Ceritasilat Novel Online

Arwah Candi Miring 1

Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring Bagian 1


1 CANDI MIRING DI BUKIT GERSANG
Udara petang terasa tidak enak.
Sang surya sebentar lagi akan tenggelam, menyoroti cahaya kuning kemerahan
sementara hujan yang dibawa angin dari selatan mulai turun ke bumi. Bau tanah
yang dibasahi air hujan membuat udara terasa pengap, menyekat jalan pernafasan.
Di satu lereng bukit kecil ditumbuhi pohon jati berusia puluhan tahun berlari
cepat seorang lelaki bertubuh jangkung, mengenakan baju dan celana hitam. Orang
itu memiliki sepasang tangan luar biasa panjang. Gerakannya berlari sungguh
mengagumkan karena dua kaki tampak hanya sesekali menjejak tanah. Padahal saat
itu di bahu kirinya dia memanggul satu sosok besar mengenakan jubah hijau yang
dari ujudnya sulit diduga entah manusia entah mahluk jejadian. Dari tenggorokan
mahluk yang dipanggul itu keluar suara mengorok berkepanjangan. Lebih aneh,
orang yang dipanggul tidak memiliki mata, telinga, hidung maupun mulut, tetapi
hanya merupakan sayatan panjang yang dijahit dengan benang kasar berwarna hitam.
Muka yang angker itu jadi tambah ngeri menggidikkan karena disitu terdapat dua
puluh empat robekan luka mengucurkan darah. Dan yang membuat kepala serta wajah
itu jadi luar biasa lebih mengerikan adalah karena darah yang mengucur bukan
berwarna merah tetapi hijau pekat!
Tiba-tiba dibawah deru hujan, dari mulut cabik dan dijahit serta penuh robekan
keluar ucapan. Walau parau diselingi suara menggorok tapi masih cukup jelas.
"Aku merasakan cahaya matahari. Ada air hujan... Sebentar lagi surya akan
tenggelam. Kalau malam tiba sebelum kau mencapai candi, tamat riwayatku! Lebih
baik kau menggebuk kepalaku sampai hancur saat ini juga!"
"Kanjeng, jangan khawatir. Percaya padaku. Kita berada di kaki bukit Karangdowo
sebelah timur. Selewatnya pedataran ditumbuhi alang-alang kita sudah sampai di
candi itu..."
Siapa kedua orang itu"
Yang berlari sambil memanggul mahluk aneh berjubah hijau bernama Setunggul
Langit. Dia adalah anak buah dari mahluk yang dipanggulnya, bernama Gendadaluh
dan pada masa itu di Bhumi Mataram lebih dikenal dengan julukan Arwah Muka
Hijau. Diriwayatkan dalam "Perawan Sumur Api", Arwah Muka Hijau adalah orang yang
mendapatkan gading pertama dari empat Gading Bersurat. Pada tubuh gading tertera
tulisan berupa petunjuk bahwa di Bhumi Mataram akan lahir dua bayi. Sang ibu
konon berusia tujuh belas tahun dan merupakan perempuan yang telah dipilih Para
Dewa, berasal dari desa di sekitar Prambanan. Walau kelak melahirkan dua bayi
sang ibu tetap akan perawan sepanjang masa. Disebutkan pula ada empat buah
Gading Bersurat yang menjadi sumber berita atas kejadian.
Berdasarkan Gading Bersurat yang ada padanya, yang merupakan Gading Bersurat
pertama, ditambah dari kabar yang berhasil disirap dari berbagai penjuru
Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau memerintahkan dua orang anak buahnya yakni
Setunggul Bumi dan Setunggul Langit untuk menyelidiki serta mencari anak perawan
pilihan Para Dewa tersebut yang kabarnya diketahui tinggal di Desa Sorogedug di
kawasan Prambanan sebelah selatan, bernama Ananthawuri. Tugas mereka selanjutnya
adalah menculik lalu menyekap si gadis sampai kelak tiba saatnya dia melahirkan.
Dengan demikian jika kelak dua bayi lahir dia akan menguasai dua anak yang
dianggap luar biasa bahkan sakii serta keramat Itu.
Suatu malam dua anak buah Arwah Muka Hijau itu sampai di Desa Sorogedug namun
Ananthawuri telah meninggalkan rumah tanpa seorangpun tahu kemana tujuannya.
Kedua anak buah Arwah Muka Hijau berusaha menyelidik dan akhirnya mengetahui
kalau Ananthawuri tengah dalam perjalanan menuju Candi Prambanan yang oleh
penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang.
Karena memiliki pantangan tidak boleh menginjakkan kaki di lantai candi,
Setunggul Bumi dan Setunggul Langit tidak meneruskan pengejaran masuk ke dalam
candi. Keduanya menunggu di halaman candi sampai Ananthawuri keluar. Saat itu di
halaman candi mereka bertemu dengan seorang tua bernama Dhana Padmasutra yang
mereka duga bertindak sebagai pelindung Ananthawuri. Selain itu orang tua ini
adalah seteru bebuyutan dari Arwah Muka Hijau.
Setunggul Bumi dan Setunggul Langit segera menyerang si orang tua. Setunggul
langit membunuh Dhana Padmasutra dengan ilmu Serat Arang, yakni berupa sinar
sakti yang keluar dari batu segi tiga yang menempel di keningnya.
Sementara Itu di dalam candi, Ananthawuri secara gaib oleh Patung Loro Jonggrang
diberikan sebuah batu merah sakti bernama Batu Kaiadungga Setelah batu ditelan
maka siapa saja orang yang berniat jahat terhadap anak perawan dari Desa
Sorogedug ini, orang tersebut tidak mampu melihat ujudnya.
Sewaktu Ananthawuri keluar dari Candi Loro Jonggrang, gadis ini menemui Dhana
Padmasutra dalam keadaan kepala hangus.
Sementara sekarat orang tua ini menyuruh Ananthawuri mengambil Kitab Weda dan
tongkat kayu miliknya dan memerintahkan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Tanpa terlihat ujudnya oleh Setunggul Bumi dan Setunggul Langit, Ananthawuri
lakukan apa yang diperintahkan Dhana Padmasutra. Walau sosok si gadis tidak
kelihatan namun dua orang anak buah Arwah Muka Hijau dapat melihat Kitab Weda
dan tongkat kayu melayang di udara. Keduanya segera mengikuti benda-benda itu.
Seperti dikatakan oleh orang tua bernama Dhana Padmasutra, tongkat kayu akan
menuntun Ananthawuri kemana dia harus pergi.Ternyata sang tongkat membawa si
gadis ke Sumur Api yang letaknya di satu rimba belantara antara Prambanan dan
Kali Dengkeng. Di tempat ini Ananthawuri mendengar suara gaib Roh Agung. Suara
itu menyuruhnya menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul Bumi dan Setunggul
Langit dengan cara menceburkan diri masuk ke dalam Sumur Api. Setelah ragu
sesaat akhirnya anak perawan ini terjun ke dalam Sumur Api.
Karena gagal mendapatkan Ananthawuri dan khawatir akan menerima hukuman dari
Arwah Muka Hijau maka Setunggul Langit menyuruh Setunggul Bumi tetap berjagajaga dekat Sumur Api. Siapa tahu Ananthawuri yang tidak jelas keadaannya apakah
sudah mati dalam sumur atau masih hidup tahu-tahu muncul keluar kembali.
Setunggul Langit sendiri kemudian pergi menemui Arwah Muka Hijau untuk memberi
tahu apa yang terjadi.
Arwah Muka Hijau marah besar mendengar keterangan Setunggul Langit. Apa lagi
salah satu kancing baju Setunggul Langit tanggal dan lenyap sewaktu bertarung
melawan Dhana Padmasutra.
Sebagai hukuman Arwah Muka Hijau cabut batu berbentuk segi tiga yang menempel di
kening Setunggul Langit yang merupakan batu sakti sumber kekuatan ilmu yang
disebut Serat Arang.
Diantar oleh Setunggul Langit, Arwah Muka Hijau sampai di Sumur Api. Setunggul
Bumi yang seharusnya berjaga-jaga di dekat sumur tidak kelihatan. Arwah Muka
Hijau tidak berusaha mencari d i mana atau apa yang telah terjadi dengan
Setunggul Bumi.
Selagi dia mencari jalan rahasia masuk ke dalam sumur Api tiba-tiba ada suara
perempuan disusul melayang jatuhnya tubuh Setunggul Bumi yang telah jadi mayat
tanpa kepala. Setunggul Langit berteriak kaget.
Sesaat kemudian menyusul kepala Setunggul Bumi mengelinding di tanah. Didahului
suara tertawa kemudian muncul seorang perempuan gemuk bermuka buruk, berkulit
hitam mengenakan kemben merah. Pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang
berkerincing. Perempuan ini dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang. Ada
yang menyebutnya sebagai Ratu Meong karena kebiasaannya setiap muncul perempuan
ini selalu membawa binatang peliharaannya yakni seekor kucing berbulu merah.
Konon kucing ini bukan kucing biasa dan luar biasa ganas. Dalam banyak kejadian
binatang peliharaan inilah yang membunuh musuh-musuhnya.
Baik Arwah Muka Hijau maupun Ratu Dhika Gelang Gelang saling berusaha mencari
tahu maksud apa masing-masing pihak berada di Sumur Api. Setelah terjadi perang
mulut saling sindir dan cemooh Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit segera
menyerang perempuan gemuk berkulit hitam itu. Atas isyarat yang diberikan Arwah
Muka Hijau, Setunggul Langit keluarkan ilmu yang disebut Bubu ikan Berbisa. Ratu
Dhika Gelang Gelang berhasil dijerat masuk ke dalam bubu dan tak mungkin keluar
lagi. Namun perempuan cerdik ini mampu membalikkan keadaan.
Dengan cara menipu lawan dia menarik Arwah Muka Hijau ke dalam jebakan ikan lalu
loloskan diri dari dalam perangkap berbisa itu dengan mempergunakan sosok Arwah
Muka Hijau sebagai penjebol jalan keluar.
Senjata makantuan!
Bubu ikan hancur berantakan. Kepala dan wajah Arwah Muka Hijau robek sebanyak
dua puluh empat robekan. Dari luka-luka mengerikan itu mengucur darah aneh
berwarna hijau kental. Karena bubu ikan mengandung bisa ganas, jika obat
penangkalnya tidak didapat sebelum malam tiba maka Arwah Muka Hijau akan menemui
ajalnya secara mengenaskan.
Menyadari hal ini Arwah Muka Hijau memerintahkan Setunggul Langit.
"Lekas bawa aku ke Candi Miring Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di
candi itu! Cepat! Sebelum malam datang aku harus ada di sana. Kalau terlambat
nyawaku tidak tertolong lagi! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan
aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!"
Setunggul Langit berpacu dengan waktu. Hujan yang turun mulai mereda ketika dia
mencapai ujung kawasan yang ditumbuhi alang-alang. Sinar sang surya telah lama
redup. Walau belum tenggelam namun udara mulai beranjak gelap.
Begitu keluar dari rumpunan terakhir alang-alang ada satu bukit gersang dan dia
atas bukit ini tampak sebuah bangunan candi. Candi ini menurut riwayatnya
didirikan pada masa tahta Raja Kedua Kerajaan Mataram Kuno yaitu Sri Maharaja
Rakai Panangkara. Walau sudah berusia puluhan tahun namun keadaan bangunan masih
tampak kokoh. Hanya saja candi yang menghadap ke timur ini berdiri dalam keadaan
miring ke kiri pada sisi sebelah selatan. Konon mengapa candi ini sampai berdiri
miring, menurut para sepuh yang masih hidup penyebabnya adalah ketika pekerjaan
pembangunan mulai dilaksanakan ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi.
Antara lain mahluk gaib, semacam mahluk halus dan roh yang konon berada dibawah
kekuasaan para arwah dan lebih dulu menjadi penghuni kawasan itu merasa tidak
dimintakan izin, tidak diberikan sesajen sebagaimana mustinya. Karena begitu
candi selesai dibangun para arwah yang ada di tempat itu memberi peringatan akan
ketidak senangan mereka dengan cara mendorong candi ke arah selatan hingga
kedudukannya menjadi miring.
Atas kejadian itu maka candi tersebut tidak pernah digunakan apa lagi dihuni.
Bahkan namanyapun tidak sempat diberikan.
Karenanya penduduk di sekitar kawasan itu memberi nama sendiri yaitu Candi
Miring. Karena mengetahui kalau candi tersebut menjadi hunian para mahluk halus dan
sering terjadi hal-hal gaib yang menyeramkan maka tidak pernah ada orang yang
berani mendekat, apa lagi masuk ke dalamnya. Namun anehnya walau di luar
bangunan candi diselimuti debu dan tampak kotor bahkan ada bagian-bagian yang
tertutup lumut, di sebelah dalam, kata orang-orang yang pernah melihat dari
kejauhan, keadaan candi tampak bersih.
"Hujan telah reda. Sang surya segera lenyap di arah barat. Setunggul Langit,
apakah..." Arwah Muka Hijau yang tergeletak di panggulan bahu kiri Setunggul
Langit keluarkan suara.
"Kanjeng Arwah Muka Hijau Jangan khawatir. Kita sudah sampai di depan
candi.Tepat di hadapan pintu gerbang yang menghadap ke arah timur." Setunggul
Langit cepat menyahuti ucapan Arwah Muka Hijau.
"Kanjeng, aku akan membaringkan dirimu di tanah. Setelah itu harap berikan
petunjuk dimana Kanjeng menyimpan obat penangkal bisa bubu ikan itu."
Setunggul Langit membungkuk.
Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Arwah Muka Hijau di tanah. Lalu telinga
kanannya didekatkan ke mulut berjahit mahluk yang dipanggilnya dengan sebutan
Kanjeng itu. Mulut berupa sayatan berjahit benang kasar hitam dan dilumur darah hijau
bergerak sedikit.
"Masuk dari pintu barat... Dibawah potongan lantai batu yang ketiga dari depan
pintu sebelah tengah....ada sebuah lobang. Di dalam lobang terdapat satu lipatan
kain berwarna kuning. Di dalam lipatan itu aku menyimpan obat penangkal bisa
bubu ikan. Ingat! Kau punya pantangan tidak boleh menginjak lantai candi. Kau
mampu melakukan sesuatu menghindari pantangan itu"
"Mohon petunjukmu Kanjeng." Jawab Setunggul Langit.
"Perhatikan keadaan sekelilingmu.
Apakah kau melihat pohon-pohon pisang?"
Setunggul Langit memandang
berkeliling. "Aku melihat hanya satu pohon pisang Kanjeng. Keadaannya nyaris mengering..."
"Patahkan tiga daun pisang. Jadikan sebagai tumpuan kakimu. Kau mengerti?"
"Aku mengerti Kanjeng."
"Ada sesuatu yang belum kau mengerti dan kau tidak menanyakan! Manusia tolol!"
Arwah Muka Hijau membentak.
"Mohon maafmu Kanjeng. Hal apakah itu?" tanya Setunggul Langit.
"Potongan batu di lantai candi! Kau hanya bisa mengangkatnya dengan mengerahkan
ajian Menempel Bumi Menarik Roh!"
"Terima kasih Kanjeng. Aku akan melaksanakan petunjukmu." Kata Setunggul Langit
pula. "Begitu aku menemukan lipatan kain kuning berisi obat penangkal racun bubu
ikan, aku akan menyerahkan padamu."
Sekali berkelebat Setunggul Langit sudah melesat ke arah pohon pisang, satusatunya pohon yang tumbuh di bukit gersang itu.
2 ARWAH KETUA Setunggul Langit bertindak cepat.
Begitu sampai di pintu barat Candi Miring yang terletak di puncak bukit gersang
dia segera lemparkan tiga pelepah daun pisang ke lantai candi. Daun pisang
bertebar membentuk segi tiga mengelilingi potongan batu lantai ke tiga sebelah
tengah dari arah ambang pintu. Dengan gerakan ringan anak buah Arwah Muka Hijau
ini melesat masuk ke dalam candi. Pada saat melayang turun dua kaki tak bersuara
di atas dua daun pisang setengah kering yang menutupi lamtai.
Perlahan-lahan manusia bertangan panjang seperti beruk ini membungkuk, kepala
dan pandangan diarahkan pada potongan batu lantai candi yang diapit tiga daun
pisang. Di bawah batu ini ada sebuah lobang dimana tersimpan obat penangkal
racun bubu ikan milik Arwah Muka Hijau, dikemas dalam lipatan kain kuning.
Seperti yang dipesankan Arwah Muka Hijau, mulut Setunggul Langit mulai berkomatkamit merapal ajian Menempel Bumi Menarik Roh. Tangan kanan diulur ke bagian
atas batu lalu sedikit demi sedikit diturunkan hingga akhirnya telapak tangan
menyentuh dan menempel di batu lantai.
Begitu telapak tangan bersentuhan dengan potongan batu lantai Setunggul Langit
merasa ada getaran disusul rambasan hawa panas. Hawa panas ini bukan saja
menyengat telapak tangan, tapi menjalar sampai ke bahu lalu menebar ke seluruh
tubuh. Sosok Setunggul Langit bergetar, terhuyung ke depan dan dalam waktu
sekejapan telah basah oleh keringat! Ada kekuatan aneh keluar dari potongan batu
lantai. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Kalau
sampai terjerembab dan kakinya menyentuh lantai candi bukan saja dia yang akan
celaka tapi Arwah Muka Hijau juga akan menemui ajal!
Begitu berhasil mengimbangi tubuh dan menekan hawa aneh yang keluar dari
potongan batu lantai, didahului bentakan keras Setunggul Langit sentakkan tangan
kanannya ke atas.
"Kraaakkk!"
Potongan batu hitam berbentuk empat persegi panjang tertarik ke atas lalu hancur
berkeping-keping.
Di lantai kini kelihatan sebuah lobang batu sedalam dua jengkal. Dari dalam
lobang mengepul asap kuning hingga untuk beberapa lama Setunggul Langit tidak
dapat melihat apa yang ada di dalamnya, termasuk tentu saja benda yang
dicari.Tidak sabaran anak buah Arwah Muka Hijau ini meniup keras ke dalam
lobang. Tiupan disertai pengerahan tenaga dalam.
Asap kuning tersibak namun tiba-tiba menderu ke atas menghantam muka Setunggul
Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau ini menjerit kesakitan. Mukanya tampak
berubah kuning dan ada butir-butir darah membersit di kulit lalu membasahi
wajahnya. Rambut hitam mengkilat yang tadi digulung di atas kepala kini terlepas
awut-awutan. Dalam keadaan terkejut dan kesakitan masih untung dia bisa menahan
diri hingga tidak jatuh terjengkang. Setelah mengusap muka beberapa kali dia
memandang ke bawah. Asap kuning tak ada lagi. Kini kelihatan jelas keadaan di
dalam lobang batu. Pada salah satu sudut lobang tampak satu lipatan kain kuning
seukuran setengah telapak tangan.
"Obat penangkal bisa bubu ikan," ucap Setunggul Langit dengan suara bergetar.
Sepasang mata mengkilat. "Kalau Kanjeng Arwah Muka Hijau bisa sembuh, aku akan
bebas dari hukuman. Ilmu kesaktian Serat Arang akan aku dapat kembali "Tidak
menunggu lebih lama tangan kanannya yang panjang seperti tangan beruk cepat
menyambar lipatan kain kuning. Namun nyawanya seolah putus ketika dan dasar
lobang tiba-tiba melesat sebuah lengan luar biasa besar dan penuh bulu dengan
lima jari tangan seukuran pisang tanduk.
Lima kuku membentuk kepala manusia berkepala botak, berkumis menjulai dan


Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjanggut lebat berkeluk. Bersamaan dengan itu terdengar suara mengorok
berkepanjangan.
Setunggul Langit kerahkan tenaga, berusaha lepaskan lengan kanan dari cekalan
tangan besar. Namun semakin dia mengerahkan kekuatan lima jari tangan semakin
bertambah besar. Lima kuku yang membentuk kepala ikut membesar. Lima buah mulut
menyeringai dan lima pasang mata yang lebih banyak putihnya menatap angker
menggidikkan. "Celaka! Mahluk iblis apa ini!"
Setunggul Langit angkat tangan kiri, siap menghantam. Tapi!
"Kreekkk!"
Setunggul Langit menjerit keras ketika tulang lengan kanannya yang dicekal
berderak remuk lalu tubuhnya terangkat ke udara. Bersamaan dengan melesatnya
lengan yang mencekal ke atas, lima kuku berbentuk kepala berubah sepuluh kali
lebih besar lalu luar biasa sekali lima kepala itu bergerak saling mendekat dan
bergabung membentuk satu kepala seukuran tiga kali manusia biasa! Bersamaan
dengan itu muncul bentuk leher, menyusul tubuh lengkap dengan kaki tinggi besar.
Dalam Candi Miring kini berdiri ujud satu mahluk raksasa berkepala botak,
berkumis menjulai, berjanggut hitam panjang berkeluk. Sepasang mata besar
menjorok keluar, lebih banyak putihnya karena lensa mata yang hitam hanya berupa
titik kecil. Demikian tingginya empat menara candi.
Mahluk itu mengenakan jubah biru gelap.
Bagian atas tidak dikancing hingga tampak dadanya yang penuh bulu. Di atas
kepalanya yang botak ada sebuah tanduk yang setiap saat memijar cahaya merah.
"Arwah Ketua!" berseru Setunggul Langit. Suara bergetar, tubuh menggigil.
Ketakutan setengah mati.
Mahluk yang disebut Arwah Ketua menyeringai. Dari mulut terus keluar suara
mengorok. Hembusan nafasnya membuat mata Setunggul Langit terasa perih.
"Manusia puntung neraka, kebencian Para Dewa tujuh lapis langit tujuh lapis
bumi! Lipatan kain kuning di dalam lobang adalah milik Arwah Muka Hijau! Apakah
dia yang menyuruhmu kesini untuk mengambilnya"! Jawab dan jangan berani
berdusta!"
"Arwah Ketua! Ampuni diriku! Ucapanmu betul. Arwah Muka Hijau yang memerintahkan
diriku mengambil benda itu.Tapi bukan untuk maksud jahat. Dia dalam keadaan
sakarat terkena racun bubu ikan."
"Bukan maksud jahat! Kejahatan telah lahir sebelum malapetaka menimpah dirinya.
Hukum Karma Para Dewa bukan main-main.
Jangankan Arwah Muka Hijau. Sri Baginda Maharaja Kerajaan Matarampun tidak bisa melawan
hukum Sang Hyang Agung!"
"Arwah Ketua..." kata Setunggul Langit, masih ketakutan. "Pimpinan Arwah Muka
Hijau dalam keadaan sakarat akibat terkena bisa bubu ikan."
"Bisa bubu ikan! Bukankah itu ilmu kesaktian milik kalian sendiri"!"
"Benar Arwah Ketua. Saat ini..."
"Aku tahu. Saat ini dia di luar menunggumu! Mahluk satu itu sudah banyak berbuat
salah!" "Ampuni kami berdua. Mohon Arwah Ketua menolong pimpinanku terlebih dulu.
Kalau dia memang bersalah na!nti bisa Arwah Ketua jatuhi hukuman..."
Arwah Ketua menyeringai.
"Kata-katamu menunjukkan kau sama belutnya dengan pimpinanmu!"
"Arwah Ketua, aku mohon dengan sangat. Kalau malam keburu datang dan Arwah Muka
Hijau belum mendapatkan obat dalam lipatan kain kuning, dia akan menemui
ajal..." Arwah Ketua keluarkan suara mengorok lalu tertawa mengekeh.
"Majikanmu pantas menemui ajal karena menyalahi perintah, akibat dari
keserakahan sendiri. Dia bakal menerima hukuman berat dariku! Saat ini biar kau
yang lebih dulu aku pesiangi!"
"Arwah Ketua! Kau mau berbuat apa!
Ampuni diriku. Aku memang mahluk tidak berguna. Namun jika aku kau biarkan hidup
aku akan berjanji berbuat kebajikan dijalan yang diterangi Dewa..." teriak
Setunggul Langit yang saat itu tangan kanannya masih dicekal dan tubuhnya
terangkat sampai satu setengah tombak di udara.
"Dewa Agung memberikan cahaya terang pada semua umat manusia agar tidak
tersesat. Tapi kau dan Arwah Muka Hijau sengaja mencari jalan kegelapan!" sambil
berucap Arwah Ketua angkat tubuh Setunggul Langit tinggi-tinggi.
"Ampun! Aku mohon..." Arwah Ketua tidak perdulikan jeritan Setunggul Langit.
Tubuh anak buah Arwah Muka Hijau itu dibantingkan ke lantai hingga terkapar,
meraung keras menggeliat-geliat karena tulang punggungnya hancur. Dengan
kesaktian Setunggul Langit mampu menyembuhkan bagian tubuh yang cidera lalu
bangkit berdiri. Namun tanpa disadari saat itu dua telapak kakinya tidak
menjejak di atas daun pisang setengah kering namun telah bergeser menginjak
lantai batu Candi Miring.
Pantangan besar telah dilanggar! Saat itu juga tubuh kurus Setunggul Langit
mengepulkan asap hitam. Jeritannya masih mengaung di dalam bangunan batu itu
sementara ujudnya perlahan-lahan mulai dari kaki terus ke atas berubah menjadi
cairan hitam. Lelehan cairan hitam merambas masuk ke dalam tanah melalui celahcelah sambungan potongan batu-batu lantai dan akhirnya lenyap tak berbekas.
3 SERATUS TAHUN JADI PENGGANJAL
CANDI Mahluk bernama Arwah Ketua menghembus nafas panjang, mengorok keras lalu tertawa
bergelak. Perlahan-lahan kemudian dia membungkuk. Dengan tangan kiri dia
mengambil lipatan kain kuning di dalam lobang batu. Lalu melesat ke udara. Di
lain kejab dia sudah berada di halaman samping, di depan pintu candi sebelah
barat dimana tergeletak tubuh Arwah Muka Hijau dalam keadaan sekarat.
Hidung dan mulut yang berupa benang kasar hitam dari Arwah Muka Hijau bergerakgerak. Darah hijau kental masih terus mengucur dari dua puluh empat robekan
luka, di kepala, muka, leher serta sebagian tubuh. Sementara matahari mulai
menggelincir masuk ke ufuk tenggelamnya.
"Aku merasa bau matahari akan segera tenggelam..." ucapan Arwah Muka Hijau
tersendat-sendat. "Aku mencium bau....
Setunggul Langit... Bukan... Bukan kau yang datang! Aku mendengar suara
mengorok." Muka mengerikan Arwah Muka Hijau menggembung lalu menciut."Arwah
Ketua...!"
Mahluktinggi besar berjubah biru tertawa tergelak. Tanduk di atas kepala yang
botak berpijar terang.
"Arwah Ketua...Tolong...Aku mencium bau obat penangkal racun bubu ikan. Apakah
kau membawanya. Tolong... berikan padaku cepat...Aku mohon..."
Suara mengorok berhenti. Lalu terdengar suara Arwah Ketua.
"Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh!
Kau inginkan obat penangkal racun bubu ikan ini"!" sambil bertanya kain lipatan
kuning di tangan kiri lalu dia membungkuk dan kipas- kipaskan lipatan kain
kuning di depan mata berjahit Arwah Muka Hijau.
"Benar... berikan cepat.Tolong. Aku merasakan matahari akan segera tenggelam.
Malam akan datang. Nyawaku hanya tinggal beberapa kejapan mata saja. Arwah
Ketua, aku mohon..."
"Kau takut mati rupanya. Ha..ha..ha!
Jangan kawatir Arwah Muka Hijau. Aku telah menyediakan tempat sangat baik
untukmu jika kelak kau benar-benar sudah menjadi arwah. Tapi aku kira kau tidak
perlu dibuat mati cepat-cepat. Lain dari itu kau juga tidak perlu dibuat mati
benaran..."
"Arwah Ketua, apa maksudmu.Tolong...
Berikan... obat penangkal racun itu."
"Aku akan memberikan.Tapi katakan dulu dimana kau sembunyikan Gading Bersurat
yang kau curi dariku!" Kata Arwah Ketua pula lalu mengorok panjang. Tanduk di
kepala memancar cahaya merah terang pertanda ada kemarahan dalam diri mahluk
bertubuh menyerupai raksasa ini.
"Aku...aku tidak mencuri. Demi Para Dewa aku bersumpah, aku tidak mencuri!"
"Mahluk terkutuk tujuh lapis langit tujuh lapis bumi!" Arwah Ketua menggembor
marah. "Beraninya kau bersumpah menyebut nama Para Dewa Agung! Berarti kau tak
perlu menunggu tenggelamnya matahari, tidak perlu menanti datangnya malam.
Mahluk terkutuk tidak berguna! Biar kuhabisi kau sekarang juga!"
Lima jari tangan Arwah Ketua yang luar biasa besar mencuat lurus mengeluarkan
suara berkeretekan. Tangan itu seolah berubah menjadi tombak baja bermata lima!
Jangankan tubuh manusia, batu gunung-pun bisa hancur berantakan jika sampai kena
ditusuk! Ilmu Tombak Arwah Mata Limal Melihat ancaman mengerikan itu Arwah Muka
Hijau jadi ciut nyalinya.
"Arwah Ketua! Mohon ampunmu. Aku akan mengatakan dimana beradanya Gading
Bersurat itu!" Arwah Ketua menggembor keras. Mulut menyeringai, mata berputar
dan tanduk berpijar. Tubuh perlahan-lahan diluruskan.
"Aku menunggu penjelasanmu!"
"Gading Bersurat itu aku simpan di lantai Goa Lumut di barat Kali Gondang."
Arwah Muka Hijau akhirnya membuka mulut memberi keterangan.
"Demi Dewa Agung kau tidak berdusta"!" tanya Arwah Ketua.
"Aku bersumpah, aku tidak berdusta,"
jawab Arwah Muka Hijau.
"Kita akan lihat!" kata Arwah Ketua pula lalu tangan kanan diangkat ke atas,
lima jari terpentang, telapak membuka seolah siap menerima atau menangkap
sesuatu. Mata besar menjorok dipejam.
Mulut keluarkan suara mengorok panjang.
Setelah hembuskan nafas panjang dia lalu berucap perlahan. "Lantai Goa Lumut!
Barat Kali Gondang! Angin bertiup. Udara bergelombang. Segala sesuatu kembali
pada pemiliknya! Manusia punya rencana. Para Dewa punya keputusan!"
Arwah Ketua sentakkan tangan kanannya ke belakang. Di kejauhan mendadak
terdengar suara mendengung nyaring lalu dari arah timur sebuah benda putih
panjang tampak melayang di udara, melesat dan masuk ke dalam genggaman tangan
kanan Arwah Ketua. Benda putih panjang itu ternyata adalah Gading Bersurat yang
rupanya dicuri dan dipendam Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh di lantai batu Goa
Lumut. Arwah Ketua buka sepasang mata besar dan putih. Sesaat dia meneliti benda yang
ada di tangan kanan lalu berkata.
"Ternyata kau tidak berdusta Arwah Muka Hijau!"
"Kalau begitu saatnya kau menyerahkan obat penangkal racun itu padaku..." kata
Arwah Muka Hijau sambil coba mengulurkan tangan kiri namun karena sangat lemah
tangan itu terkulai jatuh.
"Aku harus mengamankan lebih dulu Gading Bersurat ini agar jangan terjadi
keserakahan dan kejahatan untuk kedua kalinya. Para Dewa di Swaga-loka, aku
Arwah Ketua, penjaga Candi Miring warisan leluhur Sri Banginda Maharaja Kerajaan
Bhuml Mataram, mohon pertolongan dan perlindungan."
Selesai mengeluarkan ucapan Arwah Ketua lalu buka mulutnya lebar-lebar.
Perlahan-lahan Gading Bersurat yang besar dan panjang sekitar tujuh jengkal itu
dimasukkan ke dalam mulut hingga akhirnya mendekam di dalam perut!
"Arwah Ketua, aku mohon! Aku telah bicara jujur. Aku telah minta maaf dan ampun.
Kau telah mendapatkan Gading Bersurat. Mohon berikan obat penangkal racun
itu...Matahari sudah...sudah teng...tenggelam. Ah...!
Dari kepala Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh yang penuh luka robekan mengepul
asap hijau. Lalu
reekkk...rekkk...rekkk! Jahitan benang kasar hitam pada bagian dimana terletak
mata, telinga, hidung dan mulut berputusan. Keadaan mahluk ini semakin
mengerikan. "Arwah Muka Hijau! Kau inginkan kehidupan. Aku akan berikan kehidupan padamu!
Tapi untuk keserakahan dan kejahatanmu kau tetap akan menerima hukuman!"
Tangan kiri Arwah Ketua bergerak.
Lipatan kain kuning berisi obat sakti mujarab penangkal bisa bubu ikan melesat
masuk ke dalam mulut Arwah Muka Hijau yang kini berupa sayatan terbuka. Di saat
yang sama di arah barat sang surya telah tenggelam, kegelapan mulai turun.
"Hekkk!"
Arwah Muka Hijau keluarkan suara tercekik namun dengan cepat dia menelan lipatan
kain berisi obat ada dalam mulutnya. Saat itu juga tubuh mahluk ini memancarkan
cahaya biru. Dua puluh empat robekan luka di kepala, wajah, leher dan sebagian
tubuhnya serta merta bertaut.
Darah hijau di kepala, muka dan tubuh lenyap. Sungguh luar biasa kehebatan obat
penangkal racun bubu ikan itu.
"Arwah Ketua, aku berterima kasih kau telah menolongku! Aku bersumpah akan
melakukan apa saja yang kau perintahkan!"
Dengan satu lompatan kilat Arwah Muka Hijau tegak terhuyung lalu jatuhkan diri,
berlutut di hadapan mahluktinggi besar berjubah biru itu.
Arwah Ketua tertawa bergelak.
"Arwah Muka Hijau! Kau memang harus melakukan sesuatu untuk menebus dosa
kesalahanmu!"
"Aku pasrah Arwah Ketua," jawab Arwah Muka Hijau.
Arwah Ketua angguk-anggukan kepala.
Mengumbar suara mengorok lalu memerintah.
"Berdiri lurus-lurus di hadapanku!"
Arwah Muka Hijau cepat bangun dan berlutut lalu tegak lurus-lurus. Arwah Ketua
meniup. Kejaban itu juga sekujur tubuh Arwah Muka Hijau menjadi kaku tegang tak
bisa bergerak. Dia hendak berteriak namun ternyata mulutnyapun tak bisa
bersuara! Maki rutuk carut marut menggelegar di dalam dada mahluk ini.
Arwah Ketua geserkan kaki kiri kanan ke tanah. Dua larik asap hitam mengepul.
Dari balik kepulan asap muncul dua mahluk kembar tinggi hitam berpakaian putihputih, lengkap dengan destar putih menyerupai sorban tipis. Begitu berdiri di
depan Arwah Ketua keduanya membungkuk lalu sama-sama keluarkan ucapan.
"Kami Arwah Kembar Candi Miring siap melaksanakan perintah Arwah Ketua."
"Benamkan mahluk satu ini di sisi selatan dasar candi. Dia akan menjadi ganjalan
Candi Miring selama seratus tahun Saka sebagai hukuman kesalahan yang telah
dibuatnya!"
Arwah Muka Hijau berteriak marah.
Tapi suara teriakannya tidak keluar.
Dua mahluk kembar membungkuk. Lalu dengan gerakan sangat cepat mereka menggotong
tubuh Arwah Muka Hijau dan membawanya ke bagian selatan bangunan candi.Tubuh
Arwah Muka Hijau secara aneh disusupkan ke dalam tanah di bagian bawah dinding
candi yang miring.
"Reeerrrr!"
Dinding candi bergetar. Tubuh Arwah Muka Hijau lenyap tak kelihatan lagi!
Arwah Ketua mengorok panjang. Arwah Kembar mendatangi dan bertanya.
"Arwah Ketua, apakah ada lagi tugas yang harus kami kerjakan?"
"Awasi Candi Miring dan semua arwah yang gentayangan. Siang apa lagi malam hari.
Bilamana kalian melihat ada kejanggalan lekas memberi tahu aku. Aku tak ingin
ada lagi pengkhianatan di candi leluhur yang keramat ini. Sekarang kalian boleh
pergi." Arwah Kembar membungkuk lalu tubuh mereka berubah jadi asap hitam dan menyusup
lenyap ke dalam tanah pada kaki kiri dan kanan Arwah Ketua. Arwah Ketua sendiri
kemudian melesat ke udara, melayang turun di bagian tengah Candi Miring dan
lenyap dari pemandangan bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang cukup keras
membuat tanah kering menebar abu ke berbagai penjuru.
4 TUJUH BULAN KANDUNGAN GAIB
Sumur Api. Di dalam kamar tempat kediamannya di dasar Sumur Api, Ananthawuri
terbangun lebih pagi dari biasanya. Hari itu hari bulan ketujuh dari kehamilan
gaib yang terjadi atas anak perawan dari Desa Sorogedug ini. Ketika terbangun
dari tidur, begitu menyalangkan mata hidungnya mencium bau harum semerbak di
dalam kamar. "Apakah semalam aku tertidur di dalam taman penuh bunga-bunga yang tengah
berkembang dan menebar bau harum?" fikir Ananthawuri. Perlahan-lahan anak gadis
ini bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Dia memandang seputar kamar. Dibawah
keremangan cahaya pelita kecil pandangan nya melihat sesuatu di meja bulat batu
pualam yang terletak di sudut kanan kamar.
Ananthawuri segera turun dari tempat tidur, melangkah mendekati meja. Di atas
meja ada dua nampan bagus terbuat dari anyaman bambu. Di atas nampan pertama
tersusun tujuh macam buah-buahan segar.
Lalu di atas nampan kedua terdapat tujuh rupa bunga. Bunga-bunga inilah yang
menebar bau harum di dalam kamar.
Ananthawuri merenung sejenak. Mengusap perutnya yang besar lalu tersenyum.
"Ibundaku sayang, pasti dia yang menyiapkan buah dan bunga ini. Dia tahu kalau
hari ini adalah hari pertama bulan ketujuh kandunganku. Betapa Ibu sangat
memperhatikan diriku. Aku harus mengucapkan terima kasih pada Ibu." Gadis ini
lalu melangkah ke pintu.
Ketika pintu dibuka, seorang pelayan perempuan yang merawat dan mengurus segala
keperluannya Ananthawuri dan saat itu tengah membersihkan ruangan di luar kamar
menegur hormat.


Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ajeng Ayu, pagi-pagi sudah bangun.
Padahal diluar masih gelap. Mau kemanakah?"
"Mbok Wariti, saya ingin menemui Ibu.
Atau biar saya saja yang membangunkan.."
Ananthawuri lalu melangkah ke ujung ruangan dimana terletak kamar Sukantili,
ibunya. Wariti walau merasa agak heran namun seperti yang disuruh meneruskan
pekerjaannya membersihkan ruangan.
Di dalam kamar Ananthawuri menemukan sang
ibu masih tertidur pulas. Perlahan-lahan gadis ini duduk di tepi ranjang lalu
membungkuk mencium kening ibunya. Ciuman itu membuat Sukantili terbangun dari
tidurnya. "Anakku Ananthawuri, ada apakah?"
Sukantili bertanya dengan pandangan menyatakan rasa heran.
"Saya ingin mengucapkan terima kasih.
Ibu sangat memperhatikan saya..."
"Aku ibumu. Tentu saja memperhatikan dirimu. Apalagi sejak kita berdua berada di
tempat ini... Dan kau tengah hamil pula. Kau ingin berterima kasih" Berterima
kasih untukapa?"Tanya Sukantili pada anak gadisnya.
Ananthawuri tersenyum.
"Ibu pura-pura. Bukankah Ibu yang meletakkan buah tujuh macam buah dan bunga
tujuh rupa di atas meja batu pualam dalam kamar saya sebagai pertanda kandungan
saya memasuki usia ke tujuh bulan?"
Sukantili terkejut.
"Sang Hyang Batara Dewa, Maha Pengasih Maha Penyayang." Sukantili bangun dan
duduk di atas tempat tidur lalu memeluk puterinya. "Ibu merasa berdosa anakku.
Ibu tahu kau sedang hamil.Tapi tidak ingat kalau kandunganmu hari ini telah
memasuki bulan ketujuh..."
"Tapi Ibu meletakkan tujuh macam buah dan tujuh rupa bunga di dalam kamar saya."
"Ananthawuri..." Sukantili menggeleng."Ibu tidak melakukan hal itu, anakku."
Perempuan ini turun dari tempat tidur, memegang lengan puterinya lalu berkata.
"Bagaimana bisa terjadi" Anakku, antarkan Ibu ke kamarmu..."
Sampai di dalam kamar anaknya, Sukantili tertegun di depan meja batu pualam di
sudut kamar. Matanya memandang tak berkesip pada bunga dan buah segar yang
terletak di atas dua buah nampan terbuat dari anyaman bambu. Sesaat kemudian
perempuan ini berpaling pada Ananthawuri.
"Ibu tidak melakukan ini anakku. Ibu tidak meletakkan buah dan kembang ini."
"Lalu siapa yang meletakkan?" tanya Ananthawuri yang masih tidak percaya ucapan
sang ibu. Saat itulah tiba-tiba ada suara berucap.
Wahai ibu dan Anak
Kasih Para Dewa tidak perlu diper-tanyakan
Hari ini kandungan gaib memasuki bulan ke tujuh
Makanlah tujuh macam buah walaupun hanya satu gigitan
Bersiramlah dengan kembang tujuh rupa walau hanya satu siraman
Kelak anak yang dilahirkan akan membawa kebajikan
Merupakan rakhmat bagi seluruh ummat
"Roh Agung, saya memberanikan diri bertanya.
Apakah Kau yang barusan bicara?"
Ananthawuri keluarkan ucapan.
Tak ada jawaban.
"Roh Agung, siapakah Kau sebenarnya?"
"Ananthawuri, kita pernah bertemu."
Mendadak ada jawaban.
"Apakah...Apakah kau orang tua bernama Dhana Padmasutra?"
Tak ada jawaban. Sepi.
Ananthawuri dan ibunya tahu siapapun yang tadi bicara saat itu dia sudah tidak
ada lagi di dalam kamar itu. Sukantili pegang lengan anak gadis.
"Anakku, kita harus bersyukur. Para Dewa agaknya selalu memperhatikan dirimu.
Selagi hari masih gelap, Ibu akan mengantarkanmu ke pancuran. Mandi bersiram
dengan bunga tujuh rupa pemberian Yang Kuasa dan Yang Pengasih. Ibu akan meminta
pelayan membantumu. Selesai mandi kau kembali ke sini dan menyantap buah-buahan
itu." "Saya menurut apa kata Ibu saja,"
sahut Ananthawuri. "Namun izinkan dulu saya membaca satu halaman indah dari
Kitab Suci Weda yang diberikan orang tua bernama Dhana Padmasutra itu."
Ananthawuri mengeluarkan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra dari dalam sebuah
lemari. Di dalam lemari ini pula dia menyimpan tongkat kayu milik si orang tua,
yang telah menuntunnya hingga sampai ke Sumur Api.
Sementara Ananthawuri membaca Kitab dengan khusuk dan suara halus perlahan, sang
ibu memperhatikan. Tidak disadari air mata menggulir jatuh ke pipi. Hatinya
berkata. "Kalau saja saudagar Narotungga tidak berlaku keji terhadap mendiang suamiku,
diriku serta anak gadisku, pasti saat ini aku dan Ananthawuri masih berada di
desa Sorogedug dalam keadaan aman tenteram.
Walau hidup miskin namun tinggal di desa merupakan berkat kebahagiaan Dewa Agung
yang tiada taranya."
SUATU malam, tiga puluh hari setelah Ananthawuri bersiram mandi di pancuran di
dasar Sumur Api, Sukantili tidak bisa memincingkan mata. Malam telah melewati
pertengahan, mulai menjelang pagi. Ibu Ananthawuri ini masih larut dalam
kegelisahan hati dan pikiran.
Sejak siang entah mengapa ingatannya selalu tertuju pada kampung halamannya di
Desa Sorogedug. Terbayang rumah dan halaman walau rumah itu kini hanya tinggal
puing-puing hitam reruntuhan akibat dibakar kaki tangan Narotungga.Teringat akan
sawah ladang walau kini tidak ada yang memelihara dan telah berubah ditumbuhi
semak belukar serta alang-alang liar. Yang paling menyamak hati perempuan itu
adalah telah sekian lama dia tidak pernah lagi menyambangi makam Panggaling,
almarhum suaminya. Semasa tinggal di Sorogedug, satu kali dalam seminggu dia
selalu datang menziarahi kuburan ayah Ananthawuri itu. Dia seolah merasa berdosa
karena sejak berada di dasar Sumur Api dia tidak mungkin lagi berziarah.
Bagaimana keadaan makam suaminya itu saat ini. Pasti sudah ditumbuhi rumput .dan
ilalang liar karena tidak terpelihara.
Sebagaimana terjadi dengan diri anak gadisnya begitu pula yang akan dialami
Sukantili. Yaitu dia tidak bisa meninggalkan tempat itu untuk selama-lamanya,
kecuali Yang Maha Kuasa menentukan lain. Begitu ucapan yang disampaikan Roh
Agung sebelum Ananthawuri menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul Langit dan
Setunggul Bumi dengan cara menceburkan diri ke dalam Sumur Api.
Walau di tempat itu dia hidup senang bersama anak gadisnya namun sebagai manusia
dan perempuan yang punya perasaan dan hati sanubari kadang-kadang muncul
keinginan dalam diri perempuan ini untuk mencari tahu bagaimana caranya bisa
keluar dari dasar Sumur Api. Seandainya dia bisa keluar, meski hanya beberapa
ketika, ingin dia pergi ke Sorogedug, melihat reruntuhan rumahnya, mendatangi
makam Panggaling mendiang suaminya. Namun keinginan itu tidak pernah terlaksana.
Karena walaupun tampaknya bebas akan tetapi ada perasaan terkungkung dalam diri
perempuan ini. Dan dia tidak pernah tahu bagaimana cara bisa keluar dari tempat
itu. Malam itu setelah tidak dapat menahan gelisah Sukantili keluar dari kamar, pergi
ke taman. Dia duduk di satu batu datar.
Udara malam terasa dingin tapi segar.
Paling tidak lebih segar dari keadaan di dalam kamar tidurnya. Di kejauhan
terdengar suara curahan air pancuran yang terletak di ujung taman pada satu
lereng tanah menurun. Memang dia serasa hidup di alam nyata. Namun dia juga
merasakan ada kegaiban membayangi suasana di tempat itu.
Bosan duduk di batu Sukantili berjalan seputar taman. Dia hentikan langkah
sewaktu mendengar suara menggelepar di atas kepalanya. Seekor burung berbulu
kuning dan merah terbang di udara. Binatang ini hinggap, arahkan kepalanya pada
Sukantili seolah sengaja memandang perempuan itu lalu melayang turun di sela
bunga-bunga yang sedang mekar dan lenyap dari pemandangan.
Sukantili menunggu beberapa lama namun burung itu tidak kunjung keluar.
"Heran, kemana perginya burung itu"
Tidak mungkin ada burung bersarang di dalam tanah atau di akar pohon." Penuh
perasaan ingin tahu Sukantili mendekati pohon berbunga Jingga. Keadaan di tempat
itu gelap, dia tidak melihat apa-apa. Dia tidak menemukan burung berbulu merah
kuning tadi. "Aneh, kemana lenyapnya burung tadi?"
kata Sukantili dalam hati. Dia memutar tubuh hendak tinggalkan tempat itu. Namun
saat itu sepasang bola matanya yang telah lebih biasa memperhatikan ke arah
kegelapan tiba-tiba saja melihat satu benda putih sebesar batang kelapa dengan
tinggi sekitar selutut manusia. Dia memperhatikan lebih teliti. Ternyata benda
putih itu adalah sebuah batu. Sesaat kemudian baru disadarinya kalau akar pohon
berbunga Jingga ternyata masuk ke dalam batu putih itu.
"Pohon tumbuh di batu...Tidak pernah kejadian..." Membatin Sukantili.
Dari hanya berdiri Sukantili kini membungkuk, lalu berlutut di tanah. Malah
tangan kanan diulur ke arah batu putih.
Perempuan ini seperti tidak punya perasaan takut sama sekali. Namun dia terkejut
besar, tersentak kaget karena begitu tangannya menyentuh batu putih tiba-tiba
terdengar suara menderu halus. Di saat yang sama batu putih memancarkan cahaya
terang lalu bergerak berputar. Pada satu kali putaran penuh batu putih dan pohon
berbunga Jingga naik ke atas. Di tanah bekas tegaknya batu putih terlihat satu
lobang batu memancarkan cahaya terang kebiruan. Dan di dalam lobang Sukantili
melihat ada tangga batu ke arah atas, entah menuju ke mana. Saat itu pula
telinga ibu Ananthawuri ini mendengar suara alunan gamelan yang datang dari
dalam lobang bercahaya biru.
Sukantili berdiri. Memandang berkeliling dia tidak melihat apa-apa kecuali
lobang batu di hadapannya.
5 TAKDIR SANG IBU
Di dalam lobang batu yang diterangi cahaya biru udara terasa sejuk. Sukantili
melangkah menuju ke atas. Anak tangga batu seolah tidak ada habis-habisnya tapi
Sukantili tidak merasa letih sedikit-pun.
Ketika suara alunan gamelan terdengar perlahan perempuan ini melihat cahaya
terang. Ternyata dia telah sampai pada anak tangga yang terakhir yang merupakan
ujung lorong batu.
Di depan lorong batu terdapat satu pohon kering sangat besar tak berdaun Pohon
ini tumbuh miring di atas satu pedataran pasir berwarna coklat. Di sebelah atas
langit membentang biru.
Sekelomp k burung melayang terbang ke arah timur. Walau cahaya matahari terasa
terik dan menyilaukan namun pemandangan yang terbentang indah sekali.
"Waktu di dasar Sumur Api keadaan masih tengah malam. Di dalam lobang batu aku
berjalan tidak lebih lama dari membaca tiga halaman kitab. Mengapa keadaan di
luar sini siang hari terang benderang?"
Sukantili terheran-heran. Perlahan-lahan dia menjejakkan kaki di atas batang
pohon kering, melangkah ke arah pucuk. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara.
"Perempuan berpikiran gelisah Hentikan langkah
Putar tubuhmu Jangan meneruskan meniti di pohon kering
Kembalilah sebelum terlambat Dirimu bukan lagi insan duniawi Kau berada dalam
alam Dewani Kembalilah ke dasar Sumur Api Maka Dewa Agung akan melindungimu Yang
Maha Kuasa akan memberkahimu"
Sukantili tertegun. Namun hanya sesaat. Dilain ketika kakinya kembali melangkah
ke arah pucuk pohon kering. Dia seperti tidak memperdulikan suara gaib itu. Dia
lebih banyak mengingat kampung halamannya. Desa Sorogedug. Hasratnya untuk
melihat rumah dan makam suaminya mendorong dua kakinya melangkah terus di atas
batangan pohon kering.
Mendadak langit biru bersih berubah hitam. Cahaya sang surya yang tadi terik
menyilaukan kini menjadi redup. Keadaan hampir tidak beda dengan malam hari.
Lalu ada suara tiupan angin luar biasa kencang. Pasir di pedataran
menggebubu ke udara, bergulung-gulung membentuk ujud-ujud mengerikan. Di atas
batang pohon kering tubuh Sukantili bergoyang-goyang. Perempuan ini mulai
ketakutan. Dia berusaha membalikkan badan namun saat Itu satu gelombang angin
luar biasa dahsyat menyapu dirinya hingga terpental ke udara.
Sukantili menjerit lalu pingsan tak sadarkan diri.
KETIKA siuman Sukantili dapatkan dirinya terbujur di tanah. Keadaan sekitarnya
gelap gulita. Di atas langit terbentang kelam pertanda saat itu malam hari.
Perlahan-lahan perempuan ini bangun.
Memandang berkeliling dia keluarkan seruan tertahan, tersendat setengah
menangis. Saat itu ternyata dia tengah terduduk di halaman rumah kediamannya di desa
Sorogedug yang kini tinggal puing-puing hitam.
"Dewa Jaganatha Batara Agung. Kau membawaku kembali ke rumah kediamanku..."
Sukantili berdiri. Masih kurang percaya dia berjalan mengelilingi reruntuhan
rumah. "Tidak keliru...Aku masih bisa mengenali walau sudah runtuh tak berbentuk begini
rupa. Ini rumahku..." Ucap Sukantili.Tiba-tiba perempuan ini ingat akan mendiang
suaminya. Tidak menunggu lebih lama dia segera lari ke arah selatan desa hingga
akhirnya sampai di satu perkuburan. Jika seseorang berada malam hari di tempat
seperti itu pastilah akan merasa ngeri. Namun dalam diri Sukantili tidak ada
perasaan takut sama sekali. Dia sampai di hadapan sebuah makam yang sangat tidak
terawat. Tanah makam dalam keadaan miring. Rumput liar dan alang-alang
bertumbuhan di mana-mana. Batu nisan yang seharusnya menancap di kepala makam
kini terguling di tanah.
Pada masa itu kebanyakan jenasah di bakar dan abunya ditabur di laut atau di
sungai. Namun ada juga jenasah yang di makamkan termasuk jenasah Panggaling,
mendiang suami Sukantili.
"Kanda Panggaling..." Terisak-isak Sukantili jatuhkan diri di atas kuburan.
"Keadaan memisahkan kita sekian lama.
Maafkan diriku karena tidak menziarahi makammu. Kanda, anak kita Ananthawuri.
Sesuatu telah terjadi dengan dirinya.
Aku..." Perempuan ini tidak dapat melanjutkan ucapan karena tangis yang
sejaktadi tertahan kini menyembur keluar.
Didera oleh derita batin serta keadaan tubuh yang tiba-tiba terasa letih, suara
tangis Sukantili perlahan-lahan mereda dan akhirnya lenyap sama sekali.
Dini hari ketika suasana di
perkuburan dipalut kesunyian dan dinginnya udara terasa mencucuk tulang, tibatiba dari langit di arah barat tampak satu sinar putih memancar. Tepat di atas
perkuburan cahaya putih ini melayang turun lalu menyapu tubuh
Sukantili yang masih tertidur di atas makam Panggaling.
"Perempuan bernama Sukantili bangunlah" Tiba-tiba terdengar satu suara menggema
di kegelapan malam tanah pekuburan. Saat itu juga Sukantili tersentak bangun
dari tidurnya. Dia belum sempat menyadari kalau dirinya masih di atas kuburan,
belum sempat mengingat apa yang sebelumnya terjadi, suara menggema tadi kembali
memecah kesunyian.
"Wahai perempuan desa, sungguh sangat disayangkan
Para Dewa telah mengangkat derajat dirimu
Namun belum ada ketulusan dan kepasrahan dalam jiwamu
Larangan Para Dewa
Yang disampaikan melalui Roh Agung Telah kau abaikan
Padahal sudah ditakdirkan bahwa dirimu
Akan menjadi penghuni Sumur Api Selama hayat dikandung badan Kau meninggalkan
Sumur Api Kau meninggalkan puterimu yang sedang mengandung
Yang seharusnya kau dampingi dan jaga baik-baik
Kesalahanmu sungguh besar
Namun Para Dewa berlaku bijaksana Kau pergi karena kecintaan pada kampung
halaman Desa kediamanmu
Kau pergi karena kecintaan dan hormatmu pada Mendiang suamimu Malam ini Para
Dewa telah mengabulkan keinginanmu
Malam ini kau telah berada di Desa Sorogedug
Malam ini kau telah melihat bekas rumah kediamanmu
Malam ini pula kau telah menziarahi makam suamimu
Sekarang saatnya kehendak Para Dewa Akan berlaku atas dirimu
Kau akan menjadi penghuni pemakaman ini
Mendampingi suamimu untuk selama-lamanya
Kecuali di suatu hari kelak
Para Dewa menentukan lain"
Sukantili terkesiap. Perempuan ini sadar apa yang telah terjadi, apa yang telah
dilakukannya. Cepat-cepat dia jatuhkan diri.
"Dewa Agung, saya mengaku bersalah berani melanggar pantangan, berani melawan
takdir. Saya bersedia kembali ke Sumur Api..."
Kata Sukantili hanya sampai di situ.


Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba cahaya putih yang tadi lenyap kini muncul kembali. Memancar di sekujur
tubuhnya. Perlahan-lahan tubuh perempuan ini terangkat ke arah kepala makam.
Cahaya putih lenyap. Sosok Sukantili juga sirna. Bersamaan dengan itu di kepala
kuburan Panggaling kini terlihat satu pohon melati besar yang puluhan bunganya
tengah mengembang. Udara di pemakaman serta merta di penuhi bau harum semerbak
kembang melati. Seekor burung hantu yang sejak tadi mendekam di cabang pohon
Kemboja keluarkan suara menguik halus, kembangkan sayap lalu cepat-cepat
melayang terbang tinggalkan pemakaman.
Keesokan paginya bau harum mewangi yang di tebar kembang melati menarik
perhatian orang tua penjaga kuburan yang berada di tempat itu bersama cucunya
seorang anak perempuan. Setelah memeriksa kian kemari akhirnya orang tua ini
menemukan sumber bau wangi itu.
"Cucuku, setahu kakek di tempat ini tidak pernah tumbuh pohon bunga melati.
Sekarang..."
"Bunganya putih bagus. Besar-besar dan harum. Aku mau memetiknya Kek..." kata si
cucu pula. "Jangan, ini bunga keramat. Jangan dipetik. Aku sudah sering melihat kembang
melati.Tapi tidak ada yang sebesar dan seharum ini... Aku harus menjaga bunga
ini baik-baik.Tidak boleh ada tangan jahil yang menyentuhnya."
"Ah kakek, pelitnya." Kata si cucu dengan wajah cemberut lalu tinggalkan
kakeknya, mengejar seekor capung yang terbang rendah di sampingnya.
6 PERTAPA GUNUNG MERBABU
Malam itu hujan lebat mencurah bumi. Angin bertiup kencang menebar hawa dingin,
membuat nepohonan bergoyang keras dan menimbulkan suara menderu menggidikan
berkepanjangan. Di alam gua batu di lereng Gunung Merbabu, pertapa tua Sedayu
Galiwardhana tidak mampu mempertahankan kekhusukan semedinya. Bukan hujan lebat
atau hembusan angin deras menggila yang membuat tapanya terganggu. Namun dalam
bayangan pelupuk kedua matanya ada dua titik merah yang sejak setengah malaman
menyorot memperhatikan gerak-geriknya.
Sedayu Galiwardhana bukan orang sembarangan. Ketinggian ilmu agama dan
kesaktiannya sudah diketahui semua orang di Bhumi Mataram. Kerajan sering
meminta bantuan dari pertapa yang diam di Gunung Merbabu ini. Namun sekali ini
entah kekuatan apa yang ada pada dua titik merah hingga semedi sang pertapa
mampu di ganggu dari luar. Karena tidak sanggup lagi bertahan, pertapa ini
sudahi semedinya.
Sebelum membuka ke dua mata dia berkata dalam hati.
"Para Dewa Agung di Swargaloka. Aku Sedayu Galiwardhana, pertapa di lereng
Gunung Merbabu, mohon maaf beribu maaf, mohon ampun beribu ampun. Aku yang lemah
ini tidak dapat meneruskan semedi. Ada kehendak alam yang mengganggu diriku.
Bukan hujan lebat itu wahai Dewa, bukan pula suara keras tiupan angin. Yang Maha
Kuasa, aku mohon untuk keluar meninggalkan alam gaib, meninggalkan alam penuh
keramat, ciptaanMu..."
Beberapa saat kemudian orang tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu
perlahan-lahan membuka kedua matanya.
Begitu mata terbuka dia langsung melihat sosok seseorang berdiri di ambang mulut
goa, berbasah-basah oleh terpaan air hujan, berdingin-dingin oleh sapuan angin.
Dia tidak bisa melihat jelas siapa adanya orang itu, apa lagi mengenali wajahnya
karena keadaan yang gelap. Yang kemudian serta merta menjadi perhatian Sedayu
Galiwardhana adalah dua titik merah yang seperti nyala bara di atas kepala orang
yang tegak menutupi mulut goa. Dua titik merah inilah yang semalaman tadi
menembus tabir alam gaib mengganggu semedinya.
Hati sang pertapa berdebar. Dia belum berani memastikan. Maka diapun membuka
mulut menyampaikan sapa teguran dengan suara sopan serta lembut.
"Tamu yang berdiri di depan goa.
Salam sejahtera untukmu. Semoga Para Dewa memberkati. Hujan begitu deras, angin
sangat kencang. Mengapa berdiri di luar sana berbasah-basah berdingin-dingin.
Masuklah ke dalam goa."
Dua titik menyala di atas kepala orang yang tegak di depan goa bersinar terang.
Orang itu tidak membalas salam atau mengucapkan sesuatu, namun seperti yang
diminta sang pertapa dia melangkah masuk ke dalam goa.
Lima langkah dari tempat sang pertapa duduk, sang tamu berhenti. Bersamaan
dengan itu baru dia keluarkan ucapan.
"Pertapa Gunung Merbabu. Berkat Dewa untuk semua ummat.Termasuk dirimu. Sedayu,
apakah kau tidak mengenali diriku?" Suara yang bicara adalah suara orang
perempuan. Debaran di hati sang pertapa merebak ke jantung, membuat jantungnya berdetak
keras. "Tadi aku tidak berani
memastikan.Tapi sekarang setelah mendengar suaramu baru aku merasa yakin.
Izinkan diriku menyebut namamu. Sri Sikaparwathi.
Aku sangat gembira dan ini merupakan rakhmatYang
Maha Kuasa hingga kita bisa berjumpa lagi. Maafkan keadaan goaku yang gelap.
Bolehkah aku meminjam cahaya terang dari dua mata insan yang ada di atas
kepalamu?"
Kau seorang sakti. Dengan kesaktian mu kau bisa berbuat apa saja. Silahkan
Sedayu. Aku memang sudah lama tidak melihat kehebatanmu."
"Maafkan diriku. Orang tua buruk ini tidak bermaksud memamerkan ilmu kepandaian.
Aku hanya ingin goa ini dalam keadaan terang agar lebih layak menyambut
kedatanganmu. Selain itu aku juga ingin melihat wajahmu. Terakhir kali aku
melihat dirimu adalah sekitar enam puluh tahun silam. Apakah kau mengizinkan?"
Perempuan di hadapan pertapa Sedayu Galiwardhana menghela nafas dalam lalu
tertawa. "Ah, suara tawamu tidak berbeda dengan dulu-dulu yang pernah aku dengar.
Tapi, apa yang membuatmu tertawa Sri Sikaparwathi?" Bertanya Sedayu
Galiwardhana. "Aku tertawa karena mengapa kita bicara berbasa-basi, memakai segala peradatan
seolah kita Ini adalah orang-orang penghuni Keraton Mataram!"
"Maafkan diriku. Bukan maksud berbasa-basi. Bukan pula ingin merajuk hati.
Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu, kau tahu-tahu datang menyambangi.
Aku berbahagia, sangat berbahagia. Namun dalam kebahagiaan itu aku mengerti
bagaimana menjaga diri. Aku khawatir mungkin saja ada perubahan dalam pikiran
dan perubahan dalam sikap."
"Sedayu Galiwardhana. Kau mendengar suaraku. Kau mendengar tawaku. Apa ada
perubahan?"
"Aku mendengar dan aku merasakan.
Seperti kataku tadi, tak ada perubahan pada suara dan tawamu. Para Dewa
memberikan berkat padamu..." jawab Sedayu Galiwardhana Namun dalam batin pertapa
ini berkata. "Suara dan tawa tidak berubah.
Namun bagaimana dengan sesuatu yang ada di lubuk hati, yang di balut dengan
perasaan?"
"Kalau begitu apa lagi yang kira-kira menjadi kekhawatiran dalam dirimu. Apa
lagi yang menjadi ganjalan dalam hatimu..."
"Sri Sikaparwathi, terima kasih. Kau memberi keyakinan yang aku khawatirkan
berubah dalam diriku. Aku akan membuat terang goa ini agar dapat melihat
wajahmu. Izinkan diriku..."
"Izinkan aku duduk di hadapanmu,"
kata perempuan bernama Sri Sikaparwathi mendahului. Lalu perlahan-lahan dia
duduk di lantai goa, tiga langkah di hadapan sang pertapa.
Setelah memperhatikan wajah yang masih tersembunyi dalam kegelapan itu, Sedayu
Galiwardhana angkat tangan kanan ke atas, telapak di kembang, diarahkan pada dua
titik cahaya merah di atas kepala Sri Sikaparwathi.
Dua titik merah pancarkan sinar terang benderang ketika tersentuh dengan getaran
halus yang keluar dari telapak tangan Sedayu Galiwardhana. Secara aneh titik
bercahaya merah yang tadi hanya ada dua kini bertambah dua lagi menjadi empat.
Dua berada di tempat pertama, dua lagi menggantung di udara.
Pertapa tua gerakkan pergelangan tangan kanan, mainkan lima jari tangan seperti
jari-jari penari. Perlahan-lahan dua titik merah yang menggantung di udara
bergerak ke arah tangannya. Sejarak dua jengkal lagi akan menyentuh telapak
tangan, si orang tua gerakan lagi pergelangan tangan, telapak ditadahkan lalu
dinaikkan ke atas. Dua titik merah serta merta melesat ke atas, melekat pada
atap goa, memancarkan cahaya kemerahan.
Goa itu kini menjadi terang benderang.
Perempuan di dalam goa mengerenyit, lindungi mata dengan tangan menahan silaunya
cahaya merah terang.
"Sedayu, sungguh luar biasa tenaga dalammu. Bukankah kau barusan menerapkan ilmu
yang disebut Tangan Dewa Menerangi Bumi?"
Sedayu Galiwardhana seolah tidak mendengar pujian orang. Saat itu sepasang
matanya menatap tak berkesip, memperhatikan wajah perempuan yang duduk tiga
langkah di hadapannya. Hati orang tua ini diharu biru oleh seribu perasaan.
Dalam hati dia berucap.
"Enam puluh tahun lalu, wajah ini begitu cantik.
Enam puluh tahun lalu setelah dimakan usia, kecantikan itu belum pupus. Rambut
yang dulu hitam legam berkilat, kini putih seperti perak, masih tetap dijalin
dan digulung di atas kepala. Membuat penampilannya begitu anggun. Raden Cahyo
Kumolo, kura-kura sakti di atas kepala sungguh sahabat sangat setia yang
menemaninya lebih dari setengah abad.
Kesetiaan yang mungkin tidak di dapat dalam diri manusia.Termasuk diriku
terhadap dirinya..."
"Sri Sikaparwathi, usia memang membuat manusia tua. Namun dalam kekuatan dirimu
aku tidak melihat banyak perbedaan pada wajahmu sejak terakhir aku melihatmu
enam puluh tahun silam..."
"Sedayu, kau keliwat memuji. Kau seperti membuang segenggam garam ke dalam air
laut yang sudah asin. Aku merasa malu.Tapi aku senang dengan sikapmu.
Seperti dulu-dulu kau bicara apa adanya.
Maafkan kalau aku telah mengganggu dan memutus semedimu."
"Kehendak dan jalan dari Dewi Agung mempertemukan kita. Apakah perlu ada yang
disesalkan?" ujar sang pertapa sambil tersenyum.
Orang duduk di hadapan Sedayu Galiwardhana itu adalah seorang perempuan tua
berjubah panjang warna Jingga. Seperti apa yang dilihat sang pertapa, walau
telah dimakan usia tujuh puluh tahunan, namun wajah perempuan ini tidak beda
dengan wajah perempuan separuh baya. Di pinggang melilit sehelai
selendang berwarna kuning. Rambut yang putih panjang dijalin lalu digulung di
atas kepala membentuk lingkaran. Dan ini hebatnya! Di atas kepala itu bertengger
seekor kura-kura hijau yang memiliki sepasang mata bercahaya merah.
Cahaya merah dua mata inilah yang sejak malam tadi memandang menyoroti Sedayu
Galiwardhana yang tengah bertapa bersemadi. Begitu hebatnya sorotan cahaya
sepasang mata hingga sang pertapa tidak mampu meneruskan semedinya. Pertapa tua
ini maklum kalau cahaya merah yang memancar dari dua mata kura-kura dialiri
dengan tenaga dalam mengandung hawa sakti tinggi yang dimiliki perempuan yang
menjunjungnya. "Sri Sikaparwathi, kedatanganmu seolah memberi kehidupan baru padaku. Aku
seperti kembali ke alam enam puluh tahun silam..."
Perempuan itu tertawa panjang. "Kau masih pandai berolok-olok. Sedayu,
ketahuilah aku membutuhkan waktu hampir tiga purnama untuk mencari dirimu. Aku
bertanya pada penghuni Keraton Bhumi Mataram. Mereka semua tahu dirimu namun
tidak tahu dimana keberadaanmu..."
"Kalau orang lain yang mencari diriku, aku tidak peduli. Tapi kalau seorang
perempuan bernama Sri Sikaparwathi yang mencariku, itulah satu kebahagiaan yang
tiada taranya. Nah, bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang membuat Dewa Agung
menuntun dirimu datang ke goa burukku ini?"
Sri Sikaparwathi memperbaiki duduknya yang bersimpuh di lantai goa. Setelah
menatap wajah orang di hadapannya beberapa ketika baru dia menjawab.
"Sedayu, aku rasa perlu menjernihkan satu hal. Aku datang bukan untuk
membicarakan persoalan kita yang tidak terselesaikan di masa muda..."
Pertapa tua balas menatap, alis bergerak naik tapi mulut terkancing. Dia seperti
sengaja menunggu kelanjutan ucapan orang.
"Aku menyesali sikap kerasku ketika kau meminangku, saat itu aku meminta dirimu
bersabar sampai Lingga Pati kakak lelakiku menikah lebih dulu. Aku tidak berdaya
melawan kemauan orang tua dan juga kungkungan adat.Tapi Lingga Pati tidak
kunjung menikah. Kemudian terjadi bencana alam meletusnya gunung berapi yang
disusul banjir besar menimpa negeri. Kita terpisah belasan tahun tanpa kabar,
tanpa tahu dimana rimba masing-masing. Kemudian Yang Maha Kuasa beberapa kali
mempertemukan kita. Namun dari kabar-kabar yang sampai ke telinga kita, telah
terjadi saling kesalah pahaman. Aku mendengar kau telah menikah dan kau
mendengar aku telah kawin.
Kenyataan buktinya lain. Aku tak pernah menikah dengan lelaki manapun. Dan kau
tidak pernah kawin dengan perempuan siapapun..."
Ketika Sri Sikaparwathi hentikan ucapannya, Sedayu Galiwardhana pergunakan
kesempatan untuk bertanya.
"Semua telah terjadi diluar kemampuan kita. Takdir Yang Maha Kuasa lebih berlaku
dari pada kehendak manusia. Aku yakin diantara kita sebenarnya tidak ada
penyesalan. Karena diantara kita tidak ada yang salah dan tidak ada kedustaan."
"Terima kasih kau berkata begitu Sedayu. Namun demikian aku tetap merasa semua
terjadi karena sikapku yang terlalu patuh pada orang tua dan sangat menghormati
adat, tidak mau memberi malu keluarga..."
Sedayu Galiwardhana coba tersenyum.
"Bukankah itu sikap yang sangat terpuji?" Kata pertapa sakti ini kemudian.
Perempuan tua di hadapan sang pertapa tidak menjawab.
"Sri Sikaparwathi, tadi kau mengatakan bahwa kau datang bukan untuk membicarakan
persoalan kita di masa lalu.
Mulai saat ini kita tidak akan mengutik dan mengungkap lagi semua itu. Sekarang
bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang membawamu hingga sampai ke goadi
lereng Gunung Merbabu ini?"
"Peristiwanya terjadi sekitar delapan bulan yang lalu. Sebelum itu telah tersiar
kabar di Bhumi Mataram. Apakah kau pernah mendengar riwayat tentang sebuah sumur
yang disebut Sumur api?"
"Aku pernah mendengar tapi tidak terlalu memperhatikan. Apa lagi menyelidiki..."
jawab Sedayu Galiwardhana.
"Lalu apakah kau juga pernah mendengar riwayat empat buah Gading Bersurat?"
Sedayu Galiwardhana tidak segera menjawab. Dua matanya untuk kesekian kali
melirik ke arah dua kaki Sri Sikaparwathi yang bersilang duduk bersilah. Pada
telapak kaki kanan perempuan itu, di belakang ibu jari kaki, dia melihat ada
satu tahi lalat hitam seujung jari kelingking. Pertapa ini coba mengingat-ingat.
"Aku merasa pasti ...Tapi semuanya aku lihat begitu sempurna. Kalau memang ada
yang sanggup melakukan benar-benar sakti luar biasa." Sedayu Galiwardhana
membatin sambil menatap wajah perempuan di depannya. Kemudian dia sadar kalau
barusan orang bertanya.
7 GADING BERSURAT KE EMPAT
Setelah mendehem beberapa kali Sedayu Galiwardhana membuka mulut. "Aku merasa
kisah Empat Gading Bersurat itu bukan rahasia lagi di kalangan orang cerdik
pandai dan tokoh rimba persilatan di Bhumi Mataram. Kau bertanya, apakah aku
tertarik akan hal itu?"
"Aku tidak mau berdusta.Terus terang aku memang tertarik. Aku sempat mengetahui
kalau Gading Bersurat yang pertama ada di tangan seorang bernama Gendadaluh yang
juga biasa disebut Arwah Muka Hijau. Namun dikabarkan sejak beberapa waktu yang
lalu Arwah Muka Hijau lenyap tak tahu rimbanya..."
"Apakah Gading Bersurat yang ada padanya juga ikut lenyap?"
"Betul sekali, Sedayu. Selain itu dua orang anak buah Arwah Muka Hijau juga
dikabarkan hilang secara aneh. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal." Sri
Sikaparwathi hentikan ucapannya sejenak lalu melanjutkan. "Aku memiliki salinan
tulisan yang tertera pada Gading Pertama."
"Apakah kau membawanya saat ini?"
Perempuan tua itu mengangguk. Dari saku jubah jingga sebelah kanan dia
mengeluarkan secarik kain putih. Lipatan kain putih dibuka lalu dibentang di
lantai goa di hadapan Sedayu Galiwardhana. Di atas kain itu terdapat tulisan
hitam dalam huruf Palawa. Apa yang tertulis di atas kain putih itu memang sama
dengan apa yang tertulis di Gading Bersurat Pertama yang pernah berada di tangan
Arwah Muka Hijau.
"Setahuku Gading Bersurat yang ada pada Arwah Muka Hijau adalah milik penghuni
Candi Miring di kawasan induk Kali Dengkeng sebelah timur."
Perempuan tua di hadapan Sedayu Galiwardhana tampak setengah tercengang
mendengar ucapan sang pertapa. "Kalau begitu besar kemungkinan Gading Bersurat
yang pertama itu kini sudah berada kembali di tangan penghuni Candi Miring?"
"Bisa jadi," kata Sedayu Galiwardhana pula. Pertapa ini diam-diam menduga
agaknya Sri Sikaparwathi sudah tahu hubungan antara Arwah Muka Hijau dengan
penghuni Candi Miring.
"Sedayu, apakah kau tidak ingin membaca apa yang tertulis di kain putih ini?"


Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Sri Sikaparwathi.
Sang pertapa menggeleng. "Aku sudah lama tidak mencampuri urusan duniawi
"jawab Sedayu Galiwardhana sambil untuk kesekian kali matanya melirik lagi ke
tahi lalat di telapak kaki kanan perempuan tua itu.
Sri Sikaparwathi lipat potongan kain putih dan masukkan kembali ke saku jubah.
Lalu dia berkata. "Aku butuh pertolonganmu Sedayu." "Dalam hal apa?"
"Walau tidak melihat apa lagi memiliki Gading Bersurat yang pertama namun aku
telah tahu isinya melalui salinan tulisan di kain putih tadi. Kelak di Bhumi
Mataram akan lahir dua anak lelaki yang akan menjadi Kesatria-Kesatria tangguh.
Riwayat dan petunjuk selanjutnya ada pada tiga buah Gading Bersurat lainnya.
Seorang tokoh bernama Giring Waleyan, berjuluk Raja Ulok diketahui memiliki
Gading Bersurat yang ke tiga.
Sayang aku tidak tahu apa yang tertulis di situ. Selain itu Giring Waleyan
sendiri sudah menemui ajal di bunuh oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Gading
Bersurat yang ke tiga ikut lenyap bersama kematian Giring Waleyan."
Ratu Dhika Gelang Gelang. Setahuku dia telah lama tidak muncul dan seperti
diriku dia juga tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia, kecuali jika kerajaan
membutuhkan bantuannya."
"Sedayu, urusan yang kita bicarakan ini justru memang ada sangkut pautnya dengan
Kerajaan Mataram di kemudian hari. Ratu Dhika Gelang Gelang bukan cuma terlibat tapi juga
memiliki Gading Bersurat yang ke dua."
"Bagaimana kau tahu hal itu?" tanya Sedayu Galiwardhana.
Yang ditanya tidak menjawab.
Sang pertapa lalu berkata. "Ah, aku tidak seharusnya menanyakan hal itu padamu.
Sekarang katakan pertolongan apa yang kau harapkan dariku?"
"Kau benar-benar mau dan bersedia menolongku, Sedayu?"
"Apakah kau meragukan" Seandainya kau minta nyawaku sekalipun pasti akan aku
berikan," kata pertapa sakti dari Gunung Merbabu yang kekasih di masa muda Sri
Sikaparwathi dan saat itu terbawa hanyut oleh perasaan cintanya terhadap Sri
Sikaparwathi. "Aku sungguh bahagia dan berbangga hati mendengar kata-katamu. Aku tahu hatimu
tidak pernah berubah terhadap diriku. Kalau kau ingin tahu, begitu juga hati dan
perasaanku terhadapmu."
Sedayu Galiwardhana merasa sangat tersentuh hatinya. Perlahan-lahan dia ulurkan
kedua tangan memegang dan membelai tangan kanan perempuan yang duduk bersila di
hadapannya seraya berkata lirih. Sri Sikaparwathi balas mengusap meremas jarijari tangan sang pertapa.
"Katakanlah, pertolongan apa yang kau inginkan."
"Gading Bersurat yang ke empat. Itu merupal Gading yang paling penting.
Merupakan penutup sekaligus kunci petunjuk apa yang akan terjadi atau apa yang
harus dilakukan. Apakah kau mengetahui dimana keberadaan Gading Bersurat yang ke
empat itu Sedayu" Siapa yang memilikinya?"
Pertapa tua berusia delapan puluh tahun itu terkesiap mendengar ucapan dan
lebih-lebih pertanyaan Sri Sikaparwathi.
Namun sikapnya ini segera disembunyikan dibaiik senyum walau dadanya terasa
berdebar. Dalam hati dia membatin. "Kalau perempuan ini akan menanyakan hal itu,
sungguh aku telah kelepasan ucapan. Apakah aku harus berdusta" Dewa akan
mengutuk diriku."
"Sikaparwathi," kata Sedayu Galiwardhana dengan suara bergetar. "Aku tahu dimana
keberadaan Gading Bersurat yang ke empat yang kau tanyakan itu. Namun aku tidak
mungkin mengatakan padamu. Aku telah berjanji. Bagiku janji sama dengan
sumpah..."
"Sedayu, kau tadi berkata bahwa kau tidak lagi mau mencampuri urusan duniawi..."
"Betul sekali Sika...Ah, sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini..."
"Berarti kau tidak bersedia menolongku. Lalu apa gunanya tadi kau berkata penuh
gagah. Seandainya aku minta nyawamu sekalipun pasti kau berikan. Aku tidak
menduga kau mau berlaku seperti itu padaku." Sri Sikaparwathi tampak sedih.
Dia duduk tak bergerak sambil tundukkan kepala.
"Sika, baiklah...Aku akan mengatakan setengah hal yang benar padamu namun tidak
mengatakan hal yang setengahnya lagi.
Kalau ini merupakan satu dosa aku minta maaf padamu dan mohon ampun pada Yang
Maha Kuasa."
"Bukan, bukan suatu dosa Sedayu, tapi kemunafikan pada diri sendiri..."
Pertapa tua itu serasa ditempelak telak pada mukanya. Sesaat dia terdiam lalu
akhirnya berkata.
"Aku mengerti sikapmu, tapi harap kau juga mengerti sikapku."
"Aku ingin tahu apa setengah dari kebenaran yang hendak kau katakan." Ujar Sri
Sikaparwathi pula dengan nada suara agak sinis.
"Gading Bersurat yang ke empat ada padaku."
Sepasang mata Sri Sikaparwathi nampak membesar dan menyorotkan cahaya. Di atas
kepalanya kura-kura hijau bernama Raden Cahyo Kumolo ulurkan kepala sementara
dua mata yang merah tampak bersinar lebih terang. Binatang ini miringkan kepala
sedikit seperti tengah memasang telinga, siap mendengarkan ucapan kedua orang
itu. "Dimana kau menyimpan Gading Bersurat yang keempat itu, Sedayu?"
"Itulah bagian ke dua dari kebenaran yang tidak dapat aku katakan," jawab Sedayu
Galiwardhana pula.
Perempuan tua itu terdiam beberapa jurus. Tak
selang beberapa lama dia berkata dengan suara bernada sedih.
"Baiklah kalau kau tidak mau mengatakan dimana Gading Bersurat yang ke empat itu
berada. Sekarang beri tahu aku apa tulisan yang tertera di gading itu."
"Benda itu adalah benda keramat titipan seseorang. Aku tak pernah membaca
tulisan yang ada di badan gading."
"Siapa yang menitipkan Gading Bersurat itu padamu?"
"Aku tidak bisa mengatakan..."
Sri Sikaparwathi tertawa.
"Berarti besarnya kebenaran yang kau sembunyikan adalah dua pertiga, bukan
setengah."
"Aku minta maaf dan mohon pengertianmu..."
"Sedayu, ketahuilah. Maksudku bertanya adalah baik. Semata-mata untuk mendapat
petunjuk dalam menjaga keselamatan dua anak yang akan lahir.
Sekaligus menyumbangkan sedikit bakti pada Kerajaan Mataram. Tapi jika kau tidak
mau mengatakan tidak jadi apa. Aku berterima kasih untuk pertemuan ini. Aku juga
sangat berterima kasih untuk sepertiga ucapan kebenaran itu. Sekarang aku mohon
diri..." "Diluar masih hujan. Angin masih kencang. Malam sangat gelap dan dingin.
Tunggulah sampai hujan reda."
"Aku sebenarnya ingin berlama-lama di dalam goa ini. Namun masih banyak urusan
yang harus kutangani. Aku datang ketika hujan mencurah deras dan angin bertiup
kencang serta malam membutakan pemandangan. Kalau aku meninggalkan tempat ini
dalam keadaan yang sama, apakah yang harus di takutkan?"
Sri Sikaparwathi bangkit berdiri.
Sedayu Galiwardhana ikut bangun dari duduknya. Tiba-tiba dari mulut perempuan
tua berjubah Jingga itu keluar suara siulan keras yang berupa satu isyarat
rahasia! Saat itu juga seett! Kura-kura besar hijau di atas kepalanya memasukan kepala
kedalam tubuh lalu wuuuttt! Binatang sakti ini melesat ke atas.Tubuhnya yang
keras menghantam langit-langit goa.
"Braaakkk!"
Atap goa yang merupakan batu tebal dan keras terbongkar hancur berantakan
menguak sebuah lubang besar. Kura-kura hijau terus melesat melewati lobang.
Sementara air hujan mencurah masuk dan keadaan di dalam goa gelap karena dua
titik merah bercahaya ikut musnah. Saat itu samar-samar tampak sebuah benda
putih panjang terjatuh dari bagian atap goa yang runtuh dan berlubang. Gading
Bersurat ke empat!
Sri Sikaparwathi segera melompat menyambar benda tersebut lalu melesat menembus
lobang besar di atap goa!
"Sika! Jangan! Kembalikan gading itu!" Teriak
Sedayu Galiwardhana menggelegar. Dia tidak bisa percaya orang yang dicintai dan
mencintai itu akan Berbuat sekeji itu.
Mencuri Gading Bersurat ke empat yang disimpannya di dalam lapisan batu tebal
atap goa. Namun perempuan itu sudah lenyap melewati lobang.
Sedayu Galiwardhana tidak membuang waktu. Dia segera pula melesat ke udara
mengejar Sri Sikaparwathi. Begitu keluar dari lobang di atap goa dan sampai di
teppat terbuka, dia hanya melihat kegelapan di bawah curahan hujan lebat.
Namun dia tahu kalau perempuan itu masih berada di sekitar situ. Maka diapun
berteriak. "Sika! Aku mohon kembalikan Gading Bersurat! Itu benda titipan orang yang harus
aku pertanggung jawabkan!"
Di dalam gelap terdengar suara tertawa panjang.
Sedayu Galiwardhana memandang berkeliling. Berusaha mencari tahu dari mana
datangnya sumber tertawa. Dia juga berusaha mencari dua titik merah menyala
yaitu sepasang mata kura-kura hijau yang ada di atas kepala Sri Sikaparwathi.
Namun dia tidak mampu menjajaki.
"Sedayu! Manusia munafik bermulut ular! Kau bilang tidak mencampuri lagi urusan
duniawi. Nyatanya kau memiliki Gading Bersurat!"
"Sika! Aku sudah mengatakan benda itu titipan seseorang. Aku hanya tolong
menyimpan!"
"Siapa percaya ucapanmu!" "Sika!
Kembalikan Gading Bersurat itu padaku!"
"Kau orang hebat, orang sakti! Tunjukkan kehebatan dan kesaktianmu! Silahkan
merampas kembali Gading bersurat dari tanganku kalau kau bisa!"
Suling Naga 14 Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Iblis Tangan Tujuh 2

Cari Blog Ini