Ceritasilat Novel Online

Pertunangan Berdarah 1

Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU PAGI baru menginjak usia muda. Berkawal
kokok ayam jantan, roda kehidupan mulai menapak. Sisa-sisa embun mulai terusir oleh jilatan
sinar keperakan matahari yang menyembul malumalu di garis Bukit Munthang. Sebagian sinar
matahari menyirami Kadipaten Ponorogo yang
mulai menggeliat oleh kesibukan para penduduknya. "Heaa...! Heaaa...!"
Dan keheningan pagi pun tergempur oleh
teriakan seseorang yang memacu kencang kudanya. Membelah jalan utama kota kadipaten,
membuyarkan beberapa pedagang maupun petani
yang berjalan bergerombol menuju tempat usahanya masing-masing.
Tak ada sumpah serapah yang keluar, kecuali hanya menggeleng-geleng kepala sambil
mengelus dada. Sebab, mereka tahu, siapa si penunggang kuda. Warok Darmo Singo!
Dia dikenal sebagai adik Warok Singo Lodra, jawara tak tertandingi di Kadipaten Ponorogo ini. Kendati ilmunya masih di
bawah Warok Singo
Lodra, tapi Warok Darmo Singo justru lebih dikenal karena ulahnya yang ugal-ugalan.
Wajahnya lebar. Tarikan rahangnya kekar.
Kumisnya lebat dengan cambang juga lebat.
Jenggotnya tak ubahnya sarang lebah. Memanjang ke bawah. Pancaran matanya tajam, memancarkan ketegasan sikapnya.
Pakaiannya komprang warna hitam tanpa
dikancingi. Sepertinya dia hendak memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu lebat. Celananya juga komprang berwarna sama.
Si penunggang kuda berusia sekitar tiga
puluhan itu seperti tak ingin peduli. Kudanya terus digebah kencang. Mengarak
debu tinggi dan
panjang. Tubuhnya seperti terlonjak-lonjak, seirama dengan derap langkah kuda yang membentak-bentak. Pakaian hitamnya berkibaran, diterabas angin pagi.
Kelihatannya, Warok Darmo Singo tengah
terburu-buru. Itu terlihat dari sikapnya yang seperti tak peduli dengan keadaan
sekitar. Kudanya yang megap-megap nyaris kehabisan napas terus
dipacu makin kencang.
Di sebuah rumah besar, Warok Darmo Singo menarik tali kekang. Kuda meringkik seraya
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Ketika kuda tenang, Warok Darmo Singo melompat turun. Dituntunnya kuda memasuki halaman. "Kang! Kang Singo!" teriaknya, lantang.
Menyentak keheningan pagi merekah. Memaksa si
penghuni rumah untuk keluar tergopoh-gopoh.
"Ah, kukira siapa" Kenapa kau berteriakteriak seperti orang kesurupan begitu, Darmo"!"
seru seorang lelaki berpakaian sama dengan Warok Darmo Singo. Wajahnya pun dihiasi brewok
lebat, hanya saja jenggotnya lebih panjang dan
sudah dihiasi warna putih. Rambutnya juga sudah berwarna dua. Usianya sekitar lima puluh
enam tahun. Dialah Warok Singo Lodra, kakak kandung
Warok Darmo Singo.
"Gawat, Kang! Gawat!" terabas Warok Dar-mo Singo.
"Apa yang gawat, Darmo. Katakan, jangan
berbelit-belit!"
Sebelum menjawab, Warok Darmo Singo
menyerahkan tali kekang kuda kepada seorang
pemuda pengurus kuda. Hendak dibawanya kuda
berwarna putih belang hitam itu ke istal di belakang rumah.
"Kudengar, Warok Jogoboyo akan menikahkan anaknya dengan putra Adipati Ngawi.
Bukankah Nawangsih keponakanku sudah berhubungan lama dengan Senoaji" Malah kudengar
kau akan segera menikahkan mereka?" cerocos Warok Darmo Singo.
"Kau tidak sedang bergurau, Darmo?"
tanya Warok Singo Lodra. Perlahan saja suaranya, tapi penuh tekanan. Bahkan mendadak
wajahnya menjadi merah bagai terbakar. Jantungnya jadi berdegup kencang, menanti jawaban
adik kandungnya.
"Buat apa aku terburu-buru ke sini kalau
hanya untuk bercanda?"
"Edan..., edan! Keparat! Kenapa Adipati
Ngawi jadi melenceng begitu" Bukankah dia sendiri yang berkirim surat kepadaku kalau akan
meminang Nawangsih anakku" Hhmmmhh...!
Mau taruh di mana mukaku kalau dia merubah
rencananya"! Menjilat ludah sendiri itu namanya!" dengus Warok Singo Lodra, menggeram hebat. Dadanya bergerak cepat turun
naik, menahan guncangan amarah yang menggelegak,
nyaris hendak meledakkan kepalanya.
"Kakang harus bertindak. Kasihan Nawangsih kalau sampai tahu. Kalau hal ini sampai
terjadi, sama saja wajah Kakang tercoreng tai sa-pi!" Warok Darmo Singo
mengompori. "Kalau kata-katamu benar, akan kuhabisi
Adipati gemblung itu!" desis Warok Singo Lodra.
"Kenapa Kakang tidak menghabisi Warok
Jogoboyo sekalian?" timpal si adik kandung.
"Aku tidak berurusan dengannya!"
"Tapi pasti dia penyebabnya!"
"Kenapa bisa begitu?"
"Bisa saja Warok Jogoboyo sengaja menanam budi pada Adipati sialan itu. Lalu Warok Jogoboyo sengaja menawarkan anaknya. Karena
merasa berhutang budi, Adipati sialan itu bersedia menjodohkan anaknya dengan anak Warok
Jogoboyo. Dan itu berarti, Warok Jogoboyo memang sengaja ingin menghina Kakang!"
Warok Singo Lodra manggut-manggut. Masuk akal juga kata-kata adik kandungnya. Dan
dadanya pun kian bergemuruh. Kasar, tubuhnya
berbalik. Lalu langkah berdebamnya diarahkan ke
dalam rumah. Sementara, segaris senyum samar terlihat
di bibir Warok Darmo Singo. Sebuah senyum yang
mengandung banyak makna dan sukar ditafsirkan. Lalu dia ikut melangkah, masuk ke dalam
rumah kakak kandungnya.
* * * Kadipaten Trenggalek pada waktu yang
sama. Sebuah rombongan berkuda memasuki halaman rumah besar di pinggiran kadipaten. Dari
pakaian dan umbul-umbul yang dibawa, menyiratkan kalau rombongan itu berasal dari Kadipaten Ngawi. Mereka adalah para prajurit kadipaten Ngawi yang tengah mengawal
sebuah kereta berkuda, berisi peti-peti berbagai ukuran.
Di depan pintu rumah besar itu telah berdiri menunggu seorang lelaki berperawakan tambun. Wajah bulatnya dipenuhi brewok lebat. Alis
matanya tebal, memayungi matanya yang mencorong tajam. Pakaiannya berwarna hitam komprang, tanpa dikancingi. Seolah ingin memamerkan bulu-bulu lebat di dada bidangnya. Rambutnya yang panjang ditutupi blangkon hitam.
Dialah Warok Jogoboyo. Jawara tak tertandingi di sekitar Kadipaten Trenggalek. Sejak diwi-suda dari perguruannya, lelaki
berusia enam puluh tahun ini langsung memilih Trenggalek sebagai daerah yang dijaganya, meski asalnya dari
Kadipaten Ngawi.
Di belakang Warok Jogoboyo berdiri sepuluh orang lelaki lain. Semuanya mengenakan surjan lengkap dengan kain batik dan blangkon.
"Selamat datang..., selamat datang di kediamanku, Panglima Adi Kencono," sambut Warok Jogoboyo begitu seorang lelaki
berpakaian panglima kadipaten turun dari kudanya.
"Terima kasih, Kangmas Warok Jogoboyo.
Kanjeng Adipati titip salam sejahtera buatmu,"
balas lelaki gagah bernama Adi Kencono. Melihat
pakaian yang disandangnya, dia memang berpangkat panglima kadipaten.
"Terima kasih..., terima kasih...."
"Kami diutus oleh Kanjeng Adipati untuk
menyerahkan mas kawin bagi Ratna Kumala, putri Kangmas. Untuk itu, mohon diterima," jelas Panglima Adi Kencono. Lalu
kepalanya memberi
isyarat pada para prajurit yang menyertainya.
Dua puluh prajurit Kadipaten Ngawi langsung melompat dari punggung kuda masingmasing. Tanpa banyak cakap, segera dibongkarnya muatan kereta berkuda.
Warok Jogoboyo pun memberi isyarat pada
sepuluh orang di belakangnya untuk membantu
menerima peti-peti dari tangan para prajurit. Untuk selanjutnya, peti-peti itu
dibawa masuk ke
dalam. "Mari kita berbincang-bincang di dalam, Panglima," ajak Warok Jogoboyo.
Sambil sedikit membungkuk, jempol tangan kanannya menunjuk ke arah pintu
rumahnya. "Mari.... Kebetulan aku cukup lelah setelah
menempuh perjalanan satu hari satu malam."
Kedua lelaki itu segera melangkah gagah.
Keduanya memasuki rumah besar selagi para bawahannya sibuk mengangkuti peti-peti.
* * * "Kanjeng Adipati mengucapkan terima kasih pula. Karena pertolongan Kangmas Warok Jogoboyo sewaktu terjadi perampokan atas diri Kanjeng Adipati di Hutan Wonocolo purnama lalu.
Tanpa pertolongan Kangmas, rasanya kami akan
kehilangan Junjungan kami," buka Panglima Adi Kencono.
Di ruang tengah mereka duduk berseberangan, dibatasi sebuah meja bulat yang di atasnya tersaji bermacam-macam buah-buahan dan
makanan ringan. Dua cangkir teh manis juga telah tersaji. "Ah, itu hanya kebetulan, Panglima. Kebetulan aku lewat di Hutan Wonocolo setelah menengok keluarga di Kadipaten Ngawi," sahut Warok Jogoboyo, merendah.
"Tapi biar bagaimanapun jasamu perlu diberi ganjaran, Kangmas. Oleh sebab itu, Kanjeng
Adipati tak ragu-ragu lagi menjodohkan putra
tunggalnya dengan putrimu, Kangmas," tegas
Panglima Adi Kencono.
Warok Jogoboyo tersenyum lebar. Terselip
rasa bangga di hatinya. Betapa tidak" Kendati
memiliki kedigdayaan, belumlah lengkap bila belum menjadi keluarga ningrat. Sedikitnya, berbesanan dengan keluarga ningrat. Artinya, derajat
keluarganya akan terangkat.
"Tapi apa benar kalau perampokan itu didalangi oleh Warok Singo Lodra?" usik Panglima Adi Kencono.
"Benar tidaknya, perlu dibuktikan lagi,
Panglima. Aku tak ingin membenarkan, juga tak
ingin menyangkal. Biar bagaimanapun, Warok
Singo Lodra adalah kakak seperguruanku di Padepokan Gunung Wilis. Aku tahu betul watak dan
sikapnya. Jadi, rasanya mustahil kalau kakak seperguruanku bertindak begitu," papar Warok Jogoboyo.
"Lantas, kenapa terbetik berita kalau Warok Singo Lodra yang jadi dalangnya?" kejar sang Panglima.
"Itu hanya pengakuan segelintir para perampok yang berhasil kutewaskan sebelum mereka mati. Sayang, sebagian perampok berhasil melarikan diri masuk ke dalam hutan."
"Kalau benar Warok Singo Lodra dalangnya?" Wajah Warok Jogoboyo kontan berubah.
Sederhana saja kalimat yang dilontarkan Panglima Adi Kencono, tapi terasa sengak terdengar di
kuping lelaki penuh brewok itu. Biar bagaimanapun, dia tak mau berprasangka buruk terhadap
kakak seperguruannya. Semuanya harus dibuktikan lebih jelas lagi. Tak cukup hanya berasal dari mulut para perampok. Siapa
tahu itu hanya fitnah belaka. Melihat perubahan wajah lelaki brewok di
hadapannya, Panglima Adi Kencono jadi tak enak
hati. Sedikitnya, dia telah menyinggung perasaan Warok Jogoboyo. Tapi itu memang
bagian tugasnya untuk menanyakan lebih jauh tentang orangorang yang hendak mencelakakan junjungannya.
"Kurasa waktunya belum tepat untuk menanyakan hal ini padamu. Maafkan aku, Kangmas. Tapi mohon mengertilah. Ini juga sebagian
dari tugasku. Sekali lagi, aku mohon maaf," ucap Panglima Adi Kencono, lirih.
Sikapnya jadi serba salah. Sejumput senyum di bibir Warok Jogoboyo
tak cukup mengobati rasa tidak enak hatinya.
Kekakuan pun terjadi. Tak ada yang bersuara. Hening. "Kalau begitu, aku mohon pamit, Kangmas.
Kurasa urusanku di sini telah selesai," buka Panglima Adi Kencono. Kekakuan yang
terjadi mem-

Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buatnya tak betah duduk di sini. Pantatnya pun
sudah terasa panas.
"Yah, baiklah. Sampaikan sembah hormatku pada Kanjeng Adipati. Katakan kalau
tanggal dan hari baiknya pernikahan putra-putri
kami akan dibicarakan lebih lanjut. Sebab, hari
yang telah ditentukan Kanjeng Adipati kurasa
masih belum cocok dengan hari pasaran anakku,"
ujar Warok Jogoboyo.
"Oh, tentu. Tentu. Semuanya akan aku
sampaikan."
* * * "Siapa mereka, Ayah?" Seorang gadis muncul tiba-tiba di belakang Warok Jogoboyo yang
masih berdiri di beranda, memandangi utusan
Kadipaten Ngawi yang telah lenyap dari pandangan. Warok Jogoboyo berbalik. Bibirnya tersenyum, memandangi wajah cantik berkulit putih
bersih. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Hitam berkilatan, benar-benar dirawat secara telaten. Kedua matanya indah berbinar, bak bintang
kejora. Dialah Ratna Kumala, putri tunggal Warok Jogoboyo.
"Mereka utusan Adipati Ngawi, Ratna," jawab lelaki tambun ini.
"Ada apa mereka kemari?"
"Menyerahkan mas kawin."
"Buat siapa?"
Warok Jogoboyo tak menyahut. Dia memang belum menceritakan secara terus terang
pada putrinya. Keputusan adipati memang mendadak. Begitu sang warok menyelamatkannya,
langsung saja dia menyatakan akan menjodohkan
putranya dengan Ratna Kumala. Terutama, setelah timbul dugaan kalau Warok Singo Lodra terlibat dalam perampokan atas diri adipati.
Sang warok tak bisa menampik. Penolakan
berarti sebuah penghinaan bagi seorang adipati.
Namun untuk mengutarakan pinangan itu pada
Ratna Kumala, justru Warok Jogoboyo tak memiliki keberanian. Tak dipungkiri, hatinya memang senang bila anaknya berjodoh
dengan anak adipati. Bukankah itu sebuah kebanggaan tersendiri"
Tapi bagaimana dengan Ratna Kumala sendiri"
Apakah anak satu-satunya ini bersedia"
' Buatmu, Anakku," jawab Warok Jogoboyo,
tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan. Tekadnya sudah bulat untuk menceritakan semuanya terhadap Ratna Kumala.
"Buatku" Maksud Ayah, Adipati yang sudah tua itu ingin melamarku" Sudah tua-tua begitu masih suka daun muda?" cekat Ratna Kuma-la lugu.
"Bukan buat Adipati sendiri, tapi buat
anaknya. Senoaji," jelas Warok Jogoboyo.
"Lho" Bukankah Kangmas Senoaji akan
menikah dengan Mbakyu Nawangsih, putri kakak
seperguruan Ayah sendiri" Kok tiba-tiba aku disuruh menikah dengannya?" tuntut Ratna Kumala.
Ada rasa suka di hatinya, jika nanti akan bersanding dengan Senoaji yang memang sudah dikenalnya. Tapi di sisi lain, ada rasa tak enak karena dia harus merebut kekasih
orang. Dan orang
itu amat dikenalnya.
"Sudahlah, Ratna. Itu urusan orang tua.
Aku tahu, kau tak enak hati dengan Mbakyumu
Nawangsih. Tapi, itu sudah diatur oleh Adipati
Ngawi. Berdoa saja, mudah-mudahan urusan ini
jadi lancar," ujar Warok Jogoboyo. Disembunyi-kannya apa yang sesungguhnya
terjadi, kenapa
Adipati membatalkan pinangannya terhadap Nawangsih. DUA TIDAK...! Tidak mungkin...! Kangmas Senoaji sudah berjanji menikahiku! Tak mungkin
kalau dia memperistri gadis lain!" Keheningan terkoyak. Jeritan melengking
memilukan mendadak sontak membuat penghuni rumah Warok
Singo Lodra terhenyak. Kecemasan pun merebak.
Kecemasan yang selama ini dikhawatirkan oleh
Warok Singo Lodra dan istrinya.
Dan malam itu, rumah Warok Singo Lodra
pun gaduh. Seluruh penghuni rumah tergopohgopoh mendatangi sebuah kamar. Warok Singo
Lodra dan Nyai Gembili istrinya, berada paling
depan dengan wajah disaput kecemasan.
"Nduk.... Buka! Buka pintunya, Nduk....
Ada apa...?" Nyai Gembili menggedor-gedor pintu kamar anaknya.
"Iya, Nduk.... Buka pintunya," sambung Warok Singo Lodra.
Beberapa pelayan lelaki dan wanita hanya
saling berpandangan di belakang Warok Singo
Lodra dan istrinya. Lalu kepala mereka menunduk saat Warok Singo Lodra menoleh ke belakang. Seolah, mereka takut disalahkan.
Tak ada sahutan, kecuali tangis sesenggukan dari dalam kamar.
"Nduk.... Kenapa kau menangis..." Buka
pintunya, Nduk. Ayo, Ibu mau melihat keadaanmu...," desak Nyai Gembili lagi.
"Hi hi hi.... Oh, Kangmas Senoaji.... Kita
akan segera menikah, ya Kangmas.... Bukankah
kau sudah berjanji begitu..." HI hi hi... La la la....
Aku akan menikah.... La la la.... Horee...!"
Di luar kamar, semua orang jadi berpandangan. Kenapa tiba-tiba tangisan barusan berubah jadi tawa campur tetembangan" Apakah Nawangsih sudah gila" Begitu dugaan yang muncul
di benak mereka. Separah itukah Nawangsih" Lagi pula, siapa yang membocorkan rahasia kalau
putra Adipati Ngawi yang bernama Senoaji akan
menikah dengan gadis lain"
Warok Singo Lodra lantas berbalik. Mata
tajamnya langsung merayapi para pelayannya.
Satu persatu. Para pelayan pun tak kuasa menentang tatapan sang majikan. Satu persatu pula
mereka kembali menundukkan kepala.
Dugaan buruk tergambar di benak sang
Warok terhadap perubahan sikap anaknya. Tapi,
siapa yang membocorkan rahasia yang sudah disimpannya rapi selama beberapa hari" Tanyanya,
tak habis pikir. Mendengar ocehan-ocehan tak karuan dari bibir Nawangsih di kamar, Warok Singo
Lodra yakin kalau telah terjadi sesuatu terhadap diri anaknya.
Kegeraman pun memuncak. Dada pun bergolak. Sementara napas jadi sesak.
"Hih!"
Braakk...! Sekali menyentakkan kedua tangannya,
Warok Singo Lodra mendobrak pintu kamar Nawangsih. Begitu terkuak, Nawangsih terlonjak.
"Oh..., Kangmas Senoaji.... Kutunggutunggu akhirnya kau datang juga...." Nawangsih langsung menubruk ayahnya
sendiri. Dalam bayangannya, Warok Singo Lodra tergambar sebagai wajah Senoaji, putra Adipati Ngawi.
"Sadar, Nduk.... Sadarlah.... Aku ayahmu...," bujuk Warok Singo Lodra. "Lihat, ini Ibu-mu...." Warok Singo Lodra
segera melepaskan pelukan erat anaknya. Nawangsih terkesiap sesaat.
Sebagian pikiran warasnya mulai bekerja kembali.
Lalu, tangisnya pun meledak saat itu juga.
Nyai Gembili begitu trenyuh melihat keadaan anaknya. Dipeluknya erat-erat Nawangsih.
Tangisnya pun tak terbendung lagi. Air mata makin deras bergulir di pipinya.
"Duh, Gusti.... Dosa apa yang telah kami
perbuat, sehingga Kau menurunkan cobaan yang
demikian berat...," keluh Nyai Gembili.
Di tempatnya, Warok Singo Lodra terpaku
dalam kegeraman. Kembali dia teringat dengan
kata-kata adiknya bahwa Warok Jogoboyo memang sengaja menghinanya. Tapi apa mungkin"
Sebab, dia tahu betul watak adik seperguruannya
yang selalu menghormatinya. Warok Singo Lodra
waktu itu memang tidak ingin langsung percaya
pada laporan adik kandungnya, Warok Darmo
Singo. Dia tak ingin bertindak gegabah karena
hanya laporan sepihak. Ingin dilihatnya dulu perkembangan selanjutnya.
Tapi apa yang terjadi ternyata sungguh di
luar perkiraannya. Ibarat jatuh, dia langsung tertimpa tangga. Sudah malu
lantaran Nawangsih
gagal dipinang Senoaji, kini Nawangsih malah jadi gila. Dan itu rasanya sudah
cukup untuk mempercayai kata-kata adik kandungnya. Artinya, dia harus melabrak
Warok Jogoboyo, kendati sebagai
adik seperguruannya sekalipun.
"Bangsat! Tunggu pembalasanku, Jogoboyo! Semua ini karena ulah mu!" sentaknya, seraya memukulkan tinju kanan kiri
ke telapak tangan kanan. Urat lehernya mengembung. Gerahamnya berkerut-kerut. Wajahnya tegang dengan
mata nyaris melompat keluar.
"Kakang.... Kenapa Kakang menyalahkan
Adi Jogoboyo" Ingat, Kakang. Dia adik seperguruanmu!" Ingat Nyai Gembili di antara isaknya.
"Persetan dengan adik seperguruan! Dia telah mencoreng mukaku dengan arang! Apakah dia
tidak tahu kalau Nawangsih akan dilamar Adipati
Ngawi" Eh, dia dengan seenaknya malah menerima lamaran Adipati sialan itu! Mestinya kan dia
bisa menolak! Setan alas!"
"Mungkin Adi Jogoboyo terpaksa, karena
tak mungkin menolak perintah," kata Nyai Gembili lagi. "Tidak! Mestinya dia
lebih menghargai aku daripada adipati sialan itu. Hhmmm! Setan alas!
Tunggu, Jogoboyo! Kau harus mati di tanganku!"
* * * Bulan sepotong menggantung di angkasa.
Sinarnya tak mampu menyirami bulan, terkepung
oleh gumpalan awan hitam berarakan. Alam seperti mati. Angin pun seolah tak mampu mengusir awan hitam yang begitu pekat.
Dalam gerak lamat, sepuluh orang berpakaian hitam mengendap-endap di sekitar rumah
Warok Jogoboyo. Kesepuluh orang itu lantas menyebar. Tiga ke belakang rumah, dua ke samping
kanan, dua ke samping kiri, dan sisanya bergerak ke depan.
Di depan pagar tembok rumah Warok Jogoboyo bagian depan, dua orang yang juga menutupi kepalanya dengan kain hitam kecuali bagian
mata itu merapatkan tubuhnya ketika tiga orang
penjaga rumah bergerak menuju halaman. Menahan napas, keduanya bersiap siaga. Sementara,
golok-golok mereka telah telanjang, lepas dari sa-rungnya.
"Perasaanku malam ini tak enak, Kakang
Reksa. Mau ada apa, ya?" buka salah satu dari ti-ga lelaki penjaga rumah Warok
Jogoboyo. "Aku juga mau bilang begitu, Kasan. Kulihat, di angkasa awan begitu pekat. Tapi hujan tak turun-turun," sahut lelaki
yang dipanggil Reksa.
"Apa perasaanmu sama, Panut?" Reksa menoleh ke arah lelaki di kanannya.
"Ah, itu hanya perasaan kalian saja," tepis Panut. "Memang memedi mana yang
berani sama kita" Kalau ada perampok pun, rasanya belum
tentu berani menyatroni rumah majikan kita.
Jangankan perampok. Setan gundul pun tak berani mendekati rumah ini."
"Kasan! Seperti biasa, kau kelilingi rumah
ini lewat samping kanan. Sedangkan Panut lewat
samping kiri. Dan aku menunggu kalian di depan
rumah ini," ujar Reksa, memberi perintah. Agaknya, dia yang menjadi ketua regu
penjaga malam rumah ini. Ketiganya terus melangkah menuju pintu
pagar rumah. Tak ada kecurigaan sedikit pun.
Dan.... "Hih!"
Crass! Craaasss!
"Aaakhh...!"
Kasan dan Panut kontan roboh ketika sekelebatan mata golok menyambar leher mereka.
Sedang Reksa yang berada di tengah sempat melompat ke belakang. Namun begitu bangkit, satu
orang berpakaian serba hitam sudah siap menerjang. "Bangsat! Siapa kalian"!" bentak Reksa.
Dibuangnya tubuh ke kiri, ketika mata golok lawan kembali menyambar.
Tanpa menjawab, si orang berpakaian serba hitam kembali menyerang. Goloknya diputarputar di udara sebelum dibabatkan ke tubuh
Reksa yang baru saja melenting bangkit. Udara
terpangkas Reksa terkesiap. Bahaya mau siap
melahap. Sigap, Reksa melangkah satu tindak.
Begitu sambaran golok lewat, dibuatnya satu putaran tubuh dengan kaki kiri menyapu. Deras.
Arahnya ke bagian selangkangan lawan.
Ternyata, si lelaki berpakaian serba hitam
sudah menduga gerakannya. Saat itu juga dia
melompat tinggi ke udara. Dalam keadaan begini,
bisa saja dia langsung melepas tendangan ke kepala lawan. Tapi itu tak dilakukannya. Karena....
"Mampus kau, Cecunguk!" dengusnya seraya melempar golok. Amat cepat. Bahkan Reksa
sama sekali tak menduga.
Tahu-tahu saja....
Craappp! Mata Reksa mendelik. Mulutnya menganga
tak bermakna. Golok yang menghujam kepalanya


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat perlawanannya berakhir. Sejenak tubuhnya terhuyung-huyung, lalu ambruk tak berdaya. Darah pun kembali bersimbah.
"Setan alas! Rupanya rumahku dikunjungi
tikus-tikus clurut!"
Bentakan menggelegar terdengar. Amat
santer, membuat lawan Reksa tadi bergetar. Betapa tidak" Bentakan tadi disertai tenaga dalam
tinggi. Demikian pula yang dialami orang berbaju hitam yang berdiri menyaksikan
pertarungan tadi.
Tak urung, tubuhnya ter-lempar beberapa tindak.
Untung saja kedua lelaki berpakaian serba
hitam itu mempunyai tenaga dalam yang cukup
untuk meredam bentakan tadi. Kalau tidak, jangan harap bisa berdiri di tempat ini. Dan ini juga merupakan suatu bukti kalau
keduanya memang
tak bisa dianggap remeh.
Bukti lainnya, kematian Reksa. Hanya beberapa gebrakan saja, Reksa dibuat tak berkutik.
Menemui ajal dengan amat mengenaskan.
Cukup sudah bagi si orang yang membentak untuk berhati-hati. Setidaknya, tak ingin meremehkan kedua lelaki berpakaian
serba hitam yang bersiaga di halaman rumahnya.
"Siapa kalian, Tikus-tikus Busuk"!" bentak lelaki bertubuh tambun. Pakaiannya
juga berwarna hitam tanpa dikancingi. Seolah ingin memamerkan dadanya yang berbulu. Celananya komprang, juga berwarna hitam. Wajahnya dipenuhi
brewok lebat. Kumis lebatnya nyaris menutupi
mulut. Rambut panjangnya ditutupi blangkon
berwarna hitam pula.
Dialah Warok Jogoboyo.
Melihat ketiga penjaga rumahnya terkapar
bermandikan darah, mendidihlah darahnya. Mata
bulatnya memerah. Urat-urat lehernya mengembung. Dadanya yang berbulu bergerak cepat turun naik. Kelihatannya amarahnya telah terbakar.
Dan kalau sudah terbakar, rasanya sulit untuk
dipadamkan. Begitu biasanya watak seorang warok. "Setan alas! Kalian belum juga menjawab pertanyaanku"!" sembur sang warok,
penuh kegeraman. Perlahan-lahan, tangan kanannya melepas tali yang menjadi ikat pinggangnya. Begitu
terlepas, yang tergenggam di tangannya ternyata
sebuah pecut berwarna putih.
"Kami adalah orang-orang yang menginginkan nyawamu, Warok Jogoboyo!" jawab salah sa-tu orang berpakaian serba hitam.
"Apa kesalahanku sehingga kalian menginginkan nyawaku?" tuntut Warok Jogoboyo. Penuh getaran pada suaranya, pertanda
amarah telah membakar dadanya.
"Kesalahanmu banyak, Setan! Tapi yang
paling utama, kau berani menikahkan putrimu
dengan putra Adipati Ngawi," desis lelaki berpakaian serba hitam yang berada di
sebelah kanan. "Apa hubungannya kalian dengan pernikahan putriku?" pancing Warok Jogoboyo.
"Karena kami adalah utusan Warok Singo
Lodra!" "Kau tidak berdusta, Kisanak" Jangan-jangan kalian hanya mengadu domba
antara aku dengan kakang seperguruanku?"
"Terserah apa tanggapanmu, Warok Jogoboyo! Yang penting, kau harus mampus di tangan
kami!" "He he he.... Kalian hendak menakut-nakutiku" Kalian kira aku bocah bau
kencur yang bakal terkencing-kencing ditakuti dedemit macam
kalian" Majulah! Nyawa ketiga anak buahku harus kalian bayar!"
Di ujung kalimatnya, Warok Jogoboyo menyentak kedua kakinya. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu, dia telah berada tiga tombak di
depan kedua calon lawan.
Pertarungan siap digelar. Mata sang Warok
pun jadi liar. Amarah telah berkobar. Sementara, cambuk telah diputar-putar,
siap menggeletar.
Dua calon lawan bukannya tak bergetar.
Mereka cukup tahu, siapa Warok Jogoboyo. Seorang jawara tak tertandingi di kadipaten Trenggalek. Jangan ditanya soal
kesaktiannya. Memang
benar, kedua lelaki berpakaian serba hitam itu
mampu melumpuhkan tiga penjaga rumah sang
Warok hanya beberapa gebrakan. Tapi untuk menandingi Warok Jogoboyo, jangankan dua orang
macam mereka. Sepuluh orang macam mereka
pun sama sekali tak membuat nyali sang Warok
ciut. Malah bisa jadi, merekalah yang bertekuk
lutut. Tapi sebelum pertarungan terjadi....
"Aaaa...!"
Warok Jogoboyo terhenyak. Suara jeritan
menyayat yang barusan terdengar adalah suara
perempuan. Dan itu berasal dari dalam rumahnya. Apa yang terjadi"
* * * Tanpa menghiraukan kedua calon lawan,
Warok Jogoboyo melesat ke dalam rumahnya.
Mendadak saja, hatinya dirasuki rasa tak enak.
Tahu-tahu saja, dugaan buruk melintas di benaknya. Entah kenapa, langkahnya malah tertuju
ke kamar putrinya.
Brakk! Terhenyak Warok Jogoboyo melihat apa
yang ada di hadapannya. Matanya mendelik tak
percaya. Mulutnya menganga.
"Ratna Kumala...," sebut Warok Jogoboyo, bergetar.
Di hadapan lelaki tambun kekar ini tergolek tak bernyawa seorang gadis. Perutnya bersimbah darah, koyak oleh besetan senjata tajam. Si
gadis memang Ratna Kumala, putri Warok Jogoboyo yang hendak dinikahkan dengan putra Adipati Ngawi Apa yang terjadi pada Ratna Kumala" Ketika Warok Jogoboyo sedang bersitegang tadi, tiga
lelaki berpakaian serba hitam telah berhasil menelusup ke dalam kamar Ratna Kumala. Dengan
gerakan amat cepat, langsung dihabisi gadis yang tengah terjaga karena mendengar
suara bentakan ayahnya tadi. Selesai membunuh secara keji, ketiga lelaki itu langsung melarikan diri lewat jendela yang kini menganga lebar.
Warok Jogoboyo lantas bergerak ke arah
jendela. Yang dijumpai hanya kegelapan ketika
kepalanya melongok. Dan ketika tubuhnya berbalik, di ambang pintu yang tadi dijebolnya berdiri seorang perempuan setengah
baya. Nyai Kumitir
namanya. Dialah istri Warok Jogoboyo.
"Ratna Kumala anakku...! Apa yang terjadi
pada dirimu, Nduk...!" jerit Nyai Kumitir, langsung menubruk mayat Ratna Kumala
yang tergo- lek di lantai. Tangisnya langsung meledak. Meratap-ratap, menangisi mayat putri tunggalnya.
Warok Jogoboyo sendiri langsung kembali
teringat pada kedua calon lawannya di halaman
rumah. Seolah ingin melampiaskan kemarahan
pada dua lelaki tadi, tubuhnya kembali melesat
keluar. Hanya sekejapan, lelaki tambun kekar ini telah berdiri di ambang pintu
depan. Nyatanya,
kedua calon lawan tadi telah menghilang entah ke mana. Penasaran, sang Warok
segera berkelebat.
Amat cepat, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dicobanya untuk mengelilingi rumah terlebih dahulu. Tapi, hanya kehampaan yang didapat. Lalu tubuhnya segera melesat ke arah utara.
Sebab, kalau betul orang-orang tadi suruhan Warok Singo Lodra, pasti arah datangnya dari utara.
Sampai sejauh lima ratus tombak Warok
Jogoboyo melesat. Tapi yang ditemukannya hanya
keheningan malam. Didorong rasa penasarannya,
tubuhnya berhenti melesat. Dan tanpa mengenal
kata lelah, dia berbalik lalu melesat kembali, ber-lawanan arah dari sebelumnya.
Tak juga ada tanda-tanda kalau orangorang berpakaian serba hitam tadi pergi ke arah
ini. Maka putus sudah harapannya. Hanya satu
petunjuk yang ada. Yakni, orang-orang tadi mengaku sebagai suruhan Warok Singo Lodra.
Tapi, benarkah pengakuan mereka" Tanya
hati Warok Jogoboyo. Apakah ini hanya fitnah
adu domba belaka" Dan kalau melihat latar belakang pembunuhan, masuk akal juga. Tapi apakah
Warok Singo Lodra sepicik itu dengan hanya
mengirimkan orang-orangnya" Kenapa dia tidak
datang sendiri untuk menyatakan ketidak senangannya atas pernikahan Ratna Kumala dengan
Senoaji" Apalagi, orang-orangnya juga menutupi
wajah dengan kain hitam. Bukankah itu menunjukkan kepengecutan"
Ruwet. Itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan yang berkecamuk di benak Warok Jogoboyo. TIGA KADIPATEN Ngawi. Matahari baru sepenggalah. Tapi teriknya mulai menyengat. Membuat
dua orang prajurit penjaga keraton mulai blingsatan dengan peluh bersimbahan.
Pintu gerbang yang mereka jaga memang tak ada atap yang
memayungi. Untuk menghindari sengatan terik
matahari, mereka berusaha berlindung di gerbang
yang mirip gapura itu.
Namun baru saja bersandar, dari kejauhan
terdengar derap langkah kuda di kejauhan. Bergegas, mereka kembali ke tempat masing-masing,
seolah takut dikatakan lalai dari tugasnya.
Si penunggang kuda makin lama makin
mendekati pintu gerbang. Tubuh tegapnya terlihat melonjak-lonjak di atas
punggung kuda. Di belakangnya, debu-debu mengepul seolah ikut mengiringinya. Semakin dekat si penunggang kuda. Dia
adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap. Dari cara berpakaiannya, jelas
kalau dia adalah seorang panglima.
Tiba dua tombak di depan pintu gerbang,
sang Panglima menghentikan lari kudanya. Ditatapnya kedua penjaga yang tengah membungkuk
hormat dengan sikap takut-takut.
"Rasanya hari masih pagi, Prajurit?" Nada suara sang Panglima seperti bertanya.
Tapi sebenarnya mengandung maksud lain.
"Benar, Panglima. Rasanya hari ini amat
cerah. Segar sekali," sahut prajurit yang menjaga di sebelah kanan. Seolah dia
hendak menutup-nutupi apa yang telah dilakukannya tadi.
"Tapi kenapa kulihat tadi kalian sudah seperti cacing kepanasan" Bermalas-malasan dengan berlindung dari terik matahari"'' tembak sang Panglima.
Merah wajah kedua prajurit. Mereka cengar-cengir serba salah. Sungguh mereka tak mengira kalau tindakan mereka diketahui panglimanya. "Ampun, Panglima Adi Kencono. Hamba...
hamba... hanya...."
"Jangan banyak beralasan, Prajurit!" bentak Panglima Adi Kencono, membuat kedua
pra- jurit itu terlonjak. Nyaris jatuh terduduk kalau tak segera berpegangan pada
tembok gapura. "Prajurit..., prajurit. Bagaimana kalau kalian dalam pertempuran" Baru tersengat
matahari se- penggalah saja, sudah blingsatan macam cacing
kepanasan. Apalagi di tengah medan pertempuran?" Suara Panglima Adi Kencono melemah.
"Maafkan kami, Panglima," ucap prajurit jaga yang berada di sebelah kiri.
"Kali ini kalian kumaafkan. Tapi bila kalian begini lagi, jangan mengabdi di
Kadipaten Ngawi.
Karena, kadipaten ini tak butuh orang loyo macam kalian!"
Di ujung kalimatnya, Panglima Adi Kencono menggebah kudanya, kembali. Meninggalkan
kedua prajurit yang masih terbungkuk-bungkuk.
Meninggalkan kepulan debu yang langsung
mengguyur kedua prajurit.
* * * Panglima Adi Kencono langsung menghadap Adipati Ngawi di ruang pendopo. Sang Adipati adalah seorang lelaki berusia
kepala lima. Tapi, wajahnya masih terlihat tampan kendati telah dihiasi kerutkerut garis ketuaannya. Tubuhnya juga masih terlihat gagah.
"Bagaimana dengan hasil penyelidikan mu,
Panglima Adi Kencono?" tanya Adipati Ngawi.
Nama aslinya, Raden Mas Suro Brajan.
"Ampun, Kanjeng. Perampok-perampok di
Hutan Wonocolo makin mengganas saja. Rasanya,
kita perlu bantuan para pendekar untuk menumpasnya. Kalau sekarang kita minta bantuan Warok Jogoboyo, rasanya terlalu sungkan. Sebab,
beliau pasti tengah disibuki dengan urusan pernikahan anaknya dengan putra Kanjeng sendiri,"
lapor Panglima Adi Kencono.
"Kau benar, Panglima. Aku juga tak ingin
melibatkan calon besanku dengan urusan ini. Kasihan dia. Oh, ya. Apakah kau telah menemukan
bukti kalau Warok Singo Lodra ikut terlibat dalam urusan perampokan itu?" kejar
Adipati Suro Brajan. "Ampun, Kanjeng. Pembuktian itu hanya berdasarkan pengakuan
perampok sebelum menemui ajal di tangan Warok Jogoboyo waktu itu.
Selebihnya, hamba belum menemukan bukti apaapa," tutur sang Panglima, hati-hati.
"Sebenarnya, aku juga tak yakin kalau Wa

Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rok Singo Lodra terlibat. Sekarang bagaimana
pendapatmu, Panglima" Apakah keputusanku
melarang putraku Senoaji yang berhubungan
dengan putri Warok Singo Lodra sudah tepat?"
aju sang Adipati.
"Ampun, Kanjeng. Kanjeng dikenal sebagai
adipati yang bijaksana dan mau mendengar saran
orang lain. Maka, hamba saat ini bukannya ingin
ikut campur dalam urusan pernikahan putra
Kanjeng," kata Panglima Adi Kencono, hati-hati.
"Katakanlah, Panglima. Aku mendengar saranmu." "Menurut hamba, Kanjeng terlalu terburuburu dengan memutuskan hubungan antara Raden Senoaji dengan Nawangsih. Sebab menurut
hemat hamba, bukti-bukti belum cukup kalau
Warok Singo Lodra terlibat dalam perampokan
itu. Apalagi menurut hamba, kenapa Warok Singo
Lodra mesti jadi perampok" Bukankah itu sama
saja mencoreng mukanya sendiri" Dan rasanya
pula, kekayaan Warok Singo Lodra sudah cukup,"
jelas Panglima Adi Kencono.
"Tapi aku telah berhutang budi dengan
Warok Jogoboyo, Panglima. Dialah orang yang
menyelamatkanku dari para perampok itu. Kalau
tak ada dia, tak bakalan aku bisa duduk di kursi ini. Dan lagi, aku juga telah
mengirim utusan kepada Warok Singo Lodra. Utusan itu membawa
suratku yang berisi pembatalan pinangan anakku
pada Nawangsih. Hanya entah kenapa, utusanku
saat ini belum kembali ke Kadipaten Ngawi. Aku
jadi ragu, jangan-jangan suratku belum sampai
ke tangan Warok Singo Lodra."
Ada kekhawatiran di hati Adipati Sura Brajan. Karena bila surat itu tak sampai di tangan
Warok Singo Lodra, bisa jadi akan timbul salah
paham. Artinya, sang Adipati harus bersiap-siap
menghadapi tuntutan Warok Singo Lodra. Dan
sang Adipati hanya bisa menarik napas sesak.
Sejenak suasana jadi hening. Masingmasing hanyut dalam arus perjalanan benak mereka. Menerawang, membayangkan apa yang
bakal terjadi. "Menurut hamba, Kanjeng tak bersalah.
Kanjeng sudah berusaha mengirim utusan. Dan
kita tinggal menjelaskannya kembali pada Warok
Singo Lodra," hibur Panglima Adi Kencono.
Tak menjawab, Adipati Wiro Brajan manggut-manggut. Dia berusaha membenarkan tindakannya. Tapi, masih saja ada yang mengganjal di
hatinya. Yakni, soal putranya. Senoaji. Seharusnya, Senoaji sudah tiba di keraton pagi ini. Menurut kabar yang dikirim Senoaji,
dia telah selesai berguru di Padepokan Blambangan. Hmm, kenapa putraku belum
tiba juga" Gumam hatinya.
Sementara di sisi keping hatinya terselip
rasa penyesalan, karena tanpa sepengetahuan
Senoaji, Adipati Suro Brajan telah membatalkan
pinangan anaknya pada Nawangsih. Padahal, dia
tahu kalau Senoaji telah berhubungan cukup lama dengan putri Warok Singo Lodra itu.
Awal pertemuan dua sejoli itu boleh dibilang tak sengaja. Waktu itu Senoaji yang baru berusia tujuh belas tahun
berkunjung ke sebuah
pasar malam di Kadipaten Ponorogo. Setiap panen
besar, biasanya sebuah kadipaten membuat semacam pesta rakyat yang diisi juga oleh keberadaan pasar malam. Bila ada acara seperti ini, pihak kadipaten akan mengundang
para adipati beserta keluarganya.
Adipati Ngawi waktu itu datang bersama
Senoaji beserta dua pasukan pengawal. Ketika
mereka menonton sebuah panggung yang diisi tari-tarian, Senoaji yang memang berjiwa seni tertarik oleh lenggak-lenggok
gemulai seorang penari
wanita. Seorang gadis berambut panjang. Wajahnya cantik. Bibirnya merah merekah dengan hidung bangir. Bentuk wajahnya bulat lonjong dengan tahi lalat kecil di batang hidung kiri.
Tanpa sadar, pemuda tampan berpakaian
kebesaran keraton itu melangkah mendekati
tangga panggung. Sementara kedua biji matanya
seolah tak mau berkedip, melekat erat dalam irama gerak tubuh gemulai si gadis.
Ketika selesai menari, si gadis berjalan
hendak menuruni panggung. Tapi dasar bernasib
sial, kakinya tersandung kaki penabuh gamelan
yang menyelonjor kelelahan. Tak urung, tubuh si
gadis terjerembab hendak jatuh dari atas panggung. Entah apa yang membuat gerakannya begitu cepat, Senoaji melompat sigap. Tangkas, ditangkapnya tubuh ramping si gadis. Seperti ada
yang mengatur, jatuhnya si gadis tepat pada
punggungnya. Sehingga lama sekali dia bertatapan dengan Senoaji. Dari tatapan tak sengaja
yang serba kaku, berangsur-angsur berubah
menjadi tatapan saling mengagumi.
Senoaji sendiri sengaja mengirimkan isyarat-isyarat mata lewat tatapannya. Dalam waktu
yang sesingkat itu, mereka sempat berkenalan.
Namun karena masih berjiwa pemalu, gadis yang
memperkenalkan diri bernama Nawangsih itu cepat turun dari dekapan Senoaji. Dengan wajah
merah, dia berpamitan untuk pulang tanpa bisa
dicegah Senoaji.
Penasaran, dengan bertanya sana-sini, Senoaji mendapat keterangan kalau Nawangsih adalah putri Warok Singo Lodra. Semula hatinya kecut juga mendengar nama Warok yang cukup
menggetarkan di wilayah Ponorogo itu. Tapi karena rasa tertariknya yang amat mendalam. dengan
ditemani ayahnya. Senoaji keesokan harinya bertandang ke rumah Warok Singo Lodra. Dan sejak
itu, Senoaji dan Nawangsih resmi menjadi sepasang kekasih. Karena harus memperdalam ilmu olah kanuragan lebih mendalam, Senoaji harus berguru
di Padepokan Blambangan selama tiga tahun.
Maka sejak itu dia tak berhubungan lagi dengan
Nawangsih. Dan tak heran kalau pemuda itu tak
tahu bahwa pinangannya sebelum keberangkatannya ke Blambangan, telah dibatalkan ayahnya
sendiri. Inilah ganjalan yang menyentak-nyentak
hati Adipati Ngawi. Dia merasa bersalah terhadap anaknya, juga terhadap Warok
Singo Lodra. Yang
dapat dilakukannya hanya mendesah. Membuang
napas sesak dengan kepala menggeleng-geleng.
"Kembali ke soal perampokan, apakah kau
tak bisa mencarikan tokoh persilatan yang bisa
mengganyang para perampok Itu, Panglima" Sekaligus, mencari bukti apakah Warok Singo Lodra
ikut terlibat," lanjut Adipati Ngawi, mengalihkan permasalahan.
Panglima Adi Kencono merenung sejenak.
Dicobanya mengingat-ingat beberapa tokoh persilatan yang pernah dikenalnya. Tapi tak satu pun
rasanya yang bisa menandingi pimpinan perampok yang menguasai Hutan Wonocolo.
Siapa yang bisa menandingi Tentara Langit
yang menguasai Hutan Wonocolo" Tanya hati
sang Panglima. Hmm.... Belum juga urusan tokoh
sesat itu tuntas, muncul perampok lain yang
mengaku anak buah Warok Singo Lodra. Kalau
anak buah Tentara Langit menguasai wilayah timur hutan, maka anak buah Warok Singo Lodra
sering berkeliaran di wilayah barat. Apakah mere-ka merupakan satu kesatuan atau
terpisah" Kalau mereka menjadi satu, betapa hebatnya kekuatan mereka"
"Bagaimana, Panglima" Kau sudah menemukan orangnya?" usik Adipati Ngawi, membelah lamunan Panglima Adi Kencono.
"Biang perampok itu memang susah ditemukan, Kanjeng," sahut Panglima, bergegas.
"Bukan. Maksudku, tokoh persilatan yang
akan membantu kita," ralat sang Adipati.
Panglima Adi Kencono tersenyum getir. Salah tangkap rupanya dia. Namun mendadak ingatannya tertuju pada Kerajaan Demak. Sebuah kerajaan besar di tanah Jawa bagian tengah. Konon, kerajaan itu menyimpan banyak
tokoh persilatan
yang memiliki kedigdayaan tinggi. Dan dia juga
ingat kalau Adipati Ngawi ini masih mempunyai
hubungan darah dengan Keraton Demak.
"Para tokoh digdaya, setahu hamba banyak
ditemui di sebuah kerajaan tempat leluhur Kanjeng sendiri," jawab Panglima Adi Kencono, tersenyum cerah.
"Maksudmu, Kerajaan Demak?" Kening
Adipati Suro Brajan berkerut.
"Betul, Kanjeng."
"Tunggu..., tunggu.... Aku baru ingat. Kakang Mahapatih Bagaspati di Demak pernah bercerita kepadaku kalau di daerahnya ada seorang
pendekar muda digdaya. Masih muda, tapi kesaktiannya tak terkira. Malah, konon pendekar muda
itu berhasil menaklukkan biang perampok yang
waktu itu merajalela di Demak. Perampok itu
bernama Dirgasura. Cuma, aku tak ingat siapa
nama pendekar muda itu," Sebersit sinar cerah mulai merasuki hati Adipati Ngawi.
Seolah, baru saja menemukan setitik air di gurun tandus.
"Mungkin yang Kanjeng maksudkan Satria
Gendeng?" sodor sang Panglima.
"Satria Gendeng" Ah, masa bodoh dengan
namanya! Yang penting, usahakan agar pendekar
muda itu mau membantu kita dalam menghadapi
para perampok liar itu!" terabas Adipati Ngawi, semangat sekali.
"Pendekar muda itu memang digdaya, Kanjeng. Hamba mendengar kiprahnya ketika pendekar muda itu membantu Adipati Lumajang dalam
menghadapi Tujuh Malaikat Kematian di Kuil Neraka beberapa purnama yang lalu," lanjut Panglima Adi Kencono. (Tentang Tujuh
Dewa Kematian, baca episode: "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
"Ya, sudah. Sekarang kau kutugaskan untuk mengundang Satria...."
"Satria Gendeng. Kanjeng."
* * * "Ya, ampun.... bagaimana aku bisa mencari
Satria Gendeng" Kudengar pendekar muda itu jarang ada di tempatnya.... Ah, bodohnya aku. Saking semangatnya, sampai terlupa kalau aku tak
tahu di mana tempat tinggal pendekar muda itu,"
keluh Panglima Adi Kencono, ketika meninggalkan keraton Kadipaten Ngawi.
Kuda putihnya berjalan perlahan-lahan
membawanya menuju bagian belakang keraton,
tempat di mana para prajurit yang tak bertugas
berkumpul. Beberapa prajurit yang bertugas saat
ini membungkukkan badan saat berpapasan dengannya. Tiba di belakang keraton, Panglima Adi
Kencono menghentikan langkah kudanya. Begitu
turun dari kudanya, seorang punggawa menghampiri. Sikapnya gagah penuh hormat.
"Selamat siang, Panglima. Apakah ada tugas penting yang akan kami lakukan?" sapa si punggawa.
"Bagaimana dengan tugas kalian melenyapkan para perampok di Hutan Wonocolo"
Apakah sudah ada perkembangan yang menggembirakan?" Panglima Adi Kencono malah men-gajukan pertanyaan.
"Ampun, Panglima. Justru sebaliknya. Malah hamba dengar, seorang pedagang besar dari
kadipaten kita telah menjadi korban keganasan
mereka. Hamba nyaris patah semangat menghadapi mereka, Panglima. Jadi, hamba mohon petunjuk lebih lanjut," lapor si punggawa, hati-hati.
Sang Panglima menarik napas sesak. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah sudah kehilangan akal menghadapi keganasan para perampok.
Harapan satu-satunya memang meminta bantuan
para tokoh persilatan dari Kerajaan Demak. Bukan. Bukannya di Kadipaten Ngawi ini tak ada tokoh persilatan. Bukannya pula sang Panglima belum meminta bantuan mereka.
Sudah beberapa kali Panglima Adi Kencono
meminta bantuan beberapa tokoh persilatan dari
Kadipaten Ngawi, dan Kadipaten tetangga. Tapi
hasilnya sia-sia saja. Bahkan, telah banyak tokoh persilatan yang pulang hanya
nama saja. Artinya, kekuatan para perampok memang tak bisa dianggap remeh.
"Kalau begitu, besok kau kumpulkan beberapa prajurit di halaman keraton. Aku akan
memberi beberapa petunjuk dan tugas untuk kalian," sabda sang Panglima.
"Hamba menjunjung tugas, Panglima," sahut si punggawa.
"Bagus. Nah, sekarang beristirahatlah."
EMPAT BARU saja Warok Singo Lodra hendak berangkat menuju Trenggalek,
Warok Darmo Singo tiba di depan rumahnya. Sigap, adik kandung Warok Singo Lodra itu
melompat dari punggung kuda kekarnya. Lalu, dituntunnya kuda tunggangannya itu ke halaman.
"Kakang,..!" panggil Warok Darmo Singo begitu melihat kakak kandungnya berdiri


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di depan pintu. Seekor kuda juga telah siap menunggu
yang akan membawanya ke Kadipaten Trenggalek. Setelah menyerahkan kuda pada salah seorang pelayan, Warok Darmo Singo menghampiri
Warok Singo. Langkah berdebamnya menyiratkan
kalau ada sesuatu yang hendak disampaikannya
segera. Alis tebal Warok Singo Lodra bertautan.
Kening tuanya berkerut dalam. Mata bulatnya
menyorot tajam ke arah adik kandungnya. Ada
apa lagi ini" Tanya hatinya.
"Kakang mau ke mana?" susul Warok
Darmo Singo, begitu tiba satu tombak di hadapan
kakaknya. "Aku mau ke Trenggalek! Warok Jogoboyo
telah mencoreng mukaku!" jawab Warok Singo
Lodra tegas. "Akhirnya Kakang mempercayai katakataku." "Kenyataannya memang begitu, Adi. Melihat keadaan Nawangsih, aku memang harus
mempercayai kata-katamu. Untuk itu, aku harus
menyelesaikan urusan dengan adik seperguruanku!" Warok Darmo Singo tersenyum. Sulit ditafsirkan, apa arti senyumnya itu.
"Kau tak mengajakku masuk, Kakang?"
usiknya. "Maaf, Adi. Aku terburu-buru, Aku harus
tiba di sana secepatnya! Aku tak ingin masalah
ini berlarut-larut. Kalau kau mau masuk, masuklah!" Warok Singo Lodra hendak melangkah. Tapi, Warok Darmo Singo malah
memegangi kedua ba-hunya. "Sabar, Kakang. Masalah ini hendaknya diselesaikan
dengan kepala dingin. Hatimu boleh
panas, tapi tetaplah berpikiran dingin," bujuk Warok Darmo Singo.
"Apa maksudmu menahan langkahku,
Adi?" tanya Warok Singo Lodra tak senang.
Segaris senyum kembali terukir di bibir
Warok Darmo Singo. Halus sekali, tangannya berusaha membalikkan arah tubuh kakaknya. Seolah dia ingin meredam kemarahan kakaknya yang
siap meledak dalam dada.
"Mari, Kakang. Kita masuk dulu. Aku ingin
menjelaskan sesuatu padamu," ajak si adik.
Menurut, Warok Singo Lodra berbalik. Ketika adik kandungnya mengajak melangkah, dia
juga menurut. Seolah hatinya telah tersihir oleh kelembutan adiknya. Di samping
itu hatinya juga
penasaran dengan apa yang akan dikatakan Warok Darmo Singo.
Di ruang tengah, mereka duduk berseberangan. Sebuah meja bulat menjadi pembatasnya.
Di atasnya, terhadap beberapa suguhan buahbuahan. "Apa yang hendak kau katakana Adi" Cepat, aku sudah tak sabar lagi. Dan, jangan berbelit-belit!" terabas Warok Singo
Lodra, penasaran
"Begini, Kakang. Sebagai warok sejati, mestinya Kakang bertindak ksatria. Jangan terbawa
nafsu hanya untuk menyelesaikan suatu urusan.
Nafsu boleh-boleh saja, tapi jangan berlebihan.
Kalau berlebihan, itu artinya kelemahan. Dan, kelemahan pangkal kekalahan" katakata bijak meluncur begitu, saja dari bibir tebal Warok Darmo Singo. "Sudah
kubilang jangan berbelit-belit, Adi!
Jelaskan saja, apa maksudmu! Aku pusing dengan kata-katamu!" desak Warok Singo Lodra. Keras suaranya membuat Nyai Gembili
istrinya ke- luar dari kamar.
"Sabar..., Kang. Maksudnya begini. Kakang
boleh-boleh saja menyelesaikan urusan dengan
Warok Jogoboyo. Tapi jangan menggunakan caracara liar,"
"Cara liar bagaimana?"
"Menyatroni rumahnya, sama saja menggunakan cara liar. Bukankah jiwa warok menentang cara-cara seperti itu" Warok biasanya bertarung di tempat sepi dan
terpencil bila hendak
menyelesaikan urusan di antara mereka. tak ingin ditonton atau melibatkan orang
lain. Itulah jiwa sejati yang dianut kaum warok," papar Warok Darmo Singo,
panjang lebar. Warok Singo Lodra terdiam. Tersihir oleh
kata-kata adik kandungnya. Tak dapat dipungkiri
kalau kata-kata itu memang telah menyadarkan
dari sebuah aib. Karena, melanggar hokum warok
sama saja mencoreng mukanya sendiri dengan
kotoran kerbau.
"Lantas, apa yang harus kulakukan Adi?"
tanya Warok Singo Lodra, seolah menyerah oleh
jalan pikirannya yang buntu.
"Buat surat tantangan untuk Warok Jogoboyo. Tangan dia di Bukit Munthang, tempat para
warok biasa menyelesaikan urusan. Bukankah
begitu hukum yang berlaku di kalangan para warok?" jelas Warok Darmo Singo, semangat.
"Hmmm.... Edan..., edan. Tak kusangka,
otakmu begitu bening Adi. Sungguh aku kagum
denganmu," puji Warok Singa Lodra.
"Jangan dengar kata-katanya, Kakang!"
Kedua lelaki bertampang kasar itu tersentak. Sebuah suara bernada tak setuju langsung
menyita perhatian mereka.
"Nyai Gembili..." Apa maksudmu?"
* * * Ingin rasanya Warok Jogoboyo menyatroni
rumah Warok Singo Lodra sekarang juga. Tapi
untuk itu, dia belum cukup bukti untuk menuduh bahwa Warok Singo Lodra-lah orang di balik
kematian putrinya. Sebab, kata-kata yang keluar
dari perampok tak bisa dipercaya begitu saja. Bi-sa saja para perampok yang
membunuh putrinya
hanya sekadar memfitnah, dengan melempar tuduhan pada orang lain.
Warok Jogoboyo tak ingin bertindak gegabah. Ingin diselidikinya dahulu, siapa orang di balik semua ini. Sebab biar
bagaimanapun, bertindak ceroboh sama saja menciptakan sebuah penyesalan amat dalam yang sukar diobati. Kendati, untuk itu dia harus menahan kemarahan menggelegak atas kematian putri kesayangannya dan
tiga orang penjaga rumahnya.
Untuk langkah pertama, Warok Jogoboyo
sudah langsung mengirim utusan ke Kadipaten
Ngawi. Sekaligus, mengabarkan tentang kematian
Ratna Kumala, anaknya.
Tetapi sesungguhnya, jangan ditanya bagaimana perasaannya saat ini. Dia ingin segera
melampiaskannya, tapi pada siapa. Setan mana
yang mau dijadikan pelampiasannya" KepadaWarok Singo Lodra" Nanti dulu. Dia merasa belum punya bukti untuk itu. Atau setidaknya, buktinya belum kuat.
Duka. Kecewa. Geram. Sedih. Semua kata-kata itu berkumpul jadi satu,
membentuk guncangan batin yang amat kuat.
Nyaris menggoyahkan hati jantannya. Untung saja dia masih punya kata wasiat; bijaksana.
Di sisi lain, Warok Jogoboyo agak menyesalkan sikap penduduk di daerahnya yang seolah
tak mau peduli pada lingkungan. Waktu malam
kejadian, kenapa tak seorang penduduk pun yang
menampakkan diri. Lelaki tambun ini tak mengerti, apakah para tetangganya telah tuli" Sebab
waktu itu teriakannya cukup keras. Rasanya
mustahil kalau para penduduk tak men-dengar
teriakannya. Satu-satunya dugaan adalah, para
tetangganya merasa takut. Ini yang cukup beralasan. Sebab anggapan mereka, orang yang berani
menyatroni rumah Warok Jogoboyo hanyalah
orang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau mereka ikut campur, jangan-jangan nyawa mereka
sendiri yang melayang.
Pagi tadi, Warok Jogoboyo telah menguburkan anaknya yang tercinta, juga mayat ketiga
penjaga rumahnya. Banyak juga penduduk yang
mengantarkan sampai ke pemakaman sekalian
menyatakan turut berduka cita. Dan lelaki tambun ini hanya tersenyum getir ketika para penduduk menyatakan berbagai macam alasan mengapa mereka tak muncul waktu malam kejadian.
Di beranda rumahnya, Warok Jogoboyo
duduk di damping! istrinya. Masing-masing telah
larut dalam kedukaan. Mestikah aku berseteru
dengan kakak seperguruanku sendiri" Tanya hati
kecilnya. Apa jadinya kalau Kakang Warok Singo
Lodra ternyata memang berada di balik peristiwa
ini" Justru memang itu yang paling ditakutkan
Warok Jogoboyo. Bagaimana bila kakak seperguruannya nyata-nyata berada di balik peristiwa
itu" Artinya, mau tak mau, suka tak suka, dia harus berhadapan dengan Warok
Singo Lodra! * * * Hutan Wonocolo Tempat di mana puluhan ribu batang pohon jati berjejer, membangun sebuah gerombolan
hijau bila dilihat dari angkasa raya. Juga tempat di mana para perampok yang
dipimpin Tentara
Langit bersarang.
Tempat yang dikenal amat angker itu sama
sekali tak membuat seorang pemuda tampan menyurutkan langkahnya. Pakaiannya rompi putih
dari kulit binatang. Rahangnya bergaris jantan.
Rambut panjangnya yang melebihi bahu berwarna kemerahan. Mata sembilunya mencorong ke
depan, berusaha menembus keremangan karena
cahaya matahari nyaris tak pernah sampai ke
muka bumi. Celananya pangsi sebatas lutut berwarna hitam. di balik kain ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat kecil. Di
ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain
berbentuk ekor naga berwarna emas.
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Satria"
Seorang pendekar muda digdaya yang belum lama
meramaikan gonjang-ganjing dunia persilatan"
"Apa masih jauh ya, letak Kadipaten Ngawi?" tanya si pemuda pada diri sendiri. "Ah, Tresnawati... Tresnawati. Sudah lama
kita tak bertemu. Sekali ingin bertemu, aku kau suruh menjemputmu di Kadipaten Ngawi. Inilah susahnya
kalau orang punya kekasih. Kalau tak dipenuhi
keinginannya, dibilang tak cinta. Kalau dipenuhi,
malah menyiksa diri. Cinta... cinta," suara si pemuda terdengar menggerundeng
sendirian. Dan gerutuan Satria mendadak berhenti.
Perhatiannya tersita kea rah gerumbulan semaksemak di samping kiri kanan di depannya. Nalurinya mengatakan kalau ada sesuatu yang tak
beres di sekitarnya. Untuk itu, kewaspadaannya
makin ditingkatkan ketika sudah cukup lumayan
jauh memasuki Hutan Wonocolo.
Benar saja. Dalam beberapa tarikan napas
kemudian, dari samping kiri dan kanan berlompatan beberapa orang lelaki berpakaian serba hitam dari balik-balik semak dan
pepohonan. Rata-rata
mereka bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar. Tidak. Satria tak kaget barang sedikitpun.
Karena dia memang telah menduganya. Malah
kakinya terus melangkah, seolah tak mempedulikan orang-orang yang berdiri di depannya dalam
keadaan siap siaga.
"Permisi... Numpang lewat," Satria membungkukkan badannya. Tangan kanannya menjulur ke bawah. Hendak dibelahnya barisan lelaki
berpakaian serba hitam yang menghadang langkahnya. "Tahan langkahmu, Bocah!" bentak lelaki yang berada paling tengah. Di sebelah
kirinya dua lelaki lain telah menghunus golok. Sedang dua di sebelah kanannya
telah menghunus clurit.
Mau tak mau, Satria Gendeng menghentikan langkahnya. Karena tak ada tanda-tanda kalau kelima lelaki ini mau memberinya jalan. Yang hanya dilakukan adalah garukgaruk kepala yang
tak gatal. "Ada yang salah dengan langkahku, Paman?" tanya Satria polos. Meski sudah menangkap gelagat tak baik, tapi sikapnya
masih terlihat tenang saja.
"Serahkan hartamu. Atau, nyawamu melayang ke neraka!" bentak lelaki di tengah. Berdebam, dia melangkah dua tindak
ke depan. "O, jadi kalian perampok" Bilang dong dari
tadi. Bukankah kalian bisa memperkenalkan diri
dengan mengatakan, maaf, kami perampok. Kami
hendak meminta hartamu. Begitu...," oceh Satria.
"Apakah kalau aku meminta secara baikbaik kau akan memberi?" tanya salah satu lelaki yang berada di sebelah kanan.
"Kalau itu nanti dulu. Aku kan cuma menyuruh kalian meminta baik-baik. Soal memberi,
he he he...." Satria cengengesan. Jelek sekali, membuat para perampok geram
bukan main. "Bangsat! Kau mau mempermainkan kami,
Bocah"! Apa kau tak tahu, siapa kami"!" bentak lelaki yang berada di kanan tadi.
"Mempermainkan" Apa kalian bisa diajak


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

main-main" Kalian maunya main apa" Umpetumpetan" Galah asin" Atau...."
"Diam!"
"Oh, main diam-diaman" Baik. Aku juga
bisa. Ka...."
"Kubilang tutup mulutmu!"
Kata-kata Satria Gendeng terpangkas oleh
bentakan lelaki yang berada paling tengah. Mulutnya langsung mengatup. Bentakan tadi memang cukup berisi tenaga dalam. Tapi sama sekali tak membuat Satria goyah.
"Kau tak tahu, siapa kami, heh"!" lanjut lelaki tadi. Satria diam. Mulutnya
mengatup. "Ayo jawab pertanyaanku"!" bentak lelaki di tengah lagi.
Satria tetap diam....
"Setan! Apa kau tak punya mulut, heh"!"
Terpaksa Satria membuka mulutnya. "Kalian ini bagaimana, sih" Tadi aku disuruh tutup mulut. Sekarang disuruh menjawab
pertanyaan. Maunya kalian apa"!"
"Bocah ini sedang mengerjai kita, Kakang
Lingga! Kita ringkus saja!" kata lelaki yang berada paling kiri.
"Benar! Ringkus saja, Kang! Kita kuras hartanya. Siapa tahu dia membawa uang banyak,"
sambung yang lain.
Dikompori begitu lelaki bernama Lingga
makin bernafsu saja. Malah nafsunya melebihi bila matanya melihat perempuan cantik. Apa yang
ada di benaknya hanyalah uang kepeng atau
uang emas. Siapa tahu pemuda di depan mereka
seorang hartawan.
"Bocah! Kau saat ini sedang berhadapan
dengan anak buah Tentara Langit yang menguasai Hutan Wonocolo. Maka suka atau tidak, kami
akan melenyapkanmu. Sudah menjadi hukum
kami bahwa orang yang lewat tempat ini harus
mampus!" desis Lingga.
"Kalau aku punya harta?" pancing Satria.
"Kau tetap harus mampus!"
"Kalau aku melawan?"
"Kau juga harus mampus!"
"Kalau aku mampus?"
"Kau tetap harus melaw..., eh"! Setan! Kau
mau mengerjaiku lagi, Cah! Bangsat! Terima kematianmu! Heaaatt...!"
Di ujung kalimatnya, lelaki bernama Lingga
langsung menggebrak dengan sebuah hantaman
kepalan tangan. Keras, berisi tenaga dalam lumayan. Menerabas udara, menciptakan angin
menderu. Di mata Satria, justru gerakan itu amat
lambat. Sehingga dia belum bertindak ketika joto-san itu sedikit lagi hinggap di
wajah segarnya. Ba-ru ketika satu jari lagi pukulan mendarat, enak
sekali tubuhnya bergeser ke kanan.
Serangan luput. Lawan terkejut. Sungguh
tak disangka kalau si pemuda yang kelihatan bau
kencur mampu menghindari pukulan yang menurut perkiraan si pemiliknya adalah paling dahsyat yang pernah dimilikinya.
Serangan berlanjut. Lingga yang sudah maju selangkah menyodorkan sikut. Hendak dihajarnya dada si pemuda bau kencur dengan sikut
kasarnya. Bed! "Hih!"
Pak! Lagi-lagi serangan kandas. Satria memapak
sikut lawan dengan tangan kirinya. Sementara
tangan kanan menyampok dari bawah. Arahnya
ulu hati lawan.
Bekh! "Hekh!"
Serangan balik Satria membuat lawan cengar-cengir serba salah. Ulu hatinya yang jadi sasaran terasa nyeri bukan main.
Napasnya seolah
berhenti mendadak. Sementara matanya melotot
tak percaya. Saking kalapnya, lelaki ini melengos ke arah kawan-kawannya.
"Kenapa kalian diam saja, Tolol"! Habisi
bocah sialan ini!" bentaknya.
Bergegas, empat lelaki lain langsung berlompatan menyerang Satria. Dan pertarungan
pun kembali tergelar. Sarat dengan kekejian yang siap berkobar.
LIMA APA maksudmu berkata begitu, Nyai" Yang
dikatakan Adi Darmo Singo benar. Persoalan ini
harus diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku di kalangan Warok!" tegas Warok Singo Lodra, ketika Nyai Gembili istrinya
telah berada di depannya.
"Tidak, Kakang. Kalau Kakang mau menyalahkan, salahkanlah Adipati Ngawi. Bukan Warok
Jogoboyo. Dia hanyalah rakyat biasa yang tak
menolak titah sang Adipati. Aku yakin, Warok Jogoboyo pun sudah tahu kalau anak kita hendak
menikah dengan Senoaji. Tapi kalau sang Adipati
punya keputusan lain?" sergah Nyai Gembili.
"Tapi kalau Warok Jogoboyo sengaja menanam budi dengan maksud agar sang Adipati
membatalkan pertunangan antara Nawangsih
dengan Senoaji?" sela Warok Darmo Singo.
"Betul, Nyai. Dan lagi, mestinya Warok Jogoboyo lebih menghargai aku daripada adipati sialan itu," sambung Warok Singo
Lodra. "Aku berharap, supaya kau tak menyesal
nanti. Kau telah salah tuduh, Kakang. Aku yakin, ada seseorang yang hendak
mengadu domba antara kau dengan Warok Jogoboyo. Untuk itu, berpikirlah lebih jernih. Tahan amarahmu," bujuk Nyai Gembili.
"Tidak. Nyai!" suara Warok Singo Lodra makin keras. "Kalau kau tak setuju, kau
boleh meninggalkan rumah ini!"
"Kakang" Kau hendak mengusirku?"
"Terserah apa anggapanmu!"
"Tapi aku hanya, mencoba mengingatkanmu, agar kau tak menyesal di kemudian hari. Dan
kalau Kakang memang hendak mengusirku, baik!
Aku pergi sekarang juga!" Nyai Gembili langsung berbalik. Lalu menghambur
memasuki kamarnya
disertai ledakan tangis memilukan.
Warok Singo Lodra menghembuskan napas
sesak. Kegeramannya memang sudah memuncak.
Amarahnya menggelegak. Tak ada seorang pun
yang dapat membendung niatnya untuk menantang Warok Jogoboyo. Tak pula istrinya.
* * * Walaupun lima lawan merangsaknya habis-habisan, tapi Satria Gendeng masih terlihat
tenang-tenang saja. Tebasan-tebasan golok maupun clurit yang dibuat para lawannya, di matanya bagaikan tebasan yang bergerak
amat lambat. Si
pemuda hanya berlompatan ke sana kemari untuk menghindarinya.
Wukh! Wukh! Dua tebasan kini hendak disarangkan dua
orang lawan di dua tempat yang mematikan tubuh Satria. Satu di bagian leher, satu lagi di bagian lambung. Angin sambarannya
memangkas udara. Seiring dengan itu, terdengar pula suara
menderu tajam. Agaknya, kedua serangan itu dikawal dengan tenaga dalam tinggi.
"Mampus kau, Tikus Busuk!" geram salah seorang lawan.
"Hih!"
Satria menarik lehernya ke belakang
menghindari tebasan yang hendak mengancamnya. Sementara serangan yang mengancam lambungnya dipapak dengan patukan telapak tangan
kirinya yang membentuk kepala ular. Bergerak
amat cepat, sehingga sebelum tebasan sampai di
lambungnya, patukan tangan Satria telah mendarat. Tak! "Adauuuww!"
Golok terlepas. Pemiliknya malah menjerit
kesakitan. Mantap sekali patukan tangan si pemuda bau kencur menyengat pergelangan tangannya yang memegang golok tadi. Sendinya seketika terlepas, tak dapat digerakkan lagi.
Sebelum lawan yang hendak menebas lehernya tadi membuat serangan kembali, si anak
muda cepat membuat putaran tubuh. Dibuatnya
satu tendangan melingkar. Begitu cepat dan tak
terduga. Dan.... Bukk! Lawan terjungkal. Tendangan kaki kiri Satria telak bersarang di iganya. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh tombak, saking kerasnya
tendangan tadi. Bahkan setelah itu, tak ada gerakan lagi ketika tubuhnya mencium
tanah. Melihat kedua kawan mereka begitu mudah dijatuhkan, ketiga lelaki berpakaian serba hitam lainnya jadi ciut nyalinya.
Tapi bukan berarti mereka menyerah begitu saja. Karena, mungkin
saja kedua tangan mereka terlalu ceroboh.
"Hiaaahh!"
Sebuah gebrakan baru dibuat lelaki bernama Lingga. Senjatanya yang juga berupa clurit
telah terhunus dan terangkat di atas kepala keti-ka tubuhnya meluruk.
Wukh! Wukh! Udara seolah terbelah oleh putaran cluritnya. Setiap putarannya seolah hendak menggetarkan nyali si pemuda. Sarat ancaman kematian
mengiriskan. Tidak. Sedikit pun Satria tak pernah gentar
menghadapi serangan biar seganas apa pun. Tak
ada dalam kamus hidupnya untuk kata gentar.
Ketangguhan si pemuda telah teruji ketika mengarungi Lautan Hindia dengan berenang seorang
diri di Pulau Dedemit. (Baca petualangannya di
episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger Pesisir Jawa").
Satria Gendeng yang sejak tadi mengerahkan jurus 'Patukan Bunga Karang' kembali bersiap. Mata sembilunya berusaha menangkap arah
yang dituju mata clurit.
Wukh! Sambaran clurit ternyata mengarah ke
ubun-ubunnya. Deras dan ganas. Hanya kematian seolah hendak ditebarkan lewat sambarannya. Udara pun terpangkas ke bawah.
Satria tak memandang rendah. Jelas kali
ini sambaran clurit lawan yang kelihatannya memiliki kepandaian paling tinggi itu tak bisa dianggap remeh.
"Kheaaa...!"
Satu jari lagi mata clurit menghujam ubunubun, Satria menggulingkan tubuhnya ke depan.
Bersamaan dengan itu, sebuah teriakan menyentak dibuatnya. Amat keras. Lalu tiba-tiba kedua
kakinya menjulur ke depan, mengarah ke bagian
selangkangan lawan.
Bukk! Lawan mendelik. Cluritnya terjatuh begitu
saja dari tangannya. Perlahan-lahan, tangannya
meraba bagian kantong menyannya. Perlahan tapi
pasti, tubuhnya melorot laksana kolor lecek.
Tepat ketika Satria Gendeng bangkit kembali hendak bersiap menghadapi dua lawan yang
tersisa, justru kedua lawannya malah ambruk
dengan mata melorot. Di punggung mereka tahutahu tertembus anak panah.
Sebelum Satria menyadari apa yang terjadi,
dari balik pepohonan bermunculan orang-orang
gagah berpakaian prajurit. Busur-busur panah
tampak masih tergenggam di tangan. Di antara
mereka, terdapat seorang berpakaian panglima
tanpa memegang busur panah
"Terima kasih, Paman Panglima. Tapi terus
terang, aku masih sanggup melumpuhkan mereka tanpa harus menghilangkan nyawa mereka,"
ucap Satria kepada lelaki gagah yang berpakaian
panglima. "Mereka perampok ganas, Anak Muda. Mereka dikenal sebagai anak buah Tentara Langit
yang menguasai Hutan Wonocolo ini. Sayang, salah seorang dari mereka keburu kabur ketika kami datang tadi. Sementara saat itu kau masih
bertarung dengan lawan terakhir yang kau robohkan," kata si panglima.
Satria menoleh ke belakang. Kenyataannya,
lawan yang pergelangan tangannya patah tadi sudah lenyap entah ke mana. Dan si pemuda memang tak begitu memperhatikan ketika para prajurit yang dipimpin seorang panglima tadi datang.
Tahu-tahu ketika dia berdiri, para prajurit yang memegang panah telah berhasil
melumpuhkan dua lelaki berpakaian serba hitam yang memegang clurit tadi.
"Siapa namamu, Anak Muda" Dan ke mana
tujuanmu?" tanya si panglima.
"Aku Satria. Tujuanku ke Kadipaten Ngawi," jawab Satria, terus terang.
"Apakah..., tunggu..., tunggu. Biar kutebak. Melihat ciri-cirimu, aku jadi teringat seorang pendekar muda yang baru-baru
ini meramaikan gonjang-ganjing dunia persilatan. Apakah kau
yang dikenal sebagai Satria Gendeng?" Sebaris senyum siap dilepas sang Panglima.
"Mungkin kabar lebih indah dari berita.


Satria Gendeng 19 Pertunangan Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang dikatakan orang, kadang tak terlalu sesuai dengan kenyataannya. Tapi kalau kau bilang
bahwa aku Satria Gendeng, memang begitu kenyataannya," sahut si pemuda. Sebenarnya ada ketidaksukaan jika julukannya
disebut-sebut. Ta-pi karena mungkin maksud si panglima hanya
sekadar untuk meyakinkan diri.
"Ah, tak dinyana. Selagi aku kebingungan
mencari-cari, ternyata yang dicari ada di depan
mata. Benar dugaanku. Kau pasti Satria Gendeng
yang tengah kami cari-cari!" Tanpa ragu-ragu lagi.
si panglima memeluk tubuh si anak muda perkasa. Sudah dipeluk, diangkatnya tubuh Satria dan
diguncang-guncangkannya. Tinggal Satria yang
meringis-ringis tak mengerti.
Heran" Kesurupan setan gundul mana
panglima ini" Begitu yang melintas di benak si
anak muda perkasa.
* * * Bukan main terperanjatnya ketika Warok
Jogoboyo membaca secarik lontar berisi tantangan. Yang paling membuatnya terkejut, surat tantangan itu berasal dari Warok Singo Lodra. Asli!
Lewat salah seorang utusannya, Warok
Singo Lodra mengirimkan surat tantangan setelah
Warok Darmo Singo berhasil membujuknya. Dua
hari kemudian, surat itu telah sampai di tangan
Warok Jogoboyo. Melihat ciri tulisan serta tanda tangan yang tertera, Warok
Jogoboyo yakin kalau
surat itu memang berasal dari kakak seperguruannya. "Hmmm.... Kini terbukti sudah. Warok Singo Lodra memang sengaja menantangku. Dan
ternyata dialah orang di balik semua peristiwa selama ini. Baik! Kupenuhi
tantangannya! Sekalian
untuk menuntaskan semua persoalan yang membuatku nyaris gila!" desis Warok Jogoboyo.
Kembali mata Warok Jogoboyo menempel
lekat-lekat di lembaran lontar berisi surat tantangan. "Dia tak menyebutkan, apa
alasannya menantang ku. Sama sekali tak disinggung peristiwa
yang terjadi selama ini. Dia mengambil tempat di Bukit Munthang, tempat yang
biasa digunakan
para warok untuk menuntaskan persoalan," gumam Warok Jogoboyo. Perlahan sekali
suaranya. Nyaris tak terdengar.
Masih dibalut kegeraman, Warok Jogoboyo
meremas daun lontar dalam genggamannya.
"Purnama nanti aku harus sudah ada di
puncak Bukit Munthang. Dan katanya, dia sudah
menunggu di sana," gumamnya lagi.
Lalu tubuhnya berbalik. Lebar-lebar, kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya
dengan napas memburu. Matanya berubah menjadi liar. Ketika matanya tertuju pada sebuah
cambuk di dinding rumahnya, napasnya menghembus kencang. Seolah, dia merasa berat untuk
menurunkan Cambuk Buntut Kala, yang selama
ini menjadi senjata andalannya. Karena yang dihadapi adalah kakak seperguruannya. Ini yang
memberatkannya.
* * * "Selamat datang di Kadipaten Ngawi, Pendekar Muda," sambut Adipati Suro Brajan ketika Satria Gendeng dibawa ke dalam
pendopo keraton. Di samping Satria, duduk seorang lelaki
gagah berpangkat panglima. Dialah Panglima Adi
Kencono yang membawa Satria ke Kadipaten
Ngawi, setelah mereka bertemu di Hutan Wonocolo kemarin. "Terima kasih, Kanjeng Adipati. Sebenarnya, aku agak kaget juga ketika mendengar penuturan Panglima Adi Kencono bahwa Kanjeng Adipati membutuhkan tenagaku. Maklumlah. Aku
hanyalah pemuda kemarin sore yang tak berkemampuan apa-apa," ucap Satria, merendah.
"Jangan merendah, Pendekar Muda. Kami
telah mendengar cerita tentangmu tadi. Juga ceri-ta tentang sepak terjangmu
selama ini," ujar Adipati Ngawi.
Tiga Dara Pendekar 9 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Kelelawar Hijau 11

Cari Blog Ini