08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10
Namun beberepa orang pengikut Warak Ireng itupun telah berada diseputarnya pula untuk mengimbangi pasukan khusus yang berusaha menghadapi Warak Ireng dengan kelompok-kelompok kecil.
Sejenak Glagah Putih memperhatikan orang itu Memperhatikan caranya menggerakkan senjatanya dan caranya menggertak lawan dengan teriakan teriakannya yang memekakkan telinga.
Baru kemudian Glagah Putih mendekatinya Dengan lantang maka iapun menyapa "
Ki Sanak, apakah kau yang telah memimpin pasukan disayap ini "
Warak Ireng mendengar suara anak yang masih sa ngat muda itu. Sejenak ia tertegun dan berpaling kearah nya. Benar-benar seorang anak muda yang berdiri tegak dengan kaki renggang memandanginya.
" Kau bertanya kepadaku anak muda " bertanya Warak Ireng.
- Ya.. Aku bertanya kepadamu jawab Glagah Putih
" Buat apa " " bertanya orang itu.
"Aku adalah satu diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Aku mendapat tugas untuk menghadapi Senapati dari sayap gelar ini. Jika kau benar Senapati nya, maka biarlah aku menghadapimu, tantang Glagah Putih.
*** JILID 183 Bagian 1 WARAK IRENG mengerutkan keningnya. Dengan sorot mata yang bagaikan menyala ia bertanya, "He, apakah kau, kau bermimpi atau mengigau."
Glagah Putih bergeser mendekat. Tetapi ia tetap berhati-hati menghadapi orang yang besar itu. Setiap saat orang itu akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaannya.
"Siapa kau?" tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Warak Ireng.
"Ada baiknya kau mendengar namaku" jawab Warak lreng, "namaku, Warak Ireng."
"0, jadi aku berhadapan dengan Warak Ireng, bukan yang bernama Linduk" desis Glagah Putih.
"He, apakah kau ini anak yang gila dan tersesat memasuki arena?" bertanya Warak Ireng.
"Tidak. Namaku Glagah Putih" jawab Glagah Putih, "aku mendapat tugas menghadapi Senapati di sayap ini seperti yang sudah aku katakan. Apakah ia bernama Warak Ireng, atau bernama Linduk yang juga disebut Sambijaya.
"O, kau agaknya memang anak gila" geram Warak Ireng, "tetapi karena kau sudah terlanjur memasuki arena ini, maka biarlah aku menyempatkan waktunya sejenak membunuhmu."
Glagah Putih tidak menjawab, Tetapi ia pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia menyadari akan kemampuan Iawannya yang memiliki pengalaman jauh lebih luas dari padanya dalam dunia kanuragan dan petualangan, namun Glagah Putih tidak merasa gentar menghadapinya.
Selangkah ia bergeser maju. Sementara itu, di sebelah menyebelah pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dari pasukan khusus Mataram yang bertempur pada garis pertama ternyata tidak mampu menutup semua lubang penyusupan, sehingga beberapa orang lawan yang berhasil melampaui baris pertama telah bertemu denga anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang berada di sayap pasukan. Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah memiliki bekal kemampuan dan pengalaman untuk bertempur di medan yang keras. Karena itu, maka mereka pun dengan tangkasnya telah menghadapi senjata lawan yang terayun-ayun dan berputaran.
Glagah Putih mulai mengacukan pedangnya ke arah Warak Ireng yang masih termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya bahwa ia harus bertempur menghadapi anak semuda itu.
Tetapi Glagah Putih mulai menggerakkan pedangnya. Sambil bergeser ia berkata, "Warak Ireng, aku akan membunuhmu. Jika kau terlalu lama kebingungan, maka kau akan mati tanpa arti. "
"Jadi kau benar-benar ingin bertempur?" geram Warak Ireng.
"Sebagaimana kau lihat, aku sudah siap" sahut Glagah Putih.
Warak Ireng bukannya jenis orang yang sempat membuat pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. la menjadi heran. Namun ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menghindari lawannya yang dinilainya masih sangat muda itu.
Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, "Baiklah. Marilah. Aku antarkan nyawamu keneraka."
Glagah Putih bergeser setapak surut. la melihat Warak Ireng sudah mengambil ancang-ancang. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan bekal ilmu yang dikuasainya atas dasar ilmu keturunan Ki Sadewa serta kemampuan yang dipelajarinya dari Kiai Jayaraga dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka Glagah Putih telah siap menghadapi orang yang bernama Warak Ireng itu.
Sejenak kemudian Warak Ireng telah menyerang Glagah Putih dengan garangnya. la benar-benar ingin membunuh anak itu dalam sekejap agar anak itu tidak mengganggunya.
Tetapi Warak Ireng benar-benar telah terkejut. Dengan tangkasnya Glagah Putih mampu mengelakkan serangan lawannya, bahkan dengan cepat pula ia justru telah menyerang dengan patukan ujung pedangnya.
Karena Warak Ireng sama sekali tidak menduga, bahwa Glagah Putih mampu bergerak secepat itu, maka ia pun terkejut bukan buatan. Hampir saja ujung pedang Glagah Putih menyentuh kulit Warak Ireng, Untunglah bahwa Warak Ireng masih sempat menggeliat dan membebaskan diri dari sambaran pedang Glagah Putih yang mengejutkan itu.
"Anak iblis" geram Warak Ireng, "karena kau mampu bergerak cepat, maka kau mengira bahwa kau sudah berhak menempatkan dirimu untuk melawan aku he?"
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia bersiap dengan penuh kewaspadaan. Warak Ireng akan dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.
Sebenarnyalah Warak Irengpun kemudian berteriak nyaring sambil meloncat menyerang. Ternyata Warak Ireng yang marah itu telah mengerahkan kemampuan cadangannya. Bahkan dengan ilmuanya yang keras ia menggerakkan senjatanya.
Glagah Putih menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Warak Ireng bukan lagi unsur kekuatan wajarnya. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah melepaskan tenaga cadangannya pula sehingga dengan alas kekuatan cadangannya, ia mampu bergerak lebih cepat.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Warak Ireng yang garang itu dengan Glagah Putih menjadi semakin sengit. Namun karena itu pulalah, maka Warak Ireng telah mengumpat-umpat. Rasa-rasanya tidak masuk akal bahwa Glagah Putih mampu melawannya untuk beberapa lama. Bahkan masih belum ada tanda-tanda bahwa anak itu mulai terdesak.
"Anak ini memang kepanjingan iblis" Warak Ireng mengumpat.
Glagah Putih sama sekali tidak menyahut. Tetapi, ia bertempur semakin mapan menghadapi lawannya yang sangat garang itu.
Pada saat Glagah Putih bertempur menghadapi lawannya, dalam pengawasan Ki Gede Menoreh, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah menghadapi orang yang bernama Punta Gembong. Dengan suara lunak Kiai Jayaraga menyapa, "He, Punta Gembong. Apakah kau lupa kepadaku?"
Punta Gembong mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun iapun kemudian menggeram, Kau ada di sini setan alas. Untuk apa kau datang kemari?"
Apakah kau ingin membalas sakit hati muridmu yang dibunuh oleh Agung Sedayu" Seandainya demikian, kau benar-benar orang yang licik. Kau memanfaatkan pasukan muridku sekarang ini untuk mengikat orang-orang Tanah Perdikan dalam satu pertempuran agar kau sempat berhadapan dengan Agung Sedayu. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak ada di sini. Bahkan aku pun sebenarnya ingin berhadapan dengan orang yang telah menggemparkan Pajang itu selain Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa sendiri."
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan salah mengerti Punta Gembong. Aku berada di sini justru berdiri di pihak Agung Sedayu."
"He?" Punta Gembong menjadi heran, "apakah kiblatmu sudah berputar?"
"Ya" jawab Jayaraga, "ternyata aku sudah kehilangan segala-galanya. Hatiku menjadi sakit bukan karena murid-muridku terbunuh. Tetapi hatiku menjadi sakit justru karena murid-muridku tidak lagi mau mengikuti jalan yang baik. Prabadaru sudah kehilangan sifat kesatrianya dan memilih bermimpi bersama kakang Panji yang ternyata juga terbunuh itu. Muridku yang lain menjadi penjahat yang sangat ditakuti orang. He, apakah kau berbangga seandainya kau mempunyai seorang murid yang ditakuti orang seperti Warak Ireng itu?"
Punta Gembong mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, "Jangan berputus asa seperti itu. Sejak kapan kau mempunyai penilaian yang demikian terhadap murid-muridmu sendiri?"
"Sejak semula" jawab Kiai Jayaraga, karena itu aku lebih senang mengasingkan diriku."
"Dan sekarang kau justru berada di tempat ini" Untuk apa sebenarnya" Bukankah kita tidak mempunyai persoalan apapun juga" Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, bahwa tiba-tiba saja kau berdiri di pihak Agung Sedayu." geram Punta Gembong.
"Jalan pikiranku memang sulit dimengerti oleh orang lain" berkata Kiai Jayaraga, "tetapi sebaiknya kau tidak perlu bersusah payah berusaha untuk mengerti. Yang jelas bagimu sekarang, aku adalah salah seorang yang berdiri di antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini."
"Jadi, tegasnya kau ingin menghadapi aku?" bertanya Punta Gembong.
"Ya. Karena aku tahu, bahwa tidak banyak orang yang dapat mengimbangi ilmumu. Aku percaya bahwa seisi barak pasukan khusus itu tidak akan ada yang dapat mengimbangi kemampuanmu."
"Dan kau telah menyerahkan dirimu untuk kepentingan itu, atau sebenarnya kau ingin membunuh diri karena kau telah dikecewakan oleh murid-muridmu?" bertanya Punta Gembong.
Kiai Jayaraga memandang Punta Gembong dengan tajamnya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah lawannya benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tidak terlawan sebagaimana dikatakan orang.
"Kenapa kau jadi bimbang he?" berkata Punta Gembong selanjutnya, "Jika kau memang ingin membunuh diri, katakanlah. Aku akan dengan senang hati membantumu."
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau memang sombong seperti yang pernah aku dengar. Baiklah, kita akan membuktikan siapakah di antara kita yang akan mati di peperangan ini. Nampaknya memang tidak ada lagi jalan keluar bagi salah seorang di antara kita. Kau atau aku."
"Kau sajalah yang mati" berkata Punta Uembong, "bukankah kau sudah terlalu banyak merasa tersiksa batinmu?"
Kiai Jayaraga tidak menjawab. Namun kemudian katanya, "Kita sudah cukup lama berbicara."
"Ya" jawab Punta Gembong.
Kiai Jayaragapun kemudian bergeser. Dipandanginya wajah lawannya yang menegang. Sementara itu, maka pertempuran antara pasukan Warak Ireng dan para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sengit. Dengan senjata masing-masing mereka saling menghentak, saling menyerang dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga dan tanpa segan-segan berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya."
Sementara itu, di sayap yang lain, Sekar Mirah telah menemukan pemimpin pasukan yang berada di sayap itu. Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.
Dengan heran Ki Linduk mengamati lawannya yang berdiri di hadapannya sambil bertanya, "Bukankah kau pemimpin dari pasukan ini?"
Ki Linduk termangu-mangu. Tetapi ia tidak salah. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang perempuan.
"Inilah perempuan-perempuan Tanah Perdikan Menoreh yang pernah disebut-sebut namanya" desis Ki Linduk. Lalu dengan nada datar ia bertanya, "Siapa namamu anak manis?"
"Sekar Mirah" jawab Sekar Mirah dengan wajah yang tegas.
Apakah kau anak Ki Gede Menoreh?" bertanya Ki Linduk pula.
"Bukan" jawab Sekar Mirah, "aku adalah anak Ki demang Sangkal Putung" jawab Sekar Mirah.
"O" Ki Linduk mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, "Dimana anak Ki Gede yang dikatakan sebagai seorang perempuan Senapati dari Tanah Perdikan.?"
"la berada di Sangkal Putung" jawab Sekar Mirah, "tetapi kenapa kau cari perempuan itu. Yang ada disini aku. Sekar Mirah."
Ki Linduk mengerutkan keningnya. Dengan suara tinggi ia berdesis. "Kenapa harus bertukar tempat" Kau, anak Sangkal Putung berada di sini, sementara anak Tanah Perdikan ini berada di Sangkal Putung?"
"ltu bukan urusanmu" bentak Sekar Mirah yang menjadi jemu, "kau lihat, pertempuran sudah berkobar di mana-mana. Apakah kau masih saja ingin berbicara panjang lebar."
Ki Linduk termangu-mangu. Namun ketika ia melihat Sekar Mirah mulai menggerakkan tongkat baja putihnya, ia menjadi berdebar-debar. Tongkat itu menurut pendengarannya, mempunyai arti yang besar bagi dunia olah kanuragan.
"He, anak manis" berkata Ki Linduk, "kenapa kau bermain-main dengan tongkat seperti itu" Tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan."
"Ini milikku" jawab Sekar Mirah, "apakah kau mengenal senjata jenis ini?"
"Senjata itu pertanda dari satu perguruan yang pernah menggemparkan Jipang. Bahkan orang-orang tua percaya bahwa pemilik tongkat itu, serta ilmu yang dikuasainya, membuat mereka seakan-akan bernyawa rangkap. Apakah dengan demikian, karena kau bernyawa rangkap, maka kau berani berdiri di medan?"
"Persetan dengan nyawa rangkap geram Sekar Mirah.
"Aku masih memperingatkanmu. Menyingkirlah. Aku adalah Ki Linduk, juga disebut Ki Sambijaya. Meskipun lawanku bernyawa rangkap lima, namun aku akan sanggup membunuhnya lima kali berturut-turut.
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. la mulai memutar tongkat baja putihnya sambil bergeser, "Aku sudah cukup lama berbicara."
Ki Linduk pun tidak berbicara lagi. Ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia pun sadar, bahwa tanpa bekal ilmu yang meyakinkan, maka perempuan itu tidak akan berani berada di medan. Para pemimpin pasukan khusus dan Tanah Perdikan tentu akan mencegahnya.
Tetapi jika perempuan itu hadir di peperangan, maka berarti bahwa ia memang pantas untuk berada di medan.
Sejenak kemudian keduanya seakan-akan sedang menilai sikap lawan, sementara itu di sekitar mereka, pertempuran menjadi semakin riuh. Namun tidak ada seorang pun yang berniat mengganggu kedua orang Senapati yang sudah saling berhadapan itu, karena mereka yakin, keduanya tentu memiliki ilmu yang tinggi.
Ketika Ki Linduk kemudian menjulurkan senjatanya, maka Sekar Mirah pun bergeser surut. Tetapi tongkat baja putihnya berputar semakin cepat.
Sesaat kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Tetapi nampaknya keduanya tidak tergesa-gesa. Keduanya masih berusaha menjajagi kemampuan lawan yang belum pernah saling mengenal. Namun bagi Ki Linduk, tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu mempunyai arti tersendiri.
Ki Linduk yang melihat bagaimana Sekar Mirah menggerakkan tongkatnya itu pun kemudian yakin, bahwa tongkat itu memang senjata andalan perempuan itu. Bukan sekedar senjata yang aneh, yang diketemukannya di sembarang tempat dan yang karena menarik, maka senjata itu dipergunakannya. Tetapi nampaknya perempuan yang bernama Sekar Mirah itu memang menguasai senjatanya sebagaimana ia menguasai tubuhnya sendiri.
Dengan demikian, maka Ki Linduk pun harus berhati-hati. Pada pengamatannya kemudian, sikap perempuan itu memang meyakinkan, bahwa ia memang seorang Senapati.
Dalam pada itu, tidak terlalu jauh dari Sekar Mirah, Agung Sedayu berusaha mengamatinya sambil bertempur di antara anak-anak muda Tanah Perdikan. Para pengikut Ki Linduk yang tersesat menyerang Agung Sedayu, tiba-tiba saja harus rnenggeram menahan gejolak perasaan. Anak muda itu seakan-akan tidak berbuat apa-apa. Tetapi ternyata bahwa setiap serangan mereka selalu gagal. Bahkan tiba-tiba saja senjata mereka telah terlempar jatuh.
"Apakah aku berhadapan dengan iblis?" geram seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang kasar.
Beberapa kali ia berusaha menyerang, bahkan kemudian bersama-sama dengan dua orang kawannya. Tetapi serangan mereka seolah-olah tidak berarti apa-apa. Anak muda itu dengan tangkasnya mengelak. Dan sekali menggerakkan tangannya, maka senjata lawannya telah terlempar.
Sebenarnyalah, Agung Sedayu telah mempergunakan senjata yang tidak terbiasa dipergunakannya. la sama sekali tidak mempergunakan cambuknya. Tetapi Agung Sedayu mempergunakan sebilah pedang.
Dengan demikian, maka lawan-lawannya menjadi heran. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak, karena anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh prajurit dari pasukan khusus yang berada di sayap pun telah bertempur dengan cepat dan tangkas, meskipun karena pengaruh lawan-lawan mereka, maka mereka pun kemudian telah bertempur dengan keras pula.
Namun dalam pada itu, di bagian lain di sayap itu pula, seseorang telah bertempur dengan garangnya pula. Jika Agung Sedayu sekedar melemparkan senjata lawannya, sehingga mereka terpaksa bergeser mundur untuk mengambil senjata mereka, sementara lawannya yang lain berusaha melindunginya, maka seorang yang menje"lang usia tua telah memungut beberapa korban. Ternyata orang itu tidak sekedar ingin bertahan dan mendesak lawannya surut, tetapi ia benar-benar telah membunuh beberapa orang prajurit dari pasukan khusus. Untunglah bahwa para prajurit itu telah mendepat tempaan yang berat dan bersungguh-sungguh, sehingga mereka tidak menjadi gentar menghadapi lawan yang nggegirisi.
Tetapi ketika seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyaksikannya, maka telah timbul satu dorongan didalam hatinya untuk melaporkannya kepada Agung Sedayu, karena di sayap itu tidak ada orang lain yang dianggap lebih baik dari Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu mendengarnya, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Ia pun segera meninggalkan tempatnya untuk melihat, apa yang telah terjadi, sebagaimana dilaporkan oleh salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika ia kemudian yakin, bahwa lawan Sekar Mirah bukan orang yang sangat berbahaya bagi Sekar Mirah. Jika Sekar Mirah tidak melakukan satu kesalahan, maka ia akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin ia akan mampu mengimbangi kekuatan dan ilmu lawannya yang garang itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah bergeser di sela-sela hiruk pikuknya pertempuran. Dengan cepat ia mendekati medan yang ditunjukkan oleh anak muda Tanah Perdikan itu.
"Tidak ada orang yang dapat membendung ke marahannya" berkata pengawal itu.
"Apakah kalian tidak menghendakinya dengan kelompok-kelompok kecil?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Tetapi orang itu seakan-akan tidak dapat ditahan oleh kekuatan apapun" jawab pengawal itu" beberapa orang prajurit telah terluka, bahkan mungkin ada yang telah terbunuh diantara mereka."
"Jadi para prajurit dari pasukan khusus gagal menahan orang itu?" bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
"Ya." jawab anak muda yang memberikan laporan itu.
Agung Sedayu bergerak semakin cepat, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah lingkaran prajurit dari pasukan khusus yang sedang mengepung seseorang, sementara itu, disekitarnya pertempuranpun berlangsung dengan sengitnya pula.
Ketika Agung Sedayu mendekati arena itu, maka dua orang yang telah terluka sedang dibawa menyingkir dari arena, sementara yang lain tengah mengacungkan senjata mereka seseorang yang sudah menjelang hari-hari tuanya.
"Luar biasa" desis Agung Sedayu yang mendekat.
Ketika ia berada di luar arena, maka ia telah mengga"mit seorang prajurit sambil bertanya, "Apa yang telah dilakukannya?"
Prajurit itu berpaling. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka tiba-tiba wajahnya menjadi cerah.
"Agung Sedayu" desisnya, "orang ini mengamuk tanpa dapat dikuasai. Lebih dari lima orang sudah dilukai, dan dua kawan kami agaknya telah gugur."
"Oleh orang ini.?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Oleh orang ini" jawab prajurit itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun, kemudian ia pun segera dapat mengenali orang itu. Orang itu adalah salah seorang dari dua orang yang di jumpainya semalam. Dengan memperlipat gandakan ketajaman penglihatannya dengan lambaran ilmunya, maka ia dapat melihat ujud dari wajah orang itu.
"Baiklah" berkata Agung Sedayu, "biarlah aku yang akan menghadapinya."
Prajurit itupun kemudian menggamit kawannya pula sambil berkata, "Agung Sedayu telah datang."
Nama itupun kemudian telah menjalar di seputar are"na, sehingga karena itu, maka beberapa orang telah me"nyibak memberi jalan kepada Agung Sedayu yang me"langkah mendekati orang yang sudah menjelang umur tuanya itu.
"Siapa kau?" bertanya orang itu, "apakah kau tahu arti dari sikapmu itu?"
"Aku mengerti Ki Sanak. Kau akan marah, dan kau akan berusaha untuk membunuh aku, sebagaimana sudah kau lakukan terhadap beberapa orang." desis Agung Sedayu.
Wajah orang itu menjadi tegang. Ketenangan sikap Agung Sedayu membuat orang itu sangat tersinggung. Ka"rena itu, maka katanya kemudian, "Anak muda, agaknya kau belum tahu siapa aku"
"Ya Aku memang belum mengenalmu. Tetapi aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, yang ternyata akan mampu mengacaukan sayap ini, apabila tidak segera mendapat perlawanan yang memadai. Mungkin dengan kelompok-kelompok kecil, tetapi mungkin memang diperlukan seseorang yang berani menghadapimu" jawab Agung Sedayu.
Orang itu menjadi semakin marah. Katanya, "Kau sudah melihat, kelompok-kelompok kecil yang berusaha untuk menahanku selalu pecah dengan korban yang jatuh tanpa hitungan. Nah, anak muda. Ternyata bahwa kau adalah anak muda yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Bukan saja di medan ini, tetapi sepanjang umurku aku belum pernah bertemu dengan anak muda seperti kau ini."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat bertanya kepada diri sendiri, "Apakah aku sekarang sudah benar-benar menjadi seorang yang sombong"
Tetapi Agung Sedayu tidak sampai merenungi dirinya sendiri. Orang yang di hadapannya itu kemudian berkata, "Dengar anak muda. Aku adalah Kumbang Talangkas. Aku adalah guru dari Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya. Jika kau tahu, apa yang dilakukan Ki Linduk sekarang, maka kau aka dapat menilai, apaxah kira-kira dapat aku lakukan."
"O" Agung Sedayu mengangguk-angguk, "maksudmu apa Ki Linduk itu yang memimpin sayap pasukan ini?"
"Ya. Ia adalah muridku" jawab orangitu.
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Katanya "Jika yang kau maksud itu pemimpin dari sayap ini, maka ia kini sedang bertempur dengan isteriku. Sekar Mirah. Aku memang sudah melihatnya. la memiliki kelebihan dari kebanyakan orang."
Jawabnya itu ternyata membuat jantung Kumbang Talangkas berdebar-debar. Anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun meskipun ia menyebut pemimpin dari sayap gelar yang sederhana itu. Bahkan Ki Linduk itu sedang bertempur melawan isteri anak muda itu.
Dengan suara bergetar Kumbang Talangkas itu bertanya, "Anak muda, apakah kau sedang ngelindur" Siapakah isterimu itu he, sehingga ia berani melawan muridku"
"Isteriku bernama Sekar Mirah, anak Ki Demang Sangkal Putung" jawab Agung Sedayu.
"Gila, Siapa kau sebenarnya?" Kumbang Talang"kas tidak sabar lagi menunggu jawaban-jawaban Agung Sedayu yang menganggapnya berkepanjangan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ?"namaku Agung Sedayu."
"O" Kumbang Talangkas menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "ternyata kau adalah Agung Sedayu. Pantas kau bersikap dingin menghadapi orang yang bernama Kumbang Talangkas. Pantas kau tidak tergetar sama sekali meskipun aku mengatakan bahwa aku adalah gurunya Ki Linduk. Tetapi bagaimanapun juga, sikap itu adalah sikap yang sangat sombong. Apakah dengan membunuh Ki Tumenggung Prabandaru kau merasa dirimu tidak terkalahkan" Padahal menurut penilaianku. Prabadaru tidak lebih dari muridku. Bahkan seandainya mendapat kesempatan, sebagaimana kau dapatkan, maka Sambijaya tentu akan dapat membunuh Prabadaru sebagaimana dapat kau lakukan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Maaf jika kau rasa aku bersikap sombong. Tetapi bukan maksudku. Aku hanya ingin menghentikan tingkahmu. Kau sudah membunuh prajurit Mataram dengan semena-mena. Sementara aku pun tidak pernah merasa tidak terkalahkan, sehingga karena itu mungkin aku masih memerlukan sekelompok prajurit untuk membantuku menghentikan usahamu membunuh tanpa ampun."
"Apakah membunuh di peperangan itu salah" bertanya Kumbang Talangkas.
"Tidak, sama sekali tidak bagi ,orang-orang yang memang kehilangan pertimbangan kemanusiaannya" jawab Agung Sedayu, "tetapi bagi orang lain, membunuh di mana pun juga harus dihindari sejauh-jauhnya. Lawan yang sudah tidak berdaya di peperangan, sesuai dengan paugeran perang, tidak dibenarkan untuk dibunuh."
"Omong kosong dengan paugeran perang" geram Kumbang Talangkas, "sekarang bersiaplah Agung Sedayu. Ingat aku sama sekali tidak akan menghiraukan paugeran perang. Karena itu, jika kau merasa tidak mampu melawan aku, kau harus berusaha secepatnya melarikan diri dan berlindung di belakang prajurit-prajurit Mataram. Mungkin kau akan selamat. Tetapi prajurit Mataram dan anak-anak Perdikan Menoreh akan tumpas tapis. Tidak seorang pun akan tinggal hidup dan kembali ke keluarganya.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata pedang Agung Sedayu itu justru telah dilepaskannya. Melawan seorang yang berilmu mumpuni, maka Agung Sedayu tidak akan dapat mempergunakan sebilah pedang biasa yang akan dengan mudah patah membentur ilmu lawannya.
Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan dalam kesiagaan tertinggi. Keduanya tidak mau lengah pada benturan pertama, meskipun rasa-rasanya mereka masih ingin menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi jika lawannya langsung mengerahkan segenap ilmunya, maka yang lain harus melakukan hal yang sama.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak dengan serta merta mengerahkan ilmu puncak. Yang mula-mula ingin diketahui adalah kecepatan gerak Agung Sedayu, sehingga ka"rena itu, maka ia pun telah berloncatan menyerang.
Namun ternyata bahwa kecepatan gerak Kumbang Talangkas tidak melampaui kemampuan gerak anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Serangan-serangan yang datang beruntun dapat dihindarinya, sehingga sama sekali tidak menyentuh kulitnya.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak segera mengaguminya, karena yang dilakukan baru tataran pertama dari iImunya, la masih akan mampu meningkatkan ilmunya sampai satu batas yang berlipat ganda.
Perlahan-lahan Kumbang Talangkas meningkatkan ilmunya sambil mengamati lawannya. Apakah anak muda itu mampu mengikuti perkembangan tingkat ilmunya itu sebagaimana dilakukannya. Selanjutnya Kumbang Ta"langkas ingin tahu, sampai dimana batas tertinggi kemampuan Agung Sedayu, sehingga ia mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru yang dianggap sebagai salah seorang Senapati yang sangat ditakuti di Pajang.
Dalam pada itu murid Kumban Talangkas tengah bertempur dengan sengitnya melawan Sekar Mirah. Tongkat baja putih Sekar Mirah berputaran dengan cepatnya, berdesing ditelinga Sambijaya, namun kadang-kadang desir angin ayunannya terasa nenyentuh kulit lengannya.
"Perempuan ini memang perempuan yang luar biasa" berkata Sambijaya di dalam hatinya. Sebenarnyalah, bahwa semakin lama tata gerak Sekar Mirah pun menjadi semakin cepat, sehingga dengan demikian maka Sekar Mirah telah mampu mengimbangi kemampuan lawannya.
Tetapi, Ki Linduk yang merasa tersinggung sejak semula, karena lawannya hanya seorang perempuan, betapapun tinggi ilmunya, telah mengerahkan kemampuannya. Adalah satu aib yang besar, bahwa seorang petualangan yang bernama besar sebagaimana Ki Linduk akan dikalahkan oleh seorang perempuan. Karena itu, semakin lama ujud dari ilmu Ki Linduk yang sebenarnya menjadi semakin jelas. Gerak dan sikapnya menjadi semakin keras dan kasar. Bahkan sekali-sekali terdengar orang itu berteriak dengan kerasnya sambil meloncat bagaikan hendak menerkam.
Tetapi Sekar Mirah yang mempunyai pengalaman yang cukup luas, berusaha untuk menyesuaikan diri. Meskipun ia adalah seorang perempuan, namun ia pun pernah menjumpai lawan yang keras dan kasar sebagaimana , yang dihadapinya pada waktu itu.
Ki Linduk yang kemudian menjadi tidak sabar menghadapi lawannya, telah menghentakkan segenap ilmunya. Senjatanya pun berputaran sebagaimana tongkat baja putih Sekar Mirah. Namun, senjata Ki Linduk yang dipergunakan untuk menghadapi tongkat baja putih itu adalah senjata yang selalu dipergunakan. la lebih senang memergunakan pedang sebagaimana pedang para pengikutnya.
Namun dalam keadaan yang sulit, maka pedang itu pun dilepaskannya. la menarik sepasang bindi besi kecil yang menurut pendapatnya lebih sesuai untuk menghadapi tongkat baja putih Sekar Mirah.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, kedua tangan Ki Linduk itu sudah berputaran sepasang bindi yang berwarna kehitam-hitaman Bindi yang bergerigi memanjang hampir sepanjang tubuh bindi itu, kecuali pada tangkainya.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Bindi itu merupakan senjata keras sebagaimana senjatanya. Karena itu, maka Sekar Mirah sudah dapat menduga, bahwa Ki Linduk benar-benar ingin bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatannya. Ki Linduk ingin membenturkan senjata mereka masing-masing dengan sepenuh tenaga yang ada dilambari dengan kekuatan ilmu yang jarang ada bandingannya.
Karena itu, Sekar Mirah pun telah bersiap sepenuhnya. la mengerti jalan pikiran Ki Linduk. Orang itu menduga, bahwa karena ia seorang perempuan, maka ia mempercayakan kemampuannya kepada kecepatan geraknya.
"Tetapi Sekar Mirah pun percaya akan kekuatan diri. Latihan-latihan yang berat telah menempanya. Pada saat-saat ia akan memasuki barak dan kemudian secara tetap memberikan latihan-latihan kepada para pengawal dalam pasukan khusus, telah mendorongnya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan teratur dan terus-menerus, ia meningkatkan ilmunya dan kekuatan tubuhnya, memperbesar tenaga cadangan yang ada pada dirinya serta membentuk kemungkinan-kemungkinan yang sulit dijajagi orang lain dalam benturan ilmu.
Karena itu, aka Sekar Mirah pun telah sesiap sepenuhnya menghadapi senjata keras lawannya yang berputar semakin lama semakin keras itu.
Ternyata perhitungan Sekar Mirah benar. Bagi Ki Linduk, betapa pun kuatnya seorang perempuan, namun akan sulit baginya untuk mengimbangi kekuatan seorang laki-laki, apalagi seorang laki-laki yang berilmu tinggi.
Dengan perhitungan itulah, maka seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Ki Linduk pun kemudian menyerang dengan kedua bindinya tanpa menghiraukan apakah sikapnya pantas dilakukan dihadapan seorang perempuan meskipun di medan perang. Dengan kasarnya Ki Linduk meloncat-loncat sambil berteriak. Sepasang bindi terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali bindi itu menyerang dalam ayunan mendatar, namun tiba-tiba bindi itu berubah arah, berputar dengan dahsyatnya melibat lawannya.
Tetapi Sekar Mirah cukup cepat bergerak. Namun sekali terjadi, ayunan bindi lawannya hampir saja menyentuh pelipisnya. Dengan cepat Sekar Mirah memiringkan tubuhnya sambil menarik kepalanya. Namun dengan cepat pula. Bindi lawannya yang lain telah terayun mendatar menyambar dada.
Sekar Mirah sempat meloncat surut. Tetapi agaknya hat itu sudah diperhitungkan oleh Ki Linduk. Karena itu, demikian Sekar Mirah terlontar dari tempatnya, Ki Linduk pun telah meloncat memburu dengan cepat sekali. Justru pada saat kaki Sekar Mirah menyentuh tanah, maka bindi yang berada di tangan kanan Ki Linduk telah terayun langsung ke arah dahi.
Tidak ada kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka dengan lambaran kekuatan cadangan yang ada pada dirinya, dalam hentakkan ilmunya, Sekar Mirah telah memukul bindi itu dengan tongkat baja putihnya.
Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat sekali. Benturan yang tidak diduga sebelumnya oleh orang yang bernama Ki Linduk seorang petualang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Bindi yang bergerigi membujur sepanjang tubuh bindi itu, selain pada tangkainya, yang telah membentur tongkat baja putih Sekar Mirah yang diterimanya dari gurunya. Ki Sumangkar telah menggetarkan jantung kedua belah pihak. Bunga-bunga api yang memercik dari titik benturan itu berloncatan di udara, sementara terasa telapak tangan kedua orang yang saling membenturkan senjatanya itu menjadi pedih.
Hampir saja bindi Ki Linduk itu terloncat dari genggaman. Namun untunglah, betapa pedihnya tangannya, namun Ki Linduk berhasil menyelamatkan senjatanya. Sementara Sekar Mirah berdesis menahan sakit pada telapak tangannya.
Dengan serta merta, keduanya telah berloncatan surut. Sejenak keduanya berdiri menegang, sementara telapak tangan mereka masih saja terasa sakit.
"Iblis betina" geram Ki Linduk, "ternyata kau memiliki kekuatan jauh di atas dugaanku."
Sekar Mirah tidak menjawab Dipandanginya wajah Ki Linduk dengan tajamnya. Namun dengan demikian Sekar Mirah pun menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka untuk selanjutnya, maka Sekar Mirah pun harus mempersiapkan ilmu puncaknya untuk menghadapi lawannya yang tentu akan mengerahkan ilmunya pula.
Dalam pada itu, pertempuran di seluruh medan menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mulai dibasahi oleh keringat, bahkan beberapa orang telah menjadi basah oleh darah.
Di induk pasukan para prajurit yang terseret oleh mimpi Ki Tumenggung Purbarana telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka Sebagai prajurit, maka mereka mempunyai pengalaman bertempur dalam gelar meskipun gelar yang sederhana. Tetapi ternyata bahwa para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu, mampu menunjukkan kepada lawannya bahwa mereka benar-benar prajurit yang terlatih. Dengan mantap mereka bertempur dalam kerja sama yang saling mengisi dan saling membantu, sebagaimana prajurit bertempur dalam gelar.
Namun lawan mereka pun adalah prajurit-prajurit Mataram dari pasukan khusus yang ditempa dengan sungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mereka pun mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi pertempuran yang keras clan garang. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak tergetar menghadapi para prajurit Pajang yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana."
". kalimat tidak nyambung, asli dari teks aslinya..
kan itu menjadi semakin sengit. Anak-anak muda terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh pun berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kerasnya pertempuran, sehingga karena itu, maka mereka yang merasa dirinya kurang berpengalaman telah bertempur berpasangan.
Agak berbeda dengan di induk pasukan, maka di sayap pasukan, pertempuran benar-benar menjadi keras dan kasar. Seakan-akan tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan.
Para pengikut Ki Linduk dan Ki Warak Ireng, sama sekali tidak terbiasa bertempur dengan gelar. Yang biasa mereka lakukan dalam kelompok-kelompok Yang besar atau kelompok-kelompok yang besar atau kecil adalah bertempur dalam campuh berbaur antara kawan dan lawan. Karena itu, maka di kedua sayap telah ter,jadi perang brubuh yang kisruh.
Mula-mula para prajurit muda para prajurit Mataram dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh merasa agak canggung menghadapi lawan yang kasar dan bahkan liar. Tetapi mereka juga mendapat latihan perang dalam gelar dan bertempur secara pribadi, maka dengan cepat merekapun segera menyesuaikan diri. Para prajurit dari pasukan khusus itu telah ditempa pula dalam keadaan yang paling sulit yang mungkin mereka hadapi. Latihan-latihan untuk membentuk tubuh mereka dan meningkatkan kekuatan mereka telah mereka lakukan dengan sebaik-baiknya sebelum pasukan khusus itu harus turun di medan pertempuran melawan Pajang di Prambanan.
Karena itu, maka merekapun tidak lagi merasa terlalu terikat dala.m kerja sama dengan seluruh pasukan dalam gelar. Tetapi mereka menempatkan diri dalam pertempuran seorang melawan seorang.
Seperti di induk pasukan, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh pun berusaha untuk menyesuaikan diri mereka dengan keadaan di sekitar mereka. Pertempuran yang menjadi semakin luas dan sama sekali tidak mengingat paugeran apapun yang pernah ada bagi pertempuran yang terjadi antara dua pasukan.
Di dalam hiruk pikuk pertempuran itu, Glagah Putih telah mengerahkan segenap ilmu yang pernah diterimanya untuk mengghadapi Ki Warak Ireng. Ternyata Ki Warak Ireng tidak ingin kehilangan terlalu banyak waktu untuk menghadapi anak-anak yang menurut perhitungannya masih terlalu muda untuk menempatkan diri menjadi lawannya. Karena itu, Warak Ireng yang merasa terhina oleh sikap yang dianggapnya terlalu sombong itu, telah berusaha secepatnya mengakhiri perlawanan anak itu.
Tetapi ternyata Warak Ireng telah salah menilai. Anak muda itu tidak terlalu mudah untuk di selesaikannya. Anak muda itu memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Bahkan dalam benturan-benturan senjata, anak itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
"Apakah anak ini demit" geram Ki Warak Ireng.
Namun sebenarnya, Glagah Putih mampu bergerak secepat burung sikatan. Warak Ireng yang berusaha menerkamnya sama sekali tidak berhasil menyentuhnya. Glagah Putih dengan tangkasnya berloncatan mengintari lawannya. Menyerang dari arah yang tidak terduga-duga. Kemudian melejit menghindari beberapa langkah surut. Namun yang dengan tiba-tiba saja telah terbang menyambarnya seperti seekor burung elang.
Warak Ireng yang marah itu sekali-sekali berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya oleh kemarahan yang menghentak-hentak. Rasa-rasanya ia tidak menghadapi seorang anak muda dalam benturan ilmu, tetapi rasa-rasanya bagaikan seorang pemburu yang tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai buruannya, yang kadang-kadang justru telah menyerangnya.
Namun, lambat laun Warak Ireng tidak dapat untuk tetap menganggap bahwa lawannya adalah sekedar seekor kelinci yang lincah yang sempat menghindari terkaman tangannya yang kuat. Tetapi anak muda itu adalah benar-benar seekor burung rajawali yang dengan kuat dan kuku-kukunya yang tajam menyambarnya dari segala penjuru.
"Anak setan ini harus dibunuh" geram Warak Ireng, "jika tidak kelak ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya."
Dengan demikian, maka Warak Ireng benar-benar telah mengarahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan anak muda yang baginya bagaikan harimau yang besar dan garang. Karena itu, sebelum anak itu sempat menakuti orang-orang dari lingkungan sebagaimana lingkungannya, maka anak itu harus dibunuhnya.
Tetapi, membunuh Glagah Putih bukan satu pekerjaan yang mudah. Meskipun serangan-serangan Warak Ireng kemudian datang bagaikan badai, namun Glagah Putih masih sempat menghindarkan dirinya dari sentuhan kekuatan lawannya.
Tetapi sebenarnyalah, Warak Ireng mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari Glagah Putih. Sementara itu, tempaan selama hidup petualangannya telah membuatnya menjadi orang yang luar biasa. Tenaganya menjadi sangat kuat, di alasi dengan tenaga cadangannya. Kemampuan bergerak cepat seakan-akan melampaui kemampuan pengamatan mata wadag.
Glagah Putih memang mampu mengimbangi kecepatan gerak Warak Ireng. lapun memiliki kekuatan yang sangat besar, karena Glagah Putih dalam latihan-latihannya yang berat, berhasil membangun kekuatan cadangannya sebaik-baiknya jika diperlukan. Tetapi pengenalannya atas jenis ilmu lawannya dan pengalamannya menghadapi ilmu yang kasar dan buas itu masih belum mencukupi.
Dengan demikian, perlahan-lahan Glagah Putih telah terdesak. Sekali-sekali ia menjadi bingung melihat sikap lawannya, yang sama sekali tidak diduganya. Bahkan sama sekali diluar perhitungan nalarnya.
Sementara itu, pertempuran di sekitarnya semakin lama menjadi semakin dahsyat pula. Para pengikut Warak Ireng memang bertempur sebagaimana dilakukan oleh pemimpinnya. Kasar, buas dan liar. Namun para prajurit dari pasukan khusus berusaha untuk dapat mengimbangi tingkah laku lawannya, bahkan mereka mempunyai kemampuan berpikir dan membuat perhitungan lebih baik dari lawan-lawan mereka.
Di bagian lain dari arena pertempuran yang ribut, Kiai Jayaraga bertempur melawan guru Warak Ireng yang pernah dikenalnya sebelumnya. Keduanya memang orang-orang yang berilmu tinggi. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka, sulit untuk dapat dimengerti oleh para pengikut Warak Ireng dan oleh anak-anak n:uda Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan oleh para prajurit dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.
Kedua orang itu tidak berloncatan sambil mengayunkan senjata. Tidak pula membenturkan pukulan-pukulan mereka secara wadag. Namun ternyata keduanya telah memasuki pertempuran dalam benturan ilmu yang sulit dijajagi dengan indera kewadagan.
Kedua orang itu memang tidak terlalu banyak bergerak. Keduanya bergeser selangkah-selanglah. Namun tiba-tiba dari tubuh mereka bagaikan terlontar kekuatan yang kurang dapat dipahami ujudnya. Namun yang tiba-tiba mempunyai kekuatan bagaikan sergapan segumpal api yang dapat membakar.
Tetapi lawannya dengan tangkasnya dapat menghindarkan diri. Hampir tidak nampak gerak apa pun juga dari ujungjari kakinya sampai ke ujung rambut. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah tidak lagi berada ditempatnya.
Kiai Jayaraga memang memiliki kekuatan yang dapat disadapnya dari kekuatan yang ada bentangan alam ini. Kekuatan air, api, udara dan yang tersimpan di dalam bumi. Lontaran-lonteran kekuatan serta ungkapan-ungkapan tenaganya kadang-kadang sulit untuk dimengerti.
Namun Punta Gembong adalah seorang yang jarang ada duanya. Lontaran serangannya kadang-kadang diungkapkan lewat suaranya. Orang itu seakan menggeram dan mengaum bagaikan seekor singa. Namun dari getar suaranya seolah-olah udara menjadi bergelombang melanda lawannya. Gelombang yang dahsyat itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang dapat melemparkan sasarannya sampai berpuluh-puluh langkah.
Tetapi Kiai Jayaraga kakinya bagaikan berpegang pada kekuatan bumi. Meskipun tubuhnya seakan-akan terguncang dan terdorong oleh gelombang ungkapan kekuatan Punta Gembong, tetapi kakinya seolah-olah telah melekat pada bumi, sehingga dengan demikian, ma ka Kada bumi, sehingga dengan demikian, maka Kiai Jayaraga itu tidak tergeser sejengkal pun dari tempatnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Jayaraga seakan-akan telah menghembuskan sesuatu dari celah-celah bibirnya. Tiba-tiba saja tanah tempat Punta Gembong berpijak itu bagaikan meledak. Batu-batu padas berserakan berterbangan di sekitar ledakan itu.
Tetapi ternyata bahwa Punta Gembong sudah tidak berdiri ditempatnya. Tidak terlihat oleh mata wadag, kapan ia telah meloncat menyingkir dari ledakan yang akan dapat meremukkan tubuhnya itu.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itu telah menyibukkan para pengikut Warak Ireng dan para prajurit dari Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertempur. Mereka tidak mau terpercik ilmu yang dahsyat itu yang akan dapat meremukkan tubuh mereka menjadi berkeping-keping.
Bahkan kadang-kadang satu dua orang di antara mereka yang sedang bertempur itu justru membeku menyaksikan pertempuran yang aneh antara kedua orang tua yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Kadang-kadang dua orang yang bertempur, seakan-akan saling memberikan kesempatan kepada lawannya untuk melihat satu keajaiban yang terjadi di arena itu.
Namun apabila mereka menyadari keadaan masing-masing, dengan tiba-tiba saja keduanya telah berloncatan saling menyerang, sehingga pertempuran telah terjadi dengan sengitnya.
Dengan demikian, maka telah terjadi satu arena yang seakan-akan memang disediakan khusus bagi Kiai Jayaraga dan Ki Punta Gembong. Pertempuran diantara para pengikut Ki Warak Ireng dengan para prajurit Mataram serta anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah menyibak beberapa puluh langkah.
Sementara itu, di induk pasukan, Ki Bagaswara telah berhadapan dengan murid saudara seperguruannya. Dengan Kiai Santak ditangan, maka Ki Tumenggung Purbarana memang menjadi sangat garang. Jika keris itu di ayunkan, maka rasa-rasanya udara yang mengandung api telah menerpa tubuh Kiai Bagaswara, sehingga karena itu, maka setiap kali, Kiai Bagaswara harus berusaha untuk meloncat menghindari garis serangan keris Kiai Santak.
"Luar biasa" desis Kiai Bagaswara, "keris Kiai Santak memang luar biasa."
Sebenarnyalah bahwa Kiai Bagaswara mengenal pusaka pemberian gurunya itu memang merupakan pusaka yang luar biasa. Apalagi Purbarana memang sudah memiliki seluruh dasar ilmu perguruannya, meskipun masih harus dikembangkan didalam dirinya. Dengan modal itulah, maka ia benar-benar merupakan orang yang sangat berbahaya di medan pertempuran.
Untunglah bahwa yang menghadapinya adalah paman gurunya yang mengenal ilmu Ki Tumenggung Purbarana sebagaimana gurunya sendiri mengenalinya. Karena itu, maka betapapun juga Ki Tumenggung Purbarana mengerahkan ilmunya, namun paman gurunya mampu mengatasinya.
Meskipun demikian, pangaruh keris Kiai Santak memang terasa sulit diatasi oleh Kiai Bagaswara. Keris itu rasa-rasanya mampu memancarkan kekuatan yang dapat mempengaruhinya. Jika pengaruh keris itu menyentuhnya, maka rasa-rasanya kekuatannya menjadi susut.
Karena itulah, maka Kiai Bagaswara harus berusaha untuk menghindari garis pengaruh keris lawannya. Sebagai saudara seperguruan dari pemilik keris itu, maka Kiai Bagaswara serba sedikit dapat mengenali pula watak keris yang bernama Kiai Santak itu.
Di sayap yang sebelah, Sekar Mirah bertempur dengan dahsyatnya. Sementara itu, di bagian lain dari sayap itu, Agung Sedayu berhadapan langsung dengan Kumbang Talangkas yang dengan hati-hati menghadapi anak muda yang telah mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru itu.
Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru bukan orang yang menakutkan bagi Kumbang Talangkas. Bahkan ia merasa, bahwa muridnya Ki Sambijaya akan dapat mengalahkan Tumenggung itu apabila ia mendapat kesempatan.
Karena itu meskipun ia bertempur dengan sangat hati-hati, namun ada sepercik kebanggaan di dalam dirinya, bahwa pada akhirnya ia akan dapat membunuh anak muda yang bernama Agung Sedayu, yang telah mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, namun yang dalam pertempuran itu, Agung Sedayu sendiri telah mengalami luka-luka yang cukup berat di dalam tubuhnya.
Tetapi, sebenarnyalah bahwa kemampuan Agung Sedayu telah semakin meningkat. Setelah ia sembuh dari luka-luka di bagian dalam tubuhnya, sambil menunggu kitab yang saat itu sedang berada di tangan Swandaru, Agung Sedayu telah mematangkan ilmunya berlandaskan pada ilmu yang sudah ada di dalam dirinya, serta isi kitab Ki Waskita yang seakan-akan sudah terpahat di dinding jantungnya. Apalagi ketika ia sudah mendapat kesempatan mengamati dan kemudian mematerikan dalam ingatannya, isi kitab gurunya. Kiai Gringsing
Saat-saat itu, ternyata telah menempa Agung Sedayu lahir dan batin, sehingga ilmunya telah meleset semakin tinggi.
Dalam keadaan yang demikian itulah, Agung Sedayu berhadapan dengan Ki Kumbang Talangkas, yang merasa dirinya memiliki kelebihan dari lawannya.
Namun dalam pada itu, ternyata Kumbang Talangkas menjadi berdebar-debar. Ia sudah meningkatkan ilmunya hampir sampai kebatas puncaknya. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu masih mampu mengimbanginya. Bahkan ketika Kumbang Talangkas ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu satu jenis ilmu yang tentu akan sangat mengherankannya, ilmu yang menjadikannya mampu bergerak secepat sikatan menyambar bilalang, justru Kumbang Talangkas sendiri yang menjadi kecewa.
Ternyata bahwa lawannya yang muda itu, mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Agung Sedayu telah menghindari serangan Kumbang Talangkas yang datang melandanya bagaikan angin prahara. Bahkan Agung Sedayu mampu bergerak bagaikan tubuhnya telah kehilangan bobot. Kakinya dengan tangkas melontarkan tubuhnya berloncatan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah. Bahkan yang dilihat oleh Kumbang Talangkas adalah satu hal yang tidak dapat dimengertinya. Agung Sedayu kecuali mampu bergerak cepat sekali, maka iapun mampu melemparkan tubuhnya melampaui kemampuan jangkau Kumbang Talangkas.
"Apakah anak ini dapat terbang?" pertanyaan itu tiba-tiba telah menggelitik hati Kumbang Talangkas. Ternyata bahwa ilmu Kumbang Talangkas yang dapat mendorongnya untuk bergerak dengan kecepatan yang sulit untuk diikuti dengan pandangan mata wadag, sama sekali tidak menyulitkan kedudukan Agung Sedayu. Kumbang Talangkas sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mempunyai kemampuan untuk membuat dirinya seakan-akan kehilangan bobot sehingga berlandaskan ilmunya yang lain, maka pemanfaatan dari ilmunya untuk meringankan tubuhnya itu. menjadi sangat bera rti .
Dengan demikian, maka pertempuran antara Kumbang Talangkas dan Agung Sedayu itu semakin lama menjadi seakin dahsyat. Namun mereka masih berada dalam batas pertempuran yang melibatkan seluruh kewadagannya.
Karena itu maka keduanya masih nampak saling menyerang dan menghindar, meskipun gerakan mereka semakin sulit dan aneh.
Tetapi, orang-orang yang bertempur di antara mereka di sayap itu, masih melihat keduanya berloncatan, meskipun kadang-kadang dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
Namun, kemampuan mereka pun semakin lama semakin berkembang Kumbang Talangkas yang menjumpai perlawanan yang tidak terduga itu akhirnya menggeram "Kau memang luar biasa anak muda. Inilah agaknya Agung Sedayu yang mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi sayang, bahwa aku bukan Prabadaru yang kehilangan akal melihat kau meloncat melampaui jangkauan tanganku."
Jawaban Agung Sedayu membuatnya semakin marah, seakan-akan Agung Sedayu sengaja mengejeknya. Katanya, "Aku mengerti bahwa kau tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Dan itu aku tidak boleh menjadi lengah."
"Persetan" Kumbang Talangkas berteriak. Namun terasa oleh Agung Sedayu, bahwa teriakan lawannya bukan lagi teriakan yang biasa. Suaranya mengandung satu getaran yang seakan-akan menghentak jantungnya.
Dengan cepat Agung Sedayu mengatur dirinya, membangunkan kekuatan untuk melawan serangan Kumbang Talangkas yang mulai merambah pada lontaran ilmunya yang jarang ada duanya.
Ternyata bahwa serangan itu tidak berpengaruh sama sekali atas Agung Sedayu masih mampu bertempur sebagaimana sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dadanya mengalami guncangan oleh serangan ilmunya lewat suaranya.
Maka kumbang Talangkaspun menjadi semakin berhati-hati. Lawannya ternyata benar-benar seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.
Dengan demikian, maka Kumbang Talangkas tidak lagi mempercayakan serangan pada unsur kewadagannya, betapapun dilambari dengan kekuatan cadangan, karena ia yakin, bahwa lawannya akan selalu dapat mengimbanginya. Perlahan-lahan ia mulai merambah ke ilmunya yang sulit dimengerti oleh orang-orang kebanyakan.
Agung Sedayu yang untuk beberapa saat terakhir selalu menekuni ilmunya di dalam sanggar, apalagi setelah ia mendapat kesempatan untuk membaca kitab gurunya, ternyata telah membentuknya menjadi seorang yang semakin matang. Ilmunya seakan-akan dipergunakan sesuai dengan keinginannya. la menguasai ilmu dari gurunya, ilmu dari ayahnya yang dipelajarinya di dinding goa meskipun ia kehilangan bagian terakhir, namun oleh ketajaman penglihatan hatinya, maka bagian yang hilang itu akhirnya dapat diketemukannya didalam ketekunan pencahariannya lewat ketajaman nalar budinya. Sementara itu, ia telah mendekat kesempatan untuk mempelajari isi kitab Ki Waskita dan rumit namun memiliki daya kekuatan yang sangat tinggi sebelum ia sempat menelaah isi kitab gurunya sendiri.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu benar-benar telah siap untuk melawan orang yang bernama Kumbang Talangkas itu, yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.
Semakin lama Kumbang Talangkas semakin sedikit bergerak. Tetapi serangan-serangannya terlontar lewat ilmunya yang sulit bandingannya. Ketika ia dengan kecepatan yang sama Agung Sedayu telah meloncat mengelak.
Namun demikian Kumbang Talangkas meluncur lewat disisinya tanpa berhasil menyentuhnya, terasa kekuatan yang luar biasa telah menolaknya.
Agung Sedayu terkejut mengalami tolakan kekuatan yang sangat besar itu. Sementara itu ia masih belum siap membenturkan kekuatannya. Karena itu, maka dibiarkannya dirinya terdorong oleh kekuatan itu, sementara ia sempat meningkatkan pengetrapan ilmu kebalnya sehingga ketika ia terbanting jatuh, tubuhnya sama sekali tidak mengalami sesuatu.
Kumbang Talangkas melihat Agung Sedayu terlempar kesamping. Ia pun melihat anak muda itu terbanting jatuh.
Sesaat Kumbang Talangkas melihat kemenangan kekuatan ilmunya atas ilmu anak muda itu. Dengan bangga ia melihat Agung Sedayu terguling beberapa kali. Dengan kecepatan yang tinggi, ia sempat meloncat mendekat dan berdiri bertolak pinggang sambil berteriak, "0, itukah yang disebut Senapati besar yang menggetarkan Mataram."
Tidak terdengar jawaban. Agung Sedayu yang terguling beberapa kali, perlahan-lahan bangkit berdiri. la sempat melihat pertempuran di sekitarnya. la sadar, bahwa beberapa orang prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sempat memperhatikannya dengan cemas.
Namun Agung Sedayu tidak ingin mengecewakan mereka, agar mereka tidak menjadi berkecil hati. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun kemudian menggeliat sambil berkata, "Satu permainan yang mengasikkan. He, Kiai. Darimana Kiai menyerap kekuatan aneh itu. Serangan Kiai sama sekali tidak menyentuh sasaran. Tetapi ternyata Kiai masih mempunyai kekuatan yang luar biasa yang mampu mendorong dan bahkan melemparkan aku sejauh ini."
Kumbang Talangkas mengerutkan keningnya. la melihat Agung Sedayu berdiri tegak. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia mengalami sesuatu pada tubuhnya meskipun ia terbanting jatuh dan berguling beberapa kali.
"Anak muda" geramnya, "kau memang seorang yang luar biasa. Kau sama sekali tidak terluka meskipun kau terbanting jatuh karena kau telah terlempar oleh kekuatan ilmuku."
"Karena justru aku tidak melawan kekuatan ilmumu itu Kiai" jawab Agung Sedayu, "aku terbebas dari benturan yang dapat melukai bagian dalam tubuhku."
Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Diamatinya orang yang bernama Agung Sedayu itu dengan saksama. Kemudian dengan nada dalam ia berkata, "Ternyata kau bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Mungkin kau berhasil menghindari benturan ilmu karena kau belum siap sehingga dengan demikian justru kau tidak mengalami luka di bagian dalam tubuhmu. Tetapi ternyata bahwa kulitmupun sama sekali tidak tergores oleh batu padas yang runcing. Kulitmu tetap utuh seperti semuia.
"Aku berusaha untuk jatuh dengan mapan" jawab Agung Sedayu.
Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin kau mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri selagi kau terjatuh oleh lontaran ilmuku. Tetapi ada kemungkinan lain. Mungkin kau memang memiliki satu lapis ilmu yang dapat melindungi dirimu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi bahwa Kumbang Talangkas dapat melihat kemungkinan itu adalah wajar sekali. Penglihatan batin orang itu tentu sangat tajam sebagaimana orang-orang berilmu tinggi lainnya.
Namun dengan demikian Agung Sedayu harus menjadi lebih berhati-hati. Jika orang itu yakir bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal, maka ia akan mempergunakan puncak ilmunya, karena ia merasa tidak akan dapat menembus ilmu kebal itu jika ia tidak merambah sampai ke puncak ilmunya itu.
Demikianlah, maka sebenarnya sebagaimana diduga oleh Agung Sedayu. Kumbang Talangkas tidak lagi bernafsu untuk bertempur mempergunakan wadagnya. Tetapi ia benar-benar ingin membenturkan ilmunya. Seberapa jauh orang yang disebut Agung Sedayu itu mampu mengimbangi ilmunya.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Kumbang Talangkas sama sekali tidak mempergunakan tubuhnya. Ketika ia melihat Agung Sedayu sudah bersiap, maka tiba-tiba saja Kumbang Talangkas itu menjulurkan tangannya.
Demikian tiba-tiba. Namun Agung Sedayu sempat melihatnva. Karena itu maka iapun segera meloncat dari garis serangan. la sadar bahwa serangan yang demikian tentu akan mempunyai akibat yang gawat bagi dirinya.
Tetapi ternyata bahwa pengaruh scrangan itu benar-benar luar biasa. Meskipun Agung Sedayu sudah berhasil meloncat menyingkir dari garis senangan namun terasa angin yang sangat kuat telah mendorongnya.
Sekali lagi Agung Sedayu tidak membentur kuatan itu dengan kekuatannya yang manapun juga. la membiarkan diri terlempar dan jatuh terbanting di tanah. Namun dengan lambaran ilmu kebalnya Agung Sedayu sama sekli tidak terluka.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan lebih banyak lagi. Belum lagi ia sempat melenting berdiri, maka serangan itupun telah datang lagi. Demikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu tidak sempat rnengelakkan diri dari garis serangan Kumbang Talangkas.
Ternyata akibatnya terasa dahsyat sekali. Sekali lagi Agung Sedayu bagaikan dilemparkan oleh kekuatan angin. Tetapi ternyata bahwa kekuatan itu tidak hanya melemparkannya. Tetapi rasa-rasanya tubuh Agung Sedayu bagaikan dihimpit oleh kekuatan yang sangat besar.
Dengan kemampuan ilmunya Agung Sedayu tertahan, sehingga dadanya tidak retak karenanya. Namun untuk sesaat, nafasnya memang terasa sesak.
Namun Agung Sedayu masih sempat berikir la sadar, bahwa lawanya tentu akan melontarkan serangan lagi demikian ia terbanting jatuh ditanah. Lawannya tidak akan menunggu ia terguling beberapa kali, agar ia tidak sempat melenting meghindari serangan berikutnya.
Karena itu, selagi Agung Sedayu masih terayun di udara, maka iapun sempat menggeliat. Demikian cepat Kakinya menggapai menyentuh tanah.
Ternyata sentuhan itu mempunyai akibat yang besar sekali baginya. Sentuhan itu telah berhasil melontarkan tubuhnya yang seakan-akan tidak lagi mempunyai bobot.
Karena itu, ketika Kumbang Talankas melancarkan serangannya, sesuai dengan perhitungannya tepat ditempat Agung Sedayu akan jatuh, maka ternyata Kumbang Talangkas tidak mengenai sasarannya. Agung Sedayu sudah melenting dan kemudian tegak beberapa langkah, dari sasaran serangan Kumbang Talangkas.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Agung Sedayu tidak mau menjadi sasaran serangan tanpa berbuat sesuatu. la mampu memanfaatkan waktu yang sejenak, ketika untuk sekejap Kumbang Talangkas merenungi kegagalannya.
Namun yang sekejap itu telah dipergunakan oleh A gung Sedayu sebaik baiknya. Demikian. ia tegak di atas tanah, maka ia pun segera melontarkan serangannya lewat sorot matanya.
Serangan itu telah mengenai lawannya seakan-akan langsung mengorek sampai ke pusat jantung: Terasa sakit yang amat sangat telah meremas di dada Kumbang Talangkas.
"Setan" geramnya sambil meloncat menghindar. Tetapi ia tidak mampu mengimbangi kecepatan mata Agung Sedayu. Selagi Agung Sedayu masih mampu melihat geraknya, maka serangannya masih belum terlepas dari tubuhnya.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak menyerah. Dalam keadaan yang sulit, karena itu tidak mendapat kesempatan untuk melontarl:an ilmunya, maka tiba-tiba saja Kumbang Talangkas kembali mempergunakan unsur kewadagannya. Tiba-tiba saja tangannya telah bergerak sambil menyeringai menahan sakit.
Agung Sedayu sempat melihat. Ketajaman matanya yang memancarkan serangan itu sempat melihat beberapa benda meluncur ke arah matanya itu. Paser-paser kecil. Agung Sedayu terkejut. Tetapi gerak naluriahnya lah yang telah mendorongnya untuk bergeser menyamping meskipun ia sudah mengetrapkan ilmu kebalnya. Tetapi jika kemampuan lawannya mampu menembus ilmu kebal justru di arah mata, akibatnya akan sangat pahit.
JILID 183 WARAK IRENG mengerutkan keningnya. Dengan sorot mata yang bagaikan menyala ia bertanya, "He, apakah kau, kau bermimpi atau mengigau."
Glagah Putih bergeser mendekat. Tetapi ia tetap berhati-hati menghadapi orang yang besar itu. Setiap saat orang itu akan dapat berbuat sesuatu diluar dugaannya.
"Siapa kau?" tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Warak Ireng.
"Ada baiknya kau mendengar namaku" jawab Warak lreng, "namaku, Warak Ireng."
"0, jadi aku berhadapan dengan Warak Ireng, bukan yang bernama Linduk" desis Glagah Putih.
"He, apakah kau ini anak yang gila dan tersesat memasuki arena?" bertanya Warak Ireng.
"Tidak. Namaku Glagah Putih" jawab Glagah Putih, "aku mendapat tugas menghadapi Senapati di sayap ini seperti yang sudah aku katakan. Apakah ia bernama Warak Ireng, atau bernama Linduk yang juga disebut Sambijaya.
"O, kau agaknya memang anak gila" geram Warak Ireng, "tetapi karena kau sudah terlanjur memasuki arena ini, maka biarlah aku menyempatkan waktunya sejenak membunuhmu."
Glagah Putih tidak menjawab, Tetapi ia pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia menyadari akan kemampuan Iawannya yang memiliki pengalaman jauh lebih luas dari padanya dalam dunia kanuragan dan petualangan, namun Glagah Putih tidak merasa gentar menghadapinya.
Selangkah ia bergeser maju. Sementara itu, di sebelah menyebelah pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dari pasukan khusus Mataram yang bertempur pada garis pertama ternyata tidak mampu menutup semua lubang penyusupan, sehingga beberapa orang lawan yang berhasil melampaui baris pertama telah bertemu denga anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang berada di sayap pasukan. Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah memiliki bekal kemampuan dan pengalaman untuk bertempur di medan yang keras. Karena itu, maka mereka pun dengan tangkasnya telah menghadapi senjata lawan yang terayun-ayun dan berputaran.
Glagah Putih mulai mengacukan pedangnya ke arah Warak Ireng yang masih termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya bahwa ia harus bertempur menghadapi anak semuda itu.
Tetapi Glagah Putih mulai menggerakkan pedangnya. Sambil bergeser ia berkata, "Warak Ireng, aku akan membunuhmu. Jika kau terlalu lama kebingungan, maka kau akan mati tanpa arti. "
"Jadi kau benar-benar ingin bertempur?" geram Warak Ireng.
"Sebagaimana kau lihat, aku sudah siap" sahut Glagah Putih.
Warak Ireng bukannya jenis orang yang sempat membuat pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. la menjadi heran. Namun ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menghindari lawannya yang dinilainya masih sangat muda itu.
Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, "Baiklah. Marilah. Aku antarkan nyawamu keneraka."
Glagah Putih bergeser setapak surut. la melihat Warak Ireng sudah mengambil ancang-ancang. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan bekal ilmu yang dikuasainya atas dasar ilmu keturunan Ki Sadewa serta kemampuan yang dipelajarinya dari Kiai Jayaraga dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka Glagah Putih telah siap menghadapi orang yang bernama Warak Ireng itu.
Sejenak kemudian Warak Ireng telah menyerang Glagah Putih dengan garangnya. la benar-benar ingin membunuh anak itu dalam sekejap agar anak itu tidak mengganggunya.
Tetapi Warak Ireng benar-benar telah terkejut. Dengan tangkasnya Glagah Putih mampu mengelakkan serangan lawannya, bahkan dengan cepat pula ia justru telah menyerang dengan patukan ujung pedangnya.
Karena Warak Ireng sama sekali tidak menduga, bahwa Glagah Putih mampu bergerak secepat itu, maka ia pun terkejut bukan buatan. Hampir saja ujung pedang Glagah Putih menyentuh kulit Warak Ireng, Untunglah bahwa Warak Ireng masih sempat menggeliat dan membebaskan diri dari sambaran pedang Glagah Putih yang mengejutkan itu.
"Anak iblis" geram Warak Ireng, "karena kau mampu bergerak cepat, maka kau mengira bahwa kau sudah berhak menempatkan dirimu untuk melawan aku he?"
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia bersiap dengan penuh kewaspadaan. Warak Ireng akan dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.
Sebenarnyalah Warak Irengpun kemudian berteriak nyaring sambil meloncat menyerang. Ternyata Warak Ireng yang marah itu telah mengerahkan kemampuan cadangannya. Bahkan dengan ilmuanya yang keras ia menggerakkan senjatanya.
Glagah Putih menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Warak Ireng bukan lagi unsur kekuatan wajarnya. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah melepaskan tenaga cadangannya pula sehingga dengan alas kekuatan cadangannya, ia mampu bergerak lebih cepat.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Warak Ireng yang garang itu dengan Glagah Putih menjadi semakin sengit. Namun karena itu pulalah, maka Warak Ireng telah mengumpat-umpat. Rasa-rasanya tidak masuk akal bahwa Glagah Putih mampu melawannya untuk beberapa lama. Bahkan masih belum ada tanda-tanda bahwa anak itu mulai terdesak.
"Anak ini memang kepanjingan iblis" Warak Ireng mengumpat.
Glagah Putih sama sekali tidak menyahut. Tetapi, ia bertempur semakin mapan menghadapi lawannya yang sangat garang itu.
Pada saat Glagah Putih bertempur menghadapi lawannya, dalam pengawasan Ki Gede Menoreh, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah menghadapi orang yang bernama Punta Gembong. Dengan suara lunak Kiai Jayaraga menyapa, "He, Punta Gembong. Apakah kau lupa kepadaku?"
Punta Gembong mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun iapun kemudian menggeram, Kau ada di sini setan alas. Untuk apa kau datang kemari?"
Apakah kau ingin membalas sakit hati muridmu yang dibunuh oleh Agung Sedayu" Seandainya demikian, kau benar-benar orang yang licik. Kau memanfaatkan pasukan muridku sekarang ini untuk mengikat orang-orang Tanah Perdikan dalam satu pertempuran agar kau sempat berhadapan dengan Agung Sedayu. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak ada di sini. Bahkan aku pun sebenarnya ingin berhadapan dengan orang yang telah menggemparkan Pajang itu selain Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa sendiri."
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan salah mengerti Punta Gembong. Aku berada di sini justru berdiri di pihak Agung Sedayu."
"He?" Punta Gembong menjadi heran, "apakah kiblatmu sudah berputar?"
"Ya" jawab Jayaraga, "ternyata aku sudah kehilangan segala-galanya. Hatiku menjadi sakit bukan karena murid-muridku terbunuh. Tetapi hatiku menjadi sakit justru karena murid-muridku tidak lagi mau mengikuti jalan yang baik. Prabadaru sudah kehilangan sifat kesatrianya dan memilih bermimpi bersama kakang Panji yang ternyata juga terbunuh itu. Muridku yang lain menjadi penjahat yang sangat ditakuti orang. He, apakah kau berbangga seandainya kau mempunyai seorang murid yang ditakuti orang seperti Warak Ireng itu?"
Punta Gembong mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, "Jangan berputus asa seperti itu. Sejak kapan kau mempunyai penilaian yang demikian terhadap murid-muridmu sendiri?"
"Sejak semula" jawab Kiai Jayaraga, karena itu aku lebih senang mengasingkan diriku."
"Dan sekarang kau justru berada di tempat ini" Untuk apa sebenarnya" Bukankah kita tidak mempunyai persoalan apapun juga" Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, bahwa tiba-tiba saja kau berdiri di pihak Agung Sedayu." geram Punta Gembong.
"Jalan pikiranku memang sulit dimengerti oleh orang lain" berkata Kiai Jayaraga, "tetapi sebaiknya kau tidak perlu bersusah payah berusaha untuk mengerti. Yang jelas bagimu sekarang, aku adalah salah seorang yang berdiri di antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini."
"Jadi, tegasnya kau ingin menghadapi aku?" bertanya Punta Gembong.
"Ya. Karena aku tahu, bahwa tidak banyak orang yang dapat mengimbangi ilmumu. Aku percaya bahwa seisi barak pasukan khusus itu tidak akan ada yang dapat mengimbangi kemampuanmu."
"Dan kau telah menyerahkan dirimu untuk kepentingan itu, atau sebenarnya kau ingin membunuh diri karena kau telah dikecewakan oleh murid-muridmu?" bertanya Punta Gembong.
Kiai Jayaraga memandang Punta Gembong dengan tajamnya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah lawannya benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tidak terlawan sebagaimana dikatakan orang.
"Kenapa kau jadi bimbang he?" berkata Punta Gembong selanjutnya, "Jika kau memang ingin membunuh diri, katakanlah. Aku akan dengan senang hati membantumu."
Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau memang sombong seperti yang pernah aku dengar. Baiklah, kita akan membuktikan siapakah di antara kita yang akan mati di peperangan ini. Nampaknya memang tidak ada lagi jalan keluar bagi salah seorang di antara kita. Kau atau aku."
"Kau sajalah yang mati" berkata Punta Uembong, "bukankah kau sudah terlalu banyak merasa tersiksa batinmu?"
Kiai Jayaraga tidak menjawab. Namun kemudian katanya, "Kita sudah cukup lama berbicara."
"Ya" jawab Punta Gembong.
Kiai Jayaragapun kemudian bergeser. Dipandanginya wajah lawannya yang menegang. Sementara itu, maka pertempuran antara pasukan Warak Ireng dan para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sengit. Dengan senjata masing-masing mereka saling menghentak, saling menyerang dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga dan tanpa segan-segan berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya."
Sementara itu, di sayap yang lain, Sekar Mirah telah menemukan pemimpin pasukan yang berada di sayap itu. Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.
Dengan heran Ki Linduk mengamati lawannya yang berdiri di hadapannya sambil bertanya, "Bukankah kau pemimpin dari pasukan ini?"
Ki Linduk termangu-mangu. Tetapi ia tidak salah. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang perempuan.
"Inilah perempuan-perempuan Tanah Perdikan Menoreh yang pernah disebut-sebut namanya" desis Ki Linduk. Lalu dengan nada datar ia bertanya, "Siapa namamu anak manis?"
"Sekar Mirah" jawab Sekar Mirah dengan wajah yang tegas.
Apakah kau anak Ki Gede Menoreh?" bertanya Ki Linduk pula.
"Bukan" jawab Sekar Mirah, "aku adalah anak Ki demang Sangkal Putung" jawab Sekar Mirah.
"O" Ki Linduk mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, "Dimana anak Ki Gede yang dikatakan sebagai seorang perempuan Senapati dari Tanah Perdikan.?"
"la berada di Sangkal Putung" jawab Sekar Mirah, "tetapi kenapa kau cari perempuan itu. Yang ada disini aku. Sekar Mirah."
Ki Linduk mengerutkan keningnya. Dengan suara tinggi ia berdesis. "Kenapa harus bertukar tempat" Kau, anak Sangkal Putung berada di sini, sementara anak Tanah Perdikan ini berada di Sangkal Putung?"
"ltu bukan urusanmu" bentak Sekar Mirah yang menjadi jemu, "kau lihat, pertempuran sudah berkobar di mana-mana. Apakah kau masih saja ingin berbicara panjang lebar."
Ki Linduk termangu-mangu. Namun ketika ia melihat Sekar Mirah mulai menggerakkan tongkat baja putihnya, ia menjadi berdebar-debar. Tongkat itu menurut pendengarannya, mempunyai arti yang besar bagi dunia olah kanuragan.
"He, anak manis" berkata Ki Linduk, "kenapa kau bermain-main dengan tongkat seperti itu" Tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan."
"Ini milikku" jawab Sekar Mirah, "apakah kau mengenal senjata jenis ini?"
"Senjata itu pertanda dari satu perguruan yang pernah menggemparkan Jipang. Bahkan orang-orang tua percaya bahwa pemilik tongkat itu, serta ilmu yang dikuasainya, membuat mereka seakan-akan bernyawa rangkap. Apakah dengan demikian, karena kau bernyawa rangkap, maka kau berani berdiri di medan?"
"Persetan dengan nyawa rangkap geram Sekar Mirah.
"Aku masih memperingatkanmu. Menyingkirlah. Aku adalah Ki Linduk, juga disebut Ki Sambijaya. Meskipun lawanku bernyawa rangkap lima, namun aku akan sanggup membunuhnya lima kali berturut-turut.
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. la mulai memutar tongkat baja putihnya sambil bergeser, "Aku sudah cukup lama berbicara."
Ki Linduk pun tidak berbicara lagi. Ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia pun sadar, bahwa tanpa bekal ilmu yang meyakinkan, maka perempuan itu tidak akan berani berada di medan. Para pemimpin pasukan khusus dan Tanah Perdikan tentu akan mencegahnya.
Tetapi jika perempuan itu hadir di peperangan, maka berarti bahwa ia memang pantas untuk berada di medan.
Sejenak kemudian keduanya seakan-akan sedang menilai sikap lawan, sementara itu di sekitar mereka, pertempuran menjadi semakin riuh. Namun tidak ada seorang pun yang berniat mengganggu kedua orang Senapati yang sudah saling berhadapan itu, karena mereka yakin, keduanya tentu memiliki ilmu yang tinggi.
Ketika Ki Linduk kemudian menjulurkan senjatanya, maka Sekar Mirah pun bergeser surut. Tetapi tongkat baja putihnya berputar semakin cepat.
Sesaat kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Tetapi nampaknya keduanya tidak tergesa-gesa. Keduanya masih berusaha menjajagi kemampuan lawan yang belum pernah saling mengenal. Namun bagi Ki Linduk, tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu mempunyai arti tersendiri.
Ki Linduk yang melihat bagaimana Sekar Mirah menggerakkan tongkatnya itu pun kemudian yakin, bahwa tongkat itu memang senjata andalan perempuan itu. Bukan sekedar senjata yang aneh, yang diketemukannya di sembarang tempat dan yang karena menarik, maka senjata itu dipergunakannya. Tetapi nampaknya perempuan yang bernama Sekar Mirah itu memang menguasai senjatanya sebagaimana ia menguasai tubuhnya sendiri.
Dengan demikian, maka Ki Linduk pun harus berhati-hati. Pada pengamatannya kemudian, sikap perempuan itu memang meyakinkan, bahwa ia memang seorang Senapati.
Dalam pada itu, tidak terlalu jauh dari Sekar Mirah, Agung Sedayu berusaha mengamatinya sambil bertempur di antara anak-anak muda Tanah Perdikan. Para pengikut Ki Linduk yang tersesat menyerang Agung Sedayu, tiba-tiba saja harus rnenggeram menahan gejolak perasaan. Anak muda itu seakan-akan tidak berbuat apa-apa. Tetapi ternyata bahwa setiap serangan mereka selalu gagal. Bahkan tiba-tiba saja senjata mereka telah terlempar jatuh.
"Apakah aku berhadapan dengan iblis?" geram seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang kasar.
Beberapa kali ia berusaha menyerang, bahkan kemudian bersama-sama dengan dua orang kawannya. Tetapi serangan mereka seolah-olah tidak berarti apa-apa. Anak muda itu dengan tangkasnya mengelak. Dan sekali menggerakkan tangannya, maka senjata lawannya telah terlempar.
Sebenarnyalah, Agung Sedayu telah mempergunakan senjata yang tidak terbiasa dipergunakannya. la sama sekali tidak mempergunakan cambuknya. Tetapi Agung Sedayu mempergunakan sebilah pedang.
Dengan demikian, maka lawan-lawannya menjadi heran. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak, karena anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh prajurit dari pasukan khusus yang berada di sayap pun telah bertempur dengan cepat dan tangkas, meskipun karena pengaruh lawan-lawan mereka, maka mereka pun kemudian telah bertempur dengan keras pula.
Namun dalam pada itu, di bagian lain di sayap itu pula, seseorang telah bertempur dengan garangnya pula. Jika Agung Sedayu sekedar melemparkan senjata lawannya, sehingga mereka terpaksa bergeser mundur untuk mengambil senjata mereka, sementara lawannya yang lain berusaha melindunginya, maka seorang yang menje"lang usia tua telah memungut beberapa korban. Ternyata orang itu tidak sekedar ingin bertahan dan mendesak lawannya surut, tetapi ia benar-benar telah membunuh beberapa orang prajurit dari pasukan khusus. Untunglah bahwa para prajurit itu telah mendepat tempaan yang berat dan bersungguh-sungguh, sehingga mereka tidak menjadi gentar menghadapi lawan yang nggegirisi.
Tetapi ketika seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyaksikannya, maka telah timbul satu dorongan didalam hatinya untuk melaporkannya kepada Agung Sedayu, karena di sayap itu tidak ada orang lain yang dianggap lebih baik dari Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu mendengarnya, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Ia pun segera meninggalkan tempatnya untuk melihat, apa yang telah terjadi, sebagaimana dilaporkan oleh salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika ia kemudian yakin, bahwa lawan Sekar Mirah bukan orang yang sangat berbahaya bagi Sekar Mirah. Jika Sekar Mirah tidak melakukan satu kesalahan, maka ia akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin ia akan mampu mengimbangi kekuatan dan ilmu lawannya yang garang itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah bergeser di sela-sela hiruk pikuknya pertempuran. Dengan cepat ia mendekati medan yang ditunjukkan oleh anak muda Tanah Perdikan itu.
"Tidak ada orang yang dapat membendung ke marahannya" berkata pengawal itu.
"Apakah kalian tidak menghendakinya dengan kelompok-kelompok kecil?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Tetapi orang itu seakan-akan tidak dapat ditahan oleh kekuatan apapun" jawab pengawal itu" beberapa orang prajurit telah terluka, bahkan mungkin ada yang telah terbunuh diantara mereka."
"Jadi para prajurit dari pasukan khusus gagal menahan orang itu?" bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
"Ya." jawab anak muda yang memberikan laporan itu.
Agung Sedayu bergerak semakin cepat, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah lingkaran prajurit dari pasukan khusus yang sedang mengepung seseorang, sementara itu, disekitarnya pertempuranpun berlangsung dengan sengitnya pula.
Ketika Agung Sedayu mendekati arena itu, maka dua orang yang telah terluka sedang dibawa menyingkir dari arena, sementara yang lain tengah mengacungkan senjata mereka seseorang yang sudah menjelang hari-hari tuanya.
"Luar biasa" desis Agung Sedayu yang mendekat.
Ketika ia berada di luar arena, maka ia telah mengga"mit seorang prajurit sambil bertanya, "Apa yang telah dilakukannya?"
Prajurit itu berpaling. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka tiba-tiba wajahnya menjadi cerah.
"Agung Sedayu" desisnya, "orang ini mengamuk tanpa dapat dikuasai. Lebih dari lima orang sudah dilukai, dan dua kawan kami agaknya telah gugur."
"Oleh orang ini.?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Oleh orang ini" jawab prajurit itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun, kemudian ia pun segera dapat mengenali orang itu. Orang itu adalah salah seorang dari dua orang yang di jumpainya semalam. Dengan memperlipat gandakan ketajaman penglihatannya dengan lambaran ilmunya, maka ia dapat melihat ujud dari wajah orang itu.
"Baiklah" berkata Agung Sedayu, "biarlah aku yang akan menghadapinya."
Prajurit itupun kemudian menggamit kawannya pula sambil berkata, "Agung Sedayu telah datang."
Nama itupun kemudian telah menjalar di seputar arena, sehingga karena itu, maka beberapa orang telah menyibak memberi jalan kepada Agung Sedayu yang melangkah mendekati orang yang sudah menjelang umur tuanya itu.
"Siapa kau?" bertanya orang itu, "apakah kau tahu arti dari sikapmu itu?"
"Aku mengerti Ki Sanak. Kau akan marah, dan kau akan berusaha untuk membunuh aku, sebagaimana sudah kau lakukan terhadap beberapa orang." desis Agung Sedayu.
Wajah orang itu menjadi tegang. Ketenangan sikap Agung Sedayu membuat orang itu sangat tersinggung. Ka"rena itu, maka katanya kemudian, "Anak muda, agaknya kau belum tahu siapa aku"
"Ya Aku memang belum mengenalmu. Tetapi aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, yang ternyata akan mampu mengacaukan sayap ini, apabila tidak segera mendapat perlawanan yang memadai. Mungkin dengan kelompok-kelompok kecil, tetapi mungkin memang diperlukan seseorang yang berani menghadapimu" jawab Agung Sedayu.
Orang itu menjadi semakin marah. Katanya, "Kau sudah melihat, kelompok-kelompok kecil yang berusaha untuk menahanku selalu pecah dengan korban yang jatuh tanpa hitungan. Nah, anak muda. Ternyata bahwa kau adalah anak muda yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Bukan saja di medan ini, tetapi sepanjang umurku aku belum pernah bertemu dengan anak muda seperti kau ini."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat bertanya kepada diri sendiri, "Apakah aku sekarang sudah benar-benar menjadi seorang yang sombong"
Tetapi Agung Sedayu tidak sampai merenungi dirinya sendiri. Orang yang di hadapannya itu kemudian berkata, "Dengar anak muda. Aku adalah Kumbang Talangkas. Aku adalah guru dari Ki Linduk yang juga disebut Ki Sam"bijaya. Jika kau tahu, apa yang dilakukan Ki Linduk sekarang, maka kau aka dapat menilai, apaxah kira-kira dapat aku lakukan."
"O" Agung Sedayu mengangguk-angguk, "maksudmu apa Ki Linduk itu yang memimpin sayap pasukan ini?"
"Ya. Ia adalah muridku" jawab orangitu.
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Katanya "Jika yang kau maksud itu pemimpin dari sayap ini, maka ia kini sedang bertempur dengan isteriku. Sekar Mirah. Aku memang sudah melihatnya. la memiliki kelebihan dari kebanyakan orang."
Jawabnya itu ternyata membuat jantung Kumbang Talangkas berdebar-debar. Anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun meskipun ia menyebut pemimpin dari sayap gelar yang sederhana itu. Bahkan Ki Linduk itu sedang bertempur melawan isteri anak muda itu.
Dengan suara bergetar Kumbang Talangkas itu bertanya, "Anak muda, apakah kau sedang ngelindur" Siapakah isterimu itu he, sehingga ia berani melawan muridku"
"Isteriku bernama Sekar Mirah, anak Ki Demang Sangkal Putung" jawab Agung Sedayu.
"Gila, Siapa kau sebenarnya?" Kumbang Talang"kas tidak sabar lagi menunggu jawaban-jawaban Agung Sedayu yang menganggapnya berkepanjangan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ?"namaku Agung Sedayu."
"O" Kumbang Talangkas menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "ternyata kau adalah Agung Sedayu. Pantas kau bersikap dingin menghadapi orang yang bernama Kumbang Talangkas. Pantas kau tidak tergetar sama sekali meskipun aku mengatakan bahwa aku adalah gurunya Ki Linduk. Tetapi bagaimanapun juga, sikap itu adalah sikap yang sangat sombong. Apakah dengan membunuh Ki Tumenggung Prabandaru kau merasa dirimu tidak terkalahkan" Padahal menurut penilaianku. Prabadaru tidak lebih dari muridku. Bahkan seandainya mendapat kesempatan, sebagaimana kau dapatkan, maka Sambijaya tentu akan dapat membunuh Prabadaru sebagaimana dapat kau lakukan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Maaf jika kau rasa aku bersikap sombong. Tetapi bukan maksudku. Aku hanya ingin menghentikan tingkahmu. Kau sudah membunuh prajurit Mataram dengan semena-mena. Sementara aku pun tidak pernah merasa tidak terkalahkan, sehingga karena itu mungkin aku masih memerlukan sekelompok prajurit untuk membantuku menghentikan usahamu membunuh tanpa ampun."
"Apakah membunuh di peperangan itu salah" bertanya Kumbang Talangkas.
"Tidak, sama sekali tidak bagi ,orang-orang yang memang kehilangan pertimbangan kemanusiaannya" jawab Agung Sedayu, "tetapi bagi orang lain, membunuh di mana pun juga harus dihindari sejauh-jauhnya. Lawan yang sudah tidak berdaya di peperangan, sesuai dengan paugeran perang, tidak dibenarkan untuk dibunuh."
"Omong kosong dengan paugeran perang" geram Kumbang Talangkas, "sekarang bersiaplah Agung Sedayu. Ingat aku sama sekali tidak akan menghiraukan paugeran perang. Karena itu, jika kau merasa tidak mampu melawan aku, kau harus berusaha secepatnya melarikan diri dan berlindung di belakang prajurit-prajurit Mataram. Mungkin kau akan selamat. Tetapi prajurit Mataram dan anak-anak Perdikan Menoreh akan tumpas tapis. Tidak seorang pun akan tinggal hidup dan kembali ke keluarganya.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata pedang Agung Sedayu itu justru telah dilepaskannya. Melawan seorang yang berilmu mumpuni, maka Agung Sedayu tidak akan dapat mempergunakan sebilah pedang biasa yang akan dengan mudah patah membentur ilmu lawannya.
Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan dalam kesiagaan tertinggi. Keduanya tidak mau lengah pada benturan pertama, meskipun rasa-rasanya mereka masih ingin menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi jika lawannya langsung mengerahkan segenap ilmunya, maka yang lain harus melakukan hal yang sama.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak dengan serta merta mengerahkan ilmu puncak. Yang mula-mula ingin diketahui adalah kecepatan gerak Agung Sedayu, sehingga ka"rena itu, maka ia pun telah berloncatan menyerang.
Namun ternyata bahwa kecepatan gerak Kumbang Talangkas tidak melampaui kemampuan gerak anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Serangan-serangan yang datang beruntun dapat dihindarinya, sehingga sama sekali tidak menyentuh kulitnya.
Tetapi Kumbang Talangkas tidak segera mengaguminya, karena yang dilakukan baru tataran pertama dari iImunya, la masih akan mampu meningkatkan ilmunya sampai satu batas yang berlipat ganda.
Perlahan-lahan Kumbang Talangkas meningkatkan ilmunya sambil mengamati lawannya. Apakah anak muda itu mampu mengikuti perkembangan tingkat ilmunya itu sebagaimana dilakukannya. Selanjutnya Kumbang Ta"langkas ingin tahu, sampai dimana batas tertinggi kemampuan Agung Sedayu, sehingga ia mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru yang dianggap sebagai salah seorang Senapati yang sangat ditakuti di Pajang.
Dalam pada itu murid Kumban Talangkas tengah bertempur dengan sengitnya melawan Sekar Mirah. Tongkat baja putih Sekar Mirah berputaran dengan cepatnya, berdesing ditelinga Sambijaya, namun kadang-kadang desir angin ayunannya terasa nenyentuh kulit lengannya.
"Perempuan ini memang perempuan yang luar biasa" berkata Sambijaya di dalam hatinya. Sebenarnyalah, bahwa semakin lama tata gerak Sekar Mirah pun menjadi semakin cepat, sehingga dengan demikian maka Sekar Mirah telah mampu mengimbangi kemampuan lawannya.
Tetapi, Ki Linduk yang merasa tersinggung sejak semula, karena lawannya hanya seorang perempuan, betapapun tinggi ilmunya, telah mengerahkan kemampuannya. Adalah satu aib yang besar, bahwa seorang petualangan yang bernama besar sebagaimana Ki Linduk akan dikalahkan oleh seorang perempuan. Karena itu, semakin lama ujud dari ilmu Ki Linduk yang sebenarnya menjadi semakin jelas. Gerak dan sikapnya menjadi semakin keras dan kasar. Bahkan sekali-sekali terdengar orang itu berteriak dengan kerasnya sambil meloncat bagaikan hendak menerkam.
Tetapi Sekar Mirah yang mempunyai pengalaman yang cukup luas, berusaha untuk menyesuaikan diri. Meskipun ia adalah seorang perempuan, namun ia pun pernah menjumpai lawan yang keras dan kasar sebagaimana , yang dihadapinya pada waktu itu.
Ki Linduk yang kemudian menjadi tidak sabar menghadapi lawannya, telah menghentakkan segenap ilmunya. Senjatanya pun berputaran sebagaimana tongkat baja putih Sekar Mirah. Namun, senjata Ki Linduk yang dipergunakan untuk menghadapi tongkat baja putih itu adalah senjata yang selalu dipergunakan. la lebih senang memergunakan pedang sebagaimana pedang para pengikutnya.
Namun dalam keadaan yang sulit, maka pedang itu pun dilepaskannya. la menarik sepasang bindi besi kecil yang menurut pendapatnya lebih sesuai untuk menghadapi tongkat baja putih Sekar Mirah.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, kedua tangan Ki Linduk itu sudah berputaran sepasang bindi yang berwarna kehitam-hitaman Bindi yang bergerigi memanjang hampir sepanjang tubuh bindi itu, kecuali pada tangkainya.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Bindi itu merupakan senjata keras sebagaimana senjatanya. Karena itu, maka Sekar Mirah sudah dapat menduga, bahwa Ki Linduk benar-benar ingin bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatannya. Ki Linduk ingin membenturkan senjata mereka masing-masing dengan sepenuh tenaga yang ada dilambari dengan kekuatan ilmu yang jarang ada bandingannya.
Karena itu, Sekar Mirah pun telah bersiap sepenuhnya. la mengerti jalan pikiran Ki Linduk. Orang itu menduga, bahwa karena ia seorang perempuan, maka ia mempercayakan kemampuannya kepada kecepatan geraknya.
"Tetapi Sekar Mirah pun percaya akan kekuatan diri. Latihan-latihan yang berat telah menempanya. Pada saat-saat ia akan memasuki barak dan kemudian secara tetap memberikan latihan-latihan kepada para pengawal dalam pasukan khusus, telah mendorongnya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan teratur dan terus-menerus, ia meningkatkan ilmunya dan kekuatan tubuhnya, memperbesar tenaga cadangan yang ada pada dirinya serta membentuk kemungkinan-kemungkinan yang sulit dijajagi orang lain dalam benturan ilmu.
Karena itu, aka Sekar Mirah pun telah sesiap sepenuhnya menghadapi senjata keras lawannya yang berputar semakin lama semakin keras itu.
Ternyata perhitungan Sekar Mirah benar. Bagi Ki Linduk, betapa pun kuatnya seorang perempuan, namun akan sulit baginya untuk mengimbangi kekuatan seorang laki-laki, apalagi seorang laki-laki yang berilmu tinggi.
Dengan perhitungan itulah, maka seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Ki Linduk pun kemudian menyerang dengan kedua bindinya tanpa menghiraukan apakah sikapnya pantas dilakukan dihadapan seorang perempuan meskipun di medan perang. Dengan kasarnya Ki Linduk meloncat-loncat sambil berteriak. Sepasang bindi terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali bindi itu menyerang dalam ayunan mendatar, namun tiba-tiba bindi itu berubah arah, berputar dengan dahsyatnya melibat lawannya.
Tetapi Sekar Mirah cukup cepat bergerak. Namun sekali terjadi, ayunan bindi lawannya hampir saja menyentuh pelipisnya. Dengan cepat Sekar Mirah memiringkan tubuhnya sambil menarik kepalanya. Namun dengan cepat pula. Bindi lawannya yang lain telah terayun mendatar menyambar dada.
Sekar Mirah sempat meloncat surut. Tetapi agaknya hat itu sudah diperhitungkan oleh Ki Linduk. Karena itu, demikian Sekar Mirah terlontar dari tempatnya, Ki Linduk pun telah meloncat memburu dengan cepat sekali. Justru pada saat kaki Sekar Mirah menyentuh tanah, maka bindi yang berada di tangan kanan Ki Linduk telah terayun langsung ke arah dahi.
Tidak ada kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka dengan lambaran kekuatan cadangan yang ada pada dirinya, dalam hentakkan ilmunya, Sekar Mirah telah memukul bindi itu dengan tongkat baja putihnya.
Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat sekali. Benturan yang tidak diduga sebelumnya oleh orang yang bernama Ki Linduk seorang petualang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Bindi yang bergerigi membujur sepanjang tubuh bindi itu, selain pada tangkainya, yang telah membentur tongkat baja putih Sekar Mirah yang diterimanya dari gurunya. Ki Sumangkar telah menggetarkan jantung kedua belah pihak. Bunga-bunga api yang memercik dari titik benturan itu berloncatan di udara, sementara terasa telapak tangan kedua orang yang saling membenturkan senjatanya itu menjadi pedih.
Hampir saja bindi Ki Linduk itu terloncat dari genggaman. Namun untunglah, betapa pedihnya tangannya, namun Ki Linduk berhasil menyelamatkan senjatanya. Sementara Sekar Mirah berdesis menahan sakit pada telapak tangannya.
Dengan serta merta, keduanya telah berloncatan surut. Sejenak keduanya berdiri menegang, sementara telapak tangan mereka masih saja terasa sakit.
"Iblis betina" geram Ki Linduk, "ternyata kau memiliki kekuatan jauh di atas dugaanku."
Sekar Mirah tidak menjawab Dipandanginya wajah Ki Linduk dengan tajamnya. Namun dengan demikian Sekar Mirah pun menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka untuk selanjutnya, maka Sekar Mirah pun harus mempersiapkan ilmu puncaknya untuk menghadapi lawannya yang tentu akan mengerahkan ilmunya pula.
Dalam pada itu, pertempuran di seluruh medan menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mulai dibasahi oleh keringat, bahkan beberapa orang telah menjadi basah oleh darah.
Di induk pasukan para prajurit yang terseret oleh mimpi Ki Tumenggung Purbarana telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka Sebagai prajurit, maka mereka mempunyai pengalaman bertempur dalam gelar meskipun gelar yang sederhana. Tetapi ternyata bahwa para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu, mampu menunjukkan kepada lawannya bahwa mereka benar-benar prajurit yang terlatih. Dengan mantap mereka bertempur dalam kerja sama yang saling mengisi dan saling membantu, sebagaimana prajurit bertempur dalam gelar.
Namun lawan mereka pun adalah prajurit-prajurit Mataram dari pasukan khusus yang ditempa dengan sungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mereka pun mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi pertempuran yang keras clan garang. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak tergetar menghadapi para prajurit Pajang yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana."
". kalimat tidak nyambung, asli dari teks aslinya..
kan itu menjadi semakin sengit. Anak-anak muda terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh pun berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kerasnya pertempuran, sehingga karena itu, maka mereka yang merasa dirinya kurang berpengalaman telah bertempur berpasangan.
Agak berbeda dengan di induk pasukan, maka di sayap pasukan, pertempuran benar-benar menjadi keras dan kasar. Seakan-akan tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan.
Para pengikut Ki Linduk dan Ki Warak Ireng, sama sekali tidak terbiasa bertempur dengan gelar. Yang biasa mereka lakukan dalam kelompok-kelompok Yang besar atau kelompok-kelompok yang besar atau kecil adalah bertempur dalam campuh berbaur antara kawan dan lawan. Karena itu, maka di kedua sayap telah ter,jadi perang brubuh yang kisruh.
Mula-mula para prajurit muda para prajurit Mataram dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh merasa agak canggung menghadapi lawan yang kasar dan bahkan liar. Tetapi mereka juga mendapat latihan perang dalam gelar dan bertempur secara pribadi, maka dengan cepat merekapun segera menyesuaikan diri. Para prajurit dari pasukan khusus itu telah ditempa pula dalam keadaan yang paling sulit yang mungkin mereka hadapi. Latihan-latihan untuk membentuk tubuh mereka dan meningkatkan kekuatan mereka telah mereka lakukan dengan sebaik-baiknya sebelum pasukan khusus itu harus turun di medan pertempuran melawan Pajang di Prambanan.
Karena itu, maka merekapun tidak lagi merasa terlalu terikat dala.m kerja sama dengan seluruh pasukan dalam gelar. Tetapi mereka menempatkan diri dalam pertempuran seorang melawan seorang.
Seperti di induk pasukan, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh pun berusaha untuk menyesuaikan diri mereka dengan keadaan di sekitar mereka. Pertempuran yang menjadi semakin luas dan sama sekali tidak mengingat paugeran apapun yang pernah ada bagi pertempuran yang terjadi antara dua pasukan.
Di dalam hiruk pikuk pertempuran itu, Glagah Putih telah mengerahkan segenap ilmu yang pernah diterimanya untuk mengghadapi Ki Warak Ireng. Ternyata Ki Warak Ireng tidak ingin kehilangan terlalu banyak waktu untuk menghadapi anak-anak yang menurut perhitungannya masih terlalu muda untuk menempatkan diri menjadi lawannya. Karena itu, Warak Ireng yang merasa terhina oleh sikap yang dianggapnya terlalu sombong itu, telah berusaha secepatnya mengakhiri perlawanan anak itu.
Tetapi ternyata Warak Ireng telah salah menilai. Anak muda itu tidak terlalu mudah untuk di selesaikannya. Anak muda itu memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Bahkan dalam benturan-benturan senjata, anak itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
"Apakah anak ini demit" geram Ki Warak Ireng.
Namun sebenarnya, Glagah Putih mampu bergerak secepat burung sikatan. Warak Ireng yang berusaha menerkamnya sama sekali tidak berhasil menyentuhnya. Glagah Putih dengan tangkasnya berloncatan mengintari lawannya. Menyerang dari arah yang tidak terduga-duga. Kemudian melejit menghindari beberapa langkah surut. Namun yang dengan tiba-tiba saja telah terbang menyambarnya seperti seekor burung elang.
Warak Ireng yang marah itu sekali-sekali berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya oleh kemarahan yang menghentak-hentak. Rasa-rasanya ia tidak menghadapi seorang anak muda dalam benturan ilmu, tetapi rasa-rasanya bagaikan seorang pemburu yang tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai buruannya, yang kadang-kadang justru telah menyerangnya.
Namun, lambat laun Warak Ireng tidak dapat untuk tetap menganggap bahwa lawannya adalah sekedar seekor kelinci yang lincah yang sempat menghindari terkaman tangannya yang kuat. Tetapi anak muda itu adalah benar-benar seekor burung rajawali yang dengan kuat dan kuku-kukunya yang tajam menyambarnya dari segala penjuru.
"Anak setan ini harus dibunuh" geram Warak Ireng, "jika tidak kelak ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya."
Dengan demikian, maka Warak Ireng benar-benar telah mengarahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan anak muda yang baginya bagaikan harimau yang besar dan garang. Karena itu, sebelum anak itu sempat menakuti orang-orang dari lingkungan sebagaimana lingkungannya, maka anak itu harus dibunuhnya.
Tetapi, membunuh Glagah Putih bukan satu pekerjaan yang mudah. Meskipun serangan-serangan Warak Ireng kemudian datang bagaikan badai, namun Glagah Putih masih sempat menghindarkan dirinya dari sentuhan kekuatan lawannya.
Tetapi sebenarnyalah, Warak Ireng mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari Glagah Putih. Sementara itu, tempaan selama hidup petualangannya telah membuatnya menjadi orang yang luar biasa. Tenaganya menjadi sangat kuat, di alasi dengan tenaga cadangannya. Kemampuan bergerak cepat seakan-akan melampaui kemampuan pengamatan mata wadag.
Glagah Putih memang mampu mengimbangi kecepatan gerak Warak Ireng. lapun memiliki kekuatan yang sangat besar, karena Glagah Putih dalam latihan-latihannya yang berat, berhasil membangun kekuatan cadangannya sebaik-baiknya jika diperlukan. Tetapi pengenalannya atas jenis ilmu lawannya dan pengalamannya menghadapi ilmu yang kasar dan buas itu masih belum mencukupi.
Dengan demikian, perlahan-lahan Glagah Putih telah terdesak. Sekali-sekali ia menjadi bingung melihat sikap lawannya, yang sama sekali tidak diduganya. Bahkan sama sekali diluar perhitungan nalarnya.
Sementara itu, pertempuran di sekitarnya semakin lama menjadi semakin dahsyat pula. Para pengikut Warak Ireng memang bertempur sebagaimana dilakukan oleh pemimpinnya. Kasar, buas dan liar. Namun para prajurit dari pasukan khusus berusaha untuk dapat mengimbangi tingkah laku lawannya, bahkan mereka mempunyai kemampuan berpikir dan membuat perhitungan lebih baik dari lawan-lawan mereka.
Di bagian lain dari arena pertempuran yang ribut, Kiai Jayaraga bertempur melawan guru Warak Ireng yang pernah dikenalnya sebelumnya. Keduanya memang orang-orang yang berilmu tinggi. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran diantara mereka, sulit untuk dapat dimengerti oleh para pengikut Warak Ireng dan oleh anak-anak n:uda Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan oleh para prajurit dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.
Kedua orang itu tidak berloncatan sambil mengayunkan senjata. Tidak pula membenturkan pukulan-pukulan mereka secara wadag. Namun ternyata keduanya telah memasuki pertempuran dalam benturan ilmu yang sulit dijajagi dengan indera kewadagan.
Kedua orang itu memang tidak terlalu banyak bergerak. Keduanya bergeser selangkah-selanglah. Namun tiba-tiba dari tubuh mereka bagaikan terlontar kekuatan yang kurang dapat dipahami ujudnya. Namun yang tiba-tiba mempunyai kekuatan bagaikan sergapan segumpal api yang dapat membakar.
Tetapi lawannya dengan tangkasnya dapat menghindarkan diri. Hampir tidak nampak gerak apa pun juga dari ujungjari kakinya sampai ke ujung rambut. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah tidak lagi berada ditempatnya.
Kiai Jayaraga memang memiliki kekuatan yang dapat disadapnya dari kekuatan yang ada bentangan alam ini. Kekuatan air, api, udara dan yang tersimpan di dalam bumi. Lontaran-lonteran kekuatan serta ungkapan-ungkapan tenaganya kadang-kadang sulit untuk dimengerti.
Namun Punta Gembong adalah seorang yang jarang ada duanya. Lontaran serangannya kadang-kadang diungkapkan lewat suaranya. Orang itu seakan menggeram dan mengaum bagaikan seekor singa. Namun dari getar suaranya seolah-olah udara menjadi bergelombang melanda lawannya. Gelombang yang dahsyat itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang dapat melemparkan sasarannya sampai berpuluh-puluh langkah.
Tetapi Kiai Jayaraga kakinya bagaikan berpegang pada kekuatan bumi. Meskipun tubuhnya seakan-akan terguncang dan terdorong oleh gelombang ungkapan kekuatan Punta Gembong, tetapi kakinya seolah-olah telah melekat pada bumi, sehingga dengan demikian, ma ka Kada bumi, sehingga dengan demikian, maka Kiai Jayaraga itu tidak tergeser sejengkal pun dari tempatnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Jayaraga seakan-akan telah menghembuskan sesuatu dari celah-celah bibirnya. Tiba-tiba saja tanah tempat Punta Gembong berpijak itu bagaikan meledak. Batu-batu padas berserakan berterbangan di sekitar ledakan itu.
Tetapi ternyata bahwa Punta Gembong sudah tidak berdiri ditempatnya. Tidak terlihat oleh mata wadag, kapan ia telah meloncat menyingkir dari ledakan yang akan dapat meremukkan tubuhnya itu.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itu telah menyibukkan para pengikut Warak Ireng dan para prajurit dari Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertempur. Mereka tidak mau terpercik ilmu yang dahsyat itu yang akan dapat meremukkan tubuh mereka menjadi berkeping-keping.
Bahkan kadang-kadang satu dua orang di antara mereka yang sedang bertempur itu justru membeku menyaksikan pertempuran yang aneh antara kedua orang tua yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Kadang-kadang dua orang yang bertempur, seakan-akan saling memberikan kesempatan kepada lawannya untuk melihat satu keajaiban yang terjadi di arena itu.
The Absolute 1 Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Pendekar Laknat 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama