Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 17

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang lebih baik. Bukankah Angger Untara baru berdua saja" Rumah yang besar ini akan menjadi sangat sepi jika tidak ada kawan lain yang tinggal di dalamnya."
"Hampir bertambah, Kiai," sahut Untara.
"He?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. "Jadi, Angger Untara hampir mempunyai momongan."
Untara tersenyum. Namun kemudian ia pun mengalihkan pembicaraannya dan sebagai kelengkapan penerimaannya, ia pun menanyakan keselamatan tamu-tamunya di perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan di Sangkal Putung.
Baru setelah di hadapan tamu-tamunya dihidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, Untara bertanya, "Sebenarnya aku agak terkejut melihat kehadiran Kiai bertiga dengan Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Sokurlah jika Kiai hanya sekedar singgah tanpa ada keperluan yang penting."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah aku menceriterakan berita gembira saja lebih dahulu."
Untara termangu-mangu sejenak. Tersirat di dalam kata-kata itu, bahwa Kiai Gringsing datang dengan membawa beberapa persoalan.
"Angger Untara," berkata Kiai Gringsing, "mungkin memang sudah sampai waktunya, Ki Demang Sangkal Putung akan menyelenggarakan perelatan perkawinan anaknya."
"He," Untara terkejut. Tetap sebelum ia melanjutkan, Kiai Gringsing segera memotongnya, "Angger Swandaru-lah yang akan kawin dengan puteri dari Menoreh. Anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jadi Adi Swandaru yang akan kawin?"
"Ya." Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Memang agaknya memang sudah saatnya."
"Sudah barang tentu, pada saatnya Angger Untara akan mendapat pemberitahuan dan undangan."
"Kapankah kira-kira perkawinan itu akan berlangsung?"
"Selapan hari lagi."
"O. Begitu pendek. Selapan hari lagi." Untara mengangguk-angguk, "Itukah sebabnya Adi Swandaru tidak ikut dengan Kiai sekarang ini?"
"Ya. Swandaru sudah tidak dibenarkan untuk bertualang menjelang hari perkawinannya."
"Sesudah itu?" "Tentu ada perubahan dalam tata hidupnya. Ia akan menjadi seorang suami. Ia tidak lagi bebas seperti seekor burung di udara." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Kecuali jika ia bertualang bersama isterinya."
"He?" "Bukankah bakal isteri Swandaru juga seorang yang memiliki ilmu yang seimbang dengan Swandaru sendiri?"
"Ya. Tetapi apakah ia juga seorang petualang" Meskipun ia memiliki ilmu yang tangguh, tetapi agaknya ia seorang gadis yang terikat kepada keluarganya, seperti kebanyakan gadis. Aku kira keluarga mereka akan berusaha menyesuaikan diri. Ki Demang pada dasarnya juga bukan seorang petualang. Ia tentu menghargai tata cara hidup sewajarnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar bahwa bukan maksud Untara untuk menyindirnya, karena Untara mengucapkannya tanpa sadar. Tetapi arah pembicaraannya memang sudah diduga.
"Kiai," Untara meneruskan seperti yang diperkirakan oleh Kiai Gringsing, "Agung Sedayu pun pada suatu saat harus merubah cara hidupnya. Ia harus menghadapi hari depannya dengan perencanaan yang matang. Bukan sekedar seperti selembar daun ditiup angin."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Meskipun ada segores sentuhan pada dinding batinnya, namun ia mengakui bahwa seharusnya memang demikian.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Untara bertanya, "He, di manakah Agung Sedayu" Kenapa ia tidak ikut bersama Kiai?"
Kiai Gringsing menggeleng, "Ia berada di Sangkal Putung, Anakmas."
"Kenapa ia tidak ikut bersama Kiai, dan sekaligus menengok kampung halamannya?"
"Ia mengawani Swandaru di rumahnya."
"Ah, kenapa Swandaru harus memerlukan kawan" Bukankah ia berada di rumahnya sendiri. Besok aku akan menyuruh seseorang memanggil Agung Sedayu. Aku memerlukannya untuk berbicara serba sedikit."
"Anakmas Untara, Swandaru yang tidak biasa tinggal di rumah memerlukan seorang kawan yang sesuai. Karena itulah maka kami tinggalkan Agung Sedayu di Sangkal Putung."
"O, jadi Swandaru yang akan kawin selapan hari lagi, Agung Sedayu pun harus dipingit pula seperti perempuan di Sangkal Putung" Itu tidak perlu, Kiai. Biarlah Swandaru mengambil kawan sepuluh orang atalu lebih dari kademangannya sendiri. Tetapi Agung Sedayu tidak perlu berbuat demikian."
"Bukankah ia saudara seperguruannya?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tetapi sepengetahuanku, di dalam perguruannya ia adalah saudara tua. Jadi ia tidak terikat pada keharusan bagi saudara mudanya. Apalagi Agung Sedayu memerlukan sikap yang lain dari sikapnya selama ini." Untara berhenti sejenak, lalu, "Cobalah Kiai memikirkannya. Selama ini Agung Sedayu berada di Sangkal Putung. Apakah artinya ini" Apakah ia ngenger kepada Ki Demang, atau nyantrik agar ia mendapat hadiah anak gadisnya" Tidak, Kiai. Agung Sedayu memiliki tempat tinggal adbmcadangan.wordpress.com. Memiliki rumah dan halaman. Meskipuin tidak luas, juga memiliki sawah ladang. Apa lagi aku ingin Agung Sedayu kelak menjadi seorang senapati yang dalam tingkat martabat kepangkatannya lebih tinggi dari seorang demang."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Angger Untara. Wawasan Angger terhadap Agung Sedayu benar. Tetapi tidak semuanya tepat seperti itu. Sebenarnya Agung Sedayu juga jarang berada di Sangkal Putung. Apalagi Agung Sedayu, bahwa Swandaru sendiri jarang-jarang berada di rumahnya. Adalah salahku jika kedua anak-anak itu kemudian mempunyai kegemaran bertualang. Tetapi maksudku, aku hanya ingin mengatakan, bahwa kami tidak terikat oleh Sangkal Putung. Kami bersama-sama baru saja pulang dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi perjalanan itu pun adalah perjalanan bagi kepentingan Ki Demang di Sangkal Putung."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Ki Waskita dan Ki Sumangkar, keduanya hanya menundukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu Kiai Gringsing mulai menjadi ragu-ragu. Mungkin ia dapat membela sikapnya selagi menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika ia mengatakan bahwa Mataram kehilangan kedua pusakanya, dan perjalanannya itu dalam hubungannya dengan kehilangan itu, maka kesan Untara akan menjadi lain.
Tetapi Kiai Gringsing mengurungkan niatnya. Hilangnya kedua pusaka itu tidak akan dapat dipergunakannya sebagai alasan karena ia berharap bahwa hilangnya kedua pusaka dari Mataram itu akan merupakan beban yang tetap hanya boleh diketahui oleh orang-orang yang terbatas.
Namun tiba-tiba saja ia menemukan alasan yang lain. Karena itu maka katanya, "Angger Untara. Mungkin kami memang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan perjalanan-perjalanan yang lain karena Ki Demang minta pertolongan kepada kami. Tetapi yang juga tidak kalah pentingnya bagi kami, adalah karena kami telah kehilangan. Itulah yang mendorong kami untuk menempuh perjalanan yang barangkali akan menjadi sangat panjang."
"Apakah yang hilang?" bertanya Untara. "Apakah Ki Demang kehilangan anaknya lagi?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukan, Anakmas. Kali ini yang memerlukan bantuan kami bukan Ki Demang Sangkal Putung."
Untara mengerutkan keningnya.
"Tetapi Ki Waskita."
Untara memandang Ki Waskita sejenak. Kemudian ia pun bertanya, "Apakah yang hilang?"
"Kedatangan kami kemari, sebenarnya juga ada hubungannya dengan kehilangan itu. Karena Angger Untara memiliki wewenang di daerah ini, kami ingin bertanya, apakah selama ini ada laporan tentang seorang anak muda yang bernama Rudita."
"Rudita?" "Ya. Anak laki-laki Ki Waskita yang meninggalkan rumahnya tanpa diketahui tujuannya. Dan kini, Ki Waskita minta bantuan kami untuk mencari anaknya, karena menurut dugaannya, anaknya itu berada di sekitar lereng Selatan Gunung Merapi dan bergeser ke Timur."
"O," Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jadi, Kiai bertiga sedang mencari anak muda yang bernama Rudia?"
"Ya, Anakmas," jawab Ki Waskita, "ia adalah satu-satunya anakku. Anak yang dungu. Ia sama sekali tidak memiliki bekal apa pun di perjalanannya. Bekal uang, pakaian dan juga tanpa bekal perlindungan terhadap diri sendiri."
Untara mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Agaknya ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Namun rasa-rasanya masih saja tersangkut di kerongkongan.
"Aku menjadi sangat gelisah karena anak itu, Anakmas," berkata Ki Waskita kemudian.
Akhirnya Untara mengatakannya juga apa yang terpercik di hatinya, "Ki Waskita. Memang menggelisahkan sekali. Di daerah Selatan ini nampaknya tidak ada lagi pergolakan yang dapat mengganggu keseimbangam. Agaknya yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, berpengaruh juga sampai ke daerah ini. Menurut pendengaran kami, lenyapnya Panembahan Agung, mempunyai akibat yang sangat luas." Untara berhenti sejenak, lalu, "Tetapi masih ada kejahatan-kejahatan yang memiliki latar belakang yang berbeda. Jika orang-orang Panembahan Agung yang tersebar sampai ke Mataram dan Pajang mengganggu ketertiban karena tujuan yang dalam, menyangkut pemerintahan, maka adbmcadangan.wordpress.com yang ada sekarang sekedar berlandaskan pada kebutuhan hidup dan nafsu memiliki harta benda yang berlebihan. Meskipun daerah petualangan penjahat itu sangat terbatas, tetapi mereka merupakan kelompok yang harus diperhatikan. Justru karena sasaran mereka tidak berdasar. Siapa saja yang mereka anggap memiliki kekayaan yang dapat mereka rampas, mereka datangi. Dan penjahat-penjahat yang demikian itulah yang kini merisaukan hati kami, para prajurit. Apalagi setelah kami mendengar bahwa anak satu-satunya Ki Waskita berada di daerah itu."
Ki Waskita menegang sejenak. Namun kemudian ia berkata sareh, "Kami juga sudah mendengar berita tentang kejahatan-kejahatan kecil yang justru sangat mengganggu."
"Kami sudah mencoba untuk mengambil jalan yang paling baik. Karena jumlah prajurit yang tidak mencukupi untuk berada di segala tempat pada saat yang sama, maka kami telah membangunkan anak-anak muda di setiap padukuhan. Kami harap bahwa mereka dapat membantu menjaga keamanan di daerah mereka sendiri."
Ki Waskita, Ki Sumangkar, dan Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
"Kiai," berkata Untara kemudian, "jika sekiranya diperlukan, kami akan menyiapkan sekelompok prajurit untuk membantu mencari anak muda itu. Meskipun kami belum mengenalnya dengan baik, tetapi ciri-cirinya dapat kita beritahukan kepada mereka yang akan segera aku siapkan."
"Terima kasih, Anakmas" jawab Waskita, "sebenarnya kami tidak ingin menggannggu Anakmas."
"Itu termasuk salah satu tugas kami. Apalagi Kiai Grinigsing sudah terlampau banyak berbuat sesuatu yang bahkan melampaui kemampuan kesatuan kami yang ada di daerah Selatan ini."
"Ah, Anakmas memuji. Apa yang aku lakukan bukanlah hal yang pantas mendapat pujian," sahut Kiai Gringsing, kemudian, "yang penting Anakmas. Kami datang untuk menyatakan diri bahwa kami akan berada di sekitar Jati Anom. Tetapi jika Anakmas akan memberikan bantuan, kami mengucapkan diperbanyak terima kasih."
"Baiklah, Kiai," berkata Untara, "kami akan segera menyiapkan sekelompok prajurit. Apakah sekelompok prajurit itu akan pergi bersama-sama dengan Kiai bertiga, atau sebaiknya daerah pencaharian kami berbeda dengan tempat-tempat yang akan Kiai kunjungi."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Tetapi sebelum Kiai Gringsing berbicara, Untara-lah yang mendahuluinya, "Sebaiknya Kiai memberikan ciri-ciri tentang anak muda itu. Kami akan berusaha mencarinya di daerah yang luas. Kami akan berpencar. Mudah-mudahan dengan demikian usaha kami akan cepat berhasil. Sedangkan Kiai bertiga, agaknya tidak memerlukan seorang pengawal pun. Karena pengawal-pengawal bagi Kiai bertiga justru akan menjadi tanggungan Kiai."
Kiai Gringsing tersenyum. Demikian juga Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
"Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih sekali lagi," berkata Ki Waskita yang kemudian memberikan beberapa macam ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk mengenal anak muda yang bernama Rudita.
"Rudita," berkata Untara, "jadi namanya Rudita. Tidak ada ciri-ciri khusus yang menonjol. Tetapi sikapnya lamban dan apalagi?"
"Anak itu kurang yakin akan dirinya sendiri," berkata Ki Waskita.
"Baiklah. Aku akan segera memerintahkan tiga atau empat kelompok kecil untuk menjelajahi lereng Gunung Merapi bagian Selatan. Kami sudah mempunyai sasaran tertentu. Beberapa tempat yang paling berbahaya akan kami datangi untuk pertama kali."
"Terima kasih, Ngger," sahut Kiai Gringsing.
"Tetapi," berkata Untara kemudian, "aku pun mempunyai suatu pengharapan Kiai."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Agung Sedayu."
Kiai Gringsing menganggguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku mengerti, Anakmas. Akan aku usahakan setelah aku selesai dengan tugasku kali ini. Tetapi aku mohon, biarlah anak itu untuk sementara berada di Sangkal Putung. Ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang kelak dapat aku sampaikan kepada Angger Untara."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kiai memang aneh. Aku mengenal beberapa orang guru dalam olah kanuragan, kajiwan, dan kesusastraan. Tetapi tidak seperti Kiai."
Kiai Gringsing menjadi heran mendengar kata-kata Untara itu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri sambil memandang kedua kawannya berganti-ganti. Tetapi kedua kawannya pun agaknya tidak segera mengerti maksud Untara.
"Aku tidak mengerti, kenapa Kiai terikat sekali dengan Sangkal Putung. Kenapa Kiai tidak kembali ke Dukuh Pakuwon atau ke Jati Anom atau bahkan membuat suatu padepokan tersendiri. Aku mengenal beberapa orang guru dengan padepokannya masing-masing. Bahkan kadang-kadang seseorang dikenal justru karena nama padepokannya. Murid-muridnyalah yang datang kepadanya dan tinggal bersamanya. Tetapi Kiai tidak. Justru Kiai-lah yang tinggal bersama murid Kiai."
"Sudahlah, Anakmas," berkata Kiai Gringsing, "terima kasih atas perhatian Anakmas. Aku tahu, Anakmas bermaksud baik."
"Aku memang bermasksud baik, Kiai. Jika Kiai memerlukan, aku dapat menyediakan sebuah padukuhah kecil. Atau biarangkali sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi oleh pohon buah-buahan tetapi belum ada penghuninya. Kiai dapat membuat sebuah padepokan dan murid-murid Kiai berada di padepokan itu. Padepokan yang asri dihiasi dengan pohon-pohon bunga, kolam ikan yarg bening, sehingga nampak batu-batu kerikil di dasarnya, dikelilingi oleh halaman yang luas, yang ditebari dengan ternak yang beraneka. Ayam, itik, angsa, dan sebagainya. Di belakang, sebuah kandang yang besar dihuni oleh beberapa ekor lembu, sedang di sebelah yang lain sebuah kandang kuda dengan beberapa ekor kuda di dalamnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang aku bermimpikan padepokan yang demikian, Angger. Tetapi agaknya saatnya memang belum tiba."
"Jika Kiai memang menghendaki," sahut Untara.
"Mungkin pada saat yang lain."
"Tetapi akibat dari keadaan Kiai sekarang ini, adikku ikut tersangkut di Sangkal Putung."
"Mungkin keadaan akan segera berubah, Anakmas."
"Baiklah, Kiai," berkata Untara, "aku tidak akan mengganggu Kiai selama Kiai masih mencari anak muda yang bernama Rudita itu. Seperti aku janjikan, aku akan segera mempersiapkan orang-orangku."
"Terima kasih, Anakmas," jawab Kiai Gringsing yang kemudian berkata, "Aku akan segera mohon diri. Selebihnya bantuan Anakmas memang akan sangat bermanfaat bagi kami."
"Apakah Kiai akan segera meninggalkah Jati Anom?"
"Ya, Anakmas. Agaknya dalam keadaan ini, waktu akan sangat berarti bagi kami."
"Baiklah, Kiai. Namun jika sekiranya Kiai memerlukan bantuan apa pun yang dapat aku berikan, aku harap Kiai memberitahukan kepadaku. Aku akan segera mengusahakannya."
"Terima kasih, Anakmas. Aku tentu akan segera datang jika aku memang memerlukan. Tetapi bantuan yang akan Angger berikan dengan mengirimkan beberapa kelompok prajurit adalah bantuan yang besar sekali."
Demikianlah maka Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar pun segera meninggalkan Jati Anom. Mereka menelusur jalan ke Selatan. Menurut isyarat yang disentuh oleh getaran yang telah dikenal oleh Ki Waskita, ia menduga bahwa anaknya masih berada di lereng Selatan Gunung Merapi. Justru di daerah yang dicemaskannya.
Dalam pada itu, Untara pun telah menyiapkan tiga kelompok pasukan berkuda yang masing-masing terdiri dari enam orang. Mereka bertugas untuk mencari Rudita di tempat-tempat yang berbahaya bagi anak muda itu. Selebihnya mereka, harus mengamati setiap adbmcadangan.wordpress.com anak-anak muda yang mereka jumpai di sepanjang jalan. Anak muda yang agaknya sudah menempuh perjalanan yang panjang dan tidak menuju ke arah yang pasti.
Sejenak kemudian, maka ketiga kelompok prajurit yang bersenjata lengkap itu pun segera berderap menanggalkan Jati Anom dengan arah yang berbeda-beda. Mereka mendapat pesan untuk langsung menyusup ke tempat yang sangat berbahaya bagi orang asing yang lewat di daerah itu.
Yang sekelompok langsung menuju ke Barat. Yang sekelompok berbelok ke Selatan setelah beberapa lama menyusur jalan ke Barat, sedang yang lain menuju ke Selatan.
Di bulak panjang kelompok yang menuju ke Selatan itu mendahului Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Tetapi di jalan yang sempit, Kiai Gringsing dan kedua kawannya segera berbelok ke Barat. Mereka dapat mengambil jalan-jalan sempit karena mereka hanya sekedar berjalan kaki. Bahkan mereka sempat melalui tebing-tebing sungai yang terjal dan melintasi daerah yang berawa-rawa.
Sekelompok yang menuju lurus ke Barat, mendapat perintah untuk langsung menuju ke sarang penjahat yang dikenal dengan kelicikannya, dan dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal. Seorang penjahat yang disegani oleh kawan dan lawan.
Kedatangan keenam prajurit itu mengejutkan Kiai Raga Tunggal. Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia mempersilah kan prajurit-prajurit itu masuk ke pendapa.
"Terima kasih," jawab pemimpin prajurit itu yang sudah turun dari kudanya, "aku hanya sebentar."
"Apakah maksud Ki Lurah datang ke pondokku" Apakah ada sesuatu yang mengganggu tugas prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom dan sekitarnya" Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan mengganggu Ki Untara dan anak buahnya. Dan aku serta anak buahku memang tidak pernah mengganggu."
"Kami tidak pernah percaya akan janjimu. Tetapi kali ini kami memang mempunyai keperluan lain," jawab pimpinan prajurit itu.
Pemimpin sekelompok penjahat yang licik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, "Apakah keperluanmu sekarang?"
Pemimpin prajurit itu memandang berkeliling. Ia melihat keadaan yang tenang di sekitar rumah itu.
"Kau mencari seseorang?" bertanya Kiai Raga Tunggal.
"Ya." "Apakah ada seorang prajurit yang melarikan diri dan kau sangka bersembunyi di sini?"
"Tidak. Tidak ada seorang prajurit pun yang pernah melarikan diri dari Jati Anom."
"Jadi siapakah yang kau cari?"
"Aku mencari seorang anak muda yang bernama Rudita. Ia berjalan dari seberang Kali Praga menuju ke Sangkal Putung."
Tiba-tiba saja Kiai Raga Tunggal tertawa. Katanya, "Jika ia pergi ke Sangkal Putung, kenapa kau mencarinya kemari?"
"Anak itu belum pernah melihat arah yang ditujunya. Ia berjalan tanpa petunjuk apa pun juga. Mungkin ia tersesat. Terakhir orang melihatnya di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi. Mungkin ia berjalan melingkari lereng dan sampai ke tempatmu, atau orang-orangmu yang berkeliaran menemukan seseorang yang telah kau jadikan korbanmu."
"Ah. Jangan menuduh begitu. Jika kami menemukan seseorang yang pantas kami tolong, kami akan menolongnya."
"Jangan mengigau. Aku tahu bahwa kau sama sekali tidak mengenal perikemanusiaan. Tetapi jika kau atau anak buahmu melihatnya, katakanlah. Hidup atau mati."
Kiai Raga Tunggal menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku belum pernah mendengar anak buahku menyebut nama itu. Dan akhir-akhir ini anak buahku tidak banyak melakukan kegiatan di lereng gunung ini. Rasa-rasanya sumber di daerah ini telah menjadi kering. Karena seperti kau ketahui, bukan saja orang-orangku yang berkeliaran, tetapi juga orang-orang Ki Serat Wulung, Ki Jambe Abang, dan belum terhitung pencuri-pencuri ayam yang lain."
Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Kalian harus membantu mencari dan menemukannya. Jika dalam waktu sepuluh hari ini anak yang bernama Rudita itu tidak dapat kami ketemukan, maka kami akan datang dengan pasukan untuk membakar padukuhanmu ini."
"Ah, jangan begitu. Kami sudah membatasi sekali gerakan kami. Kami akan membantu mencarinya." Kiai Raga Tunggal berhenti sejenak, lalu, "Tetapi daerah kami rasa-rasanya memang menjadi sempit. Setelah Senapati Untara mengirimkan beberapa orang prajurit untuk melatih anak-anak muda di setiap padukuhan, kami seolah-olah telah kehilangan sawah ladang kami, sehingga seperti semut disiram air, anak buahku harus mencari makan ke tempat yang agak jauh atau di sepanjang jalan."
"Nah, perintahkan mereka yang ada di sepanjang jalan itu untuk mencari anak yang bernama Rudita. Seorang anak muda yang sama sekali tidak memiliki kemampuan jasmaniah apa pun juga. Anak yang seperti sebuah bumbung yang kosong itu sedang dalam perjalanan yang diperkirakan menuju ke Sangkal Putung."
Kiai Raga Tunggal mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi jika anak buah kami tidak menemukannya, kalian jangan menyalahkan kami."
"Usahakanlah." Kiai Raga Tunggal memandang pemimpin prajurit itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, "Kenapa kalian tidak minta bantun orang-orang lain?"
"Semua akan kami datangi."
"Kau akan pergi ke Tambak Wedi juga?"
"Siapa yang ada di sana sekarang?"
"Huh. Kau tentu tidak tahu. Di Tambak Wedi sekarang tinggal seorang yang pasti akan menjadi lawan yang tangguh bagi prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom."
"Sebut namanya."
"Kiai Kalasa Sawit."
"O. Jadi orang itu."
"Apakah kau sudah mengenalnya?"
" Prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom sudah mengenalnya."
"Ia sangat berbahaya."
"Tidak. Tidak lebih dari kau. Kau jangan mengharap kami bertindak atasnya justru karena kau sedang bersaing saat ini untuk memperebutkan sawah dan ladangmu di sepanjang jalan."
Kiai Raga Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, "Kalian memang cerdik. Tetapi jangan di sangka bahwa kami menjadi ketakutan karena hadirnya Kiai Kalasa Sawit, yang barangkali akan menggantikan kedudukan Ki Tambak Wedi yang sudah terbunuh itu."
"Jauh dari kemungkinan itu. Perbandingan antara Kalasa Sawit dan Ki Tambak Wedi adalah satu berbanding sepuluh. Bahkan Kiai Kalasa Sawit belum dapat mengimbangi murid-murid Ki Tambak Wedi."
Kiai Raga Tunggal masih tertawa. Lalu katanya, "Baiklah. Aku akan berusaha membantu kalian. Tetapi aku hanya sekedar membantu sehingga usahaku bukanlah menentukan."
"Tetapi ingat. Jika dalam sepuluh hari anak muda itu belum kami ketemukan maka Senapati Untara akan mengadakan gerakan seperti tiga bulan yang lalu. Kalian akan disapu sampai habis dari daerah ini."
"Ah, jangan begitu. Senopati Untara pun tahu bahwa kami tidak akan dapat dibersihkan dengan cara itu."
"Tetapi juga tidak dengan sekedar perasaan iba dan sikap yang lunak serta kebaikan hati."
Kiai Raga Tunggal mengangguk-angguk. Meskipun wajahnya nampak tidak memberikan kesan apa pun juga, tetapi ia mengumpat-umpat di dalam hati. Apalagi prajurit-prajurit itu agaknya tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap orang yang menyebut dirinya Kelasa Sawit itu.
"Persetan," ia bergumam di dalam hatinya. Dan yang terloncat dari bibirnya, "Aku sudah berjanji akan bekerja keras membantu menemukan anak itu. Tetapi jangan bersikap begitu keras terhadap kami. Kami merasa kedudukan kami yang lemah."
"Omong kosong," jawab prajurit itu, "kau tentu merasa kuat dengan keadaanmu. Ternyata kau tidak mau menghentikan kerjamu itu."
"Kami sedang berusaha. Dengan perlahan-lahan dan lambat laun kami telah mengarahkan jalan hidup kami ke jalan yang wajar. Tetapi itu memerlukan waktu." Ia berhenti sejenak, lalu, "Baiklah, baiklah. Aku akan bekerja keras. Tetapi aku harap yang lain pun demikian pula."
"Semuanya. Tidak hanya kau, Serat Wulung, dan Jambe Abang saja yang akan dikerahkan. Tetapi juga para prajurit dan anak-anak muda di sepanjamg lereng Gunung Merapi, terutama bagian Selatan dan Timur."
"Kami akan melakukannya." Namun, kemudian, "Tetapi prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom, kami minta memperhatikan kehadiran Kiai Kelasa Sawit."
"Kami sudah memperhatikannya."
"Belum seluruhnya. Ada sesuatu yang kalian belum tahu tentang Kelasa Sawit."
"Apa?" "Kesibukan di padepokan itu meningkat. Anak buahku melihat, ada orang-orang baru di tempat itu. Bahkan melampaui kesiagan yang biasa dilakukan oleh kelompok yang mana pun juga."
"Jangan, memperbodoh kami."
"Cobalah melihat. Kalian tidak usah berbuat apa-apa. Datangilah seperti kalian datang kemari."
"Itu tidak perlu. Daerah Tambak Wedi terlampau tinggi bagi perjalanan Rudita."
"Bagaimana jika anak muda itu diketemukan oleh anak buah Kelasa Sawit di perjalanan."
Para prajurit itu termangu-mangu. Namun pemimpinnya tersenyum sambil berkata, "Kau berhasil meyakinkan aku untuk datang ke padepokan itu. Baiklah. Kami akan pergi kepada Kiai Kalasa Sawit."
Ki Raga Tunggal termangu-mangu. Namun kemudian ia pun tersenyum. "Bukan maksudku untuk mengatasi persaingan ini dengan berlindung di belakang punggung prajurit-prajurit Pajang. Tetapi sebenanyalah aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang lain di padepokan itu."
"Sudah barang tentu kau mempunyai pamrih dengan keteranganmu itu."
Kiai Raga Tunggal tertawa. Katanya, "Tentu. Aku tidak dapat ingkar, karena kau pun tentu mengetahui bahwa aku ingin mendapat sedikit pujian. Jika kalian menemukan anak itu di sana, atau persoalan-persoalan lain yang penting, maka kalian tidak akan melupakan kami. Dengan demikian, maka sikap kalian terhadap kami akan menjadi sedikit lunak."
"Jangan mengharap bahwa sikap kami akan menjadi lunak. Tetapi kau memang sangat licik. Pada suatu saat yang tepat, kalian tentu akan dimusnahkan dengan cara yang sesuai dengan cara yang kalian tempuh selama ini. Kekerasan."
"Dan selama itu, kami sudah menjadi orang-orang baik."
"Gila," desis pemimpin kelompok itu. Lalu katanya, "Kau berhasil membujuk kami kali ini. Kami akan pergi kepada Kiai Kalasa Sawit di Padepokan Tambak Wedi."
Prajurit-prajurit itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian kuda-kuda mereka pun berderap, mendaki lereng Gunung Merapi lebih tinggi lagi. Beberapa kali mereka melintasi tikungan menuju ke Padepokan Tambak Wedi. Padepokan yang pernah menjadi pusat perguruan yang menggetarkan Pajang. Tempat yang telah dipilih oleh Sidanti untuk menempa diri.
Dan kini, padepokan itu sudah dihuni lagi oleh beberapa orang yang belum dikenal dengan baik. Meskipun kepada Kiai Raga Tunggal, pemimpin kelompok perajurit itu mengatakan bahwa mereka sudah mengenal dengan baik, penghuni baru di padepokan yang menjadi kosong untuk beberapa lama itu, namun sebenarnya Kiai Kalasa Sawit masih merupakan sebuah teka-teki bagi prajurit Pajang di Jati Anom.
"Kita menempuh jalan yang berbahaya," berkata pemimpin kelompok itu, "tetapi kita datang dengan resmi atas perintah Ki Untara meskipun tidak terperinci harus mendatangi padepokan itu."
Prajurit-prajurit di dalam kelompok itu tidak menjawab. Mereka merasa berkewajiban untuk melakukannya. Meskipun demikian, terasa dada mereka pun menjadi berdebar-debar.
Beberapa lamanya mereka berkuda menempuh jalan yang semakin lama menjadi semakin buruk. Mereka sudah mulai melintasi hutan-hutan rindang, yang semakin lama menjadi semakin padat. Namun mereka masih tetap dapat menyelusuri jalan betapapun sempitnya.
Ketika mereka sampai di ujung lorong yang menerobos hutan rindang, maka nampaklah daerah yang terbentang di hadapan mereka. Daerah yang semula adalah tanah garapan orang-orang di Padepokan Tambak Wedi yang telah lama mati. Daerah yang sudah agak lama menjadi sepi. Namun di sebelah padepokan itu masih juga nampak beberapa padukuhan yang masih tetap terpelihara. Seolah-olah padukuhan yang dengan sengaja mengasingkan diri.
Dada para prajurit itu menjadi berdebar-debar. Seolah-olah mereka sedang menuju ke tempat yang asing. Ke tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Kuda-kuda mereka masih berlari terus. Jalan-jalan yang kotor nampaknya memang jarang sekali dilalui orang.
Sejenak kemudian, pemimpin kelompok prajurit yang berkuda di paling depan itu pun memperlambat derap kaki kudanya. Dengan tatapan mata yang tajam ia memandang lereng bukit yang semakin lama menjadi semakin terjal, sehingga akhirnya di kejauhan menjadi miring bagaikan dinding raksasa.
"Kau lihat batu-batu padas itu?" bertanya pemimpin kelompok prajurit.
"Yang berserakan di sebelah-menyebelah jalan?" salah seorang prajurit di belakang ganti bertanya.
"Ya. Di belakang batu-batu padas itu terletak Padepokan Tambak Wedi."
"Tidak ada tanda-tanda bahwa padepokan itu sudah berpenghuni.
"Memang sudah berpenghuni. Ki Untara sudah mendapat laporan tentang hal itu. Tetapi kita belum sempat mengetahui lebih jauh tentang padepokan itu."
"Sekarang kita akan melihat, apa yang ada di balik batu-batu karang itu."
Sekelompok prajurit itu pun merayap terus, semakin lama semakin dekat dengan gundukan batu-batu karang yang merupakan pintu gerbang memasuki Padepokan Tambak Wedi.
"Ada sesuatu yang sangat menarik pada Padepokan Tambak Wedi," berkata pemimpin kelompok itu.
"Apa?" bertanya salah seorang prajuritnya.
"Pusat dari padepokan itu dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi, sehingga jika pintu gerbang ditutup, maka orang tidak akan dapat memasukinya jika tidak meloncati dinding batu itu."
Prajurit-prajuritnya mengangguk-angguk.
"Di tengah-tengah daerah yang dikelilingi dinding batu itu terdapat sebuah sungai yang arusnya menyusup lewat di bawah dinding."
Yang lain masih mengangguk-angguk.
"Kita akan melihat, bagaimanakah rupa dari padepokan itu sekarang."
Demikianlah mereka pun kemudian menjadi semakin dekat dengan batu-batu yang berserakan itu, sehingga derap kuda mereka pun menjadi semakin diperlambat.
Dalam pada itu, tiba-tiba pemimpin prajurit itu berdesis, "Kau lihat seseorang?"
"Tidak." "O, tidak hanya satu dua orang. Di balik batu-batu padas itu ada beberapa orang yang berjaga-jaga dengan senjata telanjang. Mereka bersembunyi dan menunggu kita semakin dekat."
"Apakah kita berjalan terus?"
"Ya. Kita berjalan terus. Tegakkan tombak itu dan pasanglah panji-panji kesatuan. Kita datang atas nama Senopati Pajang di daerah Selatan, Ki Untara."
Prajurit yang berada tepat di belakang pimpinan kelompok itu pun kemudian memasang sebuah panji-panji kecil berwarna putih bergaris hitam di tepinya. Panji-panji kesatuan yang memberi pertanda bahwa mereka datang dalam kedudukan mereka sebagai prajurit.
Meskipun demikian, mereka masih juga menahan nafas ketika mereka mulai melintasi sela-sela batu-batu karang. Ternyata seperti yang dikatakan oleh pemimpin kelompok, para prajurit itu melihat beberapa orang berlari di atas batu-batu karang dengan anak panah di tangan.
"Jangan diganggu," berkata pemimpin mereka, "prajurit-prajurit itu datang dengan panji-panji kesatuan mereka. Kita masih belum merasa siap menghadapi Untara di daerah Selatan ini."
"Jadi?" "Aku akan menemuinya."
Pemimpin penjaga padepokan itu pun kemudian meloncat turun beberapa langkah di hadapan kuda-kuda yang berlari semakin lambat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
"Siapakah kalian?"bertanya pemimpin penjaga itu
"Kami adalah prajurit-prajurit Pajang yang bertugas di Jati Anom. Kami datang atas perintah senapati."
"Ya, kami mengenal panji-panji kecil itu. Tetapi apakah tugas yang harus kau lakukan?"
"Kami akan menemui pimpinan padepokan ini. Kiai Kalasa Sawit."
"Apakah keperluanmu?"
"Kami akan menemuinya. Itulah keperluanku."
"Kami dapat mencegah jika kau tidak mengatakannya."
"Jangan mencoba menghalangi tugas seorang prajurit. Jika kau tidak mau membawa aku kepada Kiai Kalasa Sawit, kalian di sini akan segera menemui kesulitan seperti Tambak Wedi pada masa jaya-jayanya dahulu. Tetapi sebagaimana kau ketahui, Tambak Wedi hancur menjadi debu."
Pemimpin penjaga itu menjadi tegang. Katanya, "Kalian jangan mencoba menakut-nakuti kami. Tambak Wedi pada masa lalu dikuasai oleh tikus-tikus parit yang mencoba mengatur barisannya di tempat yang tidak mereka ketahui keadaannya. Tetapi sekarang, Tambak Wedi adalah kandang serigala. Jika kau memaksa masuk, kau tidak akan dapat keluar lagi."
"Aku tidak peduli. Aku tidak akan berbicara tentang tikus dan serigala, karena kalian tahu serba sedikit tentang Ki Untara. Aku pun tidak peduli apakah aku akan dapat keluar lagi atau tidak. Jika padepokan ini disapu untuk kedua kalinya, maka kalian akan kehilangan rada untuk menyebutnya sebagai sarang serigala."
Pemimpin penjaga itu menjadi ragu-ragu. Ia sudah berada di berbagai tempat dalam lapangan kehidupan yang dipilihnya. Namun ternyata sikap prajurit Pajang yang berada di Jati Anom itu menggetarkan dadanya.
"Ternyata ia benar-benar seorang prajurit," berkata pemimpin penjaga itu di dalam hatinya. "Jarang sekali aku menjumpai orang-orang seperti ini."
Dalam kebimbangan itu, tiba-tiba saja terdengar dari atas sebuah batu padas yang lebih tinggi suara seseorang berteriak, "Berilah jalan. Biarlah mereka masuk."
Ketika orang-orang yang sedang termangu-mangu itu berpaling, mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat berdiri sambil bertolak pinggang.
"Kiai Kalasa Sawit," desis pemimpin prajurit itu.
"Kau sudah mengenalnya?" bertanya pemimpin penjaga.
"Kami sudah pernah berhubungan dengan Kiai Kalasa Sawit beberapa saat yang lalu."
Pemimpin penjaga itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia kurang mempercayainya. Tetapi ia tidak menjawab.
Pemimpin prajurit itu pun tidak menghiraukannya lagi. Ia pun kemudian menyentuh kudanya dan perlahan-lahan berjalan mendaki lereng Gunung Merapi itu semakin tinggi, melintasi penjagaan orang-orang yang kemudian tinggal di Padepokan Tambak Wedi.
Ketika mereka sampai di depan sebuah pintu gerbang yang sudah nampak agak rusak karena tidak terpelihara, seorang prajurit bertanya kepada pemimpinnya, "Apakah orang itu benar-benar Kiai Kalasa Sawit?"
"Ya." "Ki Lurah pernah mengenalnya?"
Pemimpinnya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, "Mengenal secara pribadi belum. Tetapi aku sudah mendengar namanya, ciri-cirinya dan sifat-sifatnya serba sedikit."
"Apakah ciri-cirinya?"
"Kau lihat orang yang berdiri di atas batu padas itu tadi?"
"Ya." "Bertubuh tinggi, besar, kekar, dan kuat. Itu adalah Kiai Kalasa Sawit. Selebihnya, ia memakai pakaian yang aneh pula. Kau lihat?"
"Ya. Selembar kulit harimau yang disangkutkan di bahunya."
"Ya. Itu adalah ciri-cirinya. Dan Ki Untara pernah mengatakannya kepadaku."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat bertanya lebih lanjut, karena mereka melihat gerbang yang sudah agak rusak itu bergerak dan menganga semakin lebar dengan melontarkan bunyi gerit ancer besi di sebelah-menyebelah.
"Masuklah," berkata seorang penjaga pintu gerbang itu, "gerbang ini terbuka siang dan malam. Tetapi karena hari ini kami mendapat kehormatan dari prajurit-prajurit Pajang, maka gerbang ini akan dibuka semakin lebar."
Pemimpin prajurit itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Kelompok itu memasuki pintu gerbang Padepokan Tambak Wedi dengan dada yang berdebar-debar.
Seorang anak buah Kiai Kalasa Sawit pun kemudian menunjukkan arah, ke mana prajurit-prajurit Pajang itu harus pergi.
Sejenak kemudian, sekelompok prajurit itu memasuki sebuah halaman yang luas di muka sebuah rumah yang cukup besar pula meskipun tidak terpelihara sama sekali. Di pendapa berdiri seseorang yang sudah dikenal oleh pemimpin prajurit itu. Kiai Kalasa Sawit.
"Silahkan, Tuan," berkata Kiai Kalasa Sawit dengan suaranya yang berat mantap.
Tetapi pemimpin prajurit itu menggeleng, "Aku tidak akan lama. Aku hanya ingin bertemu sejenak."
"Meskipun demikian, silahkan naik ke pendapa."
"Terima kasih. Aku di sini saja."
"Kami tahu, prajurit-prajurit dari Pajang telah dibekali dengan prasangka dan kecurigaan terhadapku. Sebaiknya kita berbicara dengan tenang dan baik. Dengan demikian kesalah-pahaman di antara kita akan hilang."
"Waktuku hanya sedikit. Yang dapat menghilangkan salah paham kemudian bukannya sebuah pembicaraan resmi. Tetapi lebih dari itu adalah tingkah lakumu berserta anak buahmu. Jika selama kau berada di sini, kau bersikap baik, maka tidak akan ada salah paham."
Kiai Kalasa Sawit mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, "Tuan benar. Baiklah. Jika Tuan tidak mau naik ke pendapa."
Orang bertubuh tinggi, tegap, dan kuat itu pun kemudian turun ke halaman. Demikian ia melangkahkan kakinya di tangga terakhir, pemimpin prajurit Pajang itu pun meloncat turun dari kudanya pula.
Seperti yang dilihat oleh para prajurit Pajang, sebenarnyalah orang yang bernama Kiai Kalasa Sawit itu menyangkutkan selembar kulit harimau di bahunya.
"Apakah keperluan tuan-tuan datang ke padepokan ini."
"Aku mencari sesuatu."
Wajah Kiai Kalasa Sawit menjadi merah. Namun kemudian ia pun mencoba tersenyum sambil bertanya, "Apakah yang Tuan cari di sini?"
Pemimpin prajurit itu termenung sejenak, seolah-olah ingin melihat tanggapan yang membayang di wajah Kiai Kalasa Sawit. Tetapi Kiai Kalasa Sawit sudah berhasil menguasai perasaannya.
"Apakah prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom kehilangan sesuatu?"
Pimpinan kelompok prajurit Pajang di Jati Anom itu tidak segera menjawab. Namun sekali lagi ia memandang berkeliling, mengamat-amati halaman yang kotor dan tidak terpelihara itu.
"Apa yang hendak kalian cari di sini?" desak Kiai Kalasa Sawit.
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk sejenak, lalu, "Kami mencari seseorang."
"Seseorang" Siapa" Seorang senapati atau seorang buruan yang kalian sangka bersembunyi di sini?"
"Kami mencari seorang anak muda yang hilang dari rumahnya."
"O," Kiai Kalasa Sawit menarik nafas dalam-dalam, lalu, "jika itu yang kau cari, aku tidak menahan nafas dengan tegang, siapakah anak muda itu" Kau tentu menyangka bahwa kami sudah menculiknya."
"Tidak. Kami tidak menyangka demikian."
"Jadi, kenapa kalian datang kemari?"
"Kami ingin bertanya, apakah kalian menemukan seorang anak muda yang bernama Rudita di dalam petualangan kalian?"
"Rudita?" Kiai Kalasa Sawit mengerutkan keningnya, lalu, "Kami belum pernah mendengar nama itu."
"Anak itu pergi dari rumahnya. Ia seorang anak muda yang dungu. Tetapi ia satu-satunya anak sahabat Ki Untara. Karena itu, kami sedang membantu mencarinya. Apakah kau pernah melihat, mendengar, atau berjumpa dengan anak muda yang demikian?"


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Kalasa Sawit menggeleng, "Tidak. Kami tidak pernah bertemu."
"Jika demikian, maka aku akan menyampaikan perintah Ki Untara kepada semua kelompok yang ada di daerah kekuasaannya. Kalian harus membantu mencari anak itu."
"Di mana kami akan mencari?"
"Aku tahu, bahwa anak buahmu sering mengembara di daerah Selatan ini. Karena itu, kau harus memerintahkan anak buahmu untuk mencari Rudita. Dalam sepuluh hari anak itu harus diketemukan."
"Kau aneh sekali. Bagaimana jika anak itu tidak berada di daerah ini. Mungkin ia pergi ke Pantai Selatan atau justru kekaki Gunung Merbabu."
"Dalam sepuluh hari anak itu harus ketemu. Itu adalah perintah Ki Untara."
Kiai Kalasa Sawit tertawa. Katanya, "Prajurit Pajang memang sering melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Dalam sepuluh hari anak yang tidak diketahui tempatnya itu harus ketemu. Baiklah, kami akan mencoba membantu mencarinya."
Jawaban itu agaknya tidak menyenangkan bagi anak buah Kiai Kalasa Sawit. Tetapi mereka tidak berani memotong kata-kata pimpinannya, sehingga karena itu, mereka hanya menghentak-hentakkan tangannya pada hulu senjatanya.
Tetapi sikap itu dapat ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang yang berada di halaman itu. Namun demikian, mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
"Kami akan menunggu," berkata pimpinan prajurit itu, "Bukan saja kelompok yang ada di padepokan ini yang harus mencari anak muda itu, tetapi semua kelompok yang ada di lereng Gunung Merapi. Besar dan kecil."
"Sebenarnya kami termasuk orang baru di sini," berkata Kiai Kalasa Sawit, "tetapi kami tidak mau disebut menolak kerja sama dengan prajurit-prajurit Pajang."
"Tidak. Ini bukan kerja sama. Kami menyampaikan perintah Senapati Untara."
Kiai Kalasa Sawit mengerutkan dahinya. Namun ia pun berkata, "Baiklah, apa pun istilahnya." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi dari manakah prajurit-prajurit Pajang mengetahui bahwa aku sekarang berada di sini" Dan apakah prajurit-prajurit Pajang sudah mengenal aku?"
"Prajurit-prajurit Pajang mengenal semua orang yang pantas mendapat pengawasan. Jika tidak mengenal secara pribadi maka kami sudah mengetahui ciri-ciri dari setiap orang. Ciri-ciri yang nampak pada ujudnya dan ciri-ciri perbuatannya."
Kiai Kalasa Sawit menarik nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya sedang berbicara dengan prajurit yang sesungguhnya.
"Nah, kau harus menyampaikan laporan dalam sepuluh hari ini. Jika anak muda itu belum dapat diketemukan, maka Senapati Untara akan mengambil sikap."
"Baiklah. Kami mengerti."
"Lakukan tugas ini sebaik-baiknya. Kami akan segera kembali ke Jati Anom."
"Terima kasih atas kepercayaan ini," berkata Kiai Kalasa Sawit sambil tertawa.
Pemimpin prajurit itu tidak menjawab lagi. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya.
Namun ia tertegun ketika ia mendengar Kiai Kalasa Sawit berkata, "Sebenarnya kami ingin mempersilahkan Tuan naik sejenak ke pendapa. Kami mempunyai hidangan yang barangkali pantas untuk tuan-tuan."
Prajurit-prajurit itu tidak menghiraukannya. Mereka pun segera menarik kendali kudanya yang segera mulai bergerak.
Tetapi dalam pada itu, pimpinan prajurit itu sempat melihat lukisan di dada Kiai Kalasa Sawit yang bidang itu. Lukisan seekor kelelawar yang dipahatkan dengan duri dan diwarnai dengan lemak dan langes, sehingga lukisan yang berwarna hitam itu tidak hilang ketika luka-lukanya sembuh.
Namun lukisan itu pun tidak menarik perhatian. Banyak, orang yang membuat gambar beraneka warna pada tubuhnya.
(***) BUKU 88 KIAI KALASA Sawit memperhatikan kuda-kuda yang berderap meninggalkan halaman rumah yang kotor itu. Demikian kuda-kuda itu lenyap di balik regol, maka ia pun segera memanggil orang-orang yang paling dekat dengan dirinya sambil menghentakkan kakinya, "Gila. Siapakah yang membawa prajurit-prajurit itu kemari?"
Seorang yang bertubuh kurus sambil menyandang sebuah canggah bertangkai pendek di bahunya menyahut, "Bukankah kau sendiri yang mempersilahkan mereka memasuki padepokan ini?"
"Ya, setelah mereka berada di mulut padepokan ini."
"Dan kenapa kau biarkan prajurit-prajurit itu pergi" Jika kita menangkapnya, dan mengubur mereka hidup-hidup di sini, maka tidak akan ada persoalan apa pun juga."
"Kau memang bodoh!" geram Kiai Kalasa Sawit. "Jika pada saat yang ditentukan, prajurit-prajurit itu tidak kembali ke Jati Anom, maka Untara akan mengerahkan prajuritnya mendaki Gunung Merapi dan menghancurkan padepokan ini."
"Kita tidak peduli. Bukankah kita akan segera meninggalkan padepokan ini?"
"Tetapi bukan hari ini. Kita masih harus menunggu penghubung yang akan datang itu."
"Tetapi sekarang kita mendapat pekerjaan gila itu. Jika kita tidak mengerjakannya, akibatnya juga tidak menyenangkan bagi kita," orang bertubuh kurus dan membawa sebuah canggah itu berhenti sejenak. Lalu, "Apakah kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom perlu dicemaskan" Saat ini, sepasukan sedang berada di padepokan ini dalam perjalanannya ke Timur. Bukankah dengan demikian, kita memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan pasukan Pajang itu?"
"Kita belum akan bertempur melawan prajurit-prajurit Pajang pada saat ini, sesuai dengan pertimbangan yang menentukan. Karena itu, biarlah orang-orang kita yang akan keluar hari ini ikut mencari anak bernama Rudita itu. He, bukankah namanya Rudita?"
"Daerah ini benar-benar daerah kering. Di sini tinggal beberapa kelompok penjahat kecil yang tidak tahu aturan sama sekali."
"Kita tidak akan tergantung pada daerah ini. Bukankah yang kalian lakukan hanyalah untuk sementara, agar kita tidak kelaparan" Tentu kalian tidak akan berbuat seperti penjahat-penjahat kecil itu. Kalian tidak akan merampas beberapa keping uang yang ada pada seseorang dan merupakan seluruh miliknya. Kalian tidak akan mencari seekor ayam, betapapun besarnya. Tetapi kalian akan mengambil dua atau tiga ekor lembu."
"Baiklah. Aku akan berpesan kepada mereka yang akan keluar dalam sepuluh hari ini. He, apakah kita masih akan tetap tinggal di sini dalam sepuluh hari?"
Kiai Kalasa Sawit menggeleng. Katanya, "Tentu tidak sampai sepuluh hari. Tetapi, baiklah kita pergunakan hari-hari yang ada untuk membantu prajurit-prajurit Pajang. Jika kita berhasil menemukan anak itu, kita akan mendapat kepercayaan, betapapun kecilnya."
"Tetapi prajurit-prajurit Pajang itu menganggap kita sebagai budaknya. Ia mengucapkan perintah seperti kepada bawahannya saja."
"Itu tidak akan lama lagi berlangsung. Pada suatu saat yang pendek, yang terjadi akan sebaliknya."
Orang bertubuh kurus itu mengangguk-angguk, ia pun kemudian meninggalkan Kiai Kalasa Sawit yang masih berdiri termangu-mangu.
Sebenarnyalah bahwa hati Kiai Kalasa Sawit sendiri pun bagaikan disentuh bara api melihat sikap prajurit-prajurit Pajang. Tetapi ia masih mampu mengendalikan dirinya, sehingga sikapnya tidak merugikannya. Karena dengan demikian, prajurit-prajurit Pajang itu tidak mengambil sikap atau perhatian yang khusus terhadap orang-orangnya, yang untuk sementara singgah di padepokan yang sepi itu.
Sekelompok prajurit Pajang yang datang ke Tambak Wedi itu, sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berjaga-jaga, disebelah-menyebelah jalan, dengan senjata telanjang. Namun demikian, mereka pun tidak lewat begitu saja. Dalam ketidak acuhan itu, mereka masih juga menangkap kesan dengan pandangan seorang prajurit.
Demikianlah, mereka melampaui penjaga terakhir dicelah-celah batu-batu padas, maka pemimpin prajurit itu pun bergumam, "Kelompok ini mempunyai kelainan dengan kelompok-kelompok penjahat yang lain."
"Ki Lurah," salah seorang prajurit berkata, "mereka bukan kelompok kecil yang sekedar menggantungkan diri kepada pencuri ayam atau kambing."
"Ya. Yang tinggal di Tambak Wedi sekarang adalah sepasukan penjahat yang kuat. Tetapi agaknya mereka belum melakukan kegiatan apa pun di daerah ini."
"Meskipun demikian, kita harus berhati-hati. Ada untungnya juga kita menuruti permintaan Kiai Raga Tunggal untuk datang ke Padepokan Tambak Wedi itu. Dengan demikian kita mendapat gambaran tentang kesiagaan mereka."
Pemimpin prajurit itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Tambak Wedi pernah juga menjadi sebuah padepokan yang kuat, yang bahkan kemudian menjadi pusat pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi Apakah Kiai Kalasa Sawit akan mencoba mengulanginya?" ia berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi, ia harus belajar dari peristiwa yang pernah terjadi. Pemberontakan yang demikian tidak akan membawa hasil apa pun juga selain kehancuran, kematian, dan pelanggaran atas nilai-nilai kemanusiaan. Pemberontak-pemberontak kecil harus menyakiti dirinya. Dan mereka yang akan mencobanya harus dapat membayangkan, bahwa Pajang adalah suatu negara besar, yang terdiri dari pusat pemerintahan di Pajang, dan kekuatan yang terbesar di bawah pimpinan para Adipati. Dengan demikian, orang-orang yang sekedar didorong oleh kebanggaan pribadi seperti Ki Tambak Wedi, tidak akan dapat menghasilkan apa-apa."
Prajurit-prajurit yang lain pun mengangguk-angguk pula. Yang pernah terjadi memang mengajarkan, bahwa sikap seperti yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi, apa pun alasannya, tidak akan menghasilkan apa-apa.
Kelompok prajurit itu pun kemudian dengan cepat menuruni lereng Gunung Merapi. Mereka menyusuri jalan yang mereka lalui buat mereka naik.
Ketika mereka melampaui pedukuhan sarang sekelompok orang yang mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit Pajang, dan yang dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal, maka iring-iringan kecil itu pun berhenti, karena mereka melihat Kiai Raga Tunggal berdiri di pinggir jalan, seolah-olah dengan sengaja sedang menunggu mereka.
"Apakah kalian sudah bertemu dengan Kiai Kalasa Sawit?" bertanya Kiai Raga Tunggal sambil tersenyum.
"Ya. Kami telah diterima di pendapa padepokan Tambak Wedi, yang sudah semakin rusak."
Kiai Raga Tunggal mengerutkan dahinya. Lalu, "Apa kata kalian tentang Kiai Kalasa Sawit?"
"Kenapa?" bertanya pemimpin prajurit itu. "Tidak ada apa-apa dengan Kiai Kalasa Sawit. Menilik orang-orang yang ada di padepokan itu, maka Kiai Kalasa Sawit tidak lebih dari kau di sini. Kenapa?"
Kiai Raga Tunggal termangu-mangu sejenak. Lalu, "Apakah kalian sudah melihat seluruh kekuatannya?"
"Aku tidak tahu, apakah mereka sudah memperlihatkannya kepada kami. Tetapi yang ada hanyalah beberapa tikus kecil. Tidak lebih."
Kiai Raga Tunggal akhirnya tertawa. Katanya, "Jika demikian, kalian telah dikelabuhinya."
"Tentang apa?" "Tentang kekuatannya. Di padepokan itu terdapat pasukan segelar sepapan."
"Persetan." "Jika kalian tidak percaya, pada suatu saat kalian akan terjebak."
Pemimpin prajurit itu tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan.
Namun di sepanjang jalan di dalam padukuhan itu, ia pun melihat kesiagaan yang meningkat. Beberapa orang anak buah Kiai Raga Tunggal nampak berjaga-jaga. Tetapi kesiagaan itu tidak nampak terlampau menyolok dibanding dengan padepokan Tambak Wedi.
Ketika iring-iringan prajurit Pajang dari Jati Anom itu sudah berada di luar padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, "Kiai Raga Tunggal bukan lawan Kiai Kalasa Sawit, jika mereka terlibat dalam persaingan yang kasar."
"Kita tidak dapat mengatakan demikian secara pribadi. Mungkin Kiai Raga Tunggal memiliki kelebihan dari Kiai Kalasa Sawit. Tetapi secara keseluruhan, Kiai Raga Tunggal tidak akan banyak berarti."
Pemimpin prajurit itu pun mengangguk-angguk. Namun ia tidak banyak memberikan tanggapan atas kedua daerah itu. Katanya kemudian, "Jika kawan-kawan kita yang pergi ke padukuhan-padukuhan lain dan sarang-sarang penjahat yang ada di sekitar daerah ini telah berkumpul, kita akan dapat memperbandingkannya."
Demikianlah, maka sekelompok kecil prajurit-prajurit itu pun langsung kembali ke Jati Anom. Di hari berikutnya, mereka akan mulai dengan pencarian langsung di sekitar Jati Anom dan terutama di lereng Selatan Gunung Merapi.
Ketika kelompok-kelompok prajurit itu sudah berada kembali di Jati Anom, maka satu demi satu mereka menyampaikan laporan kepada Untara, tentang perjalanan masing-masing. Mereka telah memerintahkan setiap kelompok orang-orang yang mendapat pengawasan dari prajurit-prajurit Pajang, untuk ikut mencari seorang anak muda yang bernama Rudita. Namun sampai saat itu, tidak ada sekelompok pun yang sudah pernah bertemu atau mendengar tentang seorang anak muda yang bernama Rudita itu.
Agaknya di antara mereka, laporan yang paling menarik adalah tentang Kiai Kalasa Sawit di padepokan Tambak Wedi. Bahkan Untara minta laporan terperinci tentang orang-orang yang ada di padepokan itu.
"Mereka tidak akan lama berada di padepokan itu," berkata Untara.
"Darimana Ki Untara mengetahuinya?" bertanya pemimpin prajurit yang telah datang langsung ke padepokan itu.
"Kau tidak menceriterakan usaha mereka memperbaiki padepokan yang rusak itu. Pintu gerbang, pendapa dan apalagi beberapa rumah yang lain."
"Ya. Memang tidak ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan membersihkan pun tidak."
"Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka hanya singgah saja untuk beberapa saat. Mungkin sekelompok kecil akan tetap berada di tempat itu. Tetapi menurut perhitunganku, sesuai dengan laporanmu, mereka tidak akan tinggal lama. Tetapi yang sebentar itu agaknya mempunyai arti yang penting, ternyata mereka menempatkan penjagaan yang sangat kuat."
"Ya. Agaknya memang demikian."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Kita akan mengadakan pengamatan khusus di daerah itu. Kita tidak boleh lengah, sehingga akan dapat merugikan kita sendiri, Jika ada pertimbangan lain, mereka tiba-tiba menyergap kita di situ, kita harus bersiaga menanggulanginya."
"Tetapi apa alasan mereka?"
Untara menggelengkan kepalanya. Sejenak ia termenung. Namun kemudian ia berkata, "Aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi kemungkinan serupa itu dapat saja terjadi. Kita pun tidak dapat mengetahui, alasan apakah yang membuat mereka bersiaga dengan kekuatan yang besar di padepokan terpencil itu."
Pemimpin prajurit yang datang ke Padepokan Tambak Wedi itu pun mengangguk. Katanya, "Memang kita tidak mengetahuinya."
"Baiklah," berkata Untara, "dalam usaha kita membantu Kiai Gringsing mencari anak muda yang bernama Rudita itu, kita pun ternyata mendapat gambaran tentang keadaan kita sekarang. Jika kita tidak sedang mencari Rudita, mungkin kita tidak akan tersesat sampai ke Tambak Wedi," ia berhenti sejenak. Lalu, "Sekarang kalian dapat beristirahat. Besok kalian akan mulai dengan pencarian yang sesungguhnya. Kalian akan mengelilingi lereng Gunung Merapi sebelah Selatan dan Timur. Namun selain itu, aku akan menempatkan pengawasan yang tertib, di jalur jalan khusus menuju ke daerah yang gawat itu."
"Pengawas kita yang pertama adalah Kiai Raga Tunggal," berkata pemimpin prajurit itu.
Untara mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia pun berkata, "Apakah kesiagaan Kiai Kalasa Sawit itu ada hubungannya dengan persaingan di antara mereka" Mungkin Kalasa Sawit yang merasa orang baru dibayangi oleh kecurigaan, bahwa ia akan diserang, bahkan dimusnahkan oleh kelompok-kelompok yang telah ada lebih dahulu di daerah Gunung Merapi ini."
"Mungkin demikian. Tetapi memang ada kemungkinan yang lain."
"Karena itu, kita memang harus berhati-hati. Aturlah orang-orangmu sebaik-baiknya, baik dalam usaha pencarian itu, maupun dalam kesiagaan."
Demikianlah, maka para kelompok prajurit itu pun segera beristirahat, meskipun di antara mereka masih saja terdengar pembicaraan mengenai daerah-daerah yang baru saja mereka jalani.
Di pagi harinya, kelompok-kelompok itu pun sudah siap untuk mulai dengan pencarian di lereng Gunung Merapi. Para pemimpinnya pun segera menghadap Ki Untara untuk mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk.
"Kita tidak tahu, dimanakah Kiai Gringsing dan kawan-kawannya bermalam. Kita pun tidak tahu, apakah mereka sudah menemukan jejak anak muda yang mereka cari. Tetapi, selama kita belum menerima laporan, maka kita menganggap bahwa kita masih harus melakukan tugas perikemanusiaan ini."
"Agaknya mereka bertiga belum berada di tempat yang jauh," berkata salah seorang pemimpin kelompok, "Agaknya mereka mencoba mencari dengan teliti. Setiap orang yang mereka jumpai, mereka tanya tentang anak muda itu."
Ki Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Orang-orang tua memang bekerja dengan teliti, meskipun kadang lamban."
Namun demikian, Untara sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Dalam beberapa hal, justru Kiai Gringsing dapat bertindak lebih cepat dari para senapati muda.
Setelah mendapat pesan secukupnya, maka Ki Untara pun segera melepaskan beberapa kelompok untuk membantu Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, mencari anak muda yang bernama Rudita itu.
Meskipun demikian, ada sedikit pertanyaan yang menyangkut di hati senapati muda itu. Jika yang dicari adalah Rudita yang sudah dewasa, apalagi yang dengan sengaja pergi meninggalkan rumahnya, apakah dapat dilakukan hanya oleh tiga orang yang pergi bersama-sama. Seandainya prajurit-prajurit Pajang tidak menawarkan diri ikut serta mencarinya, apakah anak muda yang bernama Rudita itu akan dapat diketemukan dalam waktu sebulan bahkan tiga atau empat bulan"
Tetapi Untara tidak menanyakan kepada Kiai Gringsing atau Ki Sumangkar dan apalagi Ki Waskita. Di samping pertanyaan yang terselip di hatinya itu, ia menduga bahwa ketiga orang-orang tua itu tentu mempunyai caranya sendiri, yang tidak diketahui oleh orang lain.
Namun sebenarnyalah, bahwa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita, bukan saja sekedar mencari Rudita, tetapi sekaligus mereka mencari kemungkinan untuk dapat mendengar, terlebih-lebih menemukan jejak kedua pusaka yang telah hilang. Jika yang sebuah telah dapat diketahui arahnya, maka mereka ingin menemukan jejak pusaka yang sebuah lagi, yaitu berujud tombak.
Ketika para prajurit Pajang berangkat dari Jati Anom di pagi-pagi hari, maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita telah bersiap-siap pula untuk melanjutkan perjalanan. Mereka telah bermalam di ujung sebuah hutan yang rindang. Agaknya ketiganya tidak mengalami kesulitan dan gangguan apa pun, selagi mereka bermalam di tempat terbuka. Sebagai orang-orang tua adbmcadangan.wordpress.com yang memiliki pengalaman masing-masing, yang serba beraneka ragam, maka tidur di tempat terbuka, di ujung hutan, sama sekali tidak merupakan persoalan bagi mereka. Juga seandainya ada seekor, bahkan tiga ekor harimau sekaligus datang mendekati atau menyerang mereka bertiga, maka hal itu tidak banyak membuat kesulitan apa pun.
"Apakah Ki Waskita dapat membuat hubungan atau melihat isyarat tentang anak itu?" bertanya Kiai Gringsing.
Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Katanya, "Sudah bergeser dari yang aku lihat kemarin sore. Agaknya malam ini Rudita melanjutkan perjalanannya. Tidak terlampau jauh. Tetapi kita agaknya sudah berada di arah yang mendekati. Mungkin ia bergeser lagi, tetapi tidak akan begitu jauh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika demikian, maka kita akan segera mengikutinya. Mungkin kita akan segera dapat menemukannya. Besok atau lusa."
"Mudah-mudahan," berkata Ki Waskita, "semakin cepat kita selesai, semakin baik. Ki Demang di Sangkal Putung tidak selalu dibayangi oleh kegelisahan menjelang hari perkawinan anaknya. Agung Sedayu pun tidak akan terlalu lama merasa kesepian."
"Apalagi jika kakaknya datang ke Sangkal Putung," berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi sikap Untara dapat dimengerti," berkata Ki Sumangkar, "Agung Sedayu adalah adiknya. Dan ia ingin melihat adiknya menjadi seorang yang terpandang. Di Sangkal Putung, Agung Sedayu seolah-olah hanya orang menumpang hidup."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku pun dapat mengerti. Aku juga merasa prihatin akan hal itu. Aku tidak akan dapat membawa Agung Sedayu dalam keadaannya seperti sekarang," Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi aku pun belum melihat jalan keluar bagi Angger Untara, kedudukan yang baik bagi adiknya adalah kedudukan yang mapan dalam pemerintahan. Angger Untara tidak dapat membayangkan, bahwa pada kedudukan yang lain pun, Agung Sedayu akan dapat menemukan tempat yang sesuai dengan dirinya, wataknya dan sifat-sifatnya. Tidak usah menjadi seorang dukun seperti aku."
"Mungkin sebuah padepokan kecil, yang dikelilingi oleh sawah yang hijau," sahut Ki Sumangkar, "Apakah kau membayangkan bahwa Agung Sedayu harus membuka hutan seperti angger Sutawijaya" Tetapi dalam bentuk yang lebih kecil?"
"Kenapa tidak dapat terjadi" Agung Sedayu dapat menjadi cikal bakal sebuah padepokan. Ia akan dapat memohon kepada Kangjeng Sultan, lewat angger Untara, sudut kecil dari Alas Tambak Baya. Atau Hutan yang manapun juga."
"Apakah hal itu akan sesuai dengan Agung Sedayu?"
"Ia seorang yang pada masa kanak-kanaknya hidup dalam lingkungan keluarga yang mengerjakan tanah garapan."
"Ki Sadewa?" Ki Sumangkar menjadi heran.
"Ya. Di Jati Anom Ki Sadewa adalah seorang yang tekun mengerjakan sawahnya."
"Apakah ada kejanggalan, Ki Sumangkar?" bertanya Ki Waskita.
"Tidak," Ki Sumangkar menggelengkan kepalanya. "Tetapi Ki Sadewa mempunyai banyak persoalan di dalam dirinya."
Ki Waskita tidak bertanya lebih jauh. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing pun telah digelisahkan oleh muridnya yang satu itu, dalam hubungan masa depannya. Apalagi jika sekali-sekali Kiai Gringsing menyebut-nyebut tentang Sekar Mirah, yang mempunyai harapan yang terlampau banyak. Dan Sumangkar, guru Sekar Mirah itu pun mengetahuinya dengan pasti. Ia sudah berusaha untuk mengendapkannya. Tetapi usaha itu tidak terlalu banyak membawa hasil.
Demikianlah, sambil berbicara tentang murid-murid mereka, maka ketiga orang itu pun telah bersiap untuk meneruskan perjalanan. Mereka mulai dengan tuntunan isyarat yang ada pada Ki Waskita.
Ternyata yang mereka lewati bukanlah jalan yang licin dan rata, tetapi mereka menempuh jalan-jalan sempit dan kecil, yang agaknya jarang dilalui orang. Meskipun demikian, jika pada suatu saat mereka sampai di padukuhan-padukuhan kecil, mereka pun selalu bertanya, apakah di padukuhan itu pernah lewat seorang anak muda, bernama Rudita.
Hampir setiap orang yang ditanyainya menggelengkan kepalanya. Ada yang justru menjadi curiga, dan sama sekali tidak mau memberikan keterangan apa pun juga.
"Memang sulit," berkata Ki Waskita, "mungkin mereka menganggap kita adalah sebagian dari orang-orang yang sering datang mengganggu mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, "Jumlah prajurit Pajang yang terbatas, sulit untuk menguasai seluruh daerah yang luas, dan apalagi daerah-daerah terpencil seperti ini. Tetapi nampaknya daerah ini pun telah mendapat perhatian Untara. Kita melihat beberapa orang anak muda yang berkumpul di gardu-gardu. Apakah anak-anak muda itu sudah pernah mendapat setidak-tidaknya petunjuk dari prajurit-prajurit Pajang?"
"Mungkin, Kiai, memang mungkin sekali. Sikap mereka pun agaknya sudah lain dari daerah yang nampaknya sama sekali belum pernah mendapat sentuhan dari prajurit-prajurit Pajang itu."
Tetapi ketiga orang tua itu sama sekali tidak berbuat apa pun juga, yang dapat menumbuhkan kecurigaan yang tajam. Orang-orang tua itu hanya lewat, dan sekali-sekali bertanya tentang seorang anak muda yang disebutnya telah hilang.
Namun dalam pada itu, di padukuhan yang lain, beberapa ekor kuda telah berderap dengan garangnya. Beberapa orang prajurit kadang-kadang berloncatan turun dan bertanya kepada orang-orang di padukuhan itu, apakah mereka menjumpai seorang anak muda yang bernama Rudita.
Pada umumnya kedatangan prajurit Pajang mendatangkan ketenangan di hati penduduknya. Karena itu, maka dengan senang hati mereka pun memberikan semua keterangan yang diminta.
Tetapi mereka pun menggelengkan kepalanya, ketika prajurit-prajurit itu bertanya tentang seorang anak muda, yang bernama Rudita.
"Baru saja tiga orang tua telah lewat di padukuhan ini, dan bertanya pula tentang anak muda yang bernama Rudita," berkata salah seorang dari penghuni padukuhan itu.
"O," pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, "salah seorang dari ketiganya adalah ayah dari anak yang hilang itu."
Penghuni padukuhan itu mengangguk-anggukkan kepala. Ada di antara mereka yang menyesal, bahwa mereka tidak berusaha memberikan keterangan sebanyak-banyaknya yang dapat diberikannya. Bahkan rasa-rasanya ada keseganan untuk mengatakan sesuatu.
"Ke arah manakah ketiga orang itu pergi?" bertanya pemimpin prajurit itu.
"Kesana. Mereka pergi ke Selatan."
"Terima kasih," sahut pemimpin prajurit itu, yang kemudian segera minta diri kepada orang-orang yang telah menerima mereka dengan baik.
Demikian mereka meninggalkan padukuhan itu, maka pemimpin prajurit itu pun berkata, "Kita susul mereka."
"Apakah ada sesuatu yang akan kita bicarakan?"
"Tidak. Tetapi rasa-rasanya aku ingin melihat mereka, dan sekedar mempertunjukkan diri, bahwa kita pun sudah membantu mereka mencari anak yang hilang itu. Dengan demikian, maka mereka akan menjadi agak lebih tenang dan mantap."
Prajurit-prajurit yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Memang tidak ada keberatan apa punb agi mereka untuk menyusul perjalanan Kiai Gringsing dan kedua kawannya, karena mereka pun sedang menempuh perjalanan tanpa tujuan.
Setelah mereka melalui beberapa padukuhan yang bertanya kepada beberapa orang yang mereka temui, bukan saja tentang anak muda yang bernama Rudita, tetapi juga arah perjalanan Kiai Gringsing dan kawannya, maka akhirnya mereka pun berhasil menyusul ketiga orang tua itu.
"O," Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, ketika ia berpaling oleh suara derap kaki kuda. "ada sekelompok prajurit yang menyusul kita."
"Apakah mereka sudah menemukan Rudita?" desis Ki Waskita yang gelisah.
"Mungkin mereka pun sedang dalam perjalanan pencarian," sahut Sumangkar.
Ketiganya pun terdiam. Mereka menunggu sekelompok prajurit itu lewat.
Ketika prajurit-prajurit itu sampai ke hadapan ketiga orang-orang tua itu, maka pemimpinnya pun segera memberikan isyarat, sehingga sekelompok prajurit itu pun segera berhenti dan meloncat turun.
"Selamat siang, Kiai," sapa pemimpin prajurit itu. Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun tersenyum. Sambil membungkukkan kepalanya, Kiai Gringsing menyahut, "Selamat siang, Ki Sanak. Eh, apakah prajurit-prajurit Pajang yang dengan senang hati telah menolong kami, sudah dapat menemukan Rudita?"
"Maaf, Kiai. Kami belum menemukannya. Perjalanan kami sekarang ini pun adalah dalam rangka pencarian itu."
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata tepat sekali.
Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, "Kita akan berusaha bersama. Tetapi agaknya kalian dapat menempuh perjalanan yang lebih panjang, karena kalian berkuda. Tetapi kami dapat menempuh jalan yang lebih rumit. Lorong-lorong kecil dan bahkan goa-goa di lereng-lereng yang terjal."
"Ya, mudah-mudahan dengan demikian kita dapat menemukannya. Ada beberapa kelompok yang hari ini menyebar di daerah Selatan dan Timur Gunung Merapi. Kemarin aku mendapat tugas untuk menjumpai dua kelompok yang berpengaruh di daerah Sebelah Timur Gunung Merapi."
Ketiga orang tua itu mengangguk-angguk.
"Kelompok yang satu sudah banyak kami kenal, dan bahkan sudah kami pahami dengan baik. Tetapi kelompok yang lain merupakan kelompok yang baru kita kenal. Mereka berada di padepokan Tambak Wedi."
"O," Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk semakin dalam.
"Siapakah yang berada di padepokan itu?" bertanya Kiai Gringsing.
Pemimpin prajurit itu pun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Kalasa Sawit, di padepokan Tambak Wedi.
Kiai Gringsing dan kedua kawannya hanya mengangguk-angguk saja mendengar ceritera itu. Meskipun kesiagaan yang berlebih-lebihan itu juga menarik perhatiannya, tetapi sebagian besar dari persoalan yang dapat tumbuh, tentu akan dapat diatasi dengan baik oleh Untara dengan pasukannya yang kuat di Jati Anom.
Tetapi justru bagian yang tidak penting, yang dikatakan oleh pemimpin prajurit itu sambil lalu saja, sangat menarik perhatian ketiga orang-orang tua itu.
"Kiai Kalasa Sawit nampaknya memang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Ujud lahiriahnya saja sudah memberikan kesan, bahwa ia adalah orang yang sangat kuat. Dengan lukisan seekor kelelawar di dadanya, ia nampaknya menjadi lebih garang lagi."
"Kelelawar?" hampir bersamaan ketiga orang tua itu mengulang.
"Ya, kelelawar. Mengapa?"
Wajah-wajah itu menjadi tegang sejenak. Namun ketiganya pun segera dapat menghapus kesan itu dari wajah mereka. Tanpa menimbulkan kecurigaan, Ki Sumangkar bertanya, "Kelelawar atau binatang yang lain" Ada beberapa ekor binatang yang hampir bersamaan. Kelelawar, Codot, Kalong."
Pemimpin prajurit itu tertawa. Katanya, "Aku tidak dapat membedakan ketiga-tiganya di dalam lukisan. Bukankah bedanya hanyalah besar dan kecil saja. Mungkin warnanya yang satu agak coklat, sedang yang lain kehitam-hitaman.
Betapapun hambarnya, namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun tertawa juga. Ki Sumangkar pun berkata disela-sela tertawanya, "Kalian benar. Memang hampir tidak ada bedanya. Apalagi dalam lukisan yang terpahat di tubuh seseorang," ia berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi, apakah semua orang di dalam kelompok itu memakai ciri gambar kelelawar atau hanya terdapat pada Kiai Kalasa Sawit saja?"
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Yang aku ketahui adalah pada Kiai Kalasa Sawit," ia meng ingat sejenak. Lalu, "Tetapi agaknya tidak pada setiap orang. Aku dan barangkali kawan-kawanku tidak melihat pada orang lain."
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Tetapi ia agak terkejut ketika pemimpin prajurit itu bertanya, "Apakah lukisan itu menarik perhatian kalian?"
"O, tidak. Tidak," sahut Ki Sumangkar, "yang menarik adalah justru Kiai Kalasa Sawit, yang sekarang tinggal di padepokan Tambak Wedi itu."
"Ya. Memang menarik sekali. Tetapi Ki Untara sudah mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengatasinya, jika ada maksud tertentu dari penghuni padepokan yang nampaknya cukup kuat itu."
"Sokurlah," desis Kiai Gringsing, "dan agaknya kami percaya bahwa Ki Untara akan dapat mengatasi setiap persoalan yang timbul."
"Mudah-mudahan," jawab pemimpin kelompok itu. Lalu, "Nah, baiklah, Kiai. Biarlah kami meneruskan usaha kami untuk hari ini. Agaknya Rudita tidak tersesat ke daerah para penjahat, karena menurut pertimbangan kami, semua sarang orang-orang yang pantas dicurigai, sudah didatangi. Tetapi tidak ada di antara mereka yang mengetahui tentang anak muda yang bernama Rudita itu. Karena itu, di hari kedua ini, kami harus mencari di sepanjang padukuhan."
"Terima kasih. Terima kasih. Silahkan berjalan dahulu. Kami akan mencari di tempat-tempat yang terpencil."
Prajurit-prajurit itu pun kemudian meloncat ke punggung kudanya, dan sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan ketiga orang-orang tua yang termangu-mangu di tempatnya, sambil meninggalkan pesan, "Kami telah memerintahkan semua orang adbmcadangan.wordpress.com yang kami curigai, untuk mencari Rudita. Mungkin pada suatu saat, Kiai akan bertemu dengan kelompok-kelompok mereka. Jika demikian, maka sebaiknya Kiai berterus terang, siapakah Kiai bertiga itu. Salah seorang dari kalian bertiga adalah ayah dari anak yang hilang itu."
Kiai Gringsing tidak sempat menjawab. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun menjadi semakin menjauh, meninggalkan hamburan debu putih yang segera hanyut ditiup oleh angin di lereng pegunungan.
"Jadi orang-orang yang disebutkannya sebagai orang-orang yang dicurigai itu siapa?" bertanya Ki Waskita.
"Agaknya kelompok-kelompok penjahat-penjahat kecil yang ada di lereng Gunung Merapi," jawab Kiai Gringsing.
"Penjahat-penjahat kecil saja?" potong Ki Sumangkar, "Apakah orang yang disebut Kiai Raga Tunggal, Kiai Kalasa Sawit dan sebagainya itu juga penjahat kecil?"
"Secara pribadi, aku tidak dapat mengatakan dengan pasti. Mungkin Kiai Raga Tunggal, Kiai Kalasa Sawit adalah orang-orang yang memeliki kelebihan. Tetapi apa yang mereka lakukan di daerah ini tidak banyak menumbuhkan persoalan pada Untara. Sudah tentu, angger Untara pun tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka itu di tempat-tempat yang jauh."
Kedua kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat, bahwa di daerah lereng Gunung Merapi, orang-orang itu tidak akan berbuat banyak.
"Apalagi kini, anak-anak muda di padukuhan-padukuhan di lereng Gunung Merapi ini sudah mulai bangun. Angger Untara telah mengirimkan beberapa orang prajurit khusus untuk melatih anak-anak muda di padukuhan-padukuhan, untuk kemudian menjaga padukuhan masing-masing dari gangguan penjahat-penjahat kecil itu."
"Apakah anak-anak muda itu mampu melakukannya?"
"Mereka berada di bawah perlindungan prajurit Pajang. Sudah barang tentu, jika terjadi sesuatu atas mereka, maka prajurit-prajurit Pajang pun akan bertindak."
"Apakah dengan demikian berarti, bahwa kejahatan yang kemudian terjadi adalah kejahatan-kejahatan kecil yang dilakukan di luar pengawasan" Maksudku, pencurian di malam hari atau di saat-saat tidak diketahui oleh siapapun."
"Hampir serupa itu. Sedang di beberapa waktu yang lalu, kadang-kadang masih juga terdapat perampokan kecil-kecilan. Namun setiap kali mereka harus menghapuskan jejak, dari kelompok manakah mereka yang telah melakukan hal itu, agar Untara tidak dapat langsung menangkap mereka atau pemimpin kelompoknya."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar berdesis, seolah-olah kepada dirinya sendiri, "Tetapi bagaimana dengan orang yang di tubuhnya terlukis tanda yang sangat menarik perhatian itu?"
"Memang hal itu perlu mendapat perhatian khusus," berkata Kiai Gringsing, "Setelah kita menemukan Rudita, maka kita akan menyelidiki padepokan yang kini telah dipergunakan lagi oleh sekelompok orang-orang yang belum banyak diketahui kegiatannya. Tetapi mempergunakan ciri yang sangat menarik."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dengan suara yang ragu-ragu ia berkata, "Kiai. Persoalan itu agaknya cukup penting bagi kita dan terutama bagi Mataram. Menurut pertimbanganku, Rudita berada di tempat yang aman. Ia masih dapat bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Apalagi menurut keterangan para prajurit, ia tidak ada di tangan penjahat yang ada di sekitar tempat ini."
Kiai Gringsing merenungi kata-kata itu sejenak. Ketika ia memandang Ki Sumangkar, nampaknya Ki Sumangkar pun sedang memikirkannya.
Namun kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, "Ki Waskita. Memang ada dua pilihan yang dapat kita pertimbangkan. Tetapi menurut pendapatku, aku masih condong kepada menemukan angger Rudita lebih dahulu. Peristiwa yang dapat terjadi atasnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan. Justru di daerah yang asing dan tidak berketentuan ini."
Sebelum Ki Waskita menjawab, Ki Sumangkar pun telah menyambung, "Kita berusaha untuk secepatnya menemukan angger Rudita. Kemudian kita akan melihat, apakah kelelawar itu serupa dengan kelelawar yang kita lihat pada perak hitam yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mencuri pusaka itu."
Ki Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, "Terima kasih, Kiai. Dengan demikian aku merasa, bahwa Kiai berdua adalah orang yang sangat baik kepadaku dan anakku. Aku tidak akan dapat membalas kebaikan itu dengan cara apa pun juga. Karena itu, yang dapat aku lakukan adalah memohon kepada Tuhan, agar kebaikan Kiai berdua mendapat imbalan sepantasnya."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkai tersenyum.
"Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing, "Ki Waskita memang seorang yang rendah hati. Tetapi baiklah, memang semuanya yang terjadi harus kita kembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun marilah kita berusaha, karena usaha adalah merupakan suatu kuwajiban bagi kita."
Dan Ki Sumangkar pun menyambung, "Dengan demikian, maka Ki Waskita pun harus berusaha membalas kebaikan budi kami berdua."
"Ah," Ki Waskita tertawa. Dan kedua orang kawannya pun tertawa pula.
Namun tiba-tiba saja suara tertawa mereka terhenti. Telinga mereka yang tajam telah menangkap derap kaki kuda di kejauhan, namun agaknya sedang menuju ke tempat mereka.
"Mungkin mereka adalah kelompok orang-orang yang menurut istilah prajurit-prajurit Pajang, sedang dicurigai atau dalam pengawasan itu," desis Ki Waskita.
"Jika demikian, kita harus mengaku, bahwa kita pun sedang mencari Rudita," sahut Kiai Gringsing.
"Aku malas bertemu dengan mereka," berkata Ki Sumangkar, "pertanyaan mereka tentu akan berkepanjangan. Bahkan mungkin menyakiti hati, meskipun mereka tidak akan berani mengganggu kita, karena kita berada di dalam perlindungan para prajurit."
"Jadi?" "Kita bersembunyi saja."
Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun berpandangan sejenak. Namun mereka berdua hampir bersamaan menganggukkan kepalanya.
Karena derap kaki kuda itu terdengar semakin dekat, maka mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa berloncatan ke balik gerumbul di pinggir jalan yang mereka lalui. Masing-masing berusaha untuk menguncupkan tubuhnya, agar orang-orang berkuda yang akan lewat, tidak dapat melihat mereka.
Sejenak kemudian, beberapa ekor kuda muncul dari balik tikungan. Menilik pakaian penunggangnya, maka mereka memang termasuk orang-orang yang berada di dalam pengawasan prajurit Pajang. Namun Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pun sadar, bahwa pakaian dan bentuk yang nampak pada wujud lahiriah, belum merupakan kepastian.
Beberapa ekor kuda itu berlari perlahan-lahan saja di jalan yang berdebu. Seseorang yang agaknya menjadi pemimpin di antara mereka, berkuda di paling depan sambil membawa sebuah senjata yang mendebarkan. Sebuah bindi, tetapi seolah-olah bergerigi. Di belakangnya, seorang yang sudah melampaui pertengahan abad. Rambut yang berjuntai di bawah ikat kepalanya sudah nampak keputih-putihan. Tetapi wajahnya masih nampak keras dan garang. Di tangannya tergenggam sebuah canggah bertangkai pendek. Di belakangnya, berurutan beberapa orang dengan senjata masing-masing.
"Tugas kita kali ini adalah tugas yang paling gila," desis orang yang berada di paling depan.
"Kita kembali saja ke padepokan," sahut orang yang berada di belakangnya.
Yang berkuda di paling depan tidak menyahut. Tetapi seorang yang berada di belakang berkata lantang, "Prajurit-prajurit Pajang memang sudah gila. Jika kita menemukan anak yang mengguncangkan seluruh lereng Merapi itu, kita cekik saja sampai mati. Kemudian kita lemparkan saja ke dalam jurang. Tidak ada orang yang akan mengetahuinya."
"Kita diberi waktu sepuluh hari. Jika yang sepuluh hari itu lewat, dan anak itu tidak diketemukan, mungkin akan terjadi sesuatu di lereng gunung ini. Karena itu, kita tidak akan dapat berbuat seperti yang kau katakan," jawab orang yang berkuda di paling depan.
"Untara tidak akan berbuat seperti yang dikatakan oleh prajurit-prajurit itu. Mereka sekedar menakut-nakuti kita, agar kita mau ikut serta mencarinya."
"Lebih baik kita tidak mencari persoalan. Kehadiran iblis di padepokan Tambak Wedi itu sudah merupakan persoalan bagi kita. Karena itu, lebih baik kita menjauhi kesulitan yang dapat timbul dengan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom."
Tidak seorang pun yang menjawab. Dan pemimpin kelompok itu berkata terus, "Kita sedang mencari hubungan dengan kelompok yang lain untuk menghadapi iblis-iblis di Tambak Wedi."
Agaknya mereka masih meneruskan percakapan itu, tetapi kata-kata mereka sudah tidak begitu jelas lagi.
Ketiga orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu pun kemudian merangkak keluar. Sambi mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing berkata, "Kita telah mendengar serba sedikit apa yang akan terjadi di lereng Gunung Merapi."
Ki Waskita memandang arah sekelompok orang berkuda itu menghilang. Katanya, "Kita tidak tahu siapakah mereka itu. Tetapi yang pasti, ada pertentangan di antara kelompok-kelompok itu di lereng Merapi. Yang agaknya harus berdiri sendiri menghadapi beberapa kelompok yang akan bergabung, adalah Kiai Kalasa Sawit, yang dikatakan mempunyai ciri seekor kelelawar yang terlukis di dadanya."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Kiai Gringsing berkata, "Kita belum tahu, siapakah Kiai Kalasa Sawit itu. Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka kita akan kehilangan salah satu kemungkinan untuk menemukan jejak sekelompok orang yang mempunyai ciri seekor kelelawar. Meskipun mungkin juga kelelawar di dada Kiai Kalasa Sawit itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pahatan kelelawar pada kepingan perak bakar itu."
"Tetapi aku rasa, hal itu masih perlu diyakini. Kita sebaiknya memerlukan sekedar waktu untuk melihat kemungkinan itu," berkata Ki Sumangkar, "Namun kita pun mengetahuinya, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya."
Ki Waskita mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, "Aku ingin menawarkan sekali lagi. Apakah kita akan mencari Rudita, atau melihat kemungkinan yang ada di padepokan Tambak Wedi?"
"Ah, aku tetap pada pendirianku, Ki Waskita. Kita berusaha menemukan Rudita lebih dahulu."
Ki Waskita mengangguk-angguk sambil bergumam, "Terima kasih atas kesempatan pertama itu."
"Marilah, kita meneruskan perjalanan ini. Kita akan berusaha secepatnya menemukan anak itu."
Demikianlah, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka. Tetapi mereka tidak menyusuri jalan itu lagi. Mereka memotong lewat jalan-jalan kecil dan sempit. Bahkan jalan-jalan terjal dan sulit.
"Kita akan menempuh arah ini seterusnya," berkata Ki Waskita, "aku mempunyai isyarat yang kuat, bahwa kita akan segera menemukan."
Namun wajah Ki Waskita tiba-tiba menjadi tegang. Lalu katanya, "Ada sesuatu yang agaknya terjadi."
"Apa maksud Ki Waskita?" bertanya Ki Sumangkar.
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Tanpa disadarinya ia meraba dadanya yang agaknya sedang bergejolak. "Ada sesuatu yang terjadi dengan Rudita, Kiai."
Kiai Gringsing pun mengerutkan keningnya sambil berkata, "Kita akan mempercepat perjalanan ini. Marilah. Bukankah kita masih dapat berlari-lari di lereng bukit ini."
Ki Waskita dan Ki Sumangkar menggangguk-angguk. Sejenak mereka memandang jalan sempit di hadapan mereka.
"Marilah," berkata Ki Waskita, "kita menempuh jalan ini."
Demikianlah, ketiga orang itu pun berjalan semakin cepat. Bahkan kadang-kadang mereka berlari-lari kecil mengikuti Ki Waskita yang berada di paling depan.
"Kita sudah tidak terlalu jauh lagi," berkata Ki Waskita, "Mudah-mudahan hari ini kita dapat menemukannya."
Dalam pada itu, Rudita yang sedang dicari oleh ayahnya bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar itu, memang benar-benar ingin pergi ke Sangkal Putung. Tetapi ia lebih senang berjalan di sepanjang lereng Gunung sambil memperdalam ilmunya. Di tempat-tempat yang sepi, ia berhenti untuk satu dua hari, sehingga perjalanannya memang menjadi terlalu lama.
Namun dengan demikian, maka wujud lahiriahnya pun menjadi semakin lama semakin kusut. Jika semula Rudita adalah seorang anak muda yang bersih dan rapi, kini ia tidak lebih dari seorang yang berpakaian kumal dan sobek di sana-sini.
Kadang-kadang Rudita sendiri menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan dapat dikenal oleh Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi ia yakin, bahwa kedua anak-anak muda itu tidak akan melupakannya. Keduanya bukan anak-anak muda yang sombong, yang hanya mau berkenalan dengan orang-orang tertentu saja.
"Meskipun aku berpakaian compang-camping seperti pengemis, jika keduanya benar-benar tidak lupa kepadaku, aku tentu akan diterimanya dengan baik."
Tetapi akibat lain yang terjadi atas Rudita, semula sama sekali tidak diduganya. Jika sekali-sekali ia berpapasan dengan beberapa Orang yang berwajah garang, maka orang-orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Tetapi ketika ia memasuki sebuah padukuhan yang nampak agak berbeda dengan padukuhan-padukuhan yang lain, maka terjadilah malapetaka itu.
Padukuhan Cangkring yang dilaluinya itu, nampaknya sudah jauh lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain. Jalan-jalan yang membelah padukuhan yang meskipun tidak begitu besar itu, nampak bersih dan rapi. Di beberapa sudut terdapat beberapa buah gardu peronda. Dan di sepanjang sisi jalan, terdapat pagar batu yang tersusun serasi.
Semula Rudita merasa aman memasuki padukuhan itu, karena ia melihat anak-anak mudanya yang nampak selalu bersiaga. Bahkan mereka yang berada di sawahpun nampaknya siap untuk melakukan apa saja bagi kepentingan padukuhannya, karena ternyata di samping alat-alat persawahan, mereka pun membawa senjata.
Tetapi Rudita mulai berdebar-debar ketika dua orang anak muda menghampirinya sambil bertanya garang, "Siapa kau, he?"
Rudita membungkukkan badannya dalam-dalam. Jawabnya, "Aku Rudita, Ki Sanak."
Kedua anak-anak muda itu memandanginya dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Keduanya memandang setiap bagian tubuhnya, dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
"Apakah kau pengemis?" bertanya salah seorang dari kedua anak muda itu.
Rudita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Bukan, Ki Sanak. Aku bukan pengemis."
Tetapi agaknya kedua anak-anak muda itu benar-benar mencurigainya. Maka yang seorang, yang bertubuh tinggi tegap, mendekatinya sambil bertanya, "Apakah yang kau bawa?"
"Ini adalah bekal yang aku bawa dari rumah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung. Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal di sana."
"Dimana rumahmu?"
"Di seberang Kali Praga."
Keduanya nampak menjadi tegang. Yang seorang, yang lebih kecil bertanya, "Kenapa kau mengambil jalan ini" Kenapa kau tidak melalui daerah baru yang sudah menjadi semakin baik di Alas Mentaok" Jalan di daerah itu jauh lebih mudah dilalui daripada daerah lereng Gunung ini."
"Aku sengaja ingin melihat-lihat lereng Gunung Merapi," jawab Rudita.
Tetapi anak yang bertubuh tinggi itu pun berkata, "Kau menimbulkan kecurigaan pada kami. Jika kau menyebut dirimu seorang pengemis, mungkin masih akan dapat aku mengerti, dan sejauh-jauhnya kau hanya akan kami usir dari padukuhan kami, karena pengemis hanya akan membuat daerah ini menjadi kotor."
"Aku bukan pengemis, Ki Sanak. Tetapi aku adalah seorang perantau. Aku berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku ingin melihat segi-segi kehidupan yang ternyata mempunyai ragam warnanya tersendiri."
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang seorang kemudian berkata, "Kata-katamu membuat kami semakin tidak mengerti. Apakah sebenarnya keuntunganmu dengan melihat apa yang kau sebut segi-segi kehidupan itu" Apakah kau, di rumahmu, tidak mempunyai pekerjaan apa pun" Di sawah, misalnya?"
Rudita menggeleng. Katanya, "Semua pekerjaan di rumahku sudah ada yang mengerjakannya. Aku bebas untuk melakukan apa pun yang aku senangi, termasuk merantau."
"Kau membuat kami semakin curiga. Nah, apakah yang kau bawa di dalam kampilmu itu?"
"O, kantong ini tidak berisi apa pun yang pantas untuk dipersoalkan. Aku membawa beberapa keping uang untuk bekal perjalananku, dan seikat rontal yang kadang-kadang aku pergunakan untuk mengisi waktu di perjalanan. Jika aku lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang di siang hari, aku membaca rontal itu."
"Uang?" bertanya anak muda yang bertubuh tinggi.
"Ya." "Darimana kau dapatkan uang itu?"


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari rumah. Aku membawa bekal uang dari rumah."
Kedua anak-anak muda itu menjadi semakin curiga. Yang seorang, yang bertubuh lebih kecil itu pun kemudian berkata, "Perlihatkan kampilmu itu."
"Apakah ada gunanya?"
"Perlihatkan." Rudita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun mengambil kantongnya, yang selalu tergantung diikat pinggangnya. Diambilnya rontalnya dari kampil itu, dan kemudian diperlihatkannya kampilnya kepada anak muda itu.
"Kau membawa uang," desisnya.
"Ya. Semula uang dan beberapa lembar pakaian. Tetapi pakaianku rusak selembar demi selembar. Ada yang tertinggal saat gunung ini berguncang. Dan ada yang aku berikan kepada orang yang memerlukan di sepanjang jalan."
"O, kau mengigau. Pakaianmu sendiri compang-camping, kau dapat bersombong diri," anak muda yang bertubuh tinggi itu memotong, "tetapi uang yang ada di dalam kantongmu memang menarik perhatian. Darimana kau dapat?"
"Sudah aku katakan, aku membawa dari rumah."
Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Lalu, "Aku tidak dapat mengerti keteranganmu yang simpang siur itu. Aku terpaksa membawamu. Daerah ini adalah daerah yang sangat peka terhadap kejahatan. Kami sedang bangkit melawan setiap usaha mengacaukan keamanan di padukuhan kami. Dan kau agaknya sangat mencurigakan."
"Maksudmu?" "Mungkin kau salah seorang dari para penjahat yang sedang berusaha menjajagi padukuhan kami."
"Tidak, Ki Sanak. Aku bukan orang yang berniat buruk. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa akhirnya aku akan dituduh berbuat demikian jahatnya."
"Jangan membantah. Di sini ada orang-orang yang bertugas menentukan apakah kau bersalah atau tidak."
"Ki Jagabaya?" "Tidak perlu. Di sini ada anak-anak muda, yang sudah menerima beberapa petunjuk dari para prajurit, bagaimana mengatasi kesulitan yang tumbuh."
"Jadi, apa yang akan kalian lakukan?"
"Ikut kami ke banjar padukuhan ini."
Rudita menjadi termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata di sekitarnya sudah mulai berdatangan beberapa anak muda yang lain. Bahkan seorang di antaranya adalah seorang yang bukan anak muda lagi, berkumis lebat dan bermata tajam, mendekatinya.
"Siapakah anak ini?" bertanya orang itu.
"Ia mengaku bernama Rudita," jawab salah seorang dari kedua anak muda itu.
Orang berkumis itu memandang Rudita seperti memandang hantu di siang hari. Perlahan-lahan ia mendekat sambil berkata, "Kau datang dari kelompok yang mana" Atau barangkali kau salah seorang anggauta kelompok yang baru saja datang di Tambak Wedi?"
Rudita menjadi bingung. Dan ia berkata sejujur-jujurnya, "Aku tidak mengerti. Aku datang dari seberang Kali Praga."
Rudita terkejut ketika tiba-tiba orang berkumis itu mencengkam bajunya sambil membentak, "Jangan mencoba menipu kami. Jawab pertanyaanku. Kau datang dari kelompok yang mana" Atau kau seorang penjahat kecil yang sering mencuri ayam di siang hari?"
"Jangan berprasangka buruk," Rudita masih sareh, "aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya sekedar lewat saja di padukuhan ini, seperti aku lewat di padukuhan-padukuhan lain. Di padukuhan lain aku tidak pernah mengalami perlakuan seperti ini."
Orang berkumis itu mengguncang baju Rudita sambil membentak pula, "Jangan mengajari kami. Padukuhan kami adalah padukuhan terbaik di seluruh daerah kaki Gunung Merapi. Ki Untara sendiri pernah datang dan memberikan pujian. Karena itu, mungkin kau dapat lolos di padukuhan yang lain. Tetapi tidak di sini."
Rudita menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja orang itu mendorongnya sambil melepaskan bajunya. Katanya, "Bawa anak Ini ke banjar. Kita harus memeriksanya dengan teliti, ia tentu datang dari salah satu kelompok penjahat. Atau ia sendiri adalah seorang pencuri ayam," Orang itu menggeram, "Sayang. Kau masih semuda itu sudah menjadi seorang pencuri."
Rudita tidak menjawab. Ia tahu, bahwa tidak ada gunanya menjawab kata-kata itu.
Karena itu, ketika seseorang mendorongnya, maka ia pun berjalan saja seperti yang diperintahkan kepadanya. Sekali-sekali ia mengerling kepada kantongnya yang masih berisi beberapa keping uang. Namun rontalnya telah ada padanya dan disimpannya di dalam kantong bajunya di bagian dalam.
Setiap kali Rudita merasa bahwa punggungnya telah didorong oleh anak-anak muda yang mengikutinya, semakin lama semakin banyak.
Tetapi Rudita yang sekarang sudah bukan Rudita yang dahulu. Ia tidak lagi menggigil ketakutan. Kini ia berjalan dengan tenang, tanpa menunjukkan kegelisahan. Ia menyadari, bahwa jika terjadi salah paham, maka akibatnya akan menyulitkannya. Namun sejak adbmcadangan.wordpress.com ia berangkat dari rumahnya, ia sudah pasrah. Ia merasa bahwa ia selalu berada di dalam perlindungan Yang Menciptakannya. Jika harus terjadi sesuatu, maka itu memang sudah seharusnya terjadi, dan ia tidak akan dapat mengingkari lagi. Tetapi di dalam kesulitan itu, Rudita tidak akan pernah merasa sendiri.
Dengan demikian, Rudita yang sudah menemukan dirinya di dalam hubungannya dengan Sumbernya, adalah Rudita yang lain dari Rudita yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu, iring-iringan yang semakin panjang itu pun akhirnya sampai juga di Banjar padukuhan. Beberapa orang anak muda segera memerintahkan orang-orang yang tidak berkepentingan meninggalkan banjar.
"Kalian hanya membuat ribut saja di sini. Sudahlah. Tinggalkan banjar ini."
Beberapa kali perintah itu diteriakkan. Tetapi orang-orang yang berkerumun, terutama anak-anak yang masih terlampau muda, tidak segera meninggalkan banjar itu. Bahkan seorang anak yang sedang meningkat menjadi remaja berteriak, "Serahkan kepada kami!"
Anak-anak muda yang berteriak-teriak menyuruh orang-orang yang tidak berkepentingan pergi itu pun akhirnya menjadi jemu. Dan mereka tidak lagi berbuat apa-apa, ketika orang-orang itu justru mendesak maju.
"Serahkan kepada kami!" anak-anak yang merasa dirinya sudah menjadi seorang anak muda, berteriak-teriak semakin keras.
Tetapi Rudita pun kemudian justru di bawa masuk ke dalam banjar, ia didorong ke dalam ruang dalam, agar selanjutnya tidak terganggu oleh teriakan-teriakan anak-anak remaja yang meningkat dewasa.
Sekali lagi Rudita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang serupa saja. Tetapi karena jawab Rudita masih juga serupa, maka pertanyaan-pertanyaan itu pun diucapkan semakin lama menjadi semakin keras.
"Kau tahu, di luar ada banyak sekali anak-anak remaja?"
"Ya, aku tahu," jawab Rudita dengan tatag.
"Kau tahu akibatnya, jika kau aku lemparkan kepada mereka itu?"
"Ya, aku tahu."
"Nah, sekarang jawab pertanyaanku. Dari kelompok atau gerombolan mana kau datang" Kau tentu tengah mengamat-amati padukuhan ini. Dan kau merasa dirimu aman karena kawan-kawanmu akan mencoba melindungimu," orang berkumis yang membawa Rudita ke banjar itu masih juga mendesaknya, "tetapi gerombolan-gerombolan semacam itu tidak berarti apa-apa bagi kami di sini. Kami sudah siap menjaga ketenangan padukuhan kami. Dan sekarang kau datang untuk mengacau."
Rudita menarik nafas. Jawabnya, "Aku tidak dapat mengatakan apa-apa, karena aku tidak tahu sama bekali tentang gerombolan-gerombolan itu."
Orang berkumis lebat itu agaknya sudah kehilangan kesabaran. Namun ia masih belum mempunyai alasan yang kuat untuk memaksa Rudita berbicara dengan kekerasan.
Selagi orang-orang yang ada dibangsal itu termangu-mangu, maka datanglah seorang anak muda sambil berlari-lari ke banjar padukuhan itu.
Semua orang yang ada di luar dan di dalam banjar berpaling ke arahnya. Beberapa orang yang berdiri di tangga pun segera menyibak dan memberi jalan kepadanya.
"Ki Rena," berkata anak muda itu dengan nafas terengah-engah, kepada orang berkumis lebat yang sedang mencoba mendengar keterangan Rudita. "ada beberapa orang dalam gerombolan, lewat di pinggir padukuhan."
"He?" wajah Ki Rena menjadi tegang. "Apa yang mereka lakukan" Apakah mereka akan merampok?"
"Agaknya kali ini tidak. Pemimpinnya mengangkat tangan kanannya sambil bertanya tentang seorang anak muda bernama Rudita."
"Rudita?" Ki Rena berpaling kepada Rudita, "siapa namamu, he?"
"Rudita. Memang namaku Rudita."
"Ha, sekarang ternyata bahwa kau memang berasal dari salah sebuah gerombolan itu," Ki Rena berpaling kepada anak muda yang datang berlari-lari itu. "Dari gerombolan manakah yang datang, menurut pengamatanmu?"
"Kali ini agak lain dari yang pernah kita kenal di sini."
"Lain" Kau belum pernah mengenal ciri-cirinya?"
"Belum. Belum pernah. Nampaknya mengerikan sekali. Tetapi pemimpinnya bersikap baik dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk melakukan kejahatan."
"Tentu, karena ia ingin melepaskan anak buahnya ini. He, siapakah pemimpinnya?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ia mempergunakan selembar kulit untuk menutup bahunya."
"Kulit?" Ki Rena menjadi semakin tegang.
"Ya, kulit harimau."
"Bagaimana bentuk tubuh orang itu?"
"Agaknya tinggi, tegap dan kekar."
Ki Rena menjadi semakin gelisah. Katanya kemudian seakan-akan kepada diri sendiri, "Apakah orang itu yang bernama Kiai Kalasa Sawit" Aku pernah mendengar serba sedikit tentang ciri-ciri orang itu."
"Ya. ya. Aku ingat sekarang. Ia menyebut dirinya bernama Kalasa Sawit."
"Gila," tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. Dipandanginya Rudita dengan sorot mata yang tajam. Katanya, "Jadi kau dari gerombolan yang akhir-akhir ini berada di Tambak Wedi" Jadi, kau adalah anak buah Kiai Kalasa Sawit?" Ki Rena berhenti sejenak. Lalu dengan suara gemetar ia bertanya, kepada anak muda yang memberikan laporan tentang Kiai Kalasa Sawit, "Lalu apa jawabmu?"
"Aku mengatakan, bahwa tidak ada seorang anak muda asing yang berada di padukuhan ini."
"Bagus, bagus. Lalu apa katanya?"
"Orang itu nampaknya tidak begitu menaruh perhatian. Kiai Kalasa Sawit itu mengangguk dalam-dalam, sambil tertawa kecil. Dan ia pun segera minta diri dengan sopan, untuk melanjutkan perjalanan mencari anak muda yang bernama Rudita itu."
Ki Rena termangu-mangu sejenak. Dan anak muda itu masih berkata, "Ki Rena. Nampaknya gerombolan ini agak lain dengan gerombolan yang dahulu sering datang kemari, sebelum kita dapat mengamankan padukuhan ini atas bimbingan prajurit-prajurit Pajang. Orang yang memakai kulit harimau itu memang mengerikan, tetapi agaknya ia ramah sekali. Kami tidak dapat menentukan apakah ia seorang penjahat atau benar-benar seorang yang sedang mencari keluarganya yang hilang."
"Kau bodoh sekali. Kiai Kalasa Sawit adalah orang baru di daerah ini. Tentu ia tidak akan menakut-nakuti kita."
"Tetapi orang-orang lain justru berusaha agar kita menjadi ketakutan dan memenuhi semua tuntutannya."
"Ia tahu, kita siap untuk mempertahankan ketenteraman padukuhan kita." Ki Rena berpaling kepada Rudita, "Nah, sekarang kau sendiri. Orang yang mencari kau itu, dengan mudah dapat kita kelabui. Kau tidak akan mendapat perlindungan dari siapa pun lagi."
Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak tahu, siapakah orang yang mencari aku dan menyebut dirinya bernama Kiai Kalasa Sawit."
"Tentu kau mengingkari," jawab Ki Rena. Lalu katanya kepada anak-anak muda yang ada di banjar itu, "Siapkan dua ekor kuda. Dua orang di antara kalian akan pergi ke Jati Anom melaporkan apa yang terjadi di sini. Jika benar-benar Kiai Kalasa Sawit telah menjamah padukuhan ini, maka kita masih harus mohon perlindungan kepada prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom."
Anak muda yang diperintah itu pun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah, Ki Rena. Kami akan segera melakukannya. Tetapi bagaimana jika kami bertemu dengan orang-orang dari Tambak Wedi itu" Kami tidak akan diganggu lagi oleh kelompok-kelompok lain yang sudah kita kenal. Tetapi kelompok yang satu itu masih merupakan teka-teki bagi kita."
"Jangan menunjukkan sikap yang mencurigakan. Katakan saja bahwa kau akan mengunjungi saudaramu yang berada di Banyu Asri atau Sendang Gabus."
"Baiklah. Kami akan segera berangkat."
"Sementara itu, kami di sini akan menyelesaikan persoalan dengan anak muda yang bernama Rudita dan yang menyamar sebagai pengemis ini. Katakan bahwa seorang dari Tambak Wedi telah dapat kami tangkap."
"Aku bukan orang Tambak Wedi," potong Rudita. Tetapi kata-katanya terputus ketika tangan Ki Rena menampar pipi Rudita sambil membentak, "Diam! Diam, kau."
Rudita terkejut bukan buatan mengalami perlakuan itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa sambil menunggu apa yang akan terjadi atasnya.
Ternyata kemarahan Ki Rena sudah tidak tertahankan lagi. Wajahnya menjadi merah dan dadanya bagaikan terguncang oleh detak jantungnya yang menjadi semakin cepat.
"Cepat, pergilah sekarang," berkata Ki Rena kepada anak muda yang akan pergi ke Jati Anom, "pasukan Pajang di Jati Anom itu harus segera datang. Mungkin orang-orang Tambak Wedi itu akan kembali lagi kemari, dengan kekuatan yang lebih besar lagi."
Anak muda yang mendapat perintah untuk pergi ke Jati Anom itu pun segera meninggalkan banjar.
Dalam pada itu, Rudita menjadi semakin berdebar-debar. Kini Ki Rena berdiri menghadap kepadanya. Wajahnya masih tegang dan kemerah-merahan oleh kemarahan yang memuncak di dalam dadanya.
"Apakah kau masih akan ingkar?" bertanya Ki Rena kepada Rudita.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku bukan ingkar. Tetapi aku berkata sebenarnya."
"Cukup!" Ki Rena membentak. Sedang anak-anak muda yang ada di banjar itu pun mendesak maju. Seorang anak muda yang bertubuh tegap dan kokoh, menyibak kawan-kawannya dan berdiri di belakang Ki Rena. Katanya, "Ki Rena, kali ini Ki Rena nampaknya sabar sekali."
"Cucurut ini memang pandai membuat dirinya seolah-olah perlu dikasihani," jawab Ki Rena, "Tetapi aku justru menjadi sangat muak kepadanya."
"Ki Sanak," berkata Rudita kemudian, "kenapa tiba-tiba telah terjadi salah paham seperti ini" Aku bukan orang jahat yang akan berbuat buruk di padukuhan ini. Sebenarnyalah aku seorang perantau yang lewat. Jika salah paham seperti ini sering terjadi, maka alangkah malangnya nasib orang yang lewat di daerah padukuhan Cangkring yang cantik ini."
"Gila!" teriak Ki Rena yang marah sekali. "Kau masih dapat mengigau, he" Sekali lagi aku peringatkan, jika kau masih berputar-putar, kau akan aku serahkan kepada anak-anak remaja di luar banjar. Anak-anak muda di dalam banjar ini sudah mampu berpikir lebih baik, dan mempunyai belas kasihan. Tetapi anak-anak yang sedang meningkat dewasa di luar, akan menyobek tubuhmu menjadi sayatan-sayatan daging."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah desah, "Kasihan anak-anak itu."
"He?" mata anak muda yang bertubuh tegap dan kokoh itu tiba-tiba terbelalak, "Siapa yang kau sebut kasihan itu?"
"Anak-anak di luar. Mereka akan kehilangan rasa kasih sayang kepada sesama. Setiap kali mereka dihadapkan pada sifat dan sikap yang keras seperti ini. Tidakkah ada cara yang lebih baik untuk mendidik mereka, agar menjadi anak-anak muda yang bertanggung jawab, tetapi tidak berbuat sewenang-wenang seperti yang kalian katakan itu?"
Sesuatu telah menyentuh hati orang-orang yang mendengarkan kata-kata Rudita itu. Tetapi ternyata bahwa Ki Rena tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mencernakannya, seperti Ki Rena berusaha untuk mengingkari pengaruh kata-kata Rudita itu di dalam hatinya. Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata, "Kau memang penjahat yang paling licik. Kenapa kau tidak berusaha melepaskan dirimu dengan kekerasan" Kenapa kau berusaha menyelamatkan dirimu dengan sikap pengecut?"
Roh Dalam Keraton 3 Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan Hancurnya Istana Darah 1

Cari Blog Ini