Ceritasilat Novel Online

Empat Brewok Goa Sanggreng 1

Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng Bagian 1


Cerita silat - Empat Berewok Dari Goa Sanggreng - cersil - Empat Berewok Dari
Goa Sanggreng - baca komik - Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya: BASTIAN TITO
EMPAT BEREWOK DARI GOA SANGGRENG
SATU "Ini!" kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar. "Berikan sama
dia! Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?" Orang yang
bernama Kalingundil mengangguk. Diambil surat yang disodorkan.
"Kalau dia banyak bacot.....," kata laki-laki berkumis melintang itu pula,
"bikin beres
saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!" Kalingundil berdiri dan
meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka
menggerendenglah
Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.
"Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!" Dibulatkannya tinju
kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
"Brakk!!"
Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin
dan ubin sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh
amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memakimaki seorang diri. "Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan
punya anak malah! Keparat!" Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di
muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari
dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati
tenggorokannya, isi kendi
itu sudah habis.
"Keparat!" maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah
berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah
sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang
kembali. Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu.
Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih
badannya. kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Ludjeng!" teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas.
"Ya, Denmas Sura....".
"Kau juga keparat!" damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya menyemprot
dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah
gila hingga lupa terus-terusan"!" Kau gila ya, hah"!!." Wilujeng terdiam dengan
tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura
padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama Mahesa Birawa.
"Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila" Jawab!"
"Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa....."
"Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!"
Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa segelas air
putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia
duduk tenang- tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat
setahun yang lewat. Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak
suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci,
dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya
Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka
terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir. Dia
menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi,
Sura menemui Suci dan berkata, "Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu
tahun lagi aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku
akan mengawini kau....."
"Tapi Kangmas Sura....."
Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihanya Suranyali melangkah ke
hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Suci mundur. "Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang....."
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan
bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi! Dan dalam
kepergian kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang
dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu
sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai
Suranyali dan juga tak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang
pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa
Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai
seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini
Ranaweleng sudah
menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri, sebenarnya
mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan
sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi
kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran jernih,
lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke
Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika
didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan
memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya
mencengkeram sanding jendela.
"Suci musti dapat..... musti dapat!" katanya dalam hati yang dikecamuk amarah
itu. "Kalau tidak.....," Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya
tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah
berantakan!! DUA Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah
mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak
kasar, "Ini rumahnya Ranaweleng"!"
Orang tua berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa
tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi
bambu yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara kepadanya.
Orang tua kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
ini tak segera berikan jawaban melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di
atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.
"Orang tua bego!" maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini memang
bersifat tidak sabaran. "Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng"!"
"Ya!" jawab Kalingundil.
"Ada keperluan apa Saudara?"
Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tidak enak
didengar. "Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!"
Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan
maka terpelantinglah si orang tua kena terajakan kaki binatang yang ditunggangi
Saksoko itu! Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur
kelihatannya menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh
topi bambunya yang tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan
kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua
kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah!
Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa
dia memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman!
Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya
segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.
"Saksoko, ada apa dengan kau"!" tanya Kalingundil terkejut dan heran.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk
pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang tua
yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki itu membetnur topi bambu yang
tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi
orang tua kurus
dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin
kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda
tunggangannya. Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya. Dilihatnya
orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata, "Kurasa orang tua kerempeng
itu....." Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu
silatpun dia lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
"Mana mungkin," kata Saksoko pula tidak percaya.
"Coba kita lihat."
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di tanah.
Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang
masih jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan
tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si
orang tua. Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu gerakkan
tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah
mengejutkan kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat bagaimana topi
bambu itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil dan Saksoko saling pandang.
"Apa kataku, kau lihat?" desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.
"Orang tua edan!" makinya. "Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!" Dia
membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang
tua. Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat
dan dapat melukakan kulit membutakan mata!
Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya
pakaian hitamnya seperti seseorang yang sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi
gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang
ke arahnya! "Kurang ajar betul!" damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan
dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya
pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.
"Apa-apaan ini"!" tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, "ada apa kau
serang aku"!"
Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko hanya
beerapa jengkal saja di depan hidungnya.
Saksoko kertak rahang.
"Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya"!"
Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang
sepotongpun. "Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!," katanya dan didorongkannya telapak
tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau
tidak cepat- cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang tua
itu. Pada saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras:
"Ada apa di sini"! Tahan!!"
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas
gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya
Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski hatinya masih diselimuti amarah
terhadap si orang tua tapi melihat isyarat kawannya itu segera dia datang juga. Keduanya
melangkah ke hadapan langkan rumah.
"Kau Ranaweleng?" tanya Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng dibentak
orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari tampang-tampang serta sikap
kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan membawa
maksud baik. Namun demikian, dengan suara ramah dia menjawab:
"Betul, Saudara, aku memang Ranaweleng," lalu tanyanya kemudian, "Saudarasaudara datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya.
"Ini! Silahkan dibaca!" katanya.
Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu
disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan
ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap
dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya
dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki
dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan
istrimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi,
jangan harap kau bisa melihat matahari tenggelam
esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Bergetar tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak
pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak
pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya.
Matanya memandang melotot pada kedua tamunya. "Mahesa Birawa ini siapa?" tanya
Ranaweleng. Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. "Laki-laki yang kau rampas
kekasihnya dan yang kini menjadi istrimu!"
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko sudah
mendahului. "Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!"
Kalingundil menyambungi, "Dan sebaiknya..... apa yang tertulis di surat itu kau
ikuti saja." "Kalau tidak"," tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya.
Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat
kehitaman. Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatahpatahkannya kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat
mengenai mulut yang sedang tertawa mengekeh itu!
"Bangsat rendah!" hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. "Kau berani berlaku
kurang ajar terhadapku, huh"!"
"Tak usah jual lagak di sini, setan!" balas menghardik Ranaweleng. "Kalian
budak- budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa
Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!"
"Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!" semprot Saksoko. Dari tadi dia
memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan
setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului
oleh angin hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan
rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan.
Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas
lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke
samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang saat itu
masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar
ini"! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan
santun terhadapnya!"
Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi
mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia
membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang
menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada
Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik
itu juga! Tapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang kurus maka setiup angin dahsyat
memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang balik
menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka
kedahsyatannya bukan olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan
menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah
lagi setelah terlebih dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar!
Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini menerjang
ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek membuat
langkan rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh
Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang
tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebu.
Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin
pukulan bertemu di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam!
Tubuh Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi
cepat bangun lagi. Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya menciut
kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya
sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam Jarot
Karsa! kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena
amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang tua
bukan tandingannya. Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa
dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan
kini bagaimana sepasang lengan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna
kehitaman. "Ha.....ha....," terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, "Kau hendak pamerkan ilmu
lengan tangan baja"!"
Kalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu
simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia
pentang mulut. "Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu
pukulan lengan tangan baja ini"!"
"Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!" tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah.
Sekali ayunkan tangan kanannya maka: brak!! Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai
paha manusia patah. Atap rumah menurun miring!
Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi
sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan
dia jerih menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!
"Ayo monyet kesasar, majulah!" katanya dengan terbungkuk-bungkuk.
Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka,
sedikit miring. Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu
kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji 'lengan tangan baja.' Angin
yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam
dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena
pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam dari atas ke
bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan bagaimana dalam sekejapan
mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan!
Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah
melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak,
lidahnya menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya melotot.
Tubuhnya kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya,
tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang
terdahulu. Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang melingkar di
tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. "Bapak Jarot Karasa, kau
kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?"
Jarot Karsa menggeleng.
"Siapa dia tak penting Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti
waspada karena cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat
perhitungan dengan
kita!" Ranaweleng mengangguk.
"Aku tak ingin melihat kdua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan
mereka, pak Jarot."
Si orang tua tertawa mengekeh.
"Tak usah khawatir...... tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan
hidungmu, Raden."
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh
Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar halaman.
TIGA Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam
membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang
memasuki pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi
membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah.
"Ada apa dengan kalian"!" tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan
teriakan. Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahanlahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi.
Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam
yang parah. kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya
masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah
segera tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan!
Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya
dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir
lagi kemudian diberikannya pada Kalingundil.
"Telan cepat!," katanya. "Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!"
Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah
untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke
bagian tubuh yang tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih
berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur.
"Sekarang!" kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja,


Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"terangkan apa yang terjadi Kalingundil!"
Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah
dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka
mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal
melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau
tanggal dari rongganya!
"Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga
ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas.....!"
Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian
kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul,
pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada
Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka
dia berkata, "Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan
sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa Birawa....."
Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama
menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini!
Bahkan dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa
memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa
Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada
Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan.
"Laki-laki tua yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah
mencelakai aku dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali....."
"Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!" membentak
Mahesa Birawa. Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya
terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa,
tak dapat dilukiskan. Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya.
Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian atau belum
kesampaian membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski
sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda
jelita. Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu
menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya.
"Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!"
suara Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga
dalam yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka
setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan
kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang
mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini.
"Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa"! Yang inginkan istri orang"! Kalau
kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu
padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu"!"
Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari
kaki! "Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa
kepadaku!"
Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang
demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat
badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan
yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Ranaweleng.
"Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!"
"Ah Raden....," kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara.
"Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah
payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!"
Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin
yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin
menjajaki sampai
di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan
di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa
Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh
duduk di tanah,
mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci
yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena
menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian
tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa.
Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat
dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan,
menyapu- nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya.
Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya
memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula
gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu,
maka Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhatihati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan
karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke
udara menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang
sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi
tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka.
Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan
mengelak dari Mahesa Birawa.
"Buk!!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong
menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya.
Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa
mengekeh. "Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu
itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!"
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri
dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di
atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi
hijau dan bergeletar.
"Bangsat tua bangka!" kertak Mahesa Birawa, "lihat tangan kananku. Kenalkah kau
akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!"
Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan
Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah
hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi
langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya meliahat tangan kanan
lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan
dilancarkan oleh
lawannya! Akan Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu,
kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan
mempergunakan ilmu "menyusupkan suara."
"Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu adalah pukulan Kelabang Hijau - Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!"
Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. "Pukulan Kelabang Hijau....," keluhnya
dalam hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia
tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang
dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi
kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini
muridnya Tapak Gajah"
Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan
mimik mengejek.
"Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan....!" kata seorang tua
bungkuk itu. kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu
pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak.
"Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua"!"
"Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah
ini....!" dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong
yang dahsyat. Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh
dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan
kanannya ke muka! Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka.
Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri!
Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang
Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua
tangan. Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya
kelihatan hijau.
Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka
tubuhnya melingkar tanpa nyawa!
"Manusia biadab!" bentak Ranaweleng. "Orangku tiada permusuhan dengan kau.
Mengapa kau bunuh dia"!"
Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh.
"Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati
untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah
bahwa ajal sudah di depan mata!" dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
"Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!" teriak Ranaweleng. Maka
menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.
EMPAT "Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!"
bentak Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan.
Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang
Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang
beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini
menggigit kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
bibirnya menahan sakit. Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari
lawan. Karena itu dengan memepergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sampai ke
puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang
yang berkelahi itu. "Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini!
Hentikanlah!"
Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa
Birawa. Dan dia berteriak lagi, "Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan mengapa musti
berkelahi"!"
"Suci masuklah ke dalam!" sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu dia harus
jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya.
Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk
menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk
lebih cepat menamatkan riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan
kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan
kosong lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak keras serta
mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar
dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayang

Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut
kiri yang keras
sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng.
Ranaweleng merintih tertahan. Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu,
sekurang- kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bagian dalam
terluka hebat! Untuk beberapa lama dia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunangkunang. "Ha.... ha....," tertawa Mahesa Birawa. "Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi
ajalmu akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum
mampus!" Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya
terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang
dahsyat. Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya tenggelam satu
senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh untuk menghadapi
serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari mulut Ranaweleng.
Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke
arah kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara.
Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di
belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang.
Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan
tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sesudah dia melancarkan pukulan
tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada saat
lawannya menukik dari atas dia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng
harus menerima hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih
untung dia sempat menggulingkan diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa
Birawa yang mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan
tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik
pinggangnya! Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri
dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan
diangkat tingitinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu
pukulan Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras.
"Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!"
Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. "Jika kau punya
sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!" katanya mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin mebasahi badannya. Seperti
halnya dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang
Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai
seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati
berkalang tanah
dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa lawan
betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului
menyerang. Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia
saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan kanan Mahesa
Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa.
Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu
masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Suci pun menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat
meloncat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh
suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh
Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang
nyawa pula! "Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!!" pekik Suci.
"Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan Suci....!"
"Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!"
"Kau masih terlalu muda untuk mati....!"
Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong
Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit
serta memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di
pangkal leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini.
Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak
buahnya. "Bakar rumah keparat itu!"
Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam
sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam
kobaran api. Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu
sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya
tempat itu. Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di
antara kobaran lidah-lidah api yang membakar rumah.
"Bayi itu! Bayi itu....!" teriak salah seorang di antara orang banyak yang
berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung.
"Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!"
"Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!"
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani
menghambur menyelamakan bayi itu. Dan suara tangisan bayi semakin lama semakin
kecil serta parau sementara nyala api mulai membakar tempat tidur di mana bayi itu
terbaring! Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi
kedengaran, pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk
menyelamatkan itu orok, maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya
kelihatan kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat
kemudian sosok tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu
orangpun yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan
bahwa sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit! Jangankan
untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu laki-laki atau perempuan juga
tak satu orangpun yang bisa! Begitu cepat dia datang, begitu cepat dia lenyap! Hanya
warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak saat itu. Dan hanya beberapa
detik saja sesudah sosok tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh
ambruk dan lidah api mengelombang tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah laki-laki
atau perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok
tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas tempat
tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah seruan
tertahan dari mulut laki-laki ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang
berbunyi: APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan itu
dibuat dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau bukan manusia yang mempunyai
tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup membuat tulisan semacam itu
pada dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan mempergunakan
ujung jari! LIMA Adalah hampir tak dapat dipercaya bila di puncak Gunung Gede yang semustinya
sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu terdengar suara
lengkingan tawa
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan suara yang
membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua
manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan
segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah mereka ini"!
Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan pakaian serta kain hitam adalah
seorang nenek-nenek berkulit sangat hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam
berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung
dan kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian
menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba hitam itu maka
rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut yang putih itu
tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir membotak licin berkilat. Namun
lucunya pada kepala yang berambut jarang ini, nenek-nenek itu memakai lima tusuk kundai. Dan
anehnya kelima tusuk itu tidaklah tersisip disela-sela rambut yang putih karena memang
tidak mungkin untuk menyisip di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap
langsung ke kulit kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini" Dialah yang bernama Eyang Sinto Gendeng, seorang
perempuan sakti yang telah mengundurkan diri sejak dua puluh tahun yang lalu
dari dunia persilatan. Selama malang melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun
terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan di daerah Barat Jawa bahkan sampai-sampai
ke Jawa Tengah. Selama itu pula dia telah menyapu dan membasmi habis segala manusia
jahat. Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto Gendeng
untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran kalau namanya menjadi harum. Nama asli
dari perempuan ini adalah Sinto Weni. Namun karena sikap dan tingkah lakunya yang
lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali seperti orang yang kurang ingatan maka lambat laun
dunia persilatan menganugerahkan nama baru padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto
Gila! Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang saat itu
bertempur menghadapi Sinto Gendeng" Dia seorang pemuda belia remaja yang baru
memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah dan kulitnya
bersih kuning, hampir seperti kulit perempuan. Rambutnya gondrong sebahu dan agak acakacakan sehingga tampangnya yang keren itu seperti paras kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur karena pemuda
tujuh belas tahun tersebut adalah murid Eyang Sinto Gendeng sendiri! Bagaimana sikap
tingkah laku gurunya, demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit
serta cengar- kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
cengir! Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap jurus-jurus
serta serangan-serangan yang mereka lancarkan adalah benar-benar serangan yang
berbahaya sehingga bila tidak hati-hati dapat mencelakai diri! Debu dan pasir beterbangan.
Daun-daun pohon berguguran, semak belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan
gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana bayang-bayang!
Di tangan kanan Sinto Gendeng ada sebatnag ranting kering sedang muridnya
memegang sebilah keris bereluk tujuh.
"Ayo Wiro! Serang aku dengan jurus - orang gila mengebut lalat - ! Serang cepat,
kalau tidak aku kentuti kau punya muka!"


Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya
sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba suara tawa
membahak itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan!
"Ciaaat....!!" Bentakan setinggi jagat keluar dari mulut Wiro Saksana. Tubuhnya
lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam kecepatan yang
sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus: orang gila mengebut lalat. Dan
memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya namun
kelihatan seperti tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana hoyong sana hoyong sini.
Namun serangan itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si perempuan tua masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting
sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh
Wiro Saksana saat itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto
Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya
terbabat, tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana badai itu!
Sinto Gendeng mengikik.
"Geblek kau Wiro! Masih kurang cepat, masih kurang cepat!" kata Sinto Gendeng.
Sang murid memaki dalam hati.
"Eeeee.... kau memaki ya"!" hardik Sinto Gendeng. "Lihat ranting!" teriak
perempuan tua itu. Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak.
"Awas ketek kananmu, Wiro!" (ketek=ketiak).
Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang
luar biasa namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak
kanan Wiro Saksana. kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Breeett!!"
Baju putih Wiro Saksana robek besar di bagian ketiak sebelah kanan!
"Buset....! Untung cuma ketekku!" seru pemuda itu. Dengan kertakkan geraham dia
menerjang ke muka. "Eyang," katanya, "terima jurus - kunyuk melempar buah ini!" (kunyuk = monyet).
"Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut"!" menyahuti sang guru.
Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada saat tangannya perpentang
lurus maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana
batu besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan
disemburkan secara acuh tak acuh tapi karena diisi dengan tenaga dalam, ludah
itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke samping.
Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan
tangan kosongnya tadi yaitu - kunyuk melempar buah - yang agak menyendat sedikit akibat
dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali
Sinto Gendeng tertawa. Memang manusia satu ini aneh sekali sifatnya. Bahkan
setiap jurus- jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama aneh dan lucu. Tak
salah kalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya menjadi Sinto Gendeng!
Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan nyaring
yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir balik dan melesat
seperti terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah
mengelakkan gumpalan angin keras "kunyuk melempar buah." Angin keras ini menghajar batang
pohon di seberang sana dan batang pohon itu patah lalu tumbang ke tanah!
Terdengar lagi suara tawa mengikik.
Gemas sekali Wiro Saksana memandang ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enakenakan di cabang pohon jambu klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu!
"Gendeng betul....!" gerutu Wiro kesal karena serangannya hanya mengenai pohon.
"Memang namaku Sinto Gendeng!" kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, "Kau
mau jambu, Wiro"!"
Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah menyemburkan
biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk
menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!," jawab Wiro Saksana. Dia menghembus ke udara
dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk
itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto
Gendeng. Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu membuat
ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
"Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!" kata Sinto Gendeng.
Dan ranting kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke bawah, mendesing laksana
anak panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang
perempuan tua yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang
dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau sekurang-kurangnya bisa
menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak berhati-hati. Setiap jurus ilmu
silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia gerakkan
tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah dua tepat di
pertengahannya dan
jatuh ke tanah.
"Sebaiknya turun saja dari pohon eyang" kata Wiro Saksana. "Kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" memotong Eyang Sinto Gendeng.
"Sambut keris ini, Eyang....! Sambut dengan jidatmu biar konyol!"
Habis berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk
tujuh yang di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena
cepatnya. Namun empat detik kemudian terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan
ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang dilemparkannya tadi berada dalam
jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya.
Wiro Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. "Ini balasan kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!" Sinto Gendeng
cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut putih dan jarang itu.
Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua
tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang
perut! Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata
tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung tenaga dalam.
Didahului dengan bentakan nyaring maka pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan badannya
ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam
tanah! Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Bagus...., bagus kau tidak menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam!
Tak satu tenaga dalam yang bagaimana hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk
kundai itu Wiro! Eeee.... aku haus! Hik.... ambilkan air buatku Wiro! Cepat!"
"Kalau haus jilat saja air keringat!" kata murid yang lucu dan seperti kurang
ingatan pula macam gurunya.
Dan dasar Eyang Sinto Gendeng manusia aneh, dia sama sekali tidak marah
mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. "Air, Wiro! Lekas!" bentak perempuan itu.
Sang murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di
bagian belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro
mengambilnya segayung. Ketika dia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memberikan air itu kepada
gurunya maka didengarnya suara Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama
sekali tidak merdu. Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu membuat Wiro
Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales....
Artinya: (Tujuh belas tahun telah berlalu.
Puncak Gunung Gede masih tetap seperti dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun membuat si tua tambah tua,
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan,
Tujuh belas tahun saat pembalasan).
ENAM Selama diam di puncak Gunung Gede itu bersama gurunya, walau bagaimanapun
miring otak sang guru, namun baru hari itulah Wiro Saksana melihat dan mendengar
Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata dalam nyanyian itu entah mengapa membuat Wiro
jadi berdebar. Apakah maksud kata-kata nyanyian itu" Perasaan yang bagaimanakah yang
tengah dicetuskan oleh gurunya karena Wiro melihat nenek-nenek itu menyanyi dengan
penuh perasaan, dengan mata memandang jauh ke muka. Tujuh belas tahun membuat aku si
tua bangka tambah tua. Kata-kata ini jelas ditujukan ke diri gurunya sendiri. Tapi
pada siapakah ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi
pemuda gagah, itu" Apakah ditujukan kepadanya" Berdebar hati Wiro Saksana. Kemudian
kalimat- kalimat: Tujuh belas tahun ujung perpisahan.... serta.... Tujuh belas tahun saat
pembalasan.... Apakah arti semua itu"
Ketika Wiro Saksana memandang ke atas pada saat itu pula Eyang Sinto Gendeng
melihat ke bawah. Dan mata yang tajam dari Wiro Saksana, meskipun cuma sekilas,
namun masih dapat melihat pantulan air muka serta cahaya mata gurunya yang lain dari
biasanya! Air muka itu. Sinar mata itu menyembunyikan satu perasaan sedih! Perasaan apakah
yang menyemaki hati sang guru sebenarnya"
Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng membentak keras sampai Wiro Saksana terkejut dan
serasa terbang nyawanya.
"Tunggu apa lagi, geblek"! Orang sudah haus dianya tegak mematung! Kukencingi
kepalamu baru tahu! Lemparkan gayung itu cepat!"
Dan Wiro Saksana segera lemparkan gayung batok kelapa yang berisi air ke atas.
Gayung itu melesat ke atas tanpa setetes airpun yang tumpah!
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Bagus Wiro.... bagus sekali!" memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan kirinya
disambutnya gagang gayung. Sesaat kemudian tenggorokannya yang kurus dan
kerinyutan itu kelihatan turun naik meneguk air dari dalam gayung. Air itu diteguknya sampai
habis. "Terima gayung ini kembali, Wiro!"
Gayunng melesat ke bawah. Wiro Saksana ulurkan tangan untuk menyambut tapi pada
detik itu pula di atas pohon gurunya kelihatan menggerakkan tangan kanannya.
Angin deras mendorong kepala gayung, membuat gayung yang hendak disambuti Wiro Saksana itu
mencelat ke samping dan menyerang dadanya!
"Gila betul!" bentak si pemuda. Cepat-cepat dia palangkan lengannya di muka
dada. Gayung dan lengan beradu. Gayung pecah berantakan ke tanah, gagangnya patah dua!
Pada saat itulah Sinto Gendeng melayang turun ke bawah. Kedua kakinya menjejak
tanah tanpa suara dan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun padahal cabang pohon
jambu klutuk dari mana dia meloncat tadi hampir empat tombak tingginya. Dapat
dibayangkan bagaimana luar biasanya ilmu meringankan badan perempuan sakti ini!
Kedua orang itu, guru dan murid berdiri berhadap-hadapan. Wiro Saksana dapat
merasakan betapa lainnya pandangan kedua mata Sinto Gendeng kepadanya, pandangan
yang tidak dimengertinya. Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa langkah ke
belakang. Kedua
kakinya kemudian merenggang sedang kedua tangan mengembang ke muka. Mulutnya


Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkemik. Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke dalam tanah sampai tiga
senti sedang seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mukanya yang hitam dan berkerinyut itu basah
oleh keringat. Tiba-tiba kejut Wiro Saksana bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana kedua
tangan gurunya berwarna putih sekali sedang sepuluh kuku jari tangan perempuan
itu memerak serta memancarkan sinar yang menyilakuan!
"Eyang!" seru Wiro Saksana. "Apakah kau mau bikin aku mati konyol dengan
pukulan sinar matahari itu"!"
Sinto Gendeng tidak menjawab. Mulutnya semakin mengemik. Rahang-rahangnya
semakin mengatup dan pandangan mata serta tampangnya sangat mengerikan!
Merinding bulu kuduk Wiro Saksana. Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat
itu. Tanpa menunggu lebih lama, tanpa menunggu sampai kedua tangan yang mengepal
dihantamkan ke muka, maka pemuda ini cepat-cepat pentang kaki dan dekapkan
lengan di muka dada. Matanya meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya amblas dua
senti ke kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
tanah. Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun, laksana gunung karang yang
keras membatu! "Ciaaaaaaatttt"
Bentakan Sinto Gendeng melengking melanglang langit! Kedua tangannya dipukulkan
ke muka. Dua rangkum sinar putih yang menyilaukan serta panasnya dapat
menghanguskan dan melelehkan benda apa saja menggempur ke arah sasaran di muka sana yaitu
tubuh Wiro Saksana! Pada detik yang sama Wiro Saksana membentak pula.
"Heeyyyaaaaa!"
Tangan yang tadi bersidekap dengan serentak memukul ke depan. Dan kedua tangan
itu terus saja terpentang lurus ke muka. Inilah apa yang dinamakan ilmu pukulan
"benteng topan melanda samudra"! Ilmu pukulan ini bukan saja dapat dipakai untuk
menyerang tapi sesuai dengan namanya juga dapat menjadi perisai tangguh atau benteng kekar yang
melindungi Wiro dari serangan gurunya!
Bila angin-angin topan pukulan itu sama bertemu di udara maka terdengarlah suara
berdentum yang menyenging liang telinga, debu dan pasir beterbangan, daun-daun
pohon berguguran bahkan ranting-ranting kering patah-patah dan berjatuhan! Puncak
Gunung Gede bergetar. Langit seperti mau terbelah oleh dentuman itu!
Ketika debu dan pasir surut ke tanah, ketika keadaan di sekitar situ menjadi
terang kembali maka Wiro Saksana melihat bagaimana kedua kaki gurunya amblas ke dalam
tanah sedalam sepuluh senti. Muka perempuan itu penuh keringat dan matanya menyipit.
Namun bila ditelitinya pula keadaan dirinya maka didapatinya kedua kakinya tenggelam
ke dalam tanah sampai sebatas betis. Sedangkan tubuhnya yang memercikkan keringat dingin
itu terasa masih bergetar gontai akibat adu tanding tenaga dalam yang luar biasa tadi!
"Bagus Wiro, bagus sekali!" terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji namun
dari mukanya bukan menunjukkan kegembiraan, sebaliknya muka yang berkerut-kerut
itu masih memancarkan kengerian. "Sekarang sambuti pukulan angin es ini, Wiro!"
Dan habis berkata begitu, Sinto Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua tangannya
dengan telapak membuka lebar menghadap ke arah muridnya. Matanya kembali terpejam. Wiro
menunggu dengan badan tiada bergerak.
Udara mendadak menjadi sangat sejuk. Kemudian ketika Sinto Gendeng memutarmutar kedua tangannya maka kesejukan itu mendadak sontak berubah menjadi udara
yang sangat dingin menyembilui tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham Wiro Saksana
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
bergemeletakan menahan rasa dingin yang amat sangat itu. Permukaan kulitnya
membeku seperti ditutupi salju. Tanah yang dipijaknya laksana pedataran es. Satu menit
saja hal itu berlangsung lebih lama pastilah tubuh pemuda ini menjadi beku membatu. Inilah
kehebatan ilmu kesaktian yang bernama "angin es" itu!
Dengan badan bergetar menahan dingin, Wiro Saksana membentak dahsyat.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya diputar-putar ke udara angin laksana badai
menggebubu ke pelbagai arah. Puncak gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon
yanag tadi kaku tegang oleh dinginnya udara kini kelihatan mulai bergerak, makin
kencang - makin
kencang. Udara dingin yang tadi menyayat sungsum kini tergetar buyar dilanda
ilmu "angin
puyuh" yang dilepaskan oleh Wiro Saksana.
Semakin keras putaran tangan pemuda itu, semakin membadai gebubu angin, semakin
buyar udara dingin. Daun-daun pohon yang tadi hanya bergerak-gerak kini jatuh
berhamburan bersama rantingnya. Kemudian satu demi satu pohon-pohon kecil bertumbangan.
Pohon- pohon besar yang masih bisa bertahan menjadi gundul daun dan rantingnya! Tubuh
Eyang Sinto Gendeng kelihatan tergoyang hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar.
"Gila betul! Gila betul!" teriak perempuan sakti itu. Mulutnya mengeluarkan
lengkingan dahsyat kemudian dia melompat sejauh sembilan tombak dan dari situ
mencabut sebuah tusuk kundai lalu menyambitkannya ke arah Wiro.
Sang murid cepat-cepat hentikan putaran tangannya dan melompat ke samping. Tusuk
kundai membawa angin maut itu melesat menghantam sebatang pohon. Pohon itu
tumbang dengan batang pecah berkeping-keping!
Pendekar Latah 9 Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat Si Tangan Sakti 4

Cari Blog Ini