Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede Bagian 2
secara asal-asalan kini harus bertindak hatihati. Pertama dia tidak ingin mendapat cidera ,
apalagi tertusuk tombak. Kedua, jika menghadapi secara sungguhan dan membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia
melukai tiga bocah yang bersikap tegas tapi
tetap bersikap dengan segala kelucuannya
sebagai anak-anak.
Setelah mengelak kian kemari akhirnya
Wiro dapat akal. Cara terbaik menghadapi
ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka
terlebih dahulu. Maka Wiro pun mempercepat
gerakannya. Namun seolah-olah tahu apa yang ada
dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah
itu pergunakan tameng di tangan kiri masingmasing untuk melindungi diri. Karena jengkel
akhirnya Wiro memutuskan untuk menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis
itu. Hanya saja sebelum hal itu sempat
dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar
dari tiga lobang di tanah batu kapur.
"Prajurit-prajuritku!
Cukup sudah sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu
itu kedepanku!"
Serta-merta tiga anak kecil itu melompat
keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya
tegak membentuk barisan dan menjura kepada
Wiro Sableng. "Ah! Pertunjukan atau sandiwara apa lagi
yang hendak kalian lakukan!" ujar Wiro sambil
usap-usap luka di pipinya.
Si gadis kecil menjawab mewakili kawankawannya. "Junjungan
kami ternyata bersedia menemui paman raden. Silahkan mengikuti
kami....."
Wiro Sableng karuan saja jadi tertawa
terbahak ketika dirinya dipanggil dengan sebutan paman raden. Sementara itu dua bocah
lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke
dalam dua lobang di kiri kanan. Si gadis kecil
menunjuk ke lobang yang di tengah seraya
berkata dengan sikap hormat: "Silahkan paman
raden. Kita masuk lewat lobang itu..."
"Lewat lobang sekecil itu" Dan masuk ke
mana?" tanya Wiro heran.
"Lobangnya tidak kecil!" jawab si gadis.
"Lihat!" Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran
lobang ditusuk-tusuk berulang kali hingga
lobang itu menjadi besar dan dapat dimasuki
ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika
melihat Wiro masih tegak terheran-heran si
gadis berkata: "Bukankah paman raden hendak
bertemu junjungan kami. Resi Mandra Botama" Nah, mau menunggu apa lagi?"
"Hemmm... Jadi kau dan dua kawanmu tadi
itu adalah prajurit-prajurit sang resi." Wiro
manggut-manggut.
"Baiklah. Aku percaya padamu." Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini
melompat turun ke dalam lobang. Begitu
kakinya menginjak tanah lobang, tubuhnya
langsung merosot meluncur. Ternyata bagian
dalam lobang itu seperti sebuah tabung
peluncur yang bagian bawah dinding- dindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro
tidak dapat melihat apa-apa. Dia mendengar,
gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya.
Terowongan di bawah tanah itu cukup
panjang. Beberapa saat kemudian Wiro melihat
sinar terang di bawah sana. Tak lama setelah
itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu
aneh lalu merosot terjun memasuki sebuah
ruangan besar berwarna putih yang diterangi
banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke
dalam ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi,
pintu di belakangnya terhempas keras dan
menutup. 7 DUA ANAK lelak menyerang Wiro ternyata
sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila
dihadapan seorang kakek bermuka kelimis
lonjong dengan janggut pendek di dagunya.
Orang tua ini mengenakan pakaian hitam,
berikat kepala dan berikat pinggang kain putih.
Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang
panjang masih berwarna hitam. Kakek ini
duduk bersila diatas sehelai tikar kulit harimau
yang kepalanya telah dikeringkan dan menghadap ke arah Wiro dengan mulut
menganga. Di belakangnya tampak sebuah
pembaringan dimana tampak terbujur sesosok
tubuh yang bukan lain adalah tubuh Nawang
Suri. Gadis cilik dibelakang Wiro cepat melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk
bersila disamping dua kawannya.
"Junjungan,
tamu sudah kami antar kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di
ruangan ini atau menunggu di taman..."
"Taman...?"
Wiro memandang heran berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan
dibawa h tanah itu" Dan dia tidak melihat
pentu lain selain tiga pintu yang berhubungan
dengan tiga terowongan jalan masuk tadi.
Sang junjungan menganggukkan kepala
pada gadis cilik itu tetapi sepasang matanya
tetap mengarah pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan
sangat berwibawa, membuat pendekar kita
merasa risih. "Kalian tetap berada disini sampai urusan
kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian
pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat
pada tamu kita untuk duduk dihadapanku.
Tiga anak itu beringsut ke bagian kanan
ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi
isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih
dekat kehadapannya. Meski merasa tidak enak,
Wiro menurut saja dan berkata: "Nah orang tua.
Siapapun kau adanya, saya sudah datang
memenuhi permintaanmu. Harap terang kan
segala maksud."
Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit
dan sekejap saja. Sesaat kemudian wajahnya
kembali serius.
"Kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri
lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari
pembicaraan kasak kusuk orang-orang kerajaan
itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku di
luar lobang..."
"Saya tahu kau adalah Resi Mandra
Botama. Tak lebih dari itu." Menjawab Wiro.
Si orang tua mengangguk. Lalu tanpa
diminta dia menjelaskan "Dulu aku adalah
pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat
itu adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telah
beberapa kali kau selamatkan.
Untuk semua perbuatanmu itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Kelak hari
ini juga akan kubalas semua jerih payahmu...."
"Ah, apapun yang saya lakukan tidak ada
niat untuk minta balas jasa..." jawab Wiro. Dia
memanjangkan leher memandang ke arah
pembaringan. "Gadis itu...bagaimana
keadaannya?"
"Tangannya yang patah sudah dibalut Luka
dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling
tidak membutuhkan waktu setengah bulan
untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga
bulan untuk menyambung kembali tulang
lengan yang patah...Kini dia tertidur nyenyak".
"Kasihan dia. Saya sudah berkali-kali
menasihatkan agar jangan berlaku nekad..."
"Gadis itu tidak nekad!" memotong Resi
Mandra Botama. "Apa yang diperlihatkannya
adalah satu keberanian sejati, jiwa satria
membela hak dan demi kewajiban!."
Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal
urusan orang-orang ini. Jalan pikiran mereka
jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru
berkata memberi pendapat.
"Saya tidak ingin mencampuri urusan
kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan.
Hanya saja kalau saya boleh memberikan
pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya
keliru, apapun yang hendak kalian lakukan
harus di piker masak-masak. Keadaan di luar
sana sudah sangat jauh berbeda. Kalian
berjuang, tapi perjuangan kalian akan sia-sia
karena kalian tidak ada beda dengan sebuah
perahu kecil menyongsong badai gelombang
yang dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di
lupakan saja dan memilih jalan hidup yang
tenang tentram ?"
Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera
pula wajahnya menunjukkan keseriusan kembali. "Pendapatmu mungkin benar. Tapi jangan
lupa badai gelombang yang bagaimanapun
besarnya suatu saat pasti akan reda. Dan saat
itulah yang kami tunggu untuk bergerak
kembali..."
"Berarti pertumpahan darah tak akan
pernah berhenti!" ujar Wiro pula.
"Itu memang sudah aturan kehidupan di
dunia..." menyahuti sang resi.
Wiro menggeleng.
"Kenapa kau menggeleng?"
"Manusia hadir di dunia ini untuk mengatur
dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!"
Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya
bergetar. "Resi, sebaiknya urusan itu tidak usah kita
bica-kan karena hanya akan mengundang
perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan
pikiranmu kau anggap betul, tak ada yang
melarangmu untuk
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan apa saja. Tentunya segala akibat dan tanggung jawab
berada di pundakmu. Sekarang mungkin kau
lebih baik menerangkan mengapa meminta saya
datang ke goa ini...."
"Pertama, seperti kukatakan tadi untuk
mengu capkan rasa terima kasih karena kau
telah menolong puteri raja kami Nawang Suri.
Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah
kau bersedia kawin dengan gadis itu?"
Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga
mendengar ucapan itu.
"Kau terkejut anak muda?" tanya si orang
tua. "Tentu saja," jawab Wiro. "Pertanyaanmu
gi...aneh!" Hampir saja pendekar ini hendak
mengucapkan kata gila.
Tapi sang resi langsung menyambung
dengan pertanyaan: "Apa yang menurutmu gila
atau aneh?"
"Bagaimana kau enak saja menanyakan hal
itu padahal kau bukan orang tua gadis itu..."
"Saat ini kedudukanku lebih kurang sama
dengan orang tuanya...."
"Lain dari pada itu, bagaimanapun juga
Nawang Suri adalah puteri raja sedangkan aku
hanya seorang pemuda gelandangan yang dicap
orang sinting dimana-mana.
Resi Mandra Botama tertawa lebar. Ini
pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa
demikian. Keduanya duduk terpisah lebih dari
tiga langkah. Tapi seperti bisa memulur
memanjang, tangan kana sang resi tahu-tahu
sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap
yang tampak ramah. Tapi sebaiknya Wiro
merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu
besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan
tenaga tubuhnya pasti sudah terbanting ke
lantai. Dia maklum kalau orang tengah
mengujinya "Anak muda apa bedanya puteri atau putera
raja dengan orang kebanyakan" Ingat, tadi kau
mengatakan bahwa kita lahir ke dunia untuk
mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia
mengatur kita. Nah bukankah itu cocok dengan
ujar-ujarmu itu...?"
"Mungkin tapi tidak untuk yang satu ini.
Segala sesuatunya tentu ada pengecualian.
Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani
menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf.
Kalau urusan sudah selesai saya mohon diri
Resi Mandra Botama menarik tangannya
dari bahu Wiro.
"Urusan yang satu itu kuanggap belum
selesai. Aku memberi waktu satu setengah
tahun padamu untuk memberikan jawaban..."
"Ah...kenapa
urusan jadi gila macam begini"!" membatin Wiro. Di depannya kembali
terdengar si orang tua berkata.
"Anak muda, sementara urusan perjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda
dulu, aku ada satu permintaan. Entah kau sudi
menolong atau tidak..."
"Apakah itu?"
"Keris Mustiko Geni," sahut sang tesi Kini
ha nya tinggal sarungnya saja yang ada pada
kami. Keris nya telah dirampas orang-orang
kerajaan. Dapatkah kau membantu mengembalikan senjata lambang tahta kerajaan
itu?" "Saya tidak dapat memastikan. Tapi jika itu
permintaanmu saya akan mencoba," jawab
Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.
"Kau sangat kesusu anak muda?" bertanya
Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri
dia tetap saja duduk di atas tikar kulit harimau.
"Maafkan, saya memang harus pergi. Saya
gembira bisa bertemu denganmu..."
"Jangan buru-buru pergi dulu, anak muda.
Ada sesuatu untukmu!"
"Resi, ingat, saya tidak meminta balas jasa
apa-apa. Saya tidak mengandung niat inginkan
pamrih..."
"Ini tak ada hubungan dengan soal kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini sematamata pemberian dariku karena aku suka
padamu..."
Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi
Mandra Botama mengeluarkan dua buah benda.
Benda-benda itu diletakkannya diatas kulit
harimau di hadapannya. Besarnya sekira
setelapak tangan, berbentuk bulat yang berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai
sudut runcing sebanyak tujuh buah. Satu
berwarna merah satu lagi berwarna putih.
"Ini adalah Sepasang Cakra Dewa." berkata
Resi itu. "Yang berwarna merah Cakra Jantan
dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh
mengambil yang merah
"Terima kasih Resi Mandra. Mohon maaf,
saya tak berani menerima pemberianmu..." kata
Wiro seraya membungkuk.
"Jangan membuat aku tersinggung anak
muda: Aku tidak bermaksud menyogokmu!"
Sang resi tampak agak marah.
"Saya tidak mengatakan demikian atau
bermaksud begitu," sahut Wiro.
"Cakra ini bukan senjata sembarangan. Bila
mengenai sasaran atau serangan meleset dia
akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya
memiliki racun mematikan yang tidak luntur
sampai seratus abad.
Ambillah yang merah ini. Aku berikan
dengan tulus ikhlas..."
Karena Wiro Sableng masih tak mau
menerima akhirnya Resi Mandra Botama menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri
dan melangkah mundur ke sudut ruangan.
"Kau akan saksikan kehebatan senjata ini,
anak muda!'" kata sang resi. Lalu sekali tangan
kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya
bergaung aneh. Terkejut mendapat serangan tak terduga itu
Wiro berseru kaget dan cepat-cepat rundukkan
kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat
putus rambut yang melingkar di bawah telinga
kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak
mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara
lalu membalik ke arah Resi Mandra Botama.
Orang tua ini cepat menangkapnya dan
memasukkannya kembali ke balik pakaiannya.
"Orang tua, kau hendak membunuhku..."
kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar
suaranya. Sang resi tertawa. Tidak mudah membunuh
pendekar sepertimu, anak muda," katanya. Lalu
dia memberi isyarat pada ketiga "prajuritnya".
Tiga anak kecil yang duduk di sebelah
kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke
dinding sebelah belakang. Menekan salah satu
bagian dinding. Secara aneh dinding itu
menguak ke samping. Sebuah pintu terbuka.
"Selamat jalan anak muda..." kata Resi
Mandra Botama. "Terima kasih Resi Mandra. Saya minta diri.
Sekali lagi terima kasih....."
Sebelum keluar dari ruangan itu Wiro
melangkah dulu mendekati pembaringan. Setelah menatap wajah Nawang Suri sebentar
lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu
dengan tersenyum lebar dia menegur tiga anak
itu. "Kalian bertiga benar-benar hebat. Aku
kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain
kali apakah mau meneruskan permainan di
lembah batu kapur tadi....?"
"Tentu saja paman raden. Asalkan junjungan kami memberi izin" jawab ketiga
anak itu berbarengan. Lalu mereka menekan
dinding belakang dan menutup kembali.
"Aneh... dunia ini memang penuh keanehan!" katanya pada diri sendiri. Ternyata
lobang kediaman Resi Mandra Botama di
sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang
subur. Jika orang berada di taman itu, tak
satupun yang bakal mengetahui bahwa pada
samping batu yang tertutup rumput terdapat
sebuah pintu rahasia. "Pantas orang-orang
Kerajaan tak pernah berhasil menemukan
tempat persembunyian ini..."
Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan
Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu
ditimang-timangnya. Beberapa belas langkah
dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa pikir
panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke
arah pohon. Menancap tepat di pertengahan
batang. Begitu menancap secara aneh senjata
ini melejit keluar dan kembali ke arah Wiro.
Cepat-cepat Wiro menangkap benda itu, memperhatikannya
penuh kagum lalu menyimpannya baik-baik kembali. Ketika dia
hendak melangkah pergi, sekilas dia memandang lagi ke arah pohon yang tadi
ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding.
Seluruh pohon itu mulai dari batang sampai ke
daun dilihatnya berubah membiru! "Racun
ganas! Benar-benar ganas!" Pendekar 212
geleng-geleng kepala lalu tinggalkan tempat itu.
8 "Bagaimana keadaannya...?" tanya Ki Rawe
Jembor. Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan
gelengkan kepala. Wajahnya murung. "Saat ini
kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang
menembus tubuhnya tidak terbawa larut oleh
aliran darah sampai ke jantung. Kami
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan beberapa totokan.
Ki Rawe Jembor kepalkan tinju kanannya.
"Kalian bertiga harus menemukan jalan
menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang
bisa membantu jangan segan-segan minta
tolong!" "Akan kami perhatikan pesanmu itu,
Ki Rawe." "Apakah kalian ada melihat Raden Mas
Cokro Ningrat?"
Dua orang menggelengkan kepala. Orang
ketiga menjawab "Tidak."
"Baiklah. Rawat sobatku itu baik-baik.
Nanti aku segera kembali." Keluar dari kamar Ki
Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana
guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa
pasti orang itu tak ada di istana maka dia
segera menuju ke tempat kediamannya. Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada.
Ketika dia hendak meninggalkan tempat itu
seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi.
Sebelum Ki Rawe membentak orang ini sudah
bicara. "Saya diutus oleh Raden Cokro Ningrat.
Hulubalang diminta datang menemuinya di satu
tempat. Harap mengikuti saya...."
Pelipis Ki Rawe Jembor bergerak-gerak.
Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro
Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan
dalam keadaan negeri kacau seperti itu dia
memegang kendali tertinggi, namun masih ada
Patih Wulung Kerso atasannya.
"Ada keperluan apa Raden Cokro memanggil
aku" Dan mengapa ke satu tempat rahasia,
bukan ke istana?" bertanya Ki Rawe Jembor.
"Saya tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya
diperintahkan saja..."
"Baik, tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada
sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti kita
sama-sama menemui Raden Mas Cokro Ningrat.
"Tidak bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro
meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang
ju..." Plaak!! Satu tamparan mendarat di wajah penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua
giginya tanggal dan tubuhnya terpental dari
punggung kuda tunggangannya.
"Sekali lagi kau berani bicara sembrono,
kupatah-kan batang lehermu!!" sentak Ki Rawe
Jembor. Lalu dia berangkat kembali menuju
istana. Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti
sambil tiada hentinya mengeluh kesakitan.
Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat itu
juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke
istana. Dia memang tidak suka pada sang patih
namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja
membuat dia diam-diam merasa kawatir.
Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat
yang tahu-tahu kemudian mengirim seorang
utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini"
Ada satu lagi yang dikawatirkan hulubalang
tertinggi istana ini. Yaitu keselamatan Pangeran
Purbaya. Pangeran inilah satu-satunya yang
berhak dinobatkan jadi raja karena dia putra
tertua dari istri pertama Sri Baginda. Hanya
saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya
berjudi dan menyabung ayam sangat tidak
pantas bagi seorang caloan raja. Tapi siapa
pengganti yang lain" Belum lagi urusan
mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas
di tangan Nawang Suri. Sungguh banyak hal
yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu.
Disamping tanda tanya besar apakah bala
tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu
akan muncul kembali di bawah pimpinan
Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra
Botama" Lalu kalau pemuda sableng itu ikutikutan muncul suasana pasti bertambah tak
karuan. Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor
memerintahkan tiga puluh anggota pasukan
pengawal istana untuk mencari Pati Wulung
Kerso. Tak lama kemudian dia menerima kabar
sang patih ditemui telah jadi mayat dalam
kamar penyimpanan barang-barang dan senjata
pusaka istana. Ketika Ki Rawe Jembor datang
sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan,
hatinya tercekat. Sekujur tubuh dan wajah
Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman.
Siapapun yang membunuh patih kerajaan itu
pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni.
Karena hanya senjata itulah satu-satunya yang
memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja
dan Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan
bencana besar bagi Kerajaan!
Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe
Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang
berada dan menunggu di halaman istana. Dia
berpikir-pikir apakah akan menemui Kepala
Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran
Purbaya lebih dulu.
Akhirnya Ki Rawe Jembor memutuskan
untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran
ini berada di ruangan besar istana di mana
jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi
oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir,
pejabat tinggi istana termasuk putra dan
putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan
lima perwira mengawal ruangan ruangan besar
itu. Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang
kursi di mana Pangeran Purbaya duduk.
Mendengar bisikan orang tua itu pangeran
berdiri dan melangkah mengikuti. Dalam
sebuah kamar mereka mengadakan pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu
adalah niat Ki Jembor agar Pangeran Purbaya
segera dinobatkan menjadi raja sebelum Sri
Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga
pengumuman akan disampaikan ke seluruh
kerajaan dan upacara resmi tapi singkat akan
diadakan di depan jenazah Sri Baginda.
Pangeran Purbaya menyetujui usul Ki Rawe
Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar.
Pangeran Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe
mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar di
mana sebelumnya kedua orang itu berbicara
dengan ruangan besar di mana jenazah Sri
Baginda disemayamkan berjarak sekitar dua
ratus langkah. Mereka harus melewati gang
yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan
baru sampai di ruangan besar.
Sesaat sebelum mencapai ujung gang tibatiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka.
Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng
kain menghambur keluar. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah senjata yang secara aneh
pula dibungkus dengan kain. Dengan senjata
terbungkus ini orang tersebut langsung menyerang Pangeran Purbaya!.
Seperti dituturkan. Pangeran Purbaya bukanlah seorang yang cerdas. Selain itu dalam
usia muda 19 tahun dia tidak pula memiliki
kepandaian silat, apalagi yang namanya tenaga
dalam atau kesaktian. Karenanya ketika mendapat serangan itu dia hanya bisa berseru
kaget, bersurut mundur sambil dekap-kan
kedua tangan di muka dada.
"Bangsat kesasar!" teriak Ki Rawe Jembor.
Dia melompat ke depan menyergap penyerang
bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi.
Si penyerang seolah-olah tersentak kaget
melihat Hulubalang istana kelas satu ada di
situ. Serangannya terhadap Pangeran Purbaya
terpaksa dibatalkan dan kini dia berusaha
menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang
dilancarkan Ki Rawe Jembor. Begitu berhasil
menghindar si penyerang membalikkan diri,
masuk kembali ke dalam kamar dari mana tadi
dia keluar dan membantingkan pintu di
belakangnya. Ki Rawe Jembor mengejar sambil
lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong.
Pintu jati yang kokoh itu hancur berkepingkeping. Ketika masuk ke dalam kamar, ternyata
kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan
jendela terpentang lebar. Ki Rawe Jembor
mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya
kegelapan yang menyambut.
"Hemm..." bergumam Ki Rawe Jembor.
"Seseorang
menginginkah kematian diri Pangeran Purbaya. Keadaan di istana ini
semakin tidak karuan. Kutogede jelas-jelas
dalam cengkaman bencana....."
Tanpa menutup jendela itu kembali, orang
tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran
Purbaya duduk tersandar di lantai. Mukanya
masih pucat. Ki Rawe tolong membangunkan
sang pangeran lalu mengantarkannya kembali
ke ruang besar tempat Sri Baginda disemayamkan. Setelah itu dia memanggil
perwira-perwira yang bertugas, menceritakan
apa yang barusan terjadi dan mengatakan
sementara riaden Cokro Ningrat belum diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan
mengambil alih tugas pimpinan sebagai Kepala
Pasukan Kerajaan. Dia memerintahkan penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat
ganda. Keselamatan keluarga istana harus
diperhatikan. "Aku akan meninggalkan istana barang
beberapa lama. Kalian atur persiapan penobatan Pangeran Purbaya, termasuk pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat.
Sebentar lagi pagi akan tiba. Sebelum matahari
naik aku pasti sudah kembali!" Begitu Ki Rawe
Jembor memberikan pesan, lalu lewat jalan
samping dia pergi menemui utusan Cokro
Ningrat yang menunggunya sejak tadi.
Di sebelah timur langit mulai tampak
terang-terang tanah tapi di tepi hutan yang
terletak di sebelah barat Kutogede keadaan
masih diselimuti kepekatan menghitam disertai
udara dingin yang masih mencucuk.
Tak lama
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki hutan, dalam kegelapan tampak sebuah rumah kayu. Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas
tampak gelap gulita tapi cii sebelah bawah ada
sinar lampu menyeruak di antara celah-celah
dinding papan. Ki Rawe Jembor berpaling pada orang di
sampingnya. "Raden Cokro menungguku di bangunan
itu?" tanya si orang tua.
Penunggang kuda disebelahnya mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu
tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki
Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga
tak dapat bicara, tak dapat bergerak. Ki Rawe
lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke dalam
semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak
bertuan lagi itu. Dia sendiri kemudian turun
dari kuda, menyelinap dibalik-balik pepohonan
dan semak belukar, bergerak mendekati bangunan bertingkat dua.
Tinggal sejarak enam langkah dari dinding
bangunan sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat
atas berdesing belasan anak panah.
Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia
cepat menyelinap ke balik pohon besar.
"Kurang ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengaja
hendak menjebak dan membunuhku di tempat
ini! Kau tunggulah! Lehermu akan kupatahkan
lebih dahulu!" Habis memaki dalam hati begitu
hulubalang kelas satu ini berteriak; "Cokro
Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan
keluarlah! Tunjukkan dirimu dan katakan apa
maumu sebenarnya!"
Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tibatiba di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada
gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di
tempat itu. Menyusul terdengar seruan bertanya. "Siapa di luar sana"!"
"Aku Ki Rawe Jembor! Hulubalang Pertama
Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang
kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang
jebakan!" "Ah...!" terdengar suara kaget dari dalam
bangunan. "Kami kesalahan! Kami kira kau
seorang penyusup!"
Pintu rumah terpentang. Sesosok tubuh
tampak tegak di ambang pintu dan melangkah
keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali.
Orang itu adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil
menyiapkan pukulan tangan kosong yang dialiri
tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar
dari balik pohon. Dengan hati-hati dia menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke
arahnya. "Cokro! Mengapa Kau menyuruh orangorang di atas sana memanahku"!" tanya Ki
Rawe Jembor begitu tegak berhadap-hadapan
dengan Raden Cokro.
9 KAMI KELIRU!"Sahut Raden Cokro Ningrat.
"Mohon maafmu kangmas Jembor. Sebelumnya aku terlah memberi perintah
menyerang siapa saja yang mendekati tempat
ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku
kau dan utusanku itu. Ternyata kau muncul
sendirian. Kau tak apa-apa" Heran, apa
utusanku tidak menemuimu?"
"Orang itu memang menemuiku...."
"Nah, dimana dia sekarang?"
"Sudah kulemparkan ke dalam semak di
belakang sana!" sahut Ki Rawe Jembor. "Raden
Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak
tandukmu ini. Ada apa sebenarnya"!"
"Mari kita bicara di dalam kangmas
Jembor," sahut Raden Cokro. Lalu tanpa
menunggu jawaban lagi dia membalikkan tubuh
dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Meski hatinya semakin jengkel namun Ki
Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala Pasukan itu. Tapi tangan kanannya diam-diam
tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh
sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak
bermata tiga yang tersembunyi di balik pakaiannya. Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro
menutupkan pintu. Ki Rawe Jembor memandang sekeliling ruangan. Di situ ada
sebuah meja dengan lampu minyak besar di
atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker
yang duduk di belakang meja. Sekali lihat saja
Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga
manusia itu. Yang pertama seorang kakek bermuka tirus.
Sebelah mukanya berwarna putih sebelah
lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat
tumpahan air panas. Namanya Ronggo Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat
yang diam di Gunung Merbabu.
Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut
buncit. Mukanya bulat berminyak tertutup oleh
cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang
matanya sangat besar dan berwarna merah.
Kepalanya ditutup dengan kain warna merah.
Dia membawa senjata secara aneh. Senjatanya
yakni sebilah golok bermata dua, diikatkan ke
leher dan digantung seperti memakai kalung.
Inilah Warok Tumo Item, raja diraja kaum
perampok yang malang melintang di seantero
Jawa Tengah dan bermukim di sebuah hutan di
kaki tenggara Gunung Sumbing.
Lelaki ketiga bermuka bopeng. Kedua
matanya yang besar tampak menyeramkan
karena ada lapisan putih yang menutupi bagian
bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti
memiliki mata putih tanpa bola mata. Dia
mengenakan rompi tak berkancing hingga
dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi
bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di lehernya
tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari
tembaga di sepuh emas. Manusia satu ini
dikenal dengan julukan Lonceng Maut.
"Raden Cokro... tidak sangka kalau kau ter
nyata kenal dengan orang-orang ini," berkata Ki
Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak.
Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik.
"Bukan hanya kenal kangmas Jembor.
Justru mereka adalah kawan-kawanku sejak
lama. Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan
begitu para sobat?"
Warok Tumo Item menyeringai mendengar
ucapan Cokro Ningrat. Lonceng Maut mengangyuk. Sebaliknya Ronggo Sampenan
hanya diam saja.
"Tak usah sungkan-sungkan
kangmas Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam
ini kita akan mengadakan perundingan penting.
Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan harus
diambil cepat. Sebelum matahari muncul di
timur..." Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak
enak... Dia berkata: "Aku memang tak punya
waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke
Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana.
Banyak masalah yang harus kita pecahkan..."
"Kangmas Jembor betul. Banyak masalah di
istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah
yang kita hadapi saat ini justru paling penting.
Yang akan menetukan kelanjutan kehidupan
kerajaan....."
Hulubalang istana itu menatap paras Raden
Cokro sesaat. Lalu dia mengambil tempat duduk
di salah satu kursi yang kosong. Walaupun
matanya masih tetap menatap Raden Cokro
namun ekor matanya melirik ke sudut ruangan
di mana tergantung sehelai kain berwarna
gelap, berukuran pendek dan berbentuk aneh.
"Silahkan kau memberi keterangan akan
maksudmu Raden Cokro," kata Ki Rawe
Jembor. "Kangmas mengetahui, keadaan kerajaan
saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan
pemberontak berhasil kita hancurkan dan
Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya
tidak berhenti sampai di sana. Apalagi Nawang
Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup.
Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri
Baginda. Puncak kekuasaan tak ada yang
mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut
karut bencana besar akan muncul! Karena itu
perlu segera diangkat seorang pimpinan baru.
Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru..."
"Hal itu sudah kusadari benar Raden
Cokro," berkata Ki Rawe Jembor.
"Aku bersyukur dan merasa gembira kalau
kangmas menyadari hal itu. Karenanya, mengingat Keris Mustiko Geni berhasil kuamankan saat ini berada di tanganku, aku
tidak merasa sungkan untuk mengatakan
bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan
akan segera penobatan diriku sebagai raja...."
Ki Rawe Jembor terkejut bukan main
mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan
itu. Tapi orang tua yang cerdik ini tak mau
memperlihatkan rasa terkejutnya pada air
mukanya. "Kau tak memberi jawaban apa-apa kangmas..." berkata Cokro Ningrat seraya
melayangkan pandangan berarti pada Ronggo
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng
Maut. "Niatmu untuk mengatas namakan keselamatan kerajaan patut kupuji Raden
Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris Mustiko Geni
lambang tahta kerajaan ada di tanganmu,
namun menurut garis silsilah yang berhak
menjadi raja adalah Pangeran Purbaya..."
"Pangeran Purbaya"!"
Membuka mulut dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia
tertawa gelak-gelak. "Pemuda tolol berotak
miring itu hendak dijadikan raja" Bisa kiamat
Kutogede!"
"Kangmas Jembor, kau dengar sendiri
pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu
tidak cukup bagimu untuk menunjang diriku
jadi raja?"
"Lagi pula," ikut bicara si muka bopeng
Lonceng Maut. "Mengapa kita harus meributkan
soal silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan
kekuasaan raja lama dan mengangkat raja baru
soal keturunan hanyalah urusan orang tolol dan
gila..." "Betul sekali," kata Cokro Mingrat. "Aku
percaya kangmas Jembor akan berada di pihak
kami. Sebagai balas jasa, kelak jabatan Kepala
Pasukan Kerajaan akan kuberikan pada kangmas Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor
tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus
terang dia tidak suka sejak lama terhadap
Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa
kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu
sehubungan dengan kematian Patih Wulung
Kerso dan adanya usaha penyergapan dan
pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya.
"Apakah Raden mengetahui kalau Patih
Wulung Kerso telah meninggal dunia?"
"Astaga" Bagaimana hal itu bisa terjadi"!"
Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe
Jembor tahu betul itu adalah satu kepurapuraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya
tampak tenang-tenang saja.
"Dia tewas dibunuh seseorang yang mempergunakan senjata sakti!"
"Pembunuhan lagi!" seru Raden Cokro
seraya berdiri dan menggebrak meja dengan
tangan kirinya. "Apakah sudah diketahui siapa
pembunuhnya?"
"Saat ini memang belum. Tapi nanti juga
bakal ketahuan!" sahut Ki Rawe Jembor.
"Nah, kangmas lihat sendiri betapa kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas
ditangani bencana besar akan menimpa Kutogede..."
"Bencana sebenarnya sudah jatuh. Hanya
kiamat saja yang belum!" menyahuti Ki Rawe
Jembor. "Kalau begitu kangmas saya mintakan
tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan
penobatan saya besok pagi. Upacara pun akan
kuserahkan padamu untuk mengaturnya."
"Hal itu tak mungkin dilakukan Raden.
Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah
dinobatkan jadi raja."
Raden Cokro Ningrat terkejut. Kali ini
benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari
kursinya. "Kalau begitu..." terdengar suara Lonceng
Maut berkata sambil permainkan lonceng
kuning yang tergantung di lehernya. "Sudah
saatnya kita harus menyerbu istana sekarang
juga!" "Aku harap hal itu tidak kalian lakukan!"
kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya
berdiri dan melangkah ke pintu.
"Tunggu dulu, sampean mau pergi ke
mana?" bertanya Ronggo Sampenan.
"Aku akan kembali ke Kutogede."
"Ah, jangan membuat tiga sahabat kita ini
tersinggung kangmas Jembor!" ujar Raden
Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah
dibuka Hulubalang istana itu. Lonceng Maut,
Ronggo Sampenan dan Warok Tumo Item
serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu
bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri
di sekitar Ki Rowo Jember jelas mengambil
sikap mengurung.
"Kurasa aku tidak menyinggung siapapun.
Aku hanya minta jangan ada yang melakukan
hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan
mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus
padamu Raden Cokro, kuharap kau suka
mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku.
Senjata itu harus berada di istana."
Raden Cokro Ningrat tersenyum.
"Jika begitu permintaan kangmas, baiklah!"
katanya. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini
terbungkus kain. Melihat hal ini berubalah
paras Ki Rawe Jembor.
"Jadi, kaulah rupanya yang malam tadi
mencoba menyergap dan membunuh Pangeran '
Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu
juga yang kau pergunakan" Sengaja keris sakti
kau bungkus dalam kain agar tidak mudah
diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!"
"Pikiranmu cerdik, matamu sungguh tajam.
Sudah mengetahui begitu mengapa masih
bersikap tidak bersahabat"!" berkata Lonceng
Maut. "Kalau kami tidak segan-segan membunuh
seorang calon raja apa artinya nyawa manusia
seperti-mu!" menimpali dukun jahat Ronggo
Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau
dari dalam kantong pakaiannya dan mulai
mengunyahnya. Ki Rawe Jembor maklum kalau
orang ini memang suka mengunyah tembakau.
Tapi dia juga tahu benar bahwa tembakau itu
kerap digunakan sebagai senjata. Bila di
sembur dapat menghancurkan bagian tubuh
manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan
buta. "Kangmas Ki Rawe Jembor, kuminta agar
kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke
istana." Raden Cokro berkata sedang tangannya
menahan daun pintu hingga Hulubalang utama
kerajaan itu tak dapat membukanya.
"Kita berada di pihak yang berlainan Raden.
Beri aku jalan. Buka pintu itu..."
Melihat Ki Rawe Jembor sukar dibujuk
maka Lonceng Maut membuka mulut: "Tak
perlu kita meminta seperti pengemis pada
manusia tak berguna ini!"
"Betul!"
Menimpali Ronggo Sampenan. "Jikadia tak mau tinggal bersama kita, biar
nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!"
Habis berkata begitu dukun jahat ini
semburkan tembakau di dalam mulutnya ke
arah muka Ki Rawe Jembor. Hulubalang utama
yang telah berjaga-jaga ini dengan sigap
rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat
di atas kepalanya, menancap di dinding papan.
Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan
yang sejak tadi sudah dialiri tenaga dalam
dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan.
Meleset dan angin pukulan melabrak meja
hingga terguling dan ambruk berantakan.
Lampu minyak di atas meja ikut terbalik segera
membentuk kobaran api. Perkelahian pecah
sementar bangunan di mana mereka berada
mulai ikut terbakar.
Bagaimanapun hebatnya Ki Rawe Jembor
namun menghadapi empat lawan tangguh
begitu rupa, dalam keadaan tubuh penuh luka,
memar dan menghitam akibat racun Keris
Mustiko Geni, akhirnya dia menemui ajal.
Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran
api yang memusnahkan seluruh bangunan kayu
itu. 10 MENJELANG pagi. Sang surya masih belum
terlihat menyembul meski langit di sebelah
timur mulai tampak kemerahan. Di ruangan
besar istana satu upacara besar siap dilangsungkan. Yakni penobatan Pangeran Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula
dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah
Sri Baginda dan satunya lagi jenazah Patih
Wulung Kerso. Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi
besar berukir kepala harimau pada dua
lengannya dan burung garuda pada sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya tegak
mengapit masing-masing seorang perwira berpakaian kebesaran perang, lengkap dengan
tameng dan tombak sedang pedang tersisip di
pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret
para pejabat dan petinggi kerajaan. Sedang di
belakang kursi Pangeran Purbaya duduk ibundanya, saudara-saudaranya, para istri dan
selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi
serombongan pemain gamelan menembangkan
lagu-lagu sedih.
Suara gamelan berangsur perlahan dan
akhirnya sirna ketika dari sebuah pintu muncul
keluar seorang gadis membawa baki emas,
melangkah setindak demi setindak menuku
tempat duduk Pangeran Purbaya. Di sampingnya mengawal empat prajurit. Menyusul dua orang tua berjubah putih.
Keduanya adalah pejabat-pejabat Istana paling
tua yang di percayakan utuk memimpin
upacara penobatan itu.
Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehelai kain merah putih terlipat rapi yang
berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di
atas kain inilah terletak mahkota emas bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di
sudut ruangan menyerukan kata-kata puji
syukur dan Tuhan Yang Maha Esa.
Gadis pembawa mahkota sampai di hadapan Pangeran Purbaya. Bersama seluruh
rombongan dia menjura membungkukkan diri
sementara semua yang hadir di ruangan itu
telah berdiri. Dua orang tua berjubah putih maju ke
depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan
tangan menyentuh mahkota sedang yang
sebelah kiri mendongak seraya berkata lantang:
"Segala puji syukur untuk Allah Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan
Yang mempunyai semua kekuasaan di
Kata-kata itu terputus mendadak karena
dari ruangan sebelah depan istana tiba-tiba
menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu
berkelebat cepat dan tanpa dapat dicegah
langsung menyambar mahkota yang ada di atas
baki emas. Gadis pembawa baki terpekik dan
terdorong jatuh. Dua kakek berjuah ikut
terpelanting. Tentu saja suasan menjadi gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di
kursi besar. Dua orang perwira yang mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang
ke depan. Salah seorang ayunkan tombak
sambil membentak : "Rampok-rampok dari
mana yang berani berbuat kurang ajar!
Menganggu jalannya upcara penobatan!".
"Trang..."
Tusukan tombak tertahan oleh sambaran
golok bermata dua. Tombak itu patah dua
sedang sang perwira kemudian terdengar
menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini
menancap di perutnya!
"Kami bukan perampok!" salah satu dari
tiga orang yang menerobos masuk berteriak
seraya melompat ke atas sebuah meja. "Kalian
semua dengar! Kami datang untuk menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh
berada di mana-mana. Acara penobatan ini
tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja
bukan Pangeran Purbaya! Siapa yang berani
menantang nasibnya akan sama dengan perwira
itu!" Sesaat suasana menjadi hening seperti di
pekuburan. Ketegangan menggantung di udara.
Tapi hanya sesaat. Suasana gempar tak
terkendalikan lagi. Beberapa prajurit dan
perwira-perwira istana coba menyerbu. Tapi siasia. Sebagian orang yang hadir di tempat itu
menyingkir dengan suara gaduh. Belasan
pejabat ikut menjauh. Orang-orang perempuan
termasuk ibunda Pangeran Purbaya dilarikan ke
ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil
menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari
ruangan. Orang yang tegak di atas meja kembali
berteriak. "Kalian semua tetap di tempat!
Kalian..."
Sebatang anak panah melesat dari arah
jendela di samping kanan, mengarah ke dada
orang yang tegak di atas meja. Namun dengan
hebat sekali dia menggerakkan tangan. Anak
panah itu mencelat mental. Lalu dia menyambar
sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah
jendela. Di belakang jendela terdengar suara
memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang
perwira yang tadi melepaskah panah itu
menemui ajalnya.
Orang di atas meja berteriak sambil
berkacak pinggang. "Ada lagi yang hendak coba
membokong"!"
Suasana kembali sunyi tapi ketegangan
semakin memuncak.
Siapakah tiga manusia yang barusan
muncul mengacaukan jalannya upacara besar
di istana itu" Mereka bukan lain adalah Warok
Tumo Item, Ronggo Sampenan sedang yang
tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng
Maut. "Kalian semua dengar! Hari ini kerajaan
akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang
raja gagasi perkasa! Yang akan melindungi
kerajaan dari bencana keruntuhan dan peperangan. Lalu Lonceng Maut mengembangkan tangannya ke arah langkan istana. Di situ
tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam
pakaian kebesaran seorang raja. Dia melangkah
menuju kursi besar di ruangan upacara. Di
tangan kanannya dia menggenggam Keris
Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah,
keris sakti mandraguna lambang tahta kerajaan
yang telah merenggut sekian banyak jiwa.
Warok Tumo Item yang tegak memegang
mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro
sampai di hadapannya segera meletakkan
mahkota itu di atas kepala Raden Cokro. Saat
itulah dari dalam menghambur seorang perempuan sambil berteriak.
"Manusia-manusia
rendah! Pengkhianat busuk!" Perempuan ini ternyata adalah kanjeng
ratu ibunda Pangeran Purbaya. Entah bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat
aman, dia berhasil meloloskan diri. Dan kini dia
menghambur ke arah Raden Cokro sambil
menghunus sebilah pisau besar.
Ronggo Sampenan cepat datang menyongsong dan mendekap perempuan itu.
"Semua orang dengar!" teriak ibunda Pangeran Purbaya. "Jangan berdiam diri saja!
Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia
pengkhianat itu! Mereka bukan hendak menyelamatkan kerajaan. Tapi peram-pokperampok bejat!"
Seperti mendapat semangat maka sejumlah
pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana
segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga
kambratnya. Namun semua itu tentu saja
merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang
singkat ruangan besar Istana itu telah berubah
menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan
dimana-mana. Darah membasahi dinding dan
lantai. Suara pekik kematian dan erangan
mereka yang meregang nyawa membuat tempat
itu seperti neraka
11 PERMAISURI yang malang itu terbaring di
tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan
walaupun kedua matanya telah belut dan
merah karena terus-menerus menangis sehri
semalam. "Tak pernah kusangka nasib kita akan
seburuk ini, Purbaya" terdengar suara perempuan itu di antara isakannya.
Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di
sudut ruangan batu yang merupakan penjara
itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya
tampak kuyu dan wajahnya pucat seperti tidak
berdarah. "Ayahmu dibunuh. Tahta dirampas. Entah
bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua
ini. Entah bagaimana pula dengan nasib
saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro
benar-benar manusia setan..."
Pangeran Purbaya menghela nafas dalam.
"Mungkin semua ini sudah takdir Gusti Allah,
ibunda..." katanya kemudian.
Sang ibunda bangkit dari tidurnya da
menatap tajam pada putranya. "Ucapanmu
hanya menunjukkan kelemahan hatimu. Seorang putra mahkota tidak boleh berkata
seperti itu....."
Purbaya gelengkan kepala. "Saat ini aku
bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudah
jadi orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi
bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda
bahwa dalam waktu dekat kita akan menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang
berkuasa pasti akan menggantung kita cepat
atau lambat Mendengar kata-kata puteranya itu sang
permaisuri semakin keras tangisnya. "Kita tidak
tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar
atau jenazahnya mungkin dibuang begitu saja
ke dalam jurang ..."
Terdengar rantai pintu besi ruangan batu
itu digeser orang. Sesaat kemudian pintu
terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi
tidak masuk secara wajar karena tubuh
keduanya kemudian dibantingkan ke dinding
hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan
itu muncul orang ketiga yang membuat baik
Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri
raja jadi terkejut. Pangeran Purbaya cepat
berdiri. "Mengapa kau berada di sini! Bukankah
kau orangnya yang membantu gadis pemberontak itu"!"
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang dibentuk menyeringai. "Kau
benar Pangeran, dulu aku membantunya
karena dia kuanggap sahabat. Tapi pagi-pagi
buta ini aku datang kemari untuk menolongmu.
"Jangan percaya pada pemuda gila ini,
Purbaya!" Permaisuri memberi peringatan.
"Memang siapa yang percaya padamu. Kau
tidak lebih baik dari empat keparat yang kini
menguasai istana dengan Cokro Ningrat sebagai
dedengkotnya!"
"Dengar kalian berdua. Kita tak punya
banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah
kereta yang akan membawa kalian ke satu
tempat. Dari tempat itu akan disebar pengumuman bahwa kalian berdua masih
hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal
ini maka urusan dengan empat manusia
keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita
mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta
berkahNya,, kau akan mendapatkan tahta
Kerajaan yang menjadi hakmu itu... Tapi aku
ada syarat..."
Ibu dan anak saling berpandangan. Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda
gondrong yang ada di hadapan mereka, yang
bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
"Sampai saat ini orang-orang itu masih
terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik
untuk meninggalkan tempat ini. Mari!"
Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini
seperti memberi semangat pada sang pangeran.
Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga
mereke menyusup melewati lorong-lorong gelap
di bawah istana dan akhirnya sampai di tembok
timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekat
sepbuah pintu kecil. Ternyata keduanya adalah
orang-orang yang telah diatur oleh Wiro dan
berlima mereka menyelinap menuju kereta yang
telah menunggu di luar tembok.
Begitu masuk ke dalam kereta. Pangeran
Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok
tubuh menggeletak di lantai kereta, ketika
diamati ternyata orang ini adalah Imo Gantra,
bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih
berada dalam keadaan lumpuh akibat hantaman jarum.
"Sebelum menyusup ke tempat tahanan
kalian, aku berhasil menemukan dia dan
membawanya ke dalam kereta lebih dulu.
Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku
mengikat sebuah syarat....."
Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran
Purbaya bertanya: "Apa syarat yang kau
maksudkan itu...?"
"Syarat enteng saja. Kalian kubantu mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris
Mustiko Geni akan kubawa..."
"Mana mungkin begitu!" tukas ibunda
Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur
dengan cepat. "Keris itu adalah lambang ikatan
tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan.
Siapa pemiliknya dia yang berhak jadi raja..."
"Jangan tolol!" jawab Wiro. "Jika seorang
jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata
itu, apakah dia bisa jadi raja"!"
Ibu dan anak terdiam.
"Apa perjanjianmu dengan paman Imo
Gantra?" bertanya Pangeran Purbaya.
"Kalian harus mengatakan dulu, setuju atau
tidak dengan syarat tadi..."
"Aku setuju saja!" jawab Pangeran Purbaya
tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak membuka
mulut namun akhirnya memutuskan untuk
tidak membantah.
"Nah, perjanjianku dengan orang tua
bermuka cekung ini ialah, aku akan mengeluarkan tiga jarum yang mendekam di
tubuhnya. Setelah sembuh dia harus membantuku menggasak empat keparat yang
sekarang bercokol di istana!"
"Kau telah mencelakainya, apakah paman
Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?" tanya
Pangeran Purbaya.
Dari lantai kereta terdengar jawaban Imo
Gantra. Suaranya perlahan saja karena tubuhnya
yang lumpuh memang berada dalam keadaan
lemas. "Aku memang sudah menyetujui syarat
pemuda gila itu...."
Kalian tak perlu berdebat lagi. Segala
sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat itu
baik-baik..."
Tapi ibunda Pangeran Purbaya msih belum
puas. Dia bertanya. "Setelah kau mendapatkan
Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kau
lakukan dengan senjata itu?"
"Akan kuberikan pada seseorang. Tapi
jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas
senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk
menambah noda darah dalam Istana...."
"Aku percaya padamu. Jalan hidup manusia
memang aneh. Terus terang sebenarnya aku
tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi
perjaka yang bisa keluyuran ke mana-mana..."
"Anak tolol!" bentak bekas permaisuri ketika
mendengar ucapan puteranya itu. "Sekali lagi
kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu
Purbaya!" Wiro tertawa lebar dan berkata: "Bagaimanapun,
tidak sopan menampar seorang calon raja!" Dia menjenguk keluar. "Kita
hampir sampai..." katanya.
... MESKIPUN lobang tempat jarum menyusup
sangat kecil dan hampir tertutup, namun
dengan keahliannya Wiro Sableng dapat menemukan yakni pada bagian bahu kiri,
pinggang kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan
oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro
keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan kapak
yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap
lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo
Gantra. Kemudian Wiro kerahkan tenaga dalam
untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling
susah. Sekujur tubuhnya bergetar dan mandi
keringat. Biasanya tenaga dalam dipergunakan
untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari
dalam keluar seperti memukul atau melepaskan
pukulan tangan kosong yang mengandung ajian
kesaktian. Hal itu sudaha lumprah bagi seorang
jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah
jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu
dipergunakan secara berkebalikan yakni menghimpun kekuatan untuk menarik atau
menyedot. Wiro Sableng terduduk di sudut ruangan
dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum
senjata rahasia yang sebelumnya dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini
tampak melekat pada badan kapak, berwarna
merah karena terlapis darah.
Di atas lantai tanah yang dialasi jerami, Imo
Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang
tadinya lumpuh. Lalu perlahan-lahan dia
mencoba duduk dan berhasil.
"Makan ini..." kata Wiro seraya melemparkan obat berbentuk butiran. Imo
Gantra cepat-cepat menelan obat itu. Wiro
berpaling pada dua prajurit yang tegak di pintu.
"Kalian sudah siap?" tanya Wiro.
"Kami akan pergi sekarang."
"Bagus! Sebarkan surat selebaran itu ke
seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu
kembali kemari, tapi langsung bergabung
dengan siapa saja yang bersedia ikut di pihak
kita. Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh
Pangeran Purbaya...!"
Dua prajurit itu menjura. Keduanya naik ke
punggung dua ekor kuda yang membawa
masing-masing sekantong besar surat selebaran
berisi pemberitahuan bahwa Permaisuri dan
Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di
tempat yang aman. Orang-orang yang telah
merampas takhta secara paksa akan mendapat
hukumannya. Rakyat dan seluruh pasukan
yang setia pada Pangeran Purbaya dan Permaisuri diminta bersiap-siap untuk menyerbu istana.
12 SAMBUTAN rakyat terhadap surat selebaran
itu ternyata tidak terduga dan luar biasa sekali.
Meskipun mereka tidak tahu dimana Pangeran
Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada
yang bertindak sebagai pimpinan, namun
berbagai senjata di tangan,dalam jumlah ratusn
bahkan ribuan berbondong-bondong menuju
Istana. Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal
istana yang melihat kejadian ini segera bersiap
siaga. Ada yang langsung melapor ke dalam,
tetapi sebagian besar di antara mereka justru
banyak yang menyeberang dan bergabung,
disambut dengan tempik sorak gegap gempita
oleh rakyat. Di dalam istana, di mana Raja dan tiga
konconya masih saja asyik berpesta pora,
seorang prajurit datang menemui Warok Tumo
Item dan menceritakan apa yang sedang terjadi
di luar istana. Lalu kepada Warok itu
diserahkannya surat selebaran yang banyak
bertebaran di kalangan rakyat sampai ke
pelosok-pelosok Kutogede. Oleh Warok Tumo
Item, surat tersebut diperlihatkannya pada
Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaga Raja dengan gelar Raden Mas Haryo Ing
Alaga Cokro Ningrat.
Cokro Ningrat meneguk dulu segelas minuman keras, pemandangannya berkunangkunang tapi dia masih dapat membaca apa yang
tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca
dia tertawa mengekeh.
"Hanya sebuah surat edan! Apa yang
ditakutkan"! Orang-orang yang penasaran itu
tak punya kekuatan untuk melakukan apapun.
Apalagi hendak menyerbu kemari...."
'Tapi di luar istana ribuan rakyat sudah
siap dengan senjata di tangan!" kata Warok
Tumo Item. "Kalau begitu kau pimpin pasukan. Bunuh
semua mereka yang berani melawan!"
"Betul! Bunuh semua!" Yang bicara adalah
si bopeng Lonceng Maut yang duduk berdampingan dengan dukun jahat Ronggo
Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama
terpengaruh oleh minuman keras.
"Kalian bertiga enak-enakan di sini berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para
penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang
melakukan!" Lalu Warok Tumo Item memanggil
seorang perwira dan memerintahkan
'Tak mungkin dilakukan Warok..." kata sang
perwira. "Balatentara yang masih ada di istana
tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain
sudah menyeberang ke pihak musuh...."
"Perduli amat berapa kekuatanmu! Angkat
senjata dan usir para perusuh itu. Kalau
mereka melawan cincang saja!" bentak Warok
Tumo Item. Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua
menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana.
Ternyata ada dua puluh satu orang yang bisa
dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di
luar istana, mereka bukannya menyerang
melainkan bergabung dengan rakyat. Praktis
tak ada seorang prajuritpun lagi yang berada
dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya
dan petugas-petugas dalam istana pun satu
demi satu meninggalkan tempat itu karena
kawatir mendapat celaka bila penyerbuan
terjadi. "Sepi! Mengapa sepi! Mana pelayan"! Mana
minuman"!" teriak Cokro Ningrat. Mahkota
emas tak pernah ditanggalkan sejak saat
pertama diletakkan di atas kepalanya.
"Orang-orang gila itu agaknya sudah pergi
semua!" berkata Ronggo Sampenan sambil
memandang berkeliling.
"Tapi masih ada dua orang gila di sini!"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri ruangan
besar. Serentak keempat orang itu sama
palingkan kepala... Dan di situ mereka melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng tegak bersama Imo
Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni
212 di tangan kanan sedang Imo Gantra
mencekal dua golok besar di tangan kiri dan
kanan. "Dua orang gila kesasar!" teriak Cokro
Ningrat. Meskipun terpengaruh oleh minuman keras
namun tiga orang lainnya yang berada bersama
sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut
segera loloskan loncengnya yang tergantung di
leher. Begitu juga Warok Tumo Item cepat-cepat
loloskan golok bermata duanya. Sedang Ronggo
Sampenan keluarkan tembakau, berkomat kamit mengunyah tembakau itu sementara
tangan kirinya memegang seutas tali aneh
sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat
ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris
Mustiko Geni dari pinggangnya.
"Jika kalian mau menyerah secara baikbaik, kerajaan akan mengampunkan semua
kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan
maka bersiaplah untuk mati!"
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak
mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
"Dia menyebut-nyebut kerajaan. Kerajaan
yang mana yang dimaksudkannya"!" ujar Cokro
Ningrat. Lalu sambungnya: "Apakah kalian
tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan
dengan Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing
Alaga Cokro Ningrat"! Lekas berlutut minta
ampun. Mungkin aku masih bersedia mengambil kalian berdua menjadi jongos dan
perawat kuda!"
Keempatnya kembali tertawa gelak-gelak.
"Kita serbu saja mereka sekarang. Selagi
masih dipengaruhi minuman keras..." Berbisik
Imo Gantra. 'Tenang saja. Siapa di antara mereka yang
berbahaya?" balas berbisik Wiro Sableng.
"Si muka bopeng itu. Senjatanya yang
berbentuk lonceng bisa mengganggu pendengaran dan mengacaukan gerakan. Lalu
tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru
itu. Tapi tali di tangan kirinya lebih berbahaya.
Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi
permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang
penting hati-hati terhadap Cokro Ningrat. Dia
memegang Keris Mustiko Geni
"Kalau begitu dia yang harus kita bereskan
lebih dahului" kata Wiro pula. Tangan kirinya
bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan
senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama.
Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk
menjajal kehebatan senjata itu.
"Astaga! Itu Cakra Dewa jantan!" ujar Imo
Gantra ketika dia melihat apa yang ada di
tangan kiri Wiro Sableng. "Dari mana kau
dapatkan senjata itu"!"
"Bukan saatnya untuk bercerita..."
"Kalau begitu kenapa tidak lekas kau hajar
mereka satu per satu"!"
"Sebentar. Tenang saja. Sebentar lagi Imo!"
ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat
orang itu. "Jadi kalian tak mau menyerah" Dan
memilih mampus percuma?"
Cokro Ningrat tegak dari kursinya. Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat.
"Sobat-sobatku! Bunuh dua monyet kesasar
itu!" Sang Raja berteriak berikan perintah.
"Diberi susu minta racun! Terimalah ini!"
balas membentak Wiro. Tangan kirinya bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan
suara bergaung menyambar ke arah Cokro
Ningrat. Percuma pada kekuatan Keris Mustiko
Geni, Cokro Ningrat tidak merasa gentar
mendapat serangan itu. Dia tusukkan senjata
mustika itu ke udara. Sinar merah berkiblat
disertai hawa panas menebar. Cakra dewa
tampak bergetar. Hawa sakti yang keluar dari
Keris Mustiko Geni membuat senjata itu
mengapung ke atas namun selewatnya sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik.
Cokro Ningrat membentak marah dan cepat
run-dukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas
ubun-ubunnya, menghantam tembok ruangan
hingga membentuk lobang besar dan berubah
warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu
seperti hendak tenggelam menembus tembok,
namun di lain kejap melesat kembali ke arah
Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagumkagum melihat kehebatan senjata itu hampir
terlupa menangkapnya kembali.
Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan
Ronggo Sampenan sementara itu berlompatan
menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa
nyaringnya diruangan yang besar itu. Gendanggendang telinga hendak mau robek dan jantung
berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut Ronggo
Sampenan keluar semburan tembakau menghantam ke arah Wiro dan Imo Gatra. Lalu
menyusul sambaran tali merah yang dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara,
terdengar suara petir menyambar disusul
dengan memerciknya api di ujung tali! Warok
Tumo Item sudah pula ayunkan golok bermata
duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan
tiga tokoh silat itu.
"Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini!" ujar
Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si
kakek muda cekung yang jauh lebih tua dari
padanya. Imo Gantra memang sudah siap menunggu.
Dua golok di tangannya kiri kanan menderu
membentuk dua lingkaran besar. Satu menyabung ke arah semburan tembakau
Ronggo Sampenan, satunya lagi memapasi
serangan golok tunggal Warok Tumo Item,
Baik Wiro maupun Imo Gantra begitu
mendengar suara lonceng merobek telinga
masing-masing, keduanya segera menutup indera pendengaran dengan aliran tenaga
dalam. Suara lonceng tetap bergema, tetapi
tidak menyakitkan lagi.
"Bangsat-bangsat rendah! Kalian minta
mampus!" Terdengar bentakan Cokro Ningrat.
Dia memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro
Sableng segera menyongsong. Tapi untuk
membantu Imo Gantra, sebelum bergerak dia
lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212
ke arah Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini
tersentak kaget ketika suara menderu seperti
ribuan tawon mengamuk yang keluar dari
senjata lawan menindih kehebatan lonceng
kuningnya. Pakaian dan rambutnya berkibarkibar. Tubuhnya seperti ditindih batu besar.
Ketika dia nekat merangsek terus sambil
hantamkan senjatanya yang berbentuk lonceng
itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah
tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan
loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah tarik
pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut
Naga Geni 212 membalik menyapu setengah
lingkaran. "Edan!"
Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teriak si bopeng ketika dia merasakan ada sinar putih perak menyambar
panas luar biasa. Kalau dia tidak lekas
bertindak mundur,
perutnya sudah kena disambar mata kapak.
Kleneng! Longceng di tangan orang itu terbelah dua.
Satu belahan mental dan menancap di loteng
ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di
tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa
dilepaskan karena loncengan itu seperti telah
berubah laksana bara api akibat aliran panas
yang datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng
Maut kibas-kibaskan tangannya yang tampak
melepuh! Kejadian ini cukup membuat Loneeng
Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua
kali apakah dia akan terus melanjutkan
perkelahian itu. Sementara itu Imo Gantra
mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo
Item. Namun karena kepala rampok ganas itu
berdua dengan si dukun jahat Ronggo Sampenan maka sangat berat bagi Imo Gantra
untuk melayani keduanya sekaligus.
Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng
Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke
arah Cokro Ningrat. Tangan kirinya bergerak
seperti hendak melemparkan Cakra Dewa.
Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke
depan untuk melindungi diri. Namun gerakan
Wiro hanya tipuan belaka. Selagi bagian bawah
lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede itu baru benar-benar melakukan
lemparan. Cakra Dewa membeset di udara.
Cokro Ningrat menjerit keras. Tubuhnya berputar. Cakra Dewa menancap di perutnya,
kemudian melesat kembali, membalik ke arah
Wiro. Tampak seperti ada asap tipis kebiruan
mengepul di perut sang raja. Wiro menangkap
dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke
arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut
di lantai. Sekujur tubuhnya terutama di bagian
bibir tampak membiru. Itulah jahatnya racun
Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan
Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya kemudian
terkapar menelungkup. Keris Mustiko Geni
lepas dari genggamannya. Mahkota emas
tanggal dari kepalanya dan berguling ke arah
kaki Wiro. Dengan tangan kirinya Wiro mengambil mahkota sedang tangannya cepat
memungut Keris Mustiko Geni. Dengan hatihati keris tak bersarung itu diselipkan ke
pinggang sedang mahkota emas dikenakan
seenaknya di kepalanya.
"Kami menyerah!" teriak Ronggo Sampenan
ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak
Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang
dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke
lantai. Warok Tumo Item juga ikut-ikutan
membuang goloknya namun nasibnya malang.
Gerakannya yang agak lamban keburu didahului tusukan golok Imo Gantra. Ketika
golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak
memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung.
Darah mengucur membasahi lantai. Kedua
tangan Warok Tumo Item menggapai-gapai ke
udara seperti berusaha berpegangan pada
sesuatu: Tapi dia hanya memegang angin.
Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja,
tapi belum sempat menyentuh kursi itu
tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan
terkapar di tanah.
Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap
menyerah, Imo Gantra cepat menotok orang ini.
Sementara itu di luar istana terdengar suara
gegap gempita. Ratusan orang menyerbu masuk. Di depan sekali tampak Pangeran
Purbaya bersama ibundanya. Wiro masukkan
Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu
tinggalkan ruangan ini dan menyongsong
Pangeran Purbaya di tangga istana.
"Semuanya sudah berakhir Pangeran. Aku
minta diri sekarang...."
"Apakah kau sudah mendapatkan Keris
Mustiko Geni?" tanya sang pangeran.
"Wiro mengangguk sambil menepuk pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran
Purbaya dan ibunya. Ketika dia hendak
berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru.
"Hai! Kau sudah kuberikan Mustiko Geni.
Jangan ambil pula mahkota emasku!"
Wiro tersentak kaget. "Astaga! Mohon
maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!"
kata Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota
yang masih berada di kepalanya. Orang banyak
tertawa lebar. Ibunda Pangeran Purbaya membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang
pangeran lalu berkata: "Pendekar, kau. tidak
kami izinkan pergi. Kau harus menetap di
Kutogede karena kami memutuskan untuk
mengangkatmu sebagai Kepala Pasukan Kerajaan!"
Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas kepercayaanmu Sri
Baginda... Tapi..." Wiro goyang-goyangkan
tangan kanannya. "Itu tidak termasuk dalam
perjanjian kita sebelumnya!"
Lalu sekali berkelebat dia telah lenyap di antara ratusan
rakyat yang berkerumun di tempat itu.
"Pemuda itu aneh, kadang-kadang menjengkelkan!"
ujar Pangeran Purbaya. "Dinobatkan pun aku belum. Enak saja dia
menyebutku Sri Baginda..."
"Ya, dia memang seperti sinting. Tapi
hatinya polos!" Memuji sang ibunda.
"Tiba-tiba seseorang berteriak.
"Gotong raja kita ke singgasananya!"
Lalu puluhan manusia bergerak berebutan
untuk menggotong Pangeran Purbaya dan
mendudukannya di atas kursi besar. Imo
Gantra tegak menarik nafas lega. Kelak kakek
ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
TAMAT Iblis Sungai Telaga 26 Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Naga Dari Selatan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama