Ceritasilat Novel Online

Penghuni Kuil Neraka 1

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU DI BAWAH sinar rembulan yang meningkahi
Gunung Arjuna, lima sosok tubuh tersuruk-suruk
mendaki tebing jurang. Mereka kehabisan tenaga, tetapi tetap memaksakan diri merayap ke puncak gunung. Wajah mereka dipenati debu. Berpakaian compang-camping akibat tercabik karang tajam. Kaki dan
tangan mereka penuh gurat-gurat darah, tersayat duri-duri semak.
Namun kelima orang yang ditaksir berusia sekitar tiga puluh sampai empat puluhan rupanya sekelompok orang berkemauan sekeras karang. Dan, agaknya mereka tengah melaksanakan tugas penting yang
mengharuskan mereka berkejaran dengan waktu.
Sekalipun dalam keadaan tak karuan, kepribadian kelima orang itu tetap menonjol. Wajah mereka
cakap berseri. Berpakaian seragam. Mengenakan celana dan baju keprajuritan. Di lengan masing-masing
melingkar logam tipis berwarna kuning keemasan. Sedang di pinggang, terselip pedang dengan bentuk seru-pa, mencerminkan bahwa
mereka benar-benar para
prajurit. Jerih payah kelima orang itu berhasil membuat
mereka tiba di kuburan di tengah hutan, tak jauh dari puncak Gunung Arjuna.
Tiba-tiba mata kelima orang tadi terbelalak ketika tertumbuk pada sebongkah batu sebesar gajah. Di atas batu itu tersusun
tujuh tengkorak manusia.
DI tengah batu, tergurat sebaris tulisan berhuruf Jawa Kuno yang artinya TUJUH DEWA KEMATIAN.
Tidak jauh dari letak batu, hanya berselang sekitar tiga tombak, berdiri
bangunan yang mirip candi. Di muka
bangunan, terpancang gapura. Di masing-masing sisi
gapura, juga terdapat tengkorak kepala manusia.
Mata kelima prajurit tadi berkilatan bagai memancarkan api. Musuh besar mereka sudah di depan mata!
"Kita serang!"
Golak darah dan semangat kelima orang tersebut menyalakan keberanian. Dengan menghunus pedang, mereka melangkah mendekati bangunan tadi.
"Kita harus hati-hati!" Salah seorang yang melangkah paling depan memperingati.
Langkah mereka mendadak terhenti. Mereka
termangu. Persis di depan bangunan, tepatnya di halaman
depan, tampak berpuluh-puluh tengkorak manusia
berserakan di tanah. Perlahan-lahan tapi pasti, kelima orang itu melangkah lebih
dekat ke pintu masuk. Mata mereka terbentang tatkala menyaksikan di atas pintu
gerbang terpancar cahaya lentera merah membentuk
huruf-huruf bertuliskan; KUIL NERAKA!
"Di sini rupanya iblis-iblis itu bercokol," gumam salah seorang yang termuda di
antara mereka. "Ya, Adik Sentana."
Siapa mereka sebenarnya" Cukupkah mereka
punya nyali untuk memasuki Kuil Neraka, sarang persembunyian Tujuh Dewa Kematian"!
Mereka adalah kelompok kecil ksatria yang
mendapat gelar Prajurit Kembar. Para pendekar muda
gagah berani. Keberanian mereka dalam melaksanakan
tugas membasmi para penyamun telah menggegerkan
tanah Jawa beberapa waktu lalu. Prajurit Kembar adalah utusan dari Kadipaten Lumajang.
Ketika itu, Adipati Lumajang bernama Wisnu
Bernawa mendengar tentang keganasan Tujuh Dewa
Kematian. Segera diperintahkannya Prajurit Kembar
untuk menumpas dan menghentikan sepak terjang
momok menakutkan itu.
Prajurit tertua bernama Darma Sukanta. Disusul oleh Aji Sukanta, lalu Surya Sukanta, Sukma Sukanta, dan yang termuda bernama Sentana Sukanta.
Karena wajah serta cara berpakaian mereka serupa,
maka kalangan persilatan memberi julukan Prajurit
Kembar. Hati-hati, Prajurit Kembar kini mencoba membuka pintu. "Hm," dengus Darma Sukanta seraya melangkah lebar memasuki pintu gerbang. Di belakangnya,
yang lain menyusul.
"Lihat Kakak Darma! Di dinding itu terdapat tulisan lagi...!" seru Sentana. Disusul dengan mengusap-usap tulisan yang tertutup
debu. "Bacakan!" perintah Darma, selesai adik bung-sunya membersihkan debu. Sentana
membaca, "Setiap kali ada orang berkunjung, Kuil Neraka tentu bertambah penghuni...."
Di ujung kalimat Sentana, mereka dikejutkan
oleh lengkingan tawa yang menusuk gendang telinga.
"Ha ha ha ha!!!"
Kelima Prajurit Kembar menutup rapat-rapat
telinga masing-masing. Lamat-lamat, tawa tadi memupus. Suasana menjadi seperti sediakala, sunyi senyap tanpa suara apa-apa.
Sehimpun satwa seperti enggan
memperdengarkan tembang milik masing-masing.
Yang meraja cuma kesunyian menikam.
Kalau bukan Prajurit Kembar, terlalu sedikit
orang berani memasuki Kuil Neraka. Mendengar namanya saja sudah membuat bulu roma bergidik.
Menanggapi kejadian tadi, Prajurit Kembar
memburu masuk lebih ke dalam, mencoba mencari
sumber tawa. Mereka tiba di suatu ruangan seluas lapangan. Tegang, mereka pancang wajah ke muka.
Di antara selimut kabut, samar-samar tampak
tujuh orang paderi berjubah hitam tengah berdiri berjajar. Satu orang berdiri
terpisah di depan. Tangan dan kaki mereka tak terlihat karena tertutup jubah.
Kecuali bagian kepala yang rata-rata besar, melebihi ukuran orang biasa. Telinga
mereka lebar. Mata bundar, tanpa alis di atasnya. Mulut mereka berkeriput,
menandakan tidak ada lagi gigi yang tumbuh di baliknya. Ketujuh orang tersebut
berperawakan sama. Hampir semua kurus.
Di samping mereka, ada satu pemandangan
lain yang menarik perhatian Prajurit Kembar. Di sebelah kiri barisan Tujuh Dewa
Kematian, tergeletak satu peti mati berukuran besar. Sepertinya, benda hitam
menyeramkan itu sengaja dipersiapkan. Cuma saja,
belum jelas untuk apa atau untuk siapa.
"O, kiranya inilah para manusia iblis yang berjuluk Tujuh Dewa Kematian" Entah dari mana asalusul manusia-manusia aneh ini...," gumam Darma Sukanta, dilapisi geraman.
Mendadak sontak, mencelat bunyi berderak
dahsyat dari peti mati besar.
Peti terkuak. Gulungan asap menyeruak.
Dari dalam peti, muncul manusia yang lebih
menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu.
Wajahnya teramat menakutkan. Tidak mengenakan
pakaian, hanya cawat kecil menutupi bagian selangkangannya. Cawat itu terbuat dari logam berwarna
kuning keemasan.
Ia tertawa meringkik-ringkik. Kemudian, dilangkahkannya kaki ke depan Tujuh Dewa Kematian.
Setelah itu, makhluk yang menyerupai mayat hidup itu menjura.
Salah seorang yang berdiri di depan mengangkat tangan ke atas. Ditudingnya Prajurit Kembar. Melihat komando dari salah seorang pemimpinnya, mayat
hidup itu bangkit dari menjura, lalu menoleh ke arah Prajurit Kembar. Dengan
suara meruncing, dia menggeram. "Akan kubunuh kelima manusia dungu itu!"
Kelima Prajurit Kembar menyiapkan kuda-kuda, siaga
dengan pedang di tangan masing-masing.
"Adik-adikku, siapkan jurus 'Pedang Kembar
Menyapu Awan'!" komando Darma Sukanta.
Di ujung komando Darma Sukanta, enam saudaranya yang lain segera membentuk formasi pembuka
jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'. Satu orang
berdiri di depan, disusul yang lain membentuk jajaran memanjang.
Tak ragu lagi, Prajurit Kembar segera menerjang Manusia Mayat Hidup dengan menutup empat
penjuru mata angin. Jurus 'Pedang Kembar Menyapu
Awan' digunakan secara serentak, meliuk-liuk, menyambar ke kiri dan kanan.
Manusia Mayat Hidup menghadapi dengan tenang. Tebasan-tebasan pedang ditangkalnya dengan
mudah. Sesekali, tubuhnya melentik ke udara seraya
memberikan serangan balasan.
"Hiaah!!"
Pertarungan berjalan kurang lebih beberapa
menit. Kedua pihak belum tampak ada yang kalah. Pedang berdesingan, menyambar-nyambar seolah bernyawa. Formasi Jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'
sulit ditembus oleh Manusia Mayat Hidup. Tak heran
kalau Prajurit Kembar sangat ditakuti para perampok
di seluruh tanah Jawa.
Jurus yang digunakan Manusia Mayat Hidup
sangat aneh. Tubuhnya lemas seperti belut. Kibasankibasan tangannya mengandung hawa dingin sehingga
menyulitkan Prajurit Kembar untuk menghujamkan
pedang ke dada lawan.
Di saat pertarungan sedang memuncak, tibatiba Manusia Mayat Hidup menghentakkan kaki. Tubuhnya melentik mundur, menghindari lawan, lalu
mendarat dengan mulus persis di depan Tujuh Dewa
Kematian. Prajurit Kembar pun berhenti dan berdiri tegak,
menatap tajam ke arah musuh-musuh mereka.
"Apa maksud setan jelek ini menghentikan pertarungan Kakak Darma?" tanya Aji Sukanta.
"Apakah kau tidak melihatnya" Saat kita bertarung tadi, iblis yang berdiri paling depan mengangkat tangan kanannya...."
Tapi apa maksud iblis itu menghentikan pertarungan" Bisik hati Aji Sukanta, seraya menatap tajam tak berkedip ke arah Tujuh
Dewa Kematian. Tujuh Dewa Kematian bergerak melingkar,
mengitari Manusia Mayat Hidup. Manusia Mayat Hidup berdiri mematung. Tangannya membentuk sikusiku di dada. Kaki kanannya diangkat. Seketika, segulungan asap keluar dari lehernya. Kejadian itu tak berlangsung lama. Tujuh
Dewa Kematian kembali dalam posisi semula. Hanya Manusia Mayat Hidup yang
tidak berubah. Prajurit Kembar termangu-mangu melihat hal
ganjil yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian.
Selesai melakukan semacam upacara singkat,
Tujuh Dewa Kematian tertawa serempak.
"Huaa ha ha ha!!!!"
Rupanya, yang barusan dilakukan adalah sebuah upacara kecil untuk menyambut pendatang baru
yang masuk ke Kuil Neraka. Di sela gelak tawa yang
bergema, lamat-lamat Manusia Mayat Hidup menurunkan tangan dan kaki kembali. Tawa pun terhenti.
Matanya menatap bengis ke arah Prajurit Kembar yang
sejak tadi termangu-mangu menyaksikan kejadian
yang mereka anggap ganjil.
Perlahan-lahan, Tujuh Dewa Kematian melangkah mendekati Prajurit Kembar. Senyuman sinis tersungging di mulut yang tak bergigi. Lebih kentara sebagai seringai. Alangkah
mengerikan sekali senyuman
itu.... "Kisanak sekalian, siapa yang mengutus kalian datang ke sini?" tanya
seorang dari Tujuh Dewa Kematian. "Kami datang atas titah adipati," sahut Sukma
Sukanta, datar.
"Kalian datang cuma mengantar nyawa!!"
Mendengar perkataan bernada ancaman, darah
Prajurit Kembar bergejolak. Diam-diam, Sentana Sukanta memaki dalam hati. Sebaliknya, justru ini hari terakhirmu, Setan-setan
Jelek! Sesaat kemudian, seorang dari Tujuh Dewa
Kematian yang menjadi pemimpin menyusulkan pertanyaan, "Siapa kalian?"
"Kami adalah Prajurit Kembar!" jawab Darma Sukanta.
Si pemimpin tadi tertawa mencemooh.
"Sungguh besar sekali peruntungan kami hari
ini, dapat menerima kunjungan Prajurit Kembar yang
ditakuti para perampok tanah Jawa. Lalu, apa maksud
dan tujuan kalian datang ke Kuil Neraka?"
Dengan sikap tegas dan suara lantang, Darma
Sukanta sebagai orang tertua menjawab pertanyaan
itu. "Aku serta keempat saudaraku datang ke sini
untuk menghentikan sepak terjang kalian!"
"Ha ha ha haa!!"
Tujuh Dewa Kematian malah tertawa. Kali ini
tawa mereka bergulung-gulung, menderu bagai gemuruh petir. Kembali Prajurit Kembar menutupi telinga
sambil mengatur tenaga dalam untuk menangkal suara tawa yang menusuk telinga.
Tawa Tujuh Dewa Kematian makin lama makin
melengking, membubung ke angkasa. Dinding kuil
berderak retak. Burung-burung malam di luar sana
terjatuh dan mati. Kelelawar-kelelawar mencuit-cuit
sekarat. Suasana di sekitar Gunung Arjuna jadi bergemuruh meliuk-liuk. Lebih jauh, tawa Dewa Kematian
membangunkan penduduk yang berada jauh di kaki
Gunung Arjuna. Prajurit Kembar dibuat kerepotan.
"Akh!"
Sukma Sukanta dan Sentana terhuyunghuyung. Darah mulai merembes dari telinga dan hidung keduanya. Mulut mereka menyeringai kesakitan.
Dengan serentak, tawa terhenti. Suasana kem

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bali seperti semula. Tubuh Surya Sukanta dan Sentana yang sebelumnya terhuyung-huyung menjadi limbung, lalu ambruk.
*** DUA SUKMA Sukanta menggoncang-goncangkan tubuh kedua saudaranya seolah tak mempercayai kejadian yang menimpa kedua saudaranya. Darma Sukanta dan Aji Sukanta diam sesaat, lalu kepalanya menoleh ke arah Tujuh Dewa Kematian. Paras wajahnya
terbakar. Tubuhnya menggigil menahan gejolak amarah yang memuncak. Digenggamnya pedang erat-erat
seraya berkata, "Aku Darma Sukanta ingin sekali men-gunyah dagingmu,
mengulitimu!! Kau telah membunuh kedua saudaraku, kau harus mempertanggung
jawabkan perbuatanmu!"
Ketujuh momok sakti itu tetap berdiri di tempat, kemudian salah satu di antaranya menukas dikawal tawa tawar. Tiba-tiba pula wajahnya berubah
menjadi garang. Dari mulutnya yang tak bergigi, keluarlah ucapan dengan nada garang.
"Sudah menjadi ketetapan berpuluh tahun
bahwa, barang siapa memasuki Kuil Neraka tentu tidak akan keluar dengan selamat."
Selesai berkata, ia mengacungkan tangan ke
atas. Manusia Mayat Hidup yang sejak tadi mematung,
perlahan-lahan mulai menurunkan tangan dan kakinya. Dia maju. Tiga tindak kemudian, dibalikkannya tubuh ke arah peti mati.
Ternyata Manusia Mayat Hidup melangkah mendekati peti itu. Tangannya terangkat ke depan. Mulutnya komat-kamit, kemudian dihentakkannya kaki kanan tiga kali ke lantai.
Duk duk duk!! Lambat-laun, peti itu terangkat ke atas. Diputarnya tubuh bersamaan dengan gerak peti mati ke
arah tiga orang Prajurit Kembar yang tengah berdiri tegak. Manusia Mayat Hidup mengibaskan tangannya
pelan tapi penuh tenaga. Angin menderu. Gemuruh
menyentak peti mati. Benda besar itu meluncur deras
ke arah tiga orang Prajurit Kembar.
Sisa tiga orang Prajurit Kembar yang sejak tadi
berdiri tegak, terperangah menyadari bahwa mereka
diserang dengan cepat. Mereka menghentakkan kaki.
Tubuh ketiganya melentik ke udara, menghindari terjangan peti mati. Peti itu pun menghantam tempat kosong. Des! Seperti bernyawa, peti itu berputar arah lalu
menerjang kembali. Angin putarannya mendengusdengus. Dia terus berputar dan berputar, memburu
dan memburu. Ketiga Prajurit Kembar jungkir balik ke sana kemari.
"Berhenti!!" perintah seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
Manusia Mayat Hidup pun menghentikan manteranya. Bersamaan dengan itu, peti mati yang tadi
mengamuk mendadak berhenti, kemudian jatuh berdebam. "Mengapa dihentikan, Tuan" Aku ingin mem-bunuhnya! Sudah lama aku tak
membunuh. Aku selalu terkurung di dalam peti itu!"
"Sabar. Kau tak perlu membunuh mereka. Aku
ingin menjadikan mereka pengikutku," dengus ketua Tujuh Dewa Kematian. Sedangkan
yang lain terdiam.
"Hai Darma Sukanta, bagaimana kalau kau dan
kedua saudaramu menjadi budakku"! Kau setuju?"
"Cuih! Lebih baik kami bertarung sampai titik
darah terakhir daripada menjadi budak setan-setan jelek macam kalian!"
"Kalau begitu, kau mencari mati!"
"Mati sekarang atau nanti, bagi kami sama saja. Yang jelas, lepaskan bayi-bayi yang kau culik dari desa Karang Haur!"
"Kenapa baru kau tanyakan sekarang?"
"Setan jelek, kenapa kau menculik para bayi
serta membunuh orang-orang tak berdosa?" tanpa
berniat menjawab, Aji Sukanta malah balik bertanya.
"Itu urusan kami! Kalian tak perlu tahu! Kini,
bersiaplah untuk mati!"
Selesai menebar ancaman, Ketua Tujuh Dewa
Kematian mendorong tangan perlahan-lahan. Memang
tampak tak bertenaga, tapi hebatnya tak terkira. Itulah jurus 'Petir Membelah
Gunung'. Angin mendesis laksana suara seribu ekor ular. Segulung tenaga dahsyat
melanda tiga orang Prajurit Kembar.
Tiga Prajurit Kembar tegak berdiri di tempat,
bersiaga penuh menyambut badai serangan lawan
dengan bersiap melontarkan pukulan 'Tandukan Banteng Kembar'. Tiga kekuatan yang melebur menjadi satu dilancarkan, mencoba menghadang serangan lawan.
Dark! Terpecah suara benturan pukulan kedua belah
pihak. Heran, momok sakti itu tetap berdiri tegak.
Baik badan maupun kuda-kudanya tak bergemik sedikit pun.
Lain dengan tiga orang Prajurit Kembar. Mereka
terpental membentur dinding, dan ambruk ke tanah.
Dari mulut ketiganya termuntah darah segar.
"Ukhh!"
Dalam sekali gebrak, ketiganya menderita luka
dalam yang berat. Dalam keadaan terluka, Darma Sukanta terhuyung-huyung menghampiri kedua adiknya
yang tampak menderita luka lebih parah.
"Kau tidak apa-apa, Adikku?" tanya Darma Sukanta sambil menyeringai kesakitan.
"Dadaku sesak," keluh Aji Sukanta. Selesai berkata, dia mencoba mengatur
pernapasan. Sedangkan Sukma Sukanta mengerang-erang
seraya terbatuk-batuk kecil.
"Sukma, sebaiknya kau keluar dari tempat terkutuk ini. Di antara kita harus ada seorang yang selamat agar bisa menyampaikan
berita pada Adipati Bernawa!" erang Darma Sukanta, tetap dengan mengatur hawa murni.
"Tidak, Kak! Kita pergi bersama, maka mati pun
kita harus bersama!"
"Jangan gegabah! Iblis ini terlalu sakti untuk
dihadapi. Cepat pergi dari sini! Biar aku dan Aji yang menghadapi mereka...."
Dengan berat hati, Sukma Sukanta meninggalkan kedua kakaknya yang baru saja terluka. Tujuh
Dewa Kematian tidak bertindak apa-apa. Momok sakti
itu tetap tegak di tempat masing-masing.
Karena dalam sekali gebrak Prajurit Kembar
menderita luka dalam yang berat, maka Darma Sukanta dan Aji Sukanta segera menguras tenaga yang masih tersisa untuk mengerahkan ilmu simpanan. Keduanya berusaha untuk menebus kekalahan.
Tetapi, gila benar momok sakti yang bergelar
Tujuh Dewa Kematian itu. Hanya dengan mengebutkan lengan baju, maka tekanan angin pukulan
yang dilontarkan dua bersaudara itu dapat ditahan.
Seiring dengan itu, sebentuk tenaga terpantul keras
dan melempar kedua bersaudara itu sampai enam
tombak. Kedua bersaudara itu merasakan bumi di sekelilingnya menjadi gelap gulita. Sesaat kemudian, mereka tak berkutik lagi....
* * * Sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok.
Malam yang kelam sebentar lagi akan berganti fajar.
Sukma Sukanta keluar dari gerbang Kuil Neraka. Tak
dihiraukannya luka dalam. Ia terus berlari menjauhi
tempat laknat itu.
Fajar sudah menampakkan wajahnya. Kuil Neraka sudah jauh tertinggal. Jatuh bangun Sukma Sukanta. Nafasnya terengah-engah. Tubuhnya bersimbah
peluh. Rasa sesak di dada menghimpit pernapasan.
Sampai tiba saatnya dia kehabisan tenaga. Pucat wajah Sukma Sukanta. Matanya berkunang-kunang.
Bumi terasa berputar.
Dengan susah payah, dia mencoba bangkit untuk melanjutkan langkah. Tapi tubuhnya terhuyung
lalu tersuruk ke semak. Dicobanya untuk bangkit
kembali. Tapi dia tak kuasa. Tubuhnya lemas. Sukma
Sukanta cuma dapat tertelungkup. Erangan kesakitan
terdengar bersambungan.
Sang Surya makin meninggi. Sinarnya makin
terasa menyengat kulit. Sementara Sukma Sukanta
masih tergolek tak berdaya di sisi jalan setapak.
Dari kejauhan terdengar suara siulan diselingi
nyanyian sumbang. Siapakah si empunya suara"
Muncul seorang pemuda yang baru beranjak dewasa.
Wajahnya tampan, bergaris rahang jantan. Pemuda itu
masih saja bersiul-siul, melenggang enteng. Tampak
terbersit keceriaan di wajahnya.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu putih dari
kulit hewan. Bercelana pangsi biru sebatas lutut. Pada kain ikat pinggangnya
terselip semacam tongkat pendek berwarna hitam. Berpangkal logam perak berbentuk kepala naga, berujung logam perak berbentuk ekor naga. Siulan si pemuda
terpenggal. Ada suara erangan dari kejauhan mengusiknya. Seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan berpakaian seragam keprajuritan sedang merangkak-rangkak dibarengi erangan lemah di sisi jalan setapak. Dia adalah Sukma Sukanta.
Pemuda tadi tertarik. Dia berlari kecil menghampiri. Tiba di dekat Sukma Sukanta, pemuda itu
cepat berjongkok dan segera membalik tubuhnya.
"Apa yang telah terjadi pada diri orang ini?"
dengus si pemuda sambil memijat nadi Sukma Sukanta. Merasakan ada sentuhan hangat, Sukma Sukanta membuka matanya. Ditatapnya dalam-dalam
wajah si pemuda.
"Si... siapa kau Adik Muda?" tanyanya tersendat-sendat.
"Jangan bertanya dulu. Sekarang duduklah.
Atur pernapasan lalu pusatkan pikiran," sergah si pemuda seraya membantu Sukma
Sukanta untuk duduk. "Terima kasih, Adik Muda...."
"Sudahlah.... Kita sesama manusia memang
seharusnya saling tolong menolong. Siapa nama Kakang?" tanya pemuda itu dengan nada datar.
"Namaku Sukma Sukanta. Aku prajurit kepercayaan Adipati Lumajang."
"O, pantas Kakang mengenakan pakaian seragam keprajuritan. Lalu kenapa Kakang bisa di sini
dengan tubuh terluka dalam?"
"Ceritanya panjang. Ah, aku belum tahu namamu, Adik Muda."
"Panggil aku Satria, Kang."
"Satria.... Nama yang cukup bagus. Ugh-ugh!"
Sukma Sukanta terbatuk-batuk kecil. Pemuda
yang mengaku bernama Satria merangkul tubuh Sukma Sukanta sambil berkata, "Sudahlah.... Kakang jangan banyak bicara dulu. Dada
Kakang masih sesak."
"Biarlah. Aku tak apa-apa...."
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini dulu,
Kang. Kita cari bantuan penduduk untuk merawat luka Kakang."
"Baiklah."
Sukma Sukanta mencoba bangkit, dibantu Satria. * * * Waktu terus bergulir. Tak terasa sang surya telah condong ke sebelah barat. Dua orang yang saling
merangkul seperti dua saudara sudah berada di jalan
berbatu kerikil yang menuju desa terdekat. Keduanya
tidak lain Sukma Sukanta dan Satria. Orang terakhir
dikenal oleh kalangan persilatan sebagai salah seorang pendekar muda sakti
berjuluk Satria Gendeng.
Keduanya menunggu di sisi jalan, kalau-kalau
ada pedati yang lewat. Mereka berniat menumpang.
Nasib mereka memang sedang bagus. Tak lama
menunggu, ada sebuah pedati melintas. Kusir pedati
seorang lelaki tua berpakaian coklat dekil. Rambutnya putih, kaku seperti orang
yang tak pernah keramas selama seribu satu tahun. Di atas kepalanya bertengger
topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya redup, di-naungi alis lebat memutih.
Satria Gendeng langsung melambaikan tangan.
"Tunggu, Pak Tua!"
Kuda meringkik karena tali kekang ditarik
mendadak. Pedati berhenti, tak jauh di depan calon
penumpangnya. Kusirnya tak sedikit pun melepas teguran. Wajahnya kekar membeku.
"Maaf, Pak Tua. Kami terpaksa mengganggu
perjalananmu."
"Ada apa?" sentak Pak Kusir Tua.
"Kami ingin menumpang, Pak Tua!"
Tak banyak kata atau tanya, si kusir tua membuat isyarat dengan gerakan kepala. Satria menganggap itu pertanda mereka diizinkan untuk naik. Meski
dalam hati, Satria mengomel-ngomel juga pada sikap
kusir tua yang dingin dan kaku. Apa dia baru saja
'dipecat' jadi suami oleh istrinya" Guraunya membatin.
Satria dan Sukma menaiki pedati. Pak Kusir
Tua menggebah kuda kurusnya untuk melanjutkan
perjalanan. Pedati berjalan lamat. Sesekali sang kusir melecut kudanya untuk mempercepat perjalanan. Tapi, tetap saja kuda kurus kering itu berjalan seperti binatang pesakitan.
Satria dan Sukma Sukanta duduk tenang di belakang kusir. Wajah Sukma Sukanta terus dikungkung
kemurungan, seolah menyimpan timbunan duka di hati. Melihat wajah Sukma, Satria menepis lutut lelaki itu. Kebetulan mereka duduk berhadapan. "Ada apa, Kang?"
"Ah, tidak...."
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa wajah Kakang murung?"
"Aku hanya ingat saudara-saudaraku."
"Kenapa dengan mereka" Oh ya, Kakang pun
belum menjelaskan kenapa Kakang bisa berada di


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat tadi, sedangkan letak Kadipaten Lumajang cukup jauh dari tempat ini" Perlu waktu dua hari kalau berjalan kaki ke sana...."
"Aku lupa menceritakannya padamu. Sebagai
seorang prajurit, aku selalu berada di mana saja. Dekat maupun jauh. Semua itu
aku lakukan untuk melaksanakan perintah adipati dalam membasmi para perompak yang mengganggu rakyat...."
"Jadi, Kakang terluka waktu itu karena bertarung dengan perampok?" potong Satria.
"Ya. Mereka bisa disebut iblis!"
"Kenapa begitu" Siapa mereka sebenarnya,
Kang?" susul Satria penasaran. Terbersit keinginta-huan di wajahnya.
"Mereka bergelar Tujuh Dewa Kematian, para
penghuni Kuil Neraka. Keganasan mereka tak kepalang. Mereka membunuh tokoh-tokoh aliran putih dan
membunuh Empu-empu kepercayaan adipati. Yang lebih menyakitkan lagi, mereka menculik bayi-bayi yang masih suci. Oleh karena
itu, sebutan yang paling cocok adalah 'iblis'!!"
Satria menghela napas panjang setelah mendengar penuturan Sukma Sukanta. Dia menggeser duduknya ke samping. Tanpa sengaja, benda berbentuk
tongkat pendek menyembul keluar dari kain ikat pinggangnya. "Benda apa itu, Adik Muda?" tanya Sukma Sukanta. Matanya menilik lekat-lekat ke
pinggang Satria Gendeng.
"OOh, ini.... Cuma benda pemberian guruku,
Kang," kilah Satria, tak ingin berterus terang.
Mendengar jawaban tadi, Sukma Sukanta tidak
ingin memperpanjang masalah. Lelaki itu cukup maklum kalau Satria tampaknya tak ingin membicarakannya. Dia hanya menganguk-anggukkan kepala.
Lain halnya dengan kusir pedati. Dari diamnya,
tiba-tiba dia terkekeh.
"He he he he!"
Langkah kudanya terhenti. Hewan penghela
pedati itu meringkik-ringkik dan berjingkat-jingkat. Satria dan Sukma Sukanta
tak mengerti apa yang terjadi. Terbetik pertanyaan di hati masing-masing. "Ada apa, Pak Tua?" tanya Sukma
Sukanta. Kusir tua itu tak menjawab. Dia terus menyambung kekehnya, di-tingkahi
ringkikan kuda. Merasakan ada gelagat tak
baik, Satria bergegas melompat turun dari atas pedati.
Sukma Sukanta menyusul.
*** TIGA KALIAN kenapa turun. Cah?" Tanpa menoleh, si
kusir tua bertanya.
"Kenapa Pak Tua tertawa dan kenapa pula kuda itu meringkik ringkik?" balas tanya Sukma Sukanta, curiga.
"Benda di pinggang Cah Gondrong itu...," ujar kusir tua. Lalu, kakinya
dihentakkan. Dia melentik
ringan ke udara. Mendarat mulus di atap pedati dengan posisi bersila. Matanya menghunus langsung ke
arah ikat pinggang Satria Gendeng.
Satria sendiri malah cengengesan menyaksikan
tingkah tua bangka itu. Perbuatannya terasa lucu bagi si pendekar muda berhati
polos. "Hey, Cah! Dari mana kau dapatkan benda itu?"
tanya Kusir Tua sambil melompat turun. Nadanya
agak menjangkit. Kesannya mulai kasar.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Satria balik bertanya. "Eleh eleh... ditanya malah
balik bertanya!"
"Kalau boleh kami tahu, siapa Pak Tua ini sebenarnya?" sela Sukma Sukanta.
"Aku Setan Syair!"
"Setan Syair"!" Sukma Sukanta terbelalak. Pernah didengarnya nama itu. Setan
Syair sama biadabnya dengan Tujuh Dewa Kematian. Apa pun yang diinginkannya harus tercapai, kendati harus membunuh!
Baginya, nyawa manusia tak lebih berharga dari lalat.
Kapan pun dia mau, di situlah dia membunuh.
"Setan Syair, sepertinya kau menginginkan
benda milik sahabat mudaku ini?" susul Sukma Sukanta lagi.
Setan Syair mundur tiga langkah. Dia menarik
napas. Kepalanya mendongak ke atas. Sikap seperti itu sudah amat dikenal
kalangan persilatan sebagai satu
ciri Setan Syair. Gelagatnya dia hendak mengumandangkan syair kematiannya.
"Rajawali terbang membumbung ke angkasa,
melayang-layang mencari mangsa.
Yang kucari kini di depan mata,
dipegang bocah yang masih belia"
Lantunan syair berupa pantun melambung ke
angkasa. Memantul di udara, menerjang pepohonan,
membuat terdiam mematung siapa yang mendengarkan. Sukma Sukanta menutup telinga. Satria tetap
berdiri tegak, tak bergemik sedikit pun. Pendekar mu-da itu hanya meringisringis. Satria bukan pemuda berotak udang. Dia tahu jelas apa yang dikehendaki si
kusir tua dengan mengumandangkan syair murahannya dengan menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Pasti masalah Kail Naga Samudera, pikirnya. Senjata
milikku ini selalu saja bikin perkara, rutuknya membatin.
"Pak Tua Setan Syair, apa maksudmu mengumandangkan syair itu di depanku?" seru Satria, berpu-ra-pura tak tahu
"Jangan banyak tanya, Cah! Serahkan saja
benda itu padaku! Kau tak layak memilikinya," desis Setan Syair. Diam-diam,
hatinya menyembunyikan ra-sa kagum pada Satria yang tak terpengaruh kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan melalui suaranya barusan. Satria menampar kening dengan mata membeliak. "Rupanya kita salah menumpang. Ternyata
orang yang kita tumpangi tak lebih dari tukang umbar syair pinggiran jalan yang
senang merebut hak orang
lain...," katanya pada Sukma Sukanta.
Sukma Sukanta dipaksa menautkan alis mendengar ucapan seenak dengkul Satria. Dia tahu benar
siapa Setan Syair. Julukan yang tak bisa dimainmainkan kecuali hendak menyerahkan nyawa. Tapi
pemuda satu ini" Apa sudah tak punya otak lagi dia"
Terpukullah harga diri Si Setan Syair. Dia diremehkan oleh seorang pemuda yang baru beranjak
dewasa. "Bocah keparat!" makinya.
Setan Syair menatap dengan bersit mata menikam. Lalu, kepalanya mendongak kembali. Dia hendak
mengumandangkan syairnya lagi.
"Aku Setan Syair. Bila ku berpijak,
bumi berderak, awan berarak,
manusia terbelalak.
Datang dari Goa Setan.
Mencari Kail Naga Samudera sebagai dambaan.
Kulumat siapa pun yang menjadi rintangan,
ku koyak seperti hewan!"
He he he he...."
Kembali lantunan syair murahan bergulunggulung, dibarengi ringkikan kuda yang melengking
nyaring. "Kuda kurus meringkik, pertanda tangan kematian turun menukik...," sambungnya,
lebih kentara sebagai ancaman tak langsung terhadap si pendekar
muda tanah Jawa.
Mendadak syairnya terhenti, dipenggal oleh
bentakan keras yang terpental dari kerongkongan Satria. "Berhenti!!!"
Suara Satria santer, tak hanya seperti pekikan
bergeletar, namun juga mengguntur. Kekuatannya
menyebabkan seekor burung yang kebetulan melayang
di angkasa tersentak lalu menukik jatuh. Se-bentuk
kesaktian yang sesungguhnya tak cukup pantas dimiliki orang semuda dia.
Sayang, untuk itu Sukma Sukanta harus menerima akibatnya juga. Dia hanya bisa mendekap telinga. Setan Syair tersentak. Dia tertegun sejenak.
Tak dinyana olehnya bocah yang baru beranjak dewasa
dapat mengeluarkan bentakan yang mengandung tenaga dalam nyaris sempurna. Sementara, suara bertenaga dalam pada tingkat seperti itu hanya dimiliki oleh
tokoh-tokoh tua tertentu.
"Hm. Darimana bocah ini belajar ilmu olah kanuragan dan mengapa Kail Naga Samudera ada di tangannya?" Bisik hati Setan Syair.
"Bocah, cepat serahkan benda itu sekarang juga! Kalau tidak, kurobek-robek tubuhmu!"
"Ambil sendiri kalau kau mampu!" tantang Satria. Wajah Setan Syair menjadi
beringas. Sinar matanya menyalak, menatap ke arah Satria. Lalu geramnya terseret, "Kau memang cari mampus!"
Suasana yang semula hening, yang terdengar
hanya derap langkah kuda kurus, kicauan burung di
dahan, serta suara seretan daun kering di tanah, kini berubah menjadi suasana
yang mengundang pertum-pahan darah. Gejolak hawa nafsu membunuh terpancar dari raut wajah Setan Syair. Matanya yang redup
kini mendelik. Posisi tubuhnya membentuk kuda-kuda
Jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Sukma Sukanta yang menyaksikan kejadian
tersebut menjadi terdiam, membisu seribu kata. Matanya terpentang tanpa kedip, memancarkan sinar ketakpercayaan pada perbuatan Satria, pemuda yang baru dikenalnya. Sedangkan direlung hatinya terlintas
sejuta pertanyaan terhadap diri pemuda itu.
Di lain pihak, mata tajam dan jeli Satria menatap sejurus ke arah lawan yang sedang membentangkan kuda-kudanya. Satria Gendeng pun dengan gerakan ringan membuka jurus yang diturunkan oleh Ki
Kusumo, "Mematuk Bunga Karang'.
Setan Syair siap menerjang. Sebelum itu, diawalinya dengan mengumandangkan syair berbau darah. "Awan mendung bergulung.
Mengerubung bumi yang sebentar nanti berkabung Saksikan wahai gunung!
Saksikan wahai burung!
dan saksikan wahai para petarung!"
Tubuh Setan Syair melesat dengan cepat ke
arah pemuda berambut kemerahan. Pendekar muda
itu pun menyambut serangan yang dilontarkan lawan.
Suasana berubah mencekam. Kibasan-kibasan
jurus 'Mamatuk Bunga Karang' menerjang seperti menemukan geram murka seekor elang. Setan Syair pun
mengimbangi dengan jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Kali ini dia tidak bisa menganggap enteng lawannya.
Kendati yang dihadapi seorang bocah baru beranjak
dewasa. "Hiaaat!"
Debb deb! Setan Syair menerjang buas bagai singa lapar.
Jurus cakar landaknya menghantam, menerjang, mencakar-cakar ke arah dada Satria.
Satria bergerak ringan. Tubuhnya berkelit di sela-sela serangan lawan. Melihat serangannya selalu
kandas dan dengan mudah dipatahkan, Setan Syair
tambah geram. Kini serangan-serangannya berubah
menjadi lebih cepat dan ganas. Cakar-cakarnya menyambar bagai kilat yang siap membobol gunung!
Tubuh Satria Gendeng jungkir balik, melentiklentik, sesekali membentuk salto di udara. Jurusjurusnya kini berubah aneh. Meliuk-liuk lemas bagaikan seorang pemabuk. Kadang-kadang dia berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan.
Pertarungan berlangsung sudah tiga puluh jurus. Satria masih tetap bertahan dalam posisi semula.
Sedangkan Setan Syair tampak mulai terengah-engah
kehabisan tenaga. Jurus-jurusnya mulai tak karuan.
Posisi kuda-kudanya sudah mulai oleng. Satu kesempatan emas terbuka bagi Satria Gendeng. Pemuda itu
menghentakkan kaki kiri. Tubuhnya melentik ke udara, berputar cepat ke belakang. Kecepatan putarannya hampir tak dapat ditangkap
mata biasa. Selanjutnya,
Satria mendarat tepat di belakang Setan Syair. Tanpa membuang waktu, pendekar
muda itu menghentak
tangan, membuat dorongan berkekuatan penuh ke
punggung Setan Syair.
Degh! "Eghk!" pekik Setan Syair. Cepat dia tersungkur ke depan, sejauh tiga tombak!
Setan Syair mengerang-erang kesakitan di tanah tempatnya tersungkur. Tangannya mendekap dada. Darah segar keluar dari sudut bibirnya yang biru.
Betapa sakit bagian dalam tubuhnya. Terseok-seok,
dia mencoba bangkit. Tak lama kemudian dia sudah
sanggup berdiri dengan segala kegarangan. Tapi kegarangannya ditahan dalam dada yang sesak. Mulutnya
menyeringai seraya berkata dengan nada syairnya.
"Aku malu, aku malu, aku malu.
Terunduk di depan bocah lugu.
Aku malu, aku malu, aku malu,
Berwindu berguru,
Aku malu, aku malu, aku malu.
Jurusku lumpuh di tangan bocah lugu.
Si Setan Syair tersenyum sinis. Dia sadar kalau
bocah yang berdiri di depannya bukan bocah sembarangan. Kemudian dihentakkan kaki. Tubuhnya melentik membentuk salto di udara, dan mendarat tepat
di kursi kusir pedati. Digenggamnya tali kekang erat-erat. Setelah itu
digebahnya kuda kurus dengan hentakan kuat. "Hiaa! Hiaa!"
Kuda itu pun melanjutkan perjalanan dengan
langkah tergontai-gontai. Kembali Setan Syair menyenandungkan syairnya dengan suara keras membahana. "Aku datang dengan sengaja.
Aku pergi dengan hati luka.
Aku berjanji padamu pemuda.


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku akan kembali padamu
bersama sejuta celaka... sejuta celaka!"
Satria berdiri tegak sambil menatap tajam kepergian si Setan Syair dengan pedati tuanya sampai hilang di kelokan jalan. Yang
terdengar hanya pantulan-pantulan syairnya yang kemudian lamat-lamat hilang
terbawa angin. Sukma Sukanta yang sejak tadi menyaksikan
pertarungan Satria dengan Setan Syair menjadi terheran-heran. Dalam hati dia berkata, "Aku tak menyangka tokoh tua macam Setan
Syair dapat dikalahkan
hanya dalam tiga puluh jurus! Padahal ilmunya sangat tinggi.... Siapa anak muda
ini sebenarnya?"
Sukma Sukanta beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah ke arah Satria yang sedang memandang
kepergian Setan Syair.
"Satria," tegur Sukma Sukanta.
Satria menoleh, sambil menyunggingkan senyum kebodoh-bodohan.
"Ada apa, Kang?" tanyanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sukma Sukanta.
Meski sudah bersikap wajar, matanya tak bisa menyembunyikan binar kekaguman sekaligus penasaran
yang belum juga padam.
"Tidak, Kang."
"Aku sungguh tak menyangka kalau kau memiliki kesaktian yang dapat mempecundangi Setan
Syair," sanjung Sukma Sukanta.
"Sekadar untuk jaga diri, Kang!" tukas Satria Gendeng sambil mengayun langkah,
seperti tak terjadi apa-apa.
"Kau jangan merendahkan diri. Aku tahu siapa
lawanmu tadi. Dia bukan orang sembarangan! Apa kau
tak keberatan kalau aku menanyakan siapa dirimu sebenarnya?" Sukma Sukanta mengikuti.
"Kakang tahu siapa Setan Syair?" alih Satria, memancing pembicaraan lain yang
tidak menyinggung-nyinggung tentang jati dirinya.
"Kau jangan sengaja mengalihkan pembicaraan,
Adik Muda. Tak baik menjawab pertanyaan dengan
pertanyaan pula!"
Satria mengedikkan bahu.
"Apa lagi yang harus kukatakan pada Kakang.
Bukankah aku sudah mengatakan bahwa namaku Satria." "Satria.... Satria.... Satria." Sukma Sukanta bergumam, mengulang-ulang
nama pemuda itu. Kentara dari wajahnya dia sedang mengingat-ingat sesuatu. "Aku pernah mendengar selentingan kabar burung tentang seorang pendekar muda yang hari-hari
belakangan makin santer terdengar. Cuma, aku tak jelas julukannya. Kaukah pendekar muda itu?" desak Sukma, penasaran.
"Banyak pendekar muda, Kang. Yang Kakang
maksud yang mana?" kelit Satria. Dia berusaha untuk main kucing-kucingan.
Tahu pemuda di depannya tak ingin mengungkapkan jati dirinya, Sukma merasa harus memaklumi.
Hak setiap orang untuk berbicara, atau tidak bicara.
Dia hanya bisa menghela napas saja akhirnya.
"Bagaimana dengan pertanyaanku barusan,
Kang" Soal Setan Syair," susul Satria.
"Ya, aku tahu dari cerita orang. Konon kabarnya Setan Syair bernama Subali. Dia putra seorang petani miskin dari Desa Karang
Galing. Subali adalah
seorang pemuda malas. Kebiasaannya hanya duduk
termenung, keluyuran, dan membuat syair. Syairsyairnya diperuntukkan untuk memikat gadis-gadis.
Sampai pada saatnya salah seorang gadis cantik anak
saudagar garam jatuh cinta pada Subali.
Cinta kasih mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena orangtua si gadis tidak merestui hubungan mereka berdua. Tanpa sepengetahuan
Subali, kekasihnya sudah dijodohkan dengan seorang
pemuda anak angkat dari kerabat ayah si gadis. Tak
lama kemudian, kekasihnya menikah dengan pemuda
pilihan orang tuanya.
Pada saat pernikahan kekasihnya itu, diamdiam Subali pergi meninggalkan desanya serta kedua
orangtuanya entah ke mana. Kini setelah tujuh puluh
tahun berselang, dia muncul kembali dengan syair
syairnya yang selalu berbau darah. Setiap kali kemunculan selalu saja ada darah
tertumpah. Dia datang secara tiba-tiba pergi pun tiba-tiba tak ubah seperti
setan. Kadang-kadang yang terdengar hanya suara
syairnya yang keras membahana. Sedangkan orangnya
sendiri tidak tampak. Atas dasar itulah orang-orang
kalangan persilatan memberi Julukan Setan Syair.
Hanya itulah yang aku ketahui," Sukma Sukanta me-nyudahi ceritanya.
"Hm, mungkin dia melakukan itu semua akibat
kekecewaannya. Dia membunuh sebagai pelampiasan
gejolak hatinya yang kacau."
"Ya, mungkin juga. Tapi, sudahlah. Kita tak
usah memikirkan Subali alias Setan Syair. Sekarang,
mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Bagaimana dengan luka Kakang?"
"Sudah tidak mengkhawatirkan, mungkin akibat hawa murni yang kau salurkan. Sehingga, dadaku
tidak begitu sesak."
"Syukurlah kalau begitu. Ayo, Kang!"
*** EMPAT KADIPATEN Lumajang adalah sebuah kadipaten yang cukup besar dibanding kadipaten lain di wilayah Jawa bagian timur. Di sekeliling pusat kekadipatenan berdiri benteng yang
cukup tinggi. Di setiap sudut benteng terlihat para pengawal bersenjatakan
tombak. Kadipaten ini dipimpin seorang adipati yang arif dan bijaksana. Terlihat
dari kehidupan rakyatnya yang makmur. Tidak ada kemiskinan yang tampak. Kalaupun ada mungkin hanya karena terlewat dari pengamatan adipati. Senja perlahan-lahan beranjak mendekati malam. Rembulan menampakkan wajah, walaupun sedikit tertutup awan. Pada malam itu udara terasa pengap. Tepat di pusat kadipaten, tampak para penjaga
kadipaten hilir-mudik di depan pintu gerbang dengan
penuh kesiagaan. Di sisi lain, ada empat orang penjaga sedang duduk-duduk di
sebuah gubuk jaga untuk menunggu giliran. Mereka bercakap-cakap sekadar
menghilangkan kantuk.
"Hmm, udara panas sekali malam ini," keluh salah satu penjaga Sarkawi sambil
membuka baju karena kegerahan.
"Yah, tidak biasanya," timpal temannya yang sedang duduk bersandar di tiang.
"Kamu gerah tidak, Jo" Aku gerah sekali
nih...?" tanya Sarkawi lagi pada temannya, Joyo yang duduk bersandar.
"Gerah juga, sih. Tapi, tidak seperti kamu, pakai buka baju segala. Kamu gerah tidak, Min, No?"
tanya Joyo pada Gimin dan Noyo yang sedang rebahrebahan di pelataran.
"Sama kayak kamu!" jawab Gimin, sedangkan
Noyo diam saja.
"Aku heran, kenapa malam ini terasa pengap.
Mungkin, mungkin akan ada sesuatu. Kita harus waspada," gumam Sarkawi.
Gimin dan Noyo bangkit dari rebahnya, lalu
duduk bersila. Sedangkan Noyo berdiri, kemudian melangkah menghampiri Sarkawi sambil berkata.
"Betul, hari ini kita harus meningkat kewaspadaan sebab firasatku mengatakan akan ada sesuatu
bakal terjadi di sini. Jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Yo" Ketiganya temannya
bertanya serempak. Noyo menatap tegas-tegas kawannya satu persatu, lalu berkata dengan nada setengah
berbisik. "Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang ke
sini...." "Iblis-iblis apa" Jangan menakut-nakuti kamu, Yo!" Sarkawi penasaran.
"Tujuh Dewa Kematian dari Kuil Neraka!" bisik Noyo bergidik.
"Sssst, sok tahu kamu!"
"Kamu takut" Biar kalau mereka datang, aku
yang hadapi sendiri!" sergah Sarkawi congkak.
"Ala sok kamu! Kamu belum kenal dengan Dewa Kematian" Mereka terdiri dari tujuh orang aneh
dan kejam. Pantang bagi mereka membiarkan musuh
lolos. Jangankan kamu, yang bisanya cuma 'ngeloni'
Iyem tukang masak Kanjeng Adipati, sedangkan Prajurit Kembar yang disegani sudah dua pekan belum
kembali," damprat Noyo, ketus.
"Tenang kamu, Yo! Aku juga disegani oleh...."
"Mertuamu!" serobot Noyo.
"Eh, kamu belum tahu kalau aku punya jimat,
dan silat?"
"Heem, coba kulihat?" tantang Noyo sambil
mencibir. Sedangkan Gimin dan Joyo cuma tersenyum-senyum melihat tingkah mereka.
"Nih lihat jurus 'Kucing Bunting Bergulingguling'. Ciaat-ciaat!" Sarkawi menunjukkan jurus-jurusnya yang tak karuan.
"Huh, konyol!" cemooh Noyo sambil menggebrak Sarkawi. Tak ayal lagi, kuda-kuda
Sarkawi jadi terseok. Dia jatuh.
Gedubrak! Sarkawi menyeringai kesakitan sambil mengelus-elus pantatnya yang menimpa batu. Gimin dan
Joyo tertawa terpingkal-pingkal melihat kekonyolan
Sarkawi. Tiba-tiba tawa mereka mendadak terhenti. Mereka dikejutkan oleh suara ledakan keras dari arah
pintu gerbang kadipaten. Disusul jeritan meninggi.
Memapas malam. Memagut nyali. "Aaaa!"
Serentak keempat penjaga yang sedang bergurau itu menoleh ke arah gerbang kadipaten. Mata mereka mendelik seolah-olah hendak mencelat keluar ketika melihat pintu gerbang ambrol berantakan, seakan ditanduk seratus ekor
banteng gila. Daun pintunya
terpental, lalu menimpa dua penjaga yang sedang bersiaga di baliknya.
Kedua penjaga itu tewas seketika setelah menjerit terlebih dahulu. Tubuh keduanya tewas dalam
keadaan mengerikan, tertembus pecahan daun pintu.
Darah segar menyembur membasahi sekujur tubuh
mereka. Keempat penjaga tadi masih saja mendelik tak
berkedip. Belum lagi keterkejutan mereka sirna, mere-ka dipaksa lebih mendelik
tatkala pandangan mereka
beralih dan menyaksikan tujuh sosok dIselimuti kabut tipis. Di bawah sinar
rembulan yang meningkahi malam, ketujuh sosok itu berjalan berjajar memasuki
gerbang kadipaten.
Ketujuh orang itu berpakaian seragam hitamhitam seperti pakaian paderi. Tangan dan kaki mereka tidak terlihat karena
tertutup pakaian bagian bawah.
Kini ketujuh orang tersebut sudah melintasi gerbang kadipaten dan berdiri di
antara pintu gerbang dengan tempat peristirahatan Kanjeng Adipati. Para penjaga
yang ada di sudut-sudut dan di belakang benteng berlarian ke arah tujuh sosok yang tidak lain Tujuh Dewa Kematian.
Penjaga-penjaga itu kemudian mengepung, bersenjatakan tombak yang siap menghujam ke dada Tujuh Dewa Kematian. Tujuh Dewa Kematian menatap
tajam ke arah para pengepung mereka. Dari tatapan
mereka, terbersit keganasan tak terbayangkan. Di hadapan mereka tergeletak dua mayat penjaga yang menurut mereka menghalangi jalan. Lalu, salah satu di antara mereka yang berdiri
paling tengah maju dua
langkah ke depan, mendekati dua mayat tadi. Dengan
kaki kanan, dienyahkan kedua mayat dengan bentakan ringan, tapi mengandung tenaga yang kuat. Kedua
mayat seketika terpental dan terseret dua belas tombak! Mata penjaga yang mengepung Tujuh Dewa
Kematian menjadi tak berkedip menyaksikan kejadian
itu. Perlahan-lahan mereka tersurut mundur beberapa
tindak. Lebih-lebih Sarkawi yang sebelumnya begitu
congkak. Kini wajahnya berubah pucat. Kakinya gemetaran sampai terkencing-kencing di celana. Kemudian
Sarkawi menyelinap di belakang Joyo.
Para penjaga yang tersurut mundur saling bertatapan satu sama lain. Salah seorang penjaga memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa maksud kalian datang ke sini"!"
"Aku ingin bertemu pemimpin kalian!" jawab seorang dari Tujuh Dewa Kematian yang
berdiri paling kiri. "Ingin bertemu pemimpin kami" Kanjeng Adipati maksud
kalian?" "Ya. Suruh dia keluar sebelum kubumi hanguskan Kadipaten Lumajang ini!"
"Lalu, apa yang kalian inginkan dari pemimpin
kami"!" "Kau tak perlu tahu, Cecunguk!"
Mendengar jawaban berbau penghinaan, penjaga yang bernyali itu menggeram. Dilemparkannya tombak ke arah orang yang menghinanya. Tombak itu pun
meluncur cepat.
Wusss! Walaupun tak disertai tenaga dalam, ujung
tombak yang runcing dari besi tak diragukan siap menembus jantung sasarannya.
Ketika tombak tinggal berjarak satu jari, dengan cepat momok ganas itu mengibaskan tangan.
Bess! Seketika hawa panas keluar dan kibasannya.
Tombak yang siap menembus jantungnya berbalik dan
meluncur lebih cepat ke arah tuannya. Tak ayal lagi, penjaga yang tidak memiliki
cukup ilmu bela diri itu tertembus senjata sendiri.
"Akh!"
Penjaga itu menjerit keras dengan nada memilukan. Tubuhnya jatuh tak berkutik, bersimbah darah.
Sarkawi yang semula sudah terkencing-kencing makin
ciut. Matanya mendelik. Juling sedikit dan tahu-tahu dia sudah pingsan!
Para penjaga yang lain menjadi geram. Darah
mereka mendidih. Mata mereka nanar penuh gejolak
amarah yang memuncak, namun mereka tidak berani
gegabah. Mereka sadar bahwa kesaktian Tujuh Dewa
Kematian bukanlah tandingan mereka.


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi dua orang penjaga tak dapat menahan diri. Mereka maju menerjang ke arah seorang lawan yang telah membunuh teman
mereka. Dengan bersenjatakan tombak di tangan, kedua orang itu menerjang dibarengi teriakan panjang.
"Ciaaa!"
Momok ganas yang dituju sebagai sasaran diam
tak bergeming. Ketika kedua penyerang siap menghujamkan tombak ke dadanya, lagi-lagi momok ganas itu
mengibaskan tangan. Hawa panas pun kembali terasa.
Kedua penjaga yang begitu bernafsu membunuh pun
terpental jauh ke samping. Mereka tewas seketika dengan wajah hangus legam.
Darah kental kehitaman keluar dari sudut bibir mereka.
Sarkawi kebetulan baru saja siuman. Kebetulan
pula (memang dia sedang agak naas), salah satu mayat prajurit tadi jatuh tepat
di dekatnya. Wajah mayat
yang hangus dengan mata membeliak, berhadapan pula dengan 'moncong' antik Sarkasi. Akibatnya, lelaki banyak mulut itu langsung
mendelik lagi. Dia itu
menggigil di tempat. Tak lama dia kemudian, dia meneruskan pingsannya yang nyenyak!
"Siapa lagi yang ingin mati seperti tikus buduk itu"!" seru salah seorang dari
Tujuh Dewa Kematian.
"Cukup!" Seruan keras terdengar dari arah belakang para penjaga yang sedang
menghadang Tujuh
Dewa Kematian. Para penjaga membalikkan badan ke belakang.
Serempak mereka menjura dalam.
"Sudahlah...." Suara berat tertahan keluar dari mulut seseorang yang sudah
berdiri tegak dengan penuh kewibawaan. Pancaran matanya tajam. Tubuhnya
tinggi besar dengan dada bidang. Lelaki itu mengenakan pakaian kebesaran kekadipatenan. Usianya terbilang lima puluh tahun, tapi masih tergambar sisa-sisa ketampanan di wajahnya.
Alis lebat menaungi kedua
bola matanya. Kumis tebal menghiasi atas bibir, menambah sempurna wibawa di wajahnya. Lelaki yang
dihormati itu adalah Adipati Wisnu Bernawa.
Para penjaga yang merundukkan kepalanya
menegakkan badan. Sigap mereka diri kembali berbalik ke arah Tujuh Dewa Kematian.
"Ada angin apa yang membawa Tuan-tuan yang
terhormat datang ke sini"!" tegur Wisnu Bernawa dengan nada penuh keagungan.
"Kau jangan berlagak pilon!" sahut momok yang berdiri di sebelah kanan sambil
mengacungkan tangan
ke arah Wisnu Bernawa.
Kening Wisnu Bernawa berkerut.
"Ke mana Prajurit Kembar yang kuutus untuk
membasmi iblis-iblis keji ini" Apakah mereka belum
sampai ke sarang iblis itu atau mereka tewas" Ah tidak...," ucapnya membatin.
"Hai Wisnu Bernawa! Kenapa kau diam" Apakah kau memikirkan kelima orang utusanmu yang kau
tugaskan untuk menumpas kami"!" seru momok tadi, seakan bisa membaca pikiran
Wisnu Bernawa. Wisnu Bernawa masih terdiam. Dalam hati, ada
keraguan tentang keselamatan Prajurit Kembar utusannya. "Wisnu Bernawa! Para prajurit utusanmu sudah kami enyahkan dari muka
bumi! Atas kelancanganmu itu, kami akan menghukummu dengan ganjaran; kau harus menyerahkan putrimu sebagai tumbal
Kuil Neraka pada purnama bulan ke tujuh!"
Wisnu Bernawa tersentak. Bertepatan dengan
itu, seorang dara cantik keluar dari kamar. Dara itu bertubuh semampai. Kulitnya
kuning langsat. Bola
matanya yang indah dihiasi dengan bulu mata lentik.
Dia berlari ke arah ayahnya sambil menangis. Gadis
itu adalah Pitaloka, putri tunggal sang Adipati Lumajang, Wisnu Bernawa.
Tak lama berselang, menyusul seorang wanita
setengah baya dari dalam. Wanita itu langsung menghampiri dan berdiri di belakang Wisnu Bernawa. Dia
bernama Nyi Larasati, istri Wisnu Bernawa.
"Ibu...," lirih Pitaloka di sela tangisnya setelah melepaskan pelukan. Dia
menghambur ke arah Nyi Larasati. Dipeluknya perempuan itu.
"Tenang anakku. Ayahmu tak akan merelakanmu dirampas oleh mereka...," Nyi Larasati berkata dengan nada penuh kasih
seraya membelai rambut
anaknya yang tergerai panjang.
"Aku takut Ibu..., aku takut," isak Pitaloka.
"Kakang, bagaimana ini" Walau apa pun yang
terjadi, kita jangan menyerahkan putri kita kepada iblis-iblis itu," pinta
istrinya pada Wisnu Bernawa.
"Aku mengerti Nyai," jawab Wisnu Bernawa.
Kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Wisnu
Bernawa mendongak ke atas lalu kembali menatap Tujuh Dewa Kematian dengan tatapan penuh kemarahan.
Bibirnya bergetar.
"Tak ada pilihan lain, selain mempertahankan
putriku," tekadnya dalam hati. Wisnu Bernawa melangkah mendekati Tujuh Dewa
Kematian. Belum lagi
dia beranjak cukup jauh.
"Jangan, Kang!" Nyi Larasati menghalangi langkah suaminya. Terbersit kecemasan
mendalam di wajahnya. "Tak perlu khawatir, Nyai," gumam Wisnu Bernawa, penuh keyakinan.
"Kalau begitu, Kakang harus hati-hati. Tampaknya mereka orang-orang yang sangat kejam," ucap Nyi Larasati.
Wisnu Bernawa menatap istrinya lekat-lekat. Di
dalam hatinya ada keharuan sekaligus kebanggaan
memiliki istri seperti Nyi Larasati, yang selalu tegar mendampingi suami dalam
menghadapi situasi bagai-manapun. Memang itulah yang selalu diharapkan Wisnu Bernawa. Mungkin pula oleh setiap kaum adam.
Baginya, seorang istri yang tabah dan setia merupakan mahkota paling mulia di
kolong jagat. Wisnu Bernawa beranjak mendekati Tujuh Dewa Kematian yang sedang berdiri dengan tangan bersidekap di dada. Kedua telapak tangan mereka dimasukkan ke dalam sela-sela lengan baju yang kebesaran. Wajah mereka kelam membesi. Mulut mereka
yang keriput karena tak bergigi sesekali menyeringai.
Langkah Wisnu Bernawa diikuti oleh para prajurit tangguh yang bersenjatakan tombak. Sampai pada jarak kira-kira lima tombak jauhnya antara Wisnu
Bernawa dan Tujuh Dewa Kematian, dia berdiri tegak
dan menatap tajam ke arah para momok ganas itu.
"Dengarkan baik-baik, Tuan-tuan. Aku tidak
akan menyerahkan putriku pada kalian sebab perbuatan kalian benar-benar biadab. Kalian menjadikan
manusia sebagai korban persembahan, lalu kalian
anggap apa nyawa manusia"!" tandas Wisnu Bernawa dengan nada rendah tapi penuh
ketegasan. "He he he...." Seorang dari Tujuh Dewa Kematian terkekeh-kekeh lalu berkata
dengan nada mengancam. "Kau dan seluruh rakyatmu akan mendapat
ganjaran yang lebih buruk apabila putrimu tidak kau
serahkan pada kami!"
Wisnu Bernawa tersentak. Telinganya bagai digempur selaksa petir. Wajahnya semerah darah. Namun dia cepat menguasai diri.
*** LIMA WISNU Bernawa tidak segera menjawab. Ditatapnya tajam-tajam momok yang melontarkan ancaman tadi. Pandangan bertumbukan. Dia merasakan
ada getaran aneh menyelimuti hatinya ketika pandangannya sejurus menatap momok itu.
"Kalian boleh mengancam aku demikian. Aku
adalah seorang adipati yang harus bertanggungjawab
atas keselamatan rakyatku, juga keluargaku. Kalian
mengerti"!"
"Jadi kau pilih mampus!"
"Mati adalah suatu hal yang biasa bagi setiap
makhluk yang bernyawa. Itu pun urusan Sang Pencipta, bukan urusan kalian!"
Wajah salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian
bersungut-sungut. Kiranya dirinya terpojok. Lalu momok ganas itu mengangkat kedua tangannya setinggi
dada. Disatukannya telapak tangannya di depan dada.
Tak lama berselang, asap hitam mengepul dari selasela telapak tangannya. Asap hitam itu lalu menggumpal-gumpal membentuk bundaran, laksana bola hitam.
Momok itu pun mulai merenggangkan telapak tangannya yang semula menyatu.
"Hiaa!!"
Teriakan pendek keluar dari mulutnya seraya
menghentakan tangan ke depan. Asap hitam menggumpal pun meluncur cepat ke arah Wisnu Bernawa.
Wisnu Bernawa yang sejak tadi memperhatikan gerakgerik tokoh keji itu terkesiap ketika gumpalan asap hitam hampir mengenai
tubuhnya. Dengan cepat dia
berkelit ke samping kanan dengan gerakan memutar.
Dharr! Satu letusan keras menggelegar. Ditambah
menghamparnya hawa panas luar biasa. Pilar besar
yang letaknya persis di belakang adipati pecah berantakan dengan warna berubah
menjadi kehitaman dan
mengepulkan asap.
Berpasang-pasang mata terbelalak. Para prajurit bergidik ngeri. Pilar dari batu cadas saja bisa hancur berantakan, bagaimana
lagi kalau mengenai mereka" Tokoh jahat itu tertawa lebar.
"Wisnu Bernawa, lihatlah para prajuritmu!
Tampaknya mereka ketakutan melihat kehebatan pukulan 'Selaksa Racun" aliran kami!"
Wisnu Bernawa menggertakkan geraham. Dia
harus bertindak untuk menimbulkan semangat baru
kepada para prajuritnya yang kini dilanda kepanikan.
Prajurit!" teriak Wisnu Bernawa.
"Siap!" sahut para prajurit.
"Jangan kau pentingkan keselamatan pribadi!
Utamakan keselamatan orang banyak. Usir mereka dari sini!" komando Wisnu Bernawa, lantang.
Seperti mendapat setetes air di padang pasir
tandus, empat puluh prajurit kembali tegar dan penuh semangat. Tombak-tombak di
tangan kembali dipegang
erat-erat. Ujung-ujung tombak yang runcing diacungkan ke arah para lawan. Para prajurit bergerak maju.
Kemudian bergerak memutar mengelilingi ketujuh lawan yang berdiri mematung.
Wajah Tujuh Dewa kematian yang kelam membesi, kini berubah merah darah. Mulut mereka menyeringai menggidikkan.
"Serang!" seru Wisnu Bernawa.
Para prajurit pun menerjang dibarengi teriakanteriakan panjang. Suasana yang beberapa waktu sebelumnya damai penuh kelakar para prajurit yang bertugas jaga malam, kini berubah menjadi kancah pertempuran yang setiap saat siap menuntut tumpahan darah! Pitaloka dan Larasati masih berpelukan. Hati
Larasati berdebar keras. "Semoga Hyang Widhi menye-lamatkan kami semua...,"
keluh Nyai Larasati membatin.
Tujuh Dewa Kematian menyambut serangan
para prajurit tangguh Kadipaten Lumajang dengan posisi tak bergeming sedikit pun. Hanya tangan mereka
yang berkelebatan menghalau hujaman-hujaman tombak para ksatria Lumajang.
Dask dhak! "Hmm," Adipati Lumajang bergumam penuh arti. Kini para prajurit Lumajang bukan berhadapan
dengan sesama prajurit biasa. Melainkan berhadapan
dengan tujuh tokoh jahat yang bila mendengar namanya saja sudah membuat nyali menciut.
Dengan penuh semangat, para ksatria Lumajang menerjang. Satu orang terpental, yang lain menerjang. Susul menyusul.
Bagai amukan air bah.
Bertubi-tubi gempuran datang.
Wisnu Bernawa pun tidak tinggal diam. Dia segera menceburkan diri ke kancah pertarungan sengit.
Hanya seorang pemimpin pengecut yang hanya bisa
melepas komando perang tanpa turut berjuang!
Aneh, sungguh aneh. Tujuh Dewa Kematian tidak tampak terdesak walaupun mendapat serangan
serupa itu. Sebaliknya, justru para prajurit yang dijadikan bulan-bulanan oleh
mereka. Pertarungan berjalan sudah cukup lama. Tanpa
disadari oleh Wisnu Bernawa dan prajurit-prajuritnya, ketujuh sosok manusia
ganas berkepala botak dengan
wajah hampir serupa, melakukan suatu gerakan aneh.
Tubuh ketujuh manusia ganas itu serentak bergerak
memutar. Wess wes! Putaran tubuh mereka makin lama makin cepat. Seketika hawa di sekitar kancah pertarungan berubah menjadi panas disertai angin kencang menderuderu. Para prajurit yang mengepung beringsut mundur. Wisnu Bernawa tertegun. "Kesaktian macam
apa lagi yang mereka pertunjukkan?"
Tiba-tiba terdengar tujuh ledakan keras disusul
dengan suara jeritan bersusulan. Ternyata tujuh orang prajurit Lumajang jatuh
bergelimpangan. Pipi kanan
mereka menghitam dengan asap mengepul laksana
tersambar petir.
Tujuh Dewa Kematian yang semula berputar,
kini berhenti. Suara aneh keluar dari mulut masingmasing. Lalu, ketujuh momok itu menghambur ke atas
dan bertengger di atas benteng kadipaten. Wisnu Bernawa dan para pengikutnya tersentak bukan alang kepalang. "Kejar!" perintah Wisnu Bernawa. Separuh prajuritnya mengejar ke arah di
mana Tujuh Dewa Kematian berada.

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jahanam! Turun kalian!" teriak para prajurit.
"Itu pelajaran pertama bagi kalian yang tidak
patuh pada kami. Wisnu Bernawa, kami tunggu kedatanganmu di Puncak Arjuna pada purnama bulan ketujuh!" selesai berkata, ketujuh tokoh sakti itu berkelebat cepat, lalu
menghilang dari pandangan.
"Ayah...." Pitaloka berlari ke arah Wisnu Bernawa, diikuti Nyai Larasati.
Saat-saat menegangkan telah usai. Terlihat para prajurit berjalan lusuh ke tempat mereka semula.
Benarkan begitu adanya"
"Mereka datang lagi!"
Suara keras keluar dari mulut salah seorang
prajurit yang kebetulan masih berdiri di muka pintu
kadipaten. Wisnu Bernawa dan para prajurit tersengat keterkejutan. Mereka
berhamburan ke arah datangnya
suara tadi. "Mana"! Mana"!" tanya yang lain.
"Tuh, lihat!" sahut prajurit yang berteriak seraya menunjuk ke arah dua sosok
bayangan yang melangkah menuju ke arah mereka.
Benar. Tampak dua sosok sedang berjalan dikegelapan malam ke arah mereka. Wisnu Bernawa
menatap tegas-tegas, memasang pandangan lebih teliti.
"Kok, mereka cuma berdua" Yang lain ke mana?" bisik salah seorang prajurit yang mulai tegang.
"Mungkin yang lain lewat belakang," duga yang lain.
Para prajurit siap siaga. Mereka kembali menyiapkan senjata masing-masing.
Kedua sosok itu menghentikan langkah. Siapakah mereka" Kedua manusia itu adalah Sukma Sukanta bersama seorang pemuda berambut panjang
kemerahan. Pemuda yang berkemauan sekeras baja
dan berhati sehalus pualam. Dia adalah Satria Gendeng, murid kesayangan dua tokoh kenamaan tanah
Jawa. "Lihat Satria, rupanya mereka mengetahui ke-datangan kita!" ujar Sukma
Sukanta, gembira.
"Betul, Kang," timpal Satria.
Keduanya melanjutkan langkah. Mendadak....
"Seraaaaang!"
Sukma Sukanta tergelak heran. Begitu juga Satria. Mereka celingukan keheranan. Para prajurit mengepung, menutup seluruh
penjuru mata angin.
"Hai kenapa kalian mengepung kami"! Tahan,
tahan dulu!" cegah Sukma Sukanta serabutan. Sedangkan Satria masih tetap kebingungan.
Kekacauan yang baru saja sirna membuat para
prajurit tidak dapat menilai dengan lebih seksama sia-pa kawan, siapa lawan.
Keganasan Tujuh Dewa Kematian yang mereka saksikan tadi, masih melekat di pelupuk mata para prajurit. Wajar saja mereka terlampau cemas pada setiap pendatang. Ditambah lagi gelapnya malam, membuat para prajurit sulit mengenali.
"Tahan!" seru Wisnu Bernawa. Para prajurit yang mengepung celingukan, kemudian
mereka menoleh ke arah Wisnu Bernawa. Salah seorang prajurit beranjak mendekati
sang Adipati. Prajurit itu pun membungkukkan badan tanda penghormatan.
"Ampun Kanjeng Adipati, kenapa Kanjeng
menghentikan kami?" prajurit tadi bertanya.
"Apakah kau tidak mengenali siapa orang itu?"
tukas adipati dengan nada mengomel.
"Ampun Kanjeng. Siapa mereka sebenarnya?"
"Dia Sukma Sukanta, salah satu dari Prajurit
Kembar," susul Wisnu Bernawa.
Prajurit tadi tersentak kaget. Dia langsung berbalik ke arah tempat di mana Sukma dan Satria dikepung. Cepat-cepat dia menghaturkan sembah.
"Tahan, tahan! Beliau Sukma Sukanta!" teriaknya sambil menyibak kepungan para
prajurit. Prajurit lain tersentak kaget mendengar nama itu. Sukma dan
Satria menghela napas lega. Rupanya kejadian itu akibat kesalah pahaman semata,
gumam Sukma Sukanta
dalam hati. Serentak, para prajurit segera meletakkan senjata mereka di tanah. Kemudian dengan serentak pula
mereka membungkukkan badan tanda memberi hormat. Sukma dan Satria membungkukkan badan pula,
membalas penghormatan mereka.
Seorang prajurit melangkah mendekati Sukma
dan Satria. Dipersilakannya kedua lelaki itu masuk
untuk menghadap Kanjeng Adipati. Sementara sang
Adipati sedang berdiri di muka pintu kadipaten, didampingi istri dan putrinya.
Sukma dan Satria kini sudah berada di hadapan sang Adipati. Keduanya menghaturkan sembah.
Adipati mengangkat sebelah tangannya. Kedua orang
itu pun kembali menegakkan badan.
"Ampun Kanjeng. Hamba tidak berhasil menumpas iblis-iblis keji yang bersarang di puncak Arju-na," lapor Sukma.
"Sudahlah Sukma. Aku sudah tahu. Lalu ke
mana empat saudaramu?" tanya sang Adipati.
Mendung menyelimuti raut wajah Sukma Sukanta. Dia tercenung diam. Dari sudut matanya tampak garis bening membentang.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Sukma?" tanya sang Adipati lagi.
"Mereka tewas," jawab Sukma, singkat.
"Iblis itu benar-benar keji!" maki Wisnu Bernawa.
"Kakang, sebaiknya kita bicarakan di dalam saja," usul Nyi Larasati.
Adipati setuju. Mereka beranjak. Para prajurit
kembali ke tempat masing-masing. Kali ini penjagaan
dilakukan dua kali lipat dari semula.
Waktu sudah melewati tengah malam. Saat itu,
terdengar sayup-sayup kentongan malam bertalu tiga
kali. Sementara di dalam ruang peristirahatan, Satria, Sukma Sukanta, adipati
beserta istri dan putrinya sudah duduk di lantai beralaskan permadani indah. Di
sudut ruangan terdapat guci-guci terbuat dari marmer Tiongkok.
Satria terkagum-kagum ketika melayangkan
pandangan ke segenap penjuru dinding ruangan. Semuanya berhiaskan barang-barang bernilai seni tinggi.
Walaupun demikian, kesederhanaan pribadi adipati tetap tercermin dari sikapnya.
Hm, sosok adipati yang agung. Mempersilakan
aku yang gembel ini duduk sejajar dengannya. Betulbetul seorang yang bijak..., puji Satria dalam hati.
"O, ya Kanjeng. Hamba lupa memperkenalkan
sahabat muda hamba ini," ucap Wisnu Bernawa.
"Siapa adik muda ini?"
"Nama hamba Satria, Kanjeng."
"Di mana adik tinggal?"
"Hamba hanya seorang pengembara. Bumi adalah rumah hamba dan langit sebagai atapnya," jawab Satria. Wisnu Bernawa
tersenyum mendengar jawaban
yang dilontarkan Satria. Dilayangkannya pandangan
ke arah Sukma Sukanta.
"Sebetulnya aku sudah mempunyai prasangka
buruk terhadapmu, dan saudaramu."
Sukma Sukanta terhenyak mendengar perkataan adipati. Dia menundukkan kepala. Hatinya tak
karuan karena ada rasa kecewa. Dia tak menyangka
kalau adipati akan berprasangka begitu. Sukma menegakkan kepala kembali.
"Maksud Kanjeng, hamba telah melalaikan tugas?" "Bukan begitu maksudku."
"Lalu apa maksud Kanjeng?"
"Begini Sukma. Sebelum kau tiba, Tujuh Dewa
Kematian telah mengacau lebih dahulu di sini."
"Apa"!" sentak Sukma Sukanta. Bukan alang
kepalang terkejutnya dia, laksana disengat seribu lebah. Didongakkannya kepala
ke langit-langit. Mulutnya bergemeletak menahan kemarahan. Tangannya
mengepal kuat-kuat.
"Bedebah!"
"Sukma, mereka mengancam kami," Nyai Larasati menyela di sela kemarahan Sukma Sukanta.
"Apa yang mereka katakan Kanjeng Putri?"
"Mereka...." Belum sempat Nyai Larasati meneruskan pembicaraan, adipati sudah
memotongnya. "Sudahlah, Nyai. Suruh Sukma dan sahabat
mudanya ini istirahat dulu. Pembicaraan kita teruskan besok saja...."
Kelima orang itu kemudian bangkit dari duduknya. Adipati beserta istri dan putrinya beranjak ke arah kamar
peristirahatan. Sedangkan Sukma dan Satria menuju ke arah pendapa kadipatenan
yang letak- nya di sebelah kiri peristirahatan adipati.
*** ENAM WAKTU terus bergulir cepat. Malam yang kelam
sudah berganti fajar. Para penjaga malam pun sudah
berganti dengan penjaga-penjaga yang bertugas siang.
Sedangkan para petani sudah lebih dahulu pergi
membawa keranjang seukuran pelukan orang dewasa.
Di keranjang terselip sebuah arit yang akan dipergunakan untuk membabat rumput hijau di ladang. Rumput-rumput itu nantinya dipergunakan sebagai santapan kuda-kuda peliharaan adipati.
Di pendapa kadipatenan, Sukma Sukanta duduk termenung. Matanya merah. Sepertinya dia tak bisa tidur semalaman. Sedangkan Satria masih mendengkur dengan nyenyak. Mungkin lelah sehabis melakukan perjalanan jauh. Dia memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat sepuas-puasnya. Ataukah
tidak adanya sedikit pun masalah di benaknya"
Ah, mana mungkin! Pada dasarnya setiap manusia yang hidup di kolong jagat pasti memiliki masalah sendiri-sendiri. Kecuali
orang gila. Yang satu ini tidak memiliki masalah, melainkan menimbulkan masalah! Lalu mengapa Satria tidur begitu lelap, sedangkan situasi di Kadipaten
Lumajang sedang genting" Hanya
Satria sendiri yang dapat menjawab.
Sukma Sukanta masih tetap tak beranjak dari
posisinya. Tatapan matanya kosong. Mendung masih
menyelimutinya.
"Sungguh hidup ini terkadang terlalu berat untuk dilakoni. Belum lagi terselesaikan masalah yang
satu, sudah muncul masalah baru" gumam hati kecil-nya. Dalam ketermenungan,
Sukma mencoba menguak makna arti hidup dan kehidupan yang dialami
sekarang ini. Sedangkan peristiwa yang belum lama
dialaminya masih terbayang di pelupuk mata, membuat dia semakin larut dalam lamunan.
Tiba-tiba.... "Hoaaahhhhh!"
SI Bocah Gendeng menguap lebar. Sukma tersentak dari lamunannya, lalu menoleh ke belakang. Dilihatnya sang sahabat muda
sudah bangun dari tidur
yang singkat. Satria mengusap-usap mata dengan
punggung tangan seraya menguap lebar untuk kedua
kalinya. "Rupanya kau sudah bangun, Adik Satria...,"
tegur Sukma Sukanta.
"Oh, Kakang sudah bangun terlebih dahulu,
rupanya!" Satria bangkit. Didekatinya Sukma Sukanta.
"Aku tak bisa tidur semalam. Perasaanku gelisah. Piki-ranku kacau," tandas Sukma
Sukanta seraya menepuk kening. "Yah, aku pun dapat merasakan apa yang Kakang
rasakan. Kehilangan selalu membuat perasaan
kita lowong. Seperti ada bagian diri kita yang tertinggal di masa lalu. Apalagi
jika kehilangan orang-orang yang kita cintai...."
Mata si pendekar muda menerawang jauh.
Ratu Cadar Jenazah 2 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bende Mataram 4

Cari Blog Ini