Ceritasilat Novel Online

Rahasia Tombak Dewa 2

Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa Bagian 2


istana dan membantai
kalian!" Puspasari segera melesat bagai kelelawar melayang, masuk dikegelapan
dan tak terdengar lagi gerakannya. Sementara itu, Demang Sabrangdalu menggeram, menggerutu sendiri dengan kegemasan yang
sangat menjengkelkan hati. Ia tak dapat berbuat banyak, karena sekarang ia baru sadar kalau lutut kirinya terluka parah bekas gigitan monyet. Banyak luka akibat cabikan kuku
monyet, dan semuanya kini terasa perih sekali.
Lebih perih sekali adalah saat ia pulang ke istana Kesultanan seorang diri. Ia naik di punggung ku-da yang berjalan dengan
loyo. Angin pagi membuat luka di sekujur tubuhnya menjadi terasa sangat perih.
Ketika ia muncul dipintu gerbang, ia pun rubuh tersandar di punggung kuda. Pingsan!
Sudah tentu keadaan Demang membuat suasana di dalam Kesultanan menjadi heboh. Semua mulut bicara soal Demang dan luka-luka pertarungannya
dengan monyet-monyet dari gunung Buramang. Yang
lebih mengejutkan mereka lagi adalah berita tentang
kemunculan perempuan yang bernama Puspasari.
"Tidak mungkin...!" bantah Ki Patih Danupaksi.
"Aku melihat sendiri saat Puspasari meregang nyawa.
Aku juga yang memeriksa bahwa perempuan itu mati
dengan keadaan pucat pasi. Dan selama ini, memang
tak pernah ada orang yang bisa selamat jika sudah
tergores keris Pulung Kobraku itu!"
Semua jadi terbengong diliputi kebimbangan
yang membingungkan. Puspasari jelas sudah mati terkena senjata Ki Patih. Beberapa prajurit yang waktu
itu menyaksikan sendiri kematian Puspasari segera
menyatakan pendapat seperti yang diutarakan Patih
Danupaksi. Tetapi sekarang Demang Sabrangdalu bersumpah, bahwa monyet-monyet itu menurut kepada
perintah Puspasari. Bahkan Demang Sabrangdalu
meyakinkan tentang pertemuannya dengan Puspasari.
Segala apa yang dibicarakan oleh Puspasari, diucapkan ulang oleh Demang Sabrangdalu yang sedang
menunggu kesembuhan lukanya. Laporan yang meyakinkan itulah menjadi kebimbangan pikiran mereka.
Hanya Suro Bodong yang kelihatan tenang-tenang saja, mendengarkan kisah itu sambil makan jagung bakar. "Bagaimana menurutmu, Suro Bodong"!" tanya Eyang ketika itu dengan disaksikan
banyak punggawa
negeri. "Bagus...!" jawab Suro Bodong sepertinya tidak sambung dengan pertanyaan
dan pembicaraan mereka.
"Bagus bagaimana?"
"Bagus kalau memang Puspasari itu bisa hidup
lagi. Ini berarti teguran bagi kita agar kita tidak gega-bah merasa sebagai
pemenang. Kalau memang benar
Puspasari hidup lagi, tentu itu hal yang menarik untuk diselidiki kebenarannya."
' Aku akan menyelidikinya," tukas Danupaksi
dengan semangat. "Nanti malam aku akan datang ke desa yang diserang para monyet,
dan akan kutantang
Puspasari kalau benar dia masih hidup."
Sultan diam. Eyang Panembahan diam. Nyi Mas
Sendang Wangi yang selalu mendampingi ayahnya juga
diam. Tetapi diam mereka adalah diam berfikir mengambil langkah baik. Sultan sempat meminta pendapat
Suro Bodong, sebagai menantunya. Tetapi, Suro Bodong yang waktu itu disuruh hadir oleh istrinya hanya manggut-manggut seraya
mengunyah jagung bakar.
Ketika barang yang dikunyahnya itu ditelan, ia mendengar Sultan bertanya:
"Bagaimana, Suro" Patih Danupaksi ingin
membuktikan sendiri, dan ingin menantang Puspasari?" "Bagus," jawab Suro sepertinya seenaknya saja menjawab. "Itu berarti Ki Patih
masih punya nyali. Kalau menurutku, biarkan saja Ki Patih menuruti nyalinya, kita lihat saja, apakah dia bisa pulang dengan selamat atau dengan...
mayat!" "Jangan bicara pahit begitu, Suro," ujar Ki Patih yang kurang suka dengan
perkataan Suro Bodong
tadi. "Sebenarnya kaulah yang dicari Puspasari, dan aku sudah berusaha
melindungimu dengan tidak mengatakan di mana kamu berada."
"Kalau begitu, katakan saja kalau aku ada di
sini!" sahut Suro Bodong dengan senyum ringan yang menampakkan kesan sombongnya.
"Seharusnya kau yang pergi menemui Puspasari, sebab kau yang ditantangnya. Tapi jangan izinkan Puspasari membuat
keonaran di dalam benteng ini.
Tantanglah dia di lain tempat. Jika sampai Puspasari ke mari, bukan hanya kau
yang diincar, melainkan ke-selamatan Nyi Mas dan Kanjeng Sultan sendiri akan
jadi terancam."
"Kalau Ki Patih masih berani melawannya dan
ingin membuktikan kebenarannya, silahkan berangkat
lebih dulu!" kata Suro
Patih Danupaksi merasa semakin penasaran. Ia
ingin membuktikan kepada siapa saja, bahwa dia
mampu mengalahkan Puspasari dengan menggunakan
keris Pulung Kobranya. Maka, pada malam berikutnya,
berangkatlah dia dengan 25 prajurit, sesuai dengan
amanat Sultan ketika Patih Danupaksi mohon pamit
untuk menunaikan tugas:
"Semangatnya, cukup bagus, Ki Patih itu. Hanya sayang ia masih bisa dikuasai oleh nafas dan naf-sunya sendiri."
Sementara itu, Nyi Mas Send an g Wangi ke
luar dari kamar dan melihat Suro Bodong ada di taman samping bangsal keprajuritan. Di sana sepi, kare-na para prajurit sedang
mengadakan pertemuan dengan Sultan dan Eyang Panembahan. Mereka sedang
diberi beberapa pengarahan untuk menanggulangi kalau-kalau terjadi penyerbuan dari pihak lawan.
"Tidak ikut pengarahan prajurit, Kang Mas?"
tegur Sendang Wangi kepada Suro Bodong yang tengah
duduk melamun. "Apakah aku seorang prajurit?" tanya Suro
dengan tenang. Sendang Wangi menyunggingkan senyum manis. "Tapi kau seorang Senopati. Wajar rasanya kalau seorang Senopati ikut
memberikan pengarahan kepada
para prajurit."
"Aku tidak punya pengarahan, kecuali satu
arah!" "Satu arah?"
"Satu rencana yang sekarang juga harus segera
kulaksanakan, Nyi Mas. Ah... seharusnya kau sudah
pantas dipanggil: Nyai. Bukan Nyi Mas lagi."
Sendang Wangi menyandarkan kepalanya di
pundak Suro Bodong. Suro mengusap-usap pipi istrinya. "Aku belum mempersoalkan panggilan itu. Aku sedang memikirkan firasatku,
Kang Mas Suro."
"Hem... firasat apa lagi itu?"
"Sepertinya... kau memang harus segera bertindak demi ketentraman rakyat Kesultanan Praja,
Kang Mas."
Suro tertawa pendek penuh arti. Lalu katanya,
"Kalau begitu, kau setuju jika aku bergerak mulai sekarang?"
Sendang Wangi mengangguk. "Kalau rakyat tenang, tentram, maka ayah juga tenang dan damai," bisik Sendang Wangi.
"Kalau begitu, menjauhlah sebentar," kata Su-ro.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
"Aku harus menggunakan jurus Luing Ayan
Empat...."
"Luing Ayam Empat...?" Sendang Wangi tertawa pelan dan pendek. "Setiap aku
mendengar jurus-jurusmu selalu saja aku ingin tertawa."
"Jurus-jurusku memang pantas ditertawakan,
selagi bisa tertawa orang itu kuizinkan tertawa, tapi kalau ia sudah terkena
jurusku dan mati... berani
sumpah: dia tidak akan kuizinkan untuk tertawa!"
Semakin mengikik tawa Sendang Wangi mendengar banyolan Suro Bodong yang sederhana, tapi
menyenangkan hati Sendang Wangi. Saat itu, Suro
hendak menjauh dari istrinya.
"Kau akan merubah diri lagi, Kang Mas" Mau
jadi apa?"
"Coba terka...!" jawab Suro Bodong seraya melangkah. Sendang Wangi menggumam. Ia
berpikir: "Kalau jurus Luing Ayan Dua, aku belum tahu.
Juga jurus Luing Ayan Empat dan Enam. Tapi kalau
jurus Luing Ayan Tujuh, Kang Mas berubah ujud menjadi pendekar tampan yang bernama Panji Bagus.
Luing Ayan Tiga, menjadi bocah kecil, Luing Ayan satu, menjadi ujud Suro Bodong,
sedangkan Luing Ayan Li-ma, menjadi kakek tua bergelar Rekso Upo. Kalau...
kalau jurus Luing Ayan Empat" Jadi apa, ya?" Sendang Wangi berpikir-pikir.
Jurus Luing Ayan, adalah jurus kesaktian Suro
Bodong yang paling sering digunakan. Jurus itu mempunyai tujuh tingkatan, yang mampu merubah ujud
Suro Bodong menjadi tujuh rupa. Sadar tidak sadar,
sengaja atau pun tidak sengaja, setiap Suro Bodong
bersalto di udara, maka ia akan mendarat ke tanah
dengan ujud berubah. Perubahan ujudnya tergantung
dari berapa kali putaran ia bersalto di udara selama kakinya belum menyentuh
tanah. Tetapi kalau dia
hanya bersalto satu kali, yang dinamakan Luing Ayan1, maka ia akan menjadi sosok Suro Bodong yang sekarang: berbaju merah, bercelana biru, perut sedikit membuncit dan pusernya
kelihatan melotot.
Tetapi, malam itu, sebelum Sendang Wangi, istrinya, sempat menerka perubahan ujud yang akan dilakukan Suro Bodong, tahu-tahu Suro Bodong telah
melesat ke atas. Sebelum menyentuh tanah, ia bersalto empat kali di udara.
Itulah jurus Luing Ayan-4.
Dan ketika kakinya kembali menjejak tanah,
ternyata sendang Wangi membelalakkan mata dengan
pekik yang tertahan. Suro Bodong telah berujud beda, ia menjadi seekor monyet
berbulu ungu. Ungu kehitam-hitaman. Ujud itu membuat Sendang Wangi ketakutan dan menjadi berdebar-debar. Suaminya berujud
monyet ungu, berekor panjang dengan ukuran tinggi
badan seperti bocah umur 7 tahunan. Gerakannya,
sudah tentu gerakan seekor monyet yang suka garukgaruk ketiak atau tempat lainnya. Wajah dan senyumnya, jelas seperti monyet biasa yang tak kenal manusia. Hanya saja, monyet ungu itu mempunyai banyak
perbedaan dengan monyet-monyet lainnya. Ia mempunyai otak, yang dapat berpikir dengan cerdas. Dan bukan hanya mempunyai otak,
melainkan akal sehat pun
ia miliki. Bahkan ketika monyet ungu itu mendekati
Sendang Wangi, lalu Sendang Wangi mundur, ternyata
monyet itu bisa berbicara dengan bahasa manusia.
"Jangan takut... aku bukan monyet nakal, Nyai
Sendang Wangi. Aku Suro Bodong yang dalam kekuasaan jurus Luing Ayan Empat itu."
Sendang Wangi mulanya tak berani tertawa,
namun setelah ia mendengar monyet ungu itu berbicara dengan suara persis Suro Bodong, maka lama-lama
Sendang Wangi pun tersenyum geli melihat kenyataan
ini. Apalagi setelah Suro Bodong berkata:
"Kalau aku sedang jadi monyet begini, jangan
coba- coba memancing semangatku untuk naik ke ranjang, Nyai. Nanti kamu tidak bisa tidur...."
Jelas ini kelakar khas Suro Bodong. Sendang
Wangi mulai berani memegang dan mengusapusapnya. Lalu ia tertawa geli sendiri. Suro Bodong
yang berubah menjadi monyet ungu itu berkata, "Aku akan menyatu dengan monyetmonyet ganas itu. Aku
akan ikut sampai ke sarang mereka, sehingga aku tahu keadaan mereka sebenarnya. Tapi, lebih dulu aku
harus mendampingi Ki Patih secara diam-diam."
"Hati-hati, Kang Mas... jangan tergoda oleh monyet betina di hutan sana! Nanti kamu segan berubah
jadi manusia!"
4 Kalau ingat pesan Sendang Wangi, Suro Bodong ingin tertawa saja rasanya. Tetapi, rasa geli itu hilang seketika setelah
sampai di suatu tempat, Suro melihat banyak mayat prajurit kesultanan yang
bergelimpangan di beberapa tempat. Keadaan mayat tercabik-cabik dan bekas gigitan yang terkuak itu sangat
mengerikan. Sinar bulan purnama yang menyorot ke
bumi memperjelas bentuk mayat dan keadaan korban
tersebut. Suro Bodong meski dalam keadaan ujud seekor monyet, tapi otaknya masih otak manusia. Rasa
ngeri dan sedihnya masih ada.
"Pasti mereka korban keganasan monyet-monyet gunung Buramang...' kata Suro Bodong dalam hati. Tengah malam yang sunyi itu, ia meneliti dengan cermat, menghitung berapa mayat prajurit yang
ada di situ, dan berapa mayat penduduk yang menjadi
korban. Lalu, ke mana Patih Danupaksi" Mayatnya tak
ada. Kalau begitu Ki Patih masih hidup.
Kemudian monyet ungu itu bergerak ke arah
Selatan, karena di sana terlihat ada nyala api yang
membara dan berkobar. Pasti amukan monyet-monyet
itu sampai ke desa di sebelah selatan sana. Monyet
ungu bergerak dengan lincah dan cepat. Ia tak mau
melangkah seperti jalannya manusia. Ia memang biasanya merangkak atau berjalan dengan badan terbungkuk-bungkuk. Hanya saja, kali ini ia membutuhkan waktu yang singkat. Ia harus meloncat, dari dahan pohon yang satu ke pohon
yang lain. Siapa tahu ia belum terlambat mencegah amukan para monyet di desa
Selatan itu. Ternyata dugaan Suro Bodong dalam ujud monyet ungu itu mendekati kebenaran. Ada desa baru
yang penduduknya panik karena serbuan monyetmonyet berbulu abu-abu. Mereka mengejar penduduk,
khususnya setiap lelaki. Mereka seperti monyetmonyet kesurupan, yang menerkam mangsanya kemudian mengeroyoknya dengan gigitan dan cakar yang
mematikan.

Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suro Bodong tak mau bergerak untuk beberapa
saat. Ia mempelajari suasana di situ. Ia juga melihat Ki Patih Danupaksi sedang
kewalahan melawan tiga ekor
monyet ganas. Kerisnya bagai tak mempan untuk
membunuh monyet-monyet yang mengeroyoknya. Sementara itu, ada lima prajurit yang masih hidup dan
bertahan bertarung melawan binatang-binatang lincah
itu. Hampir-hampir setiap satu prajurit menghadapi
empat ekor monyet yang bernaluri membunuh semua.
Diperkirakan, ada 25 ekor monyet lebih yang sedang
menggila di desa tersebut.
"Satu-satunya jalan harus menguasai monyetmonyet itu," pikir Suro Bodong dalam ujud monyet un-gu.
Patih Danupaksi telah banyak lukanya. Pakaiannya sendiri menjadi compang-camping, tak beda
dengan seorang pengemis. Ia berulangkali mengibaskan keris pusakanya ke arah binatang-binatang
tersebut. Namun, monyet-monyet itu bagai mempunyai
ilmu silat yang amat lincah. Mereka mampu mengelak
dan menyerang dengan cakarnya. Danupaksi menjadi
terengah-engah.
Namun tiba-tiba gerakan monyet itu terhenti
dan menjauhi Patih Danupaksi. Juga monyet-monyet
yang menyerang kelima prajurit juga berhenti dan
menjauhi kelima prajurit Kesultanan itu. Mereka tidak menyerang, namun selalu
menghindar dan menjauh
jika hendak di serang oleh manusia.
"Aneh..." gumam Danupaksi sendirian. "Mengapa monyet-monyet itu berhenti
menyerangku" Mengapa mereka seakan justru menonton semua kebingunganku ini" Ah, gila...!"
Rupanya bukan hanya Ki Patih dan kelima prajurit yang merasa heran, namun ada satu orang lagi
yang benar-benar merasa heran dan gemas melihat
monyet-monyet itu tidak mau menyerang lawannya lagi. Orang itu bersembunyi di atas pohon yang gelap
dan rimbun. Melihat monyet-monyet itu tak mau menyerang, maka orang itu segera meluncur turun dari
atas pohon. Ternyata dialah Puspasari yang tersenyum penuh tantangan kepada
Patih Danupaksi.
"Bagus sekali kau bisa mengendalikan monyetmonyet itu," kata Puspasari yang mengira Danupaksi yang berhasil menguasai
monyet-monyet itu hingga
mereka tak mau menyerang.
Sedangkan, Patih Danupaksi sendiri sebenarnya merasa heran, pertama melihat monyet-monyet itu
bagai takut bergerak apa pun, kedua Patih heran atas kemunculan Puspasari.
Padahal beberapa hari yang la-lu, Ki Patih yakin betul bahwa Puspasari telah
berhasil dibunuh dengan keris pusakanya. Ia sendiri yang merobek lambung dan
leher perempuan berwajah mungil
dengan bola mata bundar indah itu. Tapi, mengapa sekarang Puspasari sudah bisa berdiri di depannya" Ini yang sangat mengherankan
Danupaksi. Ia sempat
memperhatikan telapak kaki Puspasari, ternyata menempel pada tanah. Ini menandakan bahwa Puspasari
bukan hantu. Bukan roh halus, melainkan manusia
biasa yang siap bertarung melawan Danupaksi. Kelima
prajurit yang sebenarnya bisa menyerangnya dari belakang itu tidak dihiraukan. Karena bagi Puspasari,
menundukkan kelima prajurit itu lebih cepat dan lebih mudah ketimbang
menundukkan Danupaksi.
Danupaksi sendiri tidak tahu, apa sebab monyet-monyet itu berhenti menyerang, bahkan kini
mengelompok menjadi satu, sepertinya sedang merapatkan rencana kerja mereka. Memang, semua tidak
tahu kalau di antara monyet-monyet yang kini menggerombol itu terdapat pula monyet berbulu ungu kehitam-hitaman. Itulah Suro Bodong. Dalam ujud seperti
monyet itu, Suro Bodong dapat berbicara dengan bahasa monyet dan menguasai alam pikiran monyetmonyet itu. Maka, dengan mudah Suro Bodong sebagai
monyet ungu bisa memerintahkan kepada 'koncokonconya' untuk diam, jangan menyerang siapa pun.
"Kau boleh berhasil menguasai jiwa monyetmonyet itu, tapi ingat, aku bukan monyet," kata Puspasari. "Aku manusia yang
masih ingin menebus keka-lahanku tempo hari."
"Kau memang harus dihancurkan menjadi daging cincang. Lalu direbus dan ditanam di dasar lautan!" Patih Danupaksi benar-benar gemas melihat Puspasari masih hidup. Ia merasa
terkecoh karenanya.
"Lakukanlah sebelum hal itu kulakukan terhadap dirimu, Jahanam...!!" Puspasari melompat dalam jurus tendangan lurus ke
depan. "Hiaaat...!!"
Patih Danupaksi menangkis dengan gerakan
lengan kirinya yang mengibas ke kanan, dan ia segera berputar kekiri dengan kaki
menendang balik punggung Puspasari. Tubuh perempuan itu terjengkang ke
depan, dan dua orang prajurit segera menyerangnya
dari depan Puspasari. Pedang mereka berkelebat dihantamkan ke arah tubuh Puspasari. Tetapi pada saat
itu, jari telunjuk Puspasari ditudingkan ke arah kedua prajurit tersebut. Jari
telunjuk itu bergetar kaku, lalu memancarkan sinar hijau muda sebesar lidi.
Sinar itu menghantam cepat tubuh prajurit secara satu persatu.
Maka, kedua tubuh itu pun terbakar hangus, terbungkus api yang sukar dipadamkan. Keduanya berteriak
dan berguling-guling di tempat basah, namun tidak
menolong memadamkan api yang membungkus tubuh
mereka. Ketika itu, Puspasari segera bersalto ke udara dengan tangan kanan
bertumpukan sehelai daun dari
tanaman liar. Tubuh itu melejit dan bersalto dua kali.
Ki Patih Danupaksi segera menggunakan aji
Candramawa, yaitu sebuah sinar biru tua, mendekati
warna ungu, meluncur dari sepasang mata Patih Danupaksi. Ia berdiri dengan kedua kaki merenggang dan merendah, kemudian kedua
tangannya terlipat digeng-gamkan kuat-kuat, merapat dengan tulang rusuk, dan
keluarlah sinar aneh darimata Danupaksi. Sinar itu
menyorot ke tubuh Puspasari yang segera dihindari
dengan gerakan bergulir di udara sampai beberapa
kali. Ketika sinar aneh dari mata Danupaksi menghantam pohon dan hancur se ketika pohon itu, Puspasari
sempat melancarkan pukulannya, berupa sinar hijau
yang keluar dari dua ujung jarinya, yaitu jari tengah dan jari telunjuk.
Patih Danupaksi segera mengibaskan keris pusakanya, dimiringkan ke arah depan mata, lalu kedua
sinar hijau itu tertahan oleh keris Ki Patih. Begitu kuat daya dorong sinar
hijau itu, sehingga tangan Ki Patih sampai bergetaran. Hampir saja Ki Patih
tidak tahan menerima desakan sinar hijau itu. Untung ada dua
prajurit yang sama-sama melakukan tendangan serentak ke punggung Puspasari.
Tubuh Puspasari terlempar ke depan, dengan
sigap Patih Danupaksi menyambutnya dengan kibasan
kerisnya. Breeet...! "Aaauhh...!!"
Puspasari menjerit, dadanya terluka panjang
dan dalam. Ia meringis kesakitan dalam keadaan jatuh berlutut. Patih Danupaksi
segera menghunjamkan kerisnya ke punggung Puspasari, tetapi Puspasari segera
bergulir sambil menggerakkan kaki kanannya menendang perut Patih Danupaksi.
Tendangannya cukup keras diiringi teriakan antara rasa sakit dengan pemusa-tan tenaga, "Huaaah...!!"
"Uugh...!" Patih Danupaksi terpental. Dadanya terasa mau jebol. Ia sukar
bernafas beberapa saat.
Kesempatan itu digunakan oleh Puspasari untuk bangkit. Menendang satu prajurit yang hendak
menyerangnya dengan sebuah pedang, lalu ia segera
lari dengan melompat ke tempat gelap. Dua orang prajurit menolong Patih Danupaksi yang sukar bernafas
akibat tendangan Puspasari, sedangkan satu prajurit
lainnya sedang merangkak sambil menyeringai kesakitan karena tendangan Puspasari juga pada perutnya.
Sementara itu, monyet-monyet pun berlarian
mengikuti kepergian Puspasari, tak ketinggalan monyet ungu pun ikut dalam rombongan monyet-monyet
tersebut. Puspasari agaknya mulai kewalahan menahan rasa sakit dan amukan racun yang ada di keris
Danupaksi. Racun itu telah meresap dalam darahnya
akibat goresan keris di bagian dada kirinya. Untung tidak tepat di bagian yang
menonjol, lebih ke atas sedikit, dekat dengan leher.
Sambil berlari dan melompat-lompat, monyet
ungu itu memperhatikan Puspasari yang mulai sempoyongan. Perempuan itu cukup tangguh, menurut
Suro Bodong. Ia masih berlari terus, kendati keadaan tubuhnya mulai keracunan.
Pernafasannya begitu berat dihela. Tapi ia tetap terus berlari, seakan harus
segera sampai ke Pesanggrahan Wanara Teja.
Ada apa di sana" Mungkinkah mereka mempunyai obat yang mujarab untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatan Puspasari" Dan bagaimana
dengan monyet-monyet sebanyak ini" Kenapa tidak
ada seekor pun yang berbelok ke arah lain" Padahal
mereka sudah masuk hutan, tapi mereka masih tetap
bergerak mengikuti arah pelarian Puspasari.
Monyet berbulu ungu, yang tak lain dari penjelmaan Suro Bodong itu mengikuti rombongan monyet
lainnya dari belakang. Mereka mendaki gunung dalam
satu gerakan yang lincah. Mereka melompat dari pohon ke pohon, dari akar yang menggantung ke akar
yang satunya, sebab kelihatannya Puspasari juga
mengambil cara begitu dalam mencapai ketinggian Buramang, gunung tempat pesanggrahan Ki Destak berada. Beberapa saat kemudian, terlihat pula rumah
memanjang dalam pagar rapat yang menjadi sasaran
utama Puspasari. Letaknya mendekati puncak gunung,
namun ada bagian tanah datar yang luas dan sebagian
dipakai untuk membangun rumah panjang berpagar
rapat dan batang-batang pohon terbelah.
Puspasari masih buru-buru bergerak, sepertinya harus cepat sampai ke rumah tersebut yang menjadi Pesanggrahan Wanara Teja. Namun tiba-tiba ia
terjatuh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berteriak:
"Socaaa..."! Paksiii...!!"
Puspasari jatuh tersungkur dengan nafas tersendat-sendat. Monyet-monyet mengerumuni tubuh
Puspasari yang kejang-kejang sesaat, kemudian ia
hembuskan nafas terakhir dan diam untuk selamanya.
Monyet-monyet menjerit-jerit sambil melonjak tak beraturan. Suro Bodong ikut menjerit dan melonjak walau pun dalam hati ia menggerutu, "Sayang aku masih harus menjadi monyet! Coba
kalau tidak, uuh... malas aku ikut-ikutan menjerit serak begini!"
Rupanya jeritan dan lonjakan sebagai tanda
berkabung bagi monyet-monyet itu. Mereka menjadi
reda setelah dua orang lelaki berpakaian sama-sama
baju hijau dan celana merah. Lelaki itu segera berlari ke kerumunan monyet, lalu
salah seorang terpekik melihat Puspasari menjadi mayat.
"Guru..."! Soca, lekas angkat guru ke dalam...!"
yang dipanggil Soca itu segera mengangkat bagian kaki Puspasari. Lalu, Soca dan
satu temannya yang tentunya bernama Paksi itu segera membawa Puspasari
ke dalam rumah benteng kayu. Monyet-monyet ikut
serta, ada yang masuk melalui pintu pagar, ada yang
melompat ke atas pagar tinggi. Monyet ungu ikut di pihak yang meloncat ke pagar
dan masuk ke halaman
Pesanggrahan Wanara Teja.
Lelaki yang bernama Soca mempunyai rambut
lebih panjang dari yang bernama Paksi. Tampaknya
mereka berdua adalah murid dari Puspasari. Terbukti
mereka saling menyebut kata 'guru' untuk mayat Puspasari dalam usaha ingin menghidupkan kembali Puspasari. Kegiatan itu sangat menarik bagi monyet ungu, yang tak lain dari Suro
Bodong sendiri. Ruang gerak
monyet ungu menyesuaikan kebiasaan monyet-monyet
lainnya. Mereka di bebaskan bergerak di pesanggrahan tersebut. Hal ini sangat
menguntungkan monyet ungu,
karena ia bisa mengintai bagaimana Puspasari dihidupkan kembali oleh kedua muridnya itu. Atau mungkin akan dimakamkan secara adat mereka"
Suro Bodong berdiri di ambang pintu dalam sosok monyet ungu, hal itu tidak menimbulkan kecurigaan bagi kedua murid Puspasari. Suro Bodong melihat bagaimana murid Puspasari membaringkan gurunya di atas sebuah meja panjang yang terbuat dari
kayu dan papan tebal. Lalu, mereka menelanjangi
Puspasari sampai perempuan itu tidak mengenakan
selembar benang pun pada tubuhnya.
Monyet ungu menelan air liurnya sendiri. Matanya enggan berkedip memperhatikan tubuh yang
mulus itu terbaring di atas ranjang yang menyerupai
meja panjang itu. Lekuk tubuhnya, keindahan tubuhnya, keranuman dadanya yang montok, sungguh
menggoda hati monyet ungu. Wajah mungil yang bermata bundar itu sangat serasi dengan bentuk tubuhnya yang berpinggang ramping. Hidung yang mancung
dan bibir yang mungil, cocok sekali dengan bentuk dadanya yang menonjol namun
kencang. Oh... tubuh itu,
tak ubahnya seperti boneka yang terluka di atas dadanya. Tubuh mulus itu menjadi
pucat membiru samar,
itu karena racun dari keris pusaka Ki Patih Danupaksi. Agaknya, Soca dan Paksi ingin cepat-cepat menolong gurunya, bukan ingin menguburnya. Mereka
mengambil sebuah kotak dan menggotongnya dengan
hati-hati. Kemudian kotak itu dibuka, lalu Paksi mengeluarkan kain tebal warna
biru muda. Kain itu menyerupai sebuah jubah halus yang segera diselimutkan ke tubuh Puspasari Tubuh
yang mulus itu akhirnya
tertutup rapat oleh kain biru muda.
"Orang-orang di bawah sana akan heran jika
melihat guru muncul lagi dalam keadaan segar bugar."
Paksi berkata kepada Soca seraya ia menyiapkan pakaian baru untuk Puspasari. Pakaian itu sama seperti yang tadi dikenakan
Puspasari, yaitu merah bludru


Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang indah. "Kurasa kali ini guru juga bertarung dengan
orang yang memiliki keris beracun, seperti beberapa
hari yang lalu," ucap Soca, orang ini sibuk membikin-kan minuman untuk
Puspasari. "Ya, kurasa guru memang bertarung dengan
orang yang sama. Tapi... kalau orang itu melihat guru masih hidup dalam keadaan
segar, lama-lama ia jadi
jengkel sendiri, dan bisa-bisa ia akan bunuh diri karena gagal membunuh guru
berulangkali."
Paksi dan Soca tertawa. Soca bicara dengan jelas, kendati agak berbisik, "Padahal kalau orang tahu, guru mudah dilumpuhkan,
ya?" "Iya. Tapi mana ada yang akan berpikir bahwa
guru hanya bisa dilumpuhkan apabila... pada saat
bercengkerama dalam buaian birahi."
Soca semakin mengikik. "Kalau dipikir-pikir,
guru ini benar-benar perempuan sakti yang hebat.
Bayangkan saja, ia mempunyai banyak ilmu warisan
Eyang guru Destak. Dan lagi, ia hanya bisa dibunuh
selamanya jika menggunakan pedang... pedang kejantanan seorang lelaki. Tetapi, eh., pedangnya siapa yang mampu mengeluarkan panah
kematian jika sedang
saling berenggut puncak kehangatannya?"
"Ssst...! Jangan keras-keras, nanti kalau tahutahu guru bangun, kita bisa dihajarnya berbicara soal itu." "Eh, iya..." Soca
buru-buru menutup mulutnya."Ah, tapi tak apa kalau toh kita dihukum, kan hukumannya bisa membawamu terbang ke alam mimpi?"
"Iya kalau hukuman ranjang, kalau hukuman
cambuk, bagaimana?"
"Ah, itu sudah jarang lagi dilakukan guru, soalnya kalau kita dicambuk, kita
tidak akan dapat berbuat latihan jurus-jurus ranjang yang disukai guru,
kan?" Semua celoteh dan canda Paksi serta Soca menjadi bahan pemikiran Suro
Bodong yang menya-mar sebagai monyet ungu, Kini, Suro Bodong tahu,
bahwa Puspasari mengangkat kedua pemuda kekar itu
bukan sekedar untuk dijadikan murid, namun sekaligus dijadikan teman berkencan di ranjang.
Wow...! Alangkah asyiknya berkencan di pucuk
gunung berudara sedingin ini" Pikir Suro Bodong
sambil memakan sejenis kacang kedelai yang tadi dipe-rolehnya di depan pintu
halaman depan. Sambil makan makanan yang sebenarnya tidak
disukai, Suro Bodong masih terus menyimak pembicaraan dan memperhatikan segala perubahan di sekitarnya. Monyet-monyet lainnya diumbar begitu saja tanpa pengawasan sedikit pun.
Mungkin karena banyaknya
monyet di sekitar situ, maka Ki Destak membuka Pesanggrahan yang bernama Wanara Teja. Wanara itu
monyet, Teja itu cahaya. Entah apa maksudnya nama
itu, yang jelas Suro Bodong, atau si monyet ungu,
menjadi kaget sejenak. Ia memperhatikan suatu perubahan yang terjadi di atas meja papan, tempat mayat
Puspasari dibaringkan.
Mayat itu bercahaya. Mula-mula kain penutup
tubuh mayat yang bercahaya, makin lama semakin terang. Cahayanya kuning keemasan. Dan ketika cahaya
memancar dengan total, tubuh Puspasari bergerakgerak sedikit demi sedikit, kemudian menjadi gerakan yang spontan.
Puspasari bangkit serentak, duduk memejamkan mata dengan kain penutup di bagian dada yang
tersingkap ke bawah. Tak lama kemudian cahaya itu
surut, lalu pudar. Hilang sama sekali. Dan Puspasari tersenyum kepada dua
muridnya yang membungkuk
memberi hormat kepadanya. Sementara itu, monyet
ungu masih memperhatikan dengan rasa takjub. Dada
Puspasari menjadi mulus, tanpa bekas luka sedikit
pun. Darah yang semula berceceran di sekitar dada,
hilang tanpa bekas. Benar-benar merupakan wajah
dada yang mulus, lembut, dan menggairahkan untuk
diraba pelan-pelan.
Pantaslah kalau Ki Patih membantah bahwa
Puspasari sudah dibunuhnya dan mati. Rupanya beginilah cara mereka menghidupkan mayat anggota pesanggrahan Wanara Teja" Tapi, kenapa kematian Ki
Destak tidak dapat dihidupkan kembali, ya" Mungkinkah karena termakan senjatanya sendiri, sehingga tidak akan bisa hidup lagi walau diselimuti kain pusaka itu"
Apa yang harus dilakukan Suro Bodong setelah
mengetahui rahasia-rahasia Puspasari, adalah sebuah
rencana yang sederhana. Ia harus akrab dengan Puspasari. Ia harus bisa membuat daya tarik bagi perempuan berbibir mungil itu. Sebab, Puspasari hanya bisa dibunuh dan tak akan hidup
lagi apabila ia mati pada waktu bercengkerama dikejar birahinya. Menurut celoteh
Soca dan Paksi tadi, hanya 'pedang' kejantanan
seorang pria saja yang bisa membunuh dalam suatu
jurus ranjang. Dan... Suro Bodong merasa memiliki
sebuah jurus simpanan yang tak pernah digunakan.
Namun ia ingat apa dan bagaimana cara penggunaan
jurus itu. Ia ingat betul akibat jurus tersebut. Tapi dia tidak tahu, apa
namanya. Sebuah kekuatan tenaga dalam yang diramu
dengan kekuatan inti hidup, akan dihentakkan dalam
suatu permainan asmara. Dan kekuatan maha dahsyat
itu dapat membuat lawannya diam tanpa nafas selama-lamanya. Jurus itu dinamakan jurus: TOMBAK
DEWA. Menurut pemikiran Suro, hanya itu nama yang
cocok untuk jurus tersebut, karena ia tidak tahu lagi apa nama jurus tersebut
sebenarnya, dari siapa ia pe-roleh dan kapan, itu semua tidak ada dalam ingatan
Suro. Hanya cara penggunaannya yang masih sempat
lekat dalam ingatan Suro Bodong, yang selama ini lupa akan jati dirinya. Tapi,
barangkali Eyang Panembahan tahu semua itu, sebab Eyang Panembahan mempunyai
indra ketujuh yang mampu melihat kesejatian hidup
dan alam dunia ini.
Sekarang masalahnya, bagaimana cara yang
paling tepat untuk menggunakan jurus Tombak Dewa
Sakti itu" Kalau cara sederhana yang sudah ada itu
gagal" Apa yang harus dilakukan lagi"
Selagi monyet ungu berpikir demikian di bawah
sebuah pohon, tiba-tiba terdengar suara Soca yang
berseru: "Paksi... kemarilah sebentar, lihat... ada monyet asing yang terbawa ikut ke
mari." Paksi datang dan ikut memperhatikan monyet
ungu. Ia tersenyum, karena monyet ungu itu baginya
cukup lucu dan jarang ditemui sepanjang hidupnya.
"Gawat...! Belum apa-apa sudah tertangkap
nih...!" pikir monyet ungu.
"Tangkap dia dan serahkan pada guru...!" ujar Soca ketika Paksi mendekati monyet
ungu. Tetapi Suro Bodong tidak mau tertangkap begitu saja. Ia melompat ke atas
pohon sewaktu Paksi hendak menangkapnya.
Kala itu, udara pagi pegunungan sungguh segar dan
membuat pernapasan Suro begitu lega. Sekali pun ia
dalam ujud monyet ungu, namun ia bisa memanfaatkan udara pagi sebagai udara latihan kecepatan di-ri dalam hal mempermainkan
jurus monyet ungu.
"Paksi... pakai bambu galah ini, dan sodok dia
dari bawah...!" kata Soca sambil membawa bambu panjang yang belum terpotong
bagian ujungnya. Suro
Bodong semakin panik. Ia bisa jatuh kalau disodok
dengan bambu itu. Mungkin juga pantatnya akan
bengkak kalau sodokan itu tepat di pantat.
Sebelum Paksi mendekat dengan bambu pemberian Soca, monyet ungu buru-buru bergerak turun
dan melompat ke pagar yang mengelilingi rumah tersebut. Soca segera keluar, menghadangnya dari luar pagar. "Hati-hati, jangan sampai kabur dia...!" teriak Paksi. Paksi melepaskan
bambunya. Ia hendak menangkapnya dengan selembar kain sarung usang.
"Uiik... uiik... kkkrr...!!" Monyet ungu garuk-garuk ke-tiaknya sambil
memonyong-monyongkan bibirnya yang
tebal. Ia melompat ke luar dengan tiba-tiba, karena Paksi melemparkan kain
sarung tersebut.
"Awas dia keluar...!" teriak Paksi kepada Soca.
Soca segera menubruk monyet ungu. Tetapi
ekor monyet ungu yang panjang itu segera mengibas
ke samping. "Plak...!!"
"Aauhh...! Dia galak, Paksi...!" teriak Soca sambil mengusap pipinya yang jadi
memerah karena disabet ekor monyet. Monyet ungu itu berlari ke tempat
lain, di atas tumpukan kayu. Dengan hati-hati Paksi
naik ke pagar, tepat ia berada di belakang monyet un-gu. Lalu dengan serta-merta
Paksi meluncurkan tubuhnya, menangkap monyet ungu itu, namun yang ditangkap melompat ke pagar lagi. Paksi tersungkur dan dagunya terbentur kayu yang
runcing. Berdarah!
"Bangsat...! Awas kau kalau kutangkap, langsung kupotong dan kumakan kau, Monyet!" geram
Paksi. "Jangan nafsu kalau mau memegangnya. Pelan-pelan saja," tutur Soca. Ia
memperagakan gerakan lembut dan pelan-pelan. Jari jemarinya dipermainkan; tek...
tek... tek... mulutnya pun ikut menyuarakan kata bagai bisikan, "Kis... kis...
kis...!" Suro Bodong tak tahu, apakah itu cara menjinakkan seekor monyet atau bukan, yang jelas Suro
Bodong berusaha untuk menghindari Soca maupun
Paksi. Ia bisa gagal kalau sampai tertangkap mereka, apalagi sampai diserahkan
kepada Puspasari. Karena
itu, sewaktu tangan Soca berada dalam jarak dekat,
monyet ungu segera menamparkan lengan Soca dan
merobek kulit lengan itu.
"Aaoow...!!" teriak Soca yang kemudian ditertawakan Paksi. Lalu, Soca segera
mengambil kayu sebesar lengannya. Kayu itu dikibaskan untuk memukul
kepala monyet ungu. Tapi monyet ungu segera menghindar dengan satu lompatan. Pada saat melompat itulah ekornya mengibas kuat dan mengenai kening Soca
sehingga ada bekas memar membiru dikening itu, sudah tentu hal itu membuat Soca menjerit kesakitan. Ia melempar kayu tersebut ke
arah monyet ungu, tapi
monyet ungu merundukkan kepala. Tepat pada saat
itu, tangan Paksi menyahutnya, lalu mencekik leher
monyet itu. "Mampus kau sekarang, hah..."!!"
Monyet itu menjerit tertahan. Ia tak bisa menggigit tangan tersebut. Sementara itu, terdengar Soca berseru:
"Hei, jangan bunuh dia! Serahkan saja pada
guru, siapa tahu bisa dimanfaatkan!"
Kemudian, monyet ungu itu jatuh ke tangan
Puspasari. Tiba-tiba ada gagasan baru yang terlintas di benak Suro Bodong
sebagai monyet ungu. Gagasan itu
timbul setelah ia merasa hangat dalam pelukan Puspasari. "Jangan bunuh monyet ini..! Ini termasuk monyet langka," ujar Puspasari.
"Kita kawinkan saja dengan induk monyet yang ada di belakang rumah."
Wah, gawat...! Hati monyet ungu sebenarnya
kaget. Ia menggerutu dalam hati, "Uuh... kacau ini, kenapa harus dikawinkan
dengan induk monyet" Sial!"
"O, ya... benar. Kebetulan ini masih masa puber kera tiba. Ini kan musim puber
bagi monyet-monyet
hutan, Guru!"
"Karena itu, cepat masukkan ke kandang monyet betina. Tapi segera pisahkan kalau mereka berke-lahi, ya?" kata Puspasari
sambil hendak menyerahkan monyet itu kepada Paksi.
Lalu, secara serempak mata mereka terbelalak
kaget. Monyet ungu bisa bicara dan berkata, "Kasihanilah aku... kasihanilah
aku..." "Hei, monyet ini bisa bicara"!" Puspasari tertawa girang.
Soca dan Paksi juga terbahak-bahak mendengar monyet bisa bicara bahasa manusia.
"Namamu siapa?" tanya Puspasari dengan hati bangga. "Namaku... namaku Panji
Bagus..." jawab monyet ungu. Bagi Suro Bodong, tak ada cara lain untuk lolos
dari genggaman dan ancaman mereka kecuali
dengan menyuarakan kata. Dan untuk itu, ia punya
kisah sendiri yang segera dituturkan kepada mereka
bertiga: "Aku bukan monyet sewajarnya. Aku bisa bicara karena aku disentuh oleh
seorang putri gunung.
Aku sebenarnya seorang pangeran dari negeri seberang." "Seorang pangeran"!" Puspasari semakin girang. "Benar. Aku dikutuk oleh
seorang penyihir dari negeri Tibet. Karena aku kalah ilmu, maka aku dijadikan
seekor monyet. Aku bisa menjadi manusia kembali
apabila ada di tangan seorang putri gunung yang berilmu tinggi, dan harus dilemparkan ke udara setinggi-tingginya...."
Suro pintar mengarang cerita yang sungguh
menarik bagi Puspasari untuk membuktikan. Tetapi,
sebelumnya Puspasari berkata,
"Apakah aku yang dimaksud Putri Gunung
itu?" "Mungkin! Buktinya, di tanganmu aku sudah bisa bicara dalam bahasa
manusia. Coba kau lemparkan ke atas, mungkin aku bisa berubah menjadi
manusia seutuhnya."
"Coba, guru...! coba...! Nanti kalau dia bohong, biar saya kejar dan saya bunuh
seketika!" kata Soca bernafsu.
Puspasari berkata kepada monyet ungu, "Apa
janjimu jika kau ternyata berhasil berubah menjadi
manusia lagi?"
"Aku akan mengabdi kepadamu seumur hidupku, Putri."
"Sungguh"!" Puspasari tersenyum senang.
"Sungguh, Putri. Aku berjanji...!" jawab monyet ungu. Puspasari tertawa riang.
Ia mengusap-usap
monyet ungu sambil melangkah ke pekarangan yang
luas itu. Soca dan Paksi tak sabar ingin melihat bukti kata-kata monyet ungu.
"Bagaimana kalau kau mengingkari janjimu?"
tanya Puspasari masih dalam keraguan.
"Kalian kan bertiga. Masa' kalian tidak bisa
membunuh aku kalau ternyata aku berdusta padamu,
Putri." "Guru... cepat lemparkan ke atas, dia benar-benar tak akan ingkar janji.
Ayolah..." bujuk Paksi tak sabar. "Lalu, bagaimana jika kau ternyata tidak
menjadi seorang manusia lagi" Bagaimana jika ternyata
kau tetap menjadi seekor kera?"
Jawab Monyet Ungu, "Aku tetap akan berbakti


Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadamu. Asal kuminta, jangan samakan aku dengan
monyet-monyet lainnya. Jangan kau suruh aku mengawini induk monyet...!"
Puspasari dan kedua muridnya tertawa geli.
Kemudian dengan hati berdebar-debar, Puspasari ingin membuktikan pengakuan yang
pantasnya ada dalam
dongeng anak-anak saja. Ia segera melemparkan monyet ungu ke atas, tinggi sekali untuk ukuran suatu
lemparan benda sebesar anak umur 7 tahunan.
Pada saat monyet ungu melayang, segera saja
ia manfaatkan untuk bersalto tujuh kali. Jurus Luing Ayan-7 digunakan oleh Suro
Bodong. Tentu saja semua mata jadi terbelalak kaget dalam kekaguman, karena pada saat putaran salto ke tujuh kali itu, tubuh monyet ungu berubah
menjadi sosok seorang pendekar
tampan yang gagah perkasa. Dialah Suro Bodong dalam ujud Panji Bagus.
Puspasari terbengong-bengong tak berkedip
memandang ketampanan Panji Bagus. Matanya begitu
bening, teduh dipandang. Rambutnya lurus, halus berjatuhan di pundak bagai benang-benang sutra. Panji
Bagus mengenakan ikat kepala dari tali emas bagai sisik naga. Bibirnya tampak
segar, seperti bibir seorang putri gunung es. Pada saat itu, Panji Bagus menahan
nafas beberapa saat dan menggerakan kedua tangannya ke atas. Lalu pedang Urat Petir yang kali ini biasa tampak di punggung, kini
tidak lagi bisa kelihatan di mata umum.
"Kau... Panji Bagus?" tanya Puspasari berdebar-debar. "Benar, Putri Gunung...!"
jawab Panji Bagus dengan menunduk memberi hormat. Puspasari semakin berdebardebar jadinya. 5
Segunung kebahagiaan menyelimuti hati Puspasari. Matanya yang bulat indah itu sejak tadi bagai tak mau lepas memandangi
wajah Panji Bagus. Bahkan dalam acara makan pagi bersama, Puspasari sengaja mengambil tempat duduk yang berseberangan
dengan Panji Bagus. Sementara itu, Soca dan Paksi
mulai menyadari adanya perhatian lain dari Puspasari.
Sewaktu mereka berdua menyiapkan makanan pagi di
dapur, Soca sempat berbisik kepada Paksi.
"Agaknya pemuda itu membawa suasana lain di
antara kita. Aku mencium gelagat yang bakal menjadi
tak beres."
Paksi masih menahan diri dengan berkata, "Ah,
belum tentu. Itu karena rasa iri dan cemburumu saja
yang mulai menghantui jiwamu."
Padahal dalam hati Paksi sendiri merasa, memang akan ada suasana lain di Pesanggrahan Wanara
Teja ini. Puspasari sangat akrab, cepat sekali tergiur oleh ketampanan Panji
Bagus. Apalagi tubuh pemuda
yang mengaku sebagai pangeran kena kutuk itu begitu
tegap. Dadanya bidang dan membusungkan otot yang
kekar. Lengan-lengannya pun kelihatan penuh tenaga
tersimpan di sana. Wajahnya sendiri sering membuat
jantung Puspasari berdebar-debar ingin meledak. Wajah Panji Bagus begitu tampan, berkulit halus, mirip seberkas busa-busa salju.
Puspasari bagai tak ingin beralih pandang dalam sekejap. Sejak tadi ia banyak
bicara, banyak canda dan tak segan-segan mencubit
Panji Bagus. Bagi Suro Bodong, inilah saat yang ditunggu. Suro Bodong memerankan gaya Panji Bagus
sebagai pemuda lugu yang kurang berminat terhadap
perempuan. Ketika Puspasari bertanya:
"Apakah kau sudah punya kekasih di negerimu?" Panji Bagus menjawab, "Dulu pernah, tapi sekarang sudah tidak lagi."
"Kekasihmu pergi?"
"Menikah dengan pemuda lain sejak ia tahu
aku dikutuk jadi monyet. Aku melihat sendiri perkawinan mereka, aku hadir di
situ, tetapi aku segera diusir oleh pelayan-pelayannya yang tidak tahu siapa aku
sebenarnya."
Puspasari menggumam, lalu menghela nafas
dalam-dalam. "Kasihan sekali nasibmu," ujarnya entah dengan hati tulus atau
hanya kata pemanis bibir, bagi Panji Bagus itu tidak menjadi masalah. Yang
penting ia bisa menciptakan simpati sendiri terhadap Puspasari.
"Aku di sini mempunyai dua murid yang masih
menuntut ilmu. Mereka sebentar lagi akan rampung,
dan kuizinkan turun gunung untuk mencari pengalaman," kata Puspasari. "Apakah kau berminat untuk menimba ilmu dariku?"
"Aku...?" Panji Bagus tersenyum malu, dan se-nyuman itu membuat gemetar hati
Puspasari. Puspasari menggigit bibirnya sendiri, menahan sesuatu yang bergejolak.
"Aku tahu, kau pasti mempunyai ilmu silat
yang cukup lumayan," kata Puspasari. "Tetapi apabila kau belajar denganku, kau
akan menjadi lebih terpan-dang di kancah persilatan dunia."
Panji Bagus tertawa malu dibikin-bikin. Ia berkata lirih, "Apa saja perintahmu akan kulakukan, Putri Puspa. Aku kan sudah
berjanji untuk mengabdi kepadamu." "Kalau aku memerintahkan kamu belajar ilmu
peninggalan Ki Destak, apa kau mau?"
"Aku harus mau, karena kau lah yang sedang
kulayani."
Puspasari tertawa senang kendati ditahantahan. "Jadi kau mau melayaniku apa saja yang kupe-rintahkan?"
"Ya. Kau yang membebaskan aku dari pengaruh kutukan sihir itu, dan sudah sepatutnya aku melayanimu, Putri."
Gerakan mata yang bulat bening milik Puspasari itu sudah merupakan gerakan yang penuh arti. Ia berjalan ke halaman samping
untuk menemui kedua
muridnya. Sementara itu, Panji Bagus bergerak melalui pandangan mata, mencari tempat penyimpan peti
berisi kain halus warna biru muda itu. Selembar kain yang mampu menghidupkan
Puspasari yang telah mati. Ia punya rencana untuk mencuri kain tersebut apabila keadaan sudah
mengizinkan. Puspasari datang bersama kedua muridnya:
Paksi dan Soca. Agaknya ada sesuatu yang ingin dibicarakan siang itu.
"Panji, aku ingin menyuruhmu mengerjakan
sesuatu," kata Puspasari. Panji Bagus mengangguk dalam senyum tipis yang
menggetarkan hati perempuan
mana pun "Tugas apa yang harus kukerjakan?"
"Mencari orang yang memiliki pusaka Pedang
Urat Petir," jawab Puspasari. "Orang itu yang membunuh guruku; Ki Destak. Ia ada
di Kesultanan Praja. Terus terang, aku sendiri belum bisa memastikan seberapa tinggi ilmu orang itu. Tapi aku harus hati-hati dalam bertindak. Sebab itu
aku ingin dia keluar dari ka-marnya, dan melakukan suatu pertarungan yang bisa
kujadikan ukuran kekuatannya."
"Aku paham. Lalu...?"
"Kau kutugaskan menangkap dia dalam keadaan hidup. Aku ingin kekuatan orang itu lumpuh
sebelum dia berhadapan denganku. Dan hanya aku
yang berhak membunuhnya, ingat?"
"Aku ingat, Putri." Panji Bagus menjawab dengan penuh hormat dan ketegasan.
"Kapan aku harus bergerak?"
"Nanti malam. Sekarang, aku akan menyuruh
Soca dan Paksi untuk mempelajari suasana di dalam
benteng Kesultanan. Lalu, sebelum tengah malam, mereka sudah harus sampai di sini membawa beberapa
keterangan dan rincian keamanan di benteng kesultanan. Dan, tengah malam kau bergerak menculiknya
dengan bantuan monyet-monyet sebagai pembuat kerusuhan untuk mengacaukan perhatian mereka."
"Aku paham," jawab Panji Bagus.
"Soca dan Paksi...! Sekarang juga kalian berangkat, dan selidiki dengan cermat keadaan di sana.
Aku ingin hari ini sampai tengah malam nanti, orang
itu sudah ada di tanganku. Mengerti?"
"Mengerti, Guru..." jawab Paksi dan Soca. Kemudian mereka berdua diizinkan
berangkat turun gunung. Di perjalanan, Paksi sempat berkata kepada Soca: "Mengapa guru menguji kesetiaan Panji dengan
cara seperti itu" Kalau dia keluar tengah malam, dia bisa saja lari pulang ke
negerinya."
"Aku yakin, nanti malam guru akan mengikutinya dari kejauhan. Begitu dia ada gelagat mau melarikan diri, maka guru akan
segera membunuhnya."
"Ah, tapi itu cara yang salah untuk menguji kesetiaan Panji. Bisa saja dia tidak lari, tapi malah ber-komplot dengan orangorang Kesultanan Praja," Soca masih menampakkan kecemasannya.
Namun, lagi-lagi Paksi membesarkan hati Soca
dengan mengatakan, bahwa Puspasari gurunya bukan
orang bodoh yang mudah tertipu.
Memang, hasil pembicaraan singkat antara
Puspasari dan kedua muridnya adalah kesepakatan
menguji kesetiaan Panji Bagus. Puspasari ingin menurunkan ilmunya kepada Panji Bagus, tetapi kedua muridnya itu menyangsikan kesetiaan Panji Bagus. Paksi dan Soca khawatir, kalau
ilmu peninggalan Eyang
Guru Destak diberikan kepada orang lain, dan orang
itu menguasai, maka ada orang di luar mereka yang
juga menguasai ilmu langka peninggalan Ki Destak.
Paksi dan Soca tidak ingin ada orang lain yang mempunyai ilmu sama dengan mereka. Mereka ingin paling
unggul dari semua orang-orang berilmu. Sebab menurut pendapat mereka berdua, bahwa semua ilmu yang
telah dimilikinya itu jarang ada di jagad raya, jarang ada yang memilikinya,
sehingga mereka berdua akan
menjadi orang yang mempunyai keistimewaan tersendiri di antara sekian banyak jago-jago silat dunia.
Untuk menenangkan hati murid-muridnya,
Puspasari mempunyai rencana menguji kesungguhan
Panji Bagus dalam mengabdi. Tugas menangkap orang
yang memiliki pedang Urat Petir adalah suatu uji coba akan kesungguhan Panji
Bagus. Puspasari juga tahu,
dalam tugas itu banyak peluang untuk lari dan berkhianat, tapi ia sudah punya rencana sendiri jika hal itu benar-benar dilakukan
oleh Panji Bagus.
Tapi, sebenarnya kekhawatiran Puspasari tidak
sebesar kekhawatiran kedua muridnya. Puspasari lebih mempunyai rasa percaya yang besar, bahwa Panji
Bagus akan berhasil dipikatnya jika ia berhasil menga-jaknya berlayar di lautan
mimpi yang indah. Dia yakin, bahwa Panji Bagus akan merasa senang berada dalam
pelukannya, dan ia pun akan merasa bahagia dalam
pelukan Panji Bagus. Oleh sebab itu, hubungan mereka pun menurut Puspasari tidak cukup setahun dua
tahun, namun bisa jadi akan selamanya.
"Di sini suasananya sangat sepi, ya?" ujar Panji Bagus ketika ia diajak jalanjalan mengelilingi Pesanggrahan Wanara Teja.
"Hanya aku dan kedua muridku yang menguasai gunung ini," kata Puspasari. "Dan setiap harinya, hanya kami bertiga yang
mengisi canda di gunung ini."
'Tentu sebuah canda yang lain dari yang lain,
bukan?" pancing Panji Bagus.
Puspasari tersenyum tipis. Ketika sampai di
padang rumput yang tidak banyak semak berduri, dan
tempatnya sedikit luas karena banyak pohon yang ditebangi, Puspasari berkata, "Di sini dulu aku diajar oleh guruku untuk
memperdalam ilmu silat. Dan di si-ni juga aku sering menurunkan ilmu itu kepada
Soca dan Paksi."
"Apakah tidak takut dicuri orang ilmu kalian
itu?" "O, tidak. Di sini tidak akan ada orang lain yang bisa mengintai dan
mencuri jurus-jurus kami. Untuk
mendaki ke mari, mereka membutuhkan keberanian
yang benar-benar tangguh. Banyak binatang buas di
lereng gunung. Dan kera-kera ganas paling ditakuti
oleh orang di sekitar kaki gunung Buramang ini."
Puspasari berdiri di tengah padang rumput
yang agaknya memang dirawat dari dulu sebagai tempat berlatih yang alami. Panji Bagus sedang meneliti keadaan sekeliling. Oh,
benar. Tempat itu benar-benar tempat yang sepi, layak untuk dijadikan pusat
latihan ilmu kanuragan dan tenaga dalam. Pantas kalau Puspasari dan muridnya
yakin betul bahwa mereka mempunyai ilmu yang langka di jagad raya ini.
"Panji, seranglah aku," kata Puspasari.
Panji terperanjat sekejap. Ia memandang Puspasari dengan dahi berkerut. Puspasari tersenyum
manis dan mengulangi perintahnya:
"Seranglah aku, Panji... aku ingin tahu seberapa tinggi ilmu yang kau miliki. Lalu, akan ku tambahkan beberapa ilmu yang belum
kau miliki."
"Putri, aku tidak ingin mencobaimu dengan
kemiskinan ilmuku. Aku tidak mau takabur dengan
apa yang kumiliki."
Puspasari menggeleng. "Aku tidak menyuruhmu takabur, tetapi aku ingin memberikan sesuatu padamu. Lakukanlah yang terbaik menurut pandanganmu. Seranglah aku..."
Karena di desak berulangkali, Panji Bagus pun
segera melakukan serangan terhadap diri Puspasari. Ia melesat dengan jurus
tendangan menyamping. Puspasari menangkisnya, hanya dengan mengibaskan tangan kirinya ke kiri. Lalu tangan kanannya meluncur
cepat, menghantam dada Panji Bagus. Panji menahan
dengan telapak tangan kanan yang terbuka. Pukulan
Puspasari menghantam telapak tangan Panji Bagus,
namun sikunya segera ditekuk ke depan dan menghantam wajah Panji. Hanya saja Panji Bagus segera
menghindar dengan cara memiringkan kepala ke kanan. Ketika kepalanya miring ke kanan, kaki kanan
Puspasari bergerak naik, menendang kepala Panji. Tetapi tangan kiri Panji segera bergerak ke kanan, menghentakkan kaki Puspasari
sehingga kaki itu terbuang
ke samping kanannya.
Semua gerakan dilakukan dengan cepat sehingga serangkaian jurus itu merupakan satu gebrakan yang tak kentara. Tahu-tahu keduanya mental ke
belakang bersamaan. Puspasari sedikit limbung, namun segera tegap berdiri. Ia tersenyum sambil memasang kuda-kuda kembali. Lalu, ia bergerak cepat dalam melayangkan tubuh dan berani bersalto dalam jarak separuh badan dari tanah. Panji Bagus menggerakkan pukulan berganda, lalu menebaskan tangan
kanannya bagai sedang menyongsong dagu lawan dari


Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah ke atas. Tetapi Puspasari melentikkan kaki ke arah lain dan berguling di
rerumputan, lalu siap dalam posisi salah satu lututnya menapak ke tanah dan kaki
yang lain menekuk tegap menginjak tanah. Ia berdiri, lalu mengikik seraya
mengunjukkan genggamannya.
"Ada sesuatu yang hilang pada dirimu, Panji,"
katanya. Kemudian ia membuka genggamannya, dan
ternyata tiga buah kancing pengikat celana Panji telah
berhasil diserobotnya tanpa membuat Panji terasa.
Tentu saja Panji terbelalak kaget, karena dengan begi-tu berarti celanannya
sudah tidak mengancing lagi,
untung masih ada sabuk yang mengikatnya di bagian
perut. Tetapi Panji buru-buru tersenyum ketika Puspasari tertawa penuh kegelisahan. Ia puas bisa menge-cohkan Panji Bagus dalam
gerakan yang menyerang
bagian rawan pemuda ganteng itu. Namun, sesaat ia
terhenyak ketika Panji Bagus berkata:
"Untung aku sudah siap sedia." Panji berjalan agak mendekat. "Lihat penutup
dadamu, Putri Puspa.
Kenapa tidak kau rapatkan?"
"Hah..."!" Puspasari membelalakkan mata dengan wajah memerah ketika ia menunduk
dan mene- mukan kain penutup dadanya telah sobek bagian tengah. Dan kini sedang menyibak ke kiri. Ia benar-benar tak sadar kalau gerakan
tangan Panji Bagus yang naik ke atas itu adalah gerakan kuku merobek kain
penutup dada. Begitu cepat dan tajamnya gerakan kuku itu sampai-sampai Puspasari
tidak terasa bahwa dadanya
terkuak begitu nyata.
Puspasari menggeram gemas. Ia mencabut pedangnya yang bertengger di punggung. Panji Bagus
terkejut, "Maafkan, Putri Puspa... kumohon ini hanya
suatu permainan saja. Jangan marah."
Puspasari tersenyum. "Aku tidak marah, tapi
aku akan membuat kejutan untukmu sebagai pembalasan ini. Hiaat...!"
Puspasari berguling-guling di tanah dengan cepat, lalu ketika tiba di depan Panji Bagus ia menggerakkan pedangnya bagai
hendak menusuk dagu Panji.
Untung Panji segera mendongak, sehingga pedang itu
melesat di udara, menusuk tempat kosong. Pada saat
itu, dengan cepat Panji Bagus menendang perut Puspasari tersentak ke belakang, dan jatuh telentang. Panji segera memburu dan
berguling ke sampingnya dengan gerakan tangan menebas dagu Puspasari. Tetapi
Puspasari segera berguling ke kanan, dan tangan Panji Bagus berhasil memukul
pinggang Puspasari sehingga
Puspasari menggeliat kesakitan. Walau tak seberapa,
namun sudah menunjukkan bahwa ia merasakan sakit akibat pukulan di pinggangnya. Ia buru-buru
bangkit dengan salah satu lutut menempel di tanah
dan kaki yang lain menapak di tanah.
Ia mengatur nafasnya, lalu tersenyum bangga.
Pedang di masukkan kembali. Panji Bagus berdiri, dan ia buru-buru memegangi
celananya, karena ternyata
Puspasari sudah berhasil memotong sabuknya sehingga celana itu terlepas ke bawah. Dengan sangat terkejut Panji Bagus buru-buru
menarik celananya, sedangkan Puspasari tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian konyol yang
menggelikan itu.
"Iihh... jorok kamu, ah! Masa di depanku kau
pamerkan senjata rahasiamu," Puspasari semakin terpingkal-pingkal.
Panji Bagus menenangkan diri walau wajahnya
memerah. Ia hanya berkata dengan nada setengah tertawa: "Kau sendiri mengapa melepas celanamu, Putri Puspa?"
Puspasari terperanjat. Ia memeriksa celananya,
oh... ternyata ia hanya ditipu oleh Panji Bagus. Celananya tak ada yang robek
sedikit pun. Ia segera tersenyum sambil melirik genit.
"Kau penipu kelas kecil ya..."
Puspasari tertawa riang, dan berdiri hendak
menghampiri Panji Bagus. Tapi tiba-tiba, dia merasakan hawa dingin menerpa kulit tubuhnya. Buru-buru
ia membelalakkan mata. Astaga...! Ternyata celana
yang sepanjang lutut ke bawah itu telah robek bagian belakangnya, dari pinggang
sampai ke bawah pantatnya. Celana itu bagai mengelupas ke depan sehingga
sesuatu yang ditutupi selama ini terkuak jelas di mata Panji Bagus.
"Ooh..."! Kau gila...!!" teriaknya tanpa sadar.
Lalu, ia segera menyerang Panji Bagus dengan satu
pukulan. Panji Bagus terpaksa melepaskan pegangan
tangannya pada sabuk karena ia sibuk menangkap
tangan Puspasari. Pukulan berganda itu segera di
tangkap dan dipelintirnya. Puspasari mengerang kesakitan, dan kaki Panji menjegal kaki Puspasari. Jatuhlah Puspasari ke rerumputan,
lalu dengan cepat dan
tangkas paha Panji menghimpit kepala Puspasari, persis di lehernya.
"Eekhh...!" Puspasari sukar bernafas. Ia menyeringai menahan sakit. Kalau saja
Panji mau, leher itu bisa patah saat itu juga. Tetapi Panji sadar, ia tak boleh
membunuh Puspasari dalam keadaan seperti itu. Ia merenggangkan jepitan pahanya.
Namun ia lupa bahwa saat itu ia sudah tak sempat mengenakan penutup
bawah. Celananya telah lepas dari sabuk dan melorot
ke bawah. Sedangkan pada saat itu wajah Puspasari
tepat di sela pahanya.
Panji mengendurkan penjepit dan hendak melepaskannya, tetapi tangan Puspasari bahkan merapatkan paha Panji agar tidak merenggang dan pergi.
Mata Puspasari terbelalak lebar penuh gairah. Ia memandang sesuatu yang menjadi kegemarannya. Sebuah 'senjata' milik Panji Bagus yang kelihatan lebih unggul ketimbang yang
dimiliki Soca dan Paksi.
Puspasari mendesis, bahkan sempat mengucap
kata, "Woow..."!!! Jangan lepaskan aku...! Oh, jangan...!"
Panji Bagus merasa, inilah saatnya untuk berbuat. Dan dia membiarkan Puspasari mengagumi
'senjata rahasianya' yang membuat mata perempuan
itu tidak berkedip sekali pun. Puspasari tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ibarat kerupuk,
Puspasari tidak mau membiarkan kerupuk itu menjadi
dingin dihembus angin. Karenanya, dengan sangat berapi-api, Puspasari membangkitkan sesuatu yang tidur menjadi tegar. Semangat
yang lesu menjadi bergairah
menyala-nyala seperti yang ada pada dirinya. Puspasa-ri tidak peduli bibir yang
indah miliknya itu hanya pantas untuk dinikmati oleh bibir Panji Bagus.
Puspasari juga tidak mau tahu apa gunanya lidah bagi perangkat kehidupan tubuh manusia. Ia menggunakan
semua itu untuk memacu semangat Panji Bagus yang
ternyata semakin mengagumkan dalam keadaan semangat yang terpacu kuat itu.
"Ooh... ini yang kudambakan selama ini! Ternyata terselip pada dirimu, Panji. Ooh... aku ngantuk, Panji...!" Dan ia pun
segera merebah di rerumputan tanpa peduli keadaan pakaiannya sudah mirip orang
gelandangan. Ia tak peduli rumput menyentuh kulit
tubuhnya yang mulus, bahkan ia memohon dalam suatu rengekan agar Panji menyempurnakan keadaan
tubuhnya itu. Panji sendiri sudah terlanjur dibius oleh kehangatan lidah Puspasari sehingga ia tak mau menunda
untuk berjalan ke sebuah kamar. Alam pun dianggapnya sebuah kamar yang nyaman dan rumput pun dijadikan seperti bludru yang halus lembut.
"Panji... Aauhh...!" Puspasari terpekik dan tersentak-sentak. Ia seperti cacing
kepanasan di sebuah daratan. Ia pun ikut mendayung perahu agar lekas
berlayar ke puncaknya, untuk kemudian mereka akan
mengulanginya di sebuah kamar. Ayunan dayung Panji
membawa perahu ke ujung samudera, dan Puspasari
semakin menjadi gila, memekik beberapa kali dengan
suara lepas. Mengerang dalam geliat birahi yang membakar darah. Lalu, pada detik-detik Panji mendekati ujung
suatu pelayaran. Ia memejamkan mata. Ada sesuatu
yang dibaca. Dan wajah serta badannya menjadi memar memerah, seperti ayam dalam penggorengan. Gerakannya semakin cepat, membuat perahu yang dikendalikan bertambah brutal. Sampai akhirnya, tubuh
yang memerah itu tiba-tiba seperti sinar lampu yang
kehabisan minyak. Surut dalam sekejap ketika Puspasari memekik tinggi sekali.
"Aaaaahhhh...!!" Dia terlempar ke puncak suatu kebahagiaan, namun juga terdampar
di puncak itu sehingga tak dapat kembali lagi. Panji Bagus buru-buru berdiri dan
menyaksikan betapa menyedihkan sekali
tubuh Puspasari itu berkelojot menerima Jurus Tombak Dewa Sakti. Kulitnya mulai mengelupas. Teriakannya semakin kuat. Ia menggelepar-gelepar seperti
ayam dipotong. Kian lama kulit itu kian mengelupas
banyak, mengeluarkan cairan amis. Merah warnanya.
Lalu sekujur tubuh itu menjadi berdarah, kulitnya
nyaris tak ada yang menempel di daging. Dan, akhirnya ia pun menjerit panjang sekali, kemudian surut,
surut, dan nafas terakhirnya dihembuskan lepas. Puspasari diam tanpa nyawa.
Panji Bagus terhempas lega. Lalu ia memenggal
kepala Puspasari yang masih berbentuk wajah asli
hanya tanpa kulit itu. Kepala itu segera dibungkus
kain keramat yang pernah menghidupkan mayatnya,
kemarin. Tak lupa, Panji pun menuliskan sebuah surat untuk murid Puspasari yang
berbunyi: Kalau Gurumu
Saja Bisa Kubunuh, Apalagi Kalian"
Lalu, Panji Bagus bersalto satu kali, jadilah ia
sebagai Suro Bodong. Dengan tegap, ia menenteng kepala dibungkus kain biru muda, dan ia serahkan
penggalan kepala itu kepada Sultan, sebagai tanda ia telah menyelesaikan
pekerjaan dengan baik.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kitab Mudjidjad 14 Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam Lembah Merpati 1

Cari Blog Ini