Ceritasilat Novel Online

Imam Tanpa Bayangan 15

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 15


setelah berkelejot sebentar melayanglah selembar jiwanya meninggalkan badan kasar.
"Kau... kau telah mati..." bisik Soat Hoa Nio Nio dengan bibir pucat tak berdarah.
Tak bisa ditahan lagi ia menangis menjerit-jerit, suara tangisannya melengking bagaikan jeritan kuntilanak membuat siapa pun yang mendengar merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Dengan rambut berdiri kaku bagaikan landak, dia melotot sekejap ke arah Cui Tek Li pemilik Benteng Kiam-poo dengan pandangan penuh perasaan benci dan dendam, lalu serunya : "Kau...
kau telah memaksa dia mati!" "Hmmm...
sekali pun mati juga tak ada nilainya, biarkanlah dia mati..." ejek Cui Tek Li sinis.
"Hmmm! Sebenarnya dia tak akan mati, kaulah yang tak mau menyelamatkan jiwanya...
kalau kau bersedia memberi obat mujarab kepadanya luka yang kecil itu tentu akan sembuh kembali...
bukannya menolong kau malah memanaskan hatinya dengan ucapan yang tak karuan...
kaulah yang memaksa dia mati konyol..."
CUI TEK LI kontan tertawa dingin, "rupanya kau merasa tidak puas dengan perbuatanku ini...
tidak terima?" serunya.
"Tentu saja!" jawab Soat Hoa Nio Nio sambil tertawa dingin pula, "meskipun aku belum kawin secara resmi dengan dirinya, tetapi paling sedikit adalah kekasihku sejak muda, kau mencelakai dirinya sama halnya dengan mencelakai diriku sendiri, tentu saja aku tidak puas dan tidak terima atas perbuatanmu itu." Sorot mata tajam berkilat di antara kelopak mata pemilik Benteng Kiam-poo, katanya kemudian : "Jika kau ingin balaskan dendam bagi kematiannya, sekarang juga kau boleh turun tangan!" Tetapi Soat Hoa Nio Nio dengan cepat menggeleng : "Dugaanmu itu keliru besar Poocu, bagaimana pun juga kau adalah majikanku, sekali pun majikan telah berbuat kesalahan aku yang menjadi bawahannya tentu saja tidak berani berbuat apa-apa, aku harap poocu suka memandang di atas jawa Han San sianseng selama banyak tahun yang telah mengikuti dan setia padamu, ijinkanlah padaku untuk mendirikan sebuah kuburan yang bagus baginya." "Baik!" jawab pemilik Benteng Kiam-poo dengan nada ketus, "keadaan ini lebih bagus entah berapa kali dari keadaan dari Ko lo-te di masa silam." "Terima kasih atas budi kebaikan dari poocu!" ujar Soat Hoa Nio Nio dengan air mata bercucuran.
Perlahan-lahan ia menyeka air mata yang mengembang dalam kelopak matanya, lalu melotot sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan pandangan penuh kebencian setelah membopong badan Han San sianseng bersama Cui Kiam Beng ia berlalu dari situ.
Sepeninggalnya ke-dua orang tadi, pemilik Benteng Kiam-poo alihkan sorot matanya ke wajah Pek In Hoei, tegurnya : "Besar amat nyalimu hey anak muda, tak kusangka kau berani membunuh orangku dalam benteng pedang!?"Hmmm! Itu sih belum seberapa, anggota benteng kalian yang terlebih dahulu mencari gara- gara dengan ku, tentu saja aku tak bisa berpeluk tangan membiarkan mereka pasang gaya seenaknya sendiri, setelah terjadi bentrokan mati atau terluka bukan suatu kejadian aneh.
Sekali pun kematian Han San sianseng mempunyai hubungan dengan diriku, tapi sedikit banyak poocu pun tak dapat melepaskan sebagian dari tanggung jawab ini." "Hmmm! Kau maksudkan hatiku terlalu kejam dan tak kenal peri kemanusiaan.
Melihat dia hampir mati tak mau menolong," ujar Cui Tek Li dengan nada dingin.
"Aku memang mempunyai perasaan demikian, andaikata poocu suka menghadiahkan sedikit bubuk obat kepadanya, aku percaya dia tak akan mati atau paling sedikit selembar jiwa tuanya masih bisa dipertahankan." "Tahukah engkau siapa orang itu?" tanya Cui Tek Li sambil mendengus dingin.
Pek In Hoei tertegun, lalu jawabnya : "Dari mana aku bisa tahu" Aku tidak kenal dia dan tak tahu pula asal usulnya, tentu saja tak kuketahui siapakah dia kecuali orang itu adalah pembantumu!" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... dia adalah salah seorang pembunuh yang ikut membinasakan ayahmu," ujar pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa dingin, "seandainya kau mengetahui persoalan ini sedari tadi aku percaya kau tidak akan menaruh belas kasihan kepadanya lagi, bahkan mungkin sekali kau akan menganggap apa yang telah kuucapkan adalah perkataan yang benar!" "Apa" Sungguhkah itu?" untuk beberapa saat lamanya Pek In Hoei berdiri termangu-mangu.
"Hmm! Walaupun ini hari kau telah membunuh pembantuku, aku tetap akan mengikuti peraturan dan melepaskan kalian pergi dari sini, malam nanti kalian berdua boleh bersiap-siap untuk menerjang keluar dari benteng ini, jika kalian gagal untuk keluar dari benteng ini kejadian tersebut harus salahkan nasib kalian yang kurang mujur, jangan salahkan aku kalau berhati kejam." Ia melirik sekejap ke arah Cui Tiap Tiap dan menambahkan : "Tiap Tiap, ayoh ikut aku pulang ke benteng." Berangkatlah ke-dua orang itu tinggalkan hutan tersebut, para jago dari Benteng Kiam-poo pun mengundurkan diri.
Angin malam berhembus lewat, Benteng Kiam-poo yang tersohor sebagai benteng paling misterius terasa diliputi oleh ketegangan yang amat tebal, semua jago lihay yang bermukim dalam benteng itu telah bertindak dengan memblokade seluruh jalan keluar dari benteng mereka.
Malam nanti ada dua orang pemuda yang berani mati akan menerjang keluar dari pertahanan Benteng Kiam-poo yang tersohor karena ampuh dan kokohnya itu, meskipun harapan mereka untuk berhasil kecil sekali tetapi ke-dua orang itu tetap akan mencobanya.
Entah sudah berapa banyak pendekar lihay dan jago sakti yang berusaha membuka sejarah baru dengan menjebol pertahanan Benteng Kiam-poo, tetapi setiap kali mereka menemui ajalnya semua secara mengenaskan, tak seorang manusia pun berhasil membobolkan pertahanan benteng itu hingga pos yang terakhir, terutama sekali kelihayan dari poocu benteng itu, belum pernah tercatat dalam sejarah ada jago yang sanggup melakukan perlawanan sebanyak tiga jurus.
Oleh karena itu semua orang percaya bahwa Benteng Kiam-poo hanya ada jalan masuk dan tiada jalan keluar...
hanya sukma gentayangan yang sanggup keluar dari benteng itu...
**** Teeeeng... teeeeng... Bunyi lonceng yang amat nyaring bergetar di udara menggoncangkan perasaan setiap orang yang ada dalam benteng itu, ketegangan semakin tebal menyelimuti seluruh jagad dan semua orang merasa jantungnya berdebar keras.
Sebuah panji merah yang besar perlahan-lahan dinaikkan di atas bendera yang tinggi, inilah pertanda bahwa Pek In Hoei k lawan segera akan terjun ke gelanggang untuk mempertaruhkan keselamatan jiwanya, tanda itu memperingatkan kepada semua anggota Benteng Kiam-poo agar bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
Teeng... teeng... Bunyi lonceng ke-dua bergetaran lebih nyaring dengungan suara yang tersebar di udara seakan-akan isak tangis keluarga yang menghantarkan salah seorang anggota keluarganya menuju liang kubur...
Satu barisan pria baju merah yang menyoren pedang perlahan munculkan diri dari sudut sebelah kiri, ketik tiba di tanah lapang mereka memisahkan diri dan berbaris dalam dua barisan, sikap orang-orang itu serius dan penuh diliputi ketegangan.
Tidak lama kemudian Pek In Hoei serta Lu Kiat di bawah iringan Cui Tek Li, pemilik Benteng Kiam-poo sendiri berjalan menuju ke lapangan.
Sepanjang perjalanan ke-tiga orang itu membungkam dalam seribu bahasa, mereka semua memikirkan persoalan hati sendiri yang terasa bagaikan beban berat.
Ketika tiba di tengah lapangan, Cui Tek Li angkat kepala memeriksa sebentar keadaan cuaca, kemudian katanya : "Kalian berdua baru akan mencapai separuh jalan jika tiga rintangan berhasil kalian singkirkan, pada giliran yang terakhir kamu berdua bakal turun tangan melawan diriku..." "Hmmm! Jangan dibilang baru tiga rintangan, sekali pun sepuluh rintangan akan kucoba juga untuk membobolkan," jawab Jago Pedang Berdarah Dingin dengan nada ketus.
Cui Tek Li tertawa getir.
"Aku percaya dan tahu bahwa kalian berdua adalah jago-jago lihay yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja kalian tak akan memandang sebelah mata pun terhadap benteng kami." Ia menghela napas panjang, dengan wajah kesepian ia termenung sebentar lalu ujarnya kembali : "Kali ini hanya ada empat jalan yang bisa kalian tempuh, silahkan kalian berdua memilih sendiri jalan mana yang akan kalian pilih." "Aku ingin memilih jalan yang paling lihay, termasuk di antaranya harus bertempur melawan kau sendiri." Mula-mula Cui Tek Li tertegun, kemudian katanya : "Pada rintangan yang terakhir semuanya dijaga olehku sendiri, tetapi..." Ia merendahkan suaranya dan melanjutkan : "Kali ini aku telah mempersiapkan tiga lapisan jago pedang untuk dijaga ke-tiga jalur rintangan tersebut, semua alat rahasia dan alat jebakan telah kuhapus semua, tujuanku tidak lain adalah agar kita bisa mengukur tenaga dengan kepandaian yang murni dan sesungguhnya...
Kalian mesti ingat, mati hidup kamu harap kalian bisa turun tangan dengan berhati-hati." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... aku tak ingin menerima kebaikan hatimu itu," sela Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Hmm! Berada dalam keadaan dan situasi seperti ini aku nasehati dirimu lebih baik kurangilah sikapmu yang jumawa dan takabur itu, sebab hal itu tak akan mendatangkan faedahnya apa-apa bagimu." Ia berhenti sebentar dan melanjutkan : "Sekali pun begitu aku merasa kagum juga oleh sikapmu itu, kau memang tidak malu jadi putranya Pek Tiang Hong, andaikata ayahmu bisa menyaksikan sendiri putranya akan menerjang keluar dari Benteng Kiam-poo, aku rasa tentu akan merasa bangga dan senang..." Pek In Hoei mendengus dingin, ia menyapu sekejap dua belas baris jago pedang baju merah yang berjajar di ke dua belah lapangan, tanyanya : "Apa pekerjaan mereka di sini?" Cui Tek Li tertawa hambar.
"Mereka adalah barisan pengantar tamu dari benteng kami, mereka berdiri di tempat ini sebagai tanda rasa hormat kami terhadap dirimu, aku harap kalian berdua jangan sampai menyia-nyiakan rasa hormat mereka itu..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... banyak amat permainan dalam bentengmu ini," seru Lu Kiat sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara ke-dua orang itu hendak berlalu, tiba-tiba para jago pedang baju merah yang berada di sisi kalangan bersama-sama cabut keluar pedangnya, setelah diputar satu lingkaran di udara orang-orang itu segera tunjukkan sikap memberi hormat.
Dalam keadaan seperti ini Pek In Hoei serta Lu Kiat terpaksa harus ayun tangannya pula sebagai tanda jawaban.
Terdengar Cui Tek Li dengan bangga berkata : "Aku hanya bisa mengantar keberangkatan kalian berdua sampai di sini saja, acara selanjutnya aku serahkan kembali pada kalian sendiri untuk menentukan sikap dan pendirian..." Perlahan-lahan dia hentikan langkah kakinya dan menambahkan dengan suara berat : "Lebih baik kalian berdua memilih jalan yang ke-tiga, dua sebab aku rasa hanya jalan yang ini saja paling sesuai dan cocok dengan selera kalian, aku harap maksud baikku ini bisa..." "Benarkah jalan nomor tiga yang paling lihay di antara jalan-jalan lainnya?" tukas Pek In Hoei, "kalau memang demikian adanya, aku rela memilih jalan yang ini..." "Lihay sih belum tentu," kata Cui Tek Li sambil menggeleng, "hanya aku rasa jalan itu paling serasi dan cocok bagimu..." Habis berkata ia segera bertindak melangkah pergi dari tempat itu.
"Poocu..." mendadak Jago Pedang Berdarah Dingin berseru.
"Ada urusan apa?" tanya Cui Tek Li sambil berhenti dan berpaling dengan wajah tercengang.
Pek In Hoei menghembuskan napas panjang, katanya : "Aku harap kau bisa baik-baik merawat ibuku..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " tiba-tiba pemilik dari Benteng Kiam-poo itu tertawa tergelak, "apakah kau tidak merasa bahwa perkataanmu itu kurang sesuai pada tempatnya" Aku mencintai istriku, tentu saja aku akan merawat dirinya baik-baik! Aku merasa terharu karena kebaktianmu itu, aku bisa menyampaikan kebaktianmu itu kepada ibumu..." "Tidak! Jangan kau sampaikan kepadanya..." Dengan hati yang pedih dan penuh siksaan batin pemuda itu berdiri dengan tubuh gemetar, titik air mata mengembang dalam kelopak matanya, lama sekali dia baru menghela napas sedih, ujarnya kembali : "Poocu, aku masih ada satu urusan hendak kumohonkan kepadamu..." Cui Tek Li menjawab : "Tidak berani, meskipun aku Cui Tek Li tidak mempunyai hubungan apa pun dengan dirimu, tetapi sangkut paut di antara kita memang agak berbeda, asal kau sudi untuk mengutarakannya keluar, akua tentu akan berusaha untuk melaksanakannya, tentu saja kecuali pekerjaan yang tak mungkin bisa kubantu...
katakanlah!" Sepasang biji mata Jago Pedang Berdarah Dingin yang jeli dan tajam perlahan-lahan dialihkan ke tengah udara dan memandang awan putih yang melayang di angkasa, ia merasa hatinya pedih sukar diutarakan...
sesudah termenung sebentar ia berpaling dan memandang kembali ke arah poocu itu.
Seandainya kali aku gagal untuk keluar dari benteng ini dan tidak beruntung aku menemui kematian, harap berita ini jangan kau sampaikan kepada ibuku," kemudian lanjutnya dengan suara lirih, "aku tidak mengharapkan hatinya sedih dan berduka karena kejadian itu, katakan saja bahwa aku telah berhasil lolos dari tempat ini...
Poocu, aku rasa pekerjaan segampang ini tentu sanggup kau lakukan bukan?" "Ehmm..." Cui Tek Li mengangguk, "baiklah, aku akan berusaha keras untuk memberi bantuan kepadamu!" Setelah kepedihan hatinya berhasil disapu lenyap, air muka Jago Pedang Berdarah Dingin pun berubah jadi cerah kembali, dengan semangat menyala-nyala ia tertawa tergelak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Poocu!" serunya, "sekarang kau boleh turunkan perintah, kami telah siap menerjang keluar dari benteng ini..." "Semua rintangan telah siap dan orang-orangku telah menanti di sana, kalian berdua boleh segera berangkat! Sepanjang jalan kudoakan agar kalian berdua bisa melakukan pertarungan dengan penuh semangat, ingatlah baik-baik kehidupan atau kematian kalian berdua semuanya tergantung pada usaha kamu berdua kali ini..." Dia tertawa misterius, lalu menambahkan lagi : "Semoga saja perpisahan kita kali ini bukanlah perpisahan untuk selama-lamanya, aku berharap masih punya kesempatan untuk bertemu lagi dengan kalian berdua." "Hmmm," Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus berat, sepasang dahinya berkerut, setelah tertawa dingin serunya : "Kau tak usah kuatir poocu, suatu ketika aku bakal mengunjungi lagi Benteng Kiam-poo dan memusnahkan tempat yang penuh noda ini!" "Kau...
selamanya kau tak akan bisa kembali lagi ke sini..." teriak Cui Tek Li dengan jantung berdebar keras.
"Hmmm! Lihat saja nanti bagaimana hasilnya," seru Lu Kiat sambil mendengus, "Poocu! janganlah kau memandang suatu urusan terlalu yakin, aku percaya suatu ketika pasti akan tiba saatnya kami muncul kembali di tempat ini..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... aku pun berharap bisa menjumpai keadaan seperti itu, moga-moga apa yang kalian ucapan bisa tercapai." Sambil tertawa seram pemilik dari Benteng Kiam-poo ini segera ulapkan tangannya, dua baris jago pedang baju merah itu segera putar badan dan berlalu mengikuti di belakangnya.
Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat tetap berdiri tegak di tengah lapangan, mereka tahu percobaan hidup yang paling berat telah berada di depan mata...
menanti semua orang telah berlalu, mereka saling bertukar pandangan sekejap dan perlahan-lahan maju ke muka.
"Toako!" di tengah jalan Pek In Hoei berkata dengan perasaan hati berat, "aku benar-benar merasa tidak enak hati terhadap dirimu, kali ini gara-gara urusan siau-te, aku telah mengajak dirimu untuk ikut serta dalam perjuangan menempuh bahaya maut." "Aaah! Perkataan macam apakah itu..." tukas Lu Kiat sambil tertawa rawan, "urusanmu berarti urusanku pula, asal kita bisa bersatu padu aku percaya Benteng Kiam-poo yang demikian kecilnya ini pasti tak akan mampu menahan diri kita berdua." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei menghela napas panjang, sambil tertawa getir dia gelengkan kepalanya berulang kali, dengan wajah yang murung dan langkah yang berat ia lanjutkan langkahnya menuju ke depan.
Setelah melewati sebarisan beranda di hadapan mereka muncullah sebuah kebun bunga yang luas, dalam kebun tadi Kongsun Kie berdiri seorang diri di tempat itu.
Ketika menyaksikan kedatangan dua orang pemuda itu sambil tersenyum dia segera maju menyongsong, katanya : "Saudara berdua, sewaktu masuk ke dalam benteng akulah yang telah menjemput kalian, sekarang waktu kalian akan keluar dari benteng ini aku pula yang akan menghantarkan keberangkatan saudara berdua, tolong tanya hari ini kalian akan memilih jalan yang ke berapa untuk ditempuh dalam usaha keluar dari Benteng Kiam-poo ini?" "Jalan ke-tiga..." jawab Pek In Hoei ketus.
"Jalan ke-tiga...?" tanya Kongsun Kie setelah tertegun sebentar, "pilihan kalian memang tepat sekali...
silahkan! Aku akan menghantar kalian berdua untuk melakukan perjalanan." Dengan cepat ia menggerakkan tubuhnya menerobos masuk ke dalam kebun bunga yang amat luas itu, tidak lama kemudian sampailah mereka di depan tiga buah jalan bercabang yang membentang di tengah kebun itu.
Sambil menuding ke arah jalan cabang yang berada di sebelah kanan, ujarnya : "Kalian berdua boleh segera melakukan perjalanan lewat jalan ini, inilah jalan nomor tiga yang kalian inginkan...
Nah! Tugasku hanya sampai di sini saja, semoga kalian berdua bisa lancar di jalan dan keluar dari benteng ini tanpa mengalami kekurangan sesuatu apa pun..." "Sampai jumpa lain waktu..." sambung Lu Kiat sambil berpaling dan tertawa dingin.
Berjalan di samping Pek In Hoei, berangkatlah ke-dua orang pemuda itu lewat jalan paling kanan yang ditunjukkan itu, dari belakang secara lapat-lapat masih terdengar suara tertawa dingin Kongsun Kie yang tak sedap didengar, rupanya orang itu sedang mentertawakan mereka berdua.
Sepanjang jalan bau harum bunga tersiar di seluruh udara, kicauan burung dan bunyi jangkrik membuat suasana terasa nyaman dan damai, seandainya ke- dua orang itu bukan untuk berangkat bertarung, niscaya mereka akan berhenti sejenak di sana untuk menikmati keindahan alam tersebut.
Malam telah menjelang tiba, kegelapan mulai menyelimuti seluruh angkasa, berjalan di tengah kegelapan yang sunyi dan sepi Pek In Hoei merasa jantungnya berdebar dan bulu kuduk tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba... di hadapan mereka muncul dua buah lentera yang memancarkan cahaya hijau, cahaya yang mendatangkan perasaan ngeri bagi yang melihat.
Cahaya hijau yang terpancar keluar dari lampu lentera di tengah kegelapan itu menyiarkan warna yang pucat dan menyeramkan, seolah-olah api setan yang gentayangan di udara terbuka.
Sebuah batu nisan yang tinggi besar berdiri menjulang ke angkasa, batu itu sangat besar dengan beberapa huruf terukir di atas permukaannya, tulisan itu berbunyi demikian : 'Jalan di depan sudah putus tiada jalan, kembali ke tepian tepian pun musnah' Pek In Hoei tertawa dingin, dia ayunkan telapak kanannya ke muka melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke atas permukaan batu cadas tadi, makinya : "Enyah kamu dari sini..." Kraaak...! Diiringi dentuman yang amat keras, tiang batu yang menjulang tinggi ke angkasa itu patah dan hancur jadi berkeping-keping, percikan bunga api diiringi ceceran bubuk batu berhamburan di angkasa...
dentingan nyaring menggetarkan telinga setiap orang.
"Hmm... hmm..." tiba-tiba dari balik kebun bunga yang tercekam dalam kegelapan berkumandang keluar suara tertawa dingin yang menyeramkan, suara tertawa itu begitu dingin dan ketus sama sekali tidak berperasaan membuat orang yang mendengar jadi tak sedap dan ngeri.
Lu Kiat dengan sepasang mata melotot besar membentak keras : "Sahabat, kalau kau punya keberanian unjukkanlah dirimu...
orang yang mencari gara-gara datang sudah." "Hmm...
Hm... " kembali suara tertawa dingin yang menyeramkan berkumandang memecahkan kesunyian, dari balik hutan bunga perlahan-lahan muncullah dua orang kakek kekar berbaju hitam.
Begitu menyaksikan raut wajah dua orang kakek baju hitam tersebut, Lu Kiat segera berseru tertahan karena kaget, sambil mendengus dingin, serunya : "Sungguh tak kunyana kalau rintangan pertama dari Benteng Kiam-poo bisa dijaga oleh ke-dua bersaudara she-Hoa, Hmmm...
Hmmm... Hoa-bun-ji-Nio dua orang ganas dari keluarga Bun sudah lama tersohor di kalangan hitam, rupanya kamu berdua sudah ditarik oleh Cui Tek Li masuk ke dalam kalangan komplotannya...
maaf... hal ini sangat mengagumkan kami berdua." Dalam pada itu Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa terkesiap juga sesudah mengetahui kalau dua orang lawannya adalah sepasang manusia ganas dari keluarga Hoa yang tersohor di kalangan hitam itu, mereka sudah tersohor lama sekali dalam dunia persilatan, entah berapa banyak jago lihay dan orang gagah yang jatuh kecundang atau mati binasa di tangannya...
sejak dahulu mereka sudah dipandang sebagai dua malaikat pembunuh yang disegani setiap orang.
Terdengar kakek bermata tunggal yang berada di sebelah kiri tertawa seram, lalu berkata : "Saudara Lu, sungguh tajam amat sepasang matamu itu...
aku tak mengira kau masih kenali diriku, Hoa toa-ya...
baiklah! Bicara terus terangnya saja, malam ini kami berdua bersaudara mendapat perintah dari poocu untuk menjaga pos rintangan pertama, dalam keadaan demikian sekali pun kita punya hubungan di masa silam maafkanlah kalau aku tak dapat memberi muka kepadamu, seandainya kau ingin berlalu dari sini maka cobalah lebih dulu untuk mengalahkan kami berdua!" Pek In Hoei melirik sekejap ke arah kakek tua itu, lalu sambil berpaling ke arah Lu Kiat tanyanya : "Toako, siapa nama orang ini?" "Aku adalah Hoa Beng..." jawab kakek bermata tunggal itu dengan mata melotot bulat.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kalau kau bernama Hoa Beng, maka yang satuya lagi tentu bernama Hoa Pak...
betul bukan" ejek Pek In Hoei sambil tertawa terbahak-bahak.
Kakek tua di sebelah kanan yang wajahnya penuh codet itu segera berteriak dengan penuh kegusaran, makinya : "Kentut busuk makmu...
aku bernama Hoa Yong! Mengerti tolol?" babi..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... aku memang tahu kalau dari keluarga Hoa tak seorang pun merupakan manusia baik-baik, apalagi selam berada dalam Benteng Kiam-poo kalian menjalankan perintah dari Cui Tek Li, bisa kubayangkan tak mungkin ada pekerjaan baik yang telah kalian lakukan...
Hmm... Hmm... malam ini aku si Jago Pedang Berdarah Dingin akan menagih hutang-hutang jiwa g telah kalian lakukan..." ujar Pek In Hoei dengan suara yang menyeramkan.
"Huuuh...!" Hoa Yong mendesis sinis, "Tadinya kubayangkan manusia macam apa sih Jago Pedang Berdarah Dingin itu, eeei...
eeei... tak tahunya cuma seorang bocah cilik yang masih bau tetek.
Hmm! Seandainya Poocu tidak menurunkan perintah kepadaku untuk mempertahankan rintangan pertama ini aku betul-betul tak sudi untuk bertempur melawan seorang bocah cilik..." "Belajar silat tak ada yang lebih duluan atau terakhir, siapa yang berhasil mencapai puncak kesempurnaan lebih dulu dialah jago...
kamu berdua tak usah berjual lagak seolah-olah angkatan yang lebih tua, malam ini aku orang she Pek akan suruh kalian saksikan dan rasakan bahwa penampilan yang dilakukan seorang anak muda pun tak akan lebih enteng daripada apa yang kalian lakukan..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... bagus sekali," seru Hoa Beng sambil tertawa seram, "kau berani tidak pandang sebelah mata terhadap kami berdua..." Pedang panjangnya segera dicabut keluar dari sarungnya, kemudian sambil mengantarkannya di tengah udara ia berteriak keras : "Sekarang kalian boleh maju serentak, aku si orang tua dengan pedangku sudah menantikan kedatangan kalian." "Hm! Kita akan bertarung satu lawan satu atau dua lawan satu?" dengus Jago Pedang Berdarah Dingin.
"Sesuka hatimu, aku si orang tua akan mengiringi kemauanmu itu!" "Bagus...
aku ingin sekali bertempur lawan kalian dua orang she-Hoa dengan kekuatan seorang diri..." "Adik In Hoei, jangan!" teriak Lu Kiat dengan tubuh bergetar keras karena terperanjat.
Hoa Yong yang mendengar tantangan itu jadi naik pitam, bentaknya : "Bocah keparat, kau benar-benar takabur dan tak tahu tingginya langit tebalnya bumi, setiap orang dalam dunia persilatan telah mengenal sampai di manakah kelihayan yang kami miliki...
dan sekarang kau ingin melawan kami berdua dengan kekuatan sendiri" Huuh...
rupanya kau sudah bosan hidup." Pada saat ini Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasakan hawa darah dalam rongga dadanya bergolak keras, ia tersenyum dingin dan air mukanya berubah jadi menyeramkan, perlahan-lahan pedang mestika penghancur sang surya dicabut keluar dari sarungnya dan diayunkan di tengah udara.
Sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata segera berhembusan memenuhi seluruh angkasa.
"Aaaa...! Pedang mestika penghancur sang surya..." bisik Hoa Yong dengan tubuh gemetar keras, "tak pernah kusangka kalau benda kesayangan dari Cia Ceng Gak itu bisa terjatuh di tangannya...
Hmmm.. toako! Tempo hari bapaknya juga mempunyai kegagahan seperti ini." "Aku lihat bangsat cilik ini bukan manusia sembarangan, ia tak mungkin goblok dan nekad bila tidak memiliki simpanan," seru Hoa Beng dengan wajah serius, "kali ini kita harus bertindak hati-hati, janganlah sampai terbalik di selokan kecil dan menelan kekalahan secara mengenaskan..." Pek In Hoei tarik napas panjang-panjang, kembali tegurnya : "Bagaimana" Apakah kalian berdua telah bersiap sedia?" "Kau betul-betul berani melawan kami berdua dengan kekuatan seorang diri...?" seru Hoa Yong dingin, "sahabat Pek, aku lihat lebih baik tariklah kembali ucapanmu itu, menerjang keluar dari Benteng Kiam- poo bukanlah suatu pertarungan adu jiwa, kenapa kau mesti nekad dan cari penyakit buat diri sendiri" Jika kau berbuat begitu maka harapan untuk hidup pun tak akan kau miliki lagi..." "Selamanya apa yang telah diucapkan Jago Pedang Berdarah Dingin tak pernah diubah lagi, kalian berdua boleh segera bersiap sedia untuk melangsungkan pertempuran, sebab pada malam ini bukan saja aku akan berusaha untuk menerjang keluar dari Benteng Kiam-poo, di samping itu aku pun hendak membereskan pula jiwa kalian berdua..." "Apa?" saking gusar dan mendongkolnya Hoa Yong sampai meloncat dari tempat semula, ia tuding Pek In Hoei dengan pedangnya dan kembali berteriak : "Maknya...
bangsat! Kau bocah keparat benar-benar tak tahu diri...
bajingan terkutuk! Kau berani memandang rendah kami berdua" Hmm! Jika malam ini aku Hoa Yong membiarkan kalian berhasil lolos dari rintangan pertama, aku tak sudi memakai she Hoa lagi..." Dia memberi tanda kepada Hoa Beng dan melanjutkan sambil tertawa seram.
"Toako, daripada menampik lebih baik kita ikuti saja kemauannya, mari kita maju bersama." Bayangan pedang bergetar di udara, dua gulung hawa pedang yang berwarna hijau tua segera meluncur masuk di sisi kiri dan kanan, dua orang tokoh sakti dari kalangan hitam ini benar lihay dan tak boleh dipandang rendah, meskipun baru jurus pertama namun bisa terlihat sampai di manakah kelihayannya dalam ilmu pedang.
Dengan hati tercekat Pek In Hoei segera menghindar ke samping, pikirnya dalam hati : "Tak kusangka dua orang manusia terkutuk ini memiliki kepandaian yang luar biasa." Pedang mestika penghancur sang surya segera digetarkan ke muka dan laksana kilat melancarkan dua titik cahaya pedang, ke-dua serangan itu luar biasa lihaynya dan merupakan penampilan dari ilmu pedang tingkat paling atas.
Detik itu juga dua orang tokoh sakti dari kalangan hitam itu terpukul mundur dan harus menyingkir tiga langkah ke belakang.
"Hmmm...! Hmmm...! Rupanya kau memang luar biasa dan tak boleh dipandang enteng..." gumam Hoa Beng dengan sorot mata memancarkan sinar kebengisan.
"Maknya..." teriak Hoa Yong pula sambil mendorong pedangnya ke arah depan, "aku paling tidak percaya dengan segala permainan setan, coba lihat kelihayanku ini..." Tubuh mereka berdua kembali bergerak menerjang ke depan, ibaratnya sukma gentayangan dua bersaudara she Hoa ini segera melancarkan bacokan pedang dari samping kiri dan kanan, begitu dahsyat dan mengerikan sekali bacokannya itu membuat Lu Kiat yang berada di sisi kalangan jadi terkejut dan mengucurkan peluh dingin, ia sangat menguatirkan keselamatan dari saudaranya.
Air muka Pek In Hoei masih tetap diliputi keketusan yang menggidikkan hati, ia tarik napas panjang- panjang kemudian bentaknya keras-keras : "Sahabat, sekarang kalian berdua rasakan seranganku." Bagaikan segulung angin yang berhembus lewat, tubuhnya berputar di udara dan langsung meluncur ke depan, cahaya pedang mestika penghancur sang surya yang menyilaukan mata menciptakan berpuluh- puluh kuntum bunga yang tajam dan bersama-sama menyapu ke depan.
"Aduuuh...!" dua kali jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang di angkasa memecahkan kesunyian yang mencekam seluruh jagad, percikan darah segar muncrat ke empat penjuru dan membasahi kebun bunga yang harum semerbak itu...
Blaaam...! blaammm...! tubuh Hoa Bun Ji Nio yang tinggi kekar roboh terjengkang di atas tanah dan tak bisa berkutik lagi.
"Kau... kau amat keji!" terdengar Hoa Beng berteriak dengan suara terpatah-patah.
"Hmm! Inilah buah karya yang harus kalian terima atas perbuatan yang sudah kamu berdua lakukan selama ini," sahut Pek In Hoei dengan suara dingin, "seandainya di masa yang silam kalian tidak pernah melakukan kejahatan, tak mungkin pula kamu berdua akan menerima pembalasan yang setimpal pada malam ini...
Nah! Saudara berdua, selamat tinggal!" Tuuuung...
tuuung... Suara tambur bergema di tengah kesunyian malam yang menyelimuti seluruh jagad, lentera hijau dengan cahaya yang pucat masih bergoyang di tengah hembusan angin, hanya di sisi tempat itu kini bertambah dengan dua sosok tubuh manusia yang berada dalam sakratul maut...
Tuuung...! Tuuung...! suara tambur kembali berkumandang di tengah kesunyian, setelah berdengung di angkasa perlahan-lahan dan sirap...
suasana diliputi kembali oleh kesunyian serta keheningan...
Jenazah dari dua bersaudara she Hoa tergeletak berjajar di tepi kebun bunga, darah dalam tubuh mereka telah membeku dan kematian mereka mengenaskan sekali.
Pek In Hoei serta Lu Kiat menghela napas, diam-diam mereka merasa bersedih hati bagi nasib ke-dua jago- jago yang malang itu...
Lu Kiat tarik napas panjang- panjang, lalu berkata : "Adik In Hoei, kita sedang berusaha keluar dari Benteng Kiam-poo dan bukan melangsungkan pertarungan mati hidup, kenapa kau mesti membinasakan mereka berdua?" Ia tidak tega menyaksikan kematian dua bersaudara she Hoa yang mengerikan itu, timbul rasa kasihan dan iba dalam hati kecilnya sehingga dalam pembicaraan pun nada suaranya mengandung nada menegur.
Jago Pedang Berdarah Dingin bukanlah seorang manusia yang gemar membunuh orang, bila tidak berada dalam keadaan yang mendesak ia tak ingin membunuh orang.
Terhadap nama busuk sepasang manusia ganas dari keluarga Hoa, pemuda ini sudah mengetahuinya sejak pertama kali ia terjun ke dunia persilatan, ia tahu bahwa selama hidupnya ke-dua orang itu belum pernah berbuat kebajikan, entah berapa banyak manusia budiman yang telah menemui ajalnya di tangan mereka.
Oleh sebab itu sejak bertemu dengan mereka berdua, dalam hatinya sudah ambil keputusan untuk membasmi dua orang manusia laknat itu dari muka bumi.
Mendengar teguran itu sambil tertawa rawan segera jawabnya : "Toako, kenapa kau bisa mengasihani manusia semacam itu" Perbuatan mereka yang mana telah membuat kau harus mengasihani dirinya" coba pikirlah...
andaikata saat ini kita yang menderita kalah maka betapa mengenaskannya keadaan tersebut, mungkin yang berbaring di tanah pada detik ini bukan mereka melainkan kita berdua..." "Sekali pun begitu aku tetap merasa bahwa membunuh orang pada saat seperti ini bukanlah tindakan yang benar, asal kita bisa keluar dari mulut harimau dengan lancar tanpa rintangan kejadian itu sudah merupakan suatu keberuntungan yang luar biasa besarnya, kau mesti tahu Cui Tek Li adalah seorang manusia licik yang sangat berbahaya, bila kita terlalu banyak membunuh anak buahnya, siapa tahu kalau ia pergunakan alasan itu untuk menyusahkan kita berdua." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " tiba-tiba Pek In Hoei angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak, "toako, kau anggap Cui Tek Li bisa melepaskan kita berdua dengan begitu mudah dan gampang" Bila kau kau berpendapat demikian maka pendapatmu itu adalah suatu cara berpikir yang keliru besar, sekarang asal kita bisa membunuh satu orang lebih banyak berarti kita akan memperoleh keuntungan yang lebih besar, siapa tahu sampai pada akhirnya kitalah yang bakal mati." "Aku tidak sependapat dengan jalan pikiranmu itu," bantah Lu Kiat sambil menggeleng.
Pek In Hoei tertawa hambar.
"Toako, dunia persilatan adalah dunianya manusia menjagal manusia, kalau tindakanmu kurang tegas dan kurang kejam maka dirimu yang bakal terperosok ke dalam jurang kehancuran...
Banyak orang karena berhati terlalu lemah dan baik budi, perbuatannya itu mengakibatkan dirinya ikut musnah dari muka bumi." "Pandanganmu itu terlalu cupat," seru Lu Kiat sambil tertawa getir, "kadang kala membunuh orang belum tentu merupakan suatu cara yang paling baik untuk menyelesaikan suatu persoalan, aku anjurkan lebih baik gunakanlah budi pekerti yang luhur untuk menundukkan kejahatan, sebab itulah cara yang paling bagus!" "Aaai...
mungkin sekali apa yang kau ucapkan memang benar." Pekikan burung malam berbunyi di tengah kegelapan, jeritan yang tinggi melengking telah menusuk perasaan ke-dua orang itu dalam-dalam, mereka tanpa sadar berpaling ke depan memandang rintangan berikutnya yang telah menantikan kedatangan mereka berdua.
Suara langkah kaki yang berat bergetar di bumi...
dengan perasaan serta langkah yang berat bagaikan ditindih bukit tay-san Pek In Hoei serta Lu Kiat meneruskan perjalanannya ke depan, mereka menyadari hidup atau mati tergantung pada perjuangan mereka pada malam ini.
Sebuah jalan kecil beralas batu yang panjang terbentang di depan mata, ke-dua belah sisi jalan penuh tumbuh bunga putih kecil yang menyiarkan bau harum semerbak.
Mendadak... tiga sosok bayangan manusia yang tinggi besar perlahan-lahan berjalan keluar dari balik bebungaan yang lebat, ke-tiga orang manusia itu berbadan kaku bagaikan mayat hidup, tubuh mereka lurus dan kaku sedikit pun tidak menunjukkan tanda- tanda kehidupan, terutama sekali enam buah matanya yang besar dan memancarkan cahaya hijau seolah-olah sorot mata setan yang membetot sukma, membikin hati orang merinding dan berdebar keras.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " suara tertawa seram yang mendirikan bulu roma berkumandang bagaikan bukan muncul dari mulut manusia, suara yang terpancar keluar dari mayat-mayat hidup itu kedengaran begitu dingin dan mengerikan sehingga terasa jauh lebih dingin daripada es atau salju berusia ribuan tahun...
Lu Kiat segera menyikut badan Pek In Hoei sambil berbisik : "Kau kenal dengan tiga orang itu?" Pek In Hoei tertegun, lalu menggeleng.
"Aku tidak tahu!" jawabnya.
Walaupun di dalam dunia persilatan ia telah berhasil merebut julukan sebagai Jago Pedang Berdarah Dingin, dan selama dua tahun terakhir belum pernah ada manusia yang mampu menandingi kelihayan ilmu silatnya, tetapi dalam hal pengetahuan serta pengalaman dalam dunia persilatan, ia masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan Lu Kiat, mungkin hal ini dikarenakan keluar Lu adalah keluarga persilatan yang sering kali berhubungan dengan pelbagai lapisan masyarakat, membuat apa yang mereka dengar jauh lebih banyak dari siapa pun.
Oleh sebab itulah dalam hal pengetahuan, Lu Kiat boleh dibilang amat luas dan mendalam sekali...
"Kemungkinan besar ke-tiga orang itu adalah tiga mayat hidup yang pernah kudengar dari pembicaraan orang lain! Cuma aku pernah mendengar pula katanya ke-tiga orang itu sudah mati di bukit Kiu-hoa- san, kenapa sekarang mereka bisa muncul kembali di dalam dunia persilatan..." ujar Lu Kiat dengan wajah serius.
"Mungkin mereka memang belum mati!" sahut Pek In Hoei setelah tertegun sebentar.
"Tidak! Dengan mata kepala sendiri ayahku telah menyaksikan kematian mereka bertiga, waktu itu banyak pula yang menyaksikan kebinasaan tiga mayat hidup...
hal ini tak mungkin salah lagi, apakah dari perguruan mayat hidup masih ada orang lain?" "Perguruan mayat hidup?" ulang Jago Pedang Berdarah Dingin dengan suara gemetar, "apakah kau maksudkan perguruan mayat hidup yang bersarang di propinsi Ou-lam?" "Ehm! Sedikit pun tidak salah, walaupun perguruan mayat hidup bersumber di propinsi Ou-lam tetapi orang yang benar-benar menguasai perguruan tersebut hanyalah keluarga Ko seorang, berhubung perguruan ini adalah suatu aliran sesat yang tidak mempunyai perguruan dan tak mau mengindahkan persilatan orang kangouw tidak sudi berhubungan dengan mereka...
terutama keluarga Ko yang sombong dan takabur, perbuatannya amat keji dan telengas, sudah tersohor di kolong langit sebagai manusia-manusia laknat..." "Ooh...
kalau begitu ke-tiga manusia aneh mayat hidup ini tentulah berasal dari keluarga Ko..." "Tidak salah, ke-tiga orang itu memang murid kesayangan dari keluarga Ko." Dalam pada itu manusia aneh berbadan kaku yang menyerupai mayat hidup itu sudah semakin dekat menghampiri mereka berdua, dengan sorot mata yang tajam dan mengerikan ke-tiga orang itu melotot sekejap ke arah pemuda lawannya, seolah-olah mereka sedang menantikan kesempatan yang bagus untuk melancarkan serangan mematikan.
Lu Kiat dan Pek In Hoei adalah jago-jago lihay di dalam dunia persilatan, tentu saja mereka dapat meraba sikap musuh-musuhnya yang mengandung maksud tidak beres, diam-diam mereka pertinggi kewaspadaannya bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Lu Kiat tarik napas panjang-panjang, sorot matanya perlahan-lahan menyapu sekejap wajah ke-tiga makhluk aneh itu, sorot matanya yang tajam tiba-tiba terhenti di atas wajah seorang makhluk aneh yang beralis tebal, berhidung besar, mulut lebar lidah panjang dan wajah penuh codet itu, darah dalam sekujur tubuhnya terasa membeku, peluh dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya dan untuk beberapa saat tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Kau... kau adalah Le-si ganas!" serunya kemudian dengan suara berat.
Manusia aneh berwajah penuh codet itu terkesiap, sekujur badannya bergetar keras.
Ia tidak menyangka kalau pihak lawan dengan usianya yang begitu muda ternyata memiliki pengalaman serta pengetahuan Bu lim yang amat luas, dalam sekilas pandangan ia berhasil menebak jitu asal usulnya.
Setelah berhasil menenangkan kekagetan hatinya, ia lantas bertanya : "Tebakanmu tepat sekali...
hey bocah cilik, dari mana kau bisa kenali diriku..." "Kalian...
kalian tiga sosok mayat hidup bukankah sudah mati di gunung Kiu hoa san?" seru Lu Kiat kembali dengan badan gemetar.
"Hmmm... dari mana kau bisa tahu?" jerit Mayat Ganas yang ada di sebelah kanan.
Bagian 38 "Hmmm! Kabar berita ini sudah tersebar luas di seluruh dunia persilatan, siapa saja yang pernah melakukan perjalanan dalam Bu lim tentu mengetahui akan peristiwa itu, apa sih yang perlu kalian herankan." "Hmmm..." mayat hidup berkepala botak yang ada di samping Mayat Ganas segera membalikkan matanya yang aneh dan mendengus dingin, "Aku tidak percaya dengan ucapanmu itu, kecuali beberapa orang tertentu yang mengetahui peristiwa ini orang kangouw tak ada yang mengetahui tentang soal itu...
sedang orang yang mengetahui peristiwa itu pun kebanyakan telah kami kejar dan bunuh, apa tujuannya" Bukan lain untuk menutup rahasia ini, kami tidak ingin orang kangouw ikut mengetahui kalau kami pernah pura-pura mati..." "Oooh...
jadi sewaktu berada di gunung Kiu-hoa-san tempo dulu, kalian pura-pura mati..." ujar Lu Kiat dengan hati kaget.
"Haaaah... haaaah... haaaah... tentu saja, hanya dengan berbuat demikianlah kami bisa lepas dari perhatian banyak orang, dan cuma dengan cara ini pula kami berhasil mengejar orang-orang yang pernah hendak membinasakan diri kami untuk kemudian dilenyapkan dari muka bumi, orang-orang itu pasti tak akan bersiap sedia dan menyangka atas kehadiran kami itu...
sekarang kau mengerti bukan?" "Ucapanmu tak bisa dipercayai dengan begitu saja," ujar Lu Kiat kembali dengan sangsi, "ketika berada di gunung Kiu-hoa-san begitu banyak jago lihay Bu lim yang menyaksikan kematian kalian bertiga, sekali pun kamu punya kelihayan untuk membohongi orang, tak mungkin kamu bisa membohongi banyak jago lihay yang hadir di situ, Hmmm! Aku tidak percaya kalian begitu lihaynya..." Mayat hidup yang berada di tengah segera melangkah maju setindak ke depan, katanya sambil tertawa : "Apa yang kau ketahui" Huuh...
paling kentut busuk... ketahuilah dari perguruan mayat hidup kami memiliki semacam kepandaian maha sakti yang bisa tutup napas pura-pura mati, asal kepandaian itu kami gunakan maka keadaan kami tidak akan jauh berbeda daripada keadaan mayat-mayat biasa, siapa pun tak akan mampu membuktikan apakah kami sudah mati atau masih hidup..." "Belum pernah kudengar tentang kepandaian sakti macam itu!" seru Lu Kiat sambil tertawa hambar.
"Hmmm... Hmmm... hal itu harus salahkan pengetahuanmu yang masih picik dan tak tahu apa- apa..." Lu Kiat mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... ilmu menutup napas bisa merubah seorang hidup menjadi sesosok mayat yang telah mati, kepandaian seperti itu tentulah sejenis kepandaian yang luar biasa sekali...
hey! jago lihay dari perguruan mayat hidup, dapatkah kau mendemonstrasikan ilmu sakti itu di hadapanku sehingga menambah pengetahuan dari kami yang masih bodoh..." "Hmmm...
hmmm... jika kau sudah menyaksikan kepandaian seperti itu, maka berarti pula usiamu sudah tidak panjang lagi..." kata si mayat hidup tadi sambil tertawa dingin.
"Pada dasarnya kami berdua memang sudah tak punya harapan untuk tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup-hidup, apalagi berada di hadapan tiga mayat hidup yang super sakti seperti kalian, masa bisa lolos dengan selamat" Asal kau dapat mendemonstrasikan ilmu sakti yang dikatakan lihay sekali di hadapan kami, dan kami berdua merasa tak sanggup untuk menghadapinya maka sekali pun harus mati, kami bisa mati dengan tenang sebab kekalahan tersebut salah kami sendiri yang punya mata tak kenal gunung Tay-san." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... baiklah," ujar mayat hidup itu kemudian setelah tertawa seram, "akan kuperlihatkan sampai di manakah kehebatannya ilmu saktiku itu!" Ia pentang mulutnya lebar-lebar untuk menarik napas, kemudian alisnya berkerut mata melotot besar dan menggeletaklah tubuhnya di atas tanah.
Luar biasa sekali, ketika tubuhnya sudah roboh maka napas pun ikut berhenti dan keadaannya tidak jauh berbeda dengan orang yang telah putus napas dan mati beberapa saat.
Andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa pun tak akan percaya kalau mayat di atas tanah sebenarnya adalah manusia hidup.
"Hmmm! Kematian semacam ini aku kira masih belum dapat mengelabui orang..." seru Lu Kiat kembali dengan alis berkerut.
"Coba periksa sendiri, asal kau mampu untuk menyadarkan kembali dirinya maka kami bertiga akan segera mengaku kalah!" Dengan cepat satu ingatan berkelebat dalam benak Lu Kiat, ia segera berjongkok dan memeriksa keadaan tubuh dari mayat hidup itu, sedikit pun tidak salah! Keadaannya tidak jauh berbeda dengan mayat biasa, keadaannya hampir boleh dibilang dapat mengelabui siapa pun.
Ketika ia meraba tangannya dan tubuhnya ternyata dingin dan kaku, hal ini membuat hatinya diam-diam terkesiap, dia tak mengira kalau di kolong langit terdapat ilmu kepandaian seaneh itu, orang bisa berlagak seolah-olah telah mati, tak aneh kalau para jago lihay yang berkumpul di gunung Kiu-hoa-san tempo dulu berhasil dibodohi oleh ke-tiga sosok mayat hidup itu tanpa mereka sadari.
Diam-diam ia segera menotok tiga buah jalan darah di tubuh mayat hidup itu, aliran darah yang untuk sementara berhenti mengalir itu membuat totokan itu menghasilkan lekukan di tubuhnya, bila ia sadar nanti maka totokan tersebut akan menunjukkan reaksinya membuat aliran darahnya tak bisa pulih dengan cepat, keadaan itu berarti menguntungkan pihaknya.
Setelah melakukan perbuatan itu Lu Kiat segera bangkit berdiri katanya : "Sungguh luar biasa sekali, aku mengaku kalah." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Mayat Ganas tertawa seram, "saudaraku, sekarang kau boleh bangkit berdiri." Tetapi mayat hidup itu masih tetap menggeletak di atas tanah tanpa berkutik, ia tak mampu bangkit berdiri kecuali matanya melotot besar bagikan gundu, dengan buih putih mengalir keluar dari matanya.
Setelah terbungkam beberapa saat, dengan penuh kesakitan ia berteriak : "Toako, dia main licik." "Apa" Dia main licik..." bentak Mayat Ganas dengan gusarnya.
Dengan gemas dan mendongkol dia melotot sekejap ke arah Lu Kiat, kemudian serunya dengan jengkel : "Kau berani betul bermain licik di hadapan kami bertiga...
Hmm! Bocah cilik, rupanya kau tidak ingin mendapatkan kematian yang utuh, tapi ingin mencicipi dahulu pelbagai siksaan dari kami tiga bersaudara...
hmm tunggu saja sebentar lagi." "Hmm! bukankah kalian bilang sendiri kalau ilmu kepandaian tersebut maha sakti dan tiada tandingannya di kolong langit" Untuk membuktikan kebenaran dari perkataanmu itu terpaksa aku harus gunakan sedikit akal untuk menjajalnya, jika ilmu menutup napas memang benar-benar lihay sekali seperti yang kalian katakan, mayat hidup itu tak nanti akan tetap terbaring di sana tanpa berkutik, hey sahabat, aku lihat lebih baik kurangilah ngibulmu yang terlalu berlebih-lebihan itu, kelihayan yang dalam kenyataan cuma tipuan belaka sama sekali tak ada harganya." "Hmm! Setan alas..." teriak Mayat Bengis yang selama ini selalu membungkam, "kalau kita tiga sosok mayat hidup mesti jatuh kecundang di tangan seorang bocah cilik maka muka kita semua di kemudian hari mesti ditaruh di mana" Toako...
aku ingin mendahar dagingnya." "Jie-te, jangan sembrono dan bertindak gegabah," cegah Mayat Ganas sambil menggeleng, "aku masih ada perkataan yang hendak dibicarakan dengan bocah bangsat ini." Sementara itu Mayat Bengis sudah menunjukkan sikap hendak melakukan terjangan, mendengar seruan itu dengan cepat dia tarik kembali serangannya sambil melotot sekejap ke arah Lu Kiat dengan penuh perasaan dendam, hawa membunuh menyelimuti raut wajahnya.
Mayat Ganas mendengus seram, tegurnya : "Bocah keparat, kau adalah anak murid dari perguruan mana?" "Aku rasa persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu, tutup saja bacot anjingmu itu." Mayat Ganas tidak mengira kalau perkataan pemuda itu sangat kasar, seolah-olah sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya, dengan gusar ia tertawa seram.
"Sekali pun tidak kau ucapkan, aku pun sudah tahu, kau pastilah keturunan atau murid dari beberapa orang tua bangka yang berhasil melepaskan diri dari gunung Kiu-hoa-san tempo dulu, kebetulan sekali kalau hendak mencari tahu jejak dari beberapa orang tua bangka celaka itu dari mulutmu." Setelah berhenti sebentar, ia berpaling dan bertanya : "Loo-ji, di antara orang-orang yang sedang kita cari masih ada berapa orang yang belum berhasil ditundukkan..." Mayat Bengis berpikir sebentar, lalu menjawab : "Masih ada seorang kakek she Lu dan seorang perempuan baju hijau..." Lu Kiat terkesiap, dari jawaban pihak lawan dia tahu kalau kakek she Lu yang dimaksudkan bukan lain adalah ayahnya sendiri, sedang perempuan berbaju hijau itu pun pernah diketahui olehnya, menurut perkataan orang perempuan itu adalah salah seorang jago lihay dari partai Thian-san.
Mereka semua termasuk jago-jago lihay yang pernah berkumpul di gunung Kiu-hoa-san untuk menumpas tiga mayat hidup dari muka bumi.
Terdengar Mayat Ganas mendengus dan berkata : "Kedua orang manusia celaka itu mengira mereka sanggup menghindarkan diri dari pengejaran kita orang...
Hmmm! Dan sekarang mereka kirim anak muridnya untuk memusuhi kita bertiga...
haaa... haa..." Ia tertawa seram, lanjutnya : "Bocah keparat, bukankah kau adalah anak murid dari salah satu di antara mereka berdua?" Tokoh sakti dari perguruan Mayat Hidup yang selama hidupnya belum pernah melakukan perbuatan baik ini bukan saja kecerdikannya melebihi orang lain, pengalamannya luas sekali.
Dari nada suara serta perubahan air muka pemuda itu, dengan cepatnya ia dapat menebak asal usul orang.
Ditinjau dari kemampuannya ini bisa ditarik kesimpulan bahwa Mayat Ganas dari perguruan Mayat hidup ini bukan manusia sembarangan.
"Kalau memang engkau pandai menebak asal usul orang, kenapa mesti ajukan pertanyaan lagi?" seru Lu Kiat ketus.
Mayat Bengis tak dapat menahan diri lagi terhadap tingkah laku Lu Kiat yang dianggap jumawa dan sombong itu, dengan tabiatnya yang berangasan dan gampang naik darah dengan cepat alisnya berkerut, sambil ayun tangan kanannya ke muka dia memaki: "Enyah kau telur anjing makmu..."
LU KIAT menggeser tubuhnya ke samping dan teriaknya : "Oooh...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi makmu dilahirkan oleh seekor anjing betina." Pemuda itu tak mau dirinya dimaki orang dengan kata-kata yang merugikan, maka terlontarlah makian yang jauh lebih pedas daripada makian musuhnya.
Tetapi dengan kejadian ini hawa amarah yang berkobar dalam dada Mayat Bengis tak terkendalikan lagi, telapak kanannya diayun ke depan melancarkan satu pukulan bahaya," teriaknya : "Jika aku tak mampu menyelesaikan jiwa anjingmu itu, aku bukan manusia jagoan di dalam Benteng Kiam-poo." Tajam sekali desiran angin pukulannya, seakan-akan gugurnya tanah berbukit yang menimpa badan, angin pukulan tersebut dengan mengandung hawa dingin yang menggidikkan hati segera mengepung empat penjuru di sekeliling tempat itu.
Lu Kiat tercekat hatinya menyaksikan datangnya ancaman angin pukulan yang begitu mengerikan, ia tahu bahwa musuhnya meyakinkan suatu ilmu pukulan beracun yang sangat lihay, tubuhnya buru- buru mengigos ke samping dan loncat mundur ke belakang dengan kecepatan laksana sambaran petir.
"Toako!" Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei segera tertawa dingin, "serahkan saja bangsat itu kepadaku." Lu Kiat menyadari bahwa kepandaian silatnya bukan tandingan lawan, mendengar itu dia mengepos tenaga dan segera loncat ke belakang.
"Kali ini aku harus saksikan kemampuanmu!" bisiknya sambil tertawa ewa.
Dalam pada itu tatkala Mayat Bengis menyaksikan serangannya tidak mengenai sasaran, hatinya segera jadi bergidik, sambil tertawa seram dan wajahnya menyeringai seram ke-dua belah tangannya direntangkan lebar-lebar, sepuluh jari tangannya dengan kuku yang panjang bergetar di udara mencari sasaran, selangkah demi selangkah ia maju mendekat si anak muda itu.
"Siapa kau?" teriaknya gusar.
"Hmm! Aku adalah orang yang sedang kalian nantikan," sahut Pek In Hoei sambil mendengus dingin.
Mayat Bengis segera menghentikan gerakan tubuhnya, dengan wajah tercengang dan sangsi ia menegur : "Oooh...! Jadi kau adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei" Apa kau tidak berbohong?" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... tidak salah, akulah Pek In Hoei yang sedang kalian tunggu-tunggu," pemuda itu tertawa dingin, "bukankah kalian tiga sosok mayat hidup sedang menjalankan tugas dari Cui Tek Li untuk menghadang jalan bagiku" Kini aku sudah berdiri di hadapan kalian semua, setiap saat kamu boleh turun tangan." "Oooh! Jadi kau adalah putra Pek Tiang Hong?" tanya Mayat Bengis lagi dengan hati tercekat.
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah lootoa dari tiga mayat hidup kemudian balik tanyanya : "Kau juga kenal dengan ayahku?" Air muka Mayat Ganas berkerut kencang, wajahnya yang penuh codet bergetar keras menahan emosi yang berkobar-kobar, jeritnya penuh kebencian : "Kenal...
kenal... tentu saja kenal." "Hmm! Aku tidak percaya," tukas Pek In Hoei dengan wajah menghina, "aku tidak percaya kalau ayahku sudi mengadakan hubungan dengan manusia macam kalian itu.
Ciss! Semua sahabat serta kenalannya adalah manusia budiman serta orang gagah yang berbudi luhur dan berjiwa ksatria, dia tak mungkin sudi berhubungan dengan kamus semua!" Seolah-olah dadanya terhantam oleh suatu benda yang amat berat, tiba-tiba Mayat Ganas mendesis penuh kesakitan, sorot matanya memancarkan cahaya berapi-api yang penuh mengandung hawa kegusaran, keadaan orang itu ibaratnya binatang liar yang sedang menghadapi ajalnya.
Penampilan mimik wajah itu bukan saja mengejutkan hati Jago Pedang Berdarah Dingin, bahkan Lu Kiat yang berada di belakang pun ikut berdebar keras menjumpai keadaan tersebut.
"Coba saksikanlah raut wajahku ini," ia berseru sambil tertawa seram.
"Hmm! Selembar wajah yang amat jelek dan memuakkan hati," seru Pek In Hoei dengan perasaan jijik, "belum pernah kutemui manusia yang sejelek dan sengeri wajahmu itu, setiap kali menyaksikan tampangmu aku merasa perutku kontan jadi mual dan ingin muntah.
Hey! Manusia berwajah setan, sudah terlalu banyak kejahatan yang kau lakukan semacam ini, kolong langit sudah bosan menampung manusia jelek berhati kejam macam dirimu lagi, aku lihat sudah tiba waktunya bagimu untuk pulang ke neraka dan bercampur dengan bangsamu." "Haaaah...
haaaah... haaaah... tahukah engkau kenapa wajahku bisa hancur jadi begini rupa?" teriak Mayat Ganas sambil tertawa seram.
"Bagi manusia-manusia ganas yang sudah sering melakukan perbuatan jahat seperti kalian, siapa pun mempunyai keinginan untuk melenyapkan kamu semua dari muka bumi," seru Pek In Hoei ketus, "wajah kalian tidak menampilkan kebajikan dan kebaikan hati, sedang dalam hati kejahatannya melebihi raut mukanya itu, tentu saja setiap ksatria yang bertemu dengan kalian ingin merusak tampangmu itu...
bila kalian suka bertobat dan tidak melakukan perbuatan jahat lagi, mungkin jiwa kalian bertiga masih bisa diselamatkan..." "Tutup mulut!" tiba-tiba Mayat Ganas membentak keras, "sudah cukupkah perkataanmu itu?" Pek In Hoei tertawa dingin.
"Terhadap manusia-manusia tak tahu diri semacam dirimu itu sebenarnya tak usah banyak bicara, tetapi kalau memang kau sudah merasa tersinggung hatinya oleh perkataan ku tadi, sekarang bolehlah kita lanjutkan penyelesaian urusan ini dalam beradu kepandaian..." Mayat Ganas memegang kencang-kencang raut wajahnya yang mengerikan itu lalu mendesis penuh penderitaan, perlahan-lahan tangannya meluncur ke bawah dan angkat kepala, dengan wajah penuh kebencian.
"Tahukah engkau, bahwa wajahku bisa hancur jadi begini gara-gara perbuatan dari ayahmu..." jeritnya.
"Hasil karya ayahku?" seru Pek In Hoei tertegun, "maksudmu ayahku yang merusak wajahmu itu..." "Hmm! Pek Tiang Hong adalah manusia rendah yang tak tahu malu..." teriak Mayat Ganas lagi sambil mendengus, "dia merusak wajahku agar aku tidak dapat bertemu manusia lagi dalam lingkungan hidup masyarakat biasa, dia suruh aku setiap harinya hanya bersembunyi dalam dunia kegelapan..." Ia berhenti sebentar dan tertawa seram, terusnya : "Penderitaan dan siksaan batin seperti ini tak mungkin bisa dialami oleh siapa pun, semua orang tak akan tahan kalau disiksa terus menerus dengan secara demikian." "Aku melarang engkau memaki ayahku seenak- enaknya sendiri..." bentak Pek In Hoei sinis.
"Huuh...! Kau anggap ayahmu adalah seorang budiman" Seorang ksatria yang berbudi luhur" Tahukah engkau bukan saja ayahmu berhati kejam dan bertangan besi, dia adalah telur busuk tua yang pandai sekali menggunakan akal licik, cukup kau pandang raut wajahku ini, maka akan kau ketahui bagaimanakah rendahnya cara ayahmu menghadapi orang..." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak menyangka kalau Mayat Ganas sang lo-toa dari tiga mayat hidup menilai ayahnya begitu rendah dan seolah-olah sama sekali tak ada nilainya, meskipun dia tak tahu apa sebabnya raut muka Mayat Ganas dihancurkan oleh ayahnya, tetapi dia yakin ayahnya bisa bertindak kejam tentu didasarkan oleh alasan tertentu, tak mungkin ayahnya merusak raut wajah orang tanpa sebab, dia percaya ayahnya bukan seorang manusia berhati keji.
Maka dia lantas tertawa sinis, katanya : "Aku duga kau tentu sudah melakukan suatu perbuatan jahat dan tertangkap basah oleh ayahku, maka ia lantas bertindak kejam terhadap dirimu...
Jika demikian keadaannya, kau tak bisa menyalahkan tindak tanduknya yang keji, hal itu harus salahkan pada dirimu sendiri..." "Hmmm! Kau serta bapakmu sama-sama telur busuk..." maki Mayat Ganas dengan penuh kemarahan.
Hawa amarah dalam dada Jago Pedang Berdarah Dingin kontan berkobar, ia memperingatkan : "Hey manusia bermuka jelek, kalau berbicara sedikitlah berhati-hati, kau harus tahu bahwa aku tidak akan seriang ayahku tempo dulu dengan merusak wajahmu belaka, mungkin selembar sisa hidupmu itu pun akan ikut kumusnahkan pula..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kentut busuk nenekmu, setelah bapakmu modar maka dendam sakit hatiku ini boleh dibilang sudah kutuntut separuh, sisanya yang separuh...
Hmm... Hmm... hari ini akan kutagih dari badanmu..." "Coba katakan dahulu apa sebabnya ayahku telah menghancurkan raut mukamu itu..." kata Pek In Hoei hambar.
Mayat Ganas tertegun sejenak, kemudian balik bertanya : "Mau apa kau tanyakan persoalan ini?" "Aku tidak ingin mempunyai bayangan jelek tentang ayahku di dalam benakku, maka aku harus mencari tahu lebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya untuk kemudian akan kutentukan siapa yang benar dan siapa yang salah." "Hmm! Aku cuma menghabiskan isi otak dua manusia hidup saja, lantaran kejadian itu ayahmu lantas tega- teganya merusak wajahku ini, sekarang katakanlah siapa yang kejam?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... kau menghabiskan isi otak manusia hidup, sekali pun mesti mati juga pantas dan ayahku sama sekali tidak terhitung kebangetan!" sahut Pek In Hoei sambil tertawa terbahak-bahak.
"Ciiss... terhitung seberapa sih membunuh dua orang manusia?" teriak Mayat Ganas dengan penuh kemarahan.
Sambil tertawa seram tiba-tiba lengannya disambarkan ke depan, lima jari tangannya yang tajam bagaikan kuku garuda langsung mencengkeram tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin yang berada di hadapannya.
Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmmm! Kau cari mati." Criiing...! Di tengah pekikan nyaring pedang mestika penghancur sang surya ikut tercabut keluar bersamaan dengan gerakan itu, hawa pedang yang menggidikkan hati dengan cepat tersebar di angkasa dan terciptalah suatu lingkaran besar di tengah kegelapan.
"Aaaah...! rupanya pedang mestika penghancur sang surya milik Cia Ceng Gak telah terjatuh ke tanganmu..." gumam Mayat Ganas termangu-mangu, agaknya ia tercengang oleh kejadian tersebut.
"Pedang mestika adalah senjata tajam yang khusus dipergunakan untuk membasmi kaum iblis dari muka bumi, aku yang bertugas melenyapkan kaum durjana dari dunia persilatan tentu saja harus menghadapi manusia-manusia laknat itu dengan pedang tajam ini." "Kentut busuk makmu..." Mayat Ganas meraung keras, tubuhnya menerjang maju ke muka, sepasang telapaknya bekerja melancarkan serangan mematikan.
Cahaya pedang tiba-tiba berkilauan di angkasa diikuti jeritan ngeri yang mendirikan bulu roma berkumandang memecahkan kesunyian, dua buah lengan yang berlumuran darah terlempar ke udara dan rontok ke bumi.
Mayat Ganas dengan wajah menyeringai seram tiba- tiba tertawa keras, teriaknya : "Haaaah...
haaaah... haaaah... bagus... bagus sekali... ayahmu telah merusak wajahku dan sekarang kau melenyapkan pula sepasang lenganku, aku tak mau hidup lagi di kolong langit." Dengan penuh perasaan dendam dia melotot sekejap ke arah pemuda itu, tiba-tiba ia menggigit putus lidah sendiri, diiringi menyemburnya darah segar dari bibir orang itu, melayanglah selembar jiwanya pulang ke alam baka.
"Kau telah memaksa mati toako kami!" bentak Mayat Bengis dengan gusarnya.
"Huuuh... manusia semacam dia, sekali pun mati juga tak perlu disayangkan..." ejek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Bangsat kamu..." bagaikan orang gila Mayat Bengis segera menerjang ke depan, dari punggungnya dia lepaskan sebuah senjata pecut yang panjang, setelah digetarkan di udara menciptakan berpuluh-puluh buah jalur pecut yang panjang, ia serang Pek In Hoei habis- habisan.
Jago Pedang Berdarah Dingin mendengus ketus menyaksikan datangnya ancaman itu, katanya : "Toakomu cukup mengagumkan hatiku sebab dia masih memiliki keberanian untuk bunuh diri, aku tak tahu apakah kau juga mempunyai keberanian untuk melakukan bunuh diri atau tidak, seandainya kau pun ada niat untuk bunuh diri lebih baik pertarungan ini tak usah dilanjutkan lagi." "Kau tak usah bermimpi di siang hari bolong," gembor Mayat Bengis penuh kegusaran, "sampai mati pun aku Mayat Bengis tak mau menyerah apalagi minta ampun kepadamu!" Setelah menyaksikan rekan sejawatnya mati karena bunuh diri, Mayat Bengis yang tersohor karena kekejiannya itu benar-benar tak sanggup menguasai diri, tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri lagi dia mainkan senjata pecutnya sedemikian rupa hingga seluruh jalan darah penting di tubuh lawan sudah berada di bawah kurungannya.
Hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajah Jago Pedang Berdarah Dingin, dia merasa hawa marah dalam dadanya bergolak keras dan sukar dikendalikan lagi, suatu keinginan untuk membinasakan lawannya segera timbul menguasai otaknya.
Pedang mestika penghancur sang surya laksana titiran angin puyuh langsung berkelebat ke depan menerjang masuk lewat kurungan bayangan pecut yang amat rapat itu.
"Aduuuh...!" kembali terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan keheningan malam.
Di kala tusukan pedang yang meluncur ke depan laksana sambaran kilat itu menerobos masuk ke tengah kepungan bayangan pecut yang bersusun, jeritan tadi berkumandang.
Tampaklah sekujur tubuh Mayat Bengis berlepotan darah, tubuhnya terbelah jadi dua bagian dan roboh ke atas tanah, bau amis darah dan hancuran isi perut bercampur aduk di tepi kebun menyiarkan bau amis yang memualkan perut.
Menyaksikan kesemuanya itu Lu Kiat hanya bisa gelengkan kepalanya sambil berkata : "Dia adalah korban ke-empat yang mati penasaran di ujung pedangmu itu!" "Bebaskan jalan darah dari Mayat Dingin..." perintah Pek In Hoei sambil mendengus dingin.
Lu Kiat melengak, dengan pandangan tidak mengerti dia lirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin kemudian berjongkok di sisi tubuh Mayat Dingin dan menepuk dua kali di atas jalan darahnya.
Sekujur badan Mayat hidup itu gemetar keras, ia segera tersadar kembali dari pingsannya.
Uaaak! Ketika bibirnya bergerak hendak berbicara, darah segar memancar keluar dari mulutnya menodai seluruh pakaian yang dia kenakan, rasa kaget dan ngeri terlintas di atas wajahnya.
Tetapi setelah sorot matanya menyapu sekejap ke arah mayat yang bergelimpangan di atas ceceran darah segar, dengan cepat ia sudah tahu apa sebetulnya yang telah terjadi, ia menghembuskan napas panjang lalu berbisik dengan bibir gemetar : "Kalian..." "Saudara-saudaramu telah berangkat lebih duluan darimu...
mungkin mereka sudah menanti kedatanganmu di tengah perjalanan..." seru Pek In Hoei ketus.
Mayat Dingin menguak-uak perdengarkan jeritan aneh yang mengerikan hati, kemudian bisiknya lirih : "Aku pun tak bisa hidup lagi!" Pek In Hoei melirik sekejap ke arah Lu Kiat kemudian ajaknya : "Toako, mari kita lanjutkan perjalanan dan coba membobol rintangan berikutnya." Sambil gelengkan kepalanya berangkatlah ke-dua orang itu menyelusuri lorong kecil menuju ke tempat kegelapan.
Meskipun dua rintangan berhasil mereka lalui dengan gampang, bagaimanakah nasib pada rintangan berikutnya mereka sendiri pun tak tahu.
Bayangan merah bergoyang di ujung jalan yang panjang itu, beberapa buah lampu lentera menyinari sekitar tempat itu dan mengusir kegelapan yang menyelimuti jagad, setelah melewati jalan itu mereka akan tiba di depan pintu benteng, jika rintangan ke- tiga bisa mereka lampaui dengan selamat maka orang Benteng Kiam-poo tidak berhak untuk merintangi perjalanan mereka berdua lagi.
Tetapi justru pada dua rintangan yang terakhir inilah kekuatan ini dari Benteng Kiam-poo diletakkan, setiap anggota Benteng Kiam-poo percaya bahwa mereka berdua tak nanti berhasil melampaui rintangan ke- tiga, apalagi rintangan ke-empat yang dijaga sendiri oleh poocu mereka.
Di bawah kilauan cahaya merah berdiri kaku empat orang pria tinggi kekar dengan gagahnya, pedang panjang tersoren di punggungnya dengan sepasang mata memandang lurus ke depan.
Sepintas lalu ke-empat orang itu nampak begitu gagah dan berjiwa ksatria, tetapi setelah diamati lebih jauh maka terasalah hawa sesat yang memancar keluar dari tubuh mereka, menimbulkan perasaan jemu bagi yang memandangnya.
Ke-empat orang manusia kekar itu sudah setengah malaman lebih menunggu di tempat itu, menantikan kehadiran orang yang dinantikan oleh mereka, tetapi sampai begitu jauh tak terlihat sesosok bayangan manusia pun yang mendekati ruang jaga mereka, hal ini menimbulkan perasaan kecewa dalam hati kecil mereka, kecewa karena tak punya kesempatan untuk turun tangan.
Langkah kaki yang berat bergema memecahkan kesunyian membangkitkan kembali semangat ke- empat orang itu, seakan-akan srigala liar yang mendadak menemukan mangsanya delapan sorot mata segera beralih ke arah kiri...
sebab suara langkah kaki itu muncul dari sudut jalan sebelah kiri...
Dari balik jalan kecil yang sepi muncul sesosok bayangan manusia, orang itu berjubah panjang berjenggot hitam dan melangkah dengan tindakan berat, seakan-akan dalam hatinya punya ganjalan beban yang berat sekali...
selangkah demi selangkah maju terus ke muka...
"Oooo...! Poocu..." Seruan itu mengendorkan pikiran dan perhatian mereka berempat yang sudah tercekam dalam ketegangan, namun kehadiran sang poocu yang tak pernah diduga sebelumnya ini cukup menegunkan pula hati mereka.
Setelah memberi hormat mereka memandang ke arah pemimpinnya ini dengan pandangan tak habis mengerti.
"Yan An!" seru Cui Tek Li setelah menghentikan langkah kakinya.
"Ada apa poocu?" Dari antara ke-empat orang pria kekar itu berjalan keluar seorang pria beralis tebal yang mempunyai tahi lalat di atas jidatnya, dengan pandangan tertegun ia memandang sekejap ke arah pemilik benteng itu, lalu tanyanya kembali dengan suara lirih : "Poocu, ada urusan apa?" Katakanlah!" Cui Tek Li pemilik dari Benteng Kiam-poo itu menghela napas panjang, setelah ragu-ragu sebentar ujarnya : "Pek In Hoei telah melampaui dua rintangan dengan membinasakan lima orang jago kita, sekarang satu- satunya harapan terakhir dari benteng kita terletak pada pundak kamu berempat, aku tidak berharap Pek In Hoei berhasil melampaui pula rintang yang ke-tiga ini..." "Poocu tak usah kuatir, dan kau pun tak usah terlalu merisaukan diri," seru Yan An sambil tertawa keras, "dengan tenaga gabungan dari kami empat orang raksasa, siapakah yang mampu menandingi kekuatan kami?" Coba bayangkanlah sendiri Pek Tiang Hong yang tempo dulu dikatakan sangat lihay pun tak mampu meloloskan diri dari cengkeraman kami, apalagi putranya...
hmmm... hmmm... aku Yan An tidak percaya kalau dia bisa lebih dahsyat daripada ayahnya di masa silam..." "Kalian tak boleh bertindak terlalu gegabah, Jago Pedang Berdarah Dingin secara beruntun mampu menjebolkan pertahanan dari dua rintangan, dari sini bisa kita lihat bila ia benar memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap remeh, jika kali ini mereka pun berhasil merobohkan pertahanan dari kamu berempat, aku lihat...
terpaksa nama Benteng Kiam-poo kita mesti diganti..." Kecuali ilmu silat yang dimiliki Cui Tek Li, boleh dibilang Yan An tak pernah percaya kalau orang lain memiliki kemampuan sedahsyat itu, tetapi setelah menyaksikan kekuatiran poocu apalagi pemimpin mereka itu bicara sambil bermuram durja, tak tahan segera tanyanya : "Poocu, apakah kau tidak punya keyakinan untuk berhasil menangkan dirinya?" "Aaaa...
tentang soal ini sulit untuk dikatakan," jawab Cui Tek Li setelah tarik napas panjang-panjang, "Aku sendiri pun merasa tak punya kemampuan untuk merubuhkan bocah muda itu..." "Aaaai! Masa iya" Poocu, aku tidak percaya...
" teriak pria yang berada di paling ujung sebelah tertegun sebentar.
"Gui Ku Jin!" seru Cui Tek Li dengan mata melotot besar, "kau anggap kepandaian silat yang kumiliki adalah nomor satu di dunia dan tiada tandingan lagi di kolong langit" Meskipun ilmu pedang yang kumiliki nomor satu di seluruh dunia persilatan, itu bukan berarti aku sudah tiada tandingannya lagi di dalam jagat ini, kau mesti tahu pedang mestika penghancur sang surya dari partai Thiam cong sudah cukup digunakan untuk melawan diriku..." Ia tertawa rawan, setelah berhenti sebentar ujarnya kembali : "Tetapi kalian pun tak usah terlalu takut, Benteng Kiam-poo bukanlah manusia-manusia tolol yang pandainya hanya bikin malu saja..." Empat raksasa bertenaga sakti itu terdiri Yan An, Gui Ku Jin, Bong Yu Seng serta Hay San Jin, untuk menundukkan mereka berempat di masa yang lampau Cui Tek Li harus mengorbankan banyak tenaga dan pikiran sebelum akhirnya berhasil, ia harus bertempur sengit selama dua hari dua malam lamanya untuk menentukan siapa menang siapa kalah, oleh sebab itulah dia sangat memahami kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki ke-empat orang ini.
Kalau dibicarakan dari tingkatan tenaga dalam yang dimiliki ke-empat orang itu, maka boleh dibilang Yan An paling lihay sedang Hay San Jin paling lemah, tetapi jika Pek In Hoei sekaligus ingin bertempur melawan ke-empat orang ini, maka boleh dibilang keadaan tersebut ibaratnya batu membentur telur.
"Poocu!" terdengar Bong Yu Seng berkata dengan suara tergagap, "dari nada pembicaraanmu barusan, seolah-olah kau melukiskan kemampuan yang dimiliki Pek In Hoei jauh lebih lihay daripada bapaknya, jika kami berempat hari ini jatuh kecundang maka aku rasa kau pun bakal kehilangan muka pula, karena itu bagaimana pun juga kau harus carikan akal bagi kita orang untuk berhasil membinasakan bangsat cilik itu, bila bibit bencana dapat disingkirkan maka hal ini bukan saja bermanfaat bagi poocu, bagi kami pun menguntungkan..." "Ehmmmm..." Cui Tek Li mengangguk tanda menyanggupi, "aku memang sudah sepantasnya mencarikan suatu akal bagi kalian berempat..." Air mukanya tiba-tiba berubah jadi serius, hal ini membuat hati ke-empat orang raksasa itu tercekat, detik itu juga mereka ikut merasakan bahwa pihak lawan tentu ampuh sekali dan tidak gampang untuk menghadapinya...
Dengan pandangan gelisah bercampur kuatir sorot mata ke-empat orang itu dialihkan ke atas wajah poocu Benteng Kiam-poo, mereka berharap agar sang pemimpin mereka itu berhasil menemukan suatu jalan yang bagus.
Setelah termenung beberapa saat lamanya Cui Tek Li segera menghela napas panjang dan merogoh ke dalam sakunya untuk mengambil keluar sebuah botol kecil berwarna hijau, dari botol itu dia ambil keluar empat butir obat kecil berwarna merah dan diletakkan di atas telapaknya.
"Poocu, obat apakah itu": tanya Hay San Jin dengan nada tercengang.
"Obat ini bukan lain adalah obat yang sangat mujarab dan tersohor untuk menambah tenaga dari Tibet," kata Cui Tek Li dengan wajah serius, "seandainya seseorang menelan sebutir pil ini maka tenaga dalam tubuhnya akan bertambah kuat dua kali lipat dari keadaan semula.
Obat ini kubuat atas petunjuk seorang tokoh sakti dari Tibet, biarlah kali ini kugunakan untuk melipat gandakan kekuatan tubuh kalian berempat dengan harapan Pek In Hoei bisa kita musnahkan dengan cepat, dalam keadaan begini jika bangsat she Pek itu bermaksud melakukan perlawanan, itu berarti dia mencari penyakit buat diri sendiri..." Mendengar perkataan itu Gui Ku Jin serta Hay San Jin jadi sangat kegirangan, mereka sambar sebutir pil merah tadi dan dimasukkan ke dalam mulutnya.
Yan an serta Bong Yu Seng saling bertukar pandangan sekejap, kemudian mereka masing-masing pun menelan sebutir.
Cui Tek Li segera tertawa ringan sesudah menyaksikan empat orang jago lihaynya menelan obat itu, katanya : "Merka sudah hampir tiba di sini, aku harus berlalu lebih dahulu untuk mempersiapkan diri..." Saat ini air mukanya sudah tidak bermuram durja lagi seperti keadaannya sewaktu datang ke situ, seakan- akan sebuah masalah besar telah berhasil diselesaikan olehnya dengan baik, dengan badan yang enteng tubuhnya segera bergerak menuju ke arah jalan kecil di mana ia datang tadi.
Di balik pepohonan yang lebat dan gelap seorang perempuan tua berwajah sayu berdiri mematung di tempat itu, ketika menjumpai Cui Tek Li berjalan menghampiri dirinya ia segera maju sempoyongan.
"Apakah kau telah berikan obat pelenyap tenaga kepada mereka berempat?"" "Ehmmmm! Dan sekarang kau tak usah kuatir lagi," sahut Cui Tek Li pemilik Benteng Kiam-poo sambil mengangguk, "demi dirimu aku tidak sayang untuk mengorbankan begitu banyak jago-jago lihayku, mungkin jiwaku telah kau rubah sama sekali...
tetapi sayang sekali kau tidak berhasil merubah diri Pek In Hoei..." "Suamiku!" seru perempuan tua itu dengan air mata bercucuran, "aku merasa sangat berterima kasih sekali kepadamu karena engkau mau bersikap demikian terhadap In Hoei, di kemudian hari aku bisa memberitahukan kesemuanya itu kepadanya, akan kukatakan betapa kasih sayangnya dirimu terhadap dia, jika ia benar-benar berani datang lagi untuk menuntut balas, aku pasti menegur dan memarahi dirinya..." "Aku tidak takut menghadapi dirinya, jika ia berani datang lagi pasti akan kuberi peringatan yang tajam kepadanya," seru Cui Tek Li dengan suara dingin, "hujin mari kita pulang!" Perempuan tua itu gelengkan kepalanya.
"Kau belum mengabulkan permintaanku, lepaskanlah In Hoei pada rintangan yang terakhir..." "Hujin! Aku telah mengorbankan ke-empat orang pembantu setiaku itu demi memenuhi keinginanmu, masa kau tak bisa memahami maksud hatiku?" Tentu saja aku tak akan menyusahkan dirinya lagi..." Suara langkah kaki manusia yang lirih secara lapat- lapat berkumandang datang, ketika mereka angkat kepala memandang ke arah samping kanan, terlihatlah dengan langkah gagah Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin beserta Lu Kiat perlahan- lahan maju mendekat.
"Aku ingin menyaksikan putraku berjuang membobolkan rintangan yang ke-tiga ini..." bisik perempuan tua itu mendadak.
"Aaaaai... aku lihat kau terlalu menyayangi dirinya..." omel Cui Tek Li sambil tertawa, kepalanya digelengkan berulang kali.
Di tengah kegelapan Pek In Hoei jalan bersanding di sisi Lu Kiat, dari tempat kejauhan mereka sudah menangkap cahaya merah itu dan mereka pun dapat menyaksikan pula empat orang jago kekar di bawah sorot cahaya lampu lentera itu.
Dengan alis berkerut Lu Kiat segera berbisik : "Aneh sekali...
mengapa semua jago yang kita temui pada malam ini semuanya merupakan manusia- manusia laknat yang sudah tersohor akan kejahatannya di kolong langit..." "Kenapa" Apakah kau juga kenal dengan ke-empat orang itu..." tanya Pek In Hoei setelah tertegun sejenak.
Lu Kiat tarik napas panjang-panjang, terhadap ke- empat orang itu bukan saja kenal bahkan boleh dibilang amat mengenalinya.
Sepuluh tahun berselang mereka pernah secara beruntun membinasakan enam belas orang jago lihay dari kalangan lurus dalam waktu tiga hari, waktu itu peristiwa tersebut sangat menggemparkan dunia persilatan, tiap partai besar mengirimkan jagonya untuk mencari jejak ke-empat orang pembunuh itu tetapi bukan saja ilmu silat yang dimiliki ke-empat orang itu sangat lihay, kecerdasan mereka pun luar biasa sekali, beberapa kali terjadi bentrokan setelah membunuh mereka segera melarikan diri...
tak pernah sekali pun menderita luka akibat pertarungan...
"Dari mana kau bisa mengetahui persoalan ini dengan begitu jelas..." tanya Pek In Hoei sesudah tertegun sebentar.
"Waktu itu usiaku masih amat muda, aku ikut ayah menghadiri pergerakan tersebut, karenanya ke-empat orang itu telah memberi kesan yang mendalam bagiku, selama hidup aku tak mungkin bisa melupakan diri mereka lagi..." Sekilas rasa ngeri dan takut terlintas di wajahnya, dia melanjutkan kembali kata-katanya : "Kita berdua tak akan mampu menghadapi sepak terjang ke-empat manusia ganas itu, menurut pendapatku lebih baik kita mencari jalan lain saja..." "Maksudmu kau suruh aku melarikan diri dari sini?"" tanya Pek In Hoei tercengang.
"Banyak sekali cara hidup seorang manusia di kolong langit, kenapa kita mesti bersikeras untuk memikirkan masalah yang sama sekali tak ada gunanya itu" Bukankah secara terang-terangan kita sudah tahu bahwa kita berdua bukan tandingannya, kenapa kita mesti ngotot menghantar kematian buat diri sendiri?" Adik In Hoei, lebih baik turutilah perkataanku..." Dengan cepat Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei gelengkan kepalanya berulang kali.
"Selama hidup belum pernah aku mundur dan melarikan diri sebelum melangsungkan pertarungan..." "Adik In Hoei, sekarang bukan saatnya yang tepat bagi kita untuk berlagak sok pahlawan," seru Lu Kiat dengan gelisah, ia menghela napas panjang.
"Aku ingin memberitahukan pula satu hal kepadamu, mungkin kau bisa menyetujui cara bekerja yang kuusulkan ini, bagaimanakah kemampuan dari malaikat pedang Cia Ceng Gak dari partaimu?" "Dia adalah malaikat pedang dari partai kami," jawab Pek In Hoei dengan wajah serius.
"Nah! Sekarang kau akan merasa lebih jelas lagi, tahukah engkau bahwa kehebatan Cia Ceng Gak di dalam permainan pedang boleh dikatakan sudah tiada bandingannya di kolong langit.
Tetapi ketika ia bertempur melawan ke-empat orang jago itu, dengan mengorbankan diri hingga terluka ia baru berhasil menangkan empat jurus serangan dari mereka, coba pikirlah andaikata mereka tidak memiliki ilmu silat yang betul-betul maha dahsyat, mampukah ke-empat orang manusia ganas itu menghadapi serangan berantai dari seorang malaikat pedang?" Tercekat perasaan hati Jago Pedang Berdarah Dingin mendengar perkataan itu, dia merasa pikirannya semakin berat dan tidak tenang, hal ini bukanlah disebabkan ia jeri atau takut, tetapi ia sedang membayangkan andaikata dia dengan andalkan ilmu pedang penghancur sang surya yang maha sakti itu gagal mengalahkan ke-empat manusia ganas itu maka itu berarti nama baik partai Thiam cong akan ikut runtuh bersama kekalahan yang diderita olehnya.
Dengan pandangan tajam ia melirik sekejap ke arah empat orang pria tinggi kekar itu, tampaklah olehnya ketika itu mereka sedang menengok ke arahnya dengan pandangan dingin, dari sikapnya yang congkak dan jumawa mereka bisa merasakan bahwa sebetulnya musuh-musuh tangguhnya itu tidak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya.
"Toako, ayoh kita maju ke sana!" seru Pek In Hoei kemudian dengan tegas setelah meraba pedang penghancur sang surya-nya.
"Adik In Hoei, apakah kau nekad hendak membentur batu" Ketahuilah keadaan kita bagaikan telur dengan batu karang," seru Lu Kiat dengan perasaan kaget.
"Hmmm! Apakah kita mesti ngeloyor pergi dari hadapan muka orang" Perbuatan ini jauh lebih memalukan daripada dibunuh musuh, aku tidak sudi melakukan perbuatan yang sangat menurunkan derajatku itu.
Toako! Bila kau ingin berlalu, pergilah seorang diri, aku si Jago Pedang Berdarah Dingin tidak mungkin dapat melakukan hal ini." Senyuman dingin yang anggun dan sombong tersungging di ujung bibirnya yang tipis, sepasang matanya berkilat dan menyiarkan cahaya tajam, ia menengok sekejap ke arah empat tokoh maha sakti itu kemudian perlahan-lahan maju ke depan.
Semangat jantannya yang tidak jeri menghadapi bahaya serta jiwa ksatrianya menyongsong kematian yang setiap saat mengancam datang, terpancar keluar dari tubuh orang muda itu, keteguhan serta kekerasan hatinya hampir saja menyelimuti suasana di sekeliling tubuhnya.
Tergetar keras hati Lu Kiat menyaksikan kegagahan rekannya itu, timbul rasa malu dalam hati kecilnya, ia tarik napas panjang-panjang dan segera menyusul di belakang tubuhnya, rasa putus asa dan jeri yang semula menyelimuti wajahnya kini tersapu lenyap hingga tak berbekas.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... siapkah di antara kalian yang bernama Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei?" tegur Yan An sambil tertawa seram.
"Siapakah engkau?" sahut Pek In Hoei sambil tertawa, hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, "aku Pek In Hoei memberi hormat!" Yan An tertegun dan berdiri melongo, rupanya ia tak mengira kalau jago muda yang tersohor namanya di kolong langit serta dikenal orang sebagai Jago Pedang Berdarah Dingin itu tidak lebih hanya seorang pemuda yang masih muda usia, ia berseru tertahan sedang satu ingatan dengan cepat terlintas di dalam benaknya.
"Poocu melukiskan orang ini dengan begitu hebatnya, tak nyana yang dia maksudkan hanyalah seorang bocah cilik yang masih berbau tetek, aaah! Benarkah pemuda ini yang telah menimbulkan gelombang besar di dalam dunia rimba persilatan." Berpikir sampai di situ dia lantas menegur : "Betulkah kau adalah putranya Pek Tiang Hong?" "Apa kau anggap aku suka mencatut nama orang lain?" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... rupanya kau adalah seorang manusia yang luar biasa sekali, sampai- sampai tiga mayat hidup pun menemui ajalnya di tanganmu, tidak aneh kalau Poocu memandang begitu serius terhadap kekuatanmu itu, tapi sayang seribu kali sayang kelihayanmu yang luar biasa itu bakal hancur berantakan di atas she mu itu." "Apakah maksudmu?" tegur Pek In Hoei melengak.
"Karena kau she Pek maka kau harus mati karena orang she Pek tak seorang pun merupakan orang baik." "Bangsat!" bentak Pek In Hoei gusar, "air ludah yang muntah keluar dari mulut baumu itu benar-benar memuakkan sekali, tidak aneh kalau udara di sekitar sini terasa begitu bau seperti kentut busuk, ternyata di sini ada anjing budukan yang sedang melepaskan kentut." "Bajingan cilik, hati-hatilah kalau bicara," tegur Bong Yu Seng sambil tertawa seram, "kau berani mengucapkan kata-kata semacam itu, berarti pula kau bersikap kurang ajar terhadap toako kami." "Bagaimana dengan engkau sendiri" Perkataanmu toh tidak sedap didengar, itukah yang dinamakan sopan?" Sejak terjun ke dalam dunia persilatan Bong Yu Seng belum pernah dicemoohkan dengan kata-kata yang tak sopan, ketika menyaksikan Pek In Hoei yang begitu jumawa seakan-akan sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya, ia jadi naik darah, sambil tertawa seram teriaknya keras-keras : "Bajingan cilik, rupanya kalau kau tidak diberi peringatan yang pedas, maka kau tak akan tahu sampai dimanakah kelihayanku." Pedang panjang dalam genggamannya segera digetarkan keras-keras, sekilas cahaya busur terlontar ke tengah udara dan menggulung keluar dengan cepatnya.
Lu Kiat segera menggerakkan tubuhnya sambil berseru : "Aku dengar ilmu silat yang kau miliki lihay sekali, aku ingin sekali mohon petunjuk darimu." Tercengang hati Bong Yu Seng ketika menyaksikan Lu Kiat dengan senjata terhunus menyongsong kedatangannya, sesudah tertegun sejenak tegurnya : "Bocah keparat, kau tidak takut menghadapi kematian?" Pada saat ini keberanian dalam hati Lu Kiat berkobar, ia merasa ada segulung hawa panas yang bergelora dalam dadanya, membuat rasa jeri dan takut yang semula menyelimuti dirinya tersapu lenyap.
Sambil tertawa keras dengan suara yang lantang, pedang panjang dalam gengamannya laksana kilat membacok ke depan.
"Hmmm... tak kunyana kau pun punya sedikit simpanan juga!" ejek Bong Yu Seng sambil mendengus dingin.
Rupanya ia tertarik oleh permainan pedang Lu Kiat yang begitu aneh dan saktinya itu, tanpa terasa timbul kegembiraannya untuk melayani permainan lawan, pedangnya dengan cepat diputar dan mencukil ke atas, arah serangannya aneh dan sama sekali tidak terduga.
Lu Kiat terkesiap, ia merasa permainan pedang lawannya merupakan sejurus serangan yang belum pernah dijumpai sebelumnya, buru-buru dia menyingkir ke samping dan menghindarkan diri.
Tetapi kemana pun Lu Kiat pergi dan bagaimana pun cepatnya dia berusaha untuk menghindarkan diri, jurus serangan lawan yang begitu cepat selalu membuntuti di belakang tubuhnya, hal ini membuat dia terkejut dan segera pikirnya : "Jurus serangannya benar-benar aneh sekali, entah permainan apakah itu..." Dalam keadaan yang terdesak dan keteter hebat, terpaksa pemuda she Lu itu harus putar badan sambil melancarkan tangkisan, segenap kekuatan tubuh yang dimilikinya segera dikerahkan keluar.
Traaang...! Terdengar suara benturan nyaring yang memekakkan telinganya, percikan bunga api muncrat ke-empat penjuru, sekilas cahaya putih seketika memancar keluar mengiringi benturan nyaring tersebut, setelah berputar satu lingkaran busur di udara cahaya putih tadi rontok ke atas tanah.
Air muka Lu Kiat berubah hebat, serunya dengan suara gemetar : "Aku..." Ujung pedang lawan yang tajam telah menempel di atas tenggorokannya memaksa pemuda itu tiada kesempatan untuk menggerakkan tubuhnya lagi, dengan pandangan ngeri bercampur takut dia awasi wajah Bong Yu Seng tanpa berkedip.
"Keparat cilik, bagaimana rasanya serangan pedangku ini?" jengek jago she Bong itu sambil tertawa seram.
Mimpi pun Lu Kiat tak pernah menyangka dia sebagai seorang jago pedang kenamaan yang sudah lama terjun di dalam dunia persilatan harus menelan kekalahan di tangan orang dalam tiga jurus serangan, ia merasa malu dan kehilangan muka, sambil menahan rasa dendam teriaknya keras-keras: "Ayoh sekalian bunuhlah diriku! Ayoh cepat turun tangan!" "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... persoalan itu hanya menunggu soal waktu saja, apa yang perlu kau gelisahkan?" sahut Bong Yu Seng sambil tertawa seram.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei berdiri tertegun melihat kesemuanya itu, ia tak mengira kalau pihak lawan memiliki ilmu silat yang begitu dahsyat sehingga Lu Kiat dengan kepandaian ilmu pedangnya yang cukup tangguh harus menelan kekalahan dalam tiga jurus belaka, perubahan tersebut berlangsung terlalu cepat membuat ia tak sempat memberikan pertolongan.
Dengan wajah serius ia segera bergerak maju ke muka, tegurnya dengan nada berat : "Bawa pergi tudingan pedangmu itu!" "Hehmmm...
hehmmmm... hehmmm... dengan andalkan apa kau hendak memerintah diriku" Bangsat cilik, pentangkan matamu lebar-lebar dan coba lihat siapakah aku, jangan kau anggap aku begitu tak becus seperti gentong nasi hingga angkat pedang pun tak mampu..." "Aku tidak merasa bahwa kau memiliki suatu kepandaian yang tinggi di dalam permainan pedang," seru Pek In Hoei dengan nada hambar, "kemampuan yang kau miliki sekarang hanya bisa terhitung sebagai suatu hasil yang kecil sekali, untuk memperdalam satu tingkat lagi...
Hmm kau masih terlampau jauh..." Criiing...! Tiba-tiba terdengar suara dentingan nyaring berkumandang di udara, sekilas cahaya putih meluncur ke depan dengan kecepatan bagaikan petir.
Ketika Bong Yu Seng merasakan pandangan matanya jadi silau, tahu-tahu tudingan pedang dalam genggamannya sudah tersampok ke samping.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah Lu Kiat segera meloloskan diri dari ancaman maut.
"Toako, kau tidak terluka bukan?" tegur Pek In Hoei sambil tersenyum setelah dilihatnya pemuda she Lu itu lolos dari ancaman bahaya maut.
Sikap pemuda she Pek itu masih tetap tenang-tenang saja dan seakan-akan ia tak pernah melakukan sesuatu apa pun, baik gerakan mencabut pedang mau pun gerakan masukkan kembali senjatanya ke dalam sarung, semua berlangsung dalam sekejap mata dan cepat hingga sukar diikuti dengan pandangan mata.
Demonstrasi penampilan ilmu yang begini dahsyatnya itu bukan saja menggerakkan hati Bong Yu Seng, sekali pun Lu Kiat yang mengetahui akan kelihayan dari rekannya pun diam-diam ikut kagum dan memuji tiada hentinya.
"Bocah keparat!" seru Bong Yu Seng dengan napas tercengang, "tak kunyana permainan pedangmu begitu cepat dan luar biasa..." Sesudah mengetahui akan kelihayan musuhnya kali, ini raksasa bertenaga sakti yang bernama Bong Yu Seng ini tak berani pandang enteng lawannya lagi, dengan wajah serius dia angkat pedangnya ke atas sesudah tarik napas panjang ia menerjang maju ke depan mendekati pemuda she Pek itu.
"Bong Yu Seng! Cepat kembali, hari ini kita telah berjumpa dengan seorang jago lihay..." teriak Yan An dengan wajah serius.
Perlahan-lahan dia cabut pedangnya, setelah membentuk gerakan melingkar di tengah udara, senjata itu perlahan-lahan disilangkan di depan dadanya.
Inilah tanda rahasia yang memerintahkan anak buahnya untuk membentuk barisan pedang, Gui Ku Jin serta Bong Yu Seng dengan cepat meloncat ke muka, masing-masing berdiri di satu posisi, dalam waktu singkat Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sudah terkurung di tengah kepungan.
Lu Kiat jadi terperanjat, buru-buru teriaknya : "Adik In Hoei, tunggulah sebentar! Akan kubantu dirimu..." Dengan cepat dia menyambar pedang tajamnya yang menggeletak di atas tanah, kemudian dengan wajah serius melangkah masuk ke dalam kurungan barisan pedang itu.
Tercekat hati Jago Pedang Berdarah Dingin, ia berteriak : "Toako, jangan maju kemari!" "Tidak!" tampik Lu Kiat sambil menggeleng, "aku tidak akan membiarkan engkau seorang menempuh bahaya..." "Toako bukannya aku tidak pandang sebelah mata terhadap dirimu, terus terang saja kukatakan musuh yang harus kita hadapi sekarang terlalu ampuh, jika kau turut serta dalam pertarungan ini maka bukan saja tidak akan membantu apa-apa bahkan malah akan mencabangkan pikiranku untuk melindungi keselamatanmu." "Tentang soal ini," Lu Kiat merasa sakit hati, akhirnya ia menghela napas panjang, "Aaaai...! Mungkin perkataanmu ada benarnya." Pemuda ini pun menyadari sampai di manakah taraf kepandaian yang ia miliki, jika ilmu pedangnya dibandingkan dengan ilmu pedang milik Jago Pedang Berdarah Dingin maka ia masih ketinggalan jauh sekali.
Seperti apa yang dikatakan Pek In Hoei tadi, ikut sertanya dia dalam pertarungan itu bukan saja sama sekali tak ada gunanya, bahkan justru akan merunyamkan suasana.
Karena itu dengan mulut membungkam dan menekan rasa sedih dalam hatinya, ia mundur kembali ke belakang.
"Adik In Hoei," bisiknya dengan suara gemetar, "jika kau tidak beruntung dan mati binasa di tempat ini, aku pun tidak ingin hidup lagi!" "Kenapa" Kenapa kau harus berbuat demikian?" tegur Pek In Hoei dengan jantung berdebar keras, "Toako! Jangan sekali-kali kau mempunyai jalan pikiran seperti itu, seandainya nasibku jelek dan menemui ajal di tempat ini maka kau harus berusaha melarikan diri, latihlah kembali ilmu silatmu dengan tekun kemudian balaskan sakit hatiku." "Hmmm...
hmmm... gampang amat kalau bicara," jengek Yan An sambil tertawa seram, "kalau kau modar maka dia pun tak akan lolos dari tempat ini." Jago Pedang Berdarah Dingin mengerutkan sepasang alisnya, selintas hawa napsu membunuh yang tebal berkelebat memenuhi wajahnya, satu senyuman dingin tersungging di ujung bibir membuat pemuda itu nampak jumawa sekali.
"Huuh...! Kau anggap aku pasti bernasib jelek dan menemui ajal di tanganmu?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... kejadian ini tak usah diragukan lagi, setelah kami di kolong langit jarang sekali terdapat manusia yang mampu menandingi tenaga gabungan kami apalagi kau..." "Hmm! Siapa tahu kalau aku adalah salah seorang dan antaranya," sela pemuda itu dengan cepat.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... hal itu merupakan suatu bagian yang sama sekali tak masuk di akal," ejek Yan An dengan nada menghina, "jika kau mampu meloloskan diri dari kepungan barisan pedang kami dalam keadaan hidup, maka kami empat saudara akan melakukan bunuh diri di hadapanmu, waktu itu kau tak usah turun tangan sendiri lagi." Orang itu terlalu percaya pada kekuatan sendiri, dalam pandangan matanya di kolong langit tak terdapat seorang manusia pun yang berharga untuk dinilai apalagi pihak lawannya adalah seorang pemuda yang masih muda usia, perkataan semacam itu dalam pendengaran mereka berempat tidak termasuk ucapan yang takabur.
Siapakah yang mampu menandingi tenaga gabungan mereka berempat yang begitu dahsyat?" Pek In Hoei segera mendengus dingin, serunya : "Kalau bicara janganlah terlalu takabur dan muluk- muluk, hati-hatilah dengan lidahmu kalau tersambar petir." "Haaaah...
haaaah... haaaah... bocah cilik kau tak usah banyak bacot lagi, ayoh turun tangan!" teriak Hay San Jin sambil tertawa terbahak-bahak...
tak kusangka kalau kesombonganmu jauh lebih hebat daripada kami berempat." Jago Pedang Berdarah Dingin mendengus ketus, dengan pandangan serius ia saput sekejap ke empat orang tokoh sakti tadi, ia tahu serta pertempuran sengit tak akan terhindar lagi.
Dia tarik napas panjang-panjang, tangannya meraba gagang pedang dan perlahan-lahan mencabut keluar pedang mestika penghancur sang surya itu, cahaya tajam yang menyilaukan mata seketika berpencar di udara, hawa pedang berwarna hijau bagaikan asap tebal menyelubungi sekeliling tempat tersebut.
"Aaaah...! Rupanya Cia Ceng Gak telah serahkan nyawanya yang ke-dua kepadamu!" seru Yan An dengan wajah berubah hebat, "Tempo hari kami berempat pernah menderita kekalahan total di ujung pedang mestika itu, selama ini kami berharap bisa tiba kesempatan yang baik untuk mencuci bersih kekalahan itu, dan ini hari kami telah memperolehnya, hati-hatilah bocah, kami akan berusaha untuk merampas senjata itu dari tanganmu." "Selam hidup kau tak akan memperoleh kesempatan itu, aku anjurkan kepada anda lebih baik janganlah bermimpi di siang hari bolong." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kau keliru besar, kesempatan yang sangat baik itu sebentar lagi akan kami temukan, Pek In Hoei! Ingatlah baik-baik perkataan kami, bukan saja kau akan kami kalahkan bahkan pedang mestika itu pun akan kami rampas, kami akan berusaha untuk menghancurkan benda mestika dari partai Thiam cong ini agar sejak detik ini lenyap dari permukaan bumi." Pek In Hoei tertawa dingin.
"Ayoh cepat turun tangan! Lebih baik kita putuskan persoalan ini lewat permainan senjata." "Tidak salah," sambung Gui Ku Jin dengan alis berkerut, "kita bicarakan soal enghiong lewat pertarungan, dengan begitu barulah bisa diketahui siapa lebih unggul di antara kita." Rupanya Yan An juga tidak ingin membuang waktu lagi, dia sebagai seorang pemimpin yang memberi komando kepada rekannya untuk menyerang atau tidak segera tarik napas panjang, pedangnya diputar di udara.
"Kiam Kui Toa Hay! Pedang sakti lenyap di samudra," bentaknya keras.
Empat sosok bayangan manusia maju serentak, cahaya pedang yang tajam ikut terbentang di udara, segulung hawa pedang yang amat tajam bagaikan gulungan ombak di samudra segera meluncur ke muka dan mengurung seluruh tubuh Pek In Hoei.
Jago Pedang Berdarah Dingin segera merasa dari arah delapan penjuru secara berbareng muncul berpuluh- puluh jalur bayangan pedang yang tajam serta segulung daya tekanan tak berwujud menekan batok kepalanya.
PELBAGAI ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya, pada detik penentuan atas mati hidupnya itu, pedang mestika penghancur sang surya bagaikan hembusan angin meluncur ke depan dengan jurus Kiam-si-liat-jin atau terik sang surya hancur terbelah.
Triing...! Triing...! Triing...! Di tengah udara dentingan nyaring babatan pedangnya berhasil menangkis balik serangan gabungan ke-empat bilah pedang panjang yang maha dahsyat itu tetapi dia sendiri terdesak mundur lima enam langkah ke belakang baru sempat mempertahankan diri, dadanya naik turun dan napasnya terengah-engah, peluh sebesar kacang kedelai membasahi seluruh jidatnya.
Dari keadaan itu bisa ditarik kesimpulan betapa dahsyat dan lihaynya serangan gabungan tersebut.
"Keparat cilik," teriak Hay San Jin sambil tertawa tergelak, "walaupun jurus pertama berhasil kau lampaui, belum tentu jurus ke-dua bisa kau hadapi." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei menyadari bahwa serangan yang maha dahsyat sebentar lagi bakal berlangsung, ia segera tarik napas panjang, dalam hatinya berpikir : "Kenapa aku tidak berusaha untuk menyerang lebih dahulu, agar serangan gabungan mereka tak mampu digerakkan?" Yang dipikirkan pemuda itu sekarang ialah bagaimana caranya merebut posisi baik serta mengalahkan musuhnya, terhadap kekuatan tubuh sendiri sama sekali tidak dipikirkannya.
Mendadak ia membentak keras, tubuhnya laksana kilat berkelebat maju ke depan, pedangnya tiba-tiba membabat mendatar dan terhadap ke-empat orang tokoh sakti itu masing-masing mengirim satu tusukan.
"Aaah...! Jurus Sin Kiam Si Jit," teriak Bong Yu Seng dengan suara setengah menjerit.
Jurus serangan ini merupakan inti dari ilmu pedang penghancur sang surya, ketika Cia Ceng Gak menundukkan ke-empat orang tokoh sakti tersebut di masa yang lampau, jurus ini pula yang dipergunakan olehnya.
Karena itu setelah menyaksikan kemunculan dari jurus serangan tersebut, hati mereka jadi tercekat, dengan tindakan yang berhati-hati dia ayun pedangnya ke muka.
Traaang... beberapa kali dentingan nyaring bergema di angkasa, tiba-tiba senjata pedang di tangan ke-empat tokoh sakti itu terlepas dari cekalannya dan mencelat ke udara.
Kejadian ini mengejutkan ke-empat orang itu, membuat mereka berdiri menjublak dan untuk beberapa saat lamanya tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Bukan saja ke-empat orang itu berdiri tertegun, bahkan Pek In Hoei sendiri pun melengak dan tak habis mengerti, ia tidak habis mengerti apa sebab tenaga dalam yang dimiliki ke-empat orang itu secara tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas sehingga keadaannya tak berbeda dengan manusia biasa.
Pedang mestika penghancur sang surya menyambar lewat dan meninggalkan satu guratan panjang di tubuh ke-dua orang itu membuat darah segar segera mengalir keluar.
Gui Ku Jin pertama-tama yang berteriak lebih dahulu, serunya : "Sungguh aneh, kenapa tenaga dalam ku tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas?" Yan An tertawa menyeringai dengan seramnya : "Saudara-saudaraku, kita sudah tertipu oleh siasat poocu!" katanya keras.
"Apa?" teriak tiga orang rekannya dengan terperanjat, enam sorot mata tajam dan berapi menatap wajah Yan An tanpa berkedip, mereka sedang menantikan jawaban dari pemimpinnya itu.
Dengan menahan penderitaan dan sakit hati Yan An berkata : "Obat yang diberikan poocu kepada kita semua adalah puder pelenyap tenaga, rupanya ia sengaja hendak melepaskan Pek In Hoei lolos dari sini dan membiarkan kita jadi korban-korbannya di tempat ini, akhirnya aku berhasil menangkap jitu maksud hati yang sebenarnya dari poocu." "Kenapa, kenapa ia begitu tega untuk mencelakai kita semua?" tanya Hay San Jin dengan suara gemetar.
Yan An menghela napas panjang.
"Aaai...! Kesemuanya ini harus salahkan diri sendiri, kesemuanya ini adalah kesalahan kita sendiri, saudaraku, sekarang kita cuma punya satu pilihan saja, dan aku akan berangkat satu tindak lebih dulu." "Eeeeei...
nanti dulu, kalian toh bukan menderita kalah secara memalukan..." teriak Pek In Hoei setelah tertegun sebentar, "kenapa kau..." "Kurang ajar, kau berani mentertawakan diriku?"" bentak Yan An dengan gusar.
Dia angkat telapak kanannya dan segera digaplokkan ke atas ubun-ubun sendiri, percikan darah segar segera berhamburan di angkasa, isi otak berceceran di tanah dan binasalah jago lihay itu.
"Toako..." teriak tiga orang rekan lainnya dengan perasaan hancur lebur.
Lu Kiat yang menyaksikan kesemuanya itu hanya bisa menggeleng sambil bertanya : "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"" "Mana aku tahu?" sahut Pek In Hoei lirih, "mungkin hanya poocu seorang yang mengetahui rahasianya..." Perempuan tua yang bersembunyi di balik pepohonan di tengah kegelapan segera menghembuskan napas lega setelah menyaksikan drama yang amat tragis itu, dia menyeka rambutnya yang terurai di atas dahi lalu berbisik lirih : "Tek Li, kau terlalu baik terhadap diriku!" "Hu jin, aku berbuat demikian bukanlah disebabkan ingin mengampuni Pek In Hoei, kulakukan kesemuanya ini karena aku tidak ingin kehilangan dirimu!" kata Cui Tek Li sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "Bicara terus terangnya saja, aku benci dan ingin sekali membinasakan Pek In Hoei dengan telapak tanganku..." "Tidak! Kau tidak boleh berbuat begitu," teriak perempuan tua itu dengan suara gemetar, "Pek Tiang Hong telah menemui ajalnya di tanganmu, kau tak boleh melenyapkan pula sisa keturunannya yang cuma satu-satunya itu...
Tek Li! Dengarkanlah perkataanku..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... sudah terlalu banyak yang kudengar dari mulutmu," seru Cui Tek Li pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa seram, "kalau bukan kau yang mintakan ampun buat dirinya, aku tidak nanti akan membiarkan bocah keparat she Pek itu tiba di tempat ini.
Aaai...! Tahukah engkau mengapa aku berbuat demikian?" Tidak lain karena dirimu..." "Aku tahu...
dan aku mengerti akan perasaanmu," bisik perempuan tua itu dengan air mata bercucuran, "kau terlalu baik terhadap keluarga Pek kami, aku bisa berterima kasih kepadamu, terutama sekali pada malam ini kau suka melepaskan In Hoei dalam keadaan hidup.
Aku percaya sukma Pek Tiang Hong di alam baka pasti mengetahui akan hal ini, dan dia pun akan berterima kasih pula kepadamu..." "Cukup...
cukup..." tukas Cui Tek Li sambil ulapkan tangannya, "aku tak mau mendengarkan perkataanmu lagi, sekarang kau boleh pulang lebih dahulu...
bila berita ini sampai tersiar di dalam dunia persilatan, orang-orang Bu lim tentu akan mengatakan bahwa manusia dari Benteng Kiam-poo adalah manusia-manusia yang tak becus..." Perempuan tua itu menyeka air mata yang membasahi pipinya dan mengangguk, "baiklah aku akan kembali dulu ke kamar, jangan kau katakan kepadanya kalau aku telah datang kemari..." Cui Tek Li tertawa rawan.
"Pulanglah! Aku agak pusing kepala menghadapi dirimu..." Perempuan tua itu berpaling dan memandang sekejap ke arah jago kawakan yang tersohor karena kelicikannya itu, dia tahu mati hidup Pek In Hoei sepenuhnya berada di tangan pemilik dari Benteng Kiam-poo ini, karena dia kuatir lelaki itu berubah pikiran maka dengan sorot mata penuh permohonan ia memandang kembali ke arahnya.
Cui Tek Li tidak menggubris perempuan tua itu lagi, ia putar badan dan memandang sekejap ke arah jenazah yang menggeletak di tengah jalan, wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa pun, hanya senyuman sinis yang menghiasi ujung bibirnya, seakan-akan dia merasa puas sekali dengan hasil karya yang telah dilakukan olehnya.
Dalam pada itu Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat telah melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke depan, untuk sesaat tak seorang pun di antara ke- dua orang itu buka suara dan berbicara, mereka tidak pernah tahu kalau Cui Tek Li pemilik dari Benteng Kiam-poo selama ini mengikuti terus di belakang tubuhnya...
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " tiba-tiba Cui Tek Li tertawa seram sambil menatap bayangan punggung ke-dua orang itu, serunya : "Saudara berdua, kionghi untuk kalian semua." Pek In Hoei serta Lu Kiat bersama-sama menoleh ke belakang, empat buah sorot mata serentak ditujukan ke atas tubuh rase tua itu, pandangan mata mereka begitu dingin dan diliputi kewaspadaan.
Tawaran The Proposal 2 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Pedang Sakti Tongkat Mustika 11

Cari Blog Ini