Ceritasilat Novel Online

Penghuni Kuil Neraka 2

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Bagian 2


Jauh. Mengenang saat-saat dia kehilangan seorang
yang dekat dengannya di Tanjung Karangbolong, Nyai
Cemarawangi. Seorang wanita yang sudah seperti ibu
angkatnya. Karena itu, dia pun bisa merasakan perasaan Sukma Sukanta.
(Tentang tokoh wanita ini, bacalah episode :
"Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
Sukma mengernyitkan kening. Ditatapnya wajah Satria dalam-dalam. Bocah yang sepengetahuannya adalah seorang yang tak banyak mulut kini bisa
bicara tepat dengan perasaan yang dialami beberapa
hari belakangan ini.
"Kakang, aku akan senang sekali bila dapat
membantu penderitaan yang Kakang rasakan sekarang." Wajah Sukma berbinar. Dia merasakan satu tawaran ikhlas keluar dari mulut
bocah berkepribadian mengagumkan. Sebelum sempat mengatakan apaapa.... Tok tok tok!
Pintu diketuk seseorang.
Sukma dan Satria saling tatap sejenak. Kemudian Sukma sendiri yang membuka pintu. Setelah dibuka, ternyata Bi Emban, pelayan adipati.
"Ada apa, Bi Emban?"
"Tuan berdua dipanggil untuk menghadap Kanjeng Adipati sekarang juga," jawab Bi Emban. Lalu, dia memohon diri.
"Ada apa, Kang?" tanya Satria.
"Kita diminta menghadap adipati sekarang," jawab Sukma Sukanta. Lalu dia
merapikan pakaian dan
rambutnya yang kusut. Satria latah ikut-ikutan.
Sekiranya menurut Sukma sudah siap, kedua
sahabat baru itu langsung beranjak untuk menghadap
Kanjeng Adipati.
Sementara di balai kadipatenan, sudah ada lima sesepuh setempat yang sengaja diundang pada malam itu juga oleh Adipati Wisnu Bernawa. Mereka duduk berjajar menghadap timur. Kelima sesepuh itu
berperawakan sama. Dua orang menggunakan baju
dan celana pangsi hitam. Yang satu berkumis lebat
dan bergaris alis hitam. Rambutnya masih berwarna
hitam. Sedangkan yang lain tidak berkumis. Matanya
cekung dan bergaris alis tipis berwarna putih dengan rambut putih pula. Kedua
orang itu tampak akrab sekali. Mereka bercakap-cakap berdua tanpa mempedulikan tiga orang lain di sisi mereka.
Tiga orang yang lain, tampaknya jengkel juga
melihat kedua sosok tua berpakaian hitam-hitam. Mereka seperti tak tahu adat, ngobrol berdua saja tanpa mempedulikan yang lain.
Walaupun tampak jengkel, ketiga orang itu masih bisa bersikap ramah. Karena mereka menyadari
keberadaan mereka di balai kadipatenan atas undangan langsung adipati.
Tak lama kemudian, muncul Sukma Sukanta
dan Satria, mereka menghaturkan sembah kepada
yang hadir. "Rupanya ada yang lebih dahulu di sini," basa-basi Sukma.
Kelima orang tadi membalas dengan senyum.
Satria lain sendiri. Matanya justru mendelik ketika pandangannya tertumbuk ke
arah deretan paling pinggir sebelah kiri. Di situ ada sesepuh desa bertubuh
kurus, berkepala botak licin. Tak sehelai rambut pun
tumbuh di kepalanya. Tubuh kurus itu dibungkus
dengan baju putih yang agak kusut dan kusam. Satria
jadi teringat pada gurunya, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ada sedih bila Satria mengenang jasanya. Ada lucu
bila Satria terbayang kepala klimisnya.
Orang berkepala botak sadar kalau dirinya diperhatikan Satria.
"Ada apa, Kisanak muda ini menatap aku demikian" Apakah aku mirip dengan kakek moyangmu?"
dengusnya. Rupanya dia tidak enak hati.
"Ya, Ki. Aki ini mirip sekali dengan guruku!"
"Apanya yang mirip" Wajahku, penampilanku,
atau... kepalaku?" Rupanya Aki berkepala botak itu ja-di juga jengkel. Terdengar
dari nada suaranya yang ketus.
"Semuanya, Ki."
"Kalau begitu, gurumu itu orang yang jelek seperti aku."
Satria akhirnya cuma bisa cengar-cengir serba
salah. "Bocah edan. Rupanya gurumu tidak mengajarkan tata-krama, sehingga kau berani bicara sembarangan," Keempat sesepuh yang lain tampak kebingungan melihat tingkah Satria yang terlalu polos. Kecuali Sukma. Dia sudah cukup
mengenal Satria dan maklum karenanya. Bibirnya cuma menyembulkan senyum tipis. "Bocah edan, siapa nama gurumu hingga kau
samakan tampangnya denganku?" susul sesepuh berkepala botak, penasaran.
Satria geli sendiri. Rupanya orang satu ini tidak
menerima bila disamakan dengan guruku, nilainya dalam hati. "Bocah edan, ayo sebutkan siapa gurumu itu?"
desak sesepuh botak. Marahnya menjadi dua kali lipat karena pertanyaannya tak
kunjung mendapat jawaban. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menyebutkan siapa gurunya sebenarnya. Alasannya bukan
karena dia malu memiliki guru yang terkenal dengan
tabiat 'sinting-sintingan'-nya. Hanya saja, dia tak ingin membuat keributan
kecil jika nama atau julukan tua
bangka sakti itu disebut-sebut. Tahu sendiri, selaku sesepuh dunia persilatan tanah Jawa,
nama Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah tercekam kuat di benak hampir seluruh warga persilatan. Bahkan orang
biasa saja masih banyak yang mengetahui nama dan
julukannya. Kalau nanti Satria mengaku sebagai muridnya, apa tidak membuat kegemparan kecil"
Lagi pula, apa mereka mau begitu saja percaya"
Jangan-jangan, bukan mendapat sanjungan, malah
didapatnya cemoohan. Disangkanya nanti dia membual seperti tukang obat di pinggir jalan kotapraja,
atau seperti para pedagang dan usahawan yang rajin
membual untuk mengeruk keuntungan, atau....
"Bocah, ayo jawab!"
Bentak sesepuh kepala botak lagi. Nadanya
makin meruncing, makin menanjak. Bikin suasana
makin terasa tak enak.
"Guruku cuma seorang tua kesepian yang sudah begitu bosan kehidupan dunia...," jawab Satria, berusaha untuk menutupnutupi. "Aku cuma menanyakan namanya!" sambar sesepuh botak yang sudah kurus, galak pula.
Karena didesak, Satria akhirnya bicara apa
adanya. Peduli setan apakah nantinya semua yang
mendengar akan percaya atau tidak. Malah, barangkali lebih baik begitu, biar
jati dirinya untuk sementara tetap tertutup rapat.
"Guruku, Dongdongka...."
Kontan, tercenganglah semua orang yang hadir
di sana. Tak terkecuali Sukma Sukanta.
"Apa aku tak salah dengar?" kejar sesepuh botak. Parasnya menampakkan
ketidakpercayaan. Namun, kemarahannya sudah agak surut oleh ketercengangannya. Masih cukup bagus, pikir Satria. Ketimbang dia makin kalap karena merasa dibohongi.
Kelima orang di sana, termasuk Sukma Sukanta langsung memandangi si pendekar muda dari ubunubun ke ujung jempol kaki, lalu kembali lagi ke ubun-ubun. Mereka pernah
mendengar selentingan kabar
tentang ciri-ciri murid tunggal Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Sekarang mereka
hendak mencocokkan
dengan pemuda polos yang baru saja mengaku-ngaku
sebagai murid Sang Sesepuh.
Makin lama diteliti, wajah mereka makin tak
sedap bagi Satria. Memangnya enak diperhatikan dengan pandangan mereka yang seperti orang-orang yang
berhasil menangkap basah pencopet kampung"
Ketika mata sesepuh botak menangkap ujung
Kail Naga Samudera, parasnya berubah. Dari bersit
matanya tersirat bahwa dia kini percaya pada ucapan
Satria. Ada selintas rasa malu yang lantas disembunyikan. "Ya, benar! Aku memang seperti gurumu, Cah!
Bahkan wajahku saja mirip beliau!" ledak sesepuh botak galak tadi, tiba-tiba.
Lalu dia tergelak-gelak sendiri.
Tengik juga orang satu ini. Sebelumnya dia begitu gusar karena Satria mengatakan dia mirip dengan gurunya. Sekarang, dia
seperti bangga setengah modar. Sampai-sampai parasnya seperti mau modar benaran! "Maafkan aku, Bocah. Aku yang tua ini terlalu cepat tersinggung. Kupikir
kau tadi berniat mengejek-ku...," tambahnya lebih jauh.
"Tidak apa-apa, Aki...," balas Satria.
Sementara Sukma Sukanta dan yang lain masih tetap menatapi si anak muda berambut kemerahan. Sampai wajah mereka pun berubah seperti orang
yang baru saja mendapatkan ilham di atas jamban.
"Aku ingat! Aku ingat, sekarang!" cetus Sukma, tak kurang riuh dari sesepuh
botak tadi. Pandangan sekarang terpusat ke arah Sukma
Sukanta. "Kau Satria Gendeng itu! Ya, kau Satria Gendeng! Jangan coba main kucing-kucingan lagi denganku, Satria!" tukasnya nyaris berseru dengan paras ke-girangan.
Satria celingukan. Kiri... kanan, kanan... kiri.
Bibirnya tersenyum serba salah. Kartunya sudah terbuka sekarang. Tapi, rasanya kok seperti baru saja ditelanjangi! Untung situasi yang lebih menyiksa daripada
menahan buang hajat bagi Satria Gendeng segera berakhir ketika adipati datang.
Pintu masuk balai kadipatenan terbuka. Semua
yang hadir di sana melayangkan pandangan sejurus ke
arah pintu. Adipati Bernawa muncul.
Para sesepuh, Satria dan Sukma berdiri. Mereka sama-sama membungkukkan badan. Adipati mengangkat tangan setinggi dada. Mereka pun menegakkan badan, lalu duduk kembali ketika adipati sudah
duduk terlebih dahulu.
Lima sesepuh, Satria dan Sukma duduk berjajar. Duduk paling pinggir adalah Ki Besi, seorang
empu pandai besi dari Desa Karang Kuruk. Di sebelahnya, duduk lelaki tua seusia Ki Besi. Lelaki itu
mengenakan seragam kuning susu. Dia bernama Ki
Lengut. Di sebelah Ki Lengut, duduk orang tua berbaju merah hati dan bercelana
pangsi hitam tambalan. Dia
adalah Ki Sastro. Duduk di sebelah Ki Sastro, seorang tua berpakaian silat putih
bercelana warna coklat kuning bernama Ki Mangku Langit. Menyusul lelaki tua
berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat Namanya Ki
Durga. Sedangkan lelaki yang berpakaian sama dengannya tapi tak berkumis adalah Ki Sentul Gusti.
"Aku pribadi mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kehadiran para sesepuh desa yang
kami undang secara mendadak," Wisnu Bernawa
membuka pembicaraan.
"Sama-sama Kanjeng!"
"Ada rencana apakah sehingga Kanjeng mengundang secara mendadak begini" Tidak seperti biasanya...," tanya Ki Besi.
Adipati memalingkan wajah ke arah orang tua
gundul itu. "Kita semua mengetahui, bahwa akhir-akhir ini,
daerah kita sedang terancam. Kekejian yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian di
sebagian besar wilayah Kadipaten Lumajang sungguh sudah melampaui betas. Aku
tak mengerti, kenapa mereka hanya menghantui daerah kita...."
"Mungkin ada sesuatu yang mereka inginkan
dari Kadipaten ini, Kanjeng!" Ki Sastro angkat bicara.
"Mungkin," timpal adipati, datar.
"Apa tindakan kita sekarang, Kanjeng?" tanya Ki Mangku Langit.
"Sebelumnya, kalian harus tahu dulu. Semalam
mereka mengacau ke sini. Mereka pun memerintah
aku untuk menyerahkan putriku pada purnama di bulan ke tujuh."
Para sesepuh desa terdiam. Di wajah masingmasing terbersit kegeraman.
"Jadi apa rencana Kanjeng?" ulang Ki Mangku Langit. "Rencanaku, aku ingin
mengundang para tokoh aliran putih untuk bergabung melawan Tujuh Dewa
Kematian. Untuk itu aku mengumpulkan kalian di sini. Aku berharap kalian semua dapat membantu menunjuk siapa saja tokoh-tokoh yang harus kita ajak
kerjasama."
Para sesepuh berembuk. Termasuk Sukma Sukanta. Satria bungkam. Sebagai orang paling muda,
dia tak mau banyak mulut. Nguping saja sudah bagus!
Kendati begitu, tetap saja para sesepuh mendesaknya
meminta pertimbangan ini-itu. Maklum, biar usia terbilang mentah, mereka sudah banyak mendengar sepak-terjang Satria Gendeng yang banyak membuat kalangan berdecak kagum. Itu pun setelah mereka menyadari siapa sebenarnya Satria. Kalau tidak, mungkin dia cuma dianggap anak
bawang. Tak lama rembukan tuntas. Tiga tokoh terpilih.
"Siapa yang nanti akan menyampaikan undangan?" aju Ki Besi selang beberapa saat kemudian.
"Biar aku!" sergah Satria.
"Kau?" tanya adipati. Matanya menyiratkan
bahwa dia agak ragu pada kemampuan si anak muda.
Sukma Sukanta hendak memperkenalkan pada
adipati siapa sebenarnya Satria. Belum-belum, Satria sudah menyikut perutnya
diam-diam. Sampai Sukma
meringis menahan mual. Dengan isyarat mata. dimintanya Sukma untuk tutup mulut.
"Percayalah, Kanjeng. Dia mampu melakukannya...," sela Ki Besi. menebas keragu-raguan adipati.
Diliriknya Satria Gendeng. Orang tua itu tersenyum
penuh arti sambil mengelus-elus kepalanya yang klimis.

Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** TUJUH PAGI itu juga, Satria Gendeng berangkat menjalani tugas yang diemban dari Adipati Wisnu Bernawa.
Seekor kuda jantan gagah berwarna hitam telah disediakan oleh adipati untuknya. Dari halaman, pemuda
itu dilepas oleh adipati dan Sukma Sukanta.
"Heaaa!"
Usai memohon pamit, Satria menggebah kudanya. Kuda jantan meringkik. Kaki depannya menendang ke depan, setelah itu berlari nyalang. Gerbang
yang masih tak karuan dilewati. Dua prajurit kekadipatenan memberi juraan serta ucapan selamat jalan
penuh semangat.
Sekitar tiga puluh tombak melewati gerbang,
seseorang menanti pendekar muda itu di bawah sebuah pohon Beringin besar rindang. Dari kejauhan
agak sulit mengenalinya, karena rindangnya pohon.
Apalagi karena orang itu berdiri dengan posisi bersembunyi di sisi batang pohon.
Ketika sudah dekat, Satria harus memaksa kuda jantannya berhenti.
"Sedang apa Putri di sini?" tanyanya dengan wajah keheranan.
Orang di bawah pohon ternyata Pitaloka, putri
adipati. Gadis itu menghampiri Satria. Matanya melirik sesekali ke arah
kadipatenan, takut-takut mata prajurit memergokinya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Tuan Pendekar," kata Pitaloka sesampainya di sisi kuda Satria.
Satria turun. Tak enak hati dia tetap di atas
kuda sementara putri adipati di bawah. Persis di depan Pitaloka, si pendekar
muda tanah Jawa itu berdiri. Mereka hanya dipisahkan jarak kurang dari satu
tombak. Dalam jarak sedekat itu, Satria Gendeng baru
bisa melihat dengan jelas paras Pitaloka. Sungguh ayu, pikir Satria. Matanya
lembut. Garis wajahnya menawan, memancarkan kekuatan pesona kecantikan gadis-gadis Jawa. Semalam, kenapa aku tak begitu menyadari kalau gadis ini demikian ayu" Gumamnya
membatin. Apa karena gelap malam" Atau karena aku
terlalu malu untuk memperhatikannya karena berada
di dekat adipati....
Diperhatikan seperti itu, Pitaloka jadi jengah
sendiri. Kepalanya tertunduk. Pandangannya terbuang
ke tanah. Semu merah merekah di kedua belahan pipinya. Satria sendiri baru menyadari kalau tatapannya sudah kelewatan. Kagum
boleh saja. Tapi kalau sampai membuat gadis semanis dia menjadi jengah, apa
tidak kelewatan namanya. Akhir-akhirnya, Satria jadi kikuk sendiri.
"Apa keperluan Putri denganku" Dan kenapa
harus bertemu di tempat ini" Apa Putri tidak tahu kemungkinan bahaya yang akan
menimpa Putri setelah
kejadian semalam?" Seperti tak sempat menarik napas, Satria meruntunkan
pertanyaan. Ini baru yang namanya gugup. Satria Gendeng merasa malu besar karena memperhatikan seorang gadis seperti menatapi
makanan lezat yang mengundang untuk disantap.
Brengsek sekali kau Satria, makinya pada diri sendiri.
"Aku tahu itu, Tuan Pendekar," ucap Pitaloka sambil tetap merunduk. Karena
jengah tetap berdiri
berhadapan dengan seorang pemuda tampan (meski
tatapan matanya agak kebodoh-bodohan), Pitaloka
membalikkan badan. Dua tindak dia melangkah. "Aku tahu bahaya apa yang akan
kudapat," ulangnya. "Tujuh Dewa Kematian memang meringankan diriku....
Tapi, aku benar-benar harus bertemu denganmu, Tuan
Pendekar."
"Panggil aku Satria saja."
"Aku pun sudah tahu itu."
"Kau sudah tahu namaku?"
"Aku pun sudah tahu siapa kau sebenarnya...."
Alis Satria bertaut.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku mencuri-curi pembicaraan kalian di balai
kadipatenan semalam. Kudengar Kang Sukma Sukanta
menyebut-nyebutmu sebagai Satria Gendeng.... Pendekar muda yang sering kudengar diceritakan oleh beberapa prajurit kadipatenan"
Satria nyengir sedikit. Sedikit cukup. Terlalu
banyak, takut disangka besar kepala.
"Ah, aku cuma orang kecil yang ingin keadilan
dan kebenaran tegak di bumi ini," katanya merendah.
Pitaloka berbalik.
"Karena itu, Kang Satria," mulai Pitaloka lagi.
Kini dia sudah mengganti panggilan 'Tuan Pendekar'nya dengan menyebut langsung nama Satria.
"Aku memohon sekali padamu agar dapat menyelamatkan kadipaten ini dari kekejaman tangan Tujuh Dewa Kematian," sambung si gadis,
"Aku hanya berusaha. Semuanya Tuhan yang
menentukan, Putri...."
"Panggil aku Pitaloka."
"Pitaloka," ralat Satria, agak bergumam sungkan. "Aku berharap banyak padamu,
Kang Satria. Karena hanya kau yang kuanggap dapat diandalkan
untuk menyelesaikan petaka ini," tandas Pitaloka. Matanya yang jernih menatap
langsung Satria. Membuat
Satria merasa terpojok. Dia tertunduk. Sialan sekali, kenapa sekarang justru aku
yang jadi tak punya nyali memandang matanya! Rutuk Satria di hati.
"Kau mau berjanji, Kang Satria?"
"Hah?" Satria gelagapan sendiri. Pertanyaan Pitaloka datang ketika pikirannya
sendiri sedang ke ma-na-mana.
"Kau mau berjanji padaku?" ulang Pitaloka.
Gadis itu melangkah tambah dekat ke arah Satria.
Tampaknya dia ingin agar Satria mengucapkan janji.
Satria agak 'panas-dingin'. Dia memang jenis
pemuda lugu yang jarang berurusan dengan perempuan. Terutama perempuan seayu Pitaloka. Itu bisa
membuat perasaannya jungkir balik.
"Ya, aku berjanji," gegas Satria, seraya buru-buru menaiki kuda kembali. Dia
cuma takut, kalaukalau Pitaloka memergoki kegugupannya. Wuh, pasti
malu besar kalau sempat terjadi!
Mendengar ucapan Satria, Pitaloka tersenyum,
seperti membayar janji itu dengan senyum menawannya. "Sekarang sebaiknya kau segera kembali, ng....
Pitaloka. Aku tak ingin terjadi apa-apa pada dirimu."
kata Satria, setelah menyiapkan tali kendali.
Pitaloka merunduk. Perkataan terakhir Satria
membuatnya risih.
Satria meringis. Slompret sekali, apa yang baru
kuucapkan barusan! Rutuknya membatin. Tak mau
jadi serba salah lebih lama, Satria Gendeng segera
menggebah kuda jantannya.
Pitaloka melepasnya dengan pandangan penuh
harap. Sampai Satria menghilang di kejauhan.
* * * Waktu terus bergulir. Cepat bagai sekedipan
mata. Bola penerang jagat sudah mendekati titik tertingginya. Sinar mentari yang menyorot garang tak
membendung perjalanan seorang penunggang kuda.
Dia adalah Satria Gendeng.
Kadipaten Lumajang sudah jauh tertinggal kirakira dua kali penanakan nasi perjalanan. Satria yang duduk di punggung kuda
hitamnya tiba-tiba menghentikan langkah kuda persis di persimpangan jalan. Pemuda berkepribadian mengagumkan itu mengeluarkan
sesuatu berbentuk gulungan kecil dari kulit yang selama ini terselip di pinggangnya. Gulungan kulit tersebut adalah undangan yang ditujukan kepada tiga tokoh sakti aliran putih. Mereka terdiri dari tokoh yang namanya hampir terlupakan
di dunia persilatan.
Satria membuka gulungan, lalu membacanya.
Pada gulungan pertama, Satria menemukan tulisan;
'Untuk Ki Jerangkong bergelar Dewa Gila di
Lembah Pangrango, untuk Pengemis Tuak alias Ki Dagul di Pesisir Tuban, dan untuk
Arya Wadam....'
Tiga lembaran berikutnya berisi sama. Masingmasing gulungan ditujukan untuk ketiga tokoh yang
tertera pada gulungan pertama.
'Aku mengundangmu untuk datang ke Kadipaten
Lumajang. Ada kegentingan di Kadipaten Kami. Untuk itu, dengan segala hormat,
aku meminta kesediaanmu untuk menyingsingkan lengan membantu kesulitan ka-mi.
Kesulitan kami tersebut bersangkut-paut dengan sepak terjang Tujuh Dewa
Kematian. Tertanda, Wisnu Bernawa'
Selesai membaca, Satria menggulungnya kembali. Diselipkannya ke tempat semula.
"Hm, ke mana dulu aku mesti pergi" Ke Pangrango, atau ke Tuban?"
Satria terdiam sebentar. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Bibirnya meringis.
"Ke mana pula aku harus menemukan Arya
Wadam" Adipati tak menjelaskan dalam surat perintahnya. Tapi tak mungkin adipati lupa menuliskan
tempatnya...."
Mulut pendekar muda itu komat-kamit kembali. "Sebaiknya aku ke Lembah Pangrango dulu. Setelah itu ke pesisir Tuban. Urusan di mana Arya Wadam, bisa kupikirkan belakangan!" putusnya kemudian. "Ngomong-ngomong, sekarang
ini sudah masuk hari ke berapa bulan ke berapa, ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Dia celingukan mencari orang lewat yang mungkin bisa ditanyakan tentang hal itu.
Tak ada satu batang hidung pun ditemui, dia menampar jidatnya
sendiri, disusul makian sebal.
"Setan alas, tidak ada seorang pun yang lewat!
Ke mana aku harus bertanya?"
Dari kelokan jalan di kejauhan, muncul pemuda sebayanya. "Nah, ada orang lewat!" ujar Satria, nyaris berjingkat di atas kuda. Dia segera
turun dari atas kudanya. Dia berdiri di sisi kuda, memegangi tali kendali.
Pemuda tadi kebetulan lewat di dekatnya. Seorang pemuda dekil yang melangkah kuyu. Lusuh mukanya
seperti dirundung putus cinta. Pipinya biru seperti ba-ru dipukuli orang
sekampung. "Saudara," tegur Satria.
Pemuda dekil tetap berlalu, acuh tak acuh.
"Saudara Muda, aku ingin bertanya!" susul Satria lagi, mengutarakan maksudnya.
Pemuda dekil tadi menoleh. Wajahnya tak menawarkan sebetik pun keceriaan.
"Mau tanya apa kau"!" ketusnya
Satria merengut.
"Ke mana arah Lembah Pangrango?" katanya.
"Kau harus menuju matahari tenggelam," jawab Pemuda Dekil seraya mengacungkan
tangan malas. Selesai menjawab, dia pun melanjutkan langkah. Baru
beberapa jejakan kaki, Satria mencegahnya.
"Tunggu Saudara Muda, aku ingin bertanya satu lagi!" "Tanya apa lagi"!" sungut Pemuda Dekil.
"Sekarang hari ke berapa bulan ke berapa?"
"Kau manusia hidup atau sudah mampus"
Dengan hari yang sering kau lewati saja tidak tahu!"
Pemuda Dekil kembali meneruskan langkah.
"Hai, Saudara Muda! Tolong jawab dulu pertanyaanku!" seru Satria, setengah berteriak, setengahnya lagi dongkol.
Tapi Pemuda Dekil tak mempedulikannya. Menoleh saja tidak. Dia berjalan gontai dengan kepala tertunduk-tunduk dan wajah
suntuk. Barangkali telinganya sudah ditutup rapat-rapat oleh setan buduk,
umpat Satria membatin.
"Oh, nasib.... Mengapa aku memiliki nasib seperti ini?"
Di kejauhan, si Pemuda Dekil meratapi nasibnya. Kepalanya lalu mendongak ke langit seraya menengadahkan tangan.
"Oh, Hyang Widhi... kenapa kau biarkan hamba-Mu telantar seperti ini?"
Pemuda Dekil itu terus menyambung ratapannya. Kalau ada orang yang kebetulan berpapasan, tak
diragukan mereka akan menganggapnya gila. Dia sendiri seperti tak peduli. Langkah terus diseretnya sampai dia berhenti di depan
sebuah batu cadas. Matanya menatap ke depan. Pandangannya kosong melompong.
Satria cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan dari kejauhan. Tak lama, dia memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan.
*** DELAPAN HARI menjelang malam. Di suatu desa di mana
para penduduknya selalu diliputi ketakutan. Terutama mereka yang memiliki bayi,
rasa takut lebih menghantui. Takut kalau-kalau Tujuh Dewa Kematian menginginkan bayi mereka.
Malam menjenuh. Rembulan pucat, ditabiri
awan pekat. Dari ujung desa, muncul sesosok tubuh di kegelapan malam. Dia berjalan. Langkahnya terseokseok. Tangan kanannya mendekap perut. Kurus tubuhnya, dibungkus sehelai pakaian yang kolor kecoklatan. Rambutnya kusut masai tertumpuk debu. Dialah pemuda dekil yang siang tadi berpapasan dengan
Satria Gendeng.
"Oh, nasibku yang malang.... Kenapa sampai
saat ini belum juga berganti senang" Hyang Widhi,
Engkah Maha Tahu. Sampai kapan aku menanggung
nasib ini" Kini perutku lapar...."
Terdengar keluh kesahnya yang seperti tak putus-putus sejak siang tadi. Sejurus dia berdiri diam, mengamati rumah-rumah
gubuk di sepanjang jalan setapak desa.
"Hoi, Orang-orang Kampung! Apakah kalian
memiliki sedikit sisa makanan" Berilah aku, sekadar
untuk mengganjal perut yang seharian belum bertemu
makanan!" Di tengah-tengah kesunyian, dia berteriakteriak. Tak lagi dia peduli pada apa pun atau siapa pun. "Wahai awan hitam
kelam, janganlah kau halangi sinar Dewi Malam! Biarlah Dewi Malam tahu
bahwa aku di sini sedang kelaparan!"
Sambil mendongakkan kepala, pemuda dekil
itu terus meratap-ratap dan berteriak-teriak.
Sementara para penduduk yang mendengarnya


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah mendekap telinga rapat-rapat. Mereka sepertinya tak asing lagi mendengar keluh kesah dan teriakan kacau balau si pemuda
dekil. "Hai gembel, pergi kau!" hardik seorang penduduk dari dalam gubuknya. "Aku bosan
mendengar ra-tapanmu. Lebih baik aku mendengar suara kaleng
rombeng!" tambahnya menusuk.
Si pemuda melanjutkan langkah. Kalau tak ada
yang mau ambil peduli pada dirinya, lalu apa alasannya untuk tetap tinggal"
Setelah cukup jauh Pemuda Dekil meninggalkan tempat sebelumnya, muncul pula satu bayangan
dari arah yang sama di mana si pemuda muncul. Suara derak terdengar sayup-sayup. Ditingkahi pula dengan suara kerikil tergilas.
Ada satu pedati tua yang dikusiri seseorang.
Kegelapan malam sulit menyingkap siapa atau bagaimana sang kusir. Yang jelas, sejak siang tadi pedati itu terus menguntit si
pemuda. Gerak-gerik Pemuda Dekil
terus diawasi kusirnya. Semua itu sama sekali di luar pengetahuan orang yang
dikuntit. * * * Pagi hari sudah merambat ke pertengahan
siang. Pemuda gagah bergaris rahang jantan, Satria
Gendeng tampak memacu kudanya merambah hutan,
mendaki tanah berbukit.
Pada pertengahan hari, pendekar muda tangguh itu sampai di suatu perkampungan. Dia memperlambat langkah kudanya. Pertama yang hendak dituju
adalah sebuah kedai makanan yang dari kejauhan sudah terlihat. Sesampainya di depan kedai, Satria menambat
kudanya di sebuah tonggak bambu terletak di sebelah
kiri kedai. Sementara di dalam kedai sudah ada sepuluh orang. Pengunjung di sudut kiri ada empat orang
bertampang seram, mengenakan pakaian silat merah
hati dan bercelana pangsi hitam. Di pinggang mereka
melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan
orang dewasa. Di ikat pinggang, mereka menyelipkan
trisula berwarna perak mengkilat. Tubuh keempat
orang itu tinggi besar. Satu orang di antara mereka
memiliki perut buncit.
Satria mengambil tempat di tengah ruangan.
Belum lama duduk, datang seorang pelayan lelaki berusia muda. Mungkin masih bisa dibilang bocah.
"Makan, Den?" sambutnya, ramah sekaligus tak bertele-tele.
Satria mengangguk sekali.
"Perlu tuak juga?" susul si pelayan muda.
Satria menggeleng. Juga sekali.
Pelayan muda tadi mengangguk. Dia berbalik
hendak mengambil pesanan yang diminta tamunya.
Kebetulan, pintu dapur kedai yang cukup besar itu
melewati meja yang diduduki empat orang berpakaian
merah hati. Tangan salah seorang dari mereka menghadang si bocah pelayan, mencengkeram leher bajunya, lalu menariknya kasar.
"Ambilkan kami tuak lagi!" seru si lelaki bertampang buruk dan kasar.
Si bocah pelayan mengangguk berkali-kali dengan wajah ketakutan setengah mampus, sampai cengkeraman kerah bajunya dilepas.
"Cepat jalan, Jongos!" hardik lelaki tadi seraya mendorong punggung si bocah
pelayan. Dorongan itu
terlalu keras. Tanpa perlu tenaga dalam, bocah kurus macam pelayan muda tentu
tak akan bisa bertahan.
Dia 'nyelonong' ke depan, menuju meja lain yang diduduki oleh seseorang bertopi
pandan seperti bakul nasi.
Menyambut tubuh si pelayan muda yang tak
terkendali, tangan orang itu bergerak sedikit ke atas.
Dada si pelayan muda disanggahnya, tanpa membuat
bocah pelayan itu kesakitan.
"Hati-hati kalau berjalan," katanya, seperti berbisik. Bocah pelayan geragapan.
"Ma... maaf, Den. Sssaya tak sengaja," kata bocah pelayan, memohon maaf.
Orang bertudung menurunkan tangan. Geraknya lambat, tenang, namun mantap. Selain tangan, tak ada anggota tubuh lainnya
bergerak. Dia duduk seperti bersemadi. Tangannya dibiarkan tertelungkup di atas
meja. Di depannya, terdapat kendi air putih dan gelas tanah liat.
"Bawakan aku makanan, Dik!" pintanya kemudian. Tetap dengan suara seperti orang berbisik.
"Nasi dengan lauk?" tanya bocah pelayan ter-bungkuk-bungkuk. Dia masih saja
merasa telah berbuat salah, kendati bukan dia penyebab kejadian barusan. "Boleh," sahut orang bertudung, enteng.
Bocah pelayan mengangguk. Dia baru hendak
berbalik ketika orang bertudung menahannya.
"O, iya! Campurkan segelas arak pada nasiku."
Bocah pelayan terbengong. Mencampurkan segelas arak pada nasi" Apa dia tak salah dengar" Itu
permintaan aneh yang seumur-umur baru kali ini didengarnya.... "Mencampurkan segelas arak pada nasi, Den?"
ulang Bocah pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian yang cukup
perlente mengangguk.
"Aneh, ya?" tanyanya.
Si pelayan muda buru-buru menggeleng.
"Ah, soal selera, orang kan berbeda-beda. Rambut boleh sama hitam, tapi selera berlainan...," tukasnya seraya tertawa kecil.
"Ya... ya," timpal orang bertudung. "Kalau begitu...." Belum selesai ucapan
tambahannya, lelaki buruk rupa yang duduk pada kelompok orang berpakaian
merah hati membentak kasar.
"Hei, Jongos! Bukankah aku meminta kau untuk mengambilkan arak! Kenapa kau masih berlamalama"!" Lalu dihantamnya meja.
Drak! Membuat piring-piring berhamburan ke lantai.
Tiga kawannya yang lain tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang mereka anggap lucu dari kejadian itu.
Untung saja bocah pelayan tidak termasuk
orang berpenyakit 'jantungan'. Badannya terlonjak di tempat. Wajahnya kontan
memucat. Bibirnya gemetaran. "Cepatlah kau layani mereka, Adik. Tak mengapa
pesananku kau antar belakangan," pinta orang bertudung, sedikit memberi
kelapangan pada bocah pelayan. Buru-buru pelayan muda itu beranjak ke arah
dapur. Tak lama dia sudah keluar membawa dua kendi
tuak. Dengan tangan gemetaran seperti dilanda lindu
kecil, diletakkannya dua kendi tuak ke atas meja
orang-orang berpakaian merah hati.
Baru hendak beranjak, tangan lelaki berperut
buncit menahannya. Tak kalah kasar dengan cara lelaki sebelumnya.
"Kau berdiri di sini saja. Kami tak mau kalau
kau tak ada saat kami memesan yang lain!" ujarnya dengan nada mengancam. "Kau
mengerti, heh?"" sam-barnya lagi. Matanya melirik sinis ke arah orang bertudung.
Sudah jelas niat sebenarnya. Lelaki berperut buncit sengaja menahan bocah
pelayan agar pesanan
orang bertudung tak sampai-sampai.
Keterlaluan memang.
Bocah pelayan menelan ludah. Dia tak bisa
mengangguk atau menggeleng. Mengangguk berarti dia
setuju untuk tak melayani pesanan orang bertudung.
Kalau menggeleng, sama artinya dia sengaja minta bogem mentah! "Apa kau tak bisa mengangguk" Lehermu kaku" Perlu aku buat agar lehermu bisa lemas"!" hardik lelaki lain, mendukung
'permainan' tengik kawannya.
Satria melirik malas-malas. Jangankan pesanan orang bertudung. Pesanannya pun belum jelas
juntrungannya. Sudah sejak tadi dia menunggu. Perutnya sudah ngadat berat minta diisi. Pendekar muda itu menarik napas, menahannahan kesabaran.
Dia bangkit. Urusan manusia tengik macam
begitu tak perlu membuatnya turun tangan. Hanya
membuang tenaga. Sebaiknya dia mencari kedai lain,
pikir Satria. "Hei, mau ke mana kau Kisanak"!" cetus salah seorang lelaki berpakaian merah
hati. "Tak jadi makan karena merasa tak dilayani"
Merasa tak dihargai"!" ledeknya seraya mengusapusap dagu berbewok tipis namun kasar.
Satria diam sebentar. Selesai cemoohan tadi,
dia melanjutkan langkah.
"Ya, pergilah kau!" teriak lelaki gendut seraya menenggak tuak langsung dari
kendi. Keempat lelaki itu tertawa tergelak-gelak, seakan para petarung yang baru memenangkan pertempuran hebat di medan laga. Cara tertawa mereka seolah-olah dunia mereka yang punya.
Satria tak mau ambil pusing. Dia meneruskan
langkah. Sampai langkahnya tertahan oleh seruan datar orang bertudung.
"Adik Pelayan, tolong bawakan pesananku dan
pesanan Kisanak berompi bulu itu!"
Bocah pelayan melirik takut-takut. Sekali dia
melirik orang bertudung, sekali dia melirik kawanan
orang berpakaian merah hati. Sewaktu menyaksikan
gagang senjata di balik pakaian orang kasar di depannya, dia menelan ludah.
"Sudahlah.... Ayo, ambilkan saja pesananku
dan pesanan Kisanak itu," pinta orang bertudung, nadanya tak memaksa. Namun
lebih dekat seperti orang
yang bergurau. Bocah pelayan tak beranjak juga. Dia masih
ngeri membayangkan senjata orang di depannya bergerak dan 'menyunat' lehernya. Apa mau dibegitukan"
"Kalau kau merasa susah seperti itu, kenapa
kau tak mencoba pelihara 'kucing', Adik Pelayan...."
Mendadak orang gendut bangkit dari kursi. Matanya berangasan. Wajahnya yang sudah merah karena pengaruh tuak menjadi lebih matang.
"Kau hendak mengatakan kalau kami ini sekawanan tikus, Bangsat"!" bentaknya, meledak-ledak.
Ludahnya menyembur seru, menghujani teman di depannya. "Kau yang berkata begitu, bukan aku," kilah orang bertudung. Ketenangannya sama
sekali tak teru-sik. Dia tetap duduk tak bergeming.
"Bangsat betul kau!" maki lelaki gendut, dibarengi dengan gerakan tangan menepis
kendi tuak di atas meja. Wush! Angin menderu. Kendi berpusing di udara.
Melesat lurus. Cepat seperti terjangan anak panah. Orang bertudung tetap tak bergeming. Sudah nekat dia"
Kala tak ada seorang pun percaya orang bertudung bisa menghindari terkaman kendi tuak yang meluncur ganas, jarinya tahu-tahu sudah menjentik. Gerakan yang kecil saja. Tapi, akibatnya cukup untuk
membuat gelas di depannya mencelat seketika
Sing.... Denging santer terdengar.
Mengkebiri deru dari Kendi tuak.
Prang! Gelas tadi menghantam kendi tuak. Kedua
benda lebur berserpih. Yang tak kalah mengagumkan,
seluruh pecahannya justru meluncur sengit ke arah
kawanan orang berpakaian merah hati.
"Keparat!!"
Dibarengi sumpah-serapah, keempat lelaki itu
berhamburan dari tempatnya. Mereka harus membuang diri dari tempat masing-masing. Jika kalah cepat dari kepingan tadi, mereka akan bernasib serupa
dengan meja kayu yang kini tertembus.
Satria melirik. Sikapnya acuh tak acuh. Dalam
hati, dia mau tak mau mengagumi kepiawaian orang
bertudung mengatur tenaga dalamnya. Mungkin orang
akan luput menilai hal tersebut. Satria tidak.
Dia cukup jeli. Betapa sulit untuk membuat
kepingan-kepingan gelas dan kendi tuak tidak mengenai bocah pelayan yang berdiri terlalu dekat dengan
kawanan lelaki berpakaian merah.
Tindakannya menjegal luncuran kendi tuak
dengan menjentik gelas saja sudah cukup memperlihatkan siapa dirinya. Ditambah dengan kehebatannya
mengatur arah kepingan yang demikian banyak, makin
jelas saja siapa dirinya. Dia bukan orang sembarangan, nilai Satria.
Keempat lelaki berpakaian merah hati berdiri
pada tempat yang baru. Dua orang di atas meja. Sisanya mendarat di lantai. Wajah mereka sudah terbakar tak tertolong. Semuanya siap dengan kuda-kuda.
"Kau akan kurencah, Keparat!" geram lelaki gendut seraya menggenggam gagang
senjata di pinggangnya.
"Kau sendiri?" tukas orang bertudung. "Kenapa tak kau ajak kawanmu yang lain.
Biar cepat kuselesai-kan urusan dengan kalian...," kata orang bertudung.
Datar saja. Namun tajam menghujam.
Srang! Lelaki gendut tak bisa menahan tangan. Senjata diloloskan. "Haaaahh!!"
Dari atas meja, tubuhnya menerkam. Berat
memang tubuhnya. Kalau dia tak memiliki cukup ilmu
peringan tubuh, akan terlalu sulit baginya untuk melakukan tindakan itu. Senjata di tangannya menyabet
udara. Arahnya ke batok kepala orang bertudung.
Wukh! Tebasan pertama!
Orang tenang saja. Tangannya mengangkat
kendi air dari atas meja. Masih sempat dia meneguk
isinya sebelum akhirnya dia menangkis senjata lawan.
Tang! Sewajarnya kendi tanah liat akan pecah berhamburan. Tak wajar kalau tidak terjadi. Kenyataannya memang demikian. Siapa yang ingin terperangah,


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silakan. Lelaki gendut adalah orang pertama yang terperangah di udara.
Kesempatan baik untuk orang bercaping. Keterperangahan lawan dimanfaatkan. Tangannya menggerakkan kendi tanah liat kembali.
Wukh! Deras menuju kepala lawan. Jaraknya cuma
satu lengan. Bahaya besar buat lelaki gendut. Sebelumnya dia menyaksikan sendiri senjatanya tidak
sanggup membuat kendi terpecah, kendati dia sudah
mengerahkan tenaga penuh. Kalau kepalanya sekarang yang harus bertumbukan dengan kendi tanah
liat, apa yang bisa diharapkan"
Masih di udara, lelaki buncit menjerit. Matanya
ditutup rapat-rapat. Wajahnya terlipat. Ketakutan teramat sangat, sudah pasti.
Tepat hanya dua jari di depan hidung lelaki
buncit, kendi tanah liat berhenti. Tubuhnya terus melayang. Karena merasa dia
akan segera mampus, lelaki buncit tak sempat memikirkan lagi bagaimana menyeimbangkan badan. Dia jatuh berdebam menimpa
meja. Meja sampai berantakan.
Cukup lama dia tak berdiri. Tengkurap saja di
atas pecahan meja dengan tangan dan kaki tergantung
seperti biang kura-kura sedang berjemur. Se-bentar
kemudian matanya terbuka pelan-pelan. Tangannya
memeriksa wajah. Tak ada yang kurang sedikit pun,
pikirnya. Bagaimana bisa begitu" Bukankah kendi air
di tangan prang bertudung sudah tak mungkin lagi luput dari kepalanya"
Biarkan dia kebingungan sendiri. Tetap seperti
kura-kura sampai kiamat pun biar saja!
Sementara itu, ketiga kawannya masih juga belum menyadari siapa yang dihadapi sebenarnya. Terang saja, mereka memang belum menerima 'jatah'.
Jadi silakan saja kalau mereka mau memintanya.
"Bantai!" seru seorang di antara mereka. Lagak sekali. Seolah mereka tiga jago
yang tak terkalahkan selama tujuh puluh tujuh turunan.
Ketiganya melompat berbarengan.
Silakan! Di pihak lawan, orang bertudung benar-benar
tak berniat ke mana-mana. Sejenis manusia sakti pemalaskah dia" Siapa yang ambil pusing"
Yang jelas, ketika serangan datang memberondong, dia meneguk air dalam kendi lagi. Beberapa teguk tertelan. Sisanya tetap di mulut.
Seperti sengaja bermain-main, dimancurkannya
air dari mulut ke permukaan meja seperti air dari pan-curan kecil. Belum sempat
ujung kucuran air menyentuh permukaan meja, jari tangannya menjentik.
Tas! Dua orang lawan yang menyerang dari sisi kanan mendadak kaku di tempat. Wajah mereka tetap
dalam mimik buas. Sebelumnya pasti seram. Bisa
membuat jantung orang jompo soak di tempat. Tapi
kalau terus begitu tanpa berubah-ubah, malah jadi
terlihat lucu. Kawannya yang paling akhir menyerang turut
berhenti juga. Bukan kaku mendadak. Melainkan dia
sendiri yang menghentikan geraknya. Matanya tak
berkedip menatap dua kawannya. Bagaimana bisa dua
orang mendadak kaku di tempat" Ceracau hatinya,
gentar. Jangan-jangan, orang yang kuhadapi sekarang
sejenis tukang sihir atau dukun santet, pikirnya was-was.
Sewaktu orang bertudung mulai menenggak air
dalam kendi tanah liat kembali, lawan terakhir tadi
menelan ludah susah payah. Apakah sekarang gilirannya" Ketimbang kaku, lebih baik minggat, pikirnya.
Cukup bijaksana. Sebab kalau tidak, urusan jadi agak lebih lama. Itu menurut
pihak orang bertudung.
Lantas, lelaki tadi pun 'ngacir'! Berlomba dengan lelaki buncit yang sudah bangkit lebih dahulu.
Satria tersenyum kecil. Dia melangkah kembali
ke mejanya. Sekarang sudah bertambah satu penilaian
lagi untuk orang bertudung. Bahwa orang itu adalah
ahli jalan darah. Kendati masih cukup sulit untuk menyaksikan percikan air yang
dijentik orang bertopeng, namun Satria bisa menduga kelanjutannya. Percikan
air dalam kecepatan amat tinggi itu menotok beberapa titik jalan darah dua orang
lawannya. Itu yang menyebabkan mereka menjadi kaku mendadak. Itu pula yang
menyebabkan lawan terakhir tak melihat kalau kawannya kaku karena tertotok.
Permainan lihai....
"Terimakasih, Saudara...," ucap Satria seraya menoleh pada orang bertudung.
"Terima kasih untuk apa?"
"Entahlah. Mungkin untuk kesediaanmu mengingatkan pelayan untuk membawakan pesananku?"
kelakar Satria.
Tak terdengar orang bertudung tertawa. Tapi,
Satria tetap percaya dia tersenyum di balik tudungnya.
"Dan, kau...," lanjut Satria, sambil mengarahkan pandangan ke arah bocah pelayan, "Kenapa masih berdiri di sana" Bukankah kau
seharusnya mengan-tarkan pesanan kami?"
Masih dengan wajah pucat dan bibir gemetar,
bocah pelayan tersenyum. Bergegas dia melangkah ke
dapur. Jalannya agak diseret. Bukan apa-apa. Dia sudah terkencing di celana!
* * * Satria berniat melanjutkan perjalanan setelah
perutnya cukup terisi. Sebelum keluar, dia hendak
pamit pada orang bertudung yang duduk di meja belakang. Ketika menoleh, Satria sudah tak menemukan
orang itu lagi. Di mejanya tertinggal beberapa keping kepeng yang cukup untuk
membayar makanan dan
minumannya, sekaligus kerusakan akibat keributan.
"Siapa orang itu?" gumam Satria ketika dia menaiki kudanya. Dalam hati, Satria
agak menyesali kenapa dia tak menanyakan jati diri orang itu sejak mu-la. Sekarang orang itu
sudah tak ada. Menyesal tak
ada guna. "Ah, kalau ada sumur di ladang, bolehlah menumpang mandi. Kalau umur panjang, mungkin nanti
jumpa lagi" gumam pendekar muda itu lagi, menghibur diri. Lalu digebahnya kuda.
"Heaa!!!"
Kuda berlari kencang.
Menyisakan debu yang mengambang di belakang. *** SEMBILAN SATRIA tiba di Lembah Pangrango, setelah menempuh berhari-hari perjalanan yang amat melelahkan. Pagi hari ketika itu. Malam sebelumnya, Satria
memaksa untuk terus memacu kuda. Berhubung sudah dekat, dia tak ingin membuang waktu. Menurut
perkiraannya, dia akan tiba pagi hari. Memang tak me-leset. Suasana nyaman
menyambutnya. Sejuk mengepung. Matahari masih menyembul malu-malu di bahu lembah sebelah timur. Sinarnya masih lamat. Namun sudah cukup menghangatkan. Rerumputan hijau
menghampar. Pepohonan di beberapa tempat masih
dibasahi embun. Cemara bergerak kecil disapa angin.
Burung di atasnya menembangkan senandung alam.
Lembah Pangrango sudah seperti surga kecil.
Sesaat Satria menikmati seluruh keramahan
alam di atas punggung kudanya. Rasanya, dia ingin terus menarik dada dan
menikmati kesejukan itu untuk
selamanya. Jelas itu tak mungkin. Pendekar muda itu
lalu turun dari punggung binatang tunggangannya. Dituntunnya kuda itu sebentar, dan dibiarkan memakan
rumput segar. "Di bagian mana aku bisa menemukan dia?"
gumamnya. Pandangannya menebar. Tak ada sedikit pun
tanda-tanda seseorang pernah tinggal. Tak di mana
pun, meski dia sudah memandang ke segenap penjuru.
Dewa Gila. Kalau menilik julukannya, Satria
Gendeng yakin orang yang hendak ditemui memiliki
tabiat aneh. Mungkin tak jauh beda dengan gurunya.
Karena itu dia disebut Dewa Gila. Orang bertabiat
aneh, biasanya memiliki kebiasaan dan cara hidup
yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Satria tertawa sendiri. Lucu juga, pikirnya. Kalau ada orang punya kebiasaan yang berbeda dengan
kebiasaan orang banyak, lalu orang itu pun disebut
tak waras. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja justru orang kebanyakan yang mungkin sudah tak waras. Sementara orang yang dituduh gila, sableng, sinting, gendeng, dan
sebagainya justru orang yang masih tetap waras.
Yah, kalau jaman semakin edan, biasanya
orang kebanyakan juga ikut edan. Mereka yang edan
ini mana mau disebut tak waras" Buntut-buntutnya,
mereka mencari 'kambing hitam'. Orang yang berlainan cara hidupnya dengan mereka pun dituding tak
waras. Ini yang disebut; 'zaman jungkir-balik'! Yang salah bisa disebut benar.
Sebaliknya, yang benar malah dikatakan salah. Kepala dijadikan kaki, kaki
dijadikan kepala. Walhasil, kebanyakan orang pun menjalani hidup dengan 'pantat'
sebagai kepalanya!
Memutus renungannya, Satria Gendeng kemudian menambatkan tali kekang kuda ke batang pohon.
Dibiarkannya kuda jantan itu merumput. Satria sendiri melangkah, mencoba mencari tempat persembunyian Dewa Gila.
Menurut kabar burung, Dewa Gila sudah lama
tak turun ke dunia persilatan. Menyepi atau mati, tak jelas lagi. Terhitung
sudah empat puluh tahun dia tak menampakkan batang hidung. Sudah banyak kalangan
muda persilatan yang tak mengenal rupa Dewa Gila kecuali julukannya. Termasuk Satria sendiri. Jadi kalau nanti dia mengalami
kesulitan, bisa dianggap
wajar saja. "Hoiii, apa ada manusia di sekitar tempat ini?"!"
Satria Gendeng mulai berteriak, memancing siapa pun
keluar. Dia berharap ada 'sepotong' manusia bakal
muncul. Bukan dedemit atau tikus lembah kesasar.
"Hooiii, apa ada yang mendengar"!!"
Tak ada apa-apa. Tak muncul seorang pun seperti yang diharapkan. Satria tak cepat putus asa. Dia berteriak-teriak lagi.
Mungkin kalau dia meneriakkan nama Dewa Gila, orang yang dicarinya akan segera
muncul. Siapa tahu"
"Dewa Gilaaaa!!!!"
Masih tetap sama.
"Dewa Giiaaaa!! Aku ingin bertemu denganmu!!"
Sampai teriakan pendekar muda itu berubah
serak, tetap tak ada seorang pun muncul.
"Sial," rutuk Satria. "Barangkali benar ucapan beberapa orang, Dewa Gila sudah
mati. Kalau sudah
jadi bangkai, mana mungkin bisa mendengar," rutuknya lagi, berkomat-kamit.
Mendadak saja....
Ngung! Sebentuk benda sebesar kepalan tangan melayang deras ke arah Satria Gendeng. Berputar hingga menghasilkan dengung.
Arahnya dari barisan pepohonan rindang di tepi lembah. Satria terkesiap.
Kesigapannya tak berkurang. Tangannya gesit memapak.
Tap! Sesuatu tertangkap tangannya. Ketika diteliti,
ternyata hanya sepotong kincir kecil dari bambu yang biasa dibuat anak-anak
untuk permainan.
"Apa-apaan ini?" bisik Satria tak mengerti.
Sebelum kebingungannya terjawab.
Ngung... ngung... ngung....
Mata Satria membelalak. Dari arah yang sama
dengan kincir sebelumnya, bermunculan puluhan kincir lain. Berkejaran.
Cepat. Berdengung-dengung tumpang-tindih.
"Sial!!!" maki Satria Gendeng seraya berjumpalitan kian ke mari menghindari
terjangan seluruh kincir.
Memang itu semacam mainan anak-anak. Tapi kalau
mendengar dari dengung yang dihasilkan serta kecepatannya, bukan tak mustahil benda itu bisa melukainya. Bahkan bisa saja lebih parah dari itu... mampus! Trak trak!
Karena dihujani terlalu deras, Satria Gendeng
terpaksa mengeluarkan Kail Naga Samudera yang masih berbentuk tongkat pendek. Dengan senjata pusaka
itu, dibabatnya beberapa kincir sampai hancur berantakan. Napas si pendekar muda murid Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit
itu terengah-engah ketika serangan mendadak itu bisa diatasi. "Heii, siapa
kau"!" serunya kemudian, dengan posisi memasang kuda-kuda. Hanya bersiaga jika
ada serangan mendadak susulan.
Sepi. Tak ada dengung lagi.
Sudah usai" Belum. Karena tak lama kemudian, datang lagi satu kincir yang lebih besar. Bahkan jauh lebih besar dari
ukuran sebelumnya. Yang keluar sekarang bisa dibilang 'biang'-nya kincir,
berukuran kira-kira seukuran setengah badan manusia!
Yang satu ini bisa dipercaya sanggup memenggal kutung tangan atau kepalanya!
Ngunggg!!! Arah serangan yang lurus saja agak memudahkan Satria Gendeng untuk menangkisnya dengan Kail
Naga Samudera. Bodoh kalau dia mencoba memapaki
dengan tangan telanjang.
Trak! Kincir besar tersentak ke samping. Arahnya
berbelok, namun tak cukup membuat Satria Gendeng
lega. Karena kejap berikutnya, arah senjata (itu pun kalau bisa disebut begitu!)
ganjil itu berputar kembali menuju dirinya.
Satria baru sadar kalau benda itu dikendalikan
dari jarak jauh ketika matanya menangkap benang halus yang membentang dari belakang kincir ke jajaran
pepohonan rindang di tepi lembah. Betul-betul permainan yang tak bisa dianggap main-main!
"Haih!"


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena kincir besar berbelok demikian mendadak, Satria dipaksa untuk membuang diri ke samping.
Tubuhnya berjumpalitan di atas tanah. Kincir mengejarnya. Tak sempat lagi bagi Satria Gendeng untuk
memperbaiki posisi kecuali terus berjumpalitan. Benar-benar dia dijadikan bulan-bulanan. Untung saja
sewaktu menjalani godokan dari Tabib Sakti Pulau Dedemit, dia terbiasa menghadapi ancaman karang di
tengah lautan yang berombak sangar. Naluri menyelamatkan dirinya jadi demikian tajam.
Satria Gendeng tak mau terus berjumpalitan
sampai kepalanya tujuh keliling. Dalam kegentingan,
dia mencari akal. Dibawanya kincir ke arah satu pohon besar. Ketika tiba di
dekat pohon nanti, dia akan melompat tiba-tiba ke atas. Biar kincir itu
menghantam pohon yang besarnya empat kali pelukan manusia.
Masa' iya kincir tidak hancur"
Satria pun terus berjumpalitan ke arah pohon.
Sampai.... "Heeaa!!"
Dia menjejakkan kaki tiba-tiba, dan langsung
melompat ke atas dahan pohon yang lebih tinggi seper-ti rencananya. Sejauh itu
memang berhasil. Namun
kalau berharap kincir besar menghantam pohon, Satria Gendeng terlalu tergesa-gesa. Karena begitu tubuh Satria membuat atraksi
cepat ke atas dahan pohon,
kincir besar itu pun berbelok ke samping. Jaraknya
padahal hanya tinggal dua jengkal lagi dari pohon.
Satria dibuat takjub. Bisa dinilainya kelihaian
si pengendali kincir besar!
Di kejauhan sana, tepatnya dari jajaran pohon
rindang di tepi lembah, tercetus kekeh kecil yang renyah. "He he he!!!"
Satria mengerutkan kening. Apa aku tak salah
dengan" Usik pikirannya. Suara kekeh itu bukan milik seorang tua, melainkan
milik bocah kecil! Semula, Satria Gendeng mengira permainan berbahaya tadi dilakukan oleh Dewa Gila. Sepanjang pengetahuannya,
Dewa Gila sudah tua bangka. Bukan bocah ingusan!
Sedang dilanda kecamuk pikirannya, Satria
Gendeng diserang lagi oleh kincir besar dari arah
samping bawah. Ngungg! Pendekar muda itu melompat dari atas dahan.
Tras! Gila juga! Dahan sebesar paha manusia langsung terpenggal seperti sepotong pedang menebas batang pisang! Bagaimana kalau mata kincir sempat
mengenai kakiku" Perangah Satria dalam hati.
Selanjutnya Satria mendarat empuk di tanah
berumput. Tempat yang terbuka. Tentu saja akan lebih memberi keleluasaan bagi
kincir besar untuk terus
memburunya. Satria tidak bodoh. Dia punya rencana.... "Heaaa!!!"
Srat, cletar! Kail Naga Samudera yang semula berbentuk
tongkat pendek, mendadak terulur. Disusul oleh lecutan tali kail terbuat dari ekor pari pelangi. Sekarang, apa masih bisa kincir
besar itu unjuk gigi jika berhadapan dengan senjata pusakaku" Ancam Satria dalam
hati. Kincir besar pun memburunya.
Satria memang berharap begitu.
Ngungg! Kian dekat.... Saat kincir besar sudah mencapai jarak jangkau Kail Naga Samudera, Satria membuat lecutan
mendadak disertai pengerahan tenaga dalam.
Wukh, cletar!! Seakan tahu betapa berbahayanya ujung Kail
Naga Samudera, kincir besar mendadak membuat gerak kiri-kanan yang cepat. Lecutan pertama tak membawa hasil apa-apa. Sementara jarak semakin dekat.
Satria tersenyum, agak menyeringai. Kau kira
aku tak bisa mengimbangi kecepatan gerak kincirmu"
Dengusnya membatin. Untuk rencana itu, Satria tak
beranjak dari tempat berdirinya. Agak nekat memang,
tapi dia tahu pasti apa yang hendak diperbuatnya.
Ketika kincir semakin dekat dengan luncuran
zig-zag, Satria mengebutkan kembali Kail Naga Samudera. Jika sebelumnya dari atas ke bawah, kini dari si-si ke sisi.
Wukh, cletar! Ujung Kail Naga Samudera membentuk liukan
bertenaga dengan arah menyamping. Hal itu berakibat
tertutupnya gerak kiri-kanan kincir besar.
Krakh! Tepat pada liukan sengit di ujung mata kail,
kincir besar melepaskan suara keras. Satu mata kincirnya terhantam dan patah seketika.
Kincir besar jadi kehilangan keseimbangan. Sesaat benda itu melayang-layang ngawur. Sempoyongan
sana-sini. Tak beda dengan layangan 'singit', atau pe-mabok kebanyakan minum.
Sampai akhirnya jatuh
berdebam menimpa bumi.
Satria tergelak menyaksikan kejadian itu.
Di jajaran pepohonan rindang, malah terdengar
rengekan yang kemudian berubah menjadi raungan
menjadi-jadi. Eh, bocah siapa yang kehilangan mainan" *** SEPULUH TERLALU kecele Satria jika mengira rengekan
yang didengarnya datang dari seorang bocah. Sebab
ketika muncul seseorang dari jajaran rapat pepohonan, Satria menyaksikan seorang
yang sama sekali tidak bi-sa disebut bocah. Badannya bongsor. Wajah kebodohbodohan. Kian parah penampilannya dengan mengenakan baju monyet.
Sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan, lelaki ketolol-tololan itu berjalan beberapa langkah ke arah Satria. Dia
berhenti dalam jarak tiga puluh tombak.
"Hu hu hu... kau telah merusak mainanku,
Kunyuk!" makinya merajuk-rajuk. Bibir bawahnya ma-ju sekian senti. Jelek tak
tertolong. Satria serba salah. Mau meringis salah, mau
tersenyum salah, mau tertawa apa lagi. Kalau tertawa, jangan-jangan disangka
meledek. Bakalan kian menjadi tangisan yang sama sekali tak sedap masuk ke telinga itu. Sebenarnya pemandangan yang dilihatnya
amat bisa membuat dia tersenyum. Tapi, apa pantas"
Sepertinya dengan tersenyum dia merasa telah mengejek seorang berotak udang. Kalau meringis" Apa
mungkin dia melakukan hanya karena ikut prihatin
dengan kesedihan tengik si 'bocah ajaib'"
Akhirnya, Satria cuma bisa garuk-garuk kepala.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Satria.
"Siapa... siapa. Pakai tanya segala. Kau pikir
aku tak akan jadi marah karena kau berlagak ramah
seperti itu. Huh, tak sudi!" omel si bocah tengik. Sebentar dia memutuskan
rengekannya. Sebentar kemudian dia menyambung kembali. Dari lagak dan
gayanya bicara, benar-benar tak bisa dibedakan dengan seorang bocah berumur tujuh tahun. Tapi, ya Tuhan. Orang ini bukan bocah lagi. Kalau bocah, apa iya kakinya 'kaya' dengan
bulu. Tak terhitung bulu-bulu di tempat tersembunyi. Sudah berkumis pula.
Jenggot pun ada, kendati cuma beberapa lembar.
"Kau bukan Dewa Gila?" tanya Satria lagi, masih dikungkung kebingungan.
"Dewa Gila.... Dewa Gila. Seperti kau sudah
kenal dengan guruku saja...."
"Hey jadi kau murid Dewa Gila?" perangah Satria. "Diam! Aku tak menerima
pertanyaan dari
orang yang telah merusak mainanku!"
"Mainanmu"!" Dua kali Satria terperangah.
Mestinya sejak dari tadi. Sebelumnya bocah bongsor
itu sudah menyebut-nyebut hal itu. Hanya karena Satria terkesima menyaksikan orang yang dikiranya cuma seorang bocah berusia tak lebih dari tujuh tahun
jika dinilai dari suaranya yang terdengar sebelumnya, dia tak begitu
memperhatikan. "Mainan katanya?" dengus Satria. "Mainan yang bagus kalau bisa membuat aku
nyaris mampus...."
Satria mencak-mencak. Dihampirinya kincir
besar milik si bocah bongsor. Ditendangnya benda itu gemas-gemas. Benda itu
hancur berantakan. Lebih
hancur dari sebelumnya. Sisa mata kincirnya berpentalan ke mana-mana. "Huaaaaa!"
Meraunglah si bocah ajaib. Suara raungannya
melayap entah sampai ke mana.
"Itu yang kau bilang mainan?" dengus Satria, belum puas. "Benda sial yang hampir
saja membuat kepalaku menggelinding"! Kenapa kau tak kau jadikan
saja semua senjata paling berbahaya di jagat ini sebagai mainanmu"!" semprotnya
meledak-ledak. "Tapi... tapi...," tercekat-cekat, si bocah ajaib yang sebenarnya lebih pantas
disebut bocah ganjil,
mencoba berkilah.
"Tapi, itu benar-benar mainanku, Bapak...." Satria mendelik. Sejak kapan aku
jadi bapaknya" Lagi
pula, apa wajahku sudah kelihatan tua sampai disebut begitu" Tampik Satria.
"Hey, jangan panggil aku Bapak!" "Iya, Kakang...," katanya terseguk. Apalagi
ketika mendapat bentakan Satria.
"Itu lebih bagus!"
"Jadi, Kakang mau membuatkan aku mainan
baru, ya?"?" dari merengek-rengek, si bocah ajaib tersenyum-senyum. Kedua tangannya dikatupkan di depan wajah. Lalu badannya bergoyang-goyang. Sepertinya dia hendak mengambil hati Satria.
Satria merengut. Mimpi apa aku semalam sampai harus berhadapan dengan manusia ini" Keluhnya
membatin. "Mau apa tidak Kakang membuatkan aku mainan baru?" tanya si bocah ajaib. Senyumnya hilang karena tak juga mendapat
jawaban dari Satria. "Mau apa tidak?"
Satria tetap diam. Tetap merengut.
"Mau apa tidak"!"
Lalu nadanya mulai berubah galak kembali.
Mendelik pula matanya!
"Sudah diam! Katakan saja, siapa kau sebenarnya" Apa hubunganmu dengan Dewa Gila"!" serbu Satria. "Dia muridku, Bocah
Brengsek!"
Sebentuk suara mendadak memenggal.
Satria tersentak. Bukan semata karena tak
menduga munculnya suara tadi. Melainkan dia merasakan betapa tenaga dalam yang terkandung dalam gelombang suara itu demikian hebat menggetarkan. Yang
aneh, tidak di gendang telinga. Melainkan langsung ke dalam hatinya. Nyalinya
seperti hendak dipaksa menciut. Satria berusaha menemukan sumber suara itu.
Tak pernah berhasil. Sumber suara itu seperti bisa da-ri mana saja. Seakan dari
satu tempat yang tak ada di mana-mana. Pendekar muda itu celingukan ke sana
kemari. "Mencari siapa kau, heh"!"
Terdengar kembali bentakan angker. Dari orang
yang sama. Tetap tak bisa ditentukan dari mana sumbernya. Satria mulai berpikir, mungkin orang inilah
Dewa Gila yang hendak ditemuinya. Pucuk dicinta
ulam pun tiba kalau begitu!
"Hoi, apakah kau si tua Dewa Gila"!" seru Satria. "Apa maumu bertanya-tanya?"
"Aku ada satu keperluan denganmu!!"
"Terangkan!"
"Bisakah kau keluar terlebih dahulu"!"
"Jelaskan saja, Brengsek!"
"Aku mendapat tugas dari Adipati Wisnu Bernawa!" "Aku tak kenal dia!"
"Beliau Adipati Lumajang!"
"Mau Lumajang kek, mau neraka kek!"
"Baiklah... baiklah. Kalau kau tak mau tahu
dengan beliau, setidaknya kau ingin melihat surat
yang dititipkan padaku untukmu, bukan?"
"Tak perlu! Minggat saja kau dari tempat ini!"
"Ini soal besar! Kau dibutuhkan untuk membantu menyelesaikannya!"
"Membantu" Heh, kau pikir aku ini semacam
jongos?" Satria geleng-geleng kepala.
Si bocah ajaib malah cengar-cengir. Dia kegirangan seperti hendak melompat langsung ke awan saja mendengar suara Dewa Gila yang diakui sebagai gurunya. Dan sebaliknya, Dewa Gila pun mengakui dia
sebagai muridnya. Girang, karena Satria menurutnya
sedang dipermainkan. Balas dendam cara seorang bocah.... "Tentu saja kau bukan jongos...," keluh Satria, pegal berteriak-teriak
seperti orang kehilangan akal.
"Kau mau pergi atau tidak"!" ancam suara tadi.
"Aku mengemban amanat, Orang Tua. Sebagai
seorang ksatria, tak mungkin rasanya aku pergi sebelum amanat disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Aku siap menerima apa pun akibatnya, asal
kau mau menyempatkan waktu membaca surat yang
kubawa ini...."
"Pergi kataku! Atau kau akan kuinjak-injak
sampai rata dengan tanah!"
Astaga, apakah Dewa Gila itu sejenis tokoh Bima dalam pewayangan yang memiliki tubuh meraksasa sampai bisa menginjak-injak orang sampai rata
dengan tanah" Satria berbisik dalam hati. Ngeri-ngeri, campur geli.
"Sudah kubilang aku tak bisa," tandas Satria.
"Pergi atau tidak?"
"Tidak, Orang Tua...," ucap Satria. Nadanya agak merendah, supaya bisa sedikit
mengambil hati tua bangka yang belum lagi disaksikan rupa dan wajahnya. "Hmm, kalau begitu terserah kaulah!"
Nada suara si orang tua pun melandai. Rupanya dia termasuk manusia yang mudah tersentuh
oleh sedikit kerendahan hati. Atau mungkin dia bisa
menilai Satria sebagai seorang pemuda yang patut dihargai dengan kemantapan tekadnya untuk suatu
yang diyakini"
"Bagaimana dengan surat dari adipati?"


Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada jawaban.
Satria curiga. Jangan-jangan orang tua itu sudah minggat dari tempatnya.
"Orang tua" Kau masih di sana"!" ulang Satria.
Tak juga ada jawaban.
Satria menghempas napas. Dia sudah menyimpulkan Dewa Gila telah pergi. Masih ada kemungkinan
untuk menemukannya selama dia masih berada di
Lembah Pangrango. Timbang punya timbang, mungkin
dia memang tak sudi dilibatkan dalam masalah di Lumajang, pikir Satria. Kalau sudah begitu, percuma saja jika dia mencarinya
kembali. Satria mendapat akal. Bocah ajaib itu mungkin
bisa dimanfaatkan untuk membujuk gurunya. Bukankah orang semacam dia paling bisa merayu dengan
gaya yang memelasnya seperti pernah dilakukan sebelumnya terhadap Satria. Kalau benar Dewa Gila termasuk orang tua yang cepat tersentuh dengan kerendahan hati, bukan tak mungkin kekerasan keputusannya
akan luruh dengan rayuan memelas sang murid.
Satria menoleh ke tempat bocah berkumis tadi.
Sudah tidak ada.
"Sial...," rutuk Satria.
Selagi menikmati kekesalan, mendadak terdengar suara kekeh tawa.
Satria tersenyum. Suara itu milik Dewa Gila.
Berarti dia masih di sekitar tempat itu.
"Bagaimana, Orang Tua?" tukas Satria, meng-gebu. "Soal surat itu maksudmu?"
"Benar!"
Dewa Gila terkekeh lagi. Satria menautkan alis.
Apanya yang lucu sehingga perlu ditertawakan"
"Mau kau membacakan untukku...?" kata Dewa Gila lagi dengan nada malu-malu.
Satria Gendeng menampar kening sendiri. Sekarang dia baru tahu 'biang keladi' penyebab Dewa Gi-la menolak mentah-mentah
surat Adipati Wisnu Bernawa. Dia pasti tidak bisa baca!
Satria pun membuka surat tersebut, lalu dibacanya. Di ujung kalimat, mendadak saja mendesir angin tajam dari arah belakang.
Satria sigap membalikkan badan.
Tahu-tahu, di depan hidungnya sudah berdiri
seorang kakek bungkuk yang tingginya hanya sebahu
Satria. Hidungnya berwarna ungu kehijauan. Persis
buah terung. Matanya besar sebelah. Rambutnya kasar dan awut-awutan berwarna kelabu. Orang tua itu
mengenakan pakaian berwarna biru tua.
"Kau sebut-sebut soal Tujuh Dewa Kematian"!!"
serunya persis di depan wajah Satria Gendeng.
Pendekar muda murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu meringis. Telinganya pekak tak kepalang.
Mau pecah rasanya gendang telinga. Tidak pecah, sudah beruntung besar.
"Kau dengar aku bertanya" Apa kau sebut tadi
Tujuh Dewa Kematian"!" ulang Dewa Gila lebih meng-geledek.
Apa dikiranya Satria sudah tuli"
"Benar, Orang Tua," jawab Satria akhirnya.
Dewa Gila menghantamkan tinju ke telapak
tangan. "Kau tahu dengan Tujuh Dewa Kematian,
Orang Tua?" tanya Satria, ingin tahu.
"Siapa yang tak kenal dengan tujuh manusia
kembar banyak tingkah itu!" ucap Dewa Gila, dilapisi kegeraman.
"Bagus kalau begitu. Jadi kau menerima permintaan Adipati, bukan?" sergah Satria.
Dewa Gila mencibir. Diangkatnya tangan tinggitinggi. Sampai ketiaknya hampir mampir di dagu Satria Gendeng. "Kalau aku kesal dengan Tujuh Dewa Kematian
bukan berarti aku setuju dengan permintaan Adipati
itu..." "Jadi?"
Dewa Gila menempatkan ujung telunjuknya di
kening. Wajahnya berkerut lebih banyak dari sebelumnya. "Aku akan menyuruh Joyolelano untuk mewakiliku!" "Siapa dia?"
"Muridku itu...."
Mak! Mau bilang apa Satria. Yang jelas matanya tak bisa ditahan untuk tidak mendelik.
"Kau hendak mengutus lelaki yang pikirannya
tak lebih dari seorang bocah itu untuk satu urusan besar?" perangah Satria.
Wajahnya tertarik lebih ketat dari seorang yang terkejut disambar dedemit
nyasar. "Jangan kau sebut dia begitu!" hardik Dewa Gi-la. "Asal kau tahu, di samping
muridku, dia juga anakku!"
"Aku tak bermaksud menghina anakmu... dia
anakmu" Bagaimana mungkin kau memiliki anak seperti itu" Dari perut siapa dia lahir?"
"Ya, dari perut istriku. Apa kau pikir dari perut kerbau"! Sudah, aku tak mau
banyak mulut lagi denganmu. Pokoknya kau terima atau tidak?"
Satria menghembuskan napas. Barangkali pepatah lama ada benarnya; 'tak ada rotan, akar pun ja-di'.
"Baiklah," putus Satria, akhirnya. Menyerah dia. Siapa pun tak bisa memaksakan
kehendak terhadap orang lain. Apalagi menyangkut penegakan keadilan. Semuanya harus datang dari kesadaran pribadi
terdalam. "Tapi, asal kau berjanji tetap akan datang jika
anakmu itu mendapat kesulitan...."
"Peduli setan dengan janji!" gerutu Dewa Gila seraya 'ngeloyor' begitu saja.
"Oh, ya Orang Tua! Aku ingin bertanya satu hal
lagi!" "Tanyakan sebelum aku menghilang seperti kentut!" "Kau tahu bagaimana aku
harus menemukan Arya Wadam?"
"Kau tak bisa mencarinya. Dia tak pernah tinggal di satu tempat!" kata Dewa Gila seraya terus melangkah.
"Jadi?"
"Kalau beruntung, kau akan bertemu dengannya secara kebetulan di sebuah kedai. Dia punya ciri tersendiri. Arya Wadam akan
memesan nasi dicampur
arak...." Satria terkesima. Dia ingat pernah menjumpai orang itu di kedai
beberapa waktu lalu.... Jadi dia pernah bertemu Arya Wadam yang mungkin akan
amat sulit dicari, dan dia meninggalkannya begitu saja"
Apa mungkin si tua bangka Dewa Gila diwakili
oleh si bocah berkumis untuk mengurus persoalan
amat besar" Bagaimana lagi cara Satria bisa menemukan Arya Wadam" Siapa dan bagaimana sebenarnya
dia" SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Pedang Kiri 8 Prabarini Karya Putu Praba Darana Pedang Hati Suci 4

Cari Blog Ini