Ceritasilat Novel Online

Jerit Di Pucuk Rembulan 2

Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan Bagian 2


Sebaliknya, Suro Bodong bahkan menertawakan kegalakan Ki
Punjo yang kelihatannya ingin menguasai Anjani.
42 "Hei, Ki Punjo... untuk apa kau repot-repot membawa gadis
itu" Tidak sebanding dengan usiamu, kan?"
"Tahu apa kau"! Minggir...!"
"Kembalikan Anjani padaku, Ki Punjo. Dia ada dalam
tanggung jawabku. Kau tahu itu, kan?"
"Anjani sudah di tanganku! Tak akan kuberikan kepada
siapa pun! Akulah yang akan memiliki kesaktiannya, Suro!"
Semakin tertawa Suro mendengar kata-kata itu. Dasar
mata tua, tak bisa melihat bahwa kesaktian cincin Zippus
sudah melingkar di jari Suro Bodong, ehh... masih saja
pemiliknya hendak dibawa kabur ke pondoknya.
"Ki Punjo...! Aku masih bersabar untuk tidak memaksamu.
Aku minta dengan hormat, kembalikan Anjani! Kau telah
membiusnya, bukan" Pasti kau gunakan ilmu Sembur Lelapmu
untuk membuat Anjani tertidur lelap. Eh, nyebut Ki, nyebut...!
Ki Punjo kan sudah bau tanah, masa masih menculik anak
gadis semuda Anjani?"
"Persetan dengan semua omonganmu! Minggir kau, atau
aku bertindak kasar, hah"!" Ki Punjo yang bermata sipit itu
menggeram dengan kemarahan yang hendak meluap.
"Kalau kau menghendaki kekerasan, yaah... kulayani pelanpelan
sajalah..." Suro bagai menyepelekan lawannya, padahal
dia tahu lawannya cukup tangguh. Ki Punjo terkenal di rimba
persilatan. Dia salah satu tokoh rimba persilatan yang terkenal
dengan jurus Tongkat Naga-nya. Tetapi dalam keadaan
seperti ini, Suro Bodong tidak mau mundur begitu saja.
"Kuhitung tiga kali, kalau kau tidak pergi, kuhancurkan
kepalamu, Suro Bodong!"
"Kenapa harus di hitung sampai tiga kali! tak usah dihitung,
aku sendiri yang akan menghancurkan kepalamu, Ki Punjo."
"Hiiaaat...!!"
43 Suro menyerang lebih dulu untuk menunjukkan nyalinya. Ia
melompat dengan suatu tendangan terarah ke dada Ki Punjo.
Tetapi tubuh kurus yang tua itu dengan ringan melompat ke
atas mengungguli ketinggian Suro Bodong. Tangan Suro
Bodong mengibas ke atas. Tongkat berhasil disingkirkan dahi
dahinya. Ki Punjo melompat lagi ke arah samping ketika Suro
Bodong mendaratkan kakinya ke tanah.
"Anak bau kencur mau coba-coba melawan orang tua,"
gerutu Ki Punjo sambil tetap memanggul Anjani yang tertidur
dengan lelap. "Haaaiiit...!!" Ki Punjo mengibaskan tongkatnya ke arah
kepala Suro Bodong. Suro merendahkan tubuh, dan pada saat
itu ia berguling ke depan, lalu berhenti tepat di depan Ki
Punjo. Dengan kuat tangan kanan Suro Bodong menghantam
perut Ki Punjo, lalu menyusul pukulan tangan kiri Suro yang
telah mengenai ulu hati Ki Punjo. Hampir saja mengenai betis
Anjani yang disampirkan di pundaknya.
Ki Punjo terdorong ke belakang beberapa langkah. Namun
ia tidak terlalu nyata meringis kesakitan. Ia menahan rasa
sakit itu dengan menggeram dan menggeletukkan gigi.
Agaknya ia mulai terasa kesulitan jika bertarung sambil
memanggul Anjani. Maka ia meletakkan tubuh Anjani di
bawah pohon dengan hati-hati. Lalu, ia maju dengan
semangat dan mencaci Suro:
"Anak Babi...! Harus dihajar biar tahu hormat pada orang
tua. Haaaiiit...!" Ki Punjo menggerakkan tongkatnya yang
berwarna hitam ke kiri dan ke kanan, sebagai jurus pembuka.
Lalu salah satu kakinya diangkat dengan lutut menekuk ke
samping. Posisi berdirinya serong ke kiri di mana kaki kanan
itulah yang terangkat ke kiri. Sementara itu, ia memegangi
tongkatnya dengan kedua tangan, melintang di atas kepala,
siap menebas pakai tangan kiri atau kanan, sulit dipastikan.
44 Suro Bodong mencoba membuat gerak tipuan. Ia seakan
hendak memukul ke kiri, namun kaki kanannya segera
terangkat lurus ke wajah Ki Punjo dengan sedikit berputar.
"Hiaaaaaat...! Haaaahh...!!"
"Plaaak...!!"
Tangan kanan Ki Punjo menangkis tendangan kaki Suro,
tapi tangan kirinya menyodorkan tongkat itu ke dada Suro.
"Huuuh...!"
"Haaat...!" Suro Bodong menangkis sodokan tongkat itu
dengan kibasan tangannya. Tetapi Ki Punjo melangkah maju,
lalu kaki yang belakang terayun ke depan, lurus ke dagu Suro
Bodong, hingga kepala Suro Bodong tersentak ke belakang
karena terkena tendangan Ki Punjo.
"Modar kau, Suro, hiiih...!"
"Aauhh...!!" Suro Bodong menyeringai kesakitan, karena
tongkat Ki Punjo menghantam pinggangnya tanpa ampun lagi.
Suro jatuh dengan meringis kesakitan. Kaki Ki Punjo segera
mengibas ke depan, langsung mengenai pipi Suro Bodong.
Segera Suro Bodong terguling-guling ke kiri sekalian mengatur
jarak dengan Ki Punjo.
Tetapi baru saja Suro hendak bangkit, tiba-tiba tangan kiri
Ki Punjo menghentak dengan cara membuka semua jarinya.
"Heaaaaaahh...!!"
Tangan itu bergerak mengejang dan gemetar. Suro tak
sempat melihat ada uap putih tipis keluar dari telapak tangan
itu. Tubuh Suro menjadi kaku dan sulit digerakkan. Hawa
dingin tersalur lewat tangan Ki Punjo. Tubuh Suro menggigil
bagai dalam kebekuan yang amat dingin. Daun-daun di sekitar
Suro Bodong menjadi putih dilapisi busa-busa salju.
Suro Bodong menggigil. Tapi ia berusaha sekuat tenaga
untuk meludahi kedua telapak tangannya tujuh kali, kemudian
45 menggosokkan telapak tangan dengan pelan dan susah
sebanyak tujuh kali, dan dengan gemetar Suro
menghentakkan tangannya ke depan.
"Heaaat...!"
Jurus Tapak Geni digunakan. Sinar merah berupa jarumjarum
membara melesat cepat dari kedua telapak tangan Suro
Bodong. Ki Punjo segera melesat ke atas dan bersalto ke
belakang dengan cepat. Pukulan jurus Tapak Geni telah
membuat beberapa tanaman semak terbakar seketika. Suro
Bodong bangkit. Tetapi t iba-tiba ia harus menerima pukulan
jarak jauh yang terlontar melalui ujung tongkat Ki Punjo.
Tongkat itu mulanya diputar di atas kepala beberapa kali,
kemudian dihentakkan ke depan, dan Suro Bodong merasakan
adanya suatu tekanan yang berat dan mendorongnya ke
belakang. Suro tak dapat bertahan, dan ia pun terpental
hingga punggungnya membentur batang pohon.
"Aauuhh...!!" Suro Bodong terasa digencet kuat-kuat antara
batang pohon dengan tenaga yang keluar dari ujung tongkat
Ki Punjo. Tenaga itu tak terlihat, namun Suro Bodong
merasakan bagai ada batu besar yang menggencetnya. Makin
lama terasa semakin kuat, dan nafas Suro Bodong teramat
susah. Untung ia dapat segera meludahi telapak tangannya lagi.
Jurus yang dipakai bukan lagi Tapak Geni, melainkan jurus
Salam Tempel. Jurus ini berguna untuk menghancurkan batu.
Dengan meludahi dan menggosokkan telapak tangan tujuh
kali, Suro membayangkan sebuah batu besar sedang
mendesaknya kuat-kuat. Ia menempelkan kedua telapak
tangannya pada batu besar yang berupa tenaga dalam Ki
Punjo itu. Lalu dengan menghirup nafas panjang susah-susah,
ia menghentakkan tangannya,
"Haaaah...!!"
46 "Blaar...!" Terjadi ledakan yang mengguncangkan tanah
tempat pertarungan mereka. Nafas Suro Bodong terhempas
lepas. Lega sekali. Ia memandang keadaan Ki Punjo yang
terjengkang ke belakang lebih dari lima langkah.
"Suro!" teriak Anjani yang terbangun karena suara ledakan
tadi. "Jangan bergerak ke sana, ke sini, Anjani...!"
Anjani buru-buru berlari dengan sembunyi-sembunyi dari
pohon ke pohon. Ia mendekati Suro, tapi Suro segera berkata,
"Menjauh di belakangku, dan hati-hati. Orang yang
menculikmu sampai di sini punya banyak ilmu tenaga dalam!"
Anjani berlindung di sebuah pohon bersemak belukar
bagian bawahnya. Dari situ ia bisa melihat pertarungan antara
Suro Bodong, pengawalnya, dengan seorang lelaki tua yang
tadi pagi sempat diingat wajahnya, sebelum lelaki tua itu
meniupkan sesuatu ke wajah Anjani, dan membuat Anjani
tertidur bagai dibius.
"Suro...! Kau benar-benar tak dapat kumaafkan lagi!"
"Aku tidak meminta maafmu! " balas Suro dengan berani.
"Jahanam! Terimalah jurus Tongkat Naga ini, hiaaat...!"
Ki Punjo mengurut tongkatnya dari atas sampai ke bawah,
lalu melemparkan kepada Suro Bodong. Tongkat itu melesat di
udara dan berubah menjadi seekor ular sebesar tongkat itu.
Lidah ular menjulur dan menyembur-nyembur. Gerakannya
begitu ganas, berkelok-kelok dalam satu lompatan yang amat
cepat. "Jangan takut, Suro...! Kau memakai Zippus...!" teriak
Anjani dari persembunyiannya. Suro Bodong ingat tentang
cincin bermata batuan Zippus warna hijau muda. Ia pun diam
saja ketika ular itu semakin dekat. Namun, dalam jarak kirakira
empat langkah dari depan Suro, ular itu melemas dengan
47 sendirinya. Ia berhenti, tidak mau bergerak menyerang. Ia
melilit-lilitkan tubuh bagai merasa takut mendekati Suro
Bodong. Ular berwarna biru muda itu membelokkan kepalanya
dan hendak meninggalkan Suro Bodong.
Segera jurus Tapak Geni digunakan lagi oleh Suro. Telapak
tangannya memancarkan sinar bagai percikan api berupa
jarum-jarum api. Sinar itu menghantam tubuh dan kepala ular
dan binatang itu pun terbakar seketika.
"Gila..."! Kau gila, Suro..."!!" teriak Ki Punjo yang sangat
ketakutan dan panik ketika melihat ularnya terbakar oleh jurus
Tapak Geni Suro Bodong. Ia bagai orang yang hendak
menangis, tapi lupa caranya menangis. Api yang membakar
ular segera berkobar sebentar, lalu padam. Tapi ular itu sudah
berubah menjadi kayu arang. Tongkat Ki Punjo menjadi arang
panjang dan pecah beberapa bagian.
"Itu pusakaku..." Oh, pusakaku kau hancurkan seperti itu,
Suro..."! Bangsaat...!"
Suro Bodong segera melompat menghadang gerakan Ki
Punjo yang bersalto di udara. Tangan Ki Punjo bergerak cepat
memukul Suro Bodong selama di udara, sedangkan Suro
Bodong menangkis dengan cepat bagai tak mampu dilihat.
"Plak, plak... plak... dueeer...!!" Kedua tangan Ki Punjo
bertemu dengan kedua telapak tangan Suro Bodong,
menghasilkan kilatan api biru dan ledakan yang menggelegar.
Tubuh Ki Punjo terpental bagai boneka kain ditendang oleh
anak-anak. Ia jatuh dalam posisi tak karuan. Ketika ia
tergeletak di tanah, Suro Bodong segera mengejarnya dengan
tubuh masih segar bugar. Baju merahnya berkelebat seperti
sayap elang menghampiri mangsa.
Suro Bodong tak tega hendak menyerang Ki Punjo lagi.
Darah mengalir dari semua lobang, hidung, mulut dan telinga
Ki Punjo mengeluarkan darah. Tetapi lelaki tua itu masih
sanggup berdiri walau dalam keadaan limbung. Ia menggeram
48 menahan rasa sakit terkena pukulan tenaga dalamnya sendiri
yang dibalikkan oleh Suro tadi.
"Ku akui... kau unggul...! Tapi kapan waktu kita akan
bertemu lagi Suro..." ucap Ki Punjo dengan suara serak.
Lelaki tua berambut putih itu segera melesat, pergi
meninggalkan Suro Bodong yang masih berdiri tegar. Suro
tidak mengejarnya. Ia tak sampai hati untuk membunuh tokoh
persilatan yang dikenal dengan gelar Putra Siluman itu. Bagi
Suro, persoalan yang dihadapi, bukan persoalan yang berat,
namun juga bukan persoalan ringan. Suro tidak ingin
membunuh dalam urusan seperti ini, kecuali ia sangat
terpaksa, seperti ketika ia berhadapan dengan Jagal Iblis
kemarin. Anjani keluar dari persembunyiannya dengan mata masih
membelalak memandang kepergian Ki Punjo.
"Kenapa dia tidak kau bunuh, Suro?"
"Aku bukan algojo, tapi pengawalmu! Tugasku bukan
membunuh, tapi menyelamatkan kau, Anjani."
Anjani tersenyum manis. Lalu ia bersungut-sungut bagai
anak kecil yang ingin mengadu:
"Aku terbangun ketika dia naik ke pohon, aku mau menjerit
tapi tak sempat. Aku ditiupnya, lalu aku lemas dan tak
sadarkan diri."
Suro Bodong duduk di sebelah akar yang melintang. Ia
menghempaskan nafas.
"Kau pernah bertemu dengannya sebelum ini"
Anjani menggeleng. "Tapi dia mengenalmu, Suro."
"Ya. Aku pernah ngobrol lama dengannya di suatu arena
pertarungan para jagoan. Tapi aku tidak menduga kalau dia
juga menghendaki dirimu."
49 Nafas Suro Bodong menghempas lepas sekali lagi. Ia
berkerut dahi dan masih duduk beristirahat di atas akar yang
melintang sebesar betisnya. Anjani ikut duduk di samping Suro
Bodong. "Benar-benar aneh..." kata Suro. "Mengapa para tokoh
persilatan keluar semua, dan ingin memiliki kamu"! Apa yang
mereka cari pada dirimu sebenarnya?"
Anjani diam saja, seperti sedang merenungkan masalah itu.
Namun ia juga kelihatan sedih dan menyesal, seakan ia
menjadi orang yang serba salah.
Waktu Suro Bodong melirik, ia menangkap rona sendu di
wajah Anjani. Rasa iba menjalar, dan Suro mencoba bicara
dengan ramah, santai tapi bersungguh-sungguh.
"Ki Punjo juga berkata ingin memiliki kesaktian yang ada
padamu. Apa maksudnya itu, Anjani?"
"Aku nggak tahu...!" Anjani cemberut, sepertinya enggan
diberi pertanyaan seperti itu.
"Kalau bukan ada hal yang istimewa, tak mungkin tokohtokoh
rimba persilatan muncul semua. Yang kutahu, Jagal Iblis


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Ki Punjo ini tokoh yang jarang ke luar kalau tidak ada
urusan sangat penting."
"Aku tidak menyuruhnya ke luar," kata Anjani seraya
bersungut-sungut. Suro geleng-geleng kepala.
"Aku lapar..." kata Anjani tiba-tiba dengan ketus, seperti
anak kolokan. "Mari kita cari buah-buahan untuk pengisi perut."
"Aku mau makan di warung!" Anjani masih cemberut.
Suro gemas sendiri. "Anjani, kau ini sudah dewasa. Sudah
pantas menjadi seorang Ibu, tapi sikapmu masih saja seperti
anak kecil yang manja. Jangan membuat aku kesal, Anjani! Di
hutan mana ada warung"!"
50 Anjani menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan
wajah cemberut kesal. Suro Bodong memperhatikan sikap itu
yang benar-benar seperti anak kemarin sore. Suro Bodong
lama-lama bisa muak jika menghadapi kemanjaan seperti itu.
Dalam hati, Suro sampai tega berkata, "Jangan-jangan dia
orang sinting"! Tapi, masa' orang sinting buat rebutan para
tokoh persilatan"! Mungkin sinting bukan sembarang sinting!"
-oo0dw0ooo- 4 Ombak lautan bergulung memercikkan buih-buih put ih.
Suro Bodong tidak banyak bicara. Duduk di atas batu karang
yang datar, memandang laut yang meliuk-liuk. Tebing
tempatnya duduk itu cukup dalam. Di bawah ombak tiada
bosan-bosannya menepak-nepak tebing karang itu. Bukan
ombak dan karang dipikirkan Suro Bodong, tetapi keadaan
Anjani. Sejenak ia melirik Anjani. Perempuan itu masih berdiri di
samping kanannya, agak ke depan. Ia memandang ke
cakrawala lepas dengan kebisuan mulutnya. Suro kembali
menenggelamkan diri dalam kecamuk batinnya: mengapa
Anjani diperebutkan banyak tokoh persilatan" Suro sudah
menghadapi dua tokoh penting yang jarang muncul di dunia
persilatan: Jagal Iblis dengan Ki Punjo. Tadi juga begitu: dua
tokoh persilatan yang dikenal Suro dan mengenal Suro juga
muncul ingin memperebutkan Anjani. Mereka adalah Resi
Bayudara dan Pendekar Pisau Mayat. Untung keduanya bisa
diatasi Suro Bodong tanpa harus membunuh mereka, kecuali
luka-luka berat pada diri Resi Bayudara. Keheranan Suro
Bodong sangat mengganggu ketenangannya. Ada suatu
rahasia yang belum terungkap, dan membuat Suro Bodong
51 menjadi penasaran. Sebab Resi Bayudara dan Pendekar Pisau
Mayat itu bukan orang persilatan. Mereka jarang
menampakkan diri, kecuali ada urusan penting. Dan sekarang
mereka muncul untuk memiliki Anjani, itu berarti Anjani adalah
sesuatu yang penting bagi mereka. Penting yang bagaimana"
"Anjani..." sapa Suro Bodong setelah beberapa saat mereka
terbungkam. "Di mana letak Bukit Maya itu" Kenapa kau minta
berhenti di sini?"
Anjani yang berada dalam jarak tiga langkah di depan Suro
segera berbalik. Kedua tangannya terlipat di dada. Matanya
yang indah berwarna aneh namun teduh dipandang itu
menatap Suro Bodong dengan lembut. Suro membuang
pandangan matanya, tak tahan jika lebih lama lagi menatap
gadis bertubuh elok dengan ketinggian tubuh yang hampir
menjadi jangkung. Cukup tinggi bagi ukuran seorang gadis
cantik seusia dengannya.
"Kau bisa membuat perahu, Suro?"
Suro Bodong buru-buru memandang An-jani karena kaget.
"Perahu..."!!"
Anjani mengangguk. "Bukit Maya ada di sana..." Anjani
memandang ke lautan lepas. Suro Bodong terbengong sambil
ikut memandang ke lautan lepas.
"Gila...!" gumamnya lirih.
Nafsu Suro dihempaskan lepas. "Aku tidak sanggup! Benarbenar
tidak sanggup kalau harus menyeberangi lautan," kata
Suro Bodong. "Banyak bahayanya menyeberangi lautan
bersama perempuan cantik seperti kamu, Anjani! Apalagi kau
rewel, manja dan... aah... aku tidak sanggup!"
"Jadi hanya sampai di sini tugas pengawalanmu, Suro" Kau
tidak bisa mengawal aku" Kau menyerah"!"
52 "Terserah apa katamu!" ketus Suro Bodong. "Sebaiknya
kukembalikan saja cincin ini...! Aku tidak mau dibayar dengan
cincin ini hanya untuk...."
Suro Bodong berhenti bicara, karena merasa heran
terhadap cincin batu Zippus. Cincin itu susah dikeluarkan dari
jari manisnya. Padahal waktu dimasukkan ke jari manisnya
oleh Anjani, dapat dilakukan dengan mudah sekali. Kenapa
sekarang jadi sukar dicabut"
Suro Bodong turun, mencari percikan air laut. Ia berusaha
membukanya dengan keadaan basah, tetapi cincin itu tak bisa
dicabut. Bagai lengket dengan kulit jari manisnya. Ia kembali
menghampiri Anjani sambil berusaha membuka cincinnya:
"Kau orang negeri mana sebenarnya, Anjani" Kau sangat
misterius bagiku!"
"Kau akan senang tinggal di negeriku," kata Anjani.
"Tapi aku tidak sanggup kalau harus mengawalmu sampai
tiba di tempat. Aku tidak mempunyai persiapan apa-apa! Aku
tidak mungkin berangkat menyeberangi samudra dalam
keadaan cuma seperti ini, tanpa peralatan, tanpa perahu dan
tanpa perbekalan yang cukup! Mengawal kamu itu lebih rumit
dari pada mengawal raja, tahu?"
Suro Bodong ber-ah, uh... susah payah mencoba
melepaskan cincin Zippus itu. Ia masih berusaha terus sampai
jarinya menjadi merah, seraya berkata:
"Aku menyerah! Aku menyerah kalau harus mengawalmu
hari ini juga berangkat menyeberangi lautan! Cincin ini
kukembalikan. Berikan kepada orang lain sebagai upah ngantarmu
menyeberang...! Cincin ini... cincin... ah, sial!"
Anjani yang sejak tadi diam, memandang ke cakrawala,
tiba-tiba berkata dengan suara datar dan pelan:
"Kau harus memotong jarimu jika ingin mengembalikan
cincin itu, Suro...."
53 Mulut Suro Bodong melongo, gerakan mencabut cincin
menjadi lamban dan ragu-ragu. Anjani berpaling dan
membiaskan senyumyang menyesakkan pernafasan Suro.
"Kau ingin mengembalikan cincin itu padaku, Suro?"
"Ya. Karena... aku tak sanggup mengawalmu ke seberang."
"Potong jarimu itu, dan kembalikan cincin itu bersama
potongan jarimu."
"Apa maksudmu bicara begitu?"
Anjani kembali memandang cakrawala sambil membiaskan
senyumtipis. "Cincin itu tak akan bisa dicabut oleh siapa pun."
"Apa..."!" Suro terkejut.
"Tak ada yang bisa melepaskan cincin itu dari jarimu,
bahkan dengan cara apa pun, tak akan bisa. Kecuali... aku!"
Sepertinya Suro ingin tidak percaya mendengar kata-kata
itu. Tapi nyatanya dia sendiri merasakan betapa susahnya
melepas cincin bermata hijau muda ini. Dan jarinya malah
menjadi sakit, lecet sebagian. Suro pun segera dihinggapi
ketegangan. "Gawat...!" gumam Suro Bodong dengan melongo sedih.
Tak ada jalan lain. Tak ada pertimbangan apa pun, kecuali
memotong beberapa batang bambu, atau batang pohon untuk
dijadikan rakit. Daun-daun kelapa dianyam dijadikan layar.
Suro sendiri tidak yakin apakah rakit buatannya mampu
menahan ombak besar jika sewaktu-waktu muncul, tetapi
baginya lebih baik dicoba daripada diperdebatkan melulu.
Sebelumnya, Suro Bodong telah memperkirakan beberapa
kemungkinan yang akan menghalang perjalan laut. Tetapi
Suro sudah mempunyai cara penanggulangannya jika ada
beberapa hal yang tidak diinginkan tiba-tiba terjadi di tengah
perjalanan. 54 "Kau pernah menjadi pelaut, Suro?" tanya Anjani ketika
rakitnya mulai berlayar menembus ombak.
"Aku lupa," jawab Suro Bodong yang berdiri di buritan. Ia
mengendalikan arah jalannya kapal miskin itu. Anjani duduk di
bagian depan, di mana di sana disediakan tempat duduk bagi
Anjani. Rambut Anjani meriap-riap disapu angin laut, demikian pula
gaunya yang tipis, berkelebat bagai sayap kupu-kupu. Suro
sendiri berdiri gagah, memegangi kemudi dan memperhatikan
layar yang amat menyedihkan itu. Untung angin berhembus
cukup untuk mendorong lajunya rakit. Kalau tidak, entah
berapa lama Suro harus mendayung rakit itu. Ia berdiri
dengan pandangan lurus ke depan dan tidak banyak bicara.
Benak dan pikirannya kusut. Ia tak mau melepas kekusutan
itu. Ia membiarkan semuanya terjadi sebagaimana nasib telah
membawanya ke atas rakit sederhana itu.
"Ayahmu dulu seorang pelaut, ya?" tanya Anjani dengan
gaya bicara seperti anak kecil. Suro diam saja. Anjani
mengulang dengan suara lebih keras, baru Suro menjawab:
"Aku tidak tahu...!"
"Tapi kau punya pengetahuan membuat rakit,
mengendalikan jalannya rakit, membuat layar sederhana...
darimana kau tahu semua ini, Suro?"
"Kepepet...!" jawab Suro Bodong datar.
"Kamu marah sama aku, Suro?" Anjani mendekat. Rakit
goyang. Suro menghardik:
"Kalau tak mau mat i tenggelam, jangan banyak bergerak!"
Anjani bersungut-sungut, lalu duduk dengan murung. Suro
tak perduli dengan keadaan itu.
55 Langit menjadi mendung ketika matahari di ambang
cakrawala. Anjani yang sejak tadi diam saja segera berkata
dengan perasaan takut dibentak.
"Suro..." katanya pelan. "Langitnya mendung...!"
"Bukan aku yang membuatnya," kata Suro Bodong ketus.
"Kalau sebentar lagi hujan, bagaimana?"
Dengan malas Suro menyahut, "Basah...!"
Anjani diam lagi, duduk termenung, sesekali memandang
ke depan, sesekali menatap ke langit dengan dahi berkernyit.
Suro masih bungkam kalau tidak diajak bicara. Ia masih
disekap kedongkolan pada Sang Nasib. Ia menyesal, mengapa
ia ditemukan dengan gadis secantik Anjani, namun juga
serewel dan semanja Anjani. Ah... lagi-lagi Suro tak tahu
harus marah kepada siapa.
"Suro..." sapa Anjani lagi dengan hati-hati. "Mendungnya
semakin tebal. Pasti akan hujan, ya?"
Suro tidak menjawab. Ia membetulkan letak layar anyaman
yang sangat menyedihkan bagi sebuah pelayaran itu.
"Kenapa tadi kau tidak membuat payung" Coba membuat
payung juga dari daun kelapa, jadi kalau hujan kita bisa
mengenakan payung."
Suro masih tidak memberi komentar apa-apa, kecuali
menggerutu tak jelas. Ia memegangi layar anyam karena
angin bertiup cukup kencang. Rakit melaju dengan cepat, tapi
kalau terlalu lama dihembus angin kencang, layar itu akan
jebol dan berantakan. Ini yang dikhawatirkan Suro.
Rintik hujan mulai turun, mendung makin gelap.
"Suro... ada hujan...!" kata Anjani. Persis sekali anak kecil
yang masih doyan nenen. Suro kesal mendengar kata-kata
seperti itu. 56 "Hei, itu ada pulau...! Kita singgah ke sana dulu, Suro."
teriak Anjani sambil berdiri.
Gugusan pulau terlihat. Ah, sangat kecil. Tetapi demi
menghindari badai laut, ada baiknya kalau pelayaran itu
ditunda. Mereka dapat membenahi rakit di pulau itu, dari pada
hancur dihempas badai laut yang jahat itu. Begitulah
pemikiran Suro ketika ia melihat ada pulau di sebelah kirinya.
Layar pun diarahkan ke sana, rakit di belokkan ke arah pulau
tersebut. Hujan semakin lebat. Angin cukup kencang. Anjani sempat
berteriak sambil mendekap kedua tangannya:
"Suro, aku kebasahan...!"
Suro masih tidak memberikan jawaban, karena
menganggap perkataan itu adalah perkataan anak kecil. Suro
sempat menggigil didera hujan lebat. Rakitnya oleng karena
ombak semakin gencar dan menghebat.
"Aku takut, Suro...! Aku takut...!" Anjani berpegangan tiang
layar yang sudah mau lepas dari badan rakit. Suro Bodong
berusaha membetulkan tiang dan bertahan, karena tak berapa
jauh lagi mereka sampai dipantai sebuah pulau kecil. Anjani
waktu itu berkata lagi di sela deru badai:
"Kita kembali saja, Suro. Jangan lewat sini. Di sini banyak
angin...!"
"Kalau kau mau, kembalilah sendiri! Aku tidak ikut!" teriak
Suro Bodong dengan dongkolnya. Anjani jadi terbungkam.
Lentur wajahnya menandakan kesedihan di sela rasa takut.
Suro berjuang mati-matian agar rakit bisa bertahan utuh dan
mencapai pantai.
Ternyata, usaha Suro tidak sia-sia. Rakit ambrol, tepat
mereka sampai di pantai pulau itu. Anjani berlari lebih ke
darat. Suro berjuang menarik rakit. Tapi angin berubah total
menjadi badai. Ombak laut bagai kibasan ekor naga yang
57 murka. Rakit itu dihempaskan ke pantai, lalu ditarik lagi oleh
ombak dan dihancurkan kian ke mari.
"Suro...! Surooo...! Oh, jangan pergi...!"
Anjani menjerit-jerit, karena Suro Bodong ditelan ombak.
Tubuhnya digulung ke tengah dan Anjani kebingungan
melambaikan tangan, "Surooo...! Kembali! Jangan nekad ketengah!"
Kecemasan Anjani memuncak dan menjadikan suatu tangis.
Ia sendirian di pulau yang baru disinggahi itu, tanpa teman,
tanpa pengawal. Ia ingin menceburkan diri ke laut dan
berenang menyusul Suro. Tetapi di sela derasnya hujan, ia
melihat Suro Bodong duduk di atas sebatang kayu rakit yang
sudah pecah. Tubuh Suro menyatu dengan kayu itu, meluncur
di atas ombak yang segera menghempas-kannya ke pantai.
Anjani segera berlari dan memeluk Suro tanpa canggungcanggung
lagi. Ia menangis di dalam pelukan Suro, sementara


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suro sendiri bagai mengalami shock beberapa saat.
Pulau itu cukup kecil. Hutannya tidak terlalu lebat. Banyak
tanaman semacam ilalang atau rumput liar yang tumbuh di
sana. Tetapi bagian tengah pulau itu kelihatan membukit,
sekali pun tidak tinggi dan hanya ditumbuhi oleh beberapa
pohon tinggi. Suro Bodong segera mengajak Anjani masuk ke rimbunan
pohon yang kira-kira hanya dua puluh pohon besar saja di
sana. Hujan tidak terlalu deras, karena tertutup beberapa
dedaunan. Suro mencoba menyelidiki pulau itu melalui
pendengaran dan penglihatan selintas, lalu ia menduga, pulau
ini kosong. Tanpa penghuni.
"Suro... ada goa di sana..." bisik Anjani.
Mereka segera berlari-lari ke kaki gundukan tanah luas
yang membukit. Ada beberapa pohon berjarak tak rapat. Di
sana memang ada sebuah goa dalam ukuran kecil. Pintu goa
atau mulut goa hanya seukuran tinggi Suro Bodong lebih
58 sedikit. Lebar mulut goa hanya cukup dimasuki dua orang
bersamaan. Mulut goa itu memanjang ke atas dengan
bebatuan warna hitam berserakan di depan mulut goa. Siapa
penghuninya"
Kosong. Suro Bodong telah memeriksa bagian dalam goa,
ternyata kosong. Banyak bebatuan yang menjulang di bagian
dalam goa yang ternyata melebar itu. Tapi setelah diteliti
melalui penciuman, pendengaran dan pandangan mata, goa
itu kosong. Tanpa ada manusia atau pun binatang yang
menghuninya. Hanya saja, bagian dalam goa cukup gelap.
Pandangan mata tak akan jelas memperhatikan bagian yang
lebih dalam lagi. Itu sudah cukup. Paling tidak Suro tidak
terlalu khawatir tentang keselamatan Anjani selama berada di
dalam goa itu. "Aku kedinginan, Suro...! Dan... dan agak takut, karena
gelap..." kata Anjani. Suro tidak banyak bicara, kecuali segera
mencari kayu kering. Tapi, semua kayu basah, karena hujan
turun dengan lebat. Apa boleh buat, kayu basah pun harus
bisa diusahakan menjadi bara api menyala, selain sebagai
penghangat juga sebagai penerang di dalamgoa.
Hanya ada satu cara untuk menghidupkan tumpukan kayu
basah yang sudah ditata sedemikan rupa itu, yakni dengan
menggunakan jurus Tapak Geni. Sebelumnya, Anjani sempat
berkata: "Jangan kayu basah. Cari kayu kering...!"
Suro Bodong tidak banyak bicara selain berkata, "Cari saja
sendiri...!"
Kayu-kayu basah disusun menggunung. Kemudian jurus
Tapak Geni digunakan. Dan kayu-kayu basah itu segera
terbakar. Sebentar kemudian, api itu padam. Suro
mengulangnya kembali, menggunakan jurus Tapak Geni. Dan
begitu sampai tiga kali, baru kayu bisa dibakar dan menjadi
penerang sekaligus sebagai penghangat tubuh yang
59 kehujanan. Mereka berdiang menghangatkan badan di dekat
api unggun itu. Mulanya sepi tanpa ada pembicaraan yang
akrab, namun lama-lama Suro Bodong terpancing untuk
berbicara, sekali pun masih kelihatan memendam kekesalan
hati. "Kau menyesal, Suro?"
"Ya. Aku tak pernah merencanakan dan bercita-cita diam di
tempat seperti ini," kata Suro dengan ketus.
"Kau ingin pulang?"
"Apa kau sudah tidak membutuhkan aku lagi"!"
Anjani bergeser duduknya, lebih dekat dengan Suro
Bodong. Ia memperhatikan Suro Bodong yang tengah
memainkan api dengan setangkai ranting.
"Kalau aku tidak membutuhkan kamu lagi, aku tidak akan
menangis waktu melihat dirimu terbawa ombak ke tengah
laut!" Diamnya Suro pasti mempunyai kecamuk batin yang penuh
perasaan. Suro Bodong menjadi gemetar ketika Anjani
semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Suro lalu ikut
memainkan api dengan ranting, dan semakin disukai Suro
Bodong. Suara itu empuk, tapi ada serak-serak sedikit yang
membuat kemerduan tersendiri bagi jenis suara semacamitu.
"Lama-lama aku memahami pribadimu. Cukup aneh, ada
kelembutan dibalik kekasaran sikapmu. Ada ketegasan di balik
ketenangan gayamu. Tapi... yah, itulah kamu!"
"Aku senang mendengar bicaramu, kalau kau bicara
sebagai orang dewasa seperti itu," kata Suro. "Tapi aku muak
jika kau bermanja diri dan menggunakan otak kekanakkanakan."
Anjani hanya tersenyumsambil melirik
60 Suro Bodong. Ia kelihatan seperti seorang putri raja yang
pantas diagungkan.
"Aku suka takut kalau kau cemberut dan diam saja," kata
Anjani tanpa memandang Suro, melainkan memandang api.
"Tanpa cemberut pun wajahku memang sudah
menakutkan."
"Sebenarnya tidak. Kalau kau mau tersenyum, sebenarnya
kau lumayan..."
"Lumayan apa?"
"Lumayan jeleknya..." goda Anjani. Suro Bodong tersenyum
malu, tapi Anjani menertawakan dengan suara yang sungguh
menggoda kejantanan Suro.
Di luar goa, malam telah menyelimuti bumi dan hujan
sedikit reda. Tidak sederas tadi. Debur ombak di lautan lepas
terdengar samar-samar bagai irama keperaduan.
"Nanti, kalau sudah sampai di Bukit Maya, kau tidak boleh
cemberut lagi."
"Memangnya kenapa?" kata Suro melirik Anjani.
"Di sana tidak ada orang bertampang susah seperti kamu.
Di sana yang ada hanya keramah tamahan dan keceriaan.
Masyarakatnya saling hormat menghormati dan kasih
mengasihi. Di sana senyuman tak boleh disimpan."
"Bagaimana dengan cemberut dan kemanjaanmu?"
"Ah, aku tidak pernah cemberut. Cuma... kesal saja sama
kamu...." "Kalau begitu, aku juga tidak pernah cemberut. Cuma
jengkel saja sama kemanjaanmu."
"Memangnya aku ini manja menurutmu?"
61 Suro mengangguk setelah garuk-garuk kumis. Lalu ia
berkata, "Orang cantik kalau manja tidak baik."
"Kenapa tidak baik?"
"Ditertawakan burung-burung di langit...."
Anjani tertawa lepas. Ia menyenggol paha Suro Bodong
yang ditekuk ke atas keduanya.
Ouw... indah sekali kalau begini, pikir Suro. Andai saja
Anjani mau bersikap dewasa dan membuang kemanjaannya,
mungkin Suro Bodong tidak sekesal tadi meski dalam keadaan
terlantar begini.
Suro banyak melamun, memandang api. Sementara itu, ia
sebenarnya tahu kalau Anjani menatapnya dari tadi dengan
kedua lututnya ditekuk ke atas dan dirangkulnya. Ia
meletakkan dagunya ke lutut itu dan memperhatikan Suro
Bodong tanpa bicara apa-apa. Suro
Bodong akhirnya menjadi salah t ingkah dan berkata:
"Tidurlah..." Suro memandang damai.
"Nanti saja..." kata Anjani. Ia masih memperhatikan Suro
Bodong dengan sorot mata yang sebenarnya indah dipandang,
hanya saja Suro tak berani balas menatapnya, la lebih berani
garuk-garuk kumis dan mendesah berulang kali karena
menahan sesuatu yang bergejolak di dalam hati.
Lama-lama Suro Bodong memberanikan diri bertanya:
"Kenapa kau memandangku terus?"
Anjani tidak segan-segan memberi jawaban tegas:
"Aku mengagumimu."
Debaran jantung Suro Bodong seperti ombak disapu badai.
Berdebar tak karuan, bahkan sempat membuat lidah kelu
sejenak. Lalu, Suro mencoba bertahan menatap Anjani.
62 "Apa yang membuatmu kagum?"
"Kau...."
"Kau" Maksudmu?"
"Aku kagum pada keberanianmu. Kau perkasa di depan
lawan pertarunganmu. Kau kelihatan jantan! Pantas kalau
menjadi seorang Senopati. Tapi... apakah kau perkasa di
depan istrimu?"
Suro Bodong tak dapat memusatkan pikiran. Kacau.
"Kau sudah berkeluarga, Suro?"
Ah, ini semakin kacau lagi. Tapi akhirnya dijawab oleh Suro,
"Kalau sudah, kenapa" Kalau belum, mau apa?"
Anjani menghela nafas dan mengalihkan pandangan. Apa
maksudnya" Ia bergegas membersihkan tempat, lalu terbaring
tak jauh dari api. Ia tidak bicara apa-apa. Suro memperhatikan
dengan pikiran semakin kacau. Ia kebingungan. Resah.
Bahkan sempat menggeram dalam kepanikan.
---0dw0--- 5 Suro Bodong menemukan bajunya sudah tidak ada. Tadi
malam, ketika ia akan pergi tidur, menyelimutkan baju itu ke
dada Anjani. Ia kasihan melihat Anjani dalam cengkeraman
hawa dingin. Lalu ia melepas baju merahnya, dan diam-diam
menyelimutkan ke tubuh Anjani yang telah tertidur dengan
lelap. Ia bahkan semalam memberanikan diri, nekad, mencium
kening Anjani pelan-pelan, dan mengusap pipi, lalu mengelus
rambutnya dengan penuh perasaan, setelah itu baru pergi
tidur. Ia tak mau mengganggu Anjani. Perempuan itu terlalu
63 agung baginya. Lebih dari seorang istri. Lebih dari seorang
putri. Dan sekarang, ketika mata Suro Bodong terbuka karena
terjaga dari tidurnya, ia tidak menemukan baju merah lengan
panjang. Bahkan ia tidak menemukan tubuh mulus dan wajah
cantik yang menggiurkan itu. Anjani tidak ada. Baju merahnya
juga tidak ada.
Buru-buru ia bangkit dan mencari ke luar goa. Sepi. Ah,
memang pulau ini sepi. Hutannya tak begitu lebat. Ukurannya
kecil. Satwa pun hanya terlihat satu dua yang ada. Ke mana
Anjani, ya..."
Suro bergerak ke arah pantai. Tapi baru beberapa langkah
ia menuruni bukit kecil itu, ia telah melihat Anjani berjalan
santai sambil mengenakan baju merahnya. Suro Bodong
tersenyum dalam siratan rasa haru melihat bajunya dikenakan
Anjani. Suro Bodong segera bersembunyi di balik rimbunan ilalang.
Ia bermaksud membuat kejutan bagi Anjani. Tapi tiba-tiba ia
mendengar suara dua orang lelaki berbisik di semak lain.
"Benar, kan"! Dia yang namanya Anjani...!"
"Masa'..." Kau tahu dari mana ciri-cirinya?"
"Semua tokoh persilatan sudah mendengar kabar bahwa
Anjani pergi dari Bukit Maya. Dan semua jago-jago Tanah
Jawa saling berebut mendapatkannya."
"Untuk dijadikan istri?"
"Husy, bukan sekedar istri. Waah... kamu ketinggalan
berita...."
Suro Bodong diam, mengatur pernafasan, sekalian
mengawasi Anjani. Semua pembicaraan yang didengarnya
langsung segera dicatat dalam benak.
64 "Menurut para ahli, Anjani mempunyai kekuatan yang maha
hebat. Kekuatan itu akan tersalur ke dalam tubuh kita apabila
kita berhasil memperkosanya. Kekuatan itu dapat
menghancurkan gunung dengan sekali tepuk."
"Wah... hebat sekali"!" '
"Konon, Anjani sendiri t idak bisa menggunakan ilmu itu.
Kesaktian yang hebat seolah-olah dipersiapkan bagi calon
suaminya. Dengan kesaktian yang ada padanya dan terserap
ke dalam tubuh kita melalui hubungan suami-istri, maka kita
dapat menjadi orang terkuat di dunia. Jangankan pukulan kita,
ucapan kita kalau sedang marah bisa menjadi kenyataan. Itu
menurut kabar yang kuterima dari mulut ke mulut. Makanya,
tokoh-tokoh persilatan yang tadinya sudah tidak mau muncul,
sekarang muncul lagi. Sebab ia ingin memperoleh
kesempurnaan...."
"Kesempurnaan apa?"
"Yah, kesempurnaan ilmunya. Sebab itu, kesaktian yang
ada pada diri Anjani itu dinamakan Ilmu Sampurna Jati."
"Ooo... kalau begitu, kita laporkan saja kepada ketua kita,
biar nanti...."
"Eeeh... jangan bilang siapa-siapa. Kita perkosa saja
sendiri, nanti kita akan lebih unggul dari Sang Ketua!"
"O, ya, ya... bagus usulmu itu. Ayo, kita kepung dia!"
"Jangan sampai dia berteriak, ya" Nanti Ketua kita tahu!"
"Bereslah... aku yang sekap dia dari belakang, dan kau
yang segera angkat kakinya untuk kita bawa ke tempat yang
lebih aman....!"
Sekarang jelas sudah, mengapa tokoh-tokoh rimba
persilatan saling bermunculan. Rupanya kesaktian yang
dinamakan Ilmu Sampurna Jati itulah yang diincar oleh
mereka. Pantas kalau orang seperti Resi Bayudara, Ki Punjo
65 yang tua, masih punya gairah untuk membawa lari Anjani.
Rupanya dengan cara memperkosa atau berhubungan badan
itulah ilmu Sampurna Jati akan mengalir di tubuh lelaki yang
berhasil bergumul dengan Anjani.
Mendengar rencana kedua orang yang belum diketahui
bentuk dan ujudnya, Suro Bodong segera menampakkan diri
perlahan-lahan. Rupanya ia tepat berada di belakang dua
orang lelaki yang sama-sama mengenakan rompi hitam.
Mereka semua bersenjatakan golok di pinggang.
Menyimpulkan kata-katanya yang tadi menyinggung soal Sang
Ketua, berarti bukan hanya dua orang ini yang datang ke
pulau itu. Suro Bodong tak boleh menyia-nyia-kan waktu dan
kesempatan. Bisa jadi kedua orang itu mempunyai banyak
teman yang lebih kuat.
Maka, ketika Suro sudah berhasil mendekati orang yang
paling belakang, tangan Suro segera meraih orang itu.
Mendekap orang itu agar tidak berteriak, lalu membenamkan
kerimbunan ilalang, dan memutar lehernya hingga terdengar


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara : "Kreek...!" Dan orang itu pun mati seketika dengan
leher patah total.
Seorang lagi sedang mengendap-endap Anjani dari
belakang, la tak tahu kalau ia sendiri ada yang mengincarnya
dari belakang. Suro Bodong bergerak dengan hati-hati. Dan
ketika orang itu menggerakkan tangannya untuk membekap
mulut Anjani, tahu-tahu mulutnya telah dibekap dari belakang.
Lebih dulu oleh Suro Bodong. Seperti tadi juga, orang itu tak
mampu berteriak. Ia diturunkan.ke bawah, dan kepalanya
segera dihentakkan ke belakang dengan keras. "Kreek...!"
Pada saat itu, Anjani berpaling.
"Oo..."!"
"Ssst...!!" Suro Bodong memberi isyarat agar Anjani jangan
berteriak. Mata Anjani membelalak pucat, Suro Bodong
mendekatinya. Anjani masih memegangi dadanya dan
66 menutup mulutnya. Ia amat gemetar. Suro Bodong segera
menyeret Anjani ke dalam goa, masuk ke bagian lebih dalam
lagi. Sisa kayu bakar yang masih membara dibawa masuk.
"Ada pendatang..." bisik Suro Bodong.
"Pendatang"!"
"Ya. Dua orang tadi akan memperkosa-mu."
"Ohh..."!" Anjani terpekik tertahan. "Dua orang" Aku hanya
melihat satu orang."
"Yang satu sudah kulumpuhkan di ilalang bawah. Kurasa ia
tidak datang hanya berdua. Pasti ada teman-temannya. Ia
memergoki kamu secara tak sengaja. Jadi, mereka pasti punya
maksud datang ke mari tidak bertujuan memperkosa kamu,
hanya kebetulan mereka mengenal kamu dan mau melakukan
pemerkosaan terhadap dirimu."
Anjani semakin cemas dan ketakutan. Ke-kanakkanakannya
mulai kambuh kembali. Ia berbisik kebingungan
dan serba salah. Suro Bodong mengingatkan berulang-ulang:
"Jangan keluar dari goa! Tetap saja di sini sampai aku
datang lagi! Jelas"! Aku akan mencari mereka...."
"Tapi... tapi kalau mereka cukup banyak, bagaimana?"
"Itu urusanku. Pokoknya aku ingin kau tidak ke mana-mana
selama aku belum kembali ke mari."
Anjani bagai tak rela melepas Suro Bodong sendirian keluar
goa. Ia berbisik, "Biasanya... hanya para bajak laut yang suka
mencari pulau-pulau kosong seperti ini untuk persembunyian
harta mereka, atau sebagai pusat kegiatan mereka. Hati-hati
Suro... kalau mereka benar bajak laut, berarti mereka
berjumlah paling sedikit tujuh orang. Dan mereka pasti
mempunyai kapal yang dilabuhkan...!"
67 "Anjani... asal kau tidak dijamah orang lain, aku akan
melindungimu dengan cara apa pun. Aku pengawalmu, kau
harus serahkan masalah ini padaku."
Anjani sengaja memeluk Suro Bodong yang seakan ingin
maju perang. Anjani menangis, kemanjaannya keluar lagi.
"Aku takut kehilangan kau, Suro...! Aku takut...!"
"Hilangkan pikiran semacam itu, nanti bisa membuat
pikiranku terganggu...."
Belum selesai mereka bicara, terdengar ada suara orang
mendekati sekitar goa. Anjani tegang dan makin ketakutan.
Terdengar suara seseorang berseru: "Cari pembunuhnya
sampai ketemu! Bantai dia di tempat! Dia harus tahu Bajak
Laut pimpinan Barong tidak boleh dipermainkan begitu saja!
Cari mereka...! Cepat...!"
Tiga orang masuk ke dalamgoa. Anjani semakin gemetaran
sekujur tubuh. Suro Bodong melepas pegangan tangan Anjani.
"Aku takuut..." bisik Anjani tak kedengaran lagi.
Terdengar seorang yang bersuara keras itu berkata kepada
dua orang lainnya:
"Hei, ada bekas api di sini! Pasti pembunuh kedua teman
kita itu ada di dalam goa ini!"
"Sreet...! Sreet...!"
Dua orang mencabut golok. Anjani semakin merasa ngeri.
Suro Bodong berbisik tepat di telinga Anjani, "Tenang. Mereka
dapat segera kuatasi. Lihat...."
"Aku... oh, Suro... aku takut...."
Suro Bodong meraba tangan kirinya pelan-pelan. Ketika
sampai pergelangan tangan, usapan tangan kanan itu sedikit
menghentak, seakan mencabut sesuatu. Dan ternyata benar.
Suro Bodong mencabut sesuatu yang memancarkan warna
68 ungu. Makin lama benda itu semakin panjang, tarikannya
perlahan-lahan bagai keluar dari bawah kulit dan daging
lengan kirinya. Mata Suro Bodong tetap biasa saja, sesekali
melirik ke depan. Tetapi mata Anjani terbelalak dengan mulut
terbengong. "Oooh...!" Ia bahkan terpekik ketika melihat tangan kanan
Suro Bodong telah memegang Pedang yang memancarkan
warna ungu. Indah sekali warna itu. Dan itulah pusaka Suro
Bodong yang bernama Pedang Urat Petir.
"Hei, aku mendengar suara pekikan seorang perempuan di
dalam sana!" kata salah seorang dari kawanan bajak laut itu.
"Coba kita periksa...!"
Seseorang yang tadi berbicara keras sekarang memberi
perintah, "Serang dia...! Pasti dia pembunuhnya! Serang dan
jangan diberi ampun...!"
Suro Bodong segera muncul dari persembunyiannya
dengan Pedang Urat Petir sudah di tangannya.
"Itu dia...!" kata salah seorang.
"Hiaaat..." salah seorang lagi melompat dari atas batu
setinggi satu lutut. Ia mengibaskan goloknya ke arah kepala
Suro Bodong bagai ingin membelah kepala itu.
"Trang...!" Suro Bodong menebaskan pedangnya ke golok
lawannya. Golok itu patah seketika. Pedang bercahaya ungu
bagai berpijar itu segera menebas perut lawan.
"Aaaahh...!"
Perut itu robek tak karuan, sedangkan sebuah tebasan
golok datang lagi dari arah samping kiri Suro. Tak sempat
Suro menangkis golok itu. Ia hanya memiringkan badan untuk
menghindar. "Weess...!" Pedang Suro Bodong ganti melesat
ketika golok lawan t idak mengenai kepala Suro Bodong.
69 Lawan sempat melompat sambil menendang pundak Suro.
Hampir saja Suro Bodong terpelanting jatuh karena tendangan
itu. Namun badannya segera bersandar pada tonjolan batu
besar yang dibalik batu itu terdapat Anjani bersembunyi.
Gerakan lawan begitu cepat mengayunkan goloknya dari atas
ke bawah dan kepala Suro Bodong yang menjadi sasarannya.
Tetapi Suro Bodong lebih dulu memegang pedang dengan
kedua tangan, dan... "Hiaaat...!!" Pedang itu ditusukkan ke
perut lawan. "Aaah...!!" orang itu mengerang dan jatuh berlimbah darah.
Suro Bodong sudah memastikan lawan itu mati. Ia segera
bergerak dengan lincah ke mulut goa. Sepi. Tak ada orang di
ruang depan mulut goa. Ia bergegas keluar sebelum terjebak
dalam goa itu. Ternyata ada seorang berambut panjang yang
baru saja meninggalkan goa itu dan berseru kepada yang
lainnya. "Hooii...! Musuh kita ada di sini, lekaas..."
Rupanya dialah tadi yang berbicara keras di dalam goa.
Suro Bodong melihat lima orang berlari dari arah Barat
menuju kepada orang yang bersuara keras, yang salah satu
matanya ditutup kulit hitam.
"Ia ada di dalam goa, eeh... itu dia orangnya! Serang!"
Sementara itu, Suro Bodong sempat melihat enam orang
datang dari arah lain. Mereka kebanyakan bersenjata golok
dan bola berduri dengan rantainya yang panjang. Suro merasa
tak ada waktu untuk bermain-main. Segera saja ia
menggunakan jurus Pedang Jitu yang sering digunakan
menyerang lawan secara rombongan.
Suro Bodong merenggangkan kaki dalam keadaan tetap
tegak. Kemudian pedangnya dilemparkan ke atas dalam
putaran tujuh kali. Ketika pedang sudah berputar tujuh kali,
Suro tidak menangkapnya memakai tangan, namun kaki
kanannya menendang pedang tepat bagian gagangnya.
70 "Traaak...!" Pedang pecah menjadi tujuh bagian, terpotong
dari pucuk sampai gagangnya. Potongan ketujuh pedang itu
melesat ke depan memburu lawan bagai anak panah lepas
dari busur yang kuat.
Suro tetap bersikap waspada dengan salah satu kaki
menekuk sedikit. Matanya bergerak liar memperhatikan kerja
ketujuh potongan pedang yang menembus tubuh lawan dari
bagian depan sampai lolos ke bagian belakang. Kemudian
ketujuh pedang itu berkumpul ke tangan kanan Suro Bodong.
Jerit dan teriakan menjelang maut terdengar dari mulut
kelima orang yang hendak menyerangnya itu. Bahkan lelaki
yang matanya tertutup satu itu pun dalam keadaan kelojotan
karena lehernya ditembus potongan ujung pedang.
Enam orang yang hendak menyerbu dari arah lain itu
segera berhenti. Mereka terbengong memperhatikan temantemannya
mati dalam satu kali gebrakan melawan Suro
Bodong. "Ketua kita juga mati..."!"
"Ya. Itu tubuh Barong Sumo sedang berkelojot sekarat!"
"Serang saja orang itu! Lekas seraaaang...!!" teriak salah
satu dari keenam orang. Mereka segera bergerak menuju ke
goa. Kali ini Suro Bodong menggunakan jurus lain.
"Suro... jangan jauh-jauh...!" Anjani menampakkan wajah
dari pintu goa.
Suro cemas. Lalu berteriak:
"Masuk...!!"
Suro tak sempat memperhatikan Anjani lagi sebab keenam
orang itu telah menyerbu lebih dekat dengan senjata siap di
tangan. Suro Bodong segera mengacungkan pedangnya ke
langit dengan kedua tangan, lalu pedang itu diputar-putar
sebanyak tujuh kali bersamaan dengan itu badannya pun ikut
71 berputar tujuh kali. Mendadak ia berhenti pada putaran yang
ketujuh, lalu pedangnya ditusukkan dari jarak jauh ke arah
enam orang lawannya. Dari setiap tusukan, menghasilkan
kilatan cahaya biru bening dan berkelok-kelok. Cahaya itu
meluncur dari ujung pedang dan menembus ke masingmasing
tubuh lawannya. Terdengar bunyi ledakan enam kali.
Kejadian berikutnya amat mengerikan. Keenam tubuh itu
hancur berkeping-keping dari kepala sampai kaki, tak ada
yang tertinggal sepotong pun. Tubuh mereka menjadi cuil-ancuilan
daging yang sangat mengerikan. Anjani rupanya
mengintip dari tadi. Dan ia menjerit ketika mendengar ledakan
yang mengguncangkan bumi sebanyak enam kali. Ia sangat
ketakutan dan ngeri melihat tubuh keenam lawan Suro
Bodong menjadi meledak hampir bersamaan.
"Lekas kita cari kapal mereka...!" seru Suro Bodong seraya
menyeret tangan Anjani. Mereka berlari ke pantai, tapi tak ada
kapal di sana. Mereka menyusuri pantai sambil berlari-lari.
Anjani masih mengenakan baju merah milik Suro Bodong, dan
Suro Bodong sendiri masih telanjang menggaruk kumisnya
yang tebal sebagai kebiasaan tak disadari. Dan pelarian
mereka menyusuri pantai pun berhenti.
Mereka menemukan kapal berlayar dua. Cukup besar.
Letaknya agak jauh dari pantai, sebab agaknya kapal tak bisa
merapat ke pantai.
Tak ada jalan lain bagi Suro untuk memperoleh kapal itu
kecuali dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang
cukup sempurna itu. Ia segera mengangkat tubuh Anjani dan
berlari dengan telapak kaki mengangkat di atas air. Anjani
kebingungan melihat kehebatan Suro Bodong yang mampu
berjalan di atas air tanpa tenggelam. Apalagi ia membawa
beban tubuh Anjani sambil berlari, buih-buih ombak itu bagai
menjaga telapak kaki Suro Bodong agar jangan sampai
tenggelam. 72 Suro Bodong segera menghentakkan kaki dan melompat ke
atas kapal dalam keadaan melayang.
"Jleg...!" Ia mendarat di geladak kapal bajak laut. Tubuh
Anjani diturunkan dan disuruh bersembunyi di balik gulungan
tambang. Dua orang muncul dari kabin bawah. Mereka segera
menyerang Suro dengan pedang lebar di tangan kanan. Suro
Bodong memainkan pedangnya dengan dikibaskan ke kanankiri
dengan cepat sehingga terlihat mereka hanya serangkaian
nyala sinar ungu yang menyilaukan.
"Hiaaat...!!" mereka berdua mencoba menembus kibasan
Pedang Urat Petir.
"Aaah...!" mereka berteriak bersamaan dan sama-sama
saling memandang perut masing-masing yang robek dalam
keadaan parah. Lalu keduanya sama-sama rubuh tak
bernyawa lagi. Pada saat itu, Suro Bodong mendengar
teriakan Anjani yang berseru, "Surooo...!! Awas di atas...!"
Rupanya ada orang yang muncul dari kamar atas, tempat
peneropong pantai. Orang itu sendirian, dan segera
melemparkan empat pisau belati yang bentuknya sama.
Keempat pisau itu meluncur cepat ke arah Suro Bodong.
Dengan gesit Suro Bodong berguling ke geladak, menghindari
keempat pisau itu. Pedangnya sempat dikibaskan bagai
membentuk setengah lingkaran dari atas ke bawah. Salah satu
pisau belati itu terkena kibasan pedang.
"Traaang...!"
Dan pisau itu berbalik arah, meluncur ke tempat semula.
Bahkan lebih cepat dari gerakan pertama. Orang yang
memiliki pisau itu terbelalak dan terkesima melihat salah satu
pisaunya kembali. Tahu-tahu, "Juub...!" Pisau menancap di ulu
hati orang itu. Teriakannya tak sempat terdengar. Ia mendelik
dan bersandar pada pagar ruang alas. Ia diam tak berkutik
untuk selamanya.
73 Suro Bodong segera memeriksa bagian geladak dengan
pedang masih teracung dengan kedua tangan memegangi
gagangnya. Matanya bergerak liar, menendang papan-papan
yang dicurigai, membuka pintu-pintu yang dikhawatirkan ada
orang menunggu di sana.
Ruangan geladak kosong, tanpa orang. Suro segera masuk
ke ruang bawah. Anjani mengikutinya dari belakang. Tetapi
Suro tetap dengan hati-hati dan penuh waspada setiap
melangkah. Sampai beberapa saat mereka masih melakukan


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemeriksaan. Ternyata tidak ada satu orang pun yang tersisa
di kapal itu. Yang ada hanya tumpukan harta, perhiasan dan
macam-macam bahan makanan yang sengaja ditimbun di
ruang bawah bagian sudut. Agaknya semua itu merupakan
barang hasil bajakan mereka.
"Kita aman...!" kata Suro Bodong seraya memasukkan
pedangnya ke lengan kiri. Anjani memperhatikan dengan mata
tidak berkedip ketika Pedang Urat Petir itu menyelusup masuk
dengan lembut ke dalam lengan kiri Suro, seolah sengaja
disimpan di bawah kulit dan daging. Dan ketika pedang sudah
tersimpan, Anjani menjadi heran karena di pergelangan
tangan kiri tidak ada bekas luka sedikit pun.
"Kau benar-benar mengagumkan, Suro..." bisik Anjani
sambil meraba dada Suro yang bidang.
"Kau juga!" kata Suro cepat sambil pergi, karena ia tak mau
tersiksa lebih lama lagi karena usapan jari-jemari Anjani itu. Ia
bergegas naik ke geladak dan menurunkan bendera kapal
yang bergambar tengkorak dan tulang bersilang itu.
"Itu bendera lambang bajak laut," kata Anjani ketika Suro
Bodong menyempatkan memperhatikan gambar bendera itu.
"Mau kita ganti dengan bendera apa?" tanya Suro. "Kapal
ini sudah menjadi milik kita. Terserah, kau suka gambar
apa...!" Anjani menjawab dengan tersenyum nakal, "Bagaimana
kalau gambarmu saja?"
"Dasar konyol...!" Suro Bodong meraih Anjani tapi Anjani
menghindar. Suro penasaran dan mengejar, Anjani lari sambil
tertawa lepas. Suro tak mau melanjutkan, ia takut dihunjam
seribu gairah jika terlalu lama berdekatan dengannya. Ketika
Anjani tertawa-tawa sambil melemparkan baju lengan panjang
milik Suro yang tadi dikenakan, Suro hanya menangkap baju
itu, lalu mengereknya menjadi bendera.
Kapal pun berlayar dengan tenang. Anjani menertawakan
bendera merah dari kain baju Suro Bodong. Ia memperhatikan
dari ruang teropong pantai sambil mengikik geli. Suro Bodong
ikut tertawa kecil dan berkata:
"Kau tahu, itu bendera apa?"
"Bendera Bodong...!" jawab Anjani semakin geli. Suro yang
berada di atas geladak hanya menggumam dalam tawanya
yang tak mau lepas berderai. Ia ikut memandang bendera
Bodong yang siap mengarungi samudra raya.
Rembulan menyorotkan cahayanya yang pucat ke atas
kapal berbendera Bodong. Angin berhembus dengan damai.
Air laut tenang, berkilauan bagai agar-agar yang memantulkan
cahaya bulan juga. Suro Bodong sengaja berhenti,
menurunkan jangkar di tengah samudra. Ia ingin menikmati
alam damai yang tenang untuk beberapa saat. Matanya
memandang lepas ke setiap cakrawala yang mengelilinginya.
Ia bagai memperoleh kelegaan dan kesegaran dalamotaknya.
Anjani tidak mau terkurung dalam kamar terus-menerus. Ia
tahu kalau kapal dalam keadaan berhenti. Ia naik ke geladak,
ke ruang kemudi, laut ikut memandang ke lautan lepas di sisi
Suro Bodong. "Kau menurunkan jangkar?" tanya Anjani tanpa
memandang Suro Bodong. Suro hanya menggumam.
75 "Aku ingin menikmat i kebebasan ini..." kata Suro dengan
wajah berseri. Hanya saja, sesekali ia masih menggaruk
kumisnya yang tebal. Badannya yang kekar tanpa baju itu
tidak merasa dingin sedikit pun, karena hembusan angin tak
sekejam ketika mereka berada di atas rakit.
"Aku juga ingin menikmati kebebasan. Aku merasa lega
telah jauh dari orang-orang yang memburuku." Anjani berkata
dengan lembut dan suaranya masih enak di dengarkan oleh
Suro Bodong. Apalagi Suro mencium bau harum yang melenakan hati, ia
semakin damai rasanya diam di tengah samudra itu. la sedikit
heran, mengapa bau harum itu tercium lagi pada malam ini,
seperti bau harum yang semerbak ke-iika ia tidur di atas
pohon, di hutan. Ia mengira ada bunga yang tumbuh di sana
dan wewangiannya sungguh membuai kalbu, menghadirkan
sejuta khayalan indah. Ternyata di lautan lepas ini, ia pun
mencium bau harum kembang yang amat dikagumi itu.
Mungkinkah di sekitar laut tumbuh bunga serupa dengan
yang ada di hutan itu"
"Tak berapa lama lagi kita akan sampai ke Bukit Maya,"
kata Anjani memecah kesunyian di antara mereka berdua.
"Aku tahu," kata Suro tanpa menyadari ucapannya.
"Dan... mungkin kau akan pergi meninggalkan aku, kembali
ke negerimu." Anjani bersuara pelan bagai menahan duka.
"Aku tahu..."
"Apa yang kau tahu?"
"Segalanya tentang kau...!"
Anjani menatap Suro Bodong sampai beberapa saat. Cantik
sekali wajahnya dalam terpaan sinar bulan dan hembusan
angin sepoi-sepoi itu. Suro Bodong sengaja memandangnya
untuk menikmati kecantikan itu beberapa saat.
76 "Apa yang kau tahu tentang aku?" desak Anjani pelan. Ia
kelihatan seperti benar-benar dewasa.
Beberapa saat kemudian, Suro Bodong baru menjawab:
"Sekarang aku tahu mengapa kau dikejar-kejar oleh tokoh
persilatan, dari yang tidak pernah muncul menjadi muncul.
Semua itu karena Ilmu Sampurna Jati yang ada pada dirimu,
bukan?" Anjani menahan diri untuk tidak terkejut, sekali pun hal itu
tidak semua bisa dikuasai. Gerakan mata yang sedikit melebar
sempat ditangkap Suro Bodong sebagai gerakan terperanjat.
Suro menjelaskan lagi,
"Aku mendengar tentang Ilmu Sampurna Jati dari dua
orang yang hendak memperkosa-mu di pulau kecil itu. Mereka
segera kubunuh, karena aku pengawalmu. Tugasku
menyelamatkan kamu dari ancaman siapa saja dan dengan
cara apa saja. Jika orang memburumu, maka ia harus
memburuku lebih dulu!"
Hati Anjani terharu mendengar kata-kata itu. Ia pun
berkata dalam bisikan yang masih jelas enak di dengar:
"Kau termasuk tokoh rimba persilatan, bukan?"
"Mungkin."
"Semua tokoh memburuku untukmemiliki ilmu itu, kenapa
kau tidak memburuku juga?"
Anjani bicara dengan kepala sedikit miring karena itulah
gaya ketulusannya. Matanya melirik ke wajah Suro dengan
sorot mata yang henar-benar melumpuhkan jiwa Suro Bodong
Mulut Suro sulit bicara sampai beberapa saat. Ia mencium bau
harum semakin tajam. Kegelisahan semakin mendebarkan
hati, bagai ingin membuat dada menjadi meledak.
"Kau tak berminat memburuku?"
77 "Kau..." Suro kebingungan. "Kau terlalu anggun, terlalu
agung bagiku. Aku hanya sekedar pengawalmu dengan
imbalan cincin yang amat mahal. Aku tak layak memburu
keagunganmu, Anjani."
Anjani menghela nafas, lalu memandang ke cakrawala. Ia
berkata dengan suara tertiup angin, semakin menggelitik
birahi Suro Bodong.
"Aku telah mempunyai pilihan..." Suro tidak menjawab.
Anjani melanjutkan ucapannya, "Aku ingin memberikan
keagungan ini kepadamu...."
Suro tidak bicara. Suro gemetar dan sukar bernafas dengan
lancar, la masuk ke kamar teropong pantai. Di situ ada sebuah
tempat tidur untuk satu orang. Suro menjatuhkan tubuhnya di
sana karena lemas, tak mampu menahan kedua lututnya
untuk berdiri. Ia gemetar dan berdebar-debar.
Anjani masuk kekamar teropong pantai. Tak ada tempat
lain untuk duduk, ruangan itu sempit. Ia berdiri di samping
Suro Bodong, memandangnya penuh pesona.
"Aku telah memagari tubuhku dengan gaun ini, jangankan
disobek orang, dibakar pun tak akan bisa."
Buro tertarik mendengar kata-kata itu. Ia ingat ketika
Blandong dan Taruna yang merasa kesulitan waktu ingin
merobek gaun itu. Rupanya gaun Jingga itu terbuat bukan dari
kain sutra, melainkan dari bahan kain yang jarang ada di
pasaran. Suro menggumam kagum di dalam hati.
Anjani duduk di tepian balai kayu, pahanya menempel
pinggang Suro. Hangat rasanya bagai mengalir ke seluruh
tubuh. Suro semakin gelisah.
"Kau menyesal mengawalku sampai di sini, Suro?" Anjani
berbisik. Suro hanya menggeleng, memberanikan diri menatap
mata Anjani yang mempunyai daya lebur hati. Hidung Suro
Bodong mendengus-dengus, bau harumsemakin jelas.
78 Anjani meraih tangan Suro Bodong yang mengenakan
cincin. "Di sinilah sebagian ilmu Sampurna Jati melekat. Hanya
sebagian kecil saja. Tak ada sekuku hitamnya." Anjani
mengusap-usap jemari Suro, dan Suro Bodong semakin lemas.
Ia bertambah kaget ketika Anjani dengan pelan mencium batu
Zippus yang menjadi mata cincin di jari Suro. Akibatnya Suro
Bodong jadi seperti orang bego, terbengong-bengong. Bahkan
ketika Anjani menekuk pelan tangan Suro, dan menciumkan
cincin itu ke bibir Suro, tak ada yang bisa dilakukan Suro
Bodong. Ia hanya bisa merasakan gejolak dalam dadanya sudah
semakin meledak-ledak. Ia melihat mata Anjani menjadi sayu
dan nafasnya mendesah tak teratur. Suro pun mengucurkan
keringat dinginnya. Ia merasakan adanya gairah birahi yang
meledak-ledak sangat kuat, dan lebih kuat dari yang pernah di
alami. Mungkinkah itu karena ia dan Anjani telah mencium
batu Zippus berwarna hijau muda itu"
"Oooh... bau kembang mewangi itu... sungguh meluluhkan
hatiku..." desah Suro Bodong.
Anjani merayapkan tangannya dengan lembut di dada dan
terus bergeser ke perut. Ia berkata dalam iringan desah birahi
yang kian menjadi, "Bau harum itu... bukan bau kembang,
Suro. Melainkan... bau nafasku sendiri... Ahhh...!"
Kapal berlabuh menurunkan jangkarnya.
Suro berlayar menurunkan jangkarnya pula. Anjani menjerit
dalam tangis kebahagiaan. Ia menyerahkan keagungan itu
kepada Suro yang amat dikagumi, sekaligus dicintai secara
diam-diam. Pribadi Suro yang sempat dipelajari dengan cepat
oleh Anjani membuat ia tak mampu mengelak lagi, bahwa ia
telah terjerat dengan keperkasaan Suro Bodong. Ia serahkan
keagungan itu, ia biarkan jangkar ditebarkan dan merobek
selembar keagungan dalamdirinya.
79 Anjani memeluk Suro Bodong erat-erat dan menjerit dalam
genangan mimpinya. Ketika jangkar menghantam, dan puncak
keagungan melanda Suro Bodong, tiba-tiba tubuhnya menjadi
memerah bagai besi membara. Suro menjerit di antara dua
rasa, kebahagiaan dan kesakitan. Sama halnya dengan jeritan
Anjani sebelum itu. Dan ketika tubuh Suro dalam keadaan
menjadi semerah bara, isak tangis Anjani semakin jelas
disusupkan dalam pelukannya yang erat sekali. Sebab saat
itulah, ilmu Sampurna Jati telah merasuk dalam tubuh Suro
Bodong bersama segenggam cinta yang tak terungkap lewat
kata. Sekarang, Surolah pemiliknya. Namun sebagai pengawal,
Suro Bodong tetap setia mendampingi Anjani sampai ke Bukit
Maya. Suro sama sekali tidak menduga kalau Bukit Maya itu
sebuah pulau es yang terapung-apung di tengah lautan.
Cahayanya yang putih memantulkan sinar matahari membuat
Suro terkagum-kagum. Bahkan ketika kapal mendarat,
sepasukan prajurit lelaki dan perempuan berjajar di dermaga.
Mereka cantik-cantik semua, ganteng-ganteng semua. Namun
hanya Anjani yang paling cantik dari sekian banyak wanita
mungkin seluruh jagad raya.
Ketika Anjani turun bersama Suro Bodong, semua prajurit
menunduk memberi hormat. Suro Bodong mengikuti langkah
kaki Anjani yang masuk ke dalam goa, menurun ke bawah dan
duduk di atas kereta beroda pipih. Kereta itu meluncur ke
bawah, dan terus ke bawah, sampai akhirnya berhenti di suatu
ruangan besar. Anjani masuk ke ruangan berikutnya dengan
diiringi Suro dan empat prajurit. Ternyata itu adalah ruang
Istana Bukit Maya. Anjani duduk di singgasana dengan
mengenakan mahkota seorang ratu. Suro memandang
bengong, sementara Anjani berkata, "Akulah ratu dan
penguasa di sini! Aku putri seorang bidadari yang punya
wewenang menyempurnakan sebuah ilmu pengabdian...."
80 "Kau..."!" Suro Bodong makin terbengong. "Mengabdilah
kepada perdamaian Suro. Tumbangkan segala bentuk
keonaran, kekejaman, dan kejahatan... kau kuangkat sebagai
Manggala Yuda, pelindung perdamaian di seluruh jagat raya
ini. Tetapi kau juga punya hak untuk kembali ke negerimu,
juga punya hak untuk..." Anjani berkata pelan, "kembali
kepelukan ku...."
Anjani, gadis manja yang kekanak-kanakan itu, ternyata anak seorang bidadari
yang mampu mempunyai kewibawaan serta ketegasan seorang ratu. Suro tak habis
pikir. Ia seperti bermimpi. Apalagi ketika Sang Ratu sendiri yang menyiapkan
segala ramuan dan merawat wajah Suro Bodong, sehingga wajah itu menjadi tampan,
walau tidak merubah uiud aslinya, oooh... Suro Bodong benar-benar seperti tidur
di atas pelangi yang sulit baginya untuk dipercaya.
Suro masih tertegun di samping Anjani, Sang Ratu Bukit Maya, yang sesekali
tenggelam le perairan laut dan sesekali muncul di-permukaann Itulah Bukit Maya.
Kali ini Suro berpakaian rapi, berdiri di pucuk Bukit Maya bersama Sang Ratu
Dewi Ayu Anjani. Mereka sama sama tertawa ceria ketika memandang sebuah kapal
yang masih berlabuh, dan mempunyai sebaris kenangan tersendiri bagi Sang Ratu.
"Kau ingat sesuatu di kapal itu?" tanya Suro Bodong sambil memeluk Ratu Bukit
Maya. "Ya. Aku ingat," katanya.
"Apa yang kau ingat?" desak Suro.
"Bendera Bodong...!" Anjani tertawa geli, Suro Bodong merenggutnya dalam senyum
kegembiraan yang menghangatkan.
SELESAI Pembuat Ebook : Scan buku ke djvu :Dewi KZ, Convert & Editor :Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ, http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/,
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/


Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Sungai Telaga 1 Pendekar Pulau Neraka 01 Geger Rimba Persilatan Dewi Karang Samudera 3

Cari Blog Ini