Ceritasilat Novel Online

Hancurnya Istana Darah 1

Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah Bagian 1


1 DEBUR OMBAK memecah di pantai dan memukul
lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi
yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai
tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi
tembok tinggi sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun
temboknya seluruhnya berwarna merah.
Di daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah
ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun
adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang
mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua
puluh satu pohon beringir raksasa. Bila angin bertiup dari
laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akarakar gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini
menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu,
setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir
dari jurusan bangunan berwarna merah itu.
Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah
dia akan terkejut dan berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan
lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan tidak! Warna merah pada atap,
tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi
darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan
serta mengerikan, menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak
jauhnya! Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di
tembok dan di bangunan besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis
semaki menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi berlalu, dari arah timur,
berpapasan dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda.
Tak selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara
bukit-bukit karang tinggi dan runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu
binatang tunggangan masing masing ke jurusan tembok bangunan merah.Baik bulu
kuda maupun pakaian kedua penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah basah
agak bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi ... dengan darah.
Mereka mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibacahi dengan
darah. Dan di bawah topi-topi itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk
dipandang karena telah dipupuri dengan darah yang telah membeku!
Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian
hitam yang di-melintangkan di punqqung kuda dalam keadaan pingsan dan siapa pula
orang yang menggeletak tak berdaya berpakaian hitam ini!
Kuda-kuda merah lewat di antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai
di hadapan sebuah pintu besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah
ini terdapat tiga deretan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-tulang manusia
yang telah dicat merah dan berbunyi. "Pintu Gerbang Darah"
Salah seorang dari penunggang kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar situ pekik
aneh yang disusul dengan suara lantang,
"Atas nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"
Untuk beberapa lamanya suara pekik serta seruan marwsia itu masih mengiangngiang di udara pantai yang mengandung garam tanda bahwa orang itu telah
mengeluarkan suara dengan disertai tenaga dalam yang tinggi.
Sesaat kemudian dari belakang "Tembok Darah" demikian nama tembok merah yang
mengelilingi bangunan besar itu terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh
satu pertanyaan yang membentak keras,
"Siapa yang datang!"
"Hulubalang Keempat dan Kelima!"
"Kalian habis dari mana?"
"Menjalankan tugas Raja!"
Tak lama kemudian terdengar suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka.
Bersamaan dengan itu dari bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan
kayu besi yang juga penuh dengan darah dan bertuliskan "Jembatan Darah."
Ternyata antara Pintu Gerbang Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan
oleh sebuah parit selebar lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh
tombak. Parit ini dibuat sedemikian rupa mengelilingi bangunan besar, dialiri
dengan air yang telah menjadi merah karena bercampur darah dan di dalamnya
berenanglah ratusan ular berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari
satu jengkal sampai lima meter! Semua orang di situ mengenal parit itu dengan
sebutan "Parit Kematian."
Kedua orang yang mengaku Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat
dan sampai di tangga bangunan besar. Di belakang mereka Jembatan Darah masuk
kembali ke tempatnya sedang Pintu Gerbang Darah menutup dengan sendirinya.
Dengan memanggul tubuh manusia berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti
Hulubalang Kelima menaiki anak tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya
terdapat tulisan, "ISTANA DARAH." Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang
belulang manusia yang diberi warna merah dengan darah!
Setelah melewati beberapa ruangan, kedua Hulubalang sampai di satu ruangan besar
yang pada bagian tengahnya terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan
busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah sebuah patung raksesi dalam keadaan
telanjang bulat dan dari bagian di antara kedua pangkal pahanya senantiasa
memancur cairan warna merah.
Di depan sana terdapat sebuah gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesantetesan darah jelas kelihatan berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan
saja busuk luar biasa hawanya tetapi juga pengap membuat seseorang yang tak
biasa akan sesak bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenangtenang saja seolah-olah udara macam begitu tidak mengganggu jalan pernafasan
mereka barang sedikitpun.
Di hadapan "Tirai Darah" mereka berdiri dengan sikap keren, lalu membuka topi
masing-masing dan menjura.
"Paduka Yang Mulia Raja Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua Hulubalang
Keempat dan Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas yang telah
dibebankan kepada kami!"
Sunyi sesaat. Lalu dari ruangan di belakang Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang
parau sember dan perlahan namun hebatnya suara yang parau serta perlahan ini
sanggup membuat dinding-dinding ruangan berwarna merah jadi bergetar. Tirai
Darah bergoyang-goyang sedang cairan merah di dalam Kolam Darah tampak
bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di belakang Tirai
Darah itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya!
"Beri tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.
Mendengar ini Hulubalang Darah Keempat membuka mulut memberi jawaban.
"Kami berdua telah berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam
daerah timur yang bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan
pingsan dan ditotok!"
"Bagus!" memuji orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya.
"Jebloskan dia dalam tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan nyalakan
api di bawah batok kepalanya! Biar dia tahu rasa!" Ucapan itu ditutup dengan
suara tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk serapah aneh.
"Keparat... sialan! Laknat .... haram jadah! Terkutuk ... ! Mampuslah semua!
Semua...!"
Ucapan kotor itu masih terus terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila
kutuk serapah itu berhenti maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka
mulut. "Perintah Paduka Yang Mulia segera kami laksanakan!"
Setelah menjura hormat, kedua Hulubalang tadi beserta tawanannya segera
meninggalkan tempat tersebut!
*** 2 HULUBALANG Darah Keempat dan Kelima memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri
kanan lorong ini banyak sekali cabang cabang lorong yang kesemuanya diterangi
dehgan lampu minyak. Dimana-mana kelihatan warna merah darah dan di sini udara
jauh lebih pengap dan lebih busuk dari ruangan ruangan lain dalam Istana Darah.
Mereka sampai di hadapan sebuah pintu merah terbuat dari besi dan dijaga oleh
dua orang Hulubalang Darah yang memiliki tampang seram bengis. Betapapun bengis
gelaknya kedua pengawal pintu besi itu, namun melihat siapa yang datang keduanya
segera memberi hormat.
"Atas nama Raja Darah harap kalian buka pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang
Kelima. Kedua Hulubalang pengawal meneliti orang berbaju hitam yang dipangqil Hulubalang
Keempat. Salah salah seorang dari mereka bertanya.
"Siapa dia?"
"Sepuluh Jari Maut," jawab Hulubalang Keempat dan pengawal yang bertanya ladi
lalu memperhatikan sepuluh jari orang yang dipanggul. Kesepuluh jari itu berkuku
panjang dan berwarna hitam legam. Sementara itu pengawal yang satu lagi dari
dalam sabuknya mengeluarkan seuntai anak anak kunci. Dengan salah satu anak
kunci dibukanya pintu besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang Keempat dan
Kelima menyusul mengikutinya.
"Dia adalah tahanan yang keempat sampai." kata pengawal penjara sambil berjalan.
Ruangan yang rnereka lewati merupakan sebuah gang selebar tiga tombak dari batu
karang atos yang dicat dengan darah.
Pada dinding kiri kanan terdapat deretan pintu-pintu besi merah. Deretan-deretan
pintu sebelah kiri diberi berangka ganjil sedang deretan sebelah kanan berangka
genap. Inilah ruangan Penjara Darah yang terletak di bawah tanah dan memiliki
enam puluh buah kamar tahanan.
Di depan pintu yang bertuliskan angka 24 pengawal itu berhenti dan mengeluarkan
untaian anak kunci lalu membuka pintu besi. Begitu pintu terbuka dari dalam
ruangan menyambarlah hawa dingin lembab yaag busuk luar biasa. Lantai dan
dinding serta langit-langit ruangan tahanan merah oleh darah, sebagian masih
merupakan cairan sebagian lagi telah kering membeku.
"Nyalakan lampu!" perintah Hulubalang Darah Kelima.
Pengawal segera menyalakan lampu minyak dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup
terang. Pada dinding sebelah kiri terdapat sebuah rak batu. Di atas rak ini
terletak berbagai macam benda penyiksa.
Pada langit-langit ruangan tampak sebuah kerekan lengkap dengan tali kawat yang
besarnya dua kali ibu jari. Dengan tali kawat ini sepasang kaki tawanan diikat
erat-erat lalu tubuhnya dikerek hingga kini jadi tergantung kaki ke atas kepala
ke bawah. Dari rak batu Hulubalang Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi
yang berisi potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut
dengan api benda hitam ini langsung terbakar menyala.
"Kita tunggu sampai dia siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.
Tak berapa lama kemudian tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan
membuka sepasang matanya perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu
keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh Jari Maut melihat dunia ini terbalik.
Kepalanya seperti mau karena jalan darahnya menyungsang sedang di sekelilingnya
tampak tiga orang berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya
sementara itu disambar oleh bau busuk luar biasa.
"Di mana aku ...?" desis Sepuluh Jari Maut. Dicobanya menggerakkan anggotaanggota tubuhnya tapi tak bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang, sedikitpun tak
dapat digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa dirinya berada di bawah
pengaruh totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk memusnahkan totokan
tersebut namun sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya bukan totokan
sembarangan. Sepuluh Jari Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah roda kerekan besi yang
tergantung di langit-langit ruangan, diganduli kawat besar. Ujung kawat itulah
yang telah mengikat kedua kakinya dan sakitnya bukan main. Dia memandang kembali
pada tiga manusia berpakaian merah basah dan bau itu. Akhirnya dia ingat.
Sebelumnya dia telah bertempur dengan dua di antara tiga manusia tersebut. Dalam
jurus kedua puluh tiga dia terpaksa harus menerima satu jotosan keras dari lawan
yang tepat mengenai pelipisnya. Selagi dia berdiri nanar dengan pandanyan
berbinar-binar, musuhnya yang lain telah menotoknya hingga dia tidak berdaya.
Lalu kepalanva dipukul hingga akhirnya dalam keadaan tertotok begitu rupa dia
jatuh pirgsan. Nyatalah bahwa kedua musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat
tersebut dan menawannya.
Dendam dan marah memuncak dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya
menonjol bergemeletukan.
"Tempat celaka apa ini namanya...."!" Sentak Sepuluh Jeri Maut.
Hulubalang Darah Kelima dan Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing
menyungging seringai bengis.
"Celaka bagimu, bukan bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.
"Jahanam! Kalian mau bikin apa terhadapku" Aku tidak punya permusuhan apa-apa
dengan kalian!"
Plaak! Satu hantaman tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk
beberapa lamanya dia terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai
gelap. "Tak tahu diri. Sudah hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak
Hulubalang Darah Keempat.
"Puaah!" Sepuluh Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya
terhadap musuh yang tidak berdaya!"
"Setan alas!" teriak Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani
muka tokah silat berbaju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan
matanya. "Seret pendupaan itu kemari!"
Hulubalang pengawal menyeret pendupaan yang dikobari api lalu melekkannya tepat
di bawah kepala Sepuluh Jari Maut.
"Tadi kau bertanya di mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima,
''Ketahuilah bahwa saat ini kau telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama
Penjara Darah!"
Sepuluh Jari Maut kertakkan rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan
panasnya kobaran api yang menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja
dia dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian dari mulutnya mulai keluar raungan
kesakitan yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang ada di
situ tertawa gelak-gelak.
"Manusia-manusia bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan
kalian, kelak aku akan menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"
"Kalau begitu biar kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang
Darah Keempat. Lalu kawat kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan
itu semakin dekat dengan kobaran api dalam pendupaan besi. Rambutnya yang
menjulai mulai terbakar dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut
Sepuluh Jari Maut tiada hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga
suaranya menjadi parau. Saat itu dirasakannya kulit kepala dan tulang
tengkoraknya seperti meleleh! Kemudian nafas laki-laki ini mulai megap-megap.
Darah yang keluar dari hidung, mulut, mata dan telinganya menetes-netes di atas
api dalam pendupaan besi, menimbulkan suara "cees" yang tiada hentinya.
"Sudah tiba seatnya memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah
Keempat pada kawannya Hulubalang Darah Kelima.
Hulubalang Darah Kelima mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu
sebelah atas terdapat sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam
setiap kamar tahanan yang sekaligus merangkap ruang penyiksaan.
Tak lama setelah Hulubalang Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua
laki-laki yang membawa ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah.
Salah seorang dari mereka, yang barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam
berpaling pada Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.
"Laksanakan tugas kalian cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama
Hulubalang Darah Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut.
Yang tinggal di dalam ruangan tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan
kedua laki-laki berjubah merah. Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di
sisi kiri keluarkan segulung pipa karat warna merah.
Dia menggoyangkan kepalanya pada kawannya yang memegang pisau. Si pemegang pisau
ini segera mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu craass ...! Dengan pisau kecil itu
diputusnya urat nadi di leher Sepuluh Jari Maut. Darah menyembur. Pipa karet
cepat dihubungkan dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh Sepuluh Jari Maut
mengalir melewati pipa karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh Jari Maut
sendiri saat itu megap-megap dan akhirnya meregang nyawa dengan cara
mengenaskan. 3 LAKSANA anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu
berlari kencang membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang
pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang
kawannya seorang dara berkulit hitam manis dan mengenakan pakaian ringkas kuning


Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda. "Bisakah kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa
memalingkan kepalanya.
"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan,
adikku," menjawab si pemuda.
"Halangan apa maksudmu?"
"Lihatlah ke langit ... "
Gadis itu mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas sana
telah gelap oleh gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi hampir
seluruh tempat.
"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.
"Memang bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan
berbatu licin berlumut, serta diapit oleh jurang-jurang terjal ... Itulah
halangan yang kumaksudkan."
"Mudah-mudahan saja hujan tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu
menyentakkan tali kekang kudanya. Binatang itu mendongakc ke depan dan
mempercepat larinya. Pohon-pohon yang dilalui laksana terbang ke belakang.
Kira-kira sepenanakan nasi berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin
bertiup keras menderu-deru. Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya
gumpalan-gumpalan awan hitam mulai pupus sekelompok demi sekelompok. Udara yang
tadi mendung kini berangsur cerah.
"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu
berkata, "Kalau begitu kita memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau
bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih cepat. Bukankah itu yang kau
inginkan?"
Sang dara cemberut. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda
disampingnya tersenyum. Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya
senyuman si pemuda sewaktu di hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan
merah dan dua sosok tubuh manusia aneh sesaat kemudian sudah berdiri menghadang
di tengah jalan.
Kedua saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan main dan serta merta
menghentikan kuda masing-masing. Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang
yang mengenakan pakaian merah basah sedang wajah masing-masing ditutupi oleh
cairan yang setengah membeku.
Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.
"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!"
katanya. "Kalian siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada
tinggi dan sikap gagah.
"Kami adalah Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak
pinggang. "Istana Darah"!" mengulang si pemuda dengan terkejut.
Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas
turut perintah?"
"Turut perintahmu" Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan
perjalanan!" membentak gadis berbaju kuning.
"Ohoo ... galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak
pinggang. "Kami tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan.
Kalau tidak kalian akan menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.
"Pemuda sombong tekebur! Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah
yang tegak di sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Tak ayal si pemuda segera cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat
memapas serangan Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit
pemuda baju biru itu. Tubuhnya mencelat mental dari atas punggung kuda yang
ditungganginya, sedang pedangnya ikut terlepas mental.
"Manusia rendah! Matilah!"
Satu bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah
batang leher Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak
menjadi gugup. Di Istana Darah dia adalah Hulubaiang Darah Ketujuh yang
mempunyai kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia berhasil mengelakkan
sambaran pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental
pedang di tangan lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya
yang menjadi merah bengkak.
Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.
"Gadis manis sepertimu ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah
sekarang kalian mau menyerah baik-baik atau bagaimana?"
"Baik, aku akan menyerah," jawab si gadis, "tapi..." digerakkannya tangannya.
"Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.
"Makan dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu
dia gerakkan tangan kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke
arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang Darah Ketujuh!
"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan
pakaiannya. Puluhan jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin
dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian itu!
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia!
Larilah! Lari lekas! Biar aku yang menghadapi begundal-begundal jahat ini." Dari
pertempuran yang baru berjalan beberapa gebrakan itu si pemuda sudah menyadari
bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi kedua lawan
yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik
seperguruannya dia bersedia korbankan nyawa.
"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!"
jawab Miani yang membuat kakak seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya
juga sudah menyadari nasib apa yang bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak
merasa gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani maju ke hadapan
Hulubalang Darah Ketujuh,
Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling pada temannya. "Hulubalang Sebelas,
kau bereskan pemuda itu. Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan
membawanya ke Istana!"
Hulubalang Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada
dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh
tadi. Namun demikian dengan sisa kekuatan yang ada dan penuh keberanian si
pemuda melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan kirinya tiba-tiba
melepaskan dua puluh jarum biru sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala
lawan. Serangan ini disertai dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas
tidak berani bertindak sembrono.
Dengan berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke
udara, serangan-serangan jarum biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah
Kesebelas. Untuk menghadapi serangan lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada
batok kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas memukulkan tangannya ke atas dengan
mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.
Dalam keadaan terluka begitu rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi
pemuda baju biru.
Walaupun tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya
akan terjamin. Karenanya begitu lawan memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju
biru menjejak tanah dan melompat satu tombak.
Bersamaan dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!
Hulubalang Darah Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat
begitu rupa. Saat itu dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga
dalamnya untuk melakukan bentrokan lengan.
Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup sulit
untuk menyelamatkan dadanya dari tendangan si pemuda. Namun adalah percuma dia
menjabat kedudukan Hulubalang di Istana Darah kalau serangan begitu saja dia
tidak sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya
hanya merupakan bayangan merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di
sebelah mana lawannya berada, tahu-tahu satu pukulan menghantam dadanya, tepat
di bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun lagi pemuda itu muntah
darah dan tersungkur ke tanah!
"Kangmas Widura!" pekik Miani.
"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura
sementara nafasnya mulai megap-megap.
Bukannya lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun
sebelum dia sempat berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di
punggungnya membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi.
Hanya mulutnya saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki dan mengutuki
kedua manusia berbaju merah itu.
Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di
bahu kiri. Dia berpaling pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas
selesaikan pekerjaanmu."
Dari balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong
karet yang pada salah satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal.
Setelah mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat tajam dan berkilat-kilat
ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat
itu tidak berkutik dan menggeletak di tanah tengah meregang nyawa.
Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke
pangkal leher Widura.
"Manusia biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu"!" teriak Miani
sewaktu menyaksikan bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di
leher Widura dengan pisau kecil lalu menghubungkan ujung pipa karet dengan urat
nadi yang menyemburkan darah. Sesaat kemudian kantong karet itu kelihatan mulai
menggembung tanda darah korban telah mengalir masuk.
Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.
"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang
merdu tidak menjadi parau!"
"Kalian manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!"
teriak Miani lalu berulang kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.
"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!"
hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Ditdriknya pakaian kuning si gadis dan
disekanya mukanya yang penuh ludah.
"Seharusnya kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat
kehormatan untuk dipakai sebagai cat istana Darah!"
Tiga perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi
darah yang mengalir masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas
mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan memanggul kantong berisi darah
itu. "Atas semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata
Hulubalang Darah Kesebelas dengan tertawa lebar.
"Yang jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan
dihadiahkan padaku. Dia menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja
datang untuk mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan
aku! Jangan bawa ke Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"
Hulubalang Darah Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu
lalu bersama kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.
*** 4 PAGI ITU udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin
melewati puncak gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih
kelabu yang kemudian menjadi satu dengan awan yang bergerak.
Di salah satu lereng gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini
merupakan sebuah goa yang bagian dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman. Saat
itu di mulut goa, di atas sebuah batu besar berwarna hitam legam dan berbentuk
setengah lingkaran, duduklah seorang Brahmana berselempang kain putih. Kedua
tangannya diletakkan di atas paha sedang sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi.
Rambutnya yang putih menyeka bahu melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin
naik matahari, semakin khusus Brahmana ini bersemedi.
Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan
seorang pemuda bertubuh tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat
tengah berkelebat kian kemari. Di tangan kanannya ada sepotong bambu hijau yang
digerakkan demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana menderuderu. Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya merupakan
sambaran sinar hijau belaka.
Sambil melompat gesit di atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu
bergerak mendekati air terjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak
setengah tombak dari air terjun dan brass! Air terjun muncrat jauh lalu baru
mengalir lagi seperti sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si pemuda dan
hatinya baru merasa puas.
Kemudian dia berdiri di atas ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah
kaki kiri yang dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali
memapas air terjun. Ketika ditelitinya bambu itu, tak setetespun air melekat di
situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah tetapi daya
dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak
di batu licin! "Kepandaianku telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang
nasehat gurunya.
"Ketinggian ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku
lekas puas, apalagi sombong." Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi
di atas bebatuan dan tangannya tiada henti memainkan bambu hijau itu dalam
gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan.
Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk
berjuntai di cabang sebuah pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi
karena saat itu satu pemikiran muncul di kepalanya.
"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang
kemarin. Kenapa sampai pagi ini masih belum muncul?"
Selagi dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara
memanggil laksana ditiupkan oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu, apapun
adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu mengirimkan suara dari
jarak jauh yang hebat sekali.
"Panji kemarilah!"
Seraya melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya
dan berseru menjawab. "Saya datang Eyang!"
Laksana seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatubatu dan akhirnya sampai di satu jalan kecil yang menuju ke pertapaan.
Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk
bersila dan bertanya.
"Ada apa Eyang memanggil saya?"
"Kau habis berlatih ... ?"
"Betul sekali Eyang."
"Bagaimana, apakahada kemajuan kau rasakan?"
"Berkat petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam
diri menunggu penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.
"Aku barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam
semediku aku mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri Widura dan
Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka masih belum sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon
petunjuk Eyang lebih lanjut."
"Mereka berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari
pengalaman mereka ku lepas selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih
waktu tersebut dan mereka belum juga kembali. Cobalah kau turun gunung dan
menyelidiki keadaan sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan
mereka." "Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya
bersalin pakaian dulu."
Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan
tangan memberi isyarat.
"Satu hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia
persilatan kini tengah mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi
oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi yang menyebut dirinya Hulubalang
Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa yang memimpin
mereka." "Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"
"Menculik dan membunuh setiap manusia berilmu."
"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.
"Sebegitu jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang
mereka bunuh tidak berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua


Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudaramu telah menjadi korban manusia-manusia penghisap darah itu."
"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudahmudahan tidak terjadi suatu apa dengan mereka."
Sang guru mengangguk.
Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul
kembali sudah berpakaian rapi.
"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana
seraya mengeluarkan sebilah pedang bergagang gading.
Terkejutlah Panji Kenanga don buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang
mempercayakan saya membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu
melihat gurunya mengangsurkan pedang mustika itu.
"Kalau tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya.
"Pergunakan sebaik-baiknya, terutama dalam keadaan dirimu diancam bahaya."
"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang."
Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu
memasukkannya ke balik punggung pakaiannya.
"Sekarang saya minta diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia
menjura sampai tiga kali lalu membalikkan tubuh.
Seat itu dihadapannya telah berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena
larinya yang cepat laksana angin den bulunya yang mulus putih laksana salju,
oleh Brahmana binatang ini diberi nama Angin Salju.
Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju. Sebelum berlalu binatang yang
jinak dan cerdik ini enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada sang Brahmana,
lalu meringkik tiga kali seolah-olah mengucapkan selamat tinggal mohoi diri.
*** Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada
setengah hari perjalanan dari kaki gunung Raung.
"Kita harus mencari tempat berteduh sobatku." ata si pemuda pada kuda
tunggangannya. Angin Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan
cerdik serta memahami apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia
memutar tubuh dan laksana anak panah melesat menuju segerombolan pohon-pohon
yang berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon ini hingga tak
setetespun air hujan dapat menembus tanah di bawahnya.
"Matamu tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga
saraya mengelus tengkuk Angin Salju.
Binatang itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian
itu. Sementara itu hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang
laksana dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji Kenanga mendengar suara
berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun
manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya
suara berdering-dering itu terdengar semakin keras.
"Apakah ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak menakutnakutiku?" pikir Panji Kenanya dalam hati. Lalu turun dari kudanya.
Sebagai orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan
sendirinya Panji Kenanga memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia
terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat mengetahui sumber datangnya
suara berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di tempat tersebut melengaklah
Panji Kenanga. Di bawah sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala
botak bercelana tipis dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas
bertonjolan. Setiap saat orang berkepala botak ini menggerak-gerakkan kedua
tangannya melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya
kembali, melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus
tiada henti. Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan
satu jumlah yang sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu.
Kemudian sepuluh mata itu dilemparkan ke udara dan bertebar demikian rupa bukan
suatu hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluh-sepuluhnya dengan kedua
tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan berulang-ulang oleh
si botak itu dengan sikap acuh tak acuh!
"Siapakah si botak ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat.
Astaga! Terkejutlah Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana
komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana dia memiliki kepandaian melempar dan
menyambut sepuluh mata uang seperti itu" Benar-benar aneh. Panji Kenanga
melangkah lebih dekat
*** 5 "BAPAK, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si botak tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik
melempar-lemparkan sepuluh mata uang emas itu ke udara.
Panji Kenanga mengulang kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab.
Terus saja asyik bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia
tak dikenal ini tuli maka dia kemudian menegur lebih keras.
Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh:
"Hup!" seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi
ke udara. Seperti daun-daun kering yang dihembus angin uang-uang emas itu
melayang turun perlahan-lahan, kemudian satu dcmi satu jatuh menempel di atas
kepala botak si orang aneh, tersusun rapi.
Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum melihat hal ini. Seorang yang tidak
memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup melakukan hal
itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat begitu. Si botak yang kini
"bertopikan" uang emas kembali tertawa mengekeh.
Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar suara
nyanyian aneh: Sejak lahir menderita buta
Sekeliling serba gelap gulita
Banyak berjalan banyak didengar
Datang bertanya seorang sahabat
Sungguh sayang belum bisa kujawab
Dan sehabis menyanyi ini, orang itu kembali tertawa mengekeh sedang sepuluh
keping uang emas masih terus menempel di kepalanya yang botak!
"Kalau kau tak mau menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu
lebih lama," kata Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun hatinya
penuh diliputi rasa ingin tahu siapa gerangan adanya si botak aneh bermata buta
ini. "Hai! Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau dengarlah
satu lagi nyanyianku."
Panji Kenanga hentikan langkah.
Si buta goyangkan kepala botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di atas
kepalanya melayang ke atas, disambutnya lalu dilemparkannya kembali seperti tadi
sehingga mengeluarkan suara berdering. Dan suara berdering ini dengan teratur
menimpali suara nyanyian yang dibawakannya.
Seorang muda datang menunggang Angin Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar nasihat"
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal pikiran
Agar selamat nyawa di badan.
Sepuluh keping uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu seperti tadi
melayang turun perlahan-lahan laksana ditarik oleh suatu kekuatan gaib yang tak
kelihatan, mata-mata uang tersebut mendarat satu demi satu di kepala botak si
orang tua. Di lain pihak Panji Kenanga heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak
buta tak dikenal ini tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau
ditemui keadaan yang mengharukan" Mengapa dia disuruh berjalan ke arah utara"
Setelah meragu sejenak Panji akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai, bagaimana
kau tahu nama kudaku dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian tadi?"
Si botak mata buta menguap lebar-lebar. Disandarkannya pungung dan kepalanya ke
batang pohan di belakangnya lalu tidur dengan mendengkur. Bagaimanapun Panji
Kenanga berseru keras memanggil, tetap saja dia terus ngorok.
Panji Kenanga geleng-gelengkan kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.
Karena saat itu hujan telah berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si botak
tadi maka akhirnya Panji Kenanga naik ke punggung kudanya, langsung menuju ke
utara. Setelah merancah jalan yang becek akibat air hujan, Panji Kenanga menemui sebuah
lereng pendek berbatu-batu. Di seberang lereng tersebut, diantara pepohonan yang
bertumbuhan di sana sini dilihatnya sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang
menarik perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang menyelimuti daerah di
seberang lereng berbatu-batu itu. Rupanya hujan tidak turun di daerah itu.
Panji Kenanga menyentakkan tali kekang. Angin Salju kembali menggerakkan keempat
kakinya. Tak lama kemudian kedua makhluk itu telah menempuh jalan kecil vang
sebelumnya terlihat dari atas lereng. Ada kira kira setengah peminuman teh
melintasi jalan itu tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan menghentikan
larinya, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!
"Kalau bukannya ada bahaya atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu
binatang ini tak akan meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia
melompat dari punggung Angin Salju. Diusapnya tengkuk binatang ini beberapa kali
seraya berkata, "Tenang sobatku, tenang ..." Si pemuda kemudian melangkah
mengikuti Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan.
Belum lagi dua puluh langkah berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas
perkelahian di jalan sempit itu. Semak belukar banyak yang rambas sedang di
tanah ada noda-noda hitam membeku. Pemuda ini melangkah terus. Tepat pada
langkah yang keempat puluh, kedua kakinya laksana di pantek ke tanah.
Mukanya berubah. Untuk seketika dia tidak dapat bergerak seperti patung.
"Widura!" serunya sesaat kemudian lalu menghambur ke muka.
Di tepi jalan tergelimpang sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian
tubuhnya yang tidak tertutup pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain kafan.
Di sampingnya, diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini adalah darah yang telah
membeku. Dan sosok tubuh itu adalah Widura yang telah jadi mayat.
Panji Kenanga berlutut di samping jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya
bergetar. Rahangnya terkatup rapat-rapat menahan geram. Dia duduk di tanah
memangku kepala Widura yang pucat tiada berdarah. Saat itulah dilihatnya urat
nadi yang putus di bagian leher! Ini adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher
itu jelas bukan luka bukan luka akibat perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh
yang pucat pasi seperti tidak berdarah itu, apakah yang menyebabkannya"
Panji Kenanga lantas ingat pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan
tengah dilanda malapetaka yang disebabkan oleh orang dari Istana Darah. Bukan
mustahil manusia-manusia terkutuk itulah yang telah membunuh Widura. Tetapi
tubuh yang seolah-olah kempes tanpa berdarah" Apakah mungkin disedot" Geraham
Panji Kenanga bergemeletakan. Dia teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis
itu sekarang"
Panji Kenanya memandang berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika
pandangannya membentur gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang hampir
pupus oleh udara. Tulisan itu tidak begitu jelas namun sedikit demi sedikit,
dengan susah payah berhasil juga disambung-sambung oleh si pemuda dan ternyata
berbunyi. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku,
yang menyebabkannya adalah manusiamanusia terkutuk dari Istana Darah.
Mereka juga bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa dan kehormatan Miani.
Widura Panji Kenanga kerenyitkan kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa
meninggalkan pesan begitu"
Dan kapan dibuatnya" Atau mungkin dia sudah menduga ada bahaya terlebih dahulu
hingga siang-siang telah membuat tulisan begitu rupa" Tentu saja semua
pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh Panji Kenanga. Dia hanya bisa menduga-duga.
Sebenarnya bagaimana dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah yang berupa
pesan itu"
Pada waktu dia pertama kali dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga
mental dari atas kuda dan terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik segera
memaklumi bahwa lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan. Apalagi sesudah
diketahuinya bahwa manusia berpakaian serba merah itu adalah Hulubalanghulubalang Istana Darah yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi dan bukan
tandingannya. Yakin kalau dirinya tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk
menyerah atau lari dia tak mau melakukannya, di samping itu menyadari pula bahwa
kedua hulubalang Darah itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup, maka selagi
tertelungkup di tanah dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu
dengan ujung jarinya yang dialiri tenaga dalam.
Apa yang dikerjakan oleh Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah
Ketujuh karena saat itu Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi
serangan pedang Miani.
"Tepat seperti apa yang diduga oleh guru," kata Panji Kenanga dalam hati. "Walau
bagaimanapun aku tak akan berpangku tangan. Sekalipun menyabung nyawa ke lautan
api, hutang nyawa ini harus kubalaskan.
Apalagi Miani pasti berada di tangan keparat-keparat durjana itu!"
Panji Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah adik seperguruannya dan diletakkannya
di bawah satu pohon yang rindang. Di bagian lain dari pohon dengan sebisabisanya dia mulai menggali sebuah lobang.
Lalu jenazah Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu. Setelah ditimbun dengan
tanah, makam itu ditutupnya dengan batu-batu agar tidak dikorek oleh binatang
buas. Setelah merenung sejenak di hadapan makam adik seperguruannya itu, Panji Kenanga
lalu melangkah ke tempat Angin Salju tegak menunggu. Saat itu juga dia
memutuskan untuk mencari di mana letak Istana Darah. Namun mendadak dia ingat
kembali pada si botak bermata buta yang sebelumnya telah ditemuinya.
"Manusia itu aneh," kata Panji dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi
tahu siapa dirinya.
Bukan mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana Darah. Aku harus
meyakinkan dulu siapa dia sebenarnya." Berpikir sampai di situ Panji lantas
memutar kudanya.
Ketika dia kembali ke tempat dimana sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh
berkepala botak itu, didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan
tidur mendengkur. Kepingan sepuluh uang emas masih bertempelan rapi di
kepalanya. "Bapak banguniah!" kata Panji dengan suara keras. Dia berseru sampai beberapa
kali tapi orang itu masih saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran. Tapi apa
yang harus dilakukannya" Jika nyata-nyata dia tahu si botak ini benar-benar kaki
tangan Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai membangunkan segala,
langsung menghajarnya. Namun karena dia belum punya bukti-bukti maka dia tak mau
kesalahan turun tangan.
Akhirnya dengan mengkal Panji Kenanga duduk di bawah sebatang pohon yang
berhadap-hadapan dengan si botak.
Ketika matahari sudah jauh condong ke barat si botak masih juga belum bangun.
Bahkan ketika matahari masuk ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari
mulai gelap, si botak masih saja terus ngorok.
"Tak mungkin kutunggu lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan
dengan tangan atau dengan kaki!"
Si Pemuda melangkah mendekati si botak yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya
diulurkan untuk menepuk bahu orang itu. Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh
si botak satu bentakan menggeledek di seantero tempat itu.
"Ini dia bangsatnya yang kucari-cari!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji
Kenanga kaget bukan main dan cepat berpaling.
*** 6 DI HADAPAN Panji Kenanga saat itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti
bola. Rambut dan wajahnya dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya
sebatas sikut juga berwaena biru. Manusia ini memandang buas pada si botak yang
saat itu masih asyik tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala pada Panji
Kenanga. Dari mulutnya terdengar suara macam harimau menggereng.
"Kau tentu kambratnya Si Botak Mata Buta ini!" damprat orang bermuka biru seraya
melangkah mendekati Panji Kenanga dengan kedua tangan terpentang.
"Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri


Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa?" bertanya Panji Kenanga.
Si gendut tidak perdulikan pertanyaan Panji malah menjawa. "Puah, kebenaran
ucapanmu akan kuselidiki kemudian. Jika ternyata kau masih punya hubungan dengan
bangsat gundul itu, kelak kau juga bakal menerima bagian. Sekarang minggirlah!"
Panji Kenanga melihat orang berbadan gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua
tangannya setinggi kepala. Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu
tampak mengeluarkan sinar biru gelap menggidikkan.
"Minggir!" teriak si muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda
masih menghalang di depannya.
"Eh, kau mau bikin apa?" bertanya Panji.
"Tidak usah tanya! Lihat saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau
pun menerima bagianmu!"
Panji Kenanga tidak mau bergeser dari tempatnya malah berkacak pinggang.
"Menyerang lawan yang sedang tidur adalah tindakan pengecut!" katanya. "Kalau
mau buat perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"
"Anak setan! Kalau begitu biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai berkata begitu si muka biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah
kepala si botak yang masih tidur lelap, satunya lagi ke arah Panji Kenanga.
Dua sinar biru menderu dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun saat
itu Panji Kenanga masih merasa si Botak Mata Buta adalah kaki tangan Istana
Darah, namun melihat orang diserang dengan cara pengecut begitu rupa adalah
bertentangan dengan jiwa kesatrianya. Pemuda ini berseru nyaring lalu berkelebat
cepat ke arah pohon di mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak
menyelamatkan orang ini. Namun dia hanya menemui tempat kosong karena lebih
cepat dari gerakannya, hampir tidak kelihatan, si botak itu telah berkelebat
lenyap dari pohon dimana dia tidur!
Sinar pukulan melesat di atas punggung Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri
lalu bergulingan di tanah. Di belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar
tempat si botak tadi tidur patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara gaduh
akibat dihantam pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi baik batang pohon
yang masih menancap di tanah maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini
kelihatan berwarna biru!
Nyatalah manusia bermuka biru itu betul-betul menginginkan kematian Panji
Kenanga dan Si Botak Mata Buta. Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah
lancarkan pukulan maut yang mengandung racun mematikan!
Ketika Panji Kenanga berdiri kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta
telah berada di bawah pohon yang lain, duduk bersandar dan mengorok persis
seperti sebelumnya. Bahkan sepuluh uang emaspun masih tetap ada di kepalanya
yang botak! Di lain pihak si gendut muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua orang
itu berhasil mengelakkan pukulan saktinya yang bernama "kelabang biru". Lebihlebih Si Botak Mata Buta dianggapnya sengaja telah mempermainkannya.
"Kupecahkan kepala kalian!" teriak si muka biru garang lalu kembali menyerbu
dengan dua kepalan diayunkan. Yang satu menyerang Si Botak Mats Buta, yang
lainnya menghantam ke arah dada Panji Kenanga.
Murid Brahmana dari gunung Raung itu menggeser kakinya kesamping, menepis lengan
lawan dengan lengan kirinya. Sewaktu masing-masing lengan saling beradu, Panji
Kenanga mengigit bibir karena merasakan lengannya pedas bukan main.
Di lain pihak si muka biru tak kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong
lengan lawan sanggup menepis demikian rupa hingga bukan saja serangannya
terhadap si pemuda gagal, tapi serangan yang di-tujukan pada Si Botak Mats Buta
pun meleset akibat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh dua
langkah! Semua itu membuat amarah si gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga
dalamnya kini disalurkan ke tangan kanan. Lengan kanannya kembali memancarkan
sinar biru. Kali ini lebih biru dan gelap dari yang tadi. Panji Kenanga maklum
kalau lawan kini siap-siap akan melancarkan pukulan saktinya disertai tenaga
dalam yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Maka diapun tidak menunggu lebih
lama dan segera menyalurkan tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Begitu lawan melancarkan pukulan "kelabang biru" yang mengandung racun mematikan
itu, Panji Kenanga segera menyambut dengan satu pukulan yang tak kalah hebatnya,
yang menebar selarik sinar putih ke abu-abuan.
Dua pukulan sakti saling bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam
yang tinggi maka pertemua dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan.
Pohon-pohon bergoyang, tanah bergetar.
Sepasang kaki si muka biru melesak sampai tiga senti ke tanah sedang kedua kaki
Panji Kenanga masuk ke dalam tanah hampir setengah jengkal!
Dari sini nyatalah meski masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam
sebanyak tiga perempat bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki si muka biru lebih sempurna dari yang dikuasai Panji Kenanga. Hai ini
adalah wajar karena Panji Kenanga masih terlalu muda, kurang pengalaman dan
masih banyak harus berlatih sementara lawannya sudah belasan tahun malang
melintang di dunia persilatan dan terus menerus melatih diri.
Panji Kenanga yang memaklumi sepenuhnya hal itu bukannya menjadi takut malah
sebaliknya sudah siap-siap untuk maju kembali dengan segala keberanian yang ada
meskipun saat itu dadanya terasa berdeenyut-denyut.
Si gendut muka biru diam-diam dalam hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang
tadi dilepaskan pemuda itu beberapa tahun lewat pernah disaksikannya namun dia
tak ingat lagi siapa yang memiliki ilmu pukulan tersebut. Disamping itu dia jugs
tidak menyangka kalau tingkat tenaga dalam lawan akan sanggup mengimbangi tenaga
dalamnya yang sudah tinggi itu.
Manusia ini tak sempat untuk berpikir panjangpanjang karena saat itu si pemuda
dilihatnya sudah menerjang ke hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan
kosong yang seru. Si muka biru senantiasa berusaha mengadakan bentrokan lengan.
Sebaliknya Panji Kenanga yangg maklum kehebatan sepasang lengan lawan dengan
cerdik selalu menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian kemari
melancarkan serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah sehingga membuat si
muka biru kebingungan.
Memang dalam hal meringankan tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk
seperti bola itu agak sulit menandingi lawannya yang masih muda. Selama
bertahun-tahun Panji Kenanga telah dididik dan melatih diri melompat-lompat di
ujung batu-batu sungai yang runcing dan licin berlumut. Dan kini di tanah datar
dengan sendirinya bukan satu hal yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat
dan gesit. Sambil terus bertempur si muka biru senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan
ilmu silat lawannya.
Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga. Untuk meyakinkan dugaannya ini maka
diapun membentak.
"Anak setan! Ada sangkut paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung
Raung"!"
Panji Kenanga kaget. Namun cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran
ini, baru nanti bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"
"Setan alas!" maki si muka biru geram sekali. Dia berteriak nyaring dan tubuhnya
berkelebat lebih cepat tapi jaraknya sengaja diperjauh dari lawan hingga dia
dapat melancarkan pukulan-pukulan "kelabang biru"
dengan leluasa.
Menghadapi ilmu pukulan lawan yang ampuh ini membuat serangan Panji Kenanga
mengendur dan beberapa jurus kemudian pemuda ini terpaksa berada di bawah angin.
Si muka biru melipat gandakan kecepatan gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya
sehingga Panji Kenanga semakin terdesak.
Meskipun Panji telah mengeluarkan pula pukulan-pukulan saktinya seperti yang
bernama "mega putih"
namun tidak ada gunanya. Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini
mulai berpikir-pikir untuk mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan
gurunya. Tapi karena lawan ma'sih bertempur dengan tangan kosong, hatinya merasa
bimbang untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya semakin
kritis juga. "Muka biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji Kenanga memancing agar lawan
mengeluarkan senjata dan dengan demikian dia tidak akan merasa sungkan untuk
mencabut pedangnya.
Si muka biro tertawa mengejek.
"Untuk melenyapkan bocah setan macammu ini kenapa pakai senjata segala" Lihat
ini jurus kematianmu!"
Ucapan itu ditutup oleh si muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar biasa
cepatnya. Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu sudah berada di atas lawannya sambil
mengayunkan tiriju yung laksana palu godam ke kepala Panji Kenanga, Pemuda ini
menunduk seraya menghantamkan pukulan "mega putih" ke perut lawan.
Tapi dia terpedaya.
Begitu Panji Kenanga bergerak memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping.
Pukulan "mega putih"
mengenai tempat kosong. Di kejap yang sama si muka biru menyorongkan satu
tendangan kilat ke bawah ketiak kanan Panji Kenanga.
Dalam keadaan tubuh masih terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul,
Panji Kenanga sulit sekali untuk mengelakkan serangan berbahaya itu. Masih
diusahakannya untuk mencegah hantaman kaki lawan dengan coba menekuk sikut
memukul tulang kering si muka biru. Tetapi itupun terlambat karena saat itu
ujung kaki kanan lawan sudah menyelinap di bawah lengannya!
"Celaka!" keluh Panji Kenanga dalam hati.
*** 7 DI SAAT itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat
deras menderu, membuat kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting sejauh
setengah tombak!
"Tapak Biru! Kau memang terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"
Panji Kenanga dan si muka biru yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama
memalingkan kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah Si Botak
Mata Buta yang saat itu telah bangun dari tidurnya tapi masih duduk di bawah
pohon sambil mengucak-ucak sepasang matanya yang tidak melihat.
"Botak buta sialan! Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa
hatiku! Ini mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan tangan kirinya ke arah pohon.
Untuk kesekian kalinya pukulan kelabang biru berkelebat di situ.
"Mentang-mentang memiliki pukulan baru yang diandalkan sikapmu sombong
selangit," ejek Si Botak Mata Buta. "Cuhh!" dia meludah ke tanah dan mengangkat
tangan kirinya. Satu gelombang dingin bersiuran keluar dari telapak tangan orang
ini dan sekaligus memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru!
Tapak Biru sampai menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya
dibikin musnah semudah itu.
"Sialan! Tidak kusangka bangsat buta ini sudah maju kesaktiannya begitu jauh!"
maki Tapak Biru dalam hati. Lalu dia berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita
bertempur sampai seribu jurus!"
"Baik orang gendut," jawab Si Botak Mata Buto seraya berdiri dengan sikap acuh
tak acuh dan sambil tepuk-tepuk pantat celana komprangnya.
Justru di saat itu Tapak Biru sudah menerjang menyerangnya dengan satu tendangan
kilat. Si Botak tertawa. "Kelicikanmu masih seperti dulu saja, gendut!" Lalu dia
cepat-cepat menyingkir dan akibatnya tendangan Tapak Biru mengenai batang pohon
di sampingnya hingga patah dan tumbang dan menjadi biru akibat racun kelabang
biru. Penasaran Tapak Biru membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang
biru ke depan. Di belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.
"Kau toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"
Secepat kilat Tapak Biru memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan
saktinya. Namun lagi-lagi dia mendengar suara tawa dari arah belakang. Si Botak
Mata Buta ternyata telah mempermainkannya.
Sebenarnya si buta ini tidak berada di belakangnya. Namun karena dia memiliki
semacam ilmu memindahkan suara maka suaranya terdengar seperti datang dari
belakang, padahal dia berada di tempat lain tak jauh dari situ!
Menyaksikan bagaimana si buta mempermainkan Tapak Biru mau tak mau Panji Kenanga
merasa kagum sekali.
"Botak mata buta mengapa kau hanya berani berkelahi dengan cara pengecut
begitu"!" damprat Tapak Biru marah sekali. Rahanqnya bertonjolan dan dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan sebuah benda bulat sepanjang dua jengkal. Ternyata
adalah sebuah seruling yang terbuat dari perak.
Sementara itu keadaan di tempat itu telah berubaah menjadi gelap. Apalagi di
situ penuh ditumbuhi pohon-pohon berdaun rapat sekali.
"Cara berkelahi bagaimana yang kau inginkan Tapak Biru?" bertanya si buta.
"Mari kita berhadap-hadapan mengadu kekuatan batin!"
"Oh, begitu" Mengadu kekuatan batin berarti tidak mempergunakan senjata bukan
heh"!"
Terkejutlah Tapak Biru sedang Panji Kenanga melengak terpaku di tempatnya.
Keduanya tak habis pikir.
Bagaimana orang buta ini mengetahui kalau lawannya mengeluarkan dan memegang
senjata" Meskipun buta namun saat itu tidaklah terlalu sulit bagi Si Botak Mata Buta
untuk mengetahui bahwa Tapak Biru telah mengeluarkan senjata. Sinar terakhir
matahari yang merambas dari barat telah menimpa seruling yang terbuat dari
perak. Sinarnya memantul dan memijar ke muka si botak. Sekalipun buta tapi
pijaran sinar itu masih dapat dirasakan oleh urat-urat syarap di belakang
matanya. Cuma tentu saja dia tidak jelas senjata apa yang ada di tangan lawan
saat itu. Tanpa perdulikan ejekan lawan Tapak Biru mementang kedua kakinya, mengalirkari
tenaga dalam ke perut dan mendekatkan ujung seruling ke bibirnya. Terdengar
suara seruling mengalun. Mula-mula perlahan lalu makin keras dan makin merdu. Si
botak bergerak-gerak sepasang matanya yang buta. Baik dia maupun Panji Kenanga
sama-sama tercekat dengan alunan suara seruling itu. Namun tanpa disadari oleh
Panji Kenanga, lambat laun kepalanya menjadi pusing dan berat sedang
Pedang Kayu Harum 18 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Seruling Perak Sepasang Walet 3

Cari Blog Ini