Ceritasilat Novel Online

Rahasia Kitab Ular 3

Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular Bagian 3


pada seorang Pendekar Wanita agar segera datang ke biara Welas Asih, di lereng
gunung Wilis...
Sementara yang ditunggu-tunggu
masih dalam perjalanan... Dialah Pendekar Wanita Pantai Selatan... alias Roro
Centil. Tujuh buah sungai dan dua buah
Gunung telah ia lewati. Yang satu adalah gunung Merapi yang di sebelah utaranya
terdapat juga sebuah gunung yang tidak terlalu jauh yaitu Gunung Merbabu, sedang
yang kedua adalah Gunung Lawu.
Ternyata tanpa memakai kuda
perjalanan Roro lebih cepat beberapa kali lipat. Karena dengan ilmu lari yang
mengandalkan tenaga dalam yang tinggi itu lebih mudah ketimbang naik kuda, yang
harus mencari jalan lebih dulu, karena sukarnya perjalanan yang harus ditempuh.
Kedua puncak Gunung Wilis dan
Gunung Liman telah kelihatan.
Hati Roro Centil berdebar girang...
Segera ia enjot tubuh untuk segera tiba di sana. "Gunung Wilis adalah yang
berada di sebelah selatan Gunung Liman. Aku akan segera tiba di sana sebelum
tengah hari...!" Guman Roro dengan suara mendesis dari bibirnya. Sementara uap putih
tampak keluar dari hidung dan mulut si Pendekar Wanita ini. Hawa memang teramat
dingin. Apa lagi dengan
mempergunakan ilmu lari cepat itu Roro telah pergunakan sepenuh tenaganya.
Lewat tengah hari ia telah tiba di
lereng Gunung Wilis. Roro kendurkan larinya untuk mengatur napas. Perjalanan
sejauh ini baru pertama kali ia alami
entah mungkin saat-saat dimuka mungkin akan lebih jauh lagi... Pikir Roro
Centil, yang segera hentikan larinya ketika ia telah menemukan sebuah desa.
Ternyata tidaklah sukar untuk menanyakan di mana adanya biara "Welas Asih",
karena hampir semua penduduk desa itu mengetahuinya.
Alangkah girang hatinya setelah
mendaki agak lebih ke atas lagi, ia telah melihat ada sebuah bangunan yang
bentuk dan potongannya lain dari pada yang lain.
Itukah biara Welas Asih...". Desis Roro dalam hati. Baru saja ia menginjakkan
kakinya di halaman biara, ia sudah
terkejut mendengar satu suara yang
bernada lemah, namun terdengar jelas di telinganya.
"Omitohud...! Ah... Selamat datang di biara kami yang rusak nona pendekar Pantai
Selatan...! Selamat datang di lereng Gunung Wilis! Ternyata Tuhan meramahmati
kedatangan anda dengan
selamat...!"
Segera Roro gerakkan tubuhnya
melesat ke arah pintu biara yang lebar dengan temboknya yang banyak terdapat
ukiran-ukiran. Dan terlihatlah seorang kakek berjubah putih. Kepalanya licin plontos dengan kumis yang terjuntai hampir
menyatu dengan jenggotnya yang putih,
yang panjangnya sebatas dada. Roro segera balas penghormatan orang, sementara
matanya yang tajam dapat segera melihat adanya dua orang paderi yang tengah
berduduk di lantai di atas sehelai tikar permadani ...
Segera ia sudah berkata; "Andakah yang bernama Paderi Jayeng Rana... Ketua biara
Welas Asih ini...?" Kakek berjubah putih yang berkepala licin plontos itu
kembali menjura sambil menyahuti;
"Omitohud...! Benar nona Pendekar...
silahkan masuk...!" Sambil berkata demikian ia telah membuka pintu biara lebarlebar. Roro langkahkan kaki untuk
bertindak masuk... dan duduk di atas tikar permadani. Di hadapannya adalah dua
orang paderi yang usianya di bawah paderi Jayeng Rana. Bahkan tampak jauh lebih
muda lagi dibanding keadaan paderi ketua biara itu. Keduanya terlihat menjura,
dan Roro segera balas dengan anggukkan
kepala. Namun sekilas Roro sudah
perhatikan keadaan orang...
Yang seolah adalah paderi yang
cacad jasmani, bahkan bekas luka masih tampak belum sembuh benar pada bagian
leher yang menggurat panjang. Sementara matanya tertutup oleh sehelai kain
pembalut berwarna putih bernoda darah yang sudah mengering. Sedang sebelah
lengannya putus sebatas siku. Tubuhnya berperawakan kekar.
Berbeda jauh dengan paderi di
sebelahnya yang kecil kurus dengan muka yang lancip, dan tulang pelipis
menonjol. Kepalanya licin plontos sekali seperti baru habis dicukur. Pelupuk matanya
separuh tertutup, seperti agak enggan memandang wajah tetamunya. Terkejut juga
Roro, ia seperti pernah melihat wajah itu. Sementara itu paderi Jayeng Rana
tampak terus masuk ke dalam setelah mempersilahkan tetamunya untuk duduk. Dan
tak lama kemudian telah keluar lagi sambil membawa sesuatu yang terbungkus kain.
Apa yang akan dilakukan paderi
ini..." Pikir Roro. Sementara ia sudah kembali meneliti wajah si paderi kurus
itu. Roro jadi terkesiap bukan main ketika akhirnya ia mengenali siapa paderi
kurus itu. "Pencuri keparat! Kiranya kau sembunyi di sini?" Teriak Roro dalam
hati. Karena ia segera mengetahui paderi itu adalah si jongos tua Tonga yang
telah mencuri kitab dalam buntalannya berikut kotak perhiasannya. Akan tetapi ia
segera tahan diri ketika paderi Jayeng Rana buka suara; "Nona Pendekar Pantai
Selatan... harap anda maafkan aku yang telah jauh-jauh mengundang anda datang ke biaraku
ini. Tak lain dan tak bukan adalah
untuk..." Paderi Jayeng Rana tak meneruskan kata-katanya karena segera buka
buntalan di hadapannya. Terkejutlah Roro melihat isi buntalan kain itu tak lain
adalah sebuah kitab yang bersampul dengan kulit Ular berikut sebuah kotak kecil
terbuat dari perak. Itulah kitab yang dicuri oleh si jongos tua Tonga juga
termasuk benda miliknya itu. Ketika ia pandang paderi kurus itu ternyata paderi
itu makin menundukkan mukanya dalam-dalam. Paderi Jayeng Rana tahu keadaan
orang. Segera cepat-cepat ia perkenalkan paderi kurus itu pada Roro; "Oh, ya ...
ini adalah seorang paderi baru di sini, mungkin nona Pendekar telah
mengetahuinya. Namun kumohon sudilah nona Pendekar mendengar penuturanku...!"
Terpaksa Roro Centil manggutmanggut sambil kerutkan alis tak
mengerti. Paderi Jayeng Rana segera menuturkan bahwa tujuannya mengundang Roro
Centil datang, tak lain adalah untuk mengambil kembali benda miliknya, yang
telah dicuri oleh paderi baru bernama Tonga itu.
Dituturkannya bahwa beberapa hari
yang lalu, ketika ia baru saja mengasoh sejak tiba dari Nepal, telah kedatangan
tamu. Yaitu seorang laki-laki yang datang sambil bercucuran air mata. Ia telah
mengaku terus terang akan segala dosanya.
Dan ingin bertobat untuk kembali ke jalan yang benar.
Lalu dituturkannya semua riwayat
asal kejadian tentang musibah yang telah menimpa biara "Welas Asih". Hingga
sampai akhirnya diungkapkan tentang tiga orang paderi palsu yang telah mengaku
dari gunung Wilis yang telah membawa lari Kitab Ular.
Yang sebenarnya paderi-paderi itu
adalah penjahat-penjahat terkutuk, yang telah merusak kewibawaan biara Welas
Asih yang telah puluhan tahun dibinanya. Kitab Ular yang dirampas ketiga
penjahat itu adalah kitab Ular yang palsu. Yang berisi ilmu-ilmu sesat, ciptaan
seorang tokoh jahat yang bergelar si Setan Arak.
Paderi Jayeng Rana telah lama
mengenal tokoh asal Nepal itu, yang menjadi guru si paderi baru Tonga.
Beruntunglah Tonga dapat sadar dan cepat-cepat datang ke biara Welas Asih untuk
memberikan kitab ini, berikut sekalian mengembalikan kotak perhiasan milik si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Tujuannya paderi Jayeng Rana adalah memohon bantuan akan keselamatan biaranya
juga keselamatan si paderi Tonga dari kejaran orang-orang yang telah mengetahui
ia mewarisi kitab sesat itu dari si Setan Arak gurunya.
"Nah, oleh sebab itu aku mengundang
anda untuk datang kemari..." Demikian keterangan paderi Jayeng Rana. Dan
sambungnya lagi; "Inilah kotak perhiasan milik anda, terimalah...!". Roro segera
menerima benda itu, dan periksa isinya.
Ternyata tak ada yang kurang.
Segera ia masukkan benda itu ke dalam buntalannya, seraya berkata; "Terimakasih
kakek Paderi Jayeng Rana...!" Dan iapun palingkan kepala menatap paderi Tonga,
lalu palingkan lagi wajahnya menatap Paderi Jayeng Rana. "Hm, apakah anda
percaya penuh bahwa dia benar-benar akan bertobat... ?" Berkata Roro dengan
wajah sinis. Terlihat air muka Tonga dijalari
rona merah. Belum sempat si ketua kuil biara Welas Asih menjawab, paderi baru
itu telah mendahului biara . "Jika aku berdusta biarlah aku tak diberi hidup
lagi...!" Katanya tegas.
Namun Roro cuma perdengarkan suara
di hidung. "Heh! Kebanyakan orang baru sadar setelah dirinya kepepet. Dan di
saat sudah longgar biasanya lalu berbalik melawan arus seperti Klambang! Apakah
di balik dinding bisa diketahui ada
cecaknya, kalau tak ada bunyi...!".
Sengaja Roro ingin tahu isi hati orang sebenarnya.
Wajah Tonga kian memerah... tapi
pada saat itu paderi Jayeng Rana telah
berkata "Sudahlah hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di dalam dada... Paderi
baru Tonga telah membawa kitab pusaka warisan gurunya ini adalah untuk
dimusnahkan di hadapanku juga di hadapan nona pendekar.
Maka sudilah nona Pendekar menjadi saksi akan kebenaran dan ketulusan hati
paderi Tonga untuk benar-benar bertobat. Karena dengan musnahnya kitab Ular yang
sesat ini, maka akan tertolonglah bahaya pada masyarakat khususnya dan pada umat
manusia umumnya...!"
"Kalau untuk menjadi saksi saja sih aku tak keberatan...!" Berkata Roro Centil.
"Omitohud...! Terimakasih...!
Terimakasih...!" Wajah paderi Jayeng Rana menampilkan kegembiraan; ia sudah
segera mau menyuruh paderi baru Tonga untuk segera memusnahkan kitab yang berada
di hadapannya. Namun sekonyong-konyong ia teringat pada Gurnam Singh yang belum menampakkan
batang hidungnya.
Ia segera berkata; "Maaf, mungkin upacara peleburan Kitab Ular yang sesat ini
harus ditunda dulu, karena menunggu seorang pembantuku Gurnam Singh yang belum
datang". "Apakah dia yang mengirim undangan padaku...?" Bertanya Roro Centil.
"Benar!" menyahut paderi Jayeng Rana. "Apakah anda tak memakai kuda
tunggangan?" ia balik bertanya. Roro tersenyum dan menjawab; "Aku memang ada
disediakan kuda, tapi kudanya telah kuhadiahkan pada sahabatku yang baru
melangsungkan pernikahannya...!".
"Oooh...!?" Terdengar suara paderi Jayeng Rana. Keningnya tampak dikerutkan dan
kemudian terlihat ia manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya.
"Apakah anda mendapat petunjuk jalan..." Tiba-tiba paderi Jayeng Rana bertanya
lagi. "Cuma di sebuah desa...
seseorang telah memberitahukan arah ke lereng gunung Wilis ini! Eh, ya apakah
orang, yang memberi petunjuk itu adalah Gurnam Singh...?" Roro berbalik tanya
lagi pada paderi itu.
"Benar, tidak salah...! Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia dan
bertanggung jawab!" Menyahut paderi Jayeng Rana.
Sekonyong-konyong Roro Centil
teringat akan Gurunya (si Manusia Aneh Pantai Selatan) yang pernah menceritakan
bahwa ia telah terkena pukulan beracun oleh ketiga paderi gunung Wilis. Segera
ia menanyakan tentang itu, juga apa persoalannya. "Omi tohud...! Itu bukan
pukulan! Apakah sampai sekarang guru nona masih menderita keracunan" Di manakah
dia adanya...?"
Roro Centil segera tuturkan keadaan
Gurunya, dengan panjang lebar.
Terkejutlah paderi Jayeng Rana,
mendengar si Manusia Aneh itu telah menjadi seorang tuna rungu dan menutup diri
di Pantai Selatan.
Segera ia ceritakan persoalannya.
Bahwa kira-kira dua belas tahun yang silam telah datang seseorang dari Pantai
Selatan. Memang susah menerka orang itu... dikatakan laki-laki bukan, perempuan
pun bukan. Kedatangannya adalah untuk meminta tolong
mengobati penyakitnya, yaitu ia mengalami keracunan hebat, akibat telah salah makan ramuan
dari bermacam rumput, yang ternyata mengandung racun.
Kisah yang dituturkan paderi Jayeng Rana itu adalah kisah dari ketiga orang
paderi muridnya, yang telah menceritakan padanya.
Sementara si paderi berlengan
buntung itu manggut-manggut mendengarkan kisah yang akan diceritakan itu. Si
ketiga paderi dengan suka rela telah menolong mengobatinya dengan segala usaha.
Ternyata racun amat ganas, yang rasanya sulit untuk dibrantas dalam waktu cepat.
Menurut pengamatan si ketiga paderi muridnya, racun itu akan cepat bisa
terberantas seandainya ia disamping mengobati racun juga mengobati jiwanya.
Maksudnya mengobati jiwanya
adalah menyadari akan takdir yang telah
dialaminya sebagai manusia yang tidak normal. Karena ia telah membeberkan isi
hatinya pada ketiga paderi tentang
keinginannya yang menggebu-gebu untuk menjadi seorang wanita tulen. Hal itu
telah merasak jiwanya. Sehingga racun merembes ke hati ... Tidak dinyana katakata si ketiga paderi telah "Memukul"
perasaannya. Karena rasa cintanya yang telah berurat berakar
pada si Dewa Tengkorak, tak dapat dihilangkan begitu saja. Bahkan semakin ia berusaha untuk
menghilangkannya, semakin menggebu-gebu menyerang dirinya. Sehingga ambisinya
untuk menjadi seorang wanita tulen telah membuat ia mempergunakan cara-cara
aneh. Pernah suatu kali ia datang lagi ke biara Welas Asih dengan memperlihatkan
bentuk tubuh kewanitaannya.
Hal itu membuat si tiga paderi
berucap bahwa perbuatan semacam itu justru akan lebih mempercepat kematiannya.
Itulah satu "Pukulan" hebat yang telah mengena di jiwa si manusia aneh Pantai
Selatan, yang telah menganggapnya sebagai satu "pukulan beracun". Demikianlah,
paderi Jayeng Rana mengutarakan kisah yang diceritakan muridnya beberapa tahun
yang silam. Di mana belum terjadi musibah yang menyedihkan ini, dan ketiga
paderi Gunung Wilis masih komplit.
Kini ketiga paderi gunung Wilis
sudah hancur... cuma tinggal seorang pun sudah cacad, akibat perbuatan penjahatpenjahat keji yang merusak biara, merusak penghuninya, juga merusak nama
baiknya. Roro Centil manggut-manggut mengerti dan terdengar ia menghela napas lega. Lega karena teka-teki kata-kata
Gurunya telah terpecahkan.
"Pantas Guru telah pesan wanti-wanti padaku agar aku tak membalaskan dendam pada
ke Tiga Paderi Gunung Wilis, yang telah mencelakainya dengan pukulan beracun.
Ternyata pukulan beracun itu adalah "Pukulan" kata-kata, yang telah mengena pada
jiwanya dan telah melukai perasaannya". Menggumam Roro dalam hati.
Dapat dimakluminya bahwa sang Guru
sampai setua itu usianya masih saja tergila-gila pada si Dewa Tengkorak. Dan di
saat orang yang dicintainya itu tewas di depan matanya, barulah reda api asmara
yang menggebu-gebu dalam dadanya.
"Oh... Guruku yang malang..." Desis hatinya dengan haru.
Tiba-tiba Roro menatap wajah paderi Jayeng Rana dan berkata; "Terima kasih atas
penuturan itu kakek paderi Jayeng Rana. Baru aku mengerti akan arti makna katakata Guruku...". Roro berhenti berkata sebentar untuk melirik si paderi
Tonga. Dan lanjutnya kata-katanya. "Soal itu sudah kuanggap selesai, tinggal
kini kita kembali kepada soal peleburan kitab Ular ini. Rasanya bisa
dilaksanakan sekarang saja, tanpa harus menunggu kedatangan Gurnam Singh, yang
mungkin akan terlambat datang... dapat dimaklumi karena dalam perjalanan yang


Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh tidaklah mungkin terhindar dari adanya rintangan di tengah jalan. Sehingga
membuat ia terlambat datang... Dan bukan-kah paderi Tonga hanya ingin agar aku
dapat menyaksikan... ?" Tampak paderi Tonga manggut-manggut dengan wajah
berseri. Sedang paderi cacad di sebelahnya
tak memberi reaksi apa-apa selain
menundukkan kepala. Lain halnya dengan paderi Jayeng Rana, yang mengelus-elus
jenggotnya sambil berkata; "Omi tohud...!
Aku yang tua dan tak berpengalaman hanya menuruti saja apa yang dirasa baik bagi
nona Pendekar. Walau anda berusia muda sungguh aku menghargai usul itu...!"
"Terimakasih kakek paderi Jayeng Rana, namun..." Roro sudah berkata lagi.
Dan setelah berhenti sebentar untuk menatap Kitab Ular, ia teruskan katakatanya; "Alangkah baiknya kalau aku melihatnya terlebih dulu sebelum
dimusnahkan...!". Sayang aku tak mengenal huruf-huruf yang seperti cakar ayam
itu... dan sayang kitab yang berkulit sebagus itu ternyata isinya adalah amat
sesat...!" Kata Roro lanjutkan ucapannya.
Paderi Jayeng Rana tak menjawab
melainkan menatap paderi Tonga yang sudah lantas mengangguk dan ucapnya; "Aku
yang memiliki kitab itu, tentu saja aku yang memberi izin... Silahkanlah periksa
kitab itu. Atau aku yang hina ini akan sangat berterimakasih kalau nona Pendekar
yang memusnahkannya...!"
Kata-kata paderi Tonga terdengar
tandas dan amat terasa akan keikhlasannya. Paderi Jayeng Rana manggut-manggut
mendengarnya, dan terdengar kata-katanya yang lirih; "Omitohud....! Sungguh
keikhlasan hati itu adalah mutiara dalam kehidupan manusia... ". Setelah ucapan
kata-katanya paderi Jayeng Rana segera berikan Kitab Ular pada Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Roro balik-balik dan buka lembaran-lembaran kitab yang tak tahu apa isi dan arti
tulisannya. Selang sesaat ia
berkata; "Hmm... baiklah kalau aku yang diberi izin untuk memusnahkannya...".
Dan begitu selesai kata-katanya,
tiba-tiba kedua telapak tangannya
bergerak meremas Kitab Ular, yang sekejap saja terdengar suara Krrrssssss!
Dan di lain kejap Kitab Ular itu
telah hancur jadi serpihan kecil-kecil
yang meluruk jatuh dari tangannya.
Terdengar paderi Tonga menghela napas, seperti merasa lega, dengan lenyapnya
kitab sesat warisan dari Gurunya si Setan Arak.
Akan tetapi pada saat itu juga
terdengar suara bergedubrakan di bagian belakang gedung kuil. Semua yang berada
di dalam ruangan jadi terkejut.
Roro Centil sudah sangkutkan
kembali buntalannya dan ikatkan di
punggung. Segera berdiri pasang indranya.
Diikuti paderi Jayeng Rana dan paderi Tonga. Cuma paderi cacad yang kedua
matanya terbalut kain itu masih tetap duduk, walau ia kelihatan gelisah karena
tak dapat mengetahui apa yang terjadi.
Dalam keadaan mereka tengah terkesima itu, paderi Tonga mendahului melompat ke
arah suara yang bergedubrakkan di
belakang Gedung ...
Namun saat paderi Jayeng Rana dan
Roro Centil segera akan bergerak juga ke sana, tiba-tiba terdengar satu ledakkan
keras di ruangan itu, hampir bersamaan dengan satu teriakan keras yang
memperingati, namun terlambat sudah...
Ruangan biara itu telah ambrol dengan suara yang bergemuruh. Puing-puing
beterbangan disertai runtuhnya tembok dan atap ruangan yang meluruk ambruk ke
bawah... Pada saat itu terlihat tubuh
seorang laki-laki di luar Biara berdiri dengan kedua lututnya, menatap ke arah
ruangan depan biara yang baru saja
hancur, dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar mandi darah. Ternyata dialah
Gurnam Singh adanya.
"Keparraaat! Jangan lari kau iblis keji..." Tiba-tiba terdengar ia berteriak
keras ketika melihat sesosok tubuh
berkelebat dari samping tembok reruntuhan. Dan tubuhnya dengan sempoyongan
mengejar sosok tubuh itu.
"Perempuan iblis busuk...! Pengecut jahanam, berhenti kau...!" Teriak Gurnam
Singh. Kira-kira sejauh dua lemparan tombak sosok tubuh berpakaian serba hitam
itu tiba-tiba menghentikan larinya.
Gurnam Singh sudah lantas enjot tubuh dan tiba di hadapannya...
Si wanita berpakaian serba hitam
itu ternyata adalah, wanita yang beberapa hari di belakang berada di Makam Tua
bersama suaminya si bangsawan yang
berpenyakit gagap itu. Ia telah
perdengarkan suara tertawanya yang merdu.
Tatapan matanya yang genit memandang pada Gurnam Singh.
"Sudahlah... mengapa kau masih juga mengejarku..." Segalanya sudah terlambat.
Mereka semua sudah pada mampus... kukira tak ada lagi persoalan. Kitab Ular
musnah, berikut semua orang-orang yang berada di dalam gedung itu. Tapi "Peta
Rahasia" Harta karun si Setan Arak ada bersamaku...! Hi hi hi... Aku amat
memimpikan punya seorang suami berkebangsaan India, yang khabarnya... Hi hi
hi... hi hi... " Wanita yang boleh dikatakan sudah hampir menjelang usia tua itu tidak
meneruskan kata-katanya, karena telah tertawa geli mengikik sambil menutupi
mulutnya. Wajah Gurnam Singh bersemu merah.
Tiba-tiba ia sudah berteriak keras dan menerjang dengan melancarkan pukulan dan
tendangan-tendangan, menjejak tubuh si wanita baju hitam. Yang segera bekelebatan menghindari. Plak! Ia menangkis satu tendangan kilat yang mengarah leher,
dengan sepasang lengannya. Tampak tubuh si wanita terhuyung dua tindak,
sementara dengan berjumpalitan di udara Gurnam Singh kembali menjejakkan kakinya
ke tanah. Ia sudah bersiap akan melancarkan
serangan lagi, tatkala si wanita angkat sebelah tangannya dan berkata "Tunggu
dulu...! Harap kau berfikir dulu baik-baik. Untuk membunuhmu bagiku adalah tidak
terlalu sukar. Tapi aku sangat menyayangkan nyawamu kalau mati siang-siang.
Lebih baik kau bersatu padu
denganku. Peta harta karun si Setan Arak
ini kita selidiki bersama"... Katanya sambil mengeluarkan selembar kulit yang
tipis dari balik bajunya. Dan segera lanjutkan ucapannya; "Terus terang, aku
amat mendambakan pelukan dan belaian tanganmu, Gurnam Singh... Kita akan
bahagia, kita akan kaya kelak dengan harta yang tak akan habis sampai tujuh
turunan...!" Demikian kata-kata rayuan yang terdengarnya amat muluk itu: Namun
dengan kata-kata yang serius penuh
harapan agar Gurnam Singh benar-benar kepincut hatinya.
Namanya saja manusia... siapa yang
tak inginkan harta" Kalau wanita masih bisa dicari dengan mudah tapi kalau
harta... sungguhlah amat sulit untuk mencarinya. Tampak Gurham Singh laki-laki
kekar dan tegap asal India itu terdiam sejenak. Walaupun
boleh dikata iapun
sudah hampir memasuki usia tua, namun dari wajah dan perawakann tubuhnya masih
boleh ditaksir oleh wanita-wanita pencari suami. Karena di samping tampan
wajahnya, penampilannya pun tidak mengecewakan.
Hidungnya yang mancung, dengan
jambang bauknya yang selalu tercukur bersih itu tampak menambah ganteng
wajahnya. Apa lagi melihat bulu-bulu dada yang tumbuh lebat yang terlihat dari
celah bajunya yang terbuka... ck ck ck... amat menggairahkan bagi perawanperawan tua yang genit yang sudah tujuh puluh kali bulan purnama belum laku-laku...
Namun apakah jawaban Gurnam Singh"
"Iblis perempuan Bejat! Siapa sudi jadi piaraanmu... "! Aku tak inginkan harta
karun apa pun. Yang aku inginkan adalah nyawa iblismu, jahanam! Kau telah bunuh
semua orang-orang yang aku hormati...!
Kuhancurkan kau...!!" Dan ia sudah kembali menerjang dengan beringas.
Sambaran-sambaran kaki Gurnam Singh menyambar deras menghujani tubuh si wanita
baju hitam yang agak repot juga menangkis dan mengelakkannya.
Tampak terlihat betapa geramnya si
wanita telengas ini, terhadap laki-laki yang telah membuyarkan impian dan hasrat
kewanitaannya. Dari menangkis dan mengelak, kini
telah berubah untuk balas menyerang...
dengan bertubi-tubi. Hantaman tangan kiri dan kanan si wanita itu tak dapat
dianggap main-main, karena mengandung tenaga dalam hebat.
Angin pukulannya membersit mengarah ulu hati dan kepala, disertai suara desisan
dari mulutnya bagaikan seekor ular yang mau memagut mangsanya... Plak!
Plak! Terdengar suara beradunya tangan dan kaki yang setiap beradu selalu
kepulkan uap hitam. Terkejutlah Gurnam Singh... karena ia segera menyadari
dirinya dalam bahaya. Ia lihat telapak tangan wanita itu telah berubah jadi
hitam. Ketika sebuah pukulan beruntun dilancarkan ke arahnya, segera menyambar
uap hitam. Terpaksa dengan berteriak tertahan dan gulingkan tubuh ia
selamatkan diri tanpa berani menangkis.
"Heh! Segeralah kau menyusul mereka ke alam baka...!" Teriak wanita itu, yang
segera memburu ke arah Gurnam Singh.
Hssssss ... ! Hussssss ! Terdengar suara mendesis ke arahnya. Tampak kedua
lengan si wanita meluncur bagaikan ular sendok mengarah leher disertai keluarnya
uap hitam yang keluar dari telapak
tangannya. Terkesiap Gurnam Singh seketika... Karena kedua kakinya yang telah
beberapa kali beradu dengan lengan wanita itu telah keracunan dan menggeletar
tak bisa digerakkan. Ia sudah nekat untuk menangkis serangan maut itu...
Akan tetapi pada saat itu juga
sebuah bayangan berkelebat, dan... Plakk!
terdengar satu jeritan panjang dari mulut wanita itu. Tubuhnya terlempar
beberapa tombak dan jatuh ke tanah dengan suara berdebuk.
Sementara sesosok bayangan telah
memburu berkelebat ke arah wanita itu, dan sekejap kemudian sudah jejakkan kaki
di hadapan wanita itu lagi.
Tampak si wanita baju hitam
berusaha bangkit,... namun ketika baru saja ia angkat kepalanya, sudah terdengar
suara.... "Bangunlah isteriku yang setia!". Terkesiap seketika hati si wanita
itu mendengar suara dan melihat orangnya... Ternyata di hadapannya telah berdiri
seorang laki-laki muda berpakaian mewah.
Siapa lagi kalau bukan si laki-laki bangsawan yang punya penyakit gagap itu,
alias suaminya sendiri. Entah bagaimana asalnya sampai sang suami telah dapat
menyusulnya sampai ke gunung Wilis.
Terbeliak mata si wanita yang
kelopak matanya penuh dengan pulasan berwarna biru tua itu. Dan terjungkit
alisnya yang hitam legam karena ditambahi dengan langes pantat dandang...
"Hah...!"
Kau... kau..." Teriak wanita itu seperti tak percaya pada penglihatannya.
Tiba-tiba si pemuda bangsawan yang
punya penyakit gagap itu jadi tertawa terbahak-bahak... "Ha ha ha ha... ha ha...
ha ha ha... ".
Baru saja ia berhenti tertawa, eh
nambah lagi; "Ha ha ha... ha ha ha...
nana... ha ha". Dan "Ha ha ha... nana...
nana... ha ha ha... "
Tentu saja membuat si wanita
terheran-heran. Bahkan seribu heran berada di benaknya... "Apakah yang terjadi?"
Menggumam si wanita istri si
laki-laki bangsawan itu. Baru saja ia mau bangkit berdiri sebuah bayangan hijau
tiba-tiba berkelebat di hadapannya. Tahu-tahu telah berdiri sesosok tubuh yang
padat gempal dan berpinggang langsing, dengan buntalan kecil yang menggemblok di
punggungnya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya...
Sekali gerakkan tangan pada tubuh
laki-laki itu, segera saja suara tertawanya berhenti. Dan tubuhnya jatuh
menggelosor ke tanah.
Ternyata urat ketawanya telah
ditotok orang, hingga si laki-laki itu tertawa tak henti-hentinya. Kalau
dibiarkan terus bisa putus nyawanya.
Saat itu si wanita baju hitam telah bangkit berdiri. Dan sekali enjot tubuh ia
sudah bergerak untuk melarikan diri.
Namun pada saat itu Roro sudah
berkelebat menghadang. "Mau kabur ke mana kau siluman licik...!" Teriak Roro.
Betapa gemasnya ia pada perempuan ini.
Kalau saja ia tak cepat menyelamatkan diri, tentu tubuhnya telah hancur lumat
oleh ledakan dahsyat yang meruntuhkan ruangan biara tadi.
Kiranya sebelum mendengar suara
bergedubrakkan di belakang gedung kuil, Roro sudah waspada sejak jauh-jauh
karena indranya yang peka dapat menangkap adanya suara ledakan yang jauh di
bawah lereng. Selang beberapa saat terdengar lebih jelas suara orang berlari saling kejar.
Dan ketika terjadi suara bergedubrakan di belakang gudang, ia semakin waspada...
Pada saat itulah ia lihat Tonga beranjak cepat untuk melihat ke belakang.
Sekelebat ia lihat sekilas adanya
bayangan yang berkelebat ke sebelah kanan tembok, yang terlihat bayangannya dari
atas langit-langit ruangan. Tiba-tiba dari lobang angin yang terdapat di sisi
tembok itu telah meluncur sebuah benda yang mendesis mengeluarkan asap.
Terkesiap Roro melihat benda yang
jatuh menggelinding tepat di sebelah paderi cacad itu, yang mengeluarkan asap
makin banyak. Sekelebat hatinya menduga itu adalah asap racun. Tak sempat ia
berfikir lagi, bahkan untuk mengingat paderi cacad itu pun tak sempat... Hanya
saja sekilas ia ingat akan bunyi ledakan dikejauhan tadi yang didengarnya lapatlapat. Nalurinya mengatakan akan terjadi
bahaya... Dan bersamaan dengan terjadinya ledakan itu, ia telah melompat cepat
dari ruangan itu sambil lengannya menyambar jubah paderi Jayeng Rana... Dan
jatuh kan diri bergulingan sambil peluk tubuh paderi Jayeng Rana, hingga sampai
ke kolong meja di ruangan dapur.
Hebat akibat ledakan itu. Separuh
gedung biara itu telah hancur... Ambruk.
Sedangkan ruangan depan biara sudah tak berbentuk lagi, karena tertutup oleh
reruntuhan puing-puing.... Dapat dibayangkan bagaimana nasib si paderi cacad itu
yang masih berada di ruangan depan itu...".
Selang sesaat... Roro lihat
bayangan tubuh orang dari arah ruangan belakang yang terhalang oleh selarik
tembok memanjang. Segera ia beri isyarat pada paderi Jayeng Rana agar jangan
bergerak. Bersyukur Roro karena tempat mereka menyelamatkan diri, terlindung di bawah meja
hingga tidaklah nampak oleh sosok tubuh itu. Yang ternyata adalah paderi Tonga.
Kecurigaan Roro pada orang ini makin besar, karena dengan langkah tenang seperti
tak pernah terjadi apa-apa ia melangkah terus melewati ruangan dapur.
Dan di tengah ruangan yang sudah hancur itu, ia berhenti menatap reruntuhan
tembok yang telah menguruk ruangan biara bagian depan... yang tampak masih
mengepulkan debu. Terdengar suara mendesis dari mulutnya; "Heh! Mampuslah kalian
semuanya! Pekerjaan si Ular Beracun berhasil dengan baik namun hampir saja
nyawaku ikut melayang... He he he... he he... "
Belum habis suara tertawanya, tahutahu tubuh si paderi Tonga sudah
terjungkal roboh, dengan keluarkan
teriakan parau yang cuma sesaat saja dibarengi dengan muncratnya darah segar
merah putih. Ternyata kepalanya telah hancur
bonyok, hingga sampai otaknya berhamburan keluar. Kiranya saking kesalnya pada
si jongos licik itu, Roro Centil telah rasakan kepalanya berdenyutan... entah
mengapa tiba-tiba di luar kesadarannya ia telah berkelebat cepat dari kolong
meja... Dan sekali lengannya bergerak, ia telah hantam batok kepala orang dengan
telapak tangannya sepenuh tenaga.
Tamatlah riwayat manusia licik yang pandai berpura-pura itu.
Segera Roro lap tangannya, bersih

Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan darah di jubah Tonga yang matinya menelungkup itu. Rasa penasaran membuat ia
merogohi jubah dalam si paderi bohong itu setelah balikkan mayatnya. Ternyata
telah ditemukan lembaran-lembaran kulit tipis, yang bertuliskan tak terbaca oleh
Roro. Saat itu paderi Jayeng Rana telah menghampiri di belakangnya. Cepat Roro
berdiri dan pandang wajah paderi itu seraya berkata; "Coba kakek paderi periksa,
apakah ini bukan lembaran-lembaran isi Kitab Ular?"
Paderi Jayeng Rana raih lembaranlembaran kulit tipis itu dari tangan Roro
sesaat antaranya ia berucap dengan wajah menampilkan kemarahan... "Omi tohud...!
Benar!... Heh!" Orang ini sungguh
licik...! Ia telah mengelabui kita dengan menukar isi kitab itu terlebih dulu,
sedangkan isinya telah ia copot dan selipkan pada jubahnya. Pembunuhan ini telah
ia rencanakan terlebih dulu dengan orang yang berjulukan si Ular Beracun itu...!
Omiitohud...! Sungguh hati
manusia sukar diduga...!".
Bukan main geramnya hati Roro. Ia
raih kembali lembaran-lembaran kitab ular ciptaan si Setan Arak itu, dan remas
hancur sampai jadi bubuk.
Kemudian dengan sekali berkelebat
ia telah keluar dari ruangan itu.
Akan halnya paderi Jayeng Rana pada saat itu juga teringat akan seorang sisa
muridnya, yang tadi tak sempat
menyelamatkan diri... Seketika wajahnya berubah pucat. Serta merta ia sudah
memburu ke arah tumpukan puing-puing reruntuhan itu, dan membongkarnya...
Namun ia hanya dapatkan keadaan tubuh sang murid yang telah hancur luluh...
"Omiitohud...! Segera ia angkatkan kedua lengannya, dan panjatkan do'a untuk
arwahnya pada Tuhan.
Sementara dua tetes air bening
mengalir turun membasahi kedua pipinya yang telah keriput dimakan usia...
Begitulah di saat ia keluar dari
sisa reruntuhan biara itu... dikejauhan ia telah dengar suara orang bertempur.
Kembali ia berkelebat ke sana... Sebentar saja telah melihat seorang wanita
berbaju hitam tengah melancarkan pukulannya, pada seorang laki-laki yang segera
dapat mengetahui yaitu Gurnam Singh.
Baru saja ia mau gerakkan tubuh...
sekonyong-konyong telah berkelebat
sesosok tubuh yang memapaki serangan itu, hingga ia batalkan niatnya.
Dari ucapan si laki-laki berpakaian mewah itu, segeralah ia tahu kalau kedua
orang itu suami istri. Ia lihat keadaan Gurnam Singh yang tampak parah... Segera
ia berikan pertolongan. Yang ternyata kedua kakinya telah keracunan... Terkejut
Roro... dalam keadaan bingung karena tak tahu cara mengobati orang, tanpa pikir
panjang ia telah robek celana orang hingga sampai sebatas paha. Segera ia lihat
kakinya yang matang biru kehitam-hitaman.
Roro memang belum banyak pengalaman, namun otaknya cerdik. Memikir orang keracunan ia berpendapat harus
mengeluarkan darah orang yang terkenal racun itu.
Tiba-tiba saja tanpa pikir panjang
ia telah gigit kedua jempol kaki Gurnam Singh yang tampaknya sudah tak dapat
rasakan rasa nyeri lagi.
Begitu darah mengucur ia segera
pencet kaki orang dan urut ke bawah dengan salurkan hawa dingin melalui telapak
tangannya. Segera saja darah membeku... karena kemudian yang terlihat keluar
melalui luka yang digigitnya itu adalah darah kental yang kehitam-hitaman.
Melihat usahanya berhasil, segera
ia lakukan seperti tadi pada kaki Gurnam Singh yang sebelah lagi. Maka
selesailah pertolongan pertama itu. Racun tidak akan terus mengalir naik, karena
sudah membeku di kaki. Kalau tak dikeluarkan paling-paling cuma kakinya yang
busuk. Namun jiwa orang sudah dapat tertolong.
Baru saja Roro menarik napas lega
sudah terdengar suara tertawa yang tak henti-hentinya itu, ternyata si laki-laki
berpakaian mewah itulah yang tertawa tak putus-putus... Segera Roro mengetahui
orang telah menotok urat ketawanya. Namun di situ cuma ada dua orang suami istri
itu. Siapakah orang ketiga...! memikir Roro. Tak banyak ayal lagi ia telah
berkelebat membebaskan totokan pada tubuh laki-laki bangsawan itu...
Demikianlah... di saat si wanita berbaju serba hitam itu mau melarikan diri, Roro Centil sudah
menghadangnya. "Kaulah pasti yang berjulukan si Ular Beracun...! Hmm, jangan
harap kau dapat lolos setelah kau
gunakan kekejianmu untuk membinasakan kami di biara...!"
Si Ular Beracun tatap wajah orang
dengan wajah pucat... tiba-tiba ia telah keluarkan selembar kulit tipis dari
balik bajunya... sambil mundur dua tindak ia berkata dengan tergagap, "Ja...
janganlah kau bunuh aku no... nona Pendekar.
Biarlah kuberikan peta harta karun ini padamu...! Namun berjanjilah kau akan
mengampuni nyawaku...".
Terkejut juga Roro Centil. Peta
harta karun siapakah" pikir Roro. Namun dengan suara keren ia sudah membentak
dengan sinis. "Heh! Kau mau tukar nyawamu dengan harta karun orang lain... "
Bagus sekali...!".
"Tidak! Harga Karun itu adalah milik paman angkatku sendiri, si Setan Arak.
Aku... aku terpaksa melakukan perbuatan jahat itu karena... karena suruhan
orang. Percayalah nona
Pendekar...!" Kembali dengan terbata-bata si Ular Beracun berkata menjelaskan.
"Hmmm..." Roro kerutkan alisnya.
"Benarkah demikian...?" Bertanya Roro.
"Percayalah nona Pendekar... aku berani bersumpah! Aku tidak berdusta...!"
Menyahuti si Ular Beracun dengan wajah kusut seperti mau menangis.
"Darimana kau dapatkan peta itu dan siapa yang telah menyuruhmu untuk
membunuhku bersama paderi-paderi kuil Welas Asih...! " Tanya lagi Roro dengan
serius. "Peta ini ada di dalam Kitab Ular... Aku telah menyobeknya lebih dulu,
karena khawatir dikuasai murid paman angkatku, yaitu yang bernama..."
"Lalu siapakah yang telah
menyuruhmu melakukan perbuatan keji itu...?" Bertanya lagi Roro dengan tidak
sabar. Sementara otak Roro yang cerdas sudah memikir akan adanya satu
kejanggalan. Tampak si Ular Beracun tidak cepat
cepat menyahuti... tiba-tiba ia berkata dengan cepat; "Itulah orangnya yang
berada di belakang nona Pendekar...!"
Roro cepat balikkan tubuh untuk melihat ke belakang... Namun pada saat itu
dengan cepat si Ular Beracun telah meroboh
"sesuatu" dari balik bajunya, dan dengan cepat menggigit tali yang tergantung
pada benda itu.
Detik berikutnya ia telah lemparkan benda itu ke arah Roro Centil sambil
gulingkan tubuh menjauh... Terdengarlah suara berdentum keras... Tanah dan batubatu berhamburan bercampur serpihan tubuh manusia yang hancur lumat menjadi
serpihan-serpihan yang menyemburat ke udara...
Pada saat itu juga terdengar suara
teriakan paderi Jayeng Rana yang memburu
ke arah di mana terjadi ledakan dahsyat itu, dan berucap; "Omiitohud...!". Dan
dari arah lain juga berkelebat sesosok tubuh yang keluar dari tempat
persembunyiannya, dan berdiri terpaku memandang ke tempat ledakan dahsyat itu.
Debu mengepul membumbung ke udara,
sementara di dekat lubang yang hitam bekas terjadinya ledakan tampak serpihanserpihan serta potongan tubuh manusia yang telah hancur, berserakan... bercampur
dengan cairan-cairan darah yang sudah menghitam.
Paderi Jayeng Rana terpaku
memandang apa yang terlihat di depan matanya.
Pandangan matanya adalah pandangan
yang hampa. Sementara Gurhan Singh yang berada
tidak jauh dari ledakan itu tampak
perlahan-lahan bangkit dengan terhuyung-huyung mendekati paderi Jayeng Rana yang
segera memburunya untuk memeluknya.
Tampak paderi yang telah berusia lanjut itu linangkan air mata seraya berucap;
"Gurnam... kau selamat..." Omiitohud...
Syukurlah." Dan pandangan paderi tua itu kembali pada bekas ledakan yang asap
hitamnya mulai menipis, diikuti oleh Gurhan Singh yang melihat semua yang
terlihat di hadapannya itu, terasa bagi bayangan fatamorgana yang menghunjam ke
ulu hatinya. Mengapa ini harus terjadi..."
Mengapa... Mengapa"!... Pekik hatinya.
Tiba-tiba laki-laki setia yang
perkasa inipun titikkan air mata.
Sekonyong-konyong hatinya menjerit;
"T i d a a a a a a a a a k...!".
Entah mengapa ia merasakan adanya
satu ketidakadilan yang terasa menghimpit dada... ia merasa takdir itu bukanlah
suatu keharusan...
Haruslah..."! Tapi
akhirnya ia sadar. Inilah kehidupan.
Inilah alam Fana...!
Wajahnya pun tertunduk... Hatinya
kembali cair. Dan gemuruh yang membludak dalam dadanya pun sirna. Batin
bersihnya pun membisik... "Tuhan berkuasa atas segalanya...!".
Senyap yang mencekam itu
berlangsung beberapa saat...... ketika tiba-tiba satu suara merdu menyibak
kesenyapan yang mencekam. "Kakek paderi, paman Gurnam Singh... janganlah kalian
khawatirkan diriku. Aku tak apa-apa...!".
Terkejut bukan main kedua orang ini ketika melihat si Pendekar Wanita Pantai
Selatan dengan tersenyum-senyum keluar dari balik sebongkah batu besar, dan
dengan berjalan santai mendekati
keduanya. Yang bagaikan melihat seorang Dewi
yang baru turun dari langit, menatap tak
berkedip dengan mulut ternganga keheranan.
Bahkan sesosok tubuh yang tadi
keluar dari balik semak itu pun tengah menatap padanya. Siapakah gerangan
dia..." Gerakan sosok tubuh yang mendekati
ke arah mereka bertiga itu membuat
ketiganya berpaling... Kalau tadi yang terkejut adalah paderi Jayeng Rana dan
Gurnam Singh ketika melihat kemunculan Roro Centil, tapi kini Roro Centil lah
yang terkejut melihat kemunculan sosok tubuh itu, yang tak lain adalah si lakilaki berpakaian mewah yang berpenyakit gagap itu.
Tentu saja Roro tak mengetahui akan penyakitnya. Yang ia ketahui adalah lakilaki itu suami si Ular Beracun yang telah tewas termakan oleh senjatanya
sendiri... Kiranya sewaktu Roro Centil
menengok ke belakang untuk melihat siapa orang yang di belakangnya ... Ia telah
waspada akan gerak-gerik si Ular beracun yang kata-kata dan penjelasannya jelas
ngawur. Namun ia pura-pura tak begitu memperhatikan.
Begitulah... ketika si Ular Beracun melempar granat tangannya ia sudah
waspada. Ketika terasa sesuatu bergerak melayang ke arahnya,
dengan gerakkan
lengan ke belakang ia sudah menghantam
balik benda itu dengan angin pukulannya.
Dan tentu saja sebelum si Ular
beracun sempat jauh bergulingan untuk menghindari ledakan, benda itu telah lebih
dahulu mengenai tubuhnya... dan meledak.
Sedang Roro Centil begitu habis
menghantam balik benda pembawa maut itu telah berkelebat cepat ke balik sebuah
batu besar. Karena begitu cepatnya... sampaisampai paderi Jayeng Rana yang melihat dari kejauhan, juga Gurnam Singh, tak
dapat melihat gerakan tubuhnya. Karena bersamaan dengan terjadinya ledakan
dahsyat itu. Adapun si laki-laki bangsawan itu
ternyata hanya berpura-pura saja tertawa sampai terpingkal-pingkal, yang
disangka Roro adalah terkena totokan orang.
Padahal dengan tertawa sedemikian gelinya itu
adalah untuk menyalurkan tenaga
dalam, untuk mencegah menjalarnya racun pada kedua tangannya,
Akibat benturan keras dengan lengan si Ular Beracun yang di papaknya di saat
menyelamatkan nyawa Gurnam Singh.
Adapun di saat terjadi ledakan
dahsyat itu, tentu saja sebelumnya ia sudah mengetahui karena membaui asap
mesiu... Segera ia berkelebat ke semak-semak bersamaan dengan berkelebatnya
tubuh Roro ke balik batu. Hingga keduanya sama-sama tak melihat gerakan orang
karena tengah berupaya menyelamatkan nyawa masing-masing pada detik yang kritis
itu... Penjelasan dari si laki-laki
bangsawan itu diungkapkan dalam perjalanan meninggalkan lereng gunung Wilis.
Tampak keduanya dengan mempergunakan ilmu lari cepat, bercakap-cakap sepanjang
jalan yang dilaluinya.
Tentu saja yang bertindak sebagai
penunjuk jalan adalah si laki-laki
bangsawan itu, karena entah mengapa Roro agak simpati pada laki-laki yang masih boleh disebut pemuda itu, karena usianya baru sekitar dua puluh
limaan tahun. Dibanding dengan Roro Centil hanya
berbeda atau berselisih sekitar tujuh-delapan tahun saja...
Roro yang memang ingin menambah
pengalamannya, makanya ketika si laki-laki itu mengajaknya pergi ke suatu
tempat, ia tak menolaknya.
Ternyata laki-laki bangsawan itu
bernama Joko Sangit. Sebuah nama yang aneh... Pikir Roro. Karena nama itu kalau
diterjemahkan berarti Pemuda Bau.
Joko adalah jejaka atau pemuda;
sedang sangit artinya gosong atau hangus.
Jadi namanya mengartikan; seorang pemuda atau jejaka yang sudah hangus. Roro
adalah Roro yang selama
ia masih penasaran, ia tak akan berhenti menyelidiki. Tentu saja ia ingin mengetahui
riwayat dan asal-usul si Joko Sangit, yang telah menempur istrinya sendiri yaitu
si Ular Beracun, dengan
menyelamatkan nyawa Gurnam Singh, si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu.
Bahkan kematian istrinya yang
tragis itu membuat ia senang setengah mati. Melihat orang mempunyai ilmu aneh,
yaitu mengusir racun dengan suara tertawa agar racun tak menjalar ke tempat yang
berbahaya Roro memikir untuk mengenalnya lebih dekat. Juga untuk menambah
pengalamannya di dunia persilatan. Keanehan-keanehan telah banyak ia alami
dengan mengenal gurunya yang juga aneh luar biasa. Lalu tokoh hitam si Dewa
Tengkorak, yang wataknya pun aneh. Kini ia dapat berkenalan dengan seorang yang
menamakan dirinya Joko Sangit, yang menurut pengamatannya juga seorang yang
mempunyai keanehan...
"Ilmu lari cepatmu hebat juga...
Til!" Bertanya Joko Sangit sambil mengimbangi kecepatan lari Roro Centil.
"Hus!" Panggil namaku Roro saja...!
Aku tak biasa dipanggil orang dengan sebutan demikian..." Berkata Roro dengan
kerutkan alisnya.
"Oh, begitu...... Kalau aku sih sebenarnya cari panggilan yang gampang saja...
Kalau kau senang dipanggil
Roro, baiklah aku akan memanggilmu Roro
... "Masih jauhkah perjalanan kita...?"
Bertanya Roro, menyambung pembicaraan Joko Sangit. "Rasanya tidak...!" Menyahut
Joko Sangit. "Apakah sekarang ini kita sedang menuju ke Tuban?" Tanya Roro lagi.
"Oh, tidak... aku belum ingin
kembali ke sana. Nantilah, pasti kau akan kuajak ke Tuban setelah selesai
urusanku

Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

..." Sahut Joko Sangit berikan penjelasan. Selesai berkata, Joko sangit tambah
kecepatan larinya. Tentu saja Roro segera berkelebat menyusul. Dan bayangan
tubuh kedua orang muda-mudi itu melesat cepat bagai anak-anak lepas dari
busurnya. Hingga dalam waktu setengah hari,
sejak keberangkatannya pada pagi hari dari biara Welas Asih di lereng Gunung
Wilis; keduanya telah tiba di dataran yang berbukit-bukit...
Beberapa saat kemudian Joko Sangit
menghentikan larinya seraya berteriak;
"Stop! Kita berhenti di sini...!". Segera Roro pun menghentikan larinya.
Setelah teliti daerah sekitarnya,
tampak Joko Singit mengeluarkan sebuah
benda dari balik bajunya. Yang ternyata adalah selembar kulit tipis.
Tersentak hati Roro, ketika melihat benda yang tengah diteliti oleh Joko Sangit
adalah selembar peta, yang mirip dengan peta si Ular Beracun. Yaitu peta harta
karun milik si Setan Arak.
Roro tak banyak bertanya, cuma
berfikir akan satu keanehan. Bukankah peta di tangan si Ular Beracun itu telah
turut hancur berikut tubuh wanita itu..."
Pikirnya. "Inilah pegunungan Kendeng...!"
Berkata Joko Sangit. Dan lanjutnya;
"Kalau aku yang lebih dulu menemukan harta Karun si Setan Arak itu, sudah pasti
kaupun akan kebagian, Roro... Ha ha ha. "Mari ikuti aku!" Lanjutnya lagi.
Agaknya ia telah dapat mengetahui
tanda-tanda pada peta itu.
Berkelebat tubuh Joko Sangit
diikuti Roro yang bagaikan bayangannya mengintil terus di belakang Joko Sangit.
Setelah mendaki, menurun, membelok
ke kanan dan ke kiri serta seterusnya...
Tiba-tiba Joko Sangit angkat lengannya untuk berhenti.
Di bawah sana tampak ada satu
dataran yang curam... di bawah lereng-lereng batu bukit yang terjal. Untuk
menuruni bukit terjal itu kalau tidak orang yang berkepandaian cukup tinggi,
akanlah kesulitan untuk mencapai ke bawah.
Mengerti Joko Sangit akan menuruni
lembah yang curam itu, Roro Centil sudah berkata; "Kita bersusah payah turun ke
bawah, apakah sudah dipastikan harta itu masih ada..." Karena kulihat peta itu
bukan hanya berada di tanganmu saja, tapi istrimu si Ular Beracun itu pun
memilikinya. Namun tentu saja sudah hancur lumat!" Joko Sangit hanya mendengus.
"Perduli...! Apakah peta harta itu ada seratus pun aku tetap akan
menyelidiki...!" Berkata ia dengan ketus.
Mengingat ia tak mungkin membatalkan niat karena sebentar lagi mereka dapat
lihat buktinya, siapa yang lebih cepat dialah yang dapat. Begitu pendapat Joko
Sangit. Dan segera ia bergerak untuk
menuruni lereng terjal yang curam itu.
Sedikit tergelincir, akan tamatlah
riwayatnya sebagai manusia, karena di bawah sana menunggu batu-batu lancip yang
bisa menembus tubuh mereka ...
Namun bagi kedua orang muda yang
berkepandaian tinggi itu tidak berarti apa-apa. Karena dalam beberapa saat saja
keduanya telah tiba dengan selamat sampai di bawah sana ...
Namun alangkah terkejutnya Roro
Centil maupun Joko Sangit mengetahui di bawah dataran yang diinjaknya, di
sekitar tempat itu banyak bergelimpangan mayat-mayat.... Apakah yang telah terjadi..."
Berfikir Roro. Ia segera bertindak lebih ke dalam.
Di mana di sebelah dalam ada terdapat goa.
Di sini bangkai-bangkai manusia
bercampur dengan bangkai srigala. Yang terlihat berpuluh-puluh banyaknya.
Dalam keadaan terpukau itu tibatiba berkelebat sesosok tubuh. Yang membuatnya terkejut tentu saja karena sosok
tubuh itu tak lain dari paderi Jayeng Rana.
Melengak seketika Roro maupun Joko
Sangit. Akhirnya sadarlah Joko Sangit, bahwa paderi Jayeng Rana ternyata berilmu
tinggi. Begitupun Roro Centil. Karena iapun seperti tak menduga kalau ternyata
paderi Jayeng Rana lebih maklum akan kelicikan orang yang menjadi tamunya.
Rahasia Tonga telah diketahui sang
paderi Jayeng Rana dari Gurnam Singh.
Bahkan peta rahasia itu adalah akal licik yang sudah dipersiapkannya untuk
membunuh para jago-jago Persilatan dengan menjerumuskannya ke dalam lembah yang
akan membuat mereka tak dapat kembali pulang dengan masih bernyawa.
Sekejap ketiganya saling berpandang-pandangan... Dan tiba-tiba Roro Centil berteriak sambil menyebut Guru
pada kakek tua paderi Jayeng Rana ... Dan serta merta menjatuhkan diri berlutut
di hadapannya. "Kakek paderi Jayeng Rana...
Terimalah aku sebagai murid...!".
Paderi Jayeng Rana tersenyum sendu
... sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang, seraya berkata; "Omiitohud...!
Siapa yang dapat menolak keberuntungan untuk dapat memariskan ilmunya pada
seorang pendekar wanita yang berbudi dan cantik di depan mata... ?"
Dan paderi Jayeng Rana segera
bimbing lengan kedua orang muda itu untuk dibawa melesat ke atas bukit, keluar
dari lembah maut yang cuma menjadi kuburan bagi orang yang rakus dan tamak akan
harta duniawi... Betapapun harta dan benda tidaklah dapat membuat orang
berbahagia, selama manusia belum terlepas dari hawa nafsu. Hanya orang-orang
yang berhasil mengendalikan hawa nafsunya sajalah yang akan merasakan
kebahagiaan dalam keadaan bagaimanapun juga...
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Hong Lui Bun 2 Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 17

Cari Blog Ini