Ceritasilat Novel Online

Jerit Di Pucuk Rembulan 1

Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan Bagian 1


Serial Suro Bodong (Pendekar 7 Keliling)
Jerit Di Pucuk Rembulan
Barata ?Penerbit Wirautama, Jakarta, Cetakan Pertama.
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari
penerbit 1 Maksudnya ingin memetik buah untuk dimakan, tetapi ketika Suro Bodong melesat ke
atas dan hinggap di salah satu dahan, ia melihat padang belantara hutan yang
luas. Di selasela pepohonan yang menjulang, terlihat seorang gadis bergaun
Jingga menyusup kian ke mari. Gadis itu tampak ketakutan. Seorang lelaki
berpakaian serba merah mengejarnya dengan sangat bernafsu. Gadis itu masuk dalam
rimbunan semak, tembus ke tempat lain. Tetapi, di depannya sudah berdiri seorang
pemuda mengenakan rompi kulit macan dan celana merah.
Gadis itu berteriak kaget, kemudian segera berbelok arah
mengitari pohon sebesar paha. Gadis bergaun Jingga menyelusup di sela-sela akar
pohon yang melintang kian ke mari. Tahu-tahu ia sudah dihadang lelaki berpakaian
serba merah dengan ikat kepala biru tua itu.
"Ooh... jangan...!! Aaah... toloooong...! Tolooong...!"
Gadis bergaun jingga berlari kian membabi-buta, menuju ke arah pohon yang
dinaiki Suro Bodong, la menjerit-jerit dalam tangis, dan larinya mulai
terhuyung-huyung. Kedua lelaki itu semakin kegirangan, mengejar kian ke mari,
mengepung di sana sini dan seolah-olah sengaja tidak segera menangkap gadis itu.
"Blandong, cegat ke kiri. Aku akan mengejarnya dari kanan...!" seru pemuda
berompi macan tutul kepada lelaki yang mengenakan pakaian serba merah. Lelaki
yang usianya sedikit lebih tua dari pemuda itu segera berseru:
"Hati-hati Taruna...! Dia cukup lincah!"
"Toloong...! Oh, ohh... toloong....!" gadis itu menjerit sambil terus berlari
menghindari sergapan kedua lelaki itu.
Suro Bodong masih menikmat i buah semacam jambu liar untuk mengisi perutnya.
Sudah seharian ini ia tidak mengisi perut dengan apa saja, sehingga ia
menyempatkan memperkenyang perutnya yang besar namun tidak membuncit itu. Sambil
makan buah dengan santai, Suro Bodong menyaksikan suatu adegan kejar-kejaran
yang cukup seru.
Seorang gadis cantik, sendirian di hutan, dikejar dua lelaki bertampang
bergajulan. Ini suatu tontonan yang cukup seru.
Kedua lelaki yang berusia antara 30 tahun ke bawah itu
ternyata cukup sulit menangkap gadis bergaun jingga.
Gerakan gadis itu seperti anak kijang yang melejit ke sanasini,
berkelok dengan cepat dan berlari dengan lincah,
sekalipun ada kesan tergagap-gagap ketakutan.
Taruna, pemuda berompi kulit macan itu, sempat
tersungkur jatuh karena kakinya tersangkut akar pohon.
Sedangkan Blandong, lelaki yang lebih tua dari Taruna itu
sempat membentur salah satu batang pohon hingga ia
mengaduh sambil memejamkan mata. Suro Bodong hampir
saja tertawa ngakak, namun ditahannya. Ia tak ingin kedua
lelaki itu melihat, akan diapakan perempuan itu jika
tertangkap. "Blandong... lompat ke kanan. Lompat ke kanan, dia
kesana...!!"
Blandong segera melompati segerombolan semak yang
tingginya sebatas pusernya. Begitu ia melompat, gadis itu
terkejut dalam satu jeritan karena Blandong sudah berada
tepat di depannya. Segera Blandong merenggut tangan gadis
itu, lalu menyeretnya agak ke samping di mana tanah datar
dan berumput pendek. Tempat itu tepat di bawah pohon yang
dahannya dipakai duduk Suro Bodong.
"Jangan...! Jangan sentuh aku...! Aaa-ouhh... tidak! Aku
tidak mau...!!" gadis itu menjerit-jerit, memberontak dengan
membabi buta. Rambutnya terlepas dari ikatannya dan meriap
sebatas punggung.
4 "Taruna... lekas pegang kakinya! Pegang...!"
"Jangan. .! Ooh... biadab kalian! Kalian biadab semua!"
Taruna mendekap kaki gadis itu dengan kuat, namun kaki
indah berkulit mulus bagai busa susu itu meronta-ronta
dengan kuat juga. Taruna sempal terjengkang ke belakang.
Salah satu pegangan tangannya terpaksa lepas, namun ia
buru-buru mendekap pergelangan kedua kaki gadis itu.
"Setan...! Jahanam...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!"
Blandong bergegas meraih kain gaun di bagian dada. la
tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Berteriaklah sekuat bacotmu, Anjani...! Tak ada orang
yang bisa mendengar jeritanmu, he, he, he...!" Blandong
berusaha mencium Anjani, namun tangan Anjani berhasil
lepas dari pegangan Blandong dan mencakar wajah Blandong
dengan teriakan histeris.
"Lepaskan...! Lepaskan...! Aaaauuw...!!"
Plak...! Blandong menampar wajah Anjani dengan kasar.
"Perempuan tolol! Hanya sekali menyerah kau akan selamat
seumur hidupmu, tahu..."!"
Anjani menjerit kesakitan. Blandong mulai bergairah dan
mengganas lagi. Menyosorkan mulutnya ke leher Anjani,
sementara Taruna yang ada di bagian kaki mulai melakukan
pekerjaan tangan ke mana-mana, sehingga kaki Anjani
semakin menjejak dan meronta kian ke mari. Gaun Anjani
yang berwarna jingga itu sudah tidak lagi menutup tubuhnya
dengan rapi. Taruna berulang kali mencoba merobek gaun itu
dengan gigitan gigi, namun gaun itu bagai alot, sukar dirobek.
Dan, kebetulan setiap mulut Taruna belum lama menggigit
gaun, tahu-tahu sudah dipancal lutut Anjani. Blandong sendiri
kesulitan dalam usahanya merobek penutup dada, ia
5 menariknya berulangkali dengan kasar, namun selalu tidak
berhasil. Bahkan Anjani hampir saja terlepas.
"Sudah, tak perlu melepas gaunnya...!!" teriak Taruna
sambil salah satu tangannya bergerilya ke sela-sela hingga
suaranya menjadi serak.
"Iblis...! Setan...! Lepaskan aku, aaaa-uuh...!!" teriak Anjani
sambil mengejangkan tubuh, merapatkan kaki. Ia masih
berusaha meronta lagi, sampai-sampai Taruna terjengkang ke
belakang. Taruna bergegas bangun untuk membantu Blandong dalam
upaya menguasai Anjani. Tetapi, baru saja Taruna berdiri,
tahu-tahu kepalanya menjadi pusing sekali dan ia
sempoyongan beberapa saat. Sebuah benda menjatuhi
kepalanya. Samar-samar dilihatnya, benda itu hanyalah
sebuah jambu empuk, tetapi kerasnya bukan main waktu
menjatuhi kepalanya. Taruna tidak tahu kalau benda itu
dilemparkan oleh Suro Bodong dengan dialiri suatu kekuatan
tenaga dalamnya secara ala kadarnya. Kalau tenaga dalam
yang disalurkan Suro Bodong secara penuh, sudah tentu
kepala itu akan hancur berkeping-keping, walau hanya
dilempar jambu.
"Taruna... ayo, pegang kakinya...!" teriak Blandong. Ia
melihat temannya sempoyongan dan berulangkah mengibasngibaskan
kepala. "Hei, ada apa kau" Kenapa, Taruna?"
"Pletak...!"
Tiba-tiba sebuah jambu melesat mengenai kepala
Blandong. Lelaki berpakaian serba merah yang sudah
kedodoran itu meringis kesakitan, dan ia jatuh di atas tubuh
Anjani. "Lepaskan...! Lepaskan aku, setaaan...!!" Anjani berusaha
mendorong tubuh Blandong yang menindih dadanya. Tapi
Blandong yang merasa pusing itu masih dengan sekuat sisa
tenaganya memeluk Anjani dan berusaha merobek pakaian
6 gadis itu. Tangan Anjani memukul-mukul, mencakar-cakar
wajah Blandong. Rupanya Blandong t idak perduli dengan
cakaran itu. Suro Bodong segera melompat dari atas pohon bagai
burung elang mendarat. Bajunya yang merah lengan panjang
dan tak pernah dikancingkan itu melambai seperti kibasan
sayap elang perkasa.
Begitu kakinya menginjak ke tanah, Taruna yang mulai
berkurang rasa pusingnya itu segera menyerang dengan
pukulan ke arah punggung Suro Bodong. Tangan Suro Bodong
berkelebat ke belakang menangkis pukulan itu. Bersamaan
dengan tangkisan tersebut, kaki kanan Suro memutar ke kiri
dan menendang kuat ke arah dada Taruna.
"Huugh...!" Taruna bagai sukar bernafas. Ia menyeringai
kesakitan. Suro segera berbalik dan melompat dengan jurus
tendangan layang. Kaki itu mengenai tengkuk kepala Blandong
yang sudah berada di atas tubuh Anjani.
"Aaauuh...!!" Blandong terpental dari atas tubuh Anjani,
lalu ia bergulingan ke tanah dua kali. Ia sempat mengerang
merasakan sakit di kepalanya.
"Hiaaat...!"
Suro Bodong segera berpaling dan melihat Taruna
melayang tinggi dengan kaki kanan terarah ke wajah Suro,
sedang kaki kiri tidak menghalangi alat vitalnya, Suro akan
menyepaknya dengan kaki sambil merendahkan badan ke
arah kanan. Berhubung hal, itu akan sia-sia dilakukan, maka ia
hanya merendahkan badan ke kanan. Tubuh Taruna melesat
melalui pundak Suro Bodong. Pada saat itu, Suro segera
menghentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat dan dua
tendangan ganda tepat mengenai punggung dan pinggang
belakang Taruna. Tubuh yang melayang dan terkena
tendangan dua kali sekaligus itu tersentak ke depan dan
nyusruk ke tanah di dekat Blandong.
7 "Bangun! Kenapa masih telentang di situ kau!" bentak Suro
Bodong kepada Anjani yang menangis tersengguk-sengguk
sambil memperhatikan tubuh-tubuh yang melayang dan saling
tendang itu. Ia bagai orang tolol yang tak tahu harus berbuat
apa. Baru setelah mendapat bentakan dari Suro Bodong
Anjani bergegas bangun dan menepi di salah satu pohon. Ia
berlindung di sana dengan perasaaan takut tapi ingin tahu. Ia
memperhatikan pertarungan kedua orang yang hendak
merenggut mahkotanya dengan seorang berambut panjang
sepundak dan diikat dengan kain merah. Ia tak tahu kalau
orang berbadan besar tapi bukan gendut itu bernama Suro
Bodong. Anjani belum mengenal siapa Suro Bodong.
Yang ia tahu, gerakan lelaki berwajah lebih buruk dari
Blandong dan Taruna itu mempunyai ilmu silat yang cukup
gesit. Taruna yang tadi ditendangnya segera mencabut golok
bergagang perunggu. Sedangkan Blandong buru-buru bangkit
dan mencabut senjatanya berupa kampak bermata dua,
gagang kampaknya tidak terlalu panjang, namun di setiap
ujung gagang itu ada mata kampak yang arahnya berlainan.
Senjata itu diputar dengan cepat di sela-sela jemarinya.
Mereka berdua segera membentuk dua pusat serangan, di
sebelah kiri Suro dan sebelah kanan Suro. Tetapi, melihat
kedua lawannya siap dengan senjata dan hendak menyerang,
Suro Bodong hanya garuk-garuk kumis. Matanya bergerak
dengan lincah dan penuh kesiagaan santai.
"Sebaiknya kalian pergi saja dari sini dan tinggalkan gadis
itu," kata Suro Bodong tanpa rasa takut sedikit pun. Ia
malahan sempat garuk-garuk kumis beberapa kali.
"Kau turut campur dalam urusan ini. Maka kau harus mau
menanggung akibatnya!" geram Blandong.
"O, jelas mau. Aku mau menanggung akibatnya. Ah,
akibatnya kan hanya membunuh kalian berdua. Itu soal
keciiil...!" Suro Bodong menyentikkan jari kelingkingnya sambil
8 berkala "kecil" tadi. Taruna menggeram gemas, goloknya siap
di tangan kanan.
"Makanya," kata Suro Bodong. "Sebelum aku sempat
membunuh kalian, sebaiknya kalian kabur sajalah... lari yang
jauh sana...! Aku pura-pura kehilangan lawan, tak apa!"
"Mulut sombong bau sampah!" geram Blandong. "Kurobek
mulutmu kalau sekali lagi berkata begitu!"
"Kujahit mulutku kalau robek," ujar Suro.
"Kurobek lagi!"
"Kujahit lagi...!"
"Kurobek dan kucacah-cacah!" geram Blandong.
"Kujahit dan kutambal-tambal...!"
Taruna berteriak, "Ini bukan tempat menjahitkan mulut,
Bangsat! Ini tempat..." Taruna berbisik kepada Blandong,
"Ngomongnya bagaimana ya..."!"
"Ini hutan!" seru Blandong. "Dan aku serta temanku ini
menemukan Anjani...! Berarti kesaktiannya akan menjadi milik
kami berdua! Kalau kau menghalangi hak kami, kami tidak
segan-segan memotongmu menjadi dua puluh bagian!"
"Sudahlah tidak perlu.sesumbar. Aku tahu, kau tukang
daging...! Sebaiknya pergi saja, tinggalkan Anjani!" kata Suro
Bodong. Taruna menyahut, "Hei, kingkong...!"
"Emakmu yang kingkong!" sahut Suro Bodong dengan
membentak. Taruna sempat terkejut mendengar bentakan
keras itu. Ia kembali bicara dengan memainkan goloknya
pelan-pelan: "Kurasa kau juga ingin memiliki kesaktian Anjani, ya" Baik.
Kita tentukan saja, siapa yang berhak memiliki kesaktian
Anjani, kau atau kami berdua. Hiaaat...!!" Taruna menusukkan
9 goloknya ke dada Suro dari kiri, sementara itu Blandong
segera menebaskan kampak gandanya dari arah kanan. Suro
melompat ke depan dan berguling ke tanah sehingga ia lolos
dari serangan kedua lawannya.
Sambil berguling tadi, kedua tangan Suro Bodong berhasil
menyahut dua batu seukuran jempol kaki. Maka, begitu ia
berdiri dengan salah satu lutut menapak di tanah, kedua batu
itu melesat dari kedua tangannya. "Wes... wes...!" Kedua batu
terarah ke wajah lawannya.
"Trang...!" Taruna berhasil menangkis lemparan batu itu
dengan goloknya yang dikibaskan ke kiri. Batu yang
ditangkisnya itu ternyata terbelah menjadi dua bagian,
terpotong rapi dengan golok Taruna. Sedangkan batu yang
meluncur cepat ke wajah Blandong juga berhasil ditangkis
dengan cara memutarkan kampak gandanya dengan cepat,
sehingga menyerupai sebuah perisai. Batu itu melesat entah
ke mana. Yang jelas, Suro memperoleh kesempatan untuk
sigap berdiri menunggu serangan lawan.
"Hiaaat...!"
Blandong maju, mengibaskan kampaknya ke kanan dan ke
kiri. Suro Bodong menghindar dengan meliukkan tubuh ke


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang beberapa kali. Lalu kakinya menendang tangan
Blandong yang memegangi kampak gandanya. Tangan itu
terpental ke atas, namun kampaknya masih terpegang erat.
Begitu tangan ke atas, Suro Bodong segera maju dan berluru
menekuk hampir menyentuh tanah. Lalu dua pukulan
diluncurkan keras ke arah depan.
"Hiaaat...!!"
"Uuh...!" Blandong menggeliat kesakitan karena tulang
rusuknya bagai dihantam dengan dua palu godam yang berat.
Ia terdorong ke belakang sambil merunduk kesakitan
memegangi tulang rusuknya. Suro Bodong berdiri lalu
10 melompat. Sekali ini kaki kirinya yang menghentak kuat ke
tulang rusuk tadi.
"Krak ...'
"Aaaaaooow...!!" Blandong menjerit. Tulang rusuknya
patah, sementara jari kelingkingnya yang kuat ditendang
karena memegangi tulang rusuk itu juga ikut patah. Ia
berteriak mengaduh-aduh tak karuan.
Taruna segera bersalto di udara sambil mengibaskan
goloknya bagai hendak membelah kepala Suro Bodong. Suro
Bodong menghindar dengan cara berguling ke tanah dengan
cepat. Begitu kaki Taruna menyentuh tanah, Suro
menyengkatnya dengan cepat. "Aah...!" Taruna terpelanting
jatuh. Dalam keadaan melonjor di tanah, Suro Bodong masih
sempat menggerakkan kaki kanannya ke atas, kemudian
tumitnya dihentakkan kuat-kuat ke dada Taruna.
"Huaaggh...!" Taruna mendelik dan sukar bernafas, karena
ulu hatinya dihantam oleh tumit Suro Bodong.
Tahu-tahu, Blandong masih sempat melemparkan kampak
gandanya yang ditiap ujung gagang ada mata kampaknya.
Kampak itu melayang berputar-putar bagai baling-baling. Suro
Bodong tak punya kesempatan menghindar kecuali dengan
cara merebahkan kepala rapat-rapat dengan tanah. Kampak
itu berputar dan melesat di depan hidung Suro Bodong. Kalau
saja kala itu Suro tidak tiduran di tanah, terangkat sedikit,
mungkin hidungnya akan gompal, atau mungkin pula bibirnya
yang robek ke mana-mana dihantam putaran kanmak itu. Baru
saja Suro hendak bangun, eh kampak itu membalik sendiri.
Kali ini melewati atas perut Suro Bodong dalam putaran
seperti roda berjalan, bukan seperti piting berputar. Maka, tak
ada kesempatan untuk menghindar kecuali tetap merebah
ditanah dan perut Suro dikempiskan sekecil mungkin dan
serendah mungkin.
11 Benar-benar udel bodong itu nyaris terbelah menjadi dua
bagian, kalau saja perut Suro yang agak besar itu tidak
dikempiskan serendah mungkin. Begitu kampak telah lewat,
Sueo segera menghentakkan tangannya dengan kaki
melengkung ke belakang. Tangan menghentak, dan tubuh
Suro yang sedikit besar itu mampu melonjak dengan kedua
kaki menapak di tanah.
"Jleeg...!"
"Hiaaat...!" Taruna mengibaskan pedangnya dalam
keadaan berdiri menyambut tubuh Suro. Kibasan golok itu
begitu cepat dan di luar dugaan, sehingga Suro Bodong
terlambat menghindar. Akibatnya ujung golok itu sempat
menggores perut Suro Bodong dan menimbulkan luka yang
panjang. Darah mengalir keluar, tapi tidak deras. Luka itu pun
tidak begitu parah. Hanya seperti terkena goresan ujung duri.
Suro Bodong mundur sambil membungkuk. Taruna
mengejarnya dengan tebasan golok ke arah wajah dan leher.
Satu-satunya kesempatan menghindar adalah melompat
tinggi. Dan hal itu dilakukan Suro Bodong. Kakinya
menghentak ke tanah, lalu tubuhnya melesat ke atas. Tangan
Taruna molos ke bawah, menebas tempat kosong.
Saat itu adalah kesempatan bagi Suro untuk melancarkan
tendangan ke bawah. Kaki kanan Suro bagai menjejak ke
bawah dan mengenai pundak Taruna.
"Aaauh...!!" Taruna memekik kesakitan. Pundak kanannya
terasa ngilu dan tadi terdengar suara berderak bagai tulang
retak. Tangan kanan Taruna menjadi lemas, lunglai dan tak
mampu memegang goloknya.
Begitu kaki Suro Bodong mendarat ke tanah, ia bermaksud
menendang kepala Taruna. Tetapi dari arah kirinya, Blandong
maju dengan terhuyung-huyung menahan sakit di rusuk. Ia
hendak mengibaskan kampaknya ke arah Suro. Mau tak mau
12 Suro Bodong melompat lagi. Sambil melompat ke atas kedua
kakinya terentang seketika.
"Hiaaat...!"
Kedua kaki itu sama-sama menghentak ke samping dan
mengenai lawan. Blandong terjengkang dengan wajah
membiru karena terkena tendangan kaki kiri Suro Bodong,
sedangkan Taruna terpelanting mencium tanah karena
punggungnya terkena tendangan kaki kanan Suro. Keduanya
sama-sama menjerit kesakitan.
Blandong berguling beberapa kali sambil mengaduh-aduh,
lalu ia segera bangkit dan melesat melarikan diri. Suro Bodong
semula ingin mengejarnya, tapi ia merasa tak perlu sampai
memburu. Blandong belum bisa dijadikan lawah gigih dalam
pertarungan. Tapi Taruna..." Ah, sama saja. Taruna pemuda
yang punya keuletan, tapi tidak mempunyai keberanian yang
cukup. Ilmu silatnya boleh juga, hanya saja tidak berarti apaapa
jika melawan Suro. Sebab itu, Suro tidak menghajar
Taruna terus-menerus. Bahkan ketika Blandong telah
melarikan diri, Taruna masih menggeloso nungging-nungging.
Suro Bodong mencolek pinggang Taruna dengan kakinya dan
berkata: "Hei, hei... kau ditinggalkan kabur sama temanmu, tuh...!"
Taruna segera bangkit dengan menyeringai dan mengaduhaduh.
Pundaknya terasa sakit sekali dan tak mampu sejajar
dengan pundak kirinya. Matanya mengerjap memandang
kesekeliling. Ternyata Blandong sudah pergi. Celaka. Dia
sendirian dan itu berarti Blandong membiarkan dirinya mati
oleh lawan. Suro Bodong berkata, "Ke sana dia larinya...!"
"Terima kasih, Pak...!" Taruna segera ikut melarikan diri
searah dengan kepergian Blandong menurut petunjuk Suro.
Suro Bodong tersenyum dan garuk-garuk kumisnya yang
tebal. Kemudian ia ingat Anjani, gadis bergaun jingga yang
ditolongnya dari usaha pemerkosaan Blandong dan Taruna.
13 Tapi, hei... ke mana gadis itu"! Suro memandang kian ke mari,
tapi tidak menemukan di mana Anjani bersembunyi.
"Kucing kurap...!" gerutu Suro. "Sudah ditolong malah pergi
begitu saja. Tidak tahu terima kasih...!"
Suro Bodong masih sibuk mencari kemungkinan Anjani
pergi. Tapi... tak terlihat tanda-tanda ke mana arah kepergian
Anjani. Ia berseru, "Anjaniiii..."! Anjani di mana kau..."!"
Lalu ia menggerutu setelah beberapa saat tak terdengar
batang hidungnya! Ah, mungkin hidungnya memang tidak
mempunyai batang!
Suro Bodong bersungut-sungut. Ia masih teringat kata-kata
Blandong dan Taruna tentang kesaktian. Benarkah mereka
bermaksud merebut kesaktian Anjani" Ah, kesaktian apa"
Yang Suro ketahui, Anjani tidak bisa melepaskan diri dari
cengkeraman Blandong. Ia bahkan nyaris berhasil diperkosa
oleh Blandong. Dan lagi, kesaktian macam apa itu sehingga
direbutnya dengan cara memperkosa.Anjani"
"O, ya, ya, ya..." kata Suro sendirian. "Kesaktian itu adalah
mahkota. Maksudnya, mahkota seorang perawan ibarat
kesaktian yang harus dipertahankan. O, begitu maksud katakata
mereka. Uuuh... sial! Kupikir kesaktian yang
sebenarnya...!" gerutu Suro dibawanya pergi.
Ia melangkah manuju arah Barat, tempat di mana
Kesultanan Praja berada. Bagaimanapun juga, sebagai
seorang Senopati Kesultanan Praja, Suro harus kembali ke
sana dan melaporkan hasil kunjungannya ke Biara Biku
Mahendra. Ia membawa hasil yang menggembirakan bagi
Kesultanan, bahwa Biara Biku Mahendra akan siap membantu
Kesultanan Praja sewaktu-waktu dalam kesulitan. Mereka
bukan lawan, namun kawan yang datang dari negeri sebrang.
Mereka datang hanya ingin mengembangkan agama dan
mengajarkan hidup bersaudara
14 Langkah kaki yang menuju Barat terhenti. Suro Bodong
menelengkan telinganya, menyimak suatu suara yang samarsamar.
Ia mengerutkan dahi dan dalam hatinya berkata:
"Ya. Benar. Itu suara perempuan menangis meratap-ratap.
Hemmm... siapa perempuan itu" Sepertinya suara Anjani!"
Suro menyusuri semak bagian kiri, menuju suara tangis
perempuan. Dan Suro yakin, itu tangis dari Anjani. Tadi,
sewaktu Anjani hampir berhasil diperkosa Blandong, Suro
sempat merekam suara tangisnya dalam otak. Jadi dia bisa
mengetahui kalau suara tangis yang kali ini di dengar adalah
suara tangis Anjani.
"Kenapa, ya...?" Suro bertanya sendirian sambil melangkah
mendekati suara yang semakin jelas. "Sepertinya tadi ia belum
berhasil diperkosa, kenapa menangis" Apa dia menyesal gagal
diperkosa" Ah, ndak mungkin. Tapi... bisa saja menjadi
mungkin, ya...?"
Suro Bodong berkecamuk sendirian sambil berusaha
menerobos rirnbunan semak berduri. Untung ia punya ilmu
peringan tubuh yang cukup sempurna, sehingga tubuhnya
yang besar namun tidak gemuk itu mampu berjalan di atas
duri yang tidak terlalu runcing. Dalam waktu beberapa saat,
akhirnya sampai pula Suro ke sebuah pohon besar berakar
pipih, seperti dinding sebuah bangungan. Di sela-sela akar
besar yang pipih itu, Suro melihat Anjani dengan pakaian
Jingganya sedang bersimpuh, menangis di depan sesosok
tubuh lelaki. Suro Bodong mendekat, dan semakin jelas, bahwa lelaki itu
masih muda, kira-kira seusia dengan Blandong, tetapi dadanya
terluka lebar dan lehernya pun hampir putus. Anjani
memandang kehadiran Suro Bodong dengan takut. Tangisnya
semakin keras. Suro merasa tersinggung melihat Anjani
ketakutan padanya. Lalu ia berkata:
15 "Memangnya aku setan..."! Kenapa kau ketakutan" Kau
seharusnya berterima kasih karena telah kuselamatkan dari
usaha pemerkosaan tadi. Coba kalau aku diamkan dan
kutonton saja... uh, bisa kacau sendiri perasaanku!"
Anjani masih terisak-isak dan memojok pada suatu rongga
akar. Ia memandang Suro dengan ngeri. Suro yang berambut
sepundak dan acak-acakkan itu segera merapikan diri,
membetulkan letak ikat kepalanya. Lalu berkata,
"Apakah tampangku masih seperti rampok...?"
Anjani mengisak, tapi juga mengangguk. Suro Bodong
menggerutu dalamhati. Ia menghela nafas dengan kesal.
"jangan takut! Aku tidak seperti mereka! Aku tidak
bermaksud menyakitimu. Aku orang baik-baik...!"
"Kau... kau tidak ingin memperkosaku juga, kan?"
"Apa kau menghendaki begitu?" kata Suro Bodong, lalu ia
memperhatikan mayat lelaki yang terbujur dengan tangan
masih memegangi pedang.
"Siapa orang ini" Kekasihmu?"
Anjani menggeleng, masih terisak dan takut.
"Suamimu?"
Anjani menggeleng lagi.
Suro menggumam, memperhatikan mayat yang terluka
cukup mengerikan.
"Bapakmu, ya"!" tanya Suro dengan ketus.
Anjani masih juga menggeleng sambil menggigit jari.
"Lalu siapa" Kakekmu atau siapa..." Ngomong! Jangan
hanya bisa mengggeleng saja seperti wayang golek!"
Dengan susah payah karena disekap tangis, Anjani berkata
dengan terputus-putus: "Di... dia... dia... dia... dia..."
16 "Dia siapa"!" bentak Suro tak sabar.
"Pe... pe..."
"Pelaut"!"
Anjani menggeleng. "Pe... pelayan... pelayanku...!"
"Pelayanmu" O, kalau begitu, kau anak bangsawan, ya?"
"Bangsa... bangsa..." Anjani mengangguk. "Bangsa
Padria...!"
"O, bukan bangsawan tapi Bangsa Padria" Aah... masa
bodo apa katamu sajalah...! Lantas, mau ke mana kau"
Kenapa di hutan" Kamu tidak tahu, kalau di hutan itu banyak
pohonnya!"
"Bahaya! Jangan masuk hutan sembarangan!" Suro masih
ketus saja. "Ak... aku mau pulang, tapi... tapi tempatku jauh... Di
sana... jauh. Dan... aku tak berani pulang sendirian...! Aku
dikejar-kejar banyak lelaki rakus...! Oh, tolonglah aku, Orang
Baik...!" Suro Bodong tolak pinggang sambil menggumam, ia
memperhatikan mayat lelaki itu, tapi pikirannya ke Anjani.
-oo0dw0oo- 2 Matahari bergeser ke Barat tanpa diperintah. Suro Bodong
masih berjalan di belakang Anjani. Sejak tadi ia memang tidak
mau berjalan bersamaan, karena dengan berjalan di belakang
Anjani ia dapat menikmati keindahan lekuk tubuh gadis itu.
Suro Bodong tak dapat menipu hatinya, bahwa ia sangat
mengagumi keindahan tubuh Anjani. Selain padat, sintal dan
sexy, pinggul perempuan itu juga mengundang selera bagi
17 lelaki siapa saja. Pinggul itu bergerak bagai ayunan yang
mampu menerobos ketabahan gairah seorang lelaki. Pinggul
itu bagai melambai, mengundang ajakan untuk mengusap dan
meremasnya. Memandang Anjani dari belakang sesungguhnya lebih aman
dari pada harus memandang dari depan. Suro sempat merasa
tidak aman ketika memandang tubuh Anjani dari depan.
Jantungnya sesekali terasa terhenti melihat keindahan dada
Anjani. Dada itu tidak terlalu montok, namun menantang, bak
buah yang ranum menyegarkan. Semburat kehalusan kulitnya
yang memancarkan warna sejuk itu semakin jelas terlihat


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewat belahan dadanya yang tersembul sedikit, menggoda
mata setiap lelaki. Apalagi jika Suro sempat memperhatikan
wajahnya dengan teliti, wow...! Ludah Suro tertelan di luar
kesadaran. Bibir yang dipandangnya itu sepintas memang
hanya mengandung keindahan yang mengagumkan. Tetapi,
apabila ditatap terlalu lama, bibir itu bagai memancing birahi
dengan kesegaran yang merekah, seakan hanya satu kecupan
yang pulen dan membuat hati berdebar-debar. Bibirnya yang
halus lembut sangat membangkitkan gairah untuk
mengusapnya dengan hidung, atau dengan mulut perlahanlahan.
Gemetar lutut Suro jika memperhatikannya.
Belum lagi matanya yang berbulu lentik dan lebat. Mata itu
mempunyai tepian yang berwarna biru kehitam-hitaman.
Memang sangat tipis. Hanya dengan cara memperhatikan
dengan teliti baru akan menemui, betapa indahnya sepasang
mata yang bagai memiliki garis birahi pada tepiannya. Sorot
matanya itu tajam, namun sesekali meredup dan
menghadirkan sejuta khayalan asmara yang menggelisahkan
jiwa. Apabila mata itu berkedip, bagai suatu ajakan untuk
bercumbu dalam kobaran cinta yang tak mengenal tempat dan
waktu. Alisnya sendiri sangat mendukung keindahan mata itu.
Alis itu memang tebal, tapi teratur rapi, dari tebal di bagian
tengah kian melengkung kian tipis, namun terlihat jelas
18 ketipisan itu masih mempunyai bulu-bulu lembut yang seakan
enak diusap dengan ujung bibir.
Kebeningan mata dengan bagian tengahnya hitam
kecoklat-coklatan itu bagai memantulkan bayangan yang
bangis. Ujungnya runcing, tapi teratur indah, membentuk dua
lubang yang kelihatan manis, enak di pandang. Apalagi
dipadukan dengan lehernya yang ti-da k terlalu jenjang, juga
tidak pendek. Seakan kulit leher yang mulus lembut tanpa
goresan sedikit pun itu adalah sebuah bentangan sutra yang
nikmat disentuh-sentuh dengan lidah.
Suro Bodong pernah memperhatikan rambutnya yang
sepanjang punggung itu. Rambut itu bagai sekumpulan
benang-benang sutra yang lembut dan lemas dalam
kebeningan warna hitamnya. Jika digerakkan, rambut itu
meriap dengan gemulai. Tanpa ikal, tanpa gelombang. Lurus
tapi halus. Sesekali rambut itu berjatuhan di dada, mungkin
tujuh atau sembilan helai yang meriap di dada, dan hal itu
membuat belahan dada Anjani semakin kelihatan
menggairahkan. Kalau saja ia mengenakan gaun yang tebal, orang masih
bisa tergiur lemas oleh keindahan tubuh dan wajahnya,
apalagi saat ini Anjani mengenakan gaun Jingga yang tipis,
oooh... ada kalanya Suro Bodong tak sanggup memperhatikan
gadis yang menawan itu. Gaun itu memang berlipat-lipat pada
bagian perut ke bawah, ujung kain halus itu berjatuhan di
betis yang indah dan mengesankan. Tetapi tadi, ketika Taruna
nekad menyingkapkan, Suro Bodong sudah hampir saja jatuh
dari atas pohon karena berdebar-debar hatinya melihat
kemulusan yang lembut itu.
"Masih jauhkan tempat t inggalmu," Suro Bodong
menghalau lamunannya tentang tubuh Anjani dengan berseru
begitu, Anjani berhenti melangkah, berpaling ke belakang
dengan pundak ikut memutar sedikit dan kaki kiri merenggang
ke belakang, la memandang Suro Bodong, dan sebuah letupan
19 yang menyesakkan pernafasan dialami oleh Suro Bodong,
sampai-sampai ia menghela nafasnya dalam-dalam.
"Apakah kau lelah, Suro?"
Suara yang renyah, bening dan sedikit mempunyai
keserakan halus itu juga sering menggoda hati Suro Bodong.
"Tidak. Aku tidak lelah. Aku hanya ingin tahu, apakah
rumahmu masih jauh atau dekat," kata Suro Bodong seraya
menatap ke alam lain.
"Tak berapa lama lagi kita akan sampai," kata Anjani.
Ia sengaja tidak meneruskan langkah, menunggu Suro
Bodong mendekat. Suro terpaksa melangkah dan Anjani
mengimbangi dalam gerak sejajar.
"Apa kau belum pernah mendengar nama Bukit Maya?"
tanya Anjani sambil melangkah. Suaranya yang enak di dengar
dan mengandung impian basah itu jelas sekali di dengar oleh
Suro Bodong. Hati Suro menjadi sering resah dan mendesahdesah.
"Aku baru sekarang mendengar nama Bukit Maya," kata
Suro tanpa memandang Anjani. Tetapi Anjani berpaling dan
tersenyum memperhatikan Suro Bodong.
"Kalau begitu, anggap saja kau menemukan tempat lain
yang belum pernah kau dengar namanya. Kurasa kau akan
senang jika berada di Bukit Maya, tempat tinggalku."
"Mudah-mudahan tidak begitu," katanya, sebab Suro takut
merasa betah di sana lantas lupa pulang ke Kesultanan Praja.
Hutan mulai meremang. Kalau gelap tiba, hutan itu akan
menjadi pekat. Mungkin sebutir beras pun tak akan kelihatan.
Karena sebatang pohon besar bisa hilang dari pandangan
mata jika malam mulai menyelimuti hutan itu. Suro Bodong
memikirkan perjalanan malam. Haruskah mereka tetap
melangkah, atau berhenti mencari tempat bermalam"
20 Akhirnya diputuskan untuk mencari tempat bermalam saja,
sebab melanjutkan perjalanan malam merupakan hal yang
berbahaya bagi Anjani yang mempunyai tanda-tanda
kemanjaan itu. "Ke mana kita akan bermalam nanti"' tanya Anjani ketika ia
pun mulai memikirkan keremangan petang.
"Aku sedang memikirkannya."
"Apakah di sini tidak ada penginapan?"
Suro Bodong setengah menggerutu mendengar pertanyaan
seperti itu. Sudah tahu mereka berada di tengah hutan, masih
saja pakai bertanya begitu. Konyol!
"Kau cemberut terus, Suro. Kenapa?" Anjani memandang
Suro dengan melangkah lebih cepat, lalu berbalik dan
melangkah mundur sambil memperhatikan wajah Suro
Bodong. Kikuk sekali Suro diperhatikan seperti itu. la buang
muka, dan berkata:
"Jangan memandangku begitu! Kau dalam bahaya, tahu!"
"Dalam bahaya"!" Anjani terkejut dan segera mendekat ke
Suro Bodong. Suro semakin gemetar sendiri.
"Kau semakin bahaya, Anjani...!"
Gadis itu berpaling ke sekeliling memperhatikan dengan
wajah ketakutan. Tangannya telah memegang erat baju
merah Suro Bodong dan ia pun berkata:
"Bahaya apa..." Bahaya apa yang mengancamku..." Oh...!"
Anjani tak tahu, bahaya yang dimaksudkan Suro Bodong
adalah ledakan birahi Suro yang nyaris tak mampu ditahannya
lagi itu. Dadanya bergemuruh saat diperhatikan Anjani,
seakan-akan ia di dorong oleh suatu kekuatan untuk
mendekap Anjani. Tapi Suro Bodong tetap bertahan untuk
tidak mau melakukan.
21 Tapi, ketika Anjani semakin dekat dan memegang baju
Suro Bodong, dada Suro bagai retak. Perih dan tangannya
gemetar. Keinginan untuk memeluk Anjani semakin meledakledak,
membuat pandangan mata Suro berkunang-kunang.
Anjani tak tahu kalau keadaannya yang semakin mendekat
membuat bahaya bagi Suro dan dirinya sendiri.
Suro berhenti melangkah. Memejamkan mata, menarik
nafas perlahan-lahan dan menyimpannya di dalam dada.
Itulah cara Suro Bodong menjaga keseimbangan nafsunya. Ia
melakukan hal itu berulang kali hingga ia memperoleh
ketenangan kembali. Anjani memperhatikan dengan heran,
lalu ia bertanya:
"Apakah aku masih dalambahaya, Suro?"
"Tidak...!" Suro menghempas. "Sudah berlalu..." katanya
dengan lemas. "Agaknya... kau orang sakti, ya?" cetus Anjani sambil
melangkah lagi beriringan.
"Kenapa kau bilang begitu?" Suro garuk-garuk kumisnya
yang tebal. "Kau bisa mengusir bahaya dengan memejamkan mata dan
menarik nafas dalam-dalam. Aku kagum dengan caramu
mengusir bahaya...."
"Kagum karena kehebatan cara seperti itu?"
"Kagum karena ketabahanmu menggunakan cara kuno itu,"
jawab Anjani, lalu ia tertawa. Giginya yang putih bak barisan
mut iara itu dipamerkan seirama dengan gelak tawa yang
mengandung desah serak yang bening.
Lalu, suara tawa itu hilang. Langkah kaki itu berhenti.
Anjani bergegas ke belakang Suro Bodong. Anjani dicekam
perasaan takut, karena seorang lelaki brewok bersenjata dua
pedang turun dari atas pohon dan menghadang langkah
mereka. Suro Bodong secara refleks merentangkan kedua
22 tangannya bagai memagari Anjani. Mata Suro Bodong
menatap lurus setelah bergerak cepat menyelidiki sekeliling,
dan ia tahu lelaki brewok berbadan besar itu hanya sendirian.
Kepalanya botak bagian tengah, rambutnya meriap ke bawah
berwarna coklat jagung. Kelihatannya alot juga lelaki itu,
karena badannya tampak kekar dan berotot. Ditambah lagi, ia
menyandang dua pedang di punggung yang sama
panjangnya. "Siapa kau...!" Suro Bodong membentak lebih dulu. Ini
sudah merupakan kemenangan mental bagi Suro Bodong,
daripada ia dibentak lebih dulu oleh lawannya.
"Apa kau belum mengenal namaku, Suro Bodong?"
Lelaki brewok itu bersuara besar, cukup mendirikan bulu
kuduk Anjani. Ia sudah mengenal Suro Bodong, tapi agaknya
Suro Bodong belum pernah bertemu dengannya.
"Kau Suro Bodong, Senopati Kesultanan Praja itu, bukan"
Kau yang berjuluk Pendekar Tujuh Keliling. Iya, kan?"
"Benar. Kau tahu namaku dari siapa?"
Lelaki brewok itu tersenyum sinis. "Namamu cukup
kondang di kalangan pendekar. Kau tak perlu merendah di
hadapanku. Kita sama-sama cukup kondang di dunia
persilatan. "Mungkin namaku memang sudah kondang, tapi namamu
belum. Buktinya aku belum tahu siapa kamu," kata Suro
mencoba merendahkan mental lawannya.
Lelaki brewok itu tertawa dengan suara besar, bagai ditelan
sendiri ke dalam perut. Suro Bodong memperhatikan
pakaiannya yang mirip baju Suro, hanya warnanya yang
berbeda. Lelaki itu mengenakan baju lengan panjang tanpa
dikancingkan dan berwarna hitam. Sedangkan baju Suro
merah. Celana Suro biru, sedangkan celana lelaki itu abu-abu.
Suro mengenakan ikat pinggang kuning, lelaki itu juga berikat
23 pinggang kuning. Suro mengenakan ikat kepala merah, tapi
kepala lelaki itu tidak diikat-ikat apa pun. Wajah Suro kasar,
berkumis tebal dan beralis tebal, tetapi lelaki itu lebih kasar
lagi dengan brewoknya yang menutup mulut.
"Suro... sebagian orang mengatakan, kau sombong. Tetapi
bagiku t idak. Kau bukan sombong, melainkan bodoh."
"Ya. Kurasa memang begitu. Lantas mau apa, kau?" Suro
berpenampilan tenang.
"Aku Jagal Iblis dari Lembah Siluman. Apa kau belum
pernah mendengar nama itu?"
"Ooo..." Suro manggut-manggut. "Kau yang bernama Jagal
Iblis" Kau yang menjadi penguasa Lembah Siluman?"
Lelaki yang mengaku bernama Jagal Iblis itu tertawa
menyeramkan. Anjani semakin memegangi baju Suro dari
belakang dengan gemetar.
"Suro... aku takut..." Anjani merengek seperti anak kecil.
"Tenang... ia cuma seram di nama sama di brewok...
sebetulnya ia tidak terlalu berbahaya. Tenang saja," bisik Suro
kepada Anjani. Agaknya Jagal Iblis mendengar bisikan pelan
itu sehingga ia menggeram seperti singa melihat tikus.
"Aku tahu kau pernah mengalahkan Siluman dari Utara,"
kata Suro. "Aku juga mendengar cerita tentang dirimu yang
berhasil mengusir pasukan Singosari dari wilayahmu. Dan,
kabarnya kau pun pernah mengalahkan tentara Prabu
Baladara dari Kerajaan Lesan-mitra. Tetapi semuanya tidak
ada hubungannya dengan diriku, bukan?"
Jagal Iblis tersenyum sinis, hampir tak terlihat karena
tertutup kumis dan brewoknya yang amburadul itu.
"Aku datang memang tidak ada sangkut pautnya dengan
kemenanganku itu, Suro Bodong."
"Lalu, untuk apa kau menyangkut-nyangkut di depanku?"
24 Mata Jagal Iblis memandang Anjani menyeringai mirip iblis.
"Suro...! Aku tidak ingin mengadakan permusuhan
denganmu, tetapi aku hanya menghendaki perempuan yang
ada dibelakangmu itu."
Suro berkerut dahi. Jagal Iblis berkata lagi:
"Tolong, jangan timbulkan permusuhan di antara kita.
Berikan perempuan itu dan aku akan pergi, tidak akan
memusuhimu. Malah kalau kau punya musuh, bilang padaku,
biar aku yang membereskan musuh-musuhmu. Asal... Anjani
kau serahkan kepadaku."
"Hei, Iblis...!" kata Suro seenaknya. "Itu sama saja kau
mau melangkahi mayatku, tahu"! Lagi pula untuk apa kau
bernafsu sekali ingin memiliki perempuan ini. Dia memang
bukan milikku, tapi dia ada dalam tanggung jawabku. Kalau
dia lepas dariku berarti nyawaku terlepas dulu dari ragaku.
Jelas. Paham, Nyong..."!"
Jagal Iblis menggeramdengan mata mulai melotot ngeri.
"Lancang sekali mulutmu bicara, Suro!!"
"Dibilang lancang ya tidak, aku kan bicara apa adanya.
Anjani minta dikawal aku. Aku sanggup. Tentu saja aku yang
akan menjadi pembelanya dalam setiap perkara. Kan begitu?"
"Lama-lama bicaramu memerahkan telinga!" geramJagal.
"Ah, tidak usah mendengar kata-kataku, telingamu
memang sudah merah sejak labu ..!" Suro bicara enak saja.
Jagal Iblis membentak, tak sabar.
"Serahkan Anjani, atau kita bertarung sampai mati"!"
"Kalau soal tarung sampai mati," kata Suro masih tenang
saja. "Aku sebenarnya tidak menyukai pertarungan. Juga tidak
menyukai kematian. Tapi... kalau terpaksa yah... anggap25
anggap kita becanda saja. Silahkan, kau memilih bertarung
atau memilih mati."


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat kau, Suro... hiaaat...!!"
"Hap... hap... hap... hap...!"
Suro Bodong menangkis setiap pukulan beruntun dari Jagal
Iblis. Ia tak dapat maju menyerang, karena bajunya dipegang
terus oleh Anjani, tapi tangannya tetap menangkis setiap
pukulan Jagal Iblis tanpa melihat gerakan lawan.
"Cepat lepaskan...! Aku tidak bisa bergerak bebas, tolol!"
"Aku takut..." rengek Anjani manja.
"Aku juga! Tapi kita t idak boleh kalah...! Lepas...!"
Plak... plak... plak....
Tangan Suro Bodong beradu dengan tangan Jagal Iblis
sekali pun Suro Bodong tidak melihat gerakan tangan lawan.
"Buug...!"
Kali ini Suro Bodong terkena pukulan tangan kanan Jagal
Iblis. Perutnya terasa mules dan ia menyeringai sambil agak
menunduk menahan sakit di perut. Kaki Jagal Iblis menendang
dengan lompatan kecil.
"Aaauww...!!" Suro Bodong mengaduh, kepalanya
terdongak sampai ke belakang akibat tendangan lawan.
"Setan! Lepaskan bajuku...!"
"Aku takut... takut sekali...!" Anjani merengek seperti anak
kecil dengan genggaman baju semakin kuat.
"Mampus kau, Suro... hiaat...!!"
Jagal Iblis menghantamkan tinjunya yang kekar itu
serentak ke depan, ke arah dada Suro Bodong. Dengan
keadaan yang terbatas karena tak mampu bergerak, Suro
Bodong mengibaskan kedua tangannya naik ke atas. Kedua
26 tangan Jagal Iblis menghantam ke atas kepala Suro. Saat itu,
Suro Bodong menggunakan jurus Pukulan Babi Buta. Kedua
tangannya menghantam dada Jagal Iblis secara tepat dan
cepat. Tujuh kali beruntun pukulan tangan kiri mengenai dada
Jagal Iblis, dan tujuh kali beruntun tangan kiri Suro memukul
ulu hati lawannya hingga tubuh Jagal Iblis terpental ke
belakang dengan sempoyongan....
Suro Bodong melemaskan semua tangannya, sedikit ditarik
ke belakang, lalu "Seet...!" Baju itu dapat lepas dari tubuhnya
dengan cepat karena kedua tangannya dapat meloloskan diri
dari lengan baju yang dipegangi An-jani.
Lebih baik begitu, tanpa baju namun bebas bergerak.
Sebab gerakan Jagal Iblis terasa begitu cepat dan mantap.
Kalau tidak diimbangi dengan kelincahan gerak, Suro Bodong
bisa muntah darah karena pukulan Jagal Iblis.
"Suro..." Jangan tinggalkan aku...!" Anjani hendak berlari
mendekat. "Tinggalkan ke mana" Aku saja tidak bisa lari, apalagi
kamu. Lihat tuh, Jagal Iblis sudah menyiapkan serangan. Ayo
sana... sana jangan mendekati aku...!"
"Hiaaaat...!" Jagal Iblis melompat dengan kaki kanan lurus
ke depan. Begitu hampir menyentuh kepala Suro, dengan
cepat kaki kanan di tarik mundur dan kaki kiri segera
melayang lewat samping.
Gerak tendangan tipuan itu hampir saja membuat kepala
Suro Bodong pecah. Untung ia punya perasaan yang peka.
Dan dengan kibasan tangan kanannya yang membuang ke
kanan, kaki kiri Jagal Iblis bisa ditangkisnya, sekali pun terasa
cukup linu di lengan Suro Bodong.
Kibasan lengan kanan Suro itu tidak sekedar menangkis,
namun disertai tenaga menghentak, sehingga keseimbangan
Jagal Iblis sedikit goyah. Ia mendaratkan kakinya ke tanah
27 dengan limbung. Suro menyempatkan menggunakan jurus
tendangan samping.
"Rasakan yang ini, hiaaat...!!"
"Huugh...!" punggung Jagal Iblis menjadi sasaran
tendangan samping Suro Bodong. Saat itu, Anjani berlari
sembunyi dibalik pohon, karena takut disergap Jagal Iblis.
Tendangan Suro tidak membuat tubuh lawan jatuh,
melainkan hanya membuat tubuh lawannya sempoyongan
nyaris menabrak sebuah pohon. Tangan Jagal Iblis segera
memegangi pohon itu daripada wajahnya yang membentur di
pohon. Ia segera berbalik, dan menggeram dengan mata liar
memandang Suro Bodong.
Suro tidak meneruskan serangannya, karena dilihatnya
Jagal Iblis sedang menyiapkan pukulan jarak jauh. Kaki Jagal
Iblis merenggang, lalu merendah dengan gemetar. Kedua
tangannya mengembang dengan telapak dan jari menyerupai
cakar harimau. Kedua tangan itu ada di atas kepalan samping,
menekuk sedikit dan gemetaran keduanya.
Suro Bodong tak mau tinggal diam. Jurus Tapak Geni di
manfaatkan. Suro Bodong segera meludahi kedua telapak
tangannya, lalu saling digosokkan tujuh kali. Tidak lebih.
Waktu Jagal Iblis menghentakkan kedua tangannya ke depan
dengan posisi telapak tangan terbuka lebar. Dari telapak
tangan Suro Bodong mengeluarkan sinar kecil-kecil sebesar
jarum berwarna merah. Sinar merah itu beradu dengan
cahaya hijau muda dari tangan Jagal Iblis, lalu terjadilah
ledakan yang mengguncangkan beberapa pepohonan.
"Duaaarr...!!"
Tubuh Jagal Iblis terpental mundur beberapa langkah.
Anjani yang bersembunyi di balik pohon menjerit ketakutan.
Posisinya ada di sebelah kiri Jagal Iblis. Mendengar jeritan itu,
Jagal Iblis segera berlari ke tempat persembunyian Anjani. Ia
bermaksud membawa lari Anjani, tetapi jurus Tapak Geni Suro
28 masih bekerja, sehingga dengan satu hentakkan ke depan,
meluncurlah sinar merah sebesar jarum, jumlahnya puluhan
sinar. Jagal Iblis terpaksa bersalto ke belakang, karena jalan di
depannya telah dihadang oleh kilatan sinar dari tangan Suro
Bodong. Sinar itu menghantam pohon di seberang sana.
Kemudian pohon itu mengepulkan asap dan terbakar. Suro
buru-buru berdiri melindungi An-jani dalam jarak lima langkah
dari Anjani. jagal Iblis segera mencabut dua pedangnya dari punggung.
"Suro... terimalah jurus-jurus Pedang Kembaran ini!"
"Yah... coba-coba sajalah...!" kata Suro dengan santai.
Namun sebenarnya hatinya cukup tegang. Ia mengerahkan
ketenangannya begitu melihat pedang Jagal Iblis saling
mengibas ke kanan kiri dengan cepat sehingga terdengar
desingannya. Angin kibasan itu membuat beberapa daun
muda rontok dan Suro Bodong sempat menghela nafas
menenangkan diri.
"Belum ada lawan yang luput dari jurus pedang ini, Suro.
Jadi harap kau pertimbangkan sikapmu itu!" kata Jagal Iblis
dengan sombong.
Suro hanya tersenyumsinis dan berkata:
"Tetanggaku seorang tukang kayu, dia juga pandai
memainkan jurus seperti itu. Tapi nasibnya malang, ia mati
menelan pedangnya sendiri."
"Hiaaat...!!" Jagal Iblis merasa tersinggung hanya dengan
kata-kata seperti itu. Karenanya, ia segera melesat dengan
pedang menebas ke kanan dan ke kiri. Kecepatannya luar
biasa, sehingga waktu tubuhnya melayang menuju Suro
Bodong, tak ada yang bisa dilakukan Suro kecuali buru-buru
berguling ke tanah sampingnya. Gerakan berguling itu cukup
cepat, dalam waktu beberapa saat saja Suro Bodong telah
29 menjauh dari Jagal Iblis, lalu buru-buru berdiri tegak
menunggu gerakan selanjutnya.
Jagal Iblis merasa tertipu dengan gerakan Suro Bodong.
Kibasan Pedang Kembarnya tidak mengenai apa-apa,
sementara ia sendiri segera menggeram dan memandang Suro
dengan ganas. Jagal Iblis segera melompat dan bersalto beberapa kali.
Tahu-tahu setelah dekat dengan Suro Bodong pedangnya
menebas leher Suro dengan cepat, dan satu pedang lainnya
menusuk ke arah samping Suro Bodong. Hampir saja Suro
Bodong terkena tusukan, sebab ketika ia miring ke kiri,
ternyata disambut dengan ujung pedang itu. Maka Suro pun
buru-buru meliukkan badannya ke bawah dan tangannya
berhasil menghantam mata kaki Jagal Iblis.
"Praak...!"
"Aaauuuhh...!!" Jagal Iblis yang berwajah sangar itu
menjerit kesakitan. Mata kakinya dihantam Suro Bodong
dengan kekuatan penuh. Mata kaki itu pecah, paling tidak
bergeser dari tulang lainnya. Jagal Iblis menyeringai dan
mengaduh-aduh. Ia tak mampu lagi berdiri. Keringatnya
mengucur dan giginya menggeletuk sambil ia mengerang
kesakitan. Mata Jagal Iblis semakin buas memandang Suro
Bodong. Suro sengaja tidak menyerang, karena siapa tahu
Jagal Iblis mau diajak damai.
"Kurasa pertarungan ini tidak perlu dilanjutkan, Jagal! Kau
nanti bisa mat i kalau melawan aku."
"Akan kubalik kata-katamu, Suro. Kau yang akan mati!"
geramJagal Iblis dengan gigi merapat.
Jagal Iblis menahan sakit mati matian. Ia berusaha berdiri
dengan satu kaki kanan. Ia menghentakkan kaki kanan itu
untuk melesat ke arah Suro Bodong dengan dua kali salto.
Suro Bodong sigap. Segera berguling ke samping, dan lagi-lagi
kibasan kedua pedang Jagal Iblis tidak menemui sasarannya.
30 Semakin panas hati Jagal Iblis, semakin penasaran ia. Maka,
dengan serta merta salah satu pedang dilemparkan ke arah
Suro Bodong. "Bangsat kau, Suro...! Terimalah pedang kiri ini, hihh...!"
Pedang meluncur lurus, ujungnya melesat ke arah leher
tengah Suro Bodong. Tetapi gerakan tubuh Suro Bodong
segera bergeser ke kiri, lalu ketika pedang itu melesat lewat
depannya, kaki kanan Suro menendang pedang tersebut
dengan satu hentakan yang tersendat, bagai ada aturannya.
Ternyata pedang itu berbelok arah dan tetap meluncur
balik, menuju pemiliknya. Bahkan gerakan pedang itu seakan
semakin lebih cepat lagi.
Jagal Iblis kebingungan melihat pedangnya melesat ke arah
dadanya. Segera ia mengibaskan satu pedang yang masih di
tangan. "Trang...!"
Jagal Iblis menangkis pedangnya sendiri. Pedang itu
melesat ke arah lain, dan menancap pada sebuah pohon.
Nafas Jagal Iblis menghempas lega. Tetapi di luar dugaan,
Suro Bodong menendang pohon tempat menancapnya pedang
dengan jurus tenaga dalam yang lain dari pada yang lain.
Begitu pohon ditendang satu kali, daunnya rontok semua, dan
pedang yang menancap itu terlepas dengan satu hentakan
kuat. Hentakan itu membuat pedang tersebut melesat ke
tempat asalnya, lurus menghampiri Jagal Iblis.
Hanya saja, kali ini posisinya terbalik, gagang pedang yang
meluncur paling depan. Namun demikian, Jagal Iblis terpaksa
berkelit dan menangkis pedangnya sendiri dengan pedang di
tangannya. "Hiaaaat...!"
"Traaang...!" Pedang dikibaskan dan menghantam pedang
yang meluncur. Kini, pedang itu melesat ke atas, menembus
31 rimbun dedaunan. Jagal Iblis melompat ke arah lain dengan
satu kaki, karena takut kejatuhan pedang yang melesat ke
atas. Jagal Iblis mulai kelabakan setelah dua kali mendapat
serangan dari pedangnya sendiri. Sekarang pedang itu jatuh
tergeletak di tanah. Ia tak mau memungutnya, karena
matanya lebih terarah kepada Suro Bodong. Takut kalau
sewaktu-waktu diserang Suro Bodong. Dalam hati ia mengakui
kehebatan Suro Bodong. Cocok dengan kebesaran namanya
yang kondang di dunia persilatan itu.
Tetapi Jagal Iblis satu-satunya orang yang tidak pernah
mengenal kata menyerah. Setiap ia bertarung belum pernah
tidak menghasilkan mayat. Pasti ia berhasil membunuh
lawannya, kendati lawan sudah meminta ampun padanya.
Dan kali ini, Jagal Iblis menyiapkan diri melancarkan suatu
jurus lain. Ia menjilat pedangnya, baik sisi kanan maupun sisi
kiri. Lalu ia melompat dengan satu kaki dan bersalto satu kali.
Ia mendarat di depan Suro Bodong dalamjarak tiga langkah.
Suro Bodong sendiri sudah tahu, akan ada jurus baru yang
pasti lebih hebat dari jurus yang sudah-sudah. Maka ketika
Jagal Iblis mengibaskan pedangnya, jauh dari perut Suro yang
masih kelihatan bekas goresan pedang Taruna itu, tahu-tahu
dari pedang Jagal Iblis keluar api memanjang dan bergerak
bagai hendak merobek perut Suro Bodong.
Suro Bodong terpaksa melompat tinggi, hampir saja
kepalanya menyentuh salah satu dahan pohon. Nyala api pijar
yang memanjang itu melesat di bawah kaki Suro, dan
menghantamsebuah pohon.
"Crass...! Bruuuuk...!"
Pohon besar itu terpotong begitu saja akibat ditebas oleh
nyala api memanjang yang keluar dari pedang Jagal Iblis. Suro
sampai terbengong-bengong melihatnya. Pohon besar itu
terpotong dengan rapi, bagai sebuah pedang tajam yang
32 memotong gedebog pisang yang masih kecil. Untung saja
pohon itu rubuh ke arah sana, sehingga Suro Bodong masih
sempat melompat lagi ke arah lain, mendekati pedang Jagal
Iblis yang tergeletak di tanah. Pada waktu itu, Jagal Iblis
menjilati pedangnya lagi pada sisi kiri maupun sisi kanannya!
Namun sebelum Jagal Iblis mengibaskan pedangnya lagi,
yang tentunya akan mengeluarkan nyala api memanjang, Suro
Bodong telah lebih dulu menendang gagang pedang yang
tergeletak di tanah.
"Hiaaat...!"
Ujung pedang kebetulan dalam posisi menghadap ke arah
Jagal Iblis. Maka ketika gagang pedang ditendang Suro
Bodong, pedang itu melesat bagai anak panah yang
diluncurkan dari busurnya.
Jagal Iblis terperanjat. Pedang itu meluncur cepat. Ia
hendak menangkis dengan pedang di tangannya, namun
terlambat. Pedang yang meluncur dengan mantap dan tanpa
segan-segan menancap di dada Jagal Iblis.
"Jruub...!!"
"Aaagghh...!!" Jagal Iblis ternganga dengan kepala
mendongak dan tubuh melengkung ke belakang. Ia


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempoyongan. Pedang di tangannya jatuh. Darah keluar dari
dadanya, tepat di bagian jantung. Darah sempat memancar
beberapa saat, bagai balon berisi air yang ditusuk paku.
"Aaaagghhh...! Haaaggh...!" suara itu meluncur dari mulut
Jagal Iblis yang berkelejot di tanah. Suro Bodong
menghempaskan nafas. Ia geleng-geleng kepala. Bahkan
menyerukan suatu gerutu:
"Aku kan sudah bilang...! Jangan melawan aku, nanti kamu
mati. Sekarang apa buktinya" Benar kan omonganku"!"
Jagal Iblis mengejang sesaat, kemudian terkulai lemas. Ia
tak mau berkutik sedikit pun. Ia mati. Dan Anjani mulai
33 mendekati Suro Bodong dengan wajah yang penuh kengerian
dan ketakutan. Ia mendekat dari belakang Suro, dan Suro
Bodong tersentak kaget ketika tangan Anjani memegang
lengan Suro Bodong. Suro mengira ada lawan lain yang
hendak membokongnya. Ketika diketahui yang menyentuh itu
Anjani, ia jadi menghempaskan nafas lega.
"Kenapa Jagal Iblis sangat menghendaki dirimu, hah?"
Anjani gelagapan. "Aku... aku tidak kenal dia..."
"Aneh. Kenapa ia bersikeras ingin membawamu" Ah... kau
terlalu menggiurkan di mata pria, jadi akhirnya begini!"
"Aku..." Anjani bingung. "Aku tidak menggiurkan diri. Aku...
aku... oh, tolong, jangan marah padaku, Suro. Jangan...!"
-oo0dw0oo- 3 Entah pohon apa namanya, tetapi menurut Suro, pohon itu
cukup aman. Suro sebelumnya telah memanjat sampai ke
tinggian tertentu, memeriksa keadaannya. Oh, cukup kuat dan
aman. Tak ada ular atau binatang jenis serangga berbisa
lainnya. Dahan-dahannya pun cukup baik untuk dijadikan
tempat tidur darurat. Dengan bantuan akar pohon yang lentur,
Suro Bodong merakit dua dahan untuk dijadikan tempat tidur.
Akar-akar itu disusun sedemikian rupa membentuk suatu
anyaman, lalu Anjani disuruhnya tidur di-anyaman akar yang
lentur tapi kuat itu.
"Kau membikin tempat t idur di mana, Suro"
"Di bawah sana ada dua dahan yang bisa kujadikan tempat
tidur," jawab Suro.
"Jangan di bawah," kata Anjani dengan nada manjanya.
34 "Ini, di samping ini kan ada dua dahan yang berjajar juga.
Bikin saja tempat tidur di sini, jadi kau tidak jauh-jauh dariku.
Aku takut tidur di penginapan seperti ini, Suro...."
Sebenarnya Suro Bodong jengkel dengan gaya manja
Anjani itu. Namun, karena ia sangat mengagumi kecantikan
Anjani, ia masih bisa menahan diri untuk bersabar dan tidak
memasalahkan soal itu.
Sebelum.malam semakin menyelimuti hutan, dua tempat
tidur telah selesai. Tinggal mereka merebah dengan nyaman
beralaskan anyaman akar yang lentur itu. Suro akhirnya
berbaring di samping Anjani, jarak tempat tidurnya hanya dua
jengkal dari Anjani. Dan itu sangat menggelisahkan Suro.
Ada satu hal yang membuat mereka merasa beruntung. Di
luar dugaan mereka, ternyata langit waktu itu berbulan cerah.
Bintang bertebaran di angkasa. Cahaya rembulan menerobos
sela dedaunan, membuat hutan tak segelap dugaan Suro
Bodong. Suro Bodong baru menyadari juga kalau sejak tadi ia
mencium bau harum yang melenakan hati. Entah bau
kembang apa yang tumbuh di dekat pohon itu, tapi harumnya
benar-benar lembut, enak dihirup dan sangat melenakan
kalbu. Pikiran Suro Bodong terbawa dalam khayalan tinggi.
Mungkin bau harum itulah yang membuat pikirannya
melayang dalam keindahan yang amat tenang.
"Kau sudah tidur, Suro...?" sapa Anjani.
"Sudah," jawab Suro.
Anjani tertawa dalam desah. Suro memejamkan mata
dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Suro..." sapa Anjani lagi setelah mereka lama tidak
bersuara. Suro Bodong hanya menggumam. Teguran lembut
bersuara serak tipis itu masih saja menggelisahkan hati Suro
Bodong. 35 "Suro, apa dulu kau bekas orang hutan" Maksudku, sering
hidup di hutan?"
"Ya," jawab Suro pendek, la seakan malas bicara. Mungkin
ia sedang menikmati alam khayalannya di sela hirupan wangi
kembang yang enak dinikmati itu.
"Kamu dulu pernah tinggal di hutan berapa lama?"
"Entah. Aku tidak membawa catatan waktu itu," jawab Suro
masih dengan suara sedikit datar.
"Kau belajar silat di mana, Suro?"
Cerewet amat orang ini, pikir Suro dengan dongkol. Tapi ia
tetap memberi jawaban asal-asalan:
"Aku lupa."
"Gurumu masih hidup, Suro?"
"Aku lupa."
"Kalau tempatmu belajar silat, kau ingat?"
"Aku lupa."
"Uuuh...! Lupa, lupa, lupa...! Kamu diajak ngomong kok
begitu" Kamu marah sama aku, ya?"
Suro tidak menjawab. Dia sendiri bingung, apakah dia
marah pada Anjani alau tidak, tapi yang jelas ia jadi setengah
jengkel dalam keadaan seperti ini. Ia ingin meninggalkan
Anjani, tetapi hati kecilnya merasa kasihan melihat gadis
seperti Anjani berjalan sendirian ditengah hutan. Apalagi
Anjani cantik dan menggairahkan setiap pria, pasti banyak
godaannya. Sedangkan keadaannya di sini sebagai pengawal
Anjani ternyata membuatnya terikat. Ia merasa dibebani
tugas. Tugas menjaga Anjani dan mengantarkannya sampai
rumah Anjani. Padahal dia belum tahu, di mana tempat tinggal
Anjani. Di Bukit Maya, tapi dimana bukit itu" Berapa lama lagi
perjalanan bagi Suro untuk mengukur waktu. Tetapi sampai
36 sekarang ia masih seperti orang buta, meraba-raba tempat,
waktu dan segalanya.
"Suro..." Anjani menyapa lagi tanpa merasa lelah bicara.
"Kamu jengkel sama aku, ya?"
Pertanyaan demi pertanyaan terlontar, nadanya sama saja,
seperti anak kecil. Suro menggumam ketika itu. Anjani
menganggap gumaman Suro merupakan jawaban bahwa Suro
jengkel kepadanya. Lalu, dengan suara pelan, kepala miring
ke kiri, ke arah Suro Bodong, Anjani berkata:
"Suro, jangan jengkel padaku. Aku butuh pengawal, dan
kau kupercaya sebagai pengawalku, menggantikan Tamtama."
Suara itu cukup pelan, lembut dan menggetarkan hati.
Desir serak yang samar-samar itulah yang membuat suara
Anjani enak di dengar, mengundang gairah untuk mendesah.
Suro sengaja menyimak suaranya, karena bau harum yang
melenakan itu sangat sesuai jika diiringi mendengar suara
Anjani itu. "Aku dan Tamtama tersasar dalam perjalananku ke pelosok
Jawa. Kapalku kandas di pantai Utara, bahkan diserang oleh
bajak laut. Aku dan Tamtama berhasil mendarat di sini."
Suro Bodong mulai tertarik dengan penuturan itu. Ia
membuka matanya, memiringkan tubuh hati-hati, menghadap
Anjani yang ternyata sudah menatapnya sejak tadi. Gadis itu
semakin mengagumkan dalam terpaan cahaya rembulan yang
menyelusup lewat sela dedaunan.
"Suro..." sapanya lirih. "Aku punya cincin..." Anjani
menunjukkan cincin yang melingkar di jari tengahnya. Cincin
itu bagai terbuat dari logam sejenis perak, namun lebih
mengkilat dan lebih bening. Di tengahnya terdapat batu warna
hijau muda yang bening, besarnya seukuran kacang hijau.
Namun batu itu lebih bening dari kacang hijau. Anjani melepas
batu cincin itu.
37 "Tolong kawal aku dalam perjalanan pulang, Suro. Dan
cincin ini kuberikan padamu sebagai hadiah."
Suro tidak menjawab. Hatinya merasa tak enak mendengar
ucapan itu, seolah-olah ada sesuatu yang mengiris di tepian
hatinya. Anjani mengulurkan cincin itu, namun Suro masih
memandanginya saja, tanpa mau menerima.
"Kuhadiahkan kepadamu untuk jasa pengawalanmu, Suro.
Cincin ini... memang bukan emas, bukan intan. Tapi
percayalah, kau tak akan menemukan cincin dari batuan
Zippus seperti ini...."
Sementara Suro Bodong sedikit berkerut dahi, merasa asing
dengan nama batuan Zippus, saat itu Anjani mengamat-amati
cincinnya ke arah cahaya rembulan.
"Kau tahu, kenapa hutan ini terasa sepi tanpa nyamuk?"
Suro Bodong tidak menjawab, tetapi dalam hatinya ia
membenarkan perkataan itu. Hutan memang sepi. Tanpa
nyamuk, tanpa suara derik jangkrik, bahkan tanpa suara kutukutu
malam yang biasanya berderit-derit samar-samar.
"Tak ada binatang yang berani mendekati cincin ini, Suro,"
kata Anjani sambil mengamati cincinnya, sementara itu Suro
terbengong dalamhati mendengar keterangan Anjani.
"Batu cincin ini bukan saja bisa menjauhkan semua
binatang, tetapi bisa juga untuk membelah baja atau batu
sekeras apa pun."
Suro Bodong semakin tertarik. Ia ikut mengangkat kepala
dan mengamatinya lebih dekat, memandang cincin itu.
"Tapi jangan sekali-kali batu Zippus ini kau cium, atau
dicium orang lain."
"Kenapa kalau sampai begitu?" Suro terang-terangan
mengungkapkan rasa tertariknya.
38 "Kalau batu ini tersentuh bibir, dan udara disekitarnya
terhirup, maka orang itu akan terkena racun asmara. Ia akan
menjadi gila karena nafsu birahinya mengamuk terus sampai
hasratnya terlaksana."
Gumam Suro Bodong memanjang tapi pelan. Antara
percaya dan tidak ia mendengar khasiat batu Zippus itu.
Namun, segera ia miring menghadap Anjani.
"Pakailah..." Anjani menyodorkan cincin itu.
"Tak perlu," ujar Suro Bodong.
"Ini hadiah dariku atas jasamu...."
Suro tidak mau menerima, la diam saja. Matanya
memandang Anjani bagai sedang menikmati kebahagiaan di
sela aroma bau harum yang sangat lembut itu. Tetapi, Anjani
segera meraih tangan Suro Bodong. Suro diam saja, hanya
memperhatikan. Lalu. Anjani mengenakan cincin itu di jari
manis Suro Bodong. Mulanya Suro membiarkan, karena ia
mengira cincin berlingkaran sempit itu tidak akan masuk ke
dalam salah satu jarinya, walaupun jari kelingking.
Tapi kenyataannya, jari manis Suro Bodong bisa
mengenakan cincin batu Zippus. Cincin tersebut bisa masuk ke
jari Suro, padahal jari tangan Anjani tak ada yang sebesar jari
tangan Suro Bodong. Jari tangan Anjani lencir, kecil dan
manis-manis. Indah sekali. Tidak seperti jari tangan Suro
Bodong yang besar-besar dan kasar. Kenyataannya, cincin itu
bagai mempunyai lingkaran yang bisa melebar seperti terbuat
dari karet. Padahal bukan karet. Logam!
"Jangan berikan kepada siapa pun cincin ini. Jika kau
mengenakan cincin ini, harga mu tak dapat dibeli dengan
harga seribu mahkota raja mana pun. Hanya kau yang
mempunyai cincin batu Zippus." Anjani bicara semakin pelan,
sambil ia memandang jari Suro yang dikenakan cincin Zippus.
Anjani kelihatan senang melihat jari tangan Suro memakai
39 cincinnya. Ia tersenyum-senyum, sedangkan Suro Bodong
hanya terbengong melompong memandang jari manisnya.
"Cincin inikah yang dikejar-kejar Blandong dan Taruna,
atau yang diincar Jagal Iblis itu" Mereka ingin memiliki cincin
ini?" taya Suro.
"Aku tidak tahu, Suro. Sungguh! Aku tidak mengerti
mengapa mereka ingin memiliki aku."
"Aku pernah mendengar Taruna dan Blandong berkata
ingin memiliki kesaktianmu. Mungkin inilah yang dimaksud
kesaktianmu, ya?"
"Mungkin juga. Tapi nyatanya mereka ingin merenggut
kegadisanku...!" Anjani cemberut kesal. "Mereka mengejarngejarku
di mana aku berada!"
"Sekarang kau aman, Anjani."
Gadis itu berpaling memandang Suro. Lama sekali mereka
saling bertatapan, kemudian Anjani berkata dengan suara
yang membuat hati Suro bagai dibelai nikmat.
"Aku percaya kepadamu. Ibu pernah bilang, orang jelek
rupa belum tentu jelek hatinya. Dan... aku menemukan apa
yang dikatakan Ibu."
"Terima kasih, kau telah mengatakan wajahku jelek."
Anjani tertawa dalam desah. "Kau tidak jelek, Suro. Cuma
perlu perawatan wajah. Kalau kau sering merawat wajah,
mencukur kumismu untuk dirapikan, menyisir rambutmu,
membersihkan kulit wajahmu... aku yakin, kau cukup tampan
untuk orang seusia kau."
"Aku tidak pernah bisa mengurus diri, juga wajah. Dan...
aku memang kurang suka bersolek."
"Aku bisa mengurus wajahmu. Kapan-kapan kita punya
kesempatan, akan kurawat wajahmu. Mungkin... nanti, kalau
40 kau sudah sampai ke rumahku. Aku punya beberapa alat
untuk mengurus wajah. Kau mau?"
"Masih jauhkah rumahmu?" Suro bahkan bertanya lain.
"Bisa jauh, bisa dibilang dekat. Tergantung hati yang
mengatakan."
Suro mendesah. Kalau ia harus mengantar terlalu jauh, ia
kurang suka, sebab berarti ia meninggalkan tugasnya sebagai
seorang Senopati di Kesultanan. Tetapi, kalau hanya
mengantar Anjani sampai di pertengahan jalan, sungguh siasia
dan kurang bijaksana.
Untung saja bau kembang yang harum dan menyebar di
sekitarnya itu berhasil membelai hati Suro Bodong. Alam sepi
tanpa gemerisik, kecuali desah daun dihembus angin
perlahan-lahan. Suro sudah mempunyai rencana, esok ia akan
memetik bunga yang semerbak itu untuk disimpan sebagai
kebanggaannya. Tapi bunga itu tidak ada. Pagi telah menyingsing, tanpa


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kicau burung di sekitarnya. Ia melongok ke bawah, tak ada
Anjani di sana. Ia menyusuri beberapa tempat dari atas pohon
dengan mata terbelalak tegang. Anjani tak kelihatan. Ia
melirik jari kanannya, ada cincin Zippus melingkar di jari
manis. Lalu, ke mana Anjani" Kencing di suatu tempat" Mandi
di suatu telaga" Atau... atau ke mana"
Suro Bodong mengggunakan ilmu peringan tubuhnya untuk
melompat dari dahan ke dahan. Ia berseru dengan kedua
tangan di samping mulut:
"Anjaniiii..."! Anjaniiii...!!"
Gerakan Suro Bodong seperti monyet kebingungan. Dari
pohon ke pohon ia melayang. Matanya memandang liar
dengan kegeraman menghentak-hentak dada. Gerutu dan caci
maki sudah tak teratur meluncur dari mulutnya.
41 Tiba-tiba gerakannya terhenti seketika. Ia tidak berteriak,
tapi matanya melebar, memandang ke arah jauh. Ia melihat
tubuh Anjani digotong di pundak seorang lelaki berjubah
putih. Lelaki itu membawa tongkat dan sedang mendaki
sebuah tanjakan menuju lereng gunung.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Suro Bodong segera
melesat bagai anak panah. Ranting-ranting pohon
diterjangnya. Ia tetap berada dari pohon ke pohon.
Pengejarannya dilakukan melalui atas, bukan melalui darat.
Makin lama gerakan Suro Bodong bisa semakin cepat.
Mulutnya masih terkatup rapat, tapi giginya menggeletuk
geram kepada lelaki yang memanggul tubuh Anjani di
pundaknya itu. "Hiaaaat...!"
"Jleg...!"
Suro Bodong berdiri tepat di depan lelaki berjubah put ih.
Ternyata ia seorang kakek berjenggot putih dengan mata sipit
beralis putih juga. Rambutnya panjang tak teratur, diikat
dengan kain hijau tua. Lelaki berjubah putih ini pernah
bertemu dengan Suro Bodong dalam suatu pertarungan di
atas sebuah Arena. Hanya saja, waktu itu Suro dan kakek
tersebut hanya sebagai penonton.
"Hai... kau rupanya Ki Punjo...!" sapa Suro Bodong dengan
tenang. Ki Punjo yang bergelar sebagai Putra Siluman itu
terasa kaget se-waktu Suro Bodong muncul di depannya.
"Akan kau bawa ke mana gadis itu, Ki Punyo" Suro santaisantai
saja menghadapi kakek berjubah put ih itu.
"Suro, menyingkirlah. Jangan halangi aku! Jangan
membuat permusuhan denganku kalau kau mau selamat."
Gertakan Ki Punjo tidak membuat Suro gentar sedikit pun.
Pedang Bengis Sutra Merah 4 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Anak Harimau 9

Cari Blog Ini