Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
bagaimana, Toako" Tentu engkau sudah berkeluarga dan mempunyai satu dua orang anak."
"Ha-ha-ha, dugaanmu keliru, Eng-moi. Seperti juga engkau, aku masih hidup sebatang kara,
belum mendapatkan jodoh. Mungkin karena selama ini juga belum ada yang cocok bagiku
seperti keadaan-mu."
Hening sejenak, seolah keduanya teng-gelam dalam lamunan masing-masing sementara senja
mulai ditelan keremang-an menjelang malam tiba. Kemudian terdengar Eng Eng bicara lirih
seperti kepada dirinya sendiri, "Betapa serupa keadaan kita...." kemudian ia menghela napas
panjang dan melanjutkan sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam
penuh selidik, seolah sinar matanya hendak menembus cuaca yang semakin remang. "Toako,
wanita seperti apakah yang kiranya dapat kau-anggap cocok untuk menjadi jodohmu?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat sikap gadis itu, berdebar rasa jantung Cia Ceng Sun.
Dia merasa seperti di-todong dan rasanya sukar untuk mengelak atau menangkis, sukar untuk
tidak meng-aku terus terang. Sejak dia melihat gadis ini, dia sudah terpesona, apalagi setelah
melihat sepak terjang gadis itu, kemudi-an sampai mereka mengadu ilmu, dia telah tergilagila, dia telah jatuh cinta! Dengan kuat sekali perasaan ini me-nekannya dan terasa benar
olehnya. Biar-pun dia tidak melupakan pesan ayahnya agar dia jangan jatuh cinta kepada
wa-nita lain karena dia sudah ditunangkan dengan Si Bangau Merah, namun tetap saja dia
tidak mampu menolak gelora hatinya, tidak dapat menipu diri sendiri. Dia jatuh, cinta kepada
Siangkoan Eng. Padahal, gadis ini adalah puteri seorang pemimpin pemberontak, keturunan
keluar-ga kaisar Kerajaan Beng!
"Eng-moi, aku mau berterus terang saja, harap engkau tidak marah."
"Eh" Kenapa aku harus marah kalau engkau bicara terus terang tentang se-orang wanita yang
menurut pendapatmu cocok untuk menjadi jodohmu?"
"Eng-moi, setelah aku tiba di sini, bertemu denganmu, maka tahulah aku bahwa gadis yang
kucari-cari untuk men-jadi jodohku itu adalah.... yang seperti engkau inilah...."
"Seperti aku" Apa maksudmu, Sun--ko?"
"Maksudku.... eh, mana ada gadis yang sama denganmu. Maksudku, bahwa yang kucari-cari
itu adalah engkau! Eng-kaulah gadis yang kuidam-idamkan men-jadi jodohku. Eng-moi, tentu
saja kalau engkau sudi menerimaku."
"Hemmm, engkau hendak meminang-ku?" Kenapa" Karena aku seperti gadis dalam
mimpimu?" "Bukan begitu maksudku, eh.... ah, terus terang saja, semenjak aku bertemu denganmu, aku
terpesona dan aku jatuh cinta padamu, Eng-moi. Nah, aku sudah berterus terang, terserah
kepadamu." Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
88 Hening pula, sekali ini agak lama dan keduanya menundukkan muka. Seolah lenyap semua
kegagahan dan keberanian mereka. Untuk mengangkat muka dan saling pandang pun
merupakan hal yang bagi mereka membutuhkan keberanian besar sekali pada saat seperti itu.
Akhir-nya, setelah beberapa kali meragu karena mendengar gadis itu berulang kali meng-hela
napas panjang, Cia Ceng Sun mem-beranikan diri berkata, "Eng-moi, harap kau suka
memaafkan aku kalau aku me-nyinggung perasaanmu." Memang sungguh aneh sekali
pengaruh cinta terhadap diri seseorang. Cia Ceng Sun adalah Pangeran Cia Sun, cucu kaisar!
Padahal, dalam kedudukannya sebagai pangeran, dengan kegagahan dan ketampanannya,
biasanya seorang pangeran seperti dia tinggal menunjuk saja gadis mana yang disukai-nya
dan gadis itu akan datang kepada-nya, baik dengan suka rela maupun atas kehendak orang tua
si gadis. Dan se-karang, dia bersikap seperti seorang pemuda yang malu-malu dan gelisah
ketika menyatakan cintanya kepada seorang gadis biasa, bukan puteri bangsawan, bukan
puteri istana! Dan sikapnya ini bukan sekali-kali disesuaikan dengan pe-nyamarannya sebagai
pemuda biasa, me-mang sesungguhnya dia merasa lemah tak, berdaya menghadapi Siangkoan
Eng! "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Toako Sesungguhnya, aku sendiri merasa bahwa sekarang
setelah bertemu de-nganmu, aku pun telah menemukan pria yang selama ini kuharapkan...."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan me-nundukkan mukanya yang berubah merah.
Biarpun Eng Eng seorang gadis yang gagah perkasa dan wataknya dingin dan aneh, namun
sekali ini ia merasa sedemi-kian malu dan salah tingkah sehingga jantungnya berdebar keras
dan seluruh tubuhnya seperti panas dingin kedua kaki-nya gemetar!
"Eng-moi....!" Bukan main girangnya rasa hati Cia Ceng Sun mendengar peng-akuan itu. Dia
bukanlah seorang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul dengan wanita, walaupun
dia bukan ter-golong pemuda yang mata keranjang dan suka pelesir seperti para pangeran
lainnya. Mendengar pengakuan Siangkoan Eng yang sama sekali tidak pernah disangka-nya,
dia lalu menggeser duduknya dan memegang kedua tangan gadis itu. Me-reka saling
berpegang tangan, dan gadis itu mengangkat mukanya dan pandang matanya sayu, bahkan
seperti hendak menangis. Empat buah tangan yang saling berpegangan itu menggigil dan
meng-getar. "Eng-moi, terima kasih, Eng-moi! Aihhh, engkau membuat aku berbahagia sekali. Aku cinta
padamu, Eng-moi." Biarpun Eng Eng amat mengharapkan kata-kata itu namun setelah diucapkan, ia merasa lucu
dan ia tersenyum. "Sun--ko, kita baru dua hari berkenalan dan sudah saling mengaku cinta."
"Apa salahnya" Kita saling mencinta, baru bertemu sedetik pun apa bedanya" Aku akan
mengirim wali untuk meminang-mu kepada orang tuamu, Eng-moi."
"Aku hanya akan menunggu, Sun--ko...."
Hening kembali sejenak dan mereka masih saling berpegang tangan. Akan tetapi tiba-tiba Cia
Ceng Sun melepas-kan tangannya dan menunduk, seperti orang melamun dengan alis
berkerut. "Kenapa, Koko?" Eng Eng bertanya, khawatir.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
89 "Ada satu hal yang mengganjal hati-ku, Eng-moi. Yaitu cita-cita ayahmu. Biarpun sejak kecil
aku suka mempelajari ilmu silat, akan tetapi aku tidak pernah dan tidak suka bermusuhan.
Aku tidak ingin terlibat pemberontakan terhadap pemerintah, juga tidak ingin bermusuhan
dengan siapapun, maka tidak mungkin aku dapat membantu keluargamu. Aku lebih suka
berterus terang, Eng-moi, daripada berpura-pura dan palsu."
Gadis itu tersenyum dan kembali dia menangkap kedua tangan pemuda itu yang tadi
melepaskan diri. "Koko, aku justeru bangga sekali karena sikapmu yang berterus terang ini.
Aku sendiri pun hanya melaksanakan kewajiban. sebagai puteri ayah. Aku tidak peduli
tentang perjuangan dan hanya membantu ayah sebagaimana patutnya seorang anak ber-bakti
kepada orang tuanya. Adapun ten-tang permusuhan antara keluarga kami dengan tiga
keluarga besar itu, aku sen-diri sudah sering memberitahu kepada ayah betapa tidak wajarnya
memusuhi seluruh anggauta keluarga Pulau Es, Gu-run Pasir, dan Lembah Naga. Tidak wa-jar
dan juga amat berbahaya karena tiga keluarga besar itu mempunyai orang--orang yang sakti
dan amat sukar untuk dikalahkan."
"Hemmm, mengapa ayahmu memusuhi mereka?"
"Menurut ayah, sejak orang-orang Mancu menyerbu dan menumbangkan Kerajaan Beng,
semua anggauta keluarga--keluarga itu tidak pernah menentang, bahkan membantu orang
Mancu." "Eng-moi, aku adalah orang yang menghargai kejujuran. Aku sudah ber-terus terang
kepadamu mengatakan bah-wa aku tidak mungkin dapat membantu ayahmu. Nah, bagaimana
tanggapanmu, Eng-moi" Kalau kita sudah berjodoh mau-kah engkau meninggalkan ini semua
dan tidak lagi mencampuri urusan pemberon-takan dan permusuhan, melainkan hidup dalam
suasana tenteram dan damai di sampingku?"
"Koko, betapa sudah lama sekali aku merindukan ketenteraman dan kedamaian itu. Aku akan
berbahagia sekali kalau hidup dengan tenteram dan damai di sampingmu, akan tetapi.... tentu
ayah dan ibu tidak akan mau membiarkan...."
"Percayalah kepadaku, Eng-moi. Aku yang akan melindungimu," kata Cia Ceng Sun dengan
sikap gagah dan baru sekali itu selama hidupnya Eng Eng merasa lemah dan amat
membutuhkan perlindung-an orang lain kecuali ayah ibunya. Ke-tika Cia Ceng Sun
menariknya, ia pun merebahkan diri di atas dada pemuda itu, menyembunyikan mukanya di
bawah dagu. Mereka tenggelam dalam kemesraan.
*** Sebagai hasil percakapan dengan Siang-koan Kok, pada keesokan harinya Yo Han mendapat
keterangan dari ketua Pao--beng-pai itu bahwa penyelidikan anak buahnya berhasil!
"Penculik anak Pendekar Suling Naga Sim Houw itu adalah Tiat-liong Sam--heng-te (Tiga
Kakak Beradik Naga Besi). Mereka adalah orang-orang yang sejak dahulu bermusuhan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
90 dengan Pendekar Su-ling Naga, dan mereka membalas dendam dengan menculik puteri
pendekar itu." Dapat dibayangkan betapa besar ke-girangan hati Yo Han mendengar ke-terangan itu. Tak
disangkanya akan semudah itu dia mendapatkan jejak pen-culik puteri bibinya!
"Di mana mereka bertiga, Paman" Ingin sekali aku menemui mereka untuk -kuajak bekerja
sama! Dan apakah anak itu masih ada pada mereka" Kalau masih ada, dapat kita pergunakan
untuk me-meras dan memaksa orang tuanya! Hemm, sekali ini aku akan berhasil membalas
dendam orang tuaku!"
Melihat kegembiraan Yo Han, Siang-koan Kok tertawa, "Kebetulan sekali mereka tinggal
tidak terlalu jauh dari sini, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di tempat tinggal
mereka. Menurut keterangan anak buah yang me-lakukan penyelidikan, anak perempuan
dahulu mereka culik masih hidup dan tinggal bersama mereka."
Hampir Yo Han bersorak saking gem-biranya dan dia hanya cukup menekan dan mengurangi
saja luapan kegembiraan karena dalam perannya sebagai musuh bibinya, dia pun sepatutnya
bergembira karena memperoleh sekutu yang dapat dipercaya dan menemukan anak
perempu-an yang akan dapat dipergunakan sebagai sandera yang amat berharga.
Siangkoan Kok lalu memberi keterang-an tentang tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te,
yaitu di sebuah lereng di bukit yang tak jauh dari situ, di mana terdapat sebuah gua
terowongan yang mereka bangun menjadi tempat tinggal tiga bersaudara itu.
Dengan tulus hati Yo Han mengucap-kan terima kasih kepada Siangkoan Kok, kemudian
berpamit untuk melanjutkhn perjalanan meneari tempat itu. Siangkoan Kok mengucapkan
selamat jalan sambil berpesan agar pemuda itu tidak melupa-kan hubungan baik antara
mereka dan kelak dapat membantunya dengan bekerja sama antara Pao-beng-pai dan Thian-lipang. Yo Han menyanggupi, lalu be-rangkat.
Di pekarangan depan, dia berjumpa dengan Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng yang nampak
berjalan berdampingan da-lam suasana yang akrab sekali. Yo Han dapat melihat bahwa ada
apa-apa di an-tara keduanya, maka dia pun tersenyum. Memang mereka merupakan pasangan
yang pantas sekali, pikirnya. Namun diam--diam dia menyayangkan bahwa seorang pemuda
yang hebat seperti Cia Ceng Sun itu kini terlibat dalam keluarga pimpinan pemberontak,
bahkan yang memusuhi tiga keluarga besar. Ah, itu bukan urusannya, pikirnya sambil
menggerakkan pundak. Karena mereka berdua sudah sama-sama tinggal di situ sebagai tamu
Pao-beng-pai, tentu saja dua orang pemuda ini sudah saling berkenalan walaupun hubung-an
mereka tidak akrab sekali. Yo Han lebih sering bercakap-cakap dengan Siang-koan Kok,
sebaliknya Cia Ceng Sun lebih sering berduaan dengan Siangkoan Eng.
"Ehhh, engkau hendak pergi, saudara Yo?" tanya Cia Ceng Sun melihat pe-muda itu hendak
meninggalkan pekarang-an sambil menggendong buntalan pakaian di punggungnya. Eng Eng
hanya meng-angguk saja ketika bertemu pandang de-ngan "Yo Han. Biarpun dia merasa
kagum kepada Yo Han, namun ia selalu merasa curiga, karena bagaimanapun juga, ia tahu
bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang yang amat tangguh dan menurut ayahnya, tenaga
sinkang pemuda itu se-imbang dengan ayahnya! Apalagi pemuda ini pernah membuat nama
besar dengan julukan Pendekar Tangan Sakti. Meng-hadapi orang yang lebih lihai, tentu saja
ia merasa khawatir dan juga curiga.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
91 'Benar, saudara Cia. Aku sudah ber-pamit dari Paman Siangkoan Kok dan harus melan jutkan
perjalananku hari ini juga. Nah, selamat tinggal dan semoga engkau berhasil dalam segala
cita-cita-mu. Selamat tinggal, Nona Siangkoan, dan terima kasih atas kebaikan keluarga Nona
selama aku tinggal di sini." Dengan sikap tidak terlalu hormat dan ugal-ugal-an seperti tokoh
yang perannya dia mainkan, Yo Han tersenyum lalu membalik-kan tubuh meninggalkan
mereka, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
"Hemmm, dia seorang pendekar yang hebat! Masih begitu muda sudah memilikikesaktian
yang dahsyat," Cia Ceng Sun memuji.
"Tapi aku tidak terlalu percaya kepadanya, bahkan aku mencurigainya, Koko." kata Eng Eng.
"Ehhh" Kenapa" Bukankah dia tokoh Thian-li-pang dan kini bersahabat baik dengan
ayahmu" Bahkan dia menyebut paman kepada ayahmu. Hemmm, aku jadi
berpikir jangan-jangan ayahmu lebih condong memilih dia sebagai calon mantu
daripada aku!" Eng Eng mencubit tangan kekasihnya dengan gemas. "Ihhh! Aku akan minggat kalau ayah
memaksa aku menikah dengan pria lain kecuali engkau. Apakah engkau masih belum percaya
kepadaku, Koko?" "Maaf, aku hanya bergurau. Sekarang juga aku akan menghadap ayah ibumu dan menyatakan
keinginan kita, men-ceritakan hati kita, dan kalau ayah ibu-mu mengijinkan, aku segera akan
pergi dan mencari seorang wakil untuk kukirim ke sini melakukan pinangan."
"Nah, begitu lebih baik daripada mem-bicarakan orang lain. Sebaiknya nanti saja. setelah
mereka sarapan,. engkau mengatakan isi hatimu kepada mereka. Akan kuusahakan agar
engkau diundang sarapan sehingga kita berempat dapat berkumpul dan bercakap-cakap."
Demikianlah, tak lama kemudian me-reka telah makan pagi bersama, Cia Ceng Sun,
Siangkoan Eng, Siangkoan Kok dan isterinya, Lauw Cu Si. Setelah ma-kan pagi yang
agaknya dilakukan Siang-koan Kok dengan sikap tergesa-gesa ka-rena dia hendak bepergian,
Cia Ceng Sun mempergunakan kesempatan itu untuk bicara.
"Lo-eian-pwe (Orang Tua Gagah), saya mohon sedikit waktu untuk bicara de-ngan Lo-cianpwe berdua, bersama Eng-moi juga." katanya dengan sikap sopan dan sikap tenang.
Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu saja me-miliki wibawa yang besar
sehingga meng-hadapi ketua Pao-beng-pai itu pun dia dapat bersikap tenang.
"Hemmm, soal apakah yang hendak kaubicarakan, Cia sicu?""Soal saya dan adik Eng Eng.
Harap Lo-eian-pwe berdua mengetahui bahwa kami berdua telafi bersepakat untuk saat ini
mengaku terus terang kepada Ji-wi (Anda Sekalian) bahwa kami saling men-cinta dan sudah
mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Saya segera akan pergi dan
mengirim seorang wali untuk melakukan pinangan kepada Ji-wi, secara resmi."
Mendengar pinangan yang diajukan begitu tiba-tiba dengan pengakuan bahwa pemuda itu
sudah saling mencinta dengan puteri mereka dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, suami
isterinya itu saling pandang. Siangkoan Kok menoleh kepada puterinya yang juga sedang
memandang kepadanya dengan sikap yang tenang pula.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
92 "Eng Eng, benarkah apa yang dikata-kan Cia Ceng Sun tadi" Bahwa kalian saling mencinta
dan engkau setuju untuk menjadi isterinya?"
Dengan sikap gagah dan penuh tang-gung jawab, Eng Eng mengangguk dan berkata, "Benar,
Ayah. Kurasa usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga sekarang, dan dialah
pilihan hati-ku. " Siangkoan Kok tertawa bergelak dan sukar menduga apakah suara tawa itu karena gembira
atau karena geli atau untuk mengejek. "Ha-ha-ha-ha-ha! Orang muda she Cia! Engkau tahu
bahwa Eng Eng adalah puteri tunggal kami yang sangat kami sayang. Ia puteri ketua
Pao-beng-pai, cantik dan tinggi ilmunya, lebih tinggi daripada ilmu yang kaukuasai. Kalau ia
menghendaki jodoh seorang pangeran sekalipun, hal itu bukan mus-tahil akan terlaksana. Eng
Eng kaya raya, berilmu tinggi dan cantik! Dan engkau ini siapakah berani hendak ber-jodoh
dengannya". Dari keturunan apa" Engkau cukup tampan, dan biarpun tidak selihai puteriku,
kepandaianmu lumayan dan tidak memalukan. Akan tetapi selain itu, apalagi yang dapat
kauberikan ke-pada puteri kami?"
Panas juga rasanya perut Cia Ceng Sun mendengar ucapan laki-laki yang akan menjadi ayah
mertuanya itu. Betapa dia diremehkan dan dipandang rendah!
"Apa yang Lo-cian-pwe minta" Kalau Lo-cian-pwe mengajukan syarat, tentu akan saya coba
untuk memenuhinya." katanya sederhana, namun sikapnya te-gas.
Mendengar ucapan yang nadanya me-nantang itu, Eng Eng mengerutkan alisnya dan merasa
khawatir, bahkan ia mengerling ke arah kekasihnya dan me-ngedipkan mata mencegah,
namun sia--sia karena pemuda itu sudah mengeluar-kan kata-katanya.
"Ha-ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Se-orang gadis seperti Eng Eng memang tidak sepatutnya
didapatkan dengan mu-dah seperti orang memetik buah apel dari pohon saja! Nah,
permintaanku ti-dak banyak. Pertama engkau harus dapat memberi tanda mata yang patut bagi
seorang calon isteri macam Eng Eng, dan ke dua, dalam pesta pernikahan kalian nanti, aku
minta agar keluarga Kaisar menjadi tamunya!"
"Ayah !! Permintaan itu keterlalu-an!" teriak Eng Eng, dan Ibunya juga berseru kaget.
"Aih, mana ada permintaan seperti itu" Yang pertama mungkin dapat di-laksanakan, akan
tetapi yang ke dua mustahil! Kita ini apa dan siapa, minta keluarga kaisar menjadi tamu dalam
pesta pernikahan anak kita?" kata Lauw Cu Si.
"Sudahlah, kalian jangan ribut-ribut. Semua ini kulakukan demi menaikkan de-rajat anak
kita, berarti naiknya derajat kita pula! Bagaimana, Cia-sicu, sanggup-kah engkau memenuhi
kedua permintaan itu?"
"Saya sanggup!!" kata Cia Ceng Sun dengan suara lantang dan tegas sehingga mengejutkan
tiga orang itu yang kini memandang kepaada pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Sun-koko! Bagaimana engkau berani menyanggupi syiarat yang mustahil itu?" teriak Eng
Eng. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
93 "Tenanglah, Eng-moi. Demi cintaku kepadamu, aku akan berani menyeberangi lautan api
sekalipun. Akan kuusahakan sedapat mungkin untuk kelak mengundang keluarga kaisar. Aku
mempunyai banyak kenalan di antara para pembesar dan juga penghuni istana!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Setidaknya, kesanggupanmu sudah membuktikan ada-nya cinta
kasihmu yang besar terhadap anak kami Cia-sicu. Sekarang, tanda mata apa yang pantas
kauberikan kepada Eng Eng sebelum engkau pergi mengirirri wakil untuk melakukan
pinangan resmi?" "Harap Lo-cian-pwe sekalian me-nunggu sebentar, akan saya ambil dari kamar saya."
Pemuda itu lalu bangkit dan meninggalkan ruangan makan. Ketika Eng Eng hendak mengejar,
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru saja ia bangkit ayahnya melarang.
"Eng Eng, engkau harus pandai meng-hargai diri sendiri.. Tunggu saja di sini, kita .lihat
bersama apa yang dapat dia, berikan kepadamu. Engkau tidak ingin kelak kecewa dengan
pilihanmu, bukan" Biarkan Ayah yang mengujinya!"Eng Eng tidak jadi bangkit. Ia pun tahu
bahwa sikap ayahnya yang begitu keras bukan karena ayahnya tidak suka mempunyai mantu
Cia Ceng Sun, melain-kan karena ayahnya ingin mendapatkan mantu yang benar-benar
mencintainya, seorang mantu yang berani dan pandai.
Agak lama pemuda itu pergi dan ketika dia masuk kembali ke dalam ru-angan itu, ternyata
dia telah berganti pakaian dan telah membawa buntalan pakaiannya.
"Sun-koko! Engkau... hendak pergi...?" Eng Eng terkejut sekali karena sebelum-nya
kekasihnya tidak mengatakan hendak pergi sekarang juga.
"Benar, Eng-moi. Aku harus cepat berusaha untuk memenuhi permintaan ayahmu, yaitu
mengirim wali untuk me-minang, dan mempersiapkan agar kelak keluarga istana dapat
menghadiri pesta pernikahan kita." Dia lalu menghadapi Siangkoan Kok dan mengeluarkan
sebuah benda dari dalam saku bajunya. "Lo-cian-pwe, untuk sementara ini, saya tidak mampu
memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada ini. Harap Lo-cian-pwe sekalian tidak
merasa kecewa de-ngan pemberian tanda mata yang tidak berharga ini."
Ketika Siangkoan Kok menerima ben-da itu, dia dan isterinya yang duduk di dekatnya
terbelalak kagum. "Tidak ber-harga?" seru Lauw Cu Si. "Wah ! Belum pernah selama
hidupku melihat kalung mutiara seindah ini!"
Siangkoan Kok, seorang keturunan bangsawan, juga terbelalak kagum. Dia mengenal barang
yang amat berharga dan langka sehingga terlontar pertanyaannya penuh keheranan. "Dari
mana engkau memperoleh benda mustika seperti ini?"
"Lo-cian-pwe, sudah saya katakan bahwa saya mewarisi harta kekayaan orang tua saya, dan
itu merupakan satu di antara benda peninggalan itu."
"Nah, Ayah jangan memandang rendah kepada Sun-koko!" Eng Eng juga berseru, bangga
sekali walaupun diam-diam ia juga merasa heran bahwa kekasihnya memiliki simpanan benda
yang demikian langka dan berharga, yang dikatakannya tadi "tidak berharga." Kalau kalung
se-perti itu tidak berharga, lalu yang ber-harga itu yang bagaimana"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
94 Siangkoan Kok setelah memeriksa benda berharga itu, lalu menyerahkannya kepada isterinya
yang kini mendapat giliran mengaguminya bersama Eng Eng, lalu berkata kepada pemuda itu.
'Baik, tanda mata itu kami terima dan kami anggap cukup pantas. Sekarang pergilah untuk
mengirim utusan dan wali untuk melakukan pinangan resmi, kemudian atur agar dalam pesta
pernikahannya, keluarga kaisar dapat hadir. Kalau engkau membohongi kami, awas, aku tidak
akan mengampunimu." "Baik, Lo-cian-pwe. Nah, saya minta diri. Eng-moi, aku pergi dulu dan doakan saja agar
usahaku berhasil." "Selamat jalan, Koko, dan jangan terlalu lama membiarkan aku menunggu-mu di sini." kata
gadis itu. Setelah memberi hormat, Cia Ceng Sun lalu pergi meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba
Siangkoan Kok lalu berkata ke-pada puterinya, "Eng Eng, aku mempunyai urusan penting,
karena itu engkau harus dapat mewakill aku. Kau bawa beberapa anak buah yang boleh
diandalkan, dan kau bayangi pemuda itu."
"Ayah! Apa artinya ini" Kami sudah saling mencinta!"
"Anak bodoh! Justeru karena engkau mencintanya, engkau harus mengenal betul siapa dia!
Bayangi dia dan buktikan sendiri bagaimana dia berusaha untuk dapat kelak menghadirkan
keluarga istana di dalam pesta pernikahanmu.. Jangan sampai kita dibohongi dan ditipu.
Me-ngerti" Jangan percaya dulu sebelum melihat buktinya, betapapun cintamu kepadanya.
Engkau tidak ingin kelak hidup sengsara, bukan" Dan ingat, engkau bayangi dia, jangan bantu
dan jangan perlihatkan diri, jangan khianati ayahmu karena semua ini demi kebaikan masa
depanmu sendiri."' Eng Eng mengerti dan ia mengangguk. Bahkan diam-diam ia merasa gembira karena dengan
membayangi Cia Ceng Sun, berarti dia selalu dekat dengan ke-kasihnya itu, walaupun ia tidak
boleh memperlihatkan diri. Dan memang perlu untuk diketahui siapa sebenarnya kekasih-nya
itu yang menyanggupi ayahnya untuk menghadirkan keluarga kaisar dalam pes-ta
pernikahannya! Dia pun cepat ber-kemas, lalu mengajak empat orang pe-layannya yang ia
percaya, yaitu empat orang gadis yang berpakaian kuning, merah, biru dan putih. Mereka
berlima lalu cepat meninggalkan perkampungan Pao-beng-pai dan dengan mudah mereka
dapat menyusul Cia Ceng Sun dan mem-bayangi pemuda itu dari jauh.
Cia Ceng Sun sudah keluar dari Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) melalui jalan keluar
yang sudah diberi tanda-tanda sehingga dia tidak akan tersesat ke dalam daerah yang
berbahaya penuh rahasia, dan dia kini tiba di lereng pa-ling rendah dari Kwi-san (Bukit
Setan). Sunyi saja di situ. Matahari sudah naik tinggi dan sinarnya mulai terasa hangat di
badan. Tiba-tiba Cia Ceng Sun yang peng-lihatan dan pendengarannya tajam dan peka, melihat
berkelebatnya bayangan di balik semak-semak di sebelah kirinya. Dia berhenti, menoleh ke
kiri dan mem-bentak. "Siapa mengintai di sana" Ke-luarlah dan jangan bersembunyi seperti
binatang liar!" Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
95 Sesosok bayangan melompat keluar dari kiri, disusul bayangan lain melayang dari kanan dan
dia telah berhadapan dengan dua orang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh lima
tahun. Dua orang itu segera memberi hormat kepadanya dengan berlutut sebelah kaki.
"Mohon maaf kalau hamba berdua mengejutkan hati Pangeran," kata se-orang di antara
mereka yang kumisnya tebal.
"Hamba berdua diutus ayah Paduka, Pangeran Cia Yan, untuk menjemput Paduka dan
mengawal Paduka pulang sekarang juga karena ada urusan penting." kata orang ke dua yang
kepalanya botak. "Ssttt !" Pangeran Cia Sun atau Cia Ceng Sun menaruh telunjuk ke depan bibir untuk
memberi isyarat agar kedua orang itu menahan kata-kata mereka, lalu menoleh ke sekeliling.
"Harap Paduka jangan khawatir, Pa-ngeran. Kami berdua telah melakukan pemeriksaan dan
tempat ini sunyi." kata si kumis tebal.
"Andaikata ada yang melihatnya juga, siapa yang akan beranl mengganggu Pa-duka?"
sambung si botak. Tentu saja kedua orang pengawal istana ini merasa heran melihat sikap
sang pangeran. Ke-napa mesti bersikap begitu hati-hati dan takut" Dia seorang pangeran.
Siapa akan berani mengganggunya tentu akan ber-hadapan dengan pasukan pemerintah!
Pangeran Cia Sun mengerutkan alis-nya. "Ada urusan penting apakah sampai kalian diutus
mencari aku" Aku bisa pulang sendiri!" katanya tak senang. "Pu-la, bagaimana kalian dapat
tahu bahwa aku berada di sini?"
Si kumis tebal tersenyum bangga. "Pangeran, tidak percuma kami berdua menjadi jagoan
istana, pengawal-pengawal yang dipercaya. Ketika Paduka pergi ayah Paduka Pangeran Cia
Yan memerin-tahkan kami berdua untuk membayangi Paduka dari jauh dan menjaga
keselamatan Paduka. Tugas ini amat mudah karena Paduka :memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan cukup kuat untuk membela diri sen-diri. Maka kami hanya menyebar anak buah untuk
membayangi dari jauh. Kami mengetahui bahwa Paduka hadir pula di, dalam pertemuan Paobeng-pai walaupun kami tidak mungkin dapat masuk ke tempat berbahaya itu."
"Untung kalian tidak masuk, kalau hal itu terjadi, selain kalian celaka, tentu penyamaranku
akan gagal pula. Lalu bagaimana?" tanya sang pangeran.
Kini si Botak yang melanjutkan. "Ka-mi merasa khawatir karena setelah se-mua tamu keluar
dari Ban-kwi-tok, Pa-duka tidak keluar-keluar. Kami merasa bahwa tentu ada sesuatu yang
terjadi maka cepat kami mengirim laporan ke-pada ayah Paduka. Dan kami menerima
perintah agar menjemput Paduka dan mengajak Paduka pulang secepatnya. Ayah Paduka
tidak berkenan mendengar Paduka bergaul dengan orang-orang kang-ouw yang mencurigakan
itu, juga Paduka ditunggu karena ada tamu penting."
"Siapa tamu penting itu?"
Dua orang pengawal itu saling pan-dang dan tersenyum penuh arti. "Paduka tentu akan
senang sekali kalau tiba di rumah. Tunangan Paduka telah menanti bersama orang tuanya."
"Tunanganku " Jangan bicara sem-barangan!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
96 "Hamba tidak berbohong. Pendekar wanita Si Bangau Merah.
'Ahhh! Sudahlah, kalian ini sungguh menjengkelkan. Bukankah kalian juga tahu bahwa aku
pandai menjaga diri sendiri" Seperti anak kecil saja, di jemput dan dikawal!"
Tiba-tiba sang pangeran terkejut dan membalikkan tubuh dengan cepat, juga dua orang
pengawalnya memutar tubuh ke kanan dan terbelalak. Di situ, di ha-dapan mereka, telah
berdiri lima orang gadis yang cantik-cantik, yang empat orang berpakaian empat maeam
warna, dan yang di depan luar biasa cantiknya, pakaiannya berkembang, rambutnya di-gelung
ke atas dan dihias sebuah tiara kecil, tangan kirinya memegang sebatang hudtim atau kebutan
berbulu merah de-ngan gagang emas, sepasang matanya mencorong memandang kepada
Pangeran Cia Sun seperti mengeluarkan api!
"Pangeran Cia Sun!" terdengar suara-nya dingin sekali. "Menyerahlah untuk menjadi
tawanan kami!" "Eng-moi !" Pangeran Cia Sun ber-seru sambil melangkah maju untuk men-dekati gadis
kekasihnya itu. "Diam! Engkau tak berhak menyebut-ku seperti itu!" bentak Siangkoan Enj marah.
Si kumis tebal dan si botak menjadi marah. Mereka meloncat ke depan Pa-ngeran Cia Sun
seperti melindunginya dan menghadapi lima orang gadis cantik.
"Apakah kalian telah menjadi gila Beliau ini adalah Pangeran Cia Sun, cucu Sribaginda
Kaisar! Beranikah kalian ber-sikap kurang hormat kepada beliau" Apa-kah kalian sudah
bosan hidup?" Kedua orang pengawal itu sudah mencabut pe-dang mereka untuk melindungi
sang pa-ngeran. "Bereskan mereka!" kata Siangkoan Eng dan empat orang pelayannya sudah berloncatan
menghadapi dua orang pe-ngawal itu sambil meneabut pedang me-reka. "Kalian yang sudah
bosan hidup!" bentak nona baju kuning dan ia memim-pin penyerangan kepada dua orang
jagoan istana itu. Terjadilah pertanding seru dan hebat. Dua orang jagoan istana itu ter-kejut
setengah mati karena mendapat kenyataan bahwa empat orang gadis can-tik itu lihai bukan
main menggerakkan pedang mereka dan sebentar saja mereka berdua terdesak dan terkepung,
harus memutar pedang secepatnya untuk me-lindungi diri.
Sementara itu, Siangkoan Eng maju menghampiri Par geran Cia Sun dan mem-bentak lagi.
"Menyerahtah atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
"Eng-moi, ingatlah aku"aku.."
"Tidak perlu banyak cakap lagi!" ben-tak Siangkoan Eng dan ia sudah menye-rang dengan
kebutannya, menotok ke arah leher Cia Sun. Pangeran ini meng-elak, akan tetapi Eng Eng
menyerang terus, bahkan semakin hebat.
"Eng-moi ah, 'engkau keterlaluan, tidak merriberi kesempatan kepadaku " kata sang pangeran
yang terus mengelak sampai beberapa kali.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
97 "Engkau mata-mata busuk, pengkhia-nat, manusia berhati palsu, tidak perlu bicara lagi!"
Kini penyerangan semakin hebat sehingga terpaksa Pangeran Cia Sun menangkis
cengkeraman tangan ka-nan gadis itu. Begitu kedua lengan ber-temu, dia hampir terjengkang!
Cia Sun terkejut dan baru dia yakin benar bahwa dalam pertandingan tempo hari, gadis itu
selalu mengalah. Kini buktinya, pertemu-an tenaga mereka membuktikan bahwa gadis itu
jauh lebih kuat dari padanya.
Kini Cia Sun yang melawan setengah hati, tidak mau membalas serangan, ha-nya mengelak
dan menangkis sa ja. "Eng-kau keliru, Eng-moi. Aku memang pa-ngeran yang menyamar
menjadi orang biasa untuk dapat leluasa memperdalam pengetahuan dan pengalaman aku
tidak berniat buruk, aku bertemu dengan-mu dan jatuh cinta " Karena bicara, maka pertahanan
pangeran itu kurang kuat dan sebuah totokan jari tangan kanan Eng Eng membuat dia terkulai
dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi! Dan pada saat itu pun, dua orang pe-ngawal itu
roboh mandi darah dan tewas di ujung pedang empat orang gadis pela-yan Eng Eng.
"Belenggu kedua tangannya dan bawa pulang, masukkan ke dalam kamar tahan-an dan
jangan ganggu dia sampai ayah pulang." katanya kepada empat orang gadis pelayan yang
segera meringkus Cia Sun yang sudah tidak mampu bergerak, membelenggu kedua tangan ke
belakang lalu menggotongnya seperti seekor kijang yang baru saja ditangkap oleh sekawanan
pemburu. Mayat kedua orang pengawal itu ditinggalkan begitu saja oleh mereka.
Sepuluh menit kemudian, barulah be-berapa orang muncul dan membawa pergi dua jenazah
jagoan istana itu. Mereka adalah anak buah yang tadi tidak berani muncul. Sang pangeran
yang perkasa dan dua orang jagoan istana itu saja tidak mampu menandingi lawan, apalagi
mereka yang hanya anak buah biasa.
*** Dari jauh, gua itu nampak hitam ge-lap. Akan tetapi, waktu itu, matahari telah tinggi dan
bersinar seterang-terang-nya. Tengahari itu, Yo Han tiba di depan gua di lereng bukit yang
menjadi tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te seperti yang diceritakan oleh Siangkoan Kok
kepadanya. Dengan sinar matahari yang amat terang, maka setelah tiba di depan gua, ternyata
tidaklah begitu gelap se-perti nampaknya, dari jauh. Salah satu gua yang besar dan merupakan
sebuah ruang-an depan karena di situ terdapat prabot--prabot seperti bangku dan kursi. Gua
itu seperti sebuah rumah besar saja, di se-belah dalam terdapat sebuah pintu kayu yang
memisahkan ruangan depan dengan ruangan dalam.
Beberapa kali Yo Han memanggil--manggil ke arah dalam gua, namun tidak terdapat
jawaban. Dia tidak berani lan-cang memasuki tempat tinggal orang lain tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Mungkin gua ini merupakan terowongan yang da-lam dan penghuninya berada di
bagian belakang sehingga tidak mendengar pang-gilannya, pikirnya. Dia lalu mengerahkan
khikang dan berseru dengan suara yang seperti menembus ke seluruh ruangan di dalam gua
terowongan itu. "Tiat-liong Sam-heng-te! Harap suka keluar untuk bicara dengan aku, Yo Han."
Suara itu bergema dan gemanya ter-dengar dari luar. Akan tetapi tetap saja tidak ada
jawaban. Tentu saja sedang keluar, pikir Yo Han. Dia teringat bahwa anak yang diculik itu
kabarnya masih hidup dan berada di sini pula. Kebetulan! Kalau Tiat-liong Sam heng-te
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
98 keluar, tentu anak itu berada seorang diri saja! Kesempatan yang amat baik untuk
meng-ajaknya pergi dari sini, kembali kepada orang tuanya.
"Sim Hui Eng ! Apakah engkau berada di dalam?" kembali dia berteriak dengan pengerahan
khikang. Dan sekarang ada tanggapan dari dalam! Ada suara langkah kaki menuju keluar. Daun pintu
itu terbuka sedikit dan nampak wajah seorang gadis cantik mengintai dari balik daun pintu itu.
"Nona, aku Ingin bicara denganmu!"
Yo Han berseru. Akan tetapi wajah itu lenyap dari balik pintu dan Yo Han ce-pat meloncat
ke dalam gua dan mengejar. Gadis itu kini berhenti di ruangan tengah dan tidak lari lagi,
melainkan meman-dangrya dengan heran ketika Yo Han masuk ke ruangan itu.
"Kenapa engkau masuk ke sini ?" Kini gadis itu menegur, suaranya me-ngandung rasa takut.
"Jangan masuk, nanti ketiga orang ayahku marah!"
Tiga orang ayah! Yo Han merasa kasihan sekali. Agaknya gadis itu seperti orang bingung,
bahkan mengaku mem-punyai tiga orang ayah. Mana mungkin seorang gadis mempunyai tiga
orang ayah" Sudah jelas, pasti ini yang nama-nya Sim Hui Eng, puteri bibinya. Hatinya
terharu. "Aku mau bicara denganmu." kata pula Yo Han sambil mendekat.
"Jangan masuk, nanti ayah marah. Dan aku tentu akan dihukum!"
Yo Han mengerutkan alisnya dan inengepal tinju. Tentu tiga orang pen-culik itu bersikap
kejam terhadap gadis ini, pikirnya. "Kalau begitu, mari kita keluar dan bicara di luar agar
ayahmu. tidak marah." katanya. Gadis itu meng-angguk dan ketika Yo Han melangkah keluar,
ia mengikuti. Akan tetapi, kembali gadis itu kem-bali berhenti, bahkan kini masuk ke se-buah ruangan
yang berada di sebelah kiri. Yo Han menengok dan melihat gadis itu berhenti lagi bahkan
memasuki se-buah ruangan yang agak lebih terang, dia pun melangkah kembali menghampiri.
"Nona, kenapa engkau berhenti?"
Gadis itu kelihatan gelisah dan me-ngerutkan alisnya, pandang matanya ti-dak percaya dan
curiga. "Mau bicara apa sih dengan aku" Aku tidak mengenalmu!"
"Akan tetapi aku mengenalmu. Engkau tentu Sim Hui Eng "
Gadis yang manis itu menggeleng kepala. "Namaku bukan Sim Hui Eng dan aku tidak
mengenalmu. "Mungkin engkau sendiri tidak tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Sim Hui Eng
karena engkau diculik orang sejak kecIl. Nona, aku hampir yakin bah-wa engkaulah gadis
yang kucari, dan aku dapat membuktikan kebenaran hal itu."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
99 "Hemmm, apakah bukti itu?"
"Kalau engkau mau memperlihatkan pundak kirimu dan tapak kaki kananmu kepadaku, di
sana ada tanda-tanda."
"Ihhh, engkau orang kurang ajar! Ba-gaimana mungkin aku dapat memperlihat-kan pundak
dan kakiku kepadamu?" Gadis itu berseru marah dan mukanya berubah kemerahan.
Yo Han berpikir. Memang sulit juga. Akani tetapi, agaknya Tiat-liong Sam-heng-te, tiga
orang yang oleh gadis itu disebut ayah, sedang tidak berada di situ dan ini merupakan peluang
yang baik sekali. Dia harus dapat melihat bukti itu dan kalau gadis itu tidak mau
memper-lihatkannya, dia harus memaksanya. Ti-dak ada lain jalan. Kalau tiga orang yang
diaku ayah gadis itu berada di situ, tentu hal ini akan lebih sulit untuk di-laksanakan. Dia
harus memeriksa pundak dan kaki gadis itu agar yakin apakah dugaannya bahwa gadis itu
Sim Hui Eng itu benar. "Nona, aku tidak bermaksud kurang ajar. Akan tetapi aku harus dapat me-lihat bukti Itu,
apakah pundak dan kaki-mu ada tanpa-tanda ,kelahiran itu atau-kah tidak." katanya dan dia
pun cepat memasuki ruangan yang terang itu.
Gadis itu menyambutnya dengan se-rangan pisau yang tadi disembunyikannya di belakang
tubuhnya. Yo Han tidak me-rasa heran. Tentu gadis ini salah paham dan menganggap dia
hendak kurang ajar. Akan tetapi karena dia tahu bahwa tanpa paksaan, sukar untuk dapat
melihat kaki dan pundak seorang gadis, dia pun meng-elak dan begitu tangan yang memegang
pisau itu menyambar lewat, dia sudah menangkap lengan kanan yang memegang pisau dan
secepat kilat jari tangan ka-nannya menotok dan gadis itu tidak mam-pu bergerak lagi! la
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu roboh kalau saja Yo Han tidak cepet merangkulnya dan merebahkannya di atas lantai.
Pada saat dia merangkul itulah, dia mendengar suara aneh di belakangnya. Dia menoleh dan
terkejut melihat betapa jalan masuk ke ruangan itu, tiba-tiba saja tertutup oleh jeruji besi yang
meluncur dari atas. Karena dia sedang merangkul tubuh gadis itu, maka dia tidak sempat lagi
untuk meloloskan diri, dan dia pun terkurung dalam ruangan itu bersama gadis yang masih
tertotok. Celaka, tentu mereka yang disebut Tiat-liong Sam-heng-te itu . yang menjebaknya,
karena mengira dia akan kurang ajar terhadap puteri mereka. Akan tetapi dia dapat memberi
penjelas-an nanti dan begitu kedua tangannya bergerak, baju di pundak kiri gadis itu dan
sepatu di kaki kanannya telah ter-buka. Bajunya dia robek dan sepatunya dia lepaskan. Akan
tetapi, matanya ter-belalak ketika melihat kulit pundak dan kulit telapak kaki yang putih
mulus tan-pa cacat sedikit pun! Wah mungkin dia lupa, pikirnya. Jangan-jangan terbalik,
pundak kanan dan kaki kiri yang harus dia periksa! Tanpa banyak ragu lagi, Yo Han kembali
merobek baju di pundak kanan dan melepas sepatu yang kiri dan dia tertegun. Kulit
pundak kanan dan kaki kiri itu pun putih mulus, tidak terdapat tanda apa pun seperti yang
di-harapkan dan disangkanya. Dia telah keliru!
Kalau begitu, Siangkoan Kok telah berbohong kepadanya. Dan ini tentu ber-arti suatu tipuan,
suatu jebakan! Cepat dia meloncat berdiri untuk mencoba ke-luar dari situ dengan menjebol
jeruji besi, akan tetapi pada saat itu juga, dari arah pintu, kanan kiri dan atas, menyem-bur
masuk asap yang kekuningan. Yo Han menahan napas dan memaksa diri men-dekati jeruji
besi untuk menjebolnya. Akan tetapi, di balik asap tebal nampak orang--orang yang
mempergunakan tombak yang ditusukkan ke dalam melalui celah-celah jeruji ke dalam
sehingga terpaksa dia mundur lagi. Cepat dia memeriksa ke belakang, kanan dan kiri, akan
tetapi dinding gua itu merupakan dinding batu alam, entah berapa tebalnya. Tidak ada jalan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
100 lari! Dan dia pun tidak mungkin menahan napas terus-terusan. Dia mulai bernapas dan asap
sudah memenuhi gua itu, dia terbatuk-batuk lalu mencium bau yang masam, menyesakkan
dada dan Yo Han terguling roboh. Pingsan!
*** Yo Han bermimpi. Dalam mimpi itu dia mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang dapat
berlari kuat sekali, juga ke-cepatan larinya luar biasa sekali. Akan tetapi akhirnya, di puncak
sebuah bukito dia dapat menyusul dan menangkap gadis itu, dirangkulnya dari belakang, lalu
dia merobek baju gadis itu! Bukan untuk apa-apa melainkan untuk melihat pundak-nya! Dia
melihat sepasang pundak putih mulus, lalu gadis itu menendangnya dan dia jatuh terjungkal
ke dalam jurang yang dalam sekali!
Dia membuka matanya. Tidak, dia tidak mati, tidak jatuh ke jurang. Lalu dia teringat. Heran,
dia tidak berada di lantai batu, tidak berada di ruangan gua lagi, walaupun masih ada pintu
jeruji besi di depannya. Dia rebah di atas lan-tai ubin, di sebuah kamar yang cukup luas,
kamar yang tidak berjendela, akan tetapi pintunya berjeru ji amat kuat dan di luar pintu
terdapat banyak penjaga dengan senjata tajam dan runcing di tangan. Dia berada dalam
tahanan! Yo Han bangkit duduk dan mendengar gerakan orang di belakangnya, disusul suara tawa
orang itu, tawa kecil yang bukan mengejek, bukan pula mentertawa-kan, melainkan tertawa
karena merasa lucu. Dia cepat menengok dan melihat orang yang dikenalnya, yaitu pemuda
bernama Cia Ceng Sun yang pernah ber-sama dia menjadi tamu kehormatan ke-luarga
Siangkoan atau perkumpulan Pao-beng-pai!
"Kiranya engkau juga di sini, saudara Cia Ceng Sun. Dan kenapa pula engkau tertawa.
Melihat tempat ini, jelas bahwa kita berada dalam kamar tahanan. Ke-napa engkau malah
tertawa?" Yo Han bangkit berdiri dan menghampiri pemuda itu yang duduk di depan kayu
panjang, lalu duduk di sampingnya.
Cia Ceng Sun menahan tawanya dan menepuk pundak Yo Har. "Heh-heh-heh, Yo-toako,
lucu akan tetapi menyenangkan melihat engkau dibawa masuk dalam keadaan pingsan ke
kamar ini. Berarti aku mempunyai teman yang menyenang-kan. Lucunya, kita berdua yang
dipilih oleh Pao-beng-pai menjadi tamu kehor-matan dan sekutu, dan kita berdua pula yang
kini menjadi tawanan. Bukankah itu lucu sekali?" Yo Han kagum melihat betapa pemuda itu
dalam tawanan masih mampu berkelakar dan tertawa demikian gembira. Wajah yang tampan
itu sedikit pun juga tidak membayangkan perasaan takut, bahkan agaknya pengalaman ini
amat menyenangkan hatinya.
"Saudara Cia, kenapa engkau sampai ditawan" Bukankah Siangkoan Kok dan terutama sekali
Siangkoan Siocia (Nona Siangkoan) amat suka padamu?"
Cia Ceng Sun menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya masih cerah. "Ini merupakan
rahasia besar yang sukar un-tuk kuceritakan kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau sendiri
yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sampai dapat tertawan mereka" Ini baru aneh!"
Yo Han memandang dengan serius. "Saudara Cia, kita ini senasib. Bahkan mungkin sekali
kita berdua terancam bahaya maut. Kalau kita tidak bekerja sama, bagaimana mungkin akan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
101 mampu lolos. dari ancaman bahaya" Dan untuk dapat bekerja sama, harusl.ah lebih dulu dapat
saling percaya, bukan?"
Cia Ceng Sun mengangguk. "Engkau benar sekali, Yo-toako."
"Nah, aku percaya padamu, apakah engkau tidak percaya padaku sehingga tidak dapat
menceritakan keadaanmu ke-padaku" Dengan mengetahui keadaan kita masing-masing,
barulah kita dapat be-kerja sama."
"Kalau engkau percaya padaku, nah, ceritakanlah mengapa engkau ditawan, Yo-toako."
Yo Han menghela napas. Pemuda ini selain cerdik, juga agaknya hendak me-rahasiakan
dirinya. Dia harus memper-lihatkan kejujuran dulu agar pemuda itu benar-benar dapat
percaya padanya. "Baiklah. Namaku memang Yo Han dan seperti telah kauketahui dalam pertemuan itu, aku
adalah seorang tokoh Thian-li-pang, bahkan dianggap sebagai pimpinan. Hanya sikapku
memusuhi tiga keluarga besar para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman
adalah palsu. Aku sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan karena aku sedang menyeli-diki
hilangnya seorang anak dari ketiga keluarga besar itu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu."
Ceng Sun tertarik sekali. "Wah, sung-guh menarik dan aneh. Bagaimana mung-kin mencari
anak hilang yang sudah le-wat dua puluh tahun" Anak siapa yang hilang itu dan bagaimana
caranya engkau hendak mencarinya, Yo-toako?"
Yo Han lalu bercerita tentang hilang-nya puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw dan
isterinya, yaitu bibi guru-nya yang bernama Can Bi Lan, hilang diculik orang dua puluh tahun
yang lalu. "Itulah sebabnya aku sengaja me-nyatakan permusuhanku terhadap suami isteri itu, karena
aku menduga bahwa penculiknya tentulah musuh mereka dan musuh mereka itu siapa lagi
kalau bukan tokoh kang-ouw, tokoh sesat yang lihai" Aku sengaja memancing untuk mencari
pencullk itu dan ketika kuceritakan hal ini kepada Siangkoan Kok, dengan mengata-kan
bahwa yang menculik puteri suami isteri pendekar itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te, dan
memberi tahu di mana tiga orang tokoh sesat itu tinggal. Aku segera ke sana dan bertemu
seorang gadis yang tentu saja kukira anak yang hilang itu. Aku ajak dia bicara dan ke-padanya
aku mengaku terus terang bahwa aku mencari anak yang hilang dua puluh tahun yang lalu.
Aku bahkan memaksa membuka bajunya dan sepatunya untuk menemukan tanda kelahiran di
pundak dan kaki. Akan tetapi ternyata gadis itu bukan anak yang kucari, dan ternyata ia
adalah umpan yang sengaja dipasang oleh Pao-beng-pai untuk menjebak dan me-nangkap
aku." Ceng Sun tertawa geli. "Heh-heh-heh, orang-orang Pao-beng-pai memang cerdik dan licik
bukan rmain. Bagaimana mereka dapat menangkpmu dan mem-buatmu pingsan, Toako?"
Yo Han lalu menceritakan betapa dia dijebak dan ruangan dalam gua tertutup jeruji besi,
kemudian ada asap bius yang menyerangnya sehingga dia akhirnya ro-boh pingsan. "Agaknya
Siangkoan Kok memang sudah mencurigaiku atau men-dengar tentang sepak terjangku
sebagai Pendekar Tangan Sakti, maka dia me-masang jebakan itu. Aku terlalu yakin bahwa
gadis itu benar puteri Paman Sim Houw, maka aku ceroboh dan bodoh, menceritakan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
102 maksudku sehingga aku diketahui dan di jebak. Sekarang aku telah menceritakan semua
dengan terus terang kepadamu, Saudara Cia, engkau mengeta-hui siapa aku dan mengapa aku
berada di sini, mengapa pula aku ditangkap. Tiba giliranmu untuk menceritakan siapa adanya
engkau dan mengapa pula engau berada di sini dan akhirnya ditawan juga."
"Yo-toako, ini merupakan rahasia besar yang gawat dan hanya dapat ku-ceritakan kepada
orang yang benar-benar kupercaya."
Yo Han mengerutkan alisnya. "Sau-dara Cia! Apakah engkau tidak percaya kepadaku,
padahal aku sudah mencerita-kan segala rahasiaku kepadarnu yang berarti aku percaya
padamu?" "Bukan begitu, Yo-twako. Akan tetapi karena rahasiaku amat besar dan gawat, aku tidak
boleh bercerita kepada orang lain kecuali seorang saudaraku. Nah, kalau engkau mau
mengangkat saudara dengan aku, barulah aku mau bercerita."
Yo Han mengerutkan alisnya. Dia kagum dan suka kepada pemuda ini, akan tetapi sama
sekali tidak pernah mimpi akan mengangkat saudara! Akan tetapi, mereka berdua kini
menjadi tawanan dan nyawa mereka terancam, kalau tidak ada saling percaya dan saling
pengertian, maka akan sukar bekerja sama. Padahal, dengan kerja sama pun belum tentu
me-reka akan dapat lolos menghadapi Pao-beng-pai yang memiliki banyak anggauta dan amat
kuat itu, apalagi memiliki pimpinan yang berilmu tinggi.
'Baiklah," akhirnya dia berkata.
"Bagus, mari kita bersumpah di sini saja, Toako." kata Ceng Sun dan mereka pun berlutut di
atas pembaringan. Yo Han segera mengucapkan sumpahnya.
"Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini, saya menganggap saudara Cia Ceng Sun "
"Namaku yang sebenarnya Cia Sun, Yo-twaka." Pemuda itu memotong.
Yo Han membuka matanya dan me-noleh. Temannya itu juga berlutut di sebelahnya dan
nama Cia Sun ini tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak me-ngenal nama Cia Sun seperti
juga dia tidak mengenal nama Cia Ceng Sun. Akan tetapi dia merasa seolah-olah ada sesuatu
yang aneh pada kedua nama itu, entah apanya. Dia tidak peduli dan meng-ulang.
"Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini saya menganggap saudara Cia Sun sebagai
adik angkat saya, akan saling memberi dan saling mengasihi seperti kakak dan adik kandung."
Cia Sun mengangguk-angguk, lalu dia pun mengucapkan sumpahnya seperti yang diucapkan
Yo Han. Setelah itu, mereka lalu turun dari pembaringan dan saling memberi hormat. Cia Sun
berkata lebih dahulu sambil memberi hormat. "Yo--toako, terimalah hormat adikmu Cia Sun."
"Cia-siauwte, aku merasa berterima kasih sekali. Nah, sekarang, kau cerita-kanlah apa yang
sebenarnya terjadi de-ngan dirimu agar kakakmu ini menge-tahui segalanya dan kita apat
saling bantu." "Mari kita duduk kembali di pem-baringan itu." Mereka lalu duduk di tepi pembaringan dan
Cia Sun mulai dengan pengakuannya. "Namaku memang benar Cia Sun dan kalau engkau
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
103 tidak mengenal nama ini adalah karena aku hanyalah putera Pangeran Cia Yan yang tidak
begitu terkenal di luar istana."
"Ah, pantas !!!" Yo Han berkata sambil menepuk pahanya.
"Apanya yang pantas?"
"Ketika mendengar she Cia, aku su-dah merasa aneh, seperti ada sesuatu yang kukenal atau
yang menarik. Kiranya Paduka adalah cucu Sribaginda Kaisar!"
"Hushhh ! Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya Yo-toako, aku akan merasa
terhina kalau kakakku sen-diri menyebutku paduka. Bagimu aku adalah adik Cia Sun, tanpa
embel-embel pangeran dan sebagainya!"
Mellhat sikap pangeran itu yang ke-lihatan tak senang, Yo Han cepet me-megang lengannya.
"Maafkan aku, siuwte. Aku hanya bergurau. Nah, coba lanjutkan ceritamu, mengapa engkau
sampai ter-sesat ke tempat ini dan mengapa pula engkau ditawan oleh Pao-beng-pai."
"Aku memang sedang merantau, Toa-ko. Aku bosan di istana dan karena sejak kecil aku suka
belajar silat, aku ingin sekali mengenal dunia persilatan, me-ngenal dunia kang-ouw. Aku lalu
mohon kepada orang tuaku untuk merantau me-luaskan pengalaman. Demikianlah, aku tiba di
sini ketika mendengar akan per-temuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai."
"Hemmm, apakah engkau merantau sekalian hendak menyelidiki tentang ge-rakan anti
pemerintah?" "Tidak sama sekali. Hanya kebetulan saja aku mendengar. Akan tetapi, begitubertemu
dengan nona Siangkoan, seketika aku jatuh cinta!"
Yo Han tersenyum, akan tetapi sikap-nya bersungguh-sungguh. "Aku tidak me-rasa heran,
Cia-te (adik Cia), karena ia memang seorang gadis luar biasa. Ilmu silatnya tinggi, wajahnya
cantik jelita dan anggun, tidak kalah oleh puteri yang manapun."
"Akan tetapi, engkau tentu menge-tahui sendiri betapa cintaku kepadanya itu bahkan
menyiksa perasaanku, meng-ingat bahwa ayahnya adalah ketua Pao-beng-pai yang tentu saja
memusuhi ke-luargaku."
"Hemmm, memang liku-liku cinta kadang membingungkan. Akan tetapi bagaimana dengan
perasaan nona itu sen-diri kepadamu, Cia-te?"
"Ia pun tfdak menolak cintaku, bahkan setuju ketika aku mengajukan pinangan secara
langsung kepada ayahnya."
Yo Han memandang kaget dan kagum. "Engkau berani langsung meminangnya, Cia-te" Itu
membutuhkan keberanian hebat! Meminang puteri orang yang baru saja dikenalnya! Dan
bagaimana tanggap-an orang tuanya?"
"Eng-moi dan ibunya setuju, dan ayah-nya mengajukan syarat, minta tanda ikatan dan juga
kelak dalam pesta per-nikahan harus dihadiri Kaisar."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
104 "Gila !!" "Engkau tahu siapa aku sebenarnya, Twako. Kalau aku menikah, sudah pasti kakekku, Sri
baginda Kaisar, akan meng-hadirinya. Karena itu, aku menerima syarat itu dan sebagai tanda
pengikat, aku memberikan seuntai kalung mutiara yang amat mahal harganya."
"Jadi engkau mengaku sebagai pange-ran?"
"Aku tidak sebodoh itu. Tentu saja aku tidak mengaku sebagai pangeran. Dan Eng-moi sudah
berjanji padaku bah-wa kelak setelah menikah dengan aku, ia tidak akan mencampuri urusan
pemberon-takan dan permusuhan."
"Aihhh, siauwte! Kalau engkau tidak mengaku sebagai pangeran akan tetapi menyanggupi
untuk mendatangkan Sri-baginda Kaisar dalam pesta pernikahan-mu, hal itu tentu akan
membuat mereka curiga sekali!"
Cia Sun menghela napas pan jang. "Itulah kesalahanku. Aku tidak menduga sedemikian
jauhnya. Aku lalu berpamit kepada mereka, berjanji untuk mengirim utusan meminang secara
reami. Dalam perjalanan, muncul tanpa kusangka-sangka dua orang perwira pengawal yang
diutus ayah untuk memanggil aku pulang karena aku ditunggu oleh tunanganku dan
keluar-ganya " "Aah, engkau sudah bertunangan dan engkau masih meminang nona Si-angkoan Eng?" Yo
Han bertanya dengan suara mengandung teguran. Dia mulai memandang pemuda tampan dan
halus itu sebagai adiknya sendiri maka dia secara otomatis menegurnya.
"Ah, engkau tidak tahu, Twako. Aku ditunangkan oleh orang tuaku dengan gadis itu, akan
tetapi bagaimana aku dapat mencinta seorang gadis yang baru sekali kumelihatnya, itu pun
ketika ia masih kecil" Aku tidak berani menentang kehendak orang tuaku, akan tetapi
biar-pun aku sudah ditunangkan, namun aku masih merasa bahwa hatiku bebas. Aneh-kah
kalau aku jatuh cinta kepada Eng--moi" Sudah jelas Eng-moi mencintaku dan aku
mencintanya, sedangkan Si Ba-ngau Merah itu, belum tentu ia suka ke-padaku atau aku suka
kepadanya." Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Si Bangau Merah....?"
Pangeran itu tersenyum. "Ya, tunang-anku itu adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk
Si Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin
Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan keluarga
Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?"
Yo Han dapat menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa
tunangan pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Dia mendengar keterangan orang tua
Sian Li bahwa ke-kasihnya itu telah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan tetapi siapa
da-pat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang kini menjadi adik
angkatnya" "Aku mengenal nama besarnya. Cia--te, pernahkah engkau melihatnya seka-rang?" tanyanya,
dan diam-diam dia mem-bandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng. Memang keduanya
cantik jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja Sian Li lebih
hebat, lebih segala-galanya. Biarpun de-mikian, dia yakin bahwa kalau pangeran ini
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
105 sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah terpikat oleh gadis lain yang
secantik Siangkoan Eng sekalipun.
"Sudah kukatakan tadi, aku baru ber-temu satu kali dengannya, itu pun ketika kami masih
remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu pula bagaimana
wataknya." "Cia-te, lanjutkanlah ceritamu. Se-telah engkau bertemu dengan kedua orang perwira
pengawal itu, lalu bagaimana?"
"Selagi mereka bercakap-cakap de-ngan aku, tiba-tiba saja muncul Eng--moi bersama empat
orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk mem-beri penjelasan. Akan tetapi ia
sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran menjadi mata-mata dan tentu akan
memusuhi Pao-beng-pai. Ia meroboh-kan aku dan menawanku, sedangkan dua orang perwira
itu diserang oleh empat orang pengawalnya. Mereka tentu tewas. Nah, segala penjelasanku
tidak diterima oleh ketua Pao-beng-pai maupun Siang-koan Eng sendiri, aku lalu dimasukkan
ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong masuk
dalam keadaan pingsan."
Setelah saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujur-nya, segera
kedua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu, menjadi akrab sekali.
Mereka ber-cakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka, akan tetapi ada satu hal yang
masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu tentang hubungannya dengan Tan Sian Li, Si
Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran itu. Dia merahasiakan hal ini karena dia
tidak ingin menimbul-kan suasana yang tidak enak di antara mereka. Kenyataan bahwa
pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li, bahkan pangeran itu kini jatuh cinta
kepada Siangkoan Eng, menimbulkan pe-rasaan senang dan harapan baru dalam hatinya. Dan
timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran itu agar dapat melangsungkan
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja, tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik
sikapnya ini terdapat dasar kuat dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari
ikatannya dengan Sian Li!
*** Tengah malam telah lewat, akan te-tapi Siangkoan Eng masih belum juga tidur. Ia sejak sore
tadi mondar-mandir di dalam kamarnya dengan wajah muram. Ia menderita tekanan batin dan
kebi-ngungan sejak ia menangkap Cia Ceng Sun dan memasukkannya ke dalam kamar
tahanan, kemudian melapor kepada ayah-nya bahwa Cia Ceng Sun itu sebenarnya adalah
seorang pangeran Mancu. Ayahnya marah bukan main.
"Jahanam, aku sudah curiga! Pantas dia enak saja menerima syaratku bahwa dalam pesta
pernikahan harus hadir kai-sar! Kiranya kaisar adalah kakeknya sen-diri! Dia tentu datang
untuk memata--matai kita! Celaka! Kalau begitu, bagus sekali engkau sudah menawannya,
anakku. Kita dapat mempergunakannya sebagai sandera penting untuk melindungi diri kalaukalau ada penyerangan dari pe-merintah. Dan kalau dia sudah tidak ada gunanya lagi, kusiksa
dia sampai mam-pus!"
Setelah Siangkoan Eng berada di da-lam kamarnya sendiri, ucapan ayahnya yang terakhir itu
selalu terngiang di teli-nganya. Cia Ceng Sun yang ternyata adalah Pangeran Cia Sun itu akan
disiksa ayahnya sampai mati! Dan ia tidak dapat menipu diri. Ia tetap mencinta pemuda itu,
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
106 pangeran atau bukan! Apalagi kalau ia teringat akan percakapannya dengan Cia Sun,
mengingat betapa pemuda itu berjanji akan membawanya ke dalam kehidupan yang tenteram
penuh kedamai-an, tidak mau terlibat dalam pemberon-takan dan permusuhan. Ia bahkan
hampir yakin bahwa pemuda itu bukan datang untuk memata-matai Pao-beng-pei. Akan
tetapi, karena terkejut dan marah men-dengar pemuda itu seorang pangeran yang menyamar
sebagai pemuda biasa, ia telah menangkapnya. Kini pemuda itu telah menjadi tawanan
ayahnya, tawanan penting dan ia tidak mungkin dapat min-ta kepada ayahnya untuk
mengampuni atau membebaskan Cia Sun.
Kini Siangkoan Eng menjatuhkan diri duduk di tepi pembaringan, wajahnya muram dan
sedih hampir menangis. Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan seorang pelayan menjawab
dengan ketukan pada pintu dalam. Ia memerintahkan pelayan memasuki kamar. Pelayan itu
kelihatan heran melihat nonanya belum tidur.
"Panggil Sui Lan ke sini!" katanya singkat. Pelayan itu mengangguk dan cepat keluar. Tak
lama kemudian, ter-dengar ketukan daun pintu sebelah luar dan suara pelayan tadi melapor
bahwa Nona Sui Lan telah datang.
"Sui Lan, masuklah!" kata Siangkoan Eng. Daun pintu depan terbuka dan ma-suklah seorang
gadis cantik berusia dua puluh satu tahun. Gadis itu kelihatan baru bangun tidur, agaknya tadi
sedang tidur ketika pelayan memanggilnya. Gadis bernama Tio Sui Lan ini adalah murid yang
pandai dari Siangkoan Kok dan merupakan teman bermain Siangkoan Eng, juga menjadi
orang kepercayaannya, bahkan juga sumoinya (adik seperguruan).
"Suci, tengah malam begini memang-gilku, ada kepentingan apakah gerangan yang dapat
kulakukan untukmu?" Dan karena mereka memang bergaul akrab, ia pun menghampiri lalu
duduk di tepi pem-baringan, sebelah sucinya itu.
"Duduklah, dan maaf kalau aku meng-ganggu tidurmu, Sui Lan."
"Aih, Suci, kenapa sungkan kepadaku" Dan engkau kelihatan belum tidur, dan wajahmu
kusut dan muram seperti orang bersedih. Ada apakah, Suci?"
Siangkoan Eng memegang lengan gadis manis itu. "Sumoi, engkaulah orang yang paling
kupercaya. Hatiku sedang risau. Engkau tahu sendiri bahwa pemuda yang tadinya kita kenal
sebagai Cia Ceng Sun itu telah ditunangkan denganku. Kami saling mencinta. Akan tetapi
kemudian ternyata bahwa dia seorang pangeran dan aku sendiri yang telah menawannya
se-hingga kini dia dikurung dalam tahanan."
"Akan tetapi, itu sudah benar, Suci. Bukankah dia dapat menjadi orang berbahaya sekali dan
telah merugikan kita" Dia memata-matai kita dan dia bahkan telah menipu Suci. Aku yakin
bahwa cintanya pun hanya pura-pura."
"Diam! Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoi-ku dan akan
kuhajar kau!" tiba-tiba Si-angkoan Eng membentak dan gadis itu memandang dengan wajah
pucat. "Maafkan aku, Suci...."Siangkoan Eng menghela napas pan-jang dan kembai ia memegang
lengan gadis itu. "Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung se-hingga
mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tidak dapat meng-hilangkan cintaku
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
107 kepadanya, apalagi membencinya. Dan aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan dia benarbenar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga menangkapnya."
Diam-diam Siu Lan terkejut akan tetapi ia tidak berani menyatakan pen-dapatnya, takut
salah. Ia terharu karena sucinya atau juga nonanya yang biasanya keras hati itu kini menjadi
lemah oleh cinta! "Akan tetapi, Suci telah terlanjur menangkapnya, lalu apa yang dapat ku-lakukan untukmu?"
"Engkau merupakan satu-satunya mu-rid ayah yang dipercaya ayah, dan juga semua
anggauta Pao-beng-pai tunduk kepadamu. Apalagi baru saja engkau ber-jasa dalam menjebak
dan menangkan Pendekar Tangan Sakti Yo Han, pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia
Sun ditahan dalam satu kamar tahanan de-ngan Yo Han, maka aku minta engkau suka
berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun."
Sui Lan membelalakkan matanya. "Malam-malam begini" Ini sudah tengah malam, Suci.
Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat ta-hanan?"
"Katakan saja kepada penjaga bahwa engkau mendapat tugas dari ayah untuk mengamati
penjagaan agar kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhati-kan apakah Cia Sun
diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti kuperin-tahkan kepada mereka, apakah
dia mendapatkan makanan sepantasnya, bagai-mana keadaannya. Kemudian, engkau harus
dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga." Siangkoan Eng
menyerahkan sebuah surat yang di-lipat-lipat menjadi kecil kepada sumoi-nya.
"Suci, engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, karena kalau suhu tahu
tentu aku akan dibunuh-nya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan
agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi,
apakah maksudmu memberiku tugas ini" Apa artinya semua ini dan apa rencana-mu?"
Siangkoan Eng merangkul sumoinya. "Sumoi, kalau engkau berkhianat kepada-ku dan
melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi
surat kepada Cia Sun, minta agar dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini."
"Dan apa rencanamu itu, Suci?"
Siangkoan Eng mengusir semua ke-raguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau ia
memberitahu kepada sumoinya dan gadis itu melaporkan kepada ayah-nya, bukan saja
rencananya gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan ke-selamatan Cia Sun dan ia
sendiri. Akan tetapi, ia tidak melihat jalan lain.
"Sumoi, setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun."
Gadis itu terbelalak, kaget dan heran. "Suci! Engkau yang menangkapnya dan
melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana
pula ini?" "Sudahlah, Sumoi. Ini demi cinta, dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nya-waku.
Maukah engkau membantuku" Atau engkau akan melapor kepada ayah?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
108 Sui Lan merangkul sucinya. "Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu seperti kakak
sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia, ini, hanya engkaulah satu-satunya sahabatku,
juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tu-gasmu dengan baik. Akan tetapi, dia
satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagai-mana?"
"Justeru aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu hebat. Kalau
mereka berdua melarikah diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap
mereka dan Cia Sun tentu akan dapat bebas." Siangkoan Eng lalu turun dari pembaring-an.
"Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ke-tika engkau
menyerahkan surat itu ka-rena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama
sekali!?"Percayalah padaku, Suci." Sui Lan meninggalkan kamar sucinya dan setelah Sui Lan
pergi, Siangkoan Eng duduk ter-menung.
Sementara itu, Sui Lan dengan lang-kah biasa pergi ke sebuah bangunan khu-sus yang berada
di perkampungan Pao--beng-pai itu, bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tawanan.
Para penjaga tentu saja tidak melarang ia masuk, bah-kan memberi hormat, apalagi ketika Sui
Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk memeriksa keadaan
tawanan. Juga para penjaga sebelah dalam yang berlapis-lapis, semua mengenal baik siapa gadis ini.
Murid tersayang dari Siangkoan Kok, juga orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai.
Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han tokoh Thian-li-pang dapat
ditawan berkat pancingan nona ini. Diam-diam Sui Lan menyangsikan kemungkinan
berhasilnya rencana sucinya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini" Selain
penjagaan berlapis-lapis dan ketat, juga jalan keluar melalui rintangan-rin-tangan berupa
jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.
Akhirnya tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang
tawanan itu duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian
tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira dan mereka berdua menoleh dan
memandang ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu.
Melihat Sui Lan, Yo Han tersenyum masam. "Nah, itulah ia gadis lihai yang telah
dipergunakan sebagai umpan se-hingga aku terjebak," kata Yo Han tanpa terdengar suara atau
pandang mata mem-benci gadis itu.
Sesuai dengan perintah sucinya, Sui Lan memperhatikan keadaan kedua orang tawanan itu,
terutama Cia Sun. Ia me-lihat betapa mereka dalam keadaan se-hat, bahkan wajah mereka
tidak mem-perlihatkan rasa takut atau murung. Je-las bahwa mereka diperlakukan dengan
baik oleh para penjaga seperti diperintah-kan sucinya.
Sui Lan memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi
tentu saja memandang dari jauh dan mendengarkan. Sui Lan meng-ambil sikap seperti orang
mengejek. "Hemmm, kalian sudah tertangkap seper-ti dua ekor tikus, masih berlagak. Akui-lah saja
bahwa kalian telah memata--matai Pao-beng-pai. Benar tidak" Kalian menyamar dan berpurapura, sungguh licik dan pengecut!" Sui Lan sengaja meng-ejek dan memaki dengan suara
nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam
tempat itu. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
109 Yo Han tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari
gadis itu, bahkan dapat me-rasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan agar terdengar
semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu" Pasti ada! Karena itu,
dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka.
Kesengajaan ini dapat dia lihat dari suara dan sikapnya yang tidak sewajarnya.
"Aha, kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukan kami yang curang,
melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan
mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Sui Lan semakin marah. "Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau melepas sepatuku,
engkau laki-laki me-sum dan kurang ajar! Kalau tidak di-halangi suhu, tentu engkau sudah
ku-bunuh!" "Ha-ha-ha, engkau mampu membunuh-ku" Kita lihat saja!" kata Yo Han, dan Cia Sun
memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Dia mengenal Yo Han tidak seperti
itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!
"Keparat busuk, rasakan dan makan jarumku ini!" Tangan kiri gadis itu ber-gerak dan sinar
lembut meluncur ke dalam kamar tahanan melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar.
Dipandang oleh para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan
jarum rahasia yang ampuh! Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang
menyam-barnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang tidak
dapat terlihat oleh para penjaga.Memang jarum yang disambikan Sui Lan, akan tetapi jarum
yang membawa lipatan kertas kecil!
Melihat sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu pergi meninggalkan
tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat. "Kecuali Suhu sendiri,
suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapapun dilarang mema-suki tempat ini! Mengerti?"
bentaknya ke-pada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.
"Dua jam kemudian, malam telah amat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang
mengantuk. Demikian pula pa-ra penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka
tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara ber-gantian.
Ketika Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang agak me-ngantuk, mereka
terkejut dan cepat meng-ambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para
penjaga, dan me-marahi setiap orang penjaga yang kelihat-an mengantuk atau habis tidur.
"Kalian tidak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting.
Aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai me-reka lolos!" katanya dengan
suara galak. Suaranya terdengar sampai kamar tahan-an di mana dua orang pemuda itu duduk
bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang tawanan itu
berdebar tegang. Tak lama kemudian, setelah memerik-sa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong
terakhir yang menuju ke kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu, menyambut
dengan sikap yang tegak dan siap.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
110 "Tidak ada yang tertidur di antara kalian?" bentak Siangkoan Eng.
"Tidak, Nona." "Bagus! Siapa yang memegang kunci kamar tahanan" bentaknya pula. "Dia mempunyai
tanggung jawab yang amat penting!"
"Saya, Nona!" kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka
bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu. "Sudah kauperiksa
benar bahwa pintu itu terkunci rapat?"
"Sudah, Nona?" "Berikan kuncinya kepadaku. Hendak kuperiksa sendiri!" kata Siangkoan Eng. "Awas kau
kalau menguncinya tidak be-nar!"
"Silakan, Nona!" kata si bopeng sam-bil menyerahkan sebuah kunci yang be-sar.
Karena sikap Siangkoan Eng yang galak dan keras itu, para penjaga nam-pak takut
kepadanya, tidak berani men-dekat sehinga ketika gadis itu mengham-piri pintu jeruji besi
kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter. Pada saat gadis itu
menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di lantai, di
te-ngah kamar, agak mendekat pintu. Mere-ka tidur mendengkur, dan Siangkoan Eng
mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.
Pada saat itu, dua orang tawanan itu bergerak bagaikan kilat cepatnya dan Yo Han sudah
menotok gadis itu melalui celah jeruji, lalu mencengkeram pundak dengan tangan kiri
sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang
terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang berloncatan
mendekat."Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami
akan membunuh Siangkoan Eng!" Bentak-an itu berpengaruh karena para penjaga yang dua
belas orang banyaknya itu tidak berani berkutik, seperti berubah menjadi arca di tempat
masing-masing. Tentu saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh dan nampaknya,
nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri, sudah ditotok,
di-cengkeram lagi dan mereka semua tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang
tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang mencengkeram nona mereka.
Cia Sun merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka
berdua keluar. Yo Han me-nelikung kedua lengan gadis itu ke bela-kang punggung, lalu
membebaskan totok-annya. "Hayo antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan ku-patahkan!"
katanya geram. Siangkoan Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak berdaya.
Ketika melihat para pen-jaga memandangnya dengan bingung, ia pun berkata gemas, Biar
mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka kem-bali
dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!" Para penjaga terpaksa membiarkan
gadis itu digiring keluar oleh kedua tawanan. Demikian pula para pen-jaga di tengah dan di
luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona mere-ka diancam seperti itu. Dan Siangkoan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
111 Eng juga menyuruh mereka mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu le-wat sambil
mengeluarkan ancaman bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat membalas dan
menangkap kembali dua orang itu.
Karena menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat
rahasia untuk men-jebak. Nona mereka terancam dan se-kali menggerakkan tangan, kedua
orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak berani
berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani, apagi nona mereka
memerintahkan mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang ta-wanan itu lewat.
Dengan amat mudahnya karena tidak ada penjaga yang berani menghalangi, Yo Han dan Cia
Sun dapat keluar dari per-kampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng. Setelah
mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi
laporan kepada Siangkoan Kok. Akan tetapi, ke-tika Siangkoan Kok terbangun dan ter-kejut,
juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos bah-kan menggiring
Siangkoan Eng yang di-buat tidak berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh.
Setelah tiba di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han me-lepaskan kedua
tangannya. "Eng-moi...." Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu. Siangkoan Eng memandangnya
dengan muka sedih, lalu berkata dengan suara lirih.
"Engkau pergilah...."
"Eng-moi, kenapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?" bujuk Cia
Sun. "Neraka itu tempat tinggal ayah ibu-ku, Koko. Bagaimana aku dapat mening-galkan ibuku
begitu saja" Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggauta Pao-beng-pai
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
datang." "Eng-moi, aku bersumpah, akan kem-bali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta
padamu, Eng-moi." "Aku pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis.... kata Siangkoan
Eng terisak, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo
Han, merangkul dan menciumnya.
Pada saat itu terdengar suara ribut--ribut yang datangnya dari perkampungan itu sehingga
mereka berdua saling me-lepaskan rangkulan.
"Pergilah sebelum terlambat." kata Siangkoan Eng.
"Benar, Cia-te, kita harus cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus
menotokmu.?"Silakan," kata Siangkoan Eng. Yo Han cepat menotok gadis itu sehinga lemas
tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat
bersuara pula. Cia Sun me-nyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu
merebahkannya telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
112 melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari ter-lebih dahulu karena kini terdengar
lang-kah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor.
Siangkoan Kok dan isterinya yang memimpin orang-orang mereka melaku-kan pengejaran,
menemukan puteri mere-ka dalam keadaan telentang di atas rum-put, tak dapat bersuara
maupun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerin-tahkan anak buahnya mencari dan
me-lakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya mem-bebaskan
totokan pada diri Siangkoan Eng.
Dengan muka merah dan mata ber-kilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tidak
mau ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, lalu meng-ajak isteri dan puterinya
kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan se-mua anak buahnya untuk terus mencari.
Kini mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada pelayan
yang boleh masuk. Semua pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka
menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka mak-lum bahwa ketua mereka marah
bukan main. "Nah, sekarang katakan terus terang, apa yang telah kaulakukan!" Siangkoan Kok
membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya.
Siangkoan Eng mengangkat muka me-natap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut
walaupun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat
meloloskan diri. "Apa yang harus kukatakan, Ayah" Tadi, untuk merasa yakin bahwa kedua
orang tawan-an itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu. men-dadak,
ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang tadinya
kukira tidur pulas, meloncat. dan telah menyergapku melalui celah jeruji besi. Gerakannya tak
terduga dan cepat sekali sehingga aku dapat ditotoknya. Mereka membuka piritu de-ngan
kunci setelah membuat aku tidak berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku
kalau mereka men-coba menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil
keluar dari pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah
me-nemukanku." "Kau bohong! Kau pembohong besar!!" Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot
lebar. Dalam kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan
garang menyeramkan. Akan tetapi, Siangkoan Eng tenang--tenang saja. "Ayah, kenapa Ayah menga-takan aku
bohong" Untuk apa aku ber-bohong" Mengapa aku harus membohongi Ayah?"
"Mengapa" Karena engkau sudah jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau
sudah tergila-gila padanya! Tak tahu malu, merendahkakn diri tergila--gila kepada seorang
pangeran Mancu!" "Hemmm, apa alasan Ayah menuduhku berbohong?"
"Apa alasannya. Bocah murtad, peng-khianat! Selama hidupku, belum pernah aku melihat
engkau demikian penakut dan tolol sehingga dapat dikelabui musuh, dapat disergap dan
ditundukkan dari da-lam kamar tahanan, kemudian demikian penakut sehingga ketika engkau
ditawan dan digiring keluar, engkau memerintah-kan para anak buah kita untuk mem-biarkan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
113 dua orang itu pergi! Kau boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin dapat
membohongi aku! Aku sudah mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut, engkau cerdik,
tak mung-kin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu, kecuali kalau engkau
me-mang sengaja hendak membantu mereka lolos!"
"Itu hanya dugaan Ayah belaka. Mana buktinya?" tantang Siangkoan Eng yang memang
sejak kecil digembleng ayah ibu-nya tidak mengenal takut."Bocah setan. Engkau masih
menan-tangku untuk menunjukkan bukti" Kau-kira aku belum melakukan penyelidikan dan
belum membongkar rahasiamu yang busuk dan memalukan?" Siangkoan Kok membentak ke
arah pintu memanggil pelayan dan ketika seorang pelayan wa-nita masuk dengan sikap takuttakut, dia membentak, "Panggil ke sini Sui Lan! Cepat!!"
Pelayan itu lari tunggang langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan
telah mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya" Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi.
Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoinya itu ke-padanya.
Tak lama kemudian Sui Lan masuk dan memberi hormat kepada suhunya, dengan suara biasa
ia berkata seperti orang melapor, "Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar dari laporan anak
buah bahwa. pencarian itu tidak berhasil...."
Diam!" Siangkoan Kok membentak. "Jangan bicara kalau tidak kutanya, dan setjap jawaban
harus kau jawab sejujur-nya!".
"Baik, Suhu." Gadis itu pun duduk di atas bangku yang ditunjuk oleh gurunya. Berbeda
dengan Siangkoan Eng yang ma-sih nampak tenang, Tio Sui Lan kelihat-an agak pucat dan
matanya mengandung kegelisahan melihat kemarahan gurunya. Setelah melihat muridnya
yang sesungguh-nya merupakan murid yang paling di-sayangnya itu duduk, Siangkoan Kok
lalu menghadapi puterinya lagi. Dia tetap berdiri, bagaikan gunung karang di depan puterinya
yang duduk di samping ibunya. Lauw Cu Sin, wanita berusia empat pu-luh lima tahun yang
masih cantik itu, mengerutkan alisnya dan hanya mende-ngarkan, pandang matanya juga
gelisah. "Nah, sekarang Sui Lan telah berada di sini. Eng Eng, apakah engkau masih tidak mau
mengakui pengkhianatanmu terhadap Pao-beng-pai dan bahwa engkau telah membantu kedua
orang itu mem-bebaskan diri?"
"Ayah hanya menuduh tanpa bukti." kembali Siangkoan Eng atau Eng Eng membantah,
sikapnya tetap berani. "Brakkkkk!!" Meja di samping kirinya dihantam tangan kiri Siangkoan Kok dan papan meja
itu hancur berkeping-keping. "Engkau masih berani mengatakan aku menuduhmu tanpa
bukti" Anak durhaka, dengar baik-baik. Aku telah menyelidiki dan menanyai para penjaga.
Dua jam sebelum engkau muncul, si iblis cilik Sui Lan ini datang ke tempat tahanan,
me-masuki tempat tahanan dan mengatakan kepada para penjaga bahwa aku sengaja
memerintahkan ia untuk menjaga para tawanan. Dan para penjaga melihat Sui Lan cekcok
dengan para tahanan, lalu ia menyambitkan jarum ke arah para tahan-an. Para penjaga melihat
berkelebatnya sinar putih halus! Sui Lan, jawab. Benar-kah itu?"
"Benar, Suhu. Teecu marah dan me-nyerang orang she Yo dengan jarum tee-cu dan...."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
114 "Bohong! Ingin kau kurobek mulutmu" Mana mungkin jarum rahasiamu bersinar putih"
Tentu bukan jarum yang kausam-bitkan, melainkan surat, gulungan kertas atau alat lain untuk
mengirim pesan!" "Suhu...." "Diam!" Tangan Siangkoan Kok me-nyambar ke arah muridnya dan gadis itu terpelanting
dari bangkunya dan bajunya robek lebar memperlihatkan sebagian dadanya. Sui Lan bangkit
dan berlutut, sambil membetulkan letak bajunya. Un-tung gurunya tidak berniat
membunuhnya sehingga ia tidak terluka."Eng Eng, engkau masih hendak mem-bantah"
Engkau mengirim pesan lewat Sui Lan kepada pangeran Mancu itu. Kemudian, dua jam
setelah itu, engkau sendiri yang datang berkunjung, pura--pura melakukan pemeriksaan dan
sengaja engkau membiarkan dirimu dibuat tidak berdaya! Engkau bahkan membantu me-reka
lolos karena engkau sudah tergila--gila kepada seorang pangeran Mancu. Tak tahu malu!"
Kini tahulah Eng Eng bahwa Sui Lan tidak berkhianat. Rahasianya terbongkar semata-mata
karena kecerdikan ayahnya yang memang luar biasa. Ia menghela napas panjang.
"Ayah, aku melakukan hal itu demi menjaga baik nama Ayah"
Mata itu melotot, "Apa kau bilang" Menjaga nama baikku?" Karena heran, maka untuk
sementara kemarahannya tertunda.
"Ayah adalah ketua Pao-beng-pai yang baru saja memperkenalkan diri kepada para tokoh
kang-ouw, dikenal sebagai pemimpin perkumpulan patriot yang ga-gah perkasa. Akan tetapi,
Ayah telah menawan Pendekar Tangan Sakti secara curang. Bagaimana kalau sampai
terdengar dunia persilatan" Pula, aku yakin bahwa Pangeran Cia Sun bukan seorang matamata Mancu. Biarpun dia pangeran Mancu, akan tetapi dia bukan mata-mata, melainkan
seorang pemuda yang ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman di dunia kang-ouw.
Mana mungkin pange-ran melakukan pekerjaan mata-mata yang berbabaya" Tentu
keluarganya tidak akan menyetujuinya."
"Cukup! Katakan saja engkau tergila--gila kepada pangeran Mancu itu!"
Dengan sama lantangnya Siangkoan Eng yang yakin bahwa ayahnya amat menyayangnya
dan tidak mungkin ia sam-pai terancam malapetaka oleh tangan ayahnya, menjawab, "Tidak
kusangkal, Ayah. Memang aku mencinta Cia Sun dan dia mencintaku. Akan tetapi, bukan-kah
Ayah juga sudah menerima pinangan-nya, menerima pula tanda pengikat per-jodohannya, dan
bahkan Ayah mengajukan syarat yang sudah disanggupinya" Apakah Ayah ingin menarik
kembali janji dan ucapan Ayah?"
"Jahanam kau! Kau ingin Ayah mem-punyai mantu seorang pangeran Mancu?"
"Mengapa tidak, Ayah" Dia pangeran biasa, bukan calon kaisar!"
"Keparat, anak durhaka, engkau me-mang patut dihajar!" bentak Siangkoan Kok dan dia pun
menerjang ke depan, tangannya terayun memukul ke arah kepala Eng Eng. Gadis itu terkejut,
sama sekali tidak pernah menduga bahwa ayah-nya akan sedemikian marahnya sehingga mau
memukulnya, hal yang selama ini belum pernah dilakukan ayahnya. Yang mengejutkan
hatinya adalah ketika me-lihat betapa tangan ayahnya itu memukul ke arah kepalanya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
115 Pukulan maut! Kalau kepalanya terkena pukulan itu, tentu akan pecah dan ia akan tewas
seketika! Otomatis, sebagai seorang ahli silat yang gerakannya otomatis, dengan cepat ia
menggerakkan lengan ke atas untuk me-nangkis karena untuk mengelak, ia tidak berani dan
hal itu tentu akan membuat ayahnya menjadi semakin marah.
"Desss....!!" Biarpun ia telah menang-kis, karena ia tidak berani pula menge-rahkan seluruh
tenaganya, hantaman ayah-nya itu tetap saja hebat bukan main. Tenaga dahsyat menerpa dan
menerjang dirinya, membuat kursi yang didudukinya patah-patah dan tubuhnya terjengkang
sampai berguling-guling. Sungguh hal ini tidak disangkanya sama sekali. Kepalanya terasa
pening, dadanya nyeri karena ha-wa pukulan itu menerjang masuk lewat lengannya. Dari
mulutnya keluar darah dan Eng Eng yang kemudian rebah me-nelungkup itu, menggerakkan
tubuh te-lentang dan ia bertopang pada siku ka-nannya, kemudian tangan kirinya diangkat ke
arah ayahnya, bibirnya berdarah dan matanya terbelalak."Ayah...."!!?" terkandung penasaran,
keheranan dan kekagetan dalam suara itu.
Melihat keadaan Eng Eng, Siangkoan Kok bukan mereda kemarahannya, me-lainkan menjadi
semakin marah karena tangkisan puterinya tadi dianggapnya sebagai perlawanan.
"Engkau memang patut dibunuh!" ben-taknya lagi dan dia sudah mencabut pe-dangnya,
menerjang ke depan dan meng-ayun pedangnya untuk memenggal leher Eng Eng yang masih
bertopang pada sikunya. "Singgg....! Tranggg....!!" Pedangnya tertangkis pedang lain dan dia cepat meloncat ke
belakang, mukanya merah sekali ketika dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah
isterinya sendiri, Lauw Cu Si! Wanita cantik itu berdiri dengan pedang di tangan, dan dengan
mata mencorong ia menghadapi suaminya.
"Engkau harus melangkahi mayatku dulu kalau hendak membunuhnya!" kata-nya, suaranya
tenang akan tetapi mengandung ancaman yang mengerikan. Ka-lau saja yang menantang itu
orang lain, tanpa banyak cakap lagi tentu Siangkoan Kok akan membunuhnya. Akan tetapi,
isterinya adalah keturunan Beng-kauw. Biarpun Beng-kauw telah hancur, namun di dunia
persilatan masih terdapat ba-nyak sekali bekas tokoh Beng-kauw yang lihai sekali. Kalau dia
membunuh isteri-nya, apalagi tanpa sebab yang kuat, ten-tu dia akan berhadapan dengan
banyak musuh yang amat berbahaya dan ini ber-arti akan melemahkan Pao-beng-pai. Melihat
keraguan ayahnya, Eng Eng yang masih merasa sesak dadanya dan kini sudah bangkit duduk
berkata memelas. "Ayah, bukankah aku ini anakmu, darah-dagingmu" Seekor binatang buas sekalipun tidak
akan membunuh anak sendiri...."
"Dia bukan ayahmu! Engkau bukan anaknya!" Tiba-tiba Lauw Cu Si berkata dan wajah Eng
Eng seketika pucat sekali, matanya terbelalak dan hampir ia jatuh pingsan.
"Ibu.... dia....dia bukan ayahku....?" Ia berbisik-bisik berulang-ulang. Ibunya sudah
berlutut dan merangkulnya.
"Tenanglah, tidak akan ada manusia di dunia ini dapat membunuhmu tanpa melangkahi
mayatku!" kata ibu itu sambil merangkul puterinya dan memandang suaminya dengan sinar
mata menantang. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
116 Siangkoan Kok menjadi merah sekali mukanya. "Baik, kalian ibu dan anak memang
jahanam! Memang kau bukan anakku! Ibumu menjadi isteriku telah membawa engkau!
Seorang gadis telah mempunyai anak tanpa ayah. Huh, perempuan macam apa itu! Dan
sekarang, kalian hendak mengkhianati aku!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok
me-nyarungkan pedangnya lalu hendak me-langkah keluar. Akan tetapi dia melihat Sui Lan
yang masih berlutut dengan mu-ka pucat dan baju robek.
"Engkau juga mengkhianatiku. Mesti-nya engkau kubunuh! Akan tetapi, aku tidak
membunuhmu, dan mulai sekarang, engkau menggantikan perempuan laknat itu dan
melayaniku sebagai isteriku!" Sekali tangannya bergerak dia telah me-nyambar tubuh Sui Lan
dan memondong-nya keluar dari kamar itu."Tidak, Suhu....! Jangan, Suhu....!
Tidaaaaakkk....!" Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi Siangkoan Kok tidak peduli dan
melangkah lebar menuju ke kamarnya sendiri, menutupkan daun pintu dengan keras dan
tangis Sui Lan makin sayup.
"Ibu.... ahhh, Ibu.... aku harus me-nolong sumoi...." Eng Eng mencoba un-tuk bangkit berdiri,
akan tetapi ia ter-huyung dan jatuh ke dalam rangkulan ibunya.
"Hemmm, apa yang dapat kaulakukan, Eng Eng" Mari, kurawat lukamu, kita masuk
kamarmu. Aku tidak sudi lagi memasuki kamar yang tadinya menjadi kamar kami itu. Aku
pindah ke kamar-mu."
"Tapi, Ibu....! Kasihan Sui Lan. Ibu, tolonglah sumoi. Setidaknya, ayah.... ah, suami Ibu
masih memandang muka Ibu. Tolonglah, cegahlah agar sumoi tidak men-jadi korban."
Ibunya menggoyang kedua pundak, sikapnya acuh saja. Ia adalah seorang bekas tokoh besar
Beng-kauw, perkumpul-an sesat. Ia adalah seorang tokoh sesat sehingga peristiwa seperti itu
tidak ada artinya baginya. Ia tidak peduli seujung rambut pun.
"Tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia hendak membunuhmu, baru aku bangkit.
Akan tetapi Sui Lan" Huh, aku tahu bahwa sudah lama Siang-koan Kok memandang
kepadanya penuh berahi. Agaknya sekarang ini kesempatan baginya. Sui Lan bersalah, kalau
aku mencegahnya sekalipun, tentu ia akan dibunuh gurunya. Biarlah, jangan ambil peduli!"
Ibu itu menarik puterinya ke kamar Eng Eng yang berada agak jauh di samping kiri.
Eng Eng menangis karena merasa tidak berdaya. "Lebih baik ia mati.... lebih baik ia mati...."
Ia berulang-ulang berbisik, akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya dan membawanya ke
kamar. Eng Eng mencoba untuk mengusir bayangan sumoinya yang meronta dalam pondongan pria
yang selama ini diang-gapnya ayahnya, ditaatinya dan disayang-nya.
"Ibu, kenapa selama ini Ibu tidak pernah memberi tahu kepadaku bahwa dia itu bukan
ayahku?" tanya Eng Eng ketika ibunya memeriksa tubuhnya, lalu menyalurkan tenaga sinkang untuk me-nyembuhkan luka di dalam tubuhnya ka-rena terguncang hawa pukulan
Siangkoan Kok yang kuat. Kemudian ia pun minum obat yang diberikan ibunya. Setelah
pu-terinya menelan obat, barulah ia menjawab.
"Untuk apa" Selama ini dia menya-yangmu seperti anak sendiri. Baru se-telah kalian
bertentangan dalam urusan gerakan Pao-beng-pai, dia hampir mem-bunuhmu. Engkau masih
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
117 terlalu kecil ketika aku menjadi isterinya, maka ku-pikir sebaiknya tidak perlu kau tahu bahwa
dia bukan ayahmu, sampai tadi ketika dia hampir membunuhmu."
"Kalau begitu.... nama keluargaku bukan Siangkoan?"
"Tentu saja bukan!"
"Lalu siapa" Siapakah nama ayah kandungku dan di mana dia, Ibu?"
"Hemmm, dia sudah mati. Kalau eng-kau tidak suka nama marga Siangkoan boleh kaupakai
nama keluargaku, yaitu Lauw. Namaku Lauw Cu Si dan kalau engkau tidak suka nama
Siangkoan, bo-leh kauganti Lauw, jadi namamu Lauw Eng."
"Tapi, siapa nama ayah kandungku, Ibu" Aku ingin menggunakan nama mar-ganya!"
"Sudahlah aku tidak mau bicara ten-tang dia. Aku tidak suka mengingatnya!" Suara wanita
itu mulai terdengar ketus sehingga Eng Eng merasa heran sekali.
"Akan tetapi, kenapa, Ibu" Kalau ayah kandungku sudah mati, kenapa Ibu tidak mau
memberitahukan namanya" Dan di mana kuburannya" Aku ingin bersembahyang di depan
kuburannya." "Cukup! Aku tidak sudi menyebut namanya. Aku sudah lupa namanya. Aku benci
padanya!!" Suara itu semakin galak.
Eng Eng terkejut dan semakin heran. "Tapi, dia sudah mati, Ibu...."
"Dia sudah mati atau masih hidup, aku paling benci padanya, sudah, kalau engkau bicara
tentang dia lagi, aku akan marah sekali!"
Eng Eng tidak berani melanjutkan. Dia sudah kehilangan ayahnya, atau orang yang selama
ini dianggap ayahnya yang disayangnya dan ditaatinya dan kini dia tidak ingin kehilangan
ibunya pula. Pasti terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang amat menyakitkan hati ibunya
yang telah dilakukan ayah kandungnya maka ibunya begitu membencinya setengah mati.
Ka-lau benar demikian, berarti ayah kan-dungnya telah melakukan sesuatu yang amat jahat.
Hatinya terasa perih dan nyeri sekali. Orang yang selama ini di-anggap ayahnya sendiri akan
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi ter-nyata hanya ayah tiri itu seorang jahat, dan ayah kandungnya sendiri pun dahulu-nya
orang jahat. Ketika ia terkenang kepada Pangeran Cia Sun, Eng Eng me-rasa jantungnya
seperti ditusuk. Ia me-rasa rendah diri.
*** Dua orang pemuda itu berhasil me-ninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang
berada di bagian barat Kwi--san (Bukit Iblis), bahkan turun dari bukit itu dan setelah jauh,
menjelang tengahari, mereka duduk beristirahat di bawah po-hon besar dalam sebuah hutan
kecil yang sunyi. Melihat betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han berkata, "Mengapa eng-kau kelihatan
murung, Cia-te" Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena telah terhindar dari ancaman
maut di sana?" Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
118 Pangeran itu memendang kakak angkatnya. "Yo-twako, aku takut. Aku kha-watir sekali apa
yang akan terjadi de-ngan Eng-moi. Aku amat mencintanya...."
Yo Han tersenyum. "Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam
tahanan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama sekali
tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah terbebas
dari bahaya, engkau malah ta-kut."
Cia Sun menghela napas panjang. "Biasanya aku tidak pernah takut, Yo--twako. Akan tetapi
sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menghilangkan
perasa-an takut atau gelisah ini."
"Tidak ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri, yang
ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul kare-na ulah pikiran, dan
keinginan menghi-langkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran kita bekerja,
maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbul-kan rasa takut, duka, dan sebagainya. Namun,
kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha melenyapkan, akan mendatangkan
perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan sendiri-nya takut pun tidak nampak
bekasnya." Apa yang dikatakan Yo Han bukan teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami sendiri
oleh pemuda itu. Takut bersumber dari pikiran, dan pikiran ber-gelimang nafsu, membentuk
aku. Keakuan inilah yang menjadi sumber segala pe-rasaan. Aku terancam, pikiran
membayangkan segala hal buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah takut. Aku yang
mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita selalu ingin senang,
tidak mau susah, maka membayangkan kesusahan yang akan menimpa diri, menimbulkan
rasa takut. Takut adalah ulah pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi,
membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa kita. Yang sehat takut sakit, kalau sudah
datang sakit, bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan mati, lalu takut akan keadaan sesudah
mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang belum terjadi, itulah sebab rasa takut.
Kalau pikiran tidak membayangkan hal--hal yang belum terjadi, takut pun tidak ada.
Iblis menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Nafsu sesung-guhnya
merupakan anugerah Tuhan, di-sertakan kepada kita sejak kita lahir. Nafsu diikutsertakan
untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam kehidupan di dunia
lain. Tu-han Maha Murah, Tuhan Maha Asih. De-ngan memiliki nafsu, kita dapat menik-mati
kehidupan di dunia ini melalui pan-ca-indera kita, melalui semua alat tubuh kita lahir batin.
Iblis melihat ketergan-tungan kita kepada nafsu, memperguna-kan nafsu untuk menyeret kita
sehingga kita bukan lagi memperalat dan memper-budak nafsu, melainkan kita yang
diper-alat dan diperbudak, dan kalau sudah begitu, kita tidak berdaya, menjadi per-mainan
nafsu yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi seperti kanak-kanak yang
diberi makanan enak, tak mengenal batas makan sebanyaknya untuk kemudian menderita
sakit yang menyengsarakan. Kalau sudah menderita akibat menuruti nafsu, barulah timbul
penyesalan, dan alat lain dalam tubuh memrotes, akal sehat melihat betapa merugikan dan
tidak menyenangkan aki-bat dari menuruti dorongan nafsu tadi. Akan tetapi, usaha
menghentikan penga-ruh nafsu itu takkan berhasil, atau sukar sekali mendatangkan hasil.
Usaha itu da-tangnya dari hati akal pikiran pula, padahal hati akal pikiran sudah bergelimang
nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniada-kan nafsu, atau nafsu mengalahkan diri-nya
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
119 sendiri" Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah dipengaruhi nafsu daya rendah itu
membela pekerjaan naf-su.
Contohnya banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita
ini. Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar" Adakah seorang
pun pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk" Adakah seorang koruptor yang tidak
tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk" Se-mua tahu belaka! Seperti contoh ter-dekat dan
teringan, adakah seorang pun perokok atau pemabuk yang tidak tahu bahwa merokok atau
bermabukan itu tidak baik" Tentu tidak ada! Setiap orang tahu, akan tetapi apa daya"
Pengetahuan ini tidak mampu menghentikan ikatan pengaruh nafsu. Yang berjudi, walau tahu
benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu menghentikan kebiasaannya ber-judi!
Demikian pula dengan perokok, pencuri, koruptor dan sebagainya! Kenapa begitu" Karena
pengetahuan itu ada di pikiran, dan pikirannya pun sudah ber-gelimang nafsu. Bahkan hati
akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan-perbuatan itu. Seorang
pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa dia men-curi karena terpaksa, karena tidak ada
pekerjaan, karena ingin menghidupi ke-luarga, dan sebagainya. Seorang koruptor dibela oleh
Lencana Pembunuh Naga 11 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Riwayat Lie Bouw Pek 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama