Ceritasilat Novel Online

Iblis Hutan Tengkorak 1

Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak Bagian 1


IBLIS HUTAN TENGKORAK
Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Iblis Hutan Tengkorak
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.50.4
Pembuat Ebook :
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Yang terasa hanya desiran angin. Mulanya
pelan, lalu semakin kencang. Suro Bodong
menepiskan kedua tangannya, merapatkan baju
merahnya yang tak pernah dikancingkan itu.
Angin menjadi lebih kencang. Rambut Suro
Bodong yang panjang tak teratur namun diikat
kain merah darah itu menyibak sebagian.
Langkahnya terhuyung sejenak, karena dalam
keadaan menuruni bukit itu ia merasa mendapat
hempasan angin dari belakang. Suro nyaris
tersungkur ke depan. Untung ia dapat segera
menguasai keseimbangan, la tetap melangkah
dalam desiran angin.
"Angin setan.. !" gerutu Suro Bodong sambil menyipitkan matanya yang sebenarnya
lebar. "Dari tadi sepi, tenang, eh.. tahu-tahu ada angin sialan...!"
Tubuh Suro Bodong yang gemuk sedikit itu
semakin mengkerut, seakan kedua tangannya
hendak menyatu masuk ke daging pinggangnya.
Angin bertambah kencang. Baju merah model jubah berlengan panjang pemberian Resi Padma
itu tak berhasil dihimpit oleh lengan. Sebagian terhempas ke samping dan
melambai. Hawa dingin menembus kulit Suro Bodong bururburu
merapatkan bajunya supaya tidak melambai.
"Misterius sekali angin ini," katanya dalam hati seraya tetap melangkah,
menuruni lereng
bukit. Mulutnya tetap terkatup, tapi hatinya
terus berkecamuk.
"Kurasa ini bukan angin sembarangan.
Hembusannya tidak tetap. Makin lama terasa
semakin kencang. Dan udara dingin ini juga
cukup aneh. Umumnya udara akan menjadi
dingin jika semakin naik ke atas gunung, tapi
kali ini justru udara menjadi semakin dingin jika berada di kaki gunung. Jelas
ada sesuatu yang
tak beres. ."
Hembusan angin bertambah kencang. Lalu,
Suro Bodong terguling-guling dalam keadaan
tak sempat menjaga keseimbangan tubuh.
Tanaman jenis rumput berduri, dan bebatuan
yang berserakan digilas dengan tubuhnya. Suro
Bodong seperti sebuah tong yang dilepas dari
ketinggian yang landai. Berguling dan berguling terus, sampai akhirnya ia sadar;
tubuhnya telah tersangkut pada sebatang pohon jati besar.
"Kunyuk...!" umpatnya sendiri. Ia meringis.
Banyak luka lecet di beberapa bagian tubuhnya.
Juga pada perutnya yang gendut tapi bukan
buncit. Celana birunya yang longgar robek di
bagian tepi. Padahal itu celana baru, juga dari hasil pemberian Resi Padma,
sebagai kenang-kenangan, karena Suro Bodong telah berhasil
menyelamatkan Perguruan Merak Senggol dari
keserakahan para ninja, (ada dalam kisah:
Pedang Kerak Neraka),
Angin makin menipis. Suro Bodong mengurut punggungnya yang sebelah kiri. Ada
rasa ngilu dan sakit sekali di bagian punggung.
Ia mengelusnya dengan geram kedongkolan
yang tertahan. Matanya memandang kian ke
mari. Tapi hutan di lereng itu tetap sepi tanpa manusia kecuali dirinya.
"Pasti telah terjadi sesuatu..:" gumamnya dalam hati
Hembusan angin itu semakin menghilang.
Suro Bodong masih menyeringai sakit sesekali.
Sepertinya ia merasa ada yang menendangnya
dari belakang sebelum ia terguling-guling tadi.
Memang tak tampak ujud mahluknya, tetapi
rasa sakit pada punggung kirinya itu benar-benar rasa sakit yang ia rasakan
sebelum ia jatuh
terguling-guling.
"Ada yang menendangku.. !" pikirnya. "Siapa orangnya, ya?" Ia menyempatkan
garuk-garuk kumis. "Aku merasakan angin menjadi benar-benar kencang, lalu aku
merasa ada yang
menendang dari belakang, atau menabrakku
dengan suatu alat, dan ia melesat bersama deru angin tadi."
Suro Bodong berdiri, bersandar pada pohon
itu. Memandang ke arah jatuhnya tadi.
Kemudian memandang ke arah hembusan angin
kencang tadi. Sepi. Tak ada siapa-siapa di sana.
Angin pun telah berhenti. Reda.
"Kurang ajar..." ia menggerutu, lalu melangkah lagi. Kaki kirinya sedikit pincang. Ia menggerak-gerakkannya sebentar,
dan segera melanjutkan perjalanannya ke desa Randang
Cinde. Siapa tahu di sana ia bisa bertemu
kekasihnya. Dalam hati ia bertanya-tanya dengan,
penasaran: Siapa kiranya yang telah menabraknya dengan sengaja atau tidak tadi"
Tak mungkin punggungnya ngilu karena
terguling-guling, sebab sebelum ia terguling, ia merasa dikejutkan oleh suatu
benda yang bagai
menendang punggung. Kalau toh itu memang
suatu tendangan, atau pukulan, jelas dilancarkan dari orang yang berilmu tinggi.
Siapa orang itu"
Apa urusannya dengan Suro Bodong"
Mungkinkah para ninja ada yang masih
hidup dan mencari kesempatan untuk membunuh Suro Bodong"
'Tidak mungkin, ah.. " Suro membantah
sendiri di dalam hati. "Pimpinannya sudah mati.
Pimpinan para ninja yang ternyata Ajeng Wasti
itu sudah kubunuh, dan bahkan dibakar
bersama Pedang Kerak Neraka oleh Resi Padma,
guru Ajeng. Jadi, mana mungkin masih ada yang
hidup. Kalau toh ada, dia tak akan berani
bertindak tanpa perintah pimpinan. Atau...
jangan-jangan yang kuanggap pimpinannya itu
bukan Ajeng Wasti"! Jangan-jangan anak didik
Resi Padma yang cantik itu masih hidup?"
Langkah kakinya berhenti sejenak.
Ia berkerut dahi, memikirkan hal itu. Lalu hatinya berkata'
"Ah, tidak mungkin. Ajeng Wasti kami
kurung di dalam kamar yang sudah dipantek
dari luar dan dijaga ketat. Sekali pun waktu
dibuka ternyata kamar itu kosong, tapi toh
jenazahnya ada di depan guru dan teman-teman
seperguruannya" Dia telah menjadi ninja,
sebagai pimpinan, dan berhasil kubunuh. Dan...
eh, apa iya, ya..." Jangan-jangan arwah Ajeng
Wasti yang lewat dan menendangku tadi?"
Suro Bodong bergidik sendiri, kemudian
meneruskan langkahnya. Ia berusaha membuang
pikiran tentang arwah. Ia berusaha melupakan
kejadian aneh yang baru saja dialami tadi.
Memang sulit untuk menghilangkannya, tapi ia
selalu mencoba dan mencobanya terus untuk
tidak berpikir tentang angin dan udara dingin
yang aneh. Ia mencoba untuk tidak merasakan
rasa sakit di punggungnya yang juga dikarenakan suatu hal yang aneh.
Beberapa saat kemudian, langkahnya kembali
berhenti. Ia melihat ada tubuh telentang di sela ilalang dan tanaman semak.
Tubuh itu adalah
tubuh seorang lelaki yang bermandi darah. Suro Bodong segera mendekatinya dengan
perasaan ngeri bercampur heran. Oh, ternyata orang itu
mengerang" Lirih sekali, tapi bisa di dengar Suro Bodong.
"Kembang-kembang. .!"
"Kembang" Apa maksudmu..."!"
"Kem... bang. .!" nafas terhembus untuk yang terakhir kalinya. Lelaki itu
tergeletak dari raihan tangan Suro Bodong. Matanya terpejam sedikit,
masih kelihatan warna putihnya.
"Apa maksudmu dengan kembang" Hei,
jangan mati dulu!" bentak Suro Bodong. "Hei, bangun...! Kembang apa maksudmu" Di
dunia ini kan banyak kembang"! Ngomong yang betul"
Hei, hei. .!" Tangan Suro Bodong yang menopang kepala lelaki itu digerakgerakkan, maksudnya
supaya lelaki itu sadar. Tapi, karena nyawa telah melayang dari raga, mau tak
mau lelaki itu diam saja. Meski Suro Bodong membentak-bentak, tapi lelaki itu
tetap 'cuek' saja. Mati.
"Brengsek. .!!" bentak Suro Bodong sambil menghentakkan kepala mayat itu. Kepala
itu jatuh ke tanah, membentur batu, dan mayat itu
tetap diamsaja. Namanya saja mayat!
Suro Bodong bersungut-sungut
setelah menghempaskan nafas kejengkelannya.
Ia memandang ke sekeliling, tak ada orang, tak ada apa pun yang bisa dimintai
keterangan "Mayat tidak beres!" gerutunya. "Cuma ngomong kembang lalu mati! Ngomong dulu
kek yang benar, yang jelas,baru mati. Jadi tidak membuat orang penasaran
begini!" Gemas sekali hati Suro Bodong. Tapi apa
boleh buat, nyawa sudah mencelat. Ia bertolak
pinggang memandang ke sana sini. Banyak
darah berceceran di sekitar terbaringnya mayat itu. Pasti telah terjadi
pertarungan sengit yang cukup hebat. Pasti lelaki berusia antara 30
tahunan itu mencoba bertahan ketika lukanya
menjadi parah. Kendati luka itu membuatnya
mati pada akhirnya, namun terlihat jelas adanya perlawanan yang sungguh ulet
dari si korban itu. Beberapa pohon patah, juga terkena percikan darah.
Kulit-kulit pohon banyak yang mengelupas dan sepertinya hangus terbakar api.
Pasti akibat sebuah pukulan tenaga dalam yang
sungguh hebat; entah pukulan korban atau
pukulan lawan si korban. Suro Bodong
termenung beberapa saat di sekitar mayat itu
seraya garuk-garuk kumisnya.
"Kembang..."!" gumamnya dalam renungan.
"Apa kira-kira maksudnya" Apakah lelaki ini bernama Kembang" Atau musuhnya yang
bernama Kembang" Atau keduanya sama-sama
bernama Kembang" Yang satu Kembang,
musuhnya Kempis. Jadi.. kembang-kempis" Ah,
bukan! Pasti bukan begitu maksudnya!"
Kaki Suro Bodong melangkah, masih meneliti
keadaan sekitar ditemukannya mayat berlumuran darah pada bagian wajah, dan
perutnya terluka lebar. Robek, menampakkan isi jeroannya. Sungguh suatu
pertarungan yang
sadis telah terjadi. Apakah ada hubungannya
dengan angin kencang dan sebuah gerakan yang
seakan menendang punggung Suro" Apakah
pertarungan itu adalah sebab dari tergulingnya Suro Bodong dari lereng sampai ke
dasar" "Bisa jadi begitu. Bisa jadi hal yang kebetulan saja."
gumamnya

Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. "Kalau ditilik pakaiannya, jelas mayat itu adalah mayat orang berada. Mungkin bukan orang kaya,
tapi setidaknya anak buah orang kaya. Orang kaya
siapa, dan dari daerah mana" Ini yang
membingungkan. Lalu, soal kembang tadi
bagaimana, ya" Apakah dia bermaksud menyuruhku menyelamatkan setangkai kembang" Atau... barangkali di sini ada
tertinggal setangkai bunga yang perlu diselamatkan" Terus, bunganya seperti apa"!
Brengsek. ! Aku jadi seperti orang linglung
sendiri. Ah, persetan dengan mayat itu,
pokoknya aku tidak mau terlibat dengan
urusannya! Tujuanku ke desa Tandang Cinde,
mencari Ratna Prawesti kekasihku. Itu saja!
Selamat tinggal, Mayat. .! Terserah kau, bagaimana maumu. Jaga dirimu baik-baik, ya,
dan aku akan pergi tanpa mau berurusan
dengan masalahmu...! "
Suro Bodong melangkah, meninggalkan
tempat itu. Ia berjalan melenggang. Sepertinya orang yang sedang menikmati udara
segar tanpa membawa senjata apa pun. Padahal di lengan
kirinya, di dalam daging lengan kiri itu
sebenarnya tersimpan pedang sakti yang
menjadi andalan Suro Bodong. Tak seorang pun
bisa merebut dan mencurinya, karena untuk
mengeluarkan pedang itu diri harus memakai
ilmu yang hanya dimiliki Suro Bodong. Di
samping keampuhan pedang pusakanya, Suro
Bodong juga memiliki ilmu yang langka didapat
di mana-mana, yaitu dapat merubah ujudnya
menjadi tujuh rupa dalam jurus salto yang
dinamakan jurus Luing Ayan. Itulah sebabnya,
Suro lebih dikenal sebagai Pendekar 7 Keliling.
"Siapa dirimu sebenarnya dan dari mana
asalmu...?"
Pertanyaan itulah yang selalu menghantui
pikiran Suro Bodong selama ini. Pertanyaan itu sering timbul di dalam hati,
sebab ia sendiri ingin tahu siapa dirinya sebenarnya" Dari mana
asalnya" Siapa orang tuanya" Mengapa ia bisa
mempunyai beberapa kesaktian yang maha
hebat" Semua itu membuat bayang-bayang gelap
di benak Suro Bodong. Orang memperkirakan
usianya antara 40 tahunan, tetapi sebenarnya
Suro Bodong sendiri tidak tahu, berapa usianya yang sebenarnya.
Kalau Suro Bodong sendiri sulit mengetahui
siapa dirinya, bagaimana mungkin ia bisa mudah mengetahui siapa mayat yang
ditemukan tadi"
Memang banyak pertanyaan yang tumbuh dalam
hati Suro mengenai diri mayat itu, tetapi seperti halnya kebingungan tentang
dirinya, Suro berusaha melupakan semuanya. Pikirannya
sengaja diarahkan pada wajah seorang perempuan cantik, berhidung bangir dan
berbibir mungil
segar. Wajah Ratna Prawesti, kekasihnya.
Ratna Prawesti, putri seorang bupati Jangga.
Seingat Suro, ia pernah saling berjanji dengan Ratna untuk saling sehidup
semati. Namun ketika Suro Bodong pergi bersama utusan dari
Sriwijaya, la terperangkap badai lautan luas.
Untung ia dapat selamat, dan kembali ke
Kabupaten Jangga. Tetapi kabupaten itu telah
rata dengan tanah. Hangus terbakar, tinggal
puing-puing arang dan beberapa mayat yang tak
sempat dikuburkan oleh masyarakat setempat.
Ratna Prawesti tidak ada. Mayatnya pun tidak
kelihatan. Orang bertopeng yang menamakan
dirinya Gerombolan Topeng Setan itulah yang
telah membantai dan membumihanguskan
kabupaten Jangga. Jadi, orang bertopeng itulah yang harus bertanggung jawab atas
hilangnya Ratna Prawesti. Hanya saja, sekian banyak orang bertopeng yang telah dikalahkan
Suro, tak satu pun ada yang kenal dengan perempuan bernama
Ratna Prawesti. Bahkan mendengar namanya
pun tidak. Ini sungguh aneh. Tak seorang pun tahu
nama Ratna Prawesti. Padahal perempuan itu
kondang sebagai seorang putri bupati yang
sangat cantik, kehadiran Suro sendiri sepertinya suatu hal yang asing bagi
mereka yang ditemuinya. Ini memang aneh, sangat membingungkan Suro. Bingung tujuh keliling.
Hanya ada satu orang yang mendengar nama
Ratna Prawesti. Seorang anak muda bernama
Saga. Anak itu adalah anak seorang petani; Ki
Pupus, yang telah ditolong Suro Bodong dalam
peristiwa di Benteng Batu, (Kisah Pedang Urat
Petir). Dan menurut keterangan Saga, ia
mendengar nama Ratna Prawesti dari obrolan
dua pedagang yang berasal dari desa Tandang
Cinde. Itulah sebabnya Suro Bodong melacak ke
desa Tandang Cinde, dengan harapan dapat
bertemu dengan kekasihnya. Atau, paling tidak
ia akan memperoleh keterangan lebih lanjut,
tentang di mana kekasihnya berada.
Sambil melangkah, benak dan batin saling
berkecamuk. Sampai-sampai ia tak sadar kalau
ada orang yang mengikuti gerak geriknya. Suro
Bodong menjadi sadar setelah sebuah tendangan
melayang telak mengenai punggungnya. Suro
Bodong terpaksa berguling ketimbang ia harus
tersungkur mencium tonggak kayu.
Gerakan mengguling tidak cukup dilakukan
satu kali, sebab orang tak dikenalnya itu
menyerangnya lagi dengan tendangan yang
cepat. 'Tahan.. !" teriak Suro Bodong yang merasa asing dan benar-benar tidak tahu
kesalahannya. Seruan Suro Bodong tidak dihiraukan oleh
penyerangnya. Ketika ia berdiri, orang itu
melancarkan pukulannya dengan bertubi-tubi.
Tetapi Suro Bodong selalu berhasil menangkisnya. Dilihat dari gerakan dan jurus
yang dimainkan lawan, dalam hati Suro Bodong
hanya menggumam gemas. Ia sebenarnya dapat
mengalahkan lawan dengan satu kali pukulan,
tetapi ia tak ingin melakukannya. Suro tak mau orang itu menjadi korban
kesalahpahaman.
Karenanya, ia mencoba bicara dan menenangkan
orang tersebut.
"Jangan bodoh! Berhentilah menyerangku!
Kau salah paham. Pasti salah paham...!
Berhentilah, kau bisa luka parah oleh pukulanku! Kalau kau mati, aku menyesal! Ayo,
berhenti menyerang. Hei, hei.. ! Jangan nekad
kau...! Aku sedang malas bertarung. .! Hei,
jangan keras kepala.. !" Suro jengkel sekali.
"Hiat. .!"
Dan sebuah pukulan keras menghantam dada lelaki tak dikenalnya. Lelaki
itu tersentak ke belakang. Kaki kanan Suro
menyusul, menendang perut lelaki itu sampai
yang ditendang melintir kesakitan.
Nafas Suro Bodong dihempaskan lepas. Ia
garuk-garuk kumisnya yang tebal. Matanya
memandang keadaan lelaki berbaju hijau tua
dengan celana hitam bersabuk putih. Lelaki yang diperkirakan usianya di bawah
umur Suro Bodong itu masih rebah bersandar pada batang
pohon. Ia meringis menahan sakit di bagian dada dan perutnya. Ia bagai tak
sanggup berdiri pada saat itu.
"Bagaimana" Benar kan saranku tadi"!" kata Suro Bodong. "Kalau aku mau, kau bisa
kubunuh sekarang juga, sekalipun aku tahu kau
belum menggunakan senjata pedangmu- Tapi
bagiku, menggunakan senjata atau tidak, aku
dapat dengan mudah membunuh kamu! Ngerti"!"
Lelaki bertubuh sedikit kurus itu menarik-narik nafas. Ia ingin bicara, namun
masih mengalami kesulitan pada alur pernafasannya.
"Atau barangkali kau memang ingin kubunuh dengan nyaman?" hardik Suro Bodong.
Lelaki itu ketakutan.
" Ja.. jangan. .! Jangan bunuh aku.. ! Maafkan aku...!"
Suro Bodong mendekat, dan jongkok di
depan lelaki itu. Ia memperhatikan wajah dan
potongan lelaki tersebut. Menurut Suro, lelaki itu tidak mempunyai tampang
sebagai orang jahat.
Jadi, ia tak perlu mengambil kekerasan lagi.
"Siapa namamu?"
"Jenar. .!"
"Ah, namamu jelek!" ucap Suro Bodong dengan gerutu seenaknya. "Hei, kenapa kau
menyerangku, nah?"
"Aku... aku.. "
"Aku Suro Bodong.. !" sahut Suro. "Aku belum pernah bertemu denganmu, apalagi
berkenalan! Tapi mengapa kau tiba-tiba menyerangku" Kau pikir siapa aku ini?"
"Maaf... maafkan aku, Kakang Suro Bodong.. "
"Kakang"! Kamu memanggil aku: kakang?"
Suro Bodong berkerut dahi, merenung sebentar,
lalu manggut-manggut. "Yah... bolehlah. Panggil kakang ada baiknya dari pada kau
panggil aku: Nyai. .!" Jenar mengajak tersenyum dalam menahan
sakit yang kian berkurang. Tetapi Suro Bodong
sengaja tidak membalas senyuman itu. Ia bahkan berkata: "Jangan meringis begitu!
Aku ndak suka sama senyummu!" Jenar segera menghentikan senyumannya.
Suro Bodong berdiri seketika sewaktu
nalurinya menangkap bahaya yang datang. Ia
melompat ke arah samping dengan kedua tangan
terbentang bagai gerak garuda melesat. Pada saat itu, sebatang tombak segera
menancap di tempat Suro Bodong jongkok tadi. Suro Bodong tidak
begitu tampak kaget. Tetapi, Jenar terpekik
ketakutan melihat tombak bertangkai kayu
hitam menancap tepat di sisi telapak kakinya.
Tak ada sejengkal jaraknya.
Untuk menghindari serangan yang belum
diketahui siapa penyerangnya, Suro Bodong
segera berguling ke tanah, dan berada di dekat Jenar. Suro Bodong segera
menampar pipi Jenar
seraya mengancam:
"Beritahukan
kepada temanmu; jangan menyerang! Kita tidak punya urusan apa-apa,
tahu"! Ayo, lekas beritahu kepada temanmu
itu...! Suruh keluar dia dari persembunyiannya.. !"
Jenar membelalakkan

Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata dalam kebingungan bercampur rasa ngeri. Suro Bodong
gemas. Ia menampar kembali pipi Jenar dengan
tamparan peringatan. Jenar mengaduh dan
semakin dicekam kebingungan yang menakutkan. "Ayo, katakan kepada temanmu! Suruh
keluar dia, atau kubunuh kau sekarang juga!
Lekas.. !"
"Ak.. aku.. !"
"Cepat.. !" Suro Bodong meremas baju Jenar dengan kasar.
Dalam keadaan takut, Jenar berseru ke arah
datangnya tombak bergagang kayu hitam itu.
"Jangan menyerang! Keluarlah dari tempatmu...! Jelaskan kepada orang ini kalau kita tidak punya hubungan apa-apa...! Oh,
lekas, keluarlah!
Orang ini benar-benar marah kepadaku. .!"
"Bagus.. " bisik Suro Bodong. Ia masih menunggu penyerang gelap sambil tetap
berlindung di balik tubuh Jenar.
Tak berapa lama kemudian, muncullah
seorang perempuan berpakaian rimba; mengenakan celana dan baju dari kulit macan.
Bagian dadanya tertutup sebagian, pundak
kirinya terbuka. Kulit macan itu bagai menyilang menutupi
kedua bukitnya yang sekal. Sedangkan penutup bagian bawahnya juga
cukup mini. Hanya sebatas paha, tumit ke
bawah dibiarkan polos terbuka, menampakkan
jelas kulitnya yang berwarna kuning mulus.
Perempuan itu menyandang pisau di pinggangnya. Pisau trisula yang tajam di setiap sisinya.
"Siapa namanya"!" bisik Suro Bodong dalam geram.
Jenar menggeragap karena bagai tersentak dari lamunan memandang perempuan
berambut sepanjang punggung itu.
"Siapa namanya"!" hardik Suro. "Mana aku tahu..." Aku.. aku tidak tahu siapa
dia! Dia bukan temanku!"
"Hah.. "!" Suro terbengong. "Karena kau memaksaku berteriak, maka aku pun tadi
berteriak! Tapi. . tapi berani sumpah, dia juga tidak akan mengenal aku.. !"
"Busyet. .!" gerutu Suro. "Apakah dia juga bukan temanmu, Kang Suro?" Jenar
ganti bertanya dengan curiga. "Gila kau.. ! Sudah jelas dia menyerangku dengan
tombaknya, mana
mungkin dia mengenalku"!"
Perempuan berikat kepala merah, sama
dengan ikat kepala Suro Bodong itu, berdiri
tegap dengan kedua kaki terentang bagus.
Matanya yang lebar namun berbentuk indah itu
memandang dengan dingin. Suro Bodong masih
memperhatikan dalam posisi jongkok di
samping Jenar. Suro masih asyik mengagumi
keindahan lekuk tubuh perempuan itu, ketika
tiba-tiba Jenar berkata pelan:
"Dia pasti salah satu dari penjaga Hutan
Tengkorak.. "
"Hutan Tengkorak"!" kemudian Suro menggumam. "Di mana Hutan Tengkorak itu?"
"Di sini.. !"
"Ooh.. " Jadi ini daerah hutan Tengkorak"!"
"Ya. Dan... kukira kau tadi juga penghuni Hutan Tengkorak. Makanya aku
menyerangmu. "Sial...! Kaupikir wajahku seperti tengkorak"!"
"Aku tidak tega mengatakan begitu, kang.. "
Suro Bodong mendesis. Kemudian, karena
ditunggu-tunggu perempuan berpakaian kulit
macan itu masih diam saja, maka Suro Bodong
berdiri. Ia mencabut tombak bergagang hitam. Ia mengamati sejenak bagian ujung
tombak yang ter-buat dari besi warna hitam kehijau-hijauan Jelas mata tombak itu sangat
mengandung racun, yang sudah tentu cukup berbahaya bagi lawan
yang tergores oleh mata tombak itu.
Jenar sudah berkurang rasa sakitnya. Kini
perutnya hanya sedikit mual karena tendangan
telak dari Suro Bodong tadi. Namun, kini ia
belum berani berbuat banyak. Ia masih kelihatan takut
menghadapi perempuan berpakaian macan yang sejak tadi diam, membisu, dengan
pandangan yang sedingin salju. Jenar berdiri,
lalu bersandar pada pohon, agak berlindung ke
balik pohon itu. Sedangkan Suro Bodong berjalan mendekati perempuan tersebut
dengan tenang, seakan ia tidak merasa dalam bahaya. Ia
membawa tombak yang tadi nyaris menancap di
tubuhnya. Dan kini berhenti di depan perempuan berpandangan dingin itu.
"Ini tombakmu, ya?"
Perempuan itu tidak menjawab. Pandangan
matartya dingin semakin menusuk tulang
belulang saja rasanya. Suro Bodong tetap tenang.
"Ini... kukembalikan tombakmu yang tadi
salah sasaran!" Suro Bodong menyerahkan
tombak . Keadaan mata tombak berada di bawah.
Matanya mencoba menembus mata perempuan
cantik beralis tebal itu. Namun hampir saja Suro tak tahan menerima kedinginan
sorot mata perempuan tersebut.
"Terimalah. .
ini tombakmu, bukan tombakku. Berani sumpah kok...! Ini tombakmu
dan sekarang kukembalikan dengan ucapan:
belajarlah yang rajin tentang jurus melempar
tombak. .!"
Pandangan mata perempuan itu semakin
berani, semakin menantang. Lama-lama mulai
kelihatan rona kesinisannya. Sorot mata dingin bercampur dendam dan amarah.
Perempuan itu hendak menggerakkan tangannya, mungkin
mau memukul Suro Bodong, tapi dengan cepat
Suro menancapkan mata tombak ke kaki
perempuan itu. "Wesss.. !"
Ternyata perempuan itu melayang ke atas
dengan cepat, seperti seekor merpati terbang.
Tombak itu menancap di tanah dengan mantap.
Sementara yang hendak ditancap tombak sudah
berada di atas pohon. Berdiri tegak pada
sebatang dahan kokoh.
"Wah... kok tahu-tahu sudah berada di atas pohon"!" gumam Suro Bodong dengan
jelas. Suro Bodong mengambil posisi mundur
beberapa langkah, tangannya mencabut tombak
dan menggenggamnya seenaknya. Ia mendongak, memandang perempuan yang
dianggapnya aneh. Lalu, Suro Bodong berseru
dengan sikap tenangnya:
"Hei, kamu orang sakti, ya" Kok bisa terbang ke atas begitu" Rasa-rasanya aku
juga bisa kok. .!" Suro Bodong menghentakkan kakinya, dan
melompat dengan gerakan yang amat ringan. Ia
pun tiba-tiba sudah berada di salah satu dahan dari pohon lain. Berbeda pohon
perempuan itu. Jenar terbengong melihat Suro Bodong bisa
melompat dalam satu kali hentakan, bahkan
posisinya sejajar dengan tempat berdiri perempuan tersebut. Di tangan Suro Bodong
masih menggenggam tombak bergagang hitam.
"Tuh, bisa kan..."!" kata Suro Bodong seraya
mengajak perempuan itu tersenyum.
Tapi tiba-tiba perempuan itu melemparkan
senjata rahasia yang agaknya diambil dari
punggung. Senjata itu berupa sebuah mata
tombak dalam ukuran kecil. Kira-kira seukuran
jari telunjuk Suro Bodong. Senjata itu melayang cepat dan sukar dilihat. Namun
naluri gerak Suro cukup tajam, sehingga ia pun segera
melompat dari dahan yang satu ke dahan yang
baru, ia terpeleset dan jatuh. Untung tangan
kirinya yang tidak memegangi tombak dapat
meraih sebatang dahan kecil sehingga tubuh
Suro bergelantungan seperti kelelawar raksasa.
Dalam posisi bingung mencari tempat jejakan
kakinya tahu-tahu perempuan itu menyerangnya lagi dengan senjata rahasianya.
"Zing... Ziiiing. .!"
Tombak digerakkan berputar di sela jemari
Suro Bodong. Kakinya kebingungan mencari
tempat untuk berpijak. Untung gerakan tombak
itu bagai kitiran yang amat cepat, sehingga bisa menangkis dan membelokkan arah
ke senjata rahasia itu. Dari bawah, Jenar menjadi cemas
melihat Suro kebingungan. Ia bagai sedang
memandang seekor gorila yang berusaha turun
dari pohon dengan sulit.
"Jangan menyerang dulu! Aku sedang
kebingungan.. !" seru Suro Bodong dengan
wajah tegang. Perempuan itu diam saja.
Tahu-tahu sebuah senjata rahasia dilemparkan lagi dengan kecepatan melebihi
senjata yang tadi Gerakan senjata mata tombak
kecil itu hanya seperti cahaya putih yang
berkilat. Suro Bodong tak sempat menghindar.
Namun dengan kepandaian yang luar biasa, ia
segera melemparkan tombaknya. Tombak itu
melayang menyongsong kilatan cahaya putih.
Lalu terdengar suara: "Triing.. !"
Ujung tombak dengan ujung senjata rahasia
itu bisa tepat bertemu dan beradu. Kedua senjata itu melesat ke atas. Senjata
rahasia menancap
pada dahan pohon yang lebih tinggi, sedangkan
tombak itu lolos menembus dedaunan, lalu
kembali i.ituh ke bawah.
"Aaauuw...!"
Jenar berteriak ketakutan karena ujung
tombak hampir saja menjatuhi ubun-ubunnya.
Suro Bodong buru-buru menggunakan tangan
yang satunya untuk meraih dahan lain,
kemudian ia naik ke dahan itu dengan susah
payah, la bagaikan seorang yang tanpa ilmu
sedikit pun. Tahu-tahu perempuan itu menjerit, "Hiaaaat. .!"
Suro Bodong membelalakkan mata. Kaget.
Tubuh perempuan itu dapat melayang lurus 'dengan tangan terarah ke depan. Ia melesat seperti tombak dilemparkan. Pada kedua
tangannya telah tergenggam sebuah trisula bertepian tajam, yang agaknya mampu untuk
memotong benda lain Gerakan luncur perempuan itu sangat cepat,
seakan hendak menembus perut Suro Bodong,
tan Suro Bodong melompat ke dahan di
depanya. Lalu segera berbalik, dan pada saat itu perempuan tersebut melintas di
depannya, tempat ia berdiri tadi. Entah gerakan jurus apa yang dilakukan Suro, ia sendiri
tak tahu, yang jelas tiba-tiba ia berhasil menampar pantat
perempuan itu yang tersingkap

Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari penutupnya. Gerakan itu bagai tak disadari Suro Bodong, sampai-sampai ia
tertegun sejenak
setelah berhasil menepak pantat perempuan
yang berteriak: "Auuw.. !" itu.
Hampir saja kepala perempuan itu
membentur pohon lain kalau saja ia tidak segera bersalto beberapa kali.
Gerakannya sangat cepat.
Dan akhirnya perempuan itu menghilang setelah
meninggalkan suaranya yang berkata: "Kau
pantas menjadi yang terpilih. .! Tunggulah
saatnya...!" Dan Suro Bodong hanya bersungut-sungut tak mengerti maksudnya
2 Ucapan perempuan tadi sempat membuat
Suro Bodong terbengong beberapa saat, sekali
pun ia sudah berada di bawah. Sementara itu,
Jenar masih menampakkan kecemasannya.
Sebentar-sebentar ia berpaling, memandang
sekeliling, lalu bicara kepada Suro Bodong.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Kang."
Suro Bodong garuk-garuk kumis. Melirik
Jenar sebentar.
"Kenapa kau kelihatannya sangat ketakutan"!"
"Apa Kang Suro belum tahu bahwa Hutan
Tengkorak ini sangat berbahaya?" bisik Jenar yang merasa takut kata-katanya ada
yang mendengar. "Aku tidak mengerti maksudmu. Atau. . atau mungkin aku tidak pernah merasa dalam
bahaya apa pun." "Ayolah, ikut aku. . nanti akan kujelaskan."
"Aku mau ke desa Tandang Cinde. Aku
mencari kekasihku yang bernama Ratna Prawesti. Apa kau pernah melihat atau
mendengar nama itu"!"
"Ratna..." Ratna Prawesti.. "!" Jenar berkerut dahi. "Sepertinya..
sepertinya aku pernah
mendengar nama itu. Hemm.. siapa, ya" Ada
teman yang pernah bercerita padaku tentang
nama Ratna Prawesti, tapi. . nanti dulu, kang.
Aku agak lupa; apa dan siapa perempuan itu"
Ceritanya.. ah, ceritanya sendiri aku sudah lupa, Kang. Karena sudah lama aku
mendengar nama itu. Mungkin nanti bisa kutanyakan kepada
Raden Bargawa.. "
"Bargawa" Siapa itu Raden Bargawa"!"
"Makanya ikutlah aku, nanti kujelaskan.
Sebab.. kalau kulihat pertarunganmu dengan
perempuan itu, aku yakin kau sangat dibutuhkan oleh Raden Bargawa..."
Jenar melangkah sambil bicara. Tanpa sadar
Suro Bodong mengikutinya sambil mendengar
kata-kata Jenar.
"Raden Bargawa itu satu-satunya orang kaya di desaku. Dia keturunan dari
Tumenggung Murcagati, yang kabarnya akan berusaha
mengangkat Raden Bargawa menggantikan
kedudukannya di Ketemenggungan."
Sebentar-sebentar Suro Bodong menggumam,
dan sesekali juga ia garuk-garuk kumisnya, la
melangkah dengan mata memandang waspada,
namun telinga menyimak perkataan Jenar.
"Desa kami.. saat ini menjadi sasaran korban penguasa Hutan Tengkorak. ."
"Sasaran bagaimana, maksudmu"!"
"Banyak kaum lelaki yang mati, atau hilang.
Itu semua akibat keganasan Penguasa Hutan
Tengkorak yang bernama Kembang Laras. .!"
"Kembang..."
Kembang Laras. ."!"
Suro Bodong teringat kata-kata yang diucapkan
seorang lelaki berlumur darah. Ketika lelaki itu ditemukan, ia dalam keadaan
sekarat, agaknya
menjadi korban suatu pertarungan sengit. Lelaki itu sempat nirnyebutkan kata
'kembang', dan sempat pula buat Suro Bodong kebingungan,
apa maksud 'kembang' itu. Namun, sekarang
rupanya masalah 'kembang' sudah jelas, bahwa
pada waktu itu, lelaki yang terluka hendak
menyebutkan nama Kembang Laras, pimpinan
atau penguasa Hutan Tengkorak. Tapi sebelum
sempat menyebutkan dengan tuntas, lelaki itu
telah mati tak tertahankan lagi. "Jadi penguasa Hutan Tengkorak itu bernama
Kembang Laras. .?"
"Benar, Kang. Dan dia satu-satunya perempuan yang sangat kejam dari semua
perempuan yang pernah kukenal"
"Kejam bagaimana?"
"Hampir setiap malam, desa kami dicekam
kengerian. Hampir tiap malam ada pembunuhan, dan pada umumnya orang lelaki
yang dibunuhnya. Atau..
seperti kakakku
sendiri, sampai sekarang tidak pernah kutemukan lagi. Hilang. Dan.. saat ini aku
bertekad mencari kakakku, tapi tidak kutemukan. Malahan... aku bertemu denganmu,
yang tadinya kukira orangnya Kembang Laras
juga-!" Gumam Suro Bodong memanjang. Ia melangkah di belakang Jenar sambil tetap
memasang kewaspadaan.
"Aku menemukan seorang lelaki dalam
keadaan luka parah. Orang itu mati sebelum
selesai menyebutkan kata Kembang."
Jenar berpaling ke belakang dan berhenti
melangkah. Wajahnya kelihatan tegang.
"Bagaimana ciri-cirinya..." Jangan-jangan dia kakakku."
Suro Bodong menjelaskan ciri-cirinya seraya
ia tetap melangkah. Kini posisi Jenar ada di
belakang Suro Bodong. Mereka menyusuri jalan
setapak yang agaknya jarang digunakan
manusia. Tangan Jenar mendadak memegang pundak
Suro Bodong. Dengan tangkas dan cepat Suro
Bodong menangkap pergelangan tangan Jenar
itu. Sementara itu, tangan satunya siap
memukul. Namun, ia buru-buru mengendurkan
segala ketegangannya setelah ia tahu maksud
Jenar bukan menyerang. Hanya ingin menghentikan langkah Suro, dan berkata:
"Itu.. itu memang kakakku..." ucap Jenar dengan suara sedih. Suro jadi tertegun
sejenak. Ia tak mengira bahwa lelaki yang diceritakan
ciri-cirinya itu adalah kakak Jenar. Suro merasa tak enak hati. la tahu perasaan
Jenar saat itu.
Kemudian sambil menepuk pundak Jenar, Suro
berkata menghibur:
"Mati itu di mana saja, sama. Mati di hutan dengan mati di rumah sendiri, tak
ada bedanya; sama-sama kehilangan nyawa. Jadi tak perlu
disedihkan. Soal cara kematian tiap-tiap orang memang berbeda. Tapi kita tidak
bisa memilih sendiri cara itu. Sudah ada garis ketentuannya."
"Dia satu-satunya kakakku yang hilang akibat keganasan
Nyi Kembang Laras." Jenar menunduk ledih. Suro Bodong manggutmanggut pertanda mengerti maksud Jenar. Ia
berbisik, "Memang, dia korban suatu kekejian.
Tapi tugas kita yang hidup bukan untuk
menyesali korban, melainkan menumpas habis
kekejian itu. Jelas"!"
Sambil melangkah lagi, mereka melanjutkan
pembicaraan. Sementara itu, tepian hutan
semakin jelas terlihat. Bentangan sawah menghijau di kejauhan. Pohon mulai menipis.
Dan Jenar membawa Suro Bodong ke suatu
tempat yang belum diketahui Suro Bodong.
"Jenar, apakah perempuan yang tadi menyerangku itu juga ada hubungannya dengan
Nyi Kembang Laras"!"
"Dia anak buahnya." jawab Jenar tanpa menoleh. "Kabarnya, Nyi Kembang Laras
mempunyai pesanggrahan di dalam hutan ini.
Letaknya sangat tersembunyi. Bahkan pernah
dicari oleh orang-orang dari dua desa, namun
tak berhasil. Mereka semakin ke dalam semakin
banyak yang mati menyedihkan, jadi pencarian
tempat Nyi Kembang Laras. "Kalau begitu, Nyi Kembang Laras tidak sendirian di
dalam hutan, ya"!"
"Menurut dugaan beberapa orang, ada lebih dari 25 pengawal yang selalu siap
menjaga Pesanggrahan Hutan Tengkorak ini. Mereka juga
sama ganasnya dengan Nyi Kembang."
Suro Bodong melompat ke sebuah batu,
karena jalan mereka terhalang parit lebar. Dan dengan satu kali lompatan lagi,
kakinya telah mendarat di tepi sungai, di bagian seberang.
Sementara itu, Jenar masih tertatih-tatih melompati batu demi batu untuk mencapai
seberang parit,
"Aku kagum dengan gerakkanmu, Kang,"
kata Jenar. Tapi Suro Bodong tidak menjawab
apa-apa. Ia memandang hutan ganas sambil
garuk-uruk kumisnya dengan telunjuk.
"Kang, mari kita segera menuju rumah Raden Bargawa."
"Keturunan Tumenggung itu?" Suro Bodong sempat memandang heran kepada Jenar.
"Ya. Mereka tak setangkas kamu, Kang?"
"Maksudmu?"
"Raden Bargawa membutuhkan jago-jago
bayaran untuk melindungi keselamatan keluarganya dari keganasan Nyi Kembang
Laras. Jago-jago bayaran itu hampir setiap tiga hari sekali ganti orang. Karena
mereka pasti ada yang hilang atau mati. Jadi, kurasa Raden
Bargawa sangat membutuhkan kamu. Kalau saja
dia sudah melihat kehebatan ilmumu, kujamin
ia mau membayarmu mahal, Kang."
"Hei, kau mau menjual aku, ya"!" Suro agak tersinggung
"O, bukan begitu, Kang," Jenar buru-buru menjelaskan maksudnya. "Kalau kau ada
di Sana, pasti kau akan bertemu dengan Nyi
Kembang. Kau bisa menghadapi Nyi Kembang,
sesuai dengan tujuanmu, yaitu membasmi


Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejahatan. Soal di bayar atau tidak, itu
urusanmu."
Suro Bodong jadi terbungkam beberapa saat,
namun kakinya tetap melangkah mengikuti
Jenar. Kemudian, ia berkata mendadak setelah
melakukan suatu pertimbangan:
"Ah, tapi tujuanku adalah mencari Ratna
Prawesti dulu, Jenar. Aku harus menemukan
kekasihku, setelah itu. ."
Jenar menyahut, "Sementara kau tinggal di rumah Raden Bargawa, aku akan mencari
keterangan tentang kekasihmu itu, Kang. ."
Suro Bodong menarik tangan Jenar.
"Kau berkata dengan sungguh-sungguh"!"
Jenar mengangguk.
"Kita saling membantu, Kang. Kang Suro
membantu masyarakat desa kami, sementara itu
aku bisa menyuruh para penduduk mencari
keterangan tentang kekasihmu itu, Kang."
Agaknya gagasan Jenar cukup menarik
perhatian Suro Bodong. Lagipula, jika ia harus berjalan ke desa Tandang Cinde
untuk mencari keterangan di mana kekasihnya, masih memerlukan waktu yang cukup lama. Menurut
Jenar, dia akan memakan waktu tiga hari dengan perjalanan kaki untuk sampai ke
desa Tandang Cinde. Jenar mengatakan, bahwa dengan
menyuruh bebrapa orang di desanya yang pergi
ke Tandang Cinde, menjual kain tenun sambil
mencari keterangan tentang Ratna, adalah
langkah yang lebih baik. Sementara Suro
membantu mengamankan desa tempat Jenar
tinggal, ia sendiri hanya menunggu kabar demi
kabar dari orang-orang yang datang dari desa
Tandang Cinde. Jelasnya, Suro sangat setuju dengan gagasan
Jenar. Maka, ketika dia dihadapkan kepada
Raden Bargawa, orang terkaya di desa itu, ia
berharap sekali agar Raden Bargawa mau
menerimanya sebagai pengawal keamanan
keluarga Bargawa. Tetapi, agaknya suasana
menjadi lain. Ketika Suro dan Jenar datang
menghadap, keadaan Raden fergawa dalam
cekaman sedih. Istri dan anak Raden Bargawa itu telah
terbun uh semalam. Bahkan dua dari tiga jago
bayarann y a itu pun tewas dengan keadaan
kepala terpisah dari leher. Lalu seorang pelayan urusan perbelanjaan, hilang tak
ditemukan jasadnya. Suasana berkabung membuat Jenar tak
berani bicara apa pun pada Raden Bargawa
maupun kepada kedua keponakan Raden
Bargawa. "Bagaimana kalau malam ini kau tidur di
rumahku saja, Kang. Tunggu sampai beberapa
hari, Mungkin besok atau lusa kita menghadap
Raden Bargawa.. "
"Kau tinggal dengan siapa?"
"Dengan emakku. Tapi kurasa dia tidak
keberatan kalau kau menginap di rumah kami."
Suro Bodong menggumam. Menimbangnimbang. Lalu berkata:
"Bagaimana kalau aku antar menemui kepala desa?"
Jenar mendesah. Bersikap menyepelekan,
"Ah, percuma. Pak Lurah seakan tidak mau tahu tentang ketakutan rakyatnya. Ia
sendiri takut menghadapi Nyi Kembang Laras."
Sekali lagi Suro Bodong menggumam.
"Kebetulan,
aku perlu membangkitkan keberanian lurah semacam itu. Ayo, antarkan
aku ke sana, dan. . mungkin aku akan minta izin menginap di sana untuk malam
ini." Hari sudah sore. Jenar sedikit segan pergi ke
rumah Lurah Pucung. Tapi agaknya ia tak punya
pilihan lain, sebab Suro Bodong mendesaknya.
Lurah Pucung menghardik Jenar ketika ia
melihat Jenar memasuki halaman rumahnya
yang berpekarangan luas.
"Mau apa kau ke mari, Setan"!"
Jenar bingung dan ragu-ragu. Suro Bodong
sendiri ikut bingung. Hatinya bertanya-tanya:
mengapa Lurah Pucung sikapnya memusuhi
Jenar. "Usir bocah itu. .! Usir dia.. !" teriak Lurah Pucung dengan suara tuanya kepada
seorang pesuruhnya. Rupanya Lurah Pucung juga
mempunyai orang-orang bayaran. Tampak dua
orang bertubuh tegap dan gempal, berwajah
seseram wajah S u ro Bodong, berdiri di depan
tangga menuju ruang dalam. Dan seorang
pesuruh yang tak kelihatan seperti jagoan segera mengusir Jenar.
"Lebih baik tinggalkan tempat ini, daripada Gagak dan Tembong yang mengusirmu,"
kata pesuruh itu. Gagak dan Tembong adalah dua
orang bayaran yang siap menjaga keluarga
Lurah Pucung itu.
"Ada yang ingin kubicarakan dengan Ki
Lurah, Kang Jupro."
"Ki Lurah tidak mau bicara denganmu lagi!"
Kemudian mendengar suara Lurah Pucung
dari ruang tamu yang mirip sebuah pendopo itu.
"Suruh pergi dia secepatnya! Aku muak melihat
tampang anak itu!"
"Nah, kau dengar sendiri, Jenar. ." Ki Lurah
muak melihat kamu! Sekarang pergilah dengan
orang ini," seraya Jupro menuding Suro Bodong.
"Tunggu dulu," kata Suro Bodong seraya ga-garuk kumisnya.
"Kenapa Jenar
agaknya dimusuhi oleh Ki Lurah?"
"Tanyakan saja kepadanya," jawab pesuruh
yang bernama Jupro itu. "Kurasa dia masih beruntung,
karena tidak digantung oleh keputusan kami.
"Menggantung orang itu gampang. Yang sulit adalah mencari alasan
menggantungnya," ujar Suro Bodong tetap tenang.
"Kang..." kata Jenar. "Aku memang pernah berbuat jelek di desa ini. Aku.. aku
memang pernah mencoba memperkosa anak pak Lurah
yang janda itu.. dan. ."
"Dan kau keburu tertangkap, bukan?"
sambung Jupro. "Tapi seharusnya kau beruntung, karena Ki Lurah tidak memaksakan
keputusannya untuk menggantung kamu. Kamu
cuma dihajar dengan tujuan membuatmu jera."
"Aku memang sudah jera kok, Kang. Aku
tidak mau lagi melakukan hal-hal semacam itu
Apalagi sekarang aku sudah tidak punya kakak
lagi.. " "Kakakmu..." Kakakmu ke mana?"
Suro Bodong menyahut, "Tewas di Hutan
Tengkorak.. "
"Oo.. "!" Jupro kelihatan kaget dan merinding Rupanya Ki Lurah segera
memerintahkan Tembong untuk mengusir Jenar. Lelaki berambut ikal lebat dengan diikat kain biru
muda itu mendekati Jenar, dan tanpa banyak
bicara mencengkram baju Jenar. Ia menarik Jenar dengan kasar tanpa memperdulikan
Suro Bodong. Saat itu, Jupro segera menyisih, takut terlibat urusan dengan Tembong.
Suro Bodong hanya tersenyum tenang
dengan tetap berdiri di tempat ketika Tembong
menyeret ke luar halaman. Ia tidak bergerak
sedikitpun dari tempatnya. Sebaliknya, justru
Suro Bodong melipat tangannya di dada dan
mempertikan kegalakan lelaki yang wajahnya
coklat sebelah, Tembong.
Pada saat Tembong kembali, ia seakan baru
menyadari kalau Suro Bodong belum bergerak
dari tempatnya. Tembong tak berani mencengkeram baju Suro, seperti yang dilakukan kepada Jenar. la sedikit tegang ketika berkata:
"Kau... juga keluar!"
"Aku kan tidak ikut memperkosa anak lurah,"
jawab Suro Bodong seenaknya, seakan tidak
merasa gentar sedikit pun melihat kedua mata
Tembong melotot.
"Keluar.. !!" bentak Tembong tak mau kalah gertak.
Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar,
lalu bersilang tangan di dada kembali. Ia bahkan tersenyum
seperti menyepelekan gertakan
Tembong. Lurah Pucung berdiri di depan serambi.
Tembong tak mau dibilang pengecut di depan
Lurah Pucung. Ia segera meraih baju Suro untuk dicengkeram dan diseret seperti
ia menyeret Jenar. Tetapi Suro Bodong mengelak dengan cara memiringkan badan ke samping
kiri. Tangan yang tak jadi mencengkeram itu
berubah arah menjadi sebuah pukulan menyamping. Tepatnya sebuah tamparan. Namun Suro Bodon menendang tangan itu
dengan keadaan tetap bersidekap tangan di
dada. "Mumpung di depan juraganmu, tunjukkan
keberanianmu!" kata Suro Bodong dengan
sangat tenang. Tembong penasaran. Ia memukul wajah Suro
Bodong dengan pukulan ganda, tetapi dengan
lincah kepala Suro Bodong bergerak seperti ular menghindari pukulan itu.
Tangannya tetap
dalam posisi semula. Sekali lagi Tembong
melancarkan pukulannya ke muka Suro, namun
Suro merundukkan kepala sehingga pukulan itu
lolos melewati atas tengkuknya. Pada saat itu, lutut Tembong digerakkan ke atas
dengan maksud ingin menyodok wajah Suro Bodong.
Tapi wajah Suro yang merunduk itu bergerak ke
samping menghindari sodokan lutut Tembong.
Ia buru-buru menegakkan badan. Mundur satu
langkah. "Bangsat kau. .!" geram Tembong, lalu menggerakkan kaki kanannya, menendang ke
arah Suro Bodong. Tubuh Suro yang sedikit gemuk itu mampu meliuk-liuk dengan
lincah walau tetap bersilangan tangan di dada.
Tendangan dan pukulan Tembong datang silih
berganti, namun tak satu ada yang mengenai
tubuh Suro Bodong. Ketika kaki Tembong
melompat dengan satu tendangan, tubuh Suro
Bodong pun melompat dengan kaki berhasil
menendang betis Tembong. Posisi Tembong
goyah sewaktu berdiri lagi. Kesempatan itu
dipergunakan Suro Bodong untuk menggerakkan kakinya memutar, dan tendangan itu mengenai wajah Tembong. Lelaki
berwajah coklat sebelah itu terhuyung.
"Sekali waktu kau perlu belajar menghargai
orang lain," kata Suro Bodong yang kemudian mengibaskan kakinya dengan tendangan
putar sangat cepat. Kedua tangannya tetap bersidekap di dada: Ia berdiri tenang,
memandang Tembong
yang terpelanting ke belakang dan kepalanya
membentur sebatang pohon melinjo.


Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oouh.. !" Tembong memegangi kepalanya
mencoba berpegangan pada batang pohon
melinjo itu. Suro Bodong sudah dapat memperkirakan bahwa orang yang dari tadi
masih berdiri di depan tangga menuju serambi
itu pasti akan bergerak membantu temannya.
Dugaan Suro tepat. Lelaki yang sering
dipanggil Gagak itu segera berlari dan melompat dalam satu jurus tendangan
layang. Suro Bodong berkelit ke belakang dalam posisi
tubuhnya melengkung, tapi tangan masih
bersidekap di dada. Karena tubuh itu melengkung begitu tajam, lemas, maka arah
loncatan Gagak pun mengenai sasaran kosong.
Tetapi dengan segera Suro menegakkan
badan, dan mengangkat kakinya, hingga telapak
kaki berada di depan perut, sebab saat itu Gagak memukulnya dengan gerak pukulan
ganda ke arah perut. Pukulan itu ditangkis oleh kaki Suro, kemudian dengan cepat kaki
Suro melesat ke
depan. Lurus dan kaku. Telapak kaki itu tepat
mengenai dada Gagak.
Tubuh Gagak memang berdada bidang dan
lebih kekar dari dada Tembong. Baju rompi
hitam yang dikenakannya menampakkan betul
kebesaran lengannya, apalagi jika tangannya
mengeras untuk memukul, ia kelihatan kekar
sekali. Makanya ketika kaki Suro berhasil
menendangnya, ia bertahan untuk tidak bergerak sedikit pun
"Wah, kamu lebih kebal dari Si Tembong itu, ya. .?" kata Suro Bodong.
"Pergi kau dari sini! Jangan cari garagara. .!"gertak Gagak. Namun hal itu malahan
ditertawakan Suro Bodong.
Dalam keadaan masih bersilang tangan di
dada tiba-tiba kaki Suro Bodong bergerak bagai sebuah kibasan memutar. Rupanya
dia tahu Tembong telah berada di belakangnya dan siap
membacokkan goloknya dari arah belakang
Suro. Ketika tangan yang memegangi golok itu
terangkat, saat itulah tendangan memutar kaki
Suro mengnai bawah ketiak Tembong. Kemudian disusul gerakan kaki kiri yang telak
mengenai ulu hati Tembong dengan cepat.
"Huugh...!!" Mata Tembong mendelik dan menahan nafas. Tubuhnya melengkung ke
depan, tangan kirinya memegangi ulu hati
sementara tangan kanannya memegang golok
dengan lunglai.
Pada saat itu, Suro Bodong yang masih
bersidekap itu menggerakkan kakinya ke
belakang tanpa berpaling. Gerakan kaki itu tepat mengenai
tangan Gagak yang hendak menghantam punggung Suro Bodong. Lalu,
tubuh Suro segera berbalik dan melancarkan
tendangan kaki yang satunya. Tendangan itu
dilakukan dengan sedikit melompat, namun
tepat mengenai dagu Gagak. Wajah Gagak
memang terdongak karena tendangan Namun ia
tetap tegar, kelihatan segar. Seakan tendangan itu bukan apa-apa baginya. Ia
ganti menendang
dengan satu lompatan kaki lurus ke samping.
Kepala Suro Bodong miring ke kiri bersamasama gerak tubuhnya yang merendah. Pada saat
itu, tubuh Gagak melayang, dan kaki kanan Suro Bodong segera meluncur ke atas,
menyamping. Tendangan itu tepat mengenai kemaluan Gagak,
sehingga Gagak pun menjerit kesakitan.
"Aaauoow. .!! Pecah barangkuu. .! Aaauuh...!"
Gagak mengaduh-aduh sambil jalan dengan kaki
merapat dan kedua tangan memegangi bagian
kemaluannya. Akhirnya Gagak jatuh terduduk, bersandar
pada batang pohon melinjo yang sebesar
betisnya itu. Wajahnya meringis menahan sakit, sedangkan Tembong pun kelihatan
masih lemas. Ia sempat mencoba membabatkan goloknya ke
kaki Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong cepat
melompat tak begitu tinggi, kaki kanannya
mengibas ke depan.
"Plook..!"
Tendangan kaki tepat mengenai wajah
Tembong sehingga orang itu memekik kesakitan.
Ada darah yang keluar dari hidungnya, dan hal
itu membuat Lurah Pucung terbengong, semakin
tertegun ngeri. Apalagi ketika pandangan
matanya bertatapan dengan sorot mata Suro
Bodong, Lurah Pucung kelihatan gemetaran.
Namun, ia masih berusaha menjaga kewibawaannya sebagai lurah dengan diam di
tempat, seakan takakan lari walau Suro Bodong
segera mengajak Jenar mendekat ke tangga
serambi. Lurah Pucung masih memandang dengan
mata mendelik kepada Jenar. Ia memaksakan
suara untuk menghardik Jenar.
"Apa perlumu datang ke mari, hah"! Mau
memperkosa anakku lagi"! Iya"!"
"Aku rasa...masalah itu telah ditebusnya, Ki lurah," kata Suro Bodong. "Jenar
katanya sudah dihajar hampir mati sebagai hukumannya" Dan
sekarang agaknya dia ingin menjadi orang baikbaik. Apakah tak bisa diberi kesempatan" Sebab setahuku, untuk menjadi orang
baik harus mempunyai kesempatan."
"Aku tidak bicara denganmu! Kau tidak perlu menggurui aku !" hardik Lurah Pucung
kepada Suro."Aku ini Lurah!"
"Yah, biar lurah kalau tindakannya keliru, perlu mendapat teguran. Kalau orang
ditegur, berarti orang itu belum terlanjur berbuat salah yang menjadi parah."
Suro Bodong bicara dengan tangan masih
bersidekap sejak tadi. Ia kelihatan tenang.
Sesekali memandang Tembong dan Gagak yang
berusaha bangkit dalam keadaan sakit.
Lurah Pucung mendesis mendengar kata-kata
Suro. Ia kembali memandang Jenar yang masih
ketakutan dan merasa bersalah di depan Lurah
Pucung. "Hei, Jenar.. ! Katakan segera, apa maumu datang ke mari, hah" Mau apa kau"!"
"Saya... sayang mengantarkan Kang Suro, Ki Lurah.. !" jawab Jenar dengan suara
pelan. "Suro..." Suro siapa"!"
"Suro Bodong.. ! Orang ini, Ki. ."
Sekali lagi Lurah Pucung melirik sinis kepada
Suro Bodong yang masih tenang, tangan masih
bersidekap. Lurah Pucung menampakkan sikap
tak sukanya dengan mulut cemberut ketus.
Sesekali ia mendesis jengkel.
"Aku tidak kenal orang ini. .!" kata Ki Lurah.
"Justru aku ingin berkenalan denganmu,
Lurah.. !" kata Suro Bodong seenaknya saja.
"Apa perlumu datang kemari dan bertemu
aku" Untuk apa"!"
"Aku ingin menumpang semalam di sini,
sambil aku ingin berbincang-bincang denganmu
tentang Nyi Kembang Laras.. "
Wajah Lurah Pucung kelihatan tegang dan
pucat ketika ia mendengar nama Nyi Kembang
Laras diucapkan. Gerak matanya jadi liar. Ia
sangat ketakutan.
*** 3 Nama Nyi Kembang Laras bukan nama
seorang bidadari yang menjadi idaman setiap
pria. Nama itu adalah penyebab bangkitnya bulu roma, bahkan sesekali sempat
membuat seorang
lelaki gemetar jika mendengarnya. Hal itu
rupanya dialami juga oleh Lurah Pucung yang
berbadan sedang, tinggi tapi tidak jangkung.
Kerut ketuaannya terlihat pada bagian dahi dan sudut mata. Kerutan itu semakin
tajam dan jelas setelah Suro Bodong duduk di bangku
depannya, seraya berkata dengan garuk-garuk
kumis: "Mungkin dalam waktu dekat, penduduk
desa ini akan habis binasa di tangan Nyi Laras.
Yang utama adalah kaum lelakinya."
Merinding sekujur Ki Lurah Pucung. Sekali
pun ia menyimpan ketakutan, tetapi Suro
Bodong tahu apa yang sedang disimpan di balik
ketenangan Lurah Pucung.
Suro menambahkan kata, "Aku punya firasat kalau suatu saat rumah ini menjadi
incarannya."
Nafas Lurah Pucung dihela dalam-dalam.
Dengan suara pelan dan bernada getar, ia
mencoba menenangkan diri.
"Itulah sebabnya aku menyewa Tembong dan
Gagak untuk melindungiku."
"Apakah itu sudah menjamin?" tanya Suro Bodong. Sebelum terjadi pembicaraan
lagi, Suro meraih tempat tembakau, melintingnya dan
merokoknya seperti keadaan Ki Lurah saat itu.
Sebenarnya Suro bukan seorang perokok, tapi ia bisa menyesuaikan diri, bisa
bergaya seperti
orang yang biasa menyedot tembakau dan
cengkih. Ki Lurah memperdengarkan, suaranya
yang sedikit serak:
"Di desa ini, setiap orang kaya, atau orang mampu, pasti mempunyai jago-jago
bayaran. Paling sedikitnya satu orang. Itu dilakukan
untuk menanggulangi keganasan Nyi Kembang
Laras." "Apakah cara itu cukup berhasil" Apakah
para jago bayaran itu mampu mengatasi amukan
Nyi Kembang?"
Agaknya Ki Lurah sulit menjawab pertanyaan itu. Ia menggumam beberapa saat,
lalu berkata ngambang:
"Bagaimanapun juga, ternyata nasiblah yang selalu menentukan hidup kita."
"Nasib.. ?" Suro Bodong tertawa pelan.
Mengisap tembakau kawungnya sejenak, lalu
berkata lagi: "Mungkinkah hanya itu alasan yang bisa kau pakai, Ki Lurah" Apa tidak ada alasan
lain?" "Entahlah. Aku selalu kebingungan jika harus bicara soal Nyi Kembang.
Sepertinya, hal itu
bukan wewenang kekuasaanku, juga bukan
tanggung jawabku sebagai lurah. Persoalan Nyi
Kembang, tidak termasuk dalam rencana kerja
seorang lurah. Kalau kutahu akan ada persoalan seperti ini, kurasa pada saat
pemilihan Lurah, aku tidak mau dijagokan oleh sebagian
penduduk" Suro Bodong semakin merasa geli. Lurah ini
lucu juga, pikirannya. Persoalan Nyi Kembang
jelas persoalan yang menyangkut keamanan
desa. Tapi dia seolah-olah mau cuci tangan
karena merasa ketakutan. Ah, kasihan sekali
lurah yang satu ini. Harga dirinya, martabatnya sebagai Lurah, tidak lagi
diperhitungkan.
"Apakah persoalan Nyi Kembang ini sudah
lama berkembang di desa ini?" tanya Suro
Bodong. Waktu itu, seorang perempuan yang
masih tergolong muda, segar dan menawan,
datang membayakan minuman dan poci teh
kental. Suro Bodong memandangnya sebentar,
lalu menyimpan wajah ayu itu dalam ingatannya. Tanpa melihat orangnya, Suro
sudah dapat menikmati kecantikan dan kesegaran perempuan itu.


Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Lurah menjawab pertanyaan Suro yang
tadi, "Dulu, aku pernah mendengar persoalan Nyi
Kembang. Kekejiannya juga pernah kudengar. Namun peristiwa itu terjadi di desa
lain. Di seberang Hutan Tengkorak Dan..
kupikir tidak akan merambat sampai ke desa
ini."Perempuan berkulit sawo matang, dengan matanya yang bulat indah itu pergi
ke belakang. Suro Bodong sempat melirik jalannya. Oh,
mengundang gairah juga pantat perempuan itu
dalam lenggok gaya jalannya. Suro Bodong
tersenyum tipis, tapi Ki Lurah mengetahui
senyuman itu, lalu berkata dengan suara sedikit parau:
"Kau boleh saja menertawakan dengan sinis keadaan rakyatku yang sangat ketakutan
itu, tapi kau menghadapi sendiri, mungkin kau tak
sempat berani lagi menyebut nama Nyi
Kembang.. "
Sebenarnya Suro Bodong ingin mengatakan,
bahwa ia bukan tersenyum sinis dalam arti
mengecilkan masyarakat desa itu, tapi tersenyum geli untuk lenggok gaya perempuan
tadi yang sempat membuat batin Suro gelisah.
Hanya saja, Suro tahu hal itu tidak perlu
dibicarakan. Ia bahkan berkata:
"Aku ingin ketemu Nyi Laras. .Setan dari Hutan Tengkorak itu!"
Kini ganti Ki Lurah yang tersenyum sinis,
tipis. Katanya, "Kau bergurau terlalu kelewat batas, Suro Bodong. ."
"Kurasa kau yang bercanda, Ki Lurah. Aku
benar-benar ingin bertemu dengan setan betina
itu!" Ki Lurah menatap Suro, dan ia menemukan
kesungguhan dari ucapan Suro Bodong itu. Ia
mendekatkan wajah, lalu berkata dalam nada
bisik yang tajam:
"Mengerikan. .!"
"Siapa yang mengerikan" Wajahku?"
"Nyi Kembang itu.. !"
"Ooo. ." Suro ikut berbisik
"Kau akan menyesal setelah bertemu dengannya," bisik Ki Lurah dengan kepala tetap terjulur mendekati Suro.
Sedangkan Suro Bodong pun menjulurkan wajah dengan suara
bisiknya yang mendesah jelek.
"Akan kubikin menjadi sebaliknya; Nyi
Kembang yang menyesal bertemu denganku."
"Aaah...kau bisa mati. Percayalah!"
"Dia yang akan lebih dulu mati. Pastikanlah...!" "Bagaimana caranya melawan dia" Apa
rencanamu?"
"Beri aku kesempatan tinggal di desa ini
beberapa hari. Kalau aku tak sanggup, aku akan lari. Kalau lari pun tak sanggup,
.aku akan mati."
Setelah itu Suro meringis, tepat di depan hidung Ki Lurah.
Malam menggeliat sepi.
Jenar tidur di dekat dapur, satu kamar
dengan Jupro. Agaknya Ki Lurah sudah bisa
menegakkan kebijaksanaan bagi Jenar. Barangkali karena Ki Lurah Pucung memandang
kehebatan Suro Bodong yang mempunyai
permaiman menjatuhkan jago-jagonya itu, sehingga Ki Lurah merasa ada perlunya untuk
tidak mengusir Jenar. Karena diam-diam Ki
Lurah sangat mengagumi ilmu silat yang
dimiliki Suro Bodong. Bahkan kepada Tembong
dan Gagak ia sempat berbisik kesal:
"Payah...! Dia hanya menggunakan kaki.
Belum tangannya, tapi kamu berdua tidak
mampu menandinginya. Apalagi kalau Suro
sudah menggunakan tangannya, mungkin satu
antara kalian akan mencret selama tujuh hari. .! "
Tampang kedua jagoan yang dibayar untuk
melindungi keluarga Lurah Pucung itu seperti
tak berbentuk lagi, malu dan geram menjadi satu di wajah itu. Tembong dalam hati
mempunyai rencana untuk membalas rasa malunya kepada
Suro Bodong, tapi kemudian ia membantah
rencananya sendiri dengan kecamuk benaknya:
"Kalau Gagak saja mampu dikalahkan setan
bodong itu, tentunya aku juga mampu dirematremat dengan tangan kirinya. Aah. . lebih baik mempertahankan
hidup daripada mempertahankan dendam."
Patroli malam, seperti biasa dilakukan oleh
Tembong dan Gagak. Sekali pun mereka sudah
mulai ciut nyali, gara-gara merasa dapat
dirubuhkan Suro dengan mudah, namun demi
menunaikan tugas bayarannya, mereka tetap
mengadakan pemeriksaan keliling. Istilah sekarangnya : waskat. Pengawasan melekat,
khususnya terhadap gangguan yang dapat
timbul sewaktu-waktu dari Nyi Kembang Laras.
Sementara itu, di dalam kamarnya Ki Lurah
dan istrinya sempat saling menggerutu:
"Aku jadi merasa tak aman, Pak..." ujar istrinya. "Kedua orang andalan kita ini,
kurasa tak akan mampu menghadapi kejahatan Nyi
Kembang Laras. Buktinya, dengan tamu kita saja mereka
dibuat nungging-nungging
mirip kambing bunting. Apalagi kalau menghadapi
Nyi Kembang.. !"
"Aku juga gelisah..." desah Ki Lurah sambil merebah.
"Cari penjaga yang lebih ampuh lagi, jangan seperti kedua orang itu. Yang sakti,
Pak. Yang bisa terbang dan yang bisa hilang. .!"
Ki Lurah hanya kedip-kedip memikirkan
keadaan gawat di sekeliling keluarganya. Ia
kembali terngiang kata-kata Suro Bodong dalam
pembicaraan sore tadi. Satu-satunya harapan
yang bisa diandalkan hanya Suro Bodong.
Tetapi, ia sendiri sangsi apakah Suro Bodong itu bisa mengungguli kesaktian Nyi
Kembang Laras" Memang tekad dan semangat Suro untuk
menumpas Nyi Kembang cukup kuat. Hanya
saja, Lurah Pucung masih khawatir akan
keberhasilannya. Ia belum banyak mengetahui
bagaimana dan siapa sebenarnya Suro Bodong.
Ia sesore ini terlalu hanyut dalam pembicaraan kekejaman Nyi Kembang Laras,
sehingga ia belum sempat menanyakan keberadaan diri
tamunya. Mungkin bukan hanya Ki Lurah dan istrinya
yang dalam kegelisahan malam ini, namun
semua warga desa Manggar itu dicekam
kegelisahan yang menakutkan. Kegelisahan ini
sudah sekian malam berlangsung sehingga
membuat malam menjadi arena begadang bagi
semua warga desa. Kengerian semakin mencekam apabila sunyi kian sepi. Masingmasing telinga terpancang bagai radar yang siap menerima suara jeritan memilu,
seperti yang terjadi pada malam-malam sebelumnya.
Jupro, Jenar, dan dua pelayan bagian taman
serta bagian dapur masih mengedip-ngedipkan
mata di kamarnya masing-masing. Suro Bodong
dapat kamar sendiri di samping kamar Jupro
dan Jenar. Di samping dapur ada dua kamar
lain, yaitu kamar pelayan kebun dan pelayan
dapur yang menjadi satu, serta di sampingnya
adalah kamar Juminem, juru masak yang konon
masih punya hubungan saudara dengan Nyi
Lurah Pucung. Sedangkan di kamar lain, yang
letaknya bersebelahan dengan ruang makan,
adalah kamar Sundari, anak tunggal Lurah
Pucung yang telah menjanda. Suaminya mati
dengan keadaan menyedihkan akibat ulah Nyi
Kembang beberapa waktu yang lalu. Ia seorang
janda kembang tanpa anak, yang dalam usia
matangnya itu mampu menciptakan daya tarik
tersendiri bagi kaum lelaki.
Di kamar Jupro dan Jenar, terjadi pembicaraan pelan dalam bentuk bisik-bisik
malam. "Makanya, Nar. ." kata Jupro, "Jadi lelaki itu jangan clamitan. Mentang-mentang
Den Roro Sundari janda, lantas seenaknya saja kau mau
memperkosanya. Uuh.. semua itu ada aturannya, nar!"
"Aku... waktu itu tidak tahan, Kang. Sangat gak tahan melihat pahanya yang
menyingkap waktu ia naik delman. Rasa-rasanya aku sudah
kemasukan setan dengan cepat waktu itu.
Maka... ah, begitulah jadinya. Tapi.. sekarang aku sangat menyesal. Menyesal
sekali, Kang. Sudah hasratku tak sampai, namaku jelek,
tubuhku pun nyaris hancur di cincang Tembong
dan Gagak. Ah, aku tidak mau lagi begitu.
Sungguh! Aku lebih baik cari perempuan lain
yang mau kukawini dan.. beres sudah."
"Baguslah kalau kamu punya pikiran begitu, kalau memang masih punya niat
memperkosa, perkosa saja Nyi Kembang. Kan dia sendiri
sering memperkosa kaum lelaki."
"Iiih...amit-amit jabang bayi, Kang!" Jenar bersungut-sungut.
"Dari pada harus memperkosa Nyi Kembang, lebih baik aku cari
sabun, Kang."
"Untuk apa cari sabun?"
"Cuci piring dan cuci baju! Beres!" Jupro tertawa pelan. Mereka bungkam. Sepi
nemakin merajalela. Ada suara dengkur yang samarsamar. Dengkur dari Suro Bodong di kamarnya.
Jupro berbisik "Aneh. Orang lain ndak bisa tidur, kok Suro Bodong malah mendengkur"!"
"Memang dia serba aneh kok. Aku dulu
pernah menyerangnya, tapi.. sudah tentu aku
dapat ditumbangkan dengan sangat mudah,
ibarat ia menyentil lalat saja. Dan. . waktu itu, aku mengira dia adalah salah
satu dari orang
Hutan Tengkorak, eeh.. tidak tahunya justru ia diserang oleh perempuan cantik,
anak buah Nyi Kembang. Dan aku melihat sendiri betapa
hebatnya dia, Kang. Tubuhnya bisa terbang ke
atas, gerakannya tangkas dan kelincahan
geraknya sungguh sempurna. Hebat pokoknya,
Kang!" "Ya. Aku percaya. Aku melihat sendiri betapa lincahnya kedua kaki itu melawan
serangan Tembong dan Gagak Aku tadi sempat terkagumkagum, Nar. Dan menurutku.. dia adalah orang
tandingan Nyi Kembang. Tapi, dia belum tahu
kalau Nyi Kembang itu sangat sakti. Kau pernah ceritakan kehebatan Nyi Kembang
jika sedang membantai lawannya?"
"Sedikit. Tapi belum sempat kuceritakan
bahwa Nyi Kembang itu sukar dibunuh. Kalau
saja..." Obrolan kasak-kusuk itu terhenti seketika.
Ada suara berdebam di luar, tepatnya dari arah halaman samping. Sepertinya ada
sesuatu yang jatuh, disusul dengan suara pekik seseorang
yang tertahan. Jenar dan Jupro berjingkat bangun dari


Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rebahnya. Mata mereka saling memandang
tegang. Telinga mereka menyimak bunyi di
kesunyian malam. Daun-daun bergeseran terdengar. Detak jantung mereka semakin cepat.
Dengan sangat pelan Jenar berbisik
"Ada yang ndak beres ini, Kang.. "
"Ho, oh. .!" Jupro mengangguk
Dengkuran Suro semakin jelas, karena pusat
pikiran mereka menerobos kesunyian malam
yang amat hening.
"Nah, dengar. .!" bisik Jenar lagi. "Seperti ada suara orang dipukul dadanya,
ya?" "Ho, oh.. !" Jupro menganguk. 'Jangan-jangan Tembong dan Gagak sedang
dalambahaya."
Jupro diam, matanya mendelik, wajahnya
tegang. Ia tak berani bergerak Suara yang mereka tangkap kemudian adalah suara
pekik tertahan,
seperti orang hendak terbatuk namun tak jadi.
Suara itu semakin menegangkan mereka.
'Jangan-jangan Nyi Kembang datang. ." bisik Jenar.
"Ah, dari mana kau bisa berkata begitu.
Belum tentu Nyi Kembang. Siapa tahu Tembong
dan Gagak sedang berlatih ketangkasan mereka,"
bisik Jupro. "Malam-malam begini berlatih ketangkasan"
Ah, ndak masuk akal, Kang. Pasti.. ! Pasti Nyi Kembang mencari Suro Bodong."
"Mencari Suro Bodong"! Kenapa kau yakin
begitu"!"
Bisikan Jenar semakin pelan, "Waktu Suro
mengalahkan anak buah Nyi Kembang, ia
mendapat ancaman. Katanya, dia terpilih! Entah terpilih apa maksudnya, tapi aku
yakin itu sebuah ancaman maut bagi Suro Bodong."
"Gawat. .!"
Jupro menampakkan kecemasannya. "Padahal sekarang Suro Bodong sedang mendengkur nyenyak. Janganjangan.. Eh, coba kau keluar dan ketuk pintu Suro agar
dia bangun."
"Wah, aku ngeri keluar dari kamar, Kang."
"Aaah...payah kamu, Nar. Buat apa kamu
bawa-bawa pedang itu" Buat apa kamu belajar
silat sama bapakmu almarhum?"
"Sekedar untuk jaga diri. Bukan untuk
melawan Nyi Kembang." jawab Jenar sambil
tergagap sejenak.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka perlahanlahan. Jupro dan Jenar nyaris tidak bernafas
sama sekali. Jantung mereka bagai berhenti
tanpa detak. Untung kenyataan tidak sempat
demikian. Jantung mereka hanya terhenti sedetik Namun setelah itu jantung mereka
berdetak sangat cepat. Hal itu membuat mulut mereka
ternganga namun tak sempat melontarkan kata
dan suara apa pun. Tubuh mereka bagai
dipantek dengan lantai. Tegak berdiri tanpa
bergerak sedikit pun. Mata mereka bagai
diganjal oleh sebatang lidi, membelalak lebar
tanpa berkedip.
Tak ada suara. Sepi. Tapi di mata Jenar dan
Jupro terlihat jelas pintu kamar yang sudah
terkunci itu masih bisa terbuka. Lalu muncullah seraut wajah dari balik pintu.
Wajah cantik, berbibir mungil dan kelihatan selalu basah.
Warnanya merah ranum. Segar sekali. Di atas
bibir itu, ada ujung hidung yang mancung,
ramping. Berkulit kuning langsat. Bahkan
mendekati jenis kulit warna putih susu. Di atas hidung mancung yang indah itu,
terdapat sepasang mata yang bertepian hitam pada
kelopaknya. Mata itu tidak terlalu bulat, namun cukup tajam dan mempunyai
kebeningan yang
mengagumkan. Bulu matanya yang lentik,
adalah perpaduan keindahan mata sehingga
menjadi sebentuk keagungan yang memukau.
Alis yang seperti bulan sabit, kelihatan tebal di bagian ujungnya dekat hidung.
Dan alis itulah
yang membuat satu komposisi kecantikan maha
anggun. Itulah kecantikan wajah Nyi Kembang Laras!
Angin malam sebenarnya sudah sejak tadi
berhembus lebih kencang dari biasanya. Namun
desau angin itu tak sempat terpikirkan oleh Jenar dan Jupro. Kedua lelaki dalam
usia belum bisa
dibilang tua itu masih terpukau tanpa gerak
sedikit pun. Hati menggumam terkagum-kagum,
namun jantung berdetak tersendat-sendat.
Rambut Nyi Kembang Laras meriap sebatas
pinggang. Sekalipun bagian kepalanya dikenakan penjepit rambut berbentuk mahkota
kecil, namun gerai rambut yang terjuntai sebatas pinggang masih terlihat hitam
bening, mirip jurai lumut laut yang lembut. Busana yang
dikenakan, sangat melemahkan jiwa seorang
lelaki. Kainnya tipis, halus. Berwarna putih bagai gumpalan busa. Kain itu
membungkus tubuh
tanpa pelapis dalam, sehingga lekuk tubuh dan
tonjolan di bagian dada terlihat samar-samar,
menggetarkan jiwa siapa saja. Indah tubuh itu.
Sungguh indah. Bahkan betisnya pun terlihat
amat sempurna dalam komposisi kegempalan
paha yang tak bisa dikatakan bengkok,
melainkan sekal berukuran prima.
Nyi Kembang berdiri di depan pintu dengan
kain tipis berlengan panjang bagai jubah itu
meriap-riap dipermainkan desiran angin. Matanya memandang lekat pada Jupro, sementara bibirnya menyunggingkan senyum
tipis yang amat melelehkan liur kejantanan siapa saja yang memandangnya. Dari
kebeningan matanya itu, tiba-tiba terpancar sorot sinar
kuning pias. Hampir tak kentara. Sorot sinar
kuning pias itu memenembus sepasang mata
Jupro. Lelaki bertubuh tegap,namun tidak begitu berotot itu masih tak mampu
bergerak sedikit
pun. Sorot sinar kuning pias bagai mempunyai
daya hipnotis yang amat kuat, membuat mata
Jupro terpejam perlahan-lahan. Makin sayu, dan terus menjadi sayu, sampai
kemudian terpejam
kuat. Tapi tiba-tiba terbuka membelalak,
kemudian berkedip-kedip.
Bahkan ia bisa menggerakkan kepalanya
pada saat Nyi Kembang Laras tersenyum makin
lebar. Jupro menoleh Jenar. Wajahnya biasa, tanpa cekaman rasa takut maupun
gentar sedikitpun. Ia sepertinya tidak sedang menghadapi bahaya. Sedangkan sinar kuning
pias hilang tak terpancar lagi. Jenar terheran-heran, namun tetap terbungkam
untuk bisu seribu kata, kaku sejuta gerak. Dan ia
memaksakan diri untuk bisa bergerak.
"Kau harus melayaniku..."
suara Nyi Kembang terdengar pelan, namun cukup jelas di
telinga Jenar. Pada saat itu, Jenar mampu
menggerakkan lehernya untuk berpaling ke arah
Jupro. Dan ia kaget karena Jupro membuka
bajunya perlahan-lahan.
Senyum Jupro mengembang, sepertiiya ia tidak sedang dalam
bahaya sedikitpun. Ia bersikap biasa-biasa saja.
Nyi Kembang melangkah masuk,
lalu menutup pintu tanpa suara sedikit pun. Matanya masih mamandang Jupro dalam
senyum lebar menyatakan kegembiraan hatinya.
"Jangan kau lepas semua pakaianmu..." Nyi Kembang berkata dalam desah yang
lembut. Ia semakin mendekati Jupro. Gerakan tangan Jupro
berhenti. Ia juga tersenyum dalam bayangan
gairah kebirahian.
Nyi Kembang mendekatkan wajah ke depan
hidung Jupro. Ia berbisik, namun jelas didengar oleh Jenar yang bagai patung
hidup itu. "Berikan aku duniamu, Sayang. ."
"Renggutlah semuanya," balas Jupro pelan.
Nyi Kembang mengusap rambut Jupro pelanpelan, lalu jari jemarinya yang lentik itu meraba kening Jupro dengan lembut.
Pelan-pelan ujung
jemari indah itu merayap ke hidung, terus
bergeser ke bawah, menyentuh kumisnya yang
tipis, merayap lagi ke bawah, menyentuh bibir
Jupro yang tebal. Di situ jemari Nyi Kembang
bermain sebentar, kadang sengaja didesakkan
masuk ke mulut, dan Jupro menghisapnya
beberapa saat. Mata Nyi Kembang berbinarbinar penuh gairah bercinta.
"Oooh.. " desah Nyi Kembang sangat halus, mirip gesekan kain sutra yang diterpa
angin. Pada saat itu, kedua tangan Jupro merayap ke
segala penjuru tubuh mulus itu. Kedua mata Nyi Kembang meredup sayu, seakan
menikmati sentuhan demi sentuhan. Dan pada saat itu,
desah nafas Jenar semakin memburu tanpa ia
dapat berbuat apa-apa kecuali memandang dan
memandangnya terus. Keringat dingin sudah
sejak tadi membasahi di sekujur tubuh Jenar.
"Kuharap kau tidak seperti kedua Jagoan di luar..." kata Nyi Kembang dalam desah
yang melenakan. Jupro menjawab setelah melepaskan
bibirnya dari jemari Nyi Kembang
"Ambillah apa yang kau inginkan dariku...!
Ambillah, Nyi.. "
"Gawat.. !" Jenar sempat berseru di dalam
hatinya. Ia tahu, Jupro tak mampu menghindar
dari jerat Nyi Kembang. Jenar tahu, bahwa Jupro telah terbius dan lupa akan
bahaya yang ada.
Sebenarnya Jenar ingin mengingatkan, tetapi
mulutnya kaku sekali. Tenggorokkannya bagai
tersumbat segumpal nafas yang sulit dihela.
Akhirnya ia hanya menjadi penonton yang
dengan terpaksa membelalakkan mata terus dan
mendengarkan segala erangan serta desahan
birahi beracun itu.
Bahkan ketika Jupro melepaskan tali pengikat
gaun yang bersimpul di kedua pundak Nyi
Kembang itu, Jenar tak dapat mencegah. Tali itu terbuka, dan gaun tipis itu
lepas terkulai di
lantai. Sosok tubuh mulus tanpa cacad sebesar
ujung jarum pun membentang di depan mata
Jenar. Air liurnya tak sempat terkendali. Lebih-lebih ketika ia pun melihat
jari-jemari Nyi
Kembang melepas semua pakaian Jupro dalam
gerakan perlahan-lahan, oooh. . Jenar benarbenar tersiksa dalam hentakan darah mudanya
yang membakar jiwa. Ia ingin berkedip, ia
memaksakan kelopak matanya berulang kali,
tapi yang bisa dilakukan hanya melotot,
membelalak tanpa kedipan sedikit pun.
Nafas Jenar semakin sesak, setelah ia melihat
betapa lincahnya tangan Nyi Kembang menjelajah ke bagian bawah Jupro. Betapa
lincahnya lidah Nyi Kembang menjalar bagai
ular, dari ujung kepala Jupro sampai ke lutut. Di situ Nyi Kembang menggigitgigit kecil, dan
membuat Jupro menyeringai dalam desah
Mayat Kesurupan Roh 1 Pendekar Rajawali Sakti 90 Rajawali Murka Jejak Jejak Kematian 2

Cari Blog Ini