Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring Bagian 2
Sedayu Galiwardhana walaupun seorang pertapa namun tetap saja manusia yang
memiliki batas kesabaran.
"Perempuan keji! Jangan kira aku tidaktahu kalau kau bukan Sri Sikaparwathi
sebenarnya! Kau manusia palsu terkutuk!
Sri Sikaparwathi yang asli tidak memiliki tahi lalat di telapak kaki kanannya!
Jika kau tidak segera mengembalikan Gading Bersurat itu maka kau tidak akan
melihat lagi matahari terbit di timur. Bahkan nyawamu tidak akan selamat sebelum
hujan berhenti!"
"Ucapanmu hebat!Tapi berbau kesombongan! Kau sudah bisa menduga kepalsuan
diriku! Sekarang buktikan siapa diriku sebenarnya!" Suara Sri Sikaparwathi
menantang dalam gelap.
Bersamaan dengan lenyapnya suara perempuan itu tiba-tiba sebuah benda memiliki
dua titik cahaya merah menyambar ke arah kepalanya. Kura-kura hijau Raden Cahyo
Kumolo! 8 SANG KETUA Sedayu Galiwardhana melihat
kenyataan. Siapapun perempuan tua yang tadi menemuinya bukanlah Sri Sikaparwathi
asli, melainkan satu mahluk jejadian yang saat itu sulit diduga siapa adanya.
Namun satu hal walaupun jejadian dan palsu orang itu memiliki ilmu kepandaian
dan kesaktian tinggi. Penyamarannya sangat sempurna, termasuk pemilikan ilmu
kesaktian. Sambaran kura-kura hijau, yang tentunya juga merupakan mahluk palsu
jejadian merupakan serangan maut karena yang diarah adalah kepala sang pertapa!
Kalau tadi binatang ini sanggup menghancurkan dan membuat berlobang atap goa
yang merupakan batu keras dan tebal-tebal, maka kalau sampai mengenai kepala
manusia dapat di bayangkan apa yang bakal terjadi.
Pertapa sakti dari Gunung Merbabu ini cepat rundukkan kepala sambil dua tangan
dipukulkan ke arah kura-kura hijau bermata merah. Dua larik cahaya putih melesat
keluar dari tangan.
Itulah Pukulan Dua Tangan Dewa Penghancur Petaka.
"Blaaar! Blaaarr!"
Dua nyala putih berpijar di kegelapan malam. Raden Cahyo Kumolo keluarkan suara
menguik keras begitu pukulan sakti membuat tubuhnya terpental tujuh tombak ke
udara. Namun tidak cidera apa lagi hancur luluh.
Padahal batu sebesar rumahpun sanggup dibuat berkeping-keping oleh pukulan sakti
yang dilepaskan Sedayu Galiwardhana itu!
Di dalam gelap terdengar suara tawa Sri Sikaparwathi palsu. Di udara sosok kurakura pancarkan cahaya hijau terang lalu ujudnya berubah menjadi sepuluh kali
lebih besar. Didahului suara kuik menggelegar binatang ini melayang turun dengan suara
menderu dahsyat. Kepala keluar dari balik punggung yang atos. Mulut menyemburkan
cahaya biru sementara dari sepasang mata melesat dua larik cahaya merah.
"Serangan Langit Runtuh Bumi Terbelah*. Bagaimana mungkin!" Sedayu Galiwardhana
berseru kaget dan tak percaya. Dia mengenali serangan yang dilancarkan kura-kura
jejadian yang kini berubah menjadi binatang raksasa itu.
Namun dia harus
bertindak cepat untuk selamatkan diri sekaligus membalas serangan.
"Satu Jarum Penyelamat Seribu Jarum Penghukum*" Pertapa sakti berteriak sambil
kibaskan ujung selempang kain putih yang jadi pakaiannya. Dua tangan kemudian
disatukan dan diluruskan ke atas.
Sinar biru dan dua sinar merah yang melesat dari kura-kura hijau menyambar
dahsyat. Suara gelegarnya seolah meruntuhkan langit dan menggoncang lereng
Gunung Merbabu. Goa kediaman Sedayu Galiwardhana runtuh ambruk.
Sesaat sebelumnya tubuh sang pertapa telah lenyap dari pandangan, berubah
menjadi sebatang jarum putih, menancap di tanah. Disekitar jarum putih menebar
seribu jarum hitam! Walau hanya batangan-batangan jarum halus dan kecil namun
serangan kura-kura sakti tidak sanggup membuatnya luruh apa lagi tercabut dari
tanah dan terpental di udara. Jangankan malam hari yang gelap disertai hujan
lebat, siang hari dibawah cahaya matahari terang benderang jarum itu sulit
terlihat mata. Itu yang terjadi dengan kura-kura hijau bermata merah. Binatang
ini walau memiliki kesaktian namun tidak mampu melihat sosok sang pertapa yang
telah menjadi jarum. Untuk beberapa lama dia melayang berputar-putar naikturun
di udara. Ketika kura-kura hijau melayang membuat putaran untuk ke sekian
kalinya diteruskan dengan gerakan menyerang ke arah Sedayu Galiwardhana tibatiba hampir tak kelihatan, hanya mengeluarkan suara menderu halus, ribuan jarum
hitam menderu ke udara, menyambar ke arah bagian tubuh sebelah bawahnya yang
lunak! "Raden! Cepat balikkan tubuhmu!"
Dalam gelap terdengar suara teriakan Sri Sikaparwathi dibarengi melesatnya satu
cahaya Jingga pertanda dia melancarkan satu serangan untuk melindungi kura-kura
hijau. Dengan membalikkan tubuh hingga bagian punggung yang keras atos menghadap
ke bawah, perempuan itu yakin benda apapun yang menyerang tidak mampu menembus
tubuh Raden Cahyo Kumolo. Selain itu pukulan yang memancarkan sinar Jingga yang
dilepaskannya diharapkan mampu menghalangi dan memapas datangnya serangan.
Walau mendengar peringatan sang tuan namun kura-kura hijau terlambat membuat
gerakan menyelamatkan diri.Tubuhnya yang kini sepuluh kali lebih besar membuat
gerakan menjadi lamban. Sambaran cahaya Jingga yang memiliki kekuatan tenaga
dalam tinggi dan berasal dari kebutan lengan jubah Sri Sikaparwathi terlambat
menyapu. Hampir seribu jarum hitam menancap di tubuh sebelah bawah kura-kura yang lunak.
Raden Cahyo Kumolo menguik keras, tubuhnya kepulkan asap hitam. Lalu didahului
suara letusan dahsyat binatang ini hancur berkeping-keping. Untuk beberapa
lamanya udara dibawah hujan lebat
itu dirasuki bau sangit daging terbakar. Sementara daiam kegelapan terdengar
suara orang merutuk menyumpah-nyumpah. Itulah suara Sri Sikaparwathi.
Jarum putih yang menancap di tanah pancarkan cahaya terang lalu ujudnya kembali
berubah ke asal yakni sosok Sedayu Galiwardhana. Pertapa ini memandang
berkeliling, menembus kegelapan malam dan curahan air hujan yang masih terus
turun mengguyur lereng Gunung Merbabu.
"Perempuan itu... Aku mendengar suaranya merutuk. Dimana dia" Aku harus
mendapatkannya sebelum dia sempat membaca tulisan di Gading Bersurat. Dewa
Agung! Aku yang bodoh ini mohon pertolonganMu!"
Pertapa itu kembangkan dua tangan ke samping, telapak saling dirapatkan, kaki
berjingkat Air hujan segera menggenang di kedua telapak tangan yang
ditampungkan. Perlahan-lahan kepala ditundukkan, hidung mencium air hujan yang ada di telapak
tangan sambil hati merapal ucapan.
"Air hujan, kau datang dari atas langit Kau turun membasahi bumi. Bimbing diriku
pada perempuan tua yang berbasah-basah itu..."
Dua tangan Sedayu Galiwardhana bergetar. Air yang ditampung tiba-tiba muncrat ke
atas. Sang pertapa menghela nafas panjang.
"Air hujan aku berterima kasih. Kau telah berusaha membantu. Namun orang itu
memiliki kekuatan penolak membendung kekuatan dirimu." Sedayu usapkan dua tangan
ke wajah sambil membatin. "Siapa perempuan itu sebenarnya" Kesaktiannya luar
biasa. Apakah dia berasal dari Bhumi Mataram ini" Apa yang harus aku lakukan?"
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara mengorok keras disusul jeritan perempuan.
"Itu jeritan Sri Sikaparwathi palsu!
Apa yang terjadi dengan dirinya?" Sedayu Galiwardhana berpaling ke arah suara
jeritan namun hanya melihat kegelapan.
Pertapa ini bertindak nekad. Dia segera lari menembus hujan, mengejar ke arah
datangnya jeritan tadi.Tiba-tiba buuuukkk!
Sang pertapa seperti membentur satu dinding karang. Tubuhnya terpental,
terguling di tanah gunung yang becek.
Sekujur tubuh sampai ke tulang serasa hancur. Benda apa yang barusan telah
ditabraknya. Walau hujan lebat dan malam gelap adalah aneh kalau dia sampai
tidak melihat benda itu. Apakah ini lagi-lagi Sri Sikaparwathi yang telah
membuat celaka"
Perlahan-lahan Sedayu Galiwardhana berdiri. Dia tidak perdulikan keadaan pakaian
putih serta tubuhnya yang kotor bergelimang tanah basah. Tiba-tiba dia melihat
satu benda tinggi besar menjulang di hadapannya menyerupai tiang raksasa.
"Pasti perempuan jejadian itu!" pikir Sedayu Galiwardhana. Cepat dia kerahkan
tenaga dalam dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan. Di ujung ibu jari Sedayu
Galiwardhana muncul satu cahaya merah membentuk lingkaran bergerigi. Ketika sang
pertapa meniup ke depan, lingkaran cahaya ini berubah menjadi besar lalu seperti
sebuah roda raksasa melesat ke arah tiang besar lima langkah di hadapannya.
Inilah ilmu kesaktian yang disebut Cakra Dewa Membersih Bumi. "Rrrreettt!
Blaaarrr!"
Suara menderu seperti gergaji memotong pohon raksasa.
"Brettt...breettt!"
Terdengar suara robekan pakaian!
"Kena!" Sedayu Galiwardhana berseru gembira.
Tapi tak ada jeritan kesakitan.Tidak ada teriakan kematian. Malah pertapa ini
terkejut ketika tiba-tiba tiang besar yang barusan dihantamnya bergerak sedikit
dan gulungan cahaya merah terpental beberapa tombak lalu jatuh lenyap masuk ke
dalam tanah! Sedayu Galiwardhana terperangah.
"Yang aku pergunakan adalah ilmu pemberian Dewa! Hanya Dewa pula yang sanggup
menghadapinya! Dengan siapa sebenarnya aku tengah berhadapan! Tidak mungkin
perempuan durhaka itu! Yang palsu ataupun yang asli!"
Pertapa ini melompat mundur beberapa langkah lalu mendongak memandang ke atas.
Dari jarak yang agak jauh ini baru dia dapat melihat lebih jelas mahluk apa
sebenarnya benda yang tadi disangkanya tiang raksasa itu. Ternyata satu mahluk
luar biasa tinggi dan besar, mengenakan jubah biru yang tampak robek di bagian
kaki. Berkepala botak ditancapi sebuah tanduk memancarkan cahaya merah, kumis
hitam menjulai! Di tangan kiri mahluk ini memegang sebuah benda putih panjang
yang bukan lain adalah Gading Bersurat yang ke empat!
"Hyang Jagat Batara Dewa! Aku memohon ampun tujuh langit ke atas tujuh langit ke
bawah!" Sedayu Galiwardhana berseru keras.
Terdengar suara mengorok disusul terpaan angin aneh yang memerihkan mata.
Sang pertapa buru-buru letakan dua tangan di atas kepala, tekuk dua lutut seraya
mulut berucap. "Kanjeng Arwah Ketua dari Candi Miring! Mohon beribu maaf. Aku tidak tahu kalau
kau hadir di tempat ini."
Sosok yang tadi disangka tiang raksasa keluarkan suara mengorok. "Rmm!"
Secara aneh tiang raksasa menciut hingga kini jadi sama besar dan sama tinggi
dengan sang pertapa.
"Sedayu Galiwardhana, dengan keadaan tubuhku seperti ini kita bisa bicara lebih
baik. Bukan begitu" Sekarang katakan apa yang terjadi?" Mahluk raksasa yang
barusan berubah diri keluarkan ucapan sambil menyeringai.
"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon maafmu. Aku telah kedatangan seorang perempuan
yang mewujudkan diri sebagai Sri Sikaparwathi. Dia berhasil mengambil Gading
Bersurat ke empat yang kau titipkan padaku dan aku sembunyikan di dalam atap
batu goa."
Mahluk di hadapan Sedayu Galiwardhana keluarkan suara mengorok lalu berdecak
beberapa kali. "Luar biasa, hebat sekali mahluk itu kalau dia mampu mengambil Gading Bersurat
dari seorang sakti bernama Sedayu Galiwardhana."
Wajah sang pertapa tampak menjadi merah karena malu. Dia usap mukanya berulang
kali.Tapi matanya melirik pada benda putih panjang yang ada di tangan kiri orang
yang dipanggilnya dengan sebutan Kanjeng Arwah Ketua Itu.
"Aku telah berlaku lalai. Dan aku tidak malu mengatakan bahwa ilmu kepandaian
mahluk itu berada di atas tingkat kepandaian yang aku miliki."
Sedayu Galiwardhana kembali letakkan ke dua tangan di atas kepala. Dia ingin
sekali menanyakan benda putih panjang yang dipegang mahluk itu namun tak berani
keluarkan suara.
"Pertapa sahabatku, kau tak perlu berkecil hati. Aku sendiri juga tidak mungkin
menghadapi perempuan itu kalau tidak memiliki bekal Batu Asmasewu d\da\am
tubuhku..."
"Kanjeng Arwah Ketua, apa yang terjadi. Apakah perempuan itu..."
'Aku datang tepat pada waktunya. Aku melihatnya ketika berusaha melarikan diri
setelah kura-kura sakti peliharaannya kau hancurkan. Dan aku berhasil merampas
Gading Bersurat keempat yang diambilnya dari dalam goa kediamanmu."
"Puji syukur untuk para Dewa.Terima kasih kepada para Dewa.Terima kasih kepada
Kanjeng Arwah Ketua yang telah sudi datang untuk membantu pertapa bodoh
sepertiku ini." Sedayu Galiwardhana membungkuk berulang kali. Lalu dia bertanya.
"Kanjeng Arwah Ketua, apakah kau mengetahui kalau perempuan itu bukan Sri
Sikaparwathi yang sebenarnya?"
Arwah Ketua anggukkan kepala dan keluarkan suara mengorok panjang.Tandu k di
kepala yang botak pancarkan cahaya terang. Saat itu hujan lebat masih terus
turun mengguyur Gunung Merbabu.
"Lebih dari tahu sahabatku, lebih dari tahu." Kata Arwah Ketua pula.
"Aku tidak bisa menduga siapa adanya manusia itu. Apakah Kanjeng Arwah Ketua
mengetahui siapa dirinya?" Bertanya Sedayu Galiwardhana.
"Ketika dia merubah tubuh menjadi sebesar dan setinggi diriku dia berhasil
memukul bahu kananku. Namun saat itu juga tubuhnya memancarkan cahaya hitam,
bergetar keras lalu menciut kembali ke bentuk semula. Setelah menjerit satu kali
dia melarikan diri. Cahaya hitam yang memancar dari tubuhnya menandakan bahwa
dia memiliki ilmu hitam. Sebelum dia melarikan diri aku sempat mengusap wajahnya
dengan tangan kiri.
Sekilas aku lalu melihat wajahnya yang asli. Kau ingin tahu siapa perempuan itu
sebenarnya Sedayu?"
"Tentu saja Kanjeng Arwah Ketua.
Kalau kau mau memberi tahu." Jawab Sedayu Galiwardhana.
"Dia adalah seorang laki-laki."
9 BATU ASMASEWU Sedayu Galiwardhana terperangah kaget. "Namanya Sebayang Kaligantha..."
"Aku benar-benar tidak menduga. Aku pernah mendengar nama itu. Pernah dua kali
bertemu dengannya. Bukankah dia anak muda berwajah tampan, Juru Ukiran Batu dan
Prastati Keraton Mataram. Hampir semua candi yang ada di Bhumi Mataram dia yang
mengurusi pemeliharaan ukirannya."
"Termasuk Candi Miring di bukit gersang tempat kediamanku," kata Arwah Ketua
pula. "Sebayang Kaligantha setahuku tidak memiliki ilmu kesaktian tinggi. Biasa-biasa
saja tapi memang kabarnya pemuda itu punya kepandaian khusus yaitu bisa keluar
masuk alam gaib..."
"Kabar yang kau dapat itu memang benar Sedayu.
Justru kemampuan bisa keluar masuk alam gaib itulah yang membuat dia pada suatu
ketika sampai di bekas Kerajaan Hindu tertua di negeri seberang, Kerajaan Kutai
di sebuah pulau besar di laut utara.
Di sana dia berhasil menemukan sebuah jimat mustika berupa mutiara besar
berwarna dua yaitu sebelah hitam dan sebelah putih. Konon jimat sakti itu
bernama Mutiara Mahakam. Jimat itu adalah milik para leluhur Kerajaan Kutai.
Disimpan di satu tempat tersembunyi dan sangat rahasia dalam sebuah Yupa yaitu
batu keramat yang biasa dipergunakan untuk upacara persembahan kepada Para dewa.
Jangankan mengambil menyentuhnya saja haram terkutuk pantangannya. Siapa yang
berani bahkan baru mencoba saja melakukan hal itu pasti akan menemui ajal. Leher
hancur seperti dicekik tangan raksasa, mata membeliakdan lidah menjulur! Sekujur
tubuh akan menjadi hitam legam mengerikan!
Konon beberapa orang asing berkepandaian tinggi pernah mencoba. Mereka menemui
kematian seperti yang aku katakan tadi.Tapi dengan ilmunya Sebayang Kaligantha
bisa masuk ke dalam Yupa, mengambil Mutiara Mahakam yang ada di dalamnya. Sesuai
dengan warna mutiara sakti itu, hitam dan putih, maka mutiara tersebut bisa
dipergunakan untuk kebaikan, tapi juga untuk kejahatan. Ilmu putih dan ilmu
hitam. Salah satu kehebatan Mutiara Mahakam itu adalah seperti yang dilakukan
Sebayang Kaligantha tadi. Dia bukan saja bisa merubah diri meyerupai setiap
orang yang diinginkannya.Tapi dia sekaligus menyerap ilmu kesaktian yang
dimiliki orang itu. Dan itu telah dilakukan terhadap Sri Sikaparwathi untuk
mengelabui dirinya guna dapat memiliki Gading Bersurat yang keempat..."
"Berbahaya sekali. Berbahaya sekali Kanjeng..." ucap Sedayu Galiwardhana.
"Benar Sedayu, sangat berbahaya.
Bukan saja bagi mahluk semacamku dan manusia seperti mu, lebih dari itu sangat
berbahaya bagi Kerajaan Mataram. Aku mengetahui hal ini sejak beberapa bulan
lalu... Aku mulai curiga ketika Sebayang tidak pernah muncul lagi di candi untuk
membersihkan ukiran batu."
"Dengan merubah diri menyerupai Sri Sikaparwathi apakah berarti Sebayang
Kaligantha telah membunuh perempuan itu?"
Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Sedayu Galiwardhana pula penuh tegang karena kawatir orang yang
dicintainya itu telah tewas di tangan Sebayang Kaligantha.
"Tidak dapat aku pastikan. Mungkin hal itu perlu kau selidiki. Aku ingin kau
membantu mencegah jangan sampai Sebayang Kaligantha mampu menguasai dua anak
yang kelak dilahirkan sesuai dengan petunjuk dalam Gading Bersurat yang
pertama..."
"Kanjeng Arwah Ketua, mohon maafmu.
Ketika kau menitipkan Gading Bersurat yang ke empat padaku, aku sudah mengatakan
bahwa aku tidak ingin
lagi melibatkan diri dalam urusan dunia. Sekedar membantumu menyimpan Gading
Bersurat itu tak jadi apa. Namun kalau kini Kanjeng menginginkan diriku terlibat
dalam urusan..."
Belum habis pertapa itu bicara Arwah Ketua sudah memotong. Tanduk merah di atas
kepalanya yang botak bersinar terang pertanda ada kemarahan di dalam dirinya.
"Sedayu, jangan berpikir picik dan bicara sembrono! Yang Maha Kuasa menciptakan
alam semesta, termasuk Bhumi Mataram ini adalah untuk menjadi tempat kediaman
kita semua. Karenanya kita mempunyai kewajiban untuk berbakti pada negeri,
menjaga ketentraman negeri demi untuk kemaslahatan ummat. Setelah Yang Maha
Kuasa memberikan pada kita segala macam berkah yang tidak terhitung banyaknya,
apakah kita berani berkata bahwa kita tidak ingin berbakti dengan alasan tidak
ingin mencampuri urusan duniawi lagi" Sedayu, apakah saat ini kau hidup di alam
duniawi atau sudah berada di alam baka" Bahkan roh dan arwah sekalipun yang
sudah berada di alam baka masih ingin memberikan bakti pada Bhumi Mataram.
Termasuk diriku! Bagaimana kau yang namanya manusia dan masih hidup menolak
melakukan itu dengan alasan yang sungguh tidak masuk akal..."
Sedayu Galiwardhana terdiam beberapa jurus. Lalu akhirnya sambil letakkan tangan
di atas kepala pertapa ini berkata.
"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon maaf.
Aku merasa bersalah dan merasa malu atas ucapan dan sikapku selama ini. Aku
mohon petunjuk dari Kanjeng Arwah Ketua, apa yang harus aku lakukan?"
Amarah Arwah Ketua dari Candi Miring surut.
"Kalau begitu katamu, aku akan memberi tahu," kata Arwah Ketua dari Candi
Miring. "Pertama, aku akan memasukkan dan menyalin apa yang tertulis pada Gading
Bersurat pertama dan ke empat yang ada padaku ke dalam benakmu, agar kau tahu
apa yang bakal terjadi di Bhumi Mataram ini.
Berlutut dan angkat kepalamu. Menatap ke langit!"
Sedayu Galiwardhana lakukan apa yang diperintah. Dia berlutut di tanah becek,
kepala ditengadahkan, tak peduli air hujan mencurah di atas wajahnya. Arwah
Ketua melangkah mendekati. Satu langkah di hadapan sang pertapa mahluk ini buka
mulutnya lebar-lebar.Tangan kiri memegang Gading Bersurat ke empat, tangan kanan
dimasukkan ke mulut. Sesaat kemudian dari mulut itu keluar benda putih
kekuningan, bulat besar dan panjang. Itulah Gading Bersurat pertama. Seperti
diriwayatkan sebelumnya Gading Bersurat pertama yang dicuri Arwah Muka Hijau
berhasil didapatkan Arwah Ketua kembali dan dimasukkan ke dalam mulut, disimpan
di dalam tubuh.
Dua buah Gading Bersurat kini ada di tangan Arwah
Ketua, dirapatkan satu sama lain lalu perlahan-lahan ujung lancip dua gading
ditempelkan di kening Sedayu Galiwardhana.
Perlahan-lahan pula dua gading disapukan di atas kening pertapa itu hingga
mencapai ujung yang tumpul. Pada saat dua gading disapukan, dua larik sinar
putih kekuningan memancar dari badan gading, masuk ke dalam kepala Sedayu
Galiwardhana. Arwah Ketua tariktangan yang memegang gading. Mulut dibuka lebar-lebar. Dua
gading sekaligus dimasukkan ke dalam mulut dan sesaat kemudian dua benda keramat
itu telah lenyap masuk ke dalam tubuhnya.
Mahlukini menepuk bahu Sedayu memberi isyarat agar pertapa itu kembali berdiri.
"Sedayu, tulisan yang ada pada dua Gading Bersurat kini telah menyatu di dalam
benakmu. Jika kau ingin mengetahui dan membacanya usapkan tangan kananmu tiga
kali berturut-turut di atas kening. Maka dengan kehendak Sang Hyang WidhiYang
Maha Kuasa di telapak tangan kananmu secara gaib akan muncul tulisan yang ada
pada dua gading Bersurat. Tulisan itu akan bergerak dari kiri ke kanan dan akan
lenyap dengan sendirinya setelah kau selesai membaca.
Kau bisa melakukan hal itu beberapa kali kau suka..."
"Dewa Agung. Terima kasih padamu Kanjeng Arwah Ketua. Kau telah mempercayakan
keberadaan tulisan keramat itu untuk kubaca kelak. Sekarang apakah yang harus
aku lakukan Kanjeng Arwah Ketua?" Bertanya Sedayu Galiwardhana.
"Yang pertama sekali kau lakukan adalah mencari manusia bernama Sebayang
Kaligantha. Kau harus bisa mengambil Jimat Mutiara Mahakam yang ada dalam
tubuhnya. Setelah kau berhasil mendapatkan jimat itu,serahkan padaku di Candi Miring."
"Apakah untuk itu aku harus membunuh Sebayang Kaligantha" Mohon petunjukmu
Kanjeng Arwah Ketua."
"Jika Jimat Mutiara Mahakam sudah berada di tanganmu maka Sebayang Kaligantha
tidak ada arti apa-apa lagi.
Tidak berguna membunuhnya kecuali dia minta nyawamu dan kau dalam mempertahankan
diri." "Terima kasih Kanjeng Arwah Ketua.
Aku masih ada satu pertanyaan. Konon Gading Bersurat ada empat, bertebar di
empat penjuru angin. Yang pertama dan ke empat sudah ada pada Kanjeng, salinan
tulisan pada dua gading itu juga sudah berada dalam benakku. Bagaimana dengan
Gading Bersurat ke dua dan ke tiga" Apakah Kanjeng Arwah Ketua akan
memerintahkanku untuk mendapatkannya?"
"Gading Bersurat yang kedua saat ini berada di tangan sahabat kita Ratu Dhika
Gelang Gelang. Gading Bersurat ke tiga ada di dalam Sumur Api, di bawah
pengawasan Roh Agung. Gading ini ikut jatuh bersama tubuh Giring Waleyan alias
Raja Ulo hangus jadi abu, Gading Bersurat tetap utuh.
Jadi tak ada gunanya kau mencari dua gading itu."
"Terima kasih atas petunjuk Kanjeng Ketua," kata Sedayu Galiwardhana.
"Kanjeng Arwah Ketua, kalau boleh aku bertanya. Dari mana sebenarnya asal muasal
Gading Bersurat Itu?"
"Itulah pertanyaan yang sulit dijawab Sedayu. Biarlah hal gaib itu menjadi
kerahasiaan Para Dewa." Jawab Arwah Ketua.
Mahluk ini keluarkan suara mengorok panjang. Lalu bertanya.
"Jika kelak kau berhadapan dengan Sebayang Kaligantha, apakah kau mampu
menghadapinya dan mengambil Jimat Mutiara Mahakam itu?"
"Kanjeng Arwah Ketua, tadi aku sudah mengakui bahwa ilmu kepandaian manusia satu
itu lebih tinggi dari yang aku miliki. Namun itu tidak mendatangkan rasa takut
dalam diriku. Aku akan menyambung nyawa untuk mendapatkan jimat itu dan
menyerahkan pada Kanjeng."
"Kau manusia jujur. Yang mau mengakui kekurangan.Tapi tetap ingin menunjukkan
kesetiaan dalam menjalankan tugas. Sedayu, aku akan meminjamkan Batu Asmasewu
padamu agar kau tidaK merasa khawatir dalam menghadapi Sebayang Kaligantha."
"Kanjeng!" Pertapa tua letakkan dua tangan dia atas kepala. "Aku mana berani
ketitipan benda mustika sakti itu"
Bagaimana kalau sampai kejadian seperti Gading Bersurat yang ke empat?"
Arwah Ketua menyeringai.
"Kalau aku sudah berusaha, kau sudah berusaha maka semua kelanjutannya ada di
tangan Yang Maha Kuasa. Selama manusia berusaha dan tidak hanya berserah diri
saja pada Yang Maha Kuasa, masakan Yang Maha Kuasa tidak memperhatikan, tidak
akan menolong?"
"Kata-kata Kanjeng akan saya camkan baik-baik," ucap Sedayu pula seraya
membungkuk. "Ada satu hal yang harus kau ingat, Sedayu. Jika batu ini sudah berada dalam
tubuhmu dan kau terpaksa harus membunuh seorang musuh. Maka ketika kau melakukan
hal itu punggungmu jangan sekali-kali menghadap ke timur. Kau dengar Sedayu?"
"Aku dengar Kanjeng."
"Kau mengerti?"
"Aku mengerti Kanjeng Arwah Ketua."
"Sekarang menghadaplah ke timur!"
Sedayu Galiwardhana agak bingung.
Malam gelap, hujan lebat pula. Dia tidak yakin mana arah timur. Pertapa ini
luruskan tangan kanan ke depan, memutar tubuh sambil berucap "Timur... timur...
timur" berulang kali.
Dia baru berhenti ketika ujung-ujung jari tangannya terasa bergetar.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya sudah menghadapke timur." Memberi tahu Sedayu
Galiwardhana pada Arwah Ketua yang saat itu berada di belakangnya. Baru saja
ucapannya berakhir tiba-tiba Sedayu Galiwardhana merasakan ada sebuah benda
keras menempel di tengkuknya. Bersamaan dengan itu pertapa tua ini merasakan
hawa dingin luar biasa menyelimuti dirinya hingga dia menggigil.Tiba-tiba hawa
dingin berubah panas. Perubahan yang mendadak ini membuat tubuh Sedayu
Galiwardhana desss...desss...desss kepuikan asap putih lalu terkulai ke depan.
Sekujur kulit tubuh terutama wajah berubah putih laksana kain kafan. Sebelum dia
bisa berbuat suatu apa, bahkan suarapun tidak sanggup dikeluarkan tiba-tiba satu
hantaman keras melanda batok kepalanya sebelah belakang.
Pertapa malang ini terkapar di tanah dengan kepala hancur. Sosok Arwah Ketua
lenyap! Berubah menjadi seorang perempuan tua berjubah Jingga dengan seekor
kura-kura hijau di atas kepala.
Itulah Sri Sikaparwathi palsu yang tadi meniru menyerupai Arwah Ketua dari Candi
Miring! Perempuan ini mendongak ke langit, membiarkan wajahnya sesaat diterpa air hujan
lalu tertawa panjang.
"Pertapa tolol! Kau memang pantas mati dalam ketololanmu! Aku sudah mendapatkan
dua Gading Bersurat! Itu sudah cukup! Mataram tidak akan pernah memiliki dua
kesatria sakti mandraguna!"
Ketika perempuan tua pembunuh Sedayu Galiwardhana meninggalkan tempat itu, dari
balik reruntuhan goa muncul dua orang.
Satu pendek gemuk, satu tinggi kurus.
Yang pendek membekal sebuah tambur, bermuka bopeng. Si tinggi kurus membawa
sebuah seruling. Wajahnya penuh dengan bercak bintik-bintik putih.
"Tam...tam...tam!"
Si gendut pukul tambur dengan tangan kanan lalu berteriak.
"Oala! Kita datang terlambat...
Pertapa itu sudah jadi mayat!"
"Hyang Jagat Bhatara! Mudah-mudahan kita tidak kualat!" Si tinggi kurus
menyahuti. Lalu tiup suling keras-keras mengalahkan derasnya deru hujan.
Sementara itu di antara dua gundukan batu yang terbelah seorang yang sejak tadi
mendekam keluarkan suara memaki.
"Ada orang mati malah menabur tambur!
Ada mayat malah meniup seruling! Manusia-manusia jelek edan dari mana yang ke
sasar ke sini. Dari ciri-ciri mereka siapa lagi kalau bukan si Tambur Bopeng dan
si Suling Burik. Dua manusia jahil! Lebih baik aku cepat-cepat tinggalkan tempat
ini. Aku harus bisa mengetahui siapa sebenarnya mahlukyang menyaru sebagai
perempuan tua bernama Sri Sikaparwathi itu. Aku harus menemui Arwah Ketua di
Candi Miring. Tapi aku akan mencari pemuda itu lebih dulu."
Orang itu usap wajahnya yang basah. "Hujan sialan! Dandananku sampai luntur
begini! Hik...Hik!"
Orang di celah dua gundukan batu berkelebat pergi mengeluarkan suara benda
bergemerincing.
"Ada orang!" ucap si pendek bermuka bulat bopeng penabuh tambur.
Si penabuh tambur dan peniup suling serta merta mengejar ke arah gundukan batu.
Namun mereka tidak menemukan siapa-siapa selain mencium bau harum.
"Aneh, bagaimana hujan lebat begini bisa ada bau harum?" Kata si gemuk pendek.
"Jangan-jangan ada bidadari turun dari langit kesasar ke Gunung Merbabu ini!"
"Kalau memang bidadari aku suka sekali!" menyahuti si tinggi kurus sambil bolang
balingkan seruling. "Tapi bagaimana kalau yang kesasar demit perempuan tidak
pakai celana"!"
"Ha...ha! Kalau itu aku yang suka!"
jawab si gendut. "Aku bisa berteduh di bawah perutnya! Pasti hangat!"
Kedua orang aneh ini lalu tertawa gelak-gelakdi dalam gelapnya malam, dibawah
hujan lebat. Puas tertawa si pendek berkata.
"Kasihan sahabat tua kita Aki Sedayu.
Sebaliknya kita semayamkan jenazahnya sebagaimana mustinya. Untuk membakarnya
dalam cuaca begini rupa di tempat ini tidak mungkin. Sebaiknya dikubur saja agar
tidak dirusak binatang buas."
"Kau benar, mari kita mulai." Kata lelaki bertubuh tinggi kurus.
Si pendek gemuk mulai menabuh tambur.
Si tinggi kurus segera meniup suling mendayu-dayu seperti suara mahluk meratap.
Lereng Gunung Merbabu bergetar. Air di tanah becek bergelombang. Deru hujan
mereda ditindih suara tiupan seruling.
Secara aneh tanah terkuak membentuk lobang. Perlahan-lahan sosok jenazah Sedayu
Galiwardhana masuk ke dalam lobang.
Sesaat kemudian tanah menutup kembali.
Jenazah sang pertapa lenyap dari pemandangan.
Sambil terus meniup seruling si tinggi kurus tandang satu bongkahan batu besar
bekas runtuhan goa. Batu ini melayang dan jatuh di tanah dibawah mana jenazah
Sedayu Galiwardhana tertimbun.
10 GUCI PENYEDOT PERAWAN
SEJAK ibunya tidak lagi bersamanya Ananthawuri banyak bermenung. Kalau malam
sulit baginya untuk tidur. Kalaupun dia bisa memicingkan mata, hanya sebentar
saja kemudian terbangun lagi. Kadang-kadang dia sengaja tidur di kamar sang ibu
yang kini dalam keadaan kosong, mengharap ingatannya pada ibunya itu bisa
berkurang sekaligus menghilangkan kerinduan. Namun di kamar ini rasa sedihnya
semakin bertambah.Terbaring seorang diri di atas tempat tidur Ananthawuri sering
menitikkan Air mata.
Suatu ketika dia kedatangan Roh Agung. Apa yang diucapkan Roh Agung selalu
diingat anak gadis yang kini tengah mengandung memasuki bulan kedelapan. "Anak
perawan yang tengah mengandung.
Mengapa bersedih seperti berkabung.
Ibumu pergi sesuai dengan kehendak hatinya. Para Dewa telah memberi jalan yang
terbaik bagi dirinya."
Ananthawuri memberanikan diri bertanya pada Roh Agung yang muncul dalam bentuk
suara. "Roh Agung, pelindung diri saya siang dan malam. Banyak budi dan berkat telah
saya terima darimu. Jika saya boleh bertanya dimanakah ibu saya sas* ini?"
Roh Agung menjawab.
"Anak perawan pilihan Para Dewa.
Ibundamu berada di tempat yang terbaik bagi dirinya. Tidak perlu khawatirkan.
Para Dewa tahu apa yang Mereka lakukan."
"Wahai Roh Agung. Saya ingin bertemu dengan ibu. Saya ingin dekat dengan
dirinya. Saya ingin jika saya melahirkan, ibu ada bersama saya."
"Kau anak yang baik. Tidak pernah melupakan orang tua. Dalam susah dan senang.
Segala pujian untuk dirimu. Segala rakhmat dan berkat akan bertambah atas
dirimu." "Tapi apakah ini namanya rakhmat dan berkat jika saya dipisahkan dari Ibu?"
Sunyi, tak ada jawaban.
"Roh Agung, apakah kau masih ada di sini?" Ananthawuri bertanya.
"Ananthawuri, tidak ada yang memisahkan dirimu dengan ibumu. Semua terjadi atas
kemauan ibumu sendiri. Dia lebih banyak mengingat kampung halamannya. Itulah keluhuran budi
pekertinya. Yang tidak semua orang memiliki. Dia lebih banyak mengingat mendiang
ayahmu. Itulah kecintaan yang sejati. Yang diperlihatkan bukan hanya semasa
ayahmu masih hidup berkalang badan tapi juga setelah meninggal berkalang tanah.
Apa yang dilakukannya bukan kesalahan. Karena memang begitulah sifat manusia.
Karena itu pula Para Dewa berlaku bijaksana atas dirinya. Cobaan dan ujian itu
adalah suatu rakhmat. Kalau saja manusia mau menyelaminya. Harap kau camkan hal
itu baik-baik" Anak perawan dari Sorogedug itu terdiam. Dia sadartengah bicara
dengan siapa Sambil tundukkan kepala dan tekapkan dua tangan ke dada dia
berkata. "Roh Agung, maafkan saya kalau bicara tidak semestinya. Saya sangat
menghormatimu. Saya pasrah apapun yang akan terjadi dengan diri saya. Selama Rch
Agung mendampingi saya, saya merasa tidak khawatir..."
"Ananthawuri, di luar Sumur Api banyak orang mencarimu. Untuk maksud baik maupun
maksud buruk. Karena itu kau harus berjaga diri. Memperhatikan kandunganmu.
Jika kau berjalan-jalan di taman. Jangan sekali-kali berada di dekat pohon yang
berbunga Jingga. Itu sangat tidak baik bagi perempuan yang tengah mengandung
Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti keadaanmu. Jika tidak perlu benar, jangan berada di
luar tempat kediamanmu."
"Roh Agung, terima kasih atas petunjukmu. Saya akan mengingat hal Itu baik-baik.
Roh Agung ada satu yang ingin saya tanyakan. Apakah Roh Agung kiranya mau
menjawab?"
"Apa yang hendak kau tanyakan.
Ananthawuri"'
"Menurut hitungan kandungan saya sudah memasuki usia delapan bulan. Tapi mengapa
perut saya tetap rata saja"
Padahal di desa saya sudah sering melihat, perempuan yang kandungannya baru
empat lima bulan saja perutnya sudah besar.
Apakah saya benar-benar hamil wahai Roh Agung?"
" Seperti sudah kukatakan. Kehamilan gaib. Atas kehendak Para Dewa. Walau kelak
nanti kau melahirkan maka dirimu akan tetap perawan. Apakah kau tidak merasa
adanya tanda-tanda kehidupan dalam tubuhmu"'
"Saya memang merasakan ada sesuatu yang bergerak dalam perut saya." Jawab
Ananthawuri. "Itulah tanda-tanda adanya kehidupan dalam tubuhmu. Itulah janin anak yang kelak
akan kau lahirkan. Itulah tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas dirimu."
"Terima kasih Roh Agung. Saya berterima kasih padamu. Dan berpuji syukur kepada
Para Dewa Yang Maha Kuasa."
" Kau anak baik Itu sebabnya Para Dewa memilihmu sebagai perawan terpuji.
Bilamana Para Dewa berkehendak, satu ketika kau pasti akan bertemu lagi dengan
ibumu. Sebelum pergi ada satu hal lagi yang harus kau ingat baik-baik Bilamana
kau menemui atau melihat sebuah benda aneh, yang mungkin pernah atau mungkin
juga tidak pernah kau lihat di tempat ini sebelumnya, apapun ujud dan keadaannya
jangan sekali-kali kau dekati. Apa lagi sampai kau sentuh."
"Hal itu akan saya perhatikan wahai Roh Agung." Jawab Ananthawuri. "Aku pergi
sekarang" Anak perawan dari Sorogedug itu membungkuk sambil letakkan dua tangan
di atas dada. "Terima kasih Roh Agung. Mohon doa dan perlindunganmu."
Walau ingatan kepada ibunya tidak bisa pupus begitu saja namun kini rasa sedih
di hati Ananthawuri agak berkurang.
Suatu malam dari jendela kamarnya dia memandang ke arah taman. Ingin hatinya
pergi ke sana, membelai dan mencium bunga yang harum yang tengah mengembang.
Namun kalau dia ingat akan kata-kata Roh Agung maka hatinya menjadi ragu. Jika
berada di taman jangan sekali-kali mendekati setiap pohon berbunga Jingga.
"Aneh, mengapa ada pantangan seperti itu. Apakah bunga jingga menjadi racun bagi
diriku yang sedang hamil secara gaib?"
Beberapa hari kemudian ketika Ananthawuri duduk-duduk di belakang jendela
kamarnya tiba-tiba ada suara mencicit disusul suara menggelepar. Lalu sebuah
benda melayang jatuh di depan jendela.
Ananthawuri cepat berdiri memperhatikan. Benda yang jatuh itu ternyata seekor
burung mungil berbulu merah, kuning dan biru. Kasihannya binatang ini dalam
keadaan mati. Sayap kuncup, dua kaki meregang ke atas.
"Malang sekali nasibmu burung," ucap Ananthawuri. Anak perawan ini keluar dari
kamar maksudnya hendak melihat lebih dekat. Sambil memandangi burung yang mati
gadis itu membatin. "Tak pernah kulihat burung seperti ini sebelumnya di dasar
Sumur Api. Dari mana datangnya?"
Ananthawuri lupa akan ucapan dan peringatan Roh Agung beberapa hari lalu.
Gadis itu ulurkan tangan kanan hendak mengusap burung yang mati. Tiba-tiba dia
terpekik. Sebelum sempat menyentuh burung mungil mendadak sontak ujud binatang
itu berubah menjadi seekor burung hantu besar yang di Bhumi Mataram dikenal
dengan nama burung Celepuk.
Ketika Ananthawuri bersurut ujud burung Celepuk berubah lagi menjadi sosok
seorang anak kecil tanpa pakaian, bermuka rata tidak memiliki mata, telinga,
hidung maupun mulut. Ananthawuri menjerit ngeri.
Masih dalam kejut keterperangahannya sosok anak kecil itu dengan cepat berubah
pula merupakan ujud
seorang nenek serba biru, mulai dari jubah, rambut, wajah serta kulit tubuh.
Dengan gerakan cepat nenek ini mengeluarkan sebuah guci tembaga dari balik
jubah. Mulut guci diacungkan ke arah Ananthawuri, sambil komat-kamit merapal
mantera. Bersamaan dengan memancarnya sinar terang di badan guci, tiba-tiba
tubuh Ananthawuri berubah seperti asap dan tersedot masuk ke arah mulut guci
tembaga! Hanya sekejaban lagi tubuh asap Ananthawuri akan masuk ke dalam mulut guci tibatiba satu cahaya merah menderu. Nenek berjubah biru terdorong ke belakang.
Tangan yang memegang guci tembaga bergetar hebat. Guci berubah seperti bara
menyala. Si nenek menjerit dan lepaskan guci tembaga. Sekali lagi tubuhnya diterpa cahaya
merah hingga terjengkang di lantai depan jendela.
"Kau datang tanpa perkenan. Kau datang membawa niat jahat. Kau mengundang
kemurkaan Para D"w"! Kembali ke bentuk asalmu! Tubuh kasarmu boleh pergi namun
nyawamu harus kau tinggalkan di dasar Sumur Api!"
Wusss! Tubuh si nenek, juga guci tembaga yang tergeletak di lantai dikobari api.
Ananthawuri sendiri yang tadi sebagian tubuhnya sempat jadi asap jatuh terguling
di lantai merintih kesakitan.
Kobaran api yang membakar tubuh si nenek lenyap. Di lantai kemudian tampak sosok
burung Celepuk mengepulkan asap.
Begitu kepulan asap lenyap, burung Celepuk juga sirna. Dilantai hanya kelihatan
genangan cairan merah. Darah!
11 ROH POHON BUNGA MELATI
Seperti diceritakan dalam bab 5
(Takdir Sang Ibu) Sukantili yang tertidur di atas makam suaminya telah
kedatangan suara Roh Agung yang menegurnya karena telah meninggalkan Sumur Api.
Menyadari perbuatannya yang melanggar ketentuan itu Sukantili mengaku bersalah
dan bersedia kembali ke Sumur Api. Namun Para Dewa berkehendak lain. Perempuan
itu dijadikan pohon Melati, ditumbuhkan di atas kepala makam Panggaling,
suaminya. Semua kegaiban yang terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa itu disaksikan oleh
seekor burung Hantu jantan atau burung Celepuk yang mendekam di salah satu
cabang pohon Kemboja tak jauh dari makam.
Sementara bau harum puluhan kembang Melati mulai merebak pada malam menjelang
pagi itu, si burung Hantu jantan kembangkan sayap, putar mata besarnya beberapa
kali lalu melesat dari pohon Kemboja, terbang meninggalkan pemakaman.
Di satu tikungan Kali Opak yang arusnya deras menderu burung Hantu tadi terbang
merendah, melayang berputar-putar di bagian kali yang banyak batu-batu besar.
Binatang ini tegak tak bergerak di atas sebuah batu berbentuk lancip, menatap ke
arah celah antara dua batu besar. Tiba-tiba dari bawah kederasan arus air kali
di antara dua celah muncul seekor kura-kura hijau bermata merah. Binatang ini
ternyata berada di atas kepala seorang nenek yang rambutnya putih dijalin
melingkari kepala.
Dari pakaiannya berupa jubah Jingga jelas kalau dia adalah Sri Sikaparwathi
palsu jejadian yang beberapa waktu lalu telah membunuh pertapa Sedayu
Galiwardhana di Gunung Merbabu dengan cara merubah diri menyerupai Arwah Ketua
dari Candi Miring.
Perempuan tua itu kini berdiri di atas sebuah batu besar. Wajah, tubuh dan
pakaiannya basah oleh air kali. Kura-kura di atas kepala yang juga merupakan
mahluk palsu jejadian dan bernama Cahyo Kumolo ulurkan kepala, mendongak ke
langit dan pancarkan cahaya merah dari kedua matanya.
Burung Celepuk jantan di atas batu lancip kembangkan sayap, tundukkan kepala
tiga kali berturut-turut lalu kembali mengambil sikap diam tak bergerak dengan
sepasang mata bulat besar menatap tak berkedip ke arah kura-kura hijau dan
perempuan tua yang menjunjungnya.
"Celepuk Hutan Randugunting, beberapa hari lalu aku telah membunuh pertapa
Sedayu Galiwardhana yang diam di Gunung Merbabu. Namun dua malam lalu sahabatmu
Celepuk Hutan Randuwangi menemui ajal sewaktu berusaha menerobos Sumur Api. Aku
berhasil merampas Gading Bersurat yang ke empat. Gading yang paling penting
diantara empat gading yang ada. Namun Para Dewa telah mempergunakan kekuatan dan
kekuasaan.Tulisan di Gading Bersurat yang ke empat itu pupus lenyap. Gading
kuning panjang dalam keadaan polos, tidak ada satu tulisan huruf Palawa tertera
di situ.Tapi aku tidak putus asa. Aku masih membekal beberapa rencana. Sekarang
ceritakan bagaimana dengan perintah dan tugas yang aku berikan padamu!" Burung
Hantu di atas batu runcing kembali rentangkan sayap dan membungkuk tiga kali.
Saat itu juga sosok burung malam ini berubah menjadi sosok seorang anak kecil
berusia sekitar tiga tahun dan tak berpakaian. Si anak membuka mulut, maka
terdengar dia berucap. Suaranya memang suara anak-anaktetapi lurus dan jelas.
"Kanjeng Ayu Sri Sikaparwathi, aku sudah lama tahu apa yang terjadi tapi baru
sekarang dapat menemui dirimu karena baru tadi malam menjelang pagi ini kau
memberi kesempatan padaku untuk bertemu."
"Itu memang kemauanku. Membagi waktu tidak bisa dilakukan secara semrawutan.
Salah waktu bisa berarti kehilangan nyawa seperti yang terjadi dengan sahabatmu
Celepuk Hutan Randuwangi. Sekarang terangkan bagaimana keberhasilan tugasmu."
"Kanjeng Ayu, setelah Sinuwun Raka Bhumi berhasil menyesatkan janda bernama
Sukantili dengan ilmu Menipu Mata Menipu Langkah hingga perempuan itu keluar
dari dasar Sumur Api, aku berhasil pula mengetahui apa yang kemudian terjadi
dengan dirinya. Para Dewa menghukum Sukantili. Menjadikan perempuan itu sebagai
sebatang pohon Melati yang tengah berbunga lebat. Ditancapkan di kepala kuburan
mendiang suaminya di pemakaman di luar Desa Sorogedug."
"Kau luar biasa hebat Celepuk Hutan Randugunting. Berarti kita akan mampu
menemui jalan rahasia masuk ke dasar Sumur Api..."
Sri Sikaparwathi jejadian menatap ke arah langit sebelah timur. "Sayang,
sebentar lagi sang surya akan segera muncul. Kau boleh pergi. Tapi besok begitu
matahari tenggelam, kau harus berada di tempat ini. Antarkan aku ke kubur suami
Sukantili."
"Perintah Kanjeng Ayu akan aku perhatikan dan akan aku lakukan. Sekarang aku
mohon diri."
Anak lelaki tanpa pakaian itu kembang kan dua tangan ke samping. Kepala
ditundukkan. Saat itu juga dirinya berubah menjadi burung Hantu, melesat ke
udara dan lenyap di kegelapan malam.
MALAM baru saja datang. Di langit tampak bulan sabit menghias langit biru
bersih. Bintang-bintang bertaburan berkelip kelip. Kawasan pemakaman di luar
Desa Sorogedug di selimuti kesunyian.
Sesekali angin malam bertiup agak kencang membuat rerantingan berderik dan daundaun pepohonan bergemerisik.
Si samping makam Panggaling, suami Sukantili yang juga adalah ayah Ananthawuri
berdiri perempuan tua penjunjung kura-kura hijau Sri Sikaparwathi palsu
jejadian. Di cabang pohon Kemboja bertengger burung Celepuk Hutan Randugunting
yang telah membawa si nenek ke tempat itu.
"Celepuk Hutan Randugunting, kau telah melaksanakan tugas. Kau boleh pergi
sekarang. Sesuai janji aku akan memberi teman hidup bagimu. Kau boleh pergi
bersamanya. Aku akan memanggilmu kembali jika aku perlukan."
Celepuk Hutan Randugunting kembangkan sayap, kepala menunduk tiga kali. Mata
menatap berkesip ke arah perempuan di bawah pohon. Sri Sikaparwathi genggamkan
jari-jari tangan kanan. Ketika genggaman dibuka dari tangan si nenek menggelepar
keluar seekor burung Celepuk betina.
Binatang ini melayang terbang di atas pohon Kemboja, berputar dua kali. Pada
putaran yang ke tiga burung Celepuk Randugunting yang bertengger di dahan pohon
melesat ke udara, mengikuti Celepuk betina. Kedua burung itu kemudian terbang
menghilang ke arah timur.
Hanya sesaat setelah dua ekor burung Celepuk melayang pergi Sri Sikaparwathi
segera mendekati pohon bunga Melati yang puluhan bunganya tengah mengembang,
menebar bau harum. Di depan pohon yang tumbuh di kepala kubur Panggaling itu si
nenek mendudukkan diri, bersila di tanah.
Mengosongkan jalan pikiran, mulai melakukan semedi. Lewat tengah malam tubuh
perempuan tua ini bergetar. Bersamaan dengan itu dari akar pohon kembang Melati
terlihat kepulan asap tipis. Si nenek bangkit berdiri. Dengan mata terpicing dia
melangkah memutari pohon Melati sambil mulutnya berucap.
"Langit bersih, bulan sabit menghias malam. Angin lembut sejuk menyapu bumi,
mengusap lembut pepohonan. Wahai mahluk perempuan yang ada di dalam pohon bunga
Melati, bangunlah dari tidurmu. Aku ingin bercengkrama dengan dirimu. Malam
begitu indah, bukankah sungguh enak untuk bicara bercakap-cakap. Wahai mahluk
perempuan yang ada dalam pohon bunga Melati, bangun dan keluarlah. Temui diriku.
Kita berjodoh untuk bertemu. Wahai mahluk
perempuan di dalam pohon bunga Melati, keluarlah. Temui diriku. Kau belum mati,
berarti roh dan tubuh kasarmu bisa keluar dari dalam pohon menemui diriku.
Kita berjodoh untuk bertemu..."
Kata-kata itu diucapkan berulang kali tiada henti oleh Sri Sikaparwathi hingga
larut malam. Menjelang dini hari perlahan-lahan langit yang tadi cerah kini
tampak redup tertutup awan. Bulan sabit lenyap dari pemandangan. Kawasan
pemakaman kini diselimuti kegelapan. Saat itulah tiba-tiba pohon bunga Melati
kelihatan bergoyang. Mula-mula perlahan, makin lama makin kencang. Puluhan bunga
melati luruh, mental berserakan di tanah, sebagian jatuh di atas makam
Panggaling. Si nenek merasakan tanah yang dilangkahinya seputar pohon bunga
bergetar. Lalu ada hawa aneh menebar bersama kepulan asap tipis. Dia segera
hentikan langkah dan membuka mata yang sejak tadi dipejamkan.
Ketika mata terbuka dan pandangan terkembang, di hadapan Sri Sikaparwathi palsu
jejadian telah berdiri seorang perempuan separuh baya, berkulit kuning berwajah
ayu, mengenakan pakaian berupa kemben dari bahan halus dan bagus. Inilah satu
keajaiban gaib yang didasari ilmu kesaktian luar biasa tinggi. Karena perempuan
yang berdiri di hadapan si nenek adalah Sukantili, ibu Ananthawuri yang oleh
para Dewa telah dirobah menjadi pohon bunga melati dan ditanamkan di depan makam
suaminya! Si nenek tersenyum lalu menyapa.
"Perempuan dari dalam pohon bunga, aku bersyukur dan berterima kasih kau
akhirnya mau keluar menemui diriku yang buruk ini. Berkat Para Dewa menjadi
bagian dirimu. Aku yang sudah tua ini mungkin sudah tumpul pikiran dan lamur
pandangan. Kalau aku boleh meyakinkan diri bukankah kau perempuan dari Desa Sorogedug
bernama Sukantili?"
Sukantili tidak segera menjawab.
Perempuan ini nampak masih terheran-heran.
Apalagi melihat kura-kura hijau bermata merah di kepala si nenek. Tercengang
ada, takut juga ada. Sebelum Sukantili sadar kalau dia berada di dekat makam
suaminya si nenek cepat-cepat bertanya.
"Perempuan ayu yang keluar dari dalam pohon bunga Melati..."
Sukantili terkejut mendengar kata-kata si nenek.
"Apa..." Saya keluar dari dalam pohon bunga Melati katamu nek?"
"Betul sekali.Dan namamu adalah Sukantili, berasal dari desa Sorogedug."
Sukantili mengangguk. Heran. Dia tidak mengenal si nenek tapi si nenek banyak
tahu mengenai dirinya.
"Nek, kau ini siapa?" bertanya Sukantili.
"Tidak penting siapa diriku. Yang lebih utama adalah bahwa kau mempunyai seorang
anak gadis bernama Ananthawuri.
Benar?" "Benar. Tapi anak itu... " Wajah Sukantili mendadaktampak sedih, berusaha
menahan tangis walau dua matanya tampak sudah merebak berkaca-kaca.
"Aku tahu...aku tahu," memotong Sri Sikaparwathi dengan sikap seperti insan arif
bijaksana sementara kura-kura di atas kepalanya angguk-anggukan kepala berulang
kali."Aku tahu apa yang terjadi dengan gadis ayumu itu. Aku juga tahu kau baru
saja meninggalkan Sumur api..."
"Nek, bagaimana kau bisa tahu riwayat diri saya" Kau ini siapa sebenarnya.
Apakah kau penjelmaan Dewa atau yang selama ini hadir dengan ujud suara yaitu
Roh agung" Saya takut pada kura-kura di atas kepalamu. Binatang itu dari tadi
memperhatikan saya dengan matanya yang merah menyala..."
"Kau tak perlu takut pada binatang peliharaanku. Dia sejinak burung merpati.Tapi
dia bisa seganas iblis kalau ada yang berani mengganggu diriku. Kau juga tidak
perlu menerka siapa diriku.
Sukantili, apakah kau ingin kembali ke Sumur Api menemui anak gadismu yang
tengah hamil itu?"
Sukantili tertegun sesaat. Sepasang mata perempuan ini membesar. Wajahnya penuh
harapan. "Nek, apakah...apakah kau bisa mengembalikan diriku kesana. Walau hanya barang
sekejap sudah cukup bagi saya.
Setelah menemui anak itu saya ingin kembali ke sini.Tapi jika benar katamu saya
tadi keluar dari pohon Melati itu, kalau bisa saya memilih lebih baik tetap
berada di Sumur api."
Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sukantili, kau harus percaya padakuJika kau mau kutolong kembali agar bisa
bersama anakmu lag maka kau harus menolong aku menunjukan jalan bagaimana
caranya bisa masuk ke Sumur Api."
"Saya tidaktahu bagaimana caranya..."
"Kau bisa keluar dari Sumur Api..."
"Semua terjadi diluar kemampuan saya.
Diluar sadar saya..." kata Sukantili pula.
"Kau tidak usah khawatir Sukantili.
Kau hanya memberi tahu padaku, bagaimana mula-mula kau bisa keluar dari dasar
Sumur Api. Lalu kau tentu masih ingat jalan yang kau tempuh hingga kau sampai
disini sebelum Para Dewa menjadikanmu sebagai sebatang pohon bunga Melati."
"Saya... Sulit bagaimana saya memastikan kejadiannya. Semua terjadi begitu
cepat, serba gaib..."
"Tapi kau tentu masih mengingatnya bukan" Coba kau bayangkan sewaktu kau masih
berada di dasar Sumur Api. Apa yang kau lakukan, kau berada dimana saat itu
sebelum kau tahu-tahu berada di tempat ini. Cobalah mengingat, aku akan membantu
menuntun daya pikirmu." Si nenek lalu tempelkan telapak tangan kirinya di atas
kening Sukantili.
Sukantili merasa hawa sejuk memasuki kepalanya. Pemandangannya lebih cerah dan
jalan pikirannya lebih terbuka.
"Apakah kau sudah bisa mengingat kembali, Sukantili?" Bertanya Sri Sikaparwathi.
"Jika kau ingat katakan perlahan-lahan sajaTidak usah terburu-buru..."
"Mula-mula saya melihat seekor burung menyusup masuk ke pohon berbunga Jingga.
Lalu...ada batu putih. Saya..."
"Tunggu dulu, pohon berbunga Jingga dan batu putih itu terletak dimana" Di dasar
Sumur Api sebelah mana?" Sri Sikaparwathi memotong. "Di dalam taman,"
jawab Sukantili. "Hemm...Lanjutkan keteranganmu. Aku gembira jalan pikiranmu
ternyata jernih"
"Ternyata pohon berbunga Jingga akarnya ada di batu itu. Saya berlaku lancang.
Memegang batu putih. Tiba-tiba batu memancarkan cahaya terang lalu naik ke atas.
Di tanah bekas batu tadi berada ada satu lobang. Saya masuk...Tidak saya lebih
dulu mendengar suara gamelan. Lalu saya masuk ke dalam lobang. Ada tangga menuju
ke atas. Saya berada di sebuah lorong. Di ujung lorong saya menemui sebuah pohon
aneh., besar tidak berdaun.
Pohon ini tumbuh miring di satu pedataran pasir..."
"Sukantili, sampai kau menemui pohon itu, apakah kau bertemu atau melihat
seseorang?" Tanya Sri Sikaparwathi.
Sukantili gelengkan kepala. "Saya tidak melihat siapa-siapa. Tidak ada orang
lain.Tapi..." "Tapi apa?"
"Ketika saya melangkah meniti di pohon beoar ada satu suara menegur agar saya
kembali..."
"Kemudian apa yang kau lakukan" Kau mengikuti perintah suara itu?"
"Tidak Nek, saya jalan terus.Tiba-tiba tubuh saya terpental. Mungkin saya
pingsan. Karena ketika saya sadarkan diri saya telah berada di halaman depan
rumah saya..."
"Lalu bagaimana kejadiannya kau kemudian berada di pemakaman ini dan berubah
menjadi pohon bunga Melati?"
"Saya sengaja datang ke makam untuk melihat kubur mendiang suami saya. Mungkin
saya terlalu letih. Hingga akhirnya tertidur di atas kuburan. Sewaktu saya
terbangun, saya mendengar suara itu lagi..."
"Kau ingat apa yang diucapkan suara itu?"
Sukantili coba mengingat-ingat.
"Saya hanya ingat kata-kata yang terakhir. Katanya saya akan menjadi penghuni
makam, mendampingi suami saya untuk selama-lamanya. Kecuali jika suatu ketika
kelak Para Dewa menentukan lain."
Sri Sikaparwathi menarik nafas lega dan tersenyum. Sambil menepuk-nepuk bahu
Sukantili nenek jejadian penjunjung kura-kura ini berkata.
"Ketika kau meninggalkan Sumur Api, kau ingat berapa usia kandungan
Ananthawuri?"
"Memasuki bulan ke delapan, jawab Sukantili.
"Kau sudah tiga puluh hari menjadi pohon bunga Melati. Berarti sekarang ini
Ananthawuri tengah menunggu saat kelahiran bayinya..."
"Saya mohon kepada Para Dewa. Jika Ananthawuri melahirkan saya berada di
dekatnya..." kata Sukantili setengah terisak.
"Kau tidak perlu khawatir. Sudah saatnya kita kembali ke Sumur Api. Kau akan
membimbing dan membawaku ke sana berdasarkan kesaksian yang kau berikan.
Kita akan menempuh jalan yang kau lewati.
Perempuan cerdik, sekarang kita sama-sama masuk ke dalam pohon bunga Melati."
Si nenek kemudian memegang lengan Sukantili. Mulutnya berkomat kamit. Kura-kura
hijau di atas kepala keluarkan suara mengorok halus. Tiba-tiba sosok Sukantili
dan Sri Sikaparwathi berubah menjadi asap.
Angin malam bertiup kencang. Pohon bunga Melati bergoyang keras. Dua kepulan
asap masuk ke dalam pohon bunga Melati. Begitu asap pupus, pohon bunga itupun
lenyap dari pemandangan.
12 PETAKA DI DASAR SUMUR API SRI SIKAPARWATHI berdiri diujung pedataran pasir
berwarna coWat.Tangan kiri masih memegang lengan Sukantili yang berdiri di
sampingnya. Keadaan di tempat itu terang benderang namun tidak kelihatan sumber
cahaya apa lagi keberadaan matahari. Walau suasana tampak tenang-tenang saja
namun si nenek tahu betul, setiap saat bahaya bisa muncul mengancam baik yang
datang dari luar alam gaib dimana dia berada maupun yang muncul dari tempat itu
sendiri. "Nek, lenganku terasa sakit. Mengapa kau masih memegangi?" Berkata Sukantili
sambil berusaha menarik lengan kirinya yang sudah sekian lama masih dipegangi si
nenek. "Aku tahu apa yang aku lakukan."
Jawab Sri Sikaparwathi. "Sebelum sampai ke sini, selagi masih di alam luar sana
aku sudah punya firasat. Ada beberapa orang sakti melakukan pengintaian. Mereka
berusaha mengikuti kita. Mereka semua punya maksud jahat. Mencoba ikut menembus
masuk ke dalam alam gaib. Namun tidak berhasil.
Mereka bisa nekad. Jika tidak bisa mengikuti masuk ke dasar Sumur Api mereka
bisa saja membunuhmu agar aku kehilangan arah..."
"Mengapa mereka berbuat begitu Nek?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya dulu."
"Saya takut Nek. Bagaimana kalau saya menemui ajal lebih dulu sebelum sempat
bertemu Ananthawuri?"
"Selama kau berada bersamaku kau tak usah kawatir. Aku..."
Belum selesai si nenek berucap tiba-tiba di langit muncul tiga benda bercahaya.
Masing-masing cahaya membentuk ekor panjang. Melesat laksana kilat ke arah
dirinya dan Sukantili.
"Tiga Iblis Berekor!" seru si nenek.
Kura-kura hijau di atas kepala keluarkan suara mengebor keras.
Sri Sikaparwathi cepat tarik tangan Sukantili. Dua benda bercahaya menghantam
tanah membuat dua lobang besar mengepulkan asap panas di pedataran pasir. Selagi
dua perempuan itu jatuh bergulingan di pedataran, benda bercahaya ke tiga
menyambar ke arah Sukantili.
"Cahyo Kumolo! Hancurkan iblis ke tiga!" Teriak Sri Sikaparwathi.
Saat itu juga kura-kura hijau di atas kepala si nenek menguik keras alu melesat
ke arah benda bercahaya ketiga. Hanya beberapa jengkal lagi benda bercahaya yang
disebut Iblis Berekor itu akan menghancur luluhkan Sukantili, kura-kura hijau
menghadang dan menabrakkan diri.
Satu ledakan keras menggetarkan pedataran berpasir co kiat.
Iblis Berekor ke tiga mental ke udara, hancur menjadi ribuan keping berasap
untuk kemudian lenyap dari pemandangan. Kura-kura hijau sendiri melesat amblas
ke dalam tanah sedalam setengah tombak namun masih mampu keluar walau tubuhnya
di bagian punggung yang keras atos tampak retak-retak. Binatang ini mengebor dua
kali lalu melesat ke atas kepala Sri Sikaparwathi. Si nenek usap punggung kurakura. Bagian yang retak serta merta bertaut kembali.
"Cahyo Kumolo ingat baik-baik. Orang yang menyerang kita dari alam luar dengan
Tiga Iblis Berekor tadi adalah Baduga Wakalaka. Dikenal dengan julukan Maharaja
Pagar Langit. Jika urusan disini selesai kita kelak akan mencari manusia itu.
Menggantungnya hidup-hidup kaki ke atas kepala ke bawah sampai tubuhnya keluar
betaung!" Kura-kura hijau menguik keras dan anggukan kepala beberapa kali. Sri
Sikaparwathi kemudian menolong Sukantili berdiri. Perempuan ini kelihatan sangat
ketakutan. Mukanya seputih kertas.
"Sukantili, tenangkan hatimu. Sudah aku katakan selama kau berada bersamaku
tidak ada yang perlu kau takutkan.
Sekarang coba kau memandang berkeliling.
Apakah kau melihat pohon besar kering tak berdaun seperti yang pernah kau
ceritakan?"
Sukantili memandang seputar pedataran pasir. Lama dia memperhatikan dan mencaricari namun pohon besar itu tidak tampak.
"Saya tidak melihat pohon itu Nek."
"Aku juga tidak," kata si nenek.
"Coba kita lihat sekali lagi bersama-sama."
Kedua orang itu memandang ke berbagai penjuru pedataran. Apa yang mereka cari
tidak kelihatan. Pohon besar kering tak berdaun tetap tidak tampak kemanapun
pandangan dilayangkan.
Sri Sikaparwathi tudingkan ibu jari telunjuk tangan kanan ke kening, dua mata
dipejamkan. Dia melihat satu cahaya hijau pekat seolah terbentang di depan
hidungnya. Si nenek keluarkan suara ber-gumam. Lalu usap punggung kura-kura
hijau di atas kepala sambil kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua
matanya. Saat itu juga si nenek merasa ada getaran aneh yang membuat kelopak matanya
bergerak-gerak keras sekali dan bola mata sakit seperti ditusuk-tusuk. Si nenek
keluarkan jeritan keras ketika dari matanya mengucur darah kental.
"Tabir pelindung! Ada tabir pelindung! Ada serangan gelap licik! Kali ini datang
dari alam gaib Sumur Api! Kurang ajar! Aku harus mampu menjajal kekuatan lawan." Ucap si nenek.
Dia cepat merapal mantera dan meniup tangan kanan tiga kali berturutturut.Tangan itu kemudian diusapkan ke matanya. Saat itu juga darah berhenti
mengucur, rasa yang menusuk-nusuk juga hilang. Di kejauhan terdengar suara
gaungan aneh. Si nenek menyeringai tanda dia berhasil menumbangkan kekuatan gaib
yang hendak mencelakai dirinya.
Untuk kedua kali Sri Sikaparwathi tiup lagi tangan kanannya tiga kali lalu
diusapkan ke mata Sukantili. Kemudian dia berkata. "Coba kau awasi lagi seluruh
pedataran di depanmu. Aku yakin sekarang kau bisa melihat pohon kering tidak
berdaun itu."
Sukantili lakukan apa yang dikatakan si nenek. Sesaat kemudian perempuan ini
berkata sambil menunjuk ke arah timur.
"Nek, itu...pohon keringnya di sebelah sana."
"Aku juga sudah melihat," jawab si nenek. Lalu dia tarik lengan Sukantili.
Dua perempuan itu melesat laksana terbang di atas pedataran pasir. Di lain kejab
mereka sudah berada di depan pohon besar kering tidak berdaun yang tumbuh miring
di atas pedataran.
Tiba-tiba si nenek mendengar suara di kejauhan. Tangan kirinya diletakkan di
belakang telinga. Mata membesar dan kepala didongakkan ke atas. Wajahnya berubah
tegang. "Aku mendengar suara bayi menangis.
Dua orang..." Ucap Sri Sikaparwathi.
"Jangan-jangan..."
Sukantili menatap wajah si nenek.
"Saya tidak mendengar apa-apa Nek.
Tapi kalau kau benar, mendengar suara tangisan bayi bisa saja anak saya
Ananthawuri telah melahirkan." Sukantili cemas. Perempuan ini menatap ke arah
pohon kering. "Nek, kita harus berjalan di atas pohon itu. Di ujung sana ada
sebuah lobang. Lalu ada tangga..."
"Berarti itu arah jalan masuk ke dasar Sumur Api. Tapi suara tangisan bayi yang
aku dengar dari jurusan itu..." Kata Sri Sikaparwathi pula. "Ada apa di balik
keanehan ini" Bukan mustahil ada yang tengah merancang tipuan." Si nenek
merenung berpikir-pikir. "Suara bayi tadi, pohon besar dan pedataran ini bisa
saja tipuan belaka."
"Bagaimana Nek?" Sukantili bertanya.
Sri Sikaparwathi mengambil keputusan.
"Kita masuk ke dalam lobang. Cepat!
Kau jalan duluan!"
Si nenek melompat ke atas pohon besar sambil menarik Sukantili.Keduanya berjalan
meniti pohon besar hingga mencapai bagian akar dimana setahu Sukantili terdapat
sebuah lobang besar yang berhubungan dengan tangga batu. Namun begitu sampai di
ujung pohon besar itu tidak ada. Yang tampak adalah sebuah batu besar hitam.
"Bagaimana mungkin" Kemana lobangnya"
Mengapa ada batu di sini..?" ucap Sukantili.
"Kau tidak membawaku ke tempat yang keliru Sukantili?" tanya Sri Sikaparwathi
sementara kura-kura di atas kepalanya mengeluarkan suara mengembor berulang
kali, memberi pertanda akan adanya bahaya.
"Saya yakin sekali Nek. Dari sini dulu saya keluar. Disini seharusnya ada lobang
batu. Lalu saya melangkah naik, berjalan di atas pohon."
Mendengar kata-kata Sukantili si nenek segera melompat ke atas dan turun lagi ke
bawah hingga kini berada di depan Sukantili. Dia memberi isyarat agar Sukantili
menjauh ke pertengahan pohon lalu melangkah mendekati batu besar. Kura-kura di
atas kepala kembali mengembor memberi tanda.
Sri Sikaparwathi tidak menunggu lebih lama. Tangan kanan di angkat ke atas
sebatas telinga. Begitu tangan memancarkan cahaya hijau maka dengan gerakan luar
biasa cepat dan keras tangan dipukulkan ke arah batu.
Cahaya hijau memancar tiga kali lebih terang sebelum menghantam batu besar yang
menutupi lobang. Gelegar dahsyat membahana ketika batu besar hancur lebur
menjadi debu bercampur kepingan-kepingan kecil.
Pedataran pasir bergetar. Pohon besar yang tumbuh miring berderak keras lalu
roboh ke pedataran pasir. Sukantili menjerit.
Perempuan itu terpental dan jatuh ke tanah. Sri Sikaparwathi sendiri cepat
melesat ke udara. Dia tidak perdulikan teriakkan Sukantili meminta tolong.
Sewaktu melompat ke udara dia dapat melihat lobang besar yang kini menganga di
bekas batu besar yang telah hancur. Dia juga bisa melihat anak tangga serta
cahaya terang kebiruan memancar di dalam lobang.
"Nek, tolong. Pasir coklat ini menelan diriku...!" Sukantili berteriak
ketakutan. Getaran-getaran hebat di pedataran membuat pasir menguak bergerakgerak seperti hendak menelan tubuhnya.
Sri Sikaparwathi hanya berpaling sedikit. Mulut menyeringai keluarkan ucapan.
"Perempuan desa tolol! Aku tidak memerlukan dirimu lagi! Aku sudah menemui jalan
ke dasar Sumur Api!" Setelah keluarkan ucapan yang membuat Sukantili terkejut
dan tambah ketakutan si nenek melayang turun ke arah lobang batu. Tiba-tiba dari
lobang batu terdengar suara mendesis keras. Sesaat kemudian muncul kepala besar
bertanduk dua dari satu mahlukluar biasa menyeramkan. Lidah panjang bercabang
merah, barisan gigi dan taring runcing putih berlendir, sepasang mata kuning
bergaris hitam, dua lobang hidung menghembuskan nafas laksana tiupan angin
puting beliung. Sebuah batu permata biru berkilau menempel di kening. Sesaat
kemudian setelah kepalanya yang menyembul muncul sosok bersisik tebal berwarna
hitam kelabu.Ternyata mahluk yang keluar dari lobang adalah seekor ular luar
biasa besar dan panjang.
"Naga Akhirat Raden Culo Dua!" teriak Sri Sikaparwathi yang mengenali ular
raksasa itu. Dia cepat menahan gerakan melayang turun namun terlambat. Ular
raksasa telah mendahului melesat ke atas sambil mengangakan mulut yang memiliki
daya sedot luar biasa.
Sri Sikaparwathi tahu betul apa yang akan terjadi atas dirinya. Sebelum tubuhnya
bulat-bulat masuk ke dalam mulut Naga Akhirat Raden Culo Dua, mahluk jejadian
ini berteriak pada kura-kura di atas kepalanya.
"Raden! Cepat terbang selamatkan dirimu! Pergunakan ilmu Tangan Dewa Memegang
Pahat untuk selamatkan diriku!"
"Wuuttt!" Dengan gerakan cepat luar biasa kura-kura bernama Raden Cahyo Kumolo
melesat selamatkan diri.
"Wussss!"
Tubuh Sri Sikaparwathi tersedot masuk ke dalam mulut ular raksasa. Setelah
melahap si nenek binatang ini menggeliat lalu membalikkan kepala dan tubuh, siap
untuk masuk kembali ke liang batu. Namun di udara kura-kura hijau yang kini
telah meru bah tubuh menjadi lima kali lebih besar dengan cepat melayang turun
lalu melesat sepanjang tubuh sebelah kiri ular raksasa. Pinggiran tubuhnya yang
keras dan tajam, tidak beda seperti pahat besar, membeset kulit, tembus sampai
ke daging dan menjebol perut ular besar.
"Reerrrrrrttt!"
Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naga Akhirat Culo Dua menggelepar sambil keluarkan desisan keras.Tubuhnya yang
kena ditoreh robek memanjang. Di antara muncratan darah melesat keluar Sri
Sikaparwathi dengan tubuh bergelimang darah.
"Raden kita harus meninggalkan tempat celaka ini! Kita belum gagal! Kita pasti
akan mendapatkan dua bayi itu!"
Mendengar teriakan kura-kura hijau kembalikan ukuran badannya ke bentuk semula
lalu melesat ke atas kepala si nenek. Tidak tunggu lebih lama Sri Sikaparwathi
melompat ke atas pohon besar yang telah tumbang di pedataran, berlari cepat
meniti pohon besar lalu melesat ke udara. Dia keluarkan seluruh kesaktian yang
dimilikinya untuk bisa keluar dari alam gaib kawasan Sumur Api.
Di pedataran Sukantili duduk bersimpuh.Tubuh dan wajah kotor tertutup pasir
coklat. "Roh Agung, Dewa Jagat Bathara...
Apakah Kau mendengar suara perempuan yang malang ini. Saya mohon pertolonganMu.
Kembalikan saya ke tempat anak saya berada..." Perempuan ini berkata dengan
suara terisak sambil menutup wajah dengan ke dua tangan.
Tiba-tiba ada suara menyahuti ucapan Sukantili tadi.
"Perempuan bernama Sukantili Dirimu memang malang dan menderita Tapi kemalangan
dan penderitaan itu adalah karena perbuatan dirimu sendiri Kesalahan pertama kau
meninggalkan dasar Sumur Api
walaupun telah dicegah diperingatkan Kau membuat kesalahan kedua dengan Membawa
mahluk jahat Menunjukan jalan ke dasar Sumur Api Yang sangat rahasia dan sangat merupakan
pantangan Tangan mencencang bahu memikul Kau harus pasrah menerima
kebijaksanaan para Dewa
Kau dikembalikan ke desa Sorogedug Sebagai pohon bunga Melati
Menjaga dan menaungi makam suamimu Sukantili jatuhkan diri bersujud di tanah.
"Roh Agung, saya mohon ampunMu. Para Dewa, saya mohon belas kasihanmu..."
Tiba-tiba satu cahaya putih muncul menyapu tubuh Sukantili. Kejap itu juga sosok
perempuan itu lenyap. Di pemakaman di luar Desa Sorogedug, pohon kembang Melati
yang tumbuh di kepala kubur Panggaling yang' sebelumnya lenyap kini secara gaib
muncul kembali.
KETIKA keluar dari alam gaib dasar Sumur Api, Sri Sikaparwathi dapatkan diri
terdampar di satu rimba belantara. Saat itu siang hari. Namun di dalam rimba
yang di tumbuhi pohon-pohon besar berdahan banyak dan berdaun lebat keadaan
kelam redup. Udara lembab.
Si nenek duduk menjelepok di tanah sambil bersandar ke satu batang pohon.
Tubuh dan pakaiannya kotor oleh darah ular yang setengah mengering dan berbau
amis. Dia mengelus tubuh kura-kura di atas kepala dan berkata.
"Raden kita masih belum beruntung.
Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara
tangisan bayi yang aku dengar di dasar Sumur Api adalah suara tipuan untuk
memecah perhatian dan memperlambat gerakan kita. Aku yakin anak perawan desa itu
masih belum melahirkan. Kita akan mencari jalan untuk mendapatkannya..."
Kura-kura hijau di atas kepala si nenek angguk-anggukan kepala beberapa kali dan
mengebor halus. Tiba-tiba dari atas pohon meluncur seekor tikus hutan berwarna
hitam. Si nenek baru tahu kehadiran binatang ini ketika si tikus telah masuk ke
balik jubah, merayap di dada, turun ke perut terus turun lagi ke bagian
terlarang di antara dua pangkal kaki dan mendekam di sana. Jerit si nenek bukan
alang kepalang kerasnya. Tubuhnya terlompat sampai kepalanya menghantam cabang
pohon sementara kura-kura di atas kepala saking kaget terpental jatuh ke tanah.
"Celaka! Celaka diriku!" Sri Sikaparwathi berteriak berulang kali sambil
berjingkrak-jingkrak. Tapi tikus nakal masih saja mendekam di tempat semula.
Tidak sabar dan tidak tahan rasa geli dan jijik nenek ini singsingkan jubahnya
tinggi-tinggi.Tangan kanan di susupkan ke atas. Sekali diremas tikus pohon
mencicit keras lalu mati dengan tubuh hancur luluh.
Si nenek kibas-kibaskan tangan kanannya yang bergelimang darah tikus.
Sekujur tubuh merinding. Muka pucat pasi.
Perlahan-lahan dia merasa tubuh menjadi lemas. Ada satu hal yang membuatnya
sangat ketakutan. Cahyo Kumolo si kura-kura hijau mendekam tak bergerak di akar
pohon. Sepertinya binatang ini tahu apa yang telah terjadi dengan sang tuan. Binatang
ini juga merasa tubuhnya lemas, nyaris tak mampu bergerak.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara mengebor keras disertai
sambaran angin yang memerihkan mata. Lalu memyusul ucapan lantang.
"Mahluk jejadian! Kesaktianmu begitu luar biasa. Tapi menghadapi seekor tikus
pohon kau takut setengah mati!
Ha...ha...ha!"
Si nenek memandang berkeliling. Dia tidak melihat orang yang bicara. Maka diapun
membentak. "Hantu atau dedemit hutan!
Perlihatkan dirimu! Akan aku hancurkan kepalamu!"
Bentakan perempuan tua itu dijawab dengan suara tawa bergelak yang membuat tanah
bergetar, ranting dan dahan pohon bergoyang.
"Sri Sikaparwathi palsu! Setelah larang-pantangan menimpa dirimu, apa kau masih
punya kekuatan dan kesaktian?"
Tampang si nenek menjadi tambah pucat. Kura-kura hijau merangkak perlahan,
menyusup ke dalam tanah di bawah akar pohon.
Tiba-tiba satu kepala luar biasa besar tergeletak muncul di tanah, hanya tiga
langkah dari hadapan si nenek. Kepala inilah tadi agaknya yang mengeluarkan
ucapan. Begitu melihat kepala tanpa tubuh Sri Sikaparwathi menjerit keras.
Dengan terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh, siap untuk melarikan diri. Di
atas salah satu pohon tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan disertai bunyi
benda berkerincingan, membuat Sri Sikaparwathi tambah tercekat.
"Raden, cepat naik ke atas kepalaku!"
si nenek menyeru kura-kura hijau. Namun binatang yang sudah lemas tiada daya itu
hanya tersuruk diam di bawah akar pohon.
Seperti majikan yang memeliharanya, agaknya binatang ini juga telah kehilangan
kekuatan dan kesaktiannya.
TAMAT Episode Berikut:
"PANGERAN BUNGA BANGKAI"
Rahasia Kitab Ular 2 Gento Guyon 5 Hutang Dosa Misteri Surat Setan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama