Ceritasilat Novel Online

Khianat Seorang Pendekar 2

Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar Bagian 2


Mahesa Kelud. Dia memandang berkeliling lalu memperhatikan jauh-jauh ke depan.
Mahesa Kelud ikut meneliti keadaan di sekitarnya lalu berkata: "Tak ada yang
harus dikawatirkan. Musuh-musuh berada jauh di Kadipaten!" Dari Wiro murid Embah
Jagatnata alias Simo Gembong itu telah mendengar penuturan mengapa Wiro harus
pergi ke Lumajang.
"Turut beberapa penjelasan yang kudengar, daerah bukit batu ini sering dipakai
para perampok untuk menghadang mangsanya!" kata Wiro lagi.
"Aku telah mengalami kejadian pahit di pedataran pasir Tenggara. Tapi sekali
ini,jika ada perampok yang berani muncul, mereka hanya minta mampus!"
menyahuti Mahesa Kelud.
Baru saja Mahesa Kelud berkata begitu tiba-tiba Wiro melihat gerakan
mencurigakan di puncak bukit samping kiri. Hal yang sama juga tampak pada puncak
bukit batu sebelah kanan.
"Lihat!" saru Wiro.
Mendongak ke atas Mahesa Kelud melihat ada tiga buah batu besar di puncak bukit
sebelah kanan lalu tiga lagi di sebelah kiri. Enam buah batu itu bergerak ke
tubir atas bukit lalu menggelinding ke bawah dengari suara gemuruh mengerikan.
"Lekas berlindung!" teriak Mahesa Kelud.
Dua pendekar itu menggebrak kuda masing-masing. Begitu kedua kuda itu menghambur
lari, Mahesa Kelud dan Wiro melompat dari punggung kuda, selamatkan diri dengan
berlindung di bawah lakukan bukit batu pada sisi kiri kanan.
Enam buah batu besar menghempas dahsyat. Dua ekor kuda terperangkap di celah
bukit. Terdengar ringkikan kedua binatang itu di antara gemuruh batu-batu yang
jatuh. Lalu sunyi. Debu dan pasir sesaat beterbangan ke udara menutupi
pemandangan. Begitu debu dan pasir luruh ke tanah dan keadaan terang kembali
Wiro dan Mahesa Kelud menyaksikan pemandangan yang 25
mengenaskan. Dua ekor kuda itu tergelimpang mati di bawah himpitan enam batu
besar "Bangsat rendah!" sumpah Mahesa Kelud marah sekali. Kedua tangannya di silangkan
di muka dada Mulutnya bergetar melapatkan aji kesaktian sedang tubuhnya
menggelegar menghimpun tenaga dalam. Didahului bentakan keras Mahesa Kelud
kemudian hantamkan tangan kanannya ke atas. Kilatan api merah dan panas menderu.
Tubir bukit batu setinggi 20 tombak di atas kiri sana tampak berpijar lalu
hancur berantakan. Pecahan batu dan bongkahan tanah beterbangan. Namun siapapun
adanya orang orang di atas sana agaknya tak satupun yang cidera. Rupanya mereka
telah lebih dulu meninggalkan tempat itu sebelum pukulan "ilmu api" yang
dilepaskan murid Emban Jagatnata menghancurkan sebagian tubir batu.
Kagum melihat kehebatan kawannya, Pendekar 212 Wiro Sableng tak mau kalah.
Tangan kanannya sampai sebatas siku mendadak berubah menjadi putih perak. Ketika
pendekar ini menghantam ke tubir bukit batu sebelah kanan, berkiblatlah sinar
putih menyilaukan disertai deru angin panas yang dahsyat.
Puncak bukit batu di atas sana menggelegar runtuh.
"Pukulan sinar matahari!" seru Mahesa Kelud kaget dan kagum ketika menyaksikan
pukulan itu. Dia sudah lama mendengar namun baru sekali ini menyaksikan sendiri.
Kini Mahesa Kelud sadar siapa sebenarnya kawannya yang selalu dipanggilnya
dengan sebutan Sableng ini!
Seperti pukulan sakti yang dilepaskan Mahesa Kelud tadi, hantaman pukulan sinar
matahari yang dilepaskan Wiro pun tidak mengenai siapa-siapa di atas sana.
"Keparat-keparat itu pasti sudah melarikan diri!"ujar Mahesa Kelud jengkel.
Dia ingin sekali mengejar,tapi tanpa kuda hal itu tak mungkin dilakukan.
"Mereka pasti orang-orang Adipati Kebo Penggiring!" kata Mahesa Kelud seraya
tepuk-tepuk pakaiannya yang penuh oleh debu. Dia memandang berkeliling sambil
garuk-garuk kepala. Lalu berkata: "Tak ada jalan lain. Kita harus melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki!"
"Aku akan berikan pembalasan berikut bunganya pada mereka!" kata Mahesa Kelud
pula sambil kepalkan tinju.
***************
EMPAT orang penunggang kuda tampak bersiap-siap di halaman samping gedung
Kadipaten Lumajang. Salah seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian
kebesaran Adipati bukan lain adalah Adipati Kebo Penggiring. Di sebelahnya
berturut-turut adalah dua lelaki berpakaian bagus, berusia agak lanjut tapi
memiliki tubuh sangat kekar. Salah seorang menunggang kuda putih.
Yang seorang lagi kakek berpakaian biru yang ada parut bekas luka pada mukanya
sebelah kiri mulai dari dagu sampai ke dekat mata.
"Kalian pasti Tunggul Soka dan Gajah Bledeg akan sampai malam ini dari
Kotaraja?" Adipati Kebo Penggiring bertanya.
Tiga orang di sampingnya sama mengangguk. Si cacat muka yang bernama Ronggo
Kemitir membuka mulut: "Tak usah kawatir. Mereka pasti datang untuk menjemput
senjata-senjata mustika itu. Sekaligus membantu kita menghadapi pendekar suruhan
Dewa Tuak itu " 26 Kebo Penggiring merasa kurang enak karena dianggap seperti takut. Dia cepat
berkata: "Soal pemuda gandeng itu tak usah dikawatirkan. Hanya saja aku dengar
kini dia bergabung dengan seorang pendekar muda lainnya. Ini gara-gara dua
sahabatku ini kesalahan turun tangan di pedataran Tengger.
Betul begitu ?"
Dua telaki bertubuh kekar berpakaian bagus terdengar batuk-batuk. Salah seorang
dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik Mahesa Kelud
menjawab: "Dengan siapa pun pendekar gendeng itu bergabung tak perlu ditakutkan.
Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi ketambahan
Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian tinggi, mana
mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjata-senjata miliknya "
"Tapi menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri dari Gucialit, dua pendekar
itu telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku
mengusir kawanmu yang satu itu. Karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!"
"Kepandaian mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Adipati. Tidak heran kalau
mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti. Jika dua pendekar itu muncul di sini,
kami akan memberi pelajaran paling bagus padanya. Adipati tinggal minta bagian
tubuhnya yang mana. Kepala, atau hati atau jantung ..."
Adipati Kebo Penggiring berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama
Tambak Ijo itu. Di saat yang sama dari halaman belakang muncul seorang diiringi
oleh dua pengawal yang menghunus tombak. Orang yang digiring dua pengawal itu
ternyata adalah seorang gadis berparas cantik, berpakaian ungu.
Kedua tangannya terikat di sebelah depan, setiap langkah yang dibuatnya tampak
menyebabkan tubuhnya sebelah atas erhuyung-huyung.
"Ronggo Kemitir," kata Adipati Kebo Penggiring pada kakek bermuka cacat.
"Sebelum berangkat, coba periksa dulu totokan di tubuhnya. Aku tak ingin kita
mendapat kesulitan dalam perjalanan, walau cuma dekat saja "
Kakek berpakaian biru melompat turun dari atas kudanya. Sesaat dia meraba-raba
punggung gadis berpakaian ungu lalu berpaling pada Kebo Pengigiring sambil
anggukkan kepala. "Totokanku masih berjalan baik. Kedua tangan tetap lumpuh,
jalan suara masih normal, sepanjang kaki masih bisa berjalan tapi terbatas
"Bagus! Kalau begitu naikkan dia ke atas kudaku. Dudukkan di sebelah depan!"
ujar Adipati Lumajang.
"Siapa sudi duduk bersamamu! Keparat!" Tiba-tiba gadis baju ungu itu memaki.
"Gadis binal! Jaga mulutmu!" mendamprat Tambak Ijo sementara Kebo Penggiring
cuma menyeringai.
Dengan satu gerakan enteng dan sangat cepat, Ronggo Kemitir menangkap pinggang
gadis berbaju ungui lalu mengangkat dan mendudukkannya di atas kuda di sebelah
depan sang Adipati. Hal ini membuat sang dara tambah marah dan memaki tiada
henti. Namun dia tak bisa berbuat lain karena tubuhnya dikuasai satu totokan
amat lihay. "Penging murid murtad!" si gadis membentak menyebut nama asli Kebo Penggiring.
"Guru akan datang dan membeset tubuhmu sampai lumat!"
Kebo Penggiring tertawa tawar. "Jika tua bangka buruk itu ingin menyelamatkanmu
tentu dia sudah datang dulu-dulu! Buktinya sampai hari ini dia tidak unjukkan
muka! Gurumu hanya pandai mabuk-mabuk meneguk tuak!"
27 "Murid pengkhianat! Pencuri laknat!" teriak si gadis.
Kebo Penggiring memberi isyarat. Diikuti oleh
Ronggo Kemitir, Tambak Ijo dan lelaki kekar satu lagi yang bernama Lah Bludak,
mereka segera meninggalkan halaman Kadipaten.
Saat itu malam telah turun. Udara yang sejak sore mendung membuat malam tambah
memekat gelap. Rombongan itu bergerak ke arah timur, menuju pusat Kadipaten
yakni sebuah alun-alun. Karena letaknya tidak jauh dari gedung Kadipaten maka
sebentar saja mereka sampai di situ. Di tengah alun-alun, dalam kegelapan malam
tampak berdiri sebuah panggung setinggi satu tombak.
Di atas panggung kayu itu dibangun dua buah tonggak besar berikut palangnya di
sebelah atas, lengkap dengan tali besar. Keseluruhannya membentuk sebuah tiang
gantungan yang mengerikan. Di bawah panggung tampak duduk berjongkok sesosok
tubuh. Di hadapannya ada sebuah pendupaan menyala yang asapnya menebar bau
menyan! "Anggini, kau lihat tiang gantungan itu?" Kebo Penggiring bertanya pada gadis
yang duduk diatas kuda di sebelah depannya.
"Mataku tidak buta!" sahut dara berbaju ungu yang ternyata adalah Anggini, murid
Dewa Tuak yang ditawan oleh Kebo Penggiring.
"Bagus, matamu tidak buta. Kuharap hatimu juga tidak terus-menerus membatu. Apa
kau tidak takut melihat tiang gantungan itu?" tanya sang Adipati lagi.
"Takut . . . "!" sang dara menyeringai. "Mengapa harus takut! Digantung saat ini
pun aku tidak takut! Tak perlu menunggu sampai besok pagi!"
"Kau memang gadis pemberani. Itu yang membuat aku kagum padamu,"
kata Kebo Penggiring terus-terang. "Tetapi mengapa begitu sulit bagimu menerima
permintaanku ... ?"
Anggini kembali menyeringai sinis. "Setelah kau uri kitab guru, setelah kau
perlakukan aku seperti ini, setelah kau menjadi seorang pengkhianat bejat, kau
masih punya muka meminta aku jadi istrimu" Puah!" Dara itu meludah ke tanah.
"Aku sudah bilang, buku ku akan kukembalikan pada guru, sehari setelah kita
melangsungkan perkawinan"
Kembali Anggini meludah. "Penging, kau sudah terlanjur menyakiti hati guru!
Kau bahkan sudah mengotori tanganmu dengan memperlakukan aku seperti ini "
"Tujuanku justru adalah untuk membahagiakan dirimu. Terus-terang banyak gadis
yang ingin kuperistrikan. Semua bangga menjadi istri seorang Adipati.
Tapi kau menolak "
"Segala setan pelayangan mungkin bangga jadi istrimu Penging! Tapi aku tidak!
Justru aku akan mencincang sekujur tubuhmu pada kesempatan pertama!"
Ronggo Kemitir si kakek bermuka cacat geleng geleng kepala. "Gadis ini sulit
untuk diberi pengertian Adipati " katanya.
Kebo Penggiring masih berusaha mencari harapan. "Masakan kau lebih suka
digantung daripada jadi istriku" Padahal bukankah aku adalah kakak seperguruanmu
sendiri... ?"
"Pada hari pertama kau mengkhianati guru, orang tua itu sudah tidak menganggap
kau muridnya lagi. Apa masih pantas aku menganggapmu sebagai kakak seperguruan"
Tidak malu!"
"Kalau begitu kau benar-benar menginginkan mati Anggini. Ingin digantung dengan
cap sebagai pemberontak "
28 "Kau boleh membunuh aku dengan dalih apapun. Tapi kebenaran tak akan pernah bisa
dikalahkan oleh angkara murka. Kau mengkhianati guru sendiri.
Mencelakai saudara seperguruan lalu sekaligus menjilat pada Kerajaan. Kau
ternyata memang manusia busuk luar biasa Penging!"
Paras Kebo Penggiring tampak merah mendengar kata-kata itu. Diikuti oleh yang
lain-lainnya dia membawa kudanya menuju panggung penggantungan.
Setelah berada dekat ke tempat itu Anggini segera melihat bahwa manusia yang
duduk di bawah panggung dan menghadapi pendupaan yang menebarkan bau menyan itu
ternyata adalah seorang nenek bermuka angker berpakaian serba hitam. Dia
terdengar seperti melaporkan mantera-mantera. Melihat kedatangan rombongan
Adipati, nenek ini hentikan membaca mantera, ulurkan kedua tangan ke muka
memberi hormat.
"Nenek Juminah " tegur Adipati Kebo Penggiring. "Menurut penglihatanmu apakah
se- mua persiapan berjalan lancar....?"
"Tentu saja Adipati . . . tentu saja!" jawab si enek. Suaranya kecil dan dia
bicara seperti orang tercekik. "Tetapi apakah sang calon tetap memilih mati
ketimbang dijadikan istri....?"
Sang Adipati termangu sesaat baru menjawab:
"Agaknya jalan pikirannya tak bisa dirobah. Mungkin kau hendak mengatakan
sesuatu sebelum kami meninggalkan tempat ini..... ?"
Nenek itu tegak dari jongkoknya. Ternyata tubuhnya pendek dan bongkok.
Matanya yang cekung memandang lekat lekat pada Anggini, membuat gadis ini jadi
tergetar juga hatinya. Lalu terdengar kata-kata si nenek.
"Dulu aku punya seorang anak gadis. Wajahnya jelek sekali. Apalagi dibandingkan
denganmu nak. Tapi dia begitu bangga ketika satu hari perajurit Kadipaten
mengambilnya jadi istri. Adalah aneh kalau kau yang begini cantik jelita lebih
suka mati digantung daripada dijadikan istri oleh Adipati Kebo Penggiring.
Adipati bukan satu pangkat yang rendah dan calon suamimu berwajah tampan gagah,
apalagi masih kakak seperguruanmu. Apakah kau tidak hendak merubah jalan
pikiranmu yang keliru itu nak .... 7"
"Nenek sialan I" maki Anggini dalam hati. Lalu dengan suara keras dia berkata:
"Jika menurutmu pangkat Adipati merupakan pangkat yang tinggi dan tampang
manusia ini tampang gagah, mengapa tidak kau saja yan? minta dijadikan istri"!"
Si nenek terkesiap latu gelengkan kepala sementara Kebo Penggiring tersentak dan
bergetar menahan amarah.
"Gadis bodoh . . gadis bodoh" kata si nenek berulang kali "Aku tak bisa
menolongmu. Sayang . . . sayang sekali Nenek itu kembali berjongkok dan
menyebarkan kemenyan di atas pendupaan.
"Nenek Juminah, kau telah menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Gadis ini memang
bodoh. Memilih mati tercemar daripada menerima permintaanku "
Adipati Kebo Penggiring membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti
tiga orang lainnya.
"Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi
Anggini?" tanya Kebo Penggiring.
Murid Dewa Tuak tidak menjawab.
Kebo Penggiring membuka mulutnya kembali.
"Aku akan memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap
pada keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan
kuserahkan pada tiga orang dibelakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan
datang dari Kotaraja. Besok pagi kau akan diseret ke tiang 29
gantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada gurumu Dewa
Tuak!" Anggini tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi
sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah.
Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru:
"Awasi Ada orang datang!"
Dari arah jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian
dua penunggang kuda nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap. Keduanya
segera mendatangi rombongan Adipati Kebo Penggiring. Semua orang bersiap menjaga
segala kemungkinan. Ternyata yang datang adalah dua orang yang memang sedang
ditunggu-tunggu.
"Selamat datang di Kadipaten. Kangmas Tunggu! Soka dan kangmas Gajah Bledeg,
kalian berdua memang kami tunggu-tunggu . . . . " menyambut Kabo Penggiring.
Yang datang ternyata adalah dua tokoh dari Kotaraja. Mereka muncul di situ
sesuai dengan permintaan sang Adipati untuk dimintai bantuan dan sekaligus
menyerahkan dua buah senjata mustika hasil rampasan. Selanjutnya senjata-senjata
itu akan diteruskan ke Keraton sebagai persembahan.
Dua oranti yang barusan datang tertawa lebar. Gajah Bledeg yang bertubuh tinggi
ramping dan mengenakan blangkon coklat dengan hiasan bintang besi kuning di
sebelah depannya sesaat menatap paras gadis, yang duduk di atas kuda di sebelah
depan sang Adipati.
Dia lalu bertanya: "Inikah gadis pemberontak yang besok bakal menjalani hukuman
gantung'" Ketika melihat Kebo Penggiring mengangguk dia menggelenkkarn kepala
berulang kali. "Sayang sekali tubuh begini bagus dan wajah begini jelita harus
dikubur menjadi umpan cacing tanah ..... Aku yang tua ini tak keberatan ditemani
barang sejam dua jam...... "
Semua orang tertawa bargelak mendengar ucapan Gajah Bledeg itu. Diantara tawa
itu terdengar suara Kebo Penggiring. "Kangmas Gajah Bledeg, kau tak perlu
kawatir. Malam ini kau akan mendapat bagian khusus"
"Begitu . . . ?" ujar Gajah Bledeg seraya basahkan bibir dengan ujung lidah dan
tenggorokan turun naik. Dia berpaling pada kawannya Tunggul Soka. "Ah, ternyata
jauh-jauh datang kamari tidak sia-sia "


Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggul Soka tersenyum dan palingkan kepala pada Kebo Penqgiring lalu hartanya:
"Adipati apakah kami dapat segera menerima dua senjata pusaka pedang sakti dan
keris ular emas itu. .... '"
"Tentu saja Kangmas Tunggul. Sampean tak usah kawatir. Dua senjata itu kusimpan
baik-baik diKadipaten. Segera akan kusarankan pada kalian besok selesai upacara
penggantungan gembong pemberontak betina ini!"
"Hemm begitu ...,.?" gumam Tunggul Soka. Sebenarnya dia ingin cepat-cepat
membawa dua senjata itu kembali ke Kota raja.
"Disamping. itu kami memerlukan bantuan kangmas berdua untuk menghadapi para
pengacau yang nanti akan segera muncul di Lumajang,"
berkata Ronggo Kemitir.
"Para pengacau ?" ujar Gajah Bledeg sambil kerenyitkan kening.
"Besarkah jumlah mereka. Terdiri dari beberapa rombongan pasukan dan siapa
pemimpin mereka?" bertanya Tunggul Soka.
"Ah, mereka hanya terdiri dari dua orang. Dua pemuda ingusan)" sahut Kebo
Penggiring. Mendengar hal itu Tunggul Soka dan Gajah Bledeg tertawa gelak-gelak.
30 "Kalau cuma dua pemudi ingusan biarlah aku menyediakan dua helai sapu-tangan
untuk menyeka ingus mereka!" kata Gajah
Biedag pula dan kembali pecah suara tawa bergelak ditempat itu".
Namun diam diam ada kekhawatiran lain dalam hati Kebo Penggiring. Bukan mustahil
bekas gurunya Dewa Tuak muncul dan ikut turun tangan.
31 ENAM SI NENEK Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan
tersentak kaget dan buka mata cekungnya lebar-lebar. Saat itu malam sangat gelap
dan udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok tubuh berpakaian putihputih. "Kalian siapa"!" si nenek membentak galak dan melompat tegak. Wiro Sableng dan
Mahesa Kelud sesaat saling pandang lalu Wiro menjawab: "Kami dua setan dari
neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenai siapa kau,
apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak digantung
gadis jelita gembong pemherontak"!"
Kembali si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang
mengaku setan dari neraka itu!
Tak kalah gertak si nenek menjawab: "Aku dukun Juminah! Penjaga tempat
penggantungan Ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau
kemenyan menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini,
besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta digantung"!"
"Katakan di mana gadis pemberontak itu sekarang"!" tanya Wiro.
"Hehl Di Kadipaten tentunya! Kalian tampaknya tidak bermaksud baik.
Jangan-jangan kalian sengaja mencari penyakit. Lekas berlalu dari sini"
Mahesa Kelud melirik pada Wiro dan berkata:
"Si keriput ini galak sekali. Biar kuberi pelajaran .... "
"Jangan. Aku punya rencana lain " kata Wiro. Lalu cepat dia menyambar pendupaan
yang berisi bara menyala. Di salah satu sudut kolong panggung dilihatnya kaleng
kecil berisi sisa minyak yang sebelumnya dipakai untuk menyalakan pendupaan.
Minyak itu diguyurkannya ke lantai panggung lalu pada tiang-tiang sebelah atas
dan bawah. Ketika bara ditebar di atas lantai yang basah oleh: minyak, api pun
segera berkobar.
"Kalian minta mati!" teriak nenek Juminah. Tubuhnya yang bongkok melesat ke
depan. Sepuluh jari tangannya yang kotor hitam dan berkuku panjang menyambar ke
dada dan wajah Wiro Sableng. Tapi gerakannya mendadak tertahan karena
pinggangnya ditangkap Mahesa Kelud. Pemuda ini siap pura-pura melemparkannya ke
dalam kobaran api hingga nenak Juminah menjerit ketakutan. Mahesa Kelud lagi
lemparkan perempuan tua itu ke tanah seraya berkata: "Pergi temui Adipati Kebo
Penggiring! Katakah kami dua setan dari neraka siap untuk mengambil nyawanya!"
"Gila! Kalian berdua mesti manusia-manusia gila!" teriak si nenek.
Wiro tarik kain panjang yang dikenakan si nenek hingga melorot sampai ke
pinggul! "Hai! Kau hendak menelanjangiku! Gilai Benar-benar gila" teriak si nenek seraya
cepat menarik lepas kainnya dari pegangan Wiro lalu tanpa tunggu lebih lama lari
lintang pukang dari tempat itu. Ternyata meskipun sudah tua dan bertubuh bungkuk
larinya kencang juga.
Ketika Adipati Kebo Penggiring dan yang lain lainnya menerima laporan si nenek
di Kadipaten, malam sudah menjelang pertengahannya.
"Mereka sudah muncul " desis Adipati Lumajang itu dan memandang berkeliling.
"Kita harus bergerak cepat. Menyongsong mereka ke alun-alun sebelum keduanya
sampai di sini "Jangan kawatir! Kami akan membereskannya! berkata Ronggo Kemitir seraya 32
memberi isyarat
pada Tambak Ijo dan Lah Bludak. Sebaliknya dua orang terakhir ini menoleh ke
arah Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Paham akan maksud pandangan itu Gajah Bledeg
segera membuka mulut.
"Kami berdua tetap tinggal di sini. Menjaga keselamatan Adipati, mengawasi
tawanan. Sekaligus mengawal dua senjata mustika yang akan dipersembahkan pada
Sri Baginda di Kotaraja!"
Mendengar kata-kata itu Ronggo Kemitir dan dua orang lainnya tak bisa berbuat
lain. Ketiganya keluar dari gedung Kadipaten pergi ke tempat dimana kuda mereka
ditambatkan. "Aku bukan menuduh yang tidak-tidak, tapi tindak-tanduk dua benggolan Keraton
tadi mendatangkan kecurigaan . . .. " berkata Ronggo Kemitir, si kakek bermuka
cacat pada Tambak Ijo dan Lah Bludak.
Kedua orang yang diajak bicara mengiyakan dengan suara perlahan karena takut
terdengar oleh Tunggul Soka dan Gajah Bledeg. Tak lama setelah ketiga orang itu
lenyap dari kejauhan Gajah Bledeg tegak dari kursi besar yang didudukinya,
sesaat melangkah mundar-mandir di hadapan Adipati Lumajang, kemudian terdengar
suaranya berkata.
"Rongga Kemitir dan dua kawannya itu pasti mampu menghadapi dan menghajar dua
pemuda yang datang menyerbu. Jadi tak perlu aku dan Tunggul Soka berada lebih
lama di sini "
Tentu saja Kebo Penggiring terkejut mendengar ucapan itu.
"Maksud kangmas?" tanyanya.
"Maksud kami," yang menjawab adalah Tunggul Soka, "cepat saja kau serahkan dua
senjata mustika itu dan kamr segera kembali ke Kotaraja . . . . "
"Ah, bukan begitu perjanjian kita semula," kata Kebo Penggiring mulai tampak
kesal. "Kangmas berdua datang ke sini memang untuk menjemput dua senjata sakti
itu. Tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalahnya sampai tuntas.
Maksudku sampai pemuda pemilik dua senjata mustika itu menemui ajal di depan
mata hidungku. Baru aku bisa tenteram. Kini yang datang bukan dia seorang, malah
membawa kawan yang tingkat kepandaiannya ternyata tidak rendah!"
"Kekawatiranmu terlalu dibesar-besarkan dimas Kebo Penggiring!" kata Gajah
Bledeg pula."Terus terang kami tak punya waktu berlama-lama di Kadipaten ini"
"Jadi kangmas tidak menginginkan kesempatan bersenang-senang dengan gadis itu
sebelum tubuhnya yang bagus digantung besok pagi .... ?" tanya Kebo Penggiring.
Dia sengaja berkata begitu untuk membujuk.
"Tentu, tentu saja aku sangat mengingininya dimas. Tidak banyak kulihat gadis
secantik dan semulus tawanan itu. Hanya saja tugas Kerajaan saat ini lebih
penting dari tubuh molek itu. Nah lekas kau ambillah kedua senjata itu.. "
Kebo Penggiring mengomel habis-habisan dalam hati. Namun dia tak bisa berbuat
lain. Seraya berdiri dari kursinya dia berkata: "Jika begitu keinginan kangmas
berdua baiklah. Silahkan menunggu sebentar."
Adipati itu melangkah masuk ke ruangan dalam. Begitu masuk ke dalam secepat
kilat dia menghilang ke sebuah ruangan rahasia di mana Pedang Sakti dan Keris
Ular Mas milik Mahesa Kelud yang diterimanya dari Tambak Ijo disembunyikannya.
Kedua senjata ini disisipkannya ke pinggang lalu bergegas meninggalkan ruangan
rahasia itu. Dari sini Kebo Penggiring memasuki sebuah lorong kecil menurun dan
sampai di sebuah kamar terbuat dari batu. Di sinilah Anggini disekap. Sang dara
masih berada dalam keadaan tertotok duduk tak bergerak di sudut kamar. Dia sudah
pasrah menerima nasib. Dinodai dan 33
digantung. Namun gadis ini jadi heran ketika tiba-tiba saja Kebo Penggiring
memanggul tubuhnya dan membawanya keluar dari kamar tahanan lewat sebuah jalan
rahasia yang membawanya ke bagian belakang halaman gedung Kadipaten yang gelap.
"Kau mau bawa aku ke mana"!" tanya Anggini.
"Jangan banyak tanya!" desis Kebo Penggiring lalu cepat dia totok urat besar di
leher si gadis hingga Anggini tak mampu lagi keluarkan suara. Di bagian belakang
gedung Kadipaten tertambat dua ekor kuda besar. Kedua binatang itu tampaknya
memang sengaja disiapkan di situ. Rupanya Kebo Penggiring cukup cerdik dan
panjang akal memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Cepat dia melompat ke
atas punggung salah seekor kuda lalu membedal binatang itu dalam kegelapan malam
sambil memangku tubuh Anggini di sebelah depan.
Meskipun Kebo Penggiring berhasil mengelabui Tunggul Soka dan Gajah Bledeg, tapi
tanpa disadarinya dua sosok tubuh berpakaian putih mengejarnya dalam kegelapan.
Di pinggiran sebuah hutan kecil di sebelah tenggara Lumajang, dua pengejar ini
berhasil menyusulnya lewat jalan pintas. Salah seorang dari mereka menarik kaki
belakang kuda yang ditungganginya Hingga tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama
tubuh Anggini. Sekali lagi Kebo Penggiring menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh secepat
kilat dia mendekap tubuh gadis itu. Memandang ke depan dia melihat dua pemuda
itu siap untuk menyerangnya. Kebo Penggiring cabut Keris Ular Emas dari
sarungnya. Sinar kuning membersit terang di tempat gelap itu.
Ujung keris ditempelkannya ke leher Anggini lalu dia membentak lemparkan
ancaman. "Tetap di tempat kalian masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini
akan menamatkan riwayat gadis ini!"
Wiro dan Mahesa Kelud tercekat. Sesaat tak tahu mau berbuat apa selain tegak tak
bergerak. Perlahan-lahan dia kemudian memanggul tubuh Anggini lalu menaikkan tubuh gadis
itu ke atas kuda kembali. Ujung keris kini ditujukannya ke pinggang si gadis.
Melihat ini Wiro segera bergerak untuk menghantam tapi Mahesa Kelud cepat
mencegah dengan berteriak: "Jangan! Keris itu beracun!"
Wiro terpaksa batalkan niatnya. Jika senjata itu beracun, meskipun hanya
tergores berarti nyawa Anggini tak mungkin diselamatkan.
"Kau! Mendekat kemari!" tiba-tiba Kebo Penggiring membentak dari atas kuda.
Mahesa Kelud yang dibentak mau tak mau - demi keselamatan gadis yang berada
dibawah ancaman Kebo Penggiring - terpaksa melangkah maju. Begitu mendekat Adipati
itu hantamkan tendangan kaki kanan ke dada sipemuda.
Tubuh Mahesa Kelud melintir lalu terlempar roboh ke tanah, tergelimpang tak
berkutik lagi. "Kini giliranmu gondrong! Kemari!" bentak Kebo Penggiring. Tapi ketika dia
berpaling ke kiri, dia dapatkan sosok tubuh Wiro Sableng tak ada lagi ditempat
itu. "Aku tahu kau sembunyi di sekitar sini, pemuda keparat! Jika kau berani
membokong silahkan! Kau bisa membunuhku, tapi gadis ini tak akan selamat dari
kematian!" habis berkata begitu Kebo Penggiring segera menggebrak kuda
tunggangannya. Sebentar saja dia sudah lenyap dalam kegelapan.
Anggini yang berada di sebelah depan berusaha memutar matanya, memandang
berkeliling. Tapi malam sangat gelap dan kuda itu sudah menghambur jauh.
Benarkah pemuda itu yang dilihatnya tadi?"Pendekar 212 Wiro Sableng"
"Mungkinkah guru meminta bantuannya . . . ?"berbisik hati sang dara. Lalu 34
dia terkenang pada saat pertemuan pertama kali beberapa tahun lalu dengan Wiro.
Hanya saja dia tak bisa mengenang lebih lama karena keadaan dirinya saat itu
masih berada dalam ancaman bahaya besar.
Wiro Sableng melompat keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon besar.
Hatinya jengkel sekali karena tak punya kesempatan untuk menghantam Kebo
Penggiring yang ternyata berlaku sangat cerdik itu. Dia hanya sempat sekilas
melihatwajah Anggini. Tak cukup jelas untuk melihat kecantikannya sebelum gadis
itu menghilang dilarikan sang Adipati.
Cepat Wiro dekati tubuh Mahesa Kelud yang terhampar di tanah. Ketika dia hendak
menyentuh punggung pemuda itu, tubuh Mahesa Kelud mendadak membalik dengan
tangan kanan siap menghantamkan pukulan
"karang sewu"!
"Sialan! Kukira kau pingsan benaran!" ujar Wiro.
"Untung aku membentengi badan dengan aji karang sewu. Kalau tidak tendangan tadi
sudah menghancurkan jantungku!" kata Mahesa Kelud seraya berdiri. "Aku yakin
keparat itu terluka kaki kanannya. Aku mendengar suara keluhan pendek dari
mulutnya. Mana dia .. "!"
"Kaburi"
"Harus kita kejar sebelum lari jauh!" kata Mahesa pula. Kedua pendekar itu
segera berkelebat ke arah lenyapnya Kebo Penggiring. Setelah tari jauh
sepeminuman teh Wiro berbisik pada Mahesa Kelud.
"Ada serombongan kunyuk yang mengejar kita di sebelah belakang "
"Betul," sahut Mahesa Kelud. "Tapi jelas mereka bukan hendak mengejar.
Mereka menguntit. Semuanya berkuda. Tiga orang pada jalur hutan sebelah kanan,
dua lagi di sisi sebelah kiri
"Bagaimana pendapatmu" Apakah kita perlu menghantam mereka"!" tanya Mahesa. "
"Sebaiknya jangan. Jika timbul bentrokan, Kebo Penggiring sudah kabur makin
jauh.Kau tak akan sempat menyelamatkan si gadis dan aku tak akan dapat mengambil
dua senjata mustika itu!"
"Kau betul!" ujar Wiro. "Mari percepat lari kita!"
35 TUJUH ADIPATI KEBO PENGGIRING tahu batul seluk-beluk jalan yang ditempuhnya. Karena
itulah meskipun malam gelap dia dapat memacu kudanya dan meninggalkan siapapun
mereka yang berusaha mengejar. Selewatnya sebuah pedataran lalang Kebo
Penggiring memasuki daerah bebukitan kecil dan sampai di sebuah lembah. Dalam
dinginnya malam dan kegelapan dia dapat melihat rumah bambu yang menjadi
tujuannya, terletak ditepi sebuah telaga kecil. Hanya saja saat itu sang Adipati
melihat ada satu keanehan.
Di atas atap bangunan bambu tampak sebuah lampu minyak diberi berpagar kertas
tipis warna merah hingga angin tak dapat memadamkan nyala api lampu. Sebuah
lampion! "Apa maksud Eyang memasang lampion di atas atap " membatin Kebo Penggiring.
Kudanya menderap kencang menuju rumah kecil itu dan dalam beberapa saat saja
sudah sampai di sana. Pintu depan rumah tampak terbuka.
"Eyang, saya datang ....." kata Kebo Penggiring dengan suara dikeraskan.
Dari dalam bangunan yang gelap terdengar suara batuk-batuk lalu orang menjawab:
"Bagus .... Masuklah. Malam buta begini kau muncul tentu ada sesuatu yang
penting!" Kabo Penggiring turun dari kudanya iaiu menggendong Anggini dan masuk ke dalam
bangunan yang gelap. Meskipun gelap namun dia dapat melihat sosok tubuh sang
guru yang duduk di sudut kanan, berjubah hitam, lengkap dengan topi kain hitam
berbentuk kepala poncong.
"Eyang Poncong Item " sang guru ternyata bernama aneh, "apakah kau ada baik-baik
saja?" "Tentu . . . tentu"
"Suara Eyang terdengar lain dan sering-sering batuk .... "
"Ya . . Tua bangka sepertiku ini memang mudah masuk angin. Sudah tiga hari aku
batuk. Itu sebabnya suaraku lain "
Kebo Penggiring coba menembus kegelapan malam dalam bangunan bambu yang gelap
pekat itu. Dia jelas merasakan satu kelainan. Tapi tidak dapat memastikan opa
yang terasa lain itu. Otaknya bekerja keras tapidia tak dapat memecahkan tekateki yang ada dalam dirinya sendiri itu.
"Sosok tubuh siap yang kau gotong masuk itu, muridku?"' Eyang Poncong Item
bertanya dari sudut gelap.
"Adik seperguruanku Eyang
"Hemm . . . bukankah dia yang kabarnya menjadi gembong pemberontak terhadap
Kerajaan" Kau menangkapnya atau bagaimana" Apakah dia sakit?"
Kebo Penggiring tak segera menjawab. Seingatnya dia tak pernah menceritakan pada
gurunya mengenai Anggini. Rasa tak enak kini menyamaki hati Kebo Penggiring.
Sang guru agaknya mencium keheranan muridnya maka dia cepat batuk-batuk dan
berkata: "Kau tak usah heran, muridku. Walau kau tak pernah bercerita tapi aku
punya seribu telinga untuk menyirap kabar apa yang terjadi diluaran. Kau datang
di malam buta seperti terburu-buru. Apakah ada setan yang mengejarmu?"
"Memang ada yang mengejar saya Eyang. Tapi mereka tertinggal jauh dan tak
mungkin dapat mengejar sampai di sini. Hanya saja "
"Hanya saja apa Kebo Penggiring . ..."
"Hemmm " Tiba-tiba sang Adipati ingat. Eyang Poncong Item tak suka 36
bergelap-gelap dalam rumah bambunya itu. Lalu lampu minyak di atas atap!
Astaga. "Lampion di atas atap Eyang!" suara Kebo Penggiring menyentak keras,


Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa dengan lampion itu?"
"Lampu itu bisa menjadi petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!"
Eyang Poncong Item tertawa.
"Kau memiliki rasa takut tak beralasan . .. "
"Eyang, suara tawamu aneh!" tukas Kebo Peng-giring. Lalu dia bergerak mencaricari sesuatu. "Apa yang kau cari?"
"Lampu. Saya tahu ada lampu dalam rumah ini. Dan Eyang biasa menghidupkannya "
"Lupakan lampu itu Kebo Penggiring. Mendekatlah padaku. Ada sesuatu yang akan
kukatakan padamu
"Katakan saja Eyang," jawab Adipati Lumajang itu tanpa beringsut dari duduknya.
"Soal kitab yang kau dapat dari gurumu Desa Tuak itu ... . Yang tempo hari kau
berikan padaku "
"Ada apa dengan kitab itu Eyang?"
"Kitab itu lenyap dicuri orang!"
"Astaga!" Kebo Penggiring terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup
mencurinya dari tangan Eyang!" ujar sang Adipati hampir tak percaya.
"Itulah sebabnya kau kusuruh mendekat. Ada sesuatu yang hendak kuperlihatkan
padamu!" "Mau tak mau Kebo Penggiring bergerak juga mendekati sang guru. Ketika jarak
mereka tinggal terpisah dua langkah, tiba-tiba Eyang Pencong Item gerakkan
tangan kanannya.
Wutt Satu jotosan menghantam dada Kebo Penggiring. Adipati ini terjengkang sambil
menjerit. Menjerit karena sakit dan juga kaget luar biasa. Di lain kejap dia
sudah berdiri sambil memandang tak berkedip.
"Keparat! Kau bukan Eyang Poncong Item!" bentak Kebo Penggiring kemudian.
Orang di depannya, yang juga telah berdiri keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Murid pengkhianat! Kau licik tapi ternyata tak cukup cerdik!" Sang" Eyang"
usap mukanya dan lemparkan topi hitam berbentuk poncong di kepalanya lalu
tanggalkan jubah hitam yang melekat di tubuhnya.
"Dewa Tuak!" saru Kebo Penggiring k"tika akhirnya dia mengenali dalam gelap
siapa adanya orang tua di depannya. Bukan gurunya yang bernama Eyang Poncong
Item itu, tetapi guru pertamanya yang telah dikhianatinya yakni Dewa Tuak. Lalu
di mana Eyang Poncong Item" Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah bambu
ini" Selagi Kebon Penggiring terkesima begitu rupa Dewa Tuak umbar suara tawa lalu
menjangkau sebuah benda bulat panjang dari balik bahunya.
Gluk ... gluk . .. gluk i
Byuuur......! Orang tua itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Di dalam gelap menebar
harumnya bau tuak. Kebo Penggiring berseru tegang, jatuhkan diri ke lantai bambu
lalu melompat ke kiri menerobos dinding.
"Murid murtad! Kau mau lari ke mana ... ?" bentak Dewa Tuak. Dia melompat ke
pintu. Sampai di luar kembali mengajar dengan semburan tuak.
Kebo Penggiring tahu betul Kedahsyatan semburan tuak itu. Setelah menghindar
selamatkan diri dia lepaskan pukulan tangan kosong yang 37
mengandung tenaga dalam tinggi dua kali berturut-turut. Kekuatan pukulan itu
membuat Dewa Tuak terkejut. Buru-buru si kakek melompat ke atas dan dari atas
semburkan lagi tuaknya. Kali ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Melihat
datangnya semburan tuak disertai deru laksana badai mengamuk. Kebo Penggiring
segera maklum kalau bekas gurunya itu tidak main-main dan menginginkan
kematiannyal Adipati ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain kejap
sinar merah berkiblat.
Terdengar suara berdering. Semburan tuak laksana menghantam dinding bambu lalu
luruh ke tanah. Belum habis kaget Dewa Tuak tiba-tiba sinar merah menyambar ke
arah dadanya. Kakek ini cepat melompat mundur. Tak urung janggutnya kena dipapas
sebagian. Pucatlah wajah Dewa Tuak sementara Kebo Penggiring tertawa tergelak
sambil melintangkan Pedang Sakti yang memancarkan sinar merah di depan dada.
Sepasang mata Dowa Tuak tak berkesip memandangi senjata itu
"Dari mana kau dapatkan pedang mustika itu?"Si kakek bertanya.
"Kau tanyakan saja nanti pada iblis di liang kubur! ' jawab Kebo Penggiring
seenaknya. Lalu dia menyerbu. Serangan-serangannya ganas sekali Meskipun dia
tidak menguasai jurus-jurus ilmu pedang Dewa yang menjadi dasar utama pasangan
senjata mustika itu, namun karena senjata tersebut memang merupakan senjata
sakti luar biasa, dimainkan dalam jurus apa pun tetap merupakan senjata ampuh
dan berbahaya. Dalam waktu singkat Dewa Tuak telah terkurung rapat. Hanya
kegesitannya saja yang membuatnya sanggup bertahan sampai lebih dari sepuluh
jurus. Memasuki jurus ke empat belas, satu bacokan deras yang sangat sulit
dielakkannya, memaksa Dewa Tuak pergunakan bumbung bambu minuman kesayangannya
untuk menjadi perisai diri. Tak ampun tabung itu terkutung dua namun si kakek
sendiri berhasil selamakan tubuhnya. Sesaat Dewa Tuak tegak tertegun sambil
urut-urut dadanya. Agaknya sebelumnya orang tua ini telah mengalami cidera di
bagian dada itu.
"Tua bangka buruk! Sebelum tubuhmu kucincang lekas katakan di mana guruku Eyang
Poncong Item!" Kebo Penggiring membentak.
Dewa Tuak tertawa mengekefr.
"Dia sedang berenang betsenang-senang di telaga!" jawabnya.
"Maksudmu"!" bentak Kebo Penggiring. Sekilas dia melirik ke arah telaga. Dia tak
dapat melihat apa-apa. Meskipun malam mulai merayap menuju dinihari namun
keadaan masih pekat gelap.
"Aku meminta baik-baik kitab curian yang kau berikan padanya. Tapi dia lebih
suka memilih .berenang di telaga. Hanya sayang dia berenang tidak membawa nafas
lagi.... Ha .. .ha.. .hal"
"Jadi"!"
"Gurumu sudah lama jadi bangkai.
Dada Kebo Penggiring seperti mau meledak. Pedang sakti disabatkannya ke depan.
Sinar merah berkiblat. Dia melompat untuk menyerbu kakek itu kembali. Namun
gerakannya tertahan ketika dia melihat ada beberapa sosok tubuh berdiri dalam
kegelapan. Kebo Penggiring segera mengenali orang-orang itu. Mereka adalah
Ronggo Kemitir, Tambak Ijo, Lah Bludak, dan Tunggul Soka.
"Ah, urusan ini bisa jadi kapiran!" keluh Kebo Penggiring dalam hati. Dia
mencari-cari tapi.tak melihat Gajah Bledeg. Ketika dia berpaling ke arah
bangunan bambu dilihatnya orang itu tegak di sana dan
memanggul tubuh Anggini di bahu kirinya!
"Kangmas Gajah Bledeg! Apa yang hendak kau lakukan dengan gadis itu"!"
38 teriak Kebo Penggiring bertanya.
"Kebo Penggiring," sahut Gajah Bledeg. "Sebaiknya kau selesaikan saja urusanmu
dengan gurumu. Soal gadis ini tak usah dipikirkan!"
"Kalau kau berani melakukan hal yang tidak-tidak terhadapnya akan kubunuh kau!"
mengancam Kebo Penggiring.
Gajah Bledeg tertawa bergelak.
"Sebelumnya kau hendak mencelakai gadis ini! Hendak menodai dan menggantungnya!
"Sekarang mengapa kau ingin membelanya"!" tanya Gajah Bledeg jelas dengan maksud
mengejek. Kebo Penggiring geram bukan main. Sesaat dia memutar otak. Lalu berkata dengan
suara bergetar:
"Kangmas Gajah Bledeg, jika kau tidak melepaskan gadis itu, terpaksa aku
menyerangmu!"
Kembali benggolan kerajaan itu tertawa dan menjawab menantang: "Siapa takut
padamu Kebo Penggiring! Kelak aku akan membuat laporan ke Istana Bahwa kau
berani mengangkat senjata terhadap orang
Keraton. Bahwa kau ternyata juga seorang gembong pemberontak!"
Mendengar kata-kata Gajah Bledag itu. Kebo Penggiring tak dapat lagi menahan
amarahnya. Dia segera menyerbu. Tapi setengah jalan Dewa Tuak menghadangnya
sambil tertawa ha-ha hi-hi meskipun sambil mengurut dadanya yang sakit.
"Murid khianat! Pelajaran yang kuterima darimu belum selesai. Mari kita mainmain lagi beberapa jurus sampai ada yang mampus di antara kita!"
Kebo Penggiring merasa heran melihat tindakan bekas gurunya ini.
Seharusnya Dewa Tuak berusaha menyelamatkan muridnya Anggini. Tapi malah justru
menghadangnya. "Tua bangka geblek!" makinya. "Rupanya kau memang sudah bosan hidup"
Kebo Penggiring melompat menerjang. Dewa
Tuak tegak tenang-tenang saja. Sesaat kemudian terdengar suaranya berseru..
"Pendekar 2121 Sudah saatnya kau keluar dari persembunyianmu. Kau datang ke mari
bukan untuk menonton tapi menolongku! Lekas selesaikan urusan dengan manusia
jelek bernama Gajah Bledeg itu "
39 DELAPAN WIRO SABLENG yang memang sejak tadi mendekam di balik semak belukar bersama
Mahesa Kelud menunggu kesempatan baik, mendengar teriakan Dewa Tuak itu segera
melesat keluar, ke arah Gajah Bledeg.
Melihat hal ini Tunggul Soka tak tinggal diam. Dia memberi isyarat pada Ronggo
Kemitir agar membantu Gajah Bledeg lalu pada Tambak Ijo dan Lah Bludak dia
membisikkan agar segera mengikutinya menyerbu Kebo Penggiring.
Pedang merah di tangan Adipati itu dan juga sebilah keris mustika yang pasti
terselip di pinggangnya harus segera dirampas.
"Hemm ... Jadi ini kacung suruhan Dewa Tuak yang diutus untuk membebaskan gadis
molek ini" Apa betul namamu Sableng, cung?"
Kata-kata itu diucapkan Gajah Bledeg pada Wiro Sableng ketika pendekar ini
melangkah mendekatinya. Diejek demikian rupa Wiro Sableng keluarkan siulan
tinggi. "Tuan besar bernama Gajah Bledeg, turut penglihatanku kau tak pantas memakai
nama Gajah. Tampangmu jauh lebih jelek dari gajah!"
Marahlah Gajah Bledeg mendengar ejekan itu. Masih memanggul Anggini di bahu
kirinya dia hantamkan satu pukulan ke kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gandeng
rundukkan kepala sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis.
Dua lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh dari Istana itu. Lengannya seperti
mengemplang tiang besi. Menyadari kalau si pemuda memiliki kepandaian tinggi,
Gajah Bledeg cepat turunkan tubuh Anggini dan menggolekkan gadis ini di langkan
rumah bambu. Lalu secepat kilat dia menyerbu Wiro Sableng. Kedua telapak
tangannya terkembang. Serangan-serangannya kali ini bukan berupa jotosan, tetapi
seperti orang menampar. Dan setiap tamparan yang dilepaskannya mengeluarkan
suara dahsyat seperti geledek atau petir menyambar. Membuat semua orang tergetar
hatinya dan sakit telinganya. Tidak percuma dia mendapat nama Bledeg yang
berarti geledek itu!
Wiro Sableng sendiri kaget bukan main. Seumur hidup baru sekali ini dia
menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan seperti itu. Selain menimbulkan
suara menggetarkan, kedua telapak tangan Gajah Bledeg dirasakannya mengeluarkan
hawa panas. Braak! Salah satu tamparan Gajah Bledeg nyasar menghantam sebatang pohon dadap. Bekas
tamparan itu langsung berwarna hitam. Sesaat kemudian terdengar suara
berkereketan. Pohon besar itu patah, lalu tumbang perlahan-lahan.
Kuduk Pendekar 212 jadi mengkirik dingin. Kalau mau selamat tak ada jalan lain.
Dia juga harus keluarkan ilmu simpanannya. Apalagi saat itu dilihatnya si muka
cacat Ronggo Kemitir sudah berada di samping Gajah Bledeg, siap mengeroyoknya.
Ketika kedua orang itu menyerbunya, murid Sinto Gandeng ini sambut dengan
pukulan bentang topan melanda samudera.
Kalau Ronggo Kemitir keluarkan pekik kaget dan dapatkan tubuhnya terpental jauh
lalu jatuh tergelimpang di tanah, maka Gajah Bledeg keluarkan seruan tertahan.
Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha melawan tindihan pukulan sakti lawan yang
laksana dinding karang menghimpitnya. Tubuhnya mengapung namun hanya sesaat.
Ketika Wiro dorongkan telapak tangan kanannya tak ampun tokoh silat Keraton ini
terhempas ke belakang, berguling di tanah. Meski kemudian dia cepat berdiri
namun dadanya terasa sakit dan kedua 40
lututnya bergetar. Wiro Sableng sendiri kucurkan keringat di keningnya tanda
tenaga dalam perlawanan Gajah Bledeg sungguh luar biasa.
Di lain bagian Mahesa Kelud telah pula melompat keluar dari balik semak belukar
di mana sebelumnya dia bersembunyi bersama Wiro Sableng. Pendekar ini merasa
kawatir melihat begitu banyak orang yang menyerang Kebo Penggiring. Dewa Tuak
menyerang Adipati itu jelas untuk menghukum muridnya yang khianat. Sebaliknya
kesempatan ini dapat dipergunakan oleh Tunggul Soka untuk merampas senjatasenjata mustika miliknya yang dirampok dan kini berada di tangan Kebo
Penggiring. Dalam pada itu Mahesa melihat pula dua lelaki tinggi besar
berpakaian bagus yakni Tambak' Ijo dan Lah Bludak, yang merupakan dua dari lima
orang yang telah merampoknya di pedataran Tengger. Menimbang sampai ke situ maka
Mahesa Kelud segera berteriak.
"Dewa Tuakl Kau terluka di dalam! Mengapa tidak selamatkan saja murid
perempuanmu itu" Biarkan aku menggasak segerombolan badut ini!"
Dewa Tuak hendak memaki marah mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu.
Namun disadarinya bahwa saat itu dia memang dalam keadaan terluka di dalam yakni
akibat pukulan Eyang Poncong Item, guru Kebo Penggiring. Dalam perkelahian yang
terjadi pada sore hari yang sama Dewa Tuak berhasil menamatkan riwayat lawannya
dan membuang mayat Poncong Item ke dalam telaga. Ketika mayat itu digeledah dia
telah menemukan kitab miliknya yang dicuri muridnya itu. Kemungkinan besar
Poncong Item yang telah menghasut Kebo Penggiring untuk mencuri kitab tersebut
kemudian menyerahkannya padanya. Ternyata Poncong Item seorang kakek sakti
mandraguna yang tak mudah dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus baru Dewa
Tuak berhasil mengalahkannya. Itupun dia harus menerima satu pukulan telak di
dadanya. Kini menyadari kebenaran maksud baik ucapan Mahesa Kelud, Dewa Tuak cepat
menghampiri tubuh Anggini yang terbaring di langkan rumah bambu.
Sang murid ternyata tak kurang suatu apa selain di totok pada beberapa bagian
urat pentingnya hingga tak bisa bersuara, tak dapat menggerakkan kedua tangan
dan tak bisa mempergunakan kedua kakinya. Dengan cekatan Dewa Tuak melepaskan
totokan itu satu persatu. Begitu dirinya lepas dari totokan yang melumpuhkan
Anggini memeluk si kakek seraya mengucapkan terima kasih. Lalu tanpa dapat
dicegah gadis ini menyerbu ke tengah kalangan pertempuran. Di tangannya terdapat
sehelai selendang berwarna ungu yang pada ujungnya tertera guratan hitam angka
212. Selendang ini merupakan senjata yang diandalkan sang dara. Bagaimana angka
212 tergurat di ujung selendang itu ada kisahnya tersendiri. (Baca serial Wiro
Sableng Maut Bernyanyi Di Pajajaran).
Ketambahan lagi seorang lawan yakni Anggini, membuat Kebo Penggiring semakin
terjepit. Mahesa Kelud berkelahi sambil keluarkan jurus-jurus Ilmu Pedang Dewa
Delapan Penjuru Angin. Sepasang tangan dan dua kakinya siap dengan aji karang
sewu yang dapat menghancurkan apa saja bila kena dihantamnya. Selendang ungu di
tangan Anggini menderu kian ke mari laksana seekor ulat, membelit dan mematuk
tiada henti. Tunggul Soka serta Tambak Ijo dan Lah Bludak meskipun mengandalkan
tangan kosong, ketiganya melancarkan serangan-serangan berbahaya. Terutama
hantaman tangan dan kaki Tunggul Soka, sungguh ganas dan mengandung tenaga dalam
sangat tinggi. Namun pedang merah sakti di tangan Kebo Penggiring merupakan senjata ampuh luar
biasa yang dapat membendung semua serangan yang datang.
Karenanya meskipun telah terkurung rapat tetap saja para pengeroyok tidak 41
mampu menjatuhkan Adipati itu, apalagi merampas pedang. Satu kali Tunggul Soka
berlaku nekad. Setelah menggebrak dengan pukulan dan tendangan berantai dia
menyusup dari bawah, bergerak cepat. Satu tangan menghantam pergalangan Kebo
Penggiring, tangan lainnya membetot hulu pedang. Tapi hampir saja pentolan
istana ini celaka. Tidak terduga pedang merah itu menyambar ganas kebawah.
Bret! Bahu pakaian Tunggul Soka robek besar dimakan ujung pedang. Secuil dagingnya
terkelupas. Darah mengucur. Orang ini cepat melompat mundur.
Wajahnya tampak pucat. Sebagai tokoh silat istana Tunggul Soka memiliki
kepandaian silat dan tingkat tenaga dalam yang tinggi. Dibandingkan dengan
dirinya maka kepandaian Kebo Penggiring masih berada di bawah. Bagaimana Adipati
yang dikeroyok begitu banyak lawan masih mampu bertahan dia membuat kejutan.
Tak ada alasan lain kecuali pedang merah di tangan kanannya benar-benar senjata
luar biasa. Maka semakin berkobarlah hasrat Tunggul Soka untuk memiliki senjata
tersebut. Tunggul Soka usap luka di bahunya. Darah berhenti mengucur. Ketika dia menyerbu
kembali dari samping kiri dilihatnya sesosok tubuh melesat dari kegelapan,
langsung melabrak kalangan pertempuran. Tunggul Soka tidak kenali siapa adanya
orang ini. Sebaliknya begitu Kebo Penggiring melihat wajah penyerang baru itu,
hatinya mau tak mau jadi bergetar. Orang ini bukan lain pemuda yang telah
ditendangnya dan disangkanya telah menemui ajal, paling tidak terluka parah.
Kenyataannya dia kini malah muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit akibat
menendang, masih terasa di kaki kanannya.
Lain pula halnya dengan Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya bersama tiga


Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya telah menggagahi Mahesa Kelud di pedataran pasir Tengger, kini mereka
berkelahi dengan perasaan was-was tidak enak. Cepat atau lambat pemuda itu pasti
akan membalaskan dendamnya. Karena mereka berlima sebenarnya yang menjadi
pangkal sebab semua kejadian ini.
Selintas pikiran licik muncul di benak Tambak Ijo. Maka orang tinggi kekar ini
pun berteriak: "Kangmas Tunggul Soka, Adipati Kebo Penggiring, Lah Bludak I Mari lupakan dulu
persoalan di antara kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat
ini! "Kau betul dimas Tambak! Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing
pemberontak!" Berteriak Tunggul Soka.
"Keparat!" maki Mahesa Kelud ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud Tunggul
Soka dengan anjing-anjing pemberontak bukan lain adalah dirinya sendiri dan
Anggini murid Dewa Tuak. Maka Mahesa Kelud pun mendekati si gadis dan berbisik:
"Saudari kau hati-hatilah. Kita bakal dikeroyok. Berkelahi saling punggung
donganku!"
Anggini yang juga mengerti kalau keadaan kini berubah, cepat melakukan apa yang
dikatakan Mahesa lalu putar selendang ungunya lebih sehat.
Bagi Mhesa Kelud yang paling penting adalah memperhatikan tindak-tanduk gerakan
Kebo Penggiring. Adipati ini merupakan musuh paling berbahaya di antara empat
pengeroyok karena pedang sakti berada di tangannya. Sebaliknya dua titik lemah
di pibak lawan adalah Tambak Ijo dan Lah Bludak. Maka kembali dia berbisik pada
Anggini. "Hati-hati dengan pedang merah. Arahkan seranganmu lebih banyak pada 42
dua lawan berpakaian bagus!"
"Aku mngerti!" sahut sang dara. Kekuatan tenaga dalamnya kini dibagi dua.
Pertama disalurkan keselendang ungu yang jadi senjatanya. Sebagian lagi ke
lengan kiri. Pukulan dan tendangan berkecamuk silih berganti. Sinar ungu
selendang Anggini menderu berkelebat di udara. Di antara semua itu pedang merah
mengiblatkan sinar dan suara mendengung menggidikkan.
Mahesa Kelud kertakkan rahang. Setelah bertahan habis-habisan dengan jurus-jurus
ilmu pedang dewa pendekar ini akhirnya merasakan bahwa kedudukannya jurus demi
jurus semakin tertekan. Maka diapun mulai siapkan pukulan sakti mandraguna yakni
pukulan ilmu atau inti api. Namun pemuda ini serta merta menyadari dalam kecamuk
perkelahian yang menggila seperti itu tak mungkin baginya mengeluarkan ilmu
kesaktian itu. Untuk melakukan pukulan inti api dia harus memejamkan mata
membaca mantera. Jika itu dilakukan sama saja dengan membiarkan lawan membantai
tubuhnyal Untuk sementara dia terpaksa menjaga diri dengan aji karang sewu
sambil menunggu kesempatan untuk mengeluarkan senjata rahasia yakni pasir
terbang berwarna merahi Kita ikuti kembali perkelahian di bagian lain yakni
antara Pendekar 212 Wiro Sableng yang dikeroyok oleh Gajah Bledeg dan Ronggo
Kemitir. Setelah mengatur jalan nafas dan darah masing-masing, Gajah Bledeg serta Ronggo
Kemitir kembali menyerbu murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu.
Kalau Gajah Bledeg kini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya maka Ronggo
Kemitir tampak membekal sebilah, pedang berbentuk aneh. Senjata ini berbentuk
lurus, memiliki ketajaman pada kedua sisinya, lalu ujungnya yang seharusnya
lancip ternyata bercagak dua. Apa pun senjata yang di tangan Renggo Kemitir Wiro
Sableng tidak merasa takut. Pusat perhatiannya adalah sepasang tangan Gajah
Bledeg yang terus menerus mengeluarkan suara menggelegar, menebar hawa panas.
Pendekar 212 bentengi diri dengan beberapa pukulan sakti. Dia berhasil membuat
Ronggo Kemitir menjadi jeri' dari dipaksa menjaga jarak. Sebaliknya Gajah Bledeg
berlaku lebih cerdik. Setiap selesai melancarkan satu serangan, tubuhnya
berkelebat cepat berpindah tempat lalu kembali menyerang dari arah belakang. Dan
ketika lawan membalik untuk balas menghantam dia sudah bergerak ke jurusan lain.
Setelah saling hantam selama lebih dari sepuluh jurus Wiro mengambil keputusan
Ronggo Kemitir harus dibereskan lebih dulu. Maka Pendekar 212
lepaskan pukulan sinar matahari ke arah Gajeh Bledeg. Lawan satu ini terkejut
melihat sambaran sinar putih perak menyilaukan datang membabatnya disertai deru
dan hawa panas luar biasa. Ketika dia jungkir balik selamatkan diri, di lain
kejap Wiro sudah melesat ke kiri, kirimkan pukulan telak ke sisi kanan Ronggo
Kemitir yang saat itu juga ikut terkesiap melihat kedahsyatan pukulan sinar
matahari. Kraakl Empat tulang iga Ronggo Kemitir patah. Orang ini menjerit keras. Tubuhnya
sebelah dalam seperti ditusuk empat bilah pisau. Nafasnya mendadak menyengat.
Tubuhnya terhuyung ke belakang lalu jatuh duduk, tersandar ke semak belukar dan
tak mampu berdiri lagi.
Wiro Sableng berpaling ke arah Gajah Bledeg.
"Gajah jelek. Sekarang tinggal kau dan aku. Jika kau ingin kembali hidup-hidup
ke Kotaraja, cepat tinggalkan tempat ini. Tapi kalau kau memilih mampus
bersiaplah untuk menghadap setan akhirat!"
Meskipun hatinya tergetar melihat apa yang di- alami Ronggo Kemitir namun ucapan
Pendekar 212 Wiro Sableng itu membakar amarahnya. Didahului 43
bentakan keras dia tepukkan kedua telapak tangannya satu sama lain.
Terdengar suara seperti geledek menggelegar. Tanah bergetar. Pendengaran sakit
seperti ditusuk. Angin panas menderu menyambar tubuh Wiro Sableng.
Murid nenek sakti dari gunung Gede ini tak tinggal diam. Begitu angin pukulan
lawan menyambar ke arahnya, kembali dia lepaskan pukulan sinar matahari. Sekali
ini dengan pengerahan lebih tiga perempat tenaga dalam.
Terjadilah hal yang membuat semua orang yang ada di tempat itu menjadi terkesima
kaget, gempar lalu bergidik ngeri.
Pukulan geledek yang diiepalkan Gajah Bledeg saling hantam di udara dengan
pukulan sinar matahari. Satu letupan dahsyat menggelegar. Cabang cabang pohon,
ranting-ranting dan dedaunan rambas hancur berentakan dan hangus hitam. Di
sebelah bawah tanah terbongkar dan beterbangan. Bangunan bambu bekas kediaman
Poncong Item roboh. Air telaga bergerlombang. Tak ada satu orang pun yang
sanggup menahan diri dari kejatuhan, termasuk Wiro sendiri.
Semua orang-orang itu terhuyung lalu jatuh duduk di tanah seperti dilamun gempa
keras. Ketika mereka memandang ke jurusan Ronggo Kemitir berada, pentolan Istana
itu tampak terkapar beberapa tombak di kejatuhan. Pakaiannya tak kelihatan lagi.
Tubuhnya hanya tinggal tulang belulang hangus menghitami Selagi semua orang
terduduk terkesiap dan berusaha menenangkan kejut serta kengerian yang menguasai
diri masing-masing. Tunggul Soka pergunakan kesempatan. Dengan satu gerakan
kilat dia berkelebat kearah Kebo Penggiring.
Sekali sentak saja dia berhasil merampas Pedang Dewa merah dari tangan Adipati
Lumajang itu. "Bangsat pencuri!" teriak Kebon Penggiring marah dan hendak mengejar.
"Jangan tolol!" balas berteriak Tunggul Soka.
"Apa kau tidak melihat kedudukan kita sekarang terjepit" Kau masih memiliki
sebilah senjata sakti. Keluarkan benda itu lalu mari kita bergabung menghadapi
musuh musuh!" Sebenarnya Tunggul Soka memang ingin memiliki senjata itu namun
pada kesempatan yang tepat dengan licik dia dapat menutupi maksud buruknya itu.
Dan Kebo Penggiring pun termakan pula oleh kata-kata Tunggul Soka tadi. Dia
tampak mengeluarkan Keris Ular Emas dari balik pinggangnya.
Sinar kekuningan memancar di udara malam menjelang dinihari yang masih gelap
itu. Mahesa Kelud tersentak kaget. Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Jelas tambah sulit
bagi pihaknya untuk menghadapi empat lawan yang nekad itu, terutama mereka yang
memegang senjata mustika milik Mahesa yakni Tunggul Soka dan Kebo Penggiring.
"Anggini, kau mundurlah!" seru Dewa Tuak yang mengawatirkan keselamatan
muridnya. Dia lalu melompat ke samping Mahesa Kelud.
"Tidak bisa guru!" terdengar sahutan sang dara.
"Bagaimanapun aku harus menghajar manusia khianat itu. Mengingat rencana kejinya
terhadapku, aku pantas memecahkan kepalanya!"
Kebo Penggiring tertawa mengekeh. "Jika kau memang ingin kutiduri majulah
....!" "Manusia keji!" pekik Anggini. Selendangnya dikebutkan. Sinar ungu berkelebat
disertai deru angin deras menyambar kepala sang Adipati. Yang diserang tusukkan
keris emas di tangan kanannya ke atas.
Bret! Ujung selendang ungu robek. Anggini kembeli terpekik. Saat itu Dewa Tuak dan
Mahesa Kelud tak tinggal diam. Keduanya menyerbu. Di lain pihak Tunggul Soka dan
Tambak Ijo serta Lah Bludak sudah pula bergerak, 44
menyongsong datangnya serangan.
Di saat perkelahian kembali hendak berkecamuk itu, tiba terdengar suara
menggaung seperti ada ribuan tawon menyerbu tempat itu. Bersamaan dengan itu
sinar putih perak tampak berputar di udara lalu membeset ke arah Kebo
Penggiring. Percaya akan keampuhan Keris Ular Emas di tangannya sang Adipati tusukkan
senjatanya ke depan. Namun dia salah perhitungan. Sinar putih perak tadi
membabat ke bawah menghindari bentrokan lalu menelikung ke pinggang.
Kebo Penggiring terkejut. Cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Dia merasakan
lambungnya dingin. Rasa dingin itu hanya sekejap, berganti dengan rasa panas.
Dia memandang ke bawah lalu menjerit melihat darah menyembur di-susul usus yang
membusai dari perutnya yang robek besar. Memandang ke depan dia melihat pemuda
berambut gondrong itu tegak menyeringai dengan senjata aneh di tangani
"Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Tunggul Soka. Kini setelah dia tahu pasti siapa
adanya pemuda itu nyalinya pun meleleh. Dia sudah menguasai pedang sakti,
mengapa harus menyulitkan diri meneruskan perkelahian" Tanpa pikir panjang lagi
tokoh silat Istana ini segera balikkan diri ambil langkah seribu.
Namun sebelum tubuhnya lenyap di kegelapan Wiro arahkan Kapak Naga Geni 212 ke
arahnya lalu tekan alat rahasia di hulu senjata yang berbentuk kepala naga.
Terdengar suara berdesir halus ketika selusin jarum putih melesat dari mulut
kepala naga, menyerang ke arah Tunggul Soka. Mendengar datangnya senjata rahasia
ini Tunggul Soka cepat putar pedang merah di belakang punggung. Terdengar suara
berdentringan disertai memerciknya bunga-bunga api. Selusin jarum patah dan
luruh ke tanah. Wiro memaki panjang pendek.
Dia siap melompat untuk mengejar. Namun di sebelahnya seseorang telah berkelebat
lebih dulu seraya melepas senjata rahasia pula berupa pasir berwarna merah.
Ratusan pasir itu menderu dalam kegelapan malam, sulit dilihat dan hampir tak
mengeluarkan suara.
Tunggul Soka tersentak kaget ketika punggungnya terasa perih. Sadar kalau ada
senjata rahasia lain menghantam tubuhnya, tokoh silat Istana ini cepat jatuhkan
diri seraya putar pedang merah di belakang punggung. Namun terlambat. Puluhan
pasir-pasir merah menembus kulitnya, menyusup ke dalam daging, larut dalam
aliran darah. Tunggul Soka bergulingan di tanah lalu mencoba lari. Dia hanya
sanggup lari sejauh tiga tombak lalu tersungkur sambil mengerang. Sekujur
tubuhnya terasa perih seperti ditusuki ribuan jarum. Rasa nyeri itu disertai
pula oleh hawa panas bukan alang kepalang. Darah mengucur dari hidung, mata dan
telinganya. Dari mulutnya terdengar suara seperti mengorok. Dadanya naik ke atas
lalu terhempas ke bawah bersamaan dengan lepasnya nafasnya.
Mahesa Kelud cepat menyambar Pedang Dewa yang masih berada dalam panggangan
Tunggul Soka. Kembali ke tempat pertempuran semula Mahesa dapatkan Kebo
Penggiring sudah menggeletak di tanah. Usus membusai dan kepala pecah. Selagi
sang Adipati meregang nyawa. Anggini yang tidak dapat menahan dendam kesumatnya
hantamkan selendang ungunya ke kepala Adipati itu. Akibatnya sang Adipati yang
nyawanya memang sudah tak tertolong lagi menemui ajal dengan kepala pecah perut
jebol! Ketika Mahesa Kelud mengambil Keris Ular Emas dari tangan mayat Kebo Penggiring
dan menggeledah pakaiannya untuk menemukan sarung Pedang Dewa serta sarung Keris
Ular Emas, Tambak Ijo dan Lah Bludak yang sudah lama mencari kesempatan segara
menyelusup di balik pepohonan dalam 45
kegelapan. Namun keduanya tersentak kaget ketika terdengar bentakan: "Kalian
berdua mau lari ke mana"!" Dan tahu-tahu Mahesa Kelud sudah menghadang di depan
mereka. Tambak Ijo jatuhkan diri ke tanah. Lah Bludak mengikuti apa yang dilakukan
kawannya. Keduanya meratap minta diampuni.
"Setan tak bermalul" bentak Mahesa. "Apa yang telah kalian lakukan terhadapku
cukup layak membuat aku membunuh kalian detik ini juga"
"Jangan Raden... ampuni selembar nyawa kami. Kami hanya orang-orang suruhan
belaka ...." ratap Tambak Ijo.
"Begitu..." Baiklah. Nyawamu berdua aku ampuni. Tapi jangan harap kalian bisa
hidup senang di kemudian hari!" Habis berkata begitu Mahesa tendang selangkangan
kedua orang itu hingga anggota rahasia masing-masing hancur. Keduanya
terpelanting pingsan.
Saat itu hari mulai terang-terang tanah. Dewa Tuak tegak dengan tubuh gontai.
Dia memandang berkeliling.
"Beginilah hidup dan kehidupan..." katanya perlahan. "Kejahatan, kekejaman,
dendam dan darah selalu muncul setiap saat ada yang ingin berbuat kebajikan dan
kebaikan: Mahesa Kelud, apakah kau sudah mendapatkan kedua senjata mustikamu
kembali?" "Sudah kek. Aku sangat berterima kasih. Kalau tak ada kau dan muridmu serta
kawanku si Sableng itu niscaya aku akan kehilangan dua senjata itu selamalamanya ...."
Wiro garuk-garuk kepala. Dewa Tuak batuk-batuk. Tenggorokannya terasa kering
karena sudah beberapa lama tak meneguk tuak.
"Kalian dua pemuda tentu ingin melanjutkan perjalanan. Namun aku ada satu
pertanyaan untukmu Pendekar 212 "
"Apakah itu Dewa Tuak?" tanya Wiro Sableng. Mendadak saja dia jadi gelisah.
"Utusan jodoh tempo hari. Apakah kau sudah memikirkan ..."!"
Para Wiro Sableng berubah. Pendekar ini jadi salah tingkah. Di samping Dewa
Tuak, Anggini tampak tundukkan wajahnya yang menjadi sangat merah. Mahesa Kelud
tertawa geli dan kedip-kedipkan matanya pada Wiro.
"Jika kau memang tak berkenan pada muridku, terpaksa aku mencarikan jodoh yang
lain ...." terdengar suara Dewa Tuak.
Wiro Sableng angkat kepalanya, berpaling pada Mahesa Kelud. Murid E
mbah Jagatnata ini mendadak saja jadi pucat mukanya. Kini Wiro yang tertawa
mengekeh. "Kek, kau benari Sahabatku ini jauh lebih cocok untuk muridmu yang jelita itu!"
kata Wiro. "Hai! Urusan apa ini"!" seru Mahesa Kelud. Tapi saat itu Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah berkelebat lenyap. Ketika Mahesa Kelud hendak ikut-ikutan pergi
Dewa Tuak cepat memegang lengannya.
"Soal jodoh kita manusia memang kadang-kadang tak bisa mengaturnya. Tapi apa
salahnya kau kuajak mampir melihat-lihat tempat kediamanku
"Maaf kek, aku masih ada keperluan lain..." kata Mahesa Kelud coba menampik tapi
matanya melirik memperhatikan Anggini sejenak.
Dewa Tuak tertawa panjang. Tangan kanannya menarik lengan Mahesa Kelud. Tangan
kiri memegang lengan Anggini.
"Kek, tunggu.... Aku harus mencari kuda putihku ...." ujar Mahesa puia.
"Binatang itu, mengapa harus dikhawatirkan!" kata Dewa Tuak. Lalu kakek ini
keluarkan suitan panjang. Dari balik pepohonan tampak kepala seekor kuda 46
putih. Ternyata binatang itu memang Panah Putih, kuda milik Mahesa yang pernah
dirampas Tambal Ijo dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang itu melangkah pergi,
binatang ini mengikuti dari belakang. Sementara itu hari semakin terang tanda
pagi segera menjelang.
TAMAT 47 Sejengkal Tanah Sepercik Darah 14 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 19

Cari Blog Ini