Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti Bagian 2
jahanam itu harus menyerahkan
Ratna sebelum kubenamkan ke dasar neraka...!"
Adipati Kusumadharma paham dengan maksud Suro
Bodong. Dan ia mulai sedikit lega, sebab dengan begitu Suro Bodong pasti akan
segera membereskan orang berpakaian serba hitam itu.
Namun sementara ini. Suro Bodong ternyata masih senang menjadi penonton suatu
perkelahian maut, antara para pengawal Kadipaten dengan orang bertopeng itu.
Suro Bodong bertolak pinggang di tempat, setelah berbisik
agar Adipati menjauh, ia memperhatikan jurus-jurus yang
digunakan oleh orang bertopeng. Memang sedikit aneh jurusjurusnya. Penuh tipuan. Buktinya, Sanggu sendiri terkena tendangan telak di
dagunya ketika ia merunduk pada saat lelaki bertopeng itu menendangnya ke atas.
Ternyata bukan kaki atas yang dijadikan sasaran, melainkan kaki yang masih
berpijak di tanah itulah yang berbahaya. Sebab kaki itu menghentak tanah
sehingga membuat suatu lompatan sederhana, namun justru ujung kaki itu menendang
dagu Sanggu yang merunduk. Tentu saja tendangan itu cukup telak dan menyakitkan,
karena tepat kepala Sanggu bergerak turun, tepat saat itu pula kaki tersebut
bergerak naik dengan cepat. Tak ayal lagi tubuh Sanggu terjengkang dalam posisi
tengadah ke atas. Dan saat itulah kaki yang di atas turun dengan cepat, tumitnya
menghentak keras di dada Sanggu. "Ciaaaat...!!"
Ketiga pengawal lainnya menyerang orang bertopeng dari
kanan, kiri dan belakang. Tetapi lompatan orang bertopeng itu cukup gesit.
Tubuhnya bagai melayang beberapa saat di udara dan membiarkan ketiga pengawal
itu saling berbenturan. Bahkan ada yang terkena goresan pedang temannya sendiri.
Pada saat itulah pengawal bertiga dikejutkan oleh kibasan pedang dari atas yang
menukik bagai burung hendak mendarat dengan landai.
"Heaaatt...!!"
"Trang... trang... trang...!!"
Untung ketiga pengawal segera menangkis kibasan pedang
itu sehingga tubuh mereka masing-masing luput dari bahaya maut.
Tetapi tubuh lelaki bertopeng segera melentik lagi ke udara begitu kaki kirinya
menjajak ke dasar tanah. Tubuh itu melayang dalam posisi menghadap ke langit dan
sedikit melengkung, sehingga kepalanya dapat melihat musuh yang hendak dituju.
Pedangnya siap di depan kepala yang meluncur, dan ternyata gerakan itu pun
merupakan gerak tipuan. Tubuh yang melengkung menghadap ke
langit itu tiba-tiba bangkit dan segera bersalto ke depan. Sambil bersalto, ia
mengibaskan pedangnya ke arah samping. Salah seorang pengawal terkena sabetan
pedang itu sehingga berteriak nyaring sambil memegangi telinganya. Rupanya orang
itu terpotong daun telinganya dan membuatnya gulung-gulung di tanah. Kedua
temannya menyerang lelaki bertopeng yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki
direnggangkan kokoh.
Lelaki itu menyilangkan pedang ke depan dada. Keadaan
tubuhnya tegap, tangan kanan memegangi tangkai pedang, dan
tangan kiri memegangi ujung pedang. Bagian pedang yang tajam menghadap ke depan,
Sewaktu kedua pengawal menyerang maju, ia tidak menggerakkan pedangnya,
melainkan menggerakkan kakinya.
Sebuah tendangan berputar dilancarkan. Kedua pengawal
merunduk seraya berusaha menebas kaki itu. Tetapi tanpa diduga-duga, justru
pedangnya itulah yang kini membabat punggung salah satu pengawal sehingga
pengawal yang satu tercengang kaget. Pada saat itu lelaki bertopeng menusukkan
pedang ke arah pengawal yang kaget. Pengawal itu melompat, tapi pedang sudah
terlanjur menembus pahanya dan ia pun rubuh dalam keadaan kesakitan.
Lelaki bertopeng mengkibaskan pedangnya sambil bersalto
ke atas pengawal yang mencoba berdiri dengan luka di paha.
Hampir saja pedang itu tepat membelah kepalanya kalau saja Suro Bodong tidak
segera melompat, menyongsong gerakan bersalto
lelaki bertopeng.
Punggung lelaki itu terkena tendangan Suro Bodong yang
bergerak miring itu. Karena kuatnya tendangan Suro Bodong, maka tubuh lelaki
bertopeng itu terpental sampai membentur tombak pagar taman keputren.
"Mengatasi orang satu saja sampai mau-maunya dibacok
pedang. Huhh... dasar pengawal-pengawal malas menghindar!"
gerutu Suro Bodong seraya melangkah mendekati lelaki bertopeng yang sudah
berdiri mepet dengan tembok pagar.
"Buka topengmu! Aku jijik...!" bentak Suro Bodong seraya menuding wajah lelaki
bertopeng. "Bukalah sendiri kalau kau mampu," jawab lelaki itu dengan berani. Suro Bodong
berseru: "Justru karena aku tak mampu maka kusuruh kau
membukanya, goblok!"
"Persetan dengan perintahmu! Hihh...!" Lelaki itu memasang kuda-kuda,
merendahkan badan dengan menarik tangannya ke
belakang, sehingga pedangnya ada di atas kepala, sedangkan
tangannya yang satu mengepal, dan terlipat di depan dadanya. Ia siap menyerang
atau diserang. Tetapi Suro Bodong justru duduk di batu besar sebagai penghias
taman. Ia berkata dengan garuk-garuk kumis sebentar.
"Ah, kau curang. Kau pakai topeng sedangkan aku tidak
punya topeng. Buka dulu topengmu, baru kita berkelahi! Ayolah, buka.... Jangan
malu-malu...." Suro Bodong duduk dengan santai, kaki kanannya ditekuk dan
ditaruh di atas lutut kaki kirinya.
Namun agaknya orang bertopeng itu semakin panas hatinya
karena dianggap mainan oleh Suro Bodong. Ia segera menebaskan pedangnya dengan
gerakan kaki kiri melangkah maju. Suro Bodong merundukkan kepala dan tetap duduk
saja. Ia justru tertawa
pendek: "Hahh...! Gerakanmu kurang gesit, Kawan. Kalau aku
merunduk, hantam bagian bawahnya, jangan bagian atasnya. Tolol!
Badanmu pun harus sedikit meliuk sehingga lebih luwes untuk membelokkan pedang
ke bawah...!"
Lelaki bertopeng itu mengikuti saran Suro Bodong, karena
ingin membuktikan saran tersebut, ia menebaskan pedangnya sekali lagi ke atas
kepala. Tujuannya membabat kepala Suro Bodong, ia juga meliukkan badan ke
samping, dan tiba-tiba gerakan pedangnya itu tak jadi meleset ke atas, namun
berbalik ke arah bawah. Bagai menyapu kaki Suro Bodong. Pada saat itu Suro
Bodong justru bergerak cepat, bagai hendak menelentangkan di atas batu.
Kemudian begitu pedang sudah melesat ke bawah dan tidak
mengenai apa-apa, ia buru-buru menarik kepalanya yang
melengkung ke belakang, ia kembali duduk dengan garuk-garuk kumis sebentar.
"Dasar tolol...! Tentu saja aku bisa menghindar sebab aku sudah tahu kau akan
membabat ke bawah. Jangan lakukan dengan sungguh saranku itu, goblok! Sudah
tentu aku tidak akan
menghindari dengan cara seperti tadi. Huhh...! Pulang saja sana.
Belajar lagi yang tekun dan jangan malas bernafas. Sungguh. Jangan malas
bernafas...!"
"Tutup bacotmu. Orang gila...! Hiaaat...!" Lelaki itu melayangkan tendangan ke
arah Suro Bodong yang masih duduk
dengan bertumpang kaki. Pedang lelaki itu siap menebas kepala Suro Bodong jika
tendangannya melesat. Tetapi, dengan tangkas Suro Bodong menendang betis yang
hendak menghantam wajahnya.
Tendangan kaki yang tadinya di atas lutut kiri itu begitu keras, sehingga lelaki
bertopeng itu terpental ke atas dalam keadaan hendak bersalto balik.
Pedangnya melambai di depan hidung Suro Bodong.
Secepatnya Suro Bodong memiringkan badan dan kepalanya ke kiri.
Lalu tangan kanannya memukul pergelangan tangan lelaki bertopeng dengan keras.
"Aauuw...!!" Lelaki itu menjerit kesakitan. Genggaman pedangnya terlepas, dan
jatuh hampir menancap di pundak Suro Bodong. Suro Bodong segera melemparkan
pedang itu ke depannya.
Pada saat itu, tubuh lelaki bertopeng yang melayang jatuh ke bawah karena
kehilangan keseimbangan. Ketika jatuh, punggungnya membentur ujung pedang yang
dilemparkan Suro Bodong. Punggung itu menancap, dan pedang itu menebus tubuh
lelaki bertopeng.
Berkelojotan lelaki itu, meregang dalam keadaan sekarat.
Suro Bodong bergegas menolong, "Hei, jangan mati dulu!"
Tapi terlambat. Nyawa lelaki bertopeng tak sabar, dan pergi juga dari raganya.
"Bangsat...! Mati lagi...!" caci Suro.
4 SEMAKIN jelas sekarang. Gerombolan Topeng Setan yang
dipimpin oleh Bayupati itu ikut campur dalam urusan penculikan bayi Adipati.
Suro Bodong menegaskan, bahwa Rukmini, bekas istri pertama Adipati Kusumadharma
itu, punya hubungan dengan
Gerombolan Topeng Setan. Entah hubungan jual beli jasa dan sewa menyewa pembunuh
bayaran, atau memang Bayupati punya
pamrih lain sehingga ia mau menolong usaha Rukmini. Yang jelas, Suro Bodong
mendesak Adipati agar segera mengirim orang-orangnya untuk menemui Rukmini.
Mulanya Adipati hendak menyuruh Suro Bodong sendiri
untuk bertemu dengan Rukmini dan menyelesaikan urusan itu
bersama beberapa orang Kadipaten. Tetapi Mahesa Tameng mencegah dengan berkata:
"Apakah pantas seorang tamu disuruh begitu. Kanjeng"
Apakah tamu Kanjeng itu tidak punya harga diri" Bukankah
sepatutnya seorang tamu diam saja di tempat menikmati sajian dan pelayanan tuan
rumah?" "Apa maksudmu sebenarnya, Mahesa?" tanya Adipati
setelah ia melihat rona wajah Suro Bodong kelihatan kecewa dan ingin memprotes
kata-kata itu. "Kanjeng," kata Mahesa. "Di sini, saya dan Kebo Jagal bertugas sebagai pengawal
pribadi. Dengan lain perkataan, saya dan Kebo Jagal bertanggung jawab atas
keamanan Kanjeng khususnya, dan keamanan Dalem Kadipaten pada umumnya. Jadi,
sudah sepantasnya jika masalah ini kami tangani berdua, sebagai rasa bakti dan setia
kami kepada Kanjeng dan Kadipaten Puspagiwang ini."
Adipati Kusumadharma manggut-manggut. Ruang Paseban
dilanda sepi sejenak. Dari kursi kebesaran yang diduduki itu.
Adipati memandang beberapa wajah yang tampak siap mati demi membela Kadipaten
Puspagiwang. Kemudian, ia juga memandang
wajah Suro Bodong yang berdiri di luar lantai Paseban, menikmati jagung bakar,
bersadar pada salah satu tiang teras Paseban.
"Kakang Suro Bodong...!" panggil Adipati.
Suro Bodong berpaling. Adipati melambaikan tangan.
Dengan perasaan malas dan lagak jalan seenaknya saja, Suro Bodong mendekati Adipati Kusumadharma.
"Apa...?" kata Suro Bodong setelah berdiri di samping Adipati. Secara singkat,
Adipati menjelaskan kata-kata Mahesa Tameng yang sebenarnya sudah didengar oleh
Suro Bodong sendiri.
"Lalu, bagaimana menurut pendapatmu, Kakang Suro?"
Sambil mengunyah jagung dan menjadi bahan perhatian
para punggawa Kadipaten lainnya, Suro Bodong menjawab:
"Kalau menurutku, kata-kata jagoanmu itu benar. Memang mereka berdua yang
bertanggung jawab terhadap keamanan di sini.
Jadi kalau sekarang keadaan di sini tidak aman, berarti merekalah yang membuat
keadaan jadi tak aman."
"Hei, bicara jangan seenaknya, ya"!" hardik Kebo Jagal yang bertubuh besar dan
bermata belo. "Aku bicara sesuai kata-kata jagoan itu...." Ia menunjuk Mahesa Tameng yang
memandang Suro dengan sinis. "Kalian adalah petugas keamanan di sini. Tugas
kalian adalah mengamankan Kadipaten dan seisinya. Jadi kalau ternyata
Kadipaten ini tidak aman, berarti kalian tidak bertugas. Kan benar apa kataku,
ya tidak" Seorang petugas keamanan kerjanya
mengamankan. Kalau sampai tidak aman, berarti tidak bekerja."
"Hati-hati kau, Suro Bodong...." geram Mahesa Tameng
"Aku kan sudah hati-hati!" tegas Suro Bodong. "Apa aku bicara salah" Aku kan
mengatakan, petugas keamanan gunanya
untuk mengamankan satu daerah. Kalau daerah ini tidak aman, berarti petugas itu
tidak berguna. Kan benar, ya kan?" Suro berkata kepada Sanggu, Sanggu mengangguk
tanpa sadar. Mahesa Tameng semakin menggeram, dan Sanggu buru-buru menunduk.
Melihat gelagat adanya permusuhan batin. Adipati segera
menengahi dengan berkata:
"Aku bangga dengan kesetiaanmu, Mahesa Tameng dan
kau, Kebo Jagal. Aku sangat gembira mempunyai petugas keamanan seperti kalian.
Tanpa kalian mungkin aku dan Kadipaten ini tidak aman karena itu...."
Mahesa dan Kebo Jagal gelisah mendengar ucapan itu.
Hatinya semakin gondok, karena gara-gara ucapan Suro Bodong maka ia jadi
menerima sindiran yang amat pedas.
"Karena itu... kutugaskan kalian berdua untuk menemui
bekas istriku, dan merebut kembali bayi itu."
"Maaf, Kanjeng...." kata Mahesa. "Apakah Kanjeng yakin betul, bahwa Gusti Ayu
Rukmini adalah pencuri putra Kanjeng"
Sebab menurut pengamatan kami. Gusti Ayu Rukmini itu perempuan biasa. Artinya tidak mempunyai ilmu silat ataupun keberanian menyelusup dan
mencuri bayi dari dalam Kadipatan ini. Rasa-rasanya beliau tidak mungkin menjadi
pelakunya, Kanjeng. Menurut pengamatan saya...."
"Apakah selama ini kau merasa pengamatanmu selalu
benar?" sahut Adipati dengan cepat. Dan hal itu membuat Mahesa terbungkam
seketika, lalu menunduk. Adipati Kusumadharma berkata lagi:
"Kerjakan perintahku, Mahesa. Kau pasti sanggup
menemukan putraku kembali! Aku percaya kepada kalian berdua.
Jelas Kebo Jagal"!"
"Jelas, Kanjeng."
"Berangkatlah bersama orang-orang pilihanmu sekarang
juga!" tegas Adipati Kusumadharma.
Suro Bodong tetap menikmati jagung bakar yang
diperolehnya dari juru masak Kadipaten tadi. Sesekali ia menggaruk kumisnya yang
lebat. Sesekali ia melirik gerakan Mahesa dan Kebo Jagal yang merasa dongkol
kepadanya. Suro Bodong tahu, ia tidak disukai
oleh kedua jagoan yang diandalkan Adipati Kusumadharma, tetapi ia tak mau mengimbangi kedongkolan itu. Ia tetap berlagak
tidak tahu menahu perasaan mereka berdua.
Menjelang sore, Suro Bodong terlihat melintasi regol depan.
Adipati Kusumadhanna segera memanggilnya lewat perantara
prajurit yang bertugas di sekitar halaman depan. Sebab sejak peristiwa hilangnya
bayi yang baru lahir itu, semua prajurit dikerahkan untuk berjaga-jaga setiap
saat di sekeliling Dalem Kadipaten.
"Kakang Suro mau pergi?" tegur Adipati setelah Suro Bodong menemuinya.
"Ya. Aku mau jalan-jalan menghirup udara sore di sekeliling Kadipaten." jawab
Suro Bodong seraya membetulkan letak jubahnya yang berwarna merah menyala.
"Kuharap Kakang Suro Bodong jangan pergi jauh-jauh
dariku. Ketahuilah, Kakang Suro... aku sudah menganggap Kakang Suro Bodong
sebagai saudara kandungku sendiri, terutama sejak Kakang menyelamatkan nenek
Limbak di perjalanan, dan terlebih lagi setelah aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri bagaimana
kehebatan Kakang Suro dalam melawan orang bertopeng itu."
Suro Bodong tidak memandang Adipati, melainkan
memperhatikan cahaya sore yang menerpa dedaunan di sekeliling Dalem Kadipaten
itu. "Aku akan kembali lagi...!" kata Suro Bodong setelah terbungkam beberapa saat,
dan tanpa menunggu perintah maupun izin dari Adipati, ia nyelonong saja ke luar
lewat pintu regol depan.
Adipati Kusumadharma hanya memperhatikan dengan kepala
menggeleng-geleng pelan. Ia mengagumi kehebatan Suro Bodong. Ia menyukai
kepolosan dan keluguan sikap bicara maupun tindak-tanduk Suro Bodong. Sebab itu
ia akan merasa rugi jika kehilangan Suro Bodong. Tetapi, betapa pun sukanya ia,
namun ia tahu bahwa Suro Bodong tidak senang dikekang dan diperintah seenaknya.
Maka, ia pun membiarkan Suro Bodong keluar dari Dalem
Kadipaten dan melakukan apa saja sekehendak hatinya.
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Kusumadharma tidak tahu ke mana Suro Bodong
pergi. Yang jelas, ketika malam hari, Mahesa dan Kebo Jagal pulang, Suro Bodong
tidak terlihat ada di situ ia belum pulang. Dan ia tidak tahu apa yang dikatakan
Mahesa tentang Rukmini, bekas istri pertama Adipati itu.
"Kanjeng... saya temukan Gusti Ayu Rukmini telah tewas di belakang rumahnya...."
"Apa..."! Rukmini mati..."!" Adipati terkejut sekali, sampai-sampai ia berdiri
dari duduknya dengan mata membelalak lebar.
Pada saat itu, Kebo Jagal menjawab:
"Benar,.Kanjeng. Gusti Ayu kami temukan dalam keadaan
terluka parah pada bagian tubuhnya, termasuk bagian leher.
Menurut keterangan seorang pencari rumput, beberapa saat sebelum kami datang,
ada tiga orang bertopeng yang masuk ke rumah Gusti Ayu Rukmini...."
"Agaknya, Gerombolan Topeng Setan itulah yang telah
membunuh Gusti Ayu Rukmini, Kanjeng," sambung Mahesa.
Sampai beberapa saat lamanya Adipati Kusumadharma
tertegun dalam kesedihan. Ia sempat merasa kasihan kepada bekas istrinya itu.
Sekalipun ia pernah sakit hati atas tindakan Rukmini yang berbuat serong dengan
pegawainya, tetapi demi mendengar kematian Rukmini, ia jadi sedih dan terharu.
"Begitu tragisnya kematian itu." pikir Adipati.
Mahesa menghibur hati Adipati dengan mengatakan,
"Tetapi, Kanjeng... malam ini juga kami tetap ingin mencari putra Kanjeng ke
mana pun berada. Jangan khawatir, kami akan
membawa pulang bayi itu, sekalipun kami harus melawan
Gerombolan Topeng Setan."
"Gerombolan Topeng Setan"!" Adipati berkerut. "Kau yakin anakku dibawa mereka?"
"Yakin sekali tidak, Kanjeng. Tetapi ada kemungkinan
begitu," ujar Kebo Jagal. "Sebab, kematian Gusti Ayu Rukmini itu jelas
disebabkan oleh keganasan Gerombolan Topeng Setan.
Sedangkan mereka pasti tahu, bahwa Gusti Ayu adalah bekas istri Kanjeng. Lalu,
ada kemungkinan kematian Gusti Ayu itu akibat beliau mengetahui rencana
penculikan putra Kanjeng. Mungkin karena Gusti Ayu tidak mau membantu penculikan
tersebut, sedangkan niat mereka sudah terlanjur diutarakan kepada Gusti Ayu, maka untuk
menutupi jejak mereka membunuh Gusti Ayu
Rukmini." Sambil berkerut dahi, Adipati Kusumadharma manggutmanggut. Kemudian berkata, "Terserah kalian! Pergilah dan dapatkan kembali
mahkotaku yang amat kurindukan kelahirannya itu...!" Kegelisahan Adipati sangat
menyiksa batinnya, ia mondar-mandir di kamarnya. Istrinya selalu menangis dan
tak henti- hentinya menanyakan apakah bayinya sudah ketemu atau belum.
Sesekali Adipati membujuk istrinya untuk tenang, sesekali ia kebingungan
sendiri, terkadang ia menjadi jengkel dan membanting pintu kamar lain. Emban ada
tiga yang merawat dan melayani istri Adipati. Sementara istrinya dalam pelayanan
dan perawatan emban, Adipati mencoba melongok kamar Suro Bodong. Tetapi lelaki
bertubuh agak gemuk dengan perut sedikit buncit itu belum juga muncul.
Kira-kira tengah malam lewat, ketika Adipati tidak bisa
tidur, Suro Bodong datang dengan mengunyah jagung bakarnya. Ia kelihatan santai
sekali. Ia sempat membagikan dua potong jagung bakar kepada penjaga regol depan.
Dan ketika ia bertemu dengan Adipati di ruang tengah yang menuju kamarnya, ia
masih mengunyah-ngunyah jagung bakar kesukaannya.
"Aku sudah sejak tadi menunggu-nunggu kedatanganmu,
Kakang," kata Adipati Kusumadharma sedikit lega.
"Kenapa ditunggu" Aku kan tidak menyuruhmu menunggu." jawab Suro Bodong sembari memetik-memetik biji jagung dengan jempol
kanannya. Sesekali ia melemparkan biji jagung itu ke mulutnya, dan mengunyah
dengan santai. "Ada berita yang perlu kau dengar, Kakang," Dan kali ini Adipati mengajak Suro
Bodong duduk di kursi samping pintu
kamar Suro Bodong.
"Kabar apa?"
"Tentang Rukmini!"
"O, jadi kedua jagoanmu itu sudah ke sana?" Suro Bodong garuk-garuk kumis
sebentar, lalu memetik jagung lagi.
"Memang, mereka sudah sampai sana. Tetapi... mereka
menemukan Rukmini dalam keadaan... mati."
Ada beberapa jagung yang jatuh. Suro Bodong memungutinya dengan acuh tak acuh, tanpa malu. Lalu
melemparkan ke mulutnya, dan mengunyah. Ia kelihatan tenang, tidak terkejut
sedikitpun. "Rukmini mati, Kakang...!"
"Hemmm...!" Suro Bodong menggumam, tenang.
Melihat reaksi Suro Bodong tenang saja. Adipati jadi
bingung. Lalu ia menjelaskan lagi karena mengira Suro Bodong tidak jelas.
"Rukmini tewas...!"
"Iya. Aku tidak tuli. Aku mendengarnya!"
"Kakang tenang saja."
"Sebab aku tidak menyuruhnya mati...." jawab Suro Bodong seenaknya. Adipati
sempat dongkol sedikit, tapi buru-buru
memaklumi sikap cuek yang ada pada Suro Bodong.
"Menurut laporan Mahesa, ada seorang pencari rumput
yang melihat tiga orang bertopeng masuk ke rumah itu. Dan ketika Mahesa serta
orang-orang kita datang ke sana, Rukmini ditemukan mati di belakang rumahnya.
Berarti... bukan dia mencuri bayiku, Kakang.?"Lalu siapa?"
"Orang-orang Topeng Setan itu!"
Sambil mengunyah jagung, Suro Bodong sempat tersenyum
sinis. Ia memperhatikan biji jagung yang dipetik-petiknya. Lalu, setelah
beberapa saat bungkam, ia berkata seenaknya: "Yang bilang dia mati, siapa?"
"Mahesa...!" jawab Adipati bersemangat. "Mahesa dan Kebo Jagal. Mereka melihat
dengan jelas keadaan mayat Rukmini yang menderita banyak luka, terutama di
bagian leher."
"Lalu, mayatnya di mana?"
"Kata mereka, mereka ke situ malah seperti petugas kubur saja. Mereka menggali
kubur dan memakamkan jenazah Rukmini di belakang rumah."
"Apakah Rukmini tinggal sendiri di rumah itu?"
Adipati Kusumadharma terhenti sejenak. "Setahuku...."
katanya setelah berpikir, "Ia tinggal bersama kakaknya yang bernama
Turonggo...!"
"Apakah kakaknya itu juga mati?"
"Hemm... tidak tahu. Mahesa tidak menjelaskan di mana
dan bagaimana Turonggo. Mungkin juga mereka tidak menemukan Turonggo. Sebab,
Turonggo adalah seorang pemburu kulit macan yang lebih suka tinggal di hutan
daripada di rumahnya sendiri."
Sebentar, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya, lalu
menggumam. Adipati Kusumadharma menunggu kata-kata dari
Suro Bodong. Tapi Suro Bodong sibuk mengunyah jagung bakarnya.
Hanya saja, beberapa saat kemudian, Suro Bodong bicara pelan, sepertinya bicara
pada diri sendiri:
"Terlalu...!"
"Apanya yang terlalu, Kakang?" desak Adipati penasaran.
"Capeknya ini...! Terlalu capek aku habis keliling alun-alun dan melihat
keramaian malam Kadipaten Puspagiwang. Aku ingin tidur."
'Kakang tidak punya saran untukku?"
"Tidur. Itu saranku."
Suro Bodong beranjak dari kursi dan bergegas masuk ke
kamarnya. Sedangkan Adipati Kusumadharma hanya tertegun
memandanginya. Lalu ia pun bergegas menemui istrinya. Ia juga mengkhawatirkan
kesehatan istrinya yang baru melahirkan itu.
Terutama kesehatan jiwanya. Sebab, beberapa kali ia menemukan istrinya bicara
bagai sedang menimang bayi. Hal ini sangat
membuat Adipati prihatin sekali. Ia bagai tak sabar, ingin lekas menemukan
bayinya kembali.
Tapi kapankah ia akan menemukan bayinya" Orang yang
paling dicurigai telah mati. Sekarang kecurigaan ada pada
Gerombolan Topeng Setan.
Tapi mengapa sampai saat ini belum ada utusan atau surat
yang mengatakan bahwa gerombolan itu menghendaki uang
tebusan bagi bayi Adipati. Seandainya gerombolan itu menuntut uang tebusan,
berapa pun permintaannya, berapa pun mahalnya.
Adipati akan menebusnya dengan suka rela. Ia lebih baik kehilangan harta benda
daripada kehilangan satu putra keturunannya. Kalau memang hal itu dikehendaki
oleh pencuri bayi, Adipati tak akan menunggu pertimbangan lain. Ia akan
melaksanakan. Dan, ah...
mengapa ia tidak bicarakan kepada Mahesa, supaya Mahesa bisa menyampaikan kepada
Gerombolan Topeng Setan. Bukankah
Mahesa dan Kebo Jagal saat ini menyerang ke sana" Ke sarang Gerombolan Topeng
Setan.."! Pagi menyingsing di ujung fajar. Semalaman Adipati tak
dapat tidur. Ia segera membangunkan Suro Bodong, sebab saat itu, hanya Suro
Bodong yang enak diajak bertimbang rasa.
Tapi ketika ia membuka pintu kamar Suro Bodong yang tak
pernah terkunci itu, ternyata kamar itu telah kosong. Adipati Kusumadharma
berpikir sejenak, mungkinkah Suro Bodong kencing atau bahkan mandi sepagi ini"
Atau mungkinkah ia sedang duduk di taman menghirup embun pagi"
Tidak. Di kamar mandi maupun di taman tidak ada Suro Bodong. Di mana pun ia
mencari dan bertanya, tak seorang pun tahu di mana Suro Bodong. Bahkan penjaga
regol depan dan regol samping tidak ada yang melihat Suro Bodong keluar dari
pagar Dalem Kadipaten.
"Kok aneh?" pikirnya.
Mulanya Adipati Kusumadharma mencoba untuk melupakan keanehan itu. Suro Bodong memang manusia yang
menyimpan banyak keanehan, pikirnya. Adipati mencoba
menenangkan diri dengan menganggap hal itu adalah salah satu ke-biasaan Suro
Bodong yang mungkin amat digemari, selain makan jagung bakar dan garuk-garuk
kumis. Menghilang, membuat orang heran, itulah salah satu kesukaan Suro Bodong
menurut Adipati.
Tetapi setelah siang mulai merayap dan Suro Bodong belum
kelihatan juga, Adipati mulai curiga, bahwa lelaki berambut tak pernah disisir
dan dirapikan itu ternyata telah meninggalkan Kadipaten secara diam-diam. Ia
sengaja tak mau pamit, sebab kalau pun pamit pasti tak akan diizinkan. Jadi,
Adipati merasa ditinggalkan begitu saja, sehingga sempat pula hatinya menjadi
dongkol. Hanya saja, ketika siang itu ia bersama istrinya di dalam
kamar, membujuk istrinya, menghiburnya supaya sedikit menghilangkan kesedihan, tiba-tiba ia mendengar suara Suro
Bodong berseru kepada salah seorang pelayan. Hati Adipati tergu-gah dan segera
beranjak ke luar dari kamar. Ia bertanya kepada salah seorang pengawal yang
berdiri di depan pintu kamarnya:
"Aku mendengar suara Suro Bodong. Di mana dia"!"
"Ada di ruang depan. Kanjeng," jawab pengawalnya.
Langkah Adipati begitu cepat, malah hampir-hampir ia
tersandung selopnya sendiri. Langkah itu menjadi berhenti seketika setelah dia
berhadapan dengan Suro Bodong. Mata Adipati melebar, mulutnya ternganga. Ia
sempat gemetar, sebab kali ini Suro Bodong muncul tidak sendirian, melainkan
bersama seseorang yang terikat tangan dan kakinya.
"Adipati...." kata Suro Bodong seraya membuka ikatan pada mulut orang itu. "Aku
punya oleh-oleh untukmu. Kau pasti kenal dengannya. Dan Mahesa serta Kebo Jagal
itu pasti juga mengenalnya dengan baik, mungkin lebih baik mereka daripada kau.
Adipati." Beberapa saat Adipati tak mampu bicara. Tertegun, melotot
memandang perempuan bertubuh sedikit kurus dengan kulit warna sawo matang.
"Rukmini...!" Adipati mengucapkan nama itu dengan sangat pelan. Perempuan yang
dipanggil Rukinini buang muka dengan
kebencian yang terlintas di wajahnya.
Adipati tak habis pikir, mengapa Mahesa mengabarkan
bahwa Rukmini bekas istrinya itu telah mati dibunuh Gerombolan Topeng Setan.
Padahal kenyataannya Suro Bodong malah berhasil menawannya dan membawanya ke
Kadipaten ini benar-benar
membingungkan bagi Adipati.
"Kakang Suro Bodong... bagaimana hal ini bisa terjadi, Kakang?"
"Mudah saja...!" seraya Suro Bodong membiarkan Rukmini jatuh terduduk di lantai,
sedangkan ia sendiri sibuk garuk-garuk kumis sejenak. Ia menjelaskan kepada
Adipati: "Waktu kau katakan bahwa Rukmini mati, aku tidak
terkejut. Kenapa" Karena aku mengikuti ke mana perginya Mahesa dan Kebo Jagal.
Eh... bukan, bukan begitu!" Suro Bodong bingung sendiri. "Begini...." katanya
lagi. Raut wajah Rukmini disembunyikan di balik rambutnya
yang lepas tergerai. Ia bagai muak, tak mau menatap Adipati, juga muak tak mau
mendengar ocehan Suro Bodong. Namun Suro
Bodong jelas tidak peduli dengan kemuakkan itu. Ia tetap saja bercerita kepada
Adipati Kusumadharma.
"Aku sengaja mengintai dari kejauhan, apa yang terjadi di rumah Rukmini. Ingat,
kau pernah memberiku keterangan tentang letak rumahnya, bukan" Dan aku mengintip
dari kejauhan, ingin mengetahui apa saja yang dilakukan kedua jagoanmu itu di
rumah Rukmini. Eh, ternyata mereka malah bermesra-mesraan. Satu lawan dua....
Gila, kan! Untung aku tidak ikut nimbrung sekalian...!"
Memerah wajah Adipati mendengar hal itu. Namun Suro
Bodong belum meberinya kesempatan untuk bicara. Suro Bodong meneruskan kisahnya:
"Lalu aku mendengar mereka membuat suatu rencana.
Rencana licik. Dan... ternyata rencana itu kau sampaikan pula padaku. Sebab itu,
aku tidak kaget. Aku malas untuk kaget! Lalu tadi malam, aku tak bisa tidur.
Sebenarnya aku ingin mencari keterangan
secara diam-diam dimana perempuan ini menyembunyikan bayimu, tetapi... aku tidak sabar. Lalu, diam-diam kucolong dia
dan kubawa ke mari. Sumpah, itu kulakukan diam-diam. Waktu dia hendak mandi, aku
menyelusup masuk. Dan
kebetulan kakaknya tidak ada, maka kugendong dia ke mari. Yaah...
lumayan juga capeknya. Tapi, mudah-mudahan dengan kubawa dia ke mari, kita bisa
mengetahui di mana bayi itu disembunyikan olehnya!"
"Aku tidak tahu soal bayimu!" cletuk Rukmini tiba-tiba kepada Adipati. Suaranya
ketus, dan bernada memusuhi.
"Lalu siapa yang mencuri bayiku, Rukmini?"
"Aku tidak tahu, titik! Kalian salah duga!" jawabnya sambil membentak. "Aku
tidak mencuri bayimu, tahu"!"
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suro Bodong menyela kata. "Adipati, kurasa memang bukan dia yang mencuri bayimu,
tapi perintah itu adalah perintahnya.
Orang lain yang melakukannya. Dan di mana bayi itu
disembunyikan, tentu dia tahu, sebab perintah menyembunyikan bayi juga darinya.
Dia berkomplot dengan orang-orang Gerombolan Topeng Setan!"
"Benarkah begitu, Rukmini"!" sahut Adipati dengan geram.
"Kau berkomplot dengan orangorang Topeng Setan"!"
Rukmini tidak menjawab, tetapi Suro Bodong yang
menyahut dengan lantang:
"Kurasa bukan hanya berkomplot, tapi dia juga sebagai
anggota Topeng Setan. Lihat wajahnya... sudah tidak perlu pakai topeng memang
mirip setan jika begini..!"
"Benar-benar iblis...!" geram Adipati Kusurnadharma.
"Memang benar!" jawab Suro Bodong. "Dan menurut apa yang kulihat sejak kemarin,
ternyata Turonggo kakaknya itu. Adalah orang penting di dalam Gerombolan Topeng
Setan. Dan adiknya ini, sebagai anggota di belakang layar...."
"Luar biasa...!" geram Adipati sambil dadanya kembang kempis karena menahan
emosi marah. "Ternyata pengkhianatanmu dari dulu sampai sekarang masih
berkelanjutan, Rukmini!"
"Dia bohong! Dia tahu apa tentang aku!" bantah Rukmini.
Suro Bodong meraih dagu Rukmini dengan kasar.
Perempuan yang umurnya sudah cukup namun masih kelihatan
cantik dan menggairahkan itu meringis kesakitan. Suro Bodong tidak peduli. Ia
berkata dengan wajah hampir berjarak sejengkal dari mulut Rukmini.
"Hei, aku mendengar keluhanmu ketika bergumul dengan
Mahesa dan Kebo Jagal. Dan dari hasil keluhanmu itu aku bisa menarik kesimpulan,
bahwa Topeng Setan akan membuang kamu,
kalau kamu sudah tidak bisa menjadi pemasok modal bagi
mereka...!"
"Pemasok modal"!" Adipati mendekat dan terperanjat.
Suro Bodong memandang Adipati sambil berdiri. Ia
menggaruk-garuk kumisnya sebentar, lalu berkata:
"Sejak ia menjadi istrimu, dialah yang selalu memberi dana kepada Gerombolan
Topeng Setan itu. Dia salah satu orang
penyumbang dana terkuat dari beberapa penyumbang dana lainnya.
Karena itu, kalau saja Tunggoro bukan kakaknya, tentu ia sudah dibuang dari
Gerombolan Topeng Setan itu. Sebab dia sudah tidak bisa menjamin kehidupan
keuangan gerombolan tersebut"
Adipati memejamkan mata, menahan amarahnya kuat-kuat.
Rukmini tersenyum iblis memandang kejengkelan Adipati.
"Pengawal...." teriak Adipati. Dua orang pengawal datang dengan tergesa-gesa.
"Bawa dia ke belakang dan jebloskan dalam penjara tanpa hawa...!!" perintah
Adipati, sebagai luapan amarahnya.
Beberapa saat setelah itu, Suro Bodong ke dapur. Kepada
juru masak, ia meminta dibikinkan jagung bakar. Kebetulan masih ada sisa lima
buah jagung mentah yang dimiliki juru masak. Maka dalam waktu beberapa saat,
Suro Bodong telah memegang sebuah jagung bakar sebagai makanan kesukaannya. Ia
menemui Adipati dengan memetik-metik dan meniup jagung itu.
"Adipati, keluarkan Rukmini dari penjara tanpa hawa!"
katanya dengan tenang.
"Kenapa?" tanya Adipati dengan malas.
"Dia bisa mati di dalam penjara itu."
"Biar. Aku memang ingin dia mati dengan pelan-pelan."
"Dan kita akan kehilangan keterangan untuk mengetahui di mana bayimu berada,
begitu?" Adipati memandang Suro Bodong, ia menghela nafas. Baru
sekarang ia ingat kalau tujuan Rukmini dibawa ke mari adalah untuk menunjukkan
di mana bayi itu disembunyikan. Kemudian
Adipati segera menyuruh pengawal untuk memindahkan Rukmini
ke tempat penjara yang mempunyai udara.
"Hati-hati terhadap pegawaimu," ujar Suro Bodong. "Bisa-bisa kau hidup di sini
dalam lingkaran pengkhianat! Mungkin hanya satu dua dari orangmu saja yang
memang setia kepadamu. Se-lebihnya... musuh!"
Pucat wajah Adipati mendengar kata-kara Suro Bodong.
Berdebar jantungnya, dan kecemasan semakin menekan batin.
Pada saat itu, seorang penjaga pintu regol berlari-lari
menemui Adipati. Karena wajah orang tersebut berlumuran darah, maka Adipati
menjadi terperanjat. Jantungnya hampir saja istirahat selamanya.
"Ada apa ini..."!" seru Adipati dengan tegang. "Seorang lelaki mengamuk di luar
pagar. Beberapa pengawal telah tewas dan...." "Kakang Suro Bodong..."!" sekali
lagi Adipati terpekik, karena orang tersebut jatuh dan tak mau berkutik lagi
selamanya. Mati. Suro Bodong masih kelihatan tenang. Ia melangkah pergi
dan diikuti Adipati yang semakin panik.
"Pasti orang-orang Topeng Setan, Kakang...."
"Entah, ya. Aku tidak pernah menyuruh mereka datang ke mari kok. Kita lihat
saja!" Pintu regol depan sengaja ditutup dari dalam oleh beberapa
prajurit Kadipaten. Sementara bunyi pedang dan teriakan terdengar di luar Dalem
Kadipaten. Suro Bodong memberi perintah kepada prajurit:
"Buka pintu...!"
"Jangan, Pak. Bahaya. Orang itu mengamuk seperti kebo
kesurupan macan. Mengerikan!" kata seorang prajurit.
Suro Bodong tidak sabar dan tidak mau banyak kata. Pintu
regol yang besar dan kekar, terbuat dari balok-balok kayu jati itu ditendangnya
dengan tendangan putar. "Bruaaak...!!"
Pintu itu pecah menjadi beberapa potong. Salah satu
pecahannya ada yang melayang nyaris mengenai orang lelaki
berpakaian hitam dengan ikat kepala kuning. Pertarungan antara prajurit-prajurit
Kadipaten dengan orang itu terhenti seketika.
Prajurit-prajurit menyisih setelah tahu Suro Bodong muncul bersama Adipati
Kusumadharma. "Kusumadharma...! Mana adikku!" bentak orang itu.
"Turonggo..."!" Adipati terbelalak.
"O, kamu yang namanya Turonggo..."!" kata Suro Bodong, ia masih mengunyah-ngunyah
jagung bakar dan sesekali
menggaruk-garuk kumisnya yang lebat, hampir sama lebatnya
dengan kumis Turonggo.
"Siapa kamu, Babi picak..."!" kata Turonggo.
"Kamu yang picak!" sahut Suro Bodong. "Kamu yang tidak bisa membedakan manusia
dengan babi! Sialan!"
Turonggo tersenyum sinis. Otot tangannya yang kekar dan
lengannya yang gempal bergerak-gerak bagai tak sabar menunggu pertarungan.
"Aku Suro Bodong!" kata Suro Bodong. "Kamu kakaknya Rukmini, ya?"
"Aku kakaknya Rukmini!"
"Aku yang menculik Rukmini!" balas Suro Bodong.
"Bangsat..!!" geram Turonggo.
"Nanti dulu, jangan berkelahi dulu." cegah Suro Bodong
"Biarkan aku makan jagung dulu sampai habis, baru kita berkelahi.
Bagaimana" Setuju"!"
"Aku tak punya waktu untuk melayani tikus sawah, hiaat..!"
Turonggo menyerang dengan sebuah tendangan kaki kanan
yang mampu menendang sampai tegak di atas kepala. Suro Bodong hanya
melengkungkan badan ke belakang, menghindari tendangan yang membentuk garis
lurus ke atas. Turonggo memutar kaki yang sudah ke atas, kini kaki itu menginjak
tanah sedang kaki kirinya menendang pelipis Suro Bodong. Tangan Suro Bodong
menangkis, dan jagungnya mental.
"Tunggu dulu!" bentak Suro. "Bagaimana kalau kita tukar tawanan. Kuserahkan
adikmu, tapi kau harus menyerahkan bayi putra Adipati. Bagaimana" Setuju apa
sepuluh"!"
5 TURONGGO bukan musuh yang bisa diajak kompromi. Bila
sudah berhadapan dengan lawan tidak ada lagi kata damai pada diri Turonggo.
Nalurinya adalah naluri membunuh. Karenanya ia segera mengibaskan pedangnya ke
pundak Suro Bodong seraya berseru:
"Lebih baik kita tukar nyawa daripada tukar tawanan!
Nyawamu atau nyawaku yang harus hengkang ke akherat...!"
Pedang Turonggo menebas pundak Suro Bodong. Dengan
gesit Suro Bodong memiringi badan ke kiri, dan secepatnya kaki kanannya
menendang ke perut Turonggo.
"Heaaatt...!"
Tendangan itu mengenai perut, dan Turonggo tersentak ke
depan dengan badan membungkuk. Tangan kanan Suro Bodong
segera menghantam pelipis kiri Turonggo. Keras. Gerakan tangan kanan Suro Bodong
dalam memukul pelipis itu seperti pedang yang dikibaskan menyamping.
"Kalau begitu nyawamu saja yang ke akherat. Aku
mengalah saja, tidak ikut ke sana, hiaaat...!!"
Turonggo terpelanting. Pedangnya masih berusaha dikibaskan. Suro Bodong melompat ke depan dan membiarkan
Turonggo sempoyongan.
"Jangan keras kepala, Turonggo," kata Suro Bodong sembari berdiri sigap, garukgaruk kumis sebentar. "Lebih baik kita tukar adikmu itu dengan putra Adipati!"
"Akan kurebut adikku; Rukmini. Tapi jangan harap kau
dapat merebut putra Adipati sinting itu. Hiaaatt...!!"
Turonggo mengibaskan pedangnya kian ke mari dan segera
diam dalam posisi badan merendah dan kaki kanan ditarik ke
belakang. Pedangnya berada di depan dada, diarahkan lurus ke depan, sedangkan
tangan kirinya ada di atas kepala dalam posisi jari seperti cakar elang. Siap
melancarkan serangan mautnya.
"Jurusmu cukup gagah, Turonggo," kata Suro Bodong. "Tapi kuda-kudamu cukup
lemah, Lihat kaki kananmu, terlalu sejajar dengan kaki kirimu. Kalau kusengkat
pasti kau jatuh!"
Turonggo segera memperbaiki posisi kakinya agak
merenggang. Nafasnya memburu dan kepalanya masih terasa
keliyengan akibat pukulan yang mengenai pelipisnya tadi.
"Posisi pedangmu juga kurang mantap. Turonggo.
Genggaman tanganmu masih lemah. Kau harus memegang lebih
maju sedikit, supaya, ada keseimbangan antara gagang pedang dengan mata pedang
itu...." "Jangan banyak bacot. Bodong kurap! Hiaaaat...!!"
Turonggo maju menyerang dengan
satu loncatan. Pedangnya terarah ke dada Suro Bodong. Tetapi tiba-tiba pedang itu dilemparkan
ke tangan kiri, sedangkan tangan kanannya segera memukul wajah Suro Bodong. Pada
saat itu Suro Bodong sudah
bersiap menghindari tusukan pedang. Ia tidak menyangka kalau tiba-tiba pedang
berpindah ke tangan kiri. Karena itu, ketika tangan kiri Turonggo mengibaskan
pedang ke leher Suro Bodong, hampir saja leher itu terbabat habis. Suro Bodong
cepat berkelit ke samping.
Namun, agaknya gerak tipu Turonggo mengenai sasaran. Kaki
kanannya menendang keras dan mengenai dada Suro Bodong.
Seketika itu Suro Bodong terpental ke belakang dan jatuh
terduduk di tanah berbatu. Ia meringis kesakitan, bukan memegangi dadanya yang
ditendang, melainkan memegangi pantatnya yang
terbentur batu sebesar genggamannya. Tulang kodoknya yang ada di ujung pantat
terasa lecet. "Monyet kudis...! Uuh... pantatku seperti disengat kepiting rebus...!" gerutu
Suro Bodong dalam cacian. Dan tiba-tiba ia segera berguling ke kiri, lalu
berguling lagi. Tendangan kaki Turonggo datang dengan bertubi-tubi diselingi
tebasan pedang ke kanan bawah dan ke kiri bawah. Sasarannya adalah punggung Suro
Bodong. Tetapi gerakan Suro Bodong masih cukup lincah. Ia berguling lagi ke
samping, kemudian menendang pinggang Turonggo
seperti kuda menyepak lalat. "Hhuuggh...!!"
Turonggo tersedak, nafasnya bagai terputus sedetik.
Pedangnya menancap dalam ke tanah. Sambil menahan rasa sakit, Turonggo berusaha
mencabut pedangnya dari tanah. Tetapi gerakan Suro Bodong lebih cepat. Ia
melompat dan menendangkan kakinya ke punggung Turonggo dengan hentakan kaki
kanan yang sangat keras. Turonggo mendelik, tubuhnya melengkung seperti papan
kepanasan. Ada salah seorang prajurit Kadipaten yang menggunakan
kesempatan itu untuk melampiaskan kebenciannya. Ia memukulkan gagang pedangnya
kuat-kuat ke ubun-ubun Turonggo.
"Pletaak...! Pletook...!"
"Bangsat kau...!" teriak Turonggo, dan prajurit itu buru-buru lari ke tempat
teman-temannya berkumpul. Saat itu, Suro Bodong garuk-garuk kumis dalam
kebingungan. Ia tak tahu, akan diapakan lawannya itu" Dipaksa untuk menukar
tawanan atau dibunuh
begitu saja"
"Kakang Suro...! Habisi nyawanya sekalian...!" seru Adipati Kusumadharma dengan
geram. "Aku tidak habis kalau untuk menghabisi nyawanya...."
jawab Suro Bodong dengan tenang dan seenaknya bicara, ia
menggaruk kumisnya lagi. Sebentar saja. Lalu mundur beberapa langkah, karena
melihat Turonggo telah berdiri dengan pedang berhasil dicabut dari tanah. Walau
posisi berdiri Turonggo sedikit limbung, namun Suro Bodong yakin, bahwa musuhnya
itu pasti akan menyerang lagi. Sebab itu ia harus siap sedia menerima dan menghindar, atau
kalau perlu menyerang lebih dulu. Ini masih dipertimbangkan oleh otaknya yang
gampang bingung itu.
"Suro Bodong...! Tidak mudah kau membunuh anggota
Gerombolan Topeng Setan...!"
"Ah, siapa bilang"! Buktinya kemarin kubunuh satu. Sayang orang itu bukan
kamu...." kata Suro Bodong, garuk-garuk kumis.
"Bangsat! Terimalah ilmu Batu Geni-ku ini...!" Turonggo mengangkat kedua
tangannya ke atas dengan kepala mendongak
bagai hendak berdoa. Suro Bodongheran melihat tangan Turonggo keduanya ditarik
ke bawah seketika dan kedua telapak tangannya segera menghentak ke depan. Lurus.
Lalu, dari telapak tangan itu keluar butiran-butiran batu sebesar kelereng
berwarna merah membara, seperti butiran besi panas. Butiran batu itu melesat
cepat menuju Suro Bodong. Tentu saja hal itu membuat Suro Bodong
tegang dan kebingungan. Ia melompat seperti katak. Lompatannya cukup jauh. Dan
butiran batu itu menghantam sebuah batu di
belakang Suro Bodong. Batu itu meledak dengan menimbulkan
suara berdesis dan asap mengepul di beberapa tempat. Suro Bodong semakin panik.
Ia diserang terus dengan butiran batu panas yang mempunyai kekuatan dahsyat.
"Wah, kacau ini...!!" gerutu Suro Bodong seraya melompat-lompat seperti katak.
Ia menjadi panik. Tembok Kadipaten jebol di bagian sudutnya karena terkena
benturan batu pijar itu. Dan biasanya kalau Suro Bodong panik, ia akan menjadi
orang serba bingung tujuh keliling. Sekarang pun ia berlari ke sana sini
menghindari serangan Batu Geni dari Turonggo. Ia sangat
ketakutan, seperti pendekar tanpa ilmu. Turonggo sendiri
menertawakan gerakan pilon Suro Bodong. Ia semakin mempermainkan Suro Bodong, menyerang bagian
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan, menghadang langkah Suro Bodong dengan batu-batu yang
jumlahnya puluhan itu.
Sudah tentu hal itu membuat banyak kerusakan di beberapa
tempat yang terkena batu tersebut. Malahan ada seorang prajurit yang berdiri
memojok, tepat di belakang Suro Bodong. Ketika Suro Bodong menghindari batu-batu
api itu, prajurit tersebut menjadi korban. Batu-batu tersebut mengenai tubuh
prajurit itu, dan ia menjerit dalam keadaan sekarat. Tubuhnya sempat terbakar
sbentar, lalu hancur karena lebih dari sepuluh batu yang menghunjam di tubuhnya.
"Ngeri sekali akibatnya..."!" Suro Bodong bicara sendiri sambil melompat,
berlari dan melompat lagi dalam keadaan serba bingung. Adipati sendiri menjadi
cemas melihat Suro Bodong kebingungan dan lari ke sana sini seperti ayam babon
dikejar kawan ayam jantan.
"Adipati...!" teriak Suro Bodong. "Apa yang harus kulakukan nih...!!" seraya
Suro Bodong melompat, berguling dan berlari bagai dikejar setan. Jika ia lari ke
Utara, Turonggo melancarkan batu pijarnya keUtara akibatnya Suro Bodong kembali
ke Selatan, namun Turonggo segera melancarkan Batu Geni itu ke Selatan, Suro
Bodong terpaksa melompat ke arah lain. Dan begitu seterusnya ia
dipermainkan oleh Turonggo seraya berteriak-teriak:
"Hoii... penonton...! Tolong aku...! Tolong, jangan menonton saja...! Memangnya
aku pemain sulap" Akrobat dari India, ya"
Busyeeeettt...! Bagaimana ini"! Huuuuhh... payah semua orangorang sini...!"
"Prass... prass... prasss...!!"
Begitu suara yang timbul apa bila Batu Geni mengenai
benda apa pun. Suro Bodong berkeringat dan benar-benar bingung tujuh keliling.
"Berhenti...! Berhenti dulu, Turonggo...! Aku capek...!"
Teriak Suro Bodong semakin ditertawakan Turonggo, dan ia
tambah dijadikan barang mainan oleh Turonggo. Bahkan beberapa prajurit ada yang
tertawa terkikik-kikik melihat Suro Bodong melompat-lompat dengan kaki
terkangkang tak teratur. Tangannya tak mampu bergerak lain kecuali berusaha
menahan Batu Geni, namun sesekali ditarik dan disembunyikan di belakang jika
Batu Geni menju ke arahnya.
"Kakang Suro...! Tenanglah...!" teriak Adipati. "Hadapi dia dengan tenang...!"
Mungkin memang hanya itu yang bisa
diteriakkan oleh Adipati Kusumadharma yang bersembunyi di balik pecahan pintu
regol. "Tenang"! Bagaimana bisa tenang"!" gerutu Suro Bodong.
"Tapi... ah, ya... ada baiknya kalau aku berusaha untuk tenang. Ya, aku harus
tenang. Tenang... tenang... tenang..."
Sekali pun masih melompat-lompat, namun pikiran Suro
Bodong berusaha untuk menenangkan diri. Ia menganggap itu suatu latihan
melompat, ia menganggap sedang berlatih menghindari lemparan-lemparan batu.
Siapa tahu kelak ada gunung meletus dan batunya
menyembur ke arah Suro, maka Suro dapat menghindarinya dengan tangkas. Oh, ya... betul juga, pikir Suro Bodong. Ini
latihan loncat kok, bukan pertarungan.
"Bersaltolah ke atas dan serang dia dari arah lain!" teriak Sanggu yang sempat
ikut tegang menyaksikan hal itu.
"Nenekmu yang bersalto..."!"
teriak Suro Bodong. Maksudnya, ia tidak mempunyai kesempatan untuk bersalto, sebab serangan Turonggo
membabi buta. Tetapi Sanggu dan beberapa
prajurit mengira bahwa Suro Bodong pendekar yang tidak bisa bersalto. Maka ada
yang berteriak.
"Huhh... payah! Pendekar kok tidak bisa bersalto!"
Tetapi Suro Bodong tidak mau menghiraukan seruan itu. Ia
sibuk menenangkan diri dan menghindarkan serangan Batu Geni yang terasa tak ada
habis-habisnya itu.
"Astaga... aku kan punya pedang..." pikir Suro setelah ketenganan berhasil
diperolehnya. Kemudian ia segera meraba tangan kirinya. Dan dari pergelangan
tangan kiri, keluarlah sebilah pedang yang dicabut dengan gerakan secepat kilat.
Tahu-tahu banyak orang terperangah melihat tangan kanan Suro Bodong telah
memegang pedang yang memancarkan sinar ungu. Indah sekali
warnanya. "Ha, ha, haaa.... Aku lupa kalau aku punya pedang...!
Ciaaaat...!!"
Suro Bodong menangkis semua Batu Geni itu dengan
pedangnya. "Trang... trang... trang...!!" Bunyi pedang membelah bulatan besi pijar itu.
Semua semakin tercengang melihat gerakan jurus pedang Suro Bodong yang begitu
cepat dan mampu membuat tiap batu terbelah menjadi beberapa bagian. Turonggo
sendiri segera menghentikan serangannya dan memandang Suro Bodong dengan
terbengong-bengong.
Nafas Suro Bodong terengah-engah, namun ia tersenyum
gembira dan berseru:
"Nah... sekarang kau seperti sapi ompong, Turonggo...!"
Lelaki bertubuh kekar itu menggeram, matanya memerah
menahan amarah. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya,
membentuk tanda silang di depan wajah. Lalu dari mata yang
memerah itu meluncurlah nyala sinar merah ke arah Suro Bodong.
Sinar itu tidak ditangkis oleh Suro Bodong, melainkan dihindari dengan melompat
ke kanan. "Blaaar...!!" Dentuman keras terdengar. Ledakan terjadi ketika sinar merah itu
menghantam tanah. Tempat di mana sinar itu menghantam menjadi berongga. Tanahnya
berhamburan. Dan
semua orang mengguman kagum. Sedangkan Suro Bodong hanya
tersenyum kecut. Tetap tenang.
Turonggo tetap menyilangkan kedua tangannya di depan
wajah. Sekali lagi sinar merah melesat dari kedua mata Turonggo, dan sekali lagi
Suro Bodong menghindar.
"Blaaar...!!" Tanah berhamburan ke udara. Tempat itu jadi berongga sedalam
setengah meter lebih. Andaikata sinar merah itu mengenai tembok Kadipaten, maka
sudah pasti tembok itu akan hancur. Suara gumam kagum terdengar serempak.
"Aku juga punya ilmu semacam itu," kata Suro Bodong seraya tersenyum sinis.
"Keluarkan...!"
"Ogah! Nanti kamu contek...! Weee...!" Suro Bodong meledek dengan mencibirkan
bibir. Turonggo menjadi panas hati, lalu melancarkan serangan
sinar merahnya kembali. Tetapi kali ini Suro Bodong tidak
menghindar, melain menangkis sinar itu dengan pedangnya yang berkilauan warna
ungu. "Taar...! Ter, ter, ter, ter. .!"
Sinar merah itu memantul beberapa kali ke arah Turonggo,
namun padam sebelum sampai menyentuh tubuh Turonggo. Suro
Bodong tersenyum.
"Masih kalah hebat dengan ilmuku yang mirip itu!"
"Jangan membual kau, Kucing Kurap...! Keluarkan semua
ilmumu!" tantang Turonggo dengan kobaran amarahnya.
"Hemm...!" Suro Bodong mencibir. "Nanti kamu tiru, repot aku. Lagi pula, belum
tentu kau bisa bertahan jika terkena pukulan Tapak Geni-ku. Sekarang, kau terima
jurus Pedang Jitu saja. Kalau kau bisa bertahan, nanti akan kuberi pukulan Tapak
Geni. Benar kok. Aku tidak bohong."
Suro Bodong melemparkan pedangnya ke atas hingga
pedang itu berjumpalitan tujuh kali. Saat itu Turonggo bergegas menyerang Suro
Bodong. Namun Suro Bodong segera menendang
tepat di gagang pedangnya yang telah berputar tujuh kali.
"Ciaaaat...!" Suro Bodong menendang pedang ke arah Turonggo. Pedang pecah
menjadi tujuh bagian. Semua bagian
melesat, melebar ke arah Turonggo. Sejenak Turonggo terkejut, lalu segera
berkelit, melompat dan bersalto ke sana ke mari menghindari pecahan pedang itu.
Dan beberapa saat kemudian, pedang tersebut bergabung lagi dan melesat kembali
ke tangan Suro Bodong utuh menjadi satu pedang.
Suara gumam dan decak dari para prajurit Kadipaten
membahana. Suara itu nyaris menutup pekikan pelan yang terlontar dari mulut
Turonggo. Rupanya ada salah satu pecahan pedang yang menggores pundaknya hingga
menimbulkan luka lebar dan dalam.
Namun Turonggo tampak masih bisa bertahan. Pantas rasanya jika Turonggo menjadi
orang penting di dalam Gerombolan Topeng
Setan, karena ia seorang yang tangguh dan sukar dirobohkan.
Suro Bodong segera berlari dan melayangkan tendangan
kaki kanannya. Turonggo masih belum siap karena menahan luka, sehingga dadanya
terkena telak tendangan Suro Bodong.
"Huuugh...!!" Turonggo terpental ke belakang dengan tubuh melengkung ke depan,
ia bertahan untuk tidak jatuh sekali pun harus berdiri sempoyongan.
"Sebentar lagi tamatlah riwayatmu, Turonggo...!" seru Suro Bodong seraya segera
bergerak mengayun-ayunkan kakinya ke
kanan dan ke kiri beberapa saat, seperti orang menari. Para prajurit Kadipaten
terheran-heran melihat jurus ayun-ayunan kaki itu.
"Sekarang terimalah Tendangan Ayam Kawin ini, hiaaat...!"
Semua mata terbengong melihat kaki Suro Bodong bergerak
seperti baling-baling, menendang dada, dan wajah Turonggo
dengan kecepatan yang luar biasa dan beruntun sebanyak tujuh kali.
Setiap tujuh kali tendangan beruntun, selalu ganti kaki, dari yang kanan ganti
yang kiri. Dan hal itu membuat Turonggo tak mampu menghindar. Ia hanya kelabakan
dan terguncang-guncang akibat tendangan Ayam Kawin itu. Berteriak pun tak mampu.
Lalu ia rubuh ke tanah dengan darah mengalir dari segala lubang di
tubuhnya. "Bagaimana" Mau mati sekarang, atau nanti saja"!" kata Suro Bodong yang membuat
para penonton tertawa cekikikan.
Tubuh yang sudah berlumuran darah itu masih sanggup
berdiri. Turonggo bersiap menyerang Suro Bodong. Apalagi waktu itu terdengar
suara yang berseru:
"Lawan terus, Turonggo...! Rukmini sudah di tangan kami!"
Selain semangat Turonggo menjadi bertambah, semua mata
menjadi terbelalak melihat Mahesa dan orang bertopeng telah menggandeng Rukmini.
Kebo Jagal menggendong bayi dan siap
mencekik bayi itu, di sampingnya berdiri emban Surti, orang yang katanya
mengetahui hilangnya nenek Limbak dari kamar.
"Anakku...!" teriak Adipati dalam keadaan tegang.
"Jangan mendekat, Adipati!" seru Suro Bodong. Sanggu segera menahan gerakan
Adipati. Saat itu, Turonggo menggunakan kesempatan kelengahan Suro Bodong, ia
menendang pinggang
belakang Suro Bodong hingga lelaki agak gemuk itu jatuh seperti nangka busuk.
Segera Suro Bodong berdiri dan berlari menjauhi Turonggo
yang sempoyongan itu. Mahesa Tameng dan Kebo Jagal tertawa, lalu berseru:
"Suro Bodong...! Kalau kau tak mau menyerah, bayi ini akan kucekik sampai mati."
"Jangan...! Jangan cekik bayiku," teriak Adipati.
"Sabar, Adipati. Tenang saja. Suro Bodong pasti bisa
mengatasinya," bisik Sanggu.
Suro Bodong kebingungan. Biasanya ia menjadi panik, lalu
bingung tujuh keliling. Sanggu yang mengetahui kebingungan Suro Bodong segera
berseru: "Suro... tenanglah! Tenang seperti tadi...!"
Segera Suro Bodong menyadari kelemahannya, lalu ia
berusaha untuk tenang. Mahesa Tameng berseru:
"Menyerahlah, Suro Bodong! Jika kau menyerah dan
bersedia menjadi tawanan kami, maka bayi ini kami kembalikan kepada orang
tuanya. Tapi jika tidak, bayi ini akan mati di depan orang tuanya! Percuma saja
kau bertahan, lihat... Rukmini sudah di tangan kami. Ha, ha, ha...!"
Suro Bodong segera memasukkan pedangnya ke lengan kiri
dengan cepat, sehingga tak seorang pun melihat gerakan itu, kecuali Sanggu.
Sebab Sanggu pernah melihat Suro Bodong menyimpan
pedang ajaibnya dengan pelan-pelan.
"Baiklah...." kata Suro Bodong. "Lihat, aku sudah tidak bersenjata lagi. Sudah
kubuang pedangku: Sekarang, kembalikan bayi itu kepada Adipati!"
"Tidak semudah itu! Kau harus kami ikat dulu...!"
"Silahkan! Ikatlah aku asal bayi itu kau kembalikan dengan selamat. Tapi jangan
coba-coba menipuku, Mahesa!"
Mahesa menyuruh lelaki bertopeng dan berpakaian serba
hitam untuk mengikat Suro Bodong. Pekerjaan itu cepat selesai, karena Suro
Bodong tidak melawan waktu diikat kuat-kuat di kedua tangannya. Sementara itu.
Adipati dan para prajurit menyesalkan keputusan Suro Bodong.
"Pengkhianat...!" teriak Adipati. "Serahkan anakku!"
Mahesa Tameng tertawa keras. "Terlalu bodoh kalau aku
menyerahkan padamu sebelum Rukmini memerintahkan hal itu!"
"Curang! Suro Bodong telah kau ikat, telah menyerah,
sekarang kau mengingkari janji!" teriak Sanggu.
"Diam kau, Sanggu! Lebih baik tutup mulut daripada mati tanpa bintang jasa,
tau"!" teriak Kebo Jagal yang tangannya siap mencekik bayi itu.
"Rukmini," kata Mahesa. "Bagaimana dengan bayi itu"!"
Rukmini memandang penuh dendam kepada Adipati, lalu
berseru: "Bunuh bayi itu di depan orang tuanya! Biar dia tahu bagaimana rasanya
kalau hidup tanpa anak! Biar dia belajar untuk tidak membuang perempuan seperti
aku! Bunuh sekarang juga,
Kebo Jagal!"
"Tunggu...!" teriak Suro Bodong. Dengan loyo Turonggo masih sempat menendang
Suro Bodong hingga Suro Bodong
mengaduh kesakitan.
"Sebelum kau bunuh bayi itu, aku punya satu permintaan yang ringan. Tidak
memberatkan kalian!"
Setelah menimbangnya sesaat, Rukmini berkata: "Kau pun akan kubunuh, Suro Bodong
Karatan! Tapi, baiklah... kuizinkan kau mengajukan
permintaan yang tidak memberatkan kami. Katakanlah!"
Suro Bodong diam. Seperti ragu untuk bicara. Tetapi dalam
hatinya ia menyebut nama-nama mereka yang dipandanginya satu persatu: "Rukmini,
Mahesa Tameng Kebo jagal, Emban Surti, Orang bertopeng di sampingku, dan...
Turonggo...."
"Ayo lekas...!" bentak Mahesa Tameng. Tetapi Suro Bodong masih seperti raguragu. Kini ia bahkan bersiul mendendangkan lagu. Karena semasa itu belum ada
irama jazz, maka Suro Bodong mendendangkan tembang Jawa yang beraliran
Maskumambang. Suara siulannya cukup tinggi melengking dan enak di dengar.
Tetapi beberapa detik kemudian, orang bertopeng di samping Suro Bodong menutup
telinganya. Lalu Turonggo dan Rukmini juga
menutup telinganya. Siulan itu meninggi, masih mendendangkan tembang
Maskumambang. Mereka semakin kesakitan, menutup
telinga rapat-rapat. Mahesa dan emban Surti pun tak tahan
mendengar siulan itu. Mereka tak tahu bahwa saat itu Suro Bodong menggunakan
jurus Siulan Celeng yang bertenaga dalam tinggi.
Hanya orang-orang yang disebutkan dalam hatinya tadi yang
merasa kesakitan mendengar siulan tersebut, sedangkan orang lain merasa terayunayun lelap bagai dalam buaian mimpi.
"Aaaahhhkk...!!" teriak mereka dari pelan menjadi tinggi.
Suro Bodong segera mengerahkan tenaganya untuk melepas
Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikatan pada tangan. Ikatan itu terlepas dengan kekuatan tenaga dalamnya juga.
Dia tetap bersiul. Kebo Jagal menutup satu
telinganya. Namun ia tak tahan, hendak menutup kedua telinga dengan kedua
tangannya. Bayi tersebut pasti akan jatuh jika Kebo Jagal menutup kedua
telinganya. Maka dengan segera Suro Bodong melompat, dan bersalto di udara
sebanyak 3 kali. Bayi disahut oleh tangan yang bersalto dan kini bayi itu dalam
gendongan tangan lain.
Tetapi semua mata memandang heran dan terbengongbengong melihat ujud Suro Bodong sudah berubah menjadi anak kecil umur antara 10
tahunan. Anak itu tetap bersiul sambil berjalan mendekati Adipati, ia
menggendong bayi dengan hati-hati sekali.
Bayi itu sempat merengek sebentar, dan anak kecil itu menggoyang-goyangkan
gendongannya pelan-pelan.
Sementara itu, terjadi sesuatu keanehan yang mengerikan.
Orang-orang Rukmini dan Rukmininya sendiri menjerit kesakitan.
Mereka sampai terguling-guling di tanah dan saling memekik histeris. Suasana
menjadi ramai. Anak kecil masih bersiul. Mereka semakin melengking berteriak.
Darah mengucur dari lobang telinga mereka. Kemudian mereka sama-sama menjerit
tinggi dan panjang:
"Aaaaaahh...!!"
Ada asap mengepul dari kepala mereka, yang kemudian
membuat mereka tak bergerak lagi. Kepala mereka masing-masing menjadi retak.
Rengat, bagai hendak meledak. Tapi anak kecil itu berhenti bersiul. Suasana jadi
sepi. Hening. Darah berhamburan di mana-mana. Mahesa, Kebo Jagal dan temantemannya termasuk
Turonggo sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan kepala rengat mengerikan,
berlumur darah hitam.
"Adipati...." kata anak berumur 10 tahun itu. "Ini bayimu.
Dia selamat...!"
Adipati segera menerima uluran tangan anak itu, dan
mendekap bayinya kuat-kuat. Ia menciumi bayi itu dengan senyum keharuan yang
amat bahagia. "Terima kasih.... Terima kasih kau telah selamatkan
putraku...." kataAdipati.
Orang-orang mengerumuni bocah bercelana hitam, dan
telajang dada. Ia berkalung katapel dari kayu dan alas batunya dari kulit
binatang yang berbulu putih. Anak itu berambut cepak, pendek namun tak terlalu
acak-acakan. Matanya jeli, alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat. Lentik. Ia
tersenyum-senyum malu ketika
dikerumuni para prajurit yang masih terheran-heran.
"Siapa kau sebenarnya, Nak?" tanya Adipati.
"Namaku Tole!" jawab anak itu tanpa basa basi.
"Bukan Suro Bodong...?" tanya salah seorang prajurit.
"Sama saja!" jawab anak itu.
"Sama saja bagaimana?" Adipati meminta penjelasan. "Tadi kulihat Suro Bodong
melompat dan bersalto tiga kali, tahu-tahu ia hilang dan muncul kamu."
Tole menjawab, "Itulah aku. Adipati. Kalau aku bersalto di udara, tanpa
menyentuh tanah, sebanyak tiga kali, maka aku akan menjadi seperti ini. Namaku
Tole. Bagus, ya?"
Beberapa orang ada yang tertawa. Ada yang bertanya, "Tiga kali menjadi seperti
ini, kalau lima kali menjadi apa, kamu" Bayi?"
"Menjadi seorang kakek," jawab Tole. "Aku bisa berubah ujud sampai tujuh kali,
Paman. Tergantung berapa kali aku bersalto, melingkar-lingkar di udara. Kalau
aku bersalto ke udara satu kali, maka aku akan berubah menjadi Suro Bodong lagi.
Tapi jangan tanya, kenapa aku bisa begitu. Sebab aku sendiri tidak tahu, kenapa
aku punya ilmu begitu."
"Cobalah bersalto satu kali...!" perintah Adipati.
Tole menjawab, "Kau selalu ragu, Adipati. Itu tidak baik, sebab kata orang:
manusia yang suka ragu-ragu, ia tidak akan menemui keberhasilan. Walaupun
sebenarnya aku juga suka ragu-ragu," Lalu Tole meringis. Orang-orang tertawa
pendek. Tole melangkah, menjauhi mereka, dan ia segera menghentakkan
kakinya ke tanah, melesat ke atas serta bersalto satu kali putaran.
"Hah..."! Dia jadi Suro Bodong lagi"!" teriak Sanggu.
Suro Bodong tersenyum. Ia garuk-garuk kumisnya yang
lebat. Lalu berkata:
"Adipati... tugasku telah selesai. Semoga kau berbahagia dengan putramu itu.
Sekarang tugasku adalah melanjutkan
perjalanan, mencari Rara Prawesti. Selamat pergi, Adipati!"
'Terima kasih. Pendekar... Pendekar Tujuh Keliling..?" kata Adipati yang membuat
orang-orang tertawa dan melambaikan
tangan. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Lambang Naga Panji Naga Sakti 6 Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci Naga Sakti Sungai Kuning 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama