Ceritasilat Novel Online

Petaka Gundik Jelita 1

Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Petaka Gundik Jelita
SATU Hutan kecil itu terletak di teluk yang sangat sepi. Hanya deburan ombak
terdengar menderu di pasir sepanjang siang dan malam hari. Ombak yang begitu
ganas membuat teluk itu hampir tak pernah didatangi manusia termasuk nelayan
pencari ikan. Tersembunyi di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar terdapat sebuah
pondok kayu beratap ijuk. Bangunan ini cukup besar, memiliki dua kamar serta
langkan lebar. Dua orang tampak duduk di langkan, berhadap-hadapan satu sama
lain. Untuk beberapa saat lamanya tak satupun dari mereka membuka mulut bersuara.
Duduk di sebelah kanan di dekat pintu adalah seorang tua berambut sangat putih,
berkulit hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain kuning muda.
Parasnya yang keriput dimakan usia tampak tenang walau benak dan lubuk hatinya
disamaki berbagai pikiran dan perasaan. Di hadapannya duduk bersila seorang
pemuda berpakaian putih, berbadan langsing dan berkulit puith halus. Rambutnya
yang hitam agak tersuruk oleh ikat kepala putih. Meskipun dia berpakaian cara
laki-laki, namun keelokan paras dan kehalusan kulitnya tak dapat menyembunyikan
bahwa sebenarnya pemuda ini adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas
tahun. "Empu, kau tadi hendak membicarakan sesuatu. Tapi sejak tadi kau hanya berdiam
diri...." Terdengar suara gadis elok paras.
"Terus terang sebelumnya percakapan ini sudah kupersiapkan. Namun pada waktu
tiba saatnya terasa tenggorokanku menjadi kering dan lidah seperti kelu," kata
orang tua yang dipanggil dengan sebutan Empu. "Nawang Suri, ketahuilah, sejak
kita tersingkir dari Kotaraja lama, sejak orang tuamu terbunuh, sejak sanak
saudara handai taulan dan semua pejabat pengasuh dimusnahkan, sejak itu pula aku
hampir-hampir hilang rasa percaya diri....."
"Tapi Empu!" sang dara bernama Nawang Suri cepat memotongnya. "Selama ini justru
empu selalu menanamkan semangat percaya diri padaku. Selalu mengobarkan api
keberanian dan tekad bulat bahwa suatu ketika semua yang musnah itu akan kita
dapatkan kembali. Adalah aneh kalau sekarang empu bicara lain...."
Si orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu mengaanggukkan kepalanya.
"Aku sudah tua Nawang dan aku bukan manusia yang dapat menyembunyikan kenyataan.
Sikap dan semangatku hanya akan sampai sejauh batas usiaku yang tinggal tidak
berapa lama lagi. Sebaliknya semangat dan tekadmu masih harus menempuh jalan
jauh dan sulit. Karena itulah aku selalu mengobarkannya dalam hati sanubarimu.
Jalan yang akan kau tempuh tidak mudah apalagi mengingat kau seorang gadis muda
usia. Namun menyadari bahwa kau sebenarnya adalah satu-satunya kekuatan yang
tingal, yang memiliki hak sebagai pewaris Kerajaan lama yang dimusnahkan oleh
penguasa yang sekarang, maka kau harus mempunyai keyakinan, keberanian serta
tekad bulat. Bahwa apapun yang terjadi kau harus mendapatkan kembali hakmu yakni
tahta Kerajaan yang hilang. Kau harus dan memang hakmu kelak untuk menjadi Ratu
penguasa di delapan penjuru angin tanah kelahiranmu ini.
siapa yang telah memusnahkan orang tua dan saudara-saudaramu harus ganti
dimusnahkan. Tahta yang hilang harus kembali ke tanganmu. Kau satu-satunya yang
berhak muridku. Seperti kukatakan tadi, jalan untuk mencapai itu tidak mudah.
Musuh begitu kuat dan besar. Namun dengan bekal kepandaian yang kau miliki aku
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
yakin kau akan berhasil mendapatkan tahta yang hilang itu. Aku berdoa pada Dewa
semoga pada saat kau dinobatkan menjadi Ratu, aku yang tua ini masih diberikan
umur panjang untuk menyaksikannya. Hanya satu hal yang harus kau ingat Nawang.
Ilmu kepandaian yang betapapun tingginya tidak ada manfaatnya bilamana tidak
disertai akal pikiran dan kecerdikan. Lakukan rencana yang telah kita susun
dengan sebaik-baiknya. Jika kau nanti meninggalkan teluk ini bersikaplah selalu
hati-hati. Aku tahu pasti mata-mata penguasa berkeliaran di mana-mana. Sebelum kita berdua
mereka temukan dan tumpas, mereka tidak merasa aman. Hindari jalan-jalan umum.
Jangan pernah bicara dengan siapapun. Masuklah ke Kuto Gede pada malam hari.
Ingat, satu-satunya yang harus kau cari dan temui adalah Gama Manyar seorang
ahli ukir-ukiran perak. Sepertiku dia sebenarnya juga seorang empu. Nama
sebenarnya Empu Soka Panaran...."
Lama Nawang Suri terdiam sebelum akhirnya berkata "Semua pesan dan petunjuk empu
akan aku ikuti. Kalau murid boleh bertanya kapan aku harus berangkat ke Kuto
Gede?" "Malam ini!" jawab Empu Andiko Pamesworo.
"Malam ini" Begitu cepat?" tanya Nawang Suri hampir tak percaya.
"Pekerjaan yang harus kita lakukan memang jenis pekerjaan gerak cepat.
Berlama-lama berarti hanya memberi kesempatan pada penguasa untuk lebih leluasa
menyusun kekuatan!"
"Jika begitu kata empu, aku akan melakukannya." Jawab Nawang Suri dengan hati
bulat. "Kalau bertemu dengan Empu Soka Panaran, apa yang murid harus katakan
padanya?" "Kau tak perlu bicara atau mengatakan apa-apa. Dia sudah maklum arti
kedatanganmu. Ingat baik-baik Nawang. Selalu bersikap hati-hati. Jangan bicara
dengan sipapun. Usahakan untuk tidak bertemu dengan siapapun sebelum mencapai
Kuto Gede. Juga jangan percaya pada siapapun!"
"Saya akan ingat hal itu baik-baik, empu saya minta diri untuk mempersiapkan
segala sesuatu...."
"Tunggu dulu Nawang," ujar Empu Andiko Pamesworo. Dari balik selempang pakaian
putihnya orang tua ini mengeluarkan sebilah keris berhulu dan bersarung emas.
Senjata ini memancarkan sinar kuning yag angker. Empu Andiko mencium keris itu
tiga kali berturut-turut. Lalu meletakkannya di atas pangkuannya.
"Ini adalah Mustiko Geni, pusaka tunggal Kerajaan semasa ayahmu memerintah.
Siapa yang memilikinya dialah yang berhak akan tahta kerajaan. Ini bukan senjata
biasa Nawang. Keris ini memiliki keampuhan luar biasa karena sakti.
Bila kau cabut daari sarungnya akan terpancar sinar merah dan hawa sepanas api
akan membersit. Jarang lawan yang sanggup menghadapinya. Karenanya kau hanya
boleh mempergunakan bilamana dalam keadaan terdesak sekali...."
Kagum Nawang Suri mendengar keterangan sang empu. Matanya tak berkedip memandang
senjata yang ada di atas pangkuan itu.
"Ambillah Nawang...." Kata Empu Andiko.
"Keris.....Mustiko Geni itu untuk saya empu?" tanya Nawang Suri hampir tak
percaya. Aku tidak memberikannya padamu Nawang. Keris ini adalah milikmu sebagai pewaris
tunggal Kerarjaan. Selama ini aku hanya tolong menyimpan....."
Dengan dua tangan gemetar Nawang Suri mengambil senjata itu dari atas pangkuan
sang empu. Aneh. Mustiko Geni ternyata enteng sekali. Pada saat dara memegang
keris sakti tersebut, detik itu pula Empu Andiko Pamesworo menjatuhkan diri
bersimpuh. BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Nawang Suri tersentak kaget.
"Empu, mengapa kau menyembahku"!" tanya sang dara.
Si orang tua tersenyum. "Karena kaulah pewaris tunggal Kerajaan yang syah.
Karena kau adalah Ratuku kepada siapa aku berakti!"
Nawang Suri menggigit bibirnya lalu berkata perlahan "Seperti katamu empu.
Perjalanan masih jauh. Belum saatnya siapapun menyembahku. Aku saat ini hanya
manusia biasa, tak lebih seperti engkau sendiri...."
Ketika Empu Andiko Pamesworo mengangkat wajahnya tampaklah air mata telah
membasahi pipinya yang cekung. "Muridku, sifat dan tutur bicaramu sangat
menyerupai Sri Baginda, mendiang ayahmu....."
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Hanya beberapa saat saja setelah Nawang Suri meninggalkan pondok di teluk, dalam
kegelapan malam, di bawah udara dingin mengandung garam di bawah deru ombak yang
berdebur di atas pasir, tiga sosok tampak berkelebat cepat laksana bayangbayang. Tiga sosok tubuh ini bergerak menuju pondok. Salah seorang mengintip lewat celah
dinding, dua lainnya berjaga-jaga. Yang mengintip kemudian kembali menemui dua
kawannya. "Di kamar yang ada lampu menyala kulihat empu itu. Seroang diri. Kita berhasil
mencapai tujuan. Tapi orang yang kita cari mungkin tak ada di sini!"
"Sebelum pondok itu digeledah mana mungkin kita tahu dia ada di dalam atau
tidak!" menyahuti kawannya. Agaknya dia yang menjadi pimpinan dari tiga manusia
dalam gelap itu.
"Kita akan menyelidik sekarang atau menunggu sampai pagi?" bertanya orang
ketiga. "Jangan tolol!" desis sang pemimpin. "Apa yang bisa dilakukan malam ini haus
dilakukan sekarang juga!" Lalu dia memberi isyarat. Lelaki pertama berkelebat ke
arah pintu belakang pondok. Orang kedua laksana seekor burung alap-alap tanpa
menimbulkan suara sedikitpun melesat ke atas atap pondok yang terbuat dari
tumpukan ijuk tetbal. Yang berlaku sebagai pemimpin melangkah mendekati pintu
depan. Siapapun manusianya yang ada di dalam pondok itu jelas tak akan mungkin
lolos atau keluar tanpa diketahui.
"Andiko Pamesworo!" si pemimpin berseru. Suaranya keras meskipun hampir larut
oleh suara deburan ombak di teluk. "Kami orang-orang Kerajaan berada di sini.
Lekas keluar bersama muridmu!"
Lampu di dalam pondok serta merta padam. Kegelapan semakin mencekam tempat itu.
"Orang-orang Kerajaan!" terdengar suara Empu Andiko Pamesworo dari dalam
bangunan kayu "Lima tahun berlalu. Akhirnya kalian datang juga. Aku memang sudah
bosan menunggu. Tiga orang tamu yang datang bersama angin dan kegelapan malam,
silahkan masuk...."
Tiga orang yang mengaku orang-orang Kerajaan itu diam-diam menjadi kaget.
Masih berada di dalam pondok yang gelap, bagaimana sang empu mengetahui kalau
mereka berjumlah tiga orang!
Lelaki di atas atap tampak mengangkat tangan, siap untuk menghantam.
Kawannya yang tegak di pintu depan memberi isyarat agar tidak bertindak kesusu.
Lalu dia berseru "Empu tua! Jangan kau berani berlaku tidak sopan terhadap kami!
Mempersilahkan masuk tapi semua pintu tak ada yang dibuka! Menyuruh masuk tapi
rumah dalam gelap gulita!"
"Ha....ha....ha....!" Terdengar Empu Andiko Pamesworo tertawa. "Menuduh aku si tua
bangka berlaku tidak sopan. Lalu apakah kalian bertiga punya sopan santun"
Mendatangi tumah orang di tengah malam buta sambil berteriak-teriak! Satu
menghadang di pintu belakang, satu lagi memanjat di atas atap. Lainnya menunggu
di pintu depan! Tuan rumah mana yang suka berbasa-basi dengan kalian"!"
Marahlah ketiga tamu dalam gelap itu. Yang di pintu depan membentak.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Masih untung kami datang dan berteriak memberitahumu! Seharusnya pondok butut
ini kami bakar dulu baru bicara! Atau kau bersikap sombong karena belum tahu
siapa kamu bertiga....?"
Tak ada jawaban dari dalam. Empu Andiko tahu kalau yang datang ada tiga orang
tapi mungkin tidak tahu siapa-siapa ketiganya.
"Aku Buto Celeng dan dua saudaraku Luwak Celeng serta Gagak Celeng!
Kami datang untuk menangkapmu dan muridmu!"
Dengan memberi tahu siapa mereka si pemimpin yakni Buto Celeng mengira akan
membuat sang empu menjadi takut lantas keluar tunjukkan diri. Tapi dari dalam
justru terdengar suara ejekan menghina.
"Ah, tiga ekor celeng rupanya! Kasihan, malam-malam buta begini kalian tersesat
sampai ke teluk! Kalau begitu tunggulah sampai pagi. Kalau hari sudah terang
tentulah kalian tahu jalan pulang!"
"Tua bangka kurang ajar!" Buto Celeng marah sekali. "Diberi kesempatan jelasjelas minta mati!" Dia lalu memberi isyarat pada Gagak Celeng yang ada di atas
atap. Sesaat kemudian nampak api berkobar di atap yang terbuat dari ijuk itu.
dalam waktu singkat kobaran api melahap seluruh atap terus merambat ke dinding
kayu. Ketika seluruh bangunan telah dimakan api, lalu rubuh tinggal puing-puing hitam
saja, tiga orang itu melangkah mengitari reruntuhan pondok. Mereka tidak
menemukan Empu Andiko Pamesworo ataupun tulang belulangnya di antara reruntuhan.
Selagi mereka mencari-cari dari sebelah kiri terdengar suara menegur.
"Aku di sini! Mengapa mencari di situ...."!"
Kagetlah Buto Celeng dan dua saudaranya. Bagaimana mungkin sang empu menyelinap
keluar dari dalam pondok yang dilalap api tanpa mereka lihat atau ketahui"!
"Empu Andiko!" bentak Buto Celeng. "Umurmu tidak lama! Lekas katakan di mana
anak itu kau sembunyikan!"
"Siapa menyembunyikan siapa"!"
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan muridmu bernama Nawang Suri itu yang kami
cari!" hardik Gagak Celeng. Dialah tadi yang membakar pondok kediaman sang empu.
"Oh, muridku itu...." ujar sang empu. "Aku akan memberitahu di mana dia berada
kalau saat ini juga kalian bisa menggantikan pondokku yang kalian bakar!
Sanggup....."!"
"Kau bicara ngacok!" membentak Luwak Celeng. "Kau akan mendapat pondok baru di
akhirat!" Empu Andiko tertawa. "Kalian tidak akan menemukan Nawang Suri di sini.
Dia sudah lama pergi....."
"Pendusta!" bentak Buto Celeng.
"Lekas beritahu di mana gadis itu berada!" menghardik Gagak Celeng.
"Sudah kukatakan dia tak ada di sini."
"Kalau begitu terpaksa kami membunuhmu saat ini juga!" mengancam Buto Celeng.
Si orang tua itu tidak takut akan ancaman itu menjawab sambil tersenyum.
"Seharusnya kalian para perampas tahta Kerajaan sudah membunuhku empat tahun
silam! Malam ini kalian akan menyesal tidak melakukan hal itu!"
"Adik-adikku!" seru Buto Celeng. "Tua bangka ini memang tak layak dibiarkan
hidup lebih lama!" begitu selesai bicara Buto Celeng meelsat ke depan diikuti
oleh dua saudaranya. Dalam gelap malam dan udara dingin pecahlah perkelahian di
tempat itu. BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Buto Celeng dan dua adiknya adalah tokoh-tokoh silat istana tingkat ketiga.
Seperti diketahui tidak mudah menjadi tokoh silat di kalangan Kerajaan.
Karenanya walaupun cuma berada di tingkat tiga deretan hulubalang terpercaya
namun tingkat kepandaian tersebut tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Dengan kata lain ilmu silat yang dimiliki tiga bersaudara Celeng itu berada pada
tingkat tinggi. Apalagi mereka berjumlah tiga orang. Maka arus serangan mereka
dalam gebrakan pertama sudah berarti kematian bagi Empu Andiko Pamesworo. Tak
dapat tidak orang tua yang malang ini akan menemui ajal dengan kepala pecah atau
dada remuk atau perut jebol!
Akan tetapi betapa terkejutnya ketiga tokoh silat Istana tersebut ketika dengan
gerakan tenang tapi gesit. Laksana hembusan asap tubuh sang empu meliuk dan
berhasil mengelakkan tiga serangan maut mereka!
"Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu agar tidak mampus penasaran!"
teriak Gagak Celeng coba menutupi rasa kagetnya. Lalu seperti seekor burung
tubuhnya melesat ke atas. Tangan dan kaki menyebar serangan susul menyusul.
Kembali dengan satu gerakan tenang dan gesit Empu Andiko berkelebat ke samping.
Tubuhnya miring ke kiri dan kaki kanannya tiba-tiba sekali menendang ke arah
pinggang Gagak Celeng. Kalau saja dari kiri kanan tidak datang Buto Celeng dan
Luwak Celeng menyerbu dan memaksa sang empu tarik kakinya yang menendang sambil
mundur, maka sudah dapat dipastikan pinggang Gagak Celeng akan termakan
tendangan. "Bangsat tua ini ternyata boleh juga!" berbisik Luwak pada Buto.


Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus mengurung dan menggempurnya habis-habisan. Lama-lama masakan
tenaganya tidak melorot. Kita harus memaksanya bergerak cepat terus menerus
hingga kehabisan tenaga!"
Ucapan Buto Celeng itu diterima dua saudaranya. Ketiganya kembali menyerang.
Kali ini dengan lebih gencar. Angin pukulan dan tendangan menderu-deru
menggempur Empu Andiko. Dengan mengandalkan jurus-jurus bertahan yang ampuh
sampai delapan jurus di muka orang tua itu berhasil membendung serangan tiga
pengeroyok. Namun hal ini membuat dia tidak berkesempatan melakukan serangan
balasan. Agaknya tiga tokoh silat istana itu mulai mengetahui di mana letak
kelemahan jurus-jurus silat si orang tua. Dalam keadaan kepepet Empu Andiko
tiba-tiba keluarkan suara pekik seperti seruling melengking, membuat tiga lawan
sesaat tercekat. Sebelum ketiganya pulih dari pengaruh pekikan aneh itu Empu
Andiko Pamesworo berhasil menghantam dada Luwak Celeng dengan jotosan tangan
kiri yang amat keras.
Luwak Celeng terpelanting empat langkah, jatuh terduduk di tanah. Mulutnya
terasa panas dan asin. Ketika meludah, yang jatuh ke tanah adalah cairan darah!
Menahan sakit dengan kalap Luwak Celeng bangkit berdiri dan di tangan kanannya
kini tergenggam sebilah pedang bermata dua. Tampaknya senjata ini bukan senjata
biasa karena dalam gelap memancarkan sinat keputihan.
Wutt! Pedang di tangan Luwak Celeng menyambar.
Wutt! Wutt! Ternyata ada dua pedang lagi yang datang menyambar susul menyusul. Empu Andiko
melompat selamatkan diri dari sambaran tiga senjata itu. Di hadapannya, tiga
bersaudara Celeng tegak memegang pedang berbentuk sama dengan tampang bengis.
"Kalian orang-orang Kerajaan ternyata tikus-tikus pengecut!" ujar Empu Andiko.
Diam-diam dia menekan rasa kawatirnya. Sambaran angin tiga pedang tadi BASTIAN
TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membuat dia maklum bahwa tiga senjata musuh itu akan menimbulkan kesulitan
baginya. "Pengecut! Mengeroyok dan andalkan senjata!"
"Kalau kau punya senjata keluarkanlah!" hardik Luwak Celeng.
"Senjataku ini!" Empu Andiko. Dia melompat ke kiri. Sesaat kemudian di tangannya
sudah terpegang sepotong balok puing bangunan rumahnya yag terbakar.
Ujung balok itu masih merah membara. "Manusia-manusia pengecut! Ayo maju!
Kalian tunggu apa lagi!"
Buto Celeng meludah ke tanah. Luwak berteriak garang. Gagak sudah mendahului
menyerbu. Justru dia disambut dengan sodokan ujung balok membara.
Ketika pedangnya dipakai untuk menghantam balok itu, puing-puing berapi muncrat
bertebaran, menghantam muka dan pakaiannya. Gagak Celeng berteriak kesakitan
lalu mengamuk marah. Dua saudaranya ikut berteriak berang. Tiga pedang kembali
berserabutan dalam gelapnya malam. Serangan tiga pengeroyok itu mengarah bagianbagian yang sulit hingga Empu Andiko menjadi sibuk. Setelah empat jurus lagi
berlalu orang tua ini menyadari bahwa tenaganya mulai terkuras. Gerakannya yang
semula tenang tetapi gesit kini tampak lamban. Dua sambaran pedang berhasil
merobek pakaian putihnya.
"Ha....ha! Sebentar lagi kulit dan dagingmu yang akan kami robek-robek!"
teriak Luwak Celeng. Dari mulutnya semakin banyak darah mengucur. Sebenarnya
saat itu rasa sakit di dadanya hampir tak tertahankan lagi. Tapi kobaran api
dendam dan kemarahan membuat dia berubah seperti setan dan mengamuk habishabisan. "Empu Andiko!" berseru Buto Celeng. "Jika kau mau memberitahu di mana Nawang
Suri berada, kami bertiga akan mengampuni nyawamu!"
Sang Empu menyeringai. Dia tahu betul sifat culas orang-orang Kerajaan itu.
tak bisa dipercaya. Dia tak akan memberitahu apapun yang terjadi. Diberitahu
atau tidak dia yakin ajalnya akan sampai juga malam itu.
"Siapa sudi minta ampun pada kaki tangan penumpas biadab!" Empu Andiko balas
berteriak. "Kalau begitu benar-benar kau memilih mati!"
"Aku tidak takut mati. Tapi paling tidak satu di antara kalian harus menyertaiku
ke liang kubur!" teriak Empu Andiko lagi. Balok di tangannya berputar aneh.
Menghantam ke arah punggung Luwak Celeng. Orang yang diamuk kamarahan itu
seperti tidak menyadari bahaya yang mengancamnya. Ketika Gagak memperingatkan,
dia membuat gerakan yang salah yaitu merunduk. Akibatnya balok berapi menghantam
batang lehernya.
Terdengar dua kali suara kraak dalam waktu hampir bersamaan. Kraak yang pertama
adalah suara patahnya ujung balok sedang kraak yang kedua suara patahnya batang
leher Luwak Celeng!
Berhasilnya dia membunuh seorang lawan ternyata harus dibayar mahal oleh Empu
Andiko, yakni dengan nyawanya sendiri. Baru saja dia membalikkan badan untuk
mengahadapi dua lawan yang datang menyerang, dua ujung pedang tahu-tahu sudah
diarahkan kepadanya. Satu menempel tepat di batang tenggorokan, satu lagi
dipertengahan dada.
"Kami masih bersedia mengampunimu!" kata Buto Celeng menyeringai.
"Ya!" ujar Gagak. "Lekas katakan di mana Nawang Suri berada!"
"Tanyakan nanti pada mayatku!" jawab Empu Andiko tenang dan dingin.
"Kalau begitu nyawamu memang tidak tertolong lagi!" kertak Buto Celeng.
Ujung pedang yang dipegangnya ditusukkan kuat-kuat menembus tenggorokan. Di saat
yang sama Gagak Celeng hujamkan ujung senjatanya ke dada si orang tua. Tubuh
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
yang seperti disatai itu tergelimpang rubuh begitu keduanya menarik pedang
masing-masing. "Kita harus bergerak cepat!" kata Buto Celeng sambil membersihka senjatanya dari
noda darah. "Besar dugaanku Nawang Suri belum lama meninggalkan tempat ini."
"Sementara kau pergilah dulu. Bagaimanapun ktia tak bisa meninggalkan mayat
Luwak seperti ini....." ujat Gagak Celeng.
"Aku tahu. Tapi kita tak banyak waktu. Gadis itu harus diringkus secepatnya.
Besok pagi kita suruh orang mengambil jenazah Luwak."
Gagak terpaksa menyetujui ucapan saudaranya itu. Keduanya kemudian berkelebat
menerobos hutan gelap.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA "Hujan gila!" maki orang itu dalam hati seraya mempercepat larinya dalam
kegelapan. Meski rimba belantara itu cukup lebat namun tidak mampu membendung
curahan hujan yang begitu deras. Sebentar saja sekujur tubuh dan pakaian orang
itu sudah basah kuyup. Dia membetulkan letak buntalan perbekalan di punggungnya
sesaat, lalu lari kembali ke jurusan barat laut. Sebentar-sebentar dia meraba
kumis tibpis yang menghias bibirnya. Dia merasa lega ketika akhirnya keluar dari
hutan kini bebukitan kecil yang merupakan bukit sawah membentang di hadapannya.
Udara terasa dingin, apalagi dalam keadaan basah kuyup seperti itu.
Sebelumnya tak pernah dia berlari sejauh itu namun sedikitpun dia tak merasa
letih. Dengan lincah dia berlari di atas pematang-pematang sawah yang cukup untuk
pemijakan kaki serta licin pula. Meskipun tidak letih namun ketika melihat
sebuah dangau di ujung persawahan, orang ini akhirnya pergi duduk di sana. Dia
tak perlu merasa cepat-cepat dalam perjalanan itu. Bukankah dia tak akan
memasuki Kuto Gede besok siang. Tapi sesuai petunjuk dia akan menunggu sampai
malam, baru memasuki kota kecil itu bila dirasakannya sudah aman.
Setelah merasa cukup lama duduk di dangau itu, orang tersebut melompat turun dan
melanjutkan perjalanan. Baru saja dia berlari beberapa langkah lapat-lapat
didengarnya suara orang berlari di kejauhan. Ada lebih dari satu orang yang
berlari ke jurusannya dan sangat cepat. Ketika berpaling benar saja. Di lihatnya
dua orang lelaki berlari mendatangi. Yang sebelah depan malah terdengar berseru.
"Kisanak! Berhenti dulu!"
Orang berkumis terus saja berlari. Malah berusaha lebih cepat hingga kedua orang
d belakangnya tertinggal.
"Hai tunggu! Jangan takut! Kami bukan begal! Kami hanya ingin bertanya!"
Orang di sebelah belakang kembali berteriak. Dia dan kawannya mempercepat lari
masing-masing. Orang di sebelah depan akhirnya berhenti. Tapi dia tegak
membelakangi hingga ketika kedua orang itu sampai, mereka terpaksa
mengelilinginya lalu tegak berhadap-hadapan.
"Dengar, kami bukan begal atau rampok. Kami hanya ingin bertanya. Kisanak muda
ini dari mana dan hendak menuju ke mana?"
Yang ditanya geleng-gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan.
"Ah, kenapa tak mau menjawab?" Lelaki di sebelah kanan yang bukan lain adalah
Buto Celeng bertanya. "Kami ingin bertanya apakah kisanak melihat seseorang
melintas daerah ini?"
Kembali yang ditanya goyangkan tangan dan kepala. Dari mulutnya terdengar suara
"A...aa....uu.....u...."
"Pemuda ini gagu!" tanya Gagak Celeng pada saudaranya.
"Kelihatannya begitu," ujar Buto Celeng. "Jadi kau tidak melihat siapa-siapa
lewat di sini?"
"Aa....aa....uuuuu....uuuuu"
"Sudahlah! Kau boleh pergi sana!" kata Gagak Celeng.
Pemuda berkumis itu manggut-manggut lalu berlari pergi.
"Kenapa kau suruh pergi dia?" tanya Buto Celeng agak jengkel.
"Habis kita mau bikin apa" Ditanyapun dia tak bisa menjawab!"
"Setahuku orang gagu sekaligus tuli. Pemuda tadi kelihatannya seperti tidak
tuli," ujar Buto Celeng.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Apa pentingnya tuli atau tidak. Lagi pula seseorang bisa saja menderita gagu
setelah dewasa...."
"Hemmm....." Buto Celeng usap-usap dagunya. "Aku menaruh curiga pada pemuda itu.
Tidakkah kau lihat kumisnya tipis tapi cukup lebat. Padahal dagunya polos dan
kedua pipinya licin. Kulitnya sehalus kulit perempuan. Lalu suaranya.
Memang seperti orang gagu. Namun seolah menyenbunyikan sesuatu...."
"Kau melantur saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan!" kata Gagak Celeng.
"Tidak!" sahut Buto tegas. "Aku akan mengejar pemuda halus itu!" Lalu tanpa
tunggu lebih lama dia melesat mengejar pemuda di depan sana. Mau tak mau adiknya
terpaksa mengikuti.
"Hai orang muda! Tunggu!" panggil Buto Celeng sambil lari dan kerahkan seluruh
tenaga serta kepandaian mengejar. Tidak seperti tadi, kali ini meskipun sudah
diteriaki beberapa kali, pemuda berkumis terus saja tetap lari dan ternyata Buto
dan Gagak Celeng cukup menemui kesulitan untuk memperpendek jarak.
"Kau lihat sendiri!" kata Buto pada adiknya. "Jika dia seorang pemuda jembel
gelandangan biasa masakan bisa lari secepat itu!"
"Kau betul! Kita kejar terus!" membenarkan Gagak Celeng.
"Aku kelupaan membawa senjata rahasia. Kau ada membekali diri?"
"Aku juga tidak. Tapi aku ada membawa sebilah pisau pendek. Biar kuhantam dengan
pisau ini!" Gagak Celeng keluarkan sebilah pisau pendek dari pinggangnya dan
siap melemparkan senjata ini.
"Arahkan ke kaki kanannya atau kirinya! Aku ingin menangkap monyet itu tanpa
banyak cidera!" berkata Buto Celeng.
Gagak Celeng gerakkan tangan kanannya. Pisau pendek mencuat di udara, emmbelah
kegelapan malam, melesat ke arah kaki kanan pemuda yang berlari.
Seperti terpeleset tiba-tiba pemuda di depan sana jatuh terguling. Tubuh dan
pakaiannya yang basah kini penuh dengan tanah dan lumpur sawah. Buntalannya
mental entah kemana. Ketika dia bangkit dengan cepat, satu telapak kai menekan
keningnya dengan kuat.
"Aa...uu...aaa....aaaa"
"A-u....auuuuuu!" sentak Buto Celeng. "Aku mau tahu apakah kau benar-benar gagu!"
Lalu Buto keluarkan pedangnya, langsung ditusukkan ke perut si pemuda. Namun
setengah jengkal dari perut tusukannya ditahan. Jika pemuda ini benar-benar gagu
dia hanya akan mengeluarkan suara a-u....a-u. Tapi jika dia hanya berpura-pura
gagu maka niscaya akan menjerit.
"Aaaaa.......uuuuu.......uuuuu.......aaaaa......uuuuu!" Pemuda itu goyang-goyangkan kedua
tangannya. Kedua kaki menghempas-hempas. Tapi injakan kaki kanan Buto Celeng
berat dan keras.
"Bangsat! Kau mungkin memang gagu! Tapi perlihatkan dulu siapa dirimu
sebenarnya!" Habis berkata begitu tangan kiri Buto Celeng melesat ke bawah
hidung si pemuda.
Sret! Kumis tipis di bagian sisi kiri bibir si pemuda terlepas tanggal!
"Apa kataku!" seru Buto Celeng sementara Gagak melongo tak percaya!
"Sekarang coba kuperiksa rambutmu!" kembali Buto Celeng keluarkan suara keras.
Dan tangan kirinya berkelebat ke arah kain putih penutup dan ikat kepala si
pemuda. Sebelum maksudnya kesampaian untuk menarik ikat kepala tak terduga tibatiba si pemuda keluarkan bentakan keras. Tangan kanannya memukul ke samping.
Buto Celeng menjerit kesakitan. Kaki kanannya seperti dihantam pentungan besi.
Mungkin tulang keringnya sudah remuk saat itu!
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT "Jahanam keparat!" bentak Gagak Celeng marah. "Kau apakan saudaraku!" Lalu
diapun cabut pedang mata dua dari pinggang, langsung membacok ke bawah. Bagian
tajam pedang hanya menghantam lumpur pematang sawah karena orang yang dibacok
dengan gerakan luar biasa telah lebih dulu melompat dan kini tegak dengan
memasang kuda-kuda kukuh.
"Bangsat! Katakan siapa kau sebenarnya!" hardik Buto celeng. Rahangnya
bertonjolan sedang kedua pelipisnya bergerak-gerak saking geramnya.
Pemuda yang ditanya tak menjawab ataupun bergerak. Dia tetap tegak memasang
kuda-kuda. Memperhatikan kedudukan kuda-kuda si pemuda. Gagak Celeng berbisik
pada saudaranya "Jelas keparat ini memiliki kepandaian silat. Aku curiga janganjangan dia orang yang kita cari-cari! Lihat saja muka dan kulitnya seperti
perempuan. Kalau tidak menyembunyikan sesuatu mengapa tadi dia memakai kumis
palsu!" "Akupun menduga demikian," balas berbisik Buto Celeng. "Biar kita lihat apa dia
betul seorang pemuda, atau perempuan, ataupun banci!"
Habis berkata begitu Buto Celeng tusukkan pedang di tangan kanannya ke arah dada
pemuda di hadapannya. Gerakannya ini sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena
begitu lawan mengelak, Buto Celeng ulurkan tangan kiri untuk menjambret kain
putih penutup kepala si pemuda!
Tubuh yang membuat gerakan mengelak mendadak menendang ke depan sewaktu tangan
kiri Buto Celeng menyambar. Tokoh silat tingkat tiga istana ini tidak tinggal
diam. Sadar gerakannya menjambret tidak kesampaian maka kembali pedangnya
beraksi. Senjata ini membabat deras ke arah kaki yang menendang.
Bersamaan dengan itu dari samping kanan Gagak Celeng ikut menggempur dengan satu
tusukan ke sisi kiri si pemuda.
Terjadilah hal yang luar biasa. Tubuh si pemuda mendadak sontak seperti melejit
ke udara. Dua hantaman pedang menggempur tempat kosong. Begitu tubuhnya melayang
tutun, si pemuda sebar serangan berupa tendangan berantai, masing-masing
mengarah batok kepala Buto dan Gagak Celeng.
Meskipun tersentak kaget melihat ilmu meringankan tubuh serta serangan lawan
namun dua tokoh silat istana itu masih dapat mengelak. Malah begitu lawan baru
saja menginjakkan kedua kaki di pematang sawah, mereka kembali menyerbu dengan
sebat. Sambil melancarkan serangan deras, Buto Celeng berbisik pada saudaranya.
"Perhatikan gerakan si pemuda itu Gagak. Banyak sekali persamaannya dengan ilmu
Empu Andiko Pamesworo! Aku curiga, bahkan hampir pasti pemuda ini adalah orang
yang kita cari!"
"Tadipun aku sudah menduga!" menjawab Gagak Celeng. "Kita gempur terus.
Jangan beri kesempatan! Desak dia agar masuk ke dalam sawah berlumpur!"
"Aku punya akal lain. Kita akan segera lihat apakah dia benar orang yang kita
cari atau bukan!"
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Gagak Celeng pula.
Sambil terus bolang-balingkan pedangnya menyerang lawan, Buto Celeng tiba-tiba
berteriak.

Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak muda muka pucat! Jangan kira kami tidak tahu siapa kau adanya! Jika kau
tak lekas menyerahkan diri niscaya kau akan menyusul gurumu ke akhirat!
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ketahuilah kami adalah utusan dari istana! Sarang kediaman gurumu telah kami
temui malam ini! dan Empu Andiko Pamesworo sudah kami bunuh!"
Paras pemuda berpakaian penuh lumpur itu mendadak tampak berubah. Dia membuat
gerakan melompat mundur.
"Manusia keparat! Kau membunuh Empu Andiko katamu......"!"
Buto Celeng tertawa bergelak.
"Lihat! Ternyata dia tidak gagu!"
"Dan suaranya seperti suara perempuan!" menyambung Gagak Celeng.
"Betul! Dia memang perempuan! Dan dia pastilah Nawang Suri, puteri raja yang
berusaha menyusun pemberontakan!"
Si pemuda nampak tercekat. Karena terkejut mendengar kata-kata Buto Celeng tadi,
dia telah membuka suara yang berarti membuka rahasia diri dan penyamarannya.
"Ha....ha! Kau tidak bisa lari dari kami Nawang Suri! Kau hanya punya satu
pilihan. Tertangkap hidup-hidup atau menyusul gurumu!"
"Manusia-manusia durjana! Jika kalian benar telah membunuh Empu, kalian akan
rasakan pembalasanku saat ini juga!"
Buto Celeng dan Gagak Celeng sambut ucapan lawan dengan tawa bergelak lalu samasama menghamburkan serangan pedang. Mereka membuat gerakan-gerakan menjepit
karena masih bermaksud untuk menangkap lawan hidup-hidup. Tetapi ketika lawan
yang bertangan kosong itu bertahan dan balas menyerang dengan nekad, mau tak mau
keduanya tidak memperhitungkan lagi apapun yang terjadi. Gerakan pedang mereka
berubah menjadi ganas hingga bagaimanapun hebat pertahanan si pemuda cepat atau
lambat bahaya maut pasti akan melandanya!
Pada jurus kesembilan belas dalam satu gebrakan hebat Buto Celeng membabat ke
arah kepala lawan. Di saat yang sama satu tusukan deras datang dari depan,
dilakukan oleh Gagak Celeng. Lawan yang dikeroyok merunduk untuk elakkan tebasan
Buto Celeng. Tapi karena sekaligus dia harus melompat mundur untuk selamatkan
perut dari tusukan Gagak Celeng maka gerakan merunduknya agak terlambat.
Breet! Kain putih penutup kepala robek besar. Rambut hitam panjang yang tadi tergelung
di bali kain itu tergerai keluar. Kini si pemuda tak dapat lagi menyembunyikan
bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang gadis remaja. Dan dia bukan lain memang
Nawang Suri! "Ha....ha! Kedokmu benar-benar sudah terbuka Nawang Suri!" seru Buto Celeng.
Pegangannya pada hulu pedang semakin diperketat. Serangannya dan serangan
adiknya bertambah ganas.
Dalam kegelapan malam di tempat terbuka di pesawahan itu tiba-tiba berkelebat
pancaran sinar merah. Serentak dengan itu dua tokoh silat istana tadi merasakan
ada hawa panas yang menyambar. Keduanya seperti terdorong ke belakang oleh satu
kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan. Memandang ke arah tangan kanan Nawang
Suri, terkejutlah keduanya dan berseru hampir bersamaan.
"Keris Mustiko Geni!"
Kedua tokoh silat istana ini merasakan dada masing-masing bergetar keras.
Keris Mustiko Geni bukan saja merupakan senjata tumbal dan lambang tahta
kerajaan, tetapi sekaligus merupakan satu senjata sakti luar biasa. Dan kini
senjata itu ada di tangan lawan! Mereka memang juga telah diperintahkan untuk
mendapatkan keris tersebut, namun sama sekali tidak menyangka kalau senjata
sakti mandraguna itu ternyata berada di tangan Nawang Suri.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Celaka Buto....." berbisik Gagak celeng. "Kau lihat senjata itu?"
"Kita harus berhati-hati Gagak. Keluarkan jurus- jurus empat simpai menjerat laba-laba....."
Jurus yang barusan dikatakan Buto Celeng itu adalah jurus terhebat dari ilmu
pedang mereka dan selama ini jarang sekali mereka keluarkan. Kini menghadapi
lawan yang memegang senjata sakti, keduanya tak mau ambil resiko. Didahului oleh
bentakan garang dari mulut Buto, dua bersaudara itu kembali menyerbu. Dua pedang
berkelebat dalam udara malam yang dingin, mengeluarkan deru berkesiuran
menggidikkan. Sesuai dengan nama jurusnya maka kehebatannya memang bukan olaholah. Dua batang pedang seperti berobah menjadi empat dan membentuk sisi empat
persegi hingga Nawang Suri seperti laba-laba terkurung dalam sebuah kotak maut!
"Mampus!" teriak Buto Celeng. Pedang di tangannya membabat ke leher.
"Putus nyawamu!" teriak Gagak Celeng tak kalah garang dan pedangnya menusuk ke
dada. Dalam gelap malam tiba-tiba membeset sinar merah. Udara di tempat itu mendadak
menjadi panas. "Awas hantaman keris!" memberi ingat Buto celen. Tapi terlambat.
Trang....trang.....!
Bunga api memercik dalam gelapnya malam. Buto dan Gagak Celeng merasakan tangan
masing-masing tergetar keras. Ada hawa sangat panas menghantam ke arah mereka
seperti memanggang. Keduanya melompat mundur empat langkah.
Ketika memperhatikan pedang di tangan mereka tersentak kaget dan pucat. Kedua
senjata itu telah patah buntung disambar Keris Mustiko Geni! Luar biasa dan
hampir tak dapat dipercaya oleh tokoh istana itu.
"Bagaimana sekarang" Kalian masih inginkan menangkapmu"!" bertanya Nawang Suri
dengan nada mengejek.
"Gadis pemberontak! Apa kau kira kami takut"!" bentak Buto Celeng. Tapi untuk
sesaat dia tetap saja tak bergerak di tempatnya. Lalu dia berbisik pada
saudaranya. "Gagak, kita harus merampas keris itu lebih dulu. Kalau tidak bisa
berabe! Kau menyerang dari kanan, aku dari kiri."
Dua tokoh silat istana itu dengan andalkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi
yang mereka miliki berkelebat cepat. Masing-masing juga kerahkan tenaga dalan
pada dua tangan. Memang hanya dengan mengandalkan kecepatan gerakan serta
kekuatan tenaga mereka bisa menghadapi lawan yang memegang senjata sakti luar
biasa itu. Meskipun demikian ternyata tetap saja Buto dan Gagak Celeng mengalami
kesulitan. Setiap keris menyambar, sinar merah berkiblat menggidikkan dan hawa
panas memapas ke arah keduanya. Setelah beberapa kali mencoba dan tetap gagal
keduanya merubah siasat. Sambil menjaga jarak untuk menghindarkan tusukan atau
sambaran keris, Buto dan Gagak Celeng lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong
jarak jauh. Sekaligus mereka mengurung rapat karena bagaimanapun juga mereka tak
ingin Nawang Suri lolos. Justru hal ini yang membuat mereka menjadi celaka.
Pada jurus kedua puluh satu Nawang Suri tampak seperti tergelincir di pematang
sawah. Tubuhnya miring ke kiri. Melihat ini Gagak Celeng tidak sia-siakan
kesempatan. Dia memburu dengan tendangan kaki kanan ke dada sang dara. Di saat
itu pula Nawang Suri membuat gerakan membalik sambil sabatkan keris Mustiko
Geni. Terdengar pekik Gagak Celeng ketika senjata sakti itu menggurat dadanya
dalam dan deras. Tubuhnya terhuyung-huyung. Kalau tak lekas ditopang oleh Buto
Celeng pasti tercebur ke dalam lumpur sawah. Namun di lain kejap Buto Celeng
serta BASTIAN TITO
14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
merta lepaskan tubuh saudaranya itu. Tubuh Gagak Celeng terasa panas seperti
bara. Pakaian dan kulitnya tampak hangus kehitaman. Gagak Celeng menjerit sekali lagi.
Nyawanya lepas. Kedua kakinya tertekuk dan dia jatuh terjerambab ke dalam sawah!
"Gagak!" teriak Buto Celeng memanggil dan hendak memburu. Tapi dia terpaksa
menjauh karena saat itu Nawang Suri kirimkan satu tikaman ke arahnya.
Tengkuk Buto Celeng terasa dingin. Rasa takut menggerayangi dirinmya. Berdua
dengan Gagak saja dia tak sanggup menghadapi anak murid Empu Andiko Pamesworo
itu, apalagi seorang diri. Tak ada jalan lain. Dia terpaksa berispa-siap cari
kesempatan untuk melarikan diri. Namun pada saat kesempatan muncul mendadak
terdengar suara seruan dari arah timur.
"Sungguh memalukan! Dua tokoh silat istana berkepandaian tinggi tidak mampu
membereskan seorang gadis kecil!"
Begitu seruan lenyap, sesosok tubuh muncul dari kegelapan malam dan tegak di
kanan Buto Celeng.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Merasa dihina Buto Celeng semula hendak membentak marah. Tapi sewaktu dia
berpaling dan melihat siapa adanya orang yang barusan datang itu langsung saja
dia tegak dengan sikap hormat.
"Ah, kiranya orang gagah Sindu Kalasan tokoh kelas satu bergelar Datuk Tongkat
Dari Selatan!"
Orang yang ditegur batuk-batuk beberapa kali. Dia berdiri dengan tangan kiri
berkacak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang sebuah tongkat bambu
sepanjang tujuh jengkal. Tongkat bambu ini berwarna kuning dan besarnya hanya
sejari telunjuk.
Diam-diam Buto Celeng merasa gembira. Dalam keadaan seperti iu siapa yang tidak
senang melihat munculnya kawan sendiri. Datuk Tongkat adalah tokoh silat istana
pertama dan merupakan orang ketiga dari hulubalang istana.
"Melihat pada senjata yang ada di tangannya aku sudah bisa meraba." Sahut Datuk
Tongkat seraya timang-timang tongkat bambu halus yang ada di tangan kanannya.
"Bukankah dia Nawang Suri, orang yang harus ditangkap hidup atau mati?"
"Betul sekali Datuk. Aku dan saudara-saudaraku berhasil menemukan tempat
kediaman gurunya di teluk. Empu Andiko telah kami bunuh walau untuk itu adikku
Luwak Celeng terpaksa menemui kematian pula. Dan barusan adikku yang lain yaitu
Gagak Celeng menemui ajal di tangan gadis ini!"
"Sungguh malang nasibmu Buto. Kehilangan dua saudara dalam satu malam.
Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang.....?"
Buto Celeng terkesiap. Tak dapat dia menjawab pertanyaan Datuk Tongkat itu.
"Kau ingin menangkap Nawang Suri hidup atau mati, tetapi tak mampu. Betul begitu
kan?" Paras Buto Celeng berubah kemerahan. Dia batuk-batuk beberapa kali sekedar
menghilangkan rasa malu dan penasaran. Tapi otaknya sangat cerdik. Dia cepat
menjawab. "Siapa bilang aku tak dapat menangkap Nawang Suri" Dengan bantuan tokoh
sehebatmu pasti itu bisa dilakukan! Bukankah ini tugas semua para hulubalang
istana?" Datuk Tongkat alias Sindu Kalasan tertawa mengekeh. Dia tahu betul. Di antara
tiga kakak beradik Celeng, Buto adalah yang paling lihay kepandaiannya tapi juga
paling cerdik dan licin.
Sambil ketuk-ketukkan tongkatnya ke tanah pematang sawah sang datuk menjawab
"Kalau cuma bocah cilik seperti gadis itu mengapa harus kita berdua Buto.
Kau menyingkirlah. Biar aku sendiri yang membereskannya. Tapi ingat satu hal....!"
"Hal apakah itu, Datuk?" tanya Buto Celeng tak enak.
"Pada saat aku berhasil menangkap gadis itu hidu-hidup lalu membawanya ke
hadapan Sri Baginda di istana, sekali-kali kau jangan mempunyai perasaan bahwa
kau andil dalam kerja besar menangkap anak pemberontak ini....."
"Maksud Datuk....?"
"Maksudku jelas! Kau tak akan menerima pahala apa-apa.....!"
"Tapi....."
"Tutup mulutmu Buto Celeng! Jangan sampai aku mengusirmu dari tempat ini!"
bentak Datuk Tongkat.
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Datuk! Kita sama-sama orang dalam istana. Kenapa kau bicara seperti itu"
soal pahala, Sri Baginda nanti yang akan memutuskan. Sri Baginda seorang
bijaksana. Bagaimanapun dia tentu tahu dan tak akan melupakan jasa para pembantunya!"
"Begitu.....?" ujar Datuk Tongkat menyeringai. Kembali dia ketuk-ketukkan
tongkatnya ke tanah.
Setiap dia membuat ketukan, Nawang Suri yang berdiri beberapa langkah dari
hadapannya merasakan tanah pesawahan itu seperti bergetar. Getaran itu menjalar
ke kedua kakinya, terasa aneh seperti hendak melumpuhkan. Cepat sang dara ini
kuatkan hati dan kerahkan tenaga dalam. Tadi dia telah mendengar Buto Celeng
menyebut orang berpakaian lurik hitam bergaris coklat dan berblangkon aneh
terbuat dari kain beludru itu sebagai tokoh kelas satu istana. Berarti dia
berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi luar biasa. Hatinya merasa tidak
enak. Tapi tidak enak berarti takut. Dengan tengan gadis in tetap menunggu di
tempatnya. "Bocah cilik. Aku berbaik hati memberikan pilihan padamu. Menyerah secara baikbaik dan kubawa ke Kuto Gede atau kugebuk dulu baru mau ikut.....!"
Nawang Suri sunggingkan senyum mengenjek. Lalu gadis ini menjawab.
"Manusia berblangkon bludru! Jika kau tadi sudah tahu namaku berarti kau sudah
tahu berhadapan dengan siapa. Seharusnya kau dan juga monyet satu itu berlutut
memberi hormat. Karena akulah pewaris tunggal dan syah dari tahta kerajaan yang
dirampas oleh tuan besarmu yang sekarang berkuasa di Kuto Gede itu!"
"Gadis lancang tak tahu diri!" bentak Buto Celeng. Sedang Datuk Tongkat Dari
Selatan tampak terkesiap mendengar ucapan Nawang Suri. Namun kemudian terdengar
suara tawanya mengekeh.
"Malam hampir pagi...." Kata sang datuk pula. "Dan kau masih larut dalam mimpi
Nawang Suri! Nah serahkanlah dirimu baik-baik tanpa perlawanan!"
"Siapa sudi menyerah! Kalau kau memang punya nama besar tangkaplah diriku!"
Habis berkata begitu Nawang Suri sebatkan Keris Mustiko Geni di tangan kanannya
ke depan. Sinar merah menyambar disertai terpaan hawa panas.
Datuk Tongkat Dari Selatan yang maklum kehebatan senjata di tangan sang dara
bersurut mundur.
"Ha....ha! Malam ini aku berkesempatan membuat dua jasa besar bagi kerajaan.
Pertama menangkap anak pemberontak, kedua merampas Keris Mustiko Geni!"
"Ternyata kau yang mimpi Datuk pengkhianat! Kau inginkan keris ini, ambillah!"
seru Nawang Suri ditutup dengan sambaran sinar merah dari bawah ke kiri ke atas
kanan. Hawa panas menebar menggidikkan.
Untuk kedua kalinya Datuk Tongkat Dari Selatan menghindar cepat. Hanya kali ini
sambil mengelak selamatkan perut dan dadanya dari sambaran keris sakti sang
datuk yang merupakan orang ketiga teratas dalam barisan hulubalang istana, dia
sekaligus putar tongkat bambu kuningnya yang halus. Benda itu seperti berubah
menjadi tujuh batang disertai suara bersiur aneh, sangat cepat menyambar ke arah
Keris Mustiko Geni.
Nawang Suri yang percaya penuh akan kehebatan senjata di tangannya, apalagi
hanya menghadapi sebatang tongkat bambu, putar pergelangan tangannya.
Ujung keris laksana kilat menusuk tenggorokan Datuk Tongkat.
Yang diserang tampak tenang. Kaki kanannya melangkah ke depan. Tubuhnya
dimiringkan ke belakang. Tongkatnya melesat ke atas dan cepat sekali tahu-tahu
sudah menempel di badan keris.
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Lepas!" terdengar seruan sang datuk. Tangannya yang memegang tongkat
disentakkan ke belakang.
Nawang Suri berseru kaget. Tangna kanannya terasa seperti kesemutan. Jarijarinya menggeletar membuat genggamannya pada hulu keris mengendur. Sementara
itu ujung tongkat lawan terasa seperti merekat badan keris. Ketika tongkat
disentakkan, tak ampun lagi Keris Mustiko Geni ikut terpental dan melayang ke
udara. Datuk Tongkat tertawa mengekeh.
Buto Celeng leletkan lidah karena kagum.
Nawang Suri kembali berteriak. Tapi dia cepat sadar tanggap dan melompat ke
udara untuk menjemput kerisnya. Hanya saja gerakannya kalah cepat dengan
lompatan Datuk Tongkat. Sang lawan telah lebih dahulu melesat ke udara dan
tangan kanannya cepat sekali menyambat ke arah hulu keris. Tapi sebelum tangan
itu sempat menyentuh Mustiko Geni, satu siulan membeset di langit malam. Dan
sebuah tangan tahu-tahu berkelebat lebih cepat, memapas senjata sakti itu dari
sergapan Nawang Suri maupun Datuk Tongkat.


Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan bukan itu saja. Gerakan sosok tubuh yang tahu-tahu muncul di tempat itu
membuat Nawang Suri terpental ke tanah sedang sang datuk terhuyung empat
langkah! "Keparat!" teriak Datuk Tongkat marah. "Siapa berani mencampuri urusan orang"!"
Dia hantamkan tongkatnya ke tanah. Tapi hanya mengenai tampat kosong!
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Saat itu malam telah menjelang fajar menyingsing. Di kejauhan langit sebelah
timur tampak mulai terang kemerahan. Keadaan di pesawahan meskipun masih
diselimuti kegelapan namun dalam jarak sampai sepuluh langkah seseorang masih
dapat melihat cukup jelas orang lain di hadapannya.
Memandang ke depan Datuk Tongkat, Buto celeng dan Nawang Suri melihat seorang
pemuda berpakaian putih-putih dan berambut gondrong tagak menyeringai sambil
memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanannya.
"Pemuda kurang ajar! Siapa kau berani-beranian ikut campur urusan orang!"
membentak Datuk Tongkat. Lelaki berusia enam puluh tahun ini marah bukan main.
Namun sebagai orang pandai yang banyak pengalaman dia tak mau gegabah. Jika
seseorang berhasil mendahului kecepatan gerakannnya bahkan sekaligus sempat
membuatnya terhuyung, berarti orang itu memiliki tingkat kepandaian yang bukan
main-main. "Manusia lancang ini harus dihajar! Datuk biar aku yang memberi pelajaran
padanya!" yang bicara adalah Buto Celeng. Suaranya keras hampir berteriak.
"Bagus Buto, kau berilah pelajaran padanya!" kata Datuk tongkat. Diam-diam dia
sengaja memberi kesempatan pada Buto Celeng padahal tujuan sebenarnya adalah
untuk melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang barusan muncul, dan begitu
muncul berhasil merebut keris sakti.
Dengan sikap garang Buto Celeng melompat. Tangan kanannya bergerak menyambar
rambut si pemuda untuk dijambak sementara tangan kanan kirimkan jotosan ke dada.
Buukk! Tinju Buto celeng tepat melabrak dada pemuda baju putih. Tapi anehnya justru
dialah yang kemudian jatuh terjengkang, melintan di atas pematang sawah sambil
merintih pegangi tangan kanannya yang tampak lecet. Sementara pemuda yang
barusan dihantam tetap tegak tak bergeming malah masih menyeringai seperti tadi!
Malu, kesakitan dan merasa seperti dipermainkan membuat Buto Celeng naik darah.
Dia bangkit berdiri. Begitu tegak diahantamkan kaki kanan ke selangkangan si
pemuda. Yang diserang keluarkan siulan nyaring lalu kaki kirinya melesat ke
depan, mengangkat betis Buto Celeng kuat-kuat ke atas. Akibatnya tak ampun lagi
Buto Celeng melintir dan terlempar ke dalam sawah berlumpur. Tubuhnya jatuh
menelungkup, sekujur muka dan tubuhnya sebelah depan habis bercelemongan.
Datuk Tongkat Dari Selatan alias Sindu Kalasan gigit-gigit bibirnya. Kalau tidak
menyaksikan sendiri tentu dia tak akan percaya ada seorang tokoh silat istana
kelas tiga di buat mainan oleh seorang pemuda tak dikenal.
"Orang muda, kau belum menjawab pertanyaanku. Katakan siapa dirimu....!"
Datuk Tongkat buka suara kembali.
Bukan menjawab sebaliknya pemuda yang ditanya malah membalik membelakangi sang
datuk, lalu melangkah ke hadapan Nawang Suri.
"Adik, apakah keris ini milikmu....?"
Sesaat Nawang Suri diam saja. Kemudian dia menganggukkan kepala.
"Ini senjata bagus. Harganya tak ternilai dan kehebatannya pasti luar biasa.
Ambillah dan simpan baik-baik. Jangan sampai kelihatan bangsa pencuri atau
perampok seperti dua monyet itu....."
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karena si pemuda bicara dengan suara keras seenaknya saja tentu kata-katanya itu
terdengar oleh Datuk Tongkat.
"Keparat! Kau benar-benar mencari penyakit pemuda edan....!"
Tapi untuk sesaat Datuk Tongkat tidak tampak bergerak dari tempatnya.
Orang ini benar-benar cerdik. Dia sudah sanggup menilai kehebatan pemuda tak
dikenal itu. Lalu saat itu dilihatnya Nawang Suri telah pula memegang Keris
Mustiko Geni. Kalau dia menyerang berarti bukan pemuda itu yang mencari
penyakit, tapi dirinya sendiri. Maka dengan tubuh menggeletar menahan marah dia
tetap berdiri di tempatnya.
"Saudara budi pertolonganmu tak kulupakan. Siapakah kau sebenarnya?"
Nawang Suri ajukan pertanyaan.
Yang ditanya tertawa dan garuk-garuk kepala. "Aku cuma seorang pemuda
pengangguran dan luntang-lantung. Datang jauh dari Gunung Gede...."
"Siapapun kau adanya kau tentu punya nama...."
"Aku Wiro Sableng...."
"Nama aneh!" desis Nawang Suri.
"Begitulah adanya. Monyet itupun menyebutku pemuda edan. Nah, aku tak lebih dari
itu. Adik, kau tentu dalam perjalanan jauh. Kau sudah dapatkan kerismu kembali.
Mengapa tidak segera pergi meninggalkan tempat ini."
"Eit! Tunggu dulu! Aku datang kemari untuk menangkapmu dan menyita keris itu.
Jika kau memang ingin pergi boleh saja. Tapi tinggalkan nyawa dan Mustiko Geni!"
Yang bersuara adalah Datuk Tongkat.
"Ho....ho!" Wiro Sableng tertawa mengejek. "Cakapmu hebat nian kawan!
Siapa kau yang mengaku memiliki nyawa dan harta orang lain?"
"Aku Sindu Kalasan. Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan. Hulubalang ketiga dari
istana Kota Gede!"
"Hmmmm..... begitu?" ujar Wiro Sableng seperti tak acuh padahal Datuk Tongkat
mengira pasti si pemuda akan terkejut bahkan jerih mengetahui siapa dia adanya.
"Seorang tokoh silat tinggi istana beraninya melawan perempuan. Dan ternyata
tidak mampu menghadapi gadis ingusan seperti itu!"
Wajah Datuk Tongkat Dari Selatan menjadi merah padam. Wiro Sableng tanpa
memperdulikan sang datuk, membalik dan melangkah mendekati Nawang Suri.
"Mengapa belum pergi" Tinggalkan tempat ini. Jika tua bangka berbelangkon aneh
itu menghalangimu aku akan memberi pelajaran padanya!"
Wiro melihat ada pancaran rasa tidak senang di wajah sang dara. Sesaat setelah
menatap wajah si pemuda, Nawang Suri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
namun Datuk Tongkat cepat memapas sambil hantamkan tongkatnya ke tangan Nawang
Suri yang memegang senjata mustika. Maksudnya untuk memukul jatuh keris itu
tidak kesampaian karena dari samping dua tangan yang kokoh menelikung
pinggangnya, membuat tubuhnya terpuntir. Ketika dia merasakan tubuhnya hendak
dilemparkan ke dalam sawah berlumpur Datuk Tongkat tusukkan tongkat bambu
kuningnya ke perut Wiro. Ini adalah satu serangan yang benar-benar mematikan.
Bukan saja perut sang pendekar muda itu akan bobol, tapi tongkat akan terus
menembus sampai ke belakang punggungnya!
"Mampus!" seru Datuk Tongkat.
Tapi dia kecele.
Dengan kecepatan luar biasa Wiro jatuhkan diri ke tanah dan menyelusup di bawah
selangkangan lawan. Bagitu sang datuk berada di belakangnya, tanpa menoleh
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro lepaskan satu jotosan keras ke pinggang Datuk Tongkat. Terdengar sang datuk
mengeluh kesakitan. Sebelum tubuhnya terhuyung ke depan, dia masih sempat
hantamkan tumit kiri ke bahu lawan hingga Wiropun terjerambab namun cepat
mengimbangi diri, membuat lompatan dan dilain saat sudah tegak berdiri.
Saat itu Datuk Tongkat telah pula berdiri. Tubuhnya bergetar menahan gejolak
amarah. Seumur hidup baru hari ini dia kena ditempelak lawan, seorang pemuda
yang tidak dipandangnya sebelah mata!
"Orang muda! Kau telah membuat kesalahan besar terhadap Kerajaan!"
"Begitu?" seringai Wiro. "Coba katakan apa kesalahanku!"
"Pertama, kau berani mencampuri urusan seorang petinggi istana! Kedua kau berani
melawan dan menciderai dua tokoh silat istana yaitu aku dan Buto Celeng!
Dan ketiga, ini kesalahanmu yang besar yang tak bisa diampunkan! Kau menolong
seorang pemberontak besar. Berarti pada dirimu juga jatuh cap sebagai
pemberontak! Untuk semua itu kau layak dibunuh!"
Wiro Sableng manggut-manggut beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. "Jalan
pikiran, pertimbangan dan ucapan seseorang memang bisa saja berbeda. Tapi tidak
disangka kalau hari ini aku berhadapan dengan seorang hulubalang istana yang
mempunyai jalan pikiran, pertimbangan bahkan ucap keputusan yang benar-benar
gila!" "Jangan terlalu menghina, keparat!" bentak Datuk Tongkat.
"Tunggu dulu! Ucapanku belum habis!" balas menghardik Pendekar 212.
"Aku tidak ada urusan dengan segala macam pemberontak. Aku tidak merasa telah
membuat kesalahan pada segala macam kerajaan. Semua yang kulakukan semata adalah
tindakan membela keadilan. Mana bisa aku berpangku tangan melihat seorang
perempuan hendak dicelakai oleh seorang berkepandaian tinggi!"
"Alasan kuno! Jangan menganggap kau seorang kesatria sejati! Kepentingan
kerajaan adalah lebih utama dari kepentingan pribadi. Apapun alasannya!"
"Lalu.....?" tanya Wiro pula.
"Kau harus mampus sebelum matahari muncul pagi ini!"
"Tua bangka ngacok!" maki Wiro. Lalu tanpa perdulikan orang dia balikkan diri
untuk meninggalkan tempat itu.
Tapi Datuk tongkat yang sudah tidak dapat lagi menahan amarah dan kesabarannya
sudah melompat kirimkan serangan dengan tongkat bambunya. Senjata ini ditusukkan
ke depan. Namun setengah jalan mendadak berubah menjadi sambaran pulang balik,
merupakan gebukan pada tubuh Wiro kiri kanan!
Tentu saja Wiro tak bisa berdiam diri melihat serangan ganas ini. Setelah
membuat lompatan mundur untuk hindarkan hantaman lawan, pendekar ini lepaskan
satu pukulan tangan kosong dengan kekuatan seperempat tenaga dalam. Dia terkejut
ketika angin pukulan yang deras itu dihantam punah oleh angin deras yang keluar
dari tongkat lawan. Tak dapat tidak hulubalang istana tingkat ketiga itu telah
mengerahkan lebih dari setengah tenaga dalamnya. Maka begitu pukulannya luput
Wiro bersiap lepaskan pukulan susulan. Tapi Datuk tongkat menyongsong lebih
cepat. Tongkatnya langsung dihantam ke arah tangan kanan si pemuda hingga Wiro
terpaksa tarik pulang pukulannya sambil melangkah ke samping. Justru tongkat
sang datuk secara aneh tiba-tiba membabat ke bawah lengannya dan bret!
Baju putih Pendekar 212 Wiro Sableng robek besar!
Hal ini membuat Wiro bersurut mundur sambil usap dadanya. Untung ujung tongkat
hanya menyambar pakaiannya, tak sampai menggurat atau melukai kulit dan daging
dadanya. Hal ini sudah cukup membuat murid Sinto Gendeng dari Gunung BASTIAN
TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gede ini harus mengambil keputusan. Akan terus melayani sang datuk atau pergi
saja dari situ, mengabil sikap mengalah.
Sebaliknya, keberhasilannya
merobek pakaian lawan membuat Datuk Tongkat
Dari Selatan jadi bersemangat dan berkeyakinan, apapun tingkat kepandaian yang
dimiliki si pemuda, dia pasti dapat membereskan pemuda itu. apalagi Buto Celeng
yang masih terkapar di tepi sawah sempat berteriak membakar "Bunuh dia Datuk!
Pemuda keparat itu harus dibunuh!"
"Kau dengar itu anak muda" Umurmu tak lama lagi....!" Ujar Datuk Tongkat.
Lalu kembali dia menyerbu. Tongkatnya beputar aneh mengeluarkan deru keras dan
siuran angin kencang. Wiro berkelebat cepat. Pada satu kesempatan yang tidak
disia-siakannya pemuda ini lepaskan pukulan "Benteng Topan Melanda Samudera."
Datuk Tongkat terkejut ketika dia mendengar suara angin menggemuruh seolah-olah
tampat itu diserang angin puyuh yang dahsyat. Dia sabetkan tongkat bambunya ke
depan. Kuda-kuda kedua kakinya diperkuat. Ketika merasakan tubuhnya tak bisa
bertahan dan hampir terseret angin kencang itu maka dia hantamkan tangan kiri ke
arah lawan dengan pengandalan tenaga dalam yang ada.
Terjadilah hal yang hebat. Daerah persawahan itu bergetar seperti dihantam
lindu. Air dan lumpur beterbangan ke udara. Datuk Tongkat berseru keras. Dia
melompat ke atas menghindari hantaman angin deras yang menerpa. Tapi begitu
melompat begitu tubuhnya terseret dan tunggang langgang di udara. Terpental
jatuh masuk ke dalam lumpur sawah. Dadanya mendenyut sakit. Pemandangannya
berkunang-kunang. Dia mencoba berdiri. Tapi kedua kakinya terasa goyah dan tak
sanggup diluruskan. Akhirnya dengan nafas megap-megap hulubalang ketiga istana
ini hanya bisa merangkak dalam lumpur, berusaha menggapai tepi pematang sawah.
Wiro sendiri meskipun tidak jatuh tapi sekujur tubuhnya sampai ke rambut penuh
berselomotan lumpur sawah.
"Keparat! Jangan lari kau!" teriak Datuk Tongkat ketika dilihatnya Wiro Sableng
melangkah meninggalkan tempat itu sementara matahari telah muncul di ufuk timur
dan daerah pesawahan itu kini menjadi terang.
Wiro usap lumpur yang menempel di wajah dan pakaiannya. Lumpur yang memenuhi
telapak tangannya kini kemudian dilemparkannya ke arah sang datuk, tepat
menghantam pipi dan mata kirinya, membuat sang datuk menggerung bukan saja
karena sakit tapi lebih dari itu karena amarah dan penasaran bukan kepalang.
Seumur hidup baru sekali ini dia dihantam babak belur seperti itu.
Tak berhasil mencegah Wiro meninggalkan tempat itu akhirnya Datuk Tongkat
berteriak pada Buto Celeng.
"Bantu aku mencari tongkat bambuku!" Senjata andalannya itu terlepas dan mental
entah ke mana sewaktu angin pukulan sakti Wiro melabrak dirinya tadi.
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Meskipun hari malam dan gelap namun tidak sulit bagi Nawang Suri untuk mencari
rumah kediaman Gama Manyar alias Empu Soka Panaran yang terletak di pinggiran
Kuto Gede. Apalagi di pintu pekarangan depan rumah besar yang berbentuk gapura
itu jelas terlihat sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga warna biru. Itulah
tanda utama yang menjadi petunjuk.
Sesaat setelah memperhatikan keadaan sekelilingnya Nawang Suri cepat memasuki
pintu halaman, naik ke serambi rumah. Tanpa ragu-ragu dia mendorong pintu kayu
hitam dan menyelinap masuk ke dalam. Begitu dia menutup pintu, seorang lelaki
tua berpakaian putih dan berkain sarung biru, meletakkan lempengan perak yang
dipegangnya ke atas meja lalu dengan cepat dia berdiri dari kursi, menyongsong
Nawang Suri. "Saya memang sudah punya firasat. Kalau Raden Ayu akan muncul malam ini." Lalu
orang tua yang rambutnya dikonde di atas kepala itu jatuhkan diri berlutut
seraya berkata "Saya Soka Panaran menghaturkan hormat dan bakti pada junjungan
Ratu Nawang Suri......"
Nawang Suri merasa tidak enak. Dia memandang ke kiri dan kanan lalu berkata
"Empu, harap berhati-hati atas sikap dan ucapanmu. Jika ada yang mendengar kita
bisa celaka......"
"Ah, maafkan saya. Saya terlalu gembira bertemu muka dengan Den Ayu hingga
melupakan kerahasiaan. Saya hanya seorang diri di sini...."
"Saya tahu. Tapi harap jangan lupa kalau dinding dan atap itu terkadang
mempunyai telinga!"
"Petunjuk Den Ayu itu akan saya perhatiken," ujar Gama Manyar seraya merunduk.
Dia memang mempunyai kebiasaan kalau bicara kata kan disebutnya sebagai ken.
"Berdirilah empu...." Kata Nawang Suri yang merasa belum saatnya dihormat seperti
itu. Gama Manyar berdiri lalu membawa Nawang Suri duduk ke sebuah kursi.
"Duduklah..... Perjalanan jauh tentu membuat Den Ayu kecapaian. Minumlah
dahulu....." Lalu orang tua ini menuangkan air putih dari dalam kendi tanah ke
sebuah cangkir. Nawang Suri menghabiskan isi cangkir itu. Dia memandang
berkeliling. Di mana-mana dia melihat berbagai ukiran terbuat dari perak.
"Saya lihat Den Ayu tidak melakukan penyamaran sebagaimana mestinya...."
Terdengar Gama Manyar berkata.
Nawang Suri mengusap mulutnya di sebelah bawah hidung. Sejak kumis palsunya
dijambret dalam perkelahian di sawah malam kemarin memang penyamarannya hanya
tinggal pakaian lelaki dan kain putih penutup kepala. Jika orang benar-benar
memperhatikan maka kenyataan bahwa dia seorang perempuan akan lebih cepat dapat
diduga. "Apakah Den Ayu menemui kesulitan di jalan?" bertanya Gama Manyar karena ucapan
tadi tidak mendapatkan jawaban.


Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang ada berita buruk empu," sahut Nawang Suri. Lalu dia menceritakan
kematian Empu Andiko Pamesworo seperi yang dikatakan Buto Celeng. Tentu saja
Gama Manyar terkejut mendengar hal ini. dia berusaha keras menahan dan
membendung air mata agar tidak keluar.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak disangka dia yang lebih muda ternyata mendahuluiku...." Kata sang empu
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 13 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bagus Sajiwo 12

Cari Blog Ini