Ceritasilat Novel Online

Ular Betina Selat Madura 1

Roro Centil 28 Ular Betina Selat Madura Bagian 1


SATU PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, meninggalkan anjungan di depan
pesanggrahan mewah ditepi pantai itu.
Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan. Rembulan
tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai
yang indah itu. Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke
tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di perahu pesiar
itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah.
Dialah si pendayung perahu.
Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah bercengkrama dengan seorang
wanita muda berbaju sutera warna hijau.
Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya dari
sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya
yang jenjang. Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika
dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah dadanya, atau
menggelitik ke pinggang dara cantik itu. Sementara si
pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap
menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu
adalah pegawai dari pesanggrahan "MELATI" yang berdiri tegar
dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu. Dia tahu kalau wanita muda dan
cantik itu adalah orang baru. Dan bahkan baru malam
ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan dia disamping sebagai
pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi
tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian sang tetamu sehabis
melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak ketahuan kemana perginya. Juga
pernah ada yang membawa kabur perahu pesiar.
Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan
itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu
seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta
potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang
saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak
mungkin. Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap,
yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya
si gadis pendayung perahu tampak tenang- tenang saja bahkan dari
mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagukan nada-nada
dalam satu nyanyian.
Sreeek! Sreeek...! Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditutupkan. Si
wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangannya mendayung. Kini perahu
pesiar itu terombang-ambing perlahan
diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan perahu pesiar
itu. "Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru ... ah, masih sore
begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dimalam hari ini
lebih dulu?" berkata si wanita.
"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...!
Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!" menyahut si bangsawan.
Sementara lengannya telah bergerak membuka
kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang
buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan
itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan..." Tampaknya kau seperti malu-malu atau
takut menghadapiku" Hehehe... jangan begitu,
sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melayani suamimu
sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuhnya disisi wanita itu.
Lengannya bergerak untuk memeluk. Akan tetapi wanita itu segera menangkap
tangannya dengan lembut.
"Ih, siapa yang tidak takut" Aku baru sekali ini melayani tetamu. Kalau aku
takut adalah wajar menyahut si wanita.
"Kau masih perawan?" bertanya laki-laki bangsawan itu. Pandangannya semakin
nanar melihat kebalik pakaian tembus yang
memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas terpandang
kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu
menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.
"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat
menjamah tubuhku!"
Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita.
"Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.
"Dia mati mendadak..."
"Ooooh ...! Serangan penyakit?"
"Tidak! Dia mati dibunuh orang!" sahut si wanita.
Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu.
"Kasihan..." ucapnya lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini
karena kesepian ...?" pancing laki-laki itu.
"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?" balik bertanya wanita itu.
Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar.
"Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau
teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."
Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi
lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya semakin nyata. Matanya
semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan mata membelalak. Hatinya memaki.
"Ooo, laki-laki jalang, pengumbar
nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"
Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi
bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu
tersenyum. Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu. Lalu dialihkan menatap ke
laut lepas. Lengannya meraih kendi berisi arak.
Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil. Sisa
arak dituangkannya kelaut...
*** Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi
mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya
kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk dipentang. Dan
kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup.
Goyangan perahu telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan mata. Dan tak
terasa dia telah tertidur sejenak. Akan tetapi sepasang mata gadis pendayung
perahu itu jadi membelalak terbuka. Dan dia terlonjak kaget seperti dipagut
ular. Apakah gerangan yang membuat
dia terkejut" Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar
perahu membasahi kakinya.
Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga
sepertiga bagian.
"Celaka...!" Perahu tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan.
Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai
pintu perahu. Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu" Si bangsawan setengah tua itu
tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air
tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuhnya tampak ada
bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur
dengan air laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur
dan bantal. Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang
menjadi "gula-gula" dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak kelihatan
batang hidungnya.
"Hah!" Apakah yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekali
bergerak dia telah melompat kepembaringan. Ketika membalikan tubuh laki-laki
gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak
bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu saja membuat si wanita
pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan
terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar
perahu pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang papannya telah
ambrol. "Celaka...!" Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus menyelamatkan diri...!"
berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera
dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan lain selain harus berenang.
Maka... BYUUURRR! Wanita itu telah terjun ke air. Selanjutnya dia
harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu yang
mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun terpaksa
ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi..
Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai. Tenaganya serasa hilang
terkuras seluruhnya. Ketika dia palingkan muka untuk melihat ke tengah, perahu
pesiar itu telah lenyap tenggelam.
"Edan! Apakah yang telah terjadi" Apakah perbuatan perempuan bernama Andini itu
ataukah ada orang lain yang telah melakukannya dari bawah air?" menggumam wanita
pendayung ini. Sukar
untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong
orang berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah
melakukan semua itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian
itu pada sang Ketua, majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan
kena dampratan. Mungkin juga hukuman. Karena dia tahu persis adat
sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.
"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..." bisiknya berdesis. Dan dia
segera merayap ke darat. Cahaya rembulan agak remang-remang ketika segumpal awan
hitam melintas. Gadis pendayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena
hatinya tengah dilanda kemelut.
Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah. Sesosok tubuh
tahu-tahu berkelebat dihadapannya. Tersentak kaget wanita pendayung perahu ini.
Namun dia mengeluh. tubuhnya terkulai serasa
lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah menotoknya. Untuk
berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena dengan gerakan cepat sosok tubuh
itu telah memondongnya. Dan melarikannya dengan cepat. Ternyata sosok tubuh
berbaju serba hitam yang
tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng. Apalagi cuaca
sedang gelap. Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan
meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya sosok tubuh itu telah
lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.
*** DUA "HAH!" KAU... KUNTALI...?" tersentak si wanita pendayung
perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita
pendayung perahu itu.
"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak
mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!" menyahut wanita
berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.
"Oh, mengapa kau lakukan ini" Kau akan mendapat kesulitan
bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah jadinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!"
Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.
"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah tinggal ditempat maksiat
itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepentingan Ketua! Aku memang telah
merencanakan untuk melarikan diri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi
hatinya. "Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani melakukannya. Kau tahu
sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak
buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pelaku, yaitu
kematian!" menyahut Windarti.
Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya
dari totokan. "Apa rencanamu kini Kuntali" Dan kita berada diwilayah mana" Pondok siapakah
ini?" tanya gadis pendayung perahu itu memperhatikan isi ruangan kamar persegi
yang tak seberapa lebar, itu.
"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang mengetahuinya. Sekarang
gantilah pakaianmu yang basah itu!" ujar Kuntali seraya buka buntalan yang
diambilnya dari sudut ruangan, dan
berikan satu setel pakaian untuknya.
"Kau membawa serta pakaianmu?"
"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"
Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya.
Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang kawan. Seraya
mengenakan baju, Windarti bertanya.
"Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu
pesiar dalam kawalanku itu?"
"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman perahu itu aku
mengetahui...!" menyahut Kuntali.
"Hah!" Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?"
tanya Windarti dengan terkejut. Akan tetapi Kuntali hanya tertawa
kecil. "Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"
"Kawanmu" Siapakah..." Apakah dia yang
telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo
Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita pendayung.
"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi kawanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung
belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pukat Inten yang
bergelar si ULAR BETINA SELAT MADURA....!"
Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan
kawannya itu membuat dia terperangah.
"Ular Betina Selat Madura...?" desisnya tersentak. "Jadi si perempuan anggota
baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu
adalah dia?" berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini. Windarti memang
telah mendengar nama gelar yang pernah membuat heboh dikalangan para saudagar di
Selat Madura. Wanita berkepandaian
tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita tentang
munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa
bulan yang lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak
terdengar lagi beritanya.
"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia..." Sejak kapan kalian
menjalin persahabatan dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Sementara diam-diam
hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Betina itu yang telah membunuh
bangsawan tua itu dengan mematahkan
lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari bencana. Karena
secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pesanggrahan Melati yang
diketuai oleh sepasang suami-istri yang berada di jalur sesat! Komplotan itu
secara sembunyi-sembunyi melakukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik.
Untuk diumpankan
atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing. Pesanggrahan itu
bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penjahat yang memperjual-belikan
wanita cantik, untuk dikirim keperbagai
wilayah. Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersembunyi yang melayani
pesanan dari perbagai kalangan. Adapun gadis
pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama
Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pesanggrahan
Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah
menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua
perguruan. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya adalah murid wanita
dari Perguruan CEMPAKA BIRU, sebelum adanya
Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu
tinggi bernama Nini CANDRA GUMINTANG. Wanita tua itu menyembunyikan gelarnya
pada murid-murid mereka. Hingga tak seorangpun dari para muridnya mengetahui
gelarnya dalam dunia Rimba
Hijau. Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab sejak mereka sama-sama
berguru pada wanita kosen itu. Diantara enam
murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seorang adalah
murid yang paling tua, bernama NAGASARI. Wanita
itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling diandalkan oleh sang


Roro Centil 28 Ular Betina Selat Madura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk
memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawahannya.
Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh
sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah. Secara tak
langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasari. Penyakit sang
Guru semakin parah tampaknya. Hal mana membuat Nagasari mengusulkan untuk
membawa gurunya kesuatu tempat
dimana terdapat seorang tabib. Konon khabarnya tabib itu seorang
yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat
sekalipun. Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki
muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan
Nagasari. Dia bernama BEGUK REKSASANA. Seorang laki-laki
bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundurkan diri dari
jabatannya. Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak membantu penyembuhan
penyakit sang guru dengan memberikan bermacam obat-obatan. Akan tetapi penyakit
guru mereka semakin hari semakin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum.
Namun hasilnya tiada kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid
lainnya menjadi cemas. Demikianlah, Beguk Reksasana memberi saran untuk membawa
sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang
mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu
penyembuhan penyakit sang guru mereka.
Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan
apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah tak berdaya apa-apa.
Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup. Keadaannya sungguh amat
mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru diusung. Cuma dua orang murid
laki-laki saja yang turut serta untuk
bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga
pesanggrahan. Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena
tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.
Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Reksasana juga kedua murid
laki-laki saudara Seperguruan mereka. Nagasari berkata dengan air mata menitik,
mengatakan bahwa sang guru
telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar diobati lagi.
Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah
gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang
datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa
ke tempat tabib itu.
Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut. "Kita
tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah ditangan Yang
Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga
untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau kiranya umur sang guru
kita yang amat kita cintai itu cuma sampai disitu! Tiga pekan sejak beliau
dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru
berpulang dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.
Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan
hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka. Wajah-wajah duka
tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gurunya itu.
"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya
Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.
"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka
Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat,
yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah,
kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya berikan sehelai
kertas kulit pada Kuntali.
Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri
yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserahkan pada Nagasari.
Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada
pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah
kakak tertua seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wasiat itu tertera
tanda-tangan guru mereka.
Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian. Demikianlah! Mau tak mau
mereka harus mempercayai surat wasiat itu.
Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Namun dua laki-laki
saudara seperguruan mereka yang turut serta menyaksikan pemberian surat wasiat
itu melenyapkan kecurigaan Kuntali, yang selalu dibisikkan pada Windarti. Bahkan
kedua laki-laki
saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah
dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.
Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditutup oleh Nagasari.
Dan diganti dengan nama Pesanggrahan MELATI.
Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut diwilayah utara
Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan
kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Reksasana yang
telah menjadi suami Nagasari. Pernikahan mereka dilangsungkan didepan jenazah
Nini Candra Gumintang yang tanpa
disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki saudara
seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...
*** TIGA "KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan
dia... ?" Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menyelami hati sang
kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Sepertinya ada nada "kecemburuan" dari
kata-kata yang diucapkan gadis
ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung
ini.?" Dan "persahabatan" macam apakah antara kedua saudara seperguruan ini..."
"Windarti...!" terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya
menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian.
"Jangan khawatir! kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya
tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini
karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya
berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengannya meraih dagu
gadis pendayung itu.
"Sungguhkah ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara hatinya tergetar. Dan
terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu.
Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.
"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!"
suara Windarti mendesah. Pakaian yang baru mau dikenakan itu merosot kembali.
Dan... tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali
erat-erat. Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini
lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh
sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan Kuntali seperti layaknya
sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari
hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering mengadakan
pertemuan, segera meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya mereka bagaikan "bayibayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai
benang melekat ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena mereka tak
ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat dengan memperdengarkan
desahan-desahannya...
Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka. Dan..., satu suara
dingin terdengar mencengkam.
"Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?" Tersentak kedua
gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa. Seketika melompat untuk
masing-masing menyambar pakaiannya. Dan tertegun menatap kehadapannya, karena
sang Ketua alias NAGASARI telah berdiri bertolak
pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu
juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali. "Cepat kita melarikan
diri...!" desis gadis itu.
BRRAAK! lengannya menghantam jendela. Dan detik berikutnya, Kuntali telah
mendahului melompat. Tak ayal Windarti segera
menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "sahabat"nya itu untuk
diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada
saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Berhenti! kalian telah terkepung! lebih baik menyerah. Mungkin hukuman bagi
kalian tidak terlalu berat!" Bersamaan dengan suara itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka.
Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembulan segera
diketahui siapa mereka yang menghadang.
"Tapak Doro, Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi kami!" membentak
Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya
dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.
"Hahaha ... kami hanya menjalankan perintah Ketua!" menyahut salah seorang dari
dua laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata
mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya
yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka
sebatas dada kebawah.
Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa.
"Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempatsempatnya kalian
mengadakan hubungan. Kalian memang gadisgadis aneh! mengapa tak menyenangi lakilaki?" berkata Tapak Doro
"Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap kalian. Sayang kalian
tak pernah memberi kesempatan...!" timpal Binangun dengan tertawa menyeringai.
Panas rasanya muka Kuntali.
Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat
pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut.
Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat kedua gadis itu
melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini
segera mengejar.
Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah dipersiapkan.
WHUUT!... Krep! Luncuran tali laso yang memang sudah dikuasai secara matang oleh
Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Windarti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali
pada lengan Windarti terlepas seketika. Karena dia berada dibagian belakang.
Apalagi Windarti
dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hingga dia sukar
untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan
mudah terkena jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Windarti tentu
dapat menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui
Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.
"Bedebah...!" memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat
kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak
tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak
gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia
gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara seperguruannya
itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang
dan jatuh terjerembab bergulingan.
"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali
dengan kalap. Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai
singa. Tapi... BUK! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan telak telah
lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling- guling dia
ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan mengiris jantung.
"Bocah tak tahu adat! kuberi kebebasan padamu di Pesanggrahan Melati malah mau
melarikan diri...! kau akan menyesal dengan
ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang telah berada ditempat itu. Sejak
bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari
Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Karena Beguk
Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu kedigjayaan tinggi. Apalagi
sang suami punya banyak kenalan tokohtokoh golongan hitam yang menjadi langganan
di Pesanggrahan Melati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya. Yaitu yang
bergelar si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Pucat seketika wajah Kuntali. Belum lagi dia berusaha untuk
bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat kehadapannya untuk
segera menotoknya dan meringkusnya dengan cepat. Sementara Windarti dengan mudah
sudah lantas kenal diringkus
oleh Tapak Doro.
"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri
kalian kesempatan baik...!" berkata Nagasari dengan tersenyum. Binangun dan
Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap
mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"
"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami
akan menerimanya..."
"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis
manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan
Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.
"Mengapa, Ketua...?" tanya Tapak Doro.
"Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah!
kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk mengaturnya, siapa
yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan
urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan
Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu
dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibatnya. Seorang
langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga
mahal telah dibuatnya tenggelam...!" Diam-diam tersentak kaget
Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya. Wajah
wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya kesempatan selain
menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Selat Madura yang menjadi
sahabatnya itu.
Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu. Akan tetapi mereka jadi serba salah
karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya. Juga mereka belum mengambil
keputusan siapa yang akan memulai terlebih dulu.
"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu" Tak usah
ragu- ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi
di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari, seraya mengambil tempat duduk diatas
sebatang kayu. "Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera menjatuhkan hukuman mati
pada si Kuntali ini!" ujar Nagasari.
"Baik! baik...! Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun serentak. Segera mereka
mengambil keputusan. Ternyata Tapak Doro yang
akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan
permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang. Maka,
tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.
Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos.
Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang memberikan hukuman mati
pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga
akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang
telah memesannya.
Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertutupkan apa-apa.
Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Doro. Tak perlu lagi. Karena
gadis itu sudah dalam keadaan tertotok.
Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam,
namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca. Sementara Windarti telah
menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya
menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya. Namun dia tak
berdaya. Dan setitik air bening kembali merayap turun
membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti meresap ketulang. Dan...
batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.
Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai.
Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan
yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan
hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya. Dan lenyapnya salah satu
perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pesanggrahan Melati...
*** EMPAT Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati telah diperketat. Tak
sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kakitangan Ketua Pesanggrahan Melati.
Terlihat orang-orang yang berkepandaian tinggi simpang-siur membagi tugas.
Karena mereka telah
mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ketempat itu. Didepan
Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia
lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau.
Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan ketiga laki-laki tua yang ratarata bertampang


Roro Centil 28 Ular Betina Selat Madura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.
"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan
menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si
Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya
yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang
bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa
kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.
"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu
khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular
Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya istriku...!"
berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera menjura pada ketiga
gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan guru
semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu memang perlu
diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diamdiam telah berkomplot dengan
dia!" Tiga Dedemit Gunung Siung
manggut-manggut mendengar penuturan muridnya.
"Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?"
tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit.
Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.
"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah diketahui tempat
persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil
meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk
Reksasana. Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk Reksasana segera beranjak
keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat.
Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggrahan di pesisir
pantai itu. Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu
pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh
wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah Nagasari
datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wanita ini
beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan
cepat sekali dia telah menyergapnya. Mulutnya dibekap hingga tak
mengeluarkan suara. Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai menggelosoh.
Bahkan langsung merokok urat suaranya. Kemudian apakah
yang dilakukan wanita ini" Dia membukai seluruh pakaian penjaga
wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia
mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.
Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu
tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri. Rambutnya yang basah
diuraikan. Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi. Tentu saja
dengan "bebas" dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya mencari-cari seseorang
diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu memasuki gedung Pesanggrahan melalui
jalan samping. Sebuah pintu kamar dibukanya. Tapi kamar itu kosong. "Heh!"
kemanakah Kuntali"
Juga aku tak menemui Windarti..." Hm, jangan-jangan mereka sudah
berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini
pelahan. Segera dia tutupkan lagi pintu kamar. Lalu dengan gerakan gesit
segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua. Tak
lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah memang
kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari
dalam... Apakah yang dikerjakannya didalam" Ternyata wanita ini
menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasukkannya ke dalam
pakaiannya. Hingga tampak perutnya agak menggembung.
Tak lama dia telah keluar lagi. Beruntung tak ada seorangpun
didalam Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual
wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu.
Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar
khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar
itu terkunci. Namun baginya hal itu bukan halangan. dengan kunci
palsu dimilikinya pintu bisa dibuka. Sekejap dia sudah melompat kedalam. Lalu
tutupkan pintu dari dalam. Habislah uang dan perhiasan
Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu terdengar suarasuara diluar
kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruangan Pesanggrahan. Tersentak
dara ini. Onggokan terakhir dari perhiasan mahal milik Nagasari cepat diraupnya.
Lalu dimasukkan dalam
baju. Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut dara ini karena
penuh dengan perhiasan dan uang.
"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Kukira dia sudah
disana..." desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela
segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak.
"Haiii!" siapa kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan
tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela. Yang
membentak tak lain dari Nagasari.
Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya. Bahkan bukan main
terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan
mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jendela tak ayal
dia sudah mengejar. Akan tetapi.
WHUUUK!... CRIIING!
Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini
yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan diri. Ternyata
senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam miliknya yang dihamburkan untuk
menyerangnya. "Bedebah!" memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat
untuk mengejar seraya berteriak. "Pencuriii! tangkap dia! tangkaaap...!" Tentu
saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati
menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjatasenjata ditangan.
"Dimana pencurinya!?"
"Pencurinya dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Sebagian lagi menghambur
keluar melalui jalan samping, karena teriakan
itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari
sang Ketua. "Apa yang terjadi Ketua...?"
"Goblok semua! Cepat kejar! dia berlari kearah sana! Nagasari
sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak
ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk
mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.
"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!" "Kepuuung! Bunuuuh...!" berteriak-teriak
mereka. Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul. Melihat banyak
anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, sejenak mereka
saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan
gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk mendahului para anak
buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini
sepuluh kali lipat dari gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul.
Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.
Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata telah kehilangan
jejak. "Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan
itu" memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran. "Celaka...!
Oh, ludaslah sudah harta bendaku!
Dari mana dia bisa masuk kekamarku" Bukan pintu kamarku
terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wanita ini dengan
tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian
waktu memergoki sosok tubuh yang, luput dari kejarannya itu. Berpikir demikian,
Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa
lenyap untuk mengejar lebih jauh.
Apalagi dia telah kehilangan jejak. Tak tahu lagi kemana larinya
orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah meyakinkan siapa
adanya orang itu. Ya! siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat
Madura" Pikirnya. Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali
lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya berkecamuk memikirkan uang dan harta
bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya.
Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi lemari
perhiasannya..." Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati.
Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai memakan waktu lebih dari
dua tahun. Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba... "Itu
dia...! tangkap! kejaar!"
"Bunuuuh!"
Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu
saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orangorangnya sendiri
telah berkelebatan menghadang.
"GOBLOK! mata kalian sudah buta semua..." Apakah tak mengenali aku?" membentak
Nagasari dengan suara mengeledek.
"Hah!" KET... KETTT... KETUA...?" hampir berbareng mereka
melompat mundur dengan suara tertahan.
"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami
tak mengenali orang..." menyahut salah seorang dari anak buahnya.
"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!" maki Nagasari dengan
mendongkol. Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya. Dan
tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang.
Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya. Baru
saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang menyongsongnya.
Langsung lakukan pertanyaan.
"Ada apa Nagasari..." Apakah yang telah terjadi istriku?" Mendelik sepasang mata
wanita ini. "Kau..."! apa saja kerjamu, kakang..." sampai tak tahu kejadian
ini...?" membentak Nagasari dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"
"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat
itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersembunyi yang telah di
jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk melaksanakan niatnya melarikan diri" Tapi aku tak menjumpaimu, kecuali mayat
Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!"
menyahut Beguk Reksasana.
"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar
Nagasari dengan mendengus. "Tak tahukah bahwa kamar kita telah
kemasukan maling" Oooo... ludaslah semua harta bendaku..." teriak
Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk menuju ke arah
kamarnya. Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut.
Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah
tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat
menyimpan uang dan perhiasannya.
"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si
Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap
mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.
"Ini semua gara-gara kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari seraya putarkan
tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca
menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.
"Gara-gara aku..." He" aku tak tahu menahu dengan semua ini!
Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan disini ada pula
tiga orang guru kita...!" bela Beguk Reksasana sang suami.
"Cih! kalau. tidak gara-gara kau menerima wanita muda bernama Andini itu untuk
bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!" berkata Nagasari dengan ketus
seraya bantingkan pantatnya dipembaringan.
"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu" Dialah si Ular Betina
Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan purapura mau bekerja
ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak
mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya.
Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri
wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!" semakin ketus katakata Nagasari
yang tetap mempersalahkan suaminya.
"Aku... aku..." Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.
"Sudah. sudah! SUDAH!!! tak usah kau mencari-cari alasan!
Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita membekuk si Ular
Betina keparat itu!" potong Nagasari dengan bentakan
ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan...
terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal. Terhenyak
Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku
seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!"
Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan
kamar itu... *** LIMA Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat, Windari tergolek dipembaringan.
Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membelalakkan matanya.
"Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?" tersentak
Windarti berkata dalam hati. Lama dia termangu dengan benak memutar. Selain
berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang
tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan sebagai tawanan.
Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia seperti tawanan, tapi dalam
keadaan bebas bergerak. Bahkan ditugaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu
yang mau melancong
untuk berkencan ditengah laut. Tapi kali ini dia tak bisa bebas bergerak. Karena
tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso. Bahkan masih dalam keadaan
membugil. Pesanggrahan Melati itu kembali lengang. Karena suara-suara
gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan
yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia
ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu
yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara hatinya mulai
menduga-duga. "Apakah si manusia misterius yang menamakan dirinya Ular Betina
Selat Madura itu yang tengah dikejar...?"
Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi. Yang terbayang justru
kejadian tadi. Kejadian yang telah membuat bulu romanya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa disayatsayat manakala
menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pelampiasan nafsu berahi Tapak
Doro dan Binangun. Dua orang saudara seperguruannya sendiri, yang telah menjadi
anak buah dari Nagasari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.
Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan mereka ketika masih
menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, namun apa mau dikata kalau kini
persoalan sudah lain. Nagasari telah
menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan
bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian.
Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui
kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan atas antara pengkhianatannya.
Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pipinya. Tak tega dia
membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi
nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma jeritan
pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.
Windarti memang tak mau melihat. Dan tak akan melihat, karena segera dia telah
diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke
pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan selanjutnya menempati
kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki
terbelenggu... Kini keheningan merayapi ruangan itu. Cuma desah napasnya
dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga. Sunyi!
Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati Dia telah kehilangan orang
yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya
sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia telah menempuh
jalan salah. Ya! tak semustinya dia mencintai sesama
jenis. Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak
wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya.
Namun segalanya terputus sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hidup lagi...
Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat
luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan
tak lekang terkena panas!
"Nagasari...! tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan
puas belum terbalaskan...!" berdesis Windarti dengan sepasang lengan mengepal
dalam belenggu.


Roro Centil 28 Ular Betina Selat Madura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak
kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di
hadapannya. "Ssssst!" Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut
memberi isyarat. Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya
dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya.
Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan tajam.
Dan... tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik
bajunya. Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat
yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini.
Bahkan segera membuka totokannya. Selesai itu, si orang bertopeng segera
balikkan tubuhnya membelakangi. Tampak lengannya
merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan "sesuatu" kearahnya.
Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian. Tentu saja
membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira. Tak ayal segera dia
beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel pakaian
dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si
orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai
berpakaian"
Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya dengan cepat. Sebentar saja
sudah rapih berpakaian. Cepat si orang bertopeng putar tubuh. Lalu beri isyarat
untuk mengikutinya. Dengan berindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu.
Melompat gesit dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Tiba dibagian belakang
Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tangan Windarti.
Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Selanjutnya... WHUT! si orang
bertopeng telah melesat ke arah timur.
Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.
"GURUUU...!" Oh, guruuu...!" berteriak Windarti dengan tersentak antara terkejut
dan girang. Dan menghambur dia untuk kemudian berlutut dan bersimpuh memeluk
kaki seorang wanita tua yang
berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak
lain dari Nini CANDRA GUMINTANG. Sang guru yang dikhabarkan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan
seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.
Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu
adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua Perguruan CEMPAKA BIRU.
Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari
telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas sepasang kaki
sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau
yang dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra
Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru
Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi
Ketua. Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan
sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan MELATI. Yang berfungsi pada
penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penampungan wanita-wanita cantik.
Merupakan bisnis besar yang dikelola
secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang
dan harta benda.
Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wanita tua itu. Wanita
ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, seraya berkata.
"Sudahlah muridku...! mari kita berbincang-bincang didalam...!" Lalu paling pada
si laki-laki bertopeng itu.
"Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"
Tersentak laki-laki bertopeng itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa,
guru...!" Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penutup
wajahnya. Karena memandangi pertemuan yang mengharukan
antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama.
Menatap dengan mata mendelong. Adapun Windarti jadi terlongong
mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi setelah melihat
jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka
topengnya. "Kau..., kau SHIDARTA...?" sentak Windarti terkejut.
Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, "Marilah kita duduk didalam,
Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami ceritakan padamu mengenai guru
kita. Juga riwayatku! Tentunya kau menyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup
lagi, bukan...?"
"Benar, Shidarta..." menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya
yang telah terjadi" Aku serasa mimpi."
"Marilah kita bicara didalam...!" ujar Shidarta seraya menggamit lengan
Windarti. Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk
diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar
pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah meja. Lalu bawa sekendi
air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar
dihadapan sang guru.
Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sabar rasanya untuk
lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.
"Guru...! ceritakanlah...! apa sebenarnya yang telah terjadi"
Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil
alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. apakah memang
Nagasari telah berdusta dengan penu-turannya yang mengatakan guru
telah tiada..." Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani
oleh guru sendiri itu" Juga apakah artinya semua ini..." Pertanyaan
Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.
Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera menjawab satu persatu
pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ketika pada lebih dua tahun yang lalu
disaat dia sakit parah, adalah akibat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh
semacam racun pada
makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses
lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membunuhnya. Nagasari
adalah seorang murid terlama dan paling dulu menjadi murid pada Nini Candra
Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru
diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menurut apa yang
didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan dibawa keseorang tabib
yang pandai mengobati bermacam penyakit.
Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari
berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang
buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau membunuh Adipati
Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendiri. Tentu saja tujuannya mau
menggantikan kedudukan Adipati itu,
karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata
kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan
serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajahnya dia telah
pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati.
Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri
Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari
SHIDARTA. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir)
Nini Candra Gumintang.
*** ENAM SHIDARTA memang "menghilang" ketika Beguk Reksasana
muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Karena dia telah
segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta pada Adipati Donggala mengenai
kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat perbuatan jahatnya pada kakak
perempuannya telah pula dilaporkan. Shidarta memang telah mulai mencurigai
kasak-kusuk ditempat-tempat rahasia mengenai adanya rencana busuk Beguk
Reksasana, yang nama
sebenarnya adalah, TALI WANGSA.
Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari
para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut. Tentu saja dengan
janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang
lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan saja untuk
merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.
Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri. Hal kejadian itu
segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian pihak Kerajaan menetapkan Tali
Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam
mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui sesosok mayat oleh
para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali
Wangsa dalam perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam
keadaan hancur mukanya. Juga serpihan daging yang sudah hampir
hancur membusuk. Hingga sukar dipastikan apakah benar dia Tali
Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pakaian yang
dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang
disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak lega hati
Shidarta mendengar berita itu.
Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di
Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Nagasari. Namun dengan
nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat
Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan
mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak. Walaupun Tali Wangsa
mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasana tentu tak mudah menipu mata
Shidarta saat itu.
Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang
guru keseorang tabib agak membuatnya curiga. Seperti dibisikkan
Kuntali padanya Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa,
karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak
punya hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang
saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana,
diam-diam menguntit kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan
minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rombongan
mereka berangkat. Sebagai murid termuda. Apalagi masih
adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wilayah tempat
itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang
berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan mengatakan akan cepat
kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat berangkat pergi. tapi diam-diam
membelok untuk berlari cepat menyusul pengangkut tandu yang membawa sang guru.
Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari
dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang. Yaitu kesebuah tempat
dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu
memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana
ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.
Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari. Tentu saja saudara
seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pesannya untuk
ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua orang saja
yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan
Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah saudara
seperguruan Nagasari. Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah
tak mengenai Shidarta. Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan
wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak
hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang Kadipaten telah
menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya
mayat laki-laki itu disungai.
"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasari. Walau kau
adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah menjadi murid dari Perguruan
Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan patuh pada perintah kakak tertua
seperguruanmu. Sebabnya kau kularang disini adalah karena di Pesanggrahan
Cempaka Biru tak ada satupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau
merasa sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu kesembuhan guru kita,
baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian.
Tapi cuma kuberi waktu satu bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus
sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"
"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!" menyahut
Shidarta dengan tundukkan wajahnya.
"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan.
Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak
tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau
akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pada setiap murid
yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah diberi wewenang untuk itu...!"
lanjut ucapan Nagasari memberi peringatan. Shidarta tak bisa berkata apa-apa
selain mengangguk.
"Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu
setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana,
Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu segera angkat
kaki bergegas meninggalkan tempat itu.
Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit.
Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat
larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan
membiarkan aku pergi begitu saja...!" Dugaannya benar. Ketika
membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok
tubuh. Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa.
Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau menembus
jantung. Bibirnya tampakkan senyum sinis.
Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja. Seperti tak merasa
terkejut. Karena justru hal inilah yang diinginkannya. Tetap melangkah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara
Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana..."
Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?" Shidarta pura-pura
bertanya. Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan
dihidung. Lalu menjawab.
"Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu
saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Biru yang patuh,
kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan
nyawamu...!" Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa hambar.
"Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan katakata itu. Karena aku
tahu siapa sebenarnya dirimu TALI WANGSA!
Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati
Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau
bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan
penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu
untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam.
Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau
ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari. Juga kau khawatir
aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada seorang
buronan macam kau" Justru aku amat penasaran untuk membekuk
mu. Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta
dengan lantang. Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini
yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya. Bahkan mau
merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki yang pernah diangkat saudara
oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak mengenai budi. Sudah sepatutnya
diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya.
"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cukup beralasan, Shidarta!
Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh
kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau
murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apaapa! Apakah kau
kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun
dia tahu siapa aku" Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami berdua telah
cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat
seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya secara diam-diam.
Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah
memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta
pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukatakan itu adalah
saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama
LODAYA SETA...!"
"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?"
membentak Shidarta dengan wajah merah padam.
"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman gurumu, alias Lodaya Seta
itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhianat" Karena harta Pusaka itu bisa


Roro Centil 28 Ular Betina Selat Madura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh ketanganku bila ayahku memaksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar
dibelakang Shidarta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri
tegak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman iblis!
"Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!" memaki
Shidarta dengan wajah berubah bringas. Dan... Srreek! Dia telah
mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang perak.
Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa
agar membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan kerajaan ini tarik
keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selendang sutera warna merah
dari balik pakaiannya...
*** TUJUH Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat miringkan kepalanya.
Karena hawa dingin membersit cepat sekali menebas batang leher dari belakang
disaat Shidarta membelakangi. Beguk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan
dengan pedang sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah dipersiapkan sejak
semula. Disamping nalurinya yang cukup peka. Akan
tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasana membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat. Selendang sutera merah
laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan
bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang
tombak. Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit lengan atau kaki
Shidarta. Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terkesiap. Karena tak
menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang
demikian hebat.
"Hahaha. . . Shidarta! lebih baik kau buang senjata kapakmu
yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!"
mengejek Tali Wangsa. Menggerung gusar Shidarta. Tiba-tiba dengan gerakan tak
terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos
diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah kesempatan dia
mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas
dan menangkis serangan lawan. Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksasana jejakkan
kaki! pemuda itu telah menghantam dadanya dengan
telak. BUK! Terhuyung laki-laki. Sementara Shidarta telah melompat berdiri.
"Jahanam keparat! kubunuh kau...!" membentak dahsyat Shidarta seraya diiringi
dengan sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara
berdesin membelah udara... Trang! Trang...! Sebat sekal Beguk Reksasana
menangkis dengan pedangnya. Ternyata dalam keadaan terhuyung demikian, tidak
membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^
untuk menangkis dengan cepat.
"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke
Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!" memaki Beguk Reksasana.
Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya yang bergulung-gulung
membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus berbahaya yang bakal dilancarkan
oleh Beguk Reksasana. Terperangah
oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena
sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk
Reksasana lenyap tak ketahuan.
TRRRAAANGNG...!
Satu benturan keras terdengar. Shidarta terkejut karena rasakan
kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya
telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara dibelakang leher yang
menimbulkan hawa dingin.
"Ah.!?" tersentak kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu
membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar
Ungu Beguk Reksasana. Akan tetapi terdengar suara tertawa mengikik
dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata
Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda
ini. Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersungkur dua-tiga
tombak ke depan.
"Bagus! Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menyeringai tertawa.
"Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari.
"Sekarang?" tanya Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!"
sahut Nagasari. Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha untuk bangkit.
Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah
membuat dia terluka dalam. Tampak darah menggelogok berkali-kali
dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup. Saat
mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah lakukan serangan
kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit untuk membelah batok kepala
Shidarta. Sedangkan selendang sutera
merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...
Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu.
Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa. Dan...
Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya.
Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat,
mendadak lenyap tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Sementara Nagasari
belalakkan mata terperangah. "Angin apakah yang lewat barusan?" desis Nagasari.
"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.
"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!" gumam Nagasari.
"Yaa...!"
keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar
tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta
lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menyadarkan.
"Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pusaka itu lebih
penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu
kita pikirkan...!"
"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin
itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.
"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan
pembicaraan Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin
meremang. Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh
seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Akan tetapi tentu saja
Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak
mengetahui. Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula.
Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya
Seta. LODAYA SETA adalah seorang laki-laki betampang gagah.
Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis racun, dia juga
pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak buruk. Dimasa muda Lodaya Seta
pernah diusir oleh mendiang gurunya
karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu
warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak diperkenankan
mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal kejadian itu
sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.
Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah menceritakan tentang bekas
saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Seta itu. Bahkan tak menyangka kalau
Lodaya Seta masih hidup.
Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang
Gerombolan Singa Gurun 1 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Pendekar Wanita Penyebar Bunga 6

Cari Blog Ini