Ceritasilat Novel Online

Imam Tanpa Bayangan 16

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 16


"Pek In Hoei, aku harus menyampaikan ucapan selamat kepadamu..." ujar Cui Tek Li sambil tertawa seram.
"Apa yang perlu diselamatkan?" "Selama kau menerobosi tiba rintangan kesemuanya sudah ada sembilan orang manusia laknat yang menemui ajalnya di tanganmu, dalam pandanganmu pekerjaan ini merupakan suatu usaha yang sukses, sebaliknya bagi diriku merupakan suatu kerugian yang besar..." "Tak ada yang perlu disayangkan atas kematian dari orang-orang itu..." tukas Pek In Hoei mendongkol.
"Hmm... tahukah engkau siapakah mereka itu?" Melihat jawaban dari pemilik Benteng Kiam-poo ini agak aneh dan tidak beres, sekali lagi Jago Pedang Berdarah Dingin berdiri tertegun, satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya.
"Dua manusia ganas she-Hoa, tiga mayat hidup serta empat manusia bengis semuanya terdiri dari sampah masyarakat yang sudah terlalu banyak melakukan kejahatan, manusia semacam ini sekali pun mati juga tak perlu disayangkan..." katanya.
Cui Tek Li tertawa dingin.
"Hmmm... tahukah engkau bahwa orang-orang itu bukan saja terdiri dari manusia keji yang harus dibunuh, mereka pun merupakan pembantu- pembantu yang telah membunuh ayahmu..." "Apa?" Kau maksudkan mereka semua ikut dalam peristiwa pengerubutan terhadap ayahku..." seru Pek In Hoei dengan jantung berdebar keras.
"Sedikit pun tidak salah, sengaja kuatur kesemuanya ini untuk dirimu, bukanlah peristiwa ini patut digirangkan dan diberi ucapan selamat?" Semua manusia-manusia penting yang ikut di dalam peristiwa pengerubutan di puncak gunung Cing Shia hanya terdiri dari beberapa orang itu." "Mengapa kau bantu diriku untuk membalas dendam?" tanya Pek In Hoei dengan darah panas bergelora.
Cui Tek Li tertawa dingin.
"Aku sama sekali tidak membantu dirimu, aku sedang membantu diriku sendiri!" "Apa maksudmu?"" Ia merasa bingung dan tak habis mengerti terhadap semua perkataan yang diucapkan Cui Tek Li pada hari ini, ia merasa ucapannya merupakan teka teki dan sulit untuk diraba, kendati Pek In Hoei cerdas tak urung dibikin melongo juga.
"Orang-orang itu ada maksud hendak mengkhianati diriku," ujar pemilik dari Benteng Kiam-poo lagi, "dan aku pun ada maksud untuk melenyapkan mereka semua dari muka bumi, kedatanganmu merupakan suatu hal yang sangat kebetulan, maka kuatur siasat ini secara rapi..." Pek In Hoei jadi amat gusar setelah mendengar perkataan itu, serunya marah-marah : "Rupanya kau sedang meminjam tanganku untuk melenyapkan bibit bencana yang mengancam dirimu...
bagus, bagus sekali! Cui Tek Li, kau memang luar biasa sekali dan aku sudah mengenali siapakah engkau!" "Hmmmm....
Aku sama sekali tidak mengharapkan ucapan terima kasih darimu, kalau aku tidak menyusun rencana seperti sekarang ini, mampukah engkau membasmi semua musuh besarmu yang ikut serta di dalam peristiwa pengerubutan terhadap ayahmu itu" Bukankah tindakanku ini menguntungkan ke-dua belah pihak?" "Hmmmm!" Pek In Hoei mendengus dengan penuh penghinaan, di atas wajahnya yang tampan terlintas hawa napsu membunuh yang mengerikan, sorot mata yang tajam bagaikan pisau memancarkan cahaya berapi-api, karena gusar sekujur badannya gemetar keras, tiba-tiba ia melangkah maju setindak ke depan.
"Aku akan menggunakan cara yang jujur dan terbuka untuk menuntut balas atas sakit hatiku," serunya gegetun, "aku tidak mau menerima kebaikan hatimu itu!" "Seandainya aku tidak memberi bantuan, kepadamu dengan mengatur kesemuanya ini bagimu, aku percaya selama hidup kau tak nanti berhasil temukan orang-orang itu," ujar Cui Tek Li dengan sikap wajar, "Pek In Hoei! Kau mesti tahu bahwa aku sama sekali tidak jeri terhadap dirimu, aku berbuat kesemuanya ini karena memandang di atas wajah ibumu..." "Pintar amat kau ambil hati orang!" bentak Jago Pedang Berdarah Dingin dengan nada keras.
"Hmmm!" Cui Tek Li pemilik dari Benteng Kiam-poo mendengus dingin, "sekarang kau jangan keburu bersenang hati lebih dahulu, sebab masih ada satu rintangan terakhir yang harus kau lalui dan akulah yang akan kau hadapi! Bila kau ingin tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, lebih baik simpanlah sedikit tenaga untuk menunggu beberapa saat lagi..." "Sekarang juga kita boleh mulai turun tangan!" seru Pek In Hoei dengan wajah hambar.
"Ayohlah berangkat, pintu benteng telah terbuka bagimu..." kata Cui Tek Li sambil putar badan dan melangkah pergi terlebih dahulu.
Lu Kiat serta Pek In Hoei segera menyusul dari belakangnya, perasaan hati mereka mulai diliputi ketegangan dan terasa berat sekali.
Di depan pintu benteng yang kuno berdiri dua baris pria baju merah yang masing-masing membawa sebuah obor cahaya terang menyinari daerah sekitar tempat itu membuat suasana jadi terang benderang dan tidak jauh berbeda dengan keadaan di siang hari.
Tiba-tiba Pemilik Benteng Kiam-poo itu melepaskan jubah luarnya yang berwarna biru langit, kemudian berkata sambil tertawa : "Sekarang kau boleh coba menerobos keluar dari rintangan yang terakhir..." "Poocu sebelum pertarungan dimulai terlebih dahulu aku ada satu permintaan yang hendak diajukan kepadamu," kata Pek In Hoei dengan wajah amat serius.
"Memandang di atas wajah ibumu, aku rasa tidak sepantasnya kalau kutampik permintaanmu itu.
Nah! Katakanlah..." "Hmmm! Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus dingin, air mukanya menunjukkan perasaan tidak senang hati.
Dari sikap pemuda itu bisa dilihat betapa susah dan segannya Pek In Hoei mengucapkan permintaannya, dia tidak ingin diejek dan dihina terus oleh Cui Tek Li, tetapi ketika sorot matanya membentur di atas tubuh Lu Kiat yang berada di sisinya, ia segera bertekad untuk menahan rasa malu serta mengutarakan keinginan hatinya.
Dalam hati dia mengeluh, kemudian ujarnya : "Andaikata aku bernasib sial dan akhirnya harus mati konyol di tanganmu, maka aku berharap agar kau jangan menyusahkan toako Lu Kiat lagi, antara aku dengan dirinya sama sekali tiada ikatan hubungan apa pun juga..." "Adik In Hoei, apa maksudmu mengutarakan hal seperti itu?"" teriak Lu Kiat dengan wajah tertegun.
Pek In Hoei tertawa getir.
"Toako kau masih mempunyai ayah dan ibu, kau masih dibutuhkan tenaganya untuk berbakti kepada mereka dua orang tua, sedang aku hanya sebatang kara tanpa sanak tanpa saudara, walaupun harus mati juga tak ada yang perlu disesalkan.
Jika kau harus menemani aku mati di sini, kejadian tersebut boleh dibilang sangat keterlaluan..." Lu Kiat sangat terharu sehingga tanpa sadar air mata bercucuran membasahi pipinya, mendadak dia angkat kepala dan tertawa panjang, kulit mukanya berkerut beberapa kali, ujarnya :
"Adikku, pendapatmu itu keliru besar...
ke-dua orang tuaku baik sekali dan mereka tidak membutuhkan perawatanku lagi, ini hari kalau hidup kita akan hidup bersama kalau mati kita akan mati berbareng, aku tidak mau kalau disuruh lari seorang diri!" Ia berhenti sebentar lalu dengan suara gemetar sambungnya kembali : "Aku lebih-lebih tidak senang kalau kau harus merengek-rengek minta belas kasihan orang lain karena ingin menyelamatkan jiwaku, perbuatan semacam itu bukan saja merupakan suatu penghinaan bagimu, bagi diriku pun merupakan suatu penghinaan pula..." "Apakah kau tidak menyetujui jalan pikiranku ini?" seru Pek In Hoei dengan gelisah.
"Aku tidak nanti akan melarikan diri guna mencari hidup," seru Lu Kiat sambil membusungkan dadanya, "adikku, kau tak usah banyak bicara lagi." Ketika telapak tangannya menepuk dada itulah tiba- tiba Lu Kiat menyentuh kembali pedang kecil berwarna perak yang diserahkan Lu hujin kepadanya sesaat sebelum berangkat, hatinya tercekat dan di sisi telinganya seakan-akan berkumandang kembali pesan dari ibunya: "Benda ini merupakan kepercayaan dari Benteng Kiam-poo, bawalah dan siapa tahu benda tersebut akan bermanfaat bagi kalian berdua..." Berpikir sampai di situ, dengan cepat dia ambil keluar pedang kecil warna perak yang panjangnya hanya tujuh cun itu, sambil diangsurkan ke depan serunya : "Poocu, kenalkah engkau dengan benda ini!" Tergetar keras hati Cui Tek Li pemilik Benteng Kiam- poo setelah menyaksikan pedang kecil itu, dengan cepat dia loncat maju ke depan, tegurnya : "Siapa yang menyerahkan benda itu kepdamu?" "Ibuku," jawab Lu Kiat dengan nada dingin.
"Bukankah ibumu she In dan kawin Lu Po Eng?" Lu Kiat tidak menyangka kalau rase tua itu bisa mengetahui begitu jelas tentang asal usulnya, hingga nama dari ayahnya pun diketahui dengan amat jelas.
Dengan nada tercengang segera serunya : "Kau...
kau telah mengetahuinya?" "Serahkan pedang itu kepadaku!" "Tidak bisa!" "Sejak Benteng Kiam-poo didirikan dalam dunia persilatan sudah lima batang pedang budi yang tersebar di kolong langit, sekarang aku sudah menemukan kembali tiga di antaranya dan masih ada dua batang yang belum ditarik kembali, pedang ini merupakan tanda perintah tertinggi benteng kami, jika kau ada permintaan cepatlah utarakan keluar." "Pentingkah pedang itu bagimu?" Cui Tek Li mendengus dingin.
"Aku pernah berhutang budi pada keluargamu, sekarang kau boleh menggunakan pedang pendek itu untuk mohon satu permintaan apa pun kepadaku, permintaan itu akan kuanggap sebagai balas jasa terhadap diriku." Lu Kiat melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, lalu berkata : "Aku hanya ingin agar kau menghapuskan pertarungan yang terakhir ini." Bagian 39 "TENTANG soal ini," bisik Cui Tek Li pemilik Benteng Kiam-poo dengan susah, "permintaanmu itu terlalu kelewat batas, Jago Pedang Berdarah Dingin secara beruntun telah membinasakan sembilan orang jago lihay dari benteng kami, andaikata aku biarkan dia pergi dengan begitu saja maka nama benteng kami niscaya akan hancur berantakan." Pek In Hoei segera melirik ke arah Lu Kiat dan berkata : "Toako lebih baik simpan saja benda itu ke dalam sakumu, kita sama sekali tidak membutuhkan benda itu untuk digunakan sebagai benda pemohon ampun dari orang lain, siapa tahu kalau dalam pertarungan yang terakhir nanti kita akan mendapatkan kemenangan." "Hmm, kau anggap dengan kemampuanmu yang tak seberapa itu sudah sanggup untuk menghadapi serangan delapan berantaiku?" teriak pemilik Benteng Kiam-poo dengan gusar.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Kau toh seorang ahli di dalam ilmu pedang, di kala aku menjebolkan ke-tiga buah rintanganmu itu aku percaya kau pasti sudah mengetahui sampai di manakah kemampuanku, mampukah kutembusi rintangan yang terakhir ini aku rasa kau tentu punya perhitungan sendiri di dalam hati." Cui Tek Li tertawa seram.
"Pek In Hoei, aku akan bicara terus terang kepadamu," katanya, "meskipun kau telah memiliki inti sari dari ilmu pedang penghancur sang surya, tetapi kau masih tetap bukan tandinganku, di dalam tiga puluh jurus mendatang aku percaya masih mampu untuk mengalahkan dirimu, jika kau tidak percaya akan kuperlihatkan sesuatu benda kepadamu!" Tiba-tiba ia berpaling dan berseru : "Go Kie!" Seorang pria baju hitam dengan membawa sebilah pedang panjang munculkan diri dari tempat kegelapan, Cui Tek Li segera menerima senjata itu dan mengebaskannya di udara, cahaya tajam berkilauan dan di dalam waktu singkat ia telah melancarkan tujuh puluh dua tusukan di angkasa.
Ke-tujuh puluh dua tusukan itu dilancarkan dalam sekejap mata, bukan saja tangkas bahkan kecepatannya sukar diikuti dengan pandangan mata.
Terkesiap hati si Jago Pedang Berdarah Dingin melihat kelihayan musuhnya, dari kilauan bayangan pedang yang bertaburan di angkasa, dia bisa menarik kesimpulan bahwa untuk mengalahkan pihak musuhnya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, dengan penuh rasa sedih dia menggeleng dan tetap membungkam dalam seribu bahasa.
"Bagaimana?" ejek pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa dingin.
"Aku memang belum bisa menandingi kemampuanmu!" jawab Pek In Hoei dengan sedih.
Cui Tek Li segera angkat kepala dan tertawa keras, dia memuji ketajaman mata Pek In Hoei dan memuji pula akan keberanian lawannya untuk mengakui keadaan yang sebenarnya, meskipun merasa bangga dia pun agak bersedih hati.
"Bawa kemari!" ujarnya kemudian pada Lu Kiat, "mari kita saling bertukar syarat." Lu Kiat segera angsurkan pedang kecil itu kepada Cui Tek Li, katanya pula : "Sejak kini kita masing-masing tidak berhutang satu sama lainnya." Pemilik Benteng Kiam-poo tidak mengucapkan sepatah kata pun, ia berdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya kemudian berseru : "Buka pintu dan hantar tamu keluar benteng!" Para pria baju merah yang berdiri di ke-dua belah sisi jalan segera menyingkir dan pintu benteng yang berwarna hitam pekat perlahan-lahan terbentang lebar, dengan pandangan tercengang orang-orang itu memandang ke arah dua orang pemuda tersebut, selama sejarah berlangsung baru pertama kali ini pintu benteng dibuka bagi musuhnya yang hendak keluar.
"Aaai... kalian adalah orang pertama yang dapat keluar dari Benteng Kiam-poo dalam keadaan selamat!" ujar pemilik benteng pedang itu sambil menghela napas.
"Hmm! Pintu bentengmu itu tak akan bisa tertutup untuk selamanya, akhirnya terbuka juga..." sambung Lu Kiat dingin.
"Benar, mungkin apa yang kau katakan memang benar!" suatu perasaan sedih yang tak terbendung melintas di wajah jago tua she Cui itu.
Pek In Hoei yang selama ini membungkam terus tiba- tiba berseru : "Poocu, aku akan kembali lagi kemari pada suatu ketika!" "Mau apa kau kembali lagi ke sini?" "Mencabut jiwa anjingmu." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Pemilik Benteng Kiam- poo angkat kepala dan tertawa seram tiada hentinya, hawa amarah berkobar di dalam rongga dadanya tetapi ia tetap bersabar, menanti bayangan punggung dari Pek In Hoei serta Lu Kiat telah lenyap dari kegelapan ia baru kembali ke dalam benteng dengan perasaan berat.
** Awan putih melayang di atas langit yang biru, angin berhembus lewat membawa udara yang dingin, daun kering berguguran di atas tanah dan kicauan burung berdendang menyemarakkan suasana di pagi hari itu.
Di tengah hembusan angin musim gugur yang dingin, Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat dengan menunggang kuda perlahan-lahan tinggalkan Benteng Kiam-poo berangkat menuju kebebasan.
Keadaan mereka berdua ibaratnya manusia yang baru mendusin dari impian buruk, apa yang sudah terjadi kemarin malam membekas dalam-dalam di hati mereka.
?"Aaai...!" terdengar Pek In Hoei menghela napas sedih dan bergumam seorang diri, "aku hanya segumpal awan, segumpal awan yang tipis...
awan yang tiada tetap tempat tinggalnya, nasib menentukan aku harus berkelana sepanjang masa, aku baru berhenti bergelandangan bila jiwaku sudah melayang tinggalkan raga." Dengan wajah tercengang Lu Kiat angkat kepala dan memandang pria kekar yang bersemangat jantan itu, ia tak pernah mendengar pemuda itu mengucapkan kata-kata seperti itu di masa yang silam.
Segera tegurnya dengan nada keheranan : "Adikku, mengapa engkau?" "Aku sedang teringat kembali akan asal usulku, serta penderitaanku selama masih hidup di kolong langit." "Kenapa secara tiba-tiba sikapmu berubah jadi begitu murung?" seru Lu Kiat sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "dengan kesuksesanmu untuk mengangkat nama dan tersohor di kolong langit, jarang sekali terdapat manusia di kolong langit ini bisa melampaui kehebatanmu itu, sepantasnya kalau kau merasa puas dan bangga dengan hasil yang berhasil kau capai, kau harus puas dengan jerih payahmu selama berlatih ilmu silat hingga mencapai taraf yang demikian hebatnya." Pek In Hoei tertawa getir.
"Napsu angkara murka serta napsu ingin mencapai sesuatu hingga napsu puasnya merupakan musuh besar bagi umat manusia," katanya, "mungkin dalam hatiku pernah timbul napsu untuk menjadi tersohor di seluruh kolong langit, tetapi pikiran semacam itu kini sudah lenyap tak berbekas dari dalam benakku, sebab aku teringat kembali akan daun yang rontok dari dahannya, suatu ketika aku pun akan jadi tua dan layu, waktu itu ke mana aku harus pergi?" "Ketika kau sudah menjadi tua dan layu, datang saja ke rumahku, sebab rumahku akan merupakan rumahmu!" sambung Lu Kiat tiba-tiba sambil tertawa.
"Aku tidak membutuhkan benda-benda yang berada dalam kenyataan, yang kucari adalah kepuasan dalam batin..." Lu Kiat tertegun.
"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau ucapkan barusan!" ia berseru.
Pek In Hoei gelengkan kepalanya berulang kali.
"Kau belum pernah mengalami bencana serta penderitaan seperti apa yang pernah kualami, tentu saja kau tidak akan paham terhadap apa yang kumaksudkan dengan ucapan tersebut, ketika seseorang telah merasakan pahit getirnya kehidupan seorang manusia di kolong langit, maka saat itulah dia akan memahami apa artinya kehidupan seorang manusia di kolong langit, apa yang dibutuhkan seorang manusia di saat masih hidup di sini." "Lalu apa yang kau butuhkan?" tanya Lu Kiat sesudah termangu-mangu beberapa saat lamanya.
Pek In Hoei gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Setiap manusia mempunyai kesulitannya sendiri- sendiri, tentang hal ini kau tak mungkin akan tahu..." "Oooh...! Kalau begitu aneh sekali nama besarmu pada saat ini boleh dibilang amat tersohor di kolong langit dan selama ini belum pernah ada yang berhasil melampaui kesuksesanmu itu, semua partai dan perguruan besar telah mensejajarkan nama besarmu di samping nama besar Cia Ceng Gak, bahkan ada pula yang mengatakan keberhasilanmu jauh lebih hebat daripada ccb, kesemuanya itu sudah cukup untuk membuat kau sombong dan berbangga hati, membuat namammu jadi terkenal dan diketahui orang sebagai malaikat pedang ke-dua di kolong langit, sekarang apa lagi yang belum kau dapatkan" Apa yang membuat kau merasa tidak puas" Adik In Hoei, janganlah terlalu muluk cita-citamu, ketahuilah cita-cita yang terlalu dan tinggi kadangkala akan mendatangkan kekecewaan yang lebih besar bagimu, lebih sedikitlah tahu diri..." "Tentang persoalan ini kau semakin tidak paham lagi," kata Pek In Hoei sambil tertawa getir, "aku tidak bangga dengan kesuksesan yang berhasil kuraih selama ini, aku sedang risau karena tak bisa mengundurkan diri dari kancah pembunuhan serta pergolakan yang sedang menimpa dunia persilatan ini, ketahuilah semakin tinggi pohon itu semakin banyak angin yang berhembus lewat, sekarang kesulitan yang menimpa diriku sudah terlalu banyak." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kalau cuma urusan sekecil itu tak mungkin bisa menyusahkan dirimu, pandanganmu terlalu cupat dan tidak terbuka, apa susahnya untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan" Asal kau menyembunyikan dari di suatu tempat yang terpencil, dan jarang didapati manusia, bukankah urusan akan beres dengan sendirinya." "Aaai..
toako, pandanganmu terlalu sederhana, dunia persilatan tidak jauh berbeda dengan sebuah gentong berisi air merah, sekali kau melangkah masuk dan tubuhmu berubah jadi merah, maka sekali pun dicuci juga tak bisa bersih, hingga mati soal budi dan dendam masih akan berkecamuk terus pada dirimu." "Apa sih maksudmu" Aku tak bisa menangkap arti yang sebenarnya..." "Di pihakmu mungkin budi dan dendam bisa terselesaikan bila kau telah mati, tetapi keadaan dalam pandangan lawan sama sekali berbeda, dia akan memberitahukan kepada putranya dan suruh putranya membalas dendam, turun temurun mereka akan saling bunuh tiada hentinya..." "Oooh...
!" Lu Kiat berseru tertahan, diam-diam ia merasa kagum atas ketajaman pandangan si anak muda itu, meskipun ia sendiri mempunyai pengalaman yang amat luas, tetapi terhadap pandangannya mengenai kehidupan manusia tidak sedalam pandangan dari Pek In Hoei, karena itu dia membungkam dalam seribu bahasa.
Lama sekali, dia baru menghela napas panjang, katanya : "Adik In Hoei, mari ikut aku pulang ke rumah!" "Tidak, sekarang aku telah mengetahui siapakah musuh besarku, mungkin banyak urusan yang harus segera kulakukan," kata Pek In Hoei sambil menggeleng, "lain kali saja kalau aku punya waktu tentu akan menyambangi empek dan bibi, sekarang aku tak mau mengganggu lebih dahulu." Lu Kiat menghela napas panjang.
"Aku sudah tahu bahwa engkau pasti tak mau mampir di rumahku, asal kau jangan lupa saja meskipun kita punya nama marga yang berbeda, dalam kenyataan adalah saudara sedarah sedaging, bila kau ada urusan datanglah ke rumah dan carilah aku..." Dalam hati Jago Pedang Berdarah Dingin merasa terharu sekali terhadap sikap Lu Kiat yang begitu hangat serta memperhatikan dirinya itu, sejak kecil ia sudah hidup sebatang kara terutama setelah ayahnya meninggal, tak pernah ada orang yang memperhatikan dirinya lagi, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
Suasana jadi hening... udara terasa gelap dan suara hembusan angin saja yang berkumandang memecahkan kesunyian...
Tooong... tooong... tooong... Di tengah keheningan, tiba-tiba terdengar suara tambur berkumandang memecahkan kesunyian, Lu Kiat serta Pek In Hoei sama-sama tertegun dan segera angkat kepala memandang ke arah depan.
Tampaklah sebaris pria baju hitam sambil menabuh tambur dan genderang sedang berjalan mendatangi, di depan mereka berjalanlah seorang kakek tua berjubah ungu yang menunggang seekor kuda jempolan yang tinggi besar.
Ketika kedua belah pihak saling berpapasan kakek berjubah ungu itu melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat, kemudian dia ulapkan tangannya dan rombongan pria berbaju hitam itu pun segera menghentikan langkahnya.
Kepada Lu Kiat berdua dia memberi hormat, lalu tegurnya : "Siapakah di antara kalian yang bernama Jago Pedang Berdarah Dingin Pek toa enghiong?" "Lo sianseng ada urusan apa" Akulah Jago Pedang Berdarah Dingin," jawab pemuda itu dengan hambar.
Seakan-akan telah menemukan orang yang sedang dicari, kakek berjubah ungu itu segera loncat turun dari punggung kudanya dan maju menyongsong sambil tertawa riang.
"Peristiwa berhasilnya Pek toa enghiong menerobos keluar dari Benteng Kiam-poo telah menggemparkan seluruh dunia persilatan, majikan kami merasa kagum sekali terhadap nama besar enghiong nomor dua setelah Cia Ceng Gak seperti engkau ini, maka sengaja hamba diutus datang kemari untuk menyambut kedatangan Pek toa-enghiong, kami harap agar enghiong suka singgah sebentar di rumah kami sebagai tanda hormat terhadap undangan dari majikan kami ini..." "Siapa sih majikanmu itu" Aku rasa belum pernah kenal!" sahut Pek In Hoei dengan alis berkerut.
Kakek jubah ungu itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Pek toa enghiong, kenapa kau mesti persoalkan masalah yang sepele itu" Asal kau suka datang ke situ maka kalian toh akan berkenalan sendiri" Bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat..." "Lo sianseng, siapa sih namamu?" tanya Lu Kiat dengan alis berkerut kencang.
Kakek berjubah ungu itu menggeleng.
"Namaku sudah dilupakan orang, kalian sebut saja diriku sebagai Cin Siong loo-jin..." Habis berkata dia segera menangkap tali les kuda Pek In Hoei dan menuntunnya.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei jadi amat terperanjat, buru-buru dia goyangkan tangannya sambil berseru : "Lo sianseng, jangan...
jangan kau lakukan hal itu..." Cin Siong lo-jin tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... aku tidak lebih hanya seorang pahlawan tua, sekarang aku dapat menuntunkan kuda bagi Pek toa enghiong hal ini merupakan suatu pekerjaan yang patut dibanggakan, Pek toa enghiong...
Kau tak usah bersikeras hati lagi, majikan kami sudah menunggu dengan hati gelisah." Tanpa mempedulikan lagi apakah Jago Pedang Berdarah Dingin setuju atau tidak, ia segera menarik tali les kuda orang dan memerintahkan para pria baju hitam lainnya untuk melanjutkan perjalanan.
Yang paling mengherankan adalah tujuan dari rombongan orang-orang itu, mereka tidak meneruskan perjalanan lewat jalan besar melainkan berbelok ke jalan yang sunyi dan terpencil kemudian menuju ke bukit tinggi tidak jauh dari sana.
"Lo sianseng apakah kau tidak salah ambil jalan?" tanya Lu Kiat dengan wajah tercengang.
Cin Siong lo-jin tertawa tergelak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... tidak mungkin salah... tidak mungkin salah, sepanjang tahun aku selalu melewati jalan ini tak mungkin kalau aku bisa salah jalan, setelah membelok di tikungan sebelah depan maka kita akan sampai di rumah kediaman majikan kami..." Tatkala rombongan pria baju hitam itu tiba di sebuah tanah lapang mendadak mereka hentikan langkahnya dan membunyikan suara tambur serta gembrengan semakin keras.
Cin Siong lo-jin membentak keras, tabuhan tambur dan gembrengan pun segera terhenti, dengan sikap menghormati mereka berdiri di tepi lapangan.
"Silahkan kalian berdua turun dari kuda," ujar Cin Siong lo-jin dengan hormat, "hambar akan memberi laporan kepada majikan kami..." Pek In Hoei tertawa ewa.
"Lo sianseng tak usah sungkan-sungkan, mari kita bersama-sama menghadap majikan kalian..." Cin Siong lo-jin tertawa, ia segera maju ke arah depan diikuti oleh Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat di belakangnya.
Setelah menerobosi sebuah hutan lebat yang penuh ditumbuhi pohon siong, sampailah mereka di depan sebuah bangunan rumah berbatu yang sudah kuno dan nampak antik sekali, dua orang pria bersenjata berjaga di kedua belah samping pintu bangunan tersebut.
Lu Kiat terkesiap, ia tidak tahu kalau di tempat tersebut terdapat sebuah bangunan rumah yang aneh dan misterius, tanpa sadar sorot matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu dan kewaspadaan segera ditingkatkan lipat ganda.
"Silahkan!" ujar Cin Siong lo-jin dengan sikap menghormat.
Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat ragu-ragu sebentar, kemudian mereka melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
Tampaklah perabot dalam ruangan itu antik sekali, kecuali beberapa buah meja dan bangku yang terbuat dari batu hijau, di atas dinding tergantung pula beberapa buah lukisan pemandangan yang sangat indah.
Cin Siong lo-jin bertepuk tangan satu kali, dari balik ruangan segera muncul seorang pria yang menghidangkan air teh.
Mendadak terdengar suara gelak tertawa yang keras dan nyaring menggema di seluruh ruangan, disusul dari balik ruang belakang berjalan keluar seorang kakek tua penuh bercambang hitam.
Sambil tertawa tergelak kakek bercambang hitam itu menegur : "Bukankah saudara ini adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek toa-enghiong...?" "Tidak berani!" sahut Pek In Hoei sambil tersenyum, "tolong tanya siapakah nama lo-cianpwee?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... aku adalah Can Keng Hong, turun temurun sudah berdiam di sini!" Lu Kiat terperanjat mendengar nama orang itu, bayangan tentang seseorang segera terlintas di dalam benaknya ia memandang sekejap wajah Can Keng Hong lalu berkata : "Ooooh...
rupanya lo-cianpwee adalah ahli waris dari partai Lo-kong-pay..." Partai Lo-kong adalah sebuah perguruan besar yang berasal dari pulau Lo-kong di luar lautan, di masa lampau kebesaran namanya sudah dikenal setiap orang dan sejajar dengan nama besar partai lainnya.
Lima belas tahun berselang mendadak partai itu dibasmi orang dan sejak saat itulah ahli warisnya tak nampak bermunculan lagi dalam kolong langit.
Lu Kiat yang pernah mendengar tentang kisah peristiwa tersebut tentu saja memahami pula tentang asal usulnya.
Tampak Can Keng Hong tertawa getir dan berkata : "Lu heng, rupanya kau mengetahui jelas sekali tentang semua peristiwa yang telah menimpa partai kami..." "Oooh...! Aku hanya secara kebetulan saja mendengar cerita ini dari seseorang..." "Oooh...! Kiranya begitu," seru Can Keng Hong, "ada pun maksudku mengundang kehadiran toa enghiong kemari, kecuali untuk menyatakan rasa hormat dan kagum kami terhadap dirimu, yang paling penting adalah ingin mengetahui sedikit persoalan mengenai keadaan Benteng Kiam-poo..." "Aku tidak ingin membicarakan tentang persoalan itu, dan aku sama sekali tak mau membicarakannya!" Air muka Cin Siong lo-jin berubah hebat.
"Dendam sakit hati Pek toa-enghiong hanya diketahui oleh pemilik dari Benteng Kiam-poo seorang, apakah dia tidak mengungkapkan sesuatu kepadamu" Atau memberitahukan sesuatu kepadamu?" Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tertegun ,dia tidak menyangka Cin Siong lo-jin begitu mengetahui tentang persoalannya, dengan pandangan tercengang dia melirik sekejap ke arah orang tua itu, kemudian tegurnya : "Lo sianseng, dari mana kau bisa mengetahui begitu banyak persoalan tentang diriku." Terkesiap hati Cin Siong lo-jin ketika menyaksikan sorot mata pihak lawan yang begitu tajam menatap mukanya, buru-buru dia melengos ke arah lain sambil tertawa keras : "Aku hanya mendengar tentang persoalan itu dari mulut orang lain!" Ia berhenti sebentar, kemudian lanjutnya : "Majikan, silahkan engkau." "Baik!" kata Can Keng Hong sambil tertawa getir.
Ia bertepuk tangan satu kali, seorang pria kekar dengan di tangannya membawa sebuah kotak perlahan-lahan munculkan diri, Can Keng Hong segera menerima kotak itu sambil ujarnya : "Benda ini merupakan benda kepercayaan yang telah diserahkan cg kepadaku di masa lampau, benda itu bernama Kiam-hu dan rasanya cocok sekali kalau dipasangkan di ujung gagang pedang mestika penghancur sang surya, tempo hari Cia Ceng Gak sendiri pun pernah menggunakannya selama tiga tahun sebelum kemudian dilepas kembali." "Kenapa harus dipakai selama tiga tahun?" tanya Lu Kiat tertegun.
Can Keng Hong tertawa getir.
"Selama tiga tahun dia akan menerima tantangan untuk bertempur dari pelbagai partai dan selama jangka waktu tersebut dia harus mempertahankan kelihayannya sehingga tidak satu kali pun menderita kekalahan, saat itulah di baru akan disebut malaikat pedang oleh khayalak umum.
Karena seorang malaikat pedang harus tak terkalahkan dan tiada tandingannya di kolong langit." Perlahan-lahan dia letakkan kotak kecil itu di atas meja, dari dalam kotak dia ambil keluar sebuah uang kuno yang terbuat dari tembaga dengan ukiran sebilah pedang aneh di atasnya, pada balik mata uang tadi terukir dua huruf besar yang berbunyi 'Malaikat Pedang'.
Ia tidak mempedulikan apakah Pek In Hoei menyetujui atau tidak, uang kuno tadi segera digantungkan di atas sarung pedangnya.
"Eeei... eei... jangan begitu," seru Pek In Hoei sambil goyangkan tangannya berulang kali, "benda itu terlalu tinggi nilainya, aku tidak berani untuk menerimanya." "Benda itu diperoleh Cia Ceng Gak dari partai Thiam cong dengan mempertaruhkan selembar jiwanya, benda itu merupakan kebanggaan pula bagi partai Thiam cong, masa kau akan membiarkan kebanggaan partaimu itu terjatuh ke tangan orang lain..." ujar Can Keng Hong dengan wajah serius.
Sepasang mata Cin Siong lo-jin tiba-tiba berkilat, serunya dari samping : "Tuan, kau harus pergi beristirahat." "Oooh...
yah!" Can Keng Hong mengangguk, "saudara berdua, berhubung aku masih menderita penyakit parah dan tak bisa duduk terlalu lama, maafkanlah daku tak bisa menemani lebih jauh, silahkan kalian beristirahat sebentar di sini." Kepada Cin Siong lo-jin ujarnya kembali : "Cin siong, bimbing aku masuk ke dalam!" Cin Siong lo-jin mengiakan berulang kali dan segera membimbing Can Keng Hong masuk ke ruang dalam.
Menanti bayangan punggung ke-dua orang itu sudah lenyap dari pandangan, Lu Kiat segera berpaling dan ujarnya dengan nada dingin : "Adikku, apakah kau berhasil melihat sesuatu?" "Ada yang tidak beres?" Pek In Hoei balik bertanya sesudah tertegun sebentar.
Lu Kiat mendengus dingin.
"Hmm! Apakah kau tidak merasa bahwa kekuasaan dari Cin Siong lo-jin jauh lebih besar daripada Can Keng Hong" Aku lihat setiap gerak-gerik Can Keng Hong berada di bawah kekuasaannya sehingga dia sama sekali tiada pendirian dan di dalam menghadapi segala apa pun harus minta persetujuan lebih dahulu dari Cin Siong lo-jin..." Pek In Hoei terkejut, seketika itu juga dia pun merasakan banyak hal yang kurang beres, timbul kecurigaan dalam hatinya.
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, bisiknya lirih : "Kita harus waspada menghadapi segala kemungkinan." Dalam pada itu dari balik jendela yang disinari cahaya lentera terpantul bayangan punggung Can Keng Hong, terdengar dia menghela napas panjang dan berkata : "Sekarang kau harus lepaskan diriku!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... tentu saja!" sahut Cin Siong lo-jin sambil tertawa seram, "asal bajingan cilik itu sudah modar, setiap saat aku akan melepaskan dirimu, tetapi sekarang kau harus serahkan kunci kumala itu kepadaku, aku akan menggerakkan semua alat rahasia yang terdapat di sini dan menghancurkan ke-dua orang bajingan itu di dalam bangunan rumah ini!" "Aku membangun alat rahasia yang terdapat dalam ruangan ini dengan susah payah bukan khusus digunakan untuk menghadapi Pek In Hoei," teriak Can Keng Hong dengan hati tercekat, "aku harap kau jangan memaksa diriku lagi, aku sudah cukup tersiksa menerima tekanan darimu..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... sebetulnya kau suka menyerahkan keluar atau tidak?" Kembali Can Keng Hong menggeleng.
"Aku tidak nanti akan menyerahkan kunci kumala itu kepadamu," katanya lirih, "aku tak mau menggunakan alat rahasia tersebut untuk mencelakai dua orang pemuda yang sama sekali tak ada hubungan permusuhan dengan diriku, liang-sim-ku pada hari ini sudah cukup menderita dan tersiksa, aku harap kau jangan memaksa diriku lebih jauh!" "Omong kosong!" bentak Cin Siong lo-jin dengan sorot mata berkilat, "sebenarnya kau suka menyerahkannya kepadaku atau tidak..." "Tidak! Sekali pun kau bunuh diriku juga tak akan kuserahkan kepadamu..." Sepasang alis Cin Siong lo-jin berkerut kencang, hawa membunuh yang menggidikkan hati menyelimuti seluruh wajahnya, ia gaplok pipi Can Keng Hong keras-keras lalu tertawa seram.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... pikiranmu harus lebih terbuka, ketahuilah bahwa nasibmu berada di dalam genggamanku!" "Kau tak usah mengancam atau menggertak diriku lagi, sekarang aku sudah tidak takut menghadapi kematian..." Rupanya Cin Siong lo-jin telah memahami betul-betul tabiat dari Can Keng Hong, setelah dilihatnya orang itu bersikeras tak mau bekerja sama dengan dirinya, dalam hati segera timbul niat untuk membinasakan dirinya.
Ia tertawa dingin dan berkata : "Kau ini sebenarnya sama sekali tak berharga, membiarkan kau tetap hidup di kolong langit hanya akan meninggalkan bibit bencana belaka, sekarang aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu.
Hmmm... Hmmm... tetapi jangan kuatir, aku bisa memberikan kematian yang utuh bagimu sebab tadi kau telah menuruti perkataanku dan mau bekerja sama dengan diriku." Kembali dia tertawa seram, setelah termenung sebentar lanjutnya : "Kau anggap tanpa kau serahkan kunci kumala itu kepadaku lantas aku tak mampu untuk menggerakkan alat-alat rahasia itu" Kau mungkin sudah lupa kalau aku adalah seorang ahli dalam hal alat rahasia, asal kuperhatikan lebih seksama lagi tidak sulit rasanya untuk menemukan letak kunci utama yang mengendalikan alat-alat rahasia tersebut..." "Hmm! Kau tak usah bermimpi di siang hari bolong, kalau ingin turun tangan cepatlah turun tangan, hati- hati kalau aku memberi perlawanan kepadamu...!" seru Can Keng Hong ketus.
"KAU tak memiliki kemampuan untuk berbuat begitu, sebab aku sudah terlalu memahami akan dirimu." Tiba-tiba di dalam genggamannya telah bertambah dengan sebilah pisau belati yang memancarkan cahaya kilat, sesudah diayun sebentar di tengah udara segera ditusukkan ke atas dada Can Keng Hong dengan kecepatan di luar dugaan.
"Aduuh...!" jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang keluar dari mulut Can Keng Hong, sekujur tubuhnya gemetar keras, dengan pandangan melotot penuh kegusaran dia menatap wajah Cin Siong lo-jin tanpa berkedip sedang sepasang tangannya mencekal gagang pisau itu dengan gemetar.
"Kau..." serunya.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... selamat tinggal sahabat lama," ejek Cin Siong lo-jin sambil tertawa seram, "kau pasti akan merasa kesepian selama perjalanan menuju ke alam baka...
Nah! Berangkatlah lebih duluan." Diiringi suara tertawa dingin yang menggidikkan hati, ia meloncat keluar dari tempat itu.
Dengan menahan siksaan serta penderitaan Can Keng Hong merangkak bangun, ia muntah darah segar, matanya melotot, serunya dengan nada sedih : "Aku tak boleh mati, aku harus menyelamatkan jiwa ke-dua orang itu..
aku tak boleh membiarkan mereka mati di tangan bangsat tua itu." Satu dorongan semangat dan tenaga yang tak berwujud membuat ia berhasil mempertahankan diri, dengan menahan rasa nyeri yang luar biasa ia menggerakkan tubuhnya lari keluar pintu dengan langkah sempoyongan.
"Aku..." jeritnya keras-keras, suara orang itu serak dan gemetar keras membuat siapa pun yang mendengar jadi bergidik hatinya, kemunculan Can Keng Hong yang mendadak dalam keadaan yang mengenaskan itu seketika mengejutkan hati Pek In Hoei serta Lu Kiat, tanpa sadar ke-dua orang jago muda itu sama- sama meloncat bangun.
"Kenapa engkau?" tegur Lu Kiat dengan wajah tertegun.
"Kiam-hu itu..." jerit Can Keng Hong dengan suara gemetar.
Baru saja kata-kata itu meluncur keluar, perawakan tubuhnya yang tinggi besar mendadak gemetar keras dan roboh terjengkang ke atas tanah, suara serak yang tak bisa ditangkap artinya terlontar keluar tiada hentinya dari tenggorokan.
Ia memandang sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan pandangan menakutkan, kemudian kepalanya terkulai dan menghembuskan napas yang penghabisan tanpa berhasil mengutarakan pesan apa pun.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " tiba-tiba dari belakang Lu Kiat berkumandang keluar suara tertawa dingin yang menggidikkan hati, pemuda itu terperanjat dan segera putar badan, ketika empat mata saling membentur Lu Kiat segera berseru kaget : "Oooh...
kau?" "Sungguh keji dan telengas hati kamu berdua," seru Cin Siong lo-jin dengan nada dingin, "apa kesalahan majikan kami terhadap kalian berdua sehingga dia harus dibunuh dalam keadaan yang sangat mengenaskan!" "Loo-sianseng, kau salah paham!" ujar Jago Pedang Berdarah Dingin.
Air muka Cin Siong lo-jin berubah semakin serius, teriaknya keras-keras : "Salah paham" Apanya yang salah paham" Majikan kami tiada berambisi untuk merebut nama atau kedudukan dengan orang lain, bahkan dia malah punya minat untuk mengikat tali persahabatan dengan kamu berdua, sekali pun andaikata ia berlaku tak hormat kepada kalian toh kesalahannya tidak mesti dihukum mati" Hmm! Andaikata aku tidak menyaksikan kesemuanya ini dengan mata kepala sendiri, siapakah pembunuhnya tidak akan kuketahui, hmmm, bunuh orang bayar nyawa, hutang barang bayar uang, kalian harus memberi pertanggungjawaban kepada kami!" Pek In Hoei segera gelengkan kepalanya berulang kali.
"Kematian dari majikanmu itu benar-benar tiada sangkut pautnya dengan diriku, kami berani bersumpah atas nama Thian bahwa pembunuhan ini bukan kami yang lakukan.
Lo sianseng! Lebih baik cepatlah melakukan penggeledahan, siapa tahu pembunuhnya itu masih berada di sekitar sini!" Cin Siong lo-jin mendengus dingin.
"Hmm! Tempat ini rahasia letaknya, orang kangouw sama sekali tidak tahu kalau majikan kami bersembunyi di tempat ini apalagi di sekeliling gedung kuno ini dijaga oleh orang-orang kami, tak mungkin kalau ada orang sanggup memasukinya.
Hmm! Kamu berdua membantah terus menerus, apakah maksudnya tak mau mengaku?" "Ngaco belo," bentak Lu Kiat sambil maju ke depan, "kenapa kau memfitnah orang dengan tuduhan yang bukan-bukan" Meskipun detik ini kami belum tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan keji ini, tetapi aku dapat menduga apa yang sebetulnya telah terjadi, hmmm!" "Bagus...
bagus... kalau begitu coba katakan siapa yang telah melakukan kesemuanya ini?" "Hmmm! Lo sianseng, kenapa setelah tahu masih pura-pura bertanya lagi" Mungkin dalam hati kecilmu jauh lebih paham daripada kami, untung kami berdua belum pernah tinggalkan tempat ini barang setindak pun, kalau tidak bukankah tuduhan tersebut akan melekat pada diri kami dan sekali pun mencebur ke dalam sungai Huang-hoo tuduhan itu tak dapat juga dicuci bersih..." "Ooooh! Jadi kau menuduh akulah yang melakukan pembunuhan ini?"" hardik Cin Siong lo-jin.
"Tahu muka tahu wajah, tak tahu hatinya, siapa tahu kalau pembunuh itu memang kau sendiri..." jawab Lu Kiat tak mau mengalah barang sedikit pun jua.
Cin Siong lo-jin tak mengira kalau Lu Kiat memiliki daya pandangan yang begitu tajam dan teliti, kecurigaan tersebut bukan dilontarkan kepada orang lain tapi justru ditimpakan kepadanya lebih dahulu, satu ingatan licik dengan cepat berkelebat dalam benaknya, satu senyuman yang menggidikkan hati terlintas di ujung bibirnya.
"Persoalan ini tak mungkin bisa dibikin jelas dengan sepatah dua patah kata," bentaknya dengan gusar, "lebih baik kita bereskan persoalan ini di ujung senjata, tapi kamu mesti ingat sebelum aku berhasil menemukan siapakah pembunuh yang sebenarnya, kalian berdua tak boleh tinggalkan tempat ini..." "Sebelum pembunuh itu berhasil ditemukan kami pun tidak ingin tinggalkan tempat ini," sahut Pek In Hoei dengan nada dingin, "Lo sianseng, lebih baik berbuatlah sedikit cerdik dan jangan terlau terpengaruh oleh emosi, andaikata kau tak mampu membuktikan bahwa kami berdualah yang melakukan pembunuhan ini, mungkin pada saat itu engkaulah yang akan mengalami kesulitan!" "Hmmm! Terserah apa yang hendak kau lakukan, paling banter aku harus mengorbankan selembar jiwaku." Ia bertepuk tangan tiga kali, tiba-tiba dari empat penjuru bermunculan pria-pria berbaju hitam, ketika orang itu menyaksikan Can Keng Hong tergeletak di tengah genangan darah, suasana jadi gempar dan mereka semua dengan pandangan mata penuh kegusaran melotot ke arah Lu Kiat serta Pek In Hoei.
"Majikan kita dibunuh orang secara keji!" teriak Cin Siong lo-jin dengan cepat sesudah orang-orang itu berkumpul semua, "dan sang pembunuh kini berada di sini...
aaai! Perbuatan kita tak ada bedanya dengan memancing serigala masuk rumah, mencari kesulitan bagi diri kita sendiri...
hal ini harus salahkan majikan kita punya mata tak berbiji..." "Tutup mulut anjingmu..." bentak Pek In Hoei dengan penuh kegusaran, ketika itu dia merasa ada segulung hawa amarah yang tak terbendung menggelora dalam dadanya karena ia dituduh orang secara penasaran, karena mendongkol bercampur gusar alisnya kontan berkerut, dan sepasang mata dengan memancarkan cahaya dingin yang menggidikkan hati menatap wajah Cin Siong lo-jin tanpa berkedip.
"Kalau kau berani bicara sembarangan lagi jangan salahkan kalau aku akan mencabut jiwa anjingmu itu..." serunya dengan nada tegas dan serius.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... setelah membunuh orang, kau lantas mau main menang sendiri" Masa aku bicara pun tak boleh..." Belum habis dia berkata, dari antara rombongan manusia berbaju hitam itu terdengar suara bentakan keras berkumandang di angkasa, seorang pria baju hitam dengan pedang terhunus munculkan diri di tengah kalangan, air mata mengembang dalam kelopak matanya dan orang itu kelihatan sedih sekali.
Sambil ayun pedangnya di tengah udara ia berteriak : "Apa itu Jago Pedang Berdarah Dingin" Kiranya tidak lebih hanya seorang manusia kurcaci yang pandainya membokong orang secara keji...
sikap suhuku terhadap engkau toh tidak jelek, sungguh tak nyana kau begitu tega melakukan pembunuhan secara begini keji..." "Sahabat, sebelum bertindak lebih baik terangkan saja dahulu duduknya perkara..." seru Lu Kiat sambil gelengkan kepalanya.
"Aku sudah mengerti jelas duduknya perkara, dan membuktikan pula dengan mata kepala sendiri," bentak pria itu dengan gusar, "kau tak usah banyak bicara lagi, Hey Jago Pedang Berdarah Dingin! Ayoh cepat tampil ke depan, aku Lie Toa Gou akan menghisap darah panas yang mengalir keluar dari tubuhmu..." "Ooooh...
jadi kau hendak menantang aku berdua?"" seru Pek In Hoei mulai naik darah.
"Tentu saja, aku hendak menuntut balas bagi kematian dari suhuku yang kau bunuh secara keji itu..." "Kalau begitu cepatlah turun tangan, aku tidak ingin menyusahkan dirimu..." Lie Toa Gou segera membentangkan pedangnya, cahaya tajam berkilauan di angkasa dan langsung membacok ke arah tubuh Pek In Hoei teriaknya : "Cabut keluar pedangmu, kalau tidak maka kau akan mati secara konyol..." Dari kecepatan gerak permainan pedang lawan, Jago Pedang Berdarah Dingin menyadari bahwa ia telah bertemu dengan seorang jago pedang kelas satu dalam dunia persilatan, hatinya tercekat dan dia tak habis mengerti kenapa tempat ini bisa terdapat seorang jago lihay yang demikian luar biasanya.
Hawa pedang sementara itu sudah menyebar di seluruh angkasa, dalam waktu singkat sekeliling tubuhnya telah dibungkus oleh cahaya pedang yang menggidikkan hati itu.
Berada dalam keadaan seperti ini, dia sadar jika dirinya melakukan perlawanan dengan menggunakan tangan kosong maka tiada keuntungan apa pun yang bakal diperoleh, badannya cepat meloncat mundur ke belakang pada saat yang paling kritis sementara tangan kanannya perlahan-lahan meraba di atas gagang pedangnya.
Dengan pandangan tegang Cin Siong lo-jin menatap tangan pemuda itu, asal Jago Pedang Berdarah Dingin mencabut keluar pedangnya atau menggenggam gagang pedang itu maka berarti pula tujuannya telah tercapai, atau paling sedikit musuh tangguhnya ini tak akan bisa merangkak bangun kembali.
Tiba-tiba... dari tengah angkasa berkumandang datang suara bentakan nyaring.
"Jangan kau cabut pedang itu!" Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tercekat hatinya, tanpa terasa ia membatalkan niatnya untuk menggenggam pedang itu, ketika sorot matanya dialihkan ke arah mana berasalnya suara tadi, tampaklah di depan pintu masuk telah berdiri seorang dara berbaju serba merah.
Gadis itu memakai gaun warna merah dan kain baju berwarna merah, yang lebih aneh lagi ternyata kain kerudung muka pun berwarna merah pula, merah darah yang amat menyolok pandangan.
Kecuali biji matanya yang memancarkan cahaya tajam, raut mukanya sama sekali tidak terlihat jelas.
"Siapakah kau?"" bentak Cin Siong lo-jin dengan air muka berubah hebat.
"Tak usah kau tanya siapakah aku," sahut dara baju merah itu dengan suara ketus, "mungkin kedatanganku ini tidak terlalu kebetulan sehingga membuat hatimu merasa sangat tidak tenang, padahal semestinya kau harus menyadari akan hal ini sejak permulaan..." Cin Siong lo-jin mengerutkan dahinya, di atas raut wajahnya yang dingin menyeramkan tiba-tiba terlintas hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati, senyuman sinis tersungging di ujung bibirnya membuat kakek tua itu kelihatan sadis sekali.
Sesudah tertawa seram ujarnya : "Nona, seorang budiman tak ada menghalangi jalan rejeki orang lain, aku harap kau jangan melibatkan diri di dalam kancah kekacauan ini, daripada akhirnya kau sendiri pun akan mendapatkan akibat yang kurang menyenangkan hati..." "Akibat yang bakal kau peroleh mungkin jauh lebih parah daripada diriku," seru Dara baju merah itu sambil tertawa dingin, "dewasa ini untuk sementara waktu aku tak akan membongkar rahasia asal usulmu, hal ini kulakukan demi untuk memberikan sedikit muka untukmu, aku percaya asal rahasia asal usulmu ketahuan maka keadaanmu tidak akan seenteng dan sesantai sekarang ini." Terkesiap hati Cin Siong lo-jin sesudah mendengar perkataan itu, dia tak menyangka kalau gadis muda itu demikian lihaynya sehingga asal usul sendiri pun sudah diketahui olehnya.
Dalam hati dia jadi merasa amat kuatir bila asal usulnya disiarkan di tempat luaran, bentaknya dengan gusar : "Eeeei...
apa sih yang sedang kau bicarakan" Jangan mengaco belo..."
"Eeeei... apa sih yang sedang kau bicarakan" Jangan mengaco belo..." "Hmm! Aku rasa dalam hatimu jauh lebih jelas daripada diriku, janganlah memaksa dirimu untuk mengucapkan kata-kata yang lebih tak sedap didengar..." Sekujur tubuh Cin Siong lo-jin gemetar keras, tiba-tiba serunya : "Toa Gou, apakah kau tidak akan membalas dendam terhadap sakit hati gurumu?" Lie Toa Gou mendengus dingin, pedangnya berputar di udara membentuk satu gerakan busur dan berpuluh- puluh lapis ombak pedang, dengan wajah penuh diliputi napsu membunuh dia menerjang maju ke depan, bentaknya : "Pek In Hoei, ayoh cabut keluar pedangmu!" Sejak pertama kali terjunkan diri dalam dunia persilatan, Jago Pedang Berdarah Dingin belum pernah bertemu dengan manusia yang tak pakai aturan seperti ini, ketika dilihatnya Lie Toa Gou bersikeras hendak menuntut balas terhadap dirinya tanpa menyelidiki lebih dahulu duduknya perkara hawa amarah segera berkobar di dalam rongga dadanya, dengan suara dingin dia berseru : "Lebih baik janganlah mencari kematian bagi diri sendiri, sahabat kau mesti tahu satu kali aku Jago Pedang Berdarah Dingin mencabut keluar pedang, sebelum mencium darah senjata itu tak akan ditarik kembali.
Di antara kita toh tidak pernah terikat dendam atau pun sakit hati mengapa kau mesti memaksa aku untuk memilih jalan ke situ..." Keteguhan imannya boleh dibilang sudah mencapai taraf yang tinggi, meskipun hawa amarah telah berkobar dalam dadanya tetapi terhadap Lie Toa Gou ia mengalah terus, hal ini bukanlah disebabkan tabiatnya, pada hari ini teristimewa baik dia lakukan kesemuanya itu karena memandang di atas wajah Can Keng Hong yang telah mati, ia tidak tega menyaksikan ahli waris dari suatu partai besar ikut putus sampai di sini sehingga mengakibatkan ilmu silat aliran Lo-kong Pay ikut lenyap dari muka bumi...
Akan tetapi Lie Toa Gou tidaklah berpikir demikian, ketika dilihatnya Cin Siong lo-jin mengerdipkan matanya berulang kali, dia tahu bahwa dirinya disuruh turun tangan secepatnya maka tanpa mempedulikan sikap lawan yang selalu mengalah, dia angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kau tidak berani melayani tantanganku?" Haaaah...
haaaah... haaaah... rupanya Jago Pedang Berdarah Dingin yang didengung-dengungkan dalam dunia persilatan sebagai seorang jago yang amat lihay tidak lebih hanya seorang gentong nasi yang sama sekali tak berguna.
Jago Pedang Berdarah Dingin tidak lebih hanya seorang pembual yang pandai bicara besar...
Haaaah... haaaah... haaaah... aku tidak habis mengerti apa sebabnya di kolong langit bisa terdapat manusia semacam engkau ini...
Haaaah... haaaah... haaaah... sampai-sampai aku Lie Toa Gou pun tak berani dilayani...
Haaaah... haaaah... haaaah... kau jangan lupa kalau aku cuma seorang prajurit tanpa nama dalam dunia kangouw, dengan kekuatan seorang prajurit tak bernama ternyata kau si Jago Pedang Berdarah Dingin sudah sanggup dibereskan." Jelas dari pembicaraan itu bahwa ia sedang memaksa Jago Pedang Berdarah Dingin untuk turun tangan dan memaksa dia untuk mencabut keluar pedang mestika penghancur sang surya-nya, apakah ia betul-betul tidak takut mati?" Agaknya ia mempunyai maksud- maksud tertentu...
Sekalipun Jago Pedang Berdarah Dingin memiliki iman yang tebal, lama kelamaan tak dapat menahan diri juga, dia merasa dirinya sudah cukup mengalah terhadap lawan, air mukanya seketika berubah hebat, hawa napsu membunuh mulai menyelimuti seluruh wajahnya.
Perlahan-lahan dia angkat tangan dan siap memegang gagang pedangnya, dengan nada sinis jengeknya.
"Kau si keledai malas yang bergulingan di atas kotoran manusia, aku tak akan berlaku sungkan- sungkan lagi terhadap dirimu..." Sambil memutar pedangnya Lie Toa Gou tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... nah begitu baru mirip seorang pendekar besar, ayo cabut keluar pedangmu!" Mendadak dara baju merah itu maju ke hadapan Pek In Hoei, serunya : "Jangan sembarangan bergerak, gunakan saja pedangku ini bila kau hendak bertarung." Sambil berkata ia cabut keluar pedang sendiri yang tersoren di punggung, cahaya putih yang berkilauan tajam segera tersebar di empat penjuru membuat pria baju hitam yang memenuhi ruangan itu diam- diam memuji akan kebagusan senjata tersebut.
"Nona... !" seru Jago Pedang Berdarah Dingin setelah termangu-mangu beberapa saat lamanya.
Dara baju merah itu tertawa ringan.
"Kau tak usah bertanya lebih jauh, pokoknya tindakanku ini demi kebaikan dirimu..." Jago Pedang Berdarah Dingin tidak menyangka kalau senjata yang disodorkan gadis itu kepadanya adalah sebilah pedang mestika, diam-diam ia memperhatikan gadis itu dengan seksama.
Sesudah termenung sebentar akhirnya pemuda itu menggeleng sambil katanya : "Aku sendiri pun membawa pedang, terima kasih atas maksud baik dari nona..." "Hmmm! Ketahuilah asal tanganmu menyentuh pedang mestika penghancur sang surya itu, maka kau akan mati konyol seketika itu juga..." Lu Kiat serta Pek In Hoei amat terkejut setelah mendengar ucapan itu, mereka tak tahu apa sebabnya dara baju merah itu mengucapkan kata- kata seperti itu kepada mereka.
Jantung terasa berdebar keras, tahulah mereka berdua bahwa Kiam hu yang digantungkan pada gagang pedang penghancur sang surya mempunyai sesuatu yang aneh, kalau tidak tak nanti gadis itu berkata dengan begitu serius.
"Apa kau bilang?"" tanya Pek In Hoei lagi.
"Aku sedang berkata pedangmu itu mengandung racun yang sangat keji..." jawab dara baju merah dengan nada dingin.
Air muka Cin Siong lo-jin berubah sangat hebat, hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, sepasang alis berkeras dan hidungnya memperdengarkan dengusan dingin, dengan satu senyuman licik yang mengerikan menghiasi ujung bibirnya.
"Heeeeh...

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heeeeh... heeeeh... nona cilik," ancamnya, "kalau kau berani mengaco belo lebih jauh, jangan salahkan kalau aku tidak akan berlaku sungkan- sungkan lagi terhadap dirimu." Dara baju merah tertawa dingin.
"Berani kau mengatakan kalau di atas Kiam hu itu tidak kau lakukan suatu perbuatan?" "Lakukan perbuatan apa?" Ini hari kau harus menerangkan sejelas-jelasnya," seru Cin Siong lo-jin dingin.
Dara baju merah itu mendengus dingin.
"Hmmm! Bukankah kau telah polesi Kiam hu itu dengan racun keji dari wilayah Biauw yang tersohor sebagai racun..." "Budak lonte, rupanya kau telah bosan hidup..." Mimpi pun Cin Siong lo-jin tidak pernah menyangka kalau dara baju merah yang misterius itu bisa mengemukakan rahasia perbuatannya, dia tahu pada saat ini andaikata Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mengetahui akan asal usulnya, maka selembar jiwa tuanya pasti akan melayang.
Karena itu dia segera membentak keras, tubuhnya laksana kilat menubruk ke arah dara baju merah sambil mengirim satu pukulan dahsyat ke arahnya.
"Kau jangan terlalu mendesak diriku," teriak dara baju merah sambil berkelit ke samping, "kalau tidak aku akan meneriakkan nama aslimu secara terbuka!" "Kalau kau berani bicara sembarangan, aku segera akan membereskan selembar jiwamu," bentak Cin Siong lo-jin dengan gusar, telapaknya diayun ke muka mengirim dua pukulan berantai.
Tenaga dalamnya sangat sempurna, dalam waktu singkat meluncurlah segulung tenaga pukulan tak berwujud yang maha dahsyat ke arah depan.
Seolah-olah gadis baju merah itu merasa takut akan sesuatu, selama dirinya diserang ia selalu menghindar ke sana kemari dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, tak sekali pun serangan balasan dilancarkan, namun begitu keringat dingin segera meluncur keluar dan napasnya mulai terengah-engah seperti kerbau.
Selama pertarungan, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei hanya menonton jalannya pertempuran dari samping, tiba-tiba tercekat hatinya ketika ia merasa bahwa jurus serangan yang digunakan Cin Siong lo-jin seolah-olah mirip sekali dengan musuh besar yang sedang ia cari, ia tertawa dingin dan bentaknya dengan suara dalam : "Tahan!" "Kau mau apa?" bentak Cin Siong lo-jin gusar sambil menghentikan gerakan tubuhnya.
"Hmm! Apa hubunganmu dengan Hoa Pek Tuo?" Ketika dilihatnya jurus serangan yang dipergunakan orang ini ternyata sealiran dengan kepandaian Hoa Pek Tuo, pembunuh ayahnya, timbullah kecurigaan dalam hatinya bahwa kakek tua ini punya hubungan perguruan dengan manusia she Hoa.
Cin Siong lo-jin terperanjat mendengar ucapan itu, ia tak mengira kalau Jago Pedang Berdarah Dingin demikian lihaynya sehingga dalam sekilas pandangan ia sudah mengetahui akan asal usulnya, satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya.
"Aku tak boleh mengakui siapakah diriku!" Berpikir demikian ia lantas berlagak pilon dan pura- pura bertanya : "Siapa sih Hoa Pek Tuo itu?" "Hmm! Apa hubunganmu dengan Hoa Pek Tuo?" Jago Pedang Berdarah Dingin menghardik.
Cin Siong lo-jin tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... perkataanmu itu sungguh menggelikan sekali, siapa Hoa Pek Tuo, dari mana aku bisa tahu" Kenal pun tidak! Hey! Kau jangan menebak secara ngawur." "Haaaah...
haaaah... haaaah... benarkah kau tidak kenal siapakah Hoa Pek Tuo itu?" ejek dara baju merah dari sisi kalangan dengan sepasang mata melotot.
Cin Siong lo-jin jadi amat mendongkol wajahnya berubah dan hawa amarah menggelora dalam dadanya, ia tak mengerti apa sebabnya dara baju merah itu mendatangkan kesulitan terus menerus bagi dirinya.
Sambil membentak penuh kemarahan dia meloncat maju ke depan, sambil menuding gadis itu hardiknya : "Ada permusuhan apa antara engkau dengan diriku" Kenapa kau selalu menjegal kaki belakangku?" Mendadak dara baju merah itu tersenyum.
"Kalau kau cerdik dan pandai melihat gelagat, sepantasnya kalau dari sekarang sudah enyah dari sini, daripada nantinya mau lari pun sudah tak sempat lagi." Sedari tadi Cin Siong lo-jin memang sudah gelisah dan ingin sekali cepat-cepat ngeloyor pergi dari situ, apa lacur tiada kesempatan yang dimilikinya, setelah dara baju merah itu mengungkap kembali, ia lantas tertawa seram dan berseru : "Baik, aku bersumpah pasti akan membalas sakit hati ini." Dia ulapkan tangannya ke arah Lie Toa Gou dan melanjutkan : "Ayoh pergi! Saudara cilik, untuk membalas sakit hatimu itu terpaksa kita harus menanti kesempatan baik di lain waktu." Lie Toa Gou pura-pura menunjukkan sikap gusar dan tidak puas, kemudian memasukkan kembali ke dalam sarung dan melotot sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan penuh kebencian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mengikuti di belakang Cin Siong lo-jin untuk berlalu dari situ.
Dara baju merah itu segera mengerling sekejap ke arah Pek In Hoei, bisiknya : "Jangan lepaskan orang itu." Rupanya Lu Kiat sendiri pun sudah menyadari bahwa di balik peristiwa tersebut masih terselip banyak hal yang sukar dipecahkan dalam waktu singkat, tidak menanti Jago Pedang Berdarah Dingin buka suara, tubuhnya dengan cepat bergerak ke depan sambil menyambar tangan Lie Toa Gou, bentaknya nyaring : "Sahabat, kau harap tunggu sebentar!" "Kau masih ada urusan apa lagi terhadap diriku?" tegur Lie Toa Gou sambil berpaling.
Sambil menuding jenazah Can Keng Hong yang tergeletak di atas tanah, Lu Kiat berkata : "Setelah gurumu meninggal, masih terdapat banyak urusan yang masih harus diselesaikan, jika kau pergi dengan begitu saja tanpa mengurusi layonnya, bukankah tindakanmu ini terlalu keji dan di luar peri kemanusiaan." "Hmm! Aku serahkan tempat ini kepada kalian, kamu semua ingin menyelesaikan jenazahnya dengan cara apa pun aku tak mau ikut campur, kenapa kalian mesti bertanya lagi kepadaku?" Lu Kiat tertawa hambar.
"Hmmm! Benarkah dia gurumu?" lt tertegun, ia tak mengira kalau Lu Kiat bisa mengajukan pertanyaan semacam itu, diam-diam dia terkesiap dan bergidik tetapi di luaran ia masih tetap bersikap tenang.
"Sebetulnya apa maksudmu mengucapkan kata-kata seperti itu?" tegurnya dengan hati mendongkol.
Lu Kiat tertawa keras. "Menurut pendapatku, antara engkau dengan korban yang menemui ajalnya secara mengenaskan ini sama sekali tiada hubungan yang terlalu besar, kau hanya berpura-pura main sandiwara dengan mencatut nama muridnya belaka agar bisa memaksa kami untuk turun tangan." "Hmm! Rupanya kau memang sengaja ada maksud mencari gara-gara dengan kami!" bentak Lie Toa Gou semakin gusar, "meskipun di dalam dunia persilatan aku tidak punya nama, tetapi aku bukanlah seorang manusia yang takut menghadapi kematian, kalau memang kau sudah bosan hidup, baiklah! Aku si prajurit tak bernama akan menantang dirimu untuk berduel." Dara baju merah itu tiba-tiba tertawa ringan.
"Waah...! Kalau begitu kau hebat juga, aku rasa jika namamu disebut orang maka tak sedikit manusia di dalam dunia persilatan yang mengenal dirimu." "Hmm! Kau tak usah mengaco belo, meskipun aku pandai ilmu silat tetapi belum pernah berkelana dalam dunia persilatan, di mana orang kangouw bisa kenal diriku" Nona! Kerepotan dan kesulitan yang kau bawa untuk kami hari ini sudah terlalu banyak, aku tidak ingin kau tetap berdiam di sini untuk bikin kekacauan lebih jauh." "Hmmm! Sekarang kau mesti sedikit tahu keadaan," dengus dara baju merah itu, "tulang punggungmu itu sudah kabur tak nampak ujung hidungnya lagi, jika kau berani berlagak lagi...
hmmm! Itu berarti kau sudah bosan hidup dan ingin cari kematian bagi diri sendiri."
Lie Toa Gou terkesiap, tanpa terasa ia berpaling dan memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, tampak oleh Cin Siong lo-jin dengan membawa serta anak buahnya telah kabur semua dari situ, suasana sunyi dan hening...
dalam ruangan besar tinggal dia seorang diri belaka, hal ini membuat air mukanya berubah hebat, rasa bergidik muncul dalam hati dan bayangan kematian terlintas dalam benak.
"Cin Siong... Cin Siong..." teriaknya dengan penuh ketakutan.
"Hmmmm! Dia tak nanti akan mengurusi mati hidupmu lagi, kau hanya suatu alat baginya untuk mewujudkan cita-citanya, sekarang setelah Hoa Pek Tuo menganggap kau tiada nilainya lagi sudah tentu tak akan menggubris dirimu lagi, aku lihat lebih baik kau bunuh diri saja..." "Hoa Pek Tuo..." seru Jago Pedang Berdarah Dingin dengan hati tercekat, "di manakah Hoa Pek Tuo?" "Cin Siong lo-jin yang baru kau temui bukan lain adalah penyaruan dari Hoa Pek Tuo..." sahut dara baju merah itu perlahan.
"Kau... mengapa tidak kau katakan sedari tadi..." Tatkala pemuda itu tahu bahwa musuh besar yang diburunya selama ini baru saja berdiri di hadapannya dan kemudian dilepaskan kembali dengan begitu saja, hawa amarah dan rasa dendam yang bergelora dalam dadanya sukar dikendalikan lagi, dengan wajah merah menahan emosi dia loncat keluar dari ruangan itu.
"Eeeei... kau hendak pergi ke mana?" teriak dara baju merah itu sambil menghadang di hadapannya.
"Aku hendak mengejar dirinya dan bunuh bangsat tua itu!" sahut Jago Pedang Berdarah Dingin dengan penuh kebencian.
Dara baju merah menghela napas sedih, ujarnya : "Kau tak mungkin bisa menyusul dirinya, sekarang entah dia sudah menyembunyikan diri di tempat mana...
kau tak usah membenci diriku, aku mengira kau sudah mengetahuinya sejak semula, ketika itu berhubung kedudukanku tak mungkin bagiku untuk mengutarakannya secara terus terang..." Pek In Hoei menghela napas panjang.
"Aaai...! Aku tidak menyalahkan dirimu." "Tetapi aku telah melepaskan seorang pembunuh besar yang telah membinasakan ayahmu!" Gadis itu berhenti sebentar, tiba-tiba sorot matanya yang tajam membentur di atas tubuh Lie Toa Gou sambungnya : "Untung kita masih menahan seorang di sini, bajingan ini adalah manusia yang paling jahat dan memuakkan..." "Kentut busukmu...!" maki Lie Toa Gou dengan gusar.
"Ayoh tunjukkan wajah aslimu, menyembunyikan terus menerus macam anak dara hanya akan memalukan dirimu sendiri...
aku terlalu jelas mengetahui akan asal usulmu, semua gerak-gerikmu serta Hoa Pek Tuo tak pernah lolos dari pandangan mataku..." "Kau ngaco belo tak karuan dan pintanya cuma bicara seenaknya sendiri," teriak lt sambil melangkah maju, pedangnya diputar di tengah udara, "coba katakan siapakah aku..." "Hmmm! Ketua dari perguruan Bu-liang-tong, apakah kau memaksa aku untuk menyebutkan namamu lebih dahulu kemudian baru mau unjukkan wajah aslimu..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... " Lie Toa Gou tertawa seram, "kalau memang kau sudah mengetahui segala sesuatunya, aku pun tak usah menyembunyikan diri lagi, sedikit pun tidak salah! Aku adala Go Kiam Lam..." Dia hapus ke atas raut wajahnya dan seketika itu juga muncullah raut wajah aslinya.
Dengan wajah menyeringai seram dia melotot sekejap ke arah Pek In Hoei dengan penuh kebencian, sorot matanya memancarkan napsu membunuh yang tebal sementara tubuhnya perlahan- lahan mengundurkan diri ke belakang.
Jago Pedang Berdarah Dingin berdiri tertegun, rupanya semua peristiwa yang terjadi saat itu telah mencengangkan hatinya, ia tak pernah menduga kalau Go Kiam Lam ketua dari perguruan Boo Liang Tiong yang sudah diusir dari wilayah selatan bisa muncul kembali di situ.
Ia tertawa dingin dan segera menegur : "Go Kiam Lam, kenapa kau menyusup kembali ke daratan Tionggoan..." "Hmmm! anak murid perguruan Boo Liang Tiong kami telah kau usir pergi semua dari wilayah selatan sehingga membuat kami tak ada tempat untuk berpijak kaki lagi, aku sebagai ketua dari suatu perguruan besar tentu saja harus berusaha mencari akal untuk mencuci bersih penghinaan ini, aku harus rebut kembali wilayah selatan dan membinasakan dirimu, untuk membunuh engkau aku terpaksa harus mencari komplotan untuk bekerja sama..." "Sayang seribu sayang, harapanmu itu untuk selama- lamanya tak akan terwujud!" jengek Pek In Hoei dengan sorot mata memancarkan cahaya napsu membunuh.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... belum tentu begitu," seru Go Kiam Lam sambil tertawa kering, "coba bayangkan saja ketika partai Thiam cong memusnahkan Boo Liang Tiong kami, bukankah akhirnya dendam sakit hati ini berhasil kutuntut balas?" Aku tidak nanti akan takut atau jeri terhadap kau si Jago Pedang Berdarah Dingin..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... aku menyesal kenapa tidak membunuh engkau sedari dulu, membiarkan manusia tak punya otak yang selama hidupnya hanya memikirkan soal membalas dendam seperti kau hanya akan mendatangkan badai pembunuhan berdarah dalam dunia persilatan..." "Tujuan hidup kita berbeda satu sama lainnya, tentu saja cara bekerjanya juga berbeda!" "Hmmm! Dan sayang justru karena cara hidupmu itu maka kau mesti kehilangan jiwa di tanganku, sekarang aku baru tahu betapa jahat dan kejinya dirimu itu, kau lebih jahat dari siapa pun, begitu jahat sehingga menimbulkan ras benci bagi siapa pun yang melihatnya..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... apa kau anggap dirimu jauh lebih baik daripada diriku?" Tak usah mencerca orang melulu..." Dar baju merah yang selama ini membungkam terus tiba-tiba mendengus dingin serunya : "Kau telah menjadi ikan dalam jaring, aku harap sedikitlah engkau tahu diri, jangan bicara terus dengan kata-kata yang bukan-bukan..." "Nona, boleh dibilang hari ini aku serta Hoa lo sianseng telah jatuh kecundang di tanganmu, kalau bukan kau yang menghalangi perbuatan bajingan cilik itu, sekarang Pek In Hoei pasti sudah modar di ujung Kiam hu tersebut, bicara terus terangnya saja aku merasa amat tidak rela karena mesti menderita kekalahan secara tragis, kalau mau kalah seharusnya kalah secara terang-terangan.
Dapatkah kau melepaskan kain kerudungmu itu agar aku bisa tahu siapakah yang memiliki kepandaian sehebat itu sehingga terhadap Hoa Pek Tuo pun tidak pandang sebelah mata..." "Apakah kau bersikeras ingin melihat?"" "Tentu saja harus lihat!" sahut Go Kiam Lam dengan wajah serius, "bagaimana pun toa-ya juga seorang pemimpin dari suatu perguruan besar, aku tak ingin menderita kalah di tangan seseorang yang sama sekali tak kuketahui tampangnya, bila berita ini sampai tersiar di luaran, bukankah kawan-kawan dunia persilatan akan mentertawakan ketololan serta ketidakbecusanku..." Dara baju merah itu berpikir sebentar, kemudian katanya : "Boleh saja aku perlihatkan wajahku kepadamu, tetapi aku pun mempunyai sebuah syarat." "Berada dalam keadaan begini, rasanya sekali pun tak kukabulkan juga tak mungkin..." jengek Go Kiam Lam dingin.
Dalam pada itu posisinya boleh dibilang sama sekali terjepit, empat penjuru dikepung oleh musuh tangguh, ia menyadari bahwa harapannya untuk melarikan diri kecil sekali, oleh karena itu sikapnya jauh lebih tenang, ia bersiap sedia untuk melangsungkan pertempuran sengit melawan musuh-musuhnya.
"Ketahuilah, begitu raut wajahku terlihat olehmu maka aku akan segera membinasakan dirimu," ujar dara baju merah itu dengan suara dingin.
"Apa?" seru Go Kiam Lam dengan badan gemetar keras, "kau hendak membinasakan diriku?" "Sedikit pun tidak salah!" dara baju merah itu mengangguk dengan sikap tegas, "oleh sebab aku menutup raut wajahku, tujuannya bukan lain adalah aku tak ingin berjumpa dengan Hoa Pek Tuo dalam raut wajah asliku, aku takut hal itu akan menyebabkan ketidak-senangan hati bagi ke-dua belah pihak.
Bagaimana kau suka menerima syaratku itu atau tidak?" Atau mungkin kau batalkan niatmu itu?" "Hmm! Tidak sulit untuk membinasakan diriku tetapi aku harus mengetahui lebih dulu sampai di manakah kemampuan yang kau miliki." "Huuh! Aku berani memperlihatkan raut wajah asliku kepadamu berarti aku mempunyai cara pula untuk membinasakan dirimu.
Go Tiongcu, kalau kau menyesal sekarang masih belum terlambat, daripada nanti setelah jiwamu terancam kau lantas merengek- rengek minta ampun." "Kentut busuk makmu," bentak Go Kiam Lam sambil memutar pedangnya, "toayamu bukan manusia tak berdaya yang begitu tak becus, kalau betul-betul begitu aku tak nanti bisa mencari makan dalam dunia persilatan, aku tentu sudah mati karena bunuh diri." Dara baju merah tertawa dingin.
"Baiklah kalau begitu, sejak saat ini di dalam dunia persilatan sudah tak terdapat manusia macam dirimu lagi!" Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya yang putih bersih dan melepaskan kain kerudung merah yang menutupi raut wajahnya.
Sinar mata semua orang segera dialihkan ke arah gadis itu dan mereka berseru tertahan, kiranya dara baju merah itu bukan lain adalah Wie Chin Siang.
"Oooh... kau!" seru Go Kiam Lam tertegun.
"Sepantasnya kalau kau sudah menduga akan diriku sejak tadi, kalau bukan aku dari mana semua rahasia kalian bisa aku ketahui dengan begitu jelas" Rencana kalian di ruang rahasia serta perbuatan kalian memaksa Can Keng Hong untuk mengikuti perintah kalian telah kuketahui semua sejelas-jelasnya." "Oooh...! Jadi kau telah mengkhianati kami," teriak Go Kiam Lam dengan suara gemetar.
Wie Chin Siang mendengus dingin.
"Hmm! Persoalan bukan mengkhianati atau tidak, yang benar adalah cara hidup kalian yang konyol dan tidak tepat pada garis-garis yang sebetulnya, aku sudah lama sekali mengikuti di belakang kalian, dan setiap kali kau telah meninggalkan jejak." "Seandainya aku tidak memandang di atas wajah Hoa Lo-sianseng, mungkin sejak dulu-dulu kau sudah menemui ajalmu di tanganku," seru Go Kiam Lam dengan penuh kebencian, "aku benar-benar menyesal mengapa membiarkan kau hidup hingga kini, kalau tidak sekarang tak seorang manusia pun yang mampu melarikan diri dari cengkeramanku." Wie Chin Siang tertawa dingin.
"Sayang sekali rencana besarmu mengalami kegagalan total dan terbongkar sebelum berhasil dilaksanakan, inilah yang dinamakan mau celakai orang akhirnya diri sendiri yang kena dicelakai, mungkin itulah ganjaran yang mesti kau terima akibat perbuatan-perbuatanmu di masa lampau, rupanya kau memang sudah ditakdirkan untuk mati di dalam ruangan ini." "Kita akan mati bersama, jika kau inginkan cuma aku orang she Go yang mati...
hmm... hmmm tidak akan begitu gampang, paling sedikit aku harus mencari seorang teman untuk melakukan perjalanan bersama- sama." Dengan wajah menyeringai seram jagp dari perguruan Boo Liang Tiong itu segera ayun pedangnya membentuk satu lingkaran busur di tengah udara, ia telah bertekad untuk melakukan pertarungan mati- matian dengan nyawa sendiri sebagai taruhan.
"Oooh...! Rupanya kau masih tidak terima...
baiklah, terpaksa aku harus turun tangan sendiri," ujar Wie Chin Siang dengan suara ketus.
Gerakan tubuhnya cepat sekali, dengan satu loncatan yang ringan gadis itu melayang ke tengah udara, pedangnya bergelombang memantulkan berlapis-lapis ombak pedang yang mana seketika memaksa Go Kiam Lam tergetar mundur beberapa langkah ke belakang.
Ketua dari perguruan Boo Liang Tiong jadi terperanjat, ia tak menduga kalau ilmu silat yang dimiliki gadis itu telah mendapat kemajuan pesat, sejak berpisah di bukit Thiam cong bukan saja ilmu pedangnya bertambah hebat bahkan tenaga dalam pun peroleh kemajuan pesat.
Ia tertawa keras, pedangnya digetarkan kencang- kencang dan langsung melancarkan sebuah bacokan ke arah depan.
Bagian 40 AIR muka Wie Chin Siang berubah jadi dingin dan ketus bagaikan salju abadi di kutub utara, ia mendengus dingin, tiba-tiba pedangnya menggetar keras dan ibaratnya seekor ular tiba-tiba menerobos ke atas dari arah bawah.
"Aaaah...!" dengan perasaan bergidik bercampur kaget Go Kiam Lam berteriak keras, tubuhnya bagaikan kilat meluncur ke depan lalu memandang ke arah gadis muda itu dengan pandangan tercengang, serunya menahan goncangan hati yang hebat : "Dari mana kau pelajari jurus serangan tersebut?" "Hmmm! Jadi kau pun kenal dengan jurus seranganku ini" Orang yang mewariskan jurus serangan tersebut kepadaku pernah berpesan kepadaku agar membinasakan engkau, aku harap setelah kau melihat jurus seranganku ini segeralah menggorok leher untuk membunuh diri." "Jadi setan tua itu belum modar?" teriak Go Kiam Lam dengan tubuh gemetar keras.
"Huuh...! Sebelum kau berhasil ditundukkan dan dimusnahkan dari muka bumi tak nanti dia akan pergi lebih dahulu, Go Kiam Lam hari ini kau tak usah putar otak berusaha mencari akal busuk lagi, aku tak nanti akan melepaskan dirimu lagi." Dalam keadaan seperti ini Go Kiam Lam tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, hanya sepasang matanya yang ganas dan bengis menatap wajah Wie Chin Siang tanpa berkedip, seakan-akan hendak menerkam dara baju merah itu dan menelannya bulat-bulat.
Mendadak ia menjerit keras, sambil ayunkan pedangnya ia menerjang ke muka bagaikan banteng terluka.
Wie Chin Siang segera mengundurkan diri ke belakang, pedangnya berputar dan langsung menyapu ke atas, permainan jurus yang sama sekali berbeda dari aliran ilmu pedang pada umumnya ini jarang sekali ditemukan di daratan Tionggoan, hal itu membuat Go Kiam Lam tertegun dan air mukanya berubah hebat, untuk sesaat wajahnya diliputi rasa takut bercampur kaget.
"Aduuuh...!" Mendadak badannya roboh terjengkang ke arah belakang, dari tenggorokannya memperdengarkan suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati, darah kental menyembur keluar dari mulut luka yang merekah besar, cukilan pedang tadi rupanya dengan telak bersarang di atas tenggorokannya hingga tembus dan berlubang besar.
Tubuhnya berkelejotan sebentar, kemudian tak berkutik lagi.
Ketua dari perguruan Boo Liang Tiong itu menghembuskan napasnya yang terakhir dalam keadaan mengenaskan sekali.
Melihat musuhnya telah mati, perlahan-lahan Wie Chin Siang tarik kembali pedangnya, air muka dara itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun, dengan pandangan dingin dia melirik sekejap ke arah mayat Go Kiam Lam, kemudian bisiknya sambil menghela napas panjang : "Aaaai...! Sekali pun mati, ia juga tak ada nilainya..." "Chin Siang!" seru Jago Pedang Berdarah Dingin dengan perasaan bergolak, dalam benaknya tanpa terasa terlintas bayangan dari gadis ini di saat menyatakan rasa cintanya, ia menatap wajah lawan lalu berbisik lirih : "Dari mana kau bisa tahu kalau aku berada di sini?"" Air mata mengembang dalam kelopak mata Wie Chin Siang, rasa sedih yang telah tertumpuk-tumpuk dalam dadanya hampir saja tertumpah keluar, buru-buru ia melengos dari pandangan lawan yang berapi-api dan menjawab : "Kau jangn bergerak lebih dahulu, mari kita lepaskan dulu Kiam-hu yang tergantung di gagang pedang tersebut." Tiba-tiba ia menggetarkan pedangnya dan menyambar ke arah tali serat emas yang mengikat Kiam-hu tersebut dengan gagang pedang, setelah diputar sebentar di udara benda tadi langsung dilemparkan keluar.
Blaaaam...! Terjadi ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan dan permukaan bumi dari atas ledakan itu mengepullah segumpal asap hitam yang amat tebal.
Sambil geleng kepala gadis itu berseru : "Peluru sakti penghancur badan dari wilayah Biauw adalah suatu benda pemusnah yang luar biasa dahsyatnya, benda itu asal membentur tenaga apa pun seketika akan meledak dan mencabik korbannya jadi berkeping-keping, sebetulnya Hoa Pek Tuo hendak menggunakan benda ini untuk membinasakan dirimu, tak nyana rahasianya ketahuan olehku." Pek In Hoei serta Lu Kiat menyaksikan segera merasa terkesiap, tanpa sadar mereka berseru berbareng : "Oooh...! Sungguh berbahaya..." Karena kagetnya mereka tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, sementara keringat dingin tanpa terasa mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Andaikata Wie Chin Siang tidak muncul tepat pada saatnya, asal Jago Pedang Berdarah Dingin menyentuh gagang pedangnya maka seketika itu juga dia akan dicabik hingga hancur berkeping-keping oleh ledakan tersebut.
Dari cara berpikir serta rencana keji yang bisa disusun oleh Hoa Pek Tuo dengan rapi dan sempurna ini bisa dilihat betapa berbahayanya manusia tersebut.
"Waaah...! Sungguh lihat!" seru Lu Kiat sambil menjulurkan lidahnya.
Wie Chin Siang tertawa rawan.
"Untuk menciptakan Kiam hu yang bersisi peluru sakti penghancur badan itu, Hoa Pek Tuo telah mengorbankan banyak tenaga dan pikiran..." "Ooooh...! Kalau begitu otak rase tua itu memang encer dan luar biasa sekali!" ujar Lu Kiat.
Sedang Pek In Hoei dengan gemas dan penuh perasaan dendam berseru : "Aku bersumpah akan membeset kulit tubuh dari rase tua itu...
dia harus diberi ganjaran yang setimpal..." "Suatu ketika apa yang kau inginkan pasti akan terwujud," sahut Wie Chin Siang sambil tertawa getir, "sekarang kita harus segera berangkat!" Jago Pedang Berdarah Dingin tertegun dan berdiri melongo.
"Kita mau pergi ke mana?"" tanyanya.
"Lhoo...! Bukankah kau hendak mencari Hoa Pek Tuo untuk dibeset kulit rasenya?"" "Adik In Hoei, aku juga mau ikut!" teriak Lu Kiat dengan cepat.
Pek In Hoei segera menggeleng.
"Toako, kau sudah terlalu lama menemani siau-te berkelana dan menempuh bahaya, sekarang kau harus pulang ke rumah lebih dahulu untuk menengok bibi dan empek, maksud baikmu biarlah kuterima di dalam hati saja, jika ada kesempatan di kemudian hari aku tentu akan datang menengok dirimu..." Dengan sedih dia menggeleng, terhadap toakonya yang rela menempuh bahaya bersama dirinya ini ia merasa terharu sekali, sambil bergenggaman tangan ke-dua belah pihak tak dapat mengucapkan sepatah kata pun, perpisahan membawa kesedihan dan kemurungan bagi ke-dua belah pihak.
***** Malam telah menjelang tiba, udara gelap gulita tak nampak sedikit cahaya pun, awan menyelimuti seluruh angkasa dan angin berhembus amat kencang menggoncangkan pohon dan tumbuhan di atas bukit, deruan suara yang santer mendatangkan keseraman dan kengerian di malam hari itu.
Di tengah kegelapan itulah dari balik semak berkumandang datang suara bisikan yang lirih : "Tujuanku yang terutama datang mencari engkau adalah untuk berpamit dengan dirimu!" Suara itu lembut, merdu dan jelas suara seorang gadis remaja.
"Chin Siang kenapa?"" Kenapa kau hendak berpisah dariku?"" jawab suara lain.
Suara ke-dua adalah suara seorang pria yang memancarkan rasa gelisah yang amat sangat, seakan-akan dia dibikin terkejut oleh kejadian yang munculnya secara tiba-tiba itu.
"Aaaai...!" gadis muda itu menghela napas sedih, rasa pedih dan sedih berkecamuk dalam hati kecilnya, dari helaan napas tersebut kecuali memperlihatkan kekosongan hatinya, yang tersisa hanya kebencian belaka, ia benci terhadap nasibnya yang buruk, ia benci dirinya telah berkenalan dengan seorang pria yang begitu menawan hati membuat dia merasa berat untuk meninggalkannya.
Kemurungan dan kesedihan hanya dia yang dapat merasakan, tiada orang lain dapat mewakili dirinya untuk merasakan penderitaan tersebut, dialah yang harus merasakan sendiri buah pahit yang ditinggalkan oleh bibit cinta.
"In Hoei!" ujarnya setelah menghela napas sedih, "aku mengakui bahwa aku cinta padamu, tetapi aku pun menyadari bahwa tiada kemungkinan bagiku untuk mendapatkan engkau, sebab gadis cantik yang mencintai dirimu terlalu banyak, aku tidak lebih hanya sebutir pasir yang berada di sekelilingmu, aku tak mungkin bisa mendapatkan kau seorang diri, oleh karena itu terpaksa aku harus tinggalkan dirimu jauh- jauh, makin jauh menyembunyikan diri semakin baik, semakin terpencil tempat itu semakin baik pula bagiku." "Kenapa?"" seru Pek In Hoei dengan jantung berdebar keras sambil menahan sakit hati yang menyelimuti dadanya, "apakah malam ini kau ajak diriku keluar hanya disebabkan karena kau hendak memberitahukan kesemuanya itu kepadaku..." "Tidak!" jawab Wie Chin Siang sambil menggeleng, "aku hanya meminjam kesempatan pada hari ini untuk menyampaikan kata-kata tersebut kepadamu...
In Hoei! Kau jangan coba membantah, bukankah dalam hatimu tidak cuma ada diriku?" Kong Yo Siok Peng serta It-boen Pit Giok bukankah jauh lebih penting kedudukannya dalam hatimu" Aku tahu meskipun beruntung sekali aku bisa menempati pula satu bagian tempat tetapi hatimu cukup satu, tak mungkin bagimu untuk membagikan hatimu yang cuma satu itu untuk kami bertiga, aku sudah menyadari sedalam-dalamnya, jika aku tidak tahu diri dan segera menarik diri penderitaan yang bakal kuterima di kemudian hari jauh lebih besar lagi, mungkin pada saat itu keadaan akan berubah jadi suatu drama yang tragis." "Aku sama sekali tak pernah memikirkan persoalan- persoalan itu," ujar Pek In Hoei dengan sedih.
"Tentu saja kau tak pernah memikirkan soal itu sebab dewasa ini pekerjaan yang akan kau lakukan hanyalah membalas dendam," sahut Wie Chin Siang dengan wajah serius, "tetapi kau harus tahu keadaan dari kami kaum gadis jauh berbeda sekali, kami tak bisa mesti memperhitungkan masa depan kami sendiri, sebab hal itu sangat mempengaruhi kehidupan kami selanjutnya hingga masa tua.
Aku telah memikirkan persoalan ini selama beberapa hari, aku selalu merasa bahwa cara yang berlarut-larut seperti ini bukan suatu cara yang tepat, akhirnya aku telah mengambil keputusan untuk tinggalkan dirimu daripada kau mesti serba salah karena masalah itu." "Mengapa kau memilih jalan yang ini?" tanya Pek In Hoei dengan wajah tercengang.
Wie Chin Siang tertawa getir.
"Jalan ini bukanlah keputusan yang diambil oleh diriku seorang, aku tahu It-boen Pit Giok pun mempunyai pandangan yang sama dengan diriku, kami menganggap bahwa gadis yang paling kau cintai adalah Kong Yo Siok Peng, karena dia adalah gadis pertama yang kau kenali, lagi pula dia polos, cantik dan sama sekali tiada pikiran lain, ia paling cocok dan serasi untuk mendampingi dirimu, sebab itulah kami ambil keputusan untuk melepaskan engkau secara suka rela." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasakan hatinya bergetar keras, ia merasa bakal kehilangan ke-tiga orang gadis manis itu, entah apa sebabnya ia selalu merasa jarak antara dirinya dengan ke-tiga orang gadis itu kian lama kian bertambah jauh, mungkin kesombongan dirinya telah menyinggung perasaan halus mereka" Ataukah mereka telah menyadari nasib sendiri yang tak beruntung hingga ambil keputusan tersebut" Pemuda itu sama sekali tak tahu.
Dia menghela napas dengan penuh kesedihan bisiknya : "Kau telah berjumpa dengan It-boen Pit Giok?" Air mata mengembang dalam kelopak mata Wie Chin Siang, dia mengangguk.
"Pandangannya jauh lebih terbuka daripada diriku, bersama engkohnya ia telah kembali ke luar lautan, ia merasa terlalu paham dengan sikap jumawa dan sombongmu, ia bersiap-siap untuk tidak menemui dirimu lagi sepanjang masa, karena kau telah beberapa kali melukai hatinya sehingga membuat dia amat sedih dan hampir saja bunuh diri." "Bunuh diri?" bisik Pek In Hoei dengan hati terperanjat, "apakah pikiran semacam itu tidak terlalu picik" Siapakah aku dan manusia macam apakah kau ini, apakah sampai sekarang ia belum dapat menilainya.
Aaai... hati kaum wanita selamanya memang berubah terus." "Huuuh! Apa kau tidak merasa bahwa perasaan hatimu juga tak lembek" Begitu banyak gadis yang penujui dirimu akan tetapi tak seorang pun yang berkenan dalam hatimu!" seru Wie Chin Siang dengan cepat.
"Aaai...! Chin Siang, kau tak usah menyinggung dan menyindir diriku lagi, hatiku tak akan kuberikan kepada siapa pun asal dendam sakit hatiku bisa kutuntut balas, persoalan yang lain sama sekali tidak penting bagi pandanganku." "Apakah kau tak pernah memikirkan tentang di kemudian hari," seru Wie Chin Siang sesudah tertegun sebentar.
Pek In Hoei menggeleng. "Persoalan di kemudian hari sukar untuk diduga mulai sekarang, aku tidak berani memikirkannya dan tak ingin memikirkannya." "Kenapa kita mesti membicarakan persoalan yang cukup merisaukan dan menyedihkan hati?" tiba-tiba Wie Chin Siang berkata sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya, "waktu sudah cukup, lebih baik kita segera berangkat." "Sungguhkah engkau mengetahui tempat persembunyian dari Hoa Pek Tuo?" tanya Pek In Hoei dengan hati berdebar.
"Semua gerak-geriknya hanya aku seorang yang mengetahuinya, tetapi hal itu hanya berlaku sampai malam ini saja, orang tersebut pintarnya bukan kepalang, terhadap kematian dari Go Kiam Lam sedikit banyak ia pasti telah menduga sebelumnya." Dari tengah sebuah semak belukar yang lebar, gadis itu menerobos keluar disusul oleh Pek In Hoei dari belakangnya, mereka jalan terus ke depan, suatu ketika ia berhenti sambil ujarnya : "Kedua orang itu harus dilenyapkan dari muka bumi, kalau tidak kita akan gagal untuk masuk ke dlm." Di bawah batu tebing yang curam tidak jauh dari tempat itu, berdirilah dua orang pria baju hitam yang tinggi kekar dengan sikap menyeramkan, sorot mata mereka kebetulan sekali ditujukan ke arah tempat persembunyian mereka berdua.
Pek In Hoei menggigit bibir, serunya : "Mari kita keluar!" Baru saja ia bangkit berdiri, dua orang pria itu telah menemukan jejak mereka, dengan pedang terhunus ke-dua orang itu segera meloncat ke muka sambil bentaknya : "Siapa di situ?" "Manusia yang datang mencabut nyawa!" jawab Pek In Hoei dengan suara ketus.
Di tengah kegelapan malam yang mencekam, sulit bagi ke-dua orang itu untuk melihat jelas raut wajah lawannya, ketika menyaksikan munculnya bayangan manusia berbaju putih, hati mereka segera jadi bergidik, dianggapnya di tempat itu telah muncul sukma setan terutama sekali nada suara yang begitu dingin seakan-akan hawa dingin yang berhembus keluar dari kuburan membuat hati mereka makin tercekat.
Sepasang kaki mereka kontan gemetar keras dan tak mau mendengarkan perintahnya lagi, dengan badan kaku ke-dua orang pria tadi berdiri menjublak di tempat semula.
"Saudara, aku dengar di tempat ini seringkali muncul setan penasaran," bisik pria yang ada di sebelah kiri dengan suara gemetar, "jangan-jangan malam ini kita telah menjumpainya, aku dengar bila seseorang telah bertemu dengan setan maka kalau tidak mati tentu akan menderita sakit yang cukup parah." "Aaaah! Tidak mungkin!" sahut pria sebelah kanan yang jauh lebih berani, "masa setan bisa bicara" Barusan aku seperti mendengar ada dua orang manusia sedang bercakap-cakap." "Oooh...! Kalau begitu pastilah siluman rase, bukankah kemarin malam Lou heng telah berjumpa dengan siluman rase perempuan" Mereka berdua telah main pat pat gulipat semalamam suntuk, bahkan berjanji pula akan bertemu kembali pada malam ini, jangan- jangan siluman rase perempuan itu muncul kembali dengan membawa sanak keluarganya untuk melamar.
DENGAN pandangan seksama ia segera memperhatikan kembali ke-dua sosok bayangan putih yang nampaknya hanya samar-samar itu, sedikit pun tidak salah dari salah satu di antara ke-dua orang itu mereka temukan seorang perempuan, hal ini membuat mereka semakin girang.
Pria yang ada di sebelah kiri itu segera menepuk bahu rekannya, kemudian berujar : "Aaah...! Sedikit pun tidak salah, rupanya memang siluman rase perempuan itu..." Dalam pada itu Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei serta Wie Chin Siang telah berada semakin dekat dengan ke-dua orang itu, air muka mereka dingin dan sama sekali tidak berperasaan, hal ini membuat pria tersebut tertegun dan seketika itu juga timbul perasaan ngeri dari dasar hatinya.
"Saudara, cepat bunyikan tanda bahaya!" pria yang di sebelah kanan segera berseru sambil ayunkan pedang ke muka.
"Sudah terlambat sahabat, rebahlah!" bentak Jago Pedang Berdarah Dingin sambil melompat ke muka.
Gerakan tubuhnya cepat laksana sambaran kilat, bagaikan segulung angin dingin mendadak pemuda itu menerjang ke depan sambil melancarkan totokan kilat ke arah dua orang pria tersebut.
Perubahan yang terjadi mendadak serta sama sekali di luar dugaan ini membuat ke-dua orang pria tersebut tak sempat untuk menghindarkan diri lagi, mereka berseru tertahan dan segera roboh ke atas tanah.
Dengan seksama Wie Chin Siang memeriksa sebentar sekeliling tempat itu, dari atas dinding batu akhirnya dia menyingkap selapis lumut buatan yang rupanya digunakan untuk menutup sebuah mulut gua.
Ketika mulut buatan tadi disingkirkan, segera muncullah sebuah gua besar yang gelap gulita, gadis itu segera melengok sekejap ke dalam kemudian katanya : "Ayoh masuk ke dalam, hati-hati jangan sampai ketahuan mereka." Setelah melalui sebuah lorong yang panjang dan berliku-liku akhirnya di hadapan mereka terbentang sebuah undak-undakan batu yang mendaki ke arah atas.
Untuk beberapa saat lamanya Jago Pedang Berdarah Dingin berdiri termangu-mangu, ia tak menduga kalau Hoa Pek Tuo bisa mencari tempat yang begini tersembunyi untuk mengumpat, dengan sangat hati- hati mereka segera mendaki ke atas undak-undakan batu dan menuju ke arah puncak atas dari lorong tersebut.
"Siapa?" dari tempat atas berkumandang datang suara teguran disusul seorang pria bersenjata pedang munculkan diri dari tempat persembunyian.
Dalam pada itu Pek In Hoei serta Wie Chin Siang belum sempat naik ke atas, ketika menyaksikan di hadapan mereka muncul sesosok bayangan hitam yang menghadang jalan pergi mereka, ke-dua orang itu jadi amat terperanjat.
"Apakah Loo Ong di situ?" tegur Pek In Hoei dengan cepat.
"Betul!" jawab pria di atas dengan sikap tertegun, "siapa engkau" Mengapa aku belum pernah berjumpa dengan dirimu?" "Aku datang untuk menggantikan dirimu bertugas, bukankah kau sudah terlalu lama berdiri di sini?" ujar Pek In Hoei sambil maju ke depan, "mungkin kau tidak kenal dengan aku karena aku adalah orang baru yang belum lama ditugaskan di sini, walaupun begitu aku sudah lama mengenali looheng, malam ini aku bisa menggantikan posmu untuk berjaga, hal ini benar-benar merupakan suatu urusan yang patut dibanggakan..." Loo Ong melengak mendengar perkataan itu, katanya : "Perkataanmu itu tidak benar, aku belum lama berjaga di sini dan datang bersama-sama Loo-Lie, tengah malam saja belum tiba masa sudah berganti orang?" Saudara, kau jangan keliru..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Pek In Hoei tertawa, "Loo-Lie beritahu kepadaku, katanya malam ini kau akan bertemu lagi dengan siluman rase perempuan itu, maka aku sengaja disuruh datang kemari untuk menggantikan tugasmu...
kita toh orang sendiri, kalau ada urusan bisa kita rundingkan secara baik-baik..." Loo Ong segera tertawa tergelak.
"Saudara, kau memang betul-betul hebat! Perempuan itu bukan siluman rase melainkan janda gelap yang berdiam di sekitar sini.
Waah! Perempuan itu memang betul-betul lihay, dalam semalam suntuk aku telah dihajar sampai kehabisan tenaga dan lemas sekali..." Pada ketika itu rasa was-wasnya telah lenyap sama sekali, perlahan-lahan ia turun dari atas dan mendekati lawannya.
Jago Pedang Berdarah Dingin segera menggape ke arahnya, Loo Ong tertegun dan segera menegur : "Ada urusan apa?" Tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin menyusup ke arah depan, dalam suatu gerakan yang cepat dia tangkap tubuh Loo Ong ke tengah udara lalu menotok beberapa buah jalan darahnya.
Sungguh kasihan Loo Ong, sebelum dia mengetahui duduk perkara yang sebenarnya tahu-tahu tubuhnya sudah roboh tak berkutik lagi.
Di ujung undak-undakan batu itu merupakan suatu lubang gua yang gelap, luas gua itu delapan depa dan suasananya gelap gulita tak nampak sesuatu apa pun juga.
"Apakah Hoa Pek Tuo benar akan datang kemari?" tanya Pek In Hoei dengan hati gelisah.
"Lihat saja nanti!" jawab Wie Chin Siang sambil tertawa ewa, "malam ini dia pasti akan datang kemari!" Jago Pedang Berdarah Dingin merasakan golakan hawa darah dalam dadanya menggeletar keras, suatu hawa napsu untuk membunuh muncul dari dasar hatinya, dengan hati gelisah ia berjalan hilir mudik sambil memandang ke arah Wie Chin Siang.
Ia sedang membayangkan bagaimanakah perasaan hatinya ketika musuh besar pembunuh ayahnya muncul di hadapan matanya, ia akan segera menerjang ke muka sambil berduel mati-matian dengan musuhnya ataukah menghukum mati lawannya secara perlahan-lahan" Mendadak dari balik gua yang gelap muncul seberkas cahaya api.
Jago Pedang Berdarah Dingin seketika merasakan jantungnya berdebar keras, sorot matanya dialihkan ke arah mana berasalnya cahaya tadi sementara tenaganya dihimpun siap menghadapi segala kemungkinan.
Pada puluhan tombak tingginya di bawah dasar gua muncul empat orang pria berbaju hitam memiliki wajah bengis, sambil membawa obor mereka memencarkan diri dan menanti di empat penjuru di sekeliling sana.
"Sebentar lagi dia akan munculkan diri..." bisik Wie Chin Siang dengan suara lirih.
Sedikit pun tidak salah, bersamaan dengan selesainya ucapan itu Hoa Pek Tuo dengan memakai jubah panjang yang keren dan sorot mata yang bengis perlahan-lahan munculkan diri di sana, ia tertawa seram dan segera membentak keras : "Sudah disiapkan semua?" "Telah siap semua!" jawab ke-empat orang pria itu dengan suara penuh rasa hormat.
Hawa napsu membunuh yang tebal serta sorot mata tajam yang menggidikkan hati segera muncul di atas wajah Jago Pedang Berdarah Dingin, matanya berapi- api dan badannya gemetar keras.
"Kenapa engkau?" tegur Wie Chin Siang tertegun.
"Aku ingin sekali membinasakan dirinya!" jawab Pek In Hoei dengan penuh kebencian.
"Jangan terburu napsu, coba kita lihat pula apa yang hendak dilakukan olehnya?" "Aku merasa tak sanggup menahan diri, hampir boleh dibilang setiap detik aku selalu menantikan datangnya kesempatan yang baik bagiku untuk membinasakan orang itu." Mendadak terdengar gelak tertawa yang amat nyaring berkumandang memenuhi seluruh ruang gua, sambil menyeringai seram Hoa Pek Tuo bertepuk tangan dua kali, lalu serunya : "Bawa dia datang kemari!" Dua orang pria baju hitam buru-buru lari keluar, tidak lama kemudian sambil membawa seorang kakek kurus kering yang pucat pias ke-dua orang itu muncul kembali di sana.
Terperanjat hati Jago Pedang Berdarah Dingin menyaksikan kemunculan orang itu, pikirnya : "Eeei...
bukankah dia adalah Rasul Racun" Bukankah aku telah berhasil menyelamatkan dirinya" Kenapa sekarang bisa terjatuh kembali ke tangan Hoa Pek Tuo" Kenapa Hoa Pek Tuo tidak melepaskan dirinya..." berpikir sampai di situ dengan nada tercengang segera serunya : "Kenapa Hee Giong Lam bisa berubah jadi begini rupa?" "Ssst...
jangan berisik, Hoa Pek Tuo telah melatih sejenis ilmu pukulan beracun yang hanya bisa dipecahkan oleh Hee Giong Lam seorang, Hoa Pek Tuo takut rahasia ilmu pukulan beracunnya ketahuan orang lain maka ia berusaha sedapat mungkin untuk memburu dan membinasakan dirinya dengan cara apa pun juga." "Aku akan menolongnya kembali..." seru Pek In Hoei sambil mendengus dingin.
Wie Chin Siang menggeleng.
"Kali ini kau tak akan berhasil menyelamatkan dirinya lagi, coba perhatikan dengan seksama, keadaannya sudah tidak jauh berbeda dengan orang mati, Hoa Pek Tuo tentu sudah memberikan sejenis obat kepadanya sehingga membuat dia berubah jadi bodoh dan sama sekali tak berguna lagi." "Diam-diam Jago Pedang Berdarah Dingin merasa serba salah, ia memperhatikan dengan lebih seksama lagi, tidak salah ternyata keadaan dari Hee Giong Lam memang jauh berbeda dengan keadaan dahulu, sekarang matanya mendelong bodoh dan memandang sudut gua dengan ketolol-tololan, air mukanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa pun, ia cuma berdiri kaku dengan mulut membungkam.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... Lo Hee kau tak akan menyangka bakal menemui keadaan seperti ini bukan?" jengek Hoa Pek Tuo sambil tertawa keras dengan suara yang dingin menyeramkan, "tempo hari Pek In Hoei berhasil menyelamatkan dirimu dan kau lantas beranggapan bahwa kau bisa meloloskan diri dari cengkeramanku.
Hmmm... hmmm... pikiranmu itu terlalu sederhana, bila aku Hoa Pek Tuo menginginkan seseorang orang itu itu tak akan berani menolak keinginanku itu, jangan bilang engkau sekali pun Pek In Hoei akhirnya takkan lolos pula dari cengkeramanku." Meskipun sikapnya ketolol-tololan, tetapi pikiran Hee Giong Lam masih jernih, dengan suara dingin ia lantas berkata : "Hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku, segera lakukanlah! Kurangi saja ocehanmu yang sama sekali tak berguna itu..." "Heehm...! aku tiada maksud untuk membinasakan dirimu!" "Lalu apa yang hendak kau lakukan?" seru Hee Giong Lam dengan badan gemetar keras.
Hoa Pek Tuo tepuk tangan kembali, seorang pria segera munculkan diri sambil membawa sebutir pil hitam sebesar kacang kedelai, dengan nada dingin katanya : "Aku harap kau jangan menyusahkan lagi anak buahku, lebih baik telanlah obat ini secara suka rela." Dengan pandangan dingin Rasul Racun Hee Giong Lam menyapu sekejap ke arah pria itu, kemudian mendengus dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia pentang mulutnya lebar-lebar.
Pria tadi segera menyentil pil hitam tersebut ke dalam mulutnya, tanpa memperoleh perlawanan pria tadi telah menyelesaikan tugasnya.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Hee Giong Lam memang benar-benar seorang enghiong sejati, kau tidak menyusahkan mereka..." seru Hoa Pek Tuo sambil tertawa terbahak-bahak.
Hee Giong Lam tertawa dingin.
"Hmm! Sekali pun racun pemutus usus aku berani juga untuk menelannya..." "Oooh...
tak usah kuatir, bukan racun pemutus usus yang kuberikan kepadamu, racun ini jauh lebih lihay daripada racun apa pun, setelah kau menelan obat itu maka pikiranmu akan menjadi sinting dan semua kejadian yang telah lampau akan kau lupakan sama sekali, selama hidup akan menjadi gila terus hingga akhirnya mati..." Sekujur badan Hee Giong Lam gemetar keras, dengan suara penasaran bercampur dendam serunya : "Mengapa kau mesti menyiksa diriku dengan cara yang demikian keji?"?" "Oooh...
itu baru permulaannya, setelah kau menjadi gila kau akan suruh putri angkatmu Kong Yo Siok Peng menyaksikan dengan mata kepala sendiri manusia macam apakah ayah angkatnya itu..." "Kau...
kau..." air muka Hee Giong Lam berubah hebat, saking gusarnya sekujur badan gemetar makin keras.
Setengah harian lamanya dia mengulangi kata-kata tersebut namun tak sanggup melanjutkan lebih jauh, ia hanya bisa memandang ke arah rase tua yang telah kehilangan peri kemanusiaannya itu dengan pandangan penuh kemarahan...
Tetapi sesaat kemudian dia menghela napas sedih dan mendesis penuh penderitaan, katanya : "Aku tak mau menjumpai Siok Peng dengan keadaan seperti itu, aku tak mau..." "Sekali pun kau tidak mau juga harus, siapa suruh engkau mengkhianati aku dan melarikan diri dari cengkeramanku" Aku telah memikirkan cara yang keji untuk menghadapi dirimu dan salah satu di antaranya adalah ini.
Loo Hee, kau jangan salahkah aku berhati keji, hal ini harus salahkan kau yang telah salah memilih rahim ibumu..." Dari perkataan-perkataan yang diucapkan makhluk tua ini, bisa dibayangkan betapa keji dan telengasnya manusia tersebut.
Hee Giong Lam yang mendengarkan ucapan itu jadi terkesiap, rasa gusar, benci dan sakit hati terlintas di atas wajahnya, saking marahnya dia sampai menggigit bibir dan melotot ke arah Hoa Pek Tuo dengan penuh kebencian serta perasaan dendam.
"Mengapa kau harus menghadapi diriku dengan cara ini?" kembali Hee Giong Lam berteriak keras.
"Karena kau berani mengkhianati diriku, setiap orang yang berani mengkhianati aku harus diganjar dengan hukuman yang paling kejam..."
"Hmmm... Hmmm... aku rasa alasannya belum tentu hanya karena masalah itu saja..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... tentu saja, salju bisa membeku setebal tiga depa, kejadian itu bukan berlangsung dalam sehari belaka, kalau kau ingin mengetahui alasan yang sebenarnya maka lebih baik tanyalah kepada dirimu sendiri, apakah kau telah mengerjakan tugas yang kuberikan kepadamu secara sempurna..." "Huuh...! Meskipun nama besarku tidak sebesar dan secemerlang namamu dalam dunia persilatan, bagaimana pun juga aku masih tetap merupakan seorang ketua dari suatu perguruan besar, aku tak sudi melakukan pekerjaan seperti apa yang kau perintahkan, kau tak usah bermimpi di siang hari bolong..." "Itu masih belum cukup, setelah kau tak mau jual tenaga kepadaku, tentu saja aku pun harus mencari akal untuk melenyapkan dirimu dari muka bumi, aku tak ingin membiarkan engkau terjatuh ke tangan orang lain sehingga rahasiaku ketahuan..." Hee Giong Lam tarik napas panjang-panjang katanya : "Buat apa kau mengucapkan kata-kata yang begitu indah" Katakan saja kalau kau hendak membunuh orang untuk melenyapkan bukti." Hoa Pek Tuo tertawa licik lalu menggeleng.
"Aku sama sekali tiada rencana untuk membinasakan dirimu, asal kuberi obat gila kepadamu sehingga membuat kau edan dan tidak kenal siapa-siapa, itu sudah lebih dari cukup, waktu itu kendati sanak keluargamu sendiri pun tak berani mendekati dirimu." "Kau...
kau... hatimu lebih kejam daripada ular berbisa," jerit Hee Giong Lam penuh kebencian.
"Hmm! Terserah engkau mau memaki diriku dengan kata macam apa pun, aku tidak jadi soal...
Hee Giong Lam! Sekarang kalau kau menyesal masih belum terlambat, aku masih mempunyai cara untuk melenyapkan racun gila yang mengidap dalam tubuhmu itu." Hee Giong Lam mendengus dingin.
"Hmmm! Tentulah bukan diobati secara gratis bukan..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... tentu saja, aku rasa di kolong langit ini tiada pekerjaan yang tidak diimbali dengan jasa, kuserahkan obat pemunah itu kepadamu dan tentu saja kau harus memberi balas jasa kepadaku, sebab aku rasa cara ini adalah cara yang paling adil." Hee Giong Lam bukanlah seorang manusia lurus yang tulen, apalagi dia bukan lampu lentera yang kehabisan minyak, satu ingatan dengan cepat berkelebat di dalam benaknya.
"Kenapa aku tidak coba bermain licik dengan dirinya" Setelah kudapatkan obat pemunah itu akan aku cari akal lagi untuk melarikan diri atau membinasakan dirinya, cuma otak bajingan ini terlalu banyak dan liciknya bukan kepalang, untuk mendapatkan obat pemunah itu tentu saja bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Ia melirik sekejap ke arah Hoa Pek Tuo, kemudian bertanya : "Apa syaratmu?" "Haaaah...
Setan Pantai Timur 1 Candika Dewi Penyebar Maut I V Mereka Datang Ke Baghdad 1

Cari Blog Ini