05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 18
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, sehingga Agung Sedayu pun berkata, "Marilah kita kembali ke Kademangan paman. Jika kita terlalu lama pergi, mungkin akan dapat menumbuhkan kegelisahan."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk iapun kemudian beringsut sambil bergumam, "Ya. Kita akan segera kembali ke Kademangan."
Keduanyapun kemudian berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan bulak menuju ke pedukuhan induk kademangan Sangkal Putung.
Di Kademangan Kiai Grinsing memang menjadi agak gelisah karena Agung Sedayu yang tidak segera kembali. Namun rasa-rasanya ia menjadi agak tenang karena Agung Sedayu tidak seorang diri. Ia bersama Ki Waskita yang juga seorang yang dapat dipercaya, sehingga jika mereka mendapat gangguan disepanjang jalan, maka keduanya tentu akan dapat mempertahankan hidup mereka.
Kiai Gringsing itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat, Agung Sedayu dan Ki Waskita memasuki regol Kademangan, justru pada saat Ki Demang menghidangkan jamuan makan bagi tamu-tamunya, karena sebagian dari mereka akan segera meninggalkan Kademengan.
Seperti biasa Agung Sedayu tidak langsung pergi kependapa. Setelah ia membersihkan diri di pakiwan bersama Ki Waskita, maka keduanyapun segera pergi ke sebelah longkangan, tempat anak-muda mempersiapkan minuman.
"Kau tidak makan?" bertanya seorang kawannya.
"Disini sajalah, bersama kalian," jawab Agung Sedayu.
"Kiai?" bertanya seorang anak muda kepada Ki Waskita.
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, "Aku juga disini. Jika aku sekarang naik kependapa, mungkin aku tidak akan mendapat bagian lagi."
Anak-anak muda itu tertawa. Meskipun Ki Waskita jarang-jarang berada di Sangkal Putung, tetapi ia merupakan sahabat yang baik bagi anak-anak muda.
Sementara itu, ketika para tamu sudah selesai makan dan beristirahat sebentar, maka merekapun mulai bersiap-siap untuk kembali. Sebagian dari mereka akan pergi ke Pajang, yang lain ke Jipang dan bahkan ada yang akan menempuh perjalanan jauh ke tempat-tempat lain.
"Akupun akan ke Pajang lebih dahulu," berkata Untara, "aku harus menghadap Sultan untuk mengembalikan pertanda pribadinya dan melaporkan tugas yang telah aku lakukan."
Beberapa orang perwira menyambut dengan senang hati, karena mereka akan mendapat kawan seperjalanan. Semakin banyak kawan seiring, maka semakin menyenangkan perjalanan yang cukup jauh itu. Tetapi beberapa orang yang lain justru menjadi kurang senang.
Seorang perwira berkata kepada kawannya yang duduk disampingnya, "Sultan memang lagi bingung. Kenapa ia menyerahkan pertanda pribadinya kepada Untara?"
"Bukan bingung, tetapi pikun. He, kau tahu, kenapa Pangeran Benawa ada disini sekarang ini meskipun ia tidak menampakkan diri di Kademangan ini?"
Agaknya ia menjadi heran, kenapa ayahanandanya terlalu percaya kepada Senapati muda itu di lereng Gnung Merapi itu."
Mereka tidak meneruskan pembicaraan itu, karena seorang kawan yang lain mendekatinya. Meskipun perwira itu berbisik baik, tetapi mereka belum mengenal sikap batin orang yang mendekat itu.
Dengan demikian maka hampir setiap orang dihinggapi oleh kecurigaan terhadap kawan-kawan sesama mereka. Hanya kepada mereka yang diketahui dengan pasti sajalah mereka dapat berbicara dengan terbuka.
Ternyata bahwa yang lebih dahulu minta diri adalah Untara. Raden Sutawijaya masih akan tinggal beberapa saat di Kademangan itu. Rasa-rasanya badannya masih lelah meskipun tidak banyak yang dilakukannya di Sangkal Putung.
Demikianlah maka tamu-tamu di Sangkal Putung itu mulai mengalir sekelompok demi sekelompok, Ki Demang mengantar mereka sampai keregol bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Meskipun Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum sambil mengucapkan terima kasih, namun masih nampak di sorot matanya, kepedihan yang menghunjam jantung.
Diluar Agung Sedayu dan Swandaru memberikan hormat dan ucapan terima kasih pula. Namun setiap kali Agung Sedayu merasa tatapan mata yang tajam menyentuh perasaannya. Seolah-olah merupakan suatu peringatan bahwa ada diantara mereka yang pada suatu saat akan berada ditempat yang saling menyeberang. Bahkan rasa-rasanya Agung Sedayu mulai dibayangi oleh garis batas yang basah karena darah di peperangan.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika Untara berdiri dihadapannya. Beberapa saat lamanya Senapati muda itu memandangi adiknya. Kemudian terdengar ia berdesis, "Agung Sedayu, setiap kejap umurmu semakin bertambah. Apalagi kau sudah mulai berbicara tentang seorang gadis yang akan kau jadikan seorang isteri. Dan kau masih saja bersikap seperti kanak-kanak yang suka bermain kejar-kejaran."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
"Aku akan pergi ke Pajang lebih dahulu," berkata Untara kemudian, "baru dari Pajang aku kembali ke Jati Anom."
"Ya kakang," sahut Agung Sedayu kemudian.
"Dan kau" Apa yang akan kau lakukan?"
"Kembali kepadepokan," jawab Agung Sedayu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Swandaru yang mengerutkan keningnya. Namun Untarapun kemudian meninggalkan Sangkal Putung dengan hati yang risau oleh adik laki-lakinya.
Sementara itu, perasaan Agung Sedayupun rasa-rasanya menjadi gelisah. Pertanyaan kakaknya mengingatkannya kepada hari depannya yang kurang mapan. Apalagi ketika sekilas teringat olehnya sifat dan tingkah laku Sekar Mirah. Gadis yang memiliki sifat sejalan dengan kakaknya Swandaru.
Dengan susah payah Agung Sedayu mencoba mengendapkan perasaannya, sehingga tidak nampak membekas diwajahnya.
Dalam pada itu, sebagian besar para tamu telah meninggalkan Kademangan. Namun masih ada beberapa orang yang tinggal. Mereka masih bercakap-cakap dipendapa tentang berbagai hal yang sedang berkembang disaat-saat terakhir.
Diantara mereka terdapat Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Ki Juru, Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Ki Widura.
"Kita pulang bersama-sama Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya.
Ki Gede tersenyum, jawabnya. "Terima kasih. Kita akan tidak merasa lelah diperjalanan, agaknya Ki Waskitapun tidak akan memilih menempuh perjalanan seorang diri seperti saat ia datang."
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, "Aku memang lebih senang menempuh perjalanan bersama dengan beberapa orang, sehingga perjalanan tidak tarasa sepi. Tetapi entahlah."
"Tetapi kalian tentu tidak akan tergesa-gesa," berkata Kiai Gringsing kemudian.
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan tinggal semalam lagi di Sangkal Putung. Biarlah seorang pengawal mendahului kembali ke Mataram dan mengabarkan bahwa baru besok aku kembali." Raden Sutawijaya berhenti sejenak sambil memandang kepada Ki Juru Martani, seolah-olah minta pertimbangan. Kemudian katanya, "aku kira. aku masih mempunyai waktu jika Ki Demang tidak berkeberatan."
"Tentu tidak," sahut Ki Demang dengan serta merta, "kami akan menerima dengan senang hati. Dengan demikian, Kademangan ini tidak segera menjadi terlalu sepi. Malam nanti masih ada kawan untuk membuat Kademangan ini terasa hangat."
Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih. Disini aku merasa beristirahat. Aku tidak pernah mendapat kesempatan beristirahat sebaik-baiknya di Mataram. Ada saja persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan."
Ki Gede Menorehpun tersenyum pula. Katanya, "Bermacam macam persoalan memerlukan pemecahan Raden. Tetapi disini Raden dapat melupakannya sejenak."
Raden Sutawijaya tertawa. Ki Juru Martanipun tertawa pula sambil berkata, "Sebenarnya anakmas Sutawijaya sudah terlalu sering meninggalkan Mataram."
"Tetapi tidak untuk beristirahat seperti ini," sahut Sutawijaya, "disini aku dapat makan enak dan tidur nyenyak."
Ki Juru tertawa. Yang lainpun tertawa pula. Mereka mengerti bahwa pada kesempatan yang lain, jika Raden Sutawijaya meninggalkan Mataram, biasanya ia menempuh perjalanan untuk mesu diri, untuk nienyempurnakan ilmunya. Ilmu kanuragan, ilmu kajiwan serta ilmu pengetahuan."
Dengan demikian, maka beberapa orang tamu Ki Demang masih tetap tinggal untuk semalam. Mereka masih sempat berbincang dan berbicara mengenai banyak masalah. Tetapi agaknya mereka tidak ingin melelahkan pikiran mereka dengan persoalan-persoalan yang berat. Mereka masih berada dalam suasana berkabung. Apalagi jika mereka melihat wajah Sekar Mirah yang buram.
Namun sebenarnyalah, bahwa Raden Sutawijaya mempunyai maksud tertentu dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung. Sejak ia melihat kedua mayat yang terbunuh dengan ciri-ciri bekas tangan Pangeran Benawa, ia memperhitungkan, bahwa Pangeran Benawa berada di Sangkal Putung untuk suatu maksud tertetu.
"Mungkin ia hanya sekedar memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Sumangkar yang pasti dikenalnya pula," berkata Raden Sutawijaya didalam batinnya. "Tetapi mungkin ia masih mempunyai maksud lain selama berada di Kademangan ini."
Karena itulah, maka ketika kemudian matahari terbenam. Raden Sutawijaya minta diri untuk berjalan-jalan di Kademangan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak mengajak para pengawalnya. Yang diajaknya untuk ikut bersamanya adalah Agung Sedayu dan Glagah putih.
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menjawab, "Baiklah Raden. Kita akan berjalan-jalan sampai ke ujung padukuhan. Tetapi bagi Sangkal Putung, demikian matahari terbenam, jalan-jalan segera menjadi sepi. Setelah obor dipasang di regol dan jalan-jalan simpang, maka penghuni Kademangan ini mulai menutup pintu rumahnya."
"Dan gardu-gardu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ketika malam menjadi semakin gelap, maka mulailah gardu-gardu menjadi hidup," jawab Agung Sedayu.
Menyenangkan sekali. Marilah. Aku sengaja tidak mengajak Swandaru. karena ia masih disibukkan oleh banyak pekerjaan dirumahnya," berkata Raden Sutawijaya kemudian.
Swandaru hanya tersenyum saja. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa beruntung, bahwa ia tidak harus menyertai Raden Sutawijaya karena ia merasa sangat lelah. Ia sudah banyak memeras tenaganya sejak Ki Sumangkar masih sakit. Ia harus memperhatikan Sekar Mirah dan menjaga perasaannya. Apalagi pada saat Ki Sumangkar tidak dapat di tolong lagi.
Setelah minta diri kepada Ki Demang dan para tamu yang lain. Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan Kademangan bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka ketika langit mulai kelam, jalan-jalan di Kademangan Sangkal Putungpun segera menjadi sepi. Anak-anak sudah mulai naik ke pembaringan setelah makun malam. Dan orang-orang tuapun lebih senang duduk berbincang dengan keluarganya dirumah.
Namun ketika malam bertambah malam, justru satu dua orang telah keluar dari rumahnya untuk pergi ke Kademangan. Mereka merasa wajib untuk ikut serta bersama-sama beberapa orang tetangga terdekat untuk berjaga-jaga di pendapa Kademangan setelah meninggalnya Ki Sumangkar.
Demikian, maka pendapa Kademangan Sangkal Putung menjadi semakin banyak orang yang datang berkunjung untuk ikut menjaga agar di Kademangan itu tidak terasa menjadi sangat sepi.
Selain di pendapa Sangkal Putung, maka anak-anak mudapun mulai keluar dari rumahnya dan pergi kegardu terdekat. Selain para pengawal yang kebetulan bertugas, maka anak-anak muda yang lainpun rasa-rasanya mempunyai kewajiban juga untuk ikut membantu mengawasi keadaan. Apalagi mereka mengerti bahwa ada dua orang yang terbunuh didaerah Sangkal Putung. Meskipun pembunuhnya menurut pendengaran mereka adalah Pangeran Benawa, namun kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka kehendaki akan dapat terjadi di Kademangan Sangkal Putung.
Karena itulah, maka setiap kali Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyertai Raden Sutawijaya berjalan-jalan diseputar Kademangan Sangkal Putung, menjadi semakin sering ditegur oleh anak-anak muda yang bukan saja bertemu di sepanjang jalan, tetapi juga mereka yang sudah berada di gardu-gardu.
Namun dalam pada itu Raden Sutawijaya berjalan terus. Ketika mereka sampai diujung padukuhan induk, maka Raden Sutawijayapun mengajak Agung Sedayu untuk berjalan di tengah-tengah bulak.
Agung Sedayu menjadi agak berdebar-debar. Tetapi karena Raden Sutawijaya mendesaknya, maka akhirnya mereka bertigapun berjalan juga diantara tanaman padi yang subur.
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu sebab yang memaksa kami untuk berbuat sesuatu," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Rasa-rasanya ia selalu dibayangi oleh kemungkinan untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak pihak yang selalu mendendamnya.
Meskipun demikian. Agung Sedayu masih dapat merasakan segarnya udara di bulak panjang. Dalam keremangan malam nampak dikejauhan padukuhan-padukuhan yang menjorok kedalam kelam, seperti bukit-bukit kecil yang berserakan.
Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit yang bersih. Bintang-bintang bertebaran diseluruh langit. Namun bulan masih belum nampak, karena hari bulan yang semakin tua.
Namun, ketika mereka sampai ditengah-tengah bulak, rasa-rasanya ada sesuatu yang menyentuh perasaan Agung Sedayu. Nalurinya seakan-akan memberikan pertanda bahwa mereka tidak hanya bertiga saja di bulak yang panjang itu.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi hampir diluar sadarnya ia merapat disebelah Glagah Putih, seolah-olah ia berusaha untuk memagari anak itu dari bahaya jika tiba-tiba saja terjadi sesuatu ditengah-tengah bulak panjang itu.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya nampaknya sama sekali tidak merasakan sesuatu yang dapat mencemaskannya. Ia berjalan sambil menghirup udara segar sambil sekali-sekali memperhatikan langit yang cerah. Bahkan rasa-rasanya Raden Sutawijaya tidak menghiraukan lagi, berapa jauhnya mereka berjalan memasuki bulak yang panjang.
"Disebelah ada padukuhan yang cukup besar bukan ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya," sahut Agung Sedayu, "padukuhan sebelah masih termasuk juga Kademangan Sangkal Putung."
"Dan bulak diseberang ?"
"Masih juga termasuk. Bahkan padukuhan diseberang bulak yang tidak terlalu luas itu masih juga termasuk Kademangan Sangkal Putung."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melihat-lihat padukuhan kecil itu."
"Tidak termasuk padukuhan kecil. Yang termasuk kecil adalah padukuhan disebelah. Jika kita berbelok kekanan ditengah bulak itu. kita akan sampai padukuhan yang lebih kecil. Ada beberapa padukuhan kecil yang bertebaran disebelah sebelum kita sampai kebulak yang memisahkan Sangkal Putung dengan hutan kecil itu."
"Tetapi dihutan kecil itu masih terdapat beberapa jenis binatang buas bukan ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Harimau," jawab Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita berbelok kekanan. Bukankah jalan ini menuju kemakam itu juga ?"
"Ya," jawab Agung Sedayu singkat.
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun ia justru merasa gembira berjalan-jalan bersama dengan Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya.
Namun demikian. Agung Sedayu masih saja diganggu oleh perasaannya bahwa selain mereka, masih ada orang lain di bulak itu. Bahkan rasa-rasanya orang itu selalu mengikuti langkah mereka kemanapun mereka pergi.
Tetapi Agung Sedayu tidak berhasil melihat orang itu. Meskipun setiap kali dengan tiba-tiba saja ia berpaling, namun ia tidak melihat apapun juga didalam keremangan malam.
Meskipun demikian Agung Sedayu berjalan terus. Ketika bulak panjang itu sudah dilampaui, mereka memasuki sebuah padukuhan yang tidak begitu besar.
"Bagaimana dengan para pengawal dipadukuhan ini ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak banyak berbeda dengan padukuhan yang lain," jawab Agung Sedayu, "mereka juga memenuhi gardu-gardu di padukuhan mereka, termasuk anak-anak muda. Tetapi kebanyakan dari anak-anak muda itu, selain yang bertugas hanyalah sekedar berpindah tempat pembaringan."
Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Dimanapun sama saja. Tetapi itupun lebih baik, karena setiap saat mereka dengan mudah berkumpul. Sementara laki-laki yang lebih tua menjaga rumah-rumah mereka."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun berpendapat demikian, meskipun kadang-kadang anak-anak muda itu justru sering mengganggu tetangga disekitarnya. Jika sebatang pohon jambu berbuah, maka dimalam hari anak-anak muda itu sering tidak dapat menahan diri melihat buahnya yang kemerah-merahan.
Dalam pada itu Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Glagah Putihpun berjalan terus. Dimuka gardu mereka kadang-kadang harus berhenti dan bercakap-cakap sebentar dengan anak-anak muda yang ada didalamnya. Bahkan jika mereka mengetahui bahwa yang bersama Agung Sedayu itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, maka merekapun segera berloncatan turun dari gardu dan mengitarinya untuk melihat lebih dekat lagi anak muda yang telah berhasil membuka Alas Mentaok yang pekat itu menjadi sebuah negeri yang termasuk cepat berkembang.
Setelah melewati gardu diujung lain dari lorong yang membelah padukuhan kecil itu, maka Raden Sutawijayapun memasuki sebuah bulak yang meskipun tidak terlalu panjang, tetapi terasa sangat sepi.
Agung Sedayupun kemudian berjalan semakin rapat disisi Glagah Putih. Sementara Raden Sutawijaya berada disebelah yang lain.
Tetapi Glagah Putih sendiri sama sekali tidak merasakan kekhawatiran apapun juga. Ia terlalu percaya kepada Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya. Bahkan ia merasa seandainya meraka bertemu dengan sekelompok penjahat sekalipun, kedua anak muda itu tentu akan dapat mengatasinya.
Namun bagi Agung Sedayu, sentuhan-sentuhan perasaannya masih saja terasa getaran naluriah yang seakan-akan memberitahukan kepadanya bahwa seseorang sedang mengikutinya.
Agung Sedayu termangu-mangu ketika tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menggamitnya sambil berkata, "Kita berhenti disini."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya menebarkan pandangan matanya kedalam kesamaran warna malam. Sejenak ia berdiri tegak tanpa berkata apapun juga.
"Ada sesuatu yang menarik perhatian Raden?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
"Apakah kau merasakan sesuatu" " Raden Sutawijayapun bertanya pula.
Agung Sedayu menarik nafas. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya merasakan pula seperti sentuhan-sentuhan pada perasaannya.
"Aku merasa bahwa kita tidak hanya bertiga dibulak ini," jawab Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, "Aku juga merasa demikian. Dan memang itulah yang aku harapkan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba teringat olehnya seorang anak muda yang berpakaian petani yang telah membunuh dua orang bersaudara dari Pasisir Endut.
"Pangeran Benawa" " hampir diluar sadarnya Agung Sedayu bertanya.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Kemudian katanya, "Benar Agung Sedayu. Aku memang berharap dapat bertemu dengan adimas Pengeran Benawa. Aku yakin ia masih berada di Sangkal Putung. Jika ia melihat aku keluar dari padukuhan, maka ia lentu akan menemui aku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Nampaknya Pengeran Benawa masih mempunyai kepercayaan kepadanya.
"Raden," berkata Agung Sedayu, "jika demikian, kita akan menunggu sejenak. Orang yang kita tunggu agaknya akan segera datang."
Raden Sutawijaya mengangguk kecil. Namun katanya, "Kita akau berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Merekapun melangkah lagi meskipun lambat, seolah-olah mereka sengaja menunggu seseorang yang akan segera menyusul mereka.
Namun ternyata bahwa yang mereka perhitungkan terjadi. Sejenak kemudian nampak sesosok bayangan yang meloncat ke tengah jalan bulak yang tidak begitu panjang itu, beberapa langkah dibelakang mereka.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, "Kau lihat seseorang dibelakang kita?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, maka iapun melihat sebuah bayangan yang mengikutinya.
Meskipun bayangan itu tidak nampak dalam ujud dan bentuk, namun Agung Sedayu segera menduga, bahwa orang itu adalah Pengeran Benawa yang ingin menjumpai Raden Sutawijaya.
Ketiga orang yang berada ditengah bulak itupun segera berhenti menunggu. Semakin lama bayangan itupun menjadi semakin dekat. Dan Agung Sedayupun menjadi semakin yakin, bahwa ia adalah anak muda yang telah dijumpainya bersama Ki Waskita.
Sebelum bayangan itu dekat benar, maka terdengar Raden Sutawijaya sudah menyapanya, "Adimas. Aku yakin, bahwa adimas Pangeran akan menemui aku. Jika tidak malam ini. tentu besok atau pada kesempatan lain."
Bayangan itu melangkah semakin cepat. Kemudian dengan nada dalam terdengar ia menyahut, "Sudah lama aku berniat kakangmas. Tetapi aku belum mendapat kesempatan. Agaknya di Sangkal Putung ini aku mendapatkan kesempatan itu."
Ketika kemudian Pangeran Benawa mendekat. Raden Sutawijayapun menepuk bahunya sambil berkata, "Kau memang orang yang luar biasa. Setiap orang tahu. bahwa kakak beradik dari Pasisir Endut bukan orang kebanyakan. Tetapi keduanya tidak berdaya melawan ilmumu."
"Ah. Aku tidak dapat membiarkan melihat kekejiannya."
"Bukan itu yang penting bagiku. Beruntunglah Pajang mempunyai seorang pemimpin seperti adimas."
Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejanak. Kemudian katanya, "Pajang terasa asing bagiku."
Radeni Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menepi dan duduk diatas sebuah batu padas ditepi jalan.
Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian duduk pula disamping Raden Sutawijaya diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Adimas Benawa," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "apakah adimas tidak melihat keburaman didalam istana Pajang, sehingga adimas tidak segera meringankan tangan, membantu ayahanda Sultan untuk menegakkan kewibawaannya kembali?"
Pangeran Benawa memandang kedalam kegelapan malam. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Kemudian Jawabnya, "Aku adalah seorang pengecut yang lari dari medan perang. Tetapi sebenarnya aku tidak takut melawan apapun yang terjadi didalam istana itu. Yang ternyata mengusir aku dari medan adalah perasaan kecewaku terhadap ayahanda itu sendiri."
Raden Sutawijaya memandang Pangeran Benawa sejenak. Ia melihat kekecewaan yang dalam membayang diwajah anak muda itu. Betapa gelapnya malam, namun Raden Sutawijaya seolah-olah melihat, bayangan tingkah laku Sultan Pajang yang telah membuat hati anak muda itu bagaikan membeku.
"Adimas," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "tetapi adimas harus ingat, bahwa masalah Pajang adalah masalah yang jauh lebih besar dari masalah ayahanda Sultan Hadiwijaya sendiri."
"Aku menyadari. Tetapi seperti yang aku katakan. Hatiku ringkih dan lemah. Aku telah terpukul oleh kekecewaan yang seharusnya dapat aku ataisi karena persoalan yang lebih besar dari sekedar kecengengan yang memuakkan." Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu. "tetapi ternyata yang terjadi adalah lain. Au telah terpukul oleh kelemahan hatiku dan sama sekali tidak berdaya untuk bangkit kembali."
Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, "Kesadaranmu tentang keadaanmu sebenarnya akan sangat berguna bagi usahamu untuk bangkit menjunjung nama Pajang kembali."
Tetapi Pangeran Benawa menjawab, "Tidak. Aku justru berusaha untuk menjumpai kakangmas Sutawijaya karena ada sesuatu yang tumbuh didalam hatiku. Benar-benar nuraniku."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa meneruskan, "Satu-satunya orang yang mungkin dapat berdiri diatas kekalutan pemerintahan dan kekalutan hati ini adalah kakangmas Sutawijaya."
Sutawijaya tertegun sejenak. Namun katanya kemudian, "Adimas. Sudah tentu aku tidak mencuci tangan. Aku sudah bersumpah untuk tidak menginjakkan kakiku dipaseban istana Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri karena hatiku terbakar oleh sikap beberapa orang perwira saat itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak akan ikut memikul tanggung jawab atas kelestarian Pajang."
Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejenak. Kemudian katanya, "Tanpa menghadap ayahanda dan menyampaikan persoalan kita masing-masing, sebenarnyalah bahwa ayahanda telah mengambil keputusan. Bahwa ayahanda telah menyerahkan pusaka-pusaka terpenting dari Pajang kepada kakangmas adalah keputusan ayahanda untuk kelangsungan hidup Pajang. Ayahanda mengenal aku dengan segala macam sifat dan watakku sebaik-baiknya pula. Itulah sebabnya maka sebenarnya tidak ada lagi persoalan di Pajang."
"Tetapi aku mempunyai tanggapan lain. Ayahanda membebankan tugas bagiku sebagai seorang Senapati Perang untuk melindungi Pajang. Dan aku yakin, tidak ada dua, bahwa adimas Benawalah yang seharusnya menjadi Putera Mahkota. Justru saat yang gawat sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk berbuat sesuatu bagi Pajang."
Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, "Kakangmas Sutawijaya. Pajang bukan satu-satunya tempat bagi kelangsungan pemerintahan. Seandainya pusat pemerintahan itu terletak dimanapun juga, tidak ada bedanya asal pemegang pemerintahan merupakan jalur lurus yang memang berhak dan direstui oleh ayahanda Sultan Hadiwijaya. Dan aku sudah menemukannya. Mataram."
"Ah," desah Raden Sutawijaya, "aku adalah putera angkat. Betapapun besar kasih sayang ayahanda terhadapku, tetapi kau adalah putera yang seharusnya menerima warisan itu."
"Itulah yang agak berbeda dari kata nuraniku. Yang penting bagi Pajang bukanlah siapa yang berhak atas tahta. Tetapi siapakah yang paling baik bagi kelestariannya. Dan aku memang sudah menyadari, bahwa aku lebih mementingkan yang paling baik bagi Pajang daripada yang lebih berhak."
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah malam yang kelam diseputarnya. Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk bagaikan membeku. Mereka tidak dapat ikut dalam pembicaraan itu. Tetapi seolah-olah Raden Sutawijaya sengaja membawa mereka untuk menjadi saksi atas sikap dan kata nurani masing-masing tentang Pajang di masa depan.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Kedua anak muda yang paling berhak berbicara atas tangan-tangan yang akan menggenggam pemerintahan itu telah berbincang. Dan agaknya Raden Sutawijaya tidak dapat menghindari limpahan tanggung jawab yang telah dihindari oleh Pangeran Benawa.
Tetapi masih membayang keragu-raguan pada wajah Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa menentukan sikapnya pada saat hatinya dibakar oleh kekecewaan terhadap ayahandanya. Tetapi apakah sikap itu akan langgeng. Jika kekecewaan itu menjadi semakin kabur dari dinding hatinya, maka apakah ia masih tetap pada pendiriannya.
Pertanyaan itu telah membayangi hati Raden Sutawijaya. Namun ia tidak tergesa-gesa menyatakannya kepada Pangeran Benawa. Agaknya ia masih memerlukan waktu untuk menyampaikannya. Jika Pangeran Benawa telah sempat mempertimbangkannya dua tiga kali saja.
Namun seolah-olah Pangeran Benawa merasakan keragu-raguan Raden Sutawijaya. Ialah yang kemudian mengatakannya meskipun Raden Sutawijaya tidak bertanya, "Kakangmas. Mungkin kakangmas ragu-ragu apakah aku tidak akan berubah pendirian."
Raden Sutawijaya mengerutkan kuningnya, sementara Pangeran Benawa berkata seterusnya, "Aku mohon kakangmas percaya kepadaku, bahwa aku akan tetap memegang kata-kataku sekarang. Aku tidak baru saja memikirkannya. Aku sudah lama mempertimbangkannya. Agaknya pertimbanganku sudah matang. Apapun yang kelak terjadi atasku, tetapi aku tidak akan berubah dalam hal ini."
Sejenak Raden Sutawijaya termenung. Namun kemudian sambil menepuk bahu Pangeran Benawa ia berkata, "Adimas. Mungkin kita dapat mengambil suatu sikap bersama. Tetapi semuanya masih tetap tergantung ayahanda Sultan di Pajang."
Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, "Bagiku tidak. Juga jika ayahanda memerintahkan aku untuk bersedia diangkat menjadi Pangeran Pati. Aku akan menolak dengan segala akibatnya."
"Jangan begitu adimas. Sikap itu akan sangat menyedihkan hati ayahanda."
"Mudah-mudahan ayahanda mengerti seperti yang aku duga selama ini. Bahkan menurut dugaanku, ayahanda tidak lagi akan bertanya kepadaku, apakah aku bersedia diangkatnya menjadi Pangeran Pati."
Raden Sutawijaya tidak menyahut lagi. Pangeran Benawa agaknya benar-benar telah mengambil keputusan.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Angin malam berhembus ke Utara. Sementara bintang gemintang bagaikan terbaur dilangit yang luas.
"Kakangmas," Pangeran Benawa memecah keheningan, "aku mohon diri. Tidak ada yang dapat aku katakan lagi. Rasa-rasanya beban yang menghimpit dada telah tertumpah keluar. Aku akan dapat tidur dengan nyenyak."
"Tetapi akulah yang kemudian tidak dapat tidur," jawab Raden Sutawijaya, "masalahnya sangat gawat bagiku."
Pangeran Benawa berdiri sambil tersenyum. Katanya, "Kakangmas adalah Senapati Ing Ngalaga yang telah menerima pelimpahan pusaka terpenting dari Pajang. Tidak ada persoalan lagi yang seharusnya kakangmas risaukan. Jangan hiraukan suara orang-orang yang iri hati. Dan jika kakangmas memerintahkan, aku akan dengan senang hati membantu memusnakan mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit tanpa menghiraukan keadaan kecuali dibayangi oleh nafsu ketamakan."
"Terima kasih adimas," desis Raden Sutawijaya, "kita masih harus menunggu sikap terakhir ayahanda Sultan Pajang."
Sekali lagi Pangeran Benawa tersenyum. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya lirih, "ayahanda tidak lagi dapat mengambil sikap apa-apa."
"Ah," desah Raden Sutawijaya.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak sempat berbicara lagi, karena Pangeran Benawa berkata, "Sudahlah kakangmas. Hari sudah jauh malam. Lebih baik aku segera meninggalkan Sangkal Putung dan kembali ke Pajang."
"Baiklah adimas. Kita akan menghadapi masa-masa yang berat."
"Ya. Aku sadar. Tetapi aku yakin, semuanya akan teratasi."
Pangeran Benawapun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil menepuk bahu anak yang masih sangat muda itu ia berkata, "Kau adalah seseorang yang menyimpan kemungkinan yang sangat besar seperti kakakmu Agung Sedayu."
Glagah Putih menundukkan kepalanya.
"Sudahlah. Kalian tentu lelah. Beristirahatlah. Akupun akan beristirahat diperjalanan kembali ke Pajang."
Glagah Putih mengerutkan keningnya, ia tidak begitu mengerti kata-kata Pangeran Benawa. Apakah perjalanan yang panjang itu dianggapnya sebagai suatu istirahat saja.
Sejenak kemudian maka Pangeran Benawapun telah meninggalkan Raden Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu, "Ia adalah kesatria yang benar-benar berusaha untuk menempatkan diri. Akhirnya aku percaya bahwa sikapnya bukan sekedar karena kekecewaannya. Tetapi ia menganggap bahwa aku lebih baik daripadanya, meskipun aku tidak tahu, apakah memang sebenarnya demikian."
Agung Sedayu menarik nafas. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Ia nampak bersungguh-sungguh. Jarang menemukan seorang anak muda seperti Pangeran Benawa. Seseorang pada umumnya lebih senang menerima kedudukan tanpa menghiraukan apakah ia mampu melakukannya."
"Pangeran Benawa berdiri dialas persoalan yang beraneka," sahut Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Marilah," berkata Raden Sutawijaya, "jika kita pergi terlalu lama, akan dapat menumbuhkan kegelisahan di Kademangan. Pamanda Ki Juru Martani tentu menjadi gelisah pula selain gurumu dan paman Widura."
Agung Sedayu mengangguk. Digamitnya Glagah Putih yang masih saja memandang kearah Pangeran Benawa pergi sambil berkata, "Marilah Glagah Putih. Kita sudah menyaksikan suatu peristiwa yang penting. Tetapi peristiwa ini bukan peristiwa yang dapat kau ceriterakan kepada kawan-kawanmu bermain atau kepada siapapun juga. karena masalah ini menyangkut masalah yang besar."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya berganti-ganti.
"Kakakmu benar Glagah Putih," berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum, "aku percaya bahwa kau dapat menyimpannya saja didalam hatimu sampai saatnya peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Dan kita tidak tahu, apa yang kelak akan terjadi sesungguhnya meskipun aku dan adimas Pangeran Benawa misalnya sudah sepakat."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Meskipun ia masih muda, tetapi ia cukup mengerti, bahwa yang baru saja disaksikannya adalah persoalan yang menyangkut masalah yang besar.
Demikianlah maka mereka bertiga telah melangkah kembali ke padukuhan induk. Mereka melalui padukuhan kecil yang sepi, tetapi gardu-gardunya menjadi semakin hidup. Anak-anak muda sudah mulai berkumpul. Nampaknya mereka sedang asyik bergurau. Terdengar suara tertawa menusuk sunyinya malam.
"Sebentar lagi gardu-gardu itu menjadi sepi," berkata Agung Sedayu, "yang akan terdengar hanyalah dua tiga orang yang berbicara perlahan-lahan, karena anak-anak muda sudah tertidur nyenyak."
Sutawijaya tersenyum. Di Mataram, gardu-gardu juga diisi oleh anak-anak muda yang selalu ingin berkumpul diantara mereka. Tetapi karena mereka tidak bertugas, maka mereka tidur saja dengan nyenyaknya apalagi mereka telah merasa mengantuk.
Didepan gardu-gardu yang dilalui, seperti saat mereka berangkat, maka setiap kali mereka bertigapun harus berhenti sejenak untuk menjawab beberapa pertanyaan. Baru kemudian mereka dapat meninggalkan anak-anak muda untuk meneruskan perjalanan.
Ketika mereka sampai di Kademangan, maka dipendapa masih banyak orang yang duduk melingkar diatas tikar pandan. Mereka berkumpul untuk ikut berjaga-jaga agar Kademangan yang baru saja kematian seseorang itu tidak terasa sangat sepi.
Seperti yang diduga, ternyata kepergian Sutawijaya yang agak lama itu telah menimbulkan kegelisahan. Ketika ia memasuki regol halaman dan mencuci kakinya di sudut halaman, Ki Juru menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Itulah Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Kiai Gringsingpun tersenyum. Katanya, "Aku juga sudah mulai gelisah."
Ketika ketiganya naik kependapa, maka Ki Jurupun segera bertanya, "Begitu lama Raden ?"
Raden Sutawijaya tersenyum. Meskipun ia merasa wajib untuk melaporkannya kepada Ki Juru Martani, tetapi ia tidak dapat mengatakannya dihadapan banyak orang. Karena itu, maka katanya, "Berjalan-jalan dibulak-bulak panjang agaknya menyenangkan sekali Ki Juru. Udaranya terasa segar diantara batang batang padi muda."
Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu, "Kami sudah gelisah. Baru siang tadi terjadi peristiwa yang mendebarkan."
"Tetapi dimalam hari ini tidak akan terjadi apa-apa. Digardu-gardu banyak anak-anak muda berkumpul sambil bergurau. Mereka akan menjaga ketenangan padukuhan-padukuhan di Kademangan Sangkal Putung."
"Tetapi mereka akan segera tidur lelap," potong Ki Demang.
"Tidak semuanya," sahut Ki Jagabaya.
Yang lain tersenyum. Tetangga-tetangga Ki Demangpun tersenyum. Seorang yang masih cukup muda menyahut, "Seperti yang dikatakan Ki Jagabaya. Setiap saat tentu ada yang berjaga-jaga. Yang bertugas tentu mengatur diri untuk tidur bergantian."
Ki Jagabaya tertawa. Katanya, "Ia adalah salah seorang dari para pengawal yang kadang-kadang bertugas dimalam hari."
Yang lainpun tertawa. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia telah melihat kegiatan anak-anak muda di Sangkal Putung yang tidak jauh berbeda dengan kegiatan para pengawal di Mataram dan para prajurit di Pajang.
"Agaknya Swandaru berhasil menguasai kawan-kawannya di Sangkal Putung," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya, "pengaruh kedudukan ayahnya dan kemampuan yang;diperolehnya dari gurunya, ternyata dapat dimanfaatkannya sebaik-baiknya."
Tetapi saat itu Swandaru tidak berada di pendapa. Setiap kali bersama isterinya Pandan Wangi, ia masih saja mengamati keadaan adiknya.
Meskipun Sekar Mirah ternyata berhasil menguasai perasaannya, namun kadang-kadang masih saja ada ledakan-ledakan kepedihan hatinya yang muncul, sehingga air matanya setiap kali masih nampak mengambang dipelupuknya.
Sementara itu, dipendapa masih saja terdengar percakapan yang riuh. Kadang-kadang terdengar suara tertawa tertahan. Namun kadang-kadang suara tertawa itu lepas juga berkepanjangan. Namun jika mereka teringat bahwa baru saja mereka memakamkan jenazah Ki Sumangkar, maka suara tertawa itupun segera mereda.
Sekar Mirah memang merasa tersinggung oleh suara tertawa yang meledak. Namun kakaknya masih sempat memperingatkannya, bahwa kehadiran orang-orang itu memang sengaja untuk memberikan suasana yang lain daripada kesedihan melulu. Karena dengan kehadiran mereka, maka suasana akan menjadi lebih hidup dan tidak selalu diselubungi oleh kenangan atas meninggalnya Ki Sumangkar.
Sekar Mirah mencoba untuk mengerti. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk tidak menghiraukan lagi suara tertawa yang kadang-kadang meledak. Namun tiba-tiba saja bagaikan tersentak berhenti.
Baru menjelang dini hari, pendapa itu mulai menjadi sepi. Para tetangga telah meninggalkan pendapa, dan para tamu telah kembali kepenginapan masing-masing.
Dalam pada itu. Agung Sedayu telah mengantarkan Glagah Putih kegandok, kemudian meninggalkannya berbaring. Sedangkan Agung Sedayu sendiri melangkah menuju kelongkangan, tempat anak-anak muda membuat minuman.
Tetapi nampaknya tempat itupun telah sepi. Hanya ada dua orang yang masih duduk terkantuk-kantuk, sementara yang lain telah tertidur diserambi.
"Kau belum tidur ?" bertanya salah seorang dari mereka kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak mengantuk."
"Swandaru menunggumu," kata anak muda itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian masuk keruang dalam melalui butulan.
Diruang tengah Swandaru duduk sambil menyandarkan kepalanya pada tiang. Matanya sudah separo terpejam. Tetapi ia tidak tertidur.
Ketika ia melihat Agung Sedayu mendekatinya, maka iapun bertanya dengan nada yang dalam seolah-olah tersangkut dikerongkongan, "Kau pergi kemana saja Agung Sedayu?"
"Sekedar berjalan-jalan di bulak dan melihat padukuhan-padukuhan kecil," jawab Agung Sedayu.
"Rasa-rasanya kau pergi terlalu lama. Beberapa orang telah menjadi gelisah."
Agung Sedayu tidak menyahut. Iapun, kemudian duduk disamping Swandaru.
"Bagaimana dengan Sekar Mirah?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
"Ia menjadi semakin tenang. Sekarang ia tidur dengan Pandan Wangi. Mudah-mudahan besok ia telah benar-benar dapat menguasai diri sepenuhnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun berharap demikian, sehingga gadis itu seolah-olah tidak lagi menjadi beban bagi orang lain.
Sementara itu, Swandaru yang telah menguappun berkata, "Sebaiknya kitapun pergi tidur."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Aku juga mulai merasa mengantuk."
Swandaru berdiri sambil menggeliat. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, "Besok kita masih mempunyai kerja."
Ketika Swandaru kemudian hilang dipintu biliknya, maka Agung Sedayupun bangkit pula dan melangkah keluar, ia kemudian merebahkan diri diserambi, diatas sebuah amben bambu yang besar bersama beberapa orang anak muda yang telah tertidur nyenyak
Sementara itu, di dalam bilik yang disediakan bagi Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. keduanya ternyata masih duduk sambil berbincang. Raden Sutawijaya dengan bersungguh-sungguh menceriterakan pertemuannya dengan Pangeran Benawa yang menyatakan pokok pikirannya tentang Pajang dimasa yang akan datang.
Ki Juru setiap kali mengagguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya dengan saksama, seolah-olah ia tidak mau kehilangan satu katapun yang diucapkan oleh anak muda itu.
"Anak muda yang mengagumkan," berkata Ki Juru, "tetapi juga mengherankan. Terlalu sulit untuk mengerti caranya berpikir meskipun kita dapat meraba-raba."
"Ia tidak dapat mengatasi rasa kecewa yang menghunjam jantungnya," berkata Raden Sutawijaya.
"Ya. Tidak jauh berbeda dengan sikapmu. Kau tidak mau tampil dalam pergolakan yang terjadi diistana Pajang karena kau mempertahankan harga dirimu. Kau sudah mengucapkan sumpah untuk tidak menjamah paseban, sebelum Mataram menjadi ramai. Dan kau tidak merubah sikapmu meskipun kau tahu, bahwa Pajang kini benar-benar terancam bahaya. Sedangkan Pangeran Benawa tidak pula mau melepaskan perasaan kecewanya meskipun sebenarnya iapun memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu mengatasi keadaan. Apalagi jika kalian berdua menemukan kata sepakat. Maka tidak seorangpun yang akan dapat menggetarkan kedudukan kalian."
Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dalam keadaan yang demikian, ia memang merasa ragu-ragu. Apakah sudah sewajarnya ia bersitegang mempertahankan kalimat-kalimat yang pernah diucapkan sebagai sumpahnya dihadapan para perwira di Pajang.
Namun didasar hatinya yang paling dalam, timbul pula niatnya untuk membiarkan Pajang menjadi lapuk dari dalam.
"Tidak ada yang pantas dipertahankan lagi," kata nya didalam hati, "biarlah Pajang runtuh sama sekali. Baru kemudian dapat dibangun pemerintahan yang bersih sama sekali dari segala nafsu. Meskipun barangkali sikap itupun didorong oleh nafsu pula."
Raden Sutawijaya sendiri kadang-kadang memang menjadi bingung menghadapi keadaan yang membentang dihadapannya. Namun satu hal yang tidak terlepas dari tekadnya, bahwa yang akan datang harus lebih baik dari yang dibiarkannya menjadi reruntuhan.
Dalam pada itu. agaknya Pangeran Benawa sama sekali tidak mau meninjau sikapnya, seolah-olah ia sudah jemu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Ia sudah menemukan keputusan. Dan keputusan itu baginya mutlak berlaku, apapun yang akan terjadi.
Baginya Pajang telah dipenuhi oleh binatang-binatang buas yang saling menerkam, saling membunuh dan saling membinasakan. Namun diantara mereka, ia masih melihat seseorang yang bertanggung jawab terhadap masa depan.
"Raden," berkata Ki Juru kemudian, "kita masih harus berusaha menemuinya lagi, kapan dan dimanapun."
Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, "Aku sependapat paman. Aku harus menemukan sikapnya yang sejati. Aku tidak akan ingkar bahwa aku harus memikul tanggung jawab bagi masa depan jika itu memang dikehendakinya. Tetapi aku tidak akan melanggar haknya jika ia memang menghendaki. Karena aku yakin, jika adimas Pangeran Benawa menerima limpahan kekuasaan ayahanda, berarti ia akan mempertanggung jawabkannya. Ia akan mengatasi perasaan kecewa dan tidak peduli. Karena Pangeran Benawa tidak akan dapat menerima kedudukan itu hanya karena terpaksa, atau karena kebiasaan dan hak semata-mata."
"Aku mengerti. Itulah yang mengagumkan pada anak muda itu. Tetapi jika benar demikian, kau harus dapat mengimbangi dengan sikap dan tingkah laku sebagai ujud dari pertanggungan jawabmu atas kesediaanmu."
Raden Sutawijaya menarik nafas. Ternyata ia sudah mulai membicarakan masa depan bagi sebuah negeri dan sekaligus membicarakan kekuasaan yang akan memerintahnya.
Namun pembicaraan itupun terhenti. Agaknya keduanya masih ingin beristirahat barang sejenak, jika kemudian matahari terbit, maka mereka memutuskan untuk kembali ke Mataram.
Akhirnya, Sangkal Putung benar-benar menjadi lelap. Bilik-bilik dan ruang yang diperuntukkan bagi para tamu yang tinggal telah menjadi sepi. Mereka tidur nyenyak menjelang dini hari tanpa perasaan cemas, karena para pengawal selalu siap pada tugasnya di gardu-gardu, juga digardu didepan Kademangan. Bahkan setiap kali dua orang pengawal yang sedang meronda berjalan mengelilingi halaman dalam Kademangan Sangkal Putung dan beberapa rumah tetangga yang dipergunakan untuk menginap beberapa orang tamu yang masih tertinggal.
Tetapi kelelapan itu tidak berlangsung lama. Ketika ayam jantan berkokok dini hari, maka beberapa orang perempuan yang tertidur di dapur, telah bangkit sambil menguap. Kemudian satu persatu mereka pergi kepakiwan untuk mencuci muka.
Sejenak kemudian, maka perapianpun mulai mengepulkan asap. Air mulai dijerang untuk menyiapkan minuman bagi para tamu yang masih bermalam.
Pandan Wangi yang telah tertidur disamping Sekar Mirah. Ia membuka matanya ketika Sekar Mirah terbangun pula dari tidurnya yang gelisah.
Tetapi agaknya Sekar Mirah telah menjadi lebih tenang. Ditatapnya mata Pandan Wangi yang masih buram. Bahkan ialah yang bertanya kepada Pandan Wangi, "Kau lelah sekali Wangi."
Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, "Tidak Mirah.Aku tidak lelah. Mungkin aku tertidur nyenyak menjelang pagi. Dan kini badanku terasa segar."
Ternyata Sekar Mirah telah mencoba untuk tersenyum pula. Katanya, "Tentu kau tidak merasa lelah. Kau telah terbiasa berada di medan yang betapapun kerasnya."
"Ah," desah Pandan Wangi, "kita memang termasuk orang-orang aneh. Tetapi pergilah ke pakiwan. Kau akan merasa lebih segar."
Sekar Mirah mengangguk. Ketika ia berdiri dan melangkah keluar bilik, ruang dalam rumah Ki Demang itu masih sepi. Yang terdengar adalah suara beberapa orang perampuan dan api yang menelan potongan kayu bakar diperapian.
Sejenak Sekar Mirah tertegun. Ia merasakan tusukan kesepian didinding jantungnya. Namun kemudian ia mulai menyadari, bahwa hari masih terlalu pagi.
Perlahan-lahan ia melangkah menyusuri ruang dalam yang sepi. Kemudian membuka pintu butulan. Ketika ia berpaling, dilihatnya lewat pintu dapur, beberapa orang perempuan telah menjadi sibuk.
Namun demikian, dilongkangan masih nampak sepi seperti diruang dalam. Mangkuk masih berserakan diatas-paga bambu. Sementara beberapa orang anak muda tertidur dengan nyenyaknya diserambi.
Sekar Mirah tidak mengganggu mereka. Ia berjalan terus kepakiwan. Bahwa ia berusaha untuk tidak melontarkan suara yang dapat mengejutkan anak-anak muda yang kelelahan itu.
Tetapi ketika Sekar Mirah melangkah kembali dari pakiwan, justru seorang perempuan yang keluar dari dapur telah membangunkan anak-anak muda itu, Dengan lantang ia berkata, "He anak-anak malas. Air sudah mendidih. Dan mangkuk masih belum kalian cuci. Sebentar lagi para tamu akan bangun. Mereka harus segera dijamu dengan minuman hangat."
Anak-anak muda yang tertidur di serambi terkejut. Beberapa orang segera bangkit. Tetapi yang lain hanya menggeliat dan kembali melingkar setelah menguap.
Tiga orang diantara mereka segera turun dari lincak bambu yang besar. Meskipun mereka masih sangat mengantuk, namun mereka melangkah tertatih-tatih sambil bergumam, "Mataku tidak mau terbuka."
"Tetapi minuman harus kalian siapkan." bentak perempuan itu.
Salah seorang dari anak muda itu menjawab, "Baik bibi. Baik. Kami akan mencuci mangkuk-mangkuk itu."
Perempuan itupun segera meninggalkan anak-anak muda yang masih mengantuk itu. Sambil melangkah masih terdengar ia bergumam, "Anak-anak malas."
Agung Sedayu yang sudah terbangun pula, duduk dibibir lincak yang besar itu sambil mengusap matanya. Sebenarnya iapun masih ingin tidur nyenyak seperti beberapa orang kawannya yang benar-benar malas bangun. Tetapi ia tidak sampai hati melihat kawan-kawannya yang sambil terkantuk-kantuk mengumpulkan mangkuk.
Agung Sedayu tersenyum ketika kawan-kawannya mencegahnya agar tidak usah ikut membantu mereka. Salah seorang dari mereka berkata, "Beristirahatlah. Kau tentu masih lelah. Biar aku membangunkan kawan-kawan yang lain."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Aku hanya akan membantu mengumpulkan mangkuk-mangkuk ini. Kalianlah yang harus mencuci dan kemudian menyiapkan minuman disaat matahari terbit nanti."
Kawan-kawannya tidak mencegahnya lagi. Tetapi salah seorang dari merekapun membangunkan kawan-kawannya yang lain, meskipun masih saja diantara mereka yang hanya sekedar memutar tubuhnya dan kembali memejamkan matanya sambil bersilang tangan.
Kawan-kawannya yang telah terbangun membiarkan mereka. Agaknya mereka benar-benar kelelahan, sehingga rasa-rasanya mereka benar-benar tidak mampu lagi untuk bangkit.
Perlahan-lahan warna merah menebar dilangit. Cahaya fajar semakin menjadi cerah. Burung-burung liar mulai bersiul dengan lagu riang. Sementara induk ayam membawa anak-anaknya turun dari kandangnya dan mulai merangkak-rangkak dihalaman.
Sesaat kemudian Sangkal Putung telah terbangun. Pintu-pintu rumah telah terbuka, dan jalan-jalanpun mulai menjadi ramai.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, pendapa rumah Ki Demang Sangkal Putungpun telah menjadi ramai pula. Beberapa orang duduk sambil berbincang. Sementara beberapa anak muda telah menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan.
Namun agaknya kesibukan di pendapa itu tidak berlangsung lama. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga telah minta diri untuk meninggalkan Sangkal Putung kembali ke Mataram.
Ki Demang tidak dapat lagi mencegahnya. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah ditunggu oleh kewajiban yang berat di Mataram.
Karena itulah, maka Ki Demang hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatannya menerima kehadiran Raden Sutawijaya.
Sutawijayapun minta diri pula kepada orang-orang yang ada di Sangkal Putung. Kepada Ki Widura. kepada Kiai Gringsing, kepada Ki Waskita dan orang-orang lain, sementara Ki Gede Menoreh ternyata berniat untuk kembali pula ke Menoreh bersama Raden Sutawijaya.
Ada kekecewaan Pandan Wangi melepas ayahnya pulang. Tetapi ia tidak akan dapat memaksa ayahnya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung seperti dirinya, karena ayahnya mempunyai kewajiban pula atas tanah perdikan yang ditinggalkannya.
Yang nampak sangat kecewa justru adalah Prastawa. Sebenarnya ia masih ingin tetap tinggal di Sangkal Putung. Tetapi ia tidak berani menentang pamannya yang telah mengajaknya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Prastawa hanya sempat bertemu dengan Sekar Mirah saat ia minta diri. Namun agaknya Sekar Mirah yang masih belum pulih kembali perasaannya yang terluka itu, hampir tidak mempunyai perhatian tersendiri kepadanya. Ia mencoba tersenyum kepada setiap orang yang minta diri kepadanya, meskipun senyumnya masih terasa sangat hambar.
"Ia sedang bersedih hati," berkata Prastawa kepada diri sendiri.
Tetapi sementara itu, diluar sadarnya, maka ia menjadi semakin tidak senang melihat Agung Sedayu yang berada di Kademangan itu pula.
Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya serta Ki Juru Martanipun telah siap untuk berangkat bersama Ki Gede Menoreh yang diikuti, oleh kemanakannya. Sedangkan para pengawal yang akan mengikuti pemimpin mereka masing-masing telah siap pula dengan kuda-kuda mereka.
Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Juru Martani, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh berada dipaling depan. Kemudian para pengawal dari Mataram mengikuti mereka.
Dipisahkan oleh Prastawa, maka dipaling belakang para pengawal dari Tanah Perdikan Menorehpun mengikut pula. meskipun jumlahnya tidak sebanyak pengawal dari Mataram.
Disepanjang jalan, tidak henti-hentinya Ki Juru dan Ki Gede Menoreh berbincang tentang banyak hal yang telah mereka lihat dan mereka alami di Sangkal Putung. Tentang meninggalnya Ki Sumangkar. Tentang Sekar Mirah yang menjadi sedih karena ditinggal oleh gurunya. Tentang Agung Sedayu. Tentang kematian dua orang yang tidak mereka kenal, yang ternyata adalah dua bersaudara dari Pesisir Endut, dan juga tentang Pangeran Benawa.
Ki Juru Martani tidak banyak menceriterakan pertemuan Raden Sutawijaya dengan Pangeran Benawa. Ia juga tidak mengatakan bahwa kedua saudara angkat itu telah membicarakan masalah yang penting bagi masa depan Pajang. Yang mereka percakapkan tentang Pangeran Benawa adalah ilmunya yang luar biasa. Seorang diri ia telah berhasil membinasakan dua orang bersaudara yang disegani banyak orang dari Pesisir endut itu. Juga tentang sikap Pangeran Benawa yang tidak begitu mengacuhkan semua peristiwa yang terjadi di istana Pajang dan kemelut yang menyala dimana-mana.
Sementara itu. Raden Sutawijaya sendiri banyak berdiam diri sambil merenungi masa depannya dan masa depan Mataram. Ia tidak tahu, jalan yang manakah yang paling baik baginya. Pembicaraannya dengan Pangeran Benawa ternyata telah menumbuhkan berbagai macam persoalan didalam hatinya.
Iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Mereka melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan. Setiap kali iring-iringan itu memasuki gerbang padukuhan, maka beberapa orang telah berlari-larian keluar dari rumah dan regol halaman masing-masing. Kadang-kadang terdengar diantara mereka berbisik, "Itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Aku kemarin telah melihatnya mengiringi jenazah Ki Sumangkar yang meninggal di rumah Ki Demang Sangkal Putung."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ada juga yang menyahut, "Aku sudah tahu. Aku juga melihatnya di saat ia berada di Sangkal Putung."
Sementara beberapa orang gadis saling berbisik, "Alangkah tampannya anak muda yang berkuda dipaling depan itu."
"Sst," desis seorang laki-laki yang berdiri disampingnya, "itu adalah Raden Sutawijaya."
"O," merekapun saling menggamit. Bahkan ada diantara mereka yang mencubit lengan kawannya yang berdiri di sisinya, sehingga kawannya terlonjak.
Namun belum lagi iring-iringan itu sampai kepada kuda yang terakhir, sekali lagi gadis-gadis itu saling berdesis, "He, yang berada diantara para pengawal itupun tampan pula. Sayang, wajahnya agak buram."
Prastawa tidak mendengar kata-kata itu. Tetapi seolah-olah ada sesuatu yang telah menggamit hatinya, sehingga diluar sadarnya ia telah berpaling memandangi gadis-gadis itu, sehingga wajah gadis-gadis itu menjadi merah padam.
Namun Prastawa yang muda itu sempat tersenyum, sehingga gadis-gadis itu menjadi semakin tersipu-sipu.
Demikianlah maka iring-iringan itu berjalan terus. Menyusuri jalan panjang diantara hijaunya tanaman di sawah dan hijaunya pepohonan di padukuhan. Sekali-sekali iring-iringan itu menyeberangi sungai yang melintang jalan, dan sekali-sekali melintasi hutan yang sudah tidak merupakan rintangan lagi bagi perjalanan iring-iringan itu, karena telah dibuat jalan yang baik menusuk sampai keseberang.
Sementara itu. Sangkal Putung menjadi semakin sepi. Apalagi jika sampai saatnya beberapa orang akan meninggalkan Kademangan itu pula.
Ki Waskita yang masih tinggal tentu tidak lama lagi akan meninggalkan Kademangan itu pula. Demikian pula Ki Widura. Dan bahkan kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Tetapi Ki Demang masih dapat menahan mereka untuk beberapa hari. Mereka sempat menunggu keadaan di Sangkal Putung pulih kembali. Sekar Mirah berangsur-angsur menjadi tenang. Ia sudah menjadi semakin jarang menyebut nama gurunya yang telah meninggalkannya.
Tetapi dalam pada itu, yang dilupakan untuk beberapa saat, telah tumbuh lagi dihatinya. Ia kembali merasa cemas melihat Agung Sedayu yang masih belum mempunyai pegangan tertentu buat masa depannya. Ia hanya mempunyai sebuah padepokan kecil. Beberapa kotak sawah dan pategalan yang dikerjakannya dengan beberapa orang anak muda yang tinggal bersama di padepokan kecil itu.
Dengan demikian, maka ketenangan yang hampir pulih karena meninggalnya gurunya, telah disusul oleh kecemasannya menghadapi masa depan yang tidak jelas.
Pandan Wangi yang mula-mula menjadi tenang pula melihat sikap dan tingkah laku Sekar Mirah, telah dicemaskan kembali oleh kemuraman yang membayang diwajah gadis itu.
"Seharusnya kau dapat mengendalikan perasaanmu Mirah," berkata Pandan Wangi, "kau adalah seorang gadis yang cerdas dan menjadi tumpuan gadis-gadis sebayamu di Sangkal Putung. Karena itu jangan kau biarkan angan-anganmu berlarut-larut tanpa kendali."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pandan Wangi. Aku sudah mencoba untuk melepaskan guru demikian ikhlas. Aku menyadari bahwa yang terjadi atasnya memang harus terjadi. Tidak ada jalan dan cara untuk mencegahnya."
"Sukurlah. Tetapi kadang-kadang aku masih melihat bayangan kepedihan hati di wajahmu," sahut Pandan Wangi.
Sekar Mirah memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu. Agaknya ada sesuatu yang telah mendesak di dadanya. Namun gadis itu masih selalu mencoba menahannya.
Pandan Wangi merasakan kegelisahan dihati Sekar Mirah meskipun ia tidak tahu pasti apa sebabnya. Karena itu maka desisnya, "Mirah. Apakah masih ada sesuatu yang menekan perasaanmu " Jika kau sudah menyadari bahwa yang terjadi atas Ki Sumangkar memang harus terjadi, maka apalagi yang telah menekan hatimu ?"
"Pandan Wangi," berkata Sekar Mirah dengan nada yang dalam, "kini guruku sudah tidak ada lagi. Meskipun orang tuaku masih ada, tetapi pada suatu saat aku akan meninggalkannya. Aku akan menjadi seorang dewasa penuh yang hidup dalam lingkungan keluargaku sendiri. Tetapi menurut penglihatanku, kakang Agung Sedayu sampai saat ini sama sekali tidak memikirkan hari depan bagi kehidupan sebuah keluarga."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah telah mulai memikirkan masa depannya. Namun agaknya kematian gurunya membuatnya semakin gelisah. Satu-satunya harapannya kini tergantung pada Agung Sedayu. Dan baginya Agung Sedayu adalah orang yang lemah hati. Ia sama sekali tidak berjuang bagi masa depannya.
Sejak meninggalnya Ki Sumangkar, maka tidak ada lagi orang yang seolah-olah melindunginya. Swandaru telah mempunyai sisihan, sehingga ia akan lebih banyak terikat oleh keluarganya sendiri. Jika Agung Sedayu tidak segera mempersiapkan dirinya, maka Sekar Mirah akan merasa hari depannya benar-benar suram.
Tetapi Pandan Wangi mencoba untuk mengurangi beban kegelisahan adik iparnya. Katanya, "Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu telah mempersiapkan sebuah padepokan " Sudah tentu yang ada sekarang sama sekali tidak memadai. Tetapi padepokan itu akan berkembang. Semakin lama menjadi semakin ramai dan luas. Sawah dan pategalannyapun akan semakin luas pula, karena hutan disekitarnya masih cukup untuk mengembangkan daerah kecil itu."
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, "Dunia itu tidak sesuai dengan duniaku. Hidup dipadepokan adalah suatu kehidupan yang mandeg. Tidak ada gairah dan tidak ada tantangan yang dapat melahirkan suasana baru dalam hidup ini. Padepokan adalah suatu tempat bagi mereka yang telah berputus asa. Bagi mereka yang merasa dirinya tidak mampu lagi mengikuti perkembangan jamannya."
"Ah, apakah begitu" Dipadepokan seseorang mendapat kesempatan yang cukup untuk mempelajari sesuatu. Mungkin ilmu yang akan dapat dikembangkan dan diabadikan pada kehidupan luas. Mungkin dapat dicapai suatu tingkat pengetahuan yang dapat memberikan banyak manfaat bagi sesama. Dan mungkin dari padepokan kecil dapat dipancarkan sikap hidup yang agung dalam hubungan manusia dengan Penciptanya."
Tanpa disangka-sangka. Sekar Mirah justru tertawa, meskipun masih terasa betapa pahit perasaannya. Apalagi ketika terdengar suaranya yang bergetar. Betapa manisnya hidup yang demikian. Setiap orang akan menghormatinya dan setiap bibir akan menyebut namanya sebagai seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari unsur-unsur keduniawian dan mendekatkan diri dengan alam kehidupan langgeng. Tidak Pandan Wangi. Aku bukan seorang yang kehilangan pegangan hidup seperti itu. Hidup bagiku adalah tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan sikap dan perbuatan. Bukan dengan putus asa lari dari kenyataan yang memang pahit."
Jawaban itu mengejutkan Pandan Wangi. Sejenak ia justru terdiam bagaikan mematung, ia samasekali tidak menduga bahwa Sekar Mirah mempunyai pandangan yang justru berlawanan tentang kehidupan di Padepokan. Gadis itu tidak melihat ketenangan dan kedamaian yang mewarnai kehidupan di padepokan. Tetapi yang nampak padanya adalah keputus-asaan dan pelarian.
Pandangan yang berlawanan itu seolah-olah telah menutup pembicaraan kedua perempuan itu. Pandan Wangi tidak dapat mencoba untuk memberikan ulasan lagi tentang kehidupan di Padepokan, karena mungkin akan dapat menumbuhkan salah paham.
Sementara itu Sekar Mirah berkata selanjutnya, "Pandan Wangi. Menurut pendapatku, aku dan Kakang Agung Sedayu masih terlalu muda untuk hidup dalam keterasingan itu. Seharusnya aku dan kakang Agung Sedayu masih harus terlibat dalam gejolaknya dunia yang penuh dengan tantangan, tetapi memberikan kepuasan bagi kita setiap kita dapat mengatasinya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan tentang sikap dan pandangan hidup yang lebih dalam, karena pada dasarnya sikap dan pandangan hidup adalah ciri pribadi yang mungkin tidak dapat dipertemukan antara seseorang dengan orang lain.
Tetapi Pandan Wangi sadar, bahwa perbedaan itu bukannya berarti bahwa masing-masing harus saling membenturkan diri dengan sikap dan pandangan hidup. Bahkan masing-masing harus menyadari perbedaan-perbedaan itu, sehingga masing masing akan berjalan menurut pilihannya sendiri. Dengan demikian setiap perbedaan sikap dan pandangan hidup akan dapat saling dihormati dan tidak menumbuhkan persoalan persoalan yang dapat memberikan ketegangan dalam hidup sehari-hari.
Karena itu, maka Pandan Wangipun membiarkan Sekar Mirah dengan sikap dan pandangan hidupnya. Namun demikian, ia merasa cemas bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat menghormati sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu. Padahal mereka akan membangun suatu keluarga di masa depan. Perbedaan sikap dan pandangan hidup diantara mereka, mungkin akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang justru akan menjadi gawat apabila masing-masing tidak dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.
"Tetapi itu bukan persoalanku," tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis didalam hatinya.
Namun demikian, rasa-rasanya ia tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan batin dengan sikap Sekar Mirah. Betapapun ia berusaha, namun ia merasa dibayangi oleh kegelisahan.
Apalagi ketika Pandan Wangi sendiri terdampar pada keadaan dirinya. Diluar sadarnya ia mencela melihat kepada keluarga kecilnya.
"Apakah aku dan kakang Swandaru juga telah dapat menyatukan sikap dan pandangan hidup" " pertanyaan itu tiba-tiba saja timbul didalam hatinya.
Pandan Wangi justru mencoba menilai keadaan dirinya sendiri, ia mulai menelusuri sikap dan pandangan hidup suaminya. Setiap kali Pandan Wangi merasa tersinggung oleh sikap dan tingkah laku Swandaru yang tidak sesuai dengan sikap dan pandangan hidupnya. Namun Pandan Wangi merasa dirinya sebagai seorang isteri. Ia merasa wajib untuk mencari persesuaian dengan suaminya. Bukan mencari perbedaan-perbedaannya. Dengan demikian ia berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang baik dalam keluarga kecilnya.
Tetapi agaknya Sekar Mirah bersikap lain. Ia tidak menempatkan diri sebagai seorang sisihan yang harus saling mengisi dan mengendalikan diri. Perjanjian bagi dirinya sendiri untuk menempatkan dirinya disisi orang lain adalah suatu kesediaan untuk melepaskan sebagian dari sikap dan pandangan hidupnya sendiri.
Namun Pandan Wangi tidak mengatakannya, ia tidak mau terperosok kedalam kesalah pahaman dengan adik-iparnya. Bahkan kemudian ia mencoba untuk berkata kepada dirinya, "Itu adalah persoalan Sekar Mirah dengan Agung Sedayu. Persoalan yang harus mereka cari pemecahannya. Persoalanku adalah bagaimana aku dan kakang Swandaru menempatkan diri kita masing-masing, agar keluargaku tidak selalu dibayangi oleh keburaman meskipun banyak hal yang dilakukan tidak sesuai dengan kata nuraniku."
Dengan demikian maka keduanya untuk sesuatu menjadi saling terdiam. Pandan Wangi bangkit ketika Swandaru memanggilnya.
"Sekar Mirah. Kau masih harus tetap berusaha memberikan ketenangan pada dirimu sendiri. Beristirahatlah. Kakang Swandaru memanggil aku," berkata Pandan Wangi kemudian.
Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun ketika Pandan Wangi telah melangkah keluar ia berkata, "Aku juga akan pergi kedapur. Mungkin aku akan dapat melupakan persoalan-persoalan yang bergejolak dihatiku. Persoalan yang manapun juga."
Pandan Wangi tertegun dipintu. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Cobalah Mirah. Banyak yang dapat kau lakukan. Dan kau akan segera menemukan kembali nafas kehidupan sehari-hari."
Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirahpun membenahi dirinya. Kemudian iapun melangkah meninggalkan biliknya pergi kedapur.
"Mirah," berkata seorang perempuan separo baya, "beristirahatlah saja ngger. Biarlah kami menyelesaikan pekerjaan dapur ini."
Sekar Mirah memandang perempuan itu. Namun ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, "Biarlah aku membantumu bibi. Aku akan melupakan segala kegelisahan dihatiku. Nah, apakah yang baik aku lakukan sekarang" Apakah bibi sudah menanak nasi atau sudah menyiapkan sayur dan lauknya?"
"Ah. biarlah kami melakukannya," desis perempuan yang lain.
"Biarlah aku menggoreng ikan bibi. Siapakah yang telah mendapatkan ikan sebanyak itu?"
"Bukan satu orang ngger. Tiga orang telah menjala semalam suntuk, mereka mendapatkan ikan wader sebanyak itu?"
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ikan wader yang telah dibersihkan itupun kemudian direndamnya didalam tepung yang telah dicairkan dengan air. Kemudian iapun duduk dengan asyiknya dimuka perapian sambil memasukkan segumpal aduan tepung dan ikan wader kedalam minyak kelapa yang mendidih.
Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah sibuk didapur. Kiai Gringsing duduk diserambi gandok bersama Ki Waskita dan Ki Widura. Ki Demang Sangkal Putung tidak duduk bersama mereka karena kewajibannya nganglang Kademangan bersama Ki Jagabaya.
Dalam pada itu, ketiga orang tua itu dengan asyiknya berbicara tentang berbagai macam persoalan yang sedang berkembang di saat terakhir. Mereka mulai dari Mataram, kemudian berkisar ke Demak dan ternyata mereka sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku pewaris Kerajaan Majapahit.
Tetapi pembicaraan itu agaknya tidak menarik bagi Kiai Gringsing. Setiap kali ia selalu mencoba untuk menggeser pembicaraan kepada persoalan-persoalan lain. Ia lebih senang berbicara tentang Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani atau berbicara tentang padepokan kecil yang telah ditinggalkannya.
Namun agaknya Ki Waskita tetap berusaha untuk berbicara tentang orang-orang yang masih saja selalu berusaha untuk mengeruhkan keadaan. Suatu usaha untuk membenturkan kekuatan yang ada, kemudian menghancurkan sisanya sama sekali.
"Kiai," berkata Ki Waskita, "banyak orang yang sebenarnya dapat membantu mempercepat penyelesaian masalah ini. Tetapi mereka mempunyai keberatannya masing-masing untuk melakukannya. Jika Raden Sutawijaya tidak terikat oleh sumpahnya, maka ia akan dapat memasuki istana Pajang sebagai putera angkat yang dikasihi oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga ia akan dapat membantu membersihkan Pajang dari nafsu yang menyala sekarang ini."
Kiai Gringsing menarik nafas panjang, sementara Ki Waskita meneruskan, "Sedangkan Pangeran Benawa mempunyai keberatannya sendiri. Kekecewaan yang mencengkam perasaannya sama sekali tidak dapat diingkarinya. Itulah agaknya yang memaksanya memilih jalan hidupnya sendiri yang menyimpang dari ketentuan istana."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi semuanya sudah dikehendakinya. Mungkin Raden Sutawijaya memang lebih tepat berada di Mataram. Kota yang semakin lama menjadi semakin ramai. Sementara itu agaknya masih saja sekelompok-sekelompok orang berdatangan dan membual kota itu semakin luas dan ramai. Pada saatnya Mataram akan benar-benar menjadi kota seperti yang diharapkan oleh Raden Sutawijaya sementara hubungan dengan tetangga-tetangganya terjalin dengan baik. Dengan Menoreh, Mataram bagaikan berkeluarga. Perkembangan Mataram akan mempengaruhi Tanah Perdikan itu untuk berkembang pula."
"Ya Kiai," sahut Ki Waskita. Tetapi sebelum ia melanjutkan Kiai Gringsing sudah mendahului, "sementara Tanah Perdikan Menorehpun merupakan daerah harapan. Tanah itu nampaknya masih menampung banyak ke mungkinan dihari mendatang."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia memotong, "Benar Kiai. Tetapi selagi masih ada persoalan yang selalu mengganggu ketenangan Pajang, maka yang sekarang berkembang itu akan selalu terancam oleh kekisruhan. Siapa tahu, bahwa daerah yang sedang berkembang itu akan dilanda oleh kerusuhan karena tingkah laku orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit."
"Ah, kita semuanya akan berhati-hati. Kita akan membantu menjaga daerah yang sedang berkembang itu, sejauh dapat kami lakukan. Tetapi menurut pengamatanku, Tanah Perdikan Menoreh mempunyai kemungkinan untuk menjadi daerah yang besar."
Dan Ki Waskitapun memotong pula, "Perkembangannya akan semakin mekar tanpa gangguan dari pihak manapun. Karena itu, maka alangkah baiknya jika Raden Sutawijaya bersedia membantu ayahandanya. Apalagi bersama dengan anak muda yang sebenarnya berhak menerima gelar Putera Mahkota. Namun terlebih-lebih lagi, jika ada orang lain yang bersedia membantu mereka dengan menyatakan dirinya seperti yang sebenarnya."
"Ah," desis Kiai Gringsing, "biarlah semuanya itu diselesaikan oleh lingkungan mereka. Kita serahkan semua keputusan yang akan diambil kepada mereka, pembicaraan akan lebih baik mengarah kepada usaha untuk lebih baik bagi sawah kita."
Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, "Maaf Kiai. Aku telah mencoba memaksakan pembicaraan ini berkisar kepada pewaris Kerajaan Majapahit. Aku sebenarnya telah mendengar semuanya tentang seseorang yang sebenarnya dapat diharapkan untuk ikut menengahi percaturan dan kemelutnya pemerintahan sekarang ini."
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, "Itu bukan persoalan yang harus kita bicarakan."
Tetapi Ki Waskita seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Dengan nada datar ia berkata, "Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa adalah anak-anak muda yang masih banyak sekali dipengaruhi oleh perasaannya yang kadang-kadang sulit dikendalikan. Tetapi orang-orang setua kita tentu akan berbeda sikap."
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kita bicarakan," sahut Kiai Gringsing.
"Kiai," berkata Ki Waskita, "aku tidak tahu, apakah Ki Widura juga sudah mendengar, nama yang pernah dikenal pada angkatan sebelum orang-orang seumur kita sekarang. Nama yang mempunyai arti tersendiri."
Widura yang tidak banyak ikut berbicara itupun bertanya, "Siapakah yang kau maksud Ki Waskita ?"
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, "Nama itu adalah Empu Windujati yang semula bergelar Pangeran Windukusuma. Seorang yang barangkali dapat pula menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit."
Ki Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Namun kemudian ia berkata, "Aku masih lebih muda dari Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Rasa-rasanya aku memang pernah mendengarnya. Tetapi sudah lama sekali. Dan nama itu seakan-akan kini telah hilang."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Memang Ki Widura. Nama itu sudah lama tidak terdengar lagi."
Kiai Gringsing tiba-tiba saja menyahut, "Akupun pernah mendengarnya seseorang menyebut nama itu meskipun aku sendiri belum pernah mengenalnya. Tetapi orang yang sudah tidak pernah terdengar namanya itu, biarlah tidak usah kita bicarakan."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kiai Gringsing. Justru pada saat semacam ini nama itu perlu kita sebut-sebut. Jika nama itu hadir, mungkin ia akan dapat mempengaruhi orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Karena sebenarnya ada keturunan langsung dari Perabu Majapahit."
"Mustahil," jawab Kiai Gringsing, "berapa umur Empu Windujati itu sekurang, jika sebenarnya ia memang ada. Keturunan langsung dari Perabu Majapahit terakhir kini tentu sudah sangat tua."
"Tentu Kiai. Orang yang bernama Empu Windujati itu sendiri mungkin sudah wafat. Tetapi menurut pendengaranku, ia mempunyai seorang murid yang juga keturunan langsung dari Majapahit."
"Ah, marilah kita melupakan dongeng itu. Kita sekarang menghadapi kenyataan yang perlu kita ketemukan pemecahannya. Jika kita masih bertumpu pada dongeng yang belum pasti kebenarannya, kita akan kehilangan banyak waktu."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Kiai. Aku mohon maaf, bahwa aku memberanikan diri bertanya tentang ciri perguruan Windujati yang ada pada Kiai."
"Ciri yang mana?" bertanya Kiai Gringsing.
"Pertama-tama, senjata yang Kiai pergunakan mirip benar dari senjata yang pernah ada pada masa perguruan Empu Windujati. Kemudian lukisan dipergelangan tangan Kiai, yang berbentuk cakra bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkainya."
"Ah," Kiai Gringsing menjadi tegang. Katanya, "Apakah Ki Waskita pernah mendengar dongeng itu dari Ki Gede Menoreh?"
"Ceritera itu bukan saja aku dengar dari Ki Gede Menoreh. Tetapi orang-orang tua yang memiliki sedikit hubungan dengan ilmu kanuragan pada jaman itu pernah mendengar nama Empu Windujati dan muridnya yang tumbuh sedahsyat gurunya."
Sejenak terlintas kegelisahan diwajah Kiai Gringsing. Namun sekejap kemudian orang tua itu sudah tersenyum sambil berkata, "Nama-nama itu memang terdapat dalam dongeng-dongeng Ki Waskita. Tetapi aku sendiri tidak yakin bahwa nama-nama itu memang ada, atau mempunyai latar belakang peristiwa seperti yang banyak didengar orang pada waktu itu."
"Kiai," berkata Ki Waskita, "menurut pendapatku, murid itu, adalah seorang anak muda yang pada waktu Itu merupakan seorang anak muda yang mengagumkan. Melampaui kemampuan anak-anak muda sebayanya. Jika anak muda itu kini masih ada, meskipun umurnya tentu sudah setua aku ini, ia akan merupakan seorang yang luar biasa. Selebihnya ia akan dapat berdiri berhadapan dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. Ia akan merupakan seseorang yang akan dapat membuat mereka menjadi ragu-ragu dan segan."
"Mereka tidak akan mengenalnya," desis Kiai Gringsing, "nama itu adalah nama yang asing."
"Satu dua diantara mereka tentu pernah mendengarnya. Mereka akan berceritera kepada kawan-kawannya tentang seseorang murid perguruan Windujati."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Ki Widura yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu. Dengan nada datar ia bertanya, "Bukankah Ki Widura belum pernah mendengar nama itu?"
Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, "Aku tidak ingat lagi."
Ki Waskita tersenyum sambil berkata, "Jawaban Ki Widura tidak pasti. Tetapi cobalah renungkan. Sebenarnya kita mempunyai harapan tentang dirinya. Atau bahkan mungkin murid perguruan Windujati itu kini berada diantara mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu?"
"Ah, tentu tidak," diluar sadarnya Kiai Gringsing menjawab. Namun kemudian ia meneruskan, "nama itu hanyalah sekedar ceritera yang tumbuh saat itu. Ia tidak akan berada dimanapun."
Ki Waskita bahkan tertawa. Katanya, "Mungkin Kiai. Tetapi jika orang yang bernama Jaka Warih, murid utama perguruan Empu Windujati itu ada, maka ia tidak lebih dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Ia sudah terlibat kedalam persoalan pribadinya sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu meskipun ia sadar, bahwa keadaan menjadi semakin gawat."
"Ah," desis Kiai Gringsing, "Ki Waskita agaknya memang suka berangan-angan. Itulah agaknya yang telah menuntunnya kepada pengenalan atas masa depan dalam isyarat. Tetapi sebenarnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bukannya tidak berbuat apa-apa. Kereka telah melakukan sesuatu. Mungkin cara yang mereka tempuh bukannya cara yang kita kehendaki."
"Jika demikian, tinggal murid itulah yang belum kita lihat berbuat sesuatu. Sebagai murid dari perguruan Windujati, dan sebagai keturunan langsung dari Majapahit yang tentu saja dengan sebutan dan gelar yang lain, ia mempunyai tanggung jawab atas perkembangan keadaan dewasa ini."
"Ki Waskita, nampaknya kita telah terlibat dalam pembicaraan tentang sesuatu yang tidak banyak kita ketahui. Ternyata bahwa Ki Widura tidak mempunyai kesempatan pula untuk menentukan pendapatnya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam dipandanginya Kiai Gringsing dan Ki Widura berganti-ganti. Namun dalam pada itu Ki Widura tersenyum sambil berkata kepada Kiai Gringsing, "Kiai. Aku memang tidak banyak mengetahui tentang apa yang diceritcrakan oleh Ki Waskita. Tetapi agaknya pembicaraan ini cukup menarik."
Ki Waskita tertawa sambil menyahut, "Nah, bukankah Ki Widura tertarik pula pada pembicaraan ini?"
Kiai Gringsingpun tersenyum. Katanya, "kita memang aneh. Kadang-kadang kita memang tertarik untuk membicarakan sesuatu yang tidak jelas atau bahkan tidak kita ketahui."
"Kiai," berkata Ki Waskita, "sebenarnya sudah lama aku menahan diri untuk tidak bertanya tentang lukisan dipergelangan tangan Kiai. Tetapi rasa-rasanya dadaku semakin sesak dan kadang-kadang aku menjadi gelisah. Mungkin ini suatu gejala ketuaan umurku yang semakin merambat. Hal-hal yang barangkali kurang penting, membuat aku tidak dapat tidur sampai beberapa malam. Dan agaknya lukisan dipergelangan tangan Kiai itu benar-benar membuat aku gelisah."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Setiap orang yang menjadi semakin tua memang mudah menjadi gelisah, cemas dan kadang-kadang bingung tanpa sebab. Tetapi agaknya Ki Waskita mengalami ketegangan karena sesuatu yang telah diotak-atiknya."
"Tidak Kiai. Bukan sekedar angan-angan yang tidak mendasar. Tetapi ada semacam petunjuk bahwa memang ada hubungan antara Kiai Gringsing yang mempunyai ciri perguruan Windujati dengan perguruan itu sendiri. Kiai, sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah Kiai memang tidak mendengar atau mengenal seseorang yang bernama Jaka Warih, yang menurut ceritera yang sampai ketelingaku, orang itu kini umurnya tentu sudah setua kita."
Kiai Gringsurig merenung sejenak. Kemudian jawabnya, "Pertanyaan yang serupa pernah ditanyakan pula oleh Ki Gede Menoreh pada saat ia melihat gambar ditanganku. Tetapi sebenarnyalah waktu itu aku melukis dengan duri ikan di pergelangan ini tanpa maksud, selain sekedar meniru beberapa orang yang sebaya dengan aku pada waktu itu. Sayang, aku tidak ingat lagi, siapakah yang memberikan contoh lukisan itu kepadaku pada waktu itu yang kemudian beramai-ramai ditiru oleh tiga empat orang. Seandainya lukisan itu mula-mula bersumber pada seseorang yang bernama Windujati, aku sama sekali tidak mengetahuinya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam Katanya berdesah, "Baiklah Kiai. Tetapi mudah-mudahan orang yang bernama Jaka Warih, murid utama dari perguruan Windujati itu mengetahui, apa yang telah terjadi sekarang ini. Tetapi waktu kadang-kadang membuat perubahan-perubahan yang tidak di duga sebelumnya. Meskipun Jaka Warih adalah murid perguruan Windujati. tetapi siapa tahu. ialah yang justru telah menggerakkan orang-orang yang sekarang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu."
"Ah," Kiai Gringsingpun berdesah, "mudah-mudahan tidak. Tetapi aku memang tidak mengetahui apa yang dapat terjadi jika mereka itu benar-benar ada."
Ki Waskita mengangguk-angguk, tetapi rasa-rasanya ia menjadi kecewa atas keterangan yang didapatnya dari Kiai Gringsing bahwa lukisan yang terdapat dipergelangan tangannya itu hanyalah sekedar karena saat itu anak-anak beramai-ramai saling meniru diantara mereka.
Ki Widura yang mendengarkan ceritera yang dibicarakan oleh kedua orang itu dengan seksama, tiba-tiba saja berkata, "Agaknya tidak akan ada asapnya tanpa api. Mungkin yang didengar oleh Ki Waskita tidak tepat seperti yang sebenarnya. Namun demikian, agaknya masih dapat diharapkan, bahwa pada suatu saat, akan diketahui, dimanakah murid perguruan Windujati itu bersembunyi. Mungkin ia menjadi acuh tidak acuh terhadap keadaan karena kecewa seperti yang terjadi atas Pangeran Benawa, meskipun pada suatu kesempatan Pangeran Benawa msisih berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tetapi mungkin ia merasa dirinya tidak perlu lagi bersentuhan dengan persoalan-persoalan duniawi. Atau seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa penggerak utama dari mereka yang menyebut diri mereka pewaris Kerajaan Majapahit itu justru adalah murid perguruan Windujati itu sendiri."
Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Memang segalanya dapat terjadi. Tetapi bagiku, sebaiknya kita berbicara tentang orang-orang yang kita ketahui sekarang. Apakah mereka berdiri diantara kita, diantara mereka yang berada di istana Pajang, atau diantara mereka yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Seharusnya memang begitu Kiai. Tetapi alangkah sulitnya aku mengatur perasaanku. Aku kadang-kadang hanyut pada angan-angan dan kenangan yang tidak menentu. Kegelisahan yang tanpa sebab, atau perasaan yang tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan nalar. Namun, meskipun aku menyadarinya, kadang-kadang aku tidak dapat melepaskan diri dari tekanan perasaan yang menghimpit."
"Cobalah untuk menguasai diri," jawab Kiai Gringsing, "tetapi seandainya tidak berhasil, itu adalah gejala yang wajar dari ketuaan kita seperti yang kau katakan Ki Waskita."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu, "Baiklah Kiai. Ternyata sulit bagiku untuk mendapatkan obatnya. Bahkan kadang-kadang aku telah terdorong untuk berbuat sesuatu sekedar menuruti angan-anganku itu. Keinginan yang barangkali aneh buat orang lain. Aku ingin menemukan murid perguruan Windujati dimanapun ia berdiri."
"Ah, tinggalkan angan-angan itu Ki Waskita. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan yang lebih penting kita lakukan," desis Kiai Gringsing.
"Aku adalah seorang perantau sejak muda. Keluargaku telah mengenal aku sebaik-baiknya. Jika aku pergi didorong oleh kegelisahan perasaan, isteriku akan dapat mengerti. Dan akupun merasa, bahwa aku masih mampu melakukannya." gumam Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Ki Widura yang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Mungkin Ki Waskita sudah digelitik oleh kerinduan atas jalan-jalan yang panjang dan seolah-olah tidak berujung. Tetapi agaknya amatlah sulit untuk mencari nama-nama yang hanya terdapat didalam dongeng-dongeng orang tua menjelang tidur cucunya."
"Aku yakin bahwa nama perguruan Windujati bukan dongeng. Demikian pula murid muridnya." jawab Ki Waskita, "namun sudah tentu bahwa usaha semacam itu tidak akan dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Besok atau lusa aku akan kembali ke keluargaku. Nah, akan datang saatnya aku merantau mengelilingi negeri ini untuk mencari nama itu."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Kemudian katanya, "Jika keras kemauan Ki Waskita, aku hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Ki Waskita akan dapat menemukannya."
"Terima kasih Kiai. Aku akan mencari orang yang mempunyai ciri perguruan Windujati. Selain lukisan yang khusus dipergelangan tangan, maka perguruan Windujati adalah sumber ilmu kanuragan yang mempergunakan senjata berjuntai seperti cambuk dan cemeti."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sepercik ketegangan terkilas diwajahnya, namun kemudian iapun tersenyum sambil mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukan. Jika benar orang itu ada, maka ia akan berpengaruh terhadap mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit."
"Memang Kiai. Tetapi seandainya akau berhasil menemukan, tetapi orang itu sama sekali tidak acuh lagi terhadap keadaan yang gawat ini, maka perjalananku akan sia-sia," desis Ki Waskita.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Ki Widura yang mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama, ternyata masih belum dapat mengikutinya dengan pasti. Ia dapat menangkap persoalan yang dilontarkan oleh Ki Waskita karena iapun kemudian mengetahui bahwa dipergelangan tangan Kiai Gringsing terdapat ciri yang dimaksud. Tetapi bahwa Kiai Gringsing nampaknya benar-benar tidak mengetahuinya, maka Ki Widurapun sama sekali tidak berani mengambil kesimpulan.
Ketika kemudian Agung Sedayu mendekati mereka, maka pembicaraan merekapun telah berkisar. Namun demikian, Kiai Gringsing rasa-rasanya selalu dipengaruhi oleh pembicaraan tentang perguruan Windujati, sehingga ia tidak banyak lagi berbicara diantara mereka.
Namun kedatangan Glagah Putih membuat pembicaraan mereka menjadi semakin ramai. Anak muda itu terlalu banyak bertanya tentang berbagai macam persoalan yang dihadapinya. Bahkan Ki Waskita terpaksa tertawa ketika tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya kepadanya, "Kiai, apakah yang akan terjadi atas aku kelak jika aku sudah besar" Apakah aku akan dapat menyempurnakan ilmuku seperti kakang Agung Sedayu."
Sambil tertawa Ki Waskita menjawab, "Mana aku tahu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, "Bukankah Ki Waskita dapat mengetahui apa yang akan terjadi?"
"Ah, tidak tepat seperti itu. Tetapi yang pasti, semuanya tergantung pada usahamu. Jika kau berusaha dengan sungguh-sungguh dan disertai permohonan yang mantap kepada Yang Maha Kuasa, maka semuanya akan dapat kau hayati." jawab Ki Waskita, "namun demikian, itu bukan berarti bahwa persoalannya telah selesai. Setelah seorang memiliki ilmu yang tinggi, maka persoalan selanjutnya, apakah ilmunya itu diamalkan atau justru sebaliknya."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk.
Pembicaraan itu menjadi semakin ramai ketika kemudian Swandaru datang pula dan ikut berbicara disusul oleh Ki Demang yang telah kembali dari kewajibannya bersama Ki Jagabaya.
Namun dalam pada itu, selagi di Sangkal Putung masih tinggal beberapa orang untuk beberapa waktu lamanya, maka di Pajang telah terjadi pembicaraan yang menggelisahkan. Beberapa orang perwira prajurit Pajang tengah berbicara dengan orang-orang yang tidak banyak dikenal di Pajang.
Namun agaknya pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang sangat rahasia. Mereka agaknya dengan sengaja membatasi pembicaraan mereka dengan orang-orang terdekat dan berusaha untuk tidak diketahui oleh para perwira yang lain.
Salah seorang dari mereka dengan sungguh-sungguh berkata, "Ternyata bahwa Pangeran Benawa telah ikut serta dalam pergolakan ini."
Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun seorang perwira muda berkata, "Aku tidak yakin kalau Pangeran Benawa memang dengan sengaja melibatkan diri. Aku masih ingin mengetahui pendapat Untara dalam hal ini."
Seorang berkumis lebat dan berpakaian seperti seorang pedagang menyahut, "Nampaknya Untara belum menyatakan pendapatnya dengan tegas. Namun bagi kami justru karena ia benar-benar berdiri pada tugas dan kewajiban seorang prajurit, maka ia harus disingkirkan."
"Kau terlalu dipengaruhi oleh perasaan," Sahut yang lain, yang berpakaian seperti seorang petani, "kita jangan menambah lawan. Sementara Untara masih dapat kita anggap berdiri diluar pertikaian ini. Tetapi sebenarnyalah menurut pendapatku, tindakan Pangeran Benawa yang terakhir perlu mendapat perhatian."
"Mungkin dua bersaudara dari Pesisir Endut memang sudah membuat kesalahan. Pangeran Benawa tidak mau melihat tindakan sewenang-wenang. Agaknya dua bersaudara itu tidak dapat menahan diri, sehingga Pangeran Benawa harus bertindak terhadap mereka. Bukan karena persoalan yang pokok, tetapi karena tindakan kedua orang itu tidak sesuai dengan nurani Pangeran yang aneh itu."
"Apapun alasannya, maka Pangeran Benawa itu masih akan dapat berbuat sesuatu yang dapat merugikan kita. Dengan demikian, maka ada beberapa orang yang perlu mendapat perhatian utama selain Senapati Ing Ngalaga itu sendiri."
Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu nampaknya menjadi semakin bersungguh-sungguh. Kening mereka menjadi berkerut dan menegang. Seorang yang berpakaian seperti seorang pedagang berkata, "Senapati Ing Ngalaga adalah lawan yang jelas, Yang nampak dihadapan hidung kita. Kita akan dapat datang menyerang Mataram, menghancurkan negeri baru itu dan kemudian membunuhnya bersama Ki Juru Martani. Apalagi jika usaha kita menggelitik Sultan berhasil. Maka menyerang Mataram tidak akan lebih sulit dari memijit buah ceplukan masak."
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Dan perwira Pajang yang ada ditempat itu melanjutkan. "Kau benar. Yang kini berbahaya adalah justru orang-orang yang berdiri disamping Senapati Ing Ngalaga. Orang-orang bercambuk itu merupakan orang yang paling berbahaya. Orang yang pertama-tama harus disingkirkan. Swandaru yang gemuk itu telah membangunkan pasukan pengawal yang kuat. Kekuatan Sangkal Putung merupakan kekuatan yang melintang dijalur antara Pajang dan Mataram. Kemudian kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Mau tidak mau, Argapati tentu akan terlibat dalam pertikaian yang akan timbul melawan Mataram. Sejak lama Argapati telah membuat hubungan yang khusus dengan Sutawijaya. Yang terakhir pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah terlibat dalam pertempuran di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."
Orang berpakaian pedagang yang ikut didalam pertemuan itu berkata, "Sudah berkali-kali kita berusaha membunuh orang-orang terpenting diantara mereka. Kegagalan terbesar yang terjadi karena pengkhianatan Telengan telah menghancurkan persiapan terbesar yang pernah kita adakan. Dengan kehancuran itu, kita harus menyusun kembali kekuatan seperti saat kita mulai. Namun berdasarkan pengalaman, maka sambil menyusun kekuatan, kita harus berusaha dengan ungguh-sungguh membunuh orang-orang yang akan menjadi Senapati bagi pasukan Mataram."
"Aku tahu arah bicaramu," berkata perwira prajurit yang ada diantara mereka, "sudah berapa kali kita mencoba membunuh orang-orang bercambuk itu. Namun kita tidak pernah berhasil. Bahkan kematian demi kematin telah menyusul. Dan yang terakhir, kakak beradik dari Pesisir Endut itu justru terbunuh oleh Pangeran Benawa."
"Tetapi apakah dengan demikian kita akan menghentikan usaha itu" Jika pada suatu saat terjadi benturan kekuatan, sementara orang-orang bercambuk itu masih ada. maka Mataram benar-benar memiliki kekuatan yang menggelisahkan. Orang-orang bercambuk itu memiliki kemampuan seperti para Adipati. Bahkan mungkin melampaui. Sedangkan mereka mempunyai sahabat-sahabat yangg menggetarkan."
"Kekuatan mereka telah berkurang dengan Ki Sumangkar," desis orang yang berpakaian pedagang.
"Ya. Tetapi yang lain masih tetap berbahaya. Kita harus membunuh mereka bersamaan dengan persiapan pasukan dalam keseluruhan," sahut yang lain. Katanya, Selanjutnya Sangkal Putung telah menjadi sumber tenaga disamping Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap laki-laki adalah prajurit yang berbahaya. Tetapi tanpa Swandaru Kademangan yang besar itu akan lumpuh."
"Kita akan berpegang kepada rencana yang lama, yang sampai saat ini tidak berhasil. Tetapi terserah kepada kalian. Aku akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung yang kelak akan menyampaikannya kepada Kakang Panji."
*** Buku 116 ORANG-ORANG yang mengadakan pembicaraan itupun mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya masih ada beberapa hal yang belum sesuai dihati masing-masing. Namun orang yang berpakaian petani itupun kemudian berkata, "Kita mempunyai kawan yang cukup banyak. Jika separo dari kawan-kawan kita mati, sebagai tebusan kematian orang-orang bercambuk itu, kita masih mempunyai kekuatan yang cukup. Dendamku kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu rasa-rasanya tidak akan dapat ditukar dengan kematian gurunya sekalipun."
"Apakah kau berhasil membakar hati saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu?" bertanya orang yang berpakaian pedagang.
"Aku berusaha memindahkan dengan mereka dari Pangeran Benawa dan mengalihkannya kepada Agung Sedayu. Tetapi menurut kakang Carang Waja, kedua-duanya harus dimusnahkan. Meskipun demikian aku telah berhasil meyakinkannya, bahwa membunuh Agung Sedayu lebih penting artinya daripada membunuh Pangeran Benawa. Kematian Pangeran Benawa akan dapat memberikan perubahan pola berpikir Sultan Hadiwijaya yang nampaknya mulai mempercayai segala keterangan yang didengarnya dari banyak pihak, bahwa Mataram benar-benar akan melawan kekuasaan Pajang," jawab orang berpakaian petani itu.
"Mudah-mudahan ia percaya. Jika Pangeran Benawa terbunuh, dan kita tidak berhasil melemparkan kesalahan itu kepada Mataram maka mungkin Sultan justru akan bersikap lain," berkata perwira Pajang yang ada diantara mereka, "aku sependapat. Untuk sementara kita kesampingkan dahulu Pangeran Benawa meskipun satu kali ia telah mencampuri persoalan ini. Tetapi menurut perhitunganku, masalahnya justru karena alasan perikemanusiaan semata-mata."
"Tetapi apakah kau yakin bahwa orang yang bernama Carang Waja itu memiliki kemampuan melampaui orang-orang bercambuk?" bertanya orang berpakaian pedagang.
Orang yang berpakaian petani mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Mungkin sekali. Carang Waja adalah orang yang jarang sekali menampakkan diri. Jika saja kedua adik-adiknya tidak terbunuh, sulit bagi kita untuk melibatkannya. Namun seandainya ia hanya sampai kepada kematian Agung Sedayupun, dendam kita sudah dikurangi. Kematian Telengan. Tumenggung Wanakerti, Samparsada yang cacad dan Kelasa Sawit yang tidak berdaya dan kemudian terbunuh oleh Swandaru, adalah kematian yang telah membasahi tangan Agung Sedayu dengan darah mereka. Selebihnya, aku sendiri telah menyatakan kepada Carang Waja, bahwa aku akan melibatkan diri langsung dalam usaha pelepasan dendam ini."
Kawan-kawannya yang mendengarkan kesanggupan orang berpakaian petani itu mengangguk-angguk. Nampaknya ia benar-benar berpengharapan bahwa orang berpakaian petani itu bersama-sama dengan kawannya yang disebutnya Carang Waja akan dapat membalas dendam membunuh Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan kemudian Raden Sutawijaya.
"Aku akan menemui Carang Waja," berkata orang berpakaian petani itu, "aku harus menyampaikan segala keterangan yang diperlukan. Baru kemudian Carang Waja akan menyusun rencananya, ia tidak mau diperbodoh oleh keadaan seperti kedua adiknya dan orang-orang yang telah mati terdahulu."
Yang lain mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang perwira yang ada ditempat itu berkata, "Pergilah. Pertemuan kita sudah cukup. Kita sudah mendapat gambaran dari peristiwa yang bakal datang. Kita akan menyampaikan kepada jalur yang akan sampai kepada kakang Panji. Ia harus mengetahui semua yang kita lakukan, agar tidak ada salah paham diantara kita semuanya."
Beberapa orangpun kemudian minta diri. Yang tinggal hanyalah tiga orang perwira prajurit Pajang. Seorang yang berkumis putih tersenyum sambil berkata, "Kita harus membakar dendam didada mereka."
Yang lainpun tertawa. Dengan suara datar ia menyahut, "Kita harus meyakinkan mereka, bahwa dendam mereka harus terbalaskan. Dengan demikian kita akan dapat memperalat mereka. Keadaan akan menjadi semakin kisruh. Sementara Mataram menjadi lemah. Agung Sedayu, gurunya dan Swandaru merupakan kekuatan yang penting bagi Mataram. Jika orang-orang itu tetap dibakar oleh dendam didalam dadanya, maka mereka akan menjadi tangan-tangan kita yang baik tanpa mereka sadari."
Ketiga orang perwira itu tertawa berkepanjangan. Mereka melihat orang-orang yang marah itu akan melakukan balas dendam tanpa memperhitungkan segala keadaan yang berkembang kemudian. Dengan janji dan harapan, dilandasi oleh dendam dan kemarahan, mereka merupakan kekuatan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram.
Kematian-kematian disegala medan dan perang tanding, merupakan minyak yang tertuang kedalam api.
Dalam pada itu, orang-orang yang meninggalkan para perwira itupun dengan tergesa-gesa menuju kesebuah rumah yang menjadi tempat mereka selalu bertemu dan berhubungan dengan para prajurit di Pajang.
Mereka seolah-olah telah terbius oleh dendam dan harapan untuk mukti dengan warisan kerajaan Majapahit. Karena itulah maka mereka seakan-akan tidak dapat berpikir dengan bening, apakah yang mereka lakukan itu bermanfaat bagi mereka dan sesamanya, atau hanya sekedar sebagai pelepasan nafsu dan harapan-harapan yang kabur.
Semantara itu, di Matarampun telah terjadi perjuangan pula. Tetapi Raden Sutawijaya bukan seorang yang sekedar didorong oleh nafsu dan harapan bagi dirinya sendiri. Ia melihat Mataram dan Pajang dalam keseluruhan. Bahkan wilayah yang tersebar dipasisir dan ujung pulau di sebelah Barat dan disebelah Timur.
Sementara mereka sibuk dengan rencana dan sikap masing-masing, maka Kiai Gringsing yang masih berada di Sangkal Putungpun menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa Ki Waskita tidak akan lama lagi berada di Kademangan itu. Besok atau lusa, atau bahkan tiba-tiba saja, Ki Waskita akan minta diri dan kembali kepada keluarganya. Namun rencananya untuk menemukan orang yang bernama Jaka Warih cukup menggelisahkan Kiai Gringsing.
Dimalam hari, menjelang tidur, didalam biliknya Kiai Gringsing merasa gelisah. Ketika ia bangkit dan duduk merenung, dilihatnya Agung Sedayu yang tidur diamben yang besar bersama Glagah Putih nampak nyenyak. Disebelah lain, diseberang dinding bambu, Ki Waskita dan Ki Widura agaknya sudah tertidur nyenyak pula.
Diluar sadarnya Kiai Gringsing mengamat-amati lukisan yang ada ditangannya. Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali. Diwajahnya terbayang perasaan kecewa, betapapun ia mencoba melepaskannya.
"Kenapa lukisan ini ada dipergelangan tanganku," desisnya didalam hati.
Tetapi lukisan oleh luka seperti dipergelangan tangannya itu memang sulit untuk dihapuskan. Memang hal itu mungkin dilakukan dengan mengelupas daging dipergelangan itu, dan kemudian menyembuhkannya, meskipun akan berbekas dan menumbuhkan cacat kulit. Tetapi cacad yang demikian bukannya merupakan ciri dari salah satu pihak yang manapun juga.
"Sekarang sudah terlambat," desis Kiai Gringsing. "Seandainya ia berusaha untuk menghapus lukisan dipergelangan tangannya itu, namun sudah ada orang yang pernah melihatnya. Dan justru orang-orang itulah yang mempunyai penilaian khusus terhadapnya, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita."
Hampir diluar sadarnya Kiai Gringsing bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah kepintu. Dengan hati-hati ia mendorong pintu bilik digandok itu.
Ketika pintu itu terbuka, terasa udara yang segar mengusap wajahnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia melangkahi tlundak pintu untuk menghirup udara yang sejuk di halaman.
Tetapi wajahnya berkerut, ketika saat ia mendorong pintu untuk menutupnya. Agung Sedayu nampaknya terbangun. Sambil mengangkat kepalanya, ia memandangi Kiai Gringsing yang berdiri dipintu.
"Apakah Kiai akan keluar?" bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Aku akan kepakiwan Agung Sedayu."
Tetapi Agung Sedayu tidak meletakkan kepalanya lagi. Ia justru bangkit dan duduk dibibir pembaringannya, sementara Glagah Putih masih tetap tidur nyenyak.
Sejenak Agung Sedayu termenung. Namun iapun kemudian bangkit dan berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Glagah Putih yang tidur nyenyak. Ia masih melihat pintu terbuka sedikit, tetapi Kiai Gringsing sudah tidak nampak lagi didepan pintu yang masih menganga itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah. Didorongnya daun pintu itu. Dan iapun melangkahi tlundak pintu pula.
Dengan hati-hati Agung Sedayu menutup pintu biliknya. Udara memang terasa segar. Dan agaknya Kiai Gringsing benar-benar telah pergi ke pakiwan.
Sejenak Agung Sedayu duduk diserambi. Di pintu regol ia melihat obor yang masih menyala. Lamat-lamat ia melihat sesosok tubuh melintasi halaman. Agaknya para pengawal yang berada di gardu regol halaman.
Agung Sedayu merasakan angin malam yang segar. Ketika ia memandang api obor diregol, maka mulai terbayang gardu-gardu yang tersebar disuluruh Kademangan Sangkal Putung. Anak-anak muda lebih senang berkumpul di gardu-gardu daripada di rumah masing-masing. Mereka dapat bergurau dan berkelakar. Jika mereka mengantuk, maka mereka dapat tidur berdesak-desakan sehingga dinginnya malam tidak terasa lagi ditubuh mereka. Sementara laki-laki yang lebih tua lebih senang tinggal di rumah dan menjaga milik masing-masing. Bagaimanapun juga, rumah dan harta yang ada dirumah harus mendapat pengawalan seperlunya.
Agung Sedayu beringsut ketika ia melihat seorang anak muda melangkah mendekatinya. Agaknya para penjaga diregol melihat pintu biliknya terbuka, sehingga mereka melihat pula Agung Sedayu yang duduk diserambi.
"Kau tidak dapat tidur Agung Sedayu?" bertanya anak muda itu sambil duduk disebelahnya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Didalam terlalu panas."
"Kiai Gringsing turun pula kehalaman," berkata anak muda itu, "agaknya ia pergi ke pakiwan."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Ya. Agaknya gurupun tidak dapat tidur seperti aku."
"Apakah kau sama sekali belum tidur sejak sore" "
Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, "Aku baru saja terbangun. Aku tidur sejak sore."
Anak muda itu ikut tertawa pula. Katanya kemudian, "Malam terlalu sepi. Rasa-rasanya mataku tidak lagi dapat ku buka. Meskipun aku sudah berjalan-jalan mengelilingi halaman ini sambil meronda, namun rasa-rasanya kantukku bagaikan mencengkam. Bukan aku sendiri, tetapi semua petugas dimalam hari ini. Anehnya, tidak banyak anak-anak muda yang tidur digardu. Hanya bebera orang. Padahal biasanya lebih dari sepuluh orang."
"Kalian terlalu lelah. Dalam beberapa hari ini kalian bekerja keras," sahut Agung Sedayu.
Anak muda itu mengangguk. Namun kemudian katanya, "Hampir setiap hari aku bekerja keras. Jika tidak terjadi apa-apapun aku tetap bekerja keras disawah. Tetapi aku tidak pernah merasa lelah seperti ini."
"Sebaiknya kalian bergantian beristirahat," berkata Agung Sedayu, "separo dari kalian yang ada di gardu itu tidur. Kemudian bergantian yang lain."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami sudah mencoba. Sekarang beberapa orang sedang tidur. Tetapi rasa-rasanya mata ini seperti kena sirep."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ada orang yang mampu melepaskan pengaruhnya sehingga menyebabkan orang lain kehilangan pengamatan diri. Beberapa orang menyebutnya sebagai ilmu sirep. Dan tidak mustahil bahwa ada orang yang melakukannya di Sangkal Putung.
Namun Agung Sedayupun mengerti, bahwa jiwa yang kuat dan kesadaran pribadi yang tinggi, tidak akan dapat terkena oleh pengaruh sirep yang bagaimanapun kuatnya.
"Aku akan berkeliling halaman," berkata anak muda itu, "jika aku lebih lama lagi duduk disini, aku akan tertidur."
"Kau dapat mencegah kantukmu. Pergilah ke dapur. Mungkin masih ada makanan yang dapat kau makan dengan sambal."
Anak muda itu tersenyum. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan turun kehalaman dengan langkah gontai. Meskipun demikian tangannya tidak terlepas dari hulu pedangnya yang tersangkut dilambung.
Sepeninggal anak muda itu Agung Sedayu mulai merenungi malam yang memang terasa sangat sepi. Dikejauhan terdengar burung malam bagaikan memekik ketakutan. Angin yang bertiup menyusup pendapa telah bermain dengan api lampu minyak yang berayun-ayun.
Tiba-tiba saja dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Bahkan iapun mulai bertanya kepada diri sendiri, "Apakah benar seseorang telah melontarkan ilmu sirep diatas halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung?"
Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar desir langkah mendekat. Ternyata gurunya telah muncul disudut longkangan.
"Malam mulai terasa dingin," gumam Kiai Gringsing.
"Ya guru," jawab Agung Sedayu termangu-mangu.
"Kau tidak mengantuk?" bertanya gurunya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia sedang memikirkan ilmu sirep, sehingga diluar sadarnya ia telah menghubungkan pertanyaan gurunya dengan angan-angannya.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 13 Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut Bara Diatas Singgasana 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama