Ceritasilat Novel Online

Pertapa Cemara Tunggal 2

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal Bagian 2


dikenal sama sekali. Tanpa ada urusan atau alasan
yang jelas pula. Kalau kawan seperjalanannya terlibat perkelahian dengan lelaki berpakaian merah, cepat atau lambat dia pun akan terseret. Ludah Darah
sama sekali tak menginginkan hal itu.
Ketika Hantu Wajah Batu sudah menggelegak
hingga ke kepala, Ludah Darah segera mencegah
agar lelaki berwajah kaku dan tegang itu tak mengumbar kemarahannya.
Tangan Hantu Wajah Batu cepat dicekal oleh
Ludah Darah ketika baru saja hendak mengirim tinju geledek ke bokong lelaki berpakaian merah.
"Biar kuhajar dia, Balaputra!" geram Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menggelengkan kepala.
"Jangan bodoh! Kau hanya akan membuangbuang tenaga!" katanya memperingati. "Apa tak sebaiknya kita bertanya padanya
tentang Pertapa Cemara Tunggal. Barangkali saja dia tahu," lanjutnya.
"Terserahlah!" rutuk Hantu Wajah Batu seraya menyentak cekalan tangan Ludah Darah.
Seandainya mereka berdua tidak punya kepentingan
dan tujuan yang sama, sudah dihantamnya pula
Ludah Darah! "Kenapa dicegah?"
Seakan mengejek, lelaki berpakaian merah
berujar santai sambil tetap melangkahkan kaki dengan lenggoknya yang membuat Hantu Wajah Batu
semakin sebal. "Aku hendak menanyakan tentang Pertapa
Cemara Tunggal padamu. Apakah kau mengetahui
sesuatu tentang beliau?" tanya Ludah Darah, tak mau bertele-tele.
Lelaki berpakaian merah terdiam sebentar.
Mendadak saja tubuhnya melenting ringan ke udara.
Dia hinggap di tempat semula dalam posisi bersemadi pula. "Percuma kalian menanyakan hal itu," katanya kemudian.
"Kenapa begitu?" kejar Ludah Darah.
"Karena yang kalian dengar selama ini tentang Pertapa Cemara Tunggal tak lebih dari dongeng
belaka. Aku sendiri tak pernah mempercayainya."
"Ah, pembual! Kau sendiri di sini hendak
apa"! Bukankah kau pun berniat bertemu dengan
Pertapa Cemara Tunggal?" sodok Hantu Wajah Batu.
"Sudah aku bilang, aku di sini dengan tujuan
untuk bersemadi," balas lelaki berpakaian merah.
"Bersemadi untuk bisa bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal!" sambar Hantu Wajah Batu.
"Keliru! Lagi pula, apa urusanmu?"
Mulai menggelegak lagi darah Hantu Wajah
Batu mendengar ucapan-ucapan lelaki berpakaian
merah. Dia melangkah maju beberapa tindak dengan wajah siap menantang untuk satu pertarungan
sampai mati. Ludah Darah sekali lagi harus mengejarnya
dan cepat menghadang. Saat itulah mata Ludah Darah tertumbuk pada sesuatu yang menarik di bawah
lelaki berpakaian merah. Sebelumnya dia tak menyaksikan karena pandangannya terhalang oleh gerombolan semak. Lelaki berpakaian merah ternyata
duduk bersila di atas sebongkah kepala manusia!
Saat itu, tidak bisa tidak Ludah Darah jadi
sempat berpikir dia sedang berurusan dengan orang
sinting. Bisa juga dengan seorang penganut ilmu sesat. Yang kedua tak diinginkannya. Jika lelaki berpakaian merah memang bersemadi untuk menuntut
satu ilmu sesat di tempat itu, dia tak akan menyingkir sampai tujuannya
tercapai. Sedangkan Ludah
Darah dan Hantu Wajah Batu sendiri punya kepentingan lain terhadap tempat tersebut. Cepat atau
lambat, pertarungan untuk memperebutkan tempat
tampaknya akan meletus juga.
Ludah Darah melirik rekannya.
"Kenapa kau jadi menatapku seperti itu" Tadi
kau telah mencegahku menghajar lelaki sial itu. Sekarang jangan salahkan aku!" tukas Hantu Wajah Batu, menggerutu.
"Tampaknya kita terpaksa harus mengusirnya
juga, Joran," tanggap Ludah Darah.
Hantu Wajah Batu mengepalkan tangan. Jarinya meremas-remas liat.
."Biar aku yang urus!"tandasnya. Memang sejak tadi dia menunggu untuk melakukan
hal itu. "Hei, bersiaplah kau untuk kuusir seperti tikus buduk!" seru Hantu Wajah Batu.
"Kau kuperbolehkan mencobanya sejak tadi,
bukan?" sahut lelaki berpakaian merah, sama sekali
tak terdengar gentar. Tak terlihat dia hendak bersiap menyambut serangan calon
lawan. Dia tetap duduk
membelakangi. Teriakan keras menggelegar dari kerongkongan Hantu Wajah Batu, mengawal lompatan tingginya. Kaki kanannya terbentang lurus, menuju leher belakang lelaki berpakaian merah
Satu tendangan menggeledek berkekuatan
amukan lima ekor banteng jantan siap mematahkan
batang leher lawan.
Lelaki berpakaian merah sendiri seperti tak
menganggapnya sebagai satu ancaman. Kendati terjangan lawan sudah setengah jalan, dia masih saja
belum bergerak dari tempatnya. Ketika sisi telapak
kaki Hantu Wajah Batu tinggal dua jari lagi mendarat, barulah dia melakukan gerakan. Itu pun kecil
saja. Hanya terbatas menyorongkan badan ke samping. Anehnya, gerakan seperti itu tidak membuat posisi silanya menjadi kehilangan keseimbangan, kendati dia duduk di atas sebuah kepala.
Lolos serangan pembuka membuat Hantu
Wajah Batu makin kalap saja. Kini dia berdiri berhadapan dengan lawan yang masih tak beranjak dari
tempatnya. "Jangan cepat merasa menang, Sobat!" dengus Hantu Wajah Batu, menyaksikan senyum mengejek di bibir lawan.
Lalu diterjangnya kembali lelaki berpakaian
merah. Tubuhnya mencelat lurus dengan tangan teracung keras ke muka. Serangan Hantu Wajah Batu
kali ini tidak dihadapi lawan dengan cara menghindar. Lelaki berpakaian merah menggerakkan kedua
tangannya. Dak! Benturan terjadi. Tubuh Hantu Wajah Batu
seketika terpantul kembali ke belakang. Terpental
dia hampir sejauh sepuluh tombak. Sementara lelaki
berpakaian merah tidak begitu. Dia masih tetap di
tempatnya. Sewaktu terjadi benturan antara tenaga
dalam, badannya hanya sempat tersentak!
Ludah Darah yang sejak awalnya hanya menjadi penonton dibuat terkesiap juga dengan kenyataan itu. Rupanya orang ini tidak bisa dianggap
main-main, nilainya. Menilik kejadian tadi, setidaknya Ludah Darah bisa sedikit
mengukur kedigdayaan lawan. Kemampuan tenaga dalam lawan
tampaknya lebih kuat dua kali lipat dari milik Hantu Wajah Batu. Jika demikian,
tak ada harapan besar
bagi lelaki bertudung berwajah membatu itu untuk
memenangkan pertarungan.
Kembali ke kancah pertarungan. Hantu Wajah Batu terpana sesaat setelah mampu menempatkan kuda-kudanya kembali di atas tanah. Tak
pernah disangkanya lawan akan memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat di atasnya. Dia mulai menyadari, dirinya mungkin tak bisa unggul. Hanya karena
sifatnya yang keras kepala, dia tak pedulikan hal itu.
"Kau pikir, aku akan gentar?" desisnya penuh api kegarangan di sepasang matanya.
Di ujung desisan, dia pun memainkan kembangan jurusnya kembali. Sesaat kemudian, serangan susulan dilakukan.
Tak kalah berbahaya dari sebelumnya.
"Remuk kau!"
Dan seruntun hantaman serta tendangan
menghujani lelaki berpakaian merah. Bertubi-tubi.
Membabi buta. Seakan tak ada satu celah kosong
pun terlewatkan. Sejauh itu, tak ada satu pun serangan Hantu Wajah Batu menemui sasaran. Sampai suatu saat, tangan lelaki berpakaian merah
membuat satu sodokan amat cepat. Amat sulit menangkap gerakannya, bahkan oleh mata yang amat
jeli sekalipun.
Bes! "Egh!"
Ketika itu juga tubuh Hantu Wajah Batu tersentak ke belakang. Karena dia berusaha untuk tetap bertahan pada kuda-kuda, tubuhnya jadi terseret beberapa depa ke belakang dalam posisi berdiri.
Seretan kakinya membentuk parit kecil yang cukup
dalam. Mungkin, keberhasilan Hantu Wajah Batu
mempertahankan kuda-kudanya patut mendapatkan acungan jempol, mengingat betapa hantaman lawan demikian kuat. Namun begitu, luka dalam harus ditelannya juga. Tak lama setelah seretan tubuhnya terhenti, dia pun
memuntahkan darah segar. Dengan wajah yang tak berubah, dia menatap
nanar lelaki berpakaian merah. Lawan tetap pada
posisi semula. Sedikit pun tubuhnya tidak beranjak.
"Aku tetap belum kalah, Sobat!" keluhnya, namun dengan nada yang tak terdengar
mengalah. Setelah mengatur pernapasan dan menotok
beberapa jalan darah di bagian dada, lelaki berperangai keras itu menyiapkan jurus barunya.
Ludah Darah di luar kancah mulai melihat
gelagat tak baik. Sudah saatnya dia turun tangan
membantu Hantu Wajah Batu. Jika tidak, dia akan
kehilangan rekannya yang dibutuhkan untuk tujuan
mereka mendatangi Hutan Pemantingan.
Berbarengan dengan lompatan Hantu Wajah
Batu dari arah depan, Ludah Darah pun menerkam
dari arah belakang.
"Kalahkan dia, Joran!" serunya, memberi semangat tarung pada rekannya yang sudah
kecolon- gan. Sebagai warga persilatan, sesungguhnya Ludah Darah merasa tak pantas dengan tindakan tersebut. Satu lawan dua. Belum lagi dia telah membokong dari belakang. Tindakan yang tak satria sama
sekali. Namun Ludah Darah tahu, dengan tindakan
itu pun mereka belum tentu memiliki kesempatan
besar untuk menang. Selain itu dia tak berniat untuk membunuh lelaki berpakaian merah. Hanya ingin menyingkirkannya dari tempat itu. Meski dengan
begitu, terselip juga rasa tak enak hati. Betapa dia telah merasa membodohi diri
sendiri. Untuk membela kepentingan sendiri dia sudah membenarkan segala cara. Pada saat lelaki berpakaian merah menjadi
sasaran serangan dari dua kutub berbeda, dengan
kekuatan yang bukan main-main pula, mendadak
saja terjadi kejadian tak terduga sama sekali. Baik oleh Hantu Wajah Batu
ataupun Ludah Darah.
Dari silanya, lelaki berpakaian merah seketika
mencelat gesit ke atas. Tak terlihat dia menggerakkan badan sama sekali, di bagian mana pun. Sepertinya, dia sendiri tak pernah menghendaki tindakan
itu. Dalam keadaan menerjang, kedua lawannya
sempat pula dibuat terheran. Ada sesuatu yang tak
beres sedang terjadi, pikir mereka. Dan bukan mustahil, mereka menghubung-hubungkan kejadian itu
dengan keberadaan pertapa sakti wanita; Pertapa
Cemara Tunggal yang begitu ingin mereka temui.
Prasangka mereka terbukti keliru sesaat setelah lelaki berpakaian merah mencelat tiga depa dalam posisi masih bersila ke udara. Sebab, setelah itu menyusul sesuatu mencelat
pula. Muncul menera-bas seolah-olah keluar dari dalam tanah!
Wrerrr! Sewaktu luncuran badan Hantu Wajah Batu
dan Ludah Darah telah mencapai titik sasaran, mereka baru menyadari kalau sesuatu yang mencelat
ringan dan gesit itu adalah sesosok manusia. Disadari pula oleh mereka bahwa batok kepala yang selama itu diduduki oleh lelaki berpakaian merah ternyata bukan sekadar kepala tanpa badan, melainkan kepala seseorang yang sekujur badannya ditanam ke dalam bumi!
Sebaliknya, mereka justru sama sekali tak
menyadari bahwa kemunculan tak terduga orang
aneh itu akan membawa akibat buruk bagi keduanya! "Huaaah!"
Das! Ludah Darah yang terlebih dahulu kejatuhan
nasib buruk. Orang yang baru mencelat muncul dari
tanah langsung berhadapan dengan serangannya.
Karena tak menduga kemunculan lawan barunya,
Ludah Darah menjadi lengah. Serangannya yang
semula ditujukan untuk lelaki berpakaian merah
dapat diredam dengan satu tangkisan keras oleh
orang itu. Tak cuma itu, satu kaki lawan bersarang
telak di ulu hatinya.
Sedangkan Hantu Wajah Batu mendapat hajaran untuk kedua kalinya dari lelaki berpakaian
merah setelah sebelumnya serangannya sendiri dapat dimentahkan oleh lelaki berpakaian merah.
Pasangan lelaki itu terdorong ke belakang.
Ludah Darah lebih parah. Dia hampir-hampir ter

Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lempar sejauh belasan tombak.
Barulah jelas sekarang, bagaimana tenaga lelaki berpakaian merah begitu kuat. Rupanya dia
mendapat bantuan dari orang yang selama ini diduduki kepalanya!
"Siapa kalian berdua sebenarnya"!" tanya Ludah Darah dengan tangan mendekap
dada. Henta- kan yang diterimanya merasa membakar. Tak beda
dengan keadaan Hantu Wajah Batu, lelaki ini pun
mengalami luka dalam tak ringan. Di sudut bibirnya
mengalir darah kehitaman. Hanya saja, luka dalamnya lebih ringan. Bisa jadi karena tenaga yang menimpa Hantu Wajah Batu adalah hasil penggabungan tenaga dua orang.
Orang yang baru muncul sudah berdiri tepat
di atas lobang tempat sebelumnya dia dikuburkan.
Sedangkan lelaki berpakaian merah sudah hinggap
kembali di ubun-ubunnya. Masih pula tak mengubah posisi silanya.
Bertolak belakang dengan lelaki berpakaian
merah, orang itu berpenampilan tak karuan. Tubuhnya yang tinggi besar seperti tokoh Bima di pewayangan tak dibungkus apa pun kecuali semacam
cawat dari serat pepohonan. Dadanya dipenuhi dengan bulu lebat. Perutnya agak membuncit. Rambutnya digelung di atas kepala. Wajahnya membiru
dengan bulu kasar di seluruh rahang. Matanya bulat
membersitkan kebuasan seekor hewan pemangsa.
Sebelum menjawab pertanyaan Ludah Darah,
mencelat tawanya yang terputus-putus serak.
"Kalian telah melakukan kesalahan telah
mengganggu tapa geniku!" serunya, terdengar meraung. Mendengar suaranya, Ludah
Darah dan Han- tu Wajah Batu merasakan getaran yang menggempur hingga ke dasar nyali. Mereka seperti dipaksa
untuk takut. Merasa pertanyaannya tak mendapat jawaban
memuaskan, Ludah Darah kembali bertanya.
"Siapa kalian sebenarnya?"
Mata bulat menggidikkan lelaki tinggi besar
menerkam langsung ke manik mata Ludah Darah.
Pancarnya lagi-lagi menerobos langsung ke dasar
nyali. Sebagai tokoh persilatan yang sudah terbiasa mengalami kebuasan manusia,
Ludah Darah merasa
heran juga bagaimana dia merasakan getaran takut
merayap dalam dirinya.
"Aku Kaladewa! Kuperintahkan kalian untuk
menyingkir dari tempat ini, sebelum aku memutuskan untuk mengirim kalian ke neraka!" seru lelaki tinggi besar yang mengaku
bernama Kaladewa.
"Dan aku Kasindra, muridnya!" sela lelaki berpakaian merah.
Mau tak mau, Hantu Wajah Batu dan Ludah
Darah mengernyitkan kening. Bagaimana bisa seorang guru bersedia muridnya menempatkan pantat
tepat di atas kepalanya"
ENAM DALAM beberapa hari terakhir ini, Satria
Gendeng benar-benar dibuat pusing, kelimpungan
sekaligus pontang-panting. Dibuat berantakan dia
akibat tuduhan terhadap dirinya. Awalnya sejak Ki
Dagul alias Pengemis Arak uring-uringan padanya.
Lalu entah bagaimana caranya, desas-desus menyebar seperti penyakit menular. Dalam waktu singkat,
banyak warga persilatan menganggap dirinya sebagai pendekar murtad yang membunuh hanya karena
hasrat kotor menguasai benda pusaka dari Pertapa
Cemara Tung-gal.
Yang membuat dia jadi mau senewen bukan
itu saja. Tokoh-tokoh persilatan golongan hitam
yang begitu bernafsu memiliki benda pusaka Pertapa
Cemara Tunggal pun mulai memburunya. Tak enak
benar menjadi seperti hewan buruan. Ke manamana selalu waswas. Di mana-mana dia harus waspada. Musibah sedang betah menemaninya, rupanya. Berhari-hari, pendekar muda itu pun dibuat
pening sendiri. Dia tak habis pikir, benda pusaka
apa sebenarnya yang sedang diributkan dan hendak
diperebutkan darinya! Satu-satunya benda pusaka
yang dimiliki ya cuma Kail Naga Samudera. Dan itu
jelas-jelas bukan pemberian Pertapa Cemara Tunggal. Selain itu dia tak memiliki apa-apa lagi. Apa perlu dia menganggap celana
dalam bututnya sebagai
benda pusaka" Sungguh brengsek, umpatnya membatin. Manusia bercongor besar mana pula yang telah seenaknya menyebar kabar burung seperti itu"
Kalau bertemu orangnya, ingin rasanya Satria menyodok mulut orang itu dengan galah hingga tembus
ke bawah! Soal Ki Dagul yang turut menuduhnya, Satria
yakin tua bangka itu pun cuma korban desas-desus.
Jelas ada orang yang hendak memfitnahnya. Hendak
menjadikannya bulan-bulanan warga persilatan.
Dan yang paling jelas, orang itu tampaknya tak senang kalau seorang pendekar muda golongan lurus
seperti dirinya masih bercokol segar bugar di muka
bumi. Belum sehari lalu, Satria Gendeng baru saja
menghadapi dua orang gila dari golongan sesat yang
memaksanya menyerahkan benda pusaka Pertapa
Cemara Tunggal. Benda pusaka apa" Sampai jidatnya minggat ke pantat pun tak ada yang bisa diberikan. Karenanya Satria lebih suka menghindar. Tapi
dua orang sinting yang tergolong sakti itu memaksa.
Jadilah mereka bertarung.
Setelah setengah mampus membela diri, Satria mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Syukur Tuhan masih sayang sama dirinya, dia berhasil lolos. Cuma, yang namanya dua manusia
slompret itu tak puas. Mereka berusaha mengejarnya. Sampai hari ini, Satria masih saja main kucing-kucingan. Dengan terpaksa, dia harus melakukan penyamaran yang sama sekali tak mengenakkan. Dia harus berpura-pura menjadi seorang pengemis tua. Mengenakan pakaian rombeng, dekil, dan
bau tengik. Ditambah caping lebar yang tak kalah
menyedihkan! Karena berpura-pura sebagai lelaki
jompo, dia pun memungut batang pohon kering yang
selalu dibawa-bawanya jika sedang berjalan terbungkuk-bungkuk. Betapa menyiksanya!
Mau membuat penyamaran lain, terus terang
dia tak tahu menahu. Dia bukan seorang ahli menyamar yang bisa seenaknya mengganti penampilan
dan wajah seperti seekor bunglon.
Sialnya lagi, banyak orang yang benar-benar
tertipu dengan penyamaran sederhana itu. Dengan
penuh rasa kasihan, beberapa orang memberinya
'kepeng' tanpa perlu diminta. Pikir-pikir, enak juga jadi pengemis gadungan.
Tinggal pura-pura menderita, lantas uang pun datang biarpun cuma recehan.
Yang tidak enaknya, ada juga orang-orang yang
langsung membentaknya dengan muka berang sambil berteriak; pergi kau, aku tak ada uang recehan!
Itu pun tanpa diminta!
Saat itu, Satria Gendeng memasuki satu desa
yang terletak di pinggir Hutan Pemantingan. Hutan
Pemantingan adalah tujuan utama yang harus diselidikinya berkenaan dengan tuduhan yang harus
dia telan bulat-bulat. Menurutnya, tentu bisa didapatnya sedikit keterangan di sana tentang desasdesus yang merebak.
Desa kecil itu tampak lengang ketika Satria
Gendeng tiba. Rumah-rumah gubuk berdiri berjauhan. Satu dua orang penduduk terlihat melintas di
jalan tanah. Seorang bapak setengah baya yang kebetulan
berselisih jalan dengannya disapa.
"Maaf, Pak, aku hendak sedikit bertanya padamu." Sejenak bapak setengah baya itu memperhatikan Satria dengan pandangan menyelidik. Di matanya terpancar bersit keheranan. Jelas dia bertanya dalam hati karena semula
dia menyangka Satria
adalah seorang tua. Namun ketika bertanya, suaranya justru terkesan gagah.
Satria baru menyadarinya ketika bapak setengah baya masih saja menatapinya dari ujung tudung ke ujung kaki. Dengan mengumpat-umpat diri
sendiri dalam hati, bergegas diubahnya suara. Tidak begitu meyakinkan, tapi
lumayan. Satria pun mendapat jawaban. Jika dia ingin
mengetahui tentang kabar burung yang selama ini
tersebar, dia harus menemui seorang tua di tepi Hutan Pemantingan. Menurut bapak setengah baya itu
pula, si orang tua yang harus ditemui Satria layaknya seorang 'kuncen' untuk tempat-tempat tertentu
di Hutan Pemantingan.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan orang
tua itu?" tanya Satria lagi.
Untuk pertanyaan tersebut, Satria tak mendapatkan jawaban memuaskan. Ternyata bapak setengah baya yang ditanya sama sekali tak pernah
mengetahui keberadaan orang tua yang diceritakannya. Bahkan dia mendengar semua itu hanya dari
cerita mulut ke mulut masyarakat sekitar.
Satria geleng-geleng kepala. Dari ribut-ribut
soal benda pusaka, lalu Pertapa Cemara Tunggal,
dan sekarang ada lagi orang tua 'kuncen' Hutan Pemantingan yang semuanya serba tak jelas ujung
pangkalnya. Semuanya serba 'kata orang'.
Namun begitu, Satria tetap mengucapkan terima kasih. Sekarang, dia harus memulai kembali penyelidikan yang makin terasa ngawur.
Sebelum dia beranjak, terdengar ringkikan
tinggi seekor kuda jantan. Ganjilnya, ringkikan kuda itu seperti melayap ke
mana-mana, melompat dari
satu tempat ke tempat lain. Seumur hidup, tak pernah Satria mendengar ada kuda terbang dan sejenisnya. Jadi, kalau bukan kuda terbang yang meringkik-ringkik berpindah-pindah tempat dengan cepat seperti itu, lantas apa" Kuda dedemit" Atau telinganya saja yang sudah sakit"
Telinga si pendekar muda Tanah Jawa sama
sekali tidak sakit. Memang ada suara ringkikan kuda. Tapi itu bukan berasal dari tenggorokan binatang tunggangan, melainkan keluar dari kerongkongan seorang lelaki tua yang terlihat di kejauhan.
Satria Gendeng mengamati.
Orang tua itu berjalan santai. Namun setiap
kali dia melangkahkan kaki, tubuhnya seperti melesat sepuluh langkah. Dan tahu-tahu saja dia sudah
berdiri hanya tujuh depa dari tempat Satria berdiri.
Dari sela-sela celah tudung pandannya, mata
Satria Gendeng mengamati. Lelaki tua yang umurnya mungkin sudah mendekati sembilan puluhan.
Mungkin juga lebih. Keriput di wajah sudah pasti.
Kalau dinilai-nilai, tampangnya seperti seorang
priyayi. Klimis tanpa jenggot. Ada tahi lalat besar seukuran kotoran kadal di
jidatnya. Pakaiannya seperti seorang abdi dalam istana, lengkap dengan
blankonnya. Sapaan pertama untuk Satria Gendeng adalah senyumnya yang mekar sumringah. Sangat ramah, tapi juga lucu. Terutama karena giginya tinggal
sepasang. "Siang anak muda!" ucapnya kemudian.
Di balik tudung, Satria Gendeng dibuat agak
terperangah. Bagaimana dia dapat mengetahui bahwa aku bukan seorang bangkotan seperti dirinya"
Tanyanya membatin. Sungguh tajam pengamatan
orang tua ini. Atau mungkin dia punya pandangan
yang melebihi mata orang biasa" Kalau benar begitu, tentu dia bukan seorang tua
sembarangan, nilai
pendekar muda itu.
"Siang," balas Satria. Tak perlu lagi dia me-nyamarkan suaranya. Termasuk sikap
tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk. Percuma. Kedoknya sudah terbongkar hanya dengan sekali tepuk!
"Apa perlumu padaku, Anak Muda?" tanyanya kembali pada murid dua tokoh kenamaan
Tanah Jawa. Satria dibuat bingung sendiri. Apa perlunya"
Bukankah mereka baru saja bertemu"
Orang tua berblangkon terkekeh geli. Seperti
ringkikan kuda! "Jangan bingung. Bukankah kau
sedang mencari seseorang yang mengetahui tentang
Pertapa Cemara Tunggal?"
Satria pun menduga-duga.
"Kau orang tua 'kuncen' itu?" tanyanya, antara yakin dan tidak.
"Ya!" Lalu si tua berblangkon itu pun terkikik geli. Tetap seperti ringkikan
seekor kuda. Jadi memang benar dugaan Satria sebelumnya. Bukan kerongkokan kuda yang membuat suara itu, melainkan orang tua yang kini dihadapinya.
"Jadi kau mau bertanya apa?"
Mendapat pertanyaan tadi, Satria terbengong
sendiri. Tanpa susah mencari, tahu-tahu saja dia
sudah bertemu dengan orang yang dibutuhkan. Tapi
giliran hendak bertanya, dia malah bingung hendak
mulai dari mana....
"Baik, kalau begitu kau akan kubantu. Kau
ingin mengetahui kebenaran cerita tentang Pertapa
Cemara Tunggal, bukan?" sela orang tua berblangkon. "Iya iya! Benar!"
"Cerita itu benar. Pertapa Cemara Tunggal


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang ada."
"Lalu?"
"Lalu apa" Apa yang hendak kau tanyakan lagi selain itu?"
Satria bingung lagi.
"Mau aku bantu lagi?"
"Boleh boleh...."
Ini jadi menggelikan. Bukankah seharusnya
justru dia yang banyak bertanya. Tapi kenapa malah
sebaliknya" Ah, peduli setan, pikir Satria.
"Kau mau tahu pula apakah Pertapa Cemara
Tunggal pernah mewariskan benda pusaka kepada
seseorang?"
"Ya ya ya. Aku memang mau tahu itu!"
Lelaki tua berblangkon menggeleng.
"Jadi tidak ada benda pusaka itu?"
Lelaki tua berblangkon itu pun menggeleng
lagi. Satria Gendeng melongo. Jadi bagaimana"
"Benda pusaka itu ada. Yang tak benar, Pertapa Cemara Tunggal memberikannya pada orang
persilatan. Beliau tak pernah melakukannya...."
"Jadi, kenapa orang persilatan meributkan
bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah memberikan
benda pusaka pada seorang di dunia persilatan"!"
"Aku tak perlu menjawabnya. Kau bisa mencari tahu sendiri untuk masalah itu."
"Lantas, kenapa pula aku yang jadi sasaran"!"
sentak Satria, terbawa kekesalan selama beberapa
hari belakangan.
"Jangan salahkan aku, Anak Muda!"
Satria melepaskan tudungnya. Dia tidak betah. Membuatnya tidak nyaman sekali. Terutama
saat-saat dia diamuk kejengkelan.
Bersungut-sungut, dia melanjutkan pertanyaan. "Apakah kau tahu orang yang menjadi biang keladi desas-desus ini, Orang
Tua?" "Itu pun kau bisa cari tahu sendiri, Anak Muda. Hei, kau ini masih muda! Tenagamu masih banyak. Jangan kau cuma bisa mengandalkan orang
tua jompo seperti aku ini!"
"O, ya. Aku punya satu pertanyaan lagi,
Orang Tua. Apakah kau pernah melihat seorang lelaki muda berpakaian merah di sekitar Hutan Pemantingan?"
"Kalau yang itu, aku bisa menjawabnya. Aku
memang pernah melihatnya."
Satria Gendeng menggeram seram. Dihantamkannya kepalan ke telapak tangan.
"Itu dia orangnya!" rutuknya tertekan.
Karena suntuk, Satria mengedarkan pandangan ke pepohonan di sekitarnya. Siapa tahu juga dia sedang beruntung dan
langsung menyaksikan lelaki
berpakaian merah.
"Sudah cukup, bukan?" tanya orang tua berblangkon. "Ya, rasanya cukup untuk saat ini," jawab Satria Gendeng seraya mengalihkan
pandangannya kembali ke arah orang yang diajak bicara. Tapi asta-ga, orang itu sudah tak ada
lagi di tempatnya.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda kembali. Ke sana kemari. Melompat-lompat cepat seolah
mengendarai angin.
Selanjutnya, Satria Gendeng dikejutkan oleh
suara lain. Teriakannya terdengar galak dan bernafsu. Ya, yang didengarnya teriakan seseorang. Dan
rasanya suara itu pernah didengarnya sebelum ini.
Satria Gendeng menoleh. Dia terlonjak. Benar-benar apes! Saat dia sedang membuka tudung
dan berdiri wajar tanpa perlu menyiksa diri membungkuk-bungkuk, orang yang memburunya menemukan dirinya. Siapa lagi kalau bukan dua orang
sinting yang tergolong sakti!
"Slompret!" desis Satria sambil cepat-cepat melepas langkah seribunya.
* * * Pertarungan antara Ludah Darah, Hantu Wajah Batu dengan sepasang lawan ganjilnya tak berjalan seimbang. Guru dan murid yang rada kualat itu
lebih banyak menjadikan Ludah Darah dan Hantu
Wajah Batu sebagai bulan-bulanan.
Pada satu gempuran sengit, pasangan rekan
muda itu dibuat terkapar berbarengan di tanah.
"Sekarang kalian tinggal pilih, hendak kubunuh di tempat, atau kalian menyingkir saja dari
tempat ini!" gelak lelaki tinggi besar seperti Bima.
Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu melenguh-lenguh di atas tanah.
"Baik. Kali ini kami mengalah. Namun kami
akan kembali ke tempat ini suatu hari!" keluh Ludah Darah, mengancam. Baginya,
urusan tempat itu belum lagi selesai.
Lalu, dengan tertatih-tatih, dia menyingkir
dari tempat itu bersama Hantu Wajah Batu. Sepeninggalan mereka, lelaki tinggi besar alias Kaladewa bersama muridnya yang tak
juga beranjak dari
ubun-ubunnya tertawa berbarengan.
"Mereka cuma akan menjadi 'anjing' yang
akan menuntun Satria Gendeng pada kita!"
TUJUH Mau menyingkir ke mana kau, Gendeng"!"
sergah seseorang di tengah jalan ketika Satria Gendeng berlari. Orang itu langsung menghadang di depan. Seorang perempuan separo baya bermulut santer. Tidak ada yang menarik pada dirinya. Sebaliknya, bisa dibilang serba membuat mulas. Wajahnya
judes dengan mulut yang lebar dan tipis, berbibir setengah mancung, entah
bagaimana bentuknya. Matanya lebih galak dari milik seekor rubah sakit gigi.
Kulitnya gelap, rambutnya malah serba putih. Sepertinya dia tua sebelum waktunya. Sementara pakaiannya, serba 'wah'. Dari warna sampai potongannya. Merah menyengat, dan terbuka di mana-mana.
Mau buat pakaian atau sangkar burung"
Dia adalah salah seorang yang sedang memburu Satria Gendeng, seorang tokoh wanita dunia
persilatan terhitung dalam jajaran atas golongan sesat. Dia pula yang terakhir
mengejar-ngejar Satria
dengan pasangan gilanya.
"Kau bertemu lagi dengan aku, Pemuda Tampan!" Satria Gendeng merutuk serta mendesiskan dengan wajah sebal julukan
perempuan itu. "Rase Betina...."
"Itu memang julukanku!" ledek wanita yang berjuluk Rase Betina seraya
memperlihatkan senyum lebar yang sok ramah.
Satria berpikir cepat. Sungguh hanya akan
membuatnya susah untuk berhadapan kembali dengan Rase Betina. Cuma buang-buang tenaga saja.
Jalan terbaik baginya segera berbalik badan, sementara jaraknya dengan Rase Betina tak terlalu dekat.
Baru saja hendak membalikkan badan, Satria
sudah dibuat terhenyak kembali. Ternyata hari itu
dia benar-benar dibuat bulan-bulanan oleh keapesan. Di belakang Sana, sudah berdiri pula satu
orang pengejarnya. Tentu saja pasangan Rase Betina
yang sebelumnya meneriaki dia.
Pasangan Rase Betina adalah seorang lelaki
menjelang tua. Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali kepalanya yang lebih besar dari
orang kebanyakan. Dia mengenakan pakaian berwarna buram. Dengan wajah tak mengenal kata damai, lelaki berjuluk Kepala Baja dari Utara itu mendengus.
"Sekali ini, kau tak akan bisa lolos, Satria
Gendeng!" Satria Gendeng meringis tanggung.
Jadi juga dia 'memeras keringat'....
Pasangan golongan sesat yang menghadangnya melangkah satu-satu, mempersempit jarak mereka terhadap Satria. Satria merasa dirinya seperti rusa buduk yang hendak
diringkus hidup-hidup.
"Serahkan saja benda pusaka itu pada kami,"
ancam Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memiliki apa yang kalian minta. Percuma saja kalian memaksaku, tahu"!"
"Jangan bersikeras! Kau hanya akan membuat dirimu celaka!" hardik Rase Betina. Sementara itu jarak keduanya makin
dekat saja pada buruan-nya, Satria Gendeng.
Si pendekar Tanah Jawa mengumpat dalam
hati. Mereka pikir, siapa aku sebenarnya" Cuma
anak korengan yang tak bisa apa-apa" Satria pun
mulai jadi mangkel.
"Kalian ini benar-benar dua cecunguk tua tolol! Begitu gampangnya kalian dibodoh-bodohi...,"
makinya. "Jangan berani sekali lagi kau mengatakan itu
pada kami, Gendeng!" Kepala Baja dari Utara meng-kelap. Keningnya yang lebar
berkerut bagai sehelai
gombal. Parasnya jadi sematang pinggiran koreng.
"Cepat beri kami Tanduk Menjangan Terbang
itu!" pekik Rase Betina, membuat Satria hampir-hampir melonjak kaget.
Apa lagi ini" Dalam hati, Satria bertanyatanya. Tanduk Menjangan Terbang" Sebelumsebelumnya mereka berdua tak pernah menyinggung-nyinggung soal benda yang baru seumur hidup
didengar itu....
"Apa lagi ulah kalian ini" Tanduk Menjangan
Terbang apa yang kalian maksud"!" teriak Satria
Gendeng dengan otot leher tertarik dan wajah berantakan. Mangkelnya makin tak tertolong.
Rase Betina menyeringai.
"Rupanya murid tua bangka Dedengkot Sinting Kepala Gundul pandai berlakon juga," cemoohnya. Darah Satria rasanya sudah
mentok sampai batok kepala. Menuduh-menuduh saja, jangan segala pakai menghina gurunya. Sesinting-sintingnya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tetap gurunya. Tak ada satu orang pun yang diperkenankan
menghina tua bangka itu. Tak juga seekor dedemit!
"Kalian keterlaluan, kalian tahu itu?" geram Satria. Matanya mulai nanar.
"Ya, kami memang keterlaluan, Gendeng. Dan
kami akan lebih keterlaluan lagi jika kau tak segera menyerahkan Tanduk
Menjangan Terbang pada ka-mi!" serobot Kepala Baja dari Utara. Kepalanya yang
kebesaran dan klimis mentereng itu bergerak-gerak
seperti ada kesalahan saraf.
"Tanduk Menjangan Terbang apa"!" sewot Satria. "Itu benda pusaka yang telah kau
rebut dari si Jenggot Perak, Kunyuk Tampan! Apa kau tak ingat?" ucap Rase
Betina, makin menyudutkan.
Satria memukul-mukul kepala dengan kedua
tangannya. "Ini benar-benar gila! Benar-benar gila! Bagaimana kalian begitu yakin kalau benda itu ada
padaku"!"
"Seorang yang menyaksikan kau membunuh
Jenggot Perak telah mengatakan pada kami tentang
semua itu!" lanjut Rase Betina.
Satria menurunkan tangan. Alisnya hampir
bertaut. Apakah Ki Dagul yang telah mengatakan
semua kebohongan ini pada sepasang manusia
slompret yang cuma menyusahkanku" Hatinya bertanya penasaran. Apa mungkin Pengemis Arak berpikiran sejahat itu" Dia mungkin berotak agak tumpul. Tapi untuk memfitnah, tampaknya tak mungkin. "Siapa orang yang kau maksud. Rase Betina?"
selidiknya. "Seorang lelaki muda berpakaian merah! Ah,
untuk apa kujawab pertanyaanmu. Toh, kau sendiri
sudah tahu!"
Dia lagi, dia lagi!
Rahang Satria Gendeng rasanya hendak pecah menahan kegeramannya pada manusia bejat satu itu. Siapa dia sebenarnya" Apa maunya dariku"
Gerutunya membatin.
"Jangan hanya diam begitu, Gendeng! Cepat
serahkan benda itu!" bentak Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memilikinya!"
"Kau memilikinya!"
"Tidak!"
"Memiliki!"
"Tidaaak!"
"Memilikiii!"
"Kalian berdua memang orang gila yang tolol!"
Sampai sudah Satria pada batas kesabarannya. Dia sekarang tak mau lagi peduli apakah harus
terlibat pertarungan dengan kedua pemburunya.
Kepala Baja dari Utara mendengus.
Satria membalasnya dengan dengusan pula.
Rase Betina meludah.
"Cuih!"
"Kalian mau menyerangku atau cuma mau
memelototiku seperti itu"!" ledak Satria. Jadi gila sendiri dia....
* * * Tua bangka tukang mabuk, Ki Dagul, jadi
pusing sendiri mencari-cari Satria Gendeng. Anak
muda itu menghilang seperti kelebatan dedemit kesiangan. Hampir-hampir dia tak bisa percaya kalau
dirinya yang sudah 'kekenyangan' makan asam garam dunia persilatan, ternyata masih bisa dibuat
mati kutu. Sejak melarikan diri darinya, pendekar
muda itu belum pernah lagi diketemukan.
Tak ada satu ekor kunyuk buduk pun di muka bumi yang tak mengetahui bagaimana saktinya
Ki Dagul. Dari ujung bumi ke ujung yang lain, semua orang juga tahu siapa dirinya. Begitu kalau tua bangka ini mau menyombongkan


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Tapi menghadapi pemuda gendeng murid dua tokoh papan atas
Tanah Jawa, Ki Dagul pun mati kutu. Walau si tua
bangka tak akan sudi mengakui.
Sudah dicari-cari ke mana-mana, Ki Dagul
masih juga belum menemukan Satria Gendeng. Jangankan menemukannya, sekadar jejak atau baunya
saja pun tidak.
Ki Dagul pantas jadi kesal.
Karena kelelahan mencari, Ki Dagul memutuskan untuk beristirahat dahulu di bawah sebatang
pohon besar yang cukup rindang. Dilemparnya tubuh ke atas rumput. Dalam keadaan setengah telentang, diteguknya tuak dari dalam guci besar.
"Ilmu apa yang diajarkan Dongdongka pada
murid sialnya itu" Bagaimana dia bisa menghilang
secepat kentut...," gerutunya, jengkel.
Selesai beberapa tegukan, dia menguap lebarlebar. Baunya menebar.
Menyusul matanya terkatup-katup.
Dan tua bangka itu pun tertidur.
Entah beberapa lama Ki Dagul terpulas di
bawah pohon, sampai suatu ketika dia tersentak
oleh sesuatu yang menimpa badannya. Sesuatu
yang berat. "Sambar geledek!" maki Ki Dagul, seraya terhenyak sambil melotot. Di atas
badannya, sudah tertelungkup sesosok tubuh. Beratnya membuat napas
Ki Dagul sesak.
Beberapa saat, mata Ki Dagul terus memelototi sosok tubuh di atas badannya. Terpikir olehnya bahwa siluman penghuni pohon
telah jatuh menimpanya. Setelah pikiran sehatnya mulai berjalan
kembali, barulah dia sadar kalau sesuatu yang menimpanya ternyata memang manusia.
"Kutu busuk, apa-apaan kau ini"!" maki Ki Dagul seraya mendorong kuat-kuat tubuh
orang yang baru menimpanya.
"Kalau hendak tidur, kau bisa cari tempat
lain!" gerutunya lagi.
Tubuh orang tadi terguling ke depan, lalu telentang. Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak
bangkit. Hanya dadanya saja yang tampak turun
naik. "Hei, kenapa kau sebenarnya"!" tukas Ki Dagul. Ketika diperhatikan,
ternyata orang itu dalam
keadaan terluka cukup parah. Pakaiannya berlumur
darah yang hampir mengering. Di antara napas megap-megapnya, terdengar keluhan berat.
Orang itu adalah Hantu Wajah Batu.
Tak lama kemudian, terdengar pula keluhan
berat lain dari balik pohon.
"Siapa pula itu"!" sambar Ki Dagul seraya bangkit sempoyongan.
Dengan penasaran, Ki Dagul beranjak ke balik pohon. Di sana dia menemukan satu orang lain
yang mengalami luka tak kalah parah. Orang itu
tentu saja Ludah Darah. Kekalahan yang harus mereka telan di Hutan Pemantingan memaksa mereka
untuk mencari seorang tabib. Tabib itu diperlukan
untuk mengobati luka dalam mereka yang tampaknya tak bisa diatasi hanya dengan penyaluran hawa
murni biasa. Setelah berjalan cukup jauh dan menyiksa, mereka belum juga menemukan seorang tabib. Tiba di tempat Ki Dagul, tenaga mereka sudah
terlalu banyak terkuras. Mereka pun ambruk.
Berkacak pinggang, tua bangka pemabuk bertanya kembali dengan suara sambar geledeknya.
"Aku bertanya pada kalian, siapa sebenarnya
kalian ini" Kenapa pula kalian berdua"!"
"Tolong kami, Orang Tua. Kami harus menemui seorang tabib...," keluh Ludah Darah.
"Perlu apa kalian dengan seorang tabib?"
tanya Ki Dagul kembali. Pertanyaan tolol yang begitu saja lahir dari otak
seorang pemabuk berat.
Ludah Darah terbatuk-batuk, menyemburkan
darah kehitaman.
"O, ya. Aku lupa. Tentu saja kalian membutuhkan seorang tabib karena kalian terluka, bukan?"
susul Ki Dagul.
Susah payah, Ludah Darah yang bersandar
lunglai pada batang pohon menganggukkan kepala.
"Lalu apa peduliku"!" koar Ki Dagul dengan wajah tersorong-sorong ke depan.
Dengan wajah digelayuti kesebalan, manusia
bangkotan itu malah melenggang, hendak pergi dari
tempat itu. "Urusanku saja belum beres, kenapa pu-la aku begitu tolol hendak
menolong kalian," gerutunya.
* * * Jelas-jelas memang bukan 'pucuk dicinta,
ulam pun tiba' buat Ki Dagul. Tak begitu lama setelah kepergiannya, pemuda yang sedang dikejar-kejar
malah tiba di tempat itu. Coba kalau dia mau sedikit berpikiran baik menolong
Ludah Darah dan Hantu
Wajah Batu, tentu dia tak perlu susah-susah lagi
mengendusi jejak Satria Gendeng.
Satria Gendeng sendiri berhasil meloloskan
diri untuk yang kesekian kalinya dari Rase Betina
dan Kepala Baja dari Utara. Kendati untuk itu dia
harus sedikit peras tenaga dengan menantang mereka bertarung. Pada satu kesempatan dalam pertarungan, pendekar muda itu pun mengecohkan kedua lawannya. Sebelumnya, tak ada niat Satria untuk berhenti di dekat pohon besar tempat sepasang tokoh
persilatan yang menderita luka dalam. Dia justru
sedang bernafsu untuk segera tiba di Hutan Pemantingan. Ketika mendengar suara keluhan dari arah
samping, pendekar muda itu berhenti juga.
Agak curiga dia menoleh. Disaksikannya dua
orang tampak membutuhkan pertolongan. Salah
seorang di antaranya malah sudah nyaris sekarat.
Bergegas Satria mendekat.
"Astaga, apa yang terjadi pada kalian berdua?" tanyanya.
Kalau saja Hantu Wajah Batu tak hampir
mampus saat itu, tentu dia akan langsung menyemprot Satria Gendeng dengan makian. Bukan apaapa, sebelumnya mereka juga mendapat pertanyaan
yang sama dari tua bangka tak punya perasaan. Boro-boro ditolong. Mereka malah ditinggalkan. Sekarang ada lagi yang bertanya seperti itu. Dan kedua
pecundang itu tak yakin orang yang mereka temui
kali ini bersedia menolong mereka. Jangan-jangan
cuma iseng bertanya.
Pertanyaan Satria tidak mendapat jawaban,
kecuali dengan napas Ludah Darah yang terputusputus. Kalau ada yang bisa dilakukannya, cuma melirik Satria dengan pandangan putus asa.
Satria cepat mendekat. Diperiksanya keadaan
Ludah Darah beberapa saat. Tak lama terdengar desisnya. "Kalian terkena pukulan aneh." Dengan suara bagai terjepit di
tenggorokan, Ludah Darah balik
bertanya. "Apa maksudmu?"
Satria menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya menampakkan kengerian.
"Aku sendiri tak mengerti pukulan jenis apa
yang baru saja memakan tubuh kalian dari dalam.
Namun yang kudapati, darah di tubuhmu secara
lambat mulai mengental dan membeku. Mungkin
pada akhirnya nanti, darah di sekujur tubuhmu
akan mengeras. Dan itu tentu saja akan membunuhmu," papar Satria. Sedikit banyak dia memang mengetahui seni pengobatan dari
salah seorang gurunya, Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Terbunuh saja, mungkin tak begitu ditakuti
oleh orang persilatan seperti Ludah Darah. Apalagi
Ludah Darah termasuk seorang berjiwa kekar yang
tak mudah terguncang oleh ancaman maut. Namun
jika dia harus mati dengan darah yang perlahanlahan mengental, tentu saja tak pernah diharapkan.
Sebelum mati, dia akan mengalami siksaan teramat
menyakitkan. Siksaan itu pun tak jelas untuk berapa lama. Bisa saja selama setengah hari, satu hari
atau lebih dari itu. Sementara dia sendiri tak sanggup melakukan apa-apa. Bahkan
dia tak akan bisa
melakukan bunuh diri sekalipun untuk menuntaskan siksaan.
Membayangkan kematian yang mungkin dialami Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, tanpa
sadar sudut bibir Satria Gendeng terungkit ngeri.
"Kalian harus cepat ditolong," katanya lagi.
"Ya, aku memang amat berharap begitu," balas Ludah Darah terbata. Dari mulutnya
mengalir kembali darah yang makin mengental dengan warna
hitam kebiruan.
Satria bertekad menolong mereka. Itu pasti.
Masalahnya sekarang, bagaimana dia harus membawa sekaligus dua orang ke tabib terdekat" Di sisi lain, dia sendiri belum lagi
tahu di mana harus mencari tabib tersebut.
Satria kebingungan.
Dicari-carinya orang lain yang mungkin melintas. Tak ada satu batang hidung pun terlihat. Percuma menunggu orang lain.
Bisa-bisa kedua lelaki
itu malah mampus lebih dahulu. Lalu bagaimana"
Membawa mereka satu-satu pun terlalu sulit. Bisa
saja salah seorang dari mereka yang dibawa belakangan akan menemui ajal.
Jalan terbaik ya cuma membopong mereka
sekaligus! Ini pekerjaan agak gila, timbang Satria. Dia
harus mengangkat dua lelaki yang beratnya mungkin masing-masing tak kurang dari berat tubuhnya
sendiri. Lalu dia akan membawa keduanya mencari
seorang tabib yang tak jelas di mana akan ditemukan. Memang pekerjaan agak gila, dan Satria tidak
peduli. Yang dipedulikannya saat itu hanyalah bagaimana cara menolong mereka. Kalau harus membopong keduanya sekaligus, akan dilakukan!
Karena tak ada jalan lain, Satria pun memutuskan untuk segera menempatkan kedua lelaki
korban pukulan Kaladewa ke bahunya. Baru saja
dia mengangkat tubuh Ludah Darah, didengarnya
langkah-langkah seorang mendatangi tempat tersebut Berkembang lagi harapan Satria. Orang yang
baru datang mudah-mudahan mau membantunya
menolong Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu.
Satria tak jadi menarik napas lega ketika yang
disaksikan orang yang baru datang. Sebaliknya, dia
malah menampar kening sendiri dibarengi rutukan
sebal. "Sebenarnya aku tak punya selera menolong kalian berdua. Cuma saja aku
agak tak tega begitu.
Begini-begini, aku masih punya rasa kemanusiaan,
lho," oceh Ki Dagul, orang yang baru saja muncul.
Untuk kedua kalinya tentunya.
Dan tanpa memperhatikan Satria Gendeng,
langsung saja dipapahnya tubuh Hantu Wajah Batu,
lalu ditempatkan ke bahunya yang sekurus ranting
kering. Kendati kurus dan tak meyakinkan bisa
mengangkat sekadar kantong nasi kering, nyatanya
dia dengan enteng membopong Hantu Wajah Batu.
"Ayo, kau jangan bengong begitu! Kita harus
segera membawa mereka ke tabib, biar mereka tak
mampus dan lebih merepotkan kita karena harus
mengubur keduanya!" sambarnya sambil melangkah ringan. Satria bengong sendiri.
Kok bisa dengan tiba-tiba Ki Dagul melupakan persoalan mereka berdua"
Bukankah sebelumnya manusia lapuk itu mengejarngejarnya seperti babi hutan sinting" Lalu sekarang apa yang keliru"
Sampai Ki Dagul sudah beranjak beberapa
langkah dengan berlari-lari kecil, Satria masih saja terpaku.
"Cepuaaat kau! Kenapa masih saja terdiam di
sana!" bentak Pengemis Arak sambil menoleh ke belakang kembali.
Dan dengan tiba-tiba saja wajahnya berubah.
Matanya mendelik besar-besar. Hidungnya seperti
hendak melompat ke atas saking terperanjat menyaksikan wajah Satria Gendeng.
"Kutu buduk, rupanya kau!" perangahnya
dengan urat leher tertarik. Rupanya, dia baru menyadari siapa orang yang membopong Ludah Darah.
Memangnya, ke mana saja pikirannya sejak tadi"
Satria sendiri meringis. Urusan bakal tambah
runyam. Dia cukup kenal orang tua macam apa Ki
Dagul. Keras kepalanya tak kepalang tanggung. Kalau maunya begitu, ya harus begitu. Repotnya, kalau dia mulai mengungkit-ungkit
kembali soal kematian
Jenggot Perak. Padahal, saat itu mereka harus cepat membawa Ludah Darah dan
Hantu Wajah Batu ke
tabib. Namun apes pun kenyataannya menimpa
Hantu Wajah Batu terlebih dahulu. Tanpa tedeng aling-aling, Ki Dagul lantas saja melempar lelaki sekarat itu, seolah-olah hanya
sekarung singkong!
"Sekarang kau tak akan kubiarkan lolos lagi,
Kutu Buduk!" geram Ki Dagul sambil melangkah garang ke arah Satria Gendeng.
Wajah perangnya terpasang.
"Tungguuu!" teriak Satria, nyaris kelimpungan saat bangkotan itu mulai punya
gelagat hendak menerkamnya. "Tunggu apa" Apa kau pikir aku harus menunggu sampai kau mengizinkan aku meremukkan
batok kepalamu"!"
"Bukan begitu, Orang Tua! Kita harus membawa dua orang ini ke tabib. Mereka dalam keadaan
genting!" "Ah, kau cuma cari alasan!"


Satria Gendeng 21 Pertapa Cemara Tunggal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sungguh!"
"Diam kau!"
Ki Dagul mulai bersiap lagi. Wajahnya dipasang garang-garang.
"Begini saja! Kau membantuku membawa mereka berdua ke seorang tabib. Setelah itu, aku bersedia diapakan saja olehmu!" cegah Satria kembali.
Ki Dagul mencibir.
"Kau cuma mau mengibuli aku, bukan?"
"Apa aku harus bersumpah demi nenek
moyangku dan nenek moyangmu?"
"Sudah kubilang sejak awal, jangan bawabawa nenek moyangku!"
"Kalau begitu, kau harus percaya aku! Lihatlah keadaan mereka. Mereka benar-benar membutuhkan seorang tabib ahli."
Ludah Darah di bahu Satria terbatuk-batuk.
Dari mulutnya termuntah kembali darah kental hitam kebiruan. Sebagian pakaian Satria Gendeng
ternodai. Kebetulan Ki Dagul menyaksikan. Tua Bangka itu menjadi ngeri juga. Bibirnya meringis, memperlihatkan sepasang gigi pusakanya.
"Sekarang kau percaya?" tanya Satria.
"Aku percaya mereka memang terluka dalam
parah. Tapi apa peduliku" Mereka mau modar, silakan saja! Apa mereka adikku" Bukan! Saudaraku,
kerabatku" Bukan! Mereka juga bukan hewan peliharaan sama sekali. Jadi, apa peduliku"!" sewot Ki Dagul, mendelik-delik,
mencak-mencak pula.
"Tapi... tapi...," Satria kehabisan kata-kata.
Sehimpun kalimat sambar geledek yang termuntah
dari conger manusia bangkotan itu seperti menyumpal mulutnya. "Sekarang kau bersiaplah!" Satria Gendeng blingsatan.
"Tunggu! Tunggu dulu! Apa tak sebaiknya kau
memeriksa keadaan mereka dulu" Bisa jadi mereka
terkena pukulan dari salah seorang musuh lamamu!" cerocos Satria, sekenanya. Pokoknya yang terlintas di benaknya, itu yang diucapkan. Yang penting, tua bangka yang sedang 'angot' itu bisa dicegah.
Entah dapat keajaiban dari mana, Ki Dagul
mendadak jadi jinak. Kening berkeriputnya terlipat.
"Kau benar juga...," gumamnya, tangannya
tak jadi memainkan kembangan jurus.
Satria menarik napas lega.
Fhuih.... Ki Dagul mendekati Hantu Wajah Batu. Daripada Ludah Darah, keadaan lelaki itu jauh lebih
mengkhawatirkan. Tepat seperti kata Satria sebelumnya, darah dalam tubuh Hantu Wajah Batu
tampaknya terus mengental, hingga alirannya mulai
tidak beres. Di dekat Hantu Wajah Batu, Ki Dagul berjongkok. Tangannya memeriksa dada Hantu Wajah Batu beberapa saat. Ada gumaman keluar dari mulutnya. Selang sekian saat kemudian, tua bangka itu
terhenyak. "Gila, gila!"
"Apa yang gila! Siapa yang gila?" sergah Satria, turut terperanjat.
"Aku kenal dengan pukulan ini!" susul Ki Dagul. Dia pun bangkit dengan wajah
mengeras. Tam- pak jelas dia baru saja mengetahui sesuatu yang
mengusik benaknya dan membuatnya menjadi gusar. "Jelaskan padaku, Orang Tua?" serbu Satria, terbawa kegusaran Ki Dagul.
Bukannya cepat menjawab, Ki Dagul malah
melepaskan pandangan jauh ke depan. Pancar matanya begitu pekat, terisi oleh ingatan masa lalu
yang cukup membekas dalam benaknya.
Satria bisa merasakan itu.
DELAPAN WAKTU itu senja baru saja turun memeluk
bumi. Matahari menguning di kejauhan sebelah barat. Dari arah berlawanan dengan tenggelam-nya
mentari, seorang lelaki tinggi besar melangkah pasti ke arah timur.
Lelaki itu adalah Kaladewa. Sebenarnya, dia
bukanlah tokoh persilatan yang memiliki julukan
kesohor. Hanya beberapa kalangan saja yang mengenalnya dengan sebutan Pertapa Karang Wesi. Sesuai julukannya, Kaladewa adalah seorang pertapa
yang selama bertahun-tahun mendiami sebuah bukit karang bernama Karang Wesi di sekitar Pantai
Utara. Suatu kali, dengan tiba-tiba Kaladewa meninggalkan tempat pertapaannya tersebut. Bertapa
selama bertahun-tahun di sebuah lubang karang
yang selalu diterjang ombak jika pasang, dan digenangi air laut jika surut, membuat tubuhnya ditumbuhi ganggang dan karang. Hampir sekujur kulitnya
menjadi buruk. Hanya bagian kepala saja yang luput. Keadaannya yang terlihat mengerikan itu tidak
dipedulikan sama sekali oleh Kaladewa. Dia pergi ju-ga meninggalkan Karang Wesi.
Letak Karang Wesi yang menjorok ke tengah
samudera, membuat Kaladewa harus menyeberanginya jika hendak ke daratan. Keadaan itu tidak menyulitkan baginya. Tak percuma telah bertapa selama bertahun-tahun, Kaladewa pun melompatlompat dengan kaki telanjang di atas permukaan
laut, seolah meniti ombak!
Tujuannya ke daratan adalah untuk mencari
tiga tempat yang dianggap keramat sesuai wangsit
yang diterimanya pada puncak tapa. Menurut wangsit yang didapatnya pula, dengan bertapa di ketiga
tempat itu selama waktu yang ditentukan, maka satu ilmu kanuragan akan sempurna menjadi darah
dagingnya. Ilmu kanuragan itu selama ini tak pernah dimiliki oleh siapa pun, pada masa apa pun di
dunia persilatan.
Tempat pertama yang harus dituju oleh Kaladewa adalah sebuah daerah yang memiliki celah tebing. Di mana masing-masing tebing harus setinggi
lima puluh depa dan arah tebingnya tepat pada lintasan matahari, memanjang dari timur ke barat.
Di sana dia harus bertapa sekitar sepuluh
purnama pada sebuah gua di sisi kanan tebing.
Untuk tujuan pertama, Kaladewa harus
menghadapi masalah yang tidak enteng. Dia harus
menghadapi si pemilik gua, seorang perempuan tua
sakti golongan sesat pemakan sumsum. Julukan
nenek sakti itu Peri Taring Emas.
Peri Taring Emas sendiri adalah perempuan
tua teramat bengis. Wajahnya sulit dibedakan dengan seekor macan hitam. Yang lebih mengerikan lagi, pada mulutnya tumbuh sepasang taring seukuran jari manusia berwarna emas.
Pertarungan amat hebat terjadi antara mereka. Pertarungan habis-habisan yang memakan waktu sehari semalam tanpa henti. Kaladewa yang telah
dibekali oleh kesaktian tinggi hasil tapanya selama
ini berhasil mengalahkan Peri Taring Emas. Nenek
sesat sakti itu menyingkir dari tempatnya entah kemana. Sejak saat itu, Kaladewa pun memulai tapa
pertama untuk mendapatkan ilmu baru. Sepuluh
purnama terlampaui. Sekeluarnya dari gua, Kaladewa semakin bertambah mandra guna. Selanjutnya
dia harus pergi ke tempat kedua. Tempat itu berada
di kawasan pesisir selatan. Kaladewa harus mencari
sebuah sumur teramat tua berusia ratusan tahun.
Bentuk sumur tua tersebut amat aneh, karena memiliki tiga cabang lubang yang menjorok ke arah timur dan barat, ditambah satu lubang di antara keduanya. Sumur itu disebut orang Sumur Maut Berbisa. Di dalam sumur itu, seorang tokoh gila yang
tak kalah sakti dengan Peri Taring Emas tinggal.
Penghuninya adalah seorang teramat tua
yang telah menempati sumur selama seratus lima
puluh tahun. Tak ada yang mengetahui nama sebenarnya. Hanya kalangan persilatan menjulukinya,
Siluman Ular, karena seluruh tubuhnya bersisik dan
berlendir. Tepat di tengah-tengah lubang sumur, Siluman Ular selalu tidur dalam posisi berdiri. Sementa-ra pada dua lubang lain yang
menjorok ke arah timur dan barat, terdapat ratusan ular berbisa dari
segala jenis. Selain harus bertapa selama sepuluh purnama kedua di tempat itu, Kaladewa pun harus memakan seluruh ular berbisa di dalam sumur selama
Geger Dunia Persilatan 1 Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 9

Cari Blog Ini