Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Bukit Asmara 2

Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara Bagian 2


Suro manggut-manggut lagi dengan mulut melongo. Eyang menepuk pundak Suro dan
berkata, "Kalau kau mau, aku bisa mengingatkan ilmu-ilmu itu melalui indra ketujuhku."
"Aku mau. .! Aku mau.. !"
Eyang menggeleng. "Aku takut kau tantang seperti tadi!"
Suro Bodong buru-buru bersujud di depan Eyang Panembahan Purbadipa. Ia sangat
menyesali sikapnya selama ini. Ia tidak tahu apa maksud Eyang Panembahan, sehingga ia jadi
seperti orang liar yang tak mengenal tata susila kepada orang seperti Eyang
Panembahan. "Kenapa kau bersujud padaku, Suro Bodong"!"
"Maafkan aku.. ." ucap Suro Bodong lirih, bagai tersendat oleh keharuan. "Aku
selama ini tidak mau mengerti siapa kamu, Eyang. Aku buta. Batinku tertutup oleh
kebingungan jati diriku. Tetapi sekarang, ternyata kaulah yang bisa
mengembalikan hidupku, Eyang. Kaulah seharusnya orang yang patut kuhormati dari
sekian banyak orang. Tanpa kamu, aku tidak bisa mengerti, siapa Suro Bodong
sebenarnya. Aku merasa berdosa kalau aku kemarin dan tadi menantangmu.
Sebenarnya kalau kau mau, dengan sekali sentil saja aku bisa hancur berkepingkeping.. ."
"Wisnu Brama... bangkitlah," kata Eyang. "Kau tidak bersalah. Kau tercipta dalam
adat yang miskin. Hanya Birawa dan Shilanta yang bergaul denganmu, sehingga kau
tidak cukup pengetahuan tata kramamu. Aku memakluminya. Apalagi lewat indra
ketujuh-ku ini aku bisa melihat betapa sengsaranya kau ketika bertarung melawan
musuh yangberasal dari alam lain: Ratu Iblis Sejagad. Kepalamu waktu itu hampir
hancur mempertahankan gunung Krakatau. Kau mengemban tugas dari ayahmu untuk
mengusir Ratu Iblis itu, dan akhirnya kau mengalami gangguan pada ingatanmu. Kau
menjadi lupa siapa dirimu dan menjadi lupa bagaimana seharusnya hidup itu. Kau
terbuang di suatu tempat tanpa tahu di mana arah rumahmu. Namun kau tidak tahu
bahwa ayahmu cukup bangga, karena kau dapat mengalahkan Ratu Iblis Sejagad,
sehingga sampai sekarang ayah dan ibumu masih dapat tinggal di dasar bumi dengan
damai." "O, jadi begitu riwayatku kenapa aku menjadi serba tidak tahu?" Suro Bodong
tiba-tiba berdiri dengan bersemangat. Ia tertegun sesaat. Lalu Eyang Panembahan
berkata: "Begitulah kamu. Dan. . lupakan tantanganmu itu. Aku memaklumi. Kami semua
memaklumi keadaanmu. Kanjeng Sultan dan para punggawa negeri lainnya sudah kuberi
penyuluhan tentang keadaanmu. Mereka bisa memakluminya... "
Di kamarnya, Suro Bodong tak habis pikir, mengapa semua ini tidak pernah terduga
sama sekali" Ia mulai mengingat-ingat kisah yang dituturkan Eyang Panembahan. Ia
mulai menghapal-kan nama aslinya: Wisnu Brama.
Nama itu diucapkan berkali-kali sambil ia menerawang, memburu masa lalunya. Ia
sama sekali tidak menyangka kalau dirinya sebenarnya menyimpan banyak ilmu yang
maha sakti. Ia juga tidak tahu kalau dia adalah anak perut bumi, keturunan
penguasa gunung Krakatau yang berada di Selat
Pasundan. Birawa Paca dan Shilanta, adalah dua nama yang samar-samar terngiang
dalam telinganya.
Kini jelas sudah, siapa kedua nama itu, yang tak lain adalah ayah dan ibunya.
Ternyata di balik kejengkelan yang ditimbulkan akibat ulah Eyang Panembahan,
masih tersimpan segudang kelegaan yang membuat pikirannya bagai dicuci kembali.
Mulanya Suro benci kepada Eyang Panembahan, sekarang berbalik menjadi sangat
menyayangi Eyang Panembahan. Ia
bersyukur dijebak seperti saat ini. Tanpa dijebak begini, mungkin ia tidak bisa
menemukan seberkas cahaya yang menunjukkan jati dirinya. Hanya saja, soal
perkawinannya dengan Nyi Mas Sendang Wangi itulah yang sekarang menjadi ganjalan
bagi hati Suro Bodong. Ia belum pernah melihat seperti apa ujud barang yang
disayembarakan itu. Ia juga tidak tahu, mengapa Sultan Jurujagad yang
kelihatannya arif itu mempunyai syarat yang bernada sombong: mempertarungkan
calon menantu. Siapa yang terkuat, dia yang dikawinkan dengan putrinya. Padahal
Suro Bodong masih tertaut hatinya pada kekasih yang diburu selama ini. Ratna
Prawesti. Ia tak mau kawin dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Ia tidak mencintai
perempuan itu. Ia lebih mencintai Ratna Prawesti.
Sayangnya, Ratna Prawesti belum juga ditemukan selama ini. Padahal ia sudah
memburu ke desa Tandang Cinde, yang diduga masyarakatnya mengenal nama itu. Ternyata bukan
Ratna Prawesti yang mereka kenal, melainkan Ratna Prawesti, putri seorang ahli
nujum yang wajahnya jauh berbeda dengan Ratna Prawesti.
Pintu kamar ada yang mengetuk. Jelas pasti kedua penjaga yang ditempatkan di
depan kamar untuk menjaga keamanan kamar itu. Suro Bodong bergegas membukakannya, ternyata
dugaannya salah.
Kepala Keprajuritan yang mengetuk pintu kamarnya dan berkata:
"Tuan dipanggil Sultan.. !"
Suro Bodong menggerutu. Ia baru saja ingin beristirahat siang, tetapi sudah ada
gangguan seperti itu. Sekali lagi kepala keprajuritan berkata:
"Tuan dipanggil Sultan untuk menghadap. .!"
"Ada urusan apa?" Suro Bodong bertanya dengan nada kesal. Kepala keprajuritan
itu menjawab: "Saya tidak tahu, sebab yang memanggil Tuan bukan saya, tapi Sultan!"
Suro Bodong menggeram. Jengkel sekali. "Katakan, aku mau beristirahat!" Kemudian
ia menutup pintu kamarnya. Hampir saja wajah kepala keprajuritan terbentur daun
pintu yang ditutupkan dengan kasar. Suro Bodong merebah di atas ranjang empuk
beraroma wangi.
Beberapa saat kemudian terdengar lagi ketukan. Suro membiarkan dan berlagak
tidur. Tetapi ketukan semakin sering dan bertambah keras. Suro jadi jengkel, lalu buru-buru
membukakan pintu dengan bersungut-sungut.
Oh, ternyata patih Danupaksi yang datang. Suro Bodong mengurangi
kecemberutannya. "Ada apa"!" tanyanya ketus.
"Kenapa kau dipanggil Sultan tidak mau"!" hardik patih.
"Karena aku bukan Sultan! Aku Suro Bodong, kenapa aku mau dipanggil Sultan" Yang
jadi Sultan itu Jurujagad, bukan aku. Jadi panggillah dia Sultan. Jangan aku
yang dipanggil Sultan.. ."
Ki Patih menghela nafas. Ia mengira Suro Bodong membangkang, ternyata hanya
salah pengertian. Padahal maksud Suro Bodong memang membangkang, ia ingin beristirahat
merenungkan jati dirinya yang menjadi kegembiraan saat ini. Hanya saja, ia mampu
bersilat lidah sehingga tidak ketahuan niat pembangkangannya itu.
"Maksud kami, Suro Bodong dipanggil oleh Kanjeng Sultan!"
"Nah, itu jelas. Berarti aku disuruh menghadap. Begitu, kan?"
"Benar," jawab Ki Patih dengan sabar.
"Baik. .! Akan kuhadapi Sultan di mana pun ia berada," kata Suro dengan
menggeram. "Hei, kau menantang Kanjeng Sultan, ya?"
"Patih, kurasa kau tidak baik kalau berpikiran sempit. Nanti pangkatmu sebagai
patih dicopot, dan diganti pengurus kuda. Mau.. ?"
"Kau tadi memang menantang Sultan, kan?"
"Siapa yang menantang Sultan"!"
"Kau bilang akan menghadapi Sultan di mana pun berada!"
"Memang! Sebab aku akan diminta untuk menghadap. Jadi aku akan menghadapi
Sultan, sekali pun ia berada di taman! Kan begitu yang wajar" Kalau aku
dipanggil menghadap, tapi aku tidak mau menghadap, itu namanya aku membangkang!"
"Jadi... bukan menghadapi dalam arti menantang bertarung. .?"
"Makanya, jangan mau punya otak sekecil kacang kedelai! Nanti menjadi otak
keledai.. !"
Patih Danupaksi menggeram, namun tetap bertahan untuk tidak marah. Ia sudah
mendapat banyak keterangan dari Eyang Panembahan tentang Suro Bodong, jadi ia terpaksa
memaklumi keadaan tadi.
Suro Bodong pergi menghadap Sultan Jurujagad. Ia tetap berpakaian baju lengan
panjang merah tak dikancingkan, dan celana biru tua dengan posisi rambut tak
teratur. Ia datang dengan sikap santai, cuek, walaupun ternyata di situ, di
Paseban itu, ada seorang tamu berpakaian rapi.
"Suro Bodong... kenalkan, ini ada tamu yang bernama Pangeran Sedayu. .!" kata
Sultan Jurujagad. Orang yang bernama Pangeran Sedayu memandang Suro Bodong
dengan dahi berkerut. Suro Bodong memandang tanpa perasaan. Dingin. Orang itu
duduk bersila di depan Sultan, tapi Suro tetap saja berdiri dengan seenaknya.
"Kanjeng. . " kata Pangeran Sedayu yang berwajah ganteng. "Inikah orang yang Kanjeng makudkan tadi?"
"Ya. Ini Suro Bodong, calon menantuku jika ia mampu mengalahkan tiga penantang
lagi." Pangeran Sedayu tertawa pelan sambil memperhatikan Suro Bodong. Saat itu, Sultan
berkata kepada Suro Bodong
"Suro Bodong, dia bermaksud melamar Nyi Mas Sendang Wangi. Berarti dia harus
berhadapan denganmu dulu. Kalau dia bisa mengalahkan kamu dalam suatu
pertarungan nanti, maka dia berhak menjadi calon menantuku, menggantikan kamu."
"Aku setuju. .!" jawab Suro Bodong. "Aku setuju kalau dia sebagai pemenangnya!"
"Hei, belum-belum kau kelihatan takut, Suro Bodong," kata Pangeran Sedayu. Ia
tersenyum sinis.
"Aku bukan ayam jago. Aku tidak mau diadu!" kata Suro Bodong dengan tegas.
"Apalagi kalau harus diadu dengan ayam kate seperti dia," ia menuding Pangeran
Sedayu. "Aku lebih baik menjadi pihak yang kalah.. !"
'Jangan lancing mulutmu, Suro Bodong!" geram Pangeran Sedayu yang langsung
berdiri, tanpa memikirkan bahwa ia berada di depan Sultan. Namun Sultan
membiarkannya. "Suro Bodong, sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu sampai tujuh
robekan!" "Jahitnya susah, tolol!" bentak Suro Bodong.
Pangeran Sedayu mendekati Suro Bodong yang saat itu sedang garuk-garuk kumis. Ia
berdiri sangat dekat dengan Suro Bodong. Tanpa takut ditampar sedikit pun. Bahkan ia
berani menuding-nuding Suro Bodong sampai telunjuknya menyentuh-nyentuh dada
Suro Bodong. "Kalau mau memperistri putri Sultan, ngaca dulu! Wajahmu tidak pantas
berdampingan dengan emban, apalagi dengan putri seorang Sultan yang sangat
terhormat ini. . " Pangeran Sedayu menunjuk Sultan, mengambil hati. Lalu ia
berkata lagi, "Kau ini siapa" Kau ini apa" Nyi Mas Sendang Wangi akan menderita
batuk-batuk sepanjang malam jika punya suami semacam kamu, tahu" Dia pantasnya
bersuami orang seperti aku. Kau tahu itu"!"
"Ambillah dia.. ! Tapi tolong.. angkat kaki kananmu, jangan menginjak jempol
kakiku dari tadi...!" Suro tetap tenang, sekali pun beberapa orang ada yang
tersenyum, termasuk Sultan sendiri.
"Kalau kau mau Nyi Mas Sendang Wangi, ambillah. Aku mengalah saja...!"
"Tidak bisa!" seru Sultan. "Harus dengan pertarungan!"
4 Tempatnya masih sama, di Bukit Cempaka juga, hanya saja agak ke kiri sedikit
dari tempat dulu Suro Bodong bertarung melawan Pendekar Tapak Setan. Sebetulnya
Suro Bodong tidak mau. Benar-benar tidak mau bertarung hanya untuk memperebutkan
Nyi Mas Sendang Wangi. Ia takut akan terjadi peristiwa yang menyesalkan, seperti
tatkala ia bertarung melawan Tapak Setan.
"Rakyat sudah tahu tentang penantang baru: Pangeran Sedayu, dan mereka menyambut
gembira. Banyak yang menjagokan kamu, Suro," kata Ki Patih Danupaksi.
Itulah sebabnya Suro Bodong mau tak mau berangkat juga ke Bukit Cempaka pada
waktu yang telah ditentukan. Ia takut mengecewakan rakyat Kesultanan Praja. Ia ingat betapa
geramnya rakyat ketika dulu ia tidak mau bertanding melawan Pendekar Tapak
Setan. Walaupun sebenarnya Suro Bodong merasa mampu melawan rakyat apabila
terjadi perang, tetapi rasa-rasanya itu tidak bijaksana.
Mereka hanya tahu, bahwa mereka mempunyai pujaan. Dan mereka tidak mau pujaan
mereka jatuh tanpa mempertahankan harga dirinya.
Seperti dulu lagi, rakyat banyak yang berjejer di kaki bukit. Mereka menunggu
saat pertarungan dimulai. Tetapi sebelum Suro Bodong naik ke bukit arena,
terlebih dulu ia pergi ke makam Pendekar Tapak Setan, walaupun pada saat itu
Pangeran Sedayu sudah berdiri di tempat pertarungan, menunggu Suro Bodong.
Suro Bodong berdiri di samping makam Pendekar Tapak Setan, di belakangnya ada
dua orang prajurit yang dulu pernah hendak memakamkan jenazah pendekar Tapak Setan, namun
tidak jadi. Dengan suara bebas, Suro Bodong berkata sambil menundukkan kepala:
"Pendekar Tapak Setan.. aku ditantang sama Pangeran Sedayu. Ah, gara-gara kamu
waktu itu keras kepala, akhirnya aku jadi banyak musuh. O, ya... sebenarnya aku
juga sudah menyerah dan mengalah, tetapi agaknya Pangeran Sedayu tetap ngotot,
dan kebetulan peraturan yang berlaku pun tidak bisa berubah. Aku harus bertarung
dengannya. Yah. . mau tidak mau aku melayaninya, Setan. Kau mau nonton" Ah, tapi
tak usahlah. Aku tidak begitu niat melawan dia. Aku ingin pura-pura kalah. . "
"Jangan, Tuan. Jangan pura-pura kalah. . " sahut prajurit di belakangnya.
Suro Bodong menahan kejengkelan dan berpaling sedikit:
"Aku bicara kepada arwah, bukan kepada kamu, Tolol!" Lalu Suro Bodong menunduk
lagi seperti orang berdoa:
"Tapak Setan. . kira-kira bagaimana menurutmu kalau aku pura-pura mengalah"
Ketahuan apa tidak, ya" Soalnya.. terus terang, aku tidak tertarik dengan Nyi
Mas Sendang Wangi. Kalau aku menang, nanti aku bisa jadi suaminya. Wah, repot.
Aku tidak suka dengan perempuan lain. Apalagi anak Sultan, biasanya kawin sama
anak orang kaya, biaya hidupnya sehari-hari cukup mahal! Aku malas pusing-pusing
mencari biaya hidup buat anak orang kaya itu. Eh, tapi... jangan bilang siapasiapa, ya" Ini aku bicara hanya padamu, tidak pada orang lain. Kuminta kau bisa
merahasiakan pandangan hidupku ini.
Nah, sampai di sini saja obrolan kita, walaupun aku tahu kau masih keras kepala
untuk tidak mau bicara padaku, tapi aku sudah lega jika sudah bicara padamu.
Mudah-mudahan saja aku tidak ketahuan kalau berpura-pura kalah. Doakan saja,
ya.. ?" Suro Bodong menepuk tanah kuburan itu tiga kali. Sayang yang ketiga ia terpaksa
terpekik kaget, karena waktu menepuk ternyata ada duri yang mencuat ke luar. Ia sempat
menggerutu: "Brengsek kau.. lain kali jangan menaruh duri di sembarang
tempat.. !" kemudian ia pergi ke arena pertarungan.
Kali ini Ki Patih Danupaksi ikut hadir menyaksikan pertarungan tersebut. Ia
berada di rombongan punggawa negeri termasuk Demang Sabrangdalu, Eyang Panembahan, Kepala
Keprajuritan, beberapa menteri dan yang lainnya. Mereka semua ingin melihat
sampai di mana kehebatan Suro Bodong. Sebab waktu pertarungan dengan Tapak
Setan, banyak punggawa negeri yang tidak ikut hadir menyaksikannya, termasuk
Patih Danupaksi dan Demang Sebrangdalu.
Tapi kali ini Suro Bodong tidak ingin mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Suro
Bodong ingin berlagak kalah, supaya pencalonan dirinya sebagai menantu Sultan
dibatalkan. Karena itu, sebelum pertarungan dimulai, ia sempat berbisik kepada
Pangeran Sedayu yang bertubuh tinggi, tegap, seperti Pendekar Tapak Setan.
"Kalau kau ingin mendapatkan Nyi Mas Sendang Wangi, pukullah aku secara bertubitubi. Aku akan pura-pura kelabakan. Kemudian tendang pinggang kiriku. Aku paling
tidak tahan sakit kalau pinggang kiriku kau tendang.. ! Dan nanti aku akan
segera mengangkat tangan tanda menyerah!"
"Kau ingin mengecohku"! Mau main licik, ya"!" bentak Pangeran Sedayu dengan
suara keras. Tentu saja Suro Bodong merasa malu karena suara itu didengar oleh banyak orang,
apalagi suara tersebut memantulkan gema, sudah tentu orang yang melihat di ujung
sana pun akan mendengarnya.
"Brengsek.. ! Jangan keras-keras kalau bicara," bisik Suro Bodong.
"Tidak," kata Pangeran Sedayu dengan suara semakin keras. "Aku tidak mau kau
ajak bersekongkol! Kau akan menipu Kanjeng Sultan, tipulah sendiri! Tapi aku
tidak mau bekerjasama untuk melakukan penipuan itu!!"
Merah muka Suro Bodong. Suara itu sangat keras dan sempat membuat Patih
Danupaksi berdiri
dalam keadaan kaget. Semua orang pasti akan mengira Suro Bodong merencanakan
suatu penipuan untuk Sultan Jurujagad. Iih. . malunya minta ampun, dia! Giginya
menggeletuk dan dadanya panas, seperti mau meledak. Apalagi pada waktu itu ada
seorang penonton yang berteriak: "Siapa berani menipu Kanjeng Sultan, akan kami


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bakar hidup-hidup. .! " Kata-kata itulah yang membuat Suro Bodong menjadi benci
kepada Pangeran Sedayu.
"Kau memang bajingan.. !!" geram Suro Bodong dengan wajah memerah dan mata
melotot. "Hiaaaat..!!" Pangeran Sedayu tidak banyak bicara, langsung menyerang dengan
tendangan kaki kiri. Suro Bodong mengelak ke samping, tapi tangan Pangeran
Sedayu yang memegangi keris pusakanya mengayun ke depan menuju dada Suro Bodong.
Ujung keris hanya beberapa inci lagi menyentuh dada Suro Bodong. Dengan cepat
Suro Bodong menangkap tangan tersebut. Lalu memutarnya ke samping, kaki Suro bergerak
selangkah menghadap ke belakang, lalu dengan sekuat tenaga tubuh Pangeran Sedayu
dibantingnya kuat-kuat. Sambil
membanting dia berseru:
"Kau memang tidak patut diberi hati.. ! Makan saja empedu.. hiaaat.. !!"
Sebenarnya Suro Bodong hanya ingin melampiaskan kedongkolannya atas suara
Pangeran Sedayu yang membuatnya malu. Sebenarnya Suro hanya ingin memberi pelajaran
ringan kepada Pangeran besar mulut itu. Tetapi, di luar dugaannya, ia telah membanting tepat
pada sasaran. Tubuh Pangeran sedayu melayang dan terhempas cepat ke bebatuan.
Suro Bodong tidak tahu kalau di situ ada batu runcing sebesar betisnya, dan
ujungnya menyerupai ujung sebuah tembok. Di batu itulah tubuh Pangeran Sedayu
menancap kuat, hingga batu itu tembus dari punggung sampai ke dada.
"Aaakkhhh. . aaakhh. .!" Pangeran Sedayu berkelojotan, tak mampu berteriak lagi.
Orang-orang menjadi gaduh, masing-masing memekikkan jerit kengerian. Bahkan Ki
Patih dan Demang Sebrangdalu berdiri tegak dengan mata melotot dan mulut
melongo. Pada saat itu juga, Suro Bodong terbengong-bengong menyaksikan lawannya
akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya terpanggang batu tajam yang mengerikan. Ia
sendiri sampai merinding melihat nasib Pangeran Sedayu.
Suara gaduh dari penonton menggaung seperti pawai lebah. Kasak kusuk terjadi
pula di dalam kelompok punggawa negeri. Tetapi seperti waktu lalu, Suro Bodong
duduk di batu dengan lemas dan wajahnya murung. Ia benar-benar shock melihat
lawannya menemui ajal dengan singkat sekali.
"Saudara-saudara... dengarkan.. !" kata orang yang membawa corong perak kusam.
Ia berdiri tak jauh dari mayat Pangeran Sedayu. Ia bicara dengan keras, seperti
dulu, sewaktu Suro Bodong berhasil membunuh si Tapak Setan.
"Seperti saudara-saudara ketahui... Pangeran Sedayu, mau tidak mau menancap
dalam keadaan seperti itu...! Jelas dia tidak mungkin mau melayani tantangan
siapa pun, karena sudah mati. Maka, dalam pertarungan ini, yang unggul adalah
Suro Bodong.. !!"
"Hidup Suro Bodong...!! Hidup Suro...! Hidup Bodooong...! Bodong-bodong
hiduuuup...! "
Mereka berteriak dalam sorak bersahut-sahutan. Ada yang berjingkrak-jingkrak,
ada yang melonjak-lonjak dan ada yang terinjak-injak. Semua memuji dan
mengagungkan Suro Bodong. Tetapi Suro Bodong masih tetap diam, termenung dengan
wajah murung. Panitia yang membawa corong itu bicara lagi, "Dan dengan ini, maka Suro Bodong
masih berhak menjadi calon utama menantu Kanjeng Sultan. Ia harus merobohkan dua
penantangnya lagi. Jika dua penantang sudah berhasil dirobohkan, maka.. dialah
yang berhak menjadi suami tercinta dari putri dalem: Nyi Mas Sendang Wangi. .! "
Sorak penonton bersahut-sahutan. Para punggawa negeri kelihatan tersenyum
gembira dalam rasa kagum yang mewarnai wajah-wajah mereka. Eyang Panembahan menyongsong Suro
Bodong sewaktu Suro Bodong turun bukit dengan didampingi dua pengawal bersenjata
lengkap. "Gerakanmu begitu cepat dan hebat...!" ujar Eyang Panembahan seraya mengajak
bersalaman dengan Suro. Suro Bodong hanya tersenyum getir, ia garuk-garuk kumis
sejenak. Seperti biasanya, ia menolak untuk diangkut memakai tandu. Ia tak
banyak bicara dalam perjalanan menuju dalem
Kesultanan. Ada rasa kecewa dan bingung.
Hatinya berkecamuk sendiri, "Pangeran itu mungkin orang gila...! Diajak kompromi
yang menguntungkan dirinya malah memilih mati! Konyol! Dan lagi, hanya dengan
bantingan seperti itu saja dia bisa mati. Heran aku.. " Ah, dasar dia itu orang
tolol. Jatuh saja memilih tempat yang runcing. Kurasa hanya orang tolol yang mau
jatuh di tempat batu seruncing itu. .! Goblok. .!"
Malam itu, Suro Bodong dipanggil Sultan berkaitan dengan kata-kata Pangeran
Sedayu sebelum mereka bertarung. Hadir di situ, selain para menteri, juga Ki
Patih Danupaksi dan Demang Sebrangdalu yang menjadi saksi mendengarkan kata-kata
Pangeran Sedayu. Eyang Panembahan juga ada, tetapi ia hanya diam saja. Tenang.
"Suro Bodong...." kata Sultan. "Apa benar sebelum pertarungan kau membujuk
Pangeran Sedayu untuk melakukan penipuan terhadapku" Sebab menurut para saksi
yang mendengar seruan Pangeran Sedayu, kau gagal membujuk Pangeran Sedayu untuk
bersekongkol menipuku. Benar begitu, Ki Patih?"
Ki Patih Danupaksi, "Benar, Kanjeng! Bahkan ada salah satu rakyat yang berteriak
ingin membakar hidup-hidup bagi siapa saja yang bermaksud menipu Kanjeng
Sultan." "Dan Demang Sebrangdalu juga mendengar?"
"Ya, saya mendengar, Kanjeng."
Suro Bodong menyahut, "Aku juga mendengar.. !"
"Mendengar apa maksudmu"!" tanya Demang Sebrangdalu.
"Aku mendengar suaraku sendiri!" jawab Suro tegas.
"Jadi benar kau merencanakan penipuan padaku, Suro"!" tanya Sultan Jurujagad
setengah heran melihat kepolosan itu.
"Benar!" Suro Bodong tetap menjawab tegas.
Semua orang saling berbisik, dan Sultan menyuruhnya untuk tenang. Kemudian
Sultan bertanya lagi, "Apa maksudmu merencanakan penipuan itu" Dan penipuan
seperti apa yang akan kau lakukan bersama Pangeran Sedayu itu?"
"Saya usul, Kanjeng.. ." sahut seorang yang menjabat sebagai menteri Urusan
Peradilan. "Sebentar. Mungkin persoalan ini masih bisa kutangani sendiri, Kakang Luminto
Wetan. Biarkan Suro Bodong bicara dulu. Nah, Suro Bodong. . bicaralah. .!"
"Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada saya... " kata
Suro Bodong dengan bersungguh-sungguh. Berdirinya tegap, tangannya saling
bertaut di bawah perut. Ia bicara bagai seorang pranata cara yang membawakan
kata sambutan di depan undangan. Tetapi yang jelas, ia kelihatan cuek, tak
peduli orang menyukai gayanya atau tidak.
"Semua tuduhan itu, kuakui! Bahkan kalau tidak ada tuduhan seperti ini, aku yang
akan menuduh betapa teledornya pejabat Kesultanan ini terhadap kerawanan semacam
itu. Aku memang merencanakan menipu Sultan. Aku berkata kepada Pangeran Sedayu,
bahwa aku akan berlagak kalah.
Kusuruh dia memukulku, secara bertubi-tubi, dan nanti aku akan pura-pura
kewalahan. Sebagai titik akhir, dia kusuruh menendang bagian tubuhku yang
termasuk rawan, di mana kalau aku ditendang di bagian tubuh itu, maka aku akan
merasa sangat kesakitan. Lalu aku akan menyerah, kalah.. "
"Maaf," kata seorang menteri memotong kata-kata Suro.
"Maksudmu di bagian tubuh mana yang kau suruh menendang Pangeran Sedayu itu"
Tolong sebutkan secara jelas: di kaki, atau di kepala, atau di perut, atau di mana?"
"Itu rahasia pribadi. Kau tidak bisa memancingku untuk mengetahui kelemahanku,
melalui pertanyaan orang tolol seperti itu. Tidak bisa! Aku lebih pintar dari
kamu. Kamu menjadi menteri juga berdasarkan kasihan saja! Kalau kamu mau tahu
kelemahanku, tanyakan kepada almarhum Pangeran Sedayu.. !"
"Sebaiknya teruskan pangakuanmu, Suro Bodong," tegur Sultan Jurujagad.
"Baik, tapi aku tidak mau kata-kataku dipotong oleh suara jangkrik seperti tadi.
Nah, jadi kuteruskan. . Aku membujuk Pangeran Sedayu begitu, supaya orang tahu
kalau aku kalah dengannya.
Dengan kalahnya aku, maka dialah yang akan menjadi calon menantu Sultan, dan aku
mendoakan supaya dia bisa merobohkan ketiga penantang berikutnya. Aku senang
kalau Nyi Mas Sendang Wangi berhasil menikah dengannya. Tetapi, rupanya Pangeran
Sedayu orang berotak kodok, sehingga dengan menyerukan rencana itu, ia akan
dianggap punya kesetiaan terhadap Sultan Praja. Dan hal itu membuat aku naik
pitam. Lalu, dengan geram kulemparkan tubuhnya yang nyaris membunuhku dengan
keris. Aku paling jijik melihat keris. Tetapi aku tidak sengaja membunuhnya. Berani
sumpah, aku tidak pernah menyuruhnya untuk jatuh di atas batu runcing. Itu
pilihannya sendiri. Sungguh!"
Ada beberapa orang yang tersenyum geli termasuk Eyang Panembahan, namun mereka
tidak berani tertawa. Suro Bodong sendiri tetap tenang, tanpa senyum. Seakan ia
mengemukakan semua itu dengan bersungguh-sungguh. Dia tak sadar kalau ada katakatanya yang bisa dianggap menyimpang dan mengandung kelucuan.
"Suro, kenapa kau lakukan hal itu" Kenapa kau seakan ingin menghindar dari
kami?" tanya Sultan Jurujagad.
"Aku. . aku tidak mau diadu-adu seperti ayam. Apalagi taruhannya hanya
perempuan, aku merasa rendah. Harga diriku jatuh di bawah harga sekilo beras.
Dan lagi.. aku tidak berminat kawin dengan Nyi Mas Sendang Wangi. Bukan soal aku
menghina dia; toh aku belum melihat cantik atau tidaknya Nyai Mas Sendang Wangi
itu. Tetapi, terlepas dari hal itu, aku sendiri mempunyai perempuan idaman. Aku
punya kekasih, dan punya niat kawin dengannya. Tetapi. tetapi. . dia tidak ada..
." Suro Bodong mengangkat bahu sambil membuka telapak tangannya.
"Dia tidak ada...!"
"Tidak ada bagaimana?"
"Pergi!" jawabnya cepat. "Entah pergi ke mana. Aku tidak tahu. Dan selama ini
aku berkelana untuk mencarinya. Aku cinta sekali sama dia. Karena itu aku
mencarinya. Karena itu aku tidak mau bermesraan dengan perempuan lain. Karena
itu aku cemas kalau sampai tiba saatnya aku dikawinkan dengan Nyi Mas Sendang
Wangi. Karena itu.. yah. . karena itulah aku mengajak Pangeran Sedayu untuk
menipu." "Siapa nama kekasihmu itu?" tanya Sultan Jurujagad.
"Ratna Prawesti.. ! Orangnya cantik dan menggairahkan. Ia putri seorang bupati
di kabupaten Jangga. Apa kalian di sini ada yang melihatnya" Atau mungkin
mendengar namanya" Kalau mendengar namanya dan tahu di mana ia tinggal, tolong
bantu aku. .! Mungkin seumur hidup aku mau membantu kalian." "Ratna..." Ratna
Prewesti.. ?" Sultan Jurujagad menggumam dan berpikir keras, juga yang lainnya,
sehingga ruang pertemuan itu penuh dengan gumam menyebut nama Ratna Prawesti.
Suro Bodong diam, garuk-garuk kumis. Sengaja ia memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengingat-ingat nama itu. Ia berdiri disuatu sudut dan bersandar pada
tiang dengan salah satu kaki ditekuk, menjejak tiang tersebut. Santai sekali,
sementara yang lain berkerut-kerut dahi memikirkan nama itu.
Malah ada yang mengobrolkan nama tersebut.
Persoalan tuduhan terhadap Suro Bodong itu dihapuskan oleh Sultan. Masalahnya
sudah diketahui, dan tujuannya bukan semata-mata ingin merugikan Kesultanan. Justru
sekarang Sultan sendiri sangat prihatin memikirkan nasib Suro Bodong yang
berkelana terus-menerus mencari
kekasihnya. Suro Bodong sendiri tidak begitu girang ketika diketahui persoalan soal rencana
penipuan itu dihapuskan. Yang ia harapkan bukan itu, melainkan pembatalan calon
menantu itu yang ditunggu-tunggu. Tetapi menurut Eyang Panembahan, ketika mereka
bicara di depan kamar Suro Bodong:
"Keputusan Kanjeng Sultan adalah wasiat bagi rakyat. Tak dapat dibatalkan lagi.
Apa pun yang terjadi nantinya, kau tetap calon menantu. Tinggal menunggu dua
pelamar yang akan menjadi dua penantang bagimu. Kalau kau berhasil menggulingkan
dua penantang itu, maka kau akan menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi, tetapi
kalau kau gagal, kau baru bisa dicoret dari daftar calon menantu Sultan."
"Ah, itu terlalu menyiksa jiwa, Eyang. Aku tidak bisa berpura-pura kalah. Aku
takut kalau mengajak lawan bekerjasama, nanti dikira mau menipu pemerintahan di
sini! Aku mau lari saja dari sini, ya?"
"Kau akan dikejar sampai kami menemukan kamu dan menghukum kamu. Eh, dengar,
ya.. rakyat di sini sangat mencintai Sultannya. Mereka akan marah besar kalau
Sultannya dikecewakan.
Karena itu, hati-hatilah terhadap mereka. Mereka itu fanatik terhadap Sultan.
Sangat menjunjung tinggi dan bahkan boleh jadi sangat mendewakan Sultannya."
Suro Bodong bersungut-sungut, "Yaah.. tapi kenapa aku yang menerima nasib buruk
ini?" "Nasib buruk bagaimana" Kau akan dikawinkan dengan Nyi Mas Sendang Wangi, lalu
didudukkan sebagai Pangeran muda yang mempunyai wilayah sendiri di sebelah
Selatan. Itu kan sesuatu yang baik, yang didambakan oleh semua lelaki. Buktinya
sudah banyak pelamar yang mencoba memenuhi persyaratan itu."
Desah meluncur dari mulut Suro Bodong. Ia masih bersungut-sungut, menampakkan
ketidaksukaannya terhadap rencana itu. Ia berkata dengan menggerutu:
"Lalu bagimana dengan Ratna Prawesti.. . Kasihan dia.. !"
Eyang Panembahan tersenyum sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan, tetapi
kelihatan bersungguh-sungguh:
"Ratna Prawesti itu tidak ada...!"
Suro Bodong cepat berpaling memperhatikan Eyang Panembahan. Saat itu. Eyang
Panembahan segera berkata:
"Kau tidak sadar selama ini."
"Tidak sadar bagaimana?"
"Otakmu terganggu sejak pertarungan dengan Ratu Iblis Sejagad. Kau hanya
terbayang-bayang raut wajah cantik yang kau beri nama Ratna Prawesti. Tetapi
sebenarnya perempuan itu tidak ada!"
"Eyang jangan menyinggung perasaan saya...!" ketus Suro.
"Ini kenyataan! Aku melihat lewat indra ke tujuhku, tak ada perempuan yang
bernama Ratna Prawesti. Dan aku kenal dengan bupati Jangga yang bernama Gusti
Raden Probo.. ."
"Itu orang tua Ratna Prawesti!" sahut Suro Bodong cepat.
Tetapi Eyang Panembahan menggeleng. "Gusti Raden Probo tidak mempunyai anak
perempuan satu pun. Semua anaknya laki-laki, dan mereka sekarang telah tewas
semua dibantai oleh Gerombolan Topeng Setan. .!"
"Iya, ya... benar. Tapi. ." Tapi Ratna Prawesti...!"
"Kau dibayang-bayangi oleh impianmu, Suro. Ratna Prawesti itu tidak ada. Ia
hanya muncul dalam khayalan dan impianmu. Percayalah. .! Aku tidak akan
menipumu. Karena kalau aku menipu satu kali, maka aku akan punya kebiasaan
berbohong kepada siapa pun, dan itu aku tak suka"
Suro Bodong tetap membantah, bahwa Ratna Prawesti itu ada. Ia sering hadir, dan
sering berkencan dengan Suro Bodong. Suro menceritakan ciri-ciri yang ada pada Ratna
Prawesti: "Bertubuh lencir, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang. Aku paling suka
melihat matanya yang bulat, bening dan sangat meneduhkan had. Bibirnya semerah
delima merekah. Kelihatannya bibir itu selalu basah dan menawan. Dan Eyang
tahu... kalau dia tersenyum, ada lesung pipit di pipinya, itu yang membuat aku
terkagum-kagum dengannya. Ia mempunyai hidung yang bangir, indah. Enak
dicubit dalam kegemasan. Dadanya, Eyang. . wwoow...! Dadanya padat berisi,
sangat menantang darahku! Ia selalu mengenakan binggel, gelang kaki dari perak
kecil, bermata batu merah delima, serasi sekali dengan betisnya yang merit
mengagumkan.. ."
"Aku tahu.. ! Aku tahu, perempuan itu pasti sangat cantik, dan sangat memikat
setiap pria..."
"Benar! Benar sekali, Eyang. .! Wah, rupanya Eyang juga masih punya selera muda,
ya?" "Bukan soal aku masih berselera muda, tapi pada umumnya khayalan seorang lelaki
pasti akan seperti itu. Ia mengidamkan perempuan sesuai dengan seleranya.
Repotnya bagi kamu, idaman itu telah menyiksa jiwamu, sehingga kau beranggapan
bahwa perempuan itu sungguh-sungguh ada. Aku yakin, kau adalah seorang lelaki
yang mempunyai daya khayal cukup kuat. Itu mungkin akibat ayahmu terlalu sering
menempamu dengan ilmu' Saptaraga'.. !"
"Ilmu apa itu" Aku baru mendengarnya, Eyang.. !"
"Kau memang lupa dengan nama itu, tapi kau pasti bisa melakukannya. Ilmu
'Saptaraga' itu adalah memecah diri menjadi tujuh rupa. Jadi kau bisa berubah
sampai tujuh kali wajah dan bentuk tubuh.. ."
"Ooo... iya, ya, ya.. aku ingat. Aku menamakan ilmu itu dengan sebutan jurus
'Luing Ayan'. Kalau aku bersalto di udara satu kali, aku akan berubah menjadi Suro Bodong
seperti sekarang ini. Kalau aku bersalto dua kali, akan menjadi ujud lain, dan


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu terus, sampai yang ketujuh. Kalau aku bersalto tujuh kali tanpa menyentuh
tanah, maka aku akan menjadi sosok pendekar Panji Bagus. Ya, ya.. aku ingat itu.
Cuma namanya kuganti Luing Ayan-1, Luing Ayan-2, Luing Ayan-3... dan
seterusnya."
"Itu akibat dari tujuh roh yang masuk dalam ragamu, ketika kau lahir dalam
keadaan hampir mati. Dan tujuh roh itu, adalah bekas teman dekat ayahmu, yang
mati dalam suatu pertempuran. Mereka tetap ingin bersatu dengan ayahmu sehingga
mereka masuk dalam ragamu, sebagai titisan dari ketujuh roh itu."Suro gelenggeleng kepala keheranan. "Eyang benar-benar hebat! Bisa mengetahui apa yang
tidak kuketahui."
"Itu karena indra ketujuhku bekerja dengan sempurna."
"Bagaimana untuk memperoleh indra ketujuh itu, Eyang"!"
"Itu mudah. Tapi sulit. Indra ketujuh ada pada dirimu, tapi sulit untuk melatih
menggunakannya."
Suro Bodong manggut-manggut. Matanya memandang ke arah taman di seberang
kamarnya. Pada saat itu, ia sempat melihat seorang perempuan berjalan dari taman keputren
ke ruang utama Kesultanan. Mulut Suro Bodong jadi terbengong melihat perempuan
itu lewat di seberang sana, melalui taman berkolam air mancur itu, dengan
diiringi beberapa emban dan pelayan lainnya.
Saat itu, tanpa disadari Suro Bodong berdiri cepat dengan mata masih melebar. Ia
seperti terkejut melihat apa yang dipandangnya. Eyang Panembahan sedikit heran
melihat perubahan sikap Suro dari tenang menjadi tegang.
"Ada apa...?" tanya Eyang Panembahan.
Mulut Suro menggeragap, sulit bicara. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah
perempuan yang diiringi para emban itu.
"Ya," Eyang Panembahan mengangguk. "Dia adalah Nyi Mas Sendang Wangi. Kenapa?"
"Bu.. bukan.. !" Suro menggeragap. "Did.. did.. dia.. dia itulah. . Ratna!"
Eyang Panembahan memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Ia bingung mendengar
kata- kata Suro Bodong.
"Dia... dia betul. Ratna Prawesti. .! Ya, Ratna...!"
Nafas Suro Bodong terengah-engah. Ia hendak menghambur ke arah ruang utama
Kesultanan, tetapi Eyang Panembahan segera menarik tangannya.
"Bukan Suro! Dia Nyi Mas Sendang Wangi, calon istrimu nanti jika kau berhasil. .
" "Maksudku.. seperti itulah Ratna. Seperti Nyi Mas Sendang Wangi. Sungguh!
Sumpah. .!"
Tegang sekali Suro kelihatannya sehingga Eyang Panembahan semakin tertarik
dengan masalah itu.
"Maksudmu, Ratna Prawesti seperti Nyi Mas Sendang Wangi" Begitu?"
Suro mengangguk-angguk seperti orang bego. "Aku. . aku ingin melihatnya lebih
dekat.. ! Tolong, aku ingin melihatnya, apakah dia Nyi Mas atau Ratna"!"
Eyang Panembahan menggumam dan berpikir sejenak. Kemudian menarik tangan Suro
dan melangkah ke ruang utama Kesultanan. Saat itu, Eyang sempat berkata, "Nyi Mas
baru boleh keluar dari ruang semadinya hari ini. Jadi, maklum saja kalau kau
baru bisa melihatnya sekarang."
Nyi Mas Sendang Wangi menghadap ayahandanya, Sultan Jurujagad. Ketika Suro
hendak menghadap, dia diminta menunggu beberapa saat. Setelah Eyang Panembahan
menghadap lebih dulu, barulah Suro dipanggil untuk masuk ke ruang utama
Kesultanan. Suro Bodong semakin membelalakkan mata tak berkedip ketika ia memandang Nyi Mas
Sendang Wangi dalam jarak enam langkah. Jantungnya berdetak-detak, dan bibirnya
gemetar. Dua pertanyaan Sultan tak dihiraukan, sebab dia tidak menyadari kalau
dia berada di depan seorang raja.
Tetapi Sultan Jurujagad yang arif itu hanya tersenyum geli melihat sikap Suro
Bodong seperti anak ingusan melihat intan sebesar kucing.
"Astaga.. !" Suro Bodong menggumam dalam desah setelah Eyang Panembahan menepak
punggungnya. "Eyang, persis sekali, Eyang. Dia persis dengan Ratna Prawesti
kekasihku. Sungguh dan sumpah, Eyang.. !"
Sultan Jurujagad tersenyum-senyum, sedangkan Nyi Mas Sendang Wangi hanya
berwajah merah. Senyumnya tipis dan sikapnya tenang sekali. Ia mengenakan kain pinjung
sebatas dada berwarna hijau bludru, berhias renda-renda emas. Dadanya yang padat
tersumbul itu sungguh menambah
keindahan sosok tubuh sang idaman. Kulitnya kuning langsat, hidungnya bangir.
Persis seperti hidung Ratna Prawesti. Bibirnya juga kelihatan mungil, segar,
semerah delima merekah dan selalu basah.
Matanya membelalak, bening dan meneduhkan hati yang memandang. Bulu matanya
lentik, seperti milik Ratna Prawesti. Rambutnya panjang sebatas pinggang,
disisir ke belakang, di kanan kiri rambut diberi penjepit emas, dan ia pun
mengenakan semacam mahkota kecil di ujung keningnya yang terbuat dari emas
permata. Hanya saja, Nyi Mas mempunyai tubuh lebih sekal, memang tidak
selangsing Ratna Prawesti, namun mempunyai keistimewaan sendiri pada bagian
pinggulnya yang menggiurkan itu. Nyi Mas tidak mengenakan gelang kaki dari perak
bermata merah delima. Tetapi, Nyi Mas Sendang Wangi ini juga mempunyai lesung
pipit jika tersenyum lebar. Manis. Apalagi ditambah tahi lalat sebesar biji
tomat di ujung dagu kirinya, woow... ia menjadi lebih indah dan lebih cantik
lagi. Andai tanpa tahi lalat itu, ia akan serupa betul dengan Ratna Prawesti.
Hal inilah yang membuat Suro Bodong berdebar-debar sejak tadi.
5 Seorang prajurit mengantarkan pakaian baru kepada Suro Bodong. Baru kali ini
Suro Bodong merasa perlu mengganti pakaiannya. Biasanya kalau tidak robek, dia tidak ingin
ganti pakaian. Dan kebetulan permintaannya dikabulkan oleh bagian kepala rumah
tangga Kesultanan. Ia dibelikan pakaian baru, tetapi tetap saja warnanya merah
dan celana biru tua. Potongannya tetap sama. Hanya saja jenis bahannya jauh
berbeda. Kali ini Suro Bodong mengenakan pakaian dari bahan satin yang lebih
halus dan menawan.
Ia mandi dengan bersih dan mengatur rambutnya dengan bantuan seorang pelayan.
Seharian tadi dia telah mencuci rambutnya dengan bersih dan telah diasapi dengan asap
setanggi yang harum baunya. Ikat kepalanya tetap merah, sekalipun dari kain yang
masih baru, namun bukan terbuat dari satin. Kumisnya dipotong rapi oleh seorang
pelayan yang bertugas melayani dia. Ia kelihatan lebih rapi dan lebih bersih
ketimbang biasanya. Cuma sayang, ia masih belum mau mengancingkan bajunya
sehingga perutnya dibiarkan terbuka. Bulu-bulu dadanya kelihatan jelas seperti
bulu bambu wulung yang hitam.
Hari ini, ia sudah merencanakan pertemuan dengan Nyi Mas Sendang Wangi untuk
saling mengenal pribadi. Mereka bertemu di taman setelah melalui izin Sultan. Suro
Bodong merasa bagai ingin bertemu dengan Ratna Prawesti. Karena itu, ia harus
mengatur penampilannya. Seorang pelayan menegurnya dengan hati-hati ketika Suro
meminta jagung bakar. Katanya: "Tak baik bertemu dengan seorang putri harus
membawa jagung bakar. Nanti mengecewakan dia, Tuan."
"O, begitu, ya" Baiklah tak usah saja.. !" Suro Bodong melangkah ke taman, tapi
sebelumnya ia sempat berbisik kepada seorang juru taman, "Pak, apakah aku
sebaiknya berjalan dengan munduk-munduk, sedikit bungkuk, atau dengan tegap?"
"Biasanya, untuk menghadap seorang putri, Tuan harus bisa memperlihatkan
ketegarannya. Jadi harus berjalan dengan tegap. Dadanya sedikit maju, biar
kelihatan gagah."
Suro Bodong mengikuti saran tersebut. Eyang Panembahan hanya memandang dari
kejauhan dengan senyum tipis. Suro Bodong tidak peduli dengan beberapa mata yang diamdiam memperhatikannya. Ia berjalan dengan dada dibusungkan. Namun baru beberapa
langkah, juru taman segera menegurnya dengan hati-hati:
"Ssst... Tuan, jangan terlalu membusung, malah seperti orang sakit encok. .!"
Kemudian Suro Bodong mengurangi gaya busungnya. Kini ia berjalan tegap dan juru
taman tersenyum. Ketika Suro Bodong melirik, juru taman mengacungkan jempol seraya
tersenyum manggut-manggut. Namun di luar dugaan, kaki Suro Bodong menendang pot
bunga dan ia terpelanting. Juru taman dan beberapa orang terpekik, termasuk Nyi
Mas. Namun kemudian mereka tertawa lega, karena Suro Bodong tak jadi tersungkur
ke tanah, walaupun ia menjaga keseimbangan dengan gaya membuka satu jurus
tendangan maut. Ia kembali bersikap biasa, merapikan bajunya sebentar dan
berjalan menemui Nyi Mas Sendang Wangi.
"Aku khawatir Kakang Suro akan terpelanting jatuh tadi," kata Nyi Mas Sendang
Wangi. Tetapi mulut Suro Bodong bagai mengulum perekat, sehingga tidak bisa
bicara. Ia hanya cengar cengir sambil garuk-garuk kumis. Ia sangat gemetar,
karena perempuan yang dihadapinya ini lain dari yang lain.
Perempuan itu memiliki kesamaan dengan Ratna Prawesti, sehingga ia menjadi grogi
karena seakan sudah menemukan apa yang dicari selama ini. Sebagian hatinya
menganggap ia bertemu dengan Ratna Prawesti, sebagian hatinya lagi beranggapan
bahwa yang dihadapinya itu adalah orang lain yang baru dikenalnya.
"Duduklah, Kang Mas.. ." kata Nyi Mas Sendang Wangi seraya ia duduk pada kursi
taman yang terbuat dari batu manner putih, juga dengan mejanya yang putih marmer
halus. Suro Bodong serba salah, kikuk. Ia kebingungan. Sendang Wangi berkata lagi,
"Duduklah, jangan sungkan-sungkan. Ayah telah mengizinkan kita bertemu, bukan?"
"He, eh. .!" jawab Suro mengangguk dan masih kikuk. Ia mau duduk di samping
Sendang Wangi, tapi tak jadi. Ia lebih enak duduk di depannya saja. Tapi itu pun
tak jadi, ia grogi kalau dipandanginya nanti. Maka ia duduk di samping kiri
wanita cantik itu, sekali lagi ia batalkan, sampai akhirnya ia bertanya sendiri:
"Aku harus duduk di mana, ya?"
Sendang Wangi menertawakan dengan tawa yang mengikik geli, sementara orang-orang
yang memperhatikan adegan itu dari kejauhan juga menutup mulut mereka agar tak
terlepas tawanya.
Suro Bodong akhirnya duduk di depan Sendang Wangi.
"Kang Mas Suro suka anggur" Maksudku buah anggur?"
"Buah anggur" Hemm. . ya, suka!" jawab Suro Bodong sekalipun ia belum pernah
melihat seperti apa buah anggur yang ada di depannya itu.
"Ambillah buah anggur untuk menyegar rasa," kata Sendang Wangi. Suro Bodong
segera berdiri dan hendak pergi menemui juru masak untuk mengambilkan buah
anggur. Tetapi Sendang Wangi
segera bertanya, "Mau ke mana, Kang, Mas?"
"Mau... mau ke sana... " ia menunjuk dapur. "Mau. . mau mengambil buah
anggur.. ."
"Ini buah anggurnya!" Sendang Wangi menuding keranjang buah termasuk ada buah
anggur yang berwarna hitam bening. Suro Bodong tersipu malu. Namun ia beralasan,
"Maksudku mau mengambil buah anggur yang masih baru. Aku lihat di dapur ada buah
anggur yang masih baru."
"Ah, ini juga buah anggur baru."
"O, ya.. itu juga baru, ya?" kemudian Suro Bodong kembali duduk di depan Sendang
Wangi sekalipun ia ditertawakan oleh perempuan cantik itu.
"Celaka... kenapa aku jadi gemetaran sekali?" katanya di dalam hati. "Padahal
aku ingin ngomong banyak dengannya, tapi.. sial! Mulutku seperti makan getah
nangka! Sulit dibuka!"
Sendang Wangi mengambil sebutir buah anggur yang masih bertangkai. Kemudian ia
menyodorkan ke mulut Suro Bodong. Gerakannya begitu lembut dan membuat Suro
Bodong memandang penuh kebengongan.
"Terimalah anggurku yang sederhana ini. . " kata Sendang Wangi berbahasa
isyarat. Sebenarnya itulah cara seorang putri menyajikan cinta kepada sang
kekasih. Tetapi, Suro Bodong tidak mengenal cara seperti itu. Ketika mulutnya disodori
buah anggur, ia segera menampelnya seraya berkata:
"Aku bukan bayi lagi yang makan perlu disuapi!"
Sendang Wangi terkejut dan menjadi kecewa. Ia berdiri memandang Suro Bodong
dengan geram kemarahan. Sedangkan Suro Bodong berdiri juga memandang geram karena merasa
dirinya dianggap seperti anak kecil yang makan anggur saja hams disuapi.
"Aku tahu kau anak Sultan, tapi aku tidak suka kalau kau menganggapku kecil! Aku
mampu menjadi dewasa, tahu"! Aku sudah biasa makan tiga bungkus nasi pecel tanpa
disuapi, apalagi hanya sebutir buah anggur seperti ini!"
"Kau bodoh! Dungu. .!"
"Sekali lagi bicara, kutampar kau!"
"Tamparlah. .! Ayo; tamparlah.. !!"
"Kau tidak cocok jadi istriku! Istriku adalah perempuan yang lebih suka minta
dicium, daripada minta ditampar!"
"Aku juga.. ! Aku. ." Sendang Wangi segera berlari sambil menangis, ia menuju ke
dalem keputren bersama emban. Sedangkan Suro Bodong yang berang hanya
menghempaskan nafas sambil pergi meninggalkan tempat itu. Juru taman tak berani
menegurnya. Eyang Panembahan juga
membiarkan Suro berjalan melaluinya dan masuk ke kamarnya, membanting pintu.
Saat itu, seorang prajurit yang berjaga di samping pintu terlonjak kaget
mendengar pintu dibanting keras.
"Setan.. !!" teriak Suro Bodong di kamar. Prajurit itu segera membuka pintu dan
melongokkan kepala: "Tuan memanggil saya.. "!"
Suro Bodong semakin geram. Dia mencaci maki sendiri, disangka memanggil orang
itu. "Apa kau setan"!"
"Bukan. Seingat saya bukan, Tuan."
"Aku berseru: Setan! Bukan memanggilmu!"
"Ooo... maaf. Nama saya Sokan, saya mendengarnya tadi Tuan menyebut Sokan, jadi.
. " "Pergi sana! Lekas. .!!" teriak Suro jengkel sekali.
Hari-hari dilalui dengan kemurungan. Suro Bodong tidak mau diajak bicara soal
Nyi Mas Sendang Wangi. Ia berkata di depan Sultan:
"Aku tidak cocok dengannya! Dia kasar. .!"
"Kalian perlu saling menyesuaikan diri. Hanya itu yang kalian butuhkan," kata
Sultan baik kepada Suro Bodong maupun kepada putrinya sendiri.
Ketika di kamar, Suro Bodong juga mendapat nasihat serupa dari Eyang Panembahan.
"Itulah perlu kalian diberi waktu untuk saling mengenali pribadi masing-masing."
"Aku sudah kenal pribadinya! Keras! Meremehkan aku! Dan aku tidak mau
beristrikan dia! Aku malas bertengkar dengan perempuan!"
"Kau salah paham terhadap sikapnya, Suro!"
'Terserah," jawab Suro. "Mau salah paham atau salah kaprah, tapi aku tidak suka.
Aku mau pergi! Pergi mencari Ratna Prawestiku!"
Sejenak Eyang Panembahan menghela nafas dan geleng-geleng kepala. Ia merasa
bukan saatnya untuk melunakkan hati Suro Bodong. Ada saatnya sendiri untuk itu.
Tetapi, agaknya hati Suro sudah tidak mau diajak kompromi. Ia harus keluar dari
dalem Kesultanan dan meninggalkan segala masalah di situ. Ia lebih baik kembali
berkelana mencari Rama Prawesti.Sayang, sore itu ada dua tamuyangmenghadap
Sultan Jurujagad. Mereka adalahkakakberadik, yang usianya tak terpaut banyak.
Waktu itu, Suro Bodong sedang dipanggil Sultan untuk diberi wejangan lain. Suro
sudah jemu mendengar berbagai nasihat, maka ketika ada dua orang tamu, dia
merasa lega. Itu pertanda ia akan bebas wejangan dari Sultan maupun dari Eyang
Panembahan. Kedua orang itu maju ke depan setelah diizinkan pleh Sultan Jurujagad. Mereka
berpakaian serba rapi, yang satu berpakaian rompi kuning dan celana kain merah. Mengaku
bernama Wreda, sedang yang satu berpakaian rompi biru dan celana biru juga,
mengaku bernama Bayutama.
"Apa keperluanmu ke mari, Ki Sanak. ?" tanya Sultan dengan sikap ramahnya.
Bayutama menjawab, "Kami ingin melamar Nyi Mas Sendang Wangi, Kanjeng."
"Untuk siapa?"
"Untuk kami berdua.. "
Mata Sultan membelalak, demikian juga yang lain. Mereka saling pandang. Eyang
Panembahan berkata kepada kedua tamu itu:
"Itu tidak mungkin. Nyi Mas Sendang Wangi hanya satu orang, sedangkan kalian dua


Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Bagaimana mungkin?"
"Kenapa tidak" Kami sudah sepakat untuk memakainya bersama.. !" jawab Wreda
dengan lantang dan tampak sombong.
"Ini suatu penghinaan, Kanjeng," kata patih Danupaksi.
"Siapa bilang?" sanggah Wreda. "Bukankah tidak ada peraturan untuk dua orang
melamar bersama?"
"Memang tidak ada," jawab Ki Patih. "Tetapi secara umum seorang lelaki melamar
untuk seorang wanita. Bukan dua lelaki untuk satu wanita. Kau pikir siapa Nyi
Mas itu" Perempuan tak bersusila" Oh, salah! Kalau kalian menduga begitu salah
besar, Ki Sanak!"
"Itu menurut Anda, Ki Patih. Tetapi menurut kami, Nyi Mas akan bangga mempunyai
dua suami yang siap di sampingnya setiap saat," kata Wreda. Dan Bayutama
menyambung: "Dan kami berdua siap menghadapi manusia dungu yang bernama Suro Bodong. Menurut
kabar, dialah yang kini menjadi calon menantu Sultan Jurujagad. Keluarkan dia,
dan kami akan menghajarnya sekarang juga...!"
Suro Bodong berkata dengan tenang, "Sebaiknya kalian berdua keluar dulu ke alunalun, nanti biar Suro Bodong menyusul kalian ke sana."
"Setuju!" kata Wreda. Ia bicara kepada Bayutama, "Setuju saja, ya Kang" Yang
penting kita buktikan bahwa kesatuan ilmu kita dapat melumpuhkan orang sehebat
apa pun!" Bayutama berkata kepada Sultan, "Ya. Kami mohon parnit, Kanjeng Sultan. Kami
tunggu Suro Bodong di alun-alun sekarang juga...! "
Sultan tidak bisa bicara, tertegun mendengar Nyi Mas akan dijadikan istri oleh
dua lelaki, dan akan dicumbu bersama-sama. Malu sekali wajah Sultan jika hal itu
benar-benar terjadi.
"Suro Bodong... " kata Sultan setelah beberapa saat. "Kau akan menghadapi mereka
sekarang juga?" "Tidak. Aku hanya ingin mengenalkan diri dan memberi sedikit
pelajaran agar mereka tahu adat!" "Bawalah pusaka Tombak Kyai Pancasona milikku.
Kau kuizinkan menggunakannya untuk kedua orang itu!"
Suro Bodong melangkah ke luar seraya berkata, "Untuk menghajar orang seperti
mereka, tidak perlu memakai tombak. .!"
"Suro Bodong, tunggu.. ! Mereka membawa senjata yang bisa membahayakan
keselamatanmu!"
seru Ki Patih, tetapi Suro Bodong tetap melangkah tanpa berpaling.
Mulanya tak banyak orang berkumpul di alun-alun. Tapi setelah seorang yang
bertugas mengumumkan acara seperti itu berseru dengan corong perak kusam, maka rakyat pun
mulai berdatangan ke pinggir alun-alun yang ada di depan dalem Kesultanan.
Sultan Jurujagad hadir di tepian alun-alun, didampingi para punggawa negeri
lainnya. Sekalipun mereka dan Suro Bodong berada di tengah alun-alun, namun penonton
dapat melihat dengan jelas, karena alun-alun itu sendiri tidak begitu lebar.
Suro Bodong berdiri di depan dua orang kakak beradik itu. Wreda yang pertama
kali bertanya: "Mana orang yang bernama Suro Bodong"!"
"Aku sendiri. .!" jawab Suro tenang. Ia garuk-garuk kumis sebentar.
"O, kukira yang bernama Suro Bodong itu orangnya cukup tampan. Ternyata.. ."
"Ternyata memang tampan, bukan?" sahut Suro Bodong. "Hanya orang yang matanya
rusak yang tidak melihat aku sebagai orang tampan."
Kedua lawannya menyeringai sinis, mentertawakan dalam nada menghina. Suro Bodong
masih tenang, kakinya terentang, tegap dan tegar.
"Baik, kalau begitu kau harus berhadapan dengan kami. Hati-hatilah kau, Suro
Bodong. .!"
"Sebaiknya kalian saling mengingatkan begitu. Karena hari ini, aku sedang marah.
Aku jengkel. Dan aku ingin membunuh orang! Siapa saja. Syukur kalau bisa.. kalian!"
"Serang dia...! " teriak Bayutama seraya melompat dan menendang ke depan. Suro
Bodong meliukkan badan ke belakang. Jika tidak maka dagunya akan terangkat ke
atas dalam satu tendangan.
Wreda menyerang dari arah kiri. Tangannya menggenggam dan dihantamkan ke pelipis
Suro Bodong. Suro menangkis dengan kibasan tangan kiri ke belakang. Kaki kirinya
cepat menyodok ke perut Wreda dengan posisi badan merunduk ke samping kanan.
Tetapi tiba-tiba Bayutama menendang wajah Suro dengan keras,
"Hiaaat...!!"
Suro Bodong terpelanting dan berguling-guling. Bayutama menyusul dengan beberapa
gulingan dan berhenti tepat di kaki Suro Bodong, ia mencabut pedangnya, kemudian
menghantamkan pedang itu di kaki Suro Bodong. Dengan cepat Suro Bodong menarik
kakinya, lalu menghentakkan ke depan lagi dengan kecepatan tinggi. Tendangan
yang mengagetkan tepat mengenai hidung Bayutama.
"Aaoow...! Bangsat, kau.. !!" Bayutama menjerit kesakitan sambil berguling
menjauh. Suro Bodong mendapat kesempatan berdiri. Namun tiba-tiba ia disambut
serangan Wreda yang telah
mencabut pedangnya juga.
Pedang ditebaskan dengan cepat dan berkali-kali ke arah kepala dan perut. Suro
Bodong menghindar dengan merunduk dan meliukkan badan. Agaknya ia mulai keteter oleh
gerakan pedang Wreda. Sementara itu, Bayutama segera mengepungnya dari belakang.
Ia membabatkan pedangnya dengan cepat, jurus pedang itu sama dengan jurus pedang
Wreda. Suro Bodong nyaris robek
punggungnya kalau saja ia tidak segera menjatuhkan diri ke tanah dan berguling
sambil menendang kaki Wreda.
Wreda terjatuh, dan Bayutama masih mengejar Suro Bodong dengan tendangannya.
Suro sempat menyengkat kaki Bayutama. Sengkatan itu begitu kuat sehingga Bayutama
terpelanting jatuh ke arah belakang. Buru-buru Suro Bodong berdiri dan mengambil
posisi. Nafasnya terengah-engah dan ia mengaturnya sejenak. Pada saat itu Wreda
telah bangkit dan menolong Bayutama untuk berdiri. Suro mundur beberapa langkah,
mengatur jarak. Ia pasang kuda-kuda dengan merendahkan kedua kaki dan satu
tangan mengepal di atas kepala, sedangkan tangan satunya terlipat di depan dada.
Ada sesuatu yang dibisikkan kepada Bayutama oleh Wreda. Bayutama kelihatan
mengangguk. Kemudian mereka menggerakkan pedang mereka ke kiri dan ke kanan berkali-kali.
Dan setelah itu, pedang mereka beradu, membentuk tanda silang di atas kepala
mereka. Perpaduan tersebut
mengeluarkan sinar merah kebiru-biruan yang memancar sebesar lidi.
Suro Bodong buru-buru melompat ke kanan, berguling dan melompat lagi.
Saat itu, beberapa rumput terbakar karena terkena sinar merah itu. Penonton
mulai tegang dan berdebar-debar. Ada pula yang terbengong-bengong kagum melihat
kedua pedang itu mampu
mengeluarkan sinar yang indah warnanya, namun dahysat kekuatannya. Sementara
itu, Bayutama dan Wreda tertawa-tawa. Mereka hanya menggerakkan pedang mereka
supaya sinarnya terarah pada Suro Bodong. Dan hal itu membuat Suro Bodong
melompat ke sana ke mari seperti monyet terkena api ekornya"Tak akan mampu kau
bertahan menghadapi ilmu Pedang Naga Kembar ini, Bodong. .! He, he, he.. !"
Wreda kelihatan girang sekali mempermainkan Suro Bodong.
Suro Bodong lari menjauh. Namun daya pancar sinar itu masih mampu juga
menjangkaunya. Pada saat ia berguling di tanah, ia sempat mendengar suara yang berseru
untuknya: "Bertahanlah terus.. !"
Suro mendengar suara itu begitu kecil. Ia hapal, itu suara Nyi Mas Sendang
Wangi. Ketika ia bangkit, berdiri, ia sempat melihat Nyi Mas Sendang Wangi
berdiri di samping ayahnya dengan wajah penuh kecemasan. Suro segera tergugah
kemarahannya. Ingat akan rencana dua lawannya itu yang akan memperistri Nyi Mas
secara berduaan. Terbayang pula di benak Suro betapa menjijikkan pada malam
pertama mereka nanti
Maka dengan melompat ke sana ke mari, Suro Bodong meraba tangan kirinya. Ia
seperti mencabut sesuatu dari tangan kirinya itu, dan tahu-tahu ia telah menggenggam
sebilah pedang bercahaya ungu. Itulah Pedang Urat Petir pusakanya. Semua orang
terbengong dan saling menggumam kagum. Kemudian mereka bertepuk tangan, bagai
menemui kelegaan. Sultan, Patih Danupaksi, Demang dan yang lainnya sama-sama
membelalakkan mata. Mereka tahu persis, Suro tidak membawa senjata dari awal
jumpa mereka dengan Suro, tapi mengapa tiba-tiba ada pedang di tangannya"
Berwarna ungu! Pertama-tama yang dilakukan Suro Bodong adalah menangkis arah sinar merah itu
supaya tidak membakar setiap rumput yang terkena sinar tersebut. Pedang Urat
Petir menjadi perisai. Sinar merah menghantam pedang Suro Bodong. Sinar itu
memantul kembali ke pemiliknya.
"Awas, Bayu. .!!" teriak Wreda sambil berguling ke samping. Tetapi Bayu tak
sempat menghindari sinarnya sendiri dan dadanya terkena sinar itu.
"Aaaahhh.. !!" ia menjerit dengan lengkingan yang menyayat. Pakaiannya terbakar,
dan dadanya menjadi hangus. Ia jatuh telentang dengan gerakan kejang-kejang.
Suro Bodong diam, berdiri tegak, menyaksikan kesedihan Wreda atas diri Bayutama
yang dalam keadaan sekarat itu.
"Bayutama, banguuunn. .!!" teriaknya seraya Wreda menghentakkan kaki ke tanah
tiga kali. Tiba-tiba penonton berseru,
"Wooww..."!" Mereka melihat sendiri Bayutama bangkit dalam keadaan segar bugar,
kendati dadanya hangus. Ia bahkan melompat sambil bersalto dan menyerang Suro
Bodong dengan pedangnya.
Suro Bodong dengan mudah menangkis pedangnya dengan pedang Urat Petirnya.
Percikan api terjadi pada saat pedang itu beradu. Namun dengan cepat tangan kiri
Suro Bodong berhasil memukul kepala Bayutama, sementara itu Wreda hendak
menusukkan pedangnya ke punggung Suro Bodong. Tangan
Suro Bodong berkelebat ke belakang. Pedang itu sepertinya disampirkan di
punggung. "Trriing. .!"
Tusukan pedang lawan mengenai bagian dari pedang Urat Petir yang bersinar ungu
itu. Padahal Suro sibuk berpaling dalam menangkis tusukan pedang Wreda. Ia sibuk
mengibaskan pukulan tangan kiri Bayutama dengan tangan kirinya sendiri.
Di luar dugaan, Suro Bodong berputar, menendang tubuh Bayutama, namun tangannya
yang memegang pedang menebas ke depan, mengenai perut Wreda.
"Aaah. .! Bayu,aku kenaaa.. aauhh. .!" Wreda roboh dengan memegangi perut yang
terluka, tetapi Bayutama segera menghentakkan kaki ke tanah tiga kali seraya
berseru memanggil Wreda. Pada saat itu penonton bergumam lagi, "Wow.. ?" Karena
pada saat itu, Wreda bangkit kembali dalam keadaan segar bugar, sekalipun
perutnya robek, namun tidak mengeluarkan darah.
Suro Bodong segera berlari kencang dan melompat tinggi, lalu ia bersalto di
udara sebanyak tujuh kali. Maka mata semua penonton terbelalak seketika,
termasuk Sultan dan putrinya.
Suro Bodong telah berubah rupa menjadi seorang pendekar tampan yang memiliki
badan kekar, berotot dan tegap dalam ketinggiannya. Wajahnya sangat menawan, dengan matanya
kebiru-biruan mengandung kebeningan yang indah. Penonton jadi gaduh membicarakan
perubahan ujud itu. Mereka tidak tahu kalau Suro Bodong telah menggunakan Jurus
Luing Ayan-7, atau yang disebut Eyang Panembahan sebagai ilmu Saptaraga.
Dengan sosok pendekar muda yang berpakaian rompi emas serta celana emas itu,
Suro Bodong dapat bergerak lebih lincah lagi. Ia membabat berkali-kali lawannya yang lumayan
tangguh itu. Tetapi setiap mati satu, yang satu menghentakkan kaki ke tanah tiga
kali, maka yang mati itu akan bangkit lagi dalam keadaan segar bukar. Begitu
seterusnya sampai pertarungan itu berlangsung cukup lama.
Suro Bodong yang telah berubah menjadi Panji Bagus itu mulai bertekad untuk
membunuh kedua lawannya. Sebab, jika tidak segera dibunuh, maka mereka akan menjadi duri
dalam suasana damai di seluruh Kesultanan Praja. Maka, segera Suro Bodong dalam
ujud pendekar Panji Bagus itu melemparkan pedangnya ke udara sampai berputar
tujuh kali. Pedang itu begitu turun dan sampai pada putaran yang ketujuh segera
ditendang gagangnya. Begitu ditendang, pedang itu pecah sendiri menjadi tujuh
bagian, lalu ketujuh bagian itu memencar ke arah dua lawannya. Wreda sempat
menangkis salah satu pecahan pedang, tetapi ia gagal menangkis pecahan pedang
yang melesat ke pelipisnya. Pecahan pedang itu menghantam tembus pelipis Wreda.
Sementara dua pecahan pedang yang lainnya berhasil mengenai leher dan mata
Bayutama. "Aaahhh.. !! Aaauuuhh.. !" Keduanya saling menjerit kesakitan. Mereka bergulingguling beberapa saat, sedangkan pecahan pedang itu dapat berkumpul menjadi satu
lagi dan melesat kembali ke tangan pendekar tampan itu.
Semua orang bertepuk tangan melihat kejadian aneh dan sangat mengagumkan itu.
Namun agaknya Bayutama masih mampu berusaha untuk bangkit, dan Wreda pun menguatkan
diri untuk berdiri. Keduanya ingin menghentakkan kaki ke tanah supaya keduanya dapat hidup
kembali dengan segar bugar. Tetapi pendekar muda yang tampan itu segera melompat
dan bersalto satu kali. Ia telah menggunakan jurus Luing Ayan-1, dan hal itu
membuat dirinya berubah lagi menjadi Suro Bodong.
Tetapi pada saat itu kedua kakinya berhasil menjejak kedua tubuh lawan dengan
keras, hingga kepala Bayu yang lehernya telah robek itu nyaris putus total.
Dengan gerakan cepat, Suro Bodong membabatkan pedang Urat Petir itu ke leher
Bayutama, lalu berkelebat ke leher Wreda. Kedua kepala itu pun nyaris bersamaan
jatuh menggelinding di rerumputan.
Dengan putusnya kepala mereka, maka berhenti sudah segala gerakan Suro Bodong.
Ia buru-buru memasukkan pedangnya ke kulit lengan kiri. Pedang itu dapat masuk
tanpa meninggalkan bekas dan bentuk pada kulit lengan. Itulah kehebatan pedang
Urat Petir yang mampu disimpan di dalam daging lengan kiri Suro Bodong.
Satu-satunya orang yang maju mendekati Suro pertama adalah.. Nyi Mas Sendang
Wangi. Kalau saja ia tidak malu, dan Suro Bodong tidak kikuk, pasti mereka telah saling
berpelukan. Namun, karena rasa malu ditonton banyak orang akhirnya mereka hanya
berpegangan tangan dalam tatap mata yang saling pandang di sela senyum lesung
pipit Nyi Mas Sendang Wangi.
Sultan sendiri kali ini yang bkara kepada rakyat di pinggir alun-alun melalui
corong perak kusam: "Dengan ini, Suro Bodong telah berhasil mengalahkan empat
penantang yang bermaksud melamar putriku. Dan. . mulai saat ini, kuterima
lamaran Suro Bodong sebagai calon suami Nyi Mas Sendang Wangi. . "
"Hidup Suro Bodong...!!" seru mereka. "Dan, mulai saat ini pula... orang yang
kami cari-cari telah kami temukan, yaitu Suro Bodong. Dialah yang akan
dinobatkan sebagai Senopati Kesultanan Praja.. !"
"Hidup Senopati...! Hidup Senopati Bodong...!"
"Lho, apa-apaan ini. ."!" Suro Bodong kebingungan. Nyi Mas Sendang Wangi
menjelaskan: "Itulah sebabnya ayah mengadakan syarat pertarungan bagi calon suamiku, sebab
dialah yang akan dinobatkan sebagai Senopati untuk menghadapi serangan dari
utusan Tiongkok, yang dapat menyerang sewaktu-waktu. Dan.. akulah yang akan
mendampingimu di medan laga nanti. Akulah
wakil Senopati Kesultanan Praja ini. . "
"Celaka, rupanya ini rencana Sultan yang sebenarnya! Hei, tapi kau janji akan
mendampingiku, kan?" Nyi Mas mengangguk dengan senyum lesung pipit yang
menggetarkan hati Suro Bodong. Maka Suro Bodong pun memeluknya. Cuek
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Tumbal Perkawinan 3 Pendekar Rajawali Sakti 33 Manusia Beracun Mencari Bende Mataram 7

Cari Blog Ini