan ketika darah yang memancur dari lehernya bertambah banyak, nyawanya pun segera berpindah ke alam
lain. "Begitu setia dia pada kekasihnya, Kakang," gumam Mayang Sutera dengan
kaki yang semakin mendekati Raja Petir.
"Kesetiaan yang salah, Mayang," sangkal Jaka pelan. "Seharusnya dia tak bunuh
diri. Bu-kankah tobat jalan yang paling terbaik?" lanjutnya seraya menoleh wajah
kekasihnya. Mayang Sutera tak menjawab ucapan Raja
Petir. Tampak gadis itu menatap sosok kaku Sepasang Samurai Maut dengan penuh iba. Kemudian matanya beralih menatap wajah Raja Petir.
"Begitulah manusia, Kakang," ucapnya pelan dengan tangan menarik tangan sang
Kekasih. TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Document Outline
TAMAT Renjana Pendekar 1 Pendekar Slebor 36 Susuk Ratu Setan Jodoh Rajawali 21

Cari Blog Ini