Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Bukit Asmara 1

Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara Bagian 1


PERTARUNGAN BUKTT ASMARA
Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Pertarungan Bukit Asmara Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.50.5
1 Mereka berjajar di kaki Bukit Cempaka. Orang-orang itu bagai tak sabar menunggu
sesuatu yang amat mendebarkan. Tanpa tahu apa yang ditunggu, Suro Bodong berdiri
di belakang orang-orang Kesultanan Praja. Seperti biasanya, Suro selalu sibuk
dengan jagung bakar, dan sesekali garuk-garuk kumisnya yang tebal. Dalam hatinya
sendiri merasa heran, apa sebenarnya yang akan terjadi di kaki Bukit Cempaka
ini" Mengapa banyak orang yang memandang ke atas, ke lereng bukit yang
sesungguhnya tidak begitu tinggi puncaknya itu.
Seorang lelaki bertudung pandan tak sengaja berdiri di dekat Suro Bodong. Ia
membuka tudungnya, lalu mengipas-ngipaskan. Matahari cukup panas, tapi di tempat Suro
berdiri itu sedikit teduh karena bayangan sebuah pohon. Suro Bodong melirik,
lelaki berusia antara 35 tahunan. Lelaki itu merasa dilirik, kemudian memandang
Suro dan tersenyum seraya mengangguk penuh kesopanan.
"Akan ada apa sebenarnya di sini, Kang?" tanya Suro Bodong. Lelaki itu sedikit
berkerut "Apa belum tahu?" ia ganti bertanya. Ia kelihatan heran. Setelah Suro
menggeleng, lelaki itu berkata lagi:
"Kalau begitu kau bukan orang Kesultanan Praja, ya?"
"Bukan. Aku sekedar lewat daerah ini, lalu kulihat banyak orang berkumpul, dan
aku ikut berhenti."
"Ooo... " Lelaki itu manggut-manggut. "Sebentar lagi akan ada pertarungan hebat,
antara Ronggo Bule dengan Pendekar Tapak Setan."
Suro Bodong menggumam, sesekali mengunyah jagung bakarnya. Lelaki yang berkipas
tudung pandan menjelaskan lagi:
"Kalau Ronggo Bule menang, berarti tinggal satu kali lagi ia harus bertanding
dengan penantang lain. Kalau ia tetap menang, berarti dialah yang berhak
mempersunting Nyi Mas Sendang Wangi."
"Lho, jadi pertarungan ini ada hubungannya dengan suatu perkawinan?" Suro Bodong
bertanya dengan nada heran.
"Ya. Putri Sultan Jurujagad hanya boleh menikah dengan seorang lelaki yang
benar-benar tangguh. Syaratnya, lelaki itu harus bisa mengalahkan pelamar
lainnya. Jika empat kali lelaki itu bisa mengalahkan lawannya secara berturutturut, maka dialah yang terpilih untuk menjadi menantu Sultan Jurujagad. Dan
Ronggo Bule telah berhasil mengalahkan dua pelamar lainnya. Apabila kali ini ia
menang melawan pelamar berikutnya, maka Ronggo Bule itulah yang berhak menjadi
suami Nyi Mas Sendang Wangi."Sekali lagi Suro Bodong manggut-manggut. Ia
menggumam sambil mengunyah jagung bakar,
"Menarik juga.. ."
"Kalau kau tertarik, kau bisa ikut menjadi penantang berikutnya.. ." kata lelaki
itu yang berpakaian kain lurik berlengan panjang. Celananya sebatas lutut ke
bawah, warna biru. Sama dengan celana Suro Bodong, hanya saja warnanya lebih
tua. Baju merah lengan panjang yang tak pernah dikancingkan itu juga berwarna
tua, tapi merah. Sama dengan ikat kepalanya. Merah tua. Seperti darah.
Suro sangat menyukai kedua warna itu. Karenanya ia selalu berpenampilan celana
biru tua dengan baju longgar merah tua. Rambutnya yang panjang hampir sepundak
tidak begitu rapi. Tapi agak lumayan jika dalam ikatan kain merah itu. Hanya
saja kumisnya yang tebal dengan bentuk wajah sedikit kasar itu membuat Suro
Bodong bagai tidak memiliki ketampanan sama sekali. Kesan tua lebih kuat dari
perpaduan potongan tubuh yang besar namun tidak gemuk, dan perut yang agak
gendut namun bukan membuncit. Pusernya kelihatan nongol ke luar. Karena itulah
ia sering dipanggil Suro Bodong, sekalipun ia sendiri tak tahu siapa nama
aslinya, tapi ia menyukai nama itu. Suro Bodong. Itu nama yang dipakainya sampai
sekarang. "Nah, itu dia Ronggo Bule. Ia sudah mulai naik.. !" kata lelaki berkipas tudung
pandan. Bukit Cempaka memang tidak tinggi. Ia mempunyai lereng yang sedikit datar,
bahkan ada tanah datar di bagian bawah pucuknya. Bukit itu gersang. Tanpa
tanaman satu pun kecuali batu-batu besar dan cadas yang keras. Puncak Bukit
Cempaka kelihatan sangat menonjol, sebab di puncak itu ada segumpal batu besar
berbentuk mirip taring raksasa, menjulang ke atas. Orang dapat mendaki bukit itu
sampai di bawah batu besar yang dipuncak. Jika hal itu dilakukan,hanya memakan
waktu tak lebih dari satu jam.
Bukit itu cukup luas dengan berbagai tonjolan-tonjolan batu cadasnya. Dan
apabila dilihat dari puncak gunung Palasan yang ada di seberang sana, maka bukit
itu kelihatan seperti bunga Cempaka yang tengah mekar. Sebab itu dinamakan Bukit
Cempaka. Bukit itu masih termasuk daerah kekuasaan Kesultanan Praja. Dan memang
letaknya seperti di tengah pedesaan, tak jauh dari pusat keramaian Kesultanan
Praja. Bahkan dari depan alun-alun Kesultanan dapat dilihat dengan jelas.
"Yang mana yang bernama Ronggo Bule?" tanya Suro Bodong. Ia tadi melamunkan
bukit tersebut saat lelaki di sampingnya menunjukkan orang yang dimaksud.
"Itu... Yang sudah berdiri di atas itu yang bernama Ronggo Bule. Dan, nah.. yang
baru naik ini adalah penantangnya. Ia dikenal dengan nama Pendekar Tapak Setan!"
Mata Suro Bodong menyipit ketika memperhatikan seorang lelaki tegap berpakaian
serba coklat muda. Ia yang tadi disebutkan sebagai Pendekar Tapak Setan. Melihat
bentuk tubuhnya yang kekar, berbadan besar seperti Suro Bodong, maka dapat
disimpulkan bahwa Pendekar Tapak Setan pasti orang tangguh. Ia menyandang pedang
pendek, berukuran satu lengan manusia dewasa. Rambutnya ikal, diikat oleh kain
dari bahan kulit ular hijau. Penampilannya cukup mantap. Tenang dan punya wajah
tampan yang berwibawa. Sedangkan Ronggo Bule, berkulit putih, bagai habis
terguyur air panas. Ia mengenakan celana merah tanpa baju, namun menyandang
beberapa pisau yang melingkar di
pinggangnya. Bahkan di kedua lengannya pun terdapat dua pisau pada masing-masing
lengan. Tubuhnya sedikit pendek ketimbang Pendekar Tapak Setan.
Suro Bodong melirik ke samping, oh.. ada seorang lelaki tua berjenggot putih
sepanjang dada.
Alis dan kumisnya juga putih. Ia mengenakan baju model jubah warna merah kusam,
celananya hitam, dan baju dalamnya pun warna hitam. Orang ini mencurigakan juga
bagi Suro Bodong. Ketika orang-orang bertepuk tangan menyambut kehadiran
Pendekar Tapak Setan, kakek tua itu pun ikut bertepuk tangan. Mata tuanya
menyipit waktu memandang ke arah lereng bukit. Ia bahkan ikut bersuit dengan dua
jari dimasukkan dalam mulutnya ketika pertarungan itu akan segera dimulai, di
mana masing-masing peserta diperkenalkan oleh seorang petugas Kesultanan.
Lelaki bertudung tadi terkejut melihat kakek berjenggot putih. Ia segera
menghampiri dan
membungkuk penuh hormat. Lelaki itu berkata, "Selamat datang, Eyang
Panembahan. . "
Yang dipanggil Eyang Panembahan hanya manggut-manggut dan tersenyum ramah. Suro
Bodong agak menyisih. Ia bahkan naik di sebuah batu besar dan duduk santai
sambil makan jagung bakar. Posisinya berada di belakang Eyang Panembahan dengan
lelaki bertudung. Ia berlagak tidak peduli dengan percakapan kedua orang itu,
matanya memandang ke lereng bukit bertanah datar, namun sebenarnya telinga Suro
menyimak pembicaraan kedua orang itu.
"Kenapa Eyang Panembahan tidak di depan saja, biar jelas?" kata lelaki yang
memegangi tudung pandannya.
"Ah, enak nonton dari sini. Di sana pasti banyak orang yang mengajakku bicara.
Aku ingin menikmati pertarungan ini dengan tenang, Kasmoro... "
Suro Bodong memastikan, Eyang Panembahan itu pasti seorang tokoh penting di
Kesultanan ini.
Setidaknya dia tokoh terkenal di kalangan rakyat atas sampai bawah. Tetapi apa
kerjanya dan bagaimana posisinya di dalam Kesultanan, Suro belum dapat menebak,
karena saat itu pembicaraan mereka berhenti. Pertarungan sudah dimulai. Suro
sendiri mulai asyik menyaksikan jurus-jurus yang beradu di atas Bukit Cempaka
itu. Sorak penonton sesekali terdengar apabila salah satu peserta ada yang
terkena pukulan. "Agaknya akan menjadi suatu pertarungan yang seru juga ini,"
pikir Suro dengan tenang, menikmati jagung bakarnya.
Pada saat itu, kedua orang di atas Bukit Cempaka benar-benar saling mengeluarkan
kehebatan ilmunya. Mula-mula mereka mempermainkan jurus-jurus ringan untuk
menjajagi kemampuan lawan.
Ronggo Bule mengutamakan pukulan dan tebasan tangannya, sedangkan Pendekar Tapak
Setan hanya menyerang dengan tendangan-tendangan yang cukup memukau bagi
penonton. Gerakannya gesit dan lincah. Pendekar Tapak Setan lebih tenang
ketimbang Ronggo Bule.
Pendekar berpakaian serba coklat muda itu mempunyai jurus tendangan yang
mengecohkan lawan. Dua kali wajah Ronggo Bule terkena tendangan Pendekar Tapak Setan. Namun
agaknya Ronggo Bule cukup tangguh. Ia hanya terpelanting sebentar saat kaki kiri
lawannya menendang pipi kiri. Ronggo Bule segera menjaga keseimbangan tubuh dan
sigap kembali. Pada saat lawannya menendang dengan kaki berputar ke belakang,
ternyata ia dapat menangkis menggunakan lengan kirinya. Seketika itu juga Ronggo
Bule melompat dan menjejakkan kakinya di punggung Pendekar Tapak Setan.
Tendangan itu terkena telak dan mengakibatkan lawannya jatuh tersungkur. Tetapi
secepatnya Pendekar Tapak Setan berguling ke tanah, sehingga tendangan Ronggo
berikutnya meleset. Ronggo mengejar dengan hentakan-hentakan kaki, dan lawannya
berguling-guling terus menghindarinya.
Sampai pada suatu kesempatan kaki Ronggo Bule berhasil ditangkap dengan kedua
tangan Pendekar Tapak Setan. Kaki itu dipelintir dengan cepat, sehingga Ronggo Bule
berteriak kesakitan sambil ikut memutarkan badan untuk menghindari kakinya agar
jangan sampai patah. Tubuh Ronggo Bule jatuh ke tanah, lalu lawannya segera
menendang ke arah dada sehingga Ronggo Bule tersentak dalam seringai kesakitan.
Pendekar Tapak Setan segera bangkit dengan salah satu lutut masih menempel di
tanah. Kedua telapak tangannya saling melekat. Ilmu Tapak Setan akan digunakan.
Namun dengan cepat Ronggo Bule melemparkan salah satu pisaunya ke arah lengan
Pendekar Tapak Setan. Pisau itu menancap tepat di lengan kiri, "Aaaoow...!!"
Pendekar Tapak Setan menjerit. Ia segera bersalto di udara dalam posisi mundur.
Lemparan pisau kedua tidak mengenai sasaran. Saat itu, Ronggo Bule segera
melompat ke arah yang berlawanan, sehingga di antara keduanya terdapat jarak
beberapa langkah.
Penonton bertepuk tangan. Eyang Panembahan juga ikut bertepuk tangan. Sekali
lagi ia bersuit dengan kedua jarinya. Ia tampak senang melihat pertarungan itu.
"Ini baru seimbang. .!" katanya kepada lelaki bertudung yang tadi dipanggil:
Kasmoro. "Tapi saya rasa, kali ini Ronggo Bule akan mengalami kekalahan. Pendekar Tapak
Setan lebih gesit"
"Belum tentu.. ."sanggah Eyang Panembahan. "Ronggo Bule belum mengerahkan semua
ilmunya. Lihat saja nanti kalau dia sudah mulai mempermainkan jurus pisaunya,
uuh.. si Pendekar Tapak Setan bisa kewalahan, Kas.. !"
Hanya satu orang yang dari tadi tidak ikut bersorak. Hanya satu orang yang
kelihatan tenang.
Dia, Suro Bodong. Duduk di atas batu se-tinggi satu meter, salah satu kakinya
ditekuk sehingga lengan kanannya bisa ditumpangkan di atas lutut kaki itu, lalu
sesekali ia memetik-metik biji jagung bakar dan memakannya dengan santai. Suro
Bodong menyimak pertarungan itu dengan sikap tenang dan santai.
Namun dalam hati ia pun berpendapat, Ronggo Bule bisa-bisa mati dalam keadaan
hancur kepalanya kalau tidak segera menyerah dan mengaku kalah.
Apalagi saat ini Pendekar Tapak Setan mulai menggunakan jurus-jurus andalannya
wah. . bisa mati tak erbentuk Ronggo Bule itu. Tetapi orang-orang yang pernah
menyaksikan pertarungan Ronggo Bule, sudah tentu tidak merasa cemas, karena
mereka tahu di mana kekuatan Ronggo Bule dan seperti apa kehebatan ilmunya.
Yang jelas, dalam hati Suro Bodong menjagokan Pendekar Tapak Setan. Ia punya
banyak tipuan. gerakannya sering mengecohkan lawan. Seperti halnya saat ini, hampir saja Ronggo
Bule tertipu lagi.
Pendekar Tapak Setan melayang dan bersalto ke arah Ronggo Bule. Sudah tentu
Ronggo Bule bersiap menangkis tendangan atau sekaligus menyerang. Tetapi pada
saat kaki Pendekar Tapak Setan hampir menyentuh kepala Ronggo Bule, tahu-tahu
tubuhnya bisa berbalik dalam loncatan salto ke belalang.
Pada saat begitu, telapak tangan kanannya dihentakkan dan keluarkan kilatan api
yang menghantam tubuh Ronggo Bule. Untung Ronggo Bule segera berguling ke tanah,
sehingga kilatan api itu meleset, menghantam gundukan tanah, dan gundukan tanah
itu meledak berhamburan ke mana-mana.
"Woow...!" seru penonton bersama-sama. Sebagian dari mereka beralih tempat
karena bongkahan-bongkahan batu cadas ada yangberjatuhan ke arah mereka akibat
pukulan dari Tapak Setan.
Eyang Panembahan manggut-manggut sebentar. Ia nenggumam dan bicara sendiri:
"Pantas kalau dia bergelar Pendekar Tapak Setan.. ."
Suro melirik lelaki tua berambut panjang tanpa ikat kepala itu, kemudian kembali
memandang ke arena pertarungan. Ia menggumam dalam hati ketika Ronggo Bule
melemparkan dua buah pisau ke arah lawan sambil tubuhnya melayang dan berguling
di udara. Lemparan pisau itu begitu cepat. Namun lawannya segera menangkisnya
dengan kedua telapak tangan. Setiap pisau menghantam satu telapak tangan, namun
tidak satu pun ada yang berhasil melukai telapak tangan itu.
"Hebat.. ! Hebat sekali dia.. !" seru Kasmoro di sela gumam kekaguman penonton.
Pisau yang menancap di lengan Pendekar Tapak Setan sudah dicabut dan dibuangnya.
Agaknya ia tak merasakan sakit sedikit pun dari luka itu. Ia bergerak lebih lincah,
melayangkan tendangan dalam jarak beberapa langkah sehingga tubuhnya bagai
sedang terbang. Kali ini tendangannya mengenai dada Ronggo Bule. Tetapi dengan
cepat tangan Ronggo Bule mencabut pisaunya lagi dan mengibaskannya ke leher
lawan. Pendekar Tapak Setan mendongak, dan pisau hanya menyerempet pundaknya.
Lalu dalam jarak sedekat itu, telapak tangan kirinya dihantamkan ke rusuk Ronggo
Bule seraya ia berlutut menghindari tebasan pisau ke arah kepalanya. Ronggo Bule
sempat terpekik tertahan. Tapi kakinya segera menyepak ke belakang seperti kuda,
dan wajah lawannya menjadi sasaran telak, sampai-sampai tubuh lawan telentang
seketika. Ronggo Bule menjadi limbung. Pukulan Pendekar Tapak Setan bagai meremukkan
tulang rusuknya. Ia bertahan mati-matian. Sebilah pisau dilemparkan dan tepat menancap
pada tanah di samping telinga lawan. Seketika itu Tapak Setan bangkit. Ronggo
Bule merasa ngeri, maka ia segera melompat dan bersalto beberapa kali, mengatur
jarak. Dengan persediaan pisau yang masih ada, Ronggo Bule mempermainkan jurus 'Lempar
Pisau' yang menjadi andalannya. Sebuah pisau dilemparkan dalam posisi bagian ujungnya
melesat menjurus ke dada Tapak Setan. Ketika itu, Tapak Setan bersalto ke
samping untuk menghindari arah pisau itu.
Namun dengan cepat Ronggo Bule melemparkan satu pisau lagi dengan kecepatan
lebih dari yang pertama. Lemparannya tidak ditujukan kepada Tapak Setan,
melainkan diarahkan pada pisau pertama tadi. Pisau kedua mampu menyentuh gagang
pisau pertama sehingga arah pisau pertama jadi berbelok menuju Tapak Setan.
Sebelum Tapak Setan bergerak menghindar, sebuah pisau dilemparkan lagi dengan
keadaan berputar ke arah lain, yang diperkirakan akan menjadi tempat melompat
bagi Tapak Setan.
Hal itu sempat membuat Tapak Setan kebingungan. Tak ada pilihan lain baginya
kecuali merentangkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Dan keluarlah bara
api yang memancar ke arah pisau-pisau itu. Kemudian terjadilah letupan kecil
yang membuat pisau-pisau itu berhancuran bagai dihantam kilatan petir yang maha
dahsyat. Penonton bertepuk tangan dalam sorak kekaguman. Kasmoro melonjak dan berteriak:
"Hebat.. ! Itu cara yang hebat. .! Bukan main saktinya Pendekar itu. Wah, wah,
wah.. !" "Tapi belum tentu.. !" sanggah kakek berjenggot panjang yang kedua tangannya
saling bertaut di belakang. Ia menambahkan kata, "Belum tentu itu suatu
kemenangan. Lihat, Ronggo Bule masih mempunyai lebih dari tiga pisau di
pinggangnya. Juga di kedua lengannya masih tersimpan masing-masing dua pisau


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil. Bisa saja ia akan mengalahkan Tapak Setan dengan pisau itu. Tunggu
kelengahan lawan saja.. !"
"Mana mungkin bisa, Eyang.. . Tapak Setan kelihatan lincah dan tangkas. . Mana
bisa dikalahkan?"
"Bisa saja...!" Eyang Panembahan menengok ke belakang dan berkata kepada Suro,
"Bisa saja, ya"!"
Suro hanya mengangguk dengan senyum tipis. Ia kelihatan tetap tenang dan santai.
Eyang Panembahan mulai mendekat, diikuti oleh Kasmoro.
"Kulihat kau dari tadi tenang-tenang saja," kata Eyang Panembahan. "Kau tidak
menyukai pertarungan seperti itu?"
Suro Bodong menggeleng. Kurang begitu tertarik untuk bicara kepada kakek
berjubah merah itu.
"Kau tidak ingin coba-coba ikut memperebutkan Nyi Mas Sendang Wangi?" tanya
Eyang Panembahan dengan sorot mata yang menyipit
Suro Bodong menggeleng lagi. Ia tetap santai menikmati jagung bakar kesukaannya.
"Dia bukan orang Kesultanan sini, Eyang. Ia seorang pendatang," timpal Kasmoro.
"Nah, kebetulan. Biasanya kalau orang pendatang malah beruntung!" Kemudian Eyang
Panembahan menepuk paha Suro. "Hei, ikut saja.. ! Badanmu tegap, besar dan
kekar. Siapa tahu kau dapat mengalahkan lawanmu sampai empat kali berturutturut. Kau bisa jadi menantu Sultan
Jurujagad!"
Karena kelihatannya Eyang Panembahan memaksanya bicara, maka Suro Bodong pun
menjawab dengan seenaknya saja.
"Ah, apa enaknya jadi menantu Sultan"!"
"Eh, kau bisa dihormati oleh semua kawula alit di seluruh jajaran Kesultanan!"
"Aku tidak gila hormat," Jawaban itu masih saja seenaknya sambil mata Suro
memandang ke pertarungan.
"Tapi banyak keuntungannya menjadi menantu Sultan. Kau bisa menjadi kaya! Punya
istri cantik dan punya wilayah kekuasaan. .! Ikut saja ke arena sana!" bujuk
Eyang Panembahan. Tapi Suro Bodong hanya tersenyum tipis, menyatakan diri tidak
tertarik dengan bujukan itu.
"Aku lebih senang jadi penonton, Eyang," kata Suro. "Untuk apa memperbanyak
harta dengan cara seperti itu. Hanya menambah permusuhan saja. Untuk apa aku
punya daerah kekuasaan, kalau sebenarnya aku tidak bisa bertindak sebagai
penguasa yang baik?"
"Wah, kata-katamu enak juga didengarnya. Eh, siapa kamu sebenarnya?"
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya Suro Bodong pun menjawab,
"Namaku Suro Bodong."
"Dari mana asalmu?"
Suro menggeleng santai. "Entah. .!" Dan ia membiarkan Eyang Panembahan berkerut
dahi. Sementara itu pertarungan tetap berlangsung, bahkan semakin seru. Penonton
sesekali bersorak dari kaki bukit. Eyang Panembahan dan Kasmoro juga ikut
bersorak apabila salah satu ada yang menggunakan jurus tak diduga. Suro Bodong
belum mau mengikuti penonton lainnya. Ia tetap tenang tanpa suara apa pun,
kecuali kecamuknya gigi mengunyah jagung bakar.
"Aku akan melihat lebih dekat. .! Agaknya ini semakin seru," kata Eyang
Panembahan. Ia hendak mengajak Kasmoro, tetapi orang bertudung itu tidak mau. Ia
merasa enak nonton di tempat teduh, walau memang tidak sejelas yang ada di kaki
bukit. "Siapa dia, Kasmoro?" tanya Suro sambil mata memandang ke atas bukit.
"Kok kamu tahu namaku?"
"Kakek tua yang kau sebut Eyang Panembahan itu juga menyebutkan namamu, bukan?"
"Ooo... " Kasmoro manggut-manggut, matanya juga tetap memandang ke pertarungan.
Ia berkata tanpa menoleh:
"Dia penasehat Sultan. Ia orang tertua di Kesultanan ini. Tetapi sikapnya yang
ramah dan selalu baik kepada rakyat, sehingga rakyat lebih mencintai dia
daripada Kanjeng Sultan sendiri. Ia sering menuturkan cerita masa mudanya kepada
siapa saja, bahkan kepada anak muda di sini pun ia sering ditanggap untuk
menceritakan masa kemesraannya dengan sang kekasih."
"Ooo... " Suro manggut-manggut. Kasmoro tiba-tiba terpekik tegang:
"Wah, Ronggo Bule kena lagi tuh.. !"
Memang, Ronggo Bule nyaris tidak mampu berdiri karena punggung kanannya terkena
pukulan Tapak Setan. Ada asap tipis yang mengepul dari bekas tempat yang terpukul tadi.
Saat ini ia sedang menggeliat kesakitan. Pendekar Tapak Setan segera meluncurkan
pukulan jarak jauh. Cahaya api bagai memercik ke luar dari kedua telapak
tangannya. Ronggo Bule berusaha berguling menghindari serangan itu, namun ia
terlambat. Kakinya terkena pukulan tenaga dalam Tapak Setan, dan ia menjerit
sebentar lalu pingsan, karena kaki itu bagai meledakkan keduanya sebatas lutut.
Hancur menjadi serpihan daging yang menjijikkan. Tapak Setan bermaksud
menghantamnya lagi, tetapi segera dicegah oleh petugas Kesultanan yang menangani
masalah itu. Petugas yang bersangkutan menyerukan pengumuman
"Pendekar Tapak Setan, dinyatakan unggul dalam pertarungan ini. .!"
Banyak penonton yang bertepuk tangan dan bersorak. Kasmoro pun ikut berteriak
girang. Ia berkata kepada Suro Bodong dengan berapi-api:
"Apa kubilang tadi. ."! Kubilang tadi apa"! Pasti Ronggo Bule kalah. Kelihatan
sekali gelagatnya kok. Betul, kan?"
Suro Bodong mengangguk dengan senyum ala kadarnya. Kasmoro berceloteh terus
tentang ketepatan dugaannya. Suro Bodong hanya manggut-manggut sambil sesekali
memperhatikan beberapa orang yang saling kasak kusuk mirip gaung lebah. Ada lagi
yang saling membayar kepada temannya.
"Oh. . rupanya ada yang memanfaatkan pertarungan itu untuk berjudi." Suro Bodong
geleng-geleng kepala.
Tetapi, tiba-tiba petugas Kesultanan yang menjadi panitia pertarungan itu
berseru dengan menggunakan corong dari bahan perak kasar.
"Saudara-saudara... dengarkan. Atas kemenangan ini, maka Pendekar Tapak Setan
berhak melawan calon penyunting Nyi Mas Sendang Wangi berikutnya. Apabila dia bisa
mengalahkan tiga kali pertarungan nanti, berarti dialah yang akan menjadi suami
Nyi Mas Sendang Wangi."
Beberapa orangberseru, "Hidup Pendekar Tapak Setan!"
"Saudara-saudara, dengarkan lagi. . hari ini juga... "
Penonton diam. Celoteh Kasmoro juga diam. Semua memperhatikan orang yang
memegang corong di atas bukit.
"Hari ini juga... ternyata ada calon pelamar baru yang siap menantang Tapak
Setan. .!"
Suara riuh bersahut-sahutan. Kasmoro sendiri juga ikut heboh sendiri:
" "Bagus. .! Ini acara benar-benar bagus. .! Wah, tidak merasa rugi kalau
seharian kita nongkrong di sini, ya?"
Suro Bodong manggut-manggut tanpa mempunyai gairah untuk menimpali pembicaraan.
Tetapi ia juga merasa senang mendengar pengumuman itu. Ia akan mendapat tontonan gratis
lagi sebagai tambahan ilmu dan pengalaman.
Orang yang membawa corong berseru kembali:
"Saudara-saudara, dengarkan lagi. .! Setelah kami bicarakan dengan Pendekar
Tapak Setan, ternyata beliau setuju dan tidak akan mundur kalaupun sekarang juga
ada lima penantang sekaligus. .! "
Rakyat bersorak, dan suasana menjadi tambah ramai.
"Dengarkan lagi, Saudara-saudara...! Menurut catatan yang saya terima di bawah
tadi, orang yang akan ikut menjadi pelamar Nyi Mas Sendang Wangi, adalah bukan
orang dari wilayah Kesultanan Praja. Orang yang saat ini akan bertarung melawan
Pendekar Tapak Setan bernama:.. Suro Bodong.. !!"
Mendelik mata Suro Bodong ketika itu. Pantatnya bagai disundut dengan rokok
cerutu yang masih menyala. "Gila..."!" teriaknya sendiri. "Siapa yang mengatakan aku ingin menjadi suami
anak Sultan" Siapa yang mencantumkan namaku sebagai penantang berikutnya"! Edan!
Sangat edan.. !"
"Ah, mungkin bukan Suro Bodong kamu yang dimaksud," kata Kasmoro. Dan Suro
Bodong terbengong, bersungut-sungut.
"O, ya..." Mungkin ada dua nama Suro Bodong?"
Selagi Suro Bodong bertanya-tanya dalam kebingungan, orang yang bicara dengan
corong itu berseru lagi: "Saudara Suro Bodong...! Harap segera naik! Anda sudah dicantumkan sebagai
pelamar putri Kanjeng Sultan Jurujagad. Dan Pendekar Tapak Setan sudah tidak
sabar lagi menunggu kedatangan Saudara Suro Bodong...!!"
Suasana jadi gaduh. Tak ada orang yang muncul sebagai penantang. Tak ada orang
yang mengaku bernama Suro Bodong. Maka yakinlah Suro, bahwa ada seseorang yang
sengaja mencantumkan namanya sebagai penantang berikutnya.
"Monyet...!!" gerutu Suro masih termangu-mangu.
"Mari, Suro Bodong...!" teriak suara di atas bukit. "Jangan bermaksud main-main.
Jika engkau sudah berani mendaftarkan diri, harus berani naik ke mari. Jika
tidak, akan dianggap penghinaan bagi keluarga sultan!"
"Kasmoro..." Aku dari tadi di sini, kan" Dan.. "
"Tapi kalau kau tidak mau naik ke sana, kau akan kena perkara. Bukan hanya
dimusuhi pegawai Kesultanan, tapi akan dimusuhi rakyat juga.. !"
Suro Bodong menggeram. Ada beberapa orang berseragam datang ke arahnya membawa
tombak dan tameng. Gawat!
2 Suro Bodong hendak membantah. Para prajurit Kesultanan hampir saja hilang
kesabarannya, gara-gara Suro Bodong tidak mau disuruh naik ke arena pertarungan. Tetapi,
melihat gelagat tak beres, di mana para penonton yang mewakili rakyat Kesultanan
Praja mulai kecewa, Suro Bodong jadi berpikir dua kali. Rakyat sangat mencintai
pemerintahannya, rakyat akan marah kalau orang dari wilayah lain mencoba
mempermainkan pemerintahnya. Bisa-bisa Suro Bodong diserang oleh rakyat dengan
tuduhan menghina Sultan mereka.
Tak ada jalan lain untuk meredakan gemuruh rakyat kecuali naik ke Bukit Cempaka.
Itulah pilihan yang harus diambil Suro Bodong. Namun di dalam hatinya ia sangat marah
kepada Eyang Panembahan. Pasti kakek berjenggot putih itu yang membuat ulah
seperti ini. Pasti dia yang mencatatkan nama Suro Bodong dan memberitahu kepada
para prajurit yang bertugas, bahwa Suro Bodong ada di bawah pohon, duduk di atas
batu dengan santai. Nyatanya para prajurit itu seolah-olah sudah mengenali wajah
Suro Bodong, sehingga mereka datang memaksanya.
Geram Suro Bodong membuat matanya bergerak liar, mencari-cari sosok lelaki tua
berambut dan berjenggot panjang warna putih. Tetapi sejak ia beranjak dari
tempatnya semula, kakek yang mengenakan pakaian hitam dengan jubah merah itu
tidak kelihatan batang hidungnya.
"Brengsek.. !" gerutu Suro Bodong. Hatinya semakin panas ketika rakyat berseru
menyambut kehadiran Suro di arena.
"Bunuh dia...! Hancurkan dia...! Suruh dia mencium pantatmu, Pendekar Tapak
Setan. .!" macam-macam lagi seruan yang membuat Suro bagai tersudut.
"Bersiaplah, Kawan.. !" kata Pendekar Tapak Setan kepada Suro Bodong.
Seketika itu Suro Bodong angkat tangan dan berseru:
"Aku menyerah. .!! Aku terima kalah. .!!"
"Huuuuuuh...!" teriak penonton. "Patahkan dulu batang lehernya, baru dia boleh
menyerah...! "
tambah mereka. Suro Bodong berdebar-debar menahan emosi. Matanya memandang liar ke kaki bukit.
Dia menyadari, bahwa dia sudah dianggap menghina acara Sultan Jurujagad. Ia sadar,
bahwa rakyat menuntut kesungguhannya. Rupanya meski acara ini bercorak
kesombongan, namun rakyat
menyambutnya sebagai suatu kebijaksanaan yang perlu dihormati. Tapi di hati
kecil Suro, ia tidak menyukai acara ini. Ia tidak mau bertarung hanya soal ingin
menjadi menantu Sultan. Apalagi pertarungan ini adalah pertarungan tanpa arti,
aah. . Suro sangat membencinya.
Ia mencoba bicara pelan dengan Pendekar Tapak Setan.
"Hei, anggap saja kau sudah menang melawanku. Aku akan mundur. Kawinlah dengan
anak Sultan itu. Aku mengalah sajalah. Aku tidak bisa bertarung dalam urusan
beginian. . "
"Suro Bodong...." kata Pendekar Tapak Setan. "Aku bukan seorang pengecut, juga
bukan seorang pengemis. Aku tidak ingin menerima pemberian jasa semacam itu. Nyi
Mas Sendang Wangi harus kutebus dengan keringat, atau darah, atau kalau
memungkinkan.. nyawaku akan kupertaruhkan bagi dia! Aku harus menunjukkan
kejantananku kepada rakyat Kesultanan ini, Suro Bodong. Sekarang bersiaplah
melawan aku!"
'Tunggu! Nanti dulu.. !" Suro Bodong kebingungan. Ia mencari cara lain untuk
mengatasi hal ini.
Akhirnya ia berteriak kepada mereka yang berada di bawah kaki bukit:
"Aku mau bertarung, tapi jangan melawan Pendekar Tapak Setan. Aku ingin
bertarung melawan Eyang Panembahan. .!!"
'Sinting.. !" geram Pendekar Tapak Setan di sela gemuruh suara gaung dari
penonton. "Mana orang yang bernama Eyang Panembahan.. "! Suruh dia naik ke mari! Karena
dialah yang telah mencantumkan namaku dalam daftar urutan penantang ini! Aku
sendiri sebenarnya tidak mau berkelahi! Aku tidak bisa! Tidak bisa!!"
Suasana kacau sejenak, saling berkasak kusuk dan menggumam. Mata Suro Bodong
bergerak liar mencari kakek sinting itu. Yang ditantang tak mau muncul, yang
tidak ditantang semakin penasaran.
Salah seorang dari penonton ada yang berteriak keras.
"Lawan dulu musuhmu itu, baru kau bisa melawan Eyang Panembahan. .!"
Suro Bodong menggeletukkan gigi. Jengkel sekali hatinya. Panas sekali darahnya.
"Kurasa kata-kata itu benar, Kawan. .!" kata Pendekar Tapak Setan yang
kelihatannya tidak sabar lagi. "Mari. . bersiaplah untuk mati, atau cacad
seperti Ronggo Bule itu!"
"Nanti dulu...!" bentak Suro Bodong yang jadi geram sendiri kepada lawannya.
"Nanti kau mati kalau nekad melawanku, tahu"!"
"Mana mungkin aku mati di tangan bulus pengecut seperti kamu"!" Tapak setan
tersenyum sinis, lalu mengembangkan tangannya ke atas sebagai jurus pembuka.
Suro Bodong masih tak mau melayani.
Matanya masih sibuk mencari-cari sosok Eyang Panembahan. Tetapi tangannya sudah
gemetar karena menahan kemarahan.
Pendekar Tapak Setan mempermainkan jurus pembuka beberapa kali, kemudian ia
segera memekik dan melompat dalam satu tendangan samping, tubuhnya miring dan kedua
telapak tangannya siap dilancarkan sewaktu-waktu. Karena Suro Bodong tidak mau
terkena serangan itu, maka ia pun berkelit ke belakang. Tapak Setan tepat
berdiri di sampingnya. Ia segera menggerakkan kaki ke depan dan menghadap ke
samping, tepat di depan Tapak Setan.
Dalam keadaan marah seperti itu, Suro Bodong kehilangan kontrol diri. Ia
bergerak sangat cepat.
Mulanya ia segera mundur dua langkah, lalu merapatkan kedua telapak tangannya di
depan dada. Ia menekan kedua telapak tangan yang saling bertaut itu sampai
gemetaran, lalu kedua tangan yang saling merapat dihentakkan ke depan. Lurus.
Setelah itu keduanya saling terbuka ke samping, seperti ia sedang menyibakkan
tirai, dan pada saat itu, keluarlah sinar biru berkelok-kelok bagai lompatan api
petir. Sinar itu keluar dari dada Suro Bodong, melesat cepat menuju dada
Pendekar Tapak Setan. Pada saat itu, mengepullah asap hitam tipis dari dada
lawan. Dan dalam sekejap tubuh lawannya menjadi hitam, hangus.
"Houuw..."!" semua orang terperanjat kaget dan kagum.
Gerakan itu dilakukan sangat cepat, membuat Tapak Setan tak sempat bergerak
sedikit pun. Dan semuanya terjadi di luar dugaan siapa saja.
Apalagi sekarang keadaan Pendekar Tapak Setan telah menjadi hangus. Hitam
seluruh tubuh. Namun demikian, ia masih bisa bicara dengan tenang, tanpa merasa sakit. Saat


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Suro Bodong telah mundur beberapa langkah.
"Kau hebat.. ! Ternyata kau hebat. .!" ujar Pendekar Tapak Setan. Dan, setelah
itu ketegangan semua orang jadi memuncak. Mereka hampir tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya, tubuh Pendekar Tapak Setan yang hangus dan sempat bicara tenang
itu kini mulai berjatuhan. Mula-mula jemarinya rontok. Pendekar Tapak Setan
memandang jari jemarinya dengan heran. Kemudian pergelangan
tangannya rontok pula keduanya. Disusul dengan lengan, telinga, gigi, lalu..
roboh semuanya. Hancur menjadi arang yang menumpuk di tempat.
Semua orang, tanpa kecuali, memekik ngeri menyaksikan peristiwa itu. Tengkorak
kepala Pendekar Tapak Setan sudah tidak ada ujudnya. Hancur menjadi kepingan arang. Dan
hal itu pula yang membuat semua penonton maupun petugas Kesultanan melangkah
mundur beberapa langkah. Wajah-wajah mereka, adalah wajah-wajah ketakutan yang
menyiksa jiwa Kemarahan Suro Bodong yang meledak di luar dugaan itu, telah membuat Suro
kehilangan akal
sehat. Ia tanpa sadar telah menggunakan ilmu 'Giricandra', yang mana ilmu
tersebut sebenarnya hanya digunakan untuk melawan tokoh-tokoh tua yang berilmu
tinggi dan dalam persoalan besar. Bukan lawan seperti Tapak Setan yang mempunyai
persoalan kecil seperti saat ini.
Suro Bodong duduk di sebuah batu, masih di atas Bukit Cempaka. Ia termenung
dalam penyesalan yang sangat dalam. Ia sedih sekali melihat nasib lawannya yang
menjadi sasaran ilmu andalan utamanya itu. Ia meremat-remat rambutnya sendiri
dalam kejengkelan yang berujung pangkal.
Kalau saja ia seorang perempuan, ia mau menangis menyesali hal itu. Sedangkan
para penonton dan petugas Kesultanan masih belum ada yang berani mendekat di
kaki bukit seperti semula. Mereka memandang Suro dengan mata melotot dan mulut
melongo. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pendekar yang dijagokan mereka
itu hancur menjadi arang dalam satu jurus.
Sorot mata Suro Bodong menjadi sayu. Kepalanya sedikit menunduk sedih. Ia duduk
di batu dalam posisi bagai orang bersalah yang diajukan ke pengadilan.
Seorang petugas memberanikan diri naik ke tempat pertarungan. Dengan sesekali
memandang Suro Bodong penuh rasa takut, orang itu bicara melalui corong perak:
"Saudara-saudara... dengarkan. . " Ia melirik Suro Bodong. Lalu bicara lagi,
"Hari ini.. hari ini..
kemenangan ada di tangan Suro Bodong. .!"
Beberapa penonton bertepuk tangan, tidak semeriah tadi, sebab yang lain masih
dicekam rasa, ngeri yang terkagum-kagum. Orang pembawa corong berkata lagi
dengan gugup: "Jadi... jadi barang siapa yang ingin. . ingin menjadi atau. . yang ingin
mencalonkan diri.. untuk menjadi menantu Kanjeng Sultan, maka dia harus
berhadapan dengan. . dengan Suro Bodong. Sebab dialah yang akan bertarung dengan
tiga penantang lagi. Jika dalam satu kali purnama, ternyata tidak ada penantang
lagi, maka... maka dia akan diresmikan menjadi suami.. Nyi Mas Sendang
Wangi. .!"
Kasak kusuk, kasak kusuk, kasak kusuk.. . Semuanya tak jelas. Semuanya bicara
dalam kelompok sendiri-sendiri. Tetapi Suro Bodong hanya memejamkan mata kuat-kuat.
Penyesalannya bagai sangat menyiksa jiwa dan membuat hatinya sangat perih. Ia
sangat kasihan kepada nasib Pendekar Tapak Setan, yang hanya karena masalah
perempuan jadi korban sekejam itu. Ia merasa berdosa kepada Tapak Setan.
Dua orang petugas berpakaian resmi menjemput Suro Bodong dengan rasa was-was.
Mereka membungkuk-bungkuk dan berkata dengan sangat sopan:
"Mari, kami antar ke istana. Anda mempunyai hak tinggal di istana selama menjadi
calon me-antu. Mari, kami antarkan, Tuan.. ."
Nafas Suro Bodong menghempas lepas. Ia berkata pelan, tanpa nada keras sedikit
pun: "Aku butuh bertemu Eyang Panembahan.. !"
"Eyang menunggu Anda di dalem Kesultanan. Eyang juga yang memerintahkan kami
untuk segera mendampingi Anda menghadap Sultan Jurujagad.. ."
Mulut Suro Bodong terkatup. Ia masih duduk di tempatnya. Matanya memandang
orang-orang yang pergi sambil membawa cerita masing-masing, namun otaknya menerawang kemanamana. Ia termenung di situ sampai beberapa lama. Satu dari kedua petugas itu berkata lagi
dengan penuh hormat:
"Kami sudah menyediakan tandu kehormatan bagi Anda.. ."
Dengan suara seperti orang menggumam, Suro Bodong berkata lirih, "Aku bukan
orang terhormat."
"Ini tugas dari atasan. Tuan harus kami bawa memakai tandu, supaya setiap orang
tahu, bahwa Tuanlah calon suami Nyi Mas Sendang Wangi. Mari, Tuan.. ."
"Aku tidak kenal Nyi Mas Sendang Wangi," katanya datar dengan wajah termenung.
"Yang kukenal, Ratwa Prawesti. Carikan dia, dan kawinkan aku dengannya."
"Kami tidak mengenal Ranta Prawesti. Kami hanya mengenal Nyi Mas Sendang Wangi,
calon istri Anda, Tuan. . "
"Jangan panggil aku tuan!" hardiknya. Suro Bodong bersungut-sungut. "Namaku Suro
Bodong! Bukan Tuan.. !"
Ada dua petugas lain yang baru saja naik ke lereng dan membawa alat semacam skop
dan cangkul. Suro Bodong segera menegur dua orang itu:
"Untuk apa alat-alat itu, hah"!"
Salah seorang yang membawa cangkul menjawab dengan gugup, "Bukan.. bukan untuk
membunuh Tuan. . ini untuk. . "
"Untuk memakamkan mayat Pendekar Tapak Setan," sahut orang yang satunya lagi.
"Biar aku yang memakamkan dia di sini...!" kata Suro Bodong. Kedua orang itu
saling pandang tak mengerti. Suro Bodong segera bertindak. Ia menggali lobang di
samping gundukan arang mayat si Tapak Setan.
Keempat prajurit itu saling terheran-heran, bahkan mereka yang masih ada di
bawah juga merasa heran, sebab mereka melihat Suro Bodong menggali lobang makam tanpa
menggunakan alat. Ia mencakar-cakar dengan tangannya dan sangat bersusah payah.
Saat itu, si pembawa cangkul berbisik pada temannya, "Mungkin dia tidak tahu
bagaimana cara menggunakan alat ini, ya?"
"Iya. Mungkin saja. Kasih tahu sana...!"
"Ah, aku ngeri sama dia.. !"
Akhirnya salah seorang memberanikan diri menyodorkan alat penggali lobang, dan
berkata dengan hati-hati:
"Tuan.. pakailah alat ini. Alat ini gunanya untuk menggali lobang."
Suro Bodong berhenti sebentar dan berkata dingin:
"Aku tahu. Aku tahu kalau alat itu untuk menggali lobang, bukan untuk makan
siang! Tetapi aku ingin menebus penyesalanku dengan caraku sendiri. Menjauhlah
sana.. ." "Baik, Tuan. .!" Kemudian orang itu mendekati temannya dan saling berbisik
sambil menyenggol-nyenggolkan sikunya ke tubuh teman.
Suro Bodong sedikit lega. Ia telah menggali lobang untuk memakamkan mayat
lawannya yang menjadi korban kemarahannya. Dengan cara bersusah payah menggali lobang begitu,
Suro merasa sudah sedikit menebus dosanya. Mayat itu didorong ke lobang dan di
urug sendiri sampai rata, lalu menjadikan suatu gundukan khusus. Semua dilakukan
dengan tangan kosong, tanpa alat apa pun.
Sementara itu, sudah pasti keringat Suro Bodong bercucuran sekujur tubuh. Tapi
ia punya sedikit kepuasan untuk kerja semacam itu.
"Pendekar Tapak Setan.. sebenarnya kau bukan setan," kata Suro Bodong ketika
ingin meninggalkan tempat itu. "Tetapi kau menjadi korban kemarahan setanku.. .
Seharusnya bukan kau yang mati, entah siapa... Hanya saja, karena aku kalap, aku
terpaksa membunuhmu dengan cara yang.. yang tak pernah kurencanakan sama sekali.
Maafkan aku. Seharusnya aku dapat mengalahkan kamu dengan cara sederhana, tapi
amukan kemarahan di dalam dadaku tidak bisa dikendalikan saat tadi. Dan... kau
sendiri memancing-mancingnya. Padahal aku sudah bilang kan" Kau akan mati kalau
kau bertarung dengan ku. Tapi kau nekad. Akhirnya, benar juga gertakanku itu.
Dan.. aku jadi susah payah menguburkan kamu. Yaah. . mudah-mudahan arwahmu tidak
keras kepala seperti tadi. Jadikanlah pengalaman tadi adalah pelajaran, supaya
kau bisa mengurangi sesumbarmu dan hati-hati dalam bertindak di alam kubur
nanti. Sekali lagi, maafkan aku, ya" Jangan mendendam kepadaku. Percayalah..
tak ada niat sedikit pun padaku untuk membunuh kamu seperti ini. Nah, mudahmudahan kau tenang di alam baka nanti. Percayalah, kau pasti akan betah di sana
dan tak mau kembali lagi ke bumi. Selamat tinggal Pendekar malang. .!"
Dengan pengawalan penghormatan, Suro Bodong turun dari bukit. Ada empat orang
bertubuh kekar berdiri di samping sebuah tandu indah. Tandu dilapisi warna kain kuning
emas dengan rumbai-rumbai benang sutra warna hijau. Seorang prajurit tanpa
tombak, kecuali hanya menyandang pedang di pinggang mempersilakan Suro Bodong
agar naik ke tandu. Tetapi Suro Bodong menolak.
"Aku bukan orang lumpuh.. ! Aku masih bisa berjalan dengan kakiku sendiri."
"Tapi ini perintah. Pesan Eyang Panembahan. Tuan harus digotong memakai
tandu.. ."
"Aku tidak mau!" jawab Suro Bodong tegas.
"Kami akan kena hukuman jika... "
"Siapa yang akan menghukum kalian"!"
"Kepala keprajuritan," jawab salah seorang prajurit yang bertugas menggotong
tandu. Dengan tegas Suro berkata, "Tunjukkan nanti, yang mana kepala keprajuritan
kalian. Sebelum dia menghukum kalian, aku akan menghukumnya lebih dulu!"
Tiba-tiba dari belakang Suro Bodong terdengar suara bernada ragu:
"Aku kepala keprajuritan.. ."
Kepala Suro Bodong menoleh, "O, kamu"! Apakah mereka akan kamu hukum jika tak
mau menggotongku?"
Kepala keprajuritan itu menjawab dengan sedikit membungkuk, "Kurasa tidak.
Sebab. . Tuan Suro Bodong sendiri yang menghendaki berjalan kaki. ."
Akhirnya, mereka menggotong tandu tanpa berisi orang. Suro Bodong jalan dengan
santai didampingi beberapa prajurit yang bertugas mendampingi Suro Bodong ke istana. Di
perjalanan, Suro melihat seorang lelaki bertubuh kurus yang sedang memikul dua
keranjang jagung mentah. Suro segera menghentikan.
"Pak, berapa harga jagungmu sebuah?"
Rupanya orang itu tadi juga menyaksikan pertarungan Suro Bodong dengan Pendekar
Tapak Setan. Orang itu masih merasa ketakutan dan berkata dengan menggeragap, "Kalau..
kalau tuan mau, ambillah semua. Saya... saya rela memberinya."
Mulanya Suro Bodong tidak mau. Tetapi karena orang itu mendesak, akhirnya Suro
Bodong mau menerima dua keranjang jagung mentah untuk dibakar. Orang itu diberi beberapa
keping uang oleh kepala keprajuritan. Dan atas perintah Suro jagung-jagung itu
dinaikkan dalam tandu, lalu dipikul beramai-ramai.
Tentu saja seluruh kerabat kerja Kesultanan merasa terheran-heran dan mengikik
geli melihat tandu berisi jagung. Patih Danupaksi yang menyambut di regol istana
terpaksa berkata kepada kepala prajuritan:
"Apa tidak ada cara lain yang lebih konyol?"
Mau tidak mau kepala keprajuritan menunduk sambil berkata, "Maaf, Ki Patih. Ini
atas kehendak tuan Suro Bodong sendiri. Kami telah memaksanya untuk naik ke
tandu, tetapi beliau justru merasa dihina, dianggap orang lumpuh."
Melihat agaknya ada sedikit keributan antara patih dan kepala keprajuritan, Suro
Bodong segera menengahi:
"Benar. Aku sendiri yang menolak untuk naik ke atas tandu dan dipikul."
"Kenapa Anda harus menolak?" Patih Danupaksi minta ketegasan. Dan Suro pun
menjawab: "Orang mati, pantas dipikul. Orang lumpuh pantas dipapah, tetapi aku orang
sehat" "Anda menolak penghormatan kami."
"Dikatakan menolak, tidak. Tetapi aku tahu batasan dan saat kapan penghormatan
harus dilakukan. Belum saatnya bagi orang seperti aku mendapat penghormatan seperti
itu. Belum saatnya!"
Patih Danupaksi manggut-manggut. "Kuharap lain kali jangan menaikkan jagung ke
dalam tandu, ya?"
"Nah, itu baru penghormatan!" jawab Suro Bodong cepat seraya menuding dada
patih. Tentu saja Patih Danupaksi berkerut dahi dengan sedikit memiringkan
kepala tanda heran. Suro Bodong melanjutkan kata-katanya:
"Jagung dan aku lebih berjasa jagung. Sebab meski dia sudah dimakan oleh anak
cucu kita, namun dia masih mau tumbuh dan mengorbankan diri untuk dimakan,
sebagai penyambung hidup kita.
Eh, jarang sekali orang mau menghormati orang yang berkorban terus-terusan,
bukan" Biasanya orang akan memberi penghormatan pada jasa pertama dan kedua,
tetapi jasa selanjutnya sudah dianggap wajar-wajar saja. O, ya... siapa namamu?"
tanya Suro seenaknya.
"Aku patih Danupaksi," jawab Ki Patih agak ketus.
"O, kamu patih" Ah.. aku bukan patih kok. Aku rakyat biasa. Suro Bodong namaku.
Kita ini sebenarnya sama, ya" Yang membedakan hanya soal jabatan dan pekerjaan..
." "Jadi apa maksudmu.. ?"
"Supaya kau tahu, kalau aku tidak membungkuk-bungkuk seperti anak buahmu ini,
jangan salahkan aku. Caraku memberi penghormatan kepada orang berbeda. Kau boleh meniru
caraku, tapi boleh juga tetap pada caramu."
Patih Danupaksi mengela nafas. Ia ingat kata-kata Eyang Panembahan ketika
menjelaskan tentang seseorang yang bernama Suro Bodong, yang sebentar lagi akan datang.
Ternyata benar apa kata Eyang Panembahan, bahwa orang yang bernama Suro Bodong
punya banyak kelainan dengan manusia biasa. Jadi, Patih Danupaksi terpaksa harus
bisa memaklumi.
"Suro Bodong," katanya. "Mari kita menghadap Sultan. Kau telah ditunggu Kanjeng
Sultan dari tadi... "
Suro Bodong hanya menggumam dan manggut-manggut samar. Ia berjalan ke pendopo
didampingi oleh patih dan kepala keprajuritan. Paseban tempat Sultan dan
beberapa pegawainya berkumpul itu cukup luas, mewah dan bersih. Nyaman sekali
tempat itu. Angin menghembus sepoi-sepoi, karena Paseban itu tanpa dinding di
kanan kirinya. Seorang lelaki berwibawa, tinggi dan bersih duduk di singgasana kencana. Ia
mengenakan baju Kesultanan warna hijau pupus dan kain bercorak batik Sidakmukti
dengan hiasan sabuk emas melingkar di pinggang. Seorang berpakaian serba hitam
dengan jubah merah berdiri di samping kanan Sultan Jurujagad. Ia adalah Eyang
Panembahan yang tadi ditantang Suro Bodong. Ketika melihat sosok Eyang
Panembahan, geram di hati Suro Bodong kambuh kembali. Ia memandang tajam, tetapi
yang dipandang seakan tidak merasa diperhatikan. Eyang Panembahan tetap tenang
saja. Semua abdi dalem duduk bersila setelah menyembah Sultannya, tetapi Suro Bodong
tetap berdiri tegak, menampakkan kegagahannya.
"Ki Sanak. . benarkah kau yang bernama Suro Bodong?"
"Benar!" jawab Suro Bodong kepada Sultan dengan tegas.
"Benarkah kau yang memenangkan pertarungan untuk meminang putriku, Nyi Mas
Sendang Wangi?" "Benar, dan tidak!"
Semua orang menggumam dan berkerut dahi. Hanya Eyang Panembahan yang tetap
tenang. Berdiri dengan tangan terlipat di dada. Salah seorang abdi dalem yang punya
jabatan penting menegur Suro Bodong:
"Saudara Suro Bodong, tidak bisakah Anda duduk dan memberi hormat kepada Kanjeng
Sultan"!"Suro Bodong menjawab dengan garuk-garuk kumis:


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kau bisa berbuat begitu, lakukanlah. Kalau aku tidak bisa. Kau punya cara
menghormat, dan aku punya cara sendiri."
"Tapi di sini punya peraturan, kau harus tunduk pada peraturan di sini!"
"Aku tidak menyuruh pemerintah di sini mengatur peraturan itu! Aku tidak suka
mengikuti peraturan di sini. Karena itu, aku tidak keberatan kalau aku harus
segera pergi dari sini. Justru aku akan berterimakasih kepada pemerintah di sini
kalau aku diizinkan pergi sekarang juga mengerti?"
Suasana sedikit tegang. Suro Bodong mende-kati orang yang mengajaknya bicara.
Lalu bertanya dengan tegas:
"Kamu siapa"! Apa urusanmu menegurku begitu?"
Orang itu menjawab: "Aku Demang Sabrangdalu. .! Di sini pangkatku Demang!"
"O, aku rakyat biasa!" balas Suro Bodong. "Kedudukanku lebih tinggi daripada
kamu. Buktinya aku bebas pergi ke mana saja tanpa ikatan. Aku bebas kencing di
mana saja, tetapi bisakah kau kencing di pinggir alun-alun"!"
Patih Danupaksi menyahut dengan sabar, "Kukira perdebatan itu tidak perlu
terjadi. Di sini kami ingin bicara tentang kamu, Suro Bodong. Bukan ingin
membahas soal kencing di alun-alun. Sekali pun misalnya aku pernah kencing di
alun-alun, itu pun tak akan kukatakan di sini."
"Aku belum pernah. Kapan-kapan akan kucoba...!" kata Suro Bodong yang kemudian
berdiri tegak menghadap Sultan Jurujagad. Sultan ini hanya tersenyum-senyum
seraya memandang Eyang Panembahan. Keadaan kembali reda.
"Suro Bodong kuizinkan menghormat dengan caranya sendiri. Aku tahu, dalam
hatinya dia tidak mempunyai niat jahat dan penghinaan sedikit pun. Tidak ada.
Dia memang kasar, tetapi ia mempunyai jiwa yang sehat.. ." kata Sultan.
"Jadi, mulanya aku dianggap tidak sehat?" celetuk Suro.
"Tidak," Sultan tersenyum ramah. "Kami menganggap kamu seperti pendekar pada
umumnya, yang menyukai sanjungan dan penghormatan, ternyata dugaan kami berbeda.
Salah. Namun demikian, mau tidak mau kami tetap mempunyai rasa bangga hati
melihat ada pendekar gagah perkasa dan sakti mandraguna, yang menurut ramalam
para abdi dalem, bahwa dialah yang akan berhasil memenangkan sayembara ini.
Semua orang kudengarkan kasak kusuknya, mereka berpendapat, bahwa kaulah yang
akan bisa memenuhi persyaratan kami, yaitu mampu mengalahkan empat penantang.
Bahkan Eyang Panembahan Purbadipa meyakinkan padaku, bahwa kaulah nantinya yang
akan berhasil melamar
putriku; Nyi Mas Sendang Wangi. . "
"Aku tidak melamar putrimu, Sultan!" kata Suro dengan tegas. "Aku tidak tertarik
untuk menjadi menantu seorang Sultan!"
"Tapi kau telah mengikuti pertarungan itu dan memenangkannya, bukan"!"
"Itu bukan pekerjaanku. Itu adalah keusilan dia.. !" Suro berkata keras dengan
menuding Eyang Panembahan. Ia kelihatan menahan kemarahan yang hampir meledak di
situ. "Dia menyuruh petugas untuk mencatat namaku sebagai penantang berikutnya, lalu
aku dipaksa naik ke arena. Aku dituduh menghina Sultan jika tidak mau melawan
Pendekar Tapak Setan. Rakyat mengancamku dan menghinaku, kemudian aku
mengingatkan Tapak Setan agar jangan melawanku dan aku akan mengalah untuk tidak
melawannya, tetapi dia ngotot dan aku semakin panas. Sampai tak kusadari aku
telah melawannya dengan amukan darahku, yang sebenarnya kutujukan pada kakek tua
itu. Akhirnya aku sangat menyesal atas kematian Pendekar Tapak Setan yang pantas
menjadi menantumu itu. Suatu saat, aku ingin menantang dia...!" Suro menuding Eyang
Panembahan Purbadipa.
Ia mendekat dan berkata, "Hei,.. kapan-kapan kita bertarung! Aku masih sakit
hati kau jebak begini, tahu"! Dan kalau boleh aku sesumbar, kukatakan kepadamu,
aku bisa membuat seluruh Kesultanan mati dalam sekejap. Itu kalau boleh aku
sesumbar. Kalau tidak, aku pun tidak mau sesumbar begitu!"
Hening tercipta. Masing-masing merenungkan kata-kata Suro Bodong. Tetapi Eyang
Panembahan tetap tenang.
3 Jarang sekali seorang calon menantu dapat sambutan seramah itu. Sultan Jurujagad
benar-benar ingin menjamu Suro Bodong sebagai tamu kehormatan yang tak boleh
dikecewakan. Ini memang
mempunyai kejanggalan, dan Suro Bodong beranggapan: Pasti ada apa-apanya di
balik jamuan istimewa itu. Tetapi, untuk sementara Suro Bodong tidak mau banyak
pikiran. Ia diberi kamar yang cukup mewah, lebih mewah dari kamar-kamar lainnya yang
pernah ia huni. Jagung bakar kesukaannya juga dihidangkan pagi, siang dan sore dalam
jumlah cukup. Sultan Jurujagad sering mengadakan pembicaraan empat mata dengan
Suro Bodong, bertukar pengalaman dan saling mengisi pengetahuan, baik filsafat
hidup maupun ilmu kanuragan.
Tetapi, bagaimanapun juga Suro masih merasa kesal dengan Eyang Panembahan. Ia
merasa dijebak dengan maksud yang belum jelas diketahui. Secara gampang, memang Suro
dijebak untuk menjadi menantu Sultan, tetapi maksud yang sebenarnya belum
diketahui Suro.
Sehingga pada hari kedua sejak Suro tinggal di dalam Komplek Kesultanan, ia
sempat beradu muka dengan Eyang Panembahan Purbadipa. Saat itu, ia berada di taman depan
kamarnya. Suro langsung saja menegur dengan seenaknya:
"Hei, kapan kita bertarung" Kau sudah punya waktu"!"
Eyang Panembahan menampakkan sikap sabarnya dengan menyunggingkan senyum yang
ramah. "Apa kauyakinkalaukau akanmenang melawan aku?" tanyaEyang
PanembahanPurbadipa.
"Menang atau kalah bagiku tidak penting. Yang penting aku bisa melampiaskan
kejengkelanku! Aku sakit hati kau jebak begini, tahu" Sakit hati sekali!"
Senyum orang tua itu berubah jadi tawa pelan yang mengekeh. Suro bersungutsungut, masih bertolak pinggang. Dengan tenang Eyang Panembahan menempuk pundak Suro dan
berkata, "Mari duduk di sini.. . Mungkin kau bisa lampiaskan kemarahanmu.. ."
Bahu Suro mengibas, ia tak mau diajak beramah-ramah. Ia masih berkata ketus.
"Kalau tidak berkelahi, aku belum lega memburumu!"
Tanpa peduli ucapan Suro, Eyang Panembahan duduk di bangku batu marmer yang
indah, di tepi kolam. Banyak teratai yang bermekaran di situ. Juga air mancur yang
memancar ke atas membuat taman itu menjadi kelihatan asri dalam keindahan yang
alami. "Aku sengaja menjebakmu," kata Eyang Panembahan yang berjenggot panjang dan
putih, juga berambut panjang dan putih. Ia bicara tanpa memandang Suro,
melainkan menatap bunga-bunga teratai yang mengambang di kolam jemih itu.
"Kalau aku menjebakmu begini, itu sebabnya aku tahu kekuatanmu."
Suro jadi sedikit tertarik. Ia mendekat, tapi masih berdiri dengan lagak
kedongkolannya.
"Darimana kau tahu kekuatanku"!" tanyanya.
"Aku merasakan udara hangat ketika aku berdiri di dekatmu," jawab Eyang masih
tanpa memandang Suro. Agaknya Suro Bodong bertambah heran, lalu kian mendekat.
"Maksudmu, udara dari nafasku"!"
Kali ini Eyang Panembahan memandang Suro dengan matanya yang menyipit namun
kelihatan memancarkan ketajaman.
"Udara prana!"
"Prana.. "!"
"Ya. Satu kekuatan batiniah yang ada pada diri manusia. Kau telah mampu
menghimpun prana, dan mengolahnya menjadi berbagai macam kegunaan. Prana itu
kalau diolah dan digunakan, cukup dahsyat!?"Tinggi juga ilmu orang ini," pikir
Suro Bodong. Sebab dia sendiri tidak tahu apa itu prana. Ia baru kali ini
mendengar ada orang bisa merasakan udara hangat yang mengelilingi sekitar
tubuhnya. Menarik juga cerita itu, dan Suro menjadi semakin ingin tahu. Ia duduk di bangku
batu marmer samping Eyang Panembahan.
"Prana itu seperti apa?"
Eyang Panembahan tersenyum, bahkan tertawa dalam gumam.
"Prana itu... tidak bisa dilihat bentuknya. Prana itu suatu kekuatan gabungan,
ada unsur inti bumi, ada unsur inti matahari, bulan, bintang, hujan dan lain
sebagainya. Suatu kesatuan alam membentuk suatu zat. Zat itu ada dalam tubuhmu.
Mengempal, namun membara jika digerakkan oleh suatu kekuatan batin."
"Mungkin karena aku sering kehujanan" Begitu?"
"Satu di antaranya itu. Tetapi itu tidak cukup untuk mengumpulkan prana dari
berbagai keadaan alam."
"Tapi.. tapi aku kan tidak pernah pergi ke bulan?"
Eyang Panembahan tertawa pelan. Wajah Suro Bodong tidak seketus tadi, namun
berubah jadi bego. "Cahaya bulan, mempunyai suatu kekuatan tersendiri. Mungkin jarang orang
merasakannya, tetapi orang sering terlena karena cahaya rembulan itu. Apabila
semua zat alam itu menembus lapisan merah, entah botol, entah beling, entah
kaca, atau.. kertas merah, maka ia akan berubah menjadi satu zat yang dapat
dimanfaatkan oleh kita. Air yang terkena campuran zat itu, akan bisa dipakai
untuk menyembuhkan suatu penyakit. Ayam, yang mendapat sorot beling merah dari
campuran sinar bulan dan lain-lain, akan menghasilkan telur yang banyak,
ketimbang ayam biasa yang selalu dikurung dalam tempat terlindung."
Suro Bodong manggut-manggut. Sakit hatinya bagaikan hilang, dilupakan dalam
tempo singkat. Ia lebih tertarik pada ilmu dan pengetahuan Eyang Panembahan Purbadipa itu.
"Kau heran?" tanya Eyang Panembahan.
"Ya," jawab Suro dalam keraguan. "Tapi aku sepertinya pernah mendengar penuturan
seperti ini." Ia berkerut dahi. "Di mana, Siapa yang menuturkannya?"
"Birawa Paca.. !"
Dahi Suro semakin berkerut. "Siapa Birawa Paca itu?"
Eyang Panembahan berdiri, dan berjalan mengitari kolam. Matanya memandangi ikanikan yang sesekali melompat menampakkan warna kuning emasnya.
"Itulah sebabnya, aku menjebakmu ke mari. Aku tahu, kau dalam kebingungan
mencari jati dirimu."
Bagai mendengar teriakan gajah di telinga, Suro Bodong segera berdiri dan
memandang Eyang
Panembahan dengan hati berdebar-debar. Ia setengah berseru karena semangatnya:
"Darimana kau tahu keadaanku"!"
Eyang Panembahan memandang lembut pada Suro, dan berkata:
"Aku mempunyai indra ketujuh."
"Indra ketujuh"! Umumnya orang mempunyai keistimewaan dengan indra keenam.
Kenapa kau bilang punya indra ketujuh?"
"Indra perasa yang mampu merasakan keadaan masa lalu, dan mencurahkannya dalam
satu gambaran."
Suro buru-buru mendekati Eyang Panembahan. Ia semakin penasaran, dan semakin
heran. "Aku kurang jelas dengan indra ketujuh itu."
Eyang berjalan, Suro ikut berjalan dalam kebegoannya. Eyang berhenti, di tepi
kolam yang airnya tidak bergolak. Ia seperti memperhatikan sesuatu di balik kebeningan air
yang tenang itu.
Kemudian ia berkata kepada Suro:
"Lihatlah bayangan di dalam air itu. . "
Suro Bodong memperhatikan genangan air bening. Mulanya ia bingung, apa yang
harus dilihatnya. Tidak ada apa-apa. Tetapi beberapa saat kemudian, matanya makin
melebar, dan melebar lagi. Ia melihat sebuah bayangan di dalam air. Bagai sebuah
lukisan yang menggenang. Lukisan seorang anak yang tengah belajar silat dalam
sebuah goa. Batu-batu goa kelihatan jelas bertonjolan, dan sang anak kecil itu
melompat-lompat di pucuk-pucuk batu yang tajam. Tak jauh dari anak itu, ada
seorang lelaki berjenggot putih, panjangnya sebatas perut. Rambutnya juga
panjang, bahkan sampai menyentuh betisnya. Lelaki itu mempunyai telinga panjang,
caplang. Hidungnya besar, dan kuku-kuku di jarinya cukup panjang. Lelaki itu
bertubuh besar, tinggi, mirip raksasa.
Benak Suro Bodong bertanya-tanya, siapa lelaki bertubuh tinggi itu" Ia
sepertinya pernah
melihat, pernah bertemu, tapi entah di mana dan kapan. Ia juga ingat sinar merah
di dalam goa itu. Ia sepertinya pernah melihat goa bersinar merah membara, tapi
tidak berhawa panas. Dalam bayangan air itu juga terlihat jelas merahnya suasana
di dalam goa, dan batu-batu hitam meruncing yang tengah dipakai latihan oleh
seorang bocah kira-kira berumur 7 tahun.
"Aku. . aku sepertinya pernah melihat orang berjenggot panjang dan bertelinga
caplang itu. . "
kata Suro Bodong.
"Dialah Birawa Paca.. !" jawab Eyang Panembahan.
"Birawa..." Birawa.. " Bi-ra-wa...?" Suro Bodong mengeja untuk mengembalikan
ingatannya. Namun sampai sekian lama, dia tidak melihat adanya kemungkinan untuk teringat
pada nama itu. "Aku tidak tahu, siapa Birawa Paca itu," katanya.
"Dialah ayahmu.. !"
"Hahh.. "!"
Suro Bodong terpekik keras. Matanya membelalak lebar bagai ingin meloncat ke
luar dari kelopaknya. Ia nyaris tidak percaya dengan ucapan Eyang Panembahan tadi. Selama
ini ia sendiri tidak tahu siapa orang tuanya dan di mana asal-usulnya. Tetapi
Eyang Panembahan begitu gampang
menyebutkan siapa orang tuanya. Suro masih sangsi kendati ia sendiri bertanyatanya: mungkinkah nama yang pernah didengar dan wajah yang pernah dilihat itu
adalah milik ayah kandungnya"
Mata Suro Bodong yang membelalak itu kembali memandang lukisan dalam genangan
air. Ia menyimak betul wajah lelaki berhidung besar, berkuku panjang dan berjubah putih.
Bagian tengah kepalanya botak, tetapi rambut sekitarnya panjang sampai sebatas
betis, warnanya putih keperak-perakan. Lalu, seorang anak kecil melompat ke arah
lelaki yang disebut bernama Birawa tadi. Lelaki itu menangkap anak tersebut, dan
memeluk dengan pelukan kasih sayang.
"Siapa anak kecil itu" Siapa dia, Eyang?"
"Kau sendiri. . " jawab Eyang Panembahan tetap menyunggingkan senyum.
Mulut Suro Bodong sudah tidak mampu lagi memekik kaget. Ia sangat tegang.
Keringat dinginnya mengucur melalui kening dan pelipis. Ia tak lagi sempat berkedip dalam
memandang gambaran dipermukaan air kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakan
menyesak di dadanya. Ada sesuatu yang dirasakan mengiris hatinya. Perih, namun
dicobanya untuk bertahan, sekalipun dengan begitu matanya menjadi merah menahan
gejolak yang meledak-ledak di dalam dada.
Benarkah itu bayangan wajahnya semasa kecil" Benarkah itu adalah ayah
kandungnya"
Benarkah itu adalah tempat tinggalnya sewaktu kecil" Lalu... siapakah dia
sebenarnya" Mengapa ia jadi seperti saat ini" Mengapa ia jadi hidup tanpa arah
dan tujuan yang pasti"
Ketika bayangan di dalam air itu meredup lalu hilang, Suro Bodong duduk di
tepian kolam, seakan masih ingin memperjelas pandangannya. Ia masih ingin melihat seorang
lelaki yang memeluk anaknya dalam tawa ceria. Tapi, kini yang ada hanya
kebisuan. Hening. Sepi di bumi dan sepi di permukaan air itu. Hanya kebeningan
air yang dapat dinikmati, sementara jiwanya begitu dicekam suatu keharuan. Hal
itu membuat Suro Bodong belum mampu bicara kecuali hanya termenung sendu
beberapa saat lamanya.
"Kau belum ingat siapa dirimu sebenarnya?" bisik Eyang Panembahan dengan lembut.
Ia ikut duduk di tepi kolam ketika Suro menggelengkan kepala dalam renungannya.
"Kau adalah anak dari Birawa Paca," tutur Eyang, pelan. "Ayahmu bukan manusia
biasa. Karena ilmunya yang tinggi, dia seolah-olah seperti roh halus, walau
sebenarnya ia adalah manusia. Tetapi alamnya sudah membaur dengan alam roh yang
jarang bisa dicapai manusia biasa. Birawa Paca seorang berilmu tinggi, jangan
kan terkena pukulannya, terkena pandangan matanya saja manusia bisa hancur
lebur. Sebab itu, ia tinggal di dasar bumi, dan menjadi penunggu perut gunung
raksasa di lautan lepas, yaitu gunung Krakatau!"
Suro Bodong menyimak setiap ucapan itu tanpa memberi komentar sedikit pun.


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hatinya masih teriris pilu, sebab setua ini ia seakan baru sekarang mengetahui siapa dirinya
dan darimana asal-usulnya.
Ia membiarkan Eyang bicara panjang lebar tentang dirinya. Inilah saat yang
ditunggu dan dicari-cari selama ini.
"Birawa kawin dengan seorang putri dari negeri seberang, yaitu: Tibet. Putri itu
bernama Shilanta. Ia anak seorang pendeta, yang melepaskan kependetaannya karena
tak tahan terhadap tuntutan batinnya. Ia menikah dan melahirkan seorang putri
yang bernama Shilanta, yaitu ibumu sendiri!"
Tak sepatah kata pun meluncur dari mulut Suro Bodong. Matanya menjadi semakin
merah dan berkilau-kilauan. Ia nyaris tak tahan membendung kedukaannya, karena haru atas
kembalinya satu ingatan yang selama ini pudar. Ia sangat tak sabar menunggu
kisah Eyang Panembahan yang sesekali berhenti, bagai menciptakan debaran-debaran
jantung semakin ingin meledak saja.
Kakek yang mempunyai indra ketujuh itu berkata lagi dengan suaranya yang pelan
dan penuh kesabaran: "Ketika para utusan dari Tibet menyeberang ke Sriwijaya untuk urusan
persaudaraan, Shilanta mengikutinya. Ia tergabung dalam rombongan para utusan
dari Tibet, karena ia mempunyai
pengetahuan keagamaan cukup dalam dan tinggi. Nah, pada saat itu... Sriwijaya
sendiri sedang mengalami kemelut dengan armada laut kerajaan Tanah Jawa. Ada
pertempuran tidak resmi yang sesekali terjadi di lautan atas. Kapal utusan dari
Tibet menjadi sasaran, lalu dihancurkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab,
entah dari Sriwijaya atau dari Mataram. Ujung-ujungnya diketahui, penyerang itu
berasal dari India Selatan, yaitu tentara-tentara raja Colamandala yang
ditugaskan menundukkan Sriwijaya."
Sejenak cerita itu dihentikan, karena Eyang Panembahan menunggu reaksi dari Suro
Bodong. Ternyata tidak ada reaksi kecuali menyimak dan mendengarkan dengan tekun. Maka
cerita itu pun dilanjutkan kembali:
"Ibumu, Shilanta, terapung-apung di samudra lepas, karena kapalnya
ditenggelamkan oleh tentara Colamandala. Dalam keadaan seperti itu, Birawa
muncul sebagai sang penyelamat. Padahal tugasnya semula adalah memata-matai
Sriwijaya. Tetapi melihat kecantikan Shilanta, ia melupakan tugasnya, kemudian
menyembunyikan Shilanta dalam goa di dasar laut. Shilanta merasa berhutang budi,
tetapi justru hal itulah yang membuat Shilanta jatuh cinta kepada seorang
lelaki. Mereka bersepakat hidup bersama. Banyak ilmu Shilanta yang diajarkan
kepada Birawa, dan banyak ilmu Birawa yang diajarkan kepada Shilanta... "
Eyang menyempatkan berpaling memandang Suro yang melompong terpukau oleh kisah
itu. Lalu lanjutnya:
"Maka jadilah keduanya sebagai orang sakti yang tak boleh melihat darah. Jika
mereka melihat darah, maka darah itu akan hancur sekaligus raga yang mempunyai
darah itu. Jadi, untuk menghindari pertumpahan darah dan pembunuhan orang tak
berdosa, mereka bersepakat untuk tinggal di dasar laut.
Kesaktiannya sangat luar biasa, sampai-sampai ia dapat mengendalikan magma dan
lahar gunung berapi untuk meletus atau tidak. Maka jadilah mereka penguasa
gunung Krakatau di dasar laut. Di sana, di dalam perut gunung itu, kau
dilahirkan dengan nama... Wisnu Brama."
"Wisnu Brama...?" Suro mengulang dengan lirih.
"Ya. Itulah nama aslimu sejak lahir. Dan kau mulai dilatih ilmu silat serta
tenaga dalam sejak usia 5 tahun. Karena tak ada lagi pekerjaan lain bagimu di
dalam perut gunung berapi itu kecuali berlatih dan berlatih terus, sampai
akhirnya kau menjadi orang yang hampir mewarisi seluruh ilmu ayah dan ibumu."
"Wisnu Brama.. ." Suro masih seperti menghapalkan nama itu. Sedangkan Eyang
Panembahan tersenyum-senyum. Memandang Suro Bodong dengan arif.
"Kau tahu ilmu apa yang kau pakai untuk melawan Pendekar Tapak Setan?" pancing
Eyang Panembahan Purbadipa.
Suro Bodong menggeleng. "Namanya aku tak tahu, tapi cara menggunakan ilmu itu
aku masih ingat.. " "Namanya ilmu 'Giricandra'. . "
"Ooo... " Suro manggut-manggut. "'Giricandra'...?"
"Giri itu gunung. Candra itu sinar. Jadi maksudnya ilmu yang kau pakai kemarin
adalah ilmu kilatan cahaya gunung, alias semburan api lahar yang amat
dahsyat. .! Kau sebenarnya masih mempunyai banyak ilmu yang lebih unggul dari
Giricandra, yaitu perpaduan dari ayahmu dan ibumu.
Tetapi, mungkin kau telah lupa."
Sumpah Palapa 27 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Riwayat Lie Bouw Pek 10

Cari Blog Ini