Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SESOSOK tubuh melintas teramat cepat di sepanjang dataran luas berbukit-bukit yang membentang
di kaki Gunung Burangrang. Teramat cepat, sampaisampai amat sulit untuk menyaksikan secara jelas rupa orang itu. Beberapa batu gunung besar yang menghalangi dilompatinya tanpa kesulitan. Tak pandang
apakah tingginya melebihi pucuk cemara sekalipun.
Dari kelebatan tubuhnya yang menyerupai
bayangan berwarna kuning, bisa dinilai kalau orang
itu mengenakan pakaian kuning pula. Terlampau
mencolok untuk digunakan di siang bolong yang kebetulan gencar dengan sorotan sinar matahari. Dari
gambaran kelebatan bayangannya juga, masih bisa dinilai bahwa orang itu bertubuh lebih besar dari orang kebanyakan.
Sampai di suatu tempat di dekat hutan bambu
kuning, sosok bayangan tadi menghentikan larinya.
Dia berdiri di atas tanah yang agak tinggi. Kepalanya menoleh ke sana, dan
sebentar ke sini. Mungkin mencari seseorang, atau sesuatu. Yang diharapkan
tampak belum muncul. Sekarang, rupa serta perawakannya menjadi
jauh lebih jelas. Dia seorang tua berbadan subur.
Tinggi tidak. Hanya saja badannya terlalu mekar disesaki lemak. Perutnya buncit, menyebabkan pakaian
yang dikenakannya jadi kesempitan. Rambutnya tipis
kekuningan. Tak beda dengan rambut jagung. Orang
segemuk dia, tentu saja berpipi tebal. Kalau bayi
mungkin menggemaskan. Sementara untuk orang seperti dia, siapa yang sudi jadi gemas" Sorot matanya
memijarkan sesuatu yang mengerikan. Ada sebentuk
kejahatan kasat mata yang bersemayam dalam dirinya.
Dan hal itu hanya bisa ditemukan oleh pandangan
seorang waskita. Satu tangan si orang tua gendut
membawa senjata besar dari logam. Bentuknya berupa
gada. Sementara di bahu sebelah kanan, dia menyandang tas besar dari kulit.
Beberapa saat menanti, akhirnya datang juga
seseorang. Mula-mula terdengar desir kencang angin
yang menandakan kehebatan ilmu lari cepat si pendatang. Lalu sekelebat bayangan melintas dari arah depan si orang tua gendut. Hanya dalam sekedipan mata
berikutnya, sudah muncul seorang bercaping lebar
dan mengenakan jubah hitam-hitam.
Seperti tak hendak berbasa-basi, orang berjubah hitam dengan tetap menyembunyikan wajahnya
dibalik caping bertanya, "Apa yang kau dapat?"
"Kami telah menemukan mereka," lapor orang
tua gendut, datar.
Orang berjubah hitam mengangguk samar. Terlihat dari gerakan capingnya.
"Di mana mereka?" susulnya dengan suara berat. Seperti sejak awal dia bertanya.
"Di suatu tempat di kaki Gunung Burangrang.
Mari kuantar"
"Tidak sekarang," sergah orang berjubah hitam.
Lalu lanjutnya, "Purnama masih berselang cukup la-ma. Aku tak mau membawa gadis
itu lebih awal. Ada
orang-orang tertentu yang akan berusaha membebaskannya dariku. Jika waktunya tak tepat. Aku tak
mau ada halangan. Segalanya sebaiknya berjalan mulus!" Orang tua gendut mengangguk sekali.
"Yang penting sekarang, kalian harus tetap bersama mereka. Laporkan di mana pun mereka berada.
Jika saatnya tiba, aku akan membawa si anak perawan itu. Kau mengerti?"
Orang tua gendut mengangguk lagi.
"Sekarang kembalilah kau! Ingat, aku tak ingin
rencana ini gagal. Jika itu sampai terjadi, maka kalian akan kehilangan kepala!"
Selesai menandaskan pernyataan yang lebih
mirip sebuah ancaman, orang berjubah hitam bergerak. Mendadak dia seperti raib dari tempatnya berdiri.
Dia tak lain tak bukan, Manusia Makam Keramat. Penampilannya telah berubah, sesuai dengan rencana
baru yang akan dijalankan.
Sementara orang tua gendut pun meninggalkan
tempat tersebut menuju arah di mana dia datang sebelumnya. Dia tentu saja Gendut Tangan Tunggal. Sebagaimana diketahui bahwa pendekar tua bertubuh buntal itu menjadi kehilangan jati dirinya setelah dikuasai pengaruh Manusia Makam
Keramat. Dia kini tak lebih
dari budak berhati bejat. Sebagaimana nasib yang dialami oleh kawan seperjuangannya pula, Pendekar
Muka Bengis. Terakhir kali, pasangan aneh itu bertemu dengan Satria dan Rara Lanjar yang tengah bersembunyi
di kaki Gunung Burangrang. Karena hal itu pula Gendut Tangan Tunggal melaporkan pada Manusia Makam
Keramat. (Baca serial Satria Gendeng pada episode:
"Nisan Batu Mayit").
* * * Satria masih tertegun-tegun setelah menemukan tiga benda di dalam lobang sebuah pohon besar
tua. Salah satu benda sudah amat dikenalinya. Benda
itu tak lain Kail Naga Samudera, senjata pusaka si
pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Senjata itu beberapa waktu telah hilang tak tentu rimbanya. (Dapat di-baca pada episode
sebelumnya: "Memburu Manusia
Makam Keramat")
Dua benda lain tak begitu asing lagi di benak
Satria Gendeng. Topeng kayu Arjuna dan sebuah kitab
berkulit kayu. Kendati baru sekali itu melihat, Satria yakin kitab yang
ditemukannya adalah kitab amanat
dari Ki Arga Pasa yang direbut orang bertopeng Arjuna, sebagaimana penuturan
Palguna, salah seorang murid
kepercayaan Ki Arga Pasa.
Satria menyelipkan Kail Naga Samudera ke ikat
pinggang. Sudah cukup lama benda itu tak ada di sana, semenjak dicuri diam-diam darinya. Sampai sekarang, tak jelas siapa pelakunya. Satria jadi bertanyatanya dalam hati, untuk apa
Kail Naga Samudera dicuri setelah itu hanya disimpan dalam sebuah lobang
pohon tua" Padahal berpuluh-puluh bahkan mungkin
beratus orang dunia persilatan justru amat bernafsu
untuk secepatnya memanfaatkan jika mereka sempat
memiliki. Satu pertanyaan yang sulit sekali untuk dijawab saat sekarang ini, pikir Satria.
Sedangkan dia sendiri masih belum bisa menduga-duga siapa sesungguhnya orang selalu bersembunyi di balik topeng Arjuna. Satu kesimpulan yang
sudah cukup jelas cuma, bahwa si orang bertopeng telah mencuri Kail Naga Samudera, sekaligus kitab amanat Ki Arga Pasa.
"Hendak ku apakan dua benda ini sekarang?"
bisiknya, menanyakan diri sendiri.
"Hanya ada satu cara agar aku bisa mengetahui
siapa orang di balik topeng yang telah mencuri Kail
Naga Samudera dan kitab amanat Ki Arga Pasa," bisiknya lagi sambil menimang-nimang kedua benda di
tangannya. Satria Gendeng tersenyum. Dia ada akal kecil.
Akan diletakkan kembali dua benda tersebut ke tempat
semula. Setelah itu, tinggal ditunggunya siapa yang
akan datang mengambil. Orang yang mengambilnya,
sudah bisa dipastikan sebagai si pencuri sekaligus
orang yang selama ini bersembunyi di balik topeng Arjuna! Untuk Kail Naga Samudera, Satria tetap akan
menahannya. Akal kecil yang sebenarnya terlalu sederhana,
bukan" Sama sekali tak akan ada salahnya bila dicoba, pikir Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu baru hendak
melompat kembali ke atas dahan yang berdekatan
dengan lobang tapi urung oleh teguran pikirannya.
"Kenapa aku begitu bodoh! Bukankah tanpa
perlu meletakkan kembali kedua benda itu, si pencuri
tetap akan datang mengambil" Terutama selama orang
itu tak menyadari kalau aku telah mengambil seluruh
benda itu" Dengan begitu, kedua benda ini tetap akan
aman di tanganku...," timbangnya.
Terlintas juga dalam pikiran Satria untuk menyerahkan kitab di tangannya kepada Rara Lanjar terlebih dahulu. Namun, kembali pikiran lain datang. Bagaimana kalau si pencuri datang ketika dia sedang
kembali ke gubuk" Itu berarti dia telah kehilangan kesempatan besar untuk
membuka rahasia wajah di balik topeng Arjuna.
Satria menggeleng.
"Tidak bisa," katanya, memutuskan.
Selesai menimbang kembali rencana kecilnya,
Satria segera mencari tempat yang cukup tersembunyi.
Diputuskan untuk menanti dan mengintai orang penuh teka-teki itu. Ditemukannya semak belukar. Cukup rimbun. Cukup pula untuk tempatnya mengintai
tanpa terlihat.
"Aku penasaran sekali, siapa sesungguhnya
orang itu," ucapnya tetap berbisik sambil menurunkan badan ke balik semak. Dia
duduk bersila menghadap
ke arah pohon besar tua. Mulai sekarang, dia akan
menanti. Menanti. Pekerjaan yang membosankan untuk
siapa pun, kecuali bagi orang tak waras. Biar bagaimana, Satria merasa harus melakukannya. Sampai berapa lama, dia sendiri belum bisa memastikan. Mungkin setengah hari, satu hari, dua hari, atau lebih.
Memikirkan kemungkinan itu, kepalanya digeleng-gelengkan.
"Entah kenapa aku mau melakukan ini. Bodoh
sekali sepertinya. Aku pasti menyesal kalau orang itu tak akan muncul hingga
lebih dari seminggu, atau aku
berlumut di sini!" gerutunya pada diri sendiri, kendati dia sudah benar-benar
berniat untuk tetap menunggu.
Sambil menanti, dia mencoba bersemadi. Dengan cara itu, Satria bisa mengenyahkan kejenuhan.
Sementara bersemadi, akan tetap dipasangnya pendengaran tajam-tajam. Suara mencurigakan sekecil
apa pun, bisa dijadikan patokan untuk memutus segera semadinya. Syukurlah pekerjaan paling menjemukan itu
tak berlangsung lama. Hanya sekitar dua kali penanakan nasi, akhirnya datang juga seseorang ke tempat
tersebut. Satria memutus semadinya. Pandangan dipasang setajam mungkin. Dari sela-sela rerimbunan semak, dia mengawasi.
"Satria! Satria!"
Terdengar pula seruan suara wanita, memanggil namanya. Menyusul munculnya seseorang. Pendekar muda itu menghela napas. Wajahnya memperlihatkan garis agak kecewa mengetahui orang yang datang ter-nyata Rata Lanjar. Dia bangkit.
"Aku di sini, Lanjar!" ucapnya, agak ditahan-tahan. Rara Lanjar menghampiri.
"Dari mana saja kau, Satria" Aku sudah mencari-carimu ke mana-mana. Sudah hampir tujuh keliling aku mencari, tak tahunya kau malah sedang enakenakan di semak-semak. Sedang apa kau sebenarnya"
Tidur" O, main sembunyi-sembunyian" Kau pikir aku
akan suka" Kau bukan anak kecil lagi, Satria. Aku pun tidak mau kau perlakukan
seperti anak kecil," sembur Rara Lanjar sengit. Wajahnya bersungut-sungut.
"Sabar... sabar," bujuk Satria berbisik. Telun-juknya diangkat ke depan bibir,
mengisyaratkan Rara
Lanjar untuk tidak ribut.
"Bagaimana aku bisa sabar" Apa kau tahu keadaan Ki Damar Sakti mulai memburuk lagi!" hardik Rara Lanjar.
Satria meringis gemas sambil menggaruk-garuk
kepala. "Kubilang jangan bikin ribut!" desisnya.
Rara Lanjar baru hendak buka mulut lagi. Satria tak mau mendapat semprotan seorang perawan
yang bisa membuat dirinya kebingungan seperti orang
tolol. Didahuluinya saja Rara Lanjar dengan mengeluarkan topeng kayu dan kitab yang ditemukannya.
"Lihat ini!" sergahnya.
Rara Lanjar tak berkedip menyaksikan dua
benda yang diperlihatkan Satria. Alisnya bertaut.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan benda ini?"
tanyanya dengan paras ternganga.
"Ssssst!"
Satria menarik pangkal lengan gadis di depannya, memaksanya untuk merunduk ke dalam semak.
"Mau apa kau, hah?" sentak Rara Lanjar dengan wajah memerah. Ditepisnya tangan Satria.
Brengsek dua belas kali, rutuk Satria membatin. Ada yang telah salah tanggap rupanya
"Sial kau! Aku bukan hendak berbuat mesum.
Kau pikir aku ini sejenis pemuda yang senang main
'semak-semak'an?"
Rara Lanjar bersungut. Meskipun Satria tak
mengatakan langsung, Rara Lanjar tetap menganggap
ucapan Satria agak mesum. Dia jadi sebal.
"Jadi kau mau apa"!" tanyanya masih dibayangi nada membentak.
"Sudah kau merunduk saja ke semak. Nanti ku
jelaskan!"
Rara Lanjar menurut juga.
Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang jelaskan!" pintanya kemudian, tanpa mengubah parasnya yang terlalu
kecut di pandangan
Satria Gendeng.
"Aku menemukan kedua benda ini di atas lobang pohon itu!" papar Satria, setelah dia turut menyembunyikan diri ke dalam
semak. Tangannya menunjuk pohon besar tua.
"Bagaimana kau bisa tahu di sana ada lobang
tempat menyembunyikan benda ini?"
"Semacam naluri kependekaranku yang memang amat peka...," puji Satria pada diri sendiri. Maksudnya bukan begitu
sebenarnya. Dia cuma ingin meledek Rara Lanjar.
Rara Lanjar mencibir.
"Ah, kau tak perlu bertanya begitu. Pokoknya,
kau harus tahu bahwa aku sengaja bersembunyi di
tempat ini untuk mengintai orang yang telah meletakkan semua benda-benda ini di lobang pohon besar itu,"
tandas Satria Gendeng.
"Dengan begitu kau akan mengetahui siapa
orang yang telah mengenakan topeng kayu ini?"
"Kau bukan gadis tolol rupanya."
"Tapi bagaimana dengan Ki Damar Sakti"!"
"Bagaimana dengan dia?"
"Kau ini bagaimana" Aku sudah bilang barusan, orang tua itu keadaannya mulai memburuk lagi!
Apa kau tuli?"
"Aku tidak tuli! Cuma aku agak bingung menentukan apa aku harus tetap menanti atau kembali
ke gubuk"!"
"Kau ini pemuda apa" Tak sepantasnya kau
menanyakan satu keputusan genting pada orang lain.
Kau harus belajar dari setiap keadaan, jangan menggantungkan keputusan selalu pada orang lain!" cera-mah Rara Lanjar.
Satria gemas. Sok tahu sekali gadis ini! "Baik...
baik. Begini saja. Kau kembali ke gubuk, aku akan tetap di sini!" putusnya, ngotot.
"Percuma saja aku menyusulmu ke sini kalau
begitu. Aku tak tahu menahu soal pengobatan. Orang
tua buncit belum kembali membawa tabib sampai sekarang. Sedangkan kau sedikit banyak tahu soal itu.
Bukankah kau murid Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau
Dedemit itu?" serang Rara Lanjar, tak mau kalah.
Satria bersungut-sungut. Jadi juga dia kebingungan oleh semprotan-semprotan 'sakti' seorang perawan seperti Rara Lanjar. Tapi, demi kepala plontos
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tak sudi disebut sebagai pemuda yang tak
punya ketegasan oleh Rara
Lanjar. Satria bangkit. Kedongkolan mendekam di wajahnya. "Begini saja. Kau yang menunggu di sini, aku akan kembali ke gubuk!"
"Itu lebih bagus! Sekarang cepatlah kau kembali!" "Tapi apa kau yakin bisa mengatasi semua ini?"
"Pergi saja kataku! Pergi!"
DUA MATAHARI sudah beranjak cukup tinggi. Siang
datang menjelang. Panas tak terlampau sengit. Teduh
saja. Karena awan putih hampir menirai rata seluruh
wajah angkasa. Sementara Satria Gendeng dalam perjalanan
kembali ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Di gubuk itu sendiri Ki Damar Sakti telah siuman. Di atas
balai, lelaki tua itu menceracau sesuatu tak jelas, seperti orang mengigau.
Wajahnya dipenuhi peluh. Kepalanya bergerak-gerak lemah. Tubuhnya bergetaran.
Beberapa kali terlihat bagai menggigil hebat. Sepertinya dia dalam keadaan berkutat untuk melepaskan
diri dari suatu belenggu.
Di balik pintu gubuk, seseorang mendengarkan
lenguhan dan ceracauan Ki Damar Sakti dengan wajah
tegang. Parasnya tertarik amat parah. Ada sesuatu
yang begitu mengkhawatirkan orang itu. Bukan terhadap keadaan memprihatinkan pendekar tua yang sakit
terluka dalam parah di dalam sana. Melainkan khawatir kalau Ki Damar Sakti sempat siuman dan mengatakan rahasia yang diketahuinya pada Satria atau Rara
Lanjar. Orang ini adalah Pendekar Muka Bengis. Tokoh
golongan lurus, kawan Gendut Tangan Tunggal, yang
telah menempuh jalan sesat tanpa disadari akibat pengaruh Manusia Makam Keramat.
Sebagaimana diketahui, Ki Damar Sakti tidak
semata mengalami luka dalam. Selama ini, sedikit demi sedikit tubuhnya digerogoti dari dalam oleh penyaluran hawa perusak yang dilakukan oleh Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Satria atau
Rara Lanjar tak mengendusi. Mereka hanya mengira
kalau kedua orang itu sedang menyalurkan hawa
murni untuk membantu penyembuhan Ki Damar Sakti. "Hmm," gumam Pendekar Muka Bengis seperti
mendengus. "Aku bagaimana mungkin Damar Sakti
masih sempat siuman setelah aku dan si Buncit menyalurkan hawa perusak ke dalam dirinya beberapa
kali?" lanjutnya bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Muka Bengis patut mengherankan
keadaan Ki Damar Sakti. Namun kalau dia mengerti
bagaimana kekuatan hati pendekar tua itu untuk menyampaikan rahasia yang diketahuinya pada Satria
dan Rara Lanjar, tentu Pendekar Muka Bengis bisa
mengerti. Kendati dalam keadaan setengah sadar, dalam kalbu Ki Damar Sakti sudah terpatri kuat keinginan untuk memperingati Satria dan Rara Lanjar tentang ancaman yang datang dari Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Kekuatan hati terkadang mendatangkan sebentuk keajaiban jika tak bisa
disebut mukjizat. Dan itu dialami oleh Ki Damar Sakti sekarang ini. Meskipun
jika dinilai oleh Pendekar Mu-ka Bengis, dia sudah tak mungkin lagi untuk
siuman. "Bisa berbahaya jika Damar Sakti keparat ini
membuka mulut...," desis Pendekar Muka Bengis. "Aku harus membunuhnya sekarang
juga. Jika nanti Satria
Gendeng datang, akan kukatakan saja bahwa jiwa
Damar Sakti tak dapat diselamatkan akibat luka dalamnya yang sudah kelewat parah..."
Pendekar Muka Bengis melirik kian kemari sejenak, mewaspadai kedatangan Satria Gendeng. Yakin
dia masih punya cukup waktu untuk menjalankan
rencana sebelum Satria Gendeng tiba, dia segera masuk ke dalam gubuk.
Di dalam dia melangkah mendekati tempat
pembaringan Ki Damar Sakti.
Wajahnya berubah.
Membatu. Dan memeram hawa angkara.
Satu tindak dari Ki Damar Sakti yang masih
terbaring gelisah, tangan kiri Pendekar Muka Bengis
terangkat perlahan menuju dada pendekar tua itu. Telapaknya membuka lebar, kaku. Ditempelkannya telapak tangan ke dada Ki Damar Sakti.
Wajah Pendekar Muka Bengis makin membatu.
Bibirnya melekuk ganjil.
Perlahan warnanya berubah merah kebiruan.
Ada getaran kuat.
Nafasnya menyentak-nyentak.
Dari wajah, getaran beringsut turun ke tangan.
Sebentuk tenaga pun mengalir dari sekujur serat di tangan itu. Menggiring sengatan maut. Mata manusia biasa, tak akan menangkap adanya semacam
cahaya halus berwarna keunguan yang mengaliri sekujur tangan kiri Pendekar Muka Bengis. Lambat tapi
pasti, ujung cahaya mendekat ke dada Ki Damar Sakti.
Jaraknya kian dekat. Tersisa dua jari saja.
Sampai suara pintu gubuk dikuak seseorang,
memenggal usaha keji Pendekar Muka Bengis menghabisi riwayat Ki Damar Sakti. Cepat-cepat lelaki berwajah garang itu menurunkan tangan kiri dari dada
calon korbannya.
Berbalik cepat, dicoba menyembunyikan wajah
berhawa angkaranya serapat mungkin.
"Ah, Satria... syukurlah kau telah kembali!"
sambutnya, ketika menyaksikan orang yang masuk.
Satria yang mengkhawatirkan keadaan Ki Damar Sakti
tentu tak begitu memperhatikan paras Pendekar Muka
Bengis. Keadaan itu menguntungkan Pendekar Muka
Bengis. Dia selamat dari kecurigaan si pendekar muda.
Satria bergegas mendekati pembaringan Ki Damar Sakti. "Bagaimana keadaannya, Orang Tua?" tanya
Satria. "Buruk. Luka dalamnya makin parah saja," sahut Pendekar Muka Bengis
sambil membuang wajah
ke arah Ki Damar Sakti agar Satria tak menemukan
warna parasnya saat bertanya barusan. Sekaligus pula
menyamarkan kegusaran karena rencana busuknya
telah gagal. Tetap berdiri di samping pembaringan, Satria
memeriksa keadaan Ki Damar Sakti. Menyaksikan wajah Ki Damar Sakti basah oleh keringat, Satria melepas kain ikat pinggangnya.
Diletakkan Kail Naga Samudera
ke sisi pembaringan. Setelah itu dia sendiri yang menyapu keringat di wajah Ki Damar Sakti.
"Lihatlah bibirnya sudah demikian membiru,"
ucap Satria terdengar memelas. "Dia dalam keadaan amat gawat. Luka dalamnya
telah sampai ke jalan darah menuju otaknya," duganya atas dasar pelajaran seni
pengobatan yang sempat diterimanya dari Ki Kusumo. "Kupikir juga begitu," timpal
Pendekar Muka Bengis. Padahal matanya tertuju pada Kail Naga Samudera, seakan seekor kucing liar yang menatap sepotong daging empuk.
Satria melangkah. Tak tenang, dia berjalan hilir-mudik. "Aku masih tak mengerti. Bagaimana hawa
murni yang selama ini kita kerahkan ke dalam tubuh
Ki Damar Sakti seperti tak berpengaruh sama sekali?"
gumamnya, gundah.
Pendekar Muka Bengis diam saja. Kalau Satria
Gendeng lengah, matanya kembali menerkam rakus ke
arah Kail Naga Samudera.
"Bagaimana dengan Pak Tua Gendut" Apa dia
belum juga kembali?" tanya Satria.
Pendekar Muka Bengis menggeleng. Satria
mengeluh. "Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap Ki
Damar Sakti. Keadaannya sudah terlalu parah untuk
bisa kutangani dengan sedikit pengetahuan pengobatan yang kupunya. Bagaimana dengan kau, Orang
Tua?" Pendekar Muka Bengis menggeleng lagi.
"Kita tak bisa hanya menunggu kedatangan Pak
Tua Gendut. Sebaiknya kita bawa segera Ki Damar
Sakti ke seorang tabib."
Pendekar Muka Bengis mengangguk. Kendati
dalam hatinya menyumpah-nyumpah
Bergegas, Satria mengangkat tubuh menggigil
Ki Damar Sakti dari pembaringan. Dibopongnya keluar. Terlalu khawatir dia pada keselamatan pendekar
tua itu. Salah satu sifat yang menjadi dinding kalbu si pendekar muda sejak
masih kanak-kanak. Kendati hidup dalam dunia persilatan yang berbau anyir sepanjang waktu, dalam kebengisan, kekerasan, dan dunia
yang selalu cenderung tak berbelas, hatinya tak pernah kehilangan sifat welas asih.
Besi boleh lebur oleh panas tinggi. Karang boleh
kikis oleh gelombang. Benteng boleh gugur oleh tempaan hujan dan terik mentari. Tapi sifat welas asih itu dalam dirinya tidak.
Sementara, si pendekar muda sepertinya nyaris
melupakan Kail Naga Samudera di sisi pembaringan.
Pendekar Muka Bengis menyeringai tersembunyi. Dia benar-benar berharap Satria melupakan
senjata pusaka itu. Dengan begitu, dia akan mengambilnya. Persoalan apakah Satria akan mencarinya nanti, urusan belakangan.
Untung saja, ketika Satria mengangkat tubuh
Ki Damar Sakti, tanpa sengaja Kail Naga Samudera
terdorong sikunya. Benda itu jatuh ke tanah.
Pendekar Muka Bengis menatap dengan mata
gusar. "Ah, hampir saja aku melupakan senjataku itu,"
ucap Satria. "Pak Tua, bisakah kau menolongku mengambilkan benda itu?" pinta Satria pada Pendekar Muka Bengis. Dia sudah tak bisa
merunduk karena telanjur
membopong Ki Damar Sakti.
Lelaki berwajah bengis itu tersenyum dipaksakan. Keparat, rutuknya dalam hati. Dia tak pernah
berharap mengambilkan benda pusaka itu untuk si
pemuda. Gusarnya mungkin melonjak sampai ke tenggorokan atau ubun-ubun. Tapi itu harus ditelan Pendekar Muka Bengis mentah-mentah dengan senyum
dibuat-buat sepanjang hendak menjaga siasat.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Muka Bengis
mengambil Kail Naga Samudera, lalu dihajarnya Satria
secara mendadak dengan benda itu. Dalam keadaan
tak menduga sama sekali, tentu tak terlalu sulit untuk menjatuhkan pendekar muda
itu. Terlebih dia dibebani
tubuh Ki Damar Sakti. Namun jika itu dilakukan, maka dia telah menghancurkan seluruh siasat. Rara Lanjar yang sedang dalam incaran Manusia Makam Keramat yang kini menjadi semacam 'majikannya', tentu
akan curiga. Sementara Gendut Tangan Tunggal belum
juga kembali untuk mengabarkan rencana selanjutnya.
Pendekar Muka Bengis menyerahkan Kail Naga
Samudera langsung ke tangan Satria.
"Terima kasih, Pak Tua," hatur Satria, meng-hargai. Untuk Pendekar Muka Bengis,
Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa seperti ejekan. Satria keluar lebih dahulu dari gubuk.
Pendekar Muka Bengis mengikuti di belakangnya. "Apa yang hendak kau lakukan, Pak Tua?"
tanya Satria seraya berbalik.
Pendekar Muka Bengis agak terkejut mendapat
pertanyaan Satria Gendeng. Dia mengira Satria mulai
curiga dengan sikapnya.
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Muka Bengis. "Kau turut keluar" Apa kau ingin turut mengantar?" "Ya, tentu saja!" ujar Pendekar Muka Bengis, lega. Dugaannya keliru.
"Kurasa tak perlu. Sebaiknya kau menyusul
Rara Lanjar di sebelah Tenggara kaki gunung. Dia pasti lebih membutuhkan bantuanmu."
"Kenapa dengan gadis itu?"
"Aku tak sempat menjelaskan. Sebaiknya kau
ke sana saja!"
"Baik."
Lalu, Satria melanjutkan langkah yang tertunda. Dia berlari mengerahkan segenap kemampuan ilmu
meringankan tubuh sekitar sepuluh tombak dari pintu
gubuk. "Keparat...," geram Pendekar Muka Bengis, se-peninggalan pendekar muda
itu. Pertama dia gusar setengah mampus karena tak berhasil mendapatkan Kail
Naga Samudera tanpa harus merusak siasat. Kedua
dia mengkhawatirkan Ki Damar Sakti sempat membocorkan siasat itu pada si pendekar muda tanah Jawa.
Kalau terjadi, seluruh siasat akan hancur tanpa hasil.
Di lain tempat, Satria berlari bagai kesetanan.
Arahnya menuju desa terdekat, tanpa kepastian apakah di sana tinggal seorang tabib atau tidak. Satria tak terlalu mempedulikan
itu. Setiap usaha memang seperti mata uang logam yang memiliki dua sisi. Bisa
berhasil, atau gagal. Terkadang usaha dalam hidup tak bisa dibedakan dengan
perjudian. Tak jarang pula ta-ruhannya nyawa. Biar begitu, hidup tetap hidup.
Ni- lainya tak bisa ditentukan dari pandangan seorang
penjudi. Melainkan dari pandangan seorang pejuang
hidup itu sendiri, yang menganggap nilai tertingginya terdapat pada perbuatan
terbaik yang bisa diusaha-kan. Bukan sekadar hasil semata.
"Ssssatriaa.... Sat... ria...."
Sedang gencar mengayun kaki, sayup-sayup telinga si pendekar muda menangkap suara bisikan.
Satria menghentikan larinya. Dia ingin meyakinkan apa yang barusan didengarnya. Dan bisikan itu
terdengar lagi. Sekali ini jauh lebih jelas. Datangnya dari diri Ki Damar Sakti
dalam bopongannya.
"Jangan banyak bicara dulu, Ki. Aku hendak
mengusahakan agar kau bisa dirawat oleh seorang tabib," cegah Satria ketika menyaksikan bibir pendekar tua itu bergerak-gerak
hendak berkata.
Tangan kanan Ki Damar Sakti terangkat susahpayah dan bergetar.
"Ak... aku hhharus mengatakan sess... suatu
padamu, Satria...," katanya lagi, terbata.
Menyaksikan bersit mata redup Ki Damar Sakti
yang demikian berharap untuk didengarkan, Satria jadi tak ingin mencegah orang tua itu untuk melanjutkan ucapan. Diperhatikannya setiap potong kata
yang tersendat keluar dari mulut Ki Damar Sakti.
"Kkk... au hharrus hati... hati. Ad... a."
"Ada apa, Ki?"
Tak ada jawaban lagi. Sia-sia Satria bertanya.
Bahkan tak juga ada tarikan napas pendekar tua itu.
Dia telah kehilangan nyawa sebelum Satria sempat
mengantarkannya pada seorang tabib.
TIGA SAYANG sekali Ki Damar Sakti belum sempat
mengungkapkan rahasia yang diketahuinya. Ajal memang datang pada waktunya, tanpa bisa diundur atau
dicegah. Kapan dan di mana kematian akan mendatangi insan menjadi sebagian teka-teki milik Tuhan.
Biar bagaimana, Satria Gendeng tak bisa bilang
apa-apa. Pada dasarnya, dia pun tak bisa menyesali
keterlambatan Ki Damar Sakti untuk mengatakan sesuatu yang ingin disampaikan pada Satria. Selama ini, Ki Damar Sakti tak
sadarkan diri. Ketika siuman, maut malah lebih cepat menjelang dari keinginan
kuatnya mengungkap rahasia.
Satria sendiri tak pernah menduga sebelumnya
mendiang pendekar tua itu hendak mengungkap sesuatu. Kalaupun tahu, tetap tak akan bisa memaksa Ki
Damar Sakti bicara saat dia tak sadarkan diri.
Yang ada kini dalam hati Satria cuma rasa penasaran yang menggumpal-gumpal. Penasaran pada
ucapan yang tak sempat dikatakan Ki Damar Sakti.
"Apa sebenarnya yang hendak kau ungkapkan
kepadaku, Orang Tua?" tanya Satria, berbisik. Jasad Ki Damar Sakti masih di atas
bopongannya. "Aku yakin, kau hendak mengungkap sesuatu
yang demikian genting, sehingga saat maut menjelang
pun kau masih bersikeras untuk bicara..." reka pendekar muda murid Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dan
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Satria memutuskan untuk menyelidik perkara
itu. 'Asap ada karena api'. Seperti juga keinginan Ki Damar Sakti berbicara
menjelang ajal tentu didorong
oleh satu alasan tertentu.
Satria kemudian menggali liang.
Liang selesai, jasad Ki Damar Sakti pun ditanam di dalamnya.
"Aku harus pergi ke perguruan yang dipimpin
mendiang Ki Damar Sakti. Dari sana aku bisa memulai
penyelidikan...," gumamnya kemudian.
"Tapi bagaimana dengan masalah yang harus
dihadapi Rara Lanjar?" sergahnya pada diri sendiri.
"Ah, bukankah telah ada Pak Tua Muka Bengis.
Jelas dia bisa diandalkan untuk membantu jika Rara
Lanjar dalam kesulitan," tepisnya.
Satria pun beranjak.
Gundukan basah membisu mengiring kepergian Satria. Angin menyenandungkan tembang pengiring keberangkatan satu jiwa ke alam abadi.
* * * Rara Lanjar masih berada di tempat Satria menemukan kitab, topeng, dan senjata pusakanya. Sebelum pergi waktu itu, Satria Gendeng menyerahkan topeng kayu dan kitab kepada Rara Lanjar. Menurut Satria, Rara Lanjar-lah yang punya kepentingan besar
terhadap kedua benda itu.
Kepentingan Satria sendiri cuma Kail Naga Samudera. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menggantungkan keselamatannya pada senjata pusaka itu. Dia
lebih mempercayai dirinya sendiri. Bukankah keselamatan tergantung bagaimana seseorang dapat membawa dirinya dalam mengarungi kehidupan"
Cuma saja, Kail Naga Samudera adalah benda
pemberian salah seorang gurunya, Ki Kusumo. Tak
pantas rasanya jika dia tak bisa menjaga benda amanat itu. Ada satu alasan lagi yang paling membuat nge-ri Satria jika benda itu
hilang atau sempat jatuh ke
tangan orang sesat. Apalagi kalau bukan omelan
'samber geledek' Dongdongka, guru 'rada-rada'-nya"
Kembali kepada Rara Lanjar, saat itu dia mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Langkahlangkahnya terdengar ringan. Langkah seperti itu
hanya terdengar dari langkah seorang yang memiliki
ilmu meringankan tubuh. Jelas dia orang persilatan.
Tubuh Rara Lanjar mematung. Tegang. Wajahnya tak bergeming.
"Satria?" bisiknya menduga-duga.
Hanya terdengar gesekan dedaunan terusik angin. Rara Lanjar semakin tegang. Telinganya kini
sama sekali tak menangkap lagi suara langkahlangkah halus. Padahal sebelumnya dia yakin telah
mendengar derap di atas rumput yang mendekat ke
arahnya. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Dia
mulai mengendusi satu ancaman. Selang berikutnya,
perasaannya memperingati adanya seseorang yang
tengah mengintai dari arah belakang.
Rara Lanjar sigap menoleh.
Bertepatan dengan itu, sekelebatan bayangan
meluncur deras dari atas pohon besar, sekitar tujuh
tombak di belakangnya. Gerakannya menghasilkan deru santer, pertanda kematangan tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya mirip tukikan seekor
elang menyambar mangsa.
Sengit. Ganas. Wrrrr! Lalu sekelebatan, mata Rara Lanjar menangkap
gerakan tangan orang yang meloncat. Sasarannya kitab bersampul kayu di tangan kanan Rara Lanjar.
Gerakan mendadak itu tak sempat membuat
Rara Lanjar kehilangan ketenangan. Nalurinya cepat
menyentakkan perintah. Tangan kanannya diturunkan. Wukh! Sambaran orang yang jelas-jelas hendak merebut kitab tulisan seorang prabu Pajajaran itu menjadi luput. Hanya menyambar
angin. Rara Lanjar menyusulkan gerakan. Tangan kirinya yang memegang topeng kayu disampokkan ke
depan, mengimbangi kecepatan gerak menyambar
orang tadi. "Heaaa!"
Wush! Masih di udara, orang tadi memapak sampokan
Rara Lanjar dengan sepasang telapak tangannya. Dengan tindakan itu pula, dia menghentikan laju tubuhnya, sekaligus membuat putaran tinggi kembali ke belakang. Di atas pohon sebelumnya, sosok itu menjejak
lalu mencelat kembali ke pohon yang lebih lebat. Berkali-kali. Dari satu pohon ke pohon yang bersebelahan.
Membentuk lingkaran besar, seakan seekor dewa kera
yang sedang mempermainkan musuhnya.
Sampai celatan ke sekian, sosok itu menghilang
di rerimbunan dedaunan.
Rara Lanjar mencari-cari dengan mata yang
membesar dan membersitkan ketegangan memuncak,
setelah sebelumnya dia dipaksa berputar-putar mengikuti gerakan cepat sosok tadi.
Hanya terdengar suara gesekan dedaunan
kembali. Tak ada suara mencurigakan, biarpun Rara
Lanjar telah memasang pendengaran kuat-kuat.
Ketegangan memagut.
Suasana terasa bagai intaian maut.
Yang siap menerkam dari satu sudut.
Sampai suatu ketika....
Wrrr! Suara angin tergetar tercipta dari arah belakang
Rara Lanjar. Tajam. Kesanterannya berlipat dua dari
sebelumnya. Orang ini bersungguh-sungguh ingin merebut kitab ini, pikir Rara Lanjar. Gadis putri Ki Arga Pasa itu segera
membalikkan badan. Dia pun mengerahkan segenap kecepatan lebih dari sebelumnya.
Sekali ini, sosok yang belum lagi jelas rupa dan
perawakannya itu tak hanya berniat menyambar kitab
di tangan Rara Lanjar. Lebih dari itu, dia hendak menyarangkan serangan ganas ke diri Rara Lanjar.
"Heaa!"
Debb! Tendangan menyapu membentuk gerak melengkung mengarah ke leher Rara Lanjar. Serangan keji! Tak perlu menyalurkan tenaga dalam terlalu kuat
pun, tendangan seperti itu bisa melempar seseorang ke liang lahat dengan
tenggorokan hancur!
Rara Lanjar tak mau mengalaminya. Biarpun
posisinya masih rawan karena baru saja membalikkan
badan, dengan nekat dia memilih untuk menangkis
dengan kedua tangannya.
Dakh! Bersamaan dengan itu, Rara Lanjar terpental
telak ke belakang. Lehernya bisa diselamatkan. Tapi
dua benda di tangan kanannya tidak. Topeng kayu di
tangan kiri hanya terpental deras ketika itu juga. Sedangkan kitab amanat Ki
Arga Pasa menjadi berantakan lembar demi lembarnya. Sampul kayunya mengalami nasib sama dengan topeng kayu.
Rara Lanjar terjerembab keras di tanah.
Masih dengan nyeri merejam di bagian belakang badannya yang terasa sampai ke tulang sumsum, dia menyentak otot perut dan sentakan tangan di
belakang kepala untuk berdiri. Setelah menemukan pijakan, dipasangnya kuda-kuda. Siap menanti serangan
lawan kembali. Tak ada serangan susulan. Bahkan si penyerang gelap sendiri sudah tak tampak lagi. Seolah Rara Lanjar sengaja
dipermainkan. Lembar-lembar kitab rebah di tanah dan rerumputan. Suaranya halus. Selain itu, hanya terdengar gesekan dedaunan. Rara Lanjar kian tegang. Nafasnya pun ditahan. Sekujur otot tubuhnya mengejang.
Menanti. Dengan peluh membasahi.
Sampai sekian lama berdiri diam dalam posisi
kuda-kuda, tetap tak ada serangan susulan.
Mungkinkah orang itu telah pergi" Tanya hati
Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rara Lanjar ragu. Karena tetap tak ada serangan, akhirnya gadis itu meyakinkan dirinya sendiri bahwa
sang lawan memang telah pergi.
"Aku tak habis mengerti kenapa orang itu tibatiba menyerang lalu pergi begitu saja?" gumamnya.
"Kalau dia masih waras, tentu dia punya alasan menyerangku," pikirnya.
Menilai serangan awal, Rara Lanjar yakin orang
itu hendak merebut kitab dari tangannya. Sekarang,
lembaran kitab telah bertebaran ke mana-mana. Kalau
memang benar orang tadi menginginkan kitab itu,
akan amat sulit baginya untuk membawa pergi. Kecuali dia membereskan Rara Lanjar terlebih dahulu agar
dia dapat leluasa mengumpulkan lembar demi lembar
kitab. Kejadiannya justru tidak begitu.
"Aneh juga...," nilai Rara Lanjar. Penasaran dia, tapi tak ingin melupakan
begitu saja. Ada sesuatu
yang tak beres menurut penilaiannya.
Lalu dia mulai mencoba memunguti lembaranlembaran kitab. Selembar demi selembar. Sampai akhirnya seluruhnya terkumpul. Tapi ketika diteliti, ada satu lembar yang hilang.
Lembar yang letaknya paling
tengah. Mungkin saja belum ditemukan, begitu pikirnya. Karena itu dia mencoba mencari lagi. Semaksemak disingkapi, rerumputan disibak, pepohonan di
sekitarnya ditengoki. Tak ada lembaran yang dicari.
Lebih jauh dari tempat itu sudah tak mungkin. Di sekitar tempat itu, hembusan
angin tak cukup kuat untuk
menerbangkannya.
"Itulah sebab orang itu menghentikan serangan," cetus Rara Lanjar, menyadari sesuatu.
"Rupanya dia hanya membutuhkan satu lembar
dalam kitab ini. Lembaran itu sudah didapatnya ketika seluruh isi kitab
berhamburan ke udara...."
Rara Lanjar mendengus.
Dia merasa telah kecolongan.
Sekarang, timbul beberapa pertanyaan baru di
benaknya. Apa sesungguhnya isi pada lembaran yang
hilang" Kenapa orang itu begitu menginginkannya"
Siapa pula dia"
Atau mungkinkah dia orang yang bersembunyi
di balik topeng kayu Arjuna selama ini"
Tak beberapa lama kemudian, kesiagaan Rara
Lanjar bangkit kembali. Didengarnya seseorang mendekat ke arah tempatnya. Bukan tak mungkin penyerangnya kembali lagi. Biarpun bukan tak mungkin pula orang lain yang datang.
Rara Lanjar bersiap. Dia jadi lega ketika menyaksikan orang yang datang. Ternyata Pendekar Muka Bengis. Dihembuskannya napas.
"Kukira siapa kau, Orang Tua!" sapa Rara Lanjar.
"Memang kau pikir siapa?"
Rara Lanjar menarik napas, memadati rongga
paru-parunya dengan udara sarat-sarat.
"Ada orang yang baru saja menyerangku...," la-pornya. Pendekar Muka Bengis
menampakkan wajah
cemas. Paras yang sudah pasti sekadar sandiwara.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Rara Lanjar menggeleng. "Aku sendiri tak kurang
apa-apa. Hanya...," Ra-ra Lanjar ragu menyambung kalimat.
"Hanya apa?" desak Pendekar Muka Bengis.
Seraya menunjukkan tumpukan lembaran kitab yang sudah tak berbentuk kitab lagi, Rara Lanjar
meneruskan. "Hanya saja, kitab ini menjadi berantakan akibat serangan orang usil tadi," katanya, menyembunyikan peristiwa sesungguhnya,
bahwa ada satu lembar
yang telah hilang. Dia sendiri tak mengerti kenapa merasa harus menyembunyikan
hal itu. Bukankah dari
Satria dia mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis
adalah seorang tokoh golongan lurus" Rasanya ada
semacam firasat tersamar yang menitah dia untuk tak
mengungkap apa adanya.
"Kitab apa itu?" tanya Pendekar Muka Bengis.
"Kitab yang ditulis oleh salah seorang prabu Pajajaran." Pendekar Muka Bengis mengangguk-angguk
dengan paras tawar, seolah-olah dia tak sedikit pun
mempunyai kepentingan dengan kitab itu. Padahal,
Manusia Makam Keramat jauh hari sebelumnya memerintah dia untuk setiap saat merebut kitab itu jika ada kesempatan.
Sekarang, tampaknya kesempatan sudah berada di depan mata. Seperti juga kesempatan untuk merebut Kail Naga Samudera dari tangan Satria Gendeng
sebelumnya. Namun Pendekar Muka Bengis tidak bisa
bertindak begitu saja tanpa perhitungan. Lagi-lagi ke-sempatannya dihalangi
siasat yang sebelumnya telah
dijalani. Pendekar Muka Bengis tak mungkin mengorbankan siasat matang itu untuk merebut langsung kitab dari tangan Rara Lanjar.
Sementara, Rara Lanjar masih saja bertanyatanya dalam hati, siapa orang yang belum lama berhasil melarikan satu lembar kitab"
"Kau mau menjelaskan, kenapa Satria meminta
kau tetap di tempat ini?" tanya Pendekar Muka Bengis.
Rara Lanjar pun menceritakan alasan Satria
menyuruhnya menanti di tempat tersebut. Singkat tak
bertele-tele. Pendekar Muka Bengis mendengarkan dengan
bersit mata yang terus berubah-ubah. Jelas, seluruh
kejadian yang diceritakan Rara Lanjar menjadi kepentingan besar bagi 'majikan'nya, Manusia Makam Keramat.... EMPAT SIANG telah jatuh. Senja sampai. Mentari mulai
rebah. Satria belum tiba di perguruan Ki Damar Sakti.
Perjalanannya tak membutuhkan waktu lama. Dari
kaki Gunung Burangrang, tempat tujuannya memang
tak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu setengah
harian berjalan kaki. Karena menganggap urusannya
cukup genting, Satria tidak berjalan. Dia berlari dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Gerbang perguruan sudah terlihat. Satria
memperlambat larinya. Gerbang sepi. Tak tampak seorang pun di sana. Bahkan tak ada suara. Seperti suasana pemakaman yang dikungkung kebisuan semata.
Layaknya sebuah perguruan, mestinya ada beberapa
murid menjaga di depan gerbang. Ini tidak.
Satria Gendeng jadi curiga. Apa ada sesuatu telah terjadi" Tanyanya membatin.
Tak ingin dipermainkan rasa penasaran, Satria
memutuskan untuk tidak mengetuk gerbang. Dia memilih untuk melompati pagar. Masuk melalui gerbang
bukan pilihan yang tepat di saat mencurigakan. Jika
telah terjadi sesuatu di dalam sana, ada kekacauan
oleh orang golongan sesat berkesaktian tinggi misalnya, Satria bisa menjadi sasaran empuk. Karenanya,
pendekar muda itu berjalan memutari pagar. Di bagian
yang dianggap cukup tersudut, dia bersiap melompat.
Wrrr! Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
kembali, pagar setinggi tujuh tombak terbuat dari kayu gelondongan Satria
mencelat ke ubun-ubun pagar.
Ringan, tanpa menimbulkan suara berarti. Di atas, sebentar dia mengawasi ke sekitar perguruan. Sayap kiri perguruan pun sesepi di
depan gerbang. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ke mana mereka semua" Bisik
Satria, makin dibingungkan. Dari atas, dia melompat
turun ke balik pagar.
Tap! Sewaktu tiba di tanah, ada sesuatu yang terjatuh dari pakaiannya. Sebuah benda kecil yang masih
sulit ditentukan. Satria memungutnya. Dari dekat, dia memperhatikan teliti benda
sebesar ujung ibu jari itu.
"Seperti batu...," gumamnya. "Tapi, ini bukan batu biasa. Dari warna dan
sebagian permukaannya,
aku seperti pernah melihat batu jenis ini."
Niat untuk menyelidiki keadaan perguruan Ki
Damar Sakti untuk sementara urung. Perhatian si
pendekar muda tanah Jawa tersedot ke arah benda
kecil itu. Beberapa saat, Satria memutar-mutar benda
itu pada jarinya. Matanya tak lepas memperhatikan.
Dia sedang mengingat-ingat. Sampai akhirnya dia
menggenggam benda kecil berupa pecahan batu. Parasnya berubah.
"Ya, aku ingat sekarang," cetusnya. Batu jenis itu pernah disaksikannya sebagai
gada milik Gendut
Tangan Tunggal. Baru dia ingat pula bahwa senjata
pendekar tua itu pun agak sompal ketika tiba di gubuk mereka di kaki Gunung
Burangrang. Satria tak begitu
memperhatikan karena terlalu gembira bertemu kembali dengan pasangan pendekar aneh itu.
"Besar kemungkinan, batu ini adalah pecahan
senjata milik Pak Tua Buncit. Mengapa ada di dalam
pakaianku?" bisik Satria, mereka-reka lebih jauh.
Tiba-tiba parasnya berubah lagi.
"Ki Damar Sakti.... Tentu dia yang telah memasukkan benda ini ke balik pakaianku ketika aku sedang membopongnya. Karena saat itu aku sedang berlari, aku tak begitu menyadari."
Satria tercenung.
"Tapi sumpah mampus, aku masih tak mengerti apa maksudnya?" bisiknya, merutuk.
Kendati masih menemui jalan buntu, Satria tetap yakin pecahan gada itu merupakan satu mata rantai yang akan menghubungkan sebuah teka-teki. Terutama teka-teki mengenai kematian Ki Damar Sakti.
Juga suasana perguruan yang begitu lengang.
Perguruan. Satria baru sadar kembali niatnya
untuk menyelidiki tempat itu.
Perlahan-lahan, Satria melangkah di pekarangan sayap kiri perguruan itu. Langkahnya diringankan.
Dirinya disiagakan. Dia tak mau kecolongan sedikit
pun. Sampai ke bagian kiri bangunan perguruan, tak
terjadi apa-apa. Satria tak juga menemukan apa pun.
Lalu pendekar pewaris kesaktian dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu berputar ke arah halaman depan perguruan. Tiba di sana, dia dibuat terbelalak besar-besar.
Berpuluh-puluh bangkai murid perguruan bergelimpangan. Sebagian timpang-tindih.
Wajah Satria meringis, biarpun sebagai orang
persilatan sudah seringkali menelan pemandangan seperti itu. Sewaktu melangkah lebih dekat, hidungnya
disengat bau busuk. Kepalanya berkunang-kunang.
Kalau saja dia tak segera mengatur pernapasan, bisabisa dia muntah di tempat itu juga.
Ketika makin dekat, Satria lebih jelas menyaksikan seluruh mayat murid perguruan sudah dirubungi lalat. "Mereka mati telah lama," duga Satria. "Siapa manusia biadab yang
telah membantai mereka seperti
sekawanan binatang seperti ini?" dengusnya.
Salah satu mayat diperhatikan. Di kepalanya,
Satria menemukan luka memar yang mencekung ke
dalam tanpa mengakibatkan kulit terkoyak. Sudah
pasti tulang tengkorak orang itu remuk hingga menekan bubur otaknya! Seperti bekas hantaman benda
tumpul yang dilakukan oleh seorang ahli. Mayat lain
diteliti. Sebagian di antaranya menderita luka serupa.
Hanya pada bagian berbeda-beda. Sebagian mayat
yang lain menderita luka pukulan tangan kosong mematikan. Ketika itulah, Satria teringat kembali pada batu
pecahan gada yang terjatuh dari balik pakaiannya belum lama. Matanya bersinar ragu.
"Apa mungkin semua ini perbuatan Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis?" desisnya, antara percaya dan tidak. "Mungkinkah menjelang ajalnya Ki Damar Sakti
hendak mengatakan hal
itu padaku?"
Lalu Satria seperti tersengat sesuatu.
"Rara Lanjar," bisiknya gamang.
Gadis itu ditinggal sendiri. Baiklah jika dugaannya keliru. Tapi bagaimana kalau benar" Jika benar bahwa pembunuhan Ki Damar Sakti serta pembantaian murid-muridnya dilakukan Gendut Tangan
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, artinya Rara Lanjar pun dalam bahaya besar.
Pendekar muda itu terbayang peristiwa yang
pernah dialaminya ketika menghadapi tokoh sesat perempuan yang berhasil menguasai diri Tresnasari, gadis yang dekat di hatinya. Kala itu, Nini Jonggrang
berhasil menenung Tresnasari sehingga diri gadis itu
tak lebih sebagai budak tak punya hati. Kepribadiannya telah dirampas kekuatan hitam. (Bacalah episode
sebelumnya : "Perempuan Pengumpul Bangkai" dan
"Kiamat di Goa Sewu"!). Bukan tidak mungkin Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar
Muka Bengis pun mengalami hal serupa.
"Bisa saja ada seseorang yang mendalangi dan
memanfaatkan dua pendekar itu...."
Sadar kemungkinan tersebut bisa saja terjadi,
Satria Gendeng segera menggenjot tubuh untuk kembali ke kaki Gunung Burangrang.
* * * Sepasang manusia berjalan meninggalkan Perguruan Belalang Putih. Wajah keduanya suntuk. Ada
sesuatu yang membuat mereka begitu sebal, kesal,
jengkel, dan entah apa lagi. Mereka bisa disebut pasangan yang bertolak-belakang. Seperti batu sungai
dengan berlian, atau seperti danau dengan selokan.
Pokoknya yang semacam itu!
Pasalnya, si perempuan terlihat begitu mena
Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wan. Cantik di usia yang terbilang cukup matang. Menarik dengan penampilan yang dirias apik. Mengenakan gaun sutera putih yang mempertontonkan kulit
kuning halusnya. Rambutnya yang panjang mayang
pun dihiasi ronce bunga melati.
Pasangannya, seorang lelaki cebol tingginya tak
lebih dari pinggul tebal si wanita. Rambutnya keriting.
Wajahnya seperti perempuan. Sebaliknya, matanya seperti orang yang hendak menanti kiamat di depan batang hidung. Ah, bukan... bukan! Lebih mirip tatapan
seorang berhati dengki yang selalu ingin bermusuhan
dengan tetangganya. Misalnya, kalau tetangga beli ini itu, orang itu yang
mendelik bengis. Kalau tetangga
senang sedikit, orang itu juga mendelik-delik mengerikan. Nah seperti itu
tatapan si lelaki cebol. Di ikat pinggangnya terselip sepasang senjata logam
berbentuk cakar mata tiga.
Bukankah tak salah kalau mereka bisa diibaratkan dengan batu sungai dengan berlian" Yang satu
buruk, yang lain menawan....
Bicara soal buruk pada jasmani, tak ada salahnya. Siapa yang berani menyalahkan kalau nyatanya
Tuhan yang sudah menentukan dan menciptakan" Jadi adil kalau Tuhan tak menilai orang dari jasadnya,
melainkan di batinnya. Kalau soal buruk di hati, ini
yang bikin bumi jadi 'gerah' untuk dihuni.
Kata orang, buruk di 'luar' bukan berarti buruk
di 'dalam'. Durian saja punya kulit mengerikan, tapi
isinya tidak begitu. Orang macam begini, mesti dikagumi. Ada juga sebaliknya. Manis di muka, tapi pahit
di dalam. Mirip-mirip pemimpin muka dua yang kerjanya mengambil hati rakyat untuk terus dipilih. Orang macam ini, mestinya
dimasukkan ke kandang macan
yang belum makan selama sebulan! Sayangnya, banyak juga orang sudah buruk di dalam, buruk juga di
luar. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Orang semacam ini, rasanya patut dikasihani....
Kembali pada pasangan manusia ini. Mereka
adalah Penjaga Gerbang Neraka dengan Dewi Melati.
Setelah tak mendapat hasil mencari keterangan dari Ki Manda Langit di Perguruan
Kuda Terbang, mereka berangkat ke perguruan Belalang Putih. Mereka berniat
untuk menanyakan perihal kitab tulisan seorang prabu Padjajaran yang telah dititipkan pada Ki Arga Pasa.
Karena Ki Arga Pasa selaku Pemimpin Perguruan Belalang Putih sudah tiada, mereka berniat menanyakan
hal itu pada murid-murid kepercayaan Ki Arga Pasa.
(Untuk mengetahui perjalanan terakhir mereka, bacalah episode : "Nisan Batu Mayit"!).
Sampai di sana mereka mendapat jawaban
yang tak diharapkan sama sekali dari Palguna, murid
kepercayaan Ki Arga Pasa. Kata Palguna, kitab incaran mereka telah lebih dahulu
direbut seorang bertopeng
kayu Arjuna. Mulanya mereka tak percaya. Tahu sendiri,
Penjaga Gerbang Neraka termasuk orang yang selalu
saja curiga dengan orang lain. Dia pasti sudah mengamuk lebih mengerikan dari amukan raja siluman
pasar ikan, kalau saja Dewi Melati tak cepat mencegahnya. Namun begitu, Palguna masih sempat menerima tamparan di pipinya. Tidak terlalu sakit. Bagaimana bisa merasa sakit kalau dia langsung semaput"
Lalu Dewi Melati menjalankan aksi ancammengancam, satu jenis pekerjaan manusia brengsek
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
tujuan. Beberapa murid dihajarnya sampai jungkir balik. Dia mengancam akan mulai membunuhi mereka
jika tak mengatakan di mana kitab itu disimpan.
Karena jawaban semua murid itu-itu juga, sama seperti jawaban Palguna, akhirnya Dewi Melati percaya. Kendati pun ada yang dibunuh, yang lain pasti
tetap berkata serupa.
Artinya, mereka memang telah kedahuluan seseorang. Itu yang membuat tampang mereka berantakan sekeluarga dari Perguruan Belalang Putih.
Mereka terus berjalan. Sampai tiba di batas desa Rangkas, perjalanan keduanya dihadang oleh seseorang. Lelaki berjubah hitam. Mengenakan caping lebar
pada kepalanya.
"Jangan menghalangi jalanku, Lelaki Berjubah!"
hardik Dewi Melati, melengking. Sudah suntuk, ada
yang cari perkara. Bagaimana dia tak jadi mangkel.
Orang berjubah diam saja. Tuli atau pura-pura
tuli, tak jelas.
"Menyingkir, atau harus kulempar"!" ancam
Dewi Melati, sengit.
Jangankan menyahut, menaikkan wajah saja
tidak. Orang bertudung tetap tak beranjak. Berdiri dia dengan kesan angkuh.
Tangannya bersedekap di dada.
Dewi Melati jadi mengkelap.
"Kau cari mampus! Hih!"
Diawali pekikan menyumpah, perempuan yang
terkenal dengan kegenitan dan kebinalannya itu mengayunkan rambut.
Wusshh! Kuntum-kuntum bunga melati berhamburan.
Cepat, gesit, nyaris tak terlihat. Setiap kuntum menghasilkan dengusan tajam di
udara. Jika tergabung,
akan terdengar deru yang serupa dengan suara kepakan seekor rajawali. Bagi seorang tokoh atas berpendengaran jeli, dia bisa menilai bahwa kekuatan setiap kuntum bisa menembus dua
tubuh manusia sekaligus. Enteng saja, orang berjubah bergerak. Diangkatnya ujung jubah sampai menutupi seluruh badan
dan wajahnya. Tap tap tap! Ketika mengenai permukaan jubah, seluruh
kuntum melati seperti kehilangan kekuatan. Jangankan menembus badan, kain saja tidak. Seolah kekuatannya terserap seketika ke dalam kain. Lalu, satu
persatu bunga-bunga melati itu berjatuhan.
Wajah Dewi Melati jadi berangasan. Mulutnya
menyumpah-nyumpah. Tak jelas apa yang diucapkannya. Dia sebenarnya terkejut kalau serangan senjata
rahasianya yang ampuh dan ditakuti oleh banyak kalangan hanya sempat 'mengecup' permukaan kain.
Menyaksikan kejadian itu, Penjaga Gerbang Neraka melotot. Dia mulai kalap pula. Kalau dia mulai
kalap, jangan harap ada nyawa lolos. Selama ini belum ada satu pun orang bisa
selamat dari amukannya, kecuali Dewi Melati turun tangan.
Setelah senjata rahasianya dipencundangi, mana sudi Dewi Melati menahan-nahan amukan lelaki
cebol (Yang menurut hikayat adalah suami angkatnya).
Sama saja membodohi diri sendiri, pikirnya. Justru dia sengaja memanas-manasi
Penjaga Gerbang Neraka untuk segera melabrak orang berjubah. Dasar perempuan
tukang 'ngompor'!
Orang berjubah menurunkan jubahnya.
"Tahan dia, Perempuan! Aku tak bernafsu untuk bertarung dengan kalian."
"E, rupanya kau tak tuli atau bisu, heh?" cibir Dewi Melati sinis.
"Dengarkan aku, dan katakan pada si cebol itu
setiap perkataanku. Aku akan memberikan sesuatu
yang sedang kalian cari!" sergah orang berjubah.
Kening Dewi Melati terangkat.
"Apa yang kau ketahui tentang 'sesuatu' yang
kami cari"!" tanyanya seraya mencegah Penjaga Gerbang Neraka untuk melabrak
orang berjubah.
"Kitab tulisan seorang prabu Pajajaran," ujar orang berjubah. Singkat, datar,
namun mengena sasaran. "Kau mau kami percaya bualanmu itu" Heh?"
cibir Dewi Melati seraya melenggokkan pinggul. Tangannya berkacak pinggang. Liukan pinggulnya jadi
kentara jelas. Menggiurkan.
"Katakan saja pada lelaki cebol itu. Bukankah
hanya dia yang berkepentingan!"
"Kau kira aku jongosmu"!"
"Baik. Kalau itu maumu, aku akan pergi. Terserah kau apakah mau menerima kesempatan yang kutawarkan," ancam orang berjubah seraya membalikkan badan. Dewi Melati
terpancing. "Eh, tunggu-tunggu! Biar aku katakan padanya!" seru Dewi Melati.
Orang berjubah mengurungkan niat untuk pergi. Meskipun dia tak berniat sungguh-sungguh.
Dewi Melati pun mulai berbicara dengan bahasa isyarat pada Penjaga Gerbang Neraka. Paras lelaki
cebol itu berubah mendengar penjelasan perempuan di
sisinya. Ada gambaran gejolak semangat menggebugebu. "Dia bertanya padamu, apa kau dapat membuat kami percaya?" kata Dewi
Melati, menerjemahkan perkataan isyarat Penjaga Gerbang Neraka.
Dengan gerak yang terlihat terlalu hemat, orang
berjubah mengeluarkan segulungan kertas dari balik
pakaiannya. Gulungan berwarna merah.
Dia membentang gulungan di depan wajah. Lalu membacakan satu baris yang tertera paling atas.
Sementara itu, Dewi Melati terus menerjemahkan setiap kata yang keluar dari mulut orang berjubah.
"Itu memang lembaran gulungan kitab sang
Prabu Pajajaran!" kata Penjaga Gerbang Neraka dengan isyarat tangannya.
"Tapi katamu, kau hendak mencari kitab. Bukan selembar gulungan kertas!" kilah Dewi Melati, juga dengan isyarat tangan.
"Aku tak membutuhkan seluruh isi kitab itu!
Aku hanya membutuhkan satu lembar isi kitab itu.
Dan lembaran itu yang kini di tangannya!"
"Kenapa begitu?"
"Karena di dalamnya ada rahasia bagaimana
aku dapat mengalahkan kesaktian Manusia Makam
Keramat! Tanyakan padanya, imbalan apa yang dia
minta agar aku dapat mendapatkan lembaran itu!"
Dewi Melati menyampaikan ucapan Penjaga
Gerbang Neraka pada orang berjubah.
"Katakan padanya, kalau dia hendak mendapatkan lembaran ini, dia harus memenuhi satu syarat.
Dia harus menukar lembaran ini dengan kepala Satria
Gendeng"!"
"Apaaa"!" Dewi Melati berteriak melengking.
Membunuh Satria Gendeng" Pemuda pujaannya itu"
Pendekar yang tampan dan menggemaskan itu" Yang
membuatnya 'ngebet' minta ampoooon?"?" Gila apa"!
*** LIMA SATRIA Gendeng sampai kembali di kaki Gunung Burangrang. Gubuk tak dihuni siapa-siapa. Tak
ada juga tanda-tanda mencurigakan seperti dikhawatirkannya. Karena itu, si pendekar muda menduga belum ada seorang pun kembali.
Rara Lanjar tentu masih di tempat di mana Satria menemukan tiga benda di lobang pohon. Pendekar
Muka Bengis tentu sudah tiba pula di sana, lama sebelum Satria kembali. Jadi, kemungkinan terburuk bisa
saja telah terjadi jika benar Pendekar Muka Bengis telah berubah menjadi manusia
sesat. Begitu khawatirnya Satria pada Rara Lanjar. Kalau menilik bagaimana
mengenaskannya cara kematian murid-murid Ki Damar Sakti, Satria jadi membayangkan kejadian mengenaskan itu akan menimpa Rara Lanjar pula. Untuk
saat ini, dia hanya bisa berharap kekhawatirannya keliru. Sementara itu, Gendut Tangan Tunggal belum
juga kembali. Jika semula Gendut Tangan Tunggal
mengatakan hendak mencari tabib, sekarang Satria
meragukan alasan itu. Tak mungkin dia pergi begitu
lama hanya untuk mendapatkan seorang tabib. Satria
bahkan tak yakin lagi apakah kepergian Gendut Tangan Tunggal benar-benar hendak mencari tabib. Dia
curiga ada tujuan lain yang belum bisa diduganya
hingga kini. Kalau benar mereka berubah perangai, sungguh menjadi satu pertanyaan besar bagi si pendekar
muda tanah Jawa. Soal bagaimana cara mereka menjadi sesat, Satria tak terlalu mempertanyakan. Yang
sungguh akan membuatnya bertanya-tanya selalu,
siapakah orang yang telah menjelmakan mereka menjadi binatang biadab seperti itu"
Bulu kuduk Satria meremang ketika dia ingat
pada Manusia Makam Keramat. Bukan tak mungkin
perubahan sifat dan perangai dua pendekar aneh itu
adalah hasil pekerjaannya. Menurut riwayat, dulunya
Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat itu adalah
orang yang menuntut berbagai macam ilmu. Bisa saja
dia telah menganut semacam ajian, atau telah mempelajari sebuah ramuan yang dapat mengendalikan pikiran dan kemauan seseorang di bawah perintahnya.
Betapa menggidikkan jika benar begitu. Tentu
dia bisa berbuat banyak untuk menciptakan huruhara besar di dunia persilatan. Misalnya saja, dia bisa memecah belah partaipartai golongan lurus hingga
saling membantai satu dengan yang lain. Kalau sudah
begitu, yang akan muncul cuma malapetaka besar!
Satria tersadar dari ketercenungan. Celaka tujuh keliling! Kenapa aku jadi melupakan Lanjar! Rutuknya dalam hati sambil bergegas menggenjot tubuh.
Dipacunya segenap kemampuan ilmu lari cepat yang
dimiliki. Dia seperti sudah tak mau ambil peduli pada apa-apa lagi. Bahkan
kalaupun setan botak mengha-dangnya, tetap dia tak peduli.
Senja akhirnya luruh. Tak ada yang bisa mencegah malam merambah. Dari persada Timur, kegelapan mulai menjajah. Rara Lanjar dan Pendekar Muka
Bengis masih dalam perjalanan menuju gubuk di kaki
Gunung Burangrang.
Ketika itu, Pendekar Muka Bengis berubah pikiran menyadari Gendut Tangan Tunggal tak kunjung
kembali. Dia mulai mengendusi sesuatu yang tak beres
telah terjadi terhadap diri Gendut Tangan Tunggal.
Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kekhawatirannya merangas dalam diri, mengimbangi
kecurigaannya. Dia curiga Ki Damar Sakti telah membuka mulut pada Satria Gendeng ketika pendekar muda itu hendak membawanya ke tabib.
Terpikir olehnya untuk segera bertindak. Sebab, jika Gendut Tangan Tunggal tak juga kembali
menyampaikan perintah dari Manusia Makam Keramat, artinya dia harus segera mengambil tindakan
sendiri. Setidaknya, membawa Rara Lanjar ke Makam
Keramat Maut untuk diserahkan kepada sang Majikan.
Tindakan itu lebih baik diambil, ketimbang seluruh
rencana gagal jika ternyata benar Satria Gendeng telah mengetahui kejadian
sebenarnya!. Lagi pula, bukankah dengan bertindak sekarang, dia akan mendapatkan dua mangsa sekaligus yang begitu diharapkan
sang Majikan" Yang pertama Rara Lanjar. Sedang yang
kedua, kitab tua di tangannya....
Rara Lanjar melangkah di depan. Pendekar
Muka Bengis diam-diam terus mengawasinya dari belakang. Matanya tak putus-putus menyemburatkan
bersit jahat. Yang terbetik dalam benaknya cuma mencari kesempatan Rara Lanjar lengah.
Dan saatnya pun tiba.
Manakala gadis di depannya sedang memperhatikan lembaran kitab di tangannya, jauh lebih cepat
dari terkaman seekor macan lapar, Pendekar Muka
Bengis menghambur ke depan. Sebagai salah seorang
tokoh jajaran atas dunia persilatan, tentu saja gerakan cepat yang dilakukan
secara mendadak akan amat sulit untuk dihindari.
Naluri Rara Lanjar sempat merasakan adanya
ancaman dari arah belakang. Sayangnya, dia tak cukup sempat untuk membalikkan badan dan menghindarinya. Tuk! Satu totokan tepat mendarat di jalan darah gadis keturunan salah seorang Prabu Pajajaran itu. Tubuhnya lemas seketika. Sebelum terjatuh, Pendekar
Muka Bengis sudah menyambarnya. Sekaligus menyambar lembaran-lembaran kitab di tangannya.
Setelah itu, dibawanya Rara Lanjar pergi.
* * * Sungsang-sumbel Satria mengaduk-aduk seluruh wilayah kaki Gunung Burangrang. Sampai malam
semakin matang, Rara Lanjar tak juga ditemukan.
Kekhawatirannya berubah menjadi kegusaran. Sedang
kecurigaannya telah menjelma menjadi bukti bahwa
Rara Lanjar telah dalam rangkulan bahaya!
Sambil menyumpah-nyumpahi diri sampai mulutnya kering, Satria kembali ke gubuk. Kalau sudah
begitu, apa yang bisa dilakukan kecuali menyumpahnyumpah" Kalaupun mau mengamuk, siapa yang harus diamuki" Genderuwo penunggu Gunung Burangrang" Pikir punya pikir, Satria memutuskan untuk
menjernihkan dulu pikirannya yang sedang kalut.
Dengan segarnya pikiran, dia dapat mencari pemecahan masalah lebih jernih dan cermat. Betapa pun besar kekhawatirannya terhadap diri Rara Lanjar, toh dia harus menyadari bahwa
ketergesaan dan kebernafsuan
biasanya tak akan menghasilkan apa-apa.
Baru tiba di muka gubuk, seseorang berseru di
kejauhan. "Anak Muda, aku sudah kembali!"
Satria menoleh. Dalam keremangan sinar benda-benda langit, disaksikannya Gendut Tangan Tunggal datang dengan seseorang. Seorang kakek tua berjubah putih. Sewaktu menyaksikan, Satria dibuat terperanjat. Bagaimana tidak, kalau kakek berjubah putih itu pernah ditemuinya beberapa waktu lalu di halaman Perguruan Belalang Putih" Seorang yang bisa
disebut sebagai tokoh golongan tua yang kesaktiannya
terlalu sulit diukur. Waktu itu, si kakek memperingati kedatangan Manusia Makam
Keramat sehingga Satria
Gendeng dan Rara Lanjar dapat meloloskan diri ke kaki Gunung Burangrang. (Untuk lebih jelas, bacalah episode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau...," gumam Satria.
Si kakek berjenggot putih dengan rambut digelung kecil di atas kepala tersenyum. Samar saja. Namun sudah cukup untuk menebarkan pesona wibawa
yang kuat. "Apa kabar, Anak Muda?" sapa si kakek.
Satria terdiam. Pikirannya masih diusik oleh
dugaan-dugaan terhadap diri Gendut Tangan Tunggal.
Kalau sekarang pendekar tua berperut besar itu datang dengan kakek ini, apa tak mungkin kakek ini pun
sebenarnya punya niat busuk di balik wajahnya yang
selalu tampak ramah dan bening" Ini dunia, tempat di
mana tipu daya dan kepalsuan tumbuh terus sepanjang masa. Apalagi sekadar kepalsuan wajah. Yang tak
bisa dimengerti, kenapa dulu dia memperingati Satria
dan Rara Lanjar akan kedatangan Manusia Makam Keramat" "Mari ikut aku ke dalam gubuk," ajak si kakek seraya merangkul bahu
Satria. Anehnya, Satria merasa tak pantas menolak
ajakan itu. Bahkan tak kuasa untuk menolaknya.
Sampai kekhawatiran Satria sebelumnya pada Rara
Lanjar bagai terpental begitu saja dari benaknya. Apakah ini yang] orang sebut
'kekuatan prabawa'" Ataukah ini tenung yang telah melalap bulat-bulat jiwa
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis
hingga mereka berubah biadab"
Di belakang mereka, Gendut Tangan Tunggal
menguntit. * * * Apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri
Gendut Tangan Tunggal"
Waktu itu si pendekar tua berperut gentong
tengah berjalan kembali ke kaki Gunung Burangrang.
Tak ada seorang pun bersamanya. Tak seorang tabib
pun ditemui. Berniat untuk mencari saja tidak. Jika
dia harus kembali juga ke kaki Gunung Burangrang,
semata hanya karena hendak menyampaikan perintah
Manusia Makam Keramat pada Pendekar Muka Bengis
untuk menunda rencana melarikan Rara Lanjar ke
Makam Keramat Maut. Dan kalaupun harus kembali
dengan membawa tabib agar tidak dicurigai, dia akan
mencari seseorang yang malah bisa memberi ramuan
untuk mempercepat kematian Ki Damar Sakti.
Sedang melangkah, tiba-tiba saja pendekar golongan tua yang jiwanya sedang dikuasai oleh pengaruh Manusia Makam Keramat itu merasakan ada sesuatu datang dari arah belakang. Telinganya tak menangkap desiran angin sedikit pun. Hanya saja nalurinya berkata lain.
Gendut Tangan Tunggal berbalik sigap.
Ternyata memang tak ada siapa-siapa.
Dia menyumpah-nyumpah dalam dan kental.
Baru saja membalikkan badan hendak meneruskan
langkah, dia dibuat terkesiap. Seseorang telah berdiri tepat dua tindak di
depannya. "Keparat Busuk, siapa kau"!" makinya, gusar bukan main karena merasa baru saja
dipermainkan. Orang di depannya hanya tersenyum.
Di mata Gendut Tangan Tunggal, senyuman itu
tak lebih dari ejekan. Membuatnya muak, hingga langsung membangkitkan kebuasan hewani yang belakangan ini begitu membludak dalam hatinya.
"Mampuslah kau!"
Diterjangnya orang itu dengan satu hantaman
gada. Sasarannya mematikan. Langsung ke batok kepala orang di depan.
Wukh! Orang itu tak bergerak. Gada besar mengerikan
pun terayun telak menuju sasaran. Gendut Tangan
Tunggal bahkan telah yakin gadanya benar-benar
mengenai sasaran.
Yang ganjil, biarpun gada itu telah menghantam kepala orang di depan, Gendut Tangan Tunggal
tak mendengar suara apa-apa kecuali dengus senjatanya. Mestinya terlahir suara berderak keras tengkorak yang retak, atau berantakan di dalam. Ini tidak.
Kisah Membunuh Naga 42 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Banjir Darah Di Bukit Siluman 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama