Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 27

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 27


arcapada. Saat itu kebetulan empu Parwa sedang ke sawah maka ia
tak dapat menyambut kedatangan akuwu Tunggul Ametung.
Karena tak dapat menahan gelombang asmaranya, akuwu
Tumapel itu terus memboyong Ken Dedes pulang. Ketika
pulang dan tak mendapatkan puterinya berada di padepokan,
murkalah empu Parwa. Ia segera menjatuhkan kutuk. Yang
melarikan puterinya itu supaya mati terbunuh. Sumur2 di
daerah Panawijen supaya kering sebagai hukuman dari
penduduk yang tak mau memberitahu kepada empu Parwa
peristiwa yang terjadi di rumah empu itu....."
"Kalau tak salah, Ken Dedes itu kemudian diperisieri oleh
Ken Arok, bukan?" tiba-tiba Indu menyelutuk.
"Benar" kata brahmana Anuraga "setelah Ken Dedes
berputera Anusapati, akuwu Tunggul Ametung dibunuh oleh
Ken Arok dan Ken Dedes pun diperisteri oleh Ken Arok dan
berputera empat orang. Anusapati menuntut balas, ayah
tirinya, Ken Arok dibunuh. Kemudian Anusapati juga dibunuh
oleh panji Tohjaya, anak Ken Atok dengan Ken Umang. Tetapi
kemudian panji Tohjaya pun mati oleh Rangga Wuni dan
Mahesa Campaka. Rangga Wuni itu putera Anusapati dan
Mahesa Campaka itu putera Mahisa Wonga Teleng. Mahisa
Wonga Teleng putera Keu Arok dengan Ken Dedes."
"Demikian tak henti-hentinya keturunan Tunggul Ametung Ken Dedes dan Ken Arok - Ken Dedes silih berganti naik di
tahta kerajaan. Dan akhirnya rajakula baru, raden Wijaya
mendirikan kerajaan Wilwa-tikta kemudian diganti oieh
puteranya baginda raja Jayanagara yang sekarang ini. Raden
Wijaya itu adalah keturunan dari Mahisa Campaka dan ayah
dari Mahisa Campaka itu yalah Mahisa Wonga Teleng, putera
Ken Arok dengan Ken Dedes"
Cerita yang dibawakan Anuraga itu amat menarik hati.
Walaupun pernah juga Indu diceritakan oleh kakeknya,
demang Suryanata, tentang srjarah raja-raja Singasari dan
Daha, namun cerita Anuraga itu masih tetap menggairahkan
hatinya sehingga tak terasa merekapun sudah melintasi lereng
gunung dan saat itu mulai turun ke sebuah lembah.
Ketika melintasi hutan kecil yang menggerumbul di puncak
sebuah anak bukit, tiba-tiba mereka terkejut melihat sebuah
pondok dari bambu. Sekeliling pondok itu berpagar pohon
jeruk kingkit yang lebat. Halaman mukanya tak berapa luas
tetapi tampak asri dan sedap dipandang. Walaupun terbuat
daripada bambu, tetapi pondok itu cukup besar, mempunyai
pendapa muka, tempat peranginan dan ruang tetamu.
"Rumah siapakah gerangan yang terpencil di tengah hutan
ini ?" kata Anuraga seorang diri. Dipandangnya Indu yang
tengah menggendong bayinya. Saat itu haripun sudah
menjelang sore. Ditingkah cahaya surya yang sudah mulai
menguning merah, mata Anuraga yang tajam dapat
mengetahui akan pantulan perobahan wajah Indu, Suatu
pantulan cahaya harap dari seseorang yang tampak letih.
Namun Indu hanya tundukkan kepala.
"Nini, mari kita mohon bermalam di pondok itu" kata
Anuraga. Diam2 ia merasa kasihan kepada Indu karena
hampir sehari penuh terus menempuh perjalanan.
Pondok itu sunyi senyap. Di belakang terdengar suara orang
menyapu halaman. Anuraga mengetuk pintu.
"Siapa?" seru sebuah suara yang kecil nadanya
sebagaimana lazim dimiliki oleh seorang wanita muda. Dan
sesaat kemudian terdengar derap langkah orang itu menuju ke
luar. "Mengapa begini terlambat engkau baru pulang,
kakang....." Tiba-tiba penghuni rumah itu tak melanjutkan teguran
karena ternyata yang tegak di muka pintu itu bukanlah orang
yang dikiranya, melainkan seorang brahmana muda.
Pun A nuraga tak kurang kejutnya demi melihat kemunculan
penghuni pondok itu. Seorang wanita muda belia nan cantik.
Tetapi bukan kemudaan ataupun kecantikan wanita itu yang
mempesonakan Anuraga, melainkan.....
"Sindura....." Anuraga menyurut mundur seraya berteriak
tertahan. Nadanya bergetar, tubuhnya pun gemetar. Sepasang
matanya menyalang bagai melihat sesuatu yang merenggut
semangatnya. Wanita muda penghuni rumah itu pun terbelalak. Melihat
sikap brahmana tetamunya dan mendengar ucapannya.
Dipandangnya brahmana itu lekat2.
Tampak brahmana Anuraga berulang kali mengusap
pelapuk matanya agar pandang matanya terang. Tetapi setiap
kali merentang pandang ke arah wmita muda itu, setiap kali
itu pula ia harus mengusap pelapuk matanya. Apa yang
menghidang di hadapannya tetap serupa,
"Sindura .... benarkah .... nini ini ....... Sindura ...." serunya
dalam nada yang berkabut keraguan.
Indu sendiri pun heran mengapa tiba-tiba saja brahmana
itu telah berobah sikapnya sedemikian rupa seperti orang yang
linglung ketika berhadapan dengan wanita penghuni pondok.
"Adakah brahmana ini sudah mengenalnya?" hanya demikian
yang dapat dijangkaunya dalam alam dugaannya.
"Ki brahmana" akhirnya wanita muda belia itu
menenangkan diri dan berseru "adakah tuan berucap kepada
diriku?" Brahmana mengangguk pclahan dan sarat.
"Tetapi, ki brahmana" kata wanita muda itu pula "mengapa
tuan menyebut-nyebut nama Sindura?"
"Nini .........."
Sindura?" seru Anuraga "apakah engkau bukan "Siapakah Sindura itu, tuan ?"
"Ah ...." brahmana Anuraga mendesah panjang. Dikepak
kepakkan kepalanya untuk mengundang kesadaran pandang
dan pikirannya. Kemudian ia menatap pula wajah wanita
pondok itu. Ia tercengang. Wajahnya hampa, semangatnya
jauh melayang-layang bertebaran ke sebuah hutan. Gugur
berhamburan, mengempal, menggunduk dan menjelma
menjadi dua insan manusia, seorang pria dan seorang wanita.
Yang pria itu masih muda tetapi mengenakan pakaian
seorang brahmana, tengah duduk menyandarkan kepala pada
sebatang pohon. Yang wanita, cantik rupawan bak dewi Ratih
menjelma. Ia tengah membalut bahu brahmana muda itu
dengan secarik kain yang dirobeknya dari kain bajunya.
Dengan hati2 dan teliti, ia melingkarkan kain itu ke bahu sang
brahmana. Sang brahmana pejamkan mata. Bukan karena
menahan kesakitan luka pada bahunya tetapi karena sedang
berusaha keras untuk menahan gejolak hatinya, debaran
jantung dan gelora semangatnya .... Sedemikian rapat jelita
itu duduk di hadapan sang brahmana, seolah-olah hanya
terpisah sejengkal jari tangan.
Kala itu sang brahmana benar-benar seperti
bermimpi dalam jaga, melamun dalam kesadaran ....
orang "Ah" Anuraga mendesuh kaget ketika menyadari bahwa
brahmana muda itu bukan lain adalah dirinya sendiri dan jelita
itu Rara Sindura. Peristiwa itu terjadi di tengah hutan di kala
Anuraga mengantar perjalanan Sindura yang hendak pulang
ke Mandana tetapi di tengah jalan diganggu oleh kawanan
orang-orang Tuban. Serentak tergugahlah pikirannya pada suatu rasa kesadaran
bahwa peristiwa itu telah lampau dan saat itu ia sedang
berada di sebuah pondok di lereng gunung Kawi dan tengah
berhadapan dengan seorang dara jelita, penghuni pondok itu.
"Nini, adakah engkau bukan Rara Sindura ...." ia pun
mengulang pula pertanyaan yang tak pernah lenyap dalam
sanubarinya. "O" desis dara jelita itu "tuan menyangka aku Sindura"
Salah tuan, aku bukan Sindura ..."
"Tetapi nini ..." kembali Anuraga memandang sepenuh
ketajaman indera penglihatannya. Sindura ..... ! Tak salah lagi,
yang di hadapannya itu memang Sindura. Ia tahu jelas setiap
lekuk wajah jelita itu, karena ia telah memondong tubuh
Sindura, ketika Sindura .......
Serentak hancurlah semangat Anuraga. Debu2 kehancuran
itu tertiup angin delapan penjuru, berhamburan terbang di
angkasa, berarak-arak dibawa angin pawana, bergundukgunduk membentuk gumpal-gumpal awan. Beberapa saat
kemudian awanpun membeku, pecah bertaburan menjadi air
hujan, lalu mencurah ke bumi.
Hujan air dari langit, hujan air dari mata seorang brahmana
dikala memondong tubuh seorang wanita muda jelita yang
telah menghembuskan napasnya di ujung keris sang suami.
"Sindura, engkau tak mati. Yang mati hanyalah jasadmu,
Sindura. Jiwamu, peribadimu, akan tetap hidup dan menjelma
di mayapada. Sindura aku akan mencari penitisanmu ..."
Anuraga terkesiap ketika peribadinya yang sejati melihat
dan mendapatkan bahwa brahmana yang mengucurkan
airmata memondong tubuh wanita muda jelita itu adalah
peribadi brahmana Anuraga dalam kenangan. Demikianpun
wanita muda itu, tak lain Rara Sindura yang tercipta dari alam
renungannya. Serentak brahmana Anuragapun terjaga dari
lamunan, manakala mendengar suara seorang wanita muda
mengiang sayu di dalam telinganya
"Ki brahmana, hamba sungguh bukan bernama Rara
Sindura, melainkan Damayanti....."
"Ah" kembali Anuraga mendesah. Dan penuh pernafasan
rasa hampa dari suatu kekecewaan hati "tetapi nini, adakah
didunia ini terdapat insan yang serupa benar seperti pinang
dibelah dua?" Wanita muda penghuni pondok yang menyebut nama
sebagai Damayanti itu tertegun. Sesaat kemudian ia berkata,
"Hamba tak tahu, ki brahmana. Hambapun dilahirkan ibu
bapak hamba dalam keadaan begini. Tiada setitikpun
keinginan ibu hamba untuk melahirkan jabang bayi seperti
seseorang yang tuan sebut bernama Rara Sindura"
"Hm, keajaiban alam, kemurahan Hyang Widdhi memang
besar dan gaib. Bahwa akhirnya aku bertemu juga dengan
penitisannya" kata Anuraga seorang diri.
Damayanti hanya termangu memandang brahmana muda
itu. Dan pandangannya kali ini, disertai pula dengan suatu
pengamatan kepada diri dan wajah brahmana yang
berkunjung ke pondok itu. Timbul saatu kesan bahwa
brahmana itu seorang muda yang cakap, halus bahasa dan
berwibawa. Wajahnya memancarkan sinar dari seorang muda
keturunan priagung. "Ah, Damayanti atau siapapun nama yang engkau pakai,
tidaklah penting" kata Anuraga "karena nama itu hanya suatu
sebutan, yang tak dapat mengubah sifat peribadi jiwamu"
"Duh sang brahmana" seru Damayanti "gerangan apakah
yang tuan maksudkan, hamba tak mengerti. Sungguhpun
demikian, tuan adalah tetamu, wajiblah aku menghormat
tetamu itu" ia berpaling ke arah Indu "adi, silahkan masuk.
Hari sudah hampir petang, tak baik berada di luar"
Indu melirik ke arah Anuraga dan brahmana itu pun
menganggukkan kepala lalu melangkah masuk. Mereka
dipersilahkan duduk di sebuah bale-bale. Kemudian Damayanti
masuk pula kedalam. Beberapa saat kemudian ia keluar pula
membawa hidangan minuman.
"Nini, maafkanlah ulah ucapanku tadi kepadamu" setelah
meneguk minuman, Anuraga meminta maaf kepada
Damayanti. "Ah, ki brahmana" sahut Damayanti "walaupun aku tak tahu
jelas akan persoalannya tetapi akupun dapat menyelami
betapa perasaan hati seorang yang tak mendapatkan apa
yang diharapkan. Bukan tuan yang harus meminta maaf tetapi
akulah yang wajib menghaturkan maaf itu kepada tuan karena
telah mengecewakan hati tuan."
"Ya, kutahu nini kehalusan perasaan budimu. Tetapi
memang apa yang kulakukan tadi, hanyalah merupakan suatu
cetusan perasaan yang selama bertahun-tahun bersemayam
dalam lubuk hatiku. Ketika mendadak aku menemukan apa
yang kucari selama bertahun-tahun ini, akupun tak kuasa lagi
untuk membendung gelombang luapan hatiku" brahmana
Anuraga berusaha untuk memberi penjelasan untuk menyertai
permintaan maafnya. "Duh ki brahmana" kata Damayanti "dahulu ayah hamba
pernah mengajarkan tentang bunyi ajaran yang terdapat
dalam kitab Veda. Bahwa menghaturkan bakti dan
mempersembahkan pengorbanan kepada seorang brahmana
atau pandita itu, suatu perbuatan yang luhur. Betapa ingin
hatiku, ki brahmana, untuk menghaturkan dan mempersembahkan apa yang mampu kupersembahkan ke
bawah telapak duli tuan."
Anuraga terkesiap. Untaian kata-kata indah dari mulut
wanita muda itu bagaikan rangkaian bunga yang membaurkan
keharuman semerbak. Pikiran Auuraga pun serasa dilontarkan
ke awang-awang. Hampir ia terbuai pula dalam lamunan.
Untunglah segera ia mendapat kesadaran bahwa yang
dihadapi saat itu bukan Rara Sindura, melainkan seorang gadis
gunung yang bernama Damayanti.
"Nini," cepat Anuraga alihkan pembicaraan "adakah engkau
yang menjadi pemilik pondok ini?"
"Bukan, tuan" sahut gadis itu "akupun hanya seorang
tetamu seperti tuan."
"O," desuh Anuraga agak terkejut "lalu siapakah yang
memiliki pondok ini ?"
"Eyang Patiraga"
"Eyang Patiraga " Siapakah eyang Patiraga itu?" ulang
Anuraga. "Eyang itu tinggal di puncak gunung ini, jarang turun,"
menerangkan Damayanti. Selama itu Damayanti hanya mendengarkan dan menjawab
pertanyaan. Kini iapun mulai memberanikan diri untuk
mengajukan beberapa pertanyaan kepada sang tetamu. Dan
memang iapun harus menunaikan kewajiban sebagai seorang
tuan rumah. Pertama tanya yang diajukan yalah nama dari


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tetamu itu. "Nyi Salupi," brahmana Anuraga memperkenalkan Indu
lebih dahulu kemudian baru dirinya "dan aku brahmana
Anuraga" Damayanti kerutkan dahinya, Dahi yang tampak kehitamhitaman karena dihamburi rambut yang lebat, "Anuraga "....."
"Bagaimana nini?" Anuraga pun agak terkejut.
"Agaknya pernah kudengar nama tuan .... tetapi entah di
mana aku lupa" kata gadis itu.
Keriput ketegangan yang menghias dahi brahmana itupun
mulai berliuk-liuk lenyap. Dan tenang sudah brahmana itu
membawakan pertanyaan pula.
"Nini, dari manakah asal nini " Dan bagaimana pula nini
dapat berdiam di tempat ini?"
Kembali Damayanti kerutkan dahi. Rupanya ia sedang
menimang-nimang dalam hati bagaimana harus menjawab pe
tanyaan biahmana itu. Sampai beberapa jenak, masih juga ia
belum membuka mulut. "Nini" brahmana Anuraga pun menyusuli kata-kata pula,
"adakah sesuatu yang menyebabkan engkau sulit untuk
mengatakan. Bila demikian, nini, akan kuhapus pertanyaan itu.
Ataupun apabila pertanyaan itu mengandung sesuatu yang
menyinggung perasaan nini, aku pun minta maaf"
"Ah, tidak ki brahmana" tersipu-sipu Damayanti memberi
penjelasan, "memang wajarlah pertanyaan tuan itu. Hanya
perasaanku sendiri yang peka apabila harus membicarakan
tentang diriku" "O" kembali Anuraga berseru, "kepekaan itu tentu
bersumber pada sesuatu yang terasa sebagai derita dalam
hati" Damayanti tundukkan kepala.
"Tetapi nini, ketahuilah," seru Anuraga yang mulai
menemukan peribadinya sebagai seorang brahmana yang
selalu bersedia menolong kesusahan orang dan memberi
penerangan batin "bahwa hidup itu memang penuh segala
macam peristiwa. Dan manusia itu memang selalu dirundung
oleh segala jenis perasaan. Duka, gembira, susah, senang,
marah dan tertawa ..."
Ia berhenti sejenak untuk melepaskan pandang ke arah
Damayanti yang masih menunduk. "Rasa itu merupakan
pantulan daripada apa yang kita lihat, pikir dan rasakan.
Bagaimana rasa yang kita kenyam, tergantung bagaimana
pikiran kita menilainya. Susah senang, duka gembira,
kesemuanya itu sesungguhnya hanya hasil dari pada penilaian
pikiran kita sendiri......."
Damayanti mengangkat muka dan memandang kepada
brahmana muda itu. "Ki brahmana, bagaimana perasaan dari
seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahbundanya?"
"Tentu saja sedih, nini," sahut Anuraga, "tetapi secepat itu
kita harus berpikir dan bertanya pada diri sendiri. Apakah
sesungguhnya yang kita sedihkan dan mengapa kita harus
bersedih berkelarutan ?"
Damayanti memandang brahmana itu
pandang bertanya. dengan penuh Anuraga balas menatap, katanya, "Nini, mungkin engkau
merasakan ucapanku itu berbelit-belit dalam selubung
kekaburan. Baik, aku akan bicara dengan kata-kata yang
bersahaja. Anak yang bersedih karena kematian orangtuanya
itu, dapat kita bagi dalam tiga hal. Bersedih karena merasa
kehilangan orang-tua yang dicintainya. Bersedih karena
menyesal telah banyak melakukan kesalahan dan hal-hal yang
merugikan kepada orangtua. Dan bersedih karena
berselubung pamrih agar dinilai orang sebagai seorang anak
yang berbakti kepada orangtuanya ...."
"Ih" Damayanti mendesis lirih.
"Setelah kesedihan cukup berlangsung maka menginjaklah
kita pada pertanyaan. Adakah perlu kita harus bersedih terus
menerus" Dan adakah dengan bersedih itu kita dapat
mencapai apa yang kita inginkan, misalnya orangtua kita itu
akan dapat hidup kembali" Apabila kita telah menemui
jawaban-jawaban yang sesuai, tentulah kesedihan kita itu
akan berkurang, makin berkurang dan akhirnya hilang ..."
"Ketahuilah, nini" seru Anuraga pula setelah beristirahat
sejenak, "bahwa Hidup dan Mati itu sudah menjadi garis
prakitri alam. Kita manusia pun takkan terlepas dari kematian
itu. Kita kaum brahmana, memandang kehidupan itu sebagai
suatu samsara, suatu penderitaan yang harus kita jalani sesuai
dengan buah dan amal perbuatan yang kita lakukan dalam
kehidupan yang lalu. Dan kita terus akan menjelma, menitis
kembali dalam alam kehidupan samsara ini, selama jiwa kita
masih dilekati oleh debu-debu kotoran klesa atau dosa"
"Terima kasih ki brahmana" kata Damayanti "kini terbukalah
pikiranku kearah kesadaran. Bahwa tiada guna aku harus
bersedih akan peristiwa yang telah lampau"
"Begitulah, nini" seru Anuraga "yang lampau, hari kemarin
itu sudah lalu, sudah terkubur. Hari esok, hari yang akan
datang, belum kita ketahui maka tak perlu kita resahkan. Yang
penting adalah hari ini karena kita hidup hari ini. Usahakanlah
agar harini milikmu itu, menjadi hari yang benar-benar engkau
hayati dan isi dengan dharma dan amal sesuai dengan
peribadi kemanusiaanmu."
"Baik, sang brahmana" kata Damayanti lalu termenungmenung.
Anuraga memperhatikan bahwa pada wajah dara itu masih
meliuk kerut2 keinginan bertanya, "Nini, rupanya engkau
masih memiliki sesuatu unek-unek dalam hati yang belum
dapat engkau lepaskan. Silahkan, nini, engkau bertanya,
mudah-mudahan aku dapat memberi penerangan."
"Terima kasih" kata Damayanti "memang masih ada
sesuatu yang belum jelas bagiku. Walaupun sesungguhnya hal
itu hanya menyangkut soal2 kematian yang tak penting."
"Tetapi tak apalah, nini, cobalah engkau katakan" kata
Anuraga. Damayanti mengemas sikap lalu berkata, "Bagaimana pula
halnya dengan seseorang yang ditinggal mati oleh suami atau
isteri ataupun kekasih dan atau orang yang dikasihinya itu "
Apakah unsur dari pada kesedihan mereka itu sehingga ada
kalanya terdapat orang yang nekad melakukan bunuh diri dan
lain2 perbuatan?" Anuraga terkesiap menerima pertanyaan itu. Dara itu
seolah-olah hendak menyentuh sanubarinya dengan
pertanyaan yang menyangkut kematian seseorang yang
dikasihi. Ia pejamkan mata, menenangkan pikiran.
"Ungkapan dari perasaan mereka-mereka yang ditinggal
oleh suami atau isteri atau orang yang dikasihi dalam
hidupnya, yalah berbentuk kesedihan. Tetapi sumbernya,
berdasar pada Keinginan. Keinginan dari seorang suami atau
isteri agar suami atau isterinya itu jangan mati dan dapat terus
hidup mendampinginya. Agar orang yang dikasihinya itu tetap
hidup. Keinginan itu suatu kehalusan dari Nafsu. Keinginan itu
berasal dari sumber Ke-Aku-an dan mengalir ke samudera
Pamrih yang tak kenal batas....."
Baru Anuraga berkata sampai di situ, tiba-tiba mata
Damayanti tampak menyalangkan pandang ke arah pintu dan
berseru, "Kakang Taruna, engkau .......... !"
Anuraga terkejut. Serentak ia berpaling. Saat itu Damayanti
pun berbangkit dan berjalan menyongsong ke pintu.
Di ambang pintu tampak muncul seorang pemuda bertubuh
tegap dan gagah. Dalam keredupan ruang di jenjang senja
hari, tampak sepasang mata pemuda gagah itu berkilat-kilat
memancarkan sinar tajam. "Damayanti ...." serunya menyambut kedatangan si dara.
"Kakang, mengapa selarut hari ini engkau baru pulang?"
tanya Damayanti. "Maaf, Damayanti, ada sesuatu peristiwa yang kualami di
tengah jalan. Nanti kuceritakan" sahut pemuda itu, "siapakah
mereka itu, Damayanti?"
"O" Damayanti mendesuh seperti orang tersadar "mereka
adalah tetamu2 kita yang belum lama datang. Mari kakang,
kuperkenalkan dengan mereka."
Pemuda itu mengikuti langkah Damayanti menuju ke
tempat Anuraga dan Indu. Melihat kedatangan pemuda itu
Anuraga dan Indu pun berdiri untuk memberi hormat. Tampak
pemuda itu kerutkan alis. Agaknya dia merasa heran melihat
kehadiran seorang brahmana muda yang berwajah cakap
bersama seorang perempuan muda belia yang membawa
seorang bayi. Namun ia sungkan mengutarakan perasaannya
itu. "Kakang, inilah ki brahmana Anuraga" kata Damayanti.
Pemuda itu dan Anuraga saling memberi hormat, "dan ini
adalah nyi Salupi" kata Damayanti pala memperkenalkan Indu.
Indu pun mengunjuk hormat, dibalas sebagaimana layaknya
oleh pemuda itu. Setelah Itu maka Damayanti mempersalahkan mereka
duduk lagi. Tetapi Anuraga masih tetap berdiri. Damayanti
heran dan hendak mengulang mempersilahkannya duduk.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Ah, maaf, ki brahmana, aku lupa
untuk memperkenalkan kakang Taruna" Damayanti tersipusipu menghaturkan maaf.
"Ki brahmana, inilah kakang Kebo Taruna ....."
Mendengar itu serentak menyurutlah langkah Anuraga ke
belakang. Sepasang matanya merentang lebar2, mengiringkan
liku-liku wajahnya yang tegang regang, merah padam menyala
nyala. "Ki brahmana, mengapakah tuan ini?" tegur Damayanti ikut
terhanyut kejut. "Benarkah dia bernama Kebo Taruna?" sesaat kemudian
Anuraga berseru dengan nada penuh getar2 yang tertahan.
"Benar, ki brahmana, aku memang Kebo Taruna" pemuda
itu mendahului Damayanti. Ia duga tentu ada sesuatu dibalik
perobahan sikap brahmana muda ketika mendengar namanya
diperkenalkan Damayanti. Adakah sikap itu suatu pantulan
dari getar-getar perasaan permusuhan atau persahabatan
tidaklah ia ketahui. Namun sebagai seorang lelaki, ia harus
menghadapinya hal itu agar jangan melibatkan Damayanti.
Dada Anuraga tampak berkembang kempis. Rupanya ia
berusaha keras untuk menekan luapan perasaannya. "Kebo
Taruna putera.......... Kebo Anabrang itu?"
"Ya" sahut Kebo Taruna tegas.
"Kebo Anabrang yang dahulu menjabat sebagai senopati
kerajaan Majapahit dan diutus membawa pasukan Majapahit
ke tanah Malayu itu ?" kembali A nuraga menegas.
"Tak salah, brahmana" jawab Kebo Taruna. "ayahku
memang senopati Pamalayu yang pernah mengepalai pasukan
Majapahit menaklukkan tanah Malayu. Dan pernah pula
membunuh pemberontak Rangga Lawe di sungai Tambak
Beras....." "Tutup mulutmu!" tiba-tiba brahmana Anuraga membentak
marah. Hampir ia memukul pemuda itu karena menghina
mendiang ayahnya, Rangga Lawe. Untunglah ia masih kuat
menahan luapan kemarahan dan hanya mengepal-ngepal
tinjunya. "Kebo Taruna, mari kita keluar"
"Tunggu" seru Kebo Taruna ketika melihat brahmana muda
itu mendahului melangkah keluar, "mengapa engkau meminta
aku keluar" Siapakah engkau ini ?"
"Semua ini akan kuselesaikan di halaman" sahut Anuraga
terus lanjutkan langkah menuju ke halaman. Ia tegak berdiri
menunggu Kebo Taruna yang masih belum juga mengayunkan
kaki. "Hai, Kebo Taruna, apakah engkau takut keluar
halaman?" Kebo Taruna segera hendak ayunkan langkah. Ia heran
atas sikap dan ulah brahmana yang aneh itu. Bagaimana pula,
mendadak brahmana itu sedemikian marah ketika ia
menerangkan dirinya sebagai putera senapati Kebo Anabrang,
sama sekali ia tak mengerti. Dan mengapa pula brahmana itu
mengajaknya ke luar ke halaman, tidak juga tercapai dalam
pengertiannya. Namun tentu ada sesuatu yang menyebabkan
kesemua itu. Untuk mengetahui hal itu, ia harus menerima
ajakan brahmana. "Jangan kakang" tiba-tiba Damayanti mencegah pada saat
Kebo Taruna ayunkan langkah, "lebih baik kakang
menghindari sesuatu yang tak diharap. Rupanya brahmana itu
marah kepada kakang"
"Ah, tak apa2 Damayanti" kata Kebo Taruna, "aku merasa
tak bersalah kepadanya, mengapa harus takut " Mustahil dia
akan memusuhi aku karena kenal-pun baru sekarang ini"
"Tetapi kurasa akan terjadi sesuatu apabila engkau keluar"
kata Damayanti. Kebo Taruna tertawa, "Ah, Damayanti, tak perlu engkau
resah. Dia seorang brahmana, masakan hendak membunuh
aku. Biarlah, Damayanti aku akan kupenuhi perintahnya ..."
Kebo Taruna terus melangkah keluar dan tegak berdiri di
hadapan brahmana Anuraga. Ditatapnya brahmana muda itu
dengan pandang penuh pertanyaan. Dilihatnya wajah
brahmana itu menggelombang warna merah dan pucat.
"Ki brahmana, apakah maksud tuan memanggil aku ke
halaman ini?" tegur Kebo Taruna.
Belum juga brahmana itu membuka mata. Dadanya pun
tampak masih berkembang surut. Rupanya dia tengah
menekan goncangan hati yang meluap-luap.
"Kebo Taruna" beberapa saat kemudian baru terdengar
brahmana muda itu membuka mulut "tahukah engkau siapa
diriku ini?" "Tuan adalah seorang brahmana muda" sahut Kebo Taruna.
"Benar" sahut Anuraga "sebagai seorang brahmana aku
memakai gelar Anuraga. Tetapi namaku yang aseli, nama
pemberian dari ayahbundaku, engkau tentu belum
mengetahui" Kebo Taruna tertawa kecil "Sudah tentu, ki brahmana.
Apabila tuan tak memberitahu, bagaimana aku dapat
mengetahui?" "Adakah engkau ingin tahu namaku itu?"
"Apabila tuan berkenan hati, akupun dengan segala
kegembiraan hati akan mendengarkan"
"Sayang Kebo Taruna, harapanmu itu takkan terlaksana.
Bahkan apa yang engkau rasakan bukan kegembiraan
melainkan kegelisahan"
Kebo Taruna kerutkan dahi "Bagaimana mungkin hal itu
terjadi" Andaikata tuan bernama Dewa Aswin, akupun takkan
gelisah. Apakah pengaruh nama tuan kepadaku" Karena
kenyataan yang kulihat dan kuhadapi saat ini, adalah seorang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

brahmana muda yang berwajah tampan"
"Memang seharusnya demikian" sambut Anuraga "tetapi
percayalah, bahwa namaku itu akan membuat engkau terkejut
dan gentar!" "Ah, sedemikian hebatkah pengaruh nama tuan kepada
diriku?" "Jauh lebih hebat dari halilintar memecah angkasa" seru
Anuraga. Kebo Taruna tertawa, "Apakah tuan hendak berolok-olok
kepadaku?" "Aku tiada sempat untuk berolok-olok. Apa yang kukatakan
itu memang sungguh-sungguh"
"Jika demikian, makin besar hasratku untuk mendengar
nama tuan" seru Kebo Taruna.
"Ya" sahut Anuraga "bersiap-siaplah engkau untuk
menahan ledakan hatimu yang akan menghuyungkan
tubuhmu, Kebo Taruna!"
"Baik" kata Kebo Taruna tertawa dalam hati. Ia tak percaya
bahwa nama brahmana itu akan sanggup membuatnya
terhuyung-huyung kejut. "Kebo Taruna anak Kebo Anabrang" terdengar Anuraga
berseru nyaring dan tegas "ketahuilah, aku ini sebenarnya
adalah Kuda Anjampiani, putera rama Rangga Lawe, adipati
Tuban yang gagah perkasa itu....."
Mendengar nama itu, tersiraplah darah Kebo Taruna lalu
meluncur deras dan melanda jantungnya. Seketika dada Kebo
Taruna akan meledak rasanya. Sekalipun tak dapat meledak
karena kokohnya dinding-dinding kerangka tubuhnya, namun
kekuatan yang memancar dari debur jantungnya kuasa juga
untuk menghempaskan tubuhnya terhuyung beberapa langkah
kebalakang .... "Engkau .... engkau .... putera Rangga Lawe?" serunya
sesaat ia dapat menegakkan kedua kakinya pula.
"Benar" sahut Anuraga "aku Kuda Anjampiani putera
Rangga Lawe !" "Tetapi mengapa engkau menjadi brahmana ?"
"Pertama, untuk mencari mustika Kebenaran Hidup. Dan
kedua untuk menghindari dari kejaran orang-orang Majapahit
yang memusuhi almarhum ramaku"
Kebo Taruna makin berhasil menenangkan hatinya. Ia
bertanya, "Lalu apa maksudmu sekarang ?"
"Aku tak puas atas kematian yang diderita mendiang
ramaku. Sayang ayahmu pun sudah mati. Andai kata belum,
tentu aku akan mencarinya. Tetapi syukurlah masih ada
engkau, putera senopati Kebo Anabrang yang mampu
mengalahkan adipati Rangga Lawe. Kepadamu, akan kuminta
untuk melanjutkan pertempuran itu. Apabila engkau dapat
mengalahkan Kuda Anjamptani, maka Kebo Anabrang itu
benar-benar memang lebih sakti dari Rangga Lawe. Kematian
yang kuperoleh darimu itu, akan kuterima dengan penuh
keihklasan dan kesujutan."
"Oh" desuh Kebo Taruna "jelasnya engkau ini hendak
menuntut balas atas kematian ayahmu dahulu?"
"Apapun yang hendak engkau katakan untuk tujuanku ini,
terserah kepadamu" sambut Anuraga.
Kebo Taruna tertawa hambar. "Tetapi raden Kuda
Anjamptani, bukankah sekarang ini engkau sudah menjadi
scorang brahmana yang suci" Mengapa engkau masih diburu
nafsu hatimu untuk menuntut balas?"
"Ketahuilah Kebo Taruna" sahut Anuraga "aku bukan
seorang brahmana yang lazim tetapi seorang pandita ksatrya.
Artinya, tindak tanduk, ulah tingkah, ucap mengucap dan hati
budiku seorang brahmana. Tetapi jiwaku tetap jiwa seorang
ksatrya. Karena aku masih memikirkan kepentingan negara,
rakyat dan bertujuan untuk mengayu hayuning bawana"
"O, seorang brahmana yang masih belum dapat
melepaskan diri dari soal2 keduniawian. Begitukah
maksudmu?" seru Kebo Taruna agak bernada ejek.
"Bukan soal keduniawian, anak Kebo Anabrang, tetapi soal
kemanusiaan" "Bedakah soal keduniawian dengan soal kemanusiaan itu?"
seru Kebo Taruna pula. "Sepintas hampir kaburlah perbedaan itu. Tetapi pada
hakekatnya memang berbeda. Keduniawian yalah soal2 di
dunia, termasuk soal-soal memburu harta, mengejar pangkat,
merebut kedudukan. Dan Kemanusiaan itu hanya meliputi
soal-soal manusia dalam hubungannya dengan alam pikiran,
batin dan jiwanya." "Hm" dengus Kebo Taruna "adakah tindakanmu hendak
mencari balas kepada anak dari musuh ayahmu itu, termasuk
juga dalam dharma ke pandita ksatryamu?"
Anuraga tak cepat menyahut melainkan melepas jubah ke
brahmanaannya lalu berkata, "Kebo Taruna, yang berhadapan
dengan engkau saat ini bukan brahmana Anuraga lagi,
melainkan Kuda Anjampiani, putera Rangga Lawe. Hutang jiwa
bayar jiwa ..." "Adakah orangtua yang berbuat, anaknya
bertanggung jawab?" tukas Kebo Taruna pula.
harus "Kebo Taruna" sahut Anuraga "andai ayahmu dibunuh
orang, tidakkah engkau bermaksud hendak menuntut balas
kepada orang itu?" "Tentu" sahut Kebo Taruna "tetapi ..."
"Andai engkau bertukar dengan kedudukanku, apakah
engkau takkan menuntut balas kepadaku?"
Seaat Kebo Taruna tak dapat menjawab. Untuk
mengatakan tidak, ia masih ragu-ragu. Namun kalau
mengiakan berarti membenarkan tindakan Anuraga. Ia agak
bingung untuk menentukan jawaban, sekalipun dalam hati
merasa bahwa ada sesuatu yang dapat ia gunakan sebagai
pegangan untuk menjawab. "Kebo Taruna" seru Kuda Anjampiani pula, "untuk
menyingkat waktu, segeralah engkau bersiap mengemasi diri
untuk menghadapi Kuda Anjampiani"
Kebo Taruna tertawa datar, "Kuda Anjampiani engkau
putera senopati Rangga Lawe yang gagah perkasa, akupun
putera senopati Kebo Anabrang yang gagah perkasa. Jangan
cepat mengira bahwa aku takut menghadapimu. Kebo Taruna
takkan menghindar dari tanggung jawab terhadap tindakan
ayahku yang lalu. Hanya sebelum menginjak pada
penyelesaian, perlu kiranya kuajukan sepatah pertanyaan
kepadamu. Benarkah sudah tindakamu ini?"
"Jawabanmu adalan jawabanku!" seru Kuda Anjampiani.
"Dengan begitu jelas bahwa engkau seorang pandita yang
masih kotor batinmu, angkara jiwamu!"
Brahmana itu tertawa "Sekali lagi hendaknya engkau dapat
mencamkan bahwa yang engkau hadapi ini bukan seorang
brahmana tetapi Kuda Anjampiani"
"Ha, ha, suatu penghindaran untuk menyelimuti tindakanmu
yang bertentangan dengan batinmu sendiri" ejek Kebo Taruna.
Tiba-tiba brahmana itu berseru seolah tak menghiraukan
ejekan Kebo Taruna, "Kebo Taruna, masih ada sebuah hal
yang hendak kutanyakan kepadamu"
"Katakanlah!" "Siapakah gadis yang berada dalam pondok itu" tanya
Anuraga. Tiba-tiba Kebo Taruna berobah wajahnya, "Engkau
menanyakan tentang diri Damayanti" Ha, ha, memang apa
yang kuduga, ternyata tak salah"
"Apa yang engkau duga itu?"
Kebo Taruna tertawa penuh kemuakan "Suatu keanehan
bahwa seorang brahmana muda yang tampan berjalan
bersama seorang wanita muda dengan membawa bayi ..."
"Setan!" bentak Anuraga dengan wajah merah membara
"adakah engkau kira aku sehina seperti rendahnya batinmu,
hai Kebo Taruna!" "Aku berbicara menurut apa yang kulihat dari suatu
kenyataan. Bukan kah begitu keadaanmu dengan wanita muda
itu?" "Akupun menduga perikananmu bersama gadis Damayanti
itu serupa dengan apa yang engkau duga terhadap diriku.
Karena hanya manusia2 yang kotor perilakunya akan menduga
lain orang seperti dirinya pula"
"Benar, memang kuakui aku dengan Damayanti itu telah
menjalin kasih" sahut Kebo Taruna "adakah engkau juga
demikian dengan wanita muda itu?"
Merahlah muka Anuraga mendengar jawaban itu. Bukan
merah karena dituduh mempunyai hubungan dengan Indu,
melainkan merah karena darahnya berhamburan keras.
Damayanti menjalin kasih dengan Kebo Taruna" Ah.....
Hamburan darahnya makin deras. Bergelombang menjelajahi seluruh tubuh laksana air bah dari bengawan
Brantas. Ia tak kuasa menekan dan akhirnya hilanglah
semangat dan kesadarannya dilanda air bah itu ......
Sayup-sayup tampaklah wajah sidara Damayanti tersenyum
manis kepadanya .... kakang Anuraga, lupakah dikau
kepadaku Sindura ini ...... tiba-tiba muncul Kebo Taruna lalu
menarik tangan gadis itu terus dibawa lari .....
"Sindura ...." tiba-tiba dari luapan alam bawah sadarnya
meluncurlah kata-kata di mulut brahmana Anuraga.
Kebo Taruna terkejut melihat tingkah laku dan ucapan
brahmana yang dihadapinya itu. Lebih terkejut pula ketika ia
teringat nama Sindura itu, "Hai, Kuda Anjampiani, siapa yang
engkau sebut Sindura itu ?" tegurnya.
Anuraga terbeliak dan terlontar dari alam bawah sadar
"Siapa yang menyebut Sindura?"
"Engkau ?" "Aku " Tidak mungkin" ia menyangkal.
"Ho, Kuda Anjampiani, aku tidak tuli. Jelas engkau
termenung dan tiba-tiba berseru menyebut nama Sindura.
Siapakah Sindura itu" Apakah bukan Rara Sindura yang
pernah menggoda hati baginda Jayanagara itu?"
"Tutup mulutmu, Kebo Taruna!" hardik Anuraga dengan
marah "jangan engkau berani mencemarkan nama Sindura !
Dia tak pernah menggoda baginda tetapi baginda sendirilah
yang tergoda hatinya"
"Hm, mengapa engkau menyebut nyebut nama wanita itu"
Apakah hubungannya dengan, engkau ?"
"Itu bukan urusanmu" sahut Anuraga "tak mungkin engkau
menjalin kasih dengan Damayanti. Adakah Damayanti itu
puteri seorang narapraja yang berpangkat tinggi" Mengapa
engkau putera dari seorang senopati yang diberi kedudukan di
pura kerajaan sampai berkeliaran di tengah hutan ini bersama
seorang gadis" Tentulah engkau larikan gadis itu!"
"Itupun bukan urusanmu!" sahut Kebo Taruna menirukan
jawaban Anuraga tadi "aku seorang pria, seorang pemuda
biasa, apa larangannya bersama seorang gadis jelita?"
Anuraga terkesiap. Ingin hatinya mengatakan bahwa
Damayanti itu dalam pandangannya menyerupai benar dengan
Sindura. Dan ia tak merelakan Sindura bersama pria lain lagi.
Sindura yang lalu telah dipersunting Kuda Lampeyan. Adakah
Sindura yang sekarang akan dipetik pula oleh pria lain" Ah,
tidak, tidak...... Ia harus berjuang untuk memiliki Sindura.
Bukankah Sindura pernah berjanji akan mengabdi kepadanya
pada penitisannya yang mendatang"
Serentak bangkitlah semangat Anuraga. Tetapi tiba-tiba
pula timbullah pertanyaan dalam batinnya, "Adakah orang
percaya bahwa Damayanti itu titisan Sindura" Adakah oratg
takkan melontarkan tuduhan bahwa sebagai seorang
brahmana, ia akan merebut kekasih orang" Dan apabila benar
Damayanti telah menyerahkan kasih kepada Kebo Taruna,
mungkinkah gadis itu mau menyambut kasihnya" Apabila
demikian, bukankah ia akan bertepuk sebelah tangan"
Bukankah ia akan dihina orang sebagai seorang brahmana
yang murtad karena menginginkan kekasih orang" Ah ...."
Hampir ia menyerah dalam keputusasaan atau tiba-tiba
menyala pula sepercik api semangatnya. Kebo Taruna anak
musuh ayahnya dan Damayanti itu titisan Sindura. Apabila ia
merelakan Kebo Taruna hidup, berarti akan merelakan dia
mempersunting gadis itu. Dan kehilanganlah ia dua macam
hal. Tidak! Ia rela Damayanti dipersunting lain pria, kecuali
Kebo Taruna .... Karena sampai beberapa saat brahmana itu berdiam diri
saja maka Kebo Tarunapun menegur, "Apakah yang engkau
pikirkan, Kuda Anjampiani" Mengapa engkau bermenung
saja?" Anuraga tertawa hambar "Aku sedang merenungkan
nasibmu, Kebo Taruna. Mengapa dewata seolah-olah
mengirim engkau kehadapanku. Aku masih merenungkan
peristiwa kebetulan yang aneh ini. Apakah memang sudah
menjadi kehendak dewata bahwa nasibmu memang harus
berakhir di tanganku" Ataukah memang dewata hendak
menurunkan coba kepadaku?"
"Lalu bagaimana keputusan renunganmu?" seru Kebo
Taruna. "Sungguh sayang, bahwa engkau, harus mati di tanganku"
"Mati?" "Ya, kecuali ....... kecuali engkau mau ..."
"Aha, mengapa bicaramu tersendat-sendat" Katakanlah
yang tegas bagaimana keinginanmu"
"Kecuali engkau mau melepaskan Damayanti" akhirnya
dengan mengerahkan seluruh kekuatan batin, ia mengatakan
juga. Kebo Taruna tertawa nyaring. Nadanya bergelombang
memanjang jauh "Bahwa seorang brahmana muda dan
tampan beriring jalan dengan seorang wanita muda dan
seorang bayi, itu sudah membangkitkan prasangka orang.
Masih pula brahmana itu menuntut seorang gadis yang
menjadi kekasih orang. Kuda Anjampiani, percuma engkau
menyelubungi tubuhmu yang kotor itu dengan pakaian
brahmana yang suci. Kembali sajalah kepada sifat aseli,
seorang pemuda yang bermata keranjang agar mantaplah
hatiku untuk melenyapkan dirimu!"
Anuraga tertawa datar "Hm, memang sudah kuduga engkau
akan bersikap begitu"
"Apa alasanmu

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanganku itu?" menuntut kebebasan Damayanti dari
"Alasan itu amat rumit dan halus bagai rahasia angin.
Hanya dengan indera keenam baru dapat dirasakan dan
dimakluminya." "Bohong engkau, sebohong orang yang mengatakan bahwa
engkau ini seorang brahmana suci, seorang brahmana alim"
teriak Kebo Taruna "indera keenam" Bohong ! Tak perlu
menggunakan istilah indera keenam, katakan saja Nafsu
Keinginanmu sebagai seorang pemuda yang gemar paras
cantik. Itu lebih jantan, lebih jujur daripada engkau selimuti
dengan segala macam kata-kata yang indah didengar!"
"Memang manusia seperti engkau tak mungkin dapat
menghayati apa yang kurasakan. Baiklah, terserah engkau
hendak menyebut apa, yang penting janganlah engkau
ganggu gadis itu!" Kebo Taruna tertawa menghina. "Ha, ha, hak apa engkau
hendak melarang kebebasanku" Raja sekalipun yang
melarang, namun aku tetap akan bersama Damayanti. Dia
adalah matahari kehidupanku. Melarang dia, berarti engkau
melarang Kebo Taruna melihat surya. Kecuali Kebo Taruna
sudah menjadi mayat, barulah engkau dapat memaksakan
kehendakmu!" "Bagus, Kebo Taruna, memang begitulah yang kuharapkan
engkau sebagai putera dari Kebo Anabrang. Dengan demikian
puaslah aku karena tak mendapat lawan yang menyerah tanpa
melawan." "Sudahlah, Kuda Anjampiani, kata sudah cukup engkau
lantangkan. Sekarang seharusnya engkau mulai melaksanakan
tindakanmu" "Baik, sambutlah seranganku" kata Anuraga mulai
membuka serangan dengan sebuah pukulan yang lambat
tibanya. Terarah pada dada.
Kebo Taruna juga anak seorang senopati. Dalam hal ilmu
tata kelahi dan jaya kawijayan iapun sudah putus. Cepat ia
dapat menilai bahwa pukulan Anuraga yang melancar pelahan
itu, bukan sembarang pukulan melainkan pukulan yang
dilambari tenaga penuh sehingga merupakan pukulan berat
yang mampu menghancurkan batu. Dan iapun menyadari pula
bahwa lawan sudah mendahului kesempatan. Apabila ia
berkeras hendak adu pukulan, kemungkinan ia kalah
persiapan. Oleh karena itu baiklah ia menyingkir. Sebuah
gerak menginjakkan kaki ke tanah, cepat mengantarkan
tubuhnya melayang ke belakang.
Anuraga tak mau cepat2 mengejar melainkan tetap tenang2
saja ia ayunkan langkah untuk menghampiri. Dan dengan
gaya pukulan seperti tadi pula, ia layangkan pukulannya.
Pelahan tetapi mantap. Kali ini Kebo Taruna sudah siap. Ia ingin menjajal sampai di
manakah sesungguhnya tenaga brahmana itu maka sambil
kokohkan kakinya ia kepalkan tangan kiri kencang2 untuk
mengimbangi tangan kanannya yang menabas tangan lawan.
Krak .... terdengar benturan dua kerat tulang tangan yang
keras. Tinju Anuraga terhenti tetapi tangan Kebo Taruna
terpental. Tulang lengannya serasa pecah. Sakitnya menggigit
sampai ke ulu hati namun ia kencangkan geraham untuk
menahan sakit. Setelah tertahan sejenak, tinju Anuraga pun melancar lagi.
Kebo Taruna penasaran. Iapun mengulang lagi gerakan
menabas dengan tangan tadi. Tetapi alangkah kejut Kebo
Taruna saat itu. Tepat pada saat ia gerakkan tangan tiba-tiba
tinju brahmana itu cepat sekali menghunjam dada lawan.
Sedemikian cepat sehingga Kebo Taruna menjerit kaget.
Pada waktu mempercepat turunnya tinju ke dada Kebo
Taruna ternyata Anuraga menyerempaki dengan menyongsongkan tubuh ke muka agar lebih dekat dengan
lawan. Karena jaraknya amat dekat, Kebo Taruna gugup.
Untuk menghindar, ia kuatir tak keburu. Begitupun untuk
menangkis, ia rasa kalah cepat. Dalam keadaan yang
berbahaya itu akhirnya ia mengambil tindakan nekad. Ia robah
tebasan tangan menjadi gerak menebarkan jarinya lalu
dengan sekuat tenaga ia tusukkan ke teiggorokan tawan.
Pikirnya, walaupun dadanya akan termakan pukulan tetapi
iapun dapat menusuk tenggorokan lawan. Dengan tindakan itu
jelas ia mengajak lawan sama-sama terluka ataupun samasama binasa.
Tetapi bukanlah begitu maksud Anuraga. Ia akan
merubuhkan Kebo Taruna, bukan ikut rubuh. Ia tertawa dalam
hati melihat tindakan Kebo Taruna. Tiba-tiba tinjunya
ditebarkan dan secepat kilat menyambar pergelangan tangan
Kebo Taruna terus diputar melingkar ke belakang punggung
pemuda itu. "Auh ...." Kebo Taruna mendesis tertahan. Pergelangan
tangan dicengkeram sekuatnya, sakitnya sampai memaksa
airmatanya menitik. Namun ia paksakan diri untuk tidak
mengerang. Tetapi ia merasa tenaganya pun hilang sehingga
ia tak kuasa untuk menahan tindakan lawan yang
melingkarkan tangannya ke belakang punggung. Itupun ia
masih dapat menahan kesakitau. Namun ketika tengkuknya
dicengkeram oleh tangan kiri brahmana muda, ia rasakan
pandang matanya berbinar-binar dan seluruh urat bayunya
seperti ditulusi sehingga tenaganya hilang sama sekali.
Dalam kesayupan pandang mata dan pikiran di antara sadar
tak sadar, ia masih dapat merasa bahwa tubuhnya diangkat ke
atas lalu diputar-putar seperti kiliran. Makin lama makin deras
sehingga ia rasakan bumi dan langit seperti terayun-ayun naik
turun, tengkurap dan menengadah ....
Sejak berlangsung perbantahan antara Anuraga dengan
Kebo Taruna tadi, Damayanti dan Indu pun ke luar ke
halaman. Tetapi mereka tak berani mendekati melainkan
tegak berdiri di serambi pondok dan mendengarkan
pembicaraan kedua orang muda itu.
"Nyi Salupi" tiba-tiba Damayanti berbisik kepada Indu yang
tegak di sampingnya "mengapa brahmana itu marah terhadap
kakang Taruna" Apakah kesalahan kakang Taruna?"
"Karena dia putera Kebo Anabrang, senopati , Majapahit
yang membunuh adipati Rangga Lawe dari Tuban"
"Apa hubungan ki brahmana dengan adipati Rangga Lawe?"
tanya Damayanti. "Ternyata ki brahmana itu putera sang adipati Tuban"
"O" desis Damayanti "memang wajah brahmana itu beda
dengan orang kebanyakan"
"Dan karena Kebo Taruna membawamu lari, nini" kata Indu
pula. Damayanti kerutkan alis terkejut "Ih, mengapa ki brahmana
marah?" "Karena dia menganggap engkau ini titisan seorang wanita
yang bernama Rara Sindura"
"Sindura?" ulang Damayanti "rasanya aku
mendengar nama itu ketika masih di pura Wilwatikta"
pernah "Benar, memang Rara Sindura itu adalah wanita cantik yang
telah memikat hati baginda. Wanita itu dibawa ke dalam
keraton tetapi akhirnya dapat meloloskan diri. Dan baru tadi
kudengar brahmana itu mengatakan bahwa Rara Sindura
sudah meninggal terbunuh suaminya sendiri."
"O, tetapi apa maksud ki brahmana menganggap diriku
titisan Rara Sindura?" tanya Damayanti pula.
Walaupun hanya terpaut setahun usianya, namun karena
Indu sudah bersuami maka ia menyebut dara Damayanti
dengan panggilan nini. "Mungkin ada suatu jalinan antara ki
brahmana dengan Rara Sindura. Hal itu tak kuketahui jelas
...." Tiba-tiba pembicaraan mereka terputus oleh gerak-gerik
Anuraga dan Kebo Taruna yang mulai bertempur. Dan
meletuslah kejut kedua wanita muda itu ketika melihat tubuh
Kebo Taruna diangkat ke atas kepala Anuraga lalu diputar
putar deras. Sepasang mata brahmana muda itu memancar
sinar kemerah-merahan darah .....
"Hai, ki brahmana......" serempak Indu dan Damayantipun
menjerit memanggil Anuraga. Rupanya kedua wanita itu
menyadari bahwa sesaat kemudian brahmana Anuraga tentu
hendak melemparkan tubuh Kebo Taruna. Dan apabila terjadi
demikian, pastilah akan hancur tubuh Kebo Taruna.
"Anuraga, hentikanlah nafsu kemarahanmu ..." sekonyong
konyong terdengar sebuah suara yang berkumandang seperti
harimau mengaum. Dan seiring dengan munculnya sesosok
tubuh bungkuk dari balik sebuah gerumbul, menderulah setiup
angin kearah brahmana muda itu.
Anuraga yang sudah kehilangan kesadaran diri, tengah
menurutkan bisikan nafsu amarahnya. Nafsu yang walaupun
sudah bertahun tahun dapat ia kuasai, saat itu benar-benar
mengunjuk kekuatannya. Dan Anuraga pun tunduk pada
kekuasaan nafsu itu. Laksana seekor kucing yang
mampermainkan tikus sebelum dimakannya, demikian
keadaan Anuraga saat itu. Ia memutar tubuh Kebo Taruna
sederas-dcrasnya, seolah olah hendak menyatakan kepada
arwah Kebo Anabrang dan orang2 Majapahit, bahwa putera
Rangga Lawe akhirnya dapat mengalahkan putera Kebo
Anabrang. Kekalahan antara ayah dengan ayah telah ditebus
dengan kemenangan antara anak dengan anak.
Ia seolah-tuli akan jeritan Indu dan Damayanti. Bahkan
suara diri pendatang yang sedahsyat aum harimau itu, pun tak
diacuhkan. Anuraga telah kehilangan dirinya. Tetapi pada saat
Anuraga sudah dikuasai oleh kemarahannya, ia merasa
punggungnya dilanda oleh setiup angin yang keras dan
seketika ia rasakan kedua tangannya lunglai. Tubuh Kebo
Taruna yang diangkat di atas kepilanya itupun terasa amat
berat sehingga ia tak kuasa mempertahankannya lagi, bluk
....... Anuraga tak menghiraukan tubuh Kebo Taruna yang jatuh
ke tanah karena cepat2 ia berputar tubuh ke belakang.
"Anaraga, anakku, engkau kehilangan dirimu" belum
Anuraga sempat membuka mulut, berserulah seorang kakek
bungkuk yang tegak beberapa langkah di hadapannya.
"Duh, eyang ...." serta merta Anuraga membungkuk tubuh
memberi sembah kepada pendatang itu.
"Bangunlah angger" cepat orangtua itu mengangkat tubuh
Anuraga. Manusia memang bisa lupa, angger. Itu suatu
pertanda bahwa nafsu Amarah dalam batin kita ini tak pernah
terkalahkan selamanya. Oleh karena itu, baiklah kita
bersamadhi tiap hari untuk meninjau kesalahan kita dan
memperbaikinya" "Tetapi eyang, dia adalah putera dari orang yang telah
membunuh ramaku dahulu" kata Anuraga.
Orangtua itu mengangguk "Kutahu angger,
kuberikan juga perlindungan dan tempat meneduh"
namun "O, eyangkah yang disebut eyang Patiraga itu?" tanya
Anuraga. "Ya, itu lebih sesuai dengan kehidupanku saat ini. Patiraga
berarti mati dalam hidup. Eyang sudah mati tetapi masih
hidup. Masih bernyawa tetapi sudah mati. Walaupun eyang
hanya tunggu kedatangan batara Yamu tetapi sedetik eyang
masih bernafas, sedetik itu puja eyang akan mempergunakannya untuk keselamatan negara dan kesejahteraan kawula"
"Adakah tindakanku untuk menuntut balas atas kematian
rama dahulu, tidak dapat dibenarkan?" tanya Anuraga.
Eyang Patiraga atau Eyang Wungkuk tertawa. "Aku heran
mengapa engkau yang biasanya memiliki batin yang terang
dan pikiran yang sadar, saat ini seperti kehilangan diri, angger
" Sekarang eyang hendak bertanya kepadamu. Apakah
pemuda putera Kebo Lnabrang itu harus engkau lenyapkan"
Dia adalah putera dari musuh ayahmu. Tetapi dia tak
tersangkut dengan pembunuhan itu. Mungkin dia tak tahu
sama sekali tentang hal itu. Adakah setelah engkau
membunuhnya, engkau merasa sudah menghimpaskan
dendam berdarah mendiang ramamu ?"
"Ah" Anuraga hanya mendesah.
"Dendam itu anakku" kata eyang Patiraga "laksana kertas
putih. Mudah ternoda, sukar terhapus. Kebo Anabrang
membunuh Rangga Lawe, anak Rangga Lawe yani Kuda
Anjampiani membunuh anak Kebo Anabrang si Kebo Taruna.
Kelak anak Kebo Taruna akan membunuh pula anak Kuda
Anjampiani. Kemudian cucu Anjampiani akan membunuh cucu
Kebo Taruna. Demikian seterusnya takkan habis-habisnya dari
satu keturunan ke lain keturunan. Bilakah dendam bebuyutan
itu akan berhenti, angger ?"
Kuda Anjampiani masih berdiam diri.
"Adakah tujuan hidupmu ini hanya untuk membalas
dendam" Adakah engkau dilahirkan di dunia ini dengan
dharma mutlak yaitu untuk membalas dendam mendiang
ayahandamu, angger?" masih eyang Patiraga meresapkan
penyadarannya dengan pertanyaan- pertanyaan "dan adakah
penjelmaan Kebo Taruna itu ke mayapada ini semata-mata
supaya menjadi korban pembunuhanmu" Adakah Hyang Widhi
sudah menggariskan amanatnya bahwa engkau direstui untuk
membunuh Kebo Taruna?"
"Ketahuilah wahai anakku Kuda Anjampiani" seru eyang
Patiraga pula "kematian mendiang ayahandamu itu kematian
yang luhur. Dia mati sebagai ksatrya utama di medan bhakti.
Dan ksatrya yang mati di medan perang, akan mendapat
tempat yang amat layak di Nirwana. Dan kematian seorang
ksatrya dalam peperangan itu, adalah sudah jamak, sudah
menjadi salah satu dharma kekesatryaannya. Karena apabila
Kebo Anabrang tak membunuh adipati Rangga Lawe,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukankah dia yang akan dibunuh oleh sang adipati Tuban itu"
"Tetapi eyang" bantah Anuraga "bukankah dahulu dalam
peperangan Bharatayuda, Danghyang Dorna dan sang Arjuna
juga marah karena gugurnya putera mereka" Bukankah Arjuna
bahkan sampai kehilangan kesadaran ketika isterinya Dewi
Wara Srikandi binasa" Bukankah sudah jamak apabila seorang
ayah marah karena kehilangan putera, seorang putera akan
marah karena kehilangan ayahnya dan seorang pria akan
marah karena kehilangan wanita yang dikasihinya ?"
Eyang Patiraga tertawa "Itulah tepatnya kata yang
mengatakan, makin banyak yang engkau kasihi, makin
besarlah penderitaanmu. Engkau akan menderita kepedihan
dan atau kemarahan apabila orang yang engkau kasihi itu
meninggal. Rasa kasih itulah yang akan membelenggu dirimu
dalam penderitaan." "Danghyang Dorna dan Arjuna" lanjut pula eyang Patiraga
"memang masih belum terhindar dari lekatan rasa kasih itu.
Masih belum membebaskan diri dari ikatan2 rasa dalam
dirinya, sehingga mereka mudah menderita. Lain halnya
dengan sang resi Dewa-brata yang dapat memenuhi dharma
keutamaannya sebagai seorang resi, seorang senopati,
seorang prajurit. Dia dapat membebaskan diri dari ikatan rasa
dan nafsu dan berangkatlah ia ke alam baka dengan
tersenyum." "Angger" kata Eyang itu pula, "Barang siapa mencari
kebahagiaan dengan menganiaya lain mahluk, dia takkan
memperoleh kebahagiaan. Barang siapa mencari kepuasan
hati dengan melakukan balas dendam kepada lain orang, dia
takkan memperoleh kepuasan."
Anuraga terhening. "Angger" kata eyang Patiraga pula "tahukah engkau akan
hukuman menurut bunyi kitab Dhamma-pada tentang
Dandavagga " Inilah katanya. Barangsiapa menghukum
mereka yang tak semestinya mendapat hukuman dan
menyakiti mereka yang tak bersalah, maka dia akan
memperoleh salah satu diantara sepuluh keadaan seperti
ini..... Orang itu akan mengalami penderitaan hebat, kehilangan
harta, luka badan, menderita penyakit berat atau hilang
ingatan. Atau tertimpah kemalangan yang datang dari raja
atau mendapat tuduhan yang mengerikan, kehilangan sahabat
sahabat karib atau harta kekayaannya. Atau rumahnya
terbakar, disambar petir dan bila badannya hancur, dia akan
masuk ke neraka ...."
"Eyang" seru Anuraga "berilah petunjuk bagaimana aku
harus bertindak". "Baik, angger" kata eyang Patiraga "pertama haruslah
engkau tumbuhkan kesadaran dalam hatimu bahwa Dendam
itu termasuk salah sebuah Nafsu. Menyerah pada dendam
berarti engkau menghanguskan dirimu dalam bara dendam
yang akan menjadi api Neraka. Bahwa yang melakukan itu
Kebo Anabrang, bukan puteranya si Kebo Taruna. Berlapang
dada merupakan salah satu dari peribadi luhur. Soal kematian
ayahmu, dia gugur sebagai seorang prajurit utama. Apabila
engkau pandang kematian ayahmu itu sebagai dendam
keluargamu. Tentu engkau pun seharusnya menerima
pembalasan dari mereka-mereka yang ayahnya telah mati
terbunuh oleh ayahmu. Cobalah engkau hitung, beberapa
banyaklah sudah jiwa yang telah melayang di bawah ujung
senjata ayahmu dalam pertempuran itu" Jika eagkau berhak
untuk menuntut balas, adakah putera-putera dan keluarga dari
korban-korban yang mati dibunuh ayahmu itu tak berhak
untuk menuntut balas kepadamu ?"
Anuraga tertegun dalam kemenungan yang jauh.
"Serahkan nasib Kebo Taruna kepada yang memberi-NYA.
Dan engkaupun berjalan terus menurut arah tujuanmu.
Janganlah arah itu engkau hanyutkan dalam prahara dendam
yang tak berkeputusan"
"Jadi eyang maksudkan supaya aku memberi ampun
kepada Kebo Taruna?"
"Bukan angger" sahut eyang Patiraga "dia tak bersalah
kepadamu, mengapa engkau harus memberinya ampun. Yang
bersalah adalah ayahnya kepada ayahmu, bukan engkau.
Kumaksudkan, biarlah dia hidup menurut kodrat hidupnya
sendiri" Anunaga mengangguk pelahan, penyelesaian hal yang kita hadapi ini?"
"Lalu bagaimana "Kutahu bagaimana perasaanmu, angger. Maka akan kuatur
begini. Akan kusuruh dia tinggalkan tempat ini mengantar nini
Daniyaati pulang ke tempat asalnya di Wengker ...."
"Eyang tetapi wanita itu ......." Anuraga tak dapat
melanjutkan kata-katanya. Sesungguhnya ia hendak menanyakan soal Damayanti tetapi kerongkongannya serasa
tersumbat. "akupun hendak mengantar nyi Salupi ke gunung
Lawu, eyang" Eyang Patiraga mengangguk. "Itu sungguh suatu kebetulan.
Wengker tak jauh dari gunung Lawu dan searah perjalanan.
Maka lebih baik serahkan saja nyi Salupi kepada kedua orang
itu" "Eyang, aku senang sekali menemani nyi Salupi," tiba-tiba
Damayanti manyelutuk. Rupanya dara itu mengikuti
pembicaraan eyang Patiraga dengan Anuraga. Ia mendapat
kesan bahwa amarah brahmana itu sudah lenyap.
Belum eyang Patiraga menyahut, tiba-tiba Indu pun berseru
"Ki brahmana, terima kasih atas budi pertolongan tuan
kepadaku. Aku tak berani mengharap terlalu banyak. Agar
jangan mengganggu waktu dan tenagamu, aku dapat menuju
ke gunung Lawu bersama nini Damayanti ini sendiri"
Eyang Patiraga tersenyum "Bagus, angger, kalian dapat
berjalan bersama-sama dengan diiring oleh Kebo Taruna. Nah,
lekaslah kalian berkemas agar esok sudah dapat berangkat"
Kedua wanita muda itupun terus masuk ke dalam pondok.
Eyang Patiraga menolong supaya Kebo Taruna sadar dari
pingsannya. "Angger Taruna" kata eyang Patiraga setelah pemuda itu
tersadar "ucapkanlah terima kasih kepada brahmana muda itu
karena dia sudah rela menghapus segala persoalan yang
lampau" Kebo Taruna terbeliak. Dipandangnya Anuraga. Tampak
wajah brahrrana itu sudah ramah dan tenang kembali. Segera
ia melakukan perintah eyang Patiraga, "Raden, maafkanlah
kesalahan mendiang ayahku yang telah membunuh sang
Adipati Ranga Lawe" "Benar Kebo Taruna" kata Anuraga "seharusnya
senopati itu tak bertempur tetapi bersatu. Keduanya
tiang utama dari kerajaan Majapahit. Nyatanya sejak
senopati itu binasa, Majapahit makin lemah, sering
pemberontakan di sana sini"
kedua adalah kedua timbul "Memang demikian raden....."
"Ah, Kebo Taruna, janganlah menyebut aku raden. Engkau
putera paman Kebo Anabrang, panggillah brahmana atau
kakang" tukas Anuraga.
Kebo Taruna terkesiap. Dipandangnya brahmana muda itu
dengan penuh kekaguman. Ia memuji Kuda Anjampiani itu
benar-benar seorang putera adipati yang luhur budi dan gagah
perwira. "Memang hilangnya kedua tiang utama dari Majapahit
itu menyebabkan kerajaan lemah tetapi kelemahan itu
memang dilemahkan oleh golongan-golongan yang berebut
kekuasaan. Jadi kelemahan Majapahit itu bukan karena
bahaya luar melainkan dari pihak orang dalam, musuh-musuh
dalam selimut itu ......"
Kemudian Kebo Taruna menuturkan tentang peranannya
selama hidup di pura Wilwatikta, di bawah penguasaan patih
Aluyuda. Rencana patih Aluyuda untuk membunuh Rani
Kahuripan, memelihara Damayanti untuk mencari pengaruh
pada baginda dan rencana patih Aluyuda untuk meracuni
rombongan patih amangkubumi Nambi waktu ke Lumajang,
dan lain2. "Aku tak mau lagi menjadi alat patih itu di dalam usahanya
untuk merebut kedudukan maha patih" ia mengakhiri
penuturannya. Demikian malam itu telah dilewati dalam suasana penuh damai. Dan malam itu
pula Anuraga telah menemukan sualu cahaya terang dalam batinnya bahwa ia telah berhasil melenyapkan Nafsu yang selama bertahun-tahun telah
mencengkeram dan menghanguskan sanubarinya. Malam kemenangan yang kalah. Kehilangan yang bahagia. Anuraga tersenyum
dalam renungan syahdu. Keesokan harinya maka berangkatlah rombongan Indu
Salupi, Damayanti dan Kebo Taruna menuju ke Wengker.
".... Sindura .... semoga engkau
penitisanmu yang sekarang ....."
berbahagia dalam Demikian ucapan yang membahana dalam hati Anuraga
dikala mengantar keberangkatan dara itu. Apabila ia
mengucapkan kata-kata itu dengan mulut, mungkin akan
menyalurlah endapan-endapan dalam hatinya yang meluap
keluar. Sebagaimana halnya lahar dari dalam kerak bumi yang
meluap ke luar dari mulut gunung.
Tetapi kata-kata itu hanya merekah dalam hati. Namun
rekahan itu ternyata sedahsyat gempa bumi. Menggoncangkan
seluruh urat bahkan serabut bumi hatinya, menggelegar bagai
halilintar memecah angkasa dada, menimbulkan gelombang
raksasa yang menguak lautan alam bawah sadar. Anuraga
terpukau dihempas kehampaan ....
"Anakku" setelah hampir sepeminum teh lamanya dibiarkan
anakmuda itu berasyik dalam kelelapan renung, akhirnya
eyang Patiraga menghampiri dan menepuk bahunya "marilah
kita masuk. Surya sudah sepenggalah tingginya ..."
Anuraga tersentak dari kehampaan. Ia membiarkan
tangannya dipimpin oleh eyang Wungkuk itu diajak masuk ke
dalam pondok. "Anakku" kata eyang Wungkuk "betara Surya
telah mengingatkan kita akan kesempatan yang diberikannya.
Batara Surya menerangi jagat agar manusia sempat bekerja
melakukan kewajibannya. Camkanlah anakku, akan makna
sejati dari sang Surya itu. Surya adalah mustika kehidupan.
Dan kehidupan itu sesungguhnya cerah, terang dan gemilang.
Awan, angin dan hujan, hanya suatu gangguan sekedar yang
menambah ramainya kehidupan. Tapi kesemua gangguan itu
tidaklah kuasa untuk melenyapkan hakekat daripada Surya
yang menerangi kehidupan ..."
"Hidup itu derita. Oleh karena itu tujuan kita dalam
kehidupan ini adalah untuk menghapus derita itu Berpikirlah
yang terang, berbuatlah yang baik, bersihkanlah jiwamu dari
debu-debu dosa dan hayati makna dari sang Surya itu sebagai
pelita yang menerangi batinmu. Kesedihan, kedukaan,
keresahan dan kegelisahan, merupakan angin, awan dan
hujan. Biarkanlah mereka turun untuk lenyap. Agar hatimu,
pikiranmu selalu diterangi oleh cahaya sang Surya"
"Eyang" kata Anuraga pelahan
kulakukan?" "Apakah yang harus "Anjampiani" kata eyang Patiraga "kulihat cakrawala bang
wetan masih diliputi awan-awan gelap. Pergilah engkau ke
sana, anakku. Baktikan dharmamu kepada negara, rakyat dan
agamamu serta keyakinan hidupmu"
Anuraga terkesiap. "Adakah eyang maksudkan bahwa kerajaan Majapahit
masih berkabut awan kegelapan?" ia menegas.
"Engkau memiliki daya penangkapan yang tajam, anakku.
Memang demikianlah maksud eyang. Menurut bisikan halus
yang terserap dalam persemedianku di puncak gunung itu,
aku melihat langit pura Majapahit berkabut awan merah. Tak
berapa lama awan itupun mencair dan turunlah hujan darah.
Rakyat menjerit dan lari kebingungan. Tiba-tiba halilintar
meletus dan muncullah seorang insan. Hujan pun berhenti,
langit cerah pula." "O" desis Anuraga terkejut "adakah kerajaan Majapahit
akan dilanda peperangan hebat?"
Eyang Patiraga menghela napas, "Semoga tidak. Dan
semoga pula halilintar yang mengantar kehadiran insan itu
segera meletus ..." "Siapakah wajahnya?" insan itu, eyang" Bagaimana pula raut

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Patiraga menggeleng kepala "Tidak jelas, angger. Dia
berdiri membelakangi pandanganku. Tetapi kurasa memang
bakal muncul seseorang yang dapat menyelamatkan
kekacauan negara Majapahit. Carilah dia, anakku, dan ikutilah
jejaknya" Anuraga mengangguk dalam-dalam.
"Baik, eyang" katanya "akan kulaksanakan pesan eyang
sebaik baiknya. Kemudian adakah eyang masih hendak
memberi pesan lain lagi?"
"Anakku Anjimpiani" kata eyang Patiraga "eyang sudah
merasa amat tua dan semakin tua. Apalagi keadaan tubuh
eyang sudah menderita luka-luka dan cacad. Hanya karena
kemauan keras dan ketekadan hati maka eyang dapat
memperjuangkan suatu perpanjangan hidup. Tetapi tubuh
manusia itu seperti sebuah sangkar dan jiwa itu burungnya.
Apabila sang sangkar sudah rusak, kemanakah larinya burung
kalau tak terbang ....."
Anuraga terkesiap dan memandang eyang wungkuk itu
lekat-lekat. Ia merasa memang wajah dan tubuh orangtua itu
mengenaskan keadaannya. "Anakku" kata eyang Patiraga pula "dalam keadaan begitu
terpaksa aku harus memikirkan kelangsungan hidupku.
Kurasa, angger, hidupku takkan lama lagi. Entah kapan tetapi
sewaktu-waktu jiwaku tentu akan meninggalkan jasadku yang
rusak....." "Jangan menukas dulu, Anjimpiani" buru-buru eyang
Patiraga mendahului ketika melihat Anuraga hendak membuka
mulut, "kenyataan itu memang suatu kenyataan. Jangan kita
membantah ataupun hendak menutupi kenyataan itu. Dan
yang paling dapat merasakan kenyataan itu adalah aku
sendiri" "Eyang....."' "Maka apabila terjadi hal itu, aku merasa tak rela apabila
belum menyerahkan pesan kepada orang yang kuanggap
dapat melaksanakannya"
"Pesan apakah yang eyang hendak berikan?"
"Mati bagiku sudah jamak dan memang aku sudah mati
dalam hidup ini. Tetapi yang masih memberatkan hatiku yalah
perjuangan Gajah Kencana dalam melindungi tegaknya
Majapahit. Kuminta perjuangan itu harus tetap menyala
selama kerajaan Majapahit masih tegak di bumi"
"Dirgahayu Gajah Kencana !" serentak Anuraga menyambut
dengan penuh semangat. "Jayalah Majapahit!" balas eyang Patiraga seraya
menegakkan tubuhnya yang bungkuk. Gelora semangat yang
meluap-luap telah mengayun tubuh sikap eyang yang bungkuk
itu sampai menegakkan punggungnya. Sesaat kemudian ia
tampak menyeringai menahan kesakitan lalu menunduk pula.
"Kuda Anjampiani, bila sampai terjadi sesuatu pada diri
eyang, tiada lain orang yang eyang pandang sesuai dan tepat
kecuali dirimu....."
"Eyang!" serempak Anuraga bertindak kaget.
"Tenanglah angger dan terimalah kepercayaan eyang ini
dengan setulus hatimu"
"Tetapi eyang" bantah Anuraga "aku masih muda sekali,
masih jauh dari pengetahuan dan pengalaman. Bagaimana
mungkin aku dapat membawa saudara-saudara kita
mengarungi gelombang samudera pergolakan yang akan
menjelang kerajaan" Bukankah eyang telah menerima wangsit
bahwa kerajaan Majapahit akan dilanda oleh banjir darah?"
"Kuda Anjampiani, engkau putera seorang senopati linuwih.
Engkau seorang brahmana yang menjunjung keutamaan budi
dan laku. Engkau seorang ksatrya yang sakti mandraguna dan
engkau pula seorang pejuang yang telah menghayati arti dan
tujuan perjuanganmu. Syarat-syarat yang engkau miliki,
angger, sudah cukup untuk menjadi pemimpin perhimpunan
kita" kata eyang Patiraga "soal pengetahuan dan pengalaman
dapat engkau peroleh dalam perjalanan perjuanganmu. Yang
penting, segala tindakan yang engkau ambil harus
berlambarkan cita-cita perjuangan membela negara, bersenyawakan keluhuran budi dan bernafaskan keutamaan
ksatrya" "Duh eyang" serta merta Anuraga berkata "jangan eyang
terlalu menyanjung diriku begitu tinggi. Aku seorang manusia
biasa yang masih berdarah muda. Seringlah aku tergelincir
dalam godaan nafsu dan rangsangan marah. Bukankah eyang
tadi pun telah menyangsikan bagaimana tingkah polahku
menghadapi Kebo Taruna?"
Eyang Patiraga tertawa cerah "Kuda Anjampiani, adakah
engkau kira sejak lahir eyang sudah begini buruk dan tua"
Tidak, anakku, eyang pun dahulu juga pernah muda seperti
engkau. Apa yang engkau alami, pun eyang dahulu pernah
mengalami pula. Bahkan lebih dari engkau, anakku ...."
Sejenak orang tua renta itu merenung. Rupanya ia tengah
mengenangkan masa-masa yang lampau dari kemudaannya.
"Aku senang, angger, karena engkau telah merasakan
pengalaman itu" kata eyang bungkuk itu sesaat kemudian
"karena dengan pengalaman itu tentulah engkau tak mudah
untuk tergelincir dalam kehilangan faham lagi. Pengalaman
apapun akan merupakan semacam penempaan jiwa agar
engkau dapat meningkat kearah perbaikan. Jadikanlah setiap
peristiwa yang engkau alami sebagai guru yang memberi
petunjuk kepalamu. Aku tak meaguatirkan dirimu tentang soal
yang engkau hadapi dengan Kebo Taruna dan Damayanti lagi,
angger." "Eyang ...." "Sudahlah, Kuda Anjampiani, jangan engkau samar hati
menghadapi apa yang belum terjadi. Mantapkanlah hatimu,
demi Batara Agung, akan terlaksanalah semua yang engkau
cita-citakan" tukas eyang Patiraga pula.
"Duh eyang" akhirnya Anuraga menyerah "jiwaku, ragaku
dan hidupku, akan kuserahkan kepada Gajah Kencana ...."
Serta merta eyang Patiraga memeluk Anuraga sampai
beberapa saat. Beberapa butir airmata menitik dari kelopak
mata yang sudah mengerut kering dari kakek tua itu.
"Dalam sejarah kehidupanku, belum pernah aku merasa
bahagia seperti detik ini, anakku" kata eyang Patiraga sejenak
kemudian setelah melepaskan pelukannya pada Anuraga.
Anuraga mengucurkan airmata keharuan. Tersentuhlah hati
nuraninya mendengar ucapan eyang Patiraga yang
menggambarkan pengabdian jiwanya.
Anakku" kata eyang Patiraga "akan kukukuhkan
pengangkatanmu itu kepada segenap warga Gajah Kencana
dalam surat pesanku apabila aku mati"
Anuraga mengangguk pelahan.
"Sekarang Anjampiani" kata kakek itu pula "akan kuberi
pelajaran yang terakhir yang merupakan juga milikku terakhir.
Yalah tentang inti sari dan rahasia daripada ilmu Rajah
Kalacakra. Bersiaplah, anakku, untuk menerima pelajaran itu.
Rahasia itu hanya boleh engkau turunkan kelak kepada
penggantimu yang engkau percayakan untuk memimpin Gajah
Kencana." Demikian dalam pondok yang sunyi dan terasing di puncak
gunung Kawi, eyang Patiraga telah menurunkan pelajaran ilmu
kesaktian dari Rajah Kalacakra. Anuraga seperti orang yang
tengah menyelam dalam laut. Baru saat itu ia mengetahui
betapa luas dan dalam ilmu Rajah Kalacakra itu.
"Demikian anakku, apabila engkau tekun berlatih, engkau
tentu mencapai tataran yang sempurna dari ilmu itu. Ditelatah
Majapahit bahkan di kawasan nusantara, jarang terdapat
orang yang mampu menandingi kesaktiannya....."
"Terima kasih, eyang"
"Tetapi ingatlah, Kuda Anjampiani. Bahwa ilmu itu harus
diamalkan pada jalan yang baik. Rajah Kalacakra mengandung
tulah sakti. Digunakan pada jalan yang suci, dia akan
merupakan alat pamungkas yang hebat tiada taranya. Tetapi
apabila digunakan pada jalan yang sesat, dia akan menjadi
alat pamungkas yang menumpas diri sendiri!"
Anuraga terkejut dalam hati. Namun iapun dapat menyerapi
kutuk yang terkandung dalam ilmu itu.
Demikian setelah memberi nasehat dan wejangan yang
berguna, akhirnya Anuraga pun mohon diri menuju ke pura
Wilwatika pula. "Semoga para dewata melindungi langkah anak itu" eyang
Patiraga memanjatkan doa.
)o-dw,kz-mch-o( II ISENG merupakan kekosongan waktu dan pikiran.
Bermacam ragam cara untuk mengisi kekosongan itu. Sering
pengisian itu dengan cara yang disebut usil. Dan usil itulah
yang menyebabkan Segatra hentikan kudanya ketika ia
melihat seorang anak muda tengah tidur sandarkan kepalanya
pada sebatang pohon yang rindang.
Segatra sedang melakukan tugas menuju ke pura Majapahit
untuk menghadap ra Kembar. Di tengah jalan ia melihat
peristiwa itu dan timbullah rasa usilnya. Usil karena iseng
menempuh perjalanan berkuda seorang diri di sepanjang jalan
yang membelah memanjang di tengah pegunungan. Walaupun
hari itu matahari naik di atas kepala, namun jalanan itu sunyi
dan sepi. Setelah hentikan kuda, Segatra pun loncat turun dan
menghampiri ke tempat pohon yang tumbuh beberapa belas
langkah dari tepi jalan. Diamatinya pemuda itu cermat.
Seorang pemuda yang bertubuh pendek, berwajah bundar
dengan panca indera yang serba besar.
"Siapakah gerangan pemuda ini?" kata Segatra seorang diri.
Hendak dibangunkan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran lain.
Sejak diterima perintah dari ra Kembar bahwa di jalanan
yang menuju ke daerah selatan yalah Blitar dan Lodaya, akan
lalu beberapa orang. Orang-orangg itu harus dicegah.
Ditangkap apabila orang itu melawan. Dan semalam, telah
ditangkap dua orang yang menurut keterangan akan menuju
ke Lodaya. Seorang kakek tua dan seorang lelaki bertubuh
tegap. "Kemungkinan pemuda ini juga salah seorang yang
hendak menuju Lodaya" timbang Segatra dalam hati.
"Untuk menjaga kemungkinan yang tak diinginkan baiklah
kuikat saja pemuda itu pada pohon. Setelah itu barulah
kubangunkan dan kutanya keterangannya. Kalau tidak, tentu
dapat menimbulkan kesulitan. Karena kalau dia benar hendak
menuju ke Lodaya dan tak mau menurut laranganku, tentu
aku harus membuang waktu dan tenaga untuk menangkapnya" pikir Segatra lebih lanjut. Segera ia
mengambil tali dari kudanya lalu diikatnyalah tubuh pemuda
itu pada pohon. Walaupun tubuhnya dilibat tali, ternyata pemuda itu masih
tetap tidur nyenyak. Rupanya dia tentu amat letih. Setelah
selesai mengikat barulah Segatra membentak, "Hai,
bangunlah!" Tetapi anakmuda itu masih melentuk nyenyak; Karena dua
tiga kali seruannya tak berhasil, Segatra hilang kesabarannya.
Plak ....... ditamparnya pipi anakmuda itu seraya menyuruhnya
bangun "Hayo bangun!"
Pemuda itu tersentak kesakitan dan membuka mata. Demi
melihat wajah seorang lelaki menggagah di hadapannya,
serentak ia hendak menggeliat bangun. Tetapi uh ... ia
mendesah kejut ketika mengetahui tubuhnya terikat erat erat.
"Hai, mengapa engkau mengikat tubuhku" Siapa engkau!"
serunya menegur Segatra. "Sebelum kujawab, engkau harus menjawab pertanyaanku
lebih dulu" sahut Segatra "siapakah engkau ini?"
Pemuda itu kerutkan alis lalu menyahut "Aku si Gajah"
sahutnya. Segatra pun meliukkan dahi "Jangan berolok-olok! Sebutkan
namamu yang benar!" "Siapa berolok olok" Namaku memang Gajah" sahut
pemuda itu. "Mengapa engkau tidur di tengah hutan ini" Dari mana
engkau ini dan hendak ke mana?"
Pemuda itu tak lekas menyahut melainkan mengamati
orang itu dengan tajam lalu bertanya "Adakah engkau ini
bangsa penyamun" Sayang engkau salah arah. Aku tak
mempunyai apa2" Segatra deliki mata "Hm, jangan bicara sembarangan.
Jawablah pertanyaanku, apabila engkau bukan orang yang
kukehendaki, tentu akan kulepaskan"
"Cobalah bertanya" kata pemuda itu.
"Dari arah utara engkau hendak menuju ke selatan,
bukan?" "Ya" "Ke Blitar?" "Hm, kalau benar, lalu?"
"Kembalilah dan jangan engkau lanjutkan perjalanan ke
sana!" "Aneh" gumam pemuda "apa sebab aku tak boleh ke
selatan?" "Untuk beberapa waktu ini, memang tak kuidinkan orang
melawat ke selatan" "Mengapa?" "Engkau hanya dibenarkan untuk mendengar perintahku,
tak boleh bertanya apa sebabnya!" Segatra mulai tak senang.
"Adakah engkau ini seorang penguasa daerah ini?"
"Ya, tempat ini termasuk telatah Daha. Bumi Daha adalah
bumi kami putera2 Daha. Bukankah engkau orang Majapahit?"
"Ya, memang aku seorang kawula Majapahit. Daha juga
daerah Majapahit, mengapa engkau menonjolkan kedaerahanmu ?" "Dahulu kerajaan Panjalu itu hanya terbagi dua, Jenggala
atau Daha dan Singasari. Majapahit baru timbul setelah raden
Wijaya menghianati kebaikan budi prabu Jayakatwang.
Diterima pangabdiannya oleh sang prabu, dipercaya dan
diidinkan membuka hutan Terik, tahu2 raden Wijaya itu malah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminjam tangan orang-orang Tartar untuk menghantam
prabu Jayakatwang. Hm, sungguh rendah benar budi raden
Wijaya itu !" kata Segatra penuh geram.
Pemuda Gajah itu tampak terkesiap mendengar ucapan
Segatra yang tajam terhadap raden Wijaya, Sejenak ia
merenung. Tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya cerita yang
pernah didengarnya dari seorang tua tentang sejarah kerajaan
Singasari dibawah baginda Kertanagara yang dihancurkan oleh
prabu Jayakatwang dari Daha sampai pada pembentukan
kerajaan Majapahit oleh raden Wijaya.
"Hm, orang Daha mendambakan raja Daha dan negeri
Daha, itu sudah jamak" kata Gajah "tetapi janganlah engkau
terlalu menutup mata pada kenyataan sejarah. Engkau kira
aku tak tahu tingkah laku prabu Jayakatwang terhadap
baginda Kertanagara dari Singasari ?"
Segatra terbeliak "Coba engkau katakan !"
"Kurangkah budi kepercayaan baginda Kertanagara kepada
raja Daha itu " Bukankah putera prabu Jayakatwang yang
bernama raden Ardaraja, diambil menantu oleh baginda
Kertanagara " Bukankah raja Jayakatwang itu sendiri di angkat
sebagai raja di Daha oleh baginda Kertanagara" Tetapi apa
balas prabu Jayakatwang" Pada saat pasukan Singasari
sedang melawat ke tanah Malayu, pada saat dalam kerajaan
Singasari sedang kosong, prabu Jayakatwang terus menyerbu
pura kerajaan dan membinasakan baginda Kertanagara ! Kalau
raden Wijaya menggunakan siasat seperti yang dilakukan
prabu Jayakatwang terhadap baginda Kertanagara, bukankah
itu sudah sesuai seperti keris pulang ke dalam kerangka?"
Segatra terbelalak. Dipandangnya pemuda Gajah dengan
nyalang. Ia tak percaya bahwa pemuda yang masih begitu
muda, dapat berbicara begitu tangkas dan tajam. "Daha tak
pernah sekejabpun melupakan bahwa prabu Kertajaya atau
Dandang Gendis dibunuh oleh Ken Arok yang mengangkat diri
sebagai raja Rajasa sang Amurwabhumi dari Singasari. Prabu
Jayakatwang hanya merebut kembali warisan kerajaan nenek
moyangnya!" "Ha, ha" pemuda Gajah tertawa mengejek. Sedikitpun ia tak
mengunjuk rasa gentar walaupun tubuhnya telah diikat oleh
lawan bicaranya "engkau tahu siapakah raden Wijaya itu"
Raden Wijaya adalah putera Dyah Lembu Tal, ayah Dyah
Lembu Tal yalah Mahesa Campaka dan Mahesa Campaka itu
adalah putera Mahesa Wonga Teleng. Sedang Mahesa Wonga
Teleng yalah putera Ken Arok dengan Ken Dedes. Bila raden
Wijaya memberontak terhadap prabu Jayakatwang, tak lain
karena hendak merebut kembali pusaka kerajaan moyangnya
juga." "Tetapi dia licik!" seru Segatra.
"Tidak lebih licik dari prabu Jayakatwang!" balas pemuda
Gajah. "Bedebah, engkau berani menghina raja Daha!" tiba-tiba
Segatra ayunkan tangan menampar muka Gajah. Plak, karena
tak menyangka-nyangka dan dalam keadaan terikat, muka
Gajah telah tertampar. Mulutnya mengucurkan darah ....
"Hayo, apabila engkau berani menghina raja Daha lagi
tentu kuhancurkan kepalamu!" hardik Segatra dengan marah.
"Selama aku masih bernafas, selama mulutku masih dapat
bicara, aku tetap akan membalas orang yang menghina raja
Majapahit!" Plak ....... kembali Segatra menampar muka si Gajah
sehingga hidungnyapun mengeluarkan darah "Hayo, cobalah
engkau menghina!" Walaupun kesakitan namun Gajah tak memperdengarkan
sepatah suara mengerang. Dengan muka sarat ditatapnya
Segatra sedemikian rupa hingga orang itu terkesiap.
"Huh, apa engkau berani kepadaku?" untuk mengembalikan
semangat nyalinya, Segatra segera melantangkan tantangan.
"Hm, apabila engkau berani membuka tali pengikat
tubuhku, engkau pasti akan merasakan betapa rasanya orang
mencium tanah itu" seru Gajah.
"Keparat!" karena marah yang tak terkendali-kan, Segatra
pun menyepak, plak .... tubuh Gajah bergetar tetapi tetap ia
tak mengerang. "Ha, ha" tiba-tiba Gajah malah tertawa keras penuh
kemuakan "memang benar, ya, tepat sekali !"
Segatra tertegun "Apa yang benar?" tegurnya,
"Bahwa karena rajanya seorang yang licik, kawula Daha itu
juga licik2 dan penakut!"
"Apa katamu ?" Segatra membelalakkan mata lebar dan
mengangkat tinjunya hendak memukul.
Tetapi Gajah tak gentar "Hayo, pukullah sepuas hatimu biar
aku mati. Bukankah enak sekali bagimu menghadapi orang
yang sudah engkau ikat secara licik!"
Dada Segatra berkembang kempis
gelombang amarah yang meluap-luap.
karena menahan "Kalau engkau memang seorang jantan" seru Gajah pula
"lepaskan ikatan tubuhku lalu ikatlah kedua tanganku. Asal
aku dapat berdiri saja, aku sanggup untuk menghadapimu
dengan kedua tangan terikat"
Segatra kerutkan alis makin memberingas.
"Tetapi itu memang berbahaya bagimu" seru Gajah pula
"jauh lebih aman jika engkau membiarkan aku terikat dalam
keadaan begini dan engkau dapat menghajar dengan enak !"
Karena selalu diejek dan dibakar hatinya, tanpa disadari
meluaplah kejantanan Segatra. Ia telah memawas bahwa
pemuda itu masih muda dan tak ada suatu bagian tubuhnya
yang menonjolkan kekuatan.
"Hm, engkau kira aku takut melepaskan engkau ?" kata
Segatra mencabut pedang lalu memotong tali pengikat tubuh
Gajah "bangunlah dan mari kita adu pukulan !"
Gajah berdiri lalu ulurkan kedua tangannya ke muka
"Ikatlah kedua tanganku ini !"
"Keparat, jangan engkau menghina putera Daha!" bentak
Segatra merah padam. "Bukan menghina, tetapi aku memang sudah berjanji
sendiri" sahut Gajah.
"Tutup mulutmu dan lekaslah bersiap menyambut tinjuku!"
teriak Segatra. "Apakah engkau tak menyesal?" masih Gajah menegas.
Sebagai jawaban, Segatra layangkan tinjunya ke dada
Gajah "Putera Daha tak pernah menyesal apa yang sudah
dikatakannya!" Gajah terkejut dan loncat mundur. "Baik, karena engkau
memberi kelonggaran akupun akan membalas kebaikanmu.
Untuk sepuluh kali seranganmu, aku takkan balas
menyerang!" Segatra makin marah. Ia merasa dihina oleh anak-muda itu.
Dan menyeranglah ia hampir sekalap kerbau gila mengamuk.
Terpaksa Gajah berloncatan menghindar. Ia menggunakan
tata gerak-langkah ajaran brahmana Anuraga dan aji Lembu
Sekilan ajaran pandita Padapaduka.
"Uh .... uh .... uh ...." berulang kali mulut Segatra
mendesuh dan mendesah, melengking dan maraung. Panjang
pendek suaranya, engah enguh napasnya. Setempo macam
harimau mengaum, sewaktu macam kuda meringkik dan
sesaat macam babi menguik-nguik. Geram dan marah benar
orang Daha itu dirangsang nafsu untuk menghancurkan tubuh
Gajah. Namun betapa pun ia telah mengeluarkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya, tetap ia tak mampu menyentuh
tubuh Gajah. "Sudah sepuluh jurus, ki sanak" seru Gajah.
"Hayo, balaslah menyerang jangan menghindar saja macam
tikus melihat kucing!" seru Segatra seraya menghunus
pedang. "Bagus, ki sanak" seru Gajah "jika suruh aku balas
menyerang engkau harus memakai senjata agar berimbang"
Karena marahnya, hampir gundu mata Segatra meluncur ke
luar dari kelopaknya. Ia menyadari bahwa dengan tangan
kosong, kemungkinan besar tentu kalah dengan anakmuda itu.
Maka terpaksa ia tebalkan kulit untuk menahan serangan lidah
lawan. Yang penting menang bertanding.
"Mulutmu terlalu tajam, harus kupapas rata!" teriak Segatra
sambil loncat menabas. Kuat dan cepat. Sekali tabas ingin ia
memisahkan kepala pemuda itu dari tubuhnya......
Dipa terkejut juga melihat sambaran pedang lawan yang
menimbulkan deru angin keras. Ia menyadari bahwa lawan
sedang dirangsang kemarahan. Apabila ia melawan dengan
kekerasan, tentu akan mengakibatkan suatu kehilangan jiwa
atau kecacatan tubuh. Pada hal timbul suatu ingatan dalam
hatinya, untuk menawan orang itu hidup-hidupan. Ingatan itu
serentak timbul dalam selintas saat itu juga. Ia ingin tahu
siapakah sebenarnya Segatra dan mengapa dia memusuhi
orang Majapahit. Untuk melaksanakan rencananya itu terpaksa
ia harus menggunakan siasat bersabar, menunggu sampai
orang itu kehabisan napas ataupun melengahkan suatu
peluang, barulah ia turun tangan membekuknya.
Dipa tetap menggunakan tata langkah ajaran brahmana
Anuraga dan menumpahkan segenap perhatiannya untuk
mengikuti gerak layang pedang lawan yang menyambarnyambar deras sekali. Memang pertempuran itu berjalan
tegang dalam keadaan yang berat sebelah.
Segatra sudah terlanjur dirangsang kemarahan. Ia lupa
bahwa lawannya itu seorang yang jauh lebih muda dari
dirinya. Iapun lupa bahwa menyerang dengan pedang kepada
orang yang tak membawa senjata, adalah kurang layak. Pada
hal ia membanggakan bahwa dirinya seorang putera pejuang
Daha. Namun kenyataannya ia masih belum menghilangkan
rasa kekuatiran terhadap seorang lawan. Seorang lawan yang
sesungguhnya tak merasa bermusuhan kepadanya. Maka
andaikata ia menyadari dan ingat bahwa cara bertempur yang
dilakukan itu kurang layak bagi seorang ksatria, mungkin
iapun tak mau menghiraukan.
Kemarahan mudah menimbulkan rangsang pikiran. Dan
apabila pikiran terangsang amarah, tentulah seluruh tenaga
dan kekuatan akan dicurahkan semua. Apabila berhasil
memang dapat memuaskan hati yang panas. Tetapi jika gagal,
akibatnya tentu akan kehabisan napas dan melunglaikan
tenaga. Itulah sebabnya maka dalam bertempur menghadapi
lawan, kemarahan itu merupakan pantangan.
Setelah sepeminum teh melakukan serangan yang dilambari
dengan seluruh tenaganya, tiba-tiba Segatra menyadari akan
petuah gurunya. Cepat-cepat ia berusaha untuk meredakan
kemarahannya. Namun sudah terlambat. Saat itu napasnya
terasa memburu keras sehingga cuping hidungnya
mengembang, wajahnya merah padam membuihkan butirbutir keringat dan tenaganya terasa lunglai.
"Bagaimana ki menyerang?" seru semangatnya. sanak, Gajah mengapa engkau berhenti yang masih tampak segar Mata Segatra menyalang lebar-lebar. Ingin benar ia
menelan pemuda itu dan merobek-robek tulangnya. Namun
disadarinya bahwa keinginan itu sudah diusahakan sekuat
tenaganya, pun tetap tak berhasil. Namun ketika mendengar
ejekan Gajah, bangkit pulalah kemarahannya.
"Ya, inilah seranganku!" maju selangkah ia terus taburkan
pedangnya kearah Gajah. Gajah terkejut. Setitikpun ia tak menduga bahwa lawan
akan berbuat senekad itu. Jaraknya hanya terpisah tiga empat
depa dan taburan pedang itu dilakukan dengan tenaga penuh.
Untuk menghindar atau pun menangkis sudah tak sempat lagi
karena saat itu pula ujung pedang sudah di depan mata.
Serasa terbanglah semangat Gajah saat itu "Mati aku sekarang
...." hatinya mengeluh.
Sebelum ajal berpantang maut. Sudah menjadi naluri setiap
makhluk untuk berusaha sedapat mungkin apabila
menghadapi bahaya maut. Demikian pula Gajah. Oleh karena
selama ini ia tekun berlatih ilmu tata bela diri dari beberapa
guru yang sakti, antara lain brahmana Anuraga, pandita
Padapaduka, eyang Wungkuk, maka nalurinya untuk membela
diri dari bahaya makin tinggi dan tajam. Sesaat hati mengeluh,
pikirannya pun cepat berdaya dan secepat itu pula ia
meliukkan kepala dan dadanya ke belakang hingga hampir
mencapai tanah. Untuk menjaga jangan sampai rebah, kedua
tangannyapun serempak menyanggah ke tanah. Rettt .......
terdengar suara senjata tajam merobek kain. Gajah beruntung
dapat terhindar dari maut tetapi bajunya dari batas perut
sampai ke dada telah terlanda pedang hingga pecah. Pedang
masih meluncur jauh ke belakang dan baru berhenti setelah
membabat rubuh sebatang pohon sebesar lengan orang.
Gajah cepat2 melenting bangun karena kuatir lawan akan
loncat menyerangnya. Dalam kedudukan tubuh meliuk ke
belakang seperti tadi, benar-benar amat berbahaya sekali.
Tetapi ketika memandang ke muka, serentak berteriaklah ia
dengan terkejut "Hai, ke mana dia.....!"
Ternyata Segatra memang sudah tak berada di tempat itu.
Habis menyabitkan pedang, ia terus berputar diri dan loncat
melarikan diri. Memang dengan tindakan itu, ia selamat.
Tetapi Gajah pun selamat juga. Andai ia tak dicengkam
ketakutan, tentulah lain halnya. Pada saat Gajah sedang
meliuk ke belakang, ia menyerempaki loncat maju dan
menghantamnya, pasti Gajah akan rubuh. Tetapi rasa
ketakutan menghapus segala pikiran terang. Ia lari sekencang
sang kaki dapat membawanya .....
Ternyata ia lari ke selatan lagi. Maksudnya hendak
menghadap pimpinannya dan melaporkan tentang peristiwa
yang dialami. Tentulah pimpinannya akan mengirim beberapa
orang untuk menangkap pemuda Gajah.
Melintas ke luar dari hutan, tiba-tiba ia terkejut melihat
seorang brahmana sedang berjalan dengan langkah tenang.
Ketika berhadapan, ternyata brahmana itu masih muda dan
berparas cakap. Rupanya brahmana muda itu terkejut juga melihat langkah
Segatra yang terengah engah dan wajahnya yang gelisah
ketakutan "Ki sanak" tegurnya "mengapa engkau tampak
bergegas ketakutan?"
Seketika timbullah pikiran Segatra untuk memperalat
brahmana muda itu agar menghambat pengejaran Gajah, "O,


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuan brahmana" sahutnya "hampir saja aku kehilangan nyawa
dihadang seorang penyamun"
"Penyamun?" ulang brahmana itu" di manakah penyamun
itu sekarang?" Sambil menunjuk ke arah hutan, Segatra berkata, "Masih di
dalam hutan itu. Dia membekal pedang" Brahmana muda
kerutkan alis lalu berkata, "Maukah engkau membawa aku
kepada penyamun itu?"
"Tidak, ki brahmana" sahut Segatra "aku takut dibunuhnya.
Silahkan tuan pergi ke dalam hutan, tentu akan
menjumpahinya" "Jangan takut, ki sanak. Akulah yang menjamin
keselamatan jiwamu" kata brahmana muda itu pula dan nanti
akan kusuruhnya mengembalikan milikmu yang dirampasnya"
"Tidak tuan" kata Segatra "aku takut dan aku masih ada
keperluan penting di rumah"
Tiba-tiba brahmana muda itu menyambar tangan Segatra
"Sebentar sajalah, ki sanak" katanya dengan tertawa
"tunjukkanlah tempatnya dan kujamin jiwa dan milikmu tentu
selamat" Segatra hendak meronta tetapi ia terkejut sekali ketika
tangan brahmana itu teramat kokoh sehingga ia tak berdaya
ketika dipimpin berjalan oleh brahmana itu.
Akhirnya Segatra terpaksa menurut. Menilik kekuatan yang
tersembunyi dalam tangan brahmana itu, ia mempunyai
harapan brahmana itu dapat mengalahkan Gajah.
Beberapa langkah memasuki hutan, tiba-tiba Segatra
berseru "Itulah penyamunnya. Ho, dia masih memain-mainkan
pedangnya ..." Brahmana muda lepaskan cekalannya dan maju ke muka
mendahului Segatra untuk menghadapi penyamun itu. Tetapi
lebih kurang belasan langkah dari tempat si penyamun, tibatiba penyamun itu mengangkat muka dan memandangnya.
Rupanya penyamun itu mendengar langkah brahmana muda.
Demi melihat wajah penyamun itu, kejut brahmana bukan
kepalang. "Paman Anuraga......" sebelum brahmana membuka mulut,
penyamun itupun sudah berteriak dan lari menyongsong.
"Engkau Dipa" brahmana itu cepat menyambut Dipa dengan
mendekapnya mesra. Sesaat keduanya tenggelam dalam
suasana haru2 gembira. Beberapa jenak kemudian tiba-tiba brahmana Anuraga,
mendorong tubuh Dipa dan menegurnya "Dipa, mengapa
engkau menjadi penyamun"
Dipa terbelalak .... 0-oodw-mch-oo-0 JILID 22 I PRASANGKA merupakan bibit
buruk dalam pikiran manusia.
Bibit buruk yang akan menumbuhkan batang pohon berduri fitnah, berdahan lapuk,
berbunga racun dan berbuah
busuk yang penuh ulat. Membahayakan kelangsungan
hidup pohon itu sendiri dan
orang yang memakannya. Pada hakekatnya Prasangka
itu merupakan pantulan cermin
hati yang berkabut ketakutan,
kebencian, dendam dan kejahatan. Memiliki prasangka berarti membiarkan perasaan
kita terbelenggu oleh bayang-bayang kecemasan. Kecemasan
yang sesungguhnya hanya bayangan yang kita bayangkan
sendiri. Prasangka yang dimanjakan, cepat akan subur berbunga
ucap dan berbuah perbuatan. Bunga ucap yang bernada
fitnah. Buah perbuatan yang berbentuk tindakan jahat.
Bebas dari Prasangka akan mendatangkan ketenangan hati,
kenikmatan jiwa, kebahagian hidup.
Agak istimewa adalah prasangka brahmana Anuraga yang
dijatuhkan pada Dipa si Gajah. Prasangka itu didasarkan atas
rasa sayang dan kasih brahmana itu terhadap Dipa. Sekalipun
demikian, karena ia memiliki prasangka, maka brahmana
muda itupun membelenggu hatinya dengan bayang-bayang
kecemasan. "Aku menjadi penyamun?" si Gajah Dipa menyalangkan
mata, meninggikan nada. "Aku cemas, Dipa" sahut Anuraga "karena orang membawa
bukti kepadaku." "Siapa paman" makin bertumpuklah keheranan Dipa pada
ketegangan. "Dia ..." Anuraga berpaling dan menuding tetapi saat itu
juga mulutnya menganga, kata-katanya terhenti. Segatra yang
berada beberapa belas langkah di belakang tadi, ternyata
sudah lenyap. Pada saat Anuraga dan.Dipa saling
menumpahkan rasa kerinduan dalam dekapan yang mesra,
Segatra terkejut. Cepat dia dapat menyadari keadaan yang
dihadapinya. Brahmana yang bersedia menolongnya itu
ternyata kawan dari si Gajah. Apabila brahmana itu
mendengar keterangan tentang peristiwa yang sebenarnya,
tentu brahmana itu akan marah.
Segatra menyadari pula. Bahwa Gajah yang masih muda itu
ternyata memiliki ilmu kanuragan yang hebat. Dan iapun
merasakan tadi, betapa kuat tangan brahmana muda itu
mencekal lengannya. Hajaran dari si Gajah sudah cukup
membuatnya jera. Adakah ia harus menderita tangan
brahmana itu pula" Serentak timbullah keputusan Segatra. Dengan hati-hati ia
menyurut mundur, setelah jauh lalu berputar diri dan terus
mengayunkan kaki sekencang angin. Bahkan ingin lebih
kencang lagi. Anuraga terlambat untuk mengetahui lolosnya Segatra.
Namun masih untung ia tak terlambat untuk menangkap arah
larinya orang itu dengan pandang matanya. "Dipa,
berceritalah!" serunya.
Dipa terhentak. Ayun kaki yang sudah mulai diangkat,
diturunkan pula. "Dia anggauta gerombolan orang Daha yang
memusuhi Majapahit!" serunya dengan pandang mata
berkeliaran tak tenang "jangan biarkan dia lolos ..."
"Tak perlu gugup, Dipa" kata Anuraga mulai berusaha
menenangkan nada suaranya. "selekas aku mengetahui duduk
persoalannya, selekas itu pula dia akan kukejar"
Ketegangan Dipa luluh terpancar sinar mata Anuraga yang
berpengaruh. Segera ia menuturkan apa yang dialaminya.
Secara singkat dan jelas.
"Mari kita kejar, paman" kembali Dipa mendesak.
Namun Anuraga tetap tersenyum tenang "Baiklah Dipa
tetapi kurasa tak perlu kita diburu gesa."
Dipa meliukkan alis "Mengapa?" dipandangnya Anuraga
dengan penuh pertanyaan. "Mereka tentu akan datang sendiri" kata Anuraga "sinar
mata orang itu mengunjuk penasaran. Dia tentu akan melapor
kepada gerombolannya untuk menangkap kita. Bukankah
engkau dianggap orang Majapahit yang dimusuhinya"
Dipa menganguk-angguk. Diam-diam ia memuji ketajaman
pikiran Anuraga. Demikian keduanya segera berlari dengan
teratur. Tiba di ujung jalan tempat Segatra melenyapkan diri,
tampak sebuah tikung jalan yang menuju ke sebuah lembah.
"Sebuah lembah yang bagus untuk persembunyian" kata
Anuraga sambil memandang ke sekeliling tempat itu.
Lembah itu menurun ke bawah. Pada kedua samping jalan
masuk ke lembah, terdiri dari karang2 padas yang berliku-liku
dan menjulang tirggi. "Apakah kita masuk?" sesaat kemudian Dipa bertanya.
Anuraga merenung. "Dipa" katanya "haruskah kita mengejar dan menangkap
orang itu?" Dipa terkesiap. Terlintas pula peristiwa yang dideritanya
dari orang itu "Dia memusuhi orang Majapahit"
"Hanya itu?" Anuraga menegas "andaikata kita lanjutkan
perjalanan, adakah mereka tetap akan mengejar kita?"
"Entah" Dipa mengangkat bahu "mungkin tidak"
"Jika demikian apa perlunya kita harus mati-matian
mengejar orang tadi " Bukankah lebih aman apabila kita
lanjutkan perjalanan ke Majapahit?"
"Paman brahmana hendak ke pura kerajaan ?"
"Ya" sahut Anuraga "bukankah engkau juga?"
"Tidak" jawab Dipa "aku hendak ke Lodaya
Anuraga terkejut "Ke Lodaya" A pa keperluanmu ke sana?"
"Paman brahmana" tiba-tiba Dipa tampak memberingas
"mari kita kejar orang itu!" ia terus melangkah maju.
"Tunggu dulu, Dipa" Anuraga terkejut dan cepat mencekal
lengan Dipa "mengapa tiba-tiba engkau mempunyai keinginan
itu ?" "Aku teringat akan kata-kata orang itu bahwa
gerombolannya semalam telah menangkap seorang kakek dan
seorang lelaki pertengahan umur yang hendak menuju ke
Lodaya....." "Siapakah kakek itu ?"
"Eyang demang Suryanata!"
"O" Anuraga mendesuh kejut "demang Surya yang pernah
engkau ceritakan kepadaku berada di tengah hutan bersama
cucu perempuannya itu?"
"Benar, paman. Eyang Surya hendak mencari cucunya ke
Lodaya" "Siapa namanya?"
"Indu, lengkapnya Indu Salupi yang telah menjadi isteri dari
buyut Lodaya ...." Anuraga tersentak kaget, "O, dia?" cepat ia menarik tangan
Dipa hendak diajak ke luar dari mulut lembah. "Dipa, mari kita
tinggalkan tempat ini"
Anuraga dan Dipa berputar diri hendak ke luar tetapi
pandang matanya segera tertumbuk pada sesosok tubuh
manusia yang tegak di mulut lembah. "Hai, engkau ...." teriak
Dipa ketika melihat bahwa orang itu bukan lain adalah
Segatra. "Ya, memang aku" sahut Segatra dengan nada congkak
"bukankah engkau hendak mencari aku ?"
Dipa tampil selangkah "benar, memang aku hendak
menangkapmu." Segatra tertawa mengejek "Ha, ha, mana yang benar"
Kucing menangkap tikus atau tikus yang menangkap kucing?"
Dipa menyadari bahwa kemunculan orang itu dalam sikap
dan nada yang congkak tentulah mempunyai latar belakang.
Tentulah kawan-kawannya sudah siap dalam persembunyian.
Maka terpaksa ia harus mengendapkan keinginannya dan
melakukan penyelidikan. "Pada umumnya memang kucing
yang menangkap tikus. Tetapi di tanah Daha, tikus tak takut
kepada kucing karena kucingnya penakut"
Segatra merah mukanya. Ejekannya telah terbalas tajam.
"Oleh karena itu maka kucing-kucing Daha perlu
membentuk gerombolan kucing untuk mengembalikan
kewibawaannya" Dipa menyusuli pula.
"Dan untuk mengganyang tikus-tikus Majapahit!" tiba-tiba
terdengar sebuah suara yang tegas dan mantap.
Dipa dan Anuraga terkejut. Jelas yang bicara itu bukan
Segatra. Arahnya dari belakang. Serentak kedua-nyapun
berpaling dan, ah, seorang lelaki muda, bertubuh kekar, tegak
berdiri dalam sikap yang gagah.
"Selamat datang, Kuda Anjampiani" lelaki muda itu berseru.
Anuraga terkesiap. Dilepaskannya sebuah tatapan mata
yang tajam kepada orang itu.
"Engkau lupa kepadaku, Anjampiani" seru orang itu pula.
"Hampir" sahut Anuraga singkat "tetapi untunglah telingaku
lebih tajam untuk mengenal engkau"
"Bagus, coba katakanlah siapa aku?" seru lelaki muda itu
pula. "Windu Janur" Anuraga menyebut.
"Benar, ingatanmu sungguh tajam, setajam luka yang
pernah kuderita waktu bertempur dengan engkau dahulu"
"Mengapa engkau berganti diri" Bukankah dahulu engkau
mengenakan pakaian sebagai seorang pandita?" tegur
Anuraga untuk menenangkan ketegangan hatinya.
"Ha, ha" seru Windu Janur "bukan karena jalinan rambut,
bukan karena pakaian, bukan pula karena kasta yang
menentukan seseorang menjadi brahmana atau pandita"
"Bagus Windu Janur, ternyata engkau masih dapat
menghafalkan sabda sang Gautama dalam Dhamma-pada.
Tetapi sayang ..." "Sayang bagaimana?"
"Engkau telah menggelapkan sabda yang terakhir "yamhi
saccam ca dhammo ca, su sukhi, so ca brahmano ......."
Seseorang dinamakan brahmana bila dalam dirinya
bersemayam kebenaran dan kebajikan."
Merah wajah Windu Janur. Namun secepat itu pula ia
berseru, "Dapatkah engkau menerangkan apakah arti daripada
Kebenaran itu" Engkau tentu mengatakan aku tidak benar.
Pada hal aku jakin bahwa perbuatanku itu benar."
"Memang tampaknya sukar untuk menentukan kebenaran
itu. Sesukar orang hendak menentukan awal dan ujung
daripada sebuah roda. Dan memang pada hakekatnya
kebenaran itu merupakan cakra atau roda. Dharmacakra atau
roda kebenaran berputar pada lingkaran Sebab dan Akibat ..."
"Kuda Anjampiani, tahu apa sebab kusebut namamu yang
aseli, bukan dengan sebutan brahmana Anuraga?" seru Windu
Janur. "Sedang mengetahui pikiran sendiri masih belum tentu
benar, bagaimana dapat mengetahui pikiranmu?" sahut
Anuraga. "Hm, demikian watak dari seorang yang tinggi hati seperti
engkau, Anjampiani" seru Windu Janur melancarkan serangan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata-kata "senantiasa malu untuk mengatakan tak mengerti
kepada apa yang benar-benar tak diketahuinya."
Anuraga cepat menyanggah, "Orang bodoh berbicara
dengan mulut tetapi orang bijaksana dengan pikirannya."
"Anjampiani" teriak Windu Janur hampir kehilangan sabar
"ketahuilah bahwa saat ini aku tak memerlukan adu lidah
dengan engkau" "Baiklah" sahut Anuraga "lalu apa kehendakmu?"
"Maka kusebut namamu Kuda Anjampiani agar dapatlah
engkau memaklumi kedudukkanmu sebagai putera adipati
Rangga Lawe yang telah membunuh sekian banyak senopati2
Daha" kata Windu Janur. "jangan kita menyinggungnyinggung soal diriku pandita dan engkau brahmana. Karena
soal itu bukan di sini tempatnya. Engkau Kuda Anjampiani,
saat ini sedang berhadapan dengan Windu Janur."
"Akupun sudah mempunyai kesan demikian dari pakaian
yang engkau kenakan itu" sahut Anuraga.
"Dan engkau tentu faham apa yang kukehendaki?"
Anuraga tertawa, "Ya, cukup jelas. Bukankah engkau
hendak mengulang peristiwa yang kita alami dahulu?"
"Salah" sahut Windu Janur, "bukan mengulang tetapi
memang demikianlah sifat persoalan itu, dulu, sekarang dan
esok sampai bumi Daha terlepas dari kekuasaan Majapahit!"
Anuraga tetap tertawa tetapi kali ini nadanya bersifat
menertawakan. "Windu Janur, bagaimana engkau menyangkal
tidak mengulang pula peristiwa lama" Bukankah engkau
hendak mengembalikan timbulnya kerajaan Daha lagi?"
"Salahkah putera Daha akan mengembalikan kejayaan
tanah Daha ?" tanya Windu Janur.
"Salah !" jawab Anuraga serentak.
Windu Janur menyalangkan mata lebar, memandang
brahmana muda itu dengan pandang mengancam. "Salah"
Hm, rupanya engkau jauh lebih pandai dari seluruh orang
Daha." Anuraga tertawa, "Orang tak perlu harus pandai untuk
mengupas sesuatu. Asal dia mau berpijak pada p elajaran dan
pengalaman yang lampau. Pun atas dasar itulah maka
kukatakan engkau salah apabila tetap berkeras hendak
mengembalikan kejayaan kerajaan Daha"
Wajah Windu Janur bertebar warna merah. "Coba katakan
di mana letak kesalahanku itu"
"Windu Janur" kata Anuraga, "pernahkah bumi nusantara
kita ini mengenyam kesenangan pada saat kerajaan Panjalu
dibagi dua menjadi kerajaan Daha dan Singasari" Kalau
engkau jujur, engkau tentu mau mengakui bahwa tatkala
kedua kerajaan itu masih berkuasa, maka selalu timbul
peperangan diantara keduanya. Silih berganti Daha dan
Singasari muncul dan tenggelam. Adakah engkau hendak
mengembalikan kerajaan Daha agar perpecahan dan
peperangan selalu terkobar ?"
Wmdu Janur tertegun. Setitik pun tak pernah dibayangkan
bahwa ia akan mendengar ucapan semacam itu dari mulut
seorang brahmana muda. Sampai beberapa saat ia termangu
diam. "Timbulnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan baru, telah
mengakhiri lembaran hitam dalam sejarah kerajaan nusantara.
Majapahitlah yang dapat mempersatukan Daha dan Singasari.
Bagi orang Daha, bagi orang Singasari, memang tak sepatah
kedengarannya peristiwa itu. Tetapi kenyataan itu hidup dan
berbicara sendiri." "Ulasan yang bagus dari mulut seorang putera keturunan
senopati raja Majapahit. Tetapi bagi kami putera putera
keturunan senopati Daha, kata-kata itu tak ubah seperti tangis
kawanan tikus yang bercuit-cuit menangisi kematian kucing.
Ha, ha, Anjampiani, jauh sebelum Majapahit berdiri, Daha
sudah mempunyai sejarah yang gilang gemilang. Sang prabu
Jayabaya, raja Kertajaya, Jayasaba, Sastrajaya, Jayakatwang,
adalah raja-raja yang besar dan cakap mengemudikan
pemerintahan dan berjasa membawa para kaula ke arah
kesejahteraan" "Yang lalu biarlah lalu. Dan yang akan datang, janganlah
kita pikirkan. Yang penting yalah masa ini. Daha-Singasari
sudah lampau, saat ini kerajaan Majapahitlah yang berdiri....."
"Jika Majapahit berdiri karena usahanya sendiri, kami akan
menerimanya" kata Windu Janur" tetapi nyata-nyata Majapahit
membangun tahta kerajaan di atas mayat orang-orang Daha
dan raja Jayakatwang. Raja Majapahit telah menghianati
kebaikan dan kepercayaan raja Daha. Raja Majapahit telah
menggunakan tangan-tangan orang Tartar untuk menghancurkan Daha. Dapatkah kami putera-putera Daha
merelakan pengorbanan ayah dan para pejuang yang telah
membela bumi Daha dengan darah dan jiwanya" Tidak, tidak!"
"Memang lebih mudah menjinakkan kerbau gila atau
harimau buas daripada manusia gila" kata Anuraga, "baiklah,
Windu Janur. Katakan apa yang harus kulakukan sekarang
ini?" "Serahkan dirimu atau nyawamu!"
Anuraga tertawa "Kedua duanya bukan milikku, hanya
titipan dari Hyang Widdhi Agung. Dan aku hanya diwajibkan
untuk menjaganya baik-baik."
"Sudahlah jangan menggunakan banyak rangkaian kata.
Katakan saja, engkau menolak. Dengan begitu engkau harus
mati. Sebelum mati, akan kuperlihatkan betapa dosa-dosa
yang telah dilakukan mendiang ramamu dahulu. Agar puaslah
engkau mati karena kematianmu itu hanya sekedar membayar
hutang jiwa dari ramamu. Lihatlah, siapa yang di belakang
itu!" Anuraga dan Dipa berpaling ke belakang. Seorang lelaki
muda, tampan dan gagah tegak berdiri di tengah jalan.
"Lingga Amreta, putera senopati Sagara Winotan yang mati
terbunuh Rangga Lawe!" seru Windu Janur.
Brahmana Anuraga menatap pemuda itu.
"Dan lihatlah kemari pula" seru Windu Janur. Ketika
Anuraga dan Dipa meluruskan pandang mata ke muka, di sisi
Windu Janur telah muncul seorang pemuda bertubuh
tinggi"inilah Kuda Maruta, putera senopati Jaran Guyang."
Anuraga pun lepaskan pandang ke arah pemuda itu.
"Dan yang muncul di belakangmu pula" seru Windu Janur
seraya menuding ke arah Anuraga dan Anuraga pun segera
berpaling ke belakang, "yalah Munggingkara, putera senopati
Mahisa Antaka ..." "Dan yang muncul di sebelah sampingku ini pula" seru
Windu Janur "yalah Bugel Kamali putera bekel prajurit BangoDo'ok."
"Kemudian yang tampil di belakangmu itu" kata Windu
Janur "pemuda Bagaskara, putera senopati Bowong"
"Dan yang muncul di sisiku ini pula" seru Windu Janur
"pemuda Anjak Ladang putera senopati Pencok Sahang."
"Di belakangmu pula telah muncul pemuda Sawung Baya,
putera senopati Prutung"
"Dan lihatlah ke arahku, Anuraga" seru Windu Janur.
Anuraga dengan tenang berpaling muka menghadap lurus
ke depan. Ia tak terkejut pula dan menduga Windu Janur
tentu akan memperkenalkan pemuda putera dari senopati
Daha yang telah tewas dalam peperangan.
Tetapi alangkah kejut Anuraga ketika kali ini ia melihat
seorang kenya dalam dandanan keprajuritan, tegak berdiri di
samping Windu Janur. Dipandangnya perawan itu penuh
pertanyaan. "Mengapa engkau terkejut, Anjampiani?" seru Windu Janur,
adakah engkau kira kenya Daha itu tak cinta pada bumi
kelahirannya" Inilah ni Sedah, pejuang puteri Daha."
Anuraga tertawa. Windu Janur terkesiap. Ia heran mengapa brahmana itu
tertawa. "Apa yang engkau tertawakan?"
"Aku tertawa karena kepingin tertawa" sahut brahmana
Anuraga "adakah Daha sudah kehabisan prajurit sehingga
anak perawan pun di bawa serta dalam gerombolangerombolan kaum kekerasan"."
"Diam!" bentak Windu Janur "ingat, saat ini engkau seorang
tawanan, jangan bermulut lancung!"
"Silahkan engkau menganggap begitu tetapi aku merasa
diriku seorang bebas" sahut Anuraga mendatarkan nadanya,
"Windu Janur, apa kehendakmu sekarang?"
"Ikut kesarang kami" seru Windu Janur lalu mempersiapkan
tindakan selanjutnya apabila Anuraga membangkang.
Tetapi di luar dugaan Anuraga menyahut riang, "Baik, mari
kita ke sana" ia berpaling kepada Dipa memberi kicupan mata
dan terus melangkah. Windu Janur mendahului berputar tubuh dan melangkah
maju, diikuti oleh kawan-kawannya. Anuraga dan Dipa
berjalan diapit dari muka dan belakang oleh pemuda-pemuda
Daha itu. Beberapa dari mereka masih sempat memperhatikan
bagaimana sikap yang dibawa Anuraga dan Dipa ketika
berjalan. Begitu tenang dan wajar seolah-olah bebas dari
perasaan terancam bahaya.
Mereka ke luar dari lembah. Anuraga dan Dipa
memperhatikan bahwa beberapa pemuda itu menyelinap ke
dalam gerumbul pohon dan tak lama mereka muncul
menuntun beberapa ekor kuda. Ternyata mereka telah
mempersiapkan kuda di dalam hutan. Anuraga disuruh
Putera Sang Naga Langit 3 Pendekar Romantis 06 Kitab Panca Longok Seruling Samber Nyawa 8

Cari Blog Ini