Ceritasilat Novel Online

Danyang Delapan Neraka 1

Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka Bagian 1


DANYANG DELAPAN http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 12 :661 Dewa Arak Putri Teratai Merah662 Dewa Arak - Tombak Panca Warna663 Pendekar Mabuk - Gelang
Naga Dewa664 Pendekar Mabuk - Pusaka Bernyawa665 Pendekar Mabuk - Dalam Pelukan
Musuh666 Pendekar Mabuk - Darah Pemuas Ratu667 Pendekar Mabuk - Kencan di Lorong
Maut668 Pendekar Mabuk - Pertarungan Tanpa Ajal669 Pendekar Mabuk - Kapak Setan
Kubur670 Pendekar Mabuk - Pembantai Cantik671 Pendekar Mabuk - Rencong Pemburu
Tabib672 Pendekar Mabuk - Tapak Siluman673 Pendekar Mabuk - Pengawal Pilihan674
Pendekar Mabuk - Gadis Tanpa Raga675 Pendekar Mabuk - Misteri Tuak Dewata676
Pendekar Mabuk - Gerbang Siluman677 Pendekar Mabuk - Pembalasan Ratu Mesum678
Pendekar Mabuk - Wanita Keramat679 Pendekar Mabuk - Persekutuan Iblis680
Pendekar Mabuk - Tabib Sesat681 Wiro Sableng - Srigala Iblis682 Wiro Sableng Mayat Hidup Gunung Klabat683 Wiro Sableng - Raja Sesat Penyebar Racun684 Wiro
Sableng - Guna-Guna Tombak Api685 Wiro Sableng - Kutukan dari Liang Kubur686
Wiro Sableng - Pembalasan Pendekar Bule687 Wiro Sableng - Misteri Dewi Bunga
Mayat688 Wiro Sableng - Ratu Mesum Bukit Kemukus689 Wiro Sableng - Nyawa Yang
Terhutang690 Wiro Sableng - Bahala Jubah Kencono691 Wiro Sableng - Peti Mati
dari Jepara692 Wiro Sableng - Serikat Candu Iblis693 Pendekar Mabuk - Bocah
Titisan Iblis694 Pendekar Gila - Tengkorak Darah695 Pendekar Gila - Pembalasan
Dewa Pedang696 Pendekar Gila - Misteri Gadis Bisu697 Pendekar Gila - Durjana
Berparas Dewa698 Pendekar Gila - Penghianatan Joko Galing699 Pendekar Gila Dendam Mahesa Lanang700 Pendekar Gila - Tragedi Berdarah Di Ponorogo701 Pendekar
Gila - Kutukan Berdarah702 Pendekar Gila - Sepasang Maling Budiman703 Pendekar
Gila - Undangan Maut704 Pendekar Gila - Penunggang Kuda Iblis705 Pendekar Gila Syair Maut Lelaki Buntung706 Pendekar Gila - Dewi Ratu Maksiat707 Pendekar Gila
- Peti Mati Untuk Pendekar Gila708 Pendekar Gila - Serikat Serigala Merah709
Wiro Sableng - Makam Tanpa Nisan710 Wiro Sableng - Kamandaka Si Murid Murtad711
Wiro Sableng - Neraka Krakatau712 Wiro Sableng - Betina Penghisap Darah713 Wiro
Sableng - Hari Hari Terkutuk714 Wiro Sableng - Singa Gurun Bromo715 Wiro Sableng
- Halilintar di Singosari716 Wiro Sableng - Pelangi Di Majapahit717 Wiro Sableng
- Ki Ageng Tunggul Keparat718 Wiro Sableng - Ki Ageng Tunggul Akhirat719 Wiro
Sableng - Bujang Gila Tapak Sakti720 Wiro Sableng - Purnama Berdarah
NERAKA Oleh : Teguh Santosa
Diterbitkan Pertama Kali Oleh: Penerbit BINTANG USAHA JAYA SURABAYA Cetakan Pertama 1991
Lukisan Cover oleh: TEGUH SANTOSA Dilarang mengutip tanpa seizin penulis Hak
Cipta Dilindungi
Undang-Undang ALL RIGHTS RESERVED
Apabila ada nama dan tempat
kejadian Ataupun cerita yang
bersamaan, Cerita ini adalah fiktif.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Hujan deras mengguyur bumi.
Matahari baru saja terbenam, tetapi suasana desa itu sunyi senyap. Memang tidak
seperti biasanya. Beberapa waktu yang lalu, suasana begini tidak menjadi
penghalang bagi penduduk untuk berlalu-lalang di jalanan. Tetapi sudah tiga
minggu ini segalanya berubah. Ada semacam keengganan bagi penduduk untuk keluar
rumah setelah matahari terbenam. Apalagi suasana yang kian temaram diguyur hujan
seperti ini. Tak seorang pun yang berani kelayapan. Kalaupun ada, pasti ada
keperluan yang teramat penting.
Itupun lewat pertimbangan berkali-kali sebelum memutuskan untuk keluar rumah.
Lalu, ketika suasana kian pekat ditelan kegelapan, lewat cahaya kilat yang
memancar bertalu talu, terlihat sesosok tubuh tegak dengan angkuh dihadapan
puing-puing sebuah rumah.
Bangunan tersebut telah terbakar beberapa waktu yang lalu.
Tak berapa lama kemudian muncul pula sesosok tubuh yang lain dari seberang sana.
Dengan tenang dia berjalan menuju seseorang yang telah lama berdiri di depan
puing bangunan tadi. Tampaknya dia tidak memperdu-likan keadaan di
sekelilingnya. Juga terhadap hujan yang kian deras
menyiram tubuhnya. Beberapa pasang mata mengintip dari dalam rumah lewat celahcelah dinding bambu menyaksikan peristiwa itu. Mereka adalah para penduduk yang
tahu apa yang bakal terjadi di sana. Malam itu akan ada perang tanding dua orang
pendekar sesuai dengan tantangan yang telah disepakati.
Akhirnya pendekar yang baru
datang itu berhenti kira-kira tiga tombak jauhnya dari sesosok tubuh yang telah
menanti kedatangannya.
"Kau terlambat datang! Apakah sibuk melepas perpisahan dengan istrimu?" kata
pendekar yang telah lama menunggu. "Sayang memang, meninggalkan seorang istri
yang bakal jadi janda.
Janda muda yang sintal! Istrimu adalah sosok wanita idamanku, kau tahu itu "
Jangan marah. Aku sekedar mengumbar isi hati saja. Jangan khawatir, aku akan
merawat istrimu!"
Geraham pendekar yang baru datang itu terkatup rapat. Ada perasaan geram yang
ditahan. Tetapi dia mencoba mengendalikan diri. Dia tahu, lawannya mencoba
mengaduk-aduk kemarahannya.
Ini sangat berbahaya apabila dia terseret arus pancingan kemarahan seperti itu.
Dalam suasana yang tidak tenang, lawan akan dengan mudah menun-dukkan dirinya.
Tidak saja tunduk, tetapi sampai pada kematiannya. Sebab
pertemuan kali ini adalah masalah hidup dan mati!
Guntur menggelegar. Masing-masing telah siap untuk mencabut senjata.
Ketegangan berkembang. Detik demi detik berlalu. Tetapi begitu mereka akan
mencabut golok, tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggema lantang. Suara itu
mampu mengalahkan suara derai air hujan, dan semakin jelas terdengar mendekati
mereka. Sesosok tubuh berkelebat. Kedua Orang yang hendak menyabung nyawa itu mencelat
dari tempatnya masing-masing begitu bayangan hitam menerjang di tengah-tengah
mereka. "Gila! Bayangan apa itu?" umpat orang pertama yang tadi muncul sambil mencoba
membenahi dirinya. "Kau jangan curang, Klungsu ! Kau membawa
pecundang untuk membantumu ?"
"Keparat, kau, Ragil!" kata orang yang dipanggil dengan nama Klungsu.
"Kau yang membawa pembokong untuk bikin curang dalam tanding tohpati ini!"
"Tidak ! Aku datang dengan jujur," jawab laki-laki bernama Ragil.
"Lalu siapa yang bikin ulah tadi?" tanya Klungsu.
Sebelum memperoleh jawaban, tiba-tiba bayangan yang berkelebat tadi muncul
kembali.....! Kali ini tidak sekedar membuat
kejutan, tetapi
bertindak fatal. Bayangan hitam yang muncul sambil mengumbar tawa itu
mengibaskan jubahnya, sehingga pendekar bernama Ragil dan Klungsu menggeliat
sambil menjeritkan suara aduhan. Kedua tubuh itu terkapar tak bergerak
lagi......!. Bayangan itu tidak terlihat lagi.
Hujan tetap mengguyur dengan deras.
Malam semakin larut, sementara penduduk desa itu terbenam di dalam rumah masingmasing.......! *** Esok harinya, Penduduk gempar.
Mereka mendapati dua sosok tubuh yang dikenal sebagai jago kepruk bayaran
terkapar di depan puing bangunan bekas kebakaran.
"Ini kan Ragil dan Klangsu !
Bagaimana jago kepruk yang ditakuti segenap desa ini bisa terkapar seperti itu "
Jadi mereka tidak mati " Cuma pingsan " Padahal kalau berada di manapun, tak
akan dibiarkan seekor lalat mengusiknya," seorang penduduk mengumbar omongan di
antara kerumunan orang-orang yang menengok keadaan di sana.
"Ada apa kiranya, pak ?"
terdengar suara pertanyaan.
Laki-laki tua itu menoleh. Dilihatnya seorang wanila berkemben kuning
mengendalikan kuda. Pak tua itu tertegun menyaksikan penampilan wanita yang
telah menegurnya. Paling tidak, sebagai laki-laki yang telah berusia tujuh
puluhan, dia dapat menilai kecantikan wanita muda berkendara kuda itu.
"Dua jago kepruk yang kesohor di desa ini, kedapatan pingsan terkapar.
Ada yang bilang mereka semalam akan perang tanding. Tapi pagi ini keduanya
semaput dengan bekas membiru serupa di kening mereka !" kata orang tua itu lagi.
Yang menjadi masalah memang itu.
Di kedua kening Ragil dan Klungsu terdapat tanda yang membiru sebesar ibu jari.
"Coba saya periksa, pak !!!", kata wanita muda itu sambil turun dari kudanya.
Orang-orang menyibak minggir ketika dilihatnya wanita berkemben kuning berniat
memeriksa Ragil dan Klungsu yang masih belum sadar dari pingsannya.
"Hm. Ini totok jalan darah yang membuat orang bisa tidur berminggu-minggu
lamanya," kata wanita berkemben kuning setelah meraba kening dua orang yang
terkapar di hadapannya. "Sebenarnya tidak seberapa parah. Akan kusadarkan
mereka," katanya lagi sambil memijat bagian tengkuk dan pelipis salah seorang di
antaranya. Kemudian orang yang satunya.
"Lihat! Klungsu telah bangun,"
kata salah seorang penduduk
"Ragil juga mulai sadar. Wah, ampuh benar pengobatannya gendhuk ayu itu. Apakah
dia seorang tabib ?" kata yang lain.
"Hush ! Mana ada tabib berpakaian seperti itu " Penampilan seperti itu hanya
dilakukan oleh seorang pendekar," terdengar suara yang lain.
Wanita berkemben kuning itu
berdiri sementara Ragil dan Klungsu telah sadar dan tampak blingsatan karena
dikerumuni penduduk.
Tiba-tiba Ragil tampak beringas.
Dia mencabut goloknya. ,
"Minggir semua!! Apa yang kalian tonton, hah "!, Hei, kau, Klungsu !
Apa yang telah kau lakukan terhadapku sampai jadi tontonan orang-orang ini "
Bukankah kita sepakat
untuk menyelesaikan masalah kita dengan perang tanding secara ksatria"!"
"Jangan mengumbar seenak udelmu, Ragil! Kaulah yang memanggil orang-orang ini
menjadl penonton! Tapi....., tapi semalam......aah.......!" Klungsu ternyata
orang paling menyadari peristiwa yang terjadi semalam.
"Semalam "! Oh......, ya...., semalam itu....kita sudah berhadapan !
Tapi.....," kata Ragil seperti orang linglung. Orang-orang mulai menyingkir. Mereka tak mau terlibat lagi dengan urusan Ragil dan Klungsu. Mereka
terkenal sebagai jago kepruk. Mereka menjual tenaga kepada siapa saja yang
memerlukan tenaganya. Hanya sayang, tenaga mereka hanya diandalkan untuk
menyakiti orang lain. Bahkan kalau perlu membunuh! Teringat akan hal ini, maka
orang-orang tak mau mengurusi lagi peristiwa yang menimpa kedua jago kepruk itu.
Begitu orang-orang menyingkir, pandangan mereka tertuju kepada seorang wanita
muda berkemben kuning.
"Kalian telah kena totok jalan darah sehingga tertidur. Di kening kalian masingmasing ada tanda membiru. Itu totok jalan darah tingkat tinggi yang membuat
kalian bisa tertidur berminggu-minggu. Tahu aki-batnya kalau manusia tertidur
terus" Bisa mampus dalam buaian mimpi !" kata wanita itu sambil beranjak pergi.
"Eh.....enghm.... gendhuk ayu.
Siapa namamu ?" kata Ragil yang sirna keberingasannya.
"Pusparini ! jawab wanita itu sambil menaiki kudanya.
"Hei, tunggu ! Kita perlu omong-omong sedikit tentang hal ini!" kata Ragil lagi.
"Aku perlu sarapan. Kalau ingin berbicara, sebaiknya di warung itu,"
jawab Pusparini tanpa menoleh.
"Hei, Ragil! Bagaimana dengan urusan kita. ?" tanya Klungsu dengan lagak tetap
sebagai seorang jagoan.
"Bisa kita selesaikan sewaktu-waktu. Aku ada keperluan yang lebih penting dari
pada harus mencabut nyawamu !" kata Ragil sambil terus mengejar langkah
Pusparini. Klungsu meludah, mengimbangi penghinaan Ragil dan membiarkan lawannya
berlalu. Benar-benar aneh pertikaian mereka.
Pusparini langsung memesan
makanan begitu dia mengambil tempat duduknya di bangku panjang. Sesaat kemudian
jago kepruk bernama Ragil telah menyusul dan langsung duduk di sampingnya.
"Maaf. Aku ingin bertanya, siapa kau sebenarnya," tanya Ragil tanpa segan
sedikitpun. Dia terus mengawasi Pusparini yang kini telah melahap nasi yang
dipesan. "Aku sekedar numpang lewat di sini, dan kutemui kau dan orang yang satunya itu
terkapar jadi tontonan,"
jawab Pusparini tanpa menoleh sedikit pun.
"Numpang lewat" Memangnya akan kemana kau?"
"Ya... sepembawa kaki saja."
"Kau pasti mencari seseorang !"
desak Ragil. "Sok tahu kau. Jangan sembrono.
Aku paling tidak suka dituduh macammacam oleh seseorang yang tidak kukenal," jawab Pusparini yang kini meneguk
minumannya. "Jadi kau ke warung ini tidak untuk makan" Hanya untuk bertanya
terhadap hal-hal yang tak kusukai?"
"Hm. Ternyata kau bisa
cepat marah," Ragil memancing dengan ejekan.
"Namaku Ragil! Kalau kau tak keberatan, tinggallah beberapa hari di desa ini."
Pusparini mengusap mulutnya,
menghapus sisa makanan yang mungkin menempel di bibirnya yang ranum sigar jambe
itu. Ragil menelan ludah melihat bentuk bibir macam itu. Lalu matanya menyapu
dada Pusparini yang terbungkus kemben kuning. Perasaannya berdetak.
"Terima kasih dengan tawaranmu.
Tetapi kalau aku ingin menginap, akan kucari penginapan sendiri," kata Pusparini
sambil merogoh pundi-pundi dan mengambil isinya. Pemilik warung menerima
pembayaran yang diberikan.
"Eenghmm.......gus Ragil tidak makan?" tanya pemilik warung.
"Eh.... tidak. Tidak, pak," jawab Ragil sambil meninggalkan tempatnya karena
melihat Pusparini telah memacu kudanya meninggalkan waning Itu.
"Hei! Tungguu!!" Ragil lari memburu. Pusparini lenyap di tikungan.
Ragil mengumpat. Dia tidak melanjutkan pengejaran. Lalu berjalan menuju ke
suatu tempat mengarah ke luar desa.
Beberapa saat kemudian langkahnya sampai di sebuah jembatan. Sungai yang bening
mengalir di bawahnya. Tak ada pikiran apa-apa sampai dia menyebe-rangi jembatan
itu. Tetapi sesampai di tengah jembatan, perhatiannya terusik.
Ragil mengawasi hulu sungai.
Dan...astaga! Sayem, istri Klungsu, sedang mandi di sana sendirian.
Ragil, jago kepruk yang mata
kranjang, mengawasi wanita bernama Sayem yang asyik merendam tubuhnya di sungai.
Kejalangan Ragil menyala.
Dengan langkah hati-hati dia mendekati Sayem yang sedang mandi. Wanita ini tak
curiga sedikit pun kalau ada sepasang mata yang terus mengawasi gerak-geriknya.
Kemudian Ragil bikin ulah. Dia mengambil pakaian Sayem.
Dan beberapa saat kemudian....
"Oh ! Di mana pakaianku ?" kata Sayem dalam hati sambil mengawasi keadaan di
sekitarnya. Tiba-tiba perasaan semakin bergolak kaget ketika dilihatnya Ragil
dengan senyum simpul berada di sana. Sayem membenamkan diri lagi ke air.
"Yem! Aku bermurah hati kepada Klungsu, suamimu. Dia kubiarkan hidup.
Bukankah pagi ini dia telah pulang ke rumah ?" Ragil mengumbar kata.
"Kang Ragil! Berikan pakaianku!"
Sayem meratap. "Keluarlah dari tempatmu, dan datanglah kemari!" kata Ragil dengan nada olokolok. Dia tetap senyum-senyum dengan mata jalang mengawasi Sayem yang semakin
membenamkan tubuhnya ke dalam air sampai sebatas leher.
"Kau tentunya tidak akan seharian kumkum di situ, Yem!" ledek Ragil.
"Pasti ikan-ikan di sungai ini sedang menonton tubuhmu. Aku jadi iri, Yem.
Bagaimana kalau ada ikan jantan lalu nylonong ke sela pahamu?"
"Gendheng! Edan!" umpat Sayem.
"Kalau kang Klungsu tahu, pasti kau dibantai!"
"Ah, kalau dia mampu pasti sudah dilakukan dari dulu-dulu. Sampai tadi malam


Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun, dia tak mampu melakukannya.
Bahkan kuberi dia kesempatan untuk hidup!" ledek Ragil.
"Berikan pakaianku ! Kalau ada orang yang melihat, kau akan dikeroyok orang satu
kampung," ancam Sayem dengan sikap menakut-nakuti.
"Dikroyok orang satu kampung"
Satu desa pun akan kuladeni!"
Sayem tiba-tiba terperangah
melihat apa yang akan dilakukan Ragil.
"Kalau kau tak sudi datang kemari, aku yang akan ke tempatmu,"
kata Ragil sambil melepas pakaiannya.
"Kang Ragil........ jangan!!"
keluh Sayem ketakutan.
Ragil tertawa terkekeh-kekeh
seperti kucing melihat dendeng. Tetapi tiba-tiba suaranya tersendat. Itu karena
merasa tubuhnya melayang dan mencelat. Sebuah tendangan telah melanda
punggungnya. Tubuh Ragil melayang ke arah sungai dan tercebur tiga tombak
jauhnya dari tempat Sayem.
Ragil tak tahu siapa yang melakukan pembokongan itu. Ketika muncul dari
permukaan air maka umpatannya meledak.
Dia misuh-misuh selangit. Dilihatnya Sayem telah naik ke tepian dan seseorang
memberikan kain kepadanya.
"Keparat kau,
Ppp..... Puspa- rini!!" teriak Ragil sambil menggenjotkan tubuh keluar dari sungai dan nangkring
di atas padas. "Kau o-ang baru masuk ke kawasan ini sudah berani banyak tingkah
terhadapku!"
Ya ! Pusparini yang telah meng-hajar Ragil sampai mencelat ke sungai.
"Yang banyak tingkah itu kan kamu. Mbakyu ini sudah punya suami.
Mengapa mesti hendak kau kurang ajari"
Sebagai sesama wanita, aku terpaksa bertindak. Kau pikir wanita itu bisa kau
buat main-main seenak udelmu"
Kalau ingin main-main, ayo denganku !
Aku ladeni!" tantang Pusparini.
"Demit kapiran!!! Kau akan tahu siapa aku..!!" teriak Ragil sambil melesat ke
arah Pusparini. Dan itu adalah gerak yang ceroboh dilakukan
oleh Ragil. Dia terlalu jauh membuat gerakan meloncat ke arah lawan.
Pusparini dapat mengetahui arah mana yang hendak dituju Ragil. Oleh sebab itu
lowongan tersebut diisi jurus untuk menghadapi tendangan lawan.
Akibatnya, Ragil terpaksa mengubah serangan. Tetapi hal itu sulit dilakukan
karena semua peluang telah dikuasai Pusparini. Kemana pun Ragil berkelit, pasti
kena gampar. Dan itu benar-benar terjadi.
Serangan Ragil mendapat pukulan tangan kanan Pusparini, sehingga tapak kakinya
kesemutan, yang disusul lagi dengan sabetan tangan kiri. Semua itu cukup membuat
Ragil jempalitan di udara, lalu menapak tanah kembali.
Tetapi sekejap kemudian dia melesat ke udara sambil memusatkan tenaga pukulan di
tangannya yang langsung ditujukan ke arah Pusparini. Tetapi wanita muda ini
memandang gaya serangan itu cuma kelas tempe. Hal itu terbukti Pusparini dengan
mudah dapat mengimbangi dengan tangkisan yang cukup fatal.
Tangan kanannya membendung pukulan Ragil, tetapi kaki kiri Pusparini segera
melesat dengan cepat ke atas, langsung mengunjam ke lambung lawan.
Ragil menggeliat di udara. Sebelum dia menginjak tanah, Pusparini telah
menyerangnya lagi dengan tendangan kaki. Tubuh Ragil benar-benar jadi
bulan-bulanan, yang akhirnya mencelat menimpa semak belukar.
"Mbakyu ! Cepat pulang sebelum dia siuman. Kukira untuk beberapa saat dia akan
tertidur di situ," kata Pusparini kepada Sayem yang sejak terjadi pertarungan
tadi menyaksikan dari balik batang pohon.
"Ttt.... terima kasih... dd...
dik pendekar....!" kata Sayem sambil secepatnya meninggalkan tempat itu.
Pusparini pun berlalu dari sana, menghampiri kudanya yang ditambatkan di bawah
pohon. *** 2 Ternyata peristiwa baku hantam Pusparini dengan Ragil ada yang mengintip. Orang
ini segera menyebar luaskan kejadian itu.
"Jadi Ragil klenger?" tanya temannya setelah mendengar kisah tersebut.
"Bener" Sepak terjang wanita muda itu.....whiih.....huebat banget. Cuma beberapa
kali gebrak, Ragil tak berkutik."
"Kalau begitu.... dia orang yang kita cari," kata seorang lelaki tua.
"Dicari untuk apa ?" tanya orangyang memberi laporan.
"Kau akan tahu nanti. Ayo, tunjukkan dimana pendekar wanita yang kau ceritakan
itu" "Wah, ya nggak tahu. Setelah menggasak Ragil, dia terus menaiki kudanya entah
pergi ke mana," jawab si pelapor. Tetapi baru saja menutup pembicaraan.
"Oh! Itu dia! Itu dia!"
Kemudian semua mata tertuju ke arah jalan utama desa itu.
Pusparini tampak berkuda, yang melihat gelagatnya akan meninggalkan desa itu.
Seorang penduduk yang punya niat tadi segera memburu Pusparini.
"Berhenti dulu. Maaf, nduk, kalau boleh aku ingin berbicara kepadamu,"
kata laki-laki itu.
Pusparini menghentikan kudanya.
"Oh ya" Ada apa, pak"!" tanya Pusparini.
"Lebih baik di tempatku saja, nduk. Ada sesuatu yang penting ingin kubicarakan
denganmu," kata laki-laki itu.
"Tapi......siapakah bapak ini?"
tanya Pusparini.
"Aku Jaga Baya desa ini. Namaku Ki Pandulu. Kau tak keberatan bukan ?"
"Baiklah !" kata Pusparini sambil turun dari kudanya.
"Lho, kok turun. Rumahku di seberang sungai Itu. Berjalan cukup jauh."
"Bapak kan jalan kaki. Jadi lebih enak kita omong-omong sambil jalan kaki menuju
rumah bapak," jawab Pusparini dengan sopan.
Ki Pandulu tersenyum dan geleng-geleng. Kesan terhadap Pusparini menimbulkan
rasa nyemanak. Artinya, penuh rasa hormat serta kekeluargaan.
Beberapa saat ketika mereka
menempuh perjalanan itu, mereka melewati puing bekas rumah terbakar.
"Kelihatannya puing ini belum lama terjadi kebakaran. Warga desa bernama Klungsu
dan Ragil kemarin didapati tertidur di sini.
Bapak mengerti mengapa terjadi kebakaran di bekas rumah ini?" tanya Pusparini.
"Itulah yang nanti bapak
ceritakan. Tetapi tentang tertidurnya Ragil dan Klungsu, kata orang bukan
tertidur biasa. Kena totokan jalan darah, dan... enghmm... siapa namamu, nduk?"
kata Ki Pandulu.
"Pusparini, pak"
"Oh, nama yang indah."
"Mereka memang kena totokan jalan darah. Orang yang melakukan pasti berilmu
tinggi. Tapi... tunggu,pak.
Saya ingin melihat bekas-bekas kebakaran yang telah menghabiskan rumah ini,"
pinta Pusparini.
Ki Pandulu tertegun sejenak. Ada sesuatu yang dipikirkan.
"Silakan. Tapi sebaiknya kukatakan sekarang tentang puing-puing rumah ini," kata Ki Pandulu sambil mendampingi
Pusparini memeriksa bekas-bekas kebakaran. "Ini bekas rumah Ki Bangah. Dia
beserta istrinya tewas terbakar."
"Oh, kasihan. Tidak ada keluarga yang lain?" tanya Pusparini sambil memungut
sesuatu di antara puing-puing itu. Sebuah logam. "Senjata rahasia,"
bisik Pusparini pelan.
"Ada seorang anak gadisnya yang sampai saat ini tidak kami ketahui nasibnya.
Entah di mana dia sekarang.
Namanya Sriwening," Ki Pandulu terus memberi penjelasan yang tiba-tiba terkejut
melihat Pusparini menemukan sebuah logam yang diketahui sebagai senjata rahasia,
entah milik siapa.
"Berarti ada bentrokan sehubungan dengan kebakaran itu, pak," kata Pusparini
sambil menunjukkan benda itu. "Bapak pernah melihat senjata rahasia ini?"
"Tidak. Oh, alangkah bodoh diriku sampai tidak bisa menemukan benda itu sewaktu
tempo hari mengadakan
pemeriksaan setelah kebakaran itu terjadi. Mungkin karena hujan maka benda itu
yang semula tertimbun abu, jadi muncul di permukaan tanah."
"Kalau yang bapak maksud semua itu ada kaitannya dengan peristiwa terbunuhnya
keluarga Ki Bangah, saya
akan membantu bapak untuk menyelidiki hal ini. Mari kita terus ke rumah bapak,"
ajak Pusparini.
Mereka segera meninggalkan tempat itu. Sayangnya mereka tidak sadar bahwa
sepasang mata telah mengamati gerak-gerik mereka dari kejauhan di balik lorong
gang. Malam ini Pusparini bermalam di rumah Ki Pandulu, jaga baya Desa Sonogading.
Sejak sore telah terjadi pembicaraan antara Pusparini dengan Ki Pandulu. Dan
seperti biasanya, Desa Sonogading setiap malam tetap diguyur hujan Penduduk
bilang, ini "mongso rendeng", musim penghujan.
"Memang tak ada yang beres di desa ini," pikir Pusparini di balik selimut. Kalau
tak salah desa ini termasuk kadipaten Prambanan."
Pusparini meneliti lagi logam
senjata rahasia yang ditemukan di puing rumah Ki Bangah.
"Menurut cerita Ki Pandulu tadi, setiap malam desa ini disatroni oleh sesosok
tubuh tak dikenal yang mengganggu rumah-rumah. Tapi tidak merampok. Dia datang
mengganggu anak gadis. Anehnya, dia tidak memperkosa, suatu hal yang sangat
ditakutkan. Hm, hanya mengganggu anak gadis. Dan gadis-gadis itu menurut
pengakuan mereka, hanya ditelanjangi, kemudian di tinggal pergi. Aneh!"
Pusparini mempertajam indera
pendengarannya. Hujan di luar mulai reda. Malam semakin larut. Timbul niatnya
untuk memergoki tokoh aneh yang sering kelayapan pada tengah malam untuk
mengganggu anak gadis penduduk itu. Tetapi menurut keterangan Ki Pandulu, tokoh
aneh tersebut tidak bisa dipastikan kemunculannya.
Tidak pada setiap malam. Tetapi cukup membuat resah penduduk.
Pusparini memutuskan untuk keluar rumah. Harapannya, dia ingin memergoki tokoh
aneh Itu. Untung-untungan. Kalau tidak ketemu, ya sudah, begitu piker-nya. Lalu
Pusparini keluar ruangan kamarnya. Dengan sekali genjot, dia sudah nangkring di
wuwungan rumah.
Ilmu mengentengkan tubuh diterapkan agar tidak membuat berisik. Dia yakin, tokoh
aneh itu pasti memiliki ilmu tinggi. Ki Pandulu juga belum bisa memastikan
apakah peristiwa kebakaran yang terjadi di rumah Ki Bangah ada hubungannya
dengan tokoh aneh itu.
Gerimis kepyur tidak diindahkan oleh Pusparini. Dia melesat dari wuwungan yang
satu ke wuwungan yang lain. Semuanya dilakukan tanpa berisik. Hanya pakaiannya
yang menimbulkan bunyi berkelebat karena terpaan angin tatkala melompat.
Akhirnya dia nangkring di sebuah wuwungan rumah yang bentuknya agak
mewah dari rumah lain. Di tempat ini dia berdiri agak lama. Matanya menyapu
kegelapan malam. Tak ada secercah cahaya pun dari dalam rumah penduduk yang
menembus keluar. Hanya cahaya kilat yang sesekali menolongnya sehingga tahu
keadaan sekitarnya.
Tiba-tiba perasaan Pusparini
terusik Seperti ada sesuatu yang bergerak di teritisan rumah-rumah tak jauh dari
tempat itu. Dia mencoba menajamkan pandangan ke arah tempat yang dicurigai.
Harapannya mudah-mudahan ada cahaya kilat di langit sehingga dia bisa melihat
dengan nyata siapa yang bergerak di sana. Ternyata tak ada kilat secercahpun.
Karena dipikir sosok tubuh yang dicurigai itu semakin mendekat, maka Pusparini
melompat ke sana.
Tetapi sial. Sebelum Pusparini tiba di tempat yang diincar, sosok tubuh itu
dengan cekatan menggerakkan tangannya. Pusparini merasakan pukulan melanda.
bahunya. Tetapi dia cepat menggulirkan tubuhnya agar tidak mengalami serangan
beruntun yang dilakukan oleh sosok tubuh itu. Memang agak sulit baginya untuk
membaca situasi dalam suasana gelap seperti itu. Pusparini berusaha mengatasi
diri. Setelah bergulir menghindarkan diri, dia pasang kuda-kuda. Matanya
dipertajam menembus kegelapan malam.
Dan secepat itu pula dilihatnya sosok
tubuh yang diserang tadi melesat ke arahnya. Rupanya lawan ini menganggap
Pusparini perlu diladeni. Bentrokan tak bisa dihindari. Pada kesempatan inilah
Pusparini dapat mengambil kesimpulan bahwa lawannya seorang wanita. Tetapi siapa
gerangan" "Kita harus bicara. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya!" terdengar suara sosok
tubuh itu. Pusparini menghentikan sepak
terjangnya. Tetapi dia tetap waspada, takut kalau-kalau hal itu hanya muslihat
lawannya. Kilat memancar di langit. Pusparini bisa melihat dengan nyata sosok tubuh
lawannya. Dia memang seorang wanita.
"Aku Sriwening. Putri Ki Bangah,"
kata wanita itu.
"Sriwening?" ucap Pusparini seolah ingin kepastian. "Sriwening putri Ki
Bangah"!"
"Ada apa" Siapa kau sebenarnya yang tiba-tiba saja menyerangku?"
tanya Sriwening dengan membenahi pakaiannya.
"Sebaiknya kita ke tempat Ki Pandulu, jagabaya desa ini. Aku menginap di sana,"
kata Pusparini mencoba mengawasi keadaan wanita bernama Sriwening.
"Ki Pandulu" Oh, itu kebetulan
sekali. Sebenarnya aku hendak ke sana.
Aku baru saja datang ke desa ini. Aku mendengar bahwa kedua orang tuaku
terbunuh," sambung Sriwening dengan mengiringi langkah Pusparini. "Pantas kalau
Ki Pandulu mempunyai tenaga pembantu seperti kau. Jaga baya bertugas menjaga
keamanan."
"Kata Ki Pandulu ada sesuatu yang tidak beres di desa ini," kata Pusparini.
"Itu sudah kuduga," sela Sriwening.
"Hst!" tiba-tiba Pusparini mencekal lengan Sriwening. "Aku melihat seseorang
mengendap-endap di seberang jalan itu."
"Aku juga telah melihatnya tadi.
Tetapi mengapa kelihatannya kau mencurigai semua yang kau lihat di malam seperti
ini?" tanya Sriwening.
"Pasti kau telah lama meninggalkan tempat ini sehingga tidak tahu perkembangan
peristiwa yang menimpa desa Sonogading," kata Pusparini dengan terus mempertajam
pengamatannya kepada sesosok tubuh yang tetap mengendap-endap di sana. "Ayo kita
sergap dia."
Pusparini dan Sriwening menyebar.
Sementara itu sosok tubuh yang dicurigai melambungkan tubuhnya ke atap rumah.
Hal itu tak lepas dari pengawasan Pusparini yang telah
melangkah terlebih dahulu. "Hm.
Berilmu juga dia. Jelas bukan maling ayam," pikirnya.
Pusparini mengejar ke atap rumah.
Pada saat itulah sosok tubuh yang dikejar mengetahui kehadirannya.
"Hei! Katakan siapa dirimu! Siapa pun yang kelayapan dengan caramu itu, pasti
bukan manusia baik-baik!" tegur Pusparini dengan nada tegas.
Kilat memancar. Dari cahaya ini Pusparini sekilas dapat melihat dengan jelas
wajah sosok tubuh itu. Tetapi wajah yang bertopeng.
"Hm! Bertopeng lagi. Bagaimana aku bisa menyebutmu bahwa kemunculanmu malam ini
dengan maksud baik,"
sambungnya lagi. Kali ini Pusparini mulai pasang kuda-kuda, sebab diperkirakan
orang di hadapannya itu akan menyerang. Dan benar! Manusia
bertopeng itu menerjang ke arah Pusparini. Geraknya melesat bagai punya sayap
pada tubuhnya. Penampilan yang terlihat bagaikan sayap itu adalah jubah yang
dipakainya. Gerakannya membuat jubahnya mengembang seperti sayap kelelawar.
Pusparini berkelit sambil mengirimkan pukulan ke arah lawan ketika orang
bertopeng itu mengayunkan tangannya. Ayunan pukulan, serang dan menangkis saling
beruntun silih berganti. Selang beberapa jurus, orang
bertopeng itu merasakan lambungnya kena tendang. Tetapi tubuhnya tidak oleng.
Bahkan dia langsung mengirimkan pukulan ke arah asal tendangan itu.
Ternyata yang bikin ulah adalah Sriwening.
Kini dua lawan satu.
Bagi Pusparini sebenarnya hal ini tidak enak. Dia belum bisa mengukur kekuatan
lawan. Mengapa harus menge-royok" Oleh sebab itu untuk beberapa saat dia
berkelit menghindar, memberi kesempatan kepada Sriwening agar menangani manusia


Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertopeng yang dicurigai punya niat tidak baik.
Dari pengamatan Pusparini bahwa manusia bertopeng itu cukup tangguh dan berilmu
tinggi. Cerakannya banyak memancing Sriwening, sehingga perkelahian mereka
berkembang dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain.
Melihat hal ini timbul hasrat
Pusparini untuk menjebak manusia bertopeng itu. Rencananya, selagi lawan itu
sibuk menghadapi Sriwening, dia akan menyambar topeng yang melindungi wajahnya.
Pusparini melesat dengan diam-diam. Akan dilakukan dari samping, sebab cara ini
lebih mudah dari pada harus membokong karena terhalang jubah yang sering
berkembang. Tetapi baru saja Pusparini nyaris mendekat, tiba-tiba manusia
bertopeng ini mengibaskan jubahnya
untuk menghalau tindakan itu.
Hebat. Pusparini merasakan kiba-san itu merobek lengannya.
Ya, merobek! Sebab Pusparini
merasakan sesuatu yang pedih di lengannya. Pusparini menduga bahwa ujung jubah
itu pasti ada logam tajam sebagai senjata yang dirahasiakan letaknya. Lalu
kekhawatirannya timbul.
Bagaimana kalau senjata itu beracun"
Dia ingat peristiwa yang lalu ketika harus berhadapan dengan tokoh bernama
Sawung Cemani yang memiliki senjata tersembunyi pada tumitnya. Sawung Cemani
berarti 'ayam laga hitam'. Dan jalu besi sebagai senjata yang tersembunyi
tersebut banyak menimbulkan korban dengan akibat yang mengerikan.
Tetapi beberapa saat berikutnya di saat Pusparini terpaksa harus menghindar ke
belakang, rangsangan racun yang dikhawatirkan tidak ada.
Berarti goresan itu cuma luka biasa.
Pusparini bertindak lagi. Kali ini dia lebih waspada. Dia menggenjotkan tubuh
melesat keatas. Pusparini yang punya gelar pendekar sebagai Walet Emas ini,
mengerahkan jurus waletnya. Suatu jurus serangan yang tampaknya lemah gemulai,
tetapi pada detik yang menentukan akan bergerak dengan cepat ke arah sasarannya.
Gerak melambung ke atas ini
memang tidak diwaspadai oleh manusia
bertopeng itu. Kemudian tubuh
Pusparini meliuk dengan manis ke arah sasaran. Dan...
Sret!! Topeng berhasil direnggut.
Terdengar suara umpatan dari
tokoh yang menjadi sasaran ini. Tahu bahwa topengnya direnggut lawan, dengan
cepat dia menutup wajah dengan jubahnya dan melesat menghindar.
Tetapi gerakannya agak ceroboh, sehingga Sriwening yang sejak tadi melawannya,
berhasil menggasak lambungnya.
"Dia meloloskan diri!" teriak Sriwening.
"Biarkan!" cegah Pusparini.
"Tampaknya kau berhasil merenggut topeng yang dipakainya."
"Ya. Untuk sementara kita akan menyelidiki dari topeng ini. Kita tak bisa
gegabah bertindak secara tuntas.
Ayo, kita kembali ke tempat Ki Pandulu," ajak Pusparini.
Tetapi begitu mereka akan
beranjak pergi, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan dari kejauhan
sana. "Suara siapa itu," kata Sriwening lirih.
"Kedengarannya tambah menjauh!"
*** 3 Ki Pandulu merasa senang dengan kemunculan Sriwening yang telah kembali ke desa
Sonogading. "Jadi selama ini kau dikirim ayahmu berguru ilmu kependekaran ?"
tanya Ki Pandulu esok harinya.
"Benar, Ki. Baru seminggu yang lalu saya mendengar berita tentang ayah dan ibu
saya. Apakah Ki Pandulu belum berhasil mengung-kap latar belakang peristiwa
terbunuhnya kedua orang tua saya?" tanya Sriwening sementara Pusparini mengikuti
pembicaraan itu dengan tekun. Berbicara tentang kematian kedua orang tua,
Pusparini merasa prihatin, sebab nasibnya tak beda jauh dengan yang dialami
Sriwening. "Belum. Belum berhasil kami ketahui. Bahkan kini kucoba menghu-bungkan dengan
peristiwa munculnya tokoh yang telah kalian tangani semalam. Kedua orang tuamu
terbunuh sebelum tokoh yang nyalawadi itu muncul. Baru beberapa hari kemudian,
tokoh yang bikin resah itu muncul.
Inipun dengan alasan yang sulit diurai nalar. Dia muncul di tengah malam hanya
untuk mengusik anak gadis orang.
Tetapi tidak ada tanda-tanda untuk merusak kehormatan terhadap setiap gadis yang
dia telanjangi. Ya, hanya
begitu perlakuannya. Dan di desa Sonogading ini telah sepertiga penduduk
mengalami hal itu," kata Ki Pandulu sambil menyisipkan rangkuman kinang di
mulutnya. "Hm. Aneh. Hanya ditelanjangi.
Kemudian ditinggal pergi. Sepertinya ada sesuatu yang dicari dengan melihat
tubuh-tubuh yang tiada berbusana itu,"
sela Pusparini.
"Dan topeng ini akan mengawali penyelidikan kita"
"Topeng bercat merah. Wajah tokoh jahat yang sering dipentaskan dalam pagelaran
sendratari," sambung Sriwening.
"Sendratari?" tanya Pusparini seakan-akan ada pelita menerangi pikirannya.
"Ya, sendratari. Bukankah ini topeng tokoh Rahwana" Kau tidak tahu?"
kata Sriwening.
"Sendratari! Ah, rupanya dari sana kita harus beranjak," saran Pusparini.
"Apakah mungkin topeng ini bera-sal dari kelompok pemain sendratari yang sering
mempergelarkan diri di Kadipaten?" tanya Ki Pandulu sambil mengawasi topeng
Rahwana itu dengan teliti.
"Beberapa waktu yang lalu saya pernah menyaksikannya," tukas Sriwening.
"Tetapi kapan sendratari itu dipentaskan lagi ?" tanya Pusparini yang agaknya
mulai tertarik dengan masalah itu. Soalnya sudah lama dia ingin menyaksikan
pagelaran itu. Selama ini dia hanya mendengar cerita orang-orang dari mulut ke mulut tentang
keindahan sendratari. Dan hal itu hanya bisa diselenggarakan oleh kalangan
bangsawan. Kebanyakan kisah yang dipentaskan adalah kisah dari khasanah cerita
Ramayana dan Maha-bharata.
"Kukira kita tak perlu menyelidiki mengandalkan kapan sendra-tarinya
dipentaskan. Telapi kita cari rombongan pemain sendratari itu. Di sekitar
kadipaten Prambanan ini hanya satu kumpulan sendratari yang terkenal. Namanya
Krida Swara," kata Sriwening menandaskan. Dia mengharap usulnya tentang melacak
tokoh bertopeng itu bisa disetujui.
"Rupanya kau lebih menguasai lapangan dari padaku, Sriwening. Buah pikiranmu
kusetujui. Bukankah begitu, Ki?" kata Pusparini sambil melempar pandang ke arah
Ki Pandulu. Dan pada saat yang bersamaan ini, pandangan Pusparini berhasil
melihat seseorang berada di balik pilar pendopo.
"Oh, siapa itu, Ki. Tampaknya dia sudah lama berada di situ. Mungkin ada
keperluan menemui Ki Pandulu," kata
Pusparini. Merasa dipergoki, orang itu
muncul. Pusparini terjengah. Dia tahu laki-laki itu. Si Klungsu, lawan bentrokan
Ragil. "Klungsu !" tegur Ki Pandulu.
"Sudah lama kau di situ " Kalau ada perlu dengan aku, masuk saja."
Klungsu terlihat blingsatan, dan melangkah ke depan, kemudian mengambil tempat
duduknya sambil bersila.
"Memang ada keperluan, Ki. Eh...
anu... Sayem, istri saya...," kata Klungsu dengan tampak kebingungan.
"Ya "! Kenapa dengan istrimu ?"
tanya Ki Pandulu.
"Eh...ss...semalam diculik oleh seseorang...!" jawab Klungsu.
Penampilannya yang selama ini sebagai jago kepruk, tiba-tiba l-nyap.
"Apa " Yu Sayem diculik seseorang"
Maksudmu...orang bertopeng?"
tanya Pusparini.
"Saya tak tahu. Semalam memang saya tidak tidur di rumah. Saya mencurigai Ragil.
Tetapi sampai sekarang saya tidak menjumpai Ragil," kata Klungsu dengan
penampilan yang tidak seperti jago kepruk lagi. Dia tampak loyo kehilangan
semangat. Rupanya Sayem sangat berarti dalam hidupnya.
"Klungsu, Klungsu. Kau ini terkenal sebagai jago kepruk. Setiap orang tidak
berani menatap pandangan
matamu. Sekarang kehilangan istri lapor ke mari. Mengapa tidak kau cari saja
sendiri?" kata Ki Pandulu.
"Maksud saya.... ingin minta bantuan kepada... gendhuk ini...! Kata Sayem
sebelum dia hilang diculik, gendhuk, ini menyelamatkan dirinya dari kekurang
ajaran Ragil," kata Klungsu seperti orang tak berdaya.
"Baiklah!" penggal Pusparini.
"Mudah-mudahan istri kang Klungsu ada hubungannya dengan tugas yang kami emban.
Aku dan Sriwening akan menuju kadipaten Prambanan. Kalau kau bertekad untuk
mencari yu Sayem, bisa bergabung dengan kami. Bagaimana?"
usul Pusparini.
"Bbb....baik! Baik, nduk!" jawab Klungsu.
*** Kemudian mereka bertiga, Pusparini, Sriwening dan Klungsu berangkat menuju
Kadipaten Prambanan dengan seijin Ki Pandulu. Karena keterbatasan kendaraan
kuda, mereka berangkat jalan kaki. Sedang kuda milik Pusparini ditinggal di
rumah Ki Pandulu.
Dalam perjalanan ini yang menjadi petunjuk jalan adalah Sriwening, karena semasa
orang tuanya masih hidup, dia sering pergi ke Kadipaten Prambanan untuk melihat
pagelaran sendratari. Di samping itu Sriwening masih punya sanak famili di kadipaten ini.
Beberapa waktu kemudian.......
"Kita sudah masuk di wilayah Kadipaten Prambanan," kata Sriwening dengan
mengajak berteduh di bawah pohon. Di sana mereka membuka bekal yang dibawa.
Mereka bertiga segera melahap bekal masing-masing.
"Sri! Apakah rumah familimu masih jauh dari sini ?" tanya Pusparini sambil
mengakhiri makanannya. Bekal lontong telah ludes dari bungkusannya.
"Di pinggir kadipaten sebelah timur. Tetapi sebaiknya kita ke tempat kelompok
kumpulan sendratari itu dulu.
Mudah-mudahan tidak pindah," Sriwening memberi jawaban. Diapun memakan bekal-nya
yang terakhir. Sedangkan Klungsu tak banyak bicara. Bekalnya masih ada, dan
enggan memakannya.
"Nafsu makanku hilang. Rasanya Sayem selalu tampak di pelupuk mataku.
Kalau ini benar-benar perbuatan Ragil, akan kucincang sampai lumat si Ragil
itu," gerutu Klungsu sendirian. Tetapi Pusparini mendengar gerutu itu.
"Apakah wanita bisa menghilangkan semangat seorang lelaki, kang?"
tanyanya. "Oh... eh... apa nduk?" kata Klungsu blingsatan.
"Semangat " Enghm... kukira...
iya... dan tidak...!"
"Tentu kang Klungsu sangat mencintai yu Sayem", Sriwening nimbrung ngomong.
"Dia itu sudah tidak 'pak' juga tidak 'mbok'. Sebatang kara. Dan aku suaminya,
satu-satunya orang yang harus melindungi," kata Klungsu seperti mengenang masa
lampaunya. "Kami kawin baru enam bulan yang lalu.
Dan belum ada tanda-tanda Sayem mengandung."
"Saya ikut prihatin, kang. Tetapi percayalah. Kami berdua akan membantu kang
Klungsu agar yu Sayem dapat kita temukan dalam keadaan selamat," kata Pusparini.
"Kalau sudah hilang rasa letih, sebaiknya kita terus jalan lagi," ajak
Sriwening. Mereka berangkat. Perjalanan
mengarah ke utara. Dari jauh puncak candi Prambanan tampak menjulang dengan
megah. Sayup-sayup terdengar suara gamelan.
"Itu! Kalian dengar" Berarti kumpulan kelompok sendratari Kridha Swara belum
pindah," ucap Sriwening.
Mereka mempercepat langkah.
"Hei! Kalian bertiga! Berhenti!"
terdengar suara lantang tiba-tiba dari arah samping mereka.
Sekelompok orang muncul.
"Siapa mereka" Kau kenal, Sri?"
tanya Pusparini dengan wajah nyengir menahan panas matahari yang tepat di atas
kepala. "Entahlah! Tetapi melihat tampang mereka yang seperti anjing-anjing buduk,
berarti kita akan mendapat kesulitan," jawab Sriwening sambil membenahi
pakaiannya untuk siap tempur.
Kelompok orang-orang itu telah mendekat. Mereka berjumlah dua belas orang, dan
langsung mengambil tempat mengepung.
"Kalau kalian yang disebut begal, boleh rampas apapun yang ada pada kami. Tetapi
kalau orang baik-baik, kuharap kalian menyingkir!" kata Sriwening dengan suara
lantang. "Ck,ck,ck,ck........! Bukan main!
Ini ada anak baru gede sudah berani sumbar menggebrak tankingan terhadap
Senggoro Macan!" sumbar seseorang yang tampaknya sebagai pimpihan mereka.
"Kami bukan begal, nduk. Hanya yang punya tlatah jalan yang akan kau lalui ini.
Kalian harus membayar sedikit upeti!"
"Upeti! Peraturan mana itu"
Setahuku jalan ini adalah jalan umum yang siapa pun boleh lewat sesuka hatinya,"
sahut Sriwening tegas.
"Whuuehh! Belum ada seorang pun berani menyangkal kehendak Senggoro Macan. Lha
kok kamu yang masih umbelen
sudah berani mengumbar omongan seperti punya nyawa cadangan!" seru orang yang
bernama Senggoro Macan ini.
"Benar, kisanak," kata Klungsu nimbrung, "tampaknya jalan ini adalah jalan umum
yang sembarang orang boleh lewat. Saya pun punya otot kalau ingin njajal!!!"
"Sikaatt!!" seru Senggoro Macan dengan lantang. Serentak anak buahnya yang sejak
tadi siap tempur, langsung menggebrak dengan terjangan. Baik kaki maupun tangan.
Tetapi tindakan mereka segera
disambut hangat oleh Pusparini, Sriwening, dan Klungsu. Baku hantam teradi.
Beberapa orang yang meremehkan penampilan Pusparini dan Sriwening yang diduga
masih di bawah umur dalam ilmu bela diri, sempat mencelat sambil menebah perut
dan dada. Bahkan ada yang menebah kemaluannya karena kena tendang kaki
Pusparini. Kemudian yang lain maju. Kali ini golok mereka berperan. Tetapi
dengan mudah ditangkis dengan sentilan totok urat pada pergelangan tangan, sehingga beberapa
golok mencelat dari tangan pemegangnya.
Dalam kesempatan ini Klungsu
benar-benar menunjukkan peranan dirinya yang digelari jago kepruk di desanya.
Kini dia terlihat ganas dengan sabetan pukulan yang tak pernah
luput. Kadang dia kena sergap
pembokongan, tetapi dengan mudah
berhasil menghalau lawan.
Kini para pengroyok itu telah
semuanya mempergunakan senjata tajam.
Klungsu pun demikian. Goloknya telah dikeluarkan dari sarungnya. Sedangkan
Sriwening dan Pusparini masih
mempergunakan tangan kosong untuk menghadapi lawan. Dan apabila keduanya
terpaksa mempergunakan senjata tajam, itu pun dengan merampas senjata lawanlawannya. Melihat anak buahnya tak mampu bertahan, maka Senggoro Macan turun gelanggang.
Langsung dia menggebrak ke arah Sriwening. Ternyata Senggoro Macan punya cakar
yang mampu menciutkan nyali lawan. Tetapi Sriwening tak gentar dengan penampilan kuku-kuku
Senggoro Macan yang mencuat menakutkan itu. Sesuai dengan namanya, maka Senggoro
Macan banyak mengeluarkan jurus harimau. Setiap serangan selalu diiringi raungan, dan ini
memang suatu cara untuk
melumpuhkan nyali lawan.
Untuk mengimbangi pukulan lawan yang bercakar itu, Sriwening terpaksa
mempergunakan golok yang diambil dari golok anak buah Senggoro Macan yang
melarikan diri. Kini para pengroyok telah berhasil dihalau. Tinggal Senggoro


Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Macan sendirian berhadapan
dengan Sriwening. Perkelahian ini menjadi tontonan Pusparini dan Klungsu.
"Kalau perlu dibantu, katakan Sri!" seru Pusparini sambil memperhatikan sepak
terjang Sriwening.
"Menghadapi macan ompong semacam ini bisa kuatasi sendiri," jawab Sriwening
sambil melesat ke atas mengelak terkaman lawan. Begitu tubuhnya limbung ke
bawah, maka kakinya menendang tengkuk Senggoro Macan. Tentu saja sang lawan
terjengkang ke depan. Dan sebelum tubuh Sriwening menginjak tanah, maka kaki
yang satu melesat mengunjam ke leher lawan. Dua kali tendangan membuat tubuh
Senggoro Macan terjerembab sambil berputar karena tidak dapat menguasai diri lagi.
Tetapi dasar punya ilmu macan, maka dalam keadaan kehilangan daya, dia masih
bisa secepatnya menghimpun tenaganya untuk memberi balasan kepada lawannya.
Senggoro Macan memasang kuda-kuda dengan trengginas. Matanya melirik tajam.
Mulutnya menyeringai sehingga gigi-giginya yang kuning tidak pernah dipelihara
itu semakin menambah bengis penampilannya. Lalu Senggoro Macan menggenjotkan
tubuh, melesat ke arah lawan. Sriwening bertindak serupa dengan mengandalkan
terjangan kaki. Tetapi begitu nyaris
beradu, dia berkelit ke samping dan menonjok perut lawan. Kena! Senggoro Macan
bergulir pamer di udara menahan rasa sakit sebab pukulan itu benar-benar
menghantam limpanya. Dan ini secara kebetulan saja, bahwa dia memang punya
kelemahan di tubuh bagian itu. Limpanya pernah cedera. Kali ini Sriwening
menggugatnya dengan hantaman yang cukup keras, sehingga penyakit itu kumat lagi.
Sambil menyeringai Senggoro Macan menjauh dari arena laga.
"Aku akan datang lagi! Kalian tak dapat lepas dari incaranku!!" sumbar Senggoro
Macan sambil ngeblas pergi.
"Lumayan dapat lawan seperti dia.
Sekedar 'makan siang," seloroh Sriwening sambil membenahi pakaiannya.
"Kita terus jalan?" tanya Pusparini.
"Ya ! Kau dengar itu " Suara gamelan masih berkumandang," jawab Sriwening
mengawali langkah. Mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
*** 4 Suara gamelan mengalun mengiringi gerak tari seorang wanita yang menjadi
tumpuhan perhatian di tengah panggung.
Gerak tangan wanita itu gemulai halus,
sementara lawan pasangannya mengimbangi dengan gerak serupa.
Itu hanya adegan latihan dari
kelompok sendratari Kridha Swara yang bertepatan dengan munculnya Pusparini,
Sriwening dan Klungsu di tempat itu.
Karena penampilan yang lain dengan orang-orang di sekitarnya, maka banyak orang
yang mengawasi Pusparini dan Sriwening. Kesan mereka menyiratkan bahwa tempat
itu telah didatangi oleh dua orang pendekar wanita.
"Rupanya kehadiran kita menarik perhatian banyak orang," kata Pusparini sambil
menyapu pandang ke sekelilingnya. "Lihat, kedua penari itu mengenakan topeng
menggambarkan pria dan wanita."
"Itu menggambarkan tokoh Rama dan Sinta," jawab Sriwening. Pusparini manggutmanggut sementara Klungsu seolah tidak mengedipkan mata sekejap pun karena
terpesona oleh gerak gemulai penari wanita itu.
"Astaga... iit... itu... pasti Sayem! Penari itu pasti Sayem, istriku," kata
Klungsu lirih. Tetapi ucapan ini terdengar juga oleh Pusparini dan Sriwening
yang berada di dekatnya.
"Edan, jangan ngawur, kang ! Kau pasti terbayang-bayang oleh yu Sayem yang kau
nikah enam bulan yang lalu.
Maklum, masih bau pengantin baru.
Tetapi jangan lantas ngawur ngaku bahwa wanita penari bertopeng itu adalah yu
Sayem," omongan Sriwening menderas memperingatkan Klungsu yang terus tak
berkedip menyaksikan penari wanita itu.
"Aku mengenal Sayem lebih baik dari orang lain sebab aku adalah suaminya yang
sah! Coba lihat, pantat itu, pantatnya Sayem, Pinggang itu pinggangnya Sayem.
Dada Itu dadanya Sayem. Tangan itu tangannya Sayem.
Semua punya Sayem, karena dia adalah Sayem istriku.....!" kata Klungsu sambil
beranjak dari tempatnya dan melangkah ke depan.
"Hei, kang Klungsu. Jangan ke sana," cegah Sriwening.
Klungsu nekad. Dia terus
melangkah. Agar tak menimbulkan perhatian, maka Pusparini dan Sriwening tidak
mengikuti langkah Klungsu yang semakin nekad mendekat kearah
panggung. "Sayem !!" teriak Klungsu sambil menaiki tangga panggung. Jelas, perbuatan
Klungsu menimbulkan perhatian banyak orang. Dia terus naik ke atas pentas dan
menghampiri penari bertopeng yang memerankan Dewi Sinta.
"Hei! Cegah orang itu!! Apa yang akan dilakukan di situ?" teriak seseorang yang
dikenal sebagai Dalang panggung. "Suruh turun dia!!"
Beberapa orang naik ke atas
panggung untuk mencegah tindakan Klungsu.
"Turun kau!! Jangan ganggu latihan ini. Ini gladi resik untuk pementasan nanti
malam yang akan disaksikan Sang Adipati! Kepalamu bisa dipenggal pengawal
kadipaten kalau kau merusak acara latihan ini!!" seru salah seorang yang
berhasil mencekal lengan Klungsu. Tetapi dengan cepat Klungsu mengibaskan
cekalan itu sehingga orang tersebut tersungkur ke belakang. Temannya yang
mencoba membantu meringkus Klungsu menjadikan panggung berubah dipenuhi
keributan. Dua orang penari segera turun. Suara gamelan berhenti. Panggung menjadi ajang
perkelahian. Klungsu dikroyok lima orang.
Melihat penari wanita turun dari panggung, membuat Klungsu semakin beringas. Dia
tak mau kehilangan Sayem. Lalu sepak terjangnya membabi buta. Orang-orang yang
mengroyoknya dibuyarkan dengan ketangkasan sebagai jago kepruk yang disegani.
Tentu saja para pengroyok yang umumnya anak wayang perkumpulan sendratari, tak
mampu berbuat banyak untuk mengatasi amukan Klungsu. Semangat Klungsu bagai api
yang disiram minyak. Tambah berkobar. Tambah kalap.
"Wah, tambah gawat," celetuk
Pusparini "Apakah kita akan bantu dia?"
"Jangan. Kukira hanya perkelahian biasa. Tak akan memakan korban jiwa.
Bukankah kau tak ingin rencana kita berantakan karena perbuatan Klungsu?"
jawab Sriwening sambil beranjak dari sana.
"Kemana kita ?" tanya Pusparini yang tanpa diperintah mengekor langkah
Sriwening. "Kita temui Ki Dalang itu. Nah, dia di sana. Tuh. Agaknya ada yang dicemaskan
dengan amukan kang
Klungsu." "Sri! Lihat!" tiba-tiba tangan Pusparini menarik tangan Sriwening.
"Ada apa ?"
"Lihat tuh!!" jawab Pusparini dengan heran. "Wanita penari bertopeng itu telah
melepaskan topengnya. Dan lihat..., dia benar-benar yu Sayem !"
Sriwening terjengah sambil
mengawasi wanita yang berdiri di dekat perangkat gamelan. "Itukah yu Sayem "
Aku memang belum pernah mengenal dan melihatnya meskipun aku penduduk asli desa
Sonogading."
"Dia benar-benar yu Sayem !"
jawab Pusparini meyakinkan.
Sementara itu di atas panggung Klungsu terlihat semakin kalap. Dengan trengginas
dia berhasil mcrobohkan para pengroyoknya.
Mata Klungsu jelalatan mencari wanita yang dicurigai sebagai Sayem.
"Sayem !!" teriaknya ketika dilihat wanita berdiri di balik peralatan gong
gamelan. Yang ditegur terkejut. Lalu seorang laki-laki, pasangan mainnya,
menyeret wanita itu menjauh dari sana.
"Dia pasti orang tidak waras,"
kata laki-laki itu.
"Sayem!!" teriak Klungsu beranjak mengejar. Perangkat gamelan jadi ajang injakan
kakinya. Dan pada saat itulah......
Shwwwtt....... jeb!!! Sebuah senjata rahasia mengunjam ke tubuh Klungsu bagian paha. Langsung Klungsu
terjungkal. Perangkat gamelan berantakan terlanda tubuhnya.
Pusparini dan Sriwening menyaksikan peristiwa itu.
"O-o, ini tidak boleh dibiarkan lagi. Ayoh, Sri!" kata Pusparini sambil melesat
ke depart Sriwening mengikuti. Sekejap kemudian dua orang gadis ini telah berada
di dekat Klungsu.
"Kang Klungsu ! Kau terluka?"
tanya Pusparini sambil mengawasi paha Klungsu yang mengucurkan darah. Ada
sesuatu yang sangat mengejutkan Pusparini, yaitu sebuah senjata rahasia yang
menancap di paha yang berdarah
itu. Serupa dengan senjata rahasia yang ditemukan di puing rumah
Sriwening. Pusparini segera memasang mata, mengawasi keadaan di sekelilingnya.
Semua anak buah perkumpulan sendratari berlarian menyelamatkan diri. Kini yang
ada hanya beberapa orang saja. Tetapi mereka bukan lagi orang yang pandai
berkesenian. Dan tepatnya para pembunuh, sebab di tangan mereka tergenggam
senjata tajam dengan berbagai bentuk.
"Ini semakin menyingkap selubung teka-teki yang hendak kita cari jawabannya,"
kata Pusparini pelan sambil mempersiapkan diri menjaga setiap kemungkinan yang
bisa m-renggutkan nyawa. Sriwening bertindak serupa. Dua gadis ini segera
mengambil sikap untuk menghadapi orang-orang yang terlihat tidak ramah. Seorang
yang dipandang sebagai pimpinan kelompok, terlihat menyebar tawa, melecehkan dua
wanita muda yang dipandang sebagai mangsa untuk digelut di atas ranjang.
"Eman-eman ayumu, nduk! Wanita secantik kalian seharusnya tak usah terjun ke
urusan yang ditangani lelaki," kata orang itu sambil mengelus brewoknya. "Kau
cuma mengantar nyawa kalau kelayapan ke tempat ini dengan urusan seenak udelmu."
"Aku memang punya urusan. Tetapi
tidak seenak udelku. Aku punya pertimbangan dengan pemikiran otak yang jernih.
Kalau omonganmu itu kau keluarkan setelah minum arak, maka kami perlu menggampar
kepalamu agar kau bisa tidur nyenyak!" sumbar Pusparini dengan congkak. Dia
tahu, bahwa lawan seperti itu mudah sekali dipancing dengan ejekan. Kalau sudah
begitu, maka akal sehatnya pasti sirna dengan tindakan sembrono. Pancingan ini
benar. "Sikat lonte kecil itu!!!" teriak sang pimpinan.
"Heeeaaaa...!" serentak anak buahnya melesat sambil meledakkan semangat tempur.
Tetapi yang diterima pada jurus pertama malahan rasa sakit. Sebab dengan gerakan
Berirama, maka Pusparini dan Sriwening mengibaskan tangan dan menyapukan kaki ke arah mereka.
Hal ini berhasil dilakukan karena dua pendekar wanita muda ini bergerak sambil
menjebak dan menghindarkan sasaran sehingga lawan terkecoh dengan sasaran yang diincar.
Mereka menyerang pada sasaran yang kosong. Tetapi begitu lawan-lawan terjungkal,
mereka cepat bangkit lagi.
Langsung mengisi serangan yang dipersiapkan dua pendekar ini. Tampaknya serangan
balasan ini agak
berhasil. Terbukti Pusparini dan
Sriwening harus berusaha mengimbangi dengan jurus lain. Dan ini masih merupakan
kebanggaan, sebab keduanya masih mempergunakan tangan kosong dalam menghadapi
lawan yang bersenjata tajam. Ini memang ajaran guru mereka.
Bahwa ilmu bela diri yang mereka kuasai bukan untuk membunuh lawan, kecuali
terpaksa. Beberapa jurus telah berlangsung.
Gebrakan demi gebrakan untuk
mengalahkan saling tumpang tindih menyulam pertarungan itu. Tetapi sampai begitu
jauh sang tokoh yang memimpin orang-orang itu belum bertindak apa-apa. Klungsu
yang terluka berusaha bertindak membantu walaupun banyak mendapat perlindungan
dari Pusparini dan Sriwening. Tiba-tiba dalam pertarungan ini Pusparini melihat
kehadiran Senggoro Macan yang datang sambil membawa peralatan senjata rantai
berbandul besi berbentuk cakar. Dia kini berdiri di samping tokoh kelompok orang-orang itu.
"Hm, rupanya mereka ada hubungan dengan Senggoro Macan," pikir Pusparini sambil
menggebrak lawan, dan orang itu mencelat ke arah sang pemimpin. "Akan kupancing
mereka agar cepat turun ke gelanggang pertarungan.
Sungguh pengecut. Mereka menguras tenagaku dengan mengerahkan anak
buahnya sebelum dia sendiri turun langsung. Terpaksa aku mengeluarkan Pedang
Merapi Dahana...."
Shringg !!! Pusparini mengeluarkan pedang di punggungnya yang selama peristiwa ini belum
pernah dipergunakan. Cahaya matahari yang menimpa bilah pedang tersebut membuat
pancaran warna merah berkilau.
"Hahhh "!" seru semua orang yang menyaksikan pedang di tangan Pusparini. Tak
kalah herannya Sriwening sendiri. Dia tak menyangka kalau rekannya itu memiliki
pedang semacam itu. Dikiranya hanya pedang biasa.
"Astaga! Cahaya pedang itu mengingatkan pada cerita guru. Apakah itu yang
disebut Pedang Merapi Dahana?" pikir Sriwening sambil menggampar lawan. "Jadi
Pusparini yang memiliki Pedang Merapi Dahana?"
"Senggoro Macan. Mengapa kau tidak menceritakan bahwa dia punya pedang aneh
seperti itu?" tanya sang pemimpin.
"Dia tidak mengeluarkan pedangnya ketika bentrok dengan orang-orangku, Bango
Thonthong!" jawab Senggoro Macan.
"Melihat caranya itu, mereka memang tak boleh diremehkan. Jadi benar laporan
yang kuterima, bahwa ada pihak pendatang di desa Sonogading
yang akan menyelidiki manusia
bertopeng. Termasuk kematian Ki Bangah," kata sang pemimpin yang dipanggil
dengan Bango Thonthong.
"Biar kujajal dengan senjataku ini, Bango!" kata Senggoro Macan sambil melesat
ke depan, langsung ke arah Pusparini. Sementara itu Sriwening yang tertegun
beberapa saat, kini telah terlibat kembali dengan lawan-lawannya yang sebagian
besar lelah tersungkur bermandi darah.
Senggoro Macan mengayunkan senjatanya yang berupa rantai berbandul cakar.
Sshhwwissh! Senjata itu menerjang ke arah
Pusparini. Untuk sekedar memberi angin kepada lawan, Pusparini menghindar ke
atas. Dan ketika turun, langsung kakinya menginjak rantai itu sehingga tertekan
ke tanah. Senggoro Macan berusaha menarik Tetapi pijakan lawan cukup kuat.
Barulah dengan mengerahkan tenaga ganda, Senggoro Macan berhasil menarik
senjatanya. Kemudian diayunkan ke arah lawan lagi. Kali ini dengan kecepatan
tinggi. Pusparini waspada.
Dari cara ini Pusparini tahu bahwa taktik yang dilakukan lawan mengandalkan
pancingan reaksi serangan.
Senggoro Macan punya tahapan dalam melakukan serangan. Dimulai dengan tingkat
rendah yang memacu semakin
tinggi. Entah sampai dimana puncak kekuatan lawan ini. Yang jelas sewaktu
berhadapan dengan Sriwening tadi, Senggoro Macan sedang tidak membawa senjata
andalannya. Kalau sekarang dia muncul lagi dengan membawa senjatanya, boleh jadi
tempat ini merupakan sarang komplotan mereka.
Pusparini tak ambil resiko lagi.
Kalau mampu, dia akan mengakhiri pertarungan ini secepatnya. Kemudian disabetkan
pedangnya di saat Senggoro Macan mengayunkan rantainya secara kilat, sehingga
benturan kedua senjata itu menimbulkan pancaran api. Tetapi yang membuat memukau
banyak orang adalah berantakannya rantai Senggoro Macan tersebut akibat sabetan
pedang Pusparini. Sedangkan bandul cakarnya melayang terus mengarah pada
sasaran, yakni ke leher Pusparini. Sadar akan hal ini Pusparini mengelakkan diri
sambil mengayunkan pedangnya lagi.
Bandul cakar itu disabet dengan angin pukulan pedangnya sehingga berbalik arah.
Dan.... Crash !!! Leher Senggoro Macan diterkam
bandul cakar senjatanya sendiri.
Beberapa saat dia hanya bisa
melototkan mata. Darah mengucur deras dari lehernya. Rupanya ada urat nadi leher
yang putus total. Baru kemudian terdengar suara "Ghrookh...!" dari
mulutnya. Kemudian roboh dengan gerak
sekarat. Lalu mati!
"Dia punya pedang ampuh....!"
pikir Bango Thonthong sambil melangkah menyelinap di antara dinding bangunan,


Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus mengatakan hal ini kepada Danyang Delapan Neraka, bahwa ada wanita
muda memiliki pedang yang memancarkan cahaya merah. Apakah itu yang disebut
Pedang Merapi Dahana"!"
Langkah Bango Thontong terus
memasuki lorong-lorong bekas bangunan kuno. Semak belukar yang menyelimuti
daerah itu membuat enggan siapa saja yang berniat ke sana. Hanya orang-orang
tertentu yang sering lewat di situ. Termasuk Bango Thontong yang akan menemui
orang bergelar Danyang Delapan Neraka. Itupun harus dilakukan dengan langkah
hati-hati. Sebab kalau tidak, maka jebakan yang penuh senjata rahasia akan
menewaskannya. Dengan mengungkit sebuah batu
yang mencuat, maka sebuah pintu terbuat dari batu yang diselimuti semak belukar,
terbuka dengan pelan.
Bango Thonthong terus masuk setelah mengawasi kanan kiri untuk meyakinkan bahwa
jejaknya tidak diikuti oleh orang lain.
Tetapi anggapan itu keliru.
Sebenarnya ada orang yang telah mengikutinya sejak dia meninggalkan
tempat baku hantam tadi Orang itu ternyata Sriwening!
"Hm! Jadi begini perkembangannya.
Tak salah lagi, pasti manusia
bertopeng mempunyai sarang di sini,"
pikir Sriwening sambil terus melangkah ke depan. Tetapi...seperti yang telah
diceritakan tadi, tempat itu banyak jebakannya. Dan Sriwening tanpa sengaja
telah menyentuh kunci
penggerak sebuah jebakan yang ada di sana...! Maka sejumlah lembing tiba-tiba
melesat dari tempat tersembunyi, menuju ke arah sasaran. Sriwening pasti sudah
menjadi korban lembing-lembing itu kalau tidak dengan tiba-tiba pula muncul
sesosok tubuh yang menyambarnya menghindar. Sriwening sempat tersentak kaget.
Tubuhnya terasa melayang. Dan tanpa disadari dia telah berada di atas dahan
sebuah pohon besar. Sedangkan seseorang yang dirasa memeluknya, mulai melepaskan
pegangannya. Sriwening belum bisa mengucap kata sepatahpun ketika melihat siapa
yang menolong dirinya.
"Kau ceroboh. Sembrono. Tempat seperti itu jangan dibuat lenggang kangkung,"
kata orang itu. Dia seorang pemuda dengan paras bersih. Penampilannya
menunjukkan bahwa dia dari keluarga berada. Dan kalau Sriwening bisa
diperlakukan seperti itu, pastilah pemuda itu punya ilmu cukup
tinggi. "Terima kasih, atas pertolongan-mu. Siapa namamu maka tahu tempat seperti ini?"
tanya Sriwening dengan tanpa lepas memandangi pemuda itu.
"Namaku Wanda Bayu," jawab pemuda itu dengan mengumbar senyum, "Kau ?"
"Sriwening!"
"Sriwening" Ah, sebuah nama yang bagus. Lalu apa hubunganmu dengan wanita yang
memiliki pedang bercahaya merah di sana tadi?"
"Jadi... kau tahu semua?" tanya Sriwening.
"Sejak peristiwa keributan di panggung itu aku tahu keadaan kalian,"
jawab pemuda bernama Wanda Bayu.
"Jadi kau menyatroni tempat ini juga" Kalau benar, atas dasar
kepentingan apa?"
"Enghm.......iseng saja!"
"Iseng " Ah, mustahil. Kau pasti punya urusan. Atau.... kau di pihak mereka !"
kata Sriwening dengan melesat turun. Tanpa menoleh lagi dia terus meninggalkan
tempat itu, kembali menengok Pusparini.
Dan sesampai di tempat baku
hantam tadi......dilihatnya keadaan telah usai. Pusparini terlihat sedang
membalut luka Klungsu, sedang para pengroyok tak terlihat batang
hidungnya lagi.
"Sri! Dari mana kau" Apakah kau
melihat kemana larinya yu Sayem dan orang yang di samping Senggoro Macan tadi?"
tanya Pusparini.
"Namanya Bango Thontong!"
terdengar jawaban dan yang punya suara tahu-tahu sudah berada di samping
Sriwening. Pendekar Pedang Dari Bu Tong 7 Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa Pedang Darah Bunga Iblis 2

Cari Blog Ini