Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Bagian 1
GEROMBOLAN SINGA
GURUN oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mcngcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Gerombolan Singa Gurun 128 hal. ; 12 x 18 cm.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Angin siang ini berhembus keras,
membawa udara panas dan debu. Memang, saat itu musim kemarau tengah melanda
sebagian belahan persada. Di sana-sini yang terlihat hanyalah kekeringan. Tanah
pecah berbongkah-bongkah. Pepohonan pun kering tak berseri.
"Uph!"
Seorang gadis cantik berpakaian putih buru-buru menutupkan sapu tangan ke wajah
untuk melindunginya dari sergapan angin yang membawa debu. Sejak tadi, sapu
tangan itu memang telah tergenggam di tangannya.
Gadis itu berwajah cantik jelita.
Kulitnya putih, halus, dan mulus. Paduan warna pakaiannya yang putih bersih
dengan rambutnya yang hitam panjang tergerai, terlihat sangat pas. Apalagi,
ditambah oleh wajahnya yang cantik. Bak bidadari dari kahyangan saja layaknya.
Masih dengan sapu tangan menutupi
wajah, gadis berpakaian putih itu melangkah memasuki tembok batas Desa Telaga
Sewu. Wajahnya tampak berseri-seri menandakan kegembiraan hatinya.
Hanya dalam beberapa langkah saja, gadis berpakaian putih itu telah melewati
tembok batas desa. Lalu, sepasang matanya beredar ke sekeliling. Tapi, yang terlihat hanya kesunyian
belaka. Sepi, seperti mati Agak berkerut sepasang alis yang
berbentuk indah itu ketika melihat keadaan sekitarnya. Tarikan wajah maupun
sorot matanya tampak menyiratkan keheranan. Entah, perasaan apa yang tengah
berkecamuk dalam benak gadis berpakaian putih ini.
Suasana di sekitar Desa Telaga Sewu memang mengherankan. Sejauh mata memandang,
yang terlihat hanya kesunyian.
Jalan utama desa pun tampak lengang.
Pintu dan jendela rumah-rumah penduduk pun tampak tertutup rapat. Sunyi sepi
seperti mati! "Apakah yang telah terjadi di desa ini?" tanya gadis itu dalam hati.
Usai berkata demikian, gadis itu
menotolkan kaki. Kelihatan pelan saja saat kakinya dijejakkan, tapi akibatnya
menakjubkan. Tubuhnya langsung melesat ke depan. Hanya dalam sekali langkah
saja, dia telah berjarak sepuluh tombak di depan. Jelas, kepandaiannya telah
cukup tinggi. Bagai orang tak waras, gadis
berpakaian putih itu terus saja berlari cepat. Padahal saat itu keadaan di
persada amat panas. Bahkan, matahari sudah berada di atas kepala. Kini yang
terlihat hanya sekelebatan bayangan putih
dalam bentuk tak jelas, melesat cepat menuju lambung Desa Telaga Sewu.
Entah sudah berapa jauh berlari,
gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak mempedulikannya. Terus saja berlari
disertai pengerahan
seluruh kemampuan
yang dimiliki. Gadis berpakaian putih itu baru
memperlambat lari ketika melihat sebuah bangunan yang terkurung pagar tembok.
Dan ketika tepat di depan pintu gerbang, langkahnya dihentikan.
"Hhh!"
Hembusan napas berat terdengar dari mulut gadis itu. Entah, apa maksudnya.
Hanya dia sendiri yang tahu. Yang jelas, sepasang matanya tertuju ke bagian
dalam, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Tapi hanya sesaat saja hal itu
dilakukan, kemudian kakinya sudah
melangkah memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar. Tanpa suara, kedua kakinya
bergerak melangkah di halaman yang cukup luas.
"Hm...!"
Gadis berpakaian putih berguman tidak jelas ketika melihat suasana sekitar
halaman yang tampak kumuh, kotor, dan tidak terurus. Dedaunan berserakan di sana
sini. Ranting-ranting kering juga memenuhi tempat ini
Sambil memperhatikan keadaan sekitarnya, gadis berpakaian putih itu terus saja melangkah menuju ke arah bangunan
yang tampak cukup megah. Kini, jaraknya tak sampai lima tombak dengan bangunan
itu. Hanya dalam beberapa kali langkah, gadis berpakaian putih itu telah berada
sekitar tiga tindak lagi dari pintu bangunan.
Namun, tiba-tiba langkahnya
dihentikan. Sepasang matanya menatap ke bagian dalam bangunan disertai sorot
kecurigaan. Mendadak....
"Keluar, Tikus-tikus Busuk!"
Pada saat yang bersamaan dengan
keluarnya makian, kaki kanan gadis itu bergerak menendang dinding batu di
sebelah kanan pintu.
Brakkk...!"
"Akh...!"
Suara gemuruh hancurnya dinding batu bangunan, diselingi suara jerit kesakitan
langsung terdengar. Tampaknya, di balik dinding dekat pintu ada orang yang
bersiap membokong.
"Hih!"
Gadis berpakaian putih tidak tinggal diam. Begitu dinding batu hancur
berantakan, dia melompat ke belakang. Hal itu dilakukan untuk berjaga-jaga
terhadap kejadian yang tidak diinginkan.
Dugaan gadis berpakaian putih itu
ternyata tidak meleset! Dari dalam
bangunan, meluruk tiga orang la-ki-laki berwajah kasar. Mereka mengenakan rompi
coklat, dengan bahan yang sama membelit pergelangan tangan.
"Siapa kalian"! Mengapa berada di rumahku?" tanya gadis berpakaian putih, keras.
"Ha ha ha...!"
Tiga orang berompi coklat itu tertawa bergelak.
"Tidak usah berpura-pura lupa pada kami, Wanita Liar?" sergah seorang yang
mempunyai rajahan bergambar kepala seekor harimau di lengan atas bagian kanan.
"Tidak usah berbasa-basi lagi padanya, Dipa!" tegur rekannya yang wajahnya
berbentuk persegi.
"Ucapan Rodra benar! Wanita liar itu telah terlalu banyak membuat kesulitan pada
kita! Telah banyak waktu terbuang hanya untuk mengejarnya. Kalau tidak atas
perintah Ketua, sudah kubunuh dia!
Apalagi, sekarang dia telah menewaskan dua orang kawan kita lagi!" dukung yang
lainnya, yang memiliki cambang bauk lebat.
Laki-laki yang lengan kanannya
dirajah, dan ternyata bernama Dipa itu terdiam. Sama sekali tidak dibantahnya
ucapan kedua orang rekannya. Disadari, ada kebenaran yang tidak bisa disangkal
dalam ucapan mereka berdua.
*** "Haaat...!
Laki-laki yang bercambang bauk tidak bisa menahan diri lagi. Diiringi teriakan
keras menggelegar, diterjangnya gadis berpakaian putih itu. Kedua tangannya
diluncurkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawan.
Wut, wut, wut! Deru angin yang cukup kuat mengiringi tibanya serangan laki-laki bercambang bauk
itu. "Hmh!"
Gadis berpakaian putih itu mendengus melihat serangan lawannya. Jelas,
sikapnya tampak memandang rendah terhadap serangan laki-laki bercambang bauk
itu. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mengelak atau menangkis.
Sepertinya, ingin dibiarkan saja
serangan-serangan itu mengenai sasaran.
Tapi, ternyata tidak demikian.
Rupanya, gadis berpakaian putih itu tidak berdiam diri melihat serangan-serangan
yang tertuju ke arahnya. Ketika pukulan-pukulan laki-laki bercambang bauk itu
hampir mengenai sasaran, tangan kanannya cepat bergerak.
Prattt! "Akh...!"
Tappp! Kejadiannya berlangsung demikian
cepat. Serangan-serangan laki-laki bercambang bauk itu berhasil dimentahkan oleh
gadis berpakaian putih dengan kibas-an tangan kanannya.
Kibasan yang pertama membuat lakilaki bercambang bauk
itu menjerit kesakitan. Tangan kirinya seperti berbenturan dengan logam keras saja layaknya.
Sakitnya bukan kepalang, sehingga dari mulutnya keluar jeritan kesakitan. Dan
sebelum sempat berbuat sesuatu, tangan kanannya telah tercekal tangan kanan
gadis berpakaian putih itu.
Begitu tangan laki-laki bercambang bauk ini tercekal, gadis berpakaian putih itu
bergegas mengerahkan tenaga untuk meremasnya.
"Aaakh...!"
Laki-laki bercambang bauk itu kontan memekik kesakitan. Tangannya seolah-olah
seperti tergencet jepitan baja. Rasanya, tulang-tulang tangan yang terjepit
seperti hancur berantakan. Bahkan sakit-nya sampai menembus tulang sumsum.
"Cepat jawab pertanyaanku kalau tidak ingin kuhancurkan tulang-tulangmu! Siapa
kalian"! Dan mengapa berada di rumahku"
Cepat katakan!" dengus gadis berpakaian putih itu seraya menambahkan pengerahan
tenaga dalamnya pada tangan yang
mencekal. "Ah-ah uh-uh...!"
Laki-laki bercambang bauk itu menjerit-jerit kesakitan. Keringat sebesar-besar biji jagung bermunculan di
wajahnya. Jelas, dia tengah dilanda kesakitan yang hebat. Seringai yang muncul
di wajah semakin menampakkan rasa sakit yang diderita.
Tapi sebelum laki-laki bercambang
bauk itu menjawab pertanyaan gadis berpakaian putih. Dua orang rekannya, yang
bernama Dipa dan Rodra telah lebih dulu melompat menerjang.
Srattt! Wukkk, wukkk!
Ketika tengah berada di udara, Dipa dan Rodra mencabut senjata masing-masing.
Dipa menghunus pedangnya. Sedangkan Rodra mengeluarkan kapaknya. Dan dengan
senjata andalan masing-masing di tangan, mereka melancarkan serangan dahsyat
pada gadis berpakaian putih itu.
Rodra melompat tinggi ke atas
melewati kepala rekannya yang tangannya tengah tercekal tangan gadis berpakaian
putih. Malah kepala gadis berpakaian putih pun dilewatinya juga. Baru ketika
telah berada di atas kepala gadis itu, tubuhnya cepat berputar. Lalu, sepasang
kapaknya dikibaskan ke arah belakang kepala lawannya.
Wukkk! Pada saat yang bersamaan, dari
sebelah kanan, Dipa melesat. Pedang di tangan kanannya diluncurkan cepat ke arah
rusuk kanan gadis berpakaian putih.
Singgg! Lagi-lagi, gadis berpakaian putih itu hanya mendengus melihat serangan-serangan
yang mengancam nyawanya. Kemudian dengan sebuah perhitungan yang luar biasa
tubuh laki-laki bercambang bauk itu didorong ke kanan sambil merendahkan
tubuhnya. Wusss! Cappp! "Aaakh...!"
Berbarengan dengan lewatnya babatan kapak Rodra di atas kepala gadis
berpakaian putih, pedang di tangan Dipa menghunjam punggung laki-laki bercambang
bauk hingga tembus ke punggung. Lolong kesakitan terdengar seiring bermuncratannya darah dari bagian tubuh yang
tertembus pedang.
Jliggg! Seiring hinggapnya kedua kaki Rodra di tanah, Dipa mencabut pedang yang menembus
punggung rekannya. Wajah Dipa kontan berubah pucat. Memang sama sekali tidak
disangka akan terjadi hal seperti itu. Sepasang mata Dipa terbelalak lebar.
Bahkan mulutnya ternganga ketika melihat tubuh laki-laki bercambang bauk itu
ambruk di tanah.
"Keparat!" maki Dipa keras.
Laki-laki yang mempunyai rajah di
pangkal lengan ini tampak marah bukan kepalang. Wajahnya kini jadi merah padam.
Sepasang matanya pun menyorotkan
kebencian dan dendam.
"Kubunuh kau...!" teriak Dipa bergetar penuh kemarahan.
Seiring selesai ucapan itu, Dipa
melompat menerjang. Pedang di tangannya diluncurkan cepat ke arah leher gadis
berpakaian putih. Tapi....
"Tahan, Dipa!"
Laki-laki yang mempunyai rajahan di pangkal lengan ini menghentikan gerakan.
Dipandanginya wajah Rodra yang tengah bergerak menghampiri. Memang, Rodralah
yang tadi mengeluarkan cegahan itu.
Sedangkan gadis berpakaian putih itu tampak masih bersikap tenang. Sama sekali
kesempatan itu tidak dipergunakan untuk melancarkan serangan. Bahkan hanya
memperhatikan saja ketika Rodra
menghampiri Dipa.
Sementara itu, hanya dalam beberapa langkah saja, Rodra telah berada di dekat
Dipa. "Mengapa kau mencegah tindakanku, Rodra?" tanya Dipa, tak sabar.
Ada nada penasaran yang amat sangat dalam ucapan laki-laki berajah kepala
harimau di pangkal lengan itu. Bahkan pertanyaan itu diutarakan di saat
rekannya tengah mengayunkan langkah.
Sementara itu Rodra tidak langsung menjawab, dan terus saja melangkah. Rupanya,
dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu sebelum tiba di dekat Dipa.
"Tahan amarahmu sebentar, Dipa. Aku merasa curiga pada gadis ini," bisik Rodra,
di dekat telinga Dipa.
Sambil berkata demikian, Rodra
mengerling ke arah tempat gadis berpakaian putih itu. Dia khawatir, kalau-kalau
gadis itu mendengarkan ucapannya.
Dan hatinya terasa lega ketika tidak melihat tanda-tanda hal yang mencemaskan.
Gadis berpakaian putih itu sepertinya tidak mempedulikan mereka sama sekali.
Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau tengah berusaha mendengarkan pembicaraan.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Rodra," Dipa balas berbisik seraya
mengalihkan pandangan ke arah gadis berpakaian putih pula.
"Kurasa dia bukan Mawar," semakin pelan ucapan laki-laki berwajah persegi itu.
Wajah Dipa kontan berubah. Rupanya, ucapan Rodra bisa diterima akal sehatnya.
Terbukti, dahinya kontan berkernyit dalam. Malah sekarang, sepasang matanya
menatap gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh selidik.
"Rasanya, ucapanmu benar, Rodra.
Tapi, dari mana kau bisa mengambil
kesimpulan seperti itu?" tanya Dipa setelah memperhatikan gadis berpakaian putih
itu beberapa saat Namun demikian tetap pelan ucapan yang dikeluarkan.
"Tidakkah kau perhatikan kepandaiannya" Aku tahu betul, Mawar tidak mungkin
mampu menewaskan rekan kita demikian mudah," jawab Rodra, berbisik. "Hal kedua
adalah, warna pakaian yang dikenakannya.
Dan yang ketiga, ucapan pertama kali yang dikeluarkan sewaktu pertama kali
melihat kita. Tidakkah hal itu menjadi bukti kalau dia bukan Mawar?"
Sepasang alis Dipa berkerut dalam.
Tampaknya dia tengah berpikir keras.
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau dugaanmu benar, lalu siapa gadis ini?" tanya Dipa.
"Mana kutahu"!" Rodra mengangkat bahu. "Siapa tahu dia saudaranya, atau
temannya. Atau...."
"Dugaanmu tidak salah, Rodra. Aku adalah saudara kembar Mawar," jelas gadis
berpakaian putih itu.
"Hehhh..."!"
Hampir berbareng, Dipa dan Rodra
terperanjat. Tarikan wajah mereka
memancarkan keterkejutan yang amat sangat ketika menatap ke arah gadis
berpakaian putih itu. Ucapan itulah yang membuat mereka merasa kaget, karena
mengandung pengertian kalau gadis berpakaian putih itu mendengar pembicaraan
mereka. Pada- hal, jelas-jelas gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak ambil peduli.
Tapi, mengapa bisa mengetahui hal yang tengah dibicarakan"
Dipa dan Rodra sama sekali tak tahu kalau tanpa melihat, gadis berpakaian putih
bisa mengetahui hal yang tengah dibicarakan. Memang, tingkat kepandaiannya amat
tinggi, sehingga pendengarannya amat tajam. Tak aneh kalau bisik kedua orang
terdengar. "Mengapa kalian berdua malah
bengong"! Cepat katakan, siapa kalian"!
Mengapa berada di rumahku"! Dan apa yang telah kalian perbuat pada ibu dan
saudaraku"!" sambung gadis berpakaian putih itu lagi.
Tak terlihat lagi sikap tak acuh pada gadis berpakaian putih itu. Yang tampak
hanyalah ketegasan! Raut wajahnya
menyiratkan kesungguhan ketika mengajukan pertanyaan tadi. Bahkan ada sorot
penuh ancaman pada sepasang mata yang bening dan indah itu.
Dipa dan Rodra saling berpandangan.
Tapi hanya sebentar saja, karena....
"Haaat...!"
"Hiyaaat...!"
Jawaban bagi pertanyaan gadis
berpakaian putih adalah teriakan-teriakan melengking nyaring Dipa dan Rodra.
Sesaat kemudian, pedang dan kapak di tangan
mereka telah meluncur ke arah gadis berpakaian putih itu.
Singgg! Pedang di tangan Dipa membabat ke
arah leher gadis berpakaian putih dengan gerakan mendatar. Laki-laki berajah
kepala harimau ini pada pangkal lengan kanan itu menyerbu dari sebelah kiri
lawannya. Wuk, wuk! Rodra menyerang dari sebelah kanan gadis berpakaian putih. Sepasang kapaknya
diputar-putarkan dengan bertumpu pada pergelangan tangan. Kemudian, senjata itu
dibabatkan ke arah dada dan rusuk
lawannya. Dalam serangan ini, Rodra
memusatkan kekuatan pada pinggang kanan.
Dan untuk melakukannya, laki-laki
berwajah persegi ini menggeliatkan tubuhnya.
2 Gadis yang mengaku saudara kembar
orang bernama Mawar itu tetap bersikap tenang melihat ancaman maut yang tengah
meluruk ke arahnya. Tidak nampak adanya tanda-tanda gerakan yang akan dilakukan.
Dan.... Takkk! Bukkk, bukkk!
Dalam waktu yang hampir bersamaan, pedang dan kapak itu mengenai sasaran
masing-masing. Namun akibatnya, justru Dipa dan Rodra yang tersentak kaget.
Senjata-senjata mereka seakan-akan bukan membentur tubuh manusia, melainkan
gumpa-lan karet keras. Sehingga, membuat senjata-senjata itu terpental balik.
Malah kedua tangan yang menggenggam senjata terasa bergetar hebat hampir lumpuh!
Sedangkan tubuh gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak menampakkan
pengaruh apa-apa. Jangankan terluka, tergores pun tidak!
Dipa dan Rodra saling berpandangan.
Tarikan wajah mereka menampakkan keterkejutan dan ketidakpercayaan. Memang, sama
sekali tidak disangka kalau hal seperti itu akan terjadi. Untuk sesaat lamanya
kedua orang berompi coklat ini sama-sama tertegun dengan raut wajah dicekam
kebingungan. "Hmh...!"
Gadis berpakaian putih mendengus
melihat kelakuan Dipa dan Rodra, namun tetap diam saja di tempatnya. Sama sekali
kesempatan itu tidak dipergunakannya untuk melancarkan serangan pada kedua
lawan. Sikapnya menunjukkan kalau gadis berpakaian putih itu tidak menganggap
Dipa dan Rodra sebagai lawan yang patut diperhitungkan.
Sementara itu dengusan tadi membuat Dipa dan Rodra sadar kembali. Maka,
mereka langsung melancarkan serangan kembali.
Teriakan-teriakan keras dari mulut mereka, dan desing senjata merobek udara
mengiringi tibanya serangan-serangan.
Sekarang, gadis berpakaian putih itu tidak tinggal diam. Meskipun tanpa bergeser
dari tempatnya, tapi serangan-serangan yang meluncur ke arahnya segera dipapak.
Kedua tangannya yang berkulit putih, halus, dan mulus itu bergerak cepat menahan
gempuran lawan.
Cepat bukan kepalang gerakan tangan gadis berpakaian putih itu. Dan yang
terlihat hanya seleret sinar berwarna putih yang tidak jelas bentuknya. Tapi,
tahu-tahu... Takkk, takkk! "Aaakh...! Akh...!"
Dipa dan Rodra sama-sama menjerit
tertahan ketika tangan gadis berpakaian putih itu menghantam pergelangan tangan
mereka yang memegang senjata. Kedua orang itu sama sekali tidak tahu, mengapa
hal seperti itu sampai terjadi. Padahal, bukanlah senjata di tangan mereka yang
tengah meluncur lebih dahulu"
Tanpa dapat dicegah lagi, pedang dan sepasang kapak itu pun terlepas dari
pegangan dan jatuh ke tanah. Betapa tidak" Tangan yang terbentur tangan gadis
berpakaian putih seakan-akan telah beradu
dengan logam keras.
Dan sebelum mereka sempat berbuat
sesuatu, tangan gadis berpakaian putih itu kembali bergerak cepat seperti
semula. Hanya saja, kali ini meluncur ke arah dada.
Dipa dan Rodra mengetahui akan
ancaman yang tengah menuju ke arah mereka. Dengan susah payah, serangan itu
dielakkan. Tapi....
Plakkk, plakkk!
Tubuh Dipa dan Rodra sama-sama
terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau. Dada mereka terasa sesak bukan
kepalang. Bahkan untuk beberapa saat lamanya, Dipa dan Rodra sama-sama
mengalami kesulitan bernapas! Padahal, tangan gadis berpakaian putih itu hanya
menepuk perlahan saja, dan seperti tanpa pengerahan tenaga dalam! Bisa
diperkirakan akibatnya apabila dilakukan dengan sekuat tenaga.
"Hih...!"
Gadis berpakaian putih menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat ke
arah tubuh Dipa dan Rodra yang tengah terhuyung. Lalu, kaki yang mungil
bentuknya itu bergerak mengait.
Prattt, prattt!
Brukkk, brukkk!
Dipa dan Rodra sama-sama terjengkang di tanah dan jatuh bergulingan.
Patut dipuji kekerasan hati kedua
orang berompi coklat itu. Meskipun telah dibuat tak berdaya dalam segebrakan,
mereka tetap tidak sudi menyerah.
Buktinya, mereka masih berusaha bangkit berdiri.
Tapi sebelum maksud itu terlaksana, kembali gadis berpakaian putih itu telah
lebih dulu bertindak. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, dan....
"Hup!"
Masing-masing kaki gadis itu hinggap di atas perut lawan-lawannya. Memang, kedua
orang itu tergeletak di tanah secara berdekatan. Meskipun demikian, tak urung
gadis berpakaian putih berdiri dengan kaki terpentang lebar.
Dipa dan Rodra tidak bisa berkutik lagi. Dada mereka terasa sesak bukan main.
Seakan-akan bukan kaki
seorang gadis cantik yang berada di atas mereka, melainkan kaki seekor gajah!
"Apakah kalian berdua masih keras kepala untuk tidak menjawab pertanyaan ku"!"
tanya gadis berpakaian putih itu sambil menambahkan pengerahan tenaga dalam pada
kedua kakinya. Hasilnya, siksaan yang melanda Dipa dan Rodra pun semakin menghebat Perasaan
sesak yang mendera dada semakin menjadi-jadi. Tidak hanya itu saja. Butir-butir
keringat sebesar biji jagung pun
bermunculan di selebar wajah mereka.
Dipa dan Rodra menatap gadis
berpakaian putih yang memandangi wajah mereka berdua berganti-ganti. Dalam sinar
mata kedua orang itu, sama sekali tidak terlihat adanya sorot kegentaran.
Gadis berpakaian putih itu merasa
penasaran bukan kepalang melihat
tanggapan kedua orang laki-laki berompi coklat Mereka terus saja memandanginya
dengan mulut terkatup rapat.
Tapi sesaat kemudian, gadis itu
terkejut bukan kepalang. Tampak ada cairan berwarna kekuningan keluar dari
sudut-sudut mulut mereka. Perasaan kaget kontan membuat gadis berpakaian putih
itu melompat mundur.
Jliggg! Begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, langsung dihampirinya tubuh Dipa dan Rodra. Ingin diketahuinya, apa
sebenarnya cairan kuning itu.
Tapi baru saja gadis berpakaian putih itu akan membungkukkan tubuh, kepala Dipa
dan Rodra telah terkulai. Karuan saja hal itu membuat si gadis terkejut bukan
kepalang. Agak bergegas tubuhnya
dibungkukkan, kemudian diperiksanya tubuh kedua orang itu.
Gadis berpakaian putih itu ternyata memiliki sikap waspada. Buktinya sewaktu
memeriksa tubuh dua orang berompi coklat
itu, dia tidak berani sembarangan
menyentuh. Diperhatikannya dada dan denyut jantung mereka itu beberapa taat
lamanya. Hanya dengan cara demikian gadis
berpakaian putih itu mampu mengetahui kalau Dipa dan Rodra telah tewas. Sambil
menghela napas panjang, tubuhnya
ditegakkan kembali. Kedua orang berompi coklat itu ternyata benar-benar telah
tewas karena racun. Bisa diduga kalau racun itu terselip di dalam mulut. Entah
di mana diletakkannya, dan bagaimana bentuknya, dia tidak tahu. Yang jelas,
apabila dalam keadaan terancam, mereka bisa bunuh diri dengan menelan racun
tanpa diduga. Benar-benar luar biasa!
Gadis berpakaian putih itu termenung melihat kenyataan yang dihadapi. Sama
sekali tidak disangka kalau kenyataannya akan seperti ini. Tapi, segera
dilupakannya masalah itu. Masih ada hal lain yang lebih perlu dipikirkan, yakni
persoalan mengenai ibu dan saudaranya.
Maka, gadis berpakaian putih itu melesat cepat ke arah bangunan di depannya.
Kali ini gadis itu tidak berhenti lagi di depan pintu seperti sebelumnya, karena
yakin sudah tidak ada orang yang tengah bersiap untuk membokongnya. Tadi, dia
tahu ada orang yang bersembunyi di depan, pintu ketika mendengar desah napas
orang itu. Langkah gadis berpakaian putih itu terhenti ketika melihat pemandangan yang
terpampang di bawah kakinya. Sesosok tubuh mengenakan rompi coklat tampak
tergeletak. Genangan darah tampak di sekitar tubuhnya, berdekatan dengan
reruntuhan puing-puing dinding batu.
Rupanya, dialah pengintai yang sial tadi.
Dia tewas dengan dada pecah terkena tendangan gadis berpakaian putih tadi.
Tapi hanya sebentar saja gadis
berpakaian putih itu menghentikan
langkah, kemudian kembali melangkah menuju ke dalam!
"Ibuuu...! Mawaaar...! Ini aku Melati...! Keluarlah kalian...!"
Sambil melangkah, gadis berpakaian putih yang ternyata tidak lain dari Melati,
putri angkat Raja Bojong Gading itu berteriak. Dan tidak aneh kalau ketiga
lawannya dengan mudah dapat ditanggulangi. Karena memang, Melati memiliki
kepandaian amat tinggi. Bahkan dulu pernah dijuluki Dewi Penyebar Laut.
Tidak hanya sekali saja Melati
memanggil-manggil ibu dan saudaranya, tapi berkali-kali. Setiap panggilannya
dikeluarkan mempergunakan pengerahan tenaga dalam. Sehingga membuat suara itu
terdengar keras. Apalagi diucapkan di dalam sebuah bangunan besar, sehingga
semakin nyata kedengarannya.
Tapi sampai lelah Melati memanggil-manggil, tidak juga terdengar adanya sahutan
sepotong pun. Hasil yang sama diperoleh dari pencarian yang dilakukan.
Semua tempat sunyi sepi, tidak terlihat sepotong pun orang di sana. Ruangan,
setiap ruangan yang dimasuki hanya menampakkan kesunyian.
"Hhh...!"
Melati menghembuskan napas kesal
ketika melihat ruangan terakhir yang dimasukinya juga kosong. Sarang laba-laba
yang tampak di sudut-sudut ruangan. Debu dan kotoran yang melapisi perabotan
yang ada di situ menjadi pertanda kalau ruangan ini sudah lama tidak diurus
lagi. Brukkk! Melati menghempaskan pantatnya di
kursi luar kamar. Menilik dari sepasang matanya yang menatap tajam pada satu
titik, bisa diperkirakan kalau dia tengah melamun. Memang, gadis berpakaian
putih ini tengah memikirkan ke mana perginya ibu dan saudaranya. Tapi sampai
lelah berpikir, tidak juga menemukan
jawabannya. "Kalau saja Kang Arya ada di sini, pasti bisa memecahkan masalah ini," gumam
Melati penuh sesal.
Teringat akan Arya yang berjuluk Dewa Arak timbul perasaan rindu di hati
Melati. Sudah cukup lama dia tidak bertemu pemuda berambut putih keperakan itu.
Seorang pemuda tampan dan jantan.
Sikapnya tenang. Penuh percaya akan kemampuan sendiri.
Tanpa sadar, Melati tersenyum sendiri ketika mengingat pengalaman-pengalamannya
bersama Arya. Terutama, pengalaman yang lucu-lucu.
Tiba-tiba wajah Melati berubah cerah ketika teringat akan nasihat Arya
padanya. Pemuda berambut putih keperakan itu pernah memberi nasihat padanya,
apabila menghadapi sebuah persoalan, harus bersikap tenang. Kemudian, harus
dicari hubungan demi hubungan dari persoalan itu. Lalu, korek melalui keterangan
yang telah berhasil didapat.
Plakkk! Melati menepak dahinya pelan.
"Mengapa aku begitu bodoh"!" maki gadis berpakaian putih itu dalam hati.
"Mengapa sampai bisa terlupakan nasihat yang amat berharga itu"!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Melati lalu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
Beberapa kali hal itu dilakukannya, hingga tenang.
Baru setelah pikirannya tenang,
Melati mulai menghubung-hubungkan perma-salahan. Dan seperti nasihat Arya,
keterangan-keterangan yang telah didapat
mulai dihubung-hubungkannya.
Cukup lama juga Melati termenung,
sebelum akhirnya berhasil menarik
kesimpulan dari kejadian-kejadian yang dialami. Sesaat kemudian, gadis
berpakaian putih itu telah melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
*** Ctar, ctarrr...! Hiyaaa...!
Hiyaaa...! Suara lecutan cambuk bertubi-tubi
menghantam bagian belakang tubuh dua ekor kuda, bercampur teriakan keras sang
Kusir, yang menyentakkan suasana siang nan terik. Itu pun masih ditambah lagi
suara tapak kaki-kaki kuda menghantam tanah, dan gerit roda kereta menggilas
jalan. Saat ini tampak sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda tengah melaju cepat
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki tembok batas Desa Watu. Kusirnya yang seorang pemuda berpakaian indah
tak henti-hentinya menyabetkan cambuk ke arah bagian belakang tubuh kudanya.
Jelas, binatang-binatang itu dipaksa berlari lebih cepat lagi. Debu pun mengepul
tinggi ke udara.
Kereta kuda itu terus melaju cepat sekalipun telah memasuki desa. Sedikit pun
tidak mengurangi kecepatannya. Sesaat
kemudian rumah-rumah penduduk pun mulai tampak. Dan hampir semua rumah pintunya
terbuka, yang kemudian disusul dengan bergerombolannya para penghuni di ambang
pintu. Wajah-wajah mereka terarah ke
kedatangan kereta kuda itu. Jelas, suara riuh rendah yang ditimbulkan kereta itu
yang menjadi penyebab keluarnya para penduduk Desa Watu dari rumah masingmasing. Tidak hanya itu saja. Di tangan
masing-masing penduduk juga sudah
tergenggam senjata, walaupun tidak seragam. Memang, mereka adalah penduduk desa
yang hidup dari sawah, ladang, dan ternak. Maka senjata-senjata yang dibawa pun
hanya alat kerja mereka. Bahkan ada pula yang membawa kayu atau bambu sebesar
pergelangan kaki!
Menilik dari persiapan yang
dilakukan, bisa diketahui kalau para penduduk Desa Watu telah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
Keramaian para penduduk desa
berkumpul di depan pintu rumah masing-masing, rupanya sama sekali tidak
digubris kusir kereta kuda. Terbukti, cambuknya terus saja dilecutkan ke arah
binatang-binatang tunggangannya, sambil tak henti-hentinya berteriak.
Brakkk, brakkk!
Diiringi suara hiruk pikuk, empat
buah pintu kereta yang terletak di samping kiri dan kanan hancur be
rantakan. Dan dari dalam kereta, melesat keluar beberapa sosok tubuh. Gila!
Dalam keadaan kuda berlari cepat, orang-orang itu berani melompat keluar. Bisa
diperkirakan kalau sosok-sosok tubuh itu bukan orang sembarangan.
Sementara itu, sang Kusir tetap saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Seakan-akan dia tidak tahu kalau dari dalam kereta melesat keluar pintu kanan
dan kiri beberapa sosok tubuh dengan lompatan harimau.
"Hup!"
Dengan bertumpu pada kedua tangan di tanah, sosok-sosok tubuh itu mengguling-kan
tubuhnya di tanah. Beberapa kali mereka bergulingan, dan sebelum akhirnya
bangkit. Lalu, mereka bergerak cepat menghampiri para penduduk.
"Gerombolan Singa Gurun...," desis salah seorang penduduk yang berkumis tebal.
Ada nada keterkejutan dan kegentaran yang amat sangat dalam ucapan laki-laki
berkumis tebal itu. Memang, dia telah mendengar tentang Gerombolan Singa Gurun,
sebuah gerombolan yang penuh teka-teki.
Pimpinannya saja tidak jelas. Hanya
anggota-anggotanya saja yang dikenal orang, karena pakaiannya khas. Rompi
coklat. Yang membuat Gerombolan Singa Gurun ini di-takuti adalah tindakan-tindakan nya.
Setiap kali datang, pasti membawa korban. Orang-orang muda dan tua
diangkut. Tak pernah diketahui, untuk apa hal itu dilakukan! Karena memang,
tidak pernah ada orang yang berhasil mengung-kapkannya.
Sementara itu dua sosok tubuh berompi coklat sama sekali tidak menyambuti ucapan
penduduk berkumis tebal tadi.
Tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun, mereka segera meluruk ke arah para
penduduk. Hal yang sama pun dilakukan dua anggota Gerombolan Singa Gurun yang
melesat ke arah yang berbeda. Jelas, gerombolan itu telah merencanakan hal ini.
Dan itu bisa dilihat dari cara kerja mereka yang teratur.
Mendapat serangan seperti itu, tentu saja para penduduk Desa Watu tidak tinggal
diam. Para kepala keluarga dan anak laki-laki yang telah cukup dewasa segera
maju menyambut. Sedangkan wanita dan anak-anak diperintah menyelamatkan diri.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Orang-orang dewasa dan kepala
keluarga yang bertubuh kuat melakukan perlawanan sekuat tenaga. Senjata-senjata
yang digenggam, dikelebatkan
ke sana kemari dengan penuh semangat.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya yang
dipukul salah seorang penduduk wanita seketika menggema. Sesaat kemudian, bunyi
tanda bahaya itu disambut para penduduk yang tinggal lebih di dalam. Demikian
seterusnya. Maka, tidak aneh kalau dalam sekejap saja bunyi kentongan tanda
bahaya menggema di seluruh pelosok desa.
Karuan saja, bunyi tanda bahaya itu membuat para penduduk Desa Watu keluar dari
rumah masing-masing sambil membawa senjata. Para penduduk
yang merasa dirinya laki-laki dan dewasa, tidak ada yang berpangku tangan. Mereka dengan
sigap membantu yang lain untuk menghadapi Gerombolan Singa Gurun
"Dari mana suara kentongan itu berasal, Gulata?" tanya seorang laki-laki
berpakaian putih yang mempunyai sikap penuh wibawa. Usianya tak lebih dari empat
puluh lima tahun. Dialah Kepala Desa Watu, Ki Tiraga namanya.
Di sebelah Ki Tiraga, berdiri seorang laki-laki berusia empat puluhan. Tubuhnya
tegap kekar dan berkumis melintang.
Pakaiannya yang serba hitam, semakin menambah keangkerannya. Dialah guru silat
Desa Watu dan bernama Wagul.
Sementara, di belakang kedua orang itu bergerombol puluhan penduduk desa.
"Arahnya dari mulut desa, Ki," jawab Gulata.
"Kalau begitu, mari kita ke sana,"
ajak Ki Tiraga, cepat sambil melangkah menuju mulut desa.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
para penduduk Desa Watu melangkah
mengikuti. Termasuk, di antara mereka, adalah Wagul dan Gulata.
Tapi baru beberapa tindak melangkah, di kejauhan bergerak cepat mendatangi
sebuah kereta kuda dengan kecepatan tinggi.
Ki Tiraga menghentikan langkah sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Maka
rombongan yang dipimpinnya pun menghentikan
langkah pula. Kemudian, Wagul
segera melangkah maju dan berdiri di sebelah Ki Tiraga.
"Hati-hati,
Tiraga. Aku khawatir,
kereta kuda inilah bahaya yang dimaksud para penduduk di mulut desa," ujar Wagul
bernada menasehati.
Ki Tiraga menganggukkan kepala.
"Bagaimana kalau kita beri peringatan dulu, Tiraga. Kalau mereka tidak mengindahkan, baru kita serang. Ini lebih baik daripada mereka yang mendekati kita.
Karena, akibatnya akan berbahaya," Wagul kembali memberi saran.
"Kau benar, Wagul. Lakukanlah," ujar Ki Tiraga.
3 Wagul terdiam sejenak. Lalu....
"Hoy...! Orang-orang yang di kereta.
Cepat hentikan perjalanan, kalau
tidak..., kalian akan kami serang!"
Keras bukan kepalang teriakan Wagul.
Gemanya terdengar hingga sampai ke tempat yang cukup jauh. Guru silat Desa Watu
ini memang mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya sewaktu berteriak.
Ki Tariga, Wagul, dan seluruh
penduduk Desa Watu menunggu hasil
peringatan itu dengan hati berdebar tegang. Tanpa disadari jantung mereka pun
berdetak jauh lebih cepat. Wajah dan sepasang mata mereka tertuju ke arah kereta
kuda yang tengah melaju.
"Hhh...!"
Hembusan napas bernada kelegaan
keluar dari mulut Ki Tariga, Wagul, dan seluruh penduduk Desa Watu. Ternyata,
kereta kuda itu mau juga memenuhi
permintaan. Tampak sang Kusir tengah menarik tali kekang kudanya, sehingga
kereta kuda itu pun berhenti.
Ki Tariga dan Wagul saling pandang.
"Mari kita hampiri dan menanyakan, apa maksudnya melarikan kereta seperti itu."
Usai berkata demikian, Ki Tariga
menghampiri kereta kuda yang berada
sekitar tujuh tombak di depan. Wagul dan para penduduk Desa Watu pun mengikuti
di belakang. Selangkah demi selangkah, jarak
antara rombongan Ki Tariga dan kereta kuda semakin dekat. Pandangan mata mereka
semua tertuju pada sang Kusir yang tetap duduk di kursinya, acuh tak acuh.
"Hati-hati, Ki Tariga," bisik Wagul di telinga Kepala Desa Watu, tanpa
menghentikan langkah. "Aku merasa curiga melihat tindak-tanduknya...."
Ki Tariga sama sekali tidak memberi jawaban. Mengangguk pun tidak. Yang
dilakukannya hanya mengangkat kedua buah alisnya. Tapi, hal itu sudah dianggap
cukup oleh Wagul.
Srattt, srattt!
Sinar terang berkeredep ketika Ki
Tariga dan Wagul mencabut senjata masing-masing. Memang, jarak antara mereka
sudah hampir tinggal satu tombak. Itulah sebabnya, kedua orang tetua Desa Watu
itu mencabut senjata. Tampaknya, mereka juga menjaga diri.
Melihat hal ini, para penduduk Desa Watu menghunus senjata masing-masing.
Berbeda dengan Ki Tariga dan Wagul yang mempunyai senjata berupa pedang dan
golok besar, mereka mempergunakan senjata beraneka ragam. Sebagian besar berupa
arit atau clurit. Hanya sebagian kecil
yang menggunakan golok. Bahkan ada yang mempergunakan cangkul, maupun potongan
bambu atau kayu sebesar pergelangan tangan.
Dengan senjata-senjata tergenggam di tangan, rombongan Desa Watu yang dipimpin
Wagul dan Ki Tariga bergegas terus
melangkah mendekat. Mendadak....
Siut, siut, siuuut..!
Beberapa buah benda bulat sebesar
telur bebek tiba-tiba melesat cepat ke arah tanah di depan, kanan, kiri dan
belakang rombongan Desa Watu. Semua itu berasal dari kusir kereta dan dua sosok
tubuh berompi coklat yang tiba-tiba muncul dari kanan kiri pintu kereta.
Masing-masing melemparkan benda-benda bulat itu.
Ki Tariga dan Wagul yang memiliki
mata lebih awas, terkejut bukan kepalang melihat serangan mendadak ini. Memang,
mereka tidak tahu jenis serangan yang tengah meluncur. Tapi untuk keselamatan
diri, tentu saja lebih baik menghindar daripada berdiam diri.
"Menyingkir semua...!"
Wagul masih sempat memberitahukan
penduduk Desa Watu, sebelum melempar tubuh ke samping kiri. Sementara, Ki Tariga
tidak sempat berteriak, karena harus buru-buru melompat ke kanan.
Dar, dar, darrr...!
Terdengar ledakan keras ketika benda-benda bulat sebesar telur bebek itu
berbenturan dengan tanah. Seketika itu, muncul asap tebal berwarna putih. Dan
karena empat benda bulat itu meledak di sekeliling rombongan yang dipimpin Ki
Tariga, maka mereka semua terkurung dalam gulungan asap!
"Uhuk... uhuk... uhuk...!"
Suara batuk terdengar bertubi-tubi dari mulut para penduduk Desa Watu. Tidak
hanya itu saja yang dialami. Sesaat kemudian, kepala mereka pun pusing, dan
sepasang mata terasa berat.
Hanya dalam waktu sebentar saja tubuh penduduk Desa Watu berjatuhan di tanah.
Satu persatu mereka ambruk, sampai akhirnya tak ada lagi yang berdiri tegak.
Semuanya tergolek di tanah. Jelas, semua itu terjadi akibat pengaruh asap yang
mengandung racun pembius.
Hanya dua orang saja yang tidak
terkena akibat asap yang keluar dari ledakan benda tadi. Kedua orang itu adalah
Wagul dan Ki Tariga, karena telah lebih dulu berhasil! menyelamatkan diri.
Mereka tadi melakukan lompatan harimau.
Kemudian dengan bertumpu pada kedua tangan, mereka digulingkan hingga
berhasil keluar dari kungkungan asap putih tebal
"Hup!"
Wagul dan Ki Tariga berdiri berjarak tiga tombak di luar kungkungan asap. Ki
Tariga berdiri di sebelah kanan, dan Wagul di sebelah kiri. Keduanya menatap ke
arah tempat yang ditinggalkan dengan jantung berdebar tegang.
"Apakah para penduduk Desa Watu mati?" tanya hati Wagul dan Ki Tariga.
Kalau menuruti perasaan, ingin
rasanya kedua tetua Desa Watu itu meluruk ke kungkungan asap dan memeriksa nasib
penduduk Desa Watu. Tapi kalau hal itu dilakukan, mereka pun akan mengalami hal
yang sama. Jadi, yang dapat dilakukan hanyalah menunggu kungkungan asap itu
sirna tertiup angin.
Sebuah keuntungan bagi Wagul dan Ki Tariga, angin berhembus tidak ke arah
mereka. Sehingga, kungkungan asap itu tidak menyerang mereka. Memang ada
sebagian kecil yang menuju mereka, tapi dengan mudah bisa ditanggulangi. Hanya
dengan mengibas-ngibaskan tangan, asap-asap itu berhasil diusir pergi.
Tak lama kemudian, asap-asap yang
mengungkungi puluhan penduduk Desa Watu pun sirna. Kini yang tertinggal hanyalah
sosok-sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Entah dalam keadaan mati atau hidup.
Wagul dan Ki Tariga hendak beranjak dari tempat masing-masing untuk
menghampiri tubuh penduduk Desa Watu yang
tergolek di tanah. Tapi niat itu terpaksa diurungkan, karena....
"Ha ha ha...!"
Sebuah suara tawa bergelak bernada penuh ejekan terdengar. Dan sebelum gema
suara tawa itu lenyap, di hadapan masing-masing tetua Desa Watu itu telah
berdiri sesosok tubuh mengenakan rompi coklat
"Gerombolan Singa Gurun...," desis Wagul ketika melihat orang yang berdiri di
hadapannya. Raut wajah guru silat Desa Watu ini memancarkan keterkejutan yang
amat sangat. Hal yang sama juga dialami Ki Tariga.
"Hmh...!"
Laki-laki bertubuh pendek kekar yang berdiri di hadapan Wagul mendengus
menanggapi keterkejutan Wagul. Sikapnya terlihat memandang rendah sekali.
Melihat sikap yang ditunjukkan
anggota Gerombolan Singa Gurun, kemarahan Wagul meledak. Memang, sejak melihat
tergoleknya puluhan penduduk Desa Watu tanpa ketahuan nasibnya, dia sudah merasa
geram. Maka....
"Haaat!"
Diiringi teriakan melengking nyaring.
Wagul menerjang laki-laki pendek kekar itu. Golok besar di tangannya diputarputarkan di atas kepala laksana kitiran.
Wunggg! Suara mengaung keras terdengar ketika golok besar itu lenyap bentuknya. Kini,
yang terlihat hanya segundukan bayangan berwarna keperakan yang menyilaukan
mata. Singgg! Wagul membabatkan golok ke arah leher lawan. Senjata itu diayunkan dengan arah
mendatar. "Hmh...!"
Sambil mendengus penuh ejekan,
anggota Gerombolan Singa Gurun itu mendoyongkan tubuh ke belakang Dan itu
dilakukan tanpa menggeser kaki sama sekali!
Wuttt! Babatan golok itu lewat beberapa jari dari sasaran semula. Tapi, tindakan
anggota Gerombolan Singa Gurun ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Ketika
serangan Wagul lewat di hadapannya, tangan kanannya bergerak cepat. Dan...
Tappp! Gila! Pergelangan tangan kanan Wagul telah berhasil dicekalnya. Tentu saja hal
ini membuat guru silat Desa Watu itu terkejut bukan kepalang. Sekuat tenaga,
diusahakannya untuk melepaskan tangannya dari cekalan lawan. Tapi, usahanya siasia. Tangannya bagaikan terhimpit jepitan baja yang kuat bukan kepalang!
Sebaliknya ketika laki-laki pendek kekar itu menggerakkan tangan menyentak,
tubuh Wagul tertarik ke depan. Dan ketika tubuh guru silat Desa Watu itu
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertarik, tangan kiri anggota Gerombolan Singa Gurun itu meluncur ke arah dahi.
Tiga jari tangannya yang masing-masing
telunjuk, jari tengah, dan jari manis diluruskan.
Tukkk! Terlihat jelas sekali kalau tiga jari tangan itu menghantam sasarannya secara
perlahan. Mungkin hanya sekedar menyentuh saja. Tapi akibatnya, pada dahi Wagul
tertera tanda tiga bulatan merah kecil berbentuk seperti tapak kaki kucing.
"Akh...!"
Wagul menjerit ngeri. Tubuhnya
langsung terhuyung-huyung dan ambruk di tanah. Guru silat Desa Watu ini langsung
menggelepar-gelepar seperti hewan
disembelih. Dari mulut, hidung, telinga, dan bahkan matanya mengalir darah
segar. Yang lebih mengerikan lagi, aliran darah itu terus saja berlangsung selama Wagul
menggelepar-gelepar. Bahkan ketika akhirnya kepala guru silat Desa Watu itu
terkulai mati, darah yang mengalir tidak berhenti juga.
"Ha ha ha!"
Laki-laki pendek kekar itu tertawa bergelak penuh kegembiraan melihat keadaan
lawannya. Nada kebanggaan dan kesombongan tampak jelas pada wajah dan
suara tawanya. "Sungguh tidak kusangka ilmu 'Jari Darah Beracun' begini hebat. Ah! Padahal
tingkat yang kumiliki belum seberapanya.
Sulit kubayangkan kalau telah berhasil kucapai tingkatan seperti Nyi Kati,"
desis anggota Gerombolan Singa Gurun penuh kebanggaan.
Laki-laki pendek kekar itu mengalihkan perhatian ke arah kanannya, untuk melihat rekannya yang menghadapi Ki
Tariga. Dan ternyata Ki Tariga juga telah tergolek di tanah. Ilmu 'Tangan Darah
Beracun' yang dilancarkan anggota
Gerombolan Singa Gurun lainnya ternyata juga telah berhasil menjatuhkan Ki
Tariga. "Ha ha ha...!"
Dua orang laki-laki berompi coklat ini sama-sama tertawa bergelak, penuh
kegembiraan. Masih dengan tawa yang tidak putus-putus, mereka menghampiri
puluhan sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Bukan hanya kedua orang berompi
coklat saja yang menghampiri puluhan sosok tubuh itu. Sang Kusir pun demikian
pula. Dia melompat turun dari tempat duduknya di kereta, lalu bergerak
menghampiri puluhan sosok tubuh itu.
Begitu telah berada di dekat puluhan sosok tubuh penduduk Desa Watu, mereka
mencekal tangan atau kaki para penduduk.
Kemudian, menyeretnya ke arah kereta.
Brukkk! Setiba di dekat kereta, dilemparkan begitu saja tubuh para penduduk Desa Watu
itu ke dalam kereta. Satu persatu tubuh-tubuh yang tidak berdaya dimasukkan ke
dalam kereta, sampai tidak ada lagi yang tersisa.
Baru saja tiga orang anggota
Gerombolan Singa Gurun itu menyelesaikan urusannya, terdengar suara derap kaki
kuda menapak tanah, diiringi gerit roda kereta menggilas jalan. Itu pun masih
ditambah lecutan keras cambuk menghantam bagian belakang tubuh kuda, dan
teriakan sang Kusir. Memang, dari kejauhan tengah meluncur cepat sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kuda.
Seperti juga sang Kusir yang datang lebih dulu, kusir kereta kuda yang baru
datang ini pun mengenakan pakaian indah berwarna biru.
"Mereka menyelesaikan urusan tepat pada waktunya," kata laki-laki berompi coklat
yang bertubuh pendek kekar.
Laki-laki berompi coklat yang satu lagi dan sang Kusir, hanya menganggukkan
kepala. Jelas, mereka membenarkan ucapan laki-laki pendek kekar tadi.
Baru saja gema ucapan laki-laki
pendek kekar lenyap, kereta kuda itu telah mencapai tempat mereka. Diawali
suara ringkikan melengking tinggi dan nyaring, kuda-kuda itu menghentikan lari
dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi di udara.
Di sudut-sudut kereta, berdiri
sesosok tubuh berpakaian coklat. Jelas, mereka juga anggota Gerombolan Singa
Gurun. "Hup!"
Laki-laki berompi coklat yang berdiri di sudut kanan belakang kereta melompat
Ternyata, dia seorang laki-laki berwajah codet.
"Bagaimana urusanmu, Kang?" tanya laki-laki berwajah codet pada laki-laki pendek
kekar. "Beres. Dan kau?" laki-laki pendek kekar balas bertanya.
"Beres, Kang," sahut laki-laki bercodet, mantap.
"Bagus!"
"Tepat pada waktunya," ucap laki-laki pendek kekar.
"Dia datang, tepat pada saat kami telah berhasil membereskan mereka semua,"
kata laki-laki bercodet seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah kusir kereta
yang ditumpanginya.
"Kalau begitu, mari kita berangkat,"
ajak laki-laki tinggi kekar. "Kurasa Nyi Kati sudah tidak sabar lagi menunggu
kedatangan kita."
"Benar. Darah merekalah yang membuat ilmu 'Tangan Darah Beracun' Nyi Kati
semakin hebat," sambung laki-laki bercodet sambil menudingkan jari telunjuknya
ke arah tubuh para penduduk Desa Watu yang bertumpuk-tumpuk di atas kereta.
"Kata-katamu perlu diperbaiki sedikit. Bukan hanya Nyi Kati saja. Tapi, kita pun
demikian pula," sanggah laki-laki pendek kekar bernada teguran.
Laki-laki bercodet pun diam tidak
berkata-kata lagi. Sementara, laki-laki pendek kekar itu tidak melanjutkan katakatanya lagi. Kemudian kakinya digenjot.
Dan... "Hup!"
Kini, dia telah hinggap di sudut
kanan belakang kereta. Tindakannya segera diikuti rekan-rekannya. Sesaat
kemudian, dua kereta kuda itu sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctar, Ctarrr! *** "Ah!"
Seruan keterkejutan keluar dari mulut seorang gadis cantik jelita berpakaian
serba putih. Rambutnya yang berwarna hitam, panjang, dan mengkilap, dibiarkan
tergerai hingga ke bawah bahu. Sehingga,
semakin menambah kecantikannya saja.
Gadis berpakaian putih yang tak lain Melati ini mengedarkan pandang ke depan.
Dan karena pemandangan yang terlihat di depan itulah, sebuah keluhan terdengar
dari mulutnya. Masalahnya, sekitar seratus tombak di depannya tampak debu
mengepul tinggi ke udara.
"Apakah ada serombongan pasukan berkuda lewat di depan sana?" tanya Melati dalam
hati. Karena tidak akan mendapatkan jawaban pertanyaan itu kecuali melihat langsung,
Melati segera melesat ke depan. Seluruh ilmu larinya seketika dikerahkan.
Hebat! Seketika itu pula, bentuk
tubuh Melati lenyap. Yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan putih dalam
bentuk yang tidak jelas tengah melesat cepat ke depan.
Hanya dalam beberapa kali lesatan
saja, tembok batas Desa Watu telah terlewati Melati. Gadis berpakaian putih ini
menghentikan langkah sejenak.
Dirayapinya suasana sekelilingnya. Sepi.
Kelihatannya memang belum ada satu pun rumah penduduk yang nampak.
Tapi hal ini sama sekali tidak
menarik perhatian Melati. Pandangannya segera tertuju ke tanah. Tampak jelas
adanya bekas tapak-tapak kuda dan gilasan roda kereta di sana.
"Hm...," gumam gadis berpakaian putih ini, pelan. "Rupanya sebuah kereta yang
ditarik dua ekor kuda telah melewati tempat ini. Jadi, ini rupanya yang telah
menimbulkan kepulan debu tebal tadi"
Meskipun telah berhasil mengetahui sesuatu yang telah menimbulkan kepulan debu
tebal dan tinggi di udara, Melati tidak langsung berdiam diri. Pandangannya
terus diedarkan ke hamparan tanah sekitar tempat itu. Sepasang alis yang indah
bentuknya itu berkerut ketika melihat ada tanda-tanda yang sama, tak jauh di
sebelah tanda yang ditemukannya.
"Astaga...! Kiranya ada dua buah kereta kuda. Siapakah gerangan orang yang
mengendarainya?" tanya Melati dalam hati.
Perasaan ingin tahu, memaksa Melati untuk mengikuti arah yang dituju tapak kaki
kuda dan gilasan roda kereta. Tentu saja tidak diikutinya sambil melangkah
perlahan-lahan, tapi dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh.
Belum berapa lama berlari, Melati
telah menghentikan langkah. Pandangannya tertumbuk pada hancuran kayu-kayu indah
berukir di sebelah kanan kiri jejak roda kereta.
Melati membungkukkan tubuh, untuk
meneliti lebih jelas hancuran kayu berukir yang dilihatnya. Agak berkernyit juga
dahinya ketika mengetahui kalau
hancuran kayu berukir itu adalah bagian dari kereta kuda. Sebagai putri angkat
seorang raja Kerajaan Bojong Gading yang besar, bukan hal yang aneh kalau Melati
bisa menebaknya secara tepat.
"Aneh...," desah keheranan keluar dari mulut Melati. "Menilik dari kayu-kayunya,
bisa kutebak kalau ini adalah pecahan-pecahan pintu kereta. Dan menilik dari
letak pecahan-pecahan ini, bisa kuperkirakan kalau pintu-pintu kereta ini
dihancurkan dari dalam. Tapi kenapa?"
Melati memusatkan perhatian pada
hancuran kayu yang berada di sebelah kiri. Kemudian, dengan mata tajam
ditelusurinya terus ke kiri. Sepasang matanya kontan terbelalak ketika melihat
pemandang-an yang terpampang di
hadapannya. Agak bergegas Melati menghampiri.
Hanya dalam sekali lesatan saja, dia telah berada di dekat sana.
"Ada bekas-bekas pertarungan di
sini," gumam Melati ketika melihat keadaan tanah di depan rumah itu terlihat
acak-acakan. Banyak terdapat bekas tapak kaki di sana sini.
Keyakinan Melati semakin menebal
ketika melihat bermacam ragam senjata bergeletakan di depan tiap-tiap rumah
penduduk. Maka, perasaan penasaran mendorong gadis itu untuk memeriksa ke
dalam setiap rumah. Hasilnya, kosong!
"Hhh...!"
Setiba di luar kembali, Melati
menghela napas berat. Kini sebuah
kesimpulan telah didapat mengenai
hilangnya para penduduk di desa Telaga Sewu tempat tinggal ibunya. Dan jawaban
itu didapat di Desa Watu ini. Semua ini ada hubungannya dengan dua buah kereta
berkuda! Kemungkinan besar, rombongan itu yang mengambilnya, Tapi untuk apa"
Hal itulah yang harus dipecahkan
Melati. Maka, gadis berpakaian putih ini pun memutuskan untuk mengikuti
perjalanan kereta itu. Karena, hanya itulah kunci jawaban satu-satunya dari
pertanyaan yang bergayut di benaknya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Melati pun melesat cepat meninggalkan Desa
Watu. Tujuannya jelas, mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan pemilik kereta
berkuda. 4 "Tolooong...! Tolooong...!"
Jerit minta tolong yang sarat oleh rasa takut memecahkan kesunyian siang yang
sudah mendekati petang. Suara itu berasal dari dalam sebuah hutan.
Sesaat kemudian, muncul lah seorang
wanita berusia tiga puluh tahun. Pakaian berwarna hitam membungkus tubuhnya yang
cukup padat berisi.
Menilik dari kulit tubuhnya yang
hitam kecoklatan, kelihatannya dia sering terkena matahari. Bisa diperkirakan
kalau wanita yang berwajah tidak cantik ini adalah seorang petani.
Wanita berpakaian hitam ini berlari pontang-panting. Sama sekali tidak
dipedulikan yang berada di hadapannya.
Tak aneh kalau dia beberapa kali jatuh tersungkur karena tersangkut semak-semak
ataupun ranting yang melintang di jalan.
Tapi dengan cepat dan sigap, wanita itu bangkit berdiri dan melanjutkan larinya
kembali. Jelas, ada sesuatu yang amat ditakuti tengah mengejarnya.
Ternyata, sesuatu yang memang benar-benar menakutkan tengah mengejar wanita
berpakaian hitam itu. Dan sesuatu itu tidak lain seekor harimau loreng. Sambil
mengaum menggetarkan suasana di sekitar tempat itu, sang Raja Hutan berlari
memburu calon korbannya.
Srakkk! "Akh...!"
Brukkk! Diawali jeritan kecil, tubuh wanita berpakaian hitam itu jatuh berdebuk di tanah
ketika kakinya tersangkut semak-semak yang menghalangi jalan. Dan sebelum
wanita itu bangkit berdiri, harimau loreng itu telah keburu menerkamnya.
"Auuum...!"
Suara mengaum keras terdengar dari mulut sang Raja Hutan, ketika tubuhnya
melayang ke arah calon korbannya.
"Aaa...!"
Hanya jerit kepasrahan yang keluar dari mulut wanita berpakaian hitam ketika
menyadari kalau dirinya tidak akan bisa lolos dari kematian. Sudah terbayang di
benaknya kalau tubuhnya akan
hancur tercabik-cabik kuku dan gigi binatang buas itu. Dia kemudian sudah tidak ingat
apa-apa lagi. Tapi di saat yang gawat bagi
keselamatan wanita berpakaian hitam itu, mendadak melesat sesosok bayangan ungu
ke arahnya. Dan begitu tiba, sosok bayangan ungu itu langsung memapak tertanam
si Raja Hutan! Prattt, prattt..!
"Graunggg...!"
Diiringi geram kemarahan, tubuh
harimau loreng itu terpental balik ke belakang. Tapi dengan manis sekali
binatang buas itu mendarat di tanah.
"Grauuung...!"
Harimau loreng itu menggerung keras seraya menatap sosok bayangan ungu yang
telah membuat calon korbannya tidak berhasil disantap. Sepasang matanya yang
mencorong kehijauan tampak menatap geram ke arah orang yang mengganggu
seleranya. Tapi orang yang mengganggu seleranya ternyata seorang pemuda berpakaian ungu dan
memiliki wajah tampan itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dia malah balas
menatap sang Raja Hutan. Hebatnya, sepasang mata pemuda berpakaian ungu yang
memiliki warna rambut putih keperakan itu ternyata tak kalah di banding mata si
harimau! Sepasang matanya tajam mencorong dan berwarna kehijauan. Ini menjadi
pertanda kalau pemuda berpakaian ungu itu memiliki tenaga dalam tinggi. Karena,
hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang sinar matanya bisa
seperti itu Pemuda berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Dia berdiri di
tempatnya semula, di depan wanita
berpakaian hitam yang kini telah bangkit berdiri.
Mendadak pemuda berambut putih
keperakan itu mengeluarkan suara leng-kingan tinggi. Gila! Mendadak saja, sikap
harimau yang semula garang itu menjadi berubah. Sorot matanya berubah melunak.
Kemudian sambil mengeluarkan keluhan pelan, binatang buas itu membalikkan tubuh,
lalu berlari cepat masuk ke dalam hutan.
Pemuda berambut putih keperakan itu
memandanginya hingga harimau loreng itu lenyap dari pandangan. Baru, setelah itu
tubuhnya berbalik.
"Sekarang bahaya itu sudah lenyap, Ni sanak. Silakan melanjutkan perjalanan,"
kata pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi, sambutan yang diberikan wanita berpakaian hitam itu membuat pemuda
berpakaian ungu ini terperanjat. Bahkan tanpa sadar melompat ke belakang. Wanita
berpakaian hitam itu ternyata malah menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
"Tidak ada gunanya menolongku, Den.
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lebih baik bunuh saja aku. Apa gunanya hidup kalau seperti ini," keluh wanita
berpakaian hitam itu terputus-putus.
"Tenang, Nyi. Tenang Jangan berkata seperti itu. Lebih baik, ceritakanlah
masalahnya. Barangkali saja aku bisa menolongmu," hibur pemuda berambut putih
keperakan itu, agak terbata-bata.
"Sungguhkan itu, Den?" tanya wanita berkulit
coklat kehitaman itu sambil
mengangkat wajahnya. Tarikan wajah maupun sorot matanya menyiratkan harapan
besar. Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Aku berjanji.
Dan sekarang, bangkitlah kau dulu."
Tanpa menunggu diperintah dua kali, wanita berpakaian hitam itu bangkit
berdiri. Wajahnya kini berseri-seri.
Tampak jelas ada harapan yang terpancar di wajahnya.
"Ceritakanlah masalahmu, Nyi. Dan kumohon, jangan memanggilku dengan sebu-tan
seperti itu. Panggilah Arya. Atau lengkapnya, Arya Buana," pinta pemuda
berpakaian ungu itu sambil memperkenalkan diri.
"Baiklah, Den... eh, Arya."
"Nah! Begitulah lebih enak, Nyi,"
sambut pemuda berambut putih keperakan yang memang tak lain dari Arya Buana
alias Dewa Arak, gembira. "Sekarang, ceritakanlah masalah yang tengah kau
hadapi." Wanita berpakaian hitam itu tidak
langsung menjawab pertanyaan Arya.
Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia
ingin menenangkan diri lebih dulu.
"Suami dan anak-anakku dibawa Gerombolan Singa Gurun," jawab wanita itu
terputus-putus.
"Gerombolan Singa Gurun"!" ulang Arya dengan alis berkerut. "Gerombolan macam
apa pula itu?"
Kini ganti wanita berpakaian hitam yang kebingungan. Dahinya berkernyit menatap
ke arah Arya, "Jadi, kau belum pernah mendengar berita mengenai gerombolan itu"!" tanya
wanita berpakaian hitam setengah tak percaya.
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Mendengarnya pun baru sekali, Nyi."
"Hhh...!" wanita berpakaian hitam menghela napas berat "Rupanya, kau pendatang,
Arya?" "Benar. Nyi. Aku adalah seorang pengembara. Ke mana langkah kakiku membawa, ke
situlah aku menuju," jelas Arya.
"Kalau begitu, tak ada salahnya apabila kuberi tahu dulu," wanita berpakaian
hitam memutuskan. "Gerombolan Singa Gurun adalah sebuah gerombolan yang penuh
teka-teki. Di mana gerombolan itu bermarkas, dan siapa ketuanya, memang sulit
dijawab. Yang diketahui, anggota-anggota gerombolan itu mengenakan rompi dari
kulit harimau. Celakanya, setiap gerombolan itu keluar sarang, selalu
menimbulkan keonaran. Dan anehnya, mereka membawa orang-orang yang berhasil
dikalahkan. Entah, untuk apa, sama sekali belum ada orang yang berhasil
mengungkap-nya." Wanita
berpakaian hitam itu
menghentikan ucapannya sejenak. Sementara Arya sama sekali tidak menyelaknya.
Dia menunggu kelanjutan cerita dengan sabar.
"Tadi siang, gerombolan itu datang lagi. Dan hampir seluruh penduduk Desa Watu
diangkut. Hhh...! Seperti nasib
penduduk lainnya, sudah bisa kutebak hal yang akan menimpa mereka," lanjut
wanita berpakaian hitam itu.
"Apa itu, Nyi"!" tanya Arya ingin tahu.
"Lenyap tanpa berita!" tandas wanita berpakaian hitam itu.
Kontan Arya terdiam. Benaknya
berputar keras. Benarkah ada sebuah gerombolan yang demikian aneh"
"Kalau boleh kutahu, bagaimana ciri-ciri suamimu, Nyi?" tanya Arya setelah
termenung beberapa saat
"Kalau kuberi tahu ciri-cirinya, akan menyulitkanmu, Arya. Karena banyak
penduduk yang memiliki ciri-ciri seperti dirinya. Tapi kalau nama, mungkin tidak
ada yang menyamainya. Namanya Gulata!"
urai wanita berpakaian hitam, panjang lebar.
"Gulata," ulang Arya pelan untuk mengingat nama itu. "Baiklah, Nyi.
Masalah ini akan kucoba menyelidikinya. O
ya, Nyi. Sekarang kau hendak ke mana."
"Aku hendak pergi menjumpai saudara ku, Arya. Tinggalnya di dalam hutan ini, di
atas sebuah pohon. Dia memang orang aneh, sampai sampai membuat rumah di atas
pohon," jawab istri Gulata.
"Bagaimana kalau kuantarkan?" tanya Dewa Arak menawarkan diri.
"Tentu saja boleh," sambut wanita
berpakaian hitam, gembira.
Sesaat kemudian, Arya dan istri
Gulata itu telah melangkah meninggalkan tempat ini. Tujuan mereka adalah tempat
tinggal saudara wanita berpakaian hitam itu.
*** "Hhh...!"
Helaan napas berat keluar dari mulut Melati. Gadis ini tampak kebingungan,
karena jejak kereta dan kuda itu mendadak lenyap begitu saja.
Karena rasa penasaran yang menggebu, Melati sampai membungkukkan tubuhnya agar
bisa melihat lebih jelas lagi.
Tapi, tetap saja pemandangan yang nampak tidak berubah! Keadaan tanah itu tetap
saja seperti semula, tidak nampak adanya bekas-bekas tapak kaki kuda atau pun
gilasan roda kereta.
Melati menyerah. Disadari kalau
dirinya terpaksa harus menghadapi kenyataan pahit. Jejak-jejak yang diikutinya,
kini mendadak lenyap di sini!
Kini gadis berpakaian putih itu
mengedarkan pandangan berkeliling.
Rupanya, kini dia berada di sebuah tempat yang tanahnya ditumbuhi sedikit
rumput. Di kanan kirinya terdapat jejeran pohon dan semak-semak lebat.
Setelah memperhatikan suasana
sekelilingnya sejenak, Melati melanjutkan langkahnya. Dia yakin, buruannya masih
tetap berada di sekitar tempat ini. Maka diputuskannya untuk meneruskan
pencarian. Wukkk! "Hey! Hih...!"
Sepotong kayu sebesar badan manusia yang di sekelilingnya penuh ditancapi besi
runcing, tiba-tiba terayun ke arah kepala Melati. Untung saja, gadis berpakaian
putih itu bertindak sigap dan langsung melempar tubuh ke belakang.
Jliggg! Melati mendaratkan kedua kakinya
beberapa tombak dari tempat semula. Pada dahinya yang berkulit putih, halus, dan
mulus, tampak butir-butir keringat.
Memang, dia merasa terkejut bukan
kepalang ketika melihat sambaran benda tadi. Ditatapnya benda mengerikan yang
tadi hampir mencabut nyawanya. Dan kini, benda itu masih berayun-ayun.
Melati mengusap keningnya yang basah dengan sapu tangan. Kini dia tahu, mengapa
benda penuh besi runcing yang hampir menyate tubuhnya meluncur ke arahnya.
Ternyata, kakinya telah
menyentuh penggeraknya tadi. Akibatnya, benda mengerikan itu meluncur, mengancam
jiwanya. Sekarang Melati tidak berani
bertindak sembarangan lagi. Sepasang matanya yang bening dan indah itu beredar
ke selebar tanah di hadapannya.
Selangkah demi selangkah Melati
semakin menjauhi tempat semula, sampai beberapa tombak. Dan selama itu belum
dijumpai adanya perangkap lain.
Mendadak.... Brosss...! Srakkk...! Wuttt!
"Akh...!"
Melati menjerit kaget ketika tanah yang dipenuhi hamparan daun kering yang
diinjaknya amblas ke bawah.
Dan belum lagi sempat berbuat
sesuatu, tahu-tahu tubuhnya telah
terbungkus sebuah jaring, dan langsung terangkat cepat ke atas. Kini, Melati
telah tergantung di dalam sebuah jaring di atas cabang pohon.
Tidak hanya itu saja kejadian yang mengejutkan. Karena, sesaat kemudian....
Srak, srak, srakkk...!
Suara berkerosakan keras terdengar saling susul. Sesaat kemudian, muncullah
beberapa sosok tubuh yang mengenakan rompi coklat.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki pendek kekar yang berdiri paling depan mendongak sambil tertawa
bergelak. Tampak jelas, ada nada ejekan di dalam suara tawanya.
"Kau memang terlalu berani, Wanita
Liar! Kau kira kami tidak tahu kalau diikuti"! Ha ha ha...! Jangan terlalu
memandang rendah Gerombolan Singa Gurun!"
Laki-laki pendek kekar menghentikan ucapannya sejenak. Matanya menatap tajam,
langsung menusuk bola mata Melati.
"Aku tahu, kau bukanlah wanita yang kami cari-cari. Kepandaian yang kau miliki
jauh lebih tinggi dari padanya.
Tapi hal itu bukan berarti kau akan bisa menentang Gerombolan Singa Gurun! Orang
sepertimu harus diberi pelajaran!"
Setelah berkata demikian, laki-laki pendek kekar itu menoleh ke arah
rombongan orang berompi coklat di
belakangnya. Menilik dari tindaktanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki pendek kekar ini adalah pemimpin
gerombolan. "Cari ranting-ranting kering! Akan kubuat api unggun di bawah wanita liar ini!
Biar dia rasakan, akibat terlalu berani menentang Gerombolan Singa Gurun!"
Melati terperanjat bukan kepalang
mendengar ucapan laki-laki pendek kekar itu. Apalagi ketika melihat beberapa
orang berompi coklat beranjak dari tempat itu, untuk melaksanakan perintah lakilaki pendek kekar tadi.
Perasaan khawatir akan ancaman laki-laki pendek kekar, membuat Melati
kelabakan. Dengan susah payah pedangnya
dihunus. Kemudian dengan senjata andalan itu, dicobanya untuk memutuskan talitali jaring yang mengurungnya.
Tapi usaha Melati sia-sia. Tali
jaring itu ternyata sangat alot.
Buktinya, pedang gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak mampu memutuskannya. Memang, pedang Melati bukan termasuk pedang pusaka walaupun terbuat dari
bahan pilihan. "Ha ha ha...!"
Kembali laki-laki pendek kekar
tertawa bergelak, menertawakan tindakan Melati. Rupanya dalam penglihatan
Pemimpin Gerombolan Singa Gurun itu, usaha-usaha yang dilakukan Melati sangat
menggelikan hati.
"Boleh kau cari tali yang paling empuk, Wanita Liar! Asal tahu saja, sampai
tenagamu habis tali itu tidak akan bisa putus! Tali itu terbuat dari ramu-ramuan
pemimpin besar kami! Ha ha ha...!"
Mendengar ejekan laki-laki pendek
kekar itu Melati menghentikan usahanya.
Disadari ada kebenaran dalam ucapan Pemimpin Gerombolan Singa Gurun itu.
Tali-tali jaring itu tidak akan mungkin bisa diputuskan.
Dengan perasaan kesal bercampur
cemas, Melati memasukkan kembali
pedangnya ke dalam sarung. Tapi, saat itu juga langsung diurungkan, begitu terdengar adanya bisikan di telinga.
"Pedangmu jangan dimasukkan kembali, Ni sanak. Bersiap-siaplah untuk
menghadapi mereka. Aku tengah melepaskan ikatan jaring ini pada cabang pohon."
Melati bukan orang bodoh. Dia tahu, ada seorang tokoh sakti yang hendak
menolongnya. Karena, hanya tokoh saktilah yang mampu mengirimkan suara dari jauh
seperti itu. Melati tahu, pengirim suara itu tidak bermaksud menipunya. Dan dia juga tahu,
jaring seperti ini memang dihubungkan dengan tali, dan diikatkan pada sebuah
tempat. Apabila ikatan tali itu dilepas, kurungan jaring itu pun akan terbuka
sendiri begitu tubuhnya menyentuh tanah.
Melati merasakan dadanya berdebar
tegang. Apalagi begitu merasakan adanya getaran-getaran dari ikatan tali yang
tengah dibuka si pengirim suara. Sampai akhirnya....
Rrrttt..! Jaring itu meluncur turun membawa
tubuh Melati bersamanya. Maka gadis itu buru-buru mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya agar dapat mendarat manis di tanah.
"Hey...!"
Jeritan-jeritan keterkejutan terdengar dari mulut laki-laki pendek kekar dan gerombolannya ketika melihat jaring
itu meluncur turun.
"Sebagian ke tempat ikatan jaring itu! Selidiki, apakah ada tikus yang masuk ke
dalam sana!" perintah laki-laki pendek kekar.
Masih dengan pandangan mata yang
tidak lepas dari jaring yang tengah meluncur turun, laki-laki pendek kekar
memberi perintah pada gerombolan anak buahnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
sebagian laki-laki berompi coklat melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara, laki-laki pendek kekar dan sisa Gerombolan Singa Gurun berdiam diri
di situ, menanti jatuhnya tubuh Melati yang berada dalam jaring perangkapnya.
Gerombolan Singa Gurun memang tidak perlu terlalu lama menunggu, karena sesaat
kemudian tubuh Melati telah menghantam tanah.
Jliggg! Berbareng hinggapnya kedua kaki
Melati di tanah, Gerombolan Singa Gurun telah meluruk ke arahnya di bawah
pimpinan laki-laki pendek kekar.
Sebuah keuntungan bagi Melati, musuh yang menyerbunya sudah jauh berkurang.
Hingga, mereka hanya bisa menyerbu dari satu arah saja.
Sing, sing, sing...!
5 Suara berdesing nyaring terdengar
ketika laki-laki pendek kekar dan
gerombolannya mengayunkan senjata. Kali ini, sang Pemimpin gerombolan sengaja
menggunakan senjata karena tahu kalau lawan yang dihadapinya tidak bisa
dianggap enteng.
Tentu saja Melati terkejut bukan
kepalang melihat hal ini. Meskipun demikian, dia tidak gugup. Dalam keadaan
masih berada di dalam jaring, pedangnya diayunkan untuk menangkis serangan
lawan-lawannya. Anehnya, semua lawan yang dihadapi bersenjatakan sepasang kapak.
Trang, trang, trang...!
Suara berdentang nyaring terdengar ketika senjata kedua belah pihak
berbenturan. Hasilnya, tubuh para anggota Gerombolan Singa Gurun itu terhuyunghuyung ke belakang Tangan mereka yang menggenggam senjata bergetar hebat dan
hampir lumpuh. Dan kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Melati untuk
membebaskan din dari kurungan jaring. Dan sebelum lawan-lawannya berhasil
memperbaiki keadaan, Melati telah
berhasil meloloskan diri dari kungkungan jaring.
"Hih!"
Begitu jaring-jaring itu berhasil
dilepaskan, langsung saja dilemparkannya ke arah lawan-lawannya.
Wut! Lemparan Melati lewat di atas kepala, ketika lawan-lawannya telah lebih dulu
merunduk. Tapi, tindakan Melati tidak hanya sampai di situ saja. Pedang di
tangannya langsung dibabatkan ke arah lawan-lawannya dengan arah mendatar.
Crattt!
Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Jeritan-jeritan menyayat hati
terdengar disusul robohnya tubuh anggota Gerombolan Singa Gurun dengan kepala
hampir terpisah dari tubuh. Darah langsung menyembur dari leher yang terbabat
pedang. Hanya sesaat saja tubuh Gerombolan Singa Gurun menggelepar-gelepar di tanah,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Nyawa mereka langsung melayang
seketika itu juga.
Laki-laki pendek kekar yang menjadi pemimpin gerombolan itu terkejut bukan
kepalang. Bahkan bercampur marah dan ngeri. Disadari kalau Melati merupakan
seorang lawan yang amat tangguh. Dan tentu saja, dirinya bukan tandingan gadis
itu. Bila terus memaksakan diri melawan, hanya mencari kematian secara sia-sia.
Apalagi, dia hanya tinggal sendirian.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki itu segera melempar tubuh ke
belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Dan secepat kedua kakinya mendarat
di tanah, secepat itu pula melesat kabur.
Melati hanya tersenyum saja. Sama
sekali kesempatan itu tidak dipergunakannya untuk menghabisi nyawa lawannya.
Padahal kalau mau, mudah saja hal itu dilakukan. Melati memang sengaja
membiarkan lawannya hidup, karena ingin mengetahui sarang Gerombolan Singa
Gurun. Dan hal itu hanya akan didapatkan, apabila mengikuti lelaki pendek kekar tadi.
Maka begitu laki-laki pendek kekar melarikan diri, Melati pun segera
mengejarnya. Tapi tentu saja seluruh kemampuannya tidak dikerahkan. Disadari,
apabila hal itu dilakukan, buruannya akan segera terkejar. Dan Melati tidak mau
hal itu terjadi.
Memang dengan mengerahkan kemampuan seperti itu, Melati tetap berada di belakang
lawannya. Bahkan jarak antara mereka tetap tidak berubah.
Dewi Penyebar Maut X I I I 2 Dewa Linglung 2 Geger Pedang Inti Es Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama