Ceritasilat Novel Online

Rahasia Tombak Dewa 1

Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa Bagian 1


RAHASIA TOMBAK DEWA Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Rahasia Tombak Dewa
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0191.50.7
1 Semua orang melihat kilatan cahaya merah di
langit yang gelap. Banyak yang berkumpul di alunalun untuk melihat cahaya merah itu melesat dari
arah Timur ke Barat. Tetapi setiap cahaya merah pijar itu hendak ke Barat,
selalu saja disambut oleh kilatan cahaya biru yang datangnya dari Barat. Kilatan
cahaya biru itu menghantam cahaya merah. Kemudian timbul
satu ledakan yang membuat orang-orang tercekam rasa takut. Ledakan itu mengakibatkan bumi berguncang bagai dilanda gempa.
"Pasti itu aji Birawagama yang dihantam aji
Panjardamo," ujar salah seorang penduduk kepada temannya. Kepala mereka masih
mendongak ke langit.
Ada lagi yang berkata:
"Kurasa itu benturan aji Sosrogeni dengan pukulan Kumbawayan. Sosrogeni milik Ki Destak, dan
Kumbawayan milik Resi Buntoro."
"Memangnya mereka berada di mana?"
"Kalau menurut kabar yang kudengar, Resi
Buntoro ada di lereng gunung Manduro, sedangkan Ki
Destak... kalau tidak salah mendiami pesanggrahan
Wanara Teja, di puncak gunung Buramang. Mereka
memang bermusuhan sejak ratusan tahun yang lalu.
Itu menurut cerita para sesepuh kita...."
Banyak yang saling berkisah sendiri-sendiri.
Mereka masih sesekali memandang ke atas, karena kilatan cahaya merah dan biru yang, saling berbenturan itu sudah terjadi selama
dua hari. Bahkan pada saat
siang hari pun pernah terjadi hal serupa dan mengguncangkan tanah Kesultanan Praja.
Para penghuni istana Kesultanan pun banyak
yang melihat kejadian yang menegangkan itu. Dari dalam pagar istana pun dapat kelihatan jelas kilatan kedua cahaya yang saling
berbenturan dahsyat itu. Ada
yang melihat dari dalam komplek istana, ada yang keluar, ke alun-alun, menyaksikan peristiwa aneh itu
bersama-sama rakyat lainnya.
Khususnya pada malam hari, cahaya yang saling bertabrakan di angkasa itu dapat dijadikan tonto-nan menarik, namun juga
menggetarkan hati. Malam
ini sudah terjadi tiga kali benturan dahsyat yang
membuat tanah bagai diguncang gempa. Malam kemarin sampai tujuh kali, dan siangnya dua kali. Bahkan malam ini, mereka pun
melihat kembali melesatnya sinar merah dengan ujung bagai bola api. Sinar itu
kembali dihantam oleh cahaya biru yang mirip tombak
panjang melesat dari Barat.
"Hei, lihat...! Lihat, sinar biru itu tidak tepat pada sasaran...!!" teriak
beberapa orang sambil menuding ke langit.
Sinar biru meleset, tidak membentur cahaya
merah yang mirip bola api kecil itu. Mereka semakin
tegang. Apa yang akan terjadi jika begitu"
"Wah, wah... yang biru berbalik arah. Nah, berbalik arah, kan"!"
"Iya. Benar lho... yang biru sekarang jadi mengejar sinar merah."
"Astaga...! Sekarang malah sinar biru itu bergerak dengan kecepatan luar biasa.
Dan... wah, kena...
kena...!" "Blaaar...!!"
Beberapa orang terpelanting jatuh karena tanah nyata sekali mengalami guncangan dahsyat. Ledakan yang terjadi akibat sinar biru menghantam bola
api dari belakang membuat sebuah pohon tumbang.
Hampir saja menimpa seorang anak belasan tahun.
Ledakan itu adalah ledakan yang paling besar dari setiap ledakan yang sudahsudah. Guncangan pada tanah terlihat dan terasa jelas. Penduduk pun menjadi
panik dicekam ketakutan. Bahkan sudah ada yang
mengeluarkan beberapa barang rumahnya, siap untuk
mengungsi jika terjadi gempa bumi yang mengerikan.
Peristiwa itu menjadi peristiwa yang meresahkan penduduk Kesultanan Praja. Bukan hanya rakyat
yang membicarakan, tetapi para pejabat Kesultanan
pun sibuk membicarakannya.
"Keadaan kita sungguh kurang baik dalam masalah ini," kata Demang Sabrangdalu. "Kalau memang ledakan itu ditimbulkan
karena perang jarak jauh, adu kesaktian antara penguasa Gunung Manduro dengan
penguasa Gunung Buramang, maka jelas keadaan kita
sangat tergencet. Kesultanan ini ada di tengah-tengah antara kedua gunung itu.
Dan mereka saling baku-hantam di pertengahan jarak mereka, maka sudah tentu Kesultanan kita akan menjadi korban. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu
saja, menurut saya, Kanjeng."
"Kita harus bertindak, sebelum rakyat dan negeri menjadi korban adikuasa mereka," timpal Ki Patih Danupaksi.
"Apakah baik... kalau kita bertindak di luar
urusan kita?""sahut Eyang Panembahan dengan kalem. "Itu kan sama saja mencampuri
urusan orang lain?" "Tapi urusan itu mengeluarkan getah, dan kita yang terkena
getahnya, Eyang." Demang Sabrangdalu mendebat.
"Jangan sampai kita dijadikan korban nafsu
mereka, Kanjeng. Kita tidak punya urusan dengan mereka, kita tidak mengganggu mereka, jadi kita pun tidak ingin terlibat urusan dengan mereka."
"Benar kata Ki Patih Danupaksi," sahut Eyang Panembahan. "Kita jangan terlibat
urusan dengan mereka, karena itu kita jangan ambil tindakan dan melakukan halhal yang merugikan mereka. Kan begitu,
Kanjeng Sultan?"
Sultan Jurujagad manggut-manggut dengan
penuh bijaksana. Sementara itu, putrinya yang bernama Nyi Mas Sendang Wangi mulai ikut angkat bicara: "Kalau rakyat menjadi resah dan serba ketakutan, itu berarti kita telah terlibat, Eyang."
"Nah, benar itu!" sahut Demang Sabrangdalu.
"Mau tidak mau, karena keadaan kita di tengah-tengah mereka, maka kita juga yang menjadi korban di luar kesadaran mereka," tambah Nyi Mas Sendang Wangi.
Pada saat itu, terdengar lagi ledakan yang
menggema panjang. Tanah bagaikan miring ke kiri dan
ke kanan. Ketegangan terjadi lagi, bukan pada rakyat saja, tetapi dalam
pertemuan itu pun ada ketegangan
dan kecemasan. Lalu, guncangan tanah menjadi reda.
Dan mereka menghela nafas bersama-sama. Ki Patih
Danupaksi unjuk bicara:
"Ini sama saja mengganggu ketentraman kita,
bukan" Kalau setiap saat terjadi guncangan seperti ini, rakyat mana yang bisa
hidup dengan tenang?"
Sultan Jurujagad mulai bicara walau hanya beberapa kata. Ia tampak hati-hati mengambil keputusan. "Aku ingin mendengar pendapat menantuku,
Suro Bodong. Di mana dia saat ini" Mengapa tidak ikut hadir dalam pertemuan
khusus ini?"
Nyi Mas Sendang Wangi yang menjawab, sebab
dialah istri syah Suro Bodong.
"Dia sedang di dapur."
Demang Sabrangdalu tertawa pendek. "Bagaimana Suro itu" Dia kan sebagai Senopati di Kesultanan ini" Masa' seorang Senopati lebih suka nongkrong di dapur ketimbang berbicara dalam Paseban?"
Eyang Panembahan pun tersenyum geli. "Agaknya ia lebih tertarik dengan jagung bakar kesukaannya ketimbang melihat
pertarungan dua kekuatan di udara."
Ki Patih hanya geleng-geleng kepala. Ia menyembunyikan senyum geli juga mengingat jagung bakar Suro Bodong. Ia sendiri heran, mengapa Suro Bodong masih saja mencintai jagung bakar daripada istrinya. Padahal dia sudah punya jabatan. Sudah menjadi pejabat. Seorang Senopati perang! Ah, cukup aneh kalau seorang Senopati
perang lebih sibuk mengurus
jagung bakar daripada senjata atau pusaka.
"Panggil dia ke mari," perintah Sultan kepada putrinya, yang menjadi istri Suro
Bodong. Sementara
Nyi Mas Sendang Wangi pergi memanggil Suro Bodong,
Sultan bicara kepada Eyang Panembahan yang diangkat menjadi penasehat Kesultanan Praja.
"Menurut Eyang, apakah perlu kita mengirim
utusan ke Gunung Manduro?"
"Dalam hal ini yang diperhitungkan adalah,
siapa yang harus ditemui" Penguasa gunung Manduro,
atau penguasa gunung Buramang" Atau keduanya?"
"Apakah mungkin kita mengirimkan utusan
kedua gunung sekaligus, Eyang?"
"Kenapa tidak" Itu berarti kita melepas dua
utusan, satu ke gunung Buramang, satu lagi ke gunung Manduro."
Gumam Sultan Jurujagad sangat pelan, dan
kepalanya mengangguk-angguk samar. Sejenak mereka dicekam ketegangan lagi karena bunyi dentuman
dahsyat di udara. Kedua sinar itu saling bertabrakan kembali. Langit jadi
terang, menerangi seluruh wilayah Kesultanan Praja dan sekitarnya. Lalu sinar
terang itu menjadi redup kembali, tetapi guncangan tanah masih
terasa mendebarkan setiap jantung penghuni Kesultanan Praja. Hanya saja, guncangan ini tidak sehebat
guncangan tadi.
Suro Bodong muncul dari belakang, dan langsung menuju ke Paseban. Sudah tentu semua mata
tertuju padanya. Kenapa begitu" Ya, seperti kebiasaan yang sudah-sudah, Suro
Bodong selalu tampil santai
dan kalem. Seenaknya sendiri dalam berpenampilan.
Baju merah lengan panjang tak pernah dikancingkan,
walau pun dia menghadap Sultan. Celananya yang biru tua tidak pernah rapi, sekalipun dari bahan kain
yang halus dan mahal. Rambutnya panjang tak pernah
disisir, padahal istrinya sudah sering mengingatkan
agar ia selalu menyisir rambut jika istrinya tak sempat.
Dan jagung bakar selalu ada di tangannya. Jempol
tangan kanan memetik-memetik jagung bakar itu, lalu
menyuapkan ke mulutnya dengan santai, kendati ia
harus berbicara dengan seorang sultan.
"Suro Bodong...!" sapa Sultan Jurujagad dengar tenang. Suro Bodong hanya
menggumam, dan tetap
berdiri, walau yang lainnya duduk bersila di hadapan Sultan. "Kau sudah
mendengar ledakan yang terjadi berulangkali pada malam ini?"
"Sudah."
"Sudah tahu apa sebabnya terjadi ledakan?"
"Sudah."
"Juga sudah tahu dari mana asal ledakan itu,
dan apa akibatnya bagi kita semua yang ada di Kesultanan Praja ini?" berondong Sultan Jurujagad. Tapi Suro Bodong hanya menjawab
seenaknya dengan
singkat: "Sudah..." ia sibuk memetik-metik biji jagung, lalu garuk-garuk
kumisnya sejenak.
"Apa pendapatmu sebagai seorang Senopati di
Kesultanan ini?" tanya Sultan Jurujagad dengan kalem. Ia tidak tersinggung
dengan sikap Suro, sebab ia sudah hapal pribadi menantunya.
"Apa pendapatmu mengenai ledakan itu, Suro?"
sambung Sultan sekali lagi.
"Hebat...."
Hanya itu jawaban Suro Bodong. Semua berkerut dahi, tak ada yang bicara atau memprotes. Semua
bagaikan sedang menunggu kelanjutan ucapan Suro
Bodong. Tapi, ternyata Suro tidak melanjutkan katakatanya lagi. Ia diam, juga menunggu komentar dari
yang lain. Akhirnya Ki Patih Danupaksi yang bicara kepadanya: "Hebat bagaimana, maksudmu?"
"Ya, hebat...!" Suro melirik Ki Patih sambil memetik-metik jagung bakar. Ki
Patih menghela nafas,
dan menghempas, seperti sedang menahan rasa kesal.
Barulah Suro Bodong berkata dengan tenang:
"Bagaimana tidak hebat, kalau dalam peristiwa
yang menegangkan rakyat kecil itu kita hanya dudukduduk saja di sini" Aku sendiri sedang menunggu perintah, tapi tak ada perintah sejak kemarin. Kecuali hanya perintah agar jangan
sering-sering makan jagung bakar, nanti merusakkan gigi, itulah perintah da-ri
istriku yang barangkali kurang suka kalau gigiku
rusak." "Jadi, kau setuju kalau kita harus bergerak ke
gunung Manduro atau ke gunung Buramang?" kata
Sultan. "Untuk apa?" Suro malah menampakkan ke-bingungannya.
"Untuk mencegah kedua orang sakti itu agar
jangan bertarung di atas wilayah kita," Sultan menjelaskan. "Ah, itu tidak
perlu...!" setelah berkata begitu, Suro bergerak pelan, keluar dari Paseban dan
menuju pintu gerbang. Tentu saja hal itu membuat semua orang terbengong-bengong memperhatikan sikap Suro Bodong.
Demang Sabrangdalu hampir saja mengecam sikap
Suro Bodong yang cuek itu, tapi Nyi Mas Sendang
Wangi segera berkata:
"Dia punya pikiran yang lebih cepat dari kita,
sehingga kadang-kadang kita heran melihat sikapnya."
"Hei, dia malah keluar dan berjalan-jalan santai begitu," cetus Demang
Sabrangdalu. Eyang Panembahan berkata:
"Pasti dia tidak sekedar keluar begitu saja."
"Ki Patih, coba ikuti dia...!" perintah Sultan Jurujagad.
"Sendiko, Kanjeng...!" Ki Patih pun pergi mengi-kutinya.
Suro Bodong sangat santai melangkah menuju


Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alun-alun sambil menikmati jagung bakarnya. Banyak
orang yang menganggukkan kepala kepada Suro,
memberi hormat dan tempat. Suro sangat akrab dengan rakyat jelata, sehingga beberapa orang tak segan-segan memanggilnya,
"Kang Suro... bagaimana kita ini?"
Suro memang lebih senang dipanggil "Kang"
walaupun dia seorang Senopati. Tapi ia pernah bilang, bahwa gelarnya sebagai
Senopati tidak harus merubah
gaya hidupnya yang merakyat. Senopati adalah gelar
dalam jabatan. Tapi kang Suro adalah nama yang
akrab dengan pribadinya.
"Kenapa baru keluar sekarang, Kang" Kita sudah diguncang gempa lebih dari tiga kali untuk malam ini saja. Belum malam
kemarin!" kata salah seorang penduduk yang agaknya sudah sering ngobrol dengan
Suro Bodong. "Apa tindakan Kanjeng Sultan untuk mengatasi
masalah ini, Kang?"
"Tindakan apa?" Suro Bodong malah bertanya dengan garuk-garuk kumisnya yang
tebal itu. "Kami resah, Kang. Kami semua takut kalau
kalau akibat kedua ilmu sakti itu kami menjadi korban. Siapa tahu tanah tempat kami berpijak lamalama bisa terbelah mendadak?"
'Terbelah" Ah, yang bukan-bukan saja omonganmu, Jul!"
"Dentuman itu kan membahayakan keselamatan kita, Kang," kata yang lain.
Suro menjelaskan dengan tersenyum geli.
"Kenapa harus membahayakan?" Suro kelihatan sabar. "Ledakan itu kan akibat ilmu sakti yang hebat
dan saling bertabrakan. Kalau...."
"Apanya yang hebat...?" potong Suro sebelum orang itu selesai berbicara. "Ilmu
seperti itu kok hebat"
Apa kalian pikir, kedua ilmu itu adalah terhebat di seluruh jagad ini?"
Orang-orang terbengong dan saling kasak kusuk, ada juga yang saling senggol-senggolan kecil sambil bersungut-sungut saling
menyalahkan temannya.
Pada waktu itu, sekilas sinar merah kembali melesat
dari arah Timur. Seseorang berteriak sambil menuding angkasa:
"Itu dia...! Itu muncul lagi...!"
Semua orang mendongak, begitu juga Suro Bodong. Sinar merah dengan ujung seperti bola api itu
melayang cepat ke arah Barat. Pada saat itu juga, dari arah Barat melesat sinar
biru berujung seperti seba-tang tombak. Sinar biru itu melayang tertuju pada
gerakan sinar merah.
"Celaka, mereka hendak bertabrakan lagi...!!"
seru beberapa orang.
Tetapi Suro Bodong segera menggerakkan tangannya, meraba tangan kiri dengan cepat dan tahutahu ia telah memegangi pedang Urat Petir pusakanya.
Pedang itu memancarkan sinar ungu berkilauan. Lalu
dengan gerakan cepat pedang tersebut diputar ke udara, di atas kepala. Kemudian berhenti seketika, ujungnya lurus menghadap ke
atas. Dari ujung pedang itu
keluarlah sinar ungu yang berkelok-kelok seperti arus sinar petir. Orang-orang
menggumam kagum. Lagi-lagi
mereka menggumam kagum setelah sinar ungu itu melesat terus ke udara, dan menerobos ke tengah-tengah antara pertemuan sinar
merah dengan biru. Kalau biasanya kedua sinar itu bertabrakan dan menimbulkan
ledakan, tapi kali ini tidak. Sinar merah dari Timur menghantam sinar ungu, dan
sinar biru lawannya juga
menghantam sinar ungu. Maka kedua sinar itu pun
padam seketika tanpa menimbulkan suara ledakan
yang mengguncangkan bumi. Lalu semua jadi sepi.
Semua orang terbengong tanpa suara.
Mereka nyaris tidak percaya dengan apa yang
dilakukan Suro Bodong. Ki Patih Danupaksi juga terbengong dengan wajah bingung yang menggelikan hati.
Beberapa saat kemudian terdengar kasak kusuk di antara mereka. Ki Patih Danupaksi segera menghadap
Sultan dan melaporkan dengan nada suara tegang:
"Suro Bodong mengeluarkan Pedang Urat Petir...!" "Untuk apa"!" Nyi Mas Sendang Wangi terperanjat kaget.
"Untuk menghadang kedua sinar itu, dan... dan
apakah tadi ada yang melihat kedua sinar itu telah
bertemu tapi tidak menimbulkan ledakan"!"
"Tidak timbul ledakan"!" Demang Sabrangdalu segera mohon izin untuk menyaksikan
hal itu. Maka, semua pun keluar dari ruangan Paseban menuju alunalun. Nyi Mas Sendang Wangi mendekati Suro Bodong yang sedang menggeragot jagung bakar, sementara tangan kanannya memegangi Pedang Urat Petir
yang dapat disembunyikan di dalam kulit daging lengan kirinya. Pedang itu masih memancarkan cahaya
ungu di sekelilingnya. Suro sendiri masih mendongak
ke atas, menunggu melesatnya kedua sinar dari dua
arah. "Kang Mas... apa yang kau lakukan"!" Nyi Mas Sendang Wangi memegang lengan
Suro Bodong. Suro
masih memperhatikan kearah atas. Ia berkata dengan
suara tak begitu jelas, karena mulutnya mengunyah
jagung bakar, "Dua orang sakti yang sombong, mungkin akan
terbengong melihat kenyataan kali ini," sahut Suro berhenti memandang ke atas.
"Aku akan menangkal ilmu mereka dari sini."
"Apakah itu tidak berbahaya, Kang Mas?" Sendang Wangi menampakkan kecemasannya.
"Ini hanya sekedar peristiwa pamer kekuatan.
Kedua belah pihak saling unjuk kedigdayaan dengan
cara bertarung jarak jauh. Dan, aku juga akan ikut
pameran ini, supaya mereka tahu bahwa mereka tidak
pantas unjuk kekuatan di atas bumi Kesultanan Praja." Beberapa saat kemudian, muncul lagi kilatan
sinar merah dari Timur, disusul kemudian sinar biru
dari Barat. Suro Bodong memutar pedangnya ke udara
tujuh kali, lalu menghentakkan lurus ke langit, maka keluarlah sinar ungu
berkelok-kelok bagai nyala kilatan petir. Sinar ungu itu menjadi penengah dari
kedua sinar yang hendak bertabrakan di udara. Akhirnya, da-ri Barat dan Timur
saling bertabrakan, namun seketika karena ditahan sinar ungu dari Pedang Urat Petir.
Blabb... kedua sinar itu padam tanpa menimbulkan ledakan. Sinar ungu dari pedang Suro Bodong
bagai ditarik mundur dan masuk ke dalam pedang tersebut. Rakyat mulai bersorak lega dengan tepuk tangan yang saling bersahutan. Sedangkan para pejabat
Kesultanan pun menggumam terkagum-kagum melihat
keampuhan pusaka Suro Bodong yang berhasil menahan kedua benturan sinar tersebut. Nyi Mas Sendang
Wangi tersenyum seraya memegangi lengan suaminya
semakin erat. Dalam hati ia cukup bangga mempunyai
seorang suami yang sederhana, santai, tapi berilmu
cukup tinggi. Suro Bodong berjalan ke rombongan Sultan di
depan pintu gerbang istana. Ia sempat melihat wajah
sultan atau mertuanya itu tersenyum lega. Sementara
itu, Demang Sabrangdalu masih menampakkan kekagumannya dari tadi.
"Hebat..! Hebat sekali kau, Suro...!" ujar Patih Danupaksi sambil menepuk-nepuk
pundak Suro Bodong yang masih memegangi pedangnya.
"Saya rasa kita tidak perlu mengirim utusan
kedua gunung itu, Kanjeng!" usul Demang Sabrangdalu. Lalu ia berpaling memandang
Suro Bodong, "Bukankah itu sudah cukup, Suro?"
Suro menggumam sambil mengangguk. Ia masih menggerogoti jagung bakarnya sedikit demi sedikit.
Namun selagi mereka sibuk berkagum diri, tiba-tiba
sinar merah itu muncul lagi dengan kecepatan melebihi semula. "Sinar merah datang lagi...!!" teriak beberapa orang. Suro Bodong mendongak ke
atas, saat itu tepat muncul sinar biru dari Barat. Suro sempat menggeram,
"Kurang ajar! Belum jera juga mereka...!!"
Suro segera menjauh dari kerumunan mereka,
lalu memegang pucuk pedangnya, membalikkannya.
Posisi kedua kakinya merendah dengan jarak renggang. Gagang pedang di arahkan ke atas, sedangkan
pucuk pedang itu ditempelkan ke ulu hatinya. Ia mengambil nafas, menahannya di dada, kemudian segera
menghentakkan nafasnya dengan kuat: "Heeah...!!"
Sesuatu yang sangat ajaib keluar dari gagang
pedang. Semua orang yang ada di dekat Suro kebingungan antara memandang ke atas dengan memandang keadaan Suro. Sebab, gagang pedang itu mengeluarkan aneka macam sinar berwarna-warna. Ada sinar yang menyorot lurus, ada yang bergelombang seperti spiral, ada yang patah-patah dan ada juga yang berkelok-kelok. Sedang
warna sinar itu pun macam-macam rupanya. Bisa jadi semua macam warna ada di
dalam sinar-sinar yang menyerupai rombongan lidi
melesat ke langit. Suro bertahan tidak bernafas beberapa lama.
Aneka macam sinar itu menghadang di pertengahan kedua sinar dari Barat dan Timur. Ketika sinar dari Barat yang menyerupai
bola api itu menghantam
sinar dari gagang pedang Suro, maka sinar merah itu
tidak padam, melainkan memantul berbalik arah. Demikian juga halnya dengan sinar biru dari Barat, keti-ka membentur sinar pedang
Suro membalik ke arah
semula ia datang. Lalu Suro menghela nafas, dan gagang pedangnya padam, tidak menyemburkan sinar
aneka warna lagi.
"Sinar-sinar itu berbalik arah...! Pulang ke tempatnya! Gerakannya malah semakin
cepat...!!" masing-masing mulut menyerukan ungkapan hati dan pengertian nya masing-masing. Ricuhnya suara tidak membuat Suro Bodong ikut bicara. Ia hanya menggeragot
jagung sambil mendongak ke atas. Kemudian ia melangkah mendekati rombongan Sultan yang ikut tuding-tuding dan mendongak ke atas. Suro menyempatkan memasukkan pedangnya ke dalam lengannya.
Pedang itu bagai menyelusup di antara kulit dan daging lengan tanpa menimbulkan luka dan bekasnya sedikit pun. Itulah kehebatan Pedang Urat Petir, yang
mampu disimpan di dalam bagian tubuhnya, sehingga
ke mana pun Suro pergi, seakan ia tidak membawa
senjata apa-apa.
Kericuhan mereka menjadi hening sejenak setelah terdengar ledakan samar-samar dari arah Timur.
Mereka saling bertanya dalam hati, meledak di mana
sinar merah itu" Sedangkan tak berapa lama kemudian, mereka juga mendengar ledakan yang samarsamar, jauh sekali letaknya, tetapi yang jelas ledakan di arah Barat sana. Lalu,
gumam dan kasak kusuk
mereka kembali terdengar bagai bisikan ular sejuta.
Masing-masing saling memperkirakan ke mana kedua
sinar sakti itu meledak.
Sultan Praja menatap Suro Bodong yang tetap
tenang, tanpa perubahan ekspresi wajah sedikit pun,
kecuali kesibukannya dalam memetik biji jagung bakarnya. "Di mana ledakan itu terjadi, Suro" Kira-kira meledak di mana kedua
sinar itu?"
Suro menjawab dengan santai, "Di kepala pemiliknya!" "Hah..."!" semua mata melebar dan mulut pun terperangah tanpa ragu
lagi. Demang Sabrangdalu
mendekati Suro.
"Maksudmu sinar itu kau kembalikan kepada
pemiliknya?"
Suro menjelaskan, "Sinar itu tidak hanya sekedar kembali kepada pemiliknya, tapi ia juga menyerang pemiliknya. Biarlah
senjata makan tuan, dari pada
tuan makan senjata. Keras!" Suro Bodong tidak tersenyum sedikit pun. Kemudian ia
merangkul Nyi Mas
Sendang Wangi. Katanya kepada Nyi Mas,
"Kau tak perlu gelisah lagi. Kedua orang sakti
itu hancur oleh ilmunya sendiri. Mereka tidak akan
saling pamer kedigdayaan lagi. Mudah-mudahan ada
yang tahu, bahwa ilmu-ilmu mereka tidak ada bandinganya dengan ilmu yang ada di Kesultanan kita."
"Ternyata kau lebih unggul dari mereka, Kang
Mas." "O, jelas! Karena ada kamu, jadi aku lebih unggul." "Maksudmu?"
"Yah... sekedar pamer kepada istriku bahwa
aku punya kekuatan yang maha hebat. Dan dan.." Su-ro melirik ke kanan kiri
sebentar, masih banyak yang memperhatikan dia. Tapi, ah... masa bodoh...! Ia pun
berkata, "Dan aku pun masih mempunyai kekuatan
lain yang kemarin malam kau kejar-kejar...! Kau ingin lihat" Mari ke kamar?"
bisiknya. "Iiih...! Jorok, ah!" Sendang Wangi tersenyum malu, karena Sultan dan beberapa
orang menertawa-kan cekikikan.
2 Kira-kira dua minggu setelah itu, satu dari lima
prajurit yang bertugas di perbatasan wilayah Kesultanan bagian Timur datang
menghadap Sultan.
"Kanjeng, ada tiga orang yang mengaku dari Pesanggrahan Wanara Teja di Gunung Buramang, mereka mengamuk di sana dan merusak perkampungan
penduduk. Bahkan banyak rakyat yang mati karena
ulah mereka."
"Celaka...!" desah Sultan dengan tegang.
"Ketiga orang itu mengaku berjuluk pendekarpendekar Wanara, dan... ilmu mereka cukup tinggi,
Kanjeng. Ia dapat membakar rumah dengan hanya sekali semburan nafas dari mulut mereka. Keadaannya...
sungguh mengerikan, Kanjeng."
Kemudian Sultan mengadakan sidang kilat untuk membahas masalah tersebut. Di depan pegawai istana, di depan punggawa negeri, Sultan berkata dengan tegas: "Rupanya peristiwa perang udara antara penguasa gunung Buramang dan penguasa gunung
Manduro berbuntut panjang. Tiga orang mengamuk di
perbatasan wilayah kita bagian Timur. Jelas, pasti mereka mempunyai maksud
bermusuhan dengan alasannya sendiri. Hentikan mereka! Lindungi rakyat dengan
segala kekuatan kita!"
Patih Danupaksi mengajukan usul, "Suro Bo

Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dong yang harus menindaknya, Kanjeng!"
"Apakah kau takut, Ki Patih"!" tuduh Sultan dengan gemas. Patih Danupaksi
kebingungan. "Tetapi memang ini tugas Suro, supaya tidak
banyak korban dipihak kita, Kanjeng! Saya yakin, menantu Kanjeng mampu menyelesaikan urusan ini secepatnya."
Eyang Panembahan angkat bicara, "Kirimkan
pasukan berkuda di bawah perintah Ki Patih Danupaksi. Dan kita akan tahu, sampai di mana kekuatan mereka."
Sultan mengangguk-angguk. Lalu, bicara kepada Patih Danupaksi, "Berangkatlah Ki Patih. Tidak semua urusan harus
mengandalkan Suro Bodong. Dia
adalah senjata pamungkas bagi kita."
Waktu itu, seperti biasanya, Suro Bodong jarang mau ikut bersidang seperti saat itu. Ia hanya di kamar, atau di taman
belakang bersama istrinya, atau di dapur membakar jagung bakar. Maka, tak ada
pilihan lain bagi Ki Patih Danupaksi kecuali berangkat
dengan membawa sepuluh pasukan berkuda pilihannya. Perbatasan wilayah Timur menjadi lautan api.
Rumah-rumah penduduk dibakar habis. Patih Danupaksi sempat naik pitam sewaktu melihat banyak
penduduk yang menjadi korban keganasan tiga pendekar Wanara itu. Segera ia memacu kudanya ke arah
kobaran api, sementara kesepuluh anak buahnya
mengikuti dari belakang.
"Blaar...!" sebuah ledakan berbunyi. Penduduk lari pontang-panting. Tiga orang
pendekar Wanara
mengamuk dengan membabi-buta. Tiga orang itu adalah, dua lelaki dan satu perempuan berpakaian serba merah. Perempuan itu
mengenakan pinjung merah se-batas dada dan celana merah di bawah lutut. Ia menyarungkan pedang di punggungnya dengan rambut
panjang yang ditekuk sebagian ke atas, sedangkan
rambut sisanya terjuntai jatuh di pundaknya. Dua lelaki temannya, masing-masing mengenakan pakaian
hijau muda dengan celana merah dan berbadan kekar
semua. Agaknya ia adalah anak buah perempuan berpakaian serba merah itu.
Salah seorang prajurit bawaan Patih Danupaksi
menyuruh temannya melepaskan panah ke lawan yang
sedang menyeret seorang penduduk. Temannya mau
saja disuruh demikian. Ia menarik busur dan melepaskan anak panahnya. Tetapi dua lelaki berpakaian
hijau itu menangkap anak panah yang ditujukan pada
perempuan berpakaian merah. Anak panah segera dilemparkan. Gerakannya cepat. Anak panah itu melesat
dan menancap di dada pemanahnya. Maka, jatuhlah
pemanah itu dengan dada berdarah dihunjam panahnya sendiri. Prajurit yang lain hendak menyerang, namun Ki
Patih Danupaksi merentangkan tangan, menahan gerakan mereka. Ki Patih masih bertengger di punggung
kuda dengan kesembilan prajurit lainnya. Mereka
membentuk satu barisan pengepungan terhadap ketiga
pendekar Wanara.
"Siapa kalian, ada apa kalian mengamuk di wilayah kami, hah"!" Ki Patih memberanikan diri meng-hardik mereka.
Perempuan berparas mungil dan berhidung
mancung itu berjalan mendekati Ki Patih dengan berani, lalu ia berhenti di depan kuda Ki Patih dengan ber-tolak pinggang.
"Di mana orang yang memiliki Pedang Urat Petir?" "Kau siapa?" Ki Patih ganti bertanya.
"Aku Puspasari, murid Ki Destak yang menggantikan kedudukan Ki Destak sebagai penguasa gunung Buramang! Dan... itu kedua muridku, pendekar
Wanara yang juga hendak menuntut atas kematian
Eyang gurunya: Ki Destak."
'Kami tidak punya hubungan dengan Ki Destak," kata Patih Danupaksi.
"Jangan membuang tanggung jawab! Ki Destak
tewas akibat kekuatan Pedang Urat Petir! Mana pemiliknya sekarang" Kami akan menuntut balas atas kematian guru kami."
"Carilah di tempat lain. Mungkin bukan di sini."
"Bohong! Ki Destak dapat merasakan kekuatan
Pedang Urat Petir yang menjalar ketubuhnya dan
membuatnya mati. Ki Destak tahu, kekuatan yang licik itu ada di Kesultanan ini.
Dan aku datang untuk menuntut balas kepada pemilik Pedang Urat Petir...! Kau kah
pemiliknya"!"
"Bukan."
"Jadi siapa"! Kalian tak ada yang memberitahu
kami, maka Kesultanan ini akan kujadikan karang abang! Kubakar habis sampai ke istana Kesultanan!"
Puspasari bicara dengan lantang dan berani. Wajah
mungilnya yang ayu itu kelihatan judes dalam keadaan seperti ini.
"Kau tidak akan mampu berbuat begitu, perempuan konyol!" gertak Ki Patih.
"Kalau begitu, kau perlu bukti, orang tolol.
Hiaat...!"
Puspasari menjejakkan kakinya ke tanah dalam
satu hentakan, dan tubuh ramping itu melayang bagai
burung terbang. Loncatannya begitu tinggi sehingga ia berada di atas kepala Ki
Patih yang masih duduk di
punggung kuda. Tangannya yang kanan meraih gagang pedang di punggung lalu menebas kedepan dalam
sekali cabut. "Weess...!!"
Hampir saja kepala Ki Patih terbelah menjadi
dua bagian. Untung Ki Patih segera menjatuhkan diri
dari punggung kuda sehingga ia pun lolos dari sabetan pedang lawan.
Sementara itu, dua pemuda berbadan kekar
yang konon menjadi murid Puspasari, dikepung oleh
sembilan prajurit. Mereka berdua mencabut senjata
mereka berupa kampak bermata tiga. Selain di kanan
kiri gagang panjangnya terdapat mata kampak yang tajam, juga di bagian ujung gagang itu pun terdapat ma-ta kampak yang sama tajam
dengan yang lain. Mereka
mengibaskan senjata mereka dalam gerak jurus yang
sama. Bersalto dan menebas lawan, kemudian bersalto
lagi dan menebas lagi. Sementara itu para prajurit Kesultanan segera menghindar
dan menunggu kesempatan baik untuk mengadakan serangan balasan.
"Modar kau...!!" seru Puspasari dengan berangnya ketika Ki Patih berhasil
menendang punggungnya,
lalu Puspasari berbalik arah dan pedangnya berkelebat menebas kaki Patih
Danupaksi. Untung patih Danupaksi segera bersalto ke belakang, sehingga tebasan pedang itu tidak mengenai
sasaran. Namun agaknya Puspasari sendiri segera meluncurkan pukulan tenaga dalam melalui jari telunjuk tangan kirinya. Ia
menudingkan jari telunjuk ke arah Patih Danupaksi. Maka, dari telunjuk yang
berbentuk indah itu keluarlah semacam kilatan cahaya petir berwarna hijau muda. Patih
Danupaksi menghindar dengan berguling ke tanah bagian kirinya. Sinar hijau itu melesat mengenai sebuah
pohon. Dan pohon itu pun
mengeluarkan dentuman seketika. Puspasari kecewa,
pukulan jari saktinya tidak mengenai sasaran, sebab
itu ia segera melancarkan tendangan kaki kanan dan
mengibaskan pedangnya ke samping. Ki Patih segera
berguling lagi.
Keris pusaka dicabut, dan Ki Patih siap berdiri
dengan tubuh merunduk, menunggu serangan Puspasari. Tetapi agaknya Puspasari tidak mau bermain terlalu lama, ia melancarkan
jurus Jemari Saktinya. Telunjuk yang indah itu menuding, dan berkas sinar hijau muda melesat dari ujung jemari indah itu. Patih Danupaksi mencoba menahannya
memakai keris pusaka. Sinar hijau muda yang terpancar seperti lidi itu
menghantam ujung keris. Ia bagai mendesak kuat agar
keris yang membentangi jalannya menjadi hancur. Tetapi patih Danupaksi bertahan dengan memegangi gagang keris yang berdiri memakai kedua tangan.
Tangan Ki Patih gemetar karena desakan sinar
itu begitu kuatnya. Kedua kaki Patih Danupaksi semakin merendah agar tidak terdorong oleh kekuatan sinar hijau muda. Keris yang
dipeganginya sempat meleng-kung sedikit, dan hal itu sangat menegangkan. Patih
Danupaksi menahan nafas dari tadi dengan peluh
membanjir di sekujur tubuh.
Akhirnya, karena merasa akan gagal membendung kekuatan dorong dari sinar hijau muda itu, maka Ki Patih segera melesat ke
samping dan membiarkan
sinar itu melesat ke arah belakangnya. Sinar hijau
muda menghantam sebuah rumah penduduk yang telah ditinggal kabur oleh penghuninya. Dan sudah dapat dibayangkan, bahwa rumah tersebut pun meledak,
lalu kobaran api membakar rumah tersebut dengan
kobaran api yang cukup besar.
"Uuaaahhh...!!"
Seorang prajurit berteriak dan berguling-guling.
Karena ketika ia melawan pemuda berbaju hijau, tibatiba pemuda itu menghembuskan nafas dari mulutnya
ke arah prajurit tersebut. Dari mulut itu keluar asap berwarna biru kehitamhitaman, begitu asap menyentuh tubuh, langsung berubah menjadi api yang membakarnya. Kontan saja prajurit itu berguling-guling
sambil berteriak kepanasan. Namun setiap ada yang
hendak menolongnya memadamkan api, pemuda berbaju hijau selalu berhasil menggagalkan dengan jurus tendangan yang membuat
lawannya terpental. Sampai
akhirnya prajurit yang terbakar itu tak tertolong lagi.
Tubuhnya menjadi hitam. Api tak bisa padam, sampai
prajurit itu menghembuskan nafas terakhir, api masih membungkusnya dengan keji.
Ki Patih menyesal tak dapat menolong prajurit
itu. Ia telah kehilangan dua anak buahnya. Tetapi ia sendiri memaklumi, karena
serangan dari Puspasari
begitu gencar, sampai-sampai ia terdesak ke suatu
rimbunan bambu. Puspasari memainkan jurus pedangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Gerakan
kakinya tak terlihat kalau sebenarnya ia melangkah
maju setapak demi setapak.
Patih Danupaksi mulai merasa kewalahan. Ia
sempat merendahkan kepala ketika pedang Puspasari
membabat lehernya. Begitu kepala merendah, Ki Patih
langsung berguling ke arah yang aman. Pedang Puspasari menebas empat batang bambu sekaligus.
Kraaak....'! Keempat batang pohon bambu itu tidak tumbang, sehingga patih Danupaksi sedikit lega, karena
ternyata pedang Puspasari tidak begitu tajam. Patih
segera bergegas bangkit dan menyerang punggung
Puspasari. Dengan sigap Puspasari mengibaskan pedangnya ke belakang dalam satu gerakan putar. Hampir saja tangan Ki Patih menjadi sasaran pedang itu.
Untung kaki Patih Danupaksi menjejak punggung
Puspasari dalam satu lompatan bersalto. Puspasari
terpental akibat tendangan itu. Ia berguling-guling di tanah, sehingga jarak
mereka menjadi cukup jauh.
Tetapi, tiba-tiba Patih Danupaksi harus melompat ke tempat lain, karena keempat pohon bambu yang
tadi ditebas oleh pedang Puspasari, baru sekarang kelihatan akan rubuh. Dan,
memang benar. Keempat pohon bambu yang tampaknya tadi masih tegar berdiri,
ternyata sekarang rubuh bersamaan dengan hasil potong yang sungguh rapi. Itulah
hasil tebasan pedang Puspasari.
Mata Patih Danupaksi menjadi membelalak melihat hal itu. Kini ia tahu, bahwa pedang Puspasari bukan pedang yang tumpul,
melainkan mempunyai ketajaman yang sangat mengagumkan. Ini pertanda Patih
Danupaksi harus lebih hati-hati lagi dengan kibasan
pedang lawannya.
Karena itu, ketika Puspasari menyerangnya lagi
dengan cara mengayunkan pedang ke arah pundak kiri
Ki Patih, ayunan itu lebih baik dihindari dengan cara melompat rendah ke samping
kanan Puspasari. Lalu,
ada kesempatan yang kelihatannya cukup baik, dan
keris Ki Patih dicoba bergerak ke samping dalam satu kelebatan jurus merobek
lambung. "Aauh...!!" terpekik Puspasari ketika itu, karena keris Ki Patih berhasil
mengenai lambungnya. "Uuh...!"
Puspasari meringis kesakitan sambil menekap perutnya yang terluka dengan tangan kiri. Sementara itu,
tangan kanannya masih memegangi pedang yang siap
diayunkan ke dada Ki Patih Danupaksi. Melihat gerakan pedang sedemikian cepat, Ki Patih melompat dan
bersalto ke bagian atas Puspasari. Puspasari sendiri sempat terkecoh. Ia
mendongak karena hendak menggerakkan pedangnya ke atas. Namun belum sempat
Puspasari melancarkan tebasan pedang itu, tiba-tiba ia terpekik tertahan karena
keris Ki Patih berhasil me-nembus lehernya bagian tepi, kemudian keris itu
ditarik dalam satu hentakan, dan leher itu pun putus karenanya. Puspasari mendelik, meraba lehernya yang robek dalam keadaan mengerikan. Ia ingin berteriak,
namun tak kuasa. Akhirnya ia jatuh terlutut dengan
mata masih mendelik. Pedang dilepaskan. Tangan yang
memegangi pedang itu menuding Ki Patih. Kontan Ki
Patih mengerti apa yang akan terjadi. Ia segera melompat ke arah lain dengan
cepat dan sengaja membingungkan, sebab ia mengira telunjuk Puspasari itu
akan melancarkan serangan sinar biru muda yang
bening. Ternyata tidak demikian keadaannya, karena
Puspasari sudah terlanjur roboh ke depan dengan nafas tinggal beberapa detik saja. Tubuh itu roboh seperti karung basah, untuk
kemudian tidak bergerak lagi.
Tubuh yang berkulit kuning langsat itu menjadi
pucat pasi dan kian membiru. Racun di keris Patih
mulai bekerja membekukan darah dan menyumbat
pernafasannya. Kemudian, Puspasari pun mengejang
kaku tanpa nafas. Patih sempat memeriksanya sejenak. Oh, dia memang sudah mati tanpa malu-malu lagi.

Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada waktu itu, dua prajurit terlempar dalam
ketinggian yang membahayakan karena tendangan
murid Puspasari. Kedua kaki pemuda berbaju hijau
yang mengenakan akar bahar di lengan kanannya itu
menendang dengan satu lompatan. Kedua kakinya
menghentak ke samping dengan keras, mengenai dagu
dan ketiak dua prajurit. Pada saat itulah, kedua prajurit itu melayang ke atas
dan jatuh dalam keadaan kepala membentur tonggak potongan bambu. Satu prajurit mati seketika tapi, yang satunya hanya terluka parah. "Cepat tinggalkan
tempat ini! Puspasari telah mati!" teriak Ki Patih yang sempat di dengar oleh
kedua lelaki berbaju hijau.
"Guru..."!" teriak salah seorang murid Puspasari. Ia segera menghambur ke mayat
gurunya. Lalu, lelaki berpakaian hijau yang satu juga berlari dengan tegang menemui mayat
gurunya. Semua prajurit dipe-rintahkan berhenti menyerang. Lalu, dengan gerakan
isyarat Patih Danupaksi menyuruh anak buahnya
yang tinggal tujuh orang itu untuk kembali naik ke
punggung kuda. Dari atas punggung kuda, Ki Patih bicara dengan sikap tegas dan berani. Ia sempat menuding keti-ka berkata:
"Ingat... kalau kalian masih sayang nyawa, jangan membikin onar di Kesultanan kami! Kuhabisi
nyawa kalian berdua, tahu"!"
"Akan kubalas kematian ini di kemudian hari,
Bangsat!" geram salah satu murid Puspasari Seorang prajurit hendak turun dari
kuda untuk menghajar
orang tersebut. Tapi tangan Ki Patih direntangkan, pertanda ucapan murid
Puspasari tidak perlu dilayani.
Lalu, tangan Ki Patih melambai ke depan pertanda semua pasukan harus maju, pergi meninggalkan lawanlawan mereka. Prajurit yang mati pun diangkut di atas punggung kuda mereka.
Hati Patih Danupaksi menjadi lega. Dadanya
membusung. Duduknya tegak. Laju kaki kuda begitu
tenang, melambangkan suatu langkah kaki kuda dalam kemenangan di medan laga. Demikian juga ketika
menghadap Sultan, dada Ki Patih belum bisa mengempis. Ia masih diliputi kebanggaan, karena mampu
membunuh orang kuat dari gunung Buramang.
"Sebenarnya, mereka itu tidak ada apa-apanya," ujar Ki Patih Danupaksi kepada Kanjeng dalam pertemuan itu. "Memang benar
apa kata Kanjeng,
bahwa untuk menangani mereka, tidak perlu harus
mengajukan Suro Bodong. Dia adalah senjata pamungkas kita. Terbukti, bahwa Puspasari yang, yang
menjabat sebagai wakil Ki Destak dalam Pesanggrahan
Wanara Teja, dengan sekali gebrak sudah berhasil meninggalkan dunia ini tanpa pamit kepada siapa pun."
Ki Patih tertawa pelan melihat Sultan Jurujagad tersenyum girang.
Kebetulan di situ hadir Suro Bodong yang semula bermaksud mau bicara soal lain dengan Sultan
Jurujagad. Tapi demi mendengar ucapan Patih Danupaksi, Suro Bodong pun segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Selamat, Ki Patih,' kata Suro Bodong dengan
senyum tipisnya. "Mudah-mudahan Ki Patih, dan kita bersama, ada di pihak yang
menang...!"
"Apa kau belum yakin kalau kita berada di pihak yang menang?" ujar Ki Patih dengan dahi berkerut, sekalipun ia masih
berjabat tangan dengan Suro
Bodong. "Puspasari sudah berhasil kubunuh. Lawan sudah mati, dan...."
Suro segera menyahut dengan senyum tipisnya,
"Kematian seorang lawan bukan berarti kemenangan bagi kita."
"Maksudmu"!"
Bukan hanya Ki Patih saja yang berkerut dahi,
melainkan para pejabat istana lainnya, para prajurit pilihan, Eyang Panembahan,
Demang Sabrangdalu dan
Sultan sendiri juga merasa heran mendengar ucapan
itu. Suro Bodong segera berpaling memandang mereka
satu persatu. "Kematian Puspasari bisa merupakan bencana
yang lebih besar bagi kita! Dan mungkin itulah awal
kekalahan kita."
"Berarti Suro Bodong menghendaki kita kalah?"
tukas Demang Sabrangdalu.
"Itu pengertian dangkal, Ki Demang." Suro
mendekati Demang Sabrangdalu. "Kalau Puspasari
mati, mereka akan bersemangat membalas kematian
itu. Kita belum tahu, seberapa kekuatan lawan, tetapi yang jelas, pasti akan ada
balasan yang menggunakan
kekuatan lebih dari yang sudah. Tetapi kalau Puspasa-ri bertekuk lutut, hidup
dalam kekalahan yang diakuinya, maka ia akan menjadi abdi kita yang tak
akan berani berkutik lagi. Satu perintah dari dia untuk tunduk kepada kita, maka
yang lainnya pun akan ikut
tunduk kepada kita. Tetapi, kalau Puspasari mati, itu adalah perintah untuk
menyerbu kita! Paham"!"
Demang Sabrangdalu manggut-manggut, yang
lainnya termenung meresapi kata-kata Suro Bodong.
Patih Danupaksi kelihatan gelisah. Menahan sesuatu
yang meresahkan jiwanya. Suro menangkap gelagat
tersebut, lalu berkata kepada Patih Danupaksi yang
kebetulan memiliki nama mirip dengan orang Kepatihan Benteng Cadas:
"Aku tidak mengecilkan perjuanganmu, Ki Patih. Aku hanya menggugah kewaspadaanmu, juga kewaspadaan kita bersama."
Kata-kata Suro Bodong sempat menjadi bahan
renungan mereka. Sultan Jurujagad mengadakan bincang-bincang dengan Eyang Panembahan sehubungan
dengan kematian Puspasari. Eyang Panembahan berkata lirih, "Suro tahu apa yang harus dilakukannya.
Suro bukan manusia biasa. Ia anak penguasa gunung
Krakatau. Ia tahu bagaimana sifat orang-orang gunung. Ia mempunyai naluri yang sama dengan muridmurid Ki Destak. Karena itu, sebenarnya ia menyimpan kekhawatiran demi mendengar terbunuhnya Puspasari. Sebab ia sudah membuktikan bahwa nalurinya
benar, yaitu tentang kematian Ki Destak. Ia sudah
memperhitungkan, bahwa akan ada utusan yang datang ke mari untuk menuntut balas atas kematian Ki
Destak. Ia sendiri sebenarnya sudah siap, tapi selagi kita bisa mengatasinya
sendiri, memang kita tak perlu menggunakan dia. Anggap saja sebagai langkah irit
tenaga tempur."
"Kalau begitu ia tahu bahwa penguasa gunung
Manduro, yaitu Resi Buntoro, juga akan datang ke mari. Sebab ia tentunya juga sadar, bahwa Resi Buntoro pun mati akibat pukulan
saktinya dikembalikan oleh
kekuatan Pedang Urat Petir, dan mati karenanya."
"Benar. Tetapi, agaknya Suro tahu, bahwa Resi
Buntoro hidup sendirian di sana, sehingga tak ada pihak lain yang merasa
dirugikan atau merasa kehilangan Resi Buntoro. Karenanya, Suro tidak begitu menghiraukan hal itu."
Sultan mulai menanggapi perkataan Suro Bodong dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia bicara kepada Patih maupun kepala keprajuritan, tentang bagaimana mengatasi pertahanan supaya tidak terjadi
kelemahan. Sementara itu, Nyi Mas Sendang Wangi
sendiri juga sering mengingatkan kepada suaminya
tentang ucapan-ucapan Suro itu yang membuat suasana Kesultanan menjadi mulling.
"Seharusnya kau tidak bicara begitu, Kang
Mas. Kau tahu sendiri, bukan... bahwa ayahku gampang resah bila mendengar rakyatnya dalam ancaman
bahaya. Seharusnya kau bicara begitu hanya kepada
Ki Patih atau Ki Demang Sabrangdalu. Bukan di depan
pertemuan para punggawa negeri."
"Lebih baik bicara di depan umum daripada bicara dengan sembunyi-sembunyi," kata Suro seraya merebahkan badan.
Suro Bodong sudah tidak sempat banyak bicara
lagi, karena Nyi Mas Sendang Wangi telah sibuk membelit-belit bagai ular piton melahap mangsanya. Dan
hal inilah salah satu keistimewaan yang ada pada Nyi Mas Sendang Wangi. Selain
cantik, mulus, juga mempunyai ketrampilan khusus di atas ranjang. Sebab,
adakalanya Nyi Mas sendiri yang membersihkan ranjang, mengganti seprei kasur atau melolosi sarung
bantal untuk ditukar dengan sarung bantal yang baru.
Itulah ketrampilan Nyi Mas Sendang Wangi, di samping ketrampilan itu juga ada lagi ketrampilan yang
sukar diceritakan oleh siapapun dan kepada siapa
pun. Hanya Suro Bodong yang bisa mengerti, ketrampilan macam apa yang menjadi kebanggaan Suro dalam menjadi suami Nyi Mas Sendang Wangi.
Sekali pun Nyi Mas menjabat sebagai istri, tetapi ia mempunyai naluri yang cukup kuat. Seringkali
Suro harus mengakui kepekaan naluri istrinya dalam
beberapa hal. Misalnya pada malam itu, Nyi Mas Sendang Wangi sempat berbisik kepada suaminya:
"Perasaanku jadi tak enak. Sepertinya akan ada
masalah besar yang harus kau tangani, Kang Mas."
"Ah, kau sendiri barusan selesai menangani
masalah besar. Kau baru saja selesai menundukkan
masalah besar yang kini menjadi lemas."
"Kang Mas... aku tidak bercanda. Aku bersungguh-sungguh. Rasa-rasanya akan ada suatu perkara
yang melibatkan kamu sepenuhnya."
Kata-kata seperti itu pernah juga dilontarkan
Nyi Mas Sendang Wangi ketika Suro akhirnya berhadapan dengan Dewi Gading dan Raden Puger (dalam
kisah: RACUN MADU MAYAT). Sekarang, Nyi Mas Sendang Wangi berkata seperti itu lagi, sampai-sampai ha-ti Suro pun bertanyatanya: "Perkara apa lagi yang harus ditangani ya" Mungkinkah buntut dari
kematian Puspasari, murid unggulan Ki Destak yang telah mati
diserang oleh kekuatannya sendiri itu?"
Benar. Masalah kematian Puspasari berbuntut
panjang. Benar-benar berbuntut panjang, sebab sebuah desa yang masih masuk dalam wilayah Kesultanan Praja, sedang diserbu oleh monyet-monyet ganas.
Jumlahnya lebih dari 25 ekor monyet, yang masingmasing mempunyai sorot mata haus darah.
"Mereka datang pada malam hari. Siang hari
mereka meninggalkan mayat penduduk dalam keadaan
dicabik-cabik, Kanjeng." Tutur salah seorang penduduk yang tengah memberikan
laporan kepada Sultan
Praja. "Hanya malam harikah mereka muncul?"
"Benar, Kanjeng Sultan junjungan hamba. Mereka menggigit dan mencabik-cabik mangsanya secara
bersamaan, sehingga kadang-kadang kami kebingungan mengenali siapa korban tersebut."
Nyi Mas Sendang Wangi bergidik mendengar
penuturan tersebut. Sultan Jurujagad sendiri sempat
tertegun dalam membayangkan kengerian tersebut. Tetapi beberapa saat kemudian, Sultan bicara kepada
Demang Sabrangdalu:
"Ki Demang, atasi soal itu!"
Demang Sabrangdalu mengajukan usul, "Ini
soal monyet, Kanjeng. Masa' soal monyet diserahkan
kepada saya?"
"Bukankah itu lebih mudah daripada harus
melawan Puspasari, seperti Ki Patih Danupaksi?" jawab Sultan.
"Saya merasa tidak berarti," gumam Demang
dalam gerutu. "Saya jarang bertempur, tetapi sekarang saya harus bertempur
melawan monyet. Apa itu tidak
sama saja menggolongkan saya dengan monyet?"
Sultan Jurujagad tersenyum dingin. "Jadi sekarang ada bawahanku yang berani mengecam tugas
yang kuberikan kepadanya. Oh, bagus sekali itu!"
Demang Sabrangdalu mulai kebingungan. Ia
buru-buru berkata sambil memberi sembah, "Maaf, Kanjeng... saya tidak bermaksud
mengecam perintah,
tetapi hanya sekedar menyatakan diri sebagai orang
rendahan yang agak sungkan jika disuruh mengusir
monyet-monyet. Saya lebih senang jika harus berperang melawan prajurit pilihan mana saja daripada berperang melawan monyetmonyet...."
Suro Bodong muncul dari ruang tengah, langsung angkat bicara bagai tidak mengenal tata krama.
"Itu pun Ki Demang belum tentu sanggup.
Mengusir monyet tidak sama dengan mengusir prajurit
satu pasukan. Salah-salah Ki Demang sendiri yang
akan menjadi mangsa para monyet."
3 Keadaan korban serangan monyet-monyet itu
sangat menyedihkan. Wajah dan tubuh korban menjadi tercabik-cabik tanpa bentuk. Dalam satu malam, bi-sa terjadi 5 sampai 10
korban. Pada umumnya, monyet-monyet itu menyerang orang dewasa, khususnya
lelaki yang bertubuh sehat, kekar dan berpotongan seperti seorang pendekar.
Kerusakan lainnya, tidak begi-tu mengerikan; hanya perusakan rumah-rumah dan
hewan ternak para penduduk. Sedangkan korban
anak-anak, sama sekali tidak ada. Tetapi korban perempuan, memang ada, hanya saja tidak begitu banyak. Sepanjang awal serbuan monyet-monyet selama
dua hari ini, hanya ada dua korban perempuan yang
rusak berat pada anggota tubuhnya di bagian kaki
sampai ke pangkal paha.
Demang Sabrangdalu merinding ketika menyaksikan keadaan para korban yang belum sempat
dimakamkan. Ia diizinkan membawa 25 prajurit dalam
usaha mengusir monyet-monyet tersebut. Tetapi Demang Sabrangdalu hanya membawa lima anak buah.
Baginya itu sudah terlalu banyak, karena tugasnya
hanya mengusir monyet-monyet.
"Siapkan beberapa obor. Boleh lebih dari 10 obor besar, sebab biasanya monyet-monyet takut dengan
api," ujar Demang Sabrangdalu kepada kelima prajurit pilihannya. Ia juga
memberikan perintah yang sama
kepada penduduk desa yang sudah dua malam menja

Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di korban serangan para monyet.
"Siapkan obor, dan segera nyalakan sewaktu
monyet-monyet itu datang. Setiap satu orang bisa memegangi dua obor. Desak para monyet itu ke arah yang sudah kutunjukkan, yaitu ke
tepian hutan, dan mereka akan lari masuk hutan kembali."
Demang Sabrangdalu bertubuh pendek. Badannya tidak begitu gemuk, tapi karena tubuhnya
yang pendek itulah membuat ia kelihatan gemuk. Di
pinggangnya selalu menyelipkan keris tanpa luk. Ujud kerisnya tidak berkelokkelok seperti milik Ki Patih Danupaksi. Tetapi, keampuhannya, konon bisa membuat
batu kali terbelah menjadi dua bagian dalam keadaan rapi, seperti agar-agar
terpotong silet. Keris itu bernama Pusaka Sanca Welang, yang dibawanya apabila
Demang sedang mengemban tugas penting bagi
negara. Jika tidak sedang bertugas, keris itu jarang diselipkan di pinggang
kirinya. Malam menjadi gulita, dan beberapa orang siap
menunggu kedatangan rombongan monyet. Bukan
hanya Demang dan kelima anak buahnya saja, melainkan beberapa penduduk desa pun ikut serta dalam
gerakan mengusir monyet-monyet ganas.
Angin malam bertiup sedang-sedang saja. Derik
jangkrik memecah kesunyian malam Demang Sabrangdalu masih duduk di serambi rumah Lurah desa
tersebut bersama beberapa orang tua yang menjadi sesepuh desa itu. Sementara beberapa prajuritnya, dan
para penduduk sebagian, mengelilingi desa sambil
mengadakan patroli dengan teliti. Sampai tengah malam, keadaannya tenang-tenang saja. Tetapi pada saat selesai terdengar bunyi
kentongan tanda lewat tengah malam, ketegangan mulai terjadi di sekitar desa
tersebut. Ketegangan itu diawali oleh suara teriakan seorang lelaki dari sebelah
Barat. Jerit-jerit bersuara serak terdengar pula di sana. Maka, Demang pun memerintahkan anak buahnya segera menyerbu ke bagian
Barat desa. Obor-obor menyala. Penduduk dan prajurit Kesultanan bekerjasama
mengepung sebuah rumah.
Di rumah itulah mula pertama terdengar suara jeritan seorang lelaki. Tetapi,
rumah itu kelihatannya aman-aman saja. Tidak ada jeritan lagi dari dalam rumah.
"Jangan-jangan hanya orang mengigau kita
sangka yang bukan-bukan," bisik salah seorang penduduk kepada temannya. Waktu
itu, Demang sendiri
datang bersama Ki Lurah. Mereka juga siap membawa
obor di tangan. Tetapi beberapa anak buah Demang
memberitahu, bahwa asal teriakan dari rumah tersebut. Namun kenyataannya rumah itu dalam keadaan
aman-aman saja.
"Geledah rumah itu...!" perintah Demang. Salah seorang prajurit dengan seorang
penduduk terdekat
dengan rumah itu segera mengetuk pintu. Berkali-kali ketukan tidak juga
terdengar jawaban dari dalam. Prajurit itu berbisik,
"Berapa orang yang tinggal di dalam rumah ini"
Masa; satu pun tidak ada yang bangun mendengar ketukan kita?"
"Hanya Rusmin dengan istrinya. Mereka pengantin baru. Kurasa mereka lelap dalam pelukan kemesraan, sampai-sampai kuping mereka budeg, tidak
mendengar ketukan sekeras ini."
"Ssst...! Aku mencium bau amis..." prajurit itu mengendus-enduskan hidung.
Penduduk yang menjadi
tetangga Rusmin juga ikut mendengus-dengus.
"Kalau aku kok mencium bau langu... ah, seperti bau keringat kuda..." bisiknya.
"Jangan-jangan ada yang tak beres di dalam
rumah ini," kata prajurit itu. "Kita dobrak saja pin-tunya...!"
Mereka sengaja mendobrak pintu dengan tendangan keras yang mengagetkan. Begitu pintu didobrak, terlepaslah daun pintu itu dari engselnya.
Maka, kedua mata orang itu terbelalak bersamaan. Obor yang dipegang di tangan terjatuh seketika.
Ia tak sempat berteriak satu kali pun.
Ternyata di balik pintu itu, sudah menunggu
puluhan monyet berbulu kelabu dengan mulut terbungkam semua. Begitu pintu didobrak, mereka segera
menjerit serak dan menerjang kedua orang tersebut.
Lompatan mereka tepat mengenai dada, menggoreskan
kuku di dada itu, kemudian gigi para monyet itu merobek leher mereka yang
disusul dengan gigitan dari monyet-monyet lainnya di beberapa tempat, di bagian
tubuh kedua orang itu.
"Monyet-monyet itu ada di dalam...!!" teriak Demang Sabrangdalu kepada orangorang yang mengepung di bagian samping dan belakang rumah. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, monyetmonyet sebesar bocah usia 7 tahun itu telah melesat, melompat ke luar dari pintu
atau-pun jendela rumah
yang dirusakkan oleh kekuatan tangan mereka. Bahkan ada beberapa ekor monyet yang keluar lewat atap
yang telah dijebolkan. Lalu mereka pun segera meloncat, melayang dan menerkam beberapa orang tanpa
perduli orang itu membawa obor atau tidak.
"Selamatkan pemilik rumah itu! Selamatkan
dia...!" teriak Ki Lurah kepada para penduduk. Ki Lurah belum tahu kalau Rusmin
dan istrinya telah tewas dalam keadaan tubuh mereka habis digerogoti monyetmonyet haus darah itu. Keadaan yang jelas menjadi
panik, terutama setelah mereka tahu bahwa monyetmonyet itu tidak takut dengan nyala api obor. Bahkan Demang Sabrangdalu sendiri
telah menggunakan kerisnya untuk membunuh beberapa monyet. Namun ketika ia mengacung-acungkan obornya ke wajah seekor
monyet, binatang itu tidak punya rasa takut terbakar sama sekali. Bahkan obor
tersebut sempat disampok
cepat oleh tangan monyet. Untung Demang Sabrangdalu memegangi obor dengan kuat sehingga obor itu tak
sempat jatuh. "Bakar mereka...! Bakar dan bunuh semua...!"
teriak Demang sambil menghindari loncatan seekor
monyet yang hendak menerkamnya. Kaki kanan Demang Sabrangdalu berhasil dikibaskan ke belakang
dan mengenai kepala monyet itu. Kemudian, monyet
tersebut berteriak kesakitan dengan suaranya yang serak dan brisik itu. Keris
Demang Sabrangdalu diayunkan untuk menghabisi nyawa monyet itu. Sayangnya,
monyet itu dapat berkelit menghindari keris, lalu melompat ke salah satu dahan
pohon yang rendah, kakinya segera menendang kening kepala Demang Sabrangdalu. Oh... kukunya sempat merobek kening
Demang sampai berdarah. Berulangkali Demang mengayunkan keris, sama dengan berulangkali mereka
mengayunkan senjata yang mereka pegang, tapi tak
satu pun dari monyet itu yang terkena senjata manusia. Umumnya mereka pandai berkelit, lincah bergerak, gesit mengelak setiap serangan. Jumlahnya yang
cukup banyak itu sempat membuat Ki Lurah sendiri
kebingungan, dan di luar dugaan punggungnya menjadi berat dan perih, karena seekor monyet berhasil
melompat ke punggung, lalu menggigit tengkuk kepala
Ki Lurah. Rupanya monyet-monyet itu tidak memperdulikan kedudukan mangsanya yang sebagai Lurah,
yang jelas begitu ia berhasil nomplok di punggung, ia segera menggigit dengan
sadis, merobek bagian tubuh
Ki Lurah lainnya sekali pun Ki Lurah sudah bergulingguling sambil menjerit. Terkaman para monyet itu cukup kuat, sehingga dalam beberapa waktu saja sudah
ada tujuh orang yang mati dirobek-robek oleh monyetmonyet tersebut.
"Lari...! Ayo, lekas lariii...!!" teriak beberapa orang penduduk yang menjadi
sangat ketakutan melihat Lurah mereka menjadi santapan yang amat mengerikan. Sementara para penduduk lari semua tanpa
memperdulikan obor mereka, Demang Sabrangdalu
masih sibuk menghadapi beberapa monyet yang hendak menerkamnya berulangkali. Demang mencoba bertahan dengan mengibaskan keris ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke mana saja asal
monyet-monyet itu menjauh. "Gawat...! Anak buahku tidak ada yang hidup satu
pun"!" geram Demang Sabrangdalu di dalam hati.
Ia semakin panik dan kebingungan. Tangan kirinya
masih memegangi obor dengan nyala api yang besar,
sedangkan tangan kanannya masih memegangi keris
Sanca Welang yang bagai tidak mempunyai kesaktian
apa-apa. "Mampus kau! Mati kau...! Hiaaat...!! Demang
Sabrangdalu terpaksa melompat sana-sini dengan
menggunakan jurus tendangannya. Banyak monyet
yang tertendang dan mental di beberapa jauh.
Tetapi, kali ini betis dan kakinya sempat berlumuran darah karena cakar monyet merobeknya dengan gerakan cepat. Ketika ada salah seekor monyet
yang melompat hendak menerkamnya, Demang segera
merendah. Ia menghunjamkan kerisnya ke atas, tetapi
perut monyet itu tak terjangkau oleh ujung keris. Monyet itu melompat dalam
posisi kepala di bawah kaki
di atas, dan tangan menampar wajah Demang hingga
Demang sendiri menjerit kesakitan. Pipinya berdarah
karena luka dalam akibat goresan kuku monyet. Kaki
Demang segera melompat-lompat menghindari raihan
tangan monyet lainnya. Sesekali kaki itu menendang
dan membuat monyet yang terpental menjerit-jerit bagai mengeluarkan sumpah serapah tak karuan.
Tetapi beberapa saat kemudian, monyet-monyet
itu mundur beberapa langkah dengan gerakan siap
menyerbu dalam satu lingkaran. Demang berdiri di
tengah lingkaran barisan monyet berbulu coklat keabu-abuan. Monyet-monyet itu sudah memasang persiapan untuk melompat dalam satu kali sergapan bersama. Wajah-wajah monyet itu menampakkan kebengisannya dengan sesekali menyeringai ganas dan
menggeram-geram. Sementara itu, Demang Sabrangdalu sudah berlumuran darah dan banyak luka di tubuhnya yang cukup perih dan mengerikan.
Keris dan obor masih di tangan. Sekali pun sekujur tubuh Demang malah terasa sakit jika berhenti
bergerak, tapi dia mencoba bertahan dan berpikir heran: mengapa monyet-monyet itu berhenti dan membentuk lingkaran mengurungnya. Demang Sabrangdalu bergerak terus, tubuhnya memutar sendiri sebab
takut diterkam dari belakang. Nafasnya sudah tidak
seperti nafas manusia, melainkan seperti nafas anjing yang habis lari jauh.
Ngos-ngosan dengan tangan dan
kaki terasa jelas gemetarnya.
"Ayo, maju...!" geram Demang. "Lekas maju sa-tu persatu kalau kalian berani.
Kurobek tubuh kalian dengan keris ini. Kupecahkan kepala kalian dengan
keris pusakaku ini! Lekas, siapa yang mau maju..."!
Ayo, majuuu..."!!" Demang Sabrangdalu jengkel sendiri. Tetapi, monyet-monyet itu
hanya berdiri dalam posisi siap menerkam bersama. Jumlahnya lebih dari 25
ekor kera, terhitung dengan beberapa ekor kera yang
nangkring di pohon-pohon dan atas atap rumah.
"Kalau mereka semua maju, apa kau sanggup
menghadapinya?" tiba-tiba ada suara yang datang dari arah rumpun bambu.
Demang Sabrangdalu mengangkat obornya
agak tinggi untuk mempertegas penglihatannya. Ia terperanjat ketika matanya
menangkap sosok wajah perempuan berpakaian pinjung merah, lengkap dengan
celana merah dan pedang di punggung. Perempuan itu
cukup langsing, namun bukan kurus. Sikapnya dalam
berdiri cukup tegas dan mantap. Ia pantas menjadi
seorang prajurit perempuan yang gagah berani.
"Siapa kau" Apakah kau pimpinan monyetmonyet ini?" sapa Demang Sabrangdalu yang tinggal sendirian itu.
"Ya," jawab perempuan itu. "Namaku... Puspasari...!" Semakin terbelalak mata
Demang. Sementara gemetar lututnya. Bukankah Puspasri adalah orang
yang dibunuh Ki Patih Danupaksi beberapa hari yang
lalu" Dan... dan ciri-ciri yang disebutkan patih ada semua pada diri perempuan
yang mengaku sebagai
pimpinan monyet itu.
"Kau setan...!" geram Demang dalam ketakutannya, tapi ia tetap berada di tempat kendati kelihatan sekali gemetarnya kaki
dan tangannya. Puspasari
hanya tersenyum sinis dan semakin mendekat, masuk
dalam lingkaran barisan monyet.
"Aku hanya ingin mencari pembunuh guruku;
Ki Destak. Menurut kabar dan ucapan guru sebelum
wafat, hanya orang yang punya pusaka Pedang Urat
Petir yang bisa mengembalikan aji Sosrogeni milik
guru. Dan... orang yang memiliki pedang Pusaka Urat
Petir itu ada di daerah ini. Siapa dia dan di mana dia"
Katakan, lalu serahkan dia kepadaku! Jika tidak, aku akan membuat kacau penduduk
di wilayah sini!"
"Kau pengecut...! Kau hanya berani melukai
penduduk yang tak bersalah...!" geram Demang masih dengan gemetar dan nafas
tersendat-sendat.
"Aku ingin memancing kemarahan siapa saja
untuk memuaskan hati. Aku ingin melihat keberanian
pemilik Pedang Urat Petir, yang kabarnya ia adalah
orang Kesultanan."
"Kenapa kau tidak datang ke istana Kesultanan
saja kalau memang kau tahu dia orang Kesultanan?"
"Aku tidak mau terjebak mati, sebelum aku
membunuh orang itu! Nah, kalau dia temanmu, sampaikan salam dari Puspasari. Tapi kalau dia bukan temanmu, carikan dia dan
serahkan kepadaku, maka
aku akan melindungi keluargamu sampai tujuh keturunan!" Demang Sabrangdalu sebenarnya ingin berkata lagi, tapi ia sudah
terlanjur terpukau oleh gerakan
Puspasari. Perempuan itu memejamkan mata dan
mengangkat tangan kanannya, seperti meremat sesuatu di depan wajahnya. Hal itu terjadi hanya beberapa detik saja, lalu monyetmonyet itu bergerak tanpa suara, pergi meninggalkan tempat yang dihuni banyak
mayat bergelimpangan dalam keadaan mengerikan.
Puspasari pun segera pergi searah dengan kepergian
monyet-monyet tersebut.
Demang sempat berteriak dalam kedongkolannya, "Puspasari, kau telah mati di tangan Patih Danupaksi...!"
"Jangan kira aku setan sebenarnya." Puspasari menyempatkan berpaling dengan
senyum sinisnya,
kemudian berkata lagi:


Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak akan mati semudah itu, tahu"! Dan
kau harus mengerti, bahwa aku tidak mungkin mati!
Tak ada orang yang mampu membunuhku! Nah, sampaikan berita ini kepada Sultanmu!"
"Tapi kau nyatanya takut mati! Kau tak berani
datang!" Puspasari jadi berhenti lagi, dan berkata: "Ada saat yang baik untuk datang ke
Playboy Dari Nanking 14 Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Golok Yanci Pedang Pelangi 1

Cari Blog Ini