Ceritasilat Novel Online

Guna Guna Tombak Api 2

Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api Bagian 2


Satu tombak lagi kepalanya akan mencium tanah dia berteriak keras seraya
lepaskan pukulan Sinar Matahari dengan tangan kanan.
Bummm! Letusan keras menggocangkan lembah. Tubuh Wiro
terhempas ke tanah tapi dia sempat menguasai diri hingga bukan kepala tapi
punggungnya yang terhempas ke tanah.
Di udara sinar putih perak menyilaukan berkiblat disertai menghamparnya hawa
panas. Di seberang sana Dewi
Tombak Api tampak tegak tergontai-gontai dengan muka seputih kertas lalu
perlahan-lahan jatuh duduk di tanah.
Bajunya sebelah kiri hangus disambar angin panas pukulan Sinar Matahari. Tapi
hebatnya, kulit tubuhnya tidak sedikit pun yang hangus padahal di sebelah dalam
akibat pukulan sakti lawan tadi dia merasakan isi tubuhnya laksana dibetot dan
diremas. Lalu beberapa tetes darah mengucur dari sela bibirnya!
"Pemuda satu ini, luar biasa. Aku merasa takluk. Aku harus keluarkan Tombak Api.
Tapi... ah! Jika itu kulakukan, aku...!" Sesaat Sumitri merasa bimbang. Namun
akhirnya tangannya bergerak juga ke balik punggung, di mana dia menyimpan Tombak
Api. Namun sebelum dia sempat
menyentuh senjata itu, di kejauhan dia melihat
berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian serba hitam.
"Ah, dia datang! Aku tidak takut padanya. Tapi lebih baik menghindar. Salahsalah aku bisa membunuhnya!"
Dewi Tombak Api berkelebat tinggalkan tempat itu
dengan cepat sementara Wiro bangkit berdiri sambil tepuk-tepuk pakaian putihnya
yang kotor oleh tanah.
"Dewi! Jangan pergi! Tolong kami dulu!" Bimo
Argomulyo berteriak.
"Dewi! Lepaskan totokan di tubuh kami! Tolong!"
Tapi sang Dewi sudah lenyap di belakang rumah dan kabur ke arah selatan lembah.
"Gadis hebat!" Wiro memuji sendirian. "Tapi mengapa budi pekertinya begitu kotor
dan jahat..." Lalu dia teringat pada Simanti yang terbujur di bawah pohon.
"Gadis itu!
Kalau tak lekas diobati nyawanya bisa-bisa tak tertolong."
Lalu dia pun menghampiri Simanti, berlutut di samping tubuh si gadis. Dia
melihat ada bagian dada yang bengkak membiru, yaitu tepat pada bekas sikutan
Dewi Tombak Api tadi. Gadis itu terluka di dalam. Dan memang harus lekas
ditolong. Tanpa ragu-ragu Wiro segera sibakkan dada pakaian Simanti. Serangan
Dewi Tombak Api tepat
bersarang antara kedua payudara si gadis. Wiro letakkan telapak tangannya di
celah payudara itu. Lalu mulai alirkan tenaga dalam. Mula-mula dia alirkan
tenaga dalam mengandung hawa dingin. Perlahan-lahan hawa dingin diganti dengan hawa hangat.
Sekujur tubuh Pendekar 212
telah mandi keringat. Simanti tampak bukakan kedua matanya tanda siuman. Namun
dirinya belum terlepas dari bahaya maut.
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Kini kedua
telapak tangannya ditempelkan di dada Simanti. Pada saat itulah terdengar suara
membentak garang.
"Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani berbuat tidak senonoh terhadap
muridku"!"
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
8 ELUM sempat Wiro berpaling tahu-tahu sebuah
benda berbentuk tongkat menyambar ke arah
Bkepalanya. Karena tak tahu benda apa yang
menyerang, murid Sinto Gendeng tak berani pergunakan tangan untuk menangkis. Dia
terpaksa jatuhkan diri di atas tubuh Simanti lalu berguling ke kiri sambil
dorongkan tangan kiri melepas pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Segulung angin menerpa tapi betapa kagetnya Pendekar 212 ketika tahu-tahu ada
kekuatan yang lebih kuat balas mendorong hingga pukulannya sendiri ikut berbalik
menghantamnya! Memaki panjang pendek Wiro kembali lepaskan
pukulan sakti. Kali ini yang dilepaskan adalah pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera. Tenaga dalamnya dikerahkan dua kali lebih besar. Tempat itu laksana
dilanda angin puting beliung. Terdengar suara orang berseru kaget. Sosok tubuh
yang tadi menyerang lenyap berlindung di balik sebatang pohon besar. Begitu deru
angin sirna, dari balik pohon melesat lima batang senjata rahasia berbentuk paku
besar terbuat dari perak!
Lima bagian tubuh Pendekar 212 menjadi sasaran lima paku perak itu. Wiro
melompat dua tombak sambil
hantamkan tangan kanan ke bawah. Dua paku berhasil dielakkan, dua lainnya dibuat
mental. Tapi yang kelima masih sempat merobek kaki celana dan menyerempet
betis kanannya!
Menyeringai kesakitan dan menggerendeng marah
dalam hati Wiro melayang turun ke tanah. Tangan
kanannya telah berubah menjadi berkilauan. Namun dia tidak jadi melepas pukulan
Sinar Matahari yang sudah disiapkannya itu ketika melihat siapa yang tegak di
seberang sana. Orang itu adalah seorang kakek berdandanan sebagai seorang Resi. Kaki kirinya
buntung. Tubuhnya disanggah oleh sebuah tongkat yang dikempit di bawah ketiak.
"Kakinya saja buntung. Tapi ilmu silat dan tenaga dalamnya sungguh luar biasa.
Tongkat penyanggah kakinya itu pastilah tadi yang dikeprukkannya ke kepalaku!"
begitu Wiro membatin.
"Resi berbaju hitam, mengapa kau menyerangku
membabi buta"!" bertanya Wiro Sableng.
"Karena kau memang seekor babi buta!" jawab Resi itu dengan mata berkilat-kilat.
"Eh, enak saja mulutmu bicara! Apa maksudmu"!"
"Apa maksudku! Masih berani bertanya! Kau kutangkap basah menggerayangi tubuh
muridku Simanti. Kalau aku tidak segera muncul di sini pasti kau sudah
menggagahinya!"
"Buset! Benar-benar buset!" teriak Wiro lalu geleng-gelengkan kepala. "Kek,
matamu nyala tapi buta. Otakmu cerdik tapi tolol! Kalau aku hendak memperkosa
gadis ini, mengapa kulakukan di tanah yang kotor begini rupa" Di sana ada rumah
dan ranjang! Bukankah lebih baik kubawa dia ke sana" Lalu masakan aku setolol
itu melakukannya di hadapan dua kampret yang berada dalam keadaan
tertotok itu"!"
"Eh, siapa yang kau maksud dengan kampret!" tanya sang Resi.
Wiro menuding pada Bimo Argomulyo dan Sarwo Bayu.
"Siapa mereka" Mengapa keduanya tertotok?"
bertanya sang Resi.
"Mengenai dua kampret itu biar nanti saja diurus.
Sekarang aku beritahu padamu bahwa aku bukan
menggerayangi tubuh muridmu! Dia menderita luka di dalam cukup parah terkena
hantaman kakak seperguruannya yang bernama Sumitri bergelar Dewi Tombak Api...!"
Terkejutlah si kakek. "Ah, murid sesat itu! Mana dia!"
"Dia sudah kabur, yang penting kau harus menolong muridmu ini dulu!" ujar Wiro
pula. Kakek berpakaian hitam itu berpaling pada Simanti yang masih terbujur. Lalu
memandang lekat-lekat pada Wiro. Pendekar 212 sendiri balas memperhatikan orang
tua itu. "Pasti tongkat penyanggah itu senjatanya. Dan juga dari badan tombak
itu tadi dia melesatkan lima paku perak. Kulihat ada alat rahasia di pertengahan
tongkat." "Anak muda kalau aku memang sudah salah menduga,
harap dimaafkan. Katakan siapa kau adanya?" kata si kakek.
"Namaku Wiro Sableng..."
Terkejutlah si kakek begitu mendengar Wiro sebutkan namanya. "Namamu Wiro
Sableng..." Kau murid si nenek centil Sinto Gendeng dari gunung Gede"!"
Wiro menyengir mendengar gurunya disebut si nenek centil ini berarti kakek itu
cukup kenal baik dengan gurunya.
"Puluhan tahun tak pernah bertemu lagi dengan Sinto Gendeng. Kini justru ketemu
murid tunggalnya yang namanya menjulang setinggi langit. Ditakuti lawan disegani
kawan..." "Kek, jangan keliwat memuji. Aku ini tak ada apaapanya. Aku cuma seorang pemuda gunung yang tolol dan pengangguran!"
Resi Tambak Kebo Kenanga tertawa panjang
mendengar kata-kata Wiro itu. "Kau tak usah merendah anak muda. Semua orang tahu
siapa Sinto Gendeng. Dan dunia persilatan juga tahu siapa Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212..."
"Kek, kalau kita mengobrol saja dan membiarkan gadis itu, beberapa saat lagi
pasti nyawanya tidak tertolong!"
Wiro mengingatkan sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Resi Tambak Kebo Kenanga melangkah mendekati
tubuh muridnya, memandanginya beberapa saat lalu
berpaling pada Wiro. "Kau tadi telah berusaha
mengobatinya. Harap kau saja yang meneruskan. Aku menyarankan agar kau menotok
beberapa urat ke arah jantung dan paru-paru..." Habis berkata begitu sang Resi
melangkah ke arah sebuah gundukan batu dan duduk di sana. Dia seperti melamun
dan wajahnya nampak suram.
Dia seperti tidak begitu memperdulikan keadaan muridnya Simanti namun ada
sesuatu yang menancapi pikirannya saat itu, yakni masalah muridnya yang bernama
Sumitri dan bergelar Dewi Tombak Api.
Wiro sendiri setelah mendengar ucapan Resi Tambak Kebo Kenanga tadi, pergi duduk
bersila di samping tubuh Simanti. Sang dara memandang kepadanya dengan mata
sayu. "Saudari, tak usah takut. Nyawamu pasti tertolong.
Kalau kau mendengar kata-kataku harap kedipkan mata dua kali..."
Simanti kedipkan matanya dua kali berturut-turut. Wiro merasa lega. Sesuai
petunjuk Resi Tambak Kebo Kenanga dia menotok beberapa urat besar di tubuh
Simanti lalu dekapkan kedua tangannya ke dada gadis itu dan secara perlahanlahan mengalirkan tenaga dalam berhawa dingin dan panas secara bergantian.
Beberapa saat kemudian setelah merasa cukup Wiro hentikan pengaliran tenaga
dalam. Dia menyeka darah yang membasahi sudut-sudut bibir gadis itu lalu
menelankan sebutir obat ke dalam mulutnya.
"Pejamkan matamu kembali. Kau boleh istirahat
beberapa saat. Kalau denyutan jantungmu mulai tenang, gerakkan tangan dan
kakimu, jika itu mampu kau lakukan tandanya kau selamat dari bahaya dan boleh
duduk. Atur jalan nafas dan peredaran darahmu. Alirkan tenaga dalam ke bagian
yang masih terasa sakit. Setelah itu kau boleh berdiri..."
"Aku merasa sudah sembuh. Tak perlu mengikuti
sepenuhnya apa yang kau katakan. Yang penting hanya mengatur jalan darah dan
pernafasan. Terima kasih Saudara. Kau telah menyelamatkanku..." Terdengar
Simanti berucap yang membuat Pendekar 212 tercengang.
"Kalau dia tidak memiliki kekuatan tubuh luar biasa, tak mungkin dia sembuh
secepat ini!" kata Wiro dalam hati. Selagi Simanti duduk bersila mengatur jalan
darah dan pernafasan, Wiro melangkah mendapatkan Resi
Tambak Kebo Kenanga.
"Kakek, wajahmu kelihatan susah. Apa yang menjadi ganjalan?" bertanya Wiro.
Sesaat sang Resi diam saja. Kemudian dia berpaling pandangi wajah Wiro lalu
berkata. "Aku memikirkan anak itu..."
"Anak itu yang mana kek?"
"Muridku Sumitri, kakak Simanti. Hidupku sejak satu tahun belakangan ini tidak
tenteram gara-gara dia. Hendak kubunuh dirinya, dia murid sendiri. Tidak kubunuh
dia terus-terusan membuatku malu, terus-terusan berbuat mesum. Dulu-dulu sudah
kuingatkan untuk tidak berbuat macam-macam mencari segala macam ilmu sundal.
Tapi dia terpengaruh oleh ketamakannya sendiri. Ingin lebih banyak ilmu,
ternyata salah langkah..."
"Terus terang aku hanya mendengar sedikit tentang muridmu itu, Kek. Apa
sebenarnya yang terjadi dengan diri Sumitri?" bertanya Wiro.
Resi Tambak Kebo Kenanga menghela nafas panjang
beberapa kali, baru menjawab, "Sekitar enam belas bulan yang lalu aku melepas
Sumitri setelah hampir lima belas tahun berada dalam gemblenganku bersama-sama
Simanti. Sebelum pergi gadis itu pernah mengemukakan niatnya untuk mencari
seorang sakti bernama Ki
Kamandoko untuk mendapatkan sebuah senjata mustika yang akan dijadikan
pegangannya dalam petualangan sebagai seorang pendekar baru. Memang ketika
kulepas aku tidak mempunyai senjata sakti apapun yang bisa kuwariskan padanya.
Aku tidak keberatan dia mencari dan menemukan sendiri segala macam senjata
sakti. Asalkan jangan menghubungi Ki Kamandoko. Orang-orang
persilatan tahu betul kalau orang sakti yang satu ini berhati culas, memiliki
seribu satu tipu muslihat. Yang paling terkutuk adalah bahwa hatinya busuk dan
mesum. Namun ternyata peringatanku tidak diperhatikan oleh Sumitri. Dia tetap
pergi mencari Ki Kamandoko. Dari Ki Kamandoko muridku memang mendapatkan sebilah
senjata mustika bernama Tombak Api. Tapi untuk itu dia harus membayar mahal. Dia
harus menyerahkan kehormatannya. Bahkan sampai saat ini pun muridku itu terusterusan berada di bawah pengaruh senjata keparat itu yang selalu
merangsangnya untuk berbuat zinah!"
Wiro garuk-garuk kepala. "Aku masih kurang paham
kek. Bagaimana senjata itu bisa merangsang seseorang berbuat mesum seperti
katamu..."
"Sebelum menyerahkan senjata itu kepada seseorang, yaitu seorang perempuan
seperti Sumitri misalnya, Ki Kamandoko telah mengisi senjata itu dengan semacam
guna-guna. Siapa saja yang kemudian memegang senjata tersebut, mempergunakannya
dengan pengerahan tenaga dalam, maka nafsu birahinya untuk melakukan hubungan
kelamin akan terangsang. Jika dia seorang perempuan maka nafsunya bangkit setiap
melihat lawan jenisnya, tak perduli orang itu sudah tua bangka. Jika dia seorang
lelaki, maka hal yang sama akan dialaminya. Nafsu bejatnya muncul. Dia akan
meniduri perempuan mana saja
termasuk seorang nenek sekalipun! itu yang terjadi dengan muridku sejak dia
pertama kali menyentuh senjata itu.
Ketika dia mulai berlatih memainkan Tombak Api yang diberikan oleh Ki Kamandoko,
setiap dia mengerahkan tenaga dalam setiap kali itu pula dirinya terangsang. Ki
Kamandoko keparat itu lalu menggaulinya selama
beberapa bulan. Setelah puas Sumitri baru diizinkannya pergi. Namun muridku
tidak terlepas dari hal-hal terkutuk itu. Setiap dia bertempur dengan
mempergunakan Tombak Api, lawannya pasti akan menemui ajal. Tapi dirinya tidak
luput dari rangsangan terkutuk. Dia akan mengajak siapa saja yang ada di
dekatnya untuk berbuat mesum!"
"Setahuku segala macam guna-guna hanya mempan
selama empat puluh hari..." ujar Wiro pula.
"Tidak dengan guna-guna yang diciptakan Ki
Kamandoko. Guna-gunanya itu telah ditanamkannya dalam senjata yang diberikannya
pada muridku. Guna-guna itu kemudian bersatu dengan darah dan pernafasan Sumitri
setiap gadis itu memegangnya, mempergunakannya dan mengerahkan tenaga dalamnya!"
"Kalau begitu, satu-satunya jalan untuk membebaskan muridmu adalah dengan
melenyapkan Ki Kamandoko!"
"Kau betul Pendekar 212. Aku sudah menyebar kabar dan minta bantuan orang-orang
persilatan. Mencari tahu di mana sarangnya manusia laknat itu. Ternyata dia
tidak punya tempat kediaman tetap. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Karena itu untuk sementara aku terpaksa melupakan bangsat itu. Yang kucari saat
ini adalah muridku sendiri. Aku berusaha merampas senjata terkutuk dari
tangannya. Menurut kabar, bukan saja dia sudah berbuat cabul dengan belasan
lelaki. Tapi juga belasan orang-orang terkemuka telah menjadi korban senjatanya
itu! Aku sendiri, jika kelak berhadapan dengan dirinya mungkin tidak akan
sanggup menghadapi senjata saktinya itu. Namun aku lebih baik mati daripada
hidup dengan menanggung malu besar!"
"Sebelum kau muncul di sini, aku sempat bentrokan dengan Sumitri. Ternyata dia
memiliki tingkat tenaga dalam yang sangat tinggi. Entah mengapa dia tidak
mengeluarkan Tombak Apinya. Dia kemudian melarikan diri begitu saja.
Aku yakin dia pergi bukan karena takut terhadapku.
Mungkin sekali dia telah sempat melihat dirimu muncul di kejauhan..."
"Mungkin begitu... Mungkin begitu..." kata Resi Tambak Kebo Kenanga lalu
mengusap wajahnya berulang-ulang.
Untuk sesaat Wiro tinggalkan guru tua yang malang itu.
Dia melangkah ke tempat Simanti yang masih duduk
bersila pejamkan mata mengatur jalan darah dan
pernafasan. Tak lama kemudian sang dara buka kedua matanya. Pandangannya beradu
dengan sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wajahnya yang tadi pucat kini


Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak mulai berdarah kembali. Bengkak membiru yang ada di dadanya kelihatan
tidak separah sebelumnya. Wiro ulurkan tangannya untuk merapatkan celah pakaian
yang tersingkap. Simanti pegang tangan pemuda itu seraya berbisik, "Terima
kasih... Kau menyelamatkan nyawaku..."
Wiro tersenyum. "Bukan aku yang menolongmu
Simanti. Tapi Yang di Atas sana. Kau tak akan mati kalau Dia belum
menghendaki..." Lalu Wiro membantu gadis itu bangkit berdiri. Ketika keduanya
berpaling ke jurusan gundukan batu di mana Resi Tambak Kebo Kenanga
berada tadi, tempat itu telah kosong. Sang Resi sudah lenyap.
"Guru pasti mengejar kakak seperguruanku. Aku
mengawatirkan keselamatannya. Aku harus menyusul...!"
"Aku ikut bersamamu!" kata Wiro pula.
Mendengar itu Simanti yang kini bukan saja
menganggap Wiro sebagai tuan penolongnya tapi sekaligus sudah menganggapnya
sebagai kakak sendiri, pegang lengan pemuda itu, merendengnya pergi dari situ.
Baru saja mereka bergerak tiga langkah terdengar
suara orang berseru, "Hai! Saudara! Tunggu! Jangan pergi dulu! Bebaskan kami
dari totokan ini!"
Wiro dan Simanti hentikan langkah. "Aku pikir-pikir memang kasihan kedua pemuda
itu. Apa yang terjadi bukan mau mereka. Biar aku lepaskan totokan mereka."
Lalu Wiro hampiri Bimo Argomulyo terlebih dahulu dan melepaskan totokan di leher
pemuda itu. Tapi alangkah terkejutnya Pendekar 212 ketika begitu terlepas
totokannya Bimo Argomulyo langsung menyerang dirinya.
Anak panah yang sejak tadi tergenggam di tangan
kanannya ditusukkannya ke mata kiri Wiro Sableng. Kalau saja murid Sinto Gendeng
tak lekas rundukkan kepala, mata kirinya pasti sudah kena disate anak panah yang
terbuat dari baja itu!
"Heh! Kenapa kau menyerangku seganas itu"!" tanya Wiro. "Kau lupa kalau tadi kau
menghina aku dan saudaraku sebagai dua ekor kampret"! Pantas kalau saat ini aku
memberi pelajaran padamu!" sahut Bimo Argomulyo.
Wiro menggaruk kepalanya sambil menyeringai. "Sama saja aku seperti melepas
anjing kejepit. Begitu dilepas menggonggong dan malah menggigitku!"
"Bangsat! Tadi kau sebut aku kampret! Sekarang kau samakan diriku dengan anjing!
Makan panahku ini!" Bimo Argomulyo tusukkan panahnya ke mulut Wiro.
"Manusia tak berbudi! Ditolong malah menggonggong.
Bagusnya kau kembali pada keadaanmu semula!"
Pendekar 212 berkelebat lalu, tuk! Satu totokan melanda pangkal leher putera
Ketua Partai Bintang Blambangan itu.
Tak ampun lagi Bimo Argomulyo menjadi kaku tegang seperti tadi, malah kini
totokan lihay itupun membuat mulutnya menjadi gagu tak bisa bicara! Sambil
tertawa-tawa Wiro tinggalkan pemuda itu sementara Sarwo Bayu hanya bisa
memandangi dan tak berani keluarkan ucapan apa-apa meskipun mulutnya masih bisa
bicara. Diam-diam dia menyesali saudaranya yang terlalu cepat naik darah hingga
bukan kebebasan yang mereka dapat malah
kembali ditotok seperti sebelumnya. Dia tidak tahu berapa lama totokan itu akan
lepas dengan sendirinya. Mungkin setengah harian, mungkin satu sampai dua hari.
Dan saat itu sore telah menggelincir tanda malam akan segera tiba.
Urusan partai belum selesai dan kini mereka berdua berada dalam keadaan seperti
itu! WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
9 EWI Tombak Api alias Sumitri menggolekkan
badannya yang bagus di lantai reruntuhan candi.
DSaat itu sang surya mulai menggelincir ke arah ufuk tenggelamnya. Langit yang
kebiruan kini seperti disaput oleh warna kuning keemasan. Serombongan burung
pipit terbang di udara melintas candi menuju ke selatan.
Sumitri bangkit dan duduk termenung. Dalam hatinya timbul pertanyaan-pertanyaan
yang tak dapat dijawabnya.
Mengapa dirinya kini berada dalam keadaan diburu-buru demikian rupa. Bukan hanya
oleh guru dan adik
seperguruannya saja tapi oleh banyak tokoh silat dan pimpinan perguruan. Apa
yang telah merasuk dalam hati dan jalan darahnya hingga dia melakukan perbuatanperbuatan mesum terkutuk. Mengapa dia tidak sanggup menolak semua rangsangan itu
bahkan menambah
dosanya dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan!
Dia tahu juga bahwa ada sementara tokoh-tokoh silat yang menghormati dan merasa
berhutang budi padanya karena dia telah membunuh tokoh-tokoh silat golongan
hitam musuh mereka. Tapi dibanding dengan segala dosa yang dibuatnya, semua
kebaikan dan pahala yang dilakukannya seolah-olah hanya seperti tetesan-tetesan
air yang tidak berbekas di atas pasir panas.
Gadis ini mengusap mukanya, merapikan pakaiannya
lalu bangkit berdiri. Dia tak ingin bermalam di reruntuhan candi itu. Karenanya
dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saat itu juga. Tapi belum sempat
melangkah tiba-tiba berkelebat dua bayangan dan tahu-tahu di hadapannya telah
berdiri sepasang kakek nenek
berpakaian kuning-kuning. Wajah keduanya seperti
pakaian yang mereka kenakan juga berwarna kuning
karena dipupuri bedak tebal berwarna kuning.
"Siapa kalian?" bentak Dewi Tombak Api yang melihat gelagat tidak baik.
Dua kakek itu memandang dengan bengis. Mereka
tidak menjawab malah gerakkan tangan menghunus
sebilah kelewang yang sebelumnya diselipkan di pinggang.
"Tua bangka muka kuning! Kalian tidak tuli. Lekas terangkan siapa kalian dan
punya maksud apa menghunus senjata di depanku!"
Si kakek menggereng. Dia berpaling pada si nenek lalu berkata, "Aku pantang
bicara dengan perempuan bejat seperti dia! Kau saja yang bicara!"
Si nenek juga keluarkan suara menggereng lalu
membuka mulut, "Kami Sepasang Macan Kuning dari
Merapi. Empat bulan lalu kau bentrokan dengan dua orang murid perempuan kami
lalu menculik seorang pemuda yang juga murid kami. Pemuda itu kemudian ditemui
dalam keadaan sekarat di tepi sungai. Sebelum meregang nyawa dia masih sempat
menerangkan bahwa kau telah
menyekapnya selama satu minggu di suatu tempat.
Setelah kau memuaskan nafsu bejatmu kau lalu
membunuhnya. Tapi ternyata dia masih sempat kami temui dalam keadaan hidup..."
Dewi Tombak Api terdiam mendengar ucapan si nenek.
"Gadis sundal! Kau tak perlu mengaku atau berdalih.
Kami sudah tahu memang kau pelakunya. Saat ini
bersiaplah untuk mampus!" kata si nenek pula.
"Aku tidak takut mati. Tapi ketahuilah bahwa aku
memang menyesal membunuh muridmu itu..."
Si nenek pelototkan matanya. "Penyesalan selalu
datang belakangan itu tak ada gunanya!" Nenek ini berteriak keras lalu bersamasama dengan si kakek dia menyerbu. Dua kelewang berkiblat di bawah sinar kuning
matahari sore. Satu menyambar ke arah kepala, satu lagi membabat ke arah perut.
Dewi Tombak Api terkejut ketika dapatkan bagaimana dua serangan itu bukan saja
sangat cepat dan ganas tapi disertai hawa dingin yang membuat tulang-tulang Dewi
Tombak Api merasa ngilu.
Dengan cepat Dewi Tombak Api membuang diri ke
belakang. Bersamaan dengan itu dia dorongkan kedua tangannya. Dua gelombang
angin menerpa deras ke arah kakek nenek itu. Seperti yang sudah-sudah serangan
seperti itu pasti akan membuat lawan terpelanting, paling tidak terdorong jauh.
Tapi kenyataannya Sepasang Macan Kuning dari Merapi itu terus merangsak maju,
membuat Dewi Tombak Api mau tak mau kembali melompat ke
belakang, menjauhi kedua lawan.
Begitu dia lolos dari dua sambaran kelewang, Dewi Tombak Api berkelebat kirimkan
hantaman tangan kanan ke arah si nenek dan disusul tendangan ke arah si kakek.
Tapi yang diserang tidak kalah sebat. Kelewang di tangan masing-masing diputar
demikian rupa hingga memapaki lengan dan betis Dewi Tombak Api. Kalau dia
meneruskan serangannya ini mungkin dia masih sempat menghantam lawan, tapi
lengan dan kakinya tak akan lolos dari sambaran kelewang Sepasang Macan Kuning
dari Merapi. Sambil memaki dalam hati Dewi Tombak Api lagi-lagi terpaksa cari selamat dengan
melompat dan tarik jotosan serta tendangannya. Tapi tak terduga si kakek memburu
maju dan srett! Baju warna-warni Dewi Tombak Api di bagian perut robek besar!
"Dua tua bangka ini benar-benar berbahaya! Kalau
tidak kudahului membunuh mereka, bisa-bisa aku yang dibuat meregang nyawa!"
Dewi Tombak Api gerakkan tangan kanan ke balik
punggung. Sesaat kemudian sinar merah menyala berkiblat di udara.
"Tombak api!" seru si kakek dan si nenek berbarengan.
Masing-masing membuka mata lebar-lebar. Selama ini mereka cuma mendengar cerita
saja. Sekarang mereka menyaksikan sendiri bentuk senjata berbentuk tombak pendek
yang menyala laksana baja menyala.
Bagaimanapun angkernya senjata itu namun Sepasang Macan Kuning dari Merapi tidak
merasa jerih. Mereka sudah bertekad bulat untuk membalaskan dendam
sekalipun harus mengorbankan nyawa sendiri. Maka tanpa banyak bicara kakek dan
nenek itu kembali merangsak maju.
Dewi Tombak Api yang memang sudah tak sabaran
segera pukulkan tombaknya ke arah si kakek. Wuuusss!
Lidah api menyambar. Si kakek kiblatkan kelewangnya sedang tangan kiri ikut
melepas pukulan tangan kosong. Si nenekpun tidak tinggal diam. Dari tempatnya
tegak dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Tapi Tombak Api memang luar biasa. Hawa panas yang menyambar di tempat itu
membuat si nenek cepat
bersurut mundur selamatkan diri dari sambaran lidah api.
Si kakek yang juga sudah melihat bahaya ketika kelewang serta pukulan saktinya
tak bisa berbuat apa-apa dengan cepat melompat ke samping. Namun terlambat.
Lidah api sudah keburu membuntal sekujur badannya. Tubuh dan pakaiannya sertamerta dilamun api. Orang tua ini menjerit, jatuhkan diri dan bergulingan di
lantai candi berusaha memadamkan api. Tapi sia-sia saja. Dia akhirnya menemui
ajal dengan tubuh hangus terpanggang!
Melihat kawannya mati begitu rupa si nenek meraung keras. Dia membuat gerakan
aneh. Tubuhnya melesat laksana terbang. Dari udara dia lemparkan kelewangnya.
Dewi Tombak Api menyambut dengan senjatanya.
Traang! Tombak dan kelewang beradu keras. Kelewang
terpental lalu tercampak di tanah. Ketika si nenek memperhatikan ternyata
kelewang itu telah penyok-penyok dan leleh! Sedang tangan kanannya sendiri
kelihatan hangus menghitam.
"Gadis iblis ini bukan tandinganku! Aku tak mau mati percuma. Suatu waktu aku
harus membalaskan sakit hati dendam kesumat ini!" Begitu si nenek membatin. Maka
ketika kedua kakinya menginjak lantai candi, tanpa tunggu lebih lama lagi
perempuan tua itu berkelebat ke kiri.
Dewi Tombak Api pukulkan senjatanya. Wusss! Lidah api menyambar. Si nenek
selamat karena lidah api
terhalang oleh sebuah arca. Kini arca itulah yang jadi korban. Tenggelam dalam
kobaran api! Dewi Tombak Api merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya terasa panas.
Cuping hidungnya kembang kempis dan dadanya turun naik. Lalu sekujur tubuhnya
mulai menggigil.
"Perasaan itu muncul lagi... Ah... aku tak tahan... Aku tak tahan...!" Dewi
tombak Api sisipkan kembali senjatanya di balik punggung pakaian. Kedua lututnya
terlipat dan perlahan-lahan dia jatuh berlutut. Rangsangan yang melanda tubuhnya
semakin menggelora, semakin
membakar. Kedua matanya memandang berkeliling.
Nafasnya memburu. Ada seperti yang meledak-ledak di dalam dada dan di seluruh
pembuluh darahnya. Dalam keadaan seperti itu Dewi Tombak Api gulingkan diri di
lantai candi. Kedua kakinya melejang-lejang sedang tangan mencakar-cakar lantai
batu. Dari mulutnya keluar suara erangan. Lalu gadis ini mulai merobek-robek
pakaiannya. Mula-mula di bagian dada. Lalu di bagian perut yang memang sudah robek besar
disambar kelewang. Sesaat kemudian gadis itu nyaris telanjang. Dalam keadaan
seperti ini tiba-tiba dia melompat bangkit. Rahangnya menggembung. Gerahamnya
bergemeletakan dan
sepasang matanya berputar liar. Tiba-tiba dilihatnya arca batu itu. Dia
menggerung halus. Lalu melompat ke
hadapan arca, memeluk menciuminya, menggesergeserkan badannya ke badan arca!
"Muridku Sumitri! Perbuatan apa yang tengah kau
lakukan ini! Sadar Sumitri! Sadarlah!"
Satu suara terdengar. Suara laki-laki! Inilah yang dicari-carinya. Masih
merangkul arca batu itu, Sumitri alias Dewi Tombak Api palingkan kepala. Dan
dilihatnya kakek buntung berpakaian hitam itu! Tapi dia melihatnya bukan sebagai
guru. Melainkan sebagai seorang lelaki. Lelaki yang harus siap melayaninya.
Kalau tidak dia bisa mati berdiri ditambus bara nafsu!
"Kebo Kenanga..." desis Sumitri menyebut nama
gurunya. Pelukannya pada arca batu dilepaskan. Lalu dia melangkah setindak demi
setindak mendekati Resi
Tambak Kebo Kenanga. Orang tua berkaki buntung itu pejamkan kedua matanya. Tak
sanggup dia melihat
keadaan muridnya yang nyaris telanjang itu. Justru inilah kesalahan sang Resi,
begitu matanya dipejamkan, Dewi Tombak Api telah menerkamnya, memagut dan
menciumi tubuhnya.
"Sumitri! Ingat! Aku ini gurumu!" teriak Resi Tambak Kebo Kenanga.
Sang murid seperti tuli. Malah tubuh kakek itu
dipagutnya kuat-kuat lalu ditariknya ke bawah hingga keduanya jatuh terhampar di
lantai candi. Waktu jatuh sang guru tertindih oleh tubuh muridnya sendiri.
"Murid sesat dan mesum! Pergi!" teriak sang Resi. Lalu lutut dan tangan kanannya
bergerak. Terdengar raungan Dewi Tombak Api. Tubuhnya
mencelat ke atas lalu jatuh dan tersandar ke reruntuhan dinding candi. Tapi dia
segera berdiri lagi, ulurkan kedua tangan sambil melangkah ke arah gurunya.
"Aku ingin kau melayaniku. Beri kesenangan padaku.
Kalau tidak lebih baik kau bunuh aku. Tolong... Jangan biarkan aku terbakar oleh
derita ini..."
Resi Tambak Kebo Kenanga cepat bersurut mundur.
Tongkat penyanggah yang dikepitnya di ketiak kiri tiba-tiba membabat ke depan,
tepat menghantam pinggul muridnya.
Sumitri kembali meraung. Hantaman tongkat membuat tubuhnya terbanting ke kiri.
Tapi daging atau tulang tubuhnya tak ada yang cidera. Padahal selama ini kalau
sempat tongkat penyanggah ini menghantam tubuh
manusia, dagingnya pasti luka besar dan tulangnya paling tidak akan remuk! Kalau
sudah begini Resi Tambak Kebo Kenanga tidak melihat cara lain. "Aku harus bisa
menotoknya. Kalau tak ada jalan lain mau tak mau aku harus membunuhnya. Ah,
kasihan dirimu Sumitri. Tapi aku terpaksa melakukannya..."
Kakek berkaki buntung ini berkelebat ke depan. Tangan kanannya menyambar sedang
tongkatnya menusuk ke
arah bahu. Di saat yang sama sang murid yang seperti kesetanan itu gerakkan
tangan kanannya.
Traak! Tongkat penyanggah milik sang Resi patah berantakan.
Karena kehilangan keseimbangan, orang tua ini jatuh ke lantai candi. Dan pada
saat itu pula sang murid jatuhkan diri berusaha menghimpitnya. Tapi kaki kanan
sang Resi melesat tidak terduga. Menghantam perut Sumitri dengan keras.
Gadis itu terpekik. Tubuhnya tercampak ke-samping, jatuh menubruk arca!
"Bangsat! Laki-laki bangsat! Kuberi madu malah
mengasih racun! Mampus! Kau harus mampus!" teriak Dewi Tombak Api. Lalu dia
cabut senjata pembawa bahala itu dan pukulkan ke arah gurunya.
Wusss! Lidah api menggebubu. Resi Tambak Kebo Kenanga
yang masih tertelentang di lantai candi cepat gulingkan diri.
Namun terlambat. Lidah api itu lebih dulu melamun sekujur tubuhnya! Kakek ini
hanya bisa keluarkan jeritan-jeritan mengerikan. Lalu tubuhnya yang terpanggang
dan menebar bau yang mengerikan itu diam tak berkutik lagi!
Pengerahan tenaga dalam dan penggunaan Tombak Api untuk kedua kalinya membuat
rangsangan di tubuh Dewi Tombak Api jadi berlipat ganda kini. Gadis ini
menjerit, menggulingkan diri di lantai, memeluki arca dan
pergunakan tangan sendiri untuk mencari kenikmatan.


Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi dia berada dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara disertai
berkelebatnya sesosok bayangan.
"Kekasihku Sumitri! Berbulan-bulan aku mencarimu.
Akhirnya kutemui juga! Dan kau sepertinya sudah siap menungguku!"
Sumitri kenal betul suara itu. Dia palingkan tubuh, menjerit kegirangan lalu
rangkul tubuh orang tua yang barusan datang sambil menggolekkan dirinya di atas
lantai. "Anak manis... Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau meninggalkanku lagi. Ke
mana kau pergi aku akan selalu mendampingimu!"
"Seharusnya memang begitu! Sekarang loloskan
pakaianmu. Aku sudah tak tahan! Lekasss...!"
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
10 UA MANUSIA itu benar-benar telah dirasuk setan
laknat terkutuk. Lelaki yang bergegas membuka
Dpakaiannya bukan lain adalah Ki Kamandoko, orang sakti yang lebih tepat disebut
sebagai juru guna-guna.
Dialah yang telah memberikan Tombak Api kepada Sumitri setelah terlebih dahulu
diisi dengan guna-guna yang membuat gadis itu lupa diri dalam rangsangan nafsu
bejat setiap dia mempergunakan Tombak Api dengan
pengerahan tenaga dalam.
Ki Kamandoko bertubuh kurus, berkepala lonjong dan sulah. Usianya hampir
mencapai enam puluh tahunan.
Untuk menutupi kesalahannya itu dia memakai rambut palsu berwarna hitam campur
kelabu. Manusia cabul ini sudah siap menanggalkan celana
hitamnya ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di belakangnya dan, buk!
Satu tendangan keras menghantam pinggulnya. Orang ini menjerit keras dan
mencelat mental.
Di saat yang sama terdengar pekik perempuan.
"Guru!"
Seseorang jatuhkan diri menubruk mayat hangus Resi Tambak Kebo Kenanga. Menyusul
terdengar suara isak tangis. Tangis Simanti.
Sementara Ki Kamandoko berusaha bangkit dengan
kesakitan karena pinggulnya memar dan ada bagian tulang yang remuk, Dewi Tombak
Api sudah melompat tegak dan memandang berkeliling dengan beringas. Sepasang
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Wiro Sableng yang tegak berkacak
pinggang. Dialah tadi yang
menendang Ki Kamandoko.
"Kau...," seru Sumitri alias Dewi Tombak Api. Suaranya keras tapi tak ada
perasaan marah. "Kau... kau datang tepat pada waktu aku membutuhkan seorang
lelaki. Dibandingkan dengan kambing tua itu, aku memilih dirimu.
Aku masih ingat, namamu Wiro Sableng bukan" Wiro bawa aku, dukung dan peluk
diriku..." Lalu Dewi Tombak Api melangkah cepat ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng seraya ulurkan tangan hendak merangkul sang pendekar.
"Dewiku kekasihku... Jangan kau lupakan diriku!"
terdengar suara Ki Kamandoko. "Aku satu-satunya
kekasihmu untuk bersenang-senang!"
Dewi Tombak Api berpaling sesaat pada lelaki
berkepala sulah itu lalu mendengus. "Kambing botak tak tahu diri! Kalau ada yang
lebih muda masakan aku memilih dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan ganggu
kesenanganku!"
Dihina dan dilecehkan begitu rupa membuat Ki
Kamandoko menjadi marah. "Kau yang tak tahu diri
Sumitri!" bentaknya. "Kau akan menyesal berani
memperlakukan aku seperti itu! Lihat padaku!"
"Siapa sudi melihat tampangmu!" teriak Sumitri. Tapi tak sengaja kedua matanya
sempat beradu pandang
dengan juru guna-guna itu.
"Jangan lihat matanya!" berteriak Wiro.
Namun terlambat!
Satu kilapan cahaya memantul di kedua bola mata Ki Kamandoko. Pantulan ini jatuh
di atas kedua mata Sumitri.
Dan yang kini dilihat Sumitri bukan lagi seorang lelaki tua berambut palsu dan
bertubuh kerempeng, melainkan
seorang pemuda berparas cakap dan berpakaian seperti pangeran.
"Kau... kau! Belum pernah aku melihat pemuda
segagahmu. Aku menyerahkan diriku padamu..."
Begitu Sumitri melangkah mendekati Ki Kamandoko,
Pendekar 212 cepat melompat dan menghalangi jalannya.
"Pemuda jembel! Apa yang hendak kau lakukan"
Mencari mati berani menghalangiku"!" bentak Dewi
Tombak Api. Wiro menjawab dengan satu gerakan kilat. Menotok
tubuh Dewi Tombak Api di bagian leher. Ditotok begitu rupa si gadis malah
tertawa panjang. Di belakangnya Wiro mendengar Ki Kamandoko berkata, "Tak ada
satu totokan pun di dunia ini yang mampu membuatnya tak berdaya!"
Wiro mendengar suara berdesir di belakangnya. Dia tahu kalau Ki Kamandoko
menyerangnya. Dengan cepat Pendekar 212 berkelebat ke kiri lalu membalik sambil
menghantam dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah.
Satu gelombang angin laksana gundukan batu besar
menggelinding menghantam ke arah Ki Kamandoko. Juru guna-guna ini menjadi kaget
dan cepat menyingkir. Namun pada saat itu dari samping sesosok tubuh melompat
sambil menghantam. Yang menyerbu adalah Simanti, adik seperguruan Dewi Tombak
Api. Ki Kamandoko memang memiliki ilmu gaib yang
mendekati ilmu sihir dan pandai mengguna-guna.
Sebaliknya dalam ilmu silat kemampuannya sangat
rendah. Itu sebabnya tadi dengan mudah Wiro berhasil menendangnya. Ketika
Simanti menghantam dari samping sementara dari depan sambaran angin pukulan Wiro
membuat tubuhnya bergoncang keras, Ki Kamandoko tiba-tiba berteriak, "Masa kan
kau hendak membunuh guru sendiri!"
Wiro tercengang heran sedang Simanti tersentak kaget ketika dilihatnya di
hadapannya kini bukan Ki Kamandoko yang diserangnya melainkan gurunya sendiri,
Resi Tambak Kebo Kenanga. Bukankah orang tua itu tadi memang telah mati" Dibunuh
oleh Sumitri alias Dewi Tombak Api"
"Ilmu tenung keparat!" teriak Pendekar 212 yang
segera menyadari apa yang terjadi. Dia kirimkan satu tendangan ke arah Resi
Tambak Kebo Kenanga palsu itu.
Namun dari samping ada lima jari tangan yang mencakar ke arah wajahnya. Mau tak
mau Wiro batalkan
serangannya terhadap Resi jejadian itu dan menghantam ke atas dengan tangan
kanannya. Bukk! Lengan kanan Wiro beradu dengan lengan kanan Dewi Tombak Api. Sang Dewi terpekik
seraya melompat mundur.
Sebaliknya murid Sinto Gendeng terpelanting jatuh ke dinding candi.
"Astaga! Tenaga dalamnya tidak berada di bawahku!"
ujar Wiro dalam hati. "Kalau aku tidak segera menghantam dengan pukulan Sinar
Matahari urusan bisa berabe!"
Maka Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dalam waktu
sekejapan tangan itu berubah menjadi seputih perak dan menyala berkilauan. Hawa
panas terasa menghampar di tempat itu!
Ketika melihat perubahan warna lengan kanan Wiro
Sableng, Dewi Tombak Api yang sebelumnya sudah
merasakan kehebatan pukulan sakti itu bahkan sampai terluka di sebelah dalam,
tanpa menunggu lebih lama segera keluarkan senjata andalannya yaitu Tombak Api
yang memancarkan warna merah membara!
Di bagian lain Simanti yang telah sadar siapa
sebenarnya yang tengah dihadapinya menempur habis-habisan Ki Kamandoko yang saat
itu masih merupakan dirinya sebagai Resi Tambak Kebo Kenanga. Karena ilmu
silatnya memang rendah maka dua jurus saja manusia bejat ini telah terdesak
hebat. Tapi dasar manusia licik, di saat nyawanya terancam begitu rupa dia
segera merapal jampi-jampi lalu meniup ke depan.
Simanti mendadak mencium bau harum semerbak.
Memandang berkeliling didapatinya dirinya berada di sebuah taman pada suatu
lereng bukit yang indah
pemandangannya. Seorang pemuda berwajah cakap
dilihatnya duduk di atas punggung seekor kuda putih dan melambai ke arahnya.
Simanti tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Tapi wajah yang memikat dan
lambaian tangan yang memanggil membuatnya melangkah mendekati. Inilah bahaya
besar yang tidak disadari oleh Simanti sementara Pendekar 212 Wiro Sableng
tengah menghadapi Sumitri dengan Tombak Apinya.
Simanti maju satu langkah, dua langkah... semakin dekat dengan pemuda di atas
kuda itu. Ketika hanya tinggal dua langkah saja lagi, pemuda di atas kuda
ulurkan kedua tangannya. Sikapnya seperti hendak membantu Simanti naik ke atas
kuda. Tapi tahu-tahu dua tangan itu bergerak mencekik ke arah leher. Justru di
saat itu pulalah si gadis tersadar.
"Taman yang indah, lereng bukit yang permai... Kuda putih dan pemuda yang gagah.
Eh... Bermimpi atau
bagaimanakah aku ini...?" Simanti gigit bibirnya sendiri sampai berdarah dan
serta merta sadar pada saat sepuluh jari tangan mencengkeram batang lehernya dan
pemuda di atas kuda itu dilihatnya mendadak berubah ke bentuk asalnya, menjadi
Ki Kamandoko! "Bangsat! Kau hendak menipuku dengan ilmu
busukmu!" teriak Simanti. Dua tangannya segera
menangkap lengan Ki Kamandoko. Sekali dia menarik maka tertariklah tubuh Ki
Kamandoko. Begitu orang tua itu terangkat dari atas punggung kuda, Simanti
membantingkannya keras-keras ke arca besar di sudut reruntuhan candi!
Ki Kamandoko menjerit setinggi langit. Bahu kanannya yang beradu dengan arca
batu remuk dan sakitnya bukan kepalang. Begitu tubuhnya melosoh ke bawah, dari
sebuah kantong dia mengeluarkan sejenis bubuk dan
menebarkannya di hadapan Simanti sementara mulutnya berkomat-kamit.
Murid almarhum Resi Tambak Kebo Kenanga itu
merasakan satu keanehan terjadi atas dirinya. Kepalanya terasa seperti membesar
dan tubuhnya seperti mengapung naik ke udara. Di depannya dilihatnya Ki
Kamandoko berusaha tegak sambil bersandar pada arca lalu
mengangkat tangannya dan berseru!
"Katakan namamu!"
"Namaku Simanti..." Sang dara yang sudah berada
dalam kekuasaan tenung Ki Kamandoko menjawab.
"Bagus! Sekarang cekik lehermu sendiri! Lakukan!"
Simanti angkat kedua tangannya. Lima jarinya
mencengkeram di tenggorokannya. Dia mulai mencekik lehernya sendiri! Gila!
"Cekik lebih keras! Lebih kencang!" teriak Ki
Kamandoko. Dan Simanti melakukan apa yang
diperintahkan orang itu. Jari-jarinya mencekik makin kencang, makin keras.
Lidahnya mulai terjulur dan kedua matanya membeliak.
"Terus... Cekik terus!" teriak Ki Kamandoko.
Nafas Simanti menyengal. Dadanya sesak seperti mau pecah. Sesaat lagi cekikannya
sendiri akan menamatkan riwayatnya tiba-tiba terdengar suara letusan keras. Di
udara berkiblat sinar putih menyilaukan, baku hantam dengan lidah api yang
menjilat menggebu. Dua kekuatan sakti yang sama-sama bersumber pada hawa panas
saling labrak. Bumi laksana kiamat. Empat sosok tubuh
berpelantingan. Sebatang pohon tenggelam dalam kobaran api. Dua lainnya hangus
bersama semak belukar yang ada di sekitarnya. Di tanah ada sebuah lobang besar
berwarna hitam!
Dari dalam lobang Dewi Tombak Api merangkak keluar.
Tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian itu terlihat lecet di beberapa bagian.
Senjatanya, Tombak Api itu, tampak masih tergenggam di tangan kanannya. Dalam
tubuhnya telah menggunung nafsu kotor yang menggelegak seolah membakar tubuhnya
dan harus segera dilampiaskan.
Keadaannya benar-benar parah yang tak dapat
dikendalikan lagi akibat telah beberapa kali setelah dia mengerahkan tenaga
dalam menghantam dengan senjata pangkal bahala yang diisi dengan guna-guna itu.
Dia merangkak dan mengerang, bergerak ke arah sosok tubuh Pendekar 212 yang saat
itu terkapar di depan tangga candi. Sebagian dari baju putihnya tampak hangus
terbakar akibat sambaran lidah api yang mencuat keluar dari Tombak Api. Lengan
kanan dan bahu serta sebagian sisinya tampak merah terkelupas.
Ternyata pukulan Sinar Matahari tidak sanggup menangkis hantaman lidah api
senjata Sumitri. Wiro juga keluarkan suara mengerang.
Seumur hidupnya baru kali itu dia mengalami cidera begitu rupa. Tubuhnya terasa
panas seperti dipanggang.
Ketika dilihatnya Dewi Tombak Api melangkah ke arahnya, dia gerakkan tangan
kanan untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi astaga! Tangan itu terasa
berat, sulit untuk digerakkan, apalagi mencabut senjatanya.
"Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Senjata gadis iblis itu benar-benar
luar biasa...!"
Wiro lalu buru-buru pergunakan tangan kiri untuk
mencabut senjata mustikanya. Gila!
Tangan yang satu ini pun terasa berat. Dia kerahkan seluruh tenaga, menghimpun
tenaga dalam. Perlahan sekali tangan kiri itu berhasil digerakkannya. Namun
sebelum dia sempat menyentuh Kapak Naga Geni 212, Dewi Tombak Api sampai di
tempatnya menggeletak dan langsung menindihnya!
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
11 ITA tinggalkan dulu Pendekar 212 dan Dewi Tombak
Api. Mari kita lihat apa yang terjadi dengan Simanti Kserta Ki Kamandoko. Ketika
pukulan Sinar Matahari dan lidah api Tombak Api saling beradu dahsyat, Simanti
yang tengah mencekik dirinya sendiri di luar sadar akibat tenung Ki Kamandoko,
terlempar tiga tombak dan terguling sampai di halaman reruntuhan candi.
Kepalanya menghantam akar sebatang pohon dan saat itu tenung yang menguasai dirinya buyar.
Dengan terhuyung-huyung gadis ini coba berdiri. Matanya memandang liar. Yang
pertama sekali dicarinya adalah lelaki tua berkepala sulah itu. Saat itu Ki
Kamandoko sendiri berada dalam keadaan hancur-hancuran. Pinggulnya remuk
dihantam tendangan Wiro sedang bahu kanannya hancur. Ledakan keras
membuat tubuhnya terlempar ke udara dan ketika jatuh tubuhnya jatuh melintang di
atas tembok pagar candi.
Rambut palsunya mental entah ke mana. Dia tak kuasa berbuat apa-apa karena
tulang punggungnya patah.
Sakitnya bukan kepalang. Saat itu dilihatnya Simanti melangkah mendekati dengan
kedua tangan terkepal. Ki Kamandoko segera merajai jampi-jampi. Namun rasa sakit
yang tidak tertahankan membuat bacaannya menjadi
kacau! Apa yang diharapkannya dari jampi tenungan itu tidak kesampaian.
Simanti tarik leher baju Ki Kamandoko. "Manusia
terkutuk! Lekas kau berikan obat pemunah nafsu bejat!
Kau harus menyembuhkan kakak seperguruanku! Kalau tidak kupecahkan batok
kepalamu!"
Simanti angkat tinju kanannya tinggi-tinggi, siap mengepruk batok kepala Ki
Kamandoko yang botak.
"Aku tidak takut mati...," jawab Ki Kamadoko. "Tapi nafsu zinah yang ada dalam
tubuh gadis itu tak ada pemunahnya, tak ada penangkalnya!"
"Jangan dusta!" kertak Simanti. Lalu tangan kanannya menghantam dada Ki
Kamandoko. Orang tua ini
mengeluarkan suara seperti muntah. Dua tulang iganya patah.
"Kau mau memberikan obat itu atau tidak!" kembali Simanti mengancam sambil
angkat lagi tangan kanannya.
"Sumpah! Aku tidak dusta! Nafsu itu tidak akan muncul kalau Tombak api dijauhkan
dari dirinya..."
"Tapi saat ini kakakku itu tengah tersiksa oleh
dorongan nafsu keji akibat guna-gunamu!"
"Rangsangan yang ada dalam dirinya akan lenyap
sendiri setelah tiga hari..."
"Tiga hari katamu"! Gila!"
Plaaak! Plaak! Tamparan Simanti melayang pulang balik. Ki


Wiro Sableng 052 Guna Guna Tombak Api di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamandoko hanya bisa menggereng. Dua giginya rontok dan bibirnya pecah akibat
tamparan tadi. "Kau telah menghancurkan hidupnya! Kau harus
kuhajar sampai mati! Karena ulahmu juga guru menemui ajal di tangan murid
sendiri!" Sambil menjerit panjang dan keras Simanti hantamkan jotosan kiri kanan
ke kepala, muka dan dada serta perut Ki Kamandoko.
Ki Kamandoko hanya sempat menyerit satu kali ketika jotosan pertama Simanti
menghancurkan mata kirinya.
Pukulan kedua bersarang tepat di dada kiri, membuat pecah jantungnya. Pukulanpukulan berikutnya tak pernah dirasakan Ki Kamandoko karena ketika jantungnya
pecah, nyawanya melayang sudah! Simanti menghujani tubuh tak bernyawa itu dengan
segala dendam kebencian. Dia baru berhenti ketika kedua tangannya terasa kaku
dan lututnya goyah, ketika tembok di mana mayat Ki Kamandoko
terbadai runtuh. Perlahan-lahan Simanti jatuh berlutut lalu terduduk bersimpuh
dan mulai menangis.
Kita kembali pada Dewi Tombak Api. Dengan
merangkak dia berhasil keluar dari lobang, lalu bergerak mendekati sosok tubuh
Pendekar 212 yang saat itu penuh lecet dan luka akibat jilatan lidah api yang
menyambar dari Tombak Api dan berada dalam keadaan tak berdaya
karena anggota tubuhnya yaitu tangan dan kaki sulit untuk digerakkan.
Dalam keadaan seperti itulah Wiro kemudian dapatkan dirinya telah ditindih oleh
tubuh Dewi Tombak Api.
"Apa yang ingin kau lakukan...?" desis Wiro. Dadanya menggemuruh berusaha
menahan rangsangan yang
bagaimanapun sebagai manusia normal tak bisa
dihindarinya. Dewi Tombak Api angkat tangan kanannya yang
memegang Tombak Api. Wiro kumpulkan tenaga untuk
dapat bergerak karena dia merasa pasti si gadis akan membunuhnya dengan senjata
dahsyat di tangannya itu!
WIRO SABLENG GUNA-GUNA TOMBAK API
12 API hal itu ternyata tidak terjadi. Dewi Tombak Api tidak pergunakan senjatanya
untuk menusuk dan
Tmembunuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Nafasnya
yang memburu dan hangat menerpa wajah Pendekar 212.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat liar mendadak menjadi sayu, menatap luruslurus ke dalam mata Wiro.
"Apa yang kau tunggu! Kenapa tidak lekas-lekas
membunuhku...?" tanya Wiro.
"Aku akan mati... Kau akan mati... Kita akan sama-sama mati, Wiro..." bisik Dewi
Tombak Api. "Selagi masih bisa bernafas mengapa kita tidak memilih mati dalam
kenikmatan...?" Lalu wajahnya ditempelkan ke wajah Pendekar 212. Hidungnya
menciumi kening, mata dan pipi pemuda itu. Bibirnya dikecupkan ke bibir Wiro dan
Wiro dapat merasakan bahwa ludah Dewi Tombak Api telah bercampur darah tanda
lukanya di sebelah dalam semakin parah.
"Kau tak mau memelukku Wiro... Kau tak mau
merangkul dan menciumku..." Ah... Aku tahu, tangan dan kakimu tak bisa kau
gerakkan. Aku akan tolong kau Wiro.
Akan kupulihkan kekuatanmu asalkan kau mau berjanji..."
"Berjanji apa?"
Dewi Tombak Api tersenyum mesra. Kembali dia
menciumi seluruh wajah Wiro. Perlahan-lahan Tombak Api ditempelkannya ke tangan
kanan Wiro, lalu perlahan-lahan pula senjata itu diusapkannya mulai dari telapak
tangan, terus ke lengan sampai ke bahu.
Aneh! Begitu diusapkan Wiro kini bisa menggerakkan tangan kanan itu. Dewi Tombak
Api terus saja tersenyum.
Kini tangan kiri Wiro yang diusapnya dengan Tombak Api.
Hal yang sama terjadi seperti tangan kanan. Tangan kiri itu kini bisa
digerakkan. "Kakimu sekarang... Kakimu akan kubebaskan. Setelah itu berjanjilah kita akan
bersenang-senang..." bisik Dewi Tombak Api.
Sewaktu kedua kakinya bebas dan bisa digerakkan
kembali, niat semula hendak melemparkan tubuh Dewi Tombak Api mendadak sontak
lenyap. Kebencian apapun yang ada dalam diri Pendekar 212 terhadap gadis itu
sirna dan berganti dengan perasaan lain. Darahnya mengalir lebih cepat. Tubuhnya
diserang oleh rangsangan aneh yang membuat Wiro merangkul dan balas mencium
gadis yang ada di atasnya itu. Ketika Wiro hendak membalikkan tubuh Dewi Tombak
Api tiba-tiba ada bayangan kuning
berkelebat. Tombak Api yang ada di tangan kanan Dewi Tombak Api terbetot lepas.
Terdengar seruan kaget sang dara lalu disusul oleh jeritannya yang keras.
Lalu mengumandang suara tawa mengekeh.
Wiro yang ikut kaget segera gulingkan diri. Ada percikan darah membasahi pakaian
putihnya! "Puas...! Aku puas! Kematian sahabatku terbalas
sudah! Mampus kau gadis cabul!"
Wiro cepat berdiri dan berbalik.
Empat langkah di hadapannya tegak seorang nenek
berpakaian serba kuning dan berwajah juga kuning. Dia bukan lain adalah salah
seorang dari Sepasang Macan Kuning dari Merapi. Kawannya si kakek muka kuning
menemui ajal di tangan Dewi Tombak Api beberapa waktu lalu.
Hanya satu langkah di hadapan si nenek tergeletak tubuh Dewi Tombak Api dalam
keadaan tertelungkup.
Tombak Api miliknya, yang selama ini menjadi senjata penimbul bala menancap di
punggung kirinya. Si neneklah yang telah merampas senjata itu dari tangan Dewi
Tombak Api lalu menusukkannya ke punggung si gadis sampai menembus jantung!
Untuk beberapa lamanya nenek
berwajah kuning ini masih tegak di tempat itu sambil mengekeh puas, tapi
sepasang matanya kelihatan berkaca-kaca tanda dia ingat akan kematian
sahabatnya. "Aku puas... Aku puas...!" ujar si nenek berulang kali.
Lalu dia balikkan tubuh dan tinggalkan tempat itu. Wiropun beranjak dari
tempatnya berdiri. Sesaat dipandanginya mayat Dewi Tombak Api. "Kasihan,
kekejaman dunia
merenggut nyawanya seperti ini..." kata Wiro dalam hati.
Lalu dia ingat pada Simanti yang masih duduk bersimpuh dan menangis.
"Simanti..." bisik Wiro seraya membelai rambut gadis itu, "Sebentar lagi malam
akan turun. Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini..."
Simanti usut air matanya, mengusap wajahnya
beberapa kali lalu memandang pada Wiro dan perlahan-lahan anggukkan kepala. Wiro
membantu gadis ini berdiri.
Sepasang mata Simanti menatap ke arah jenazah kakak seperguruannya.
"Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia tetap kakak seperguruanku. Jenazahnya harus
aku urus. Juga jenazah guru. Dan Tombak Api yang menancap di tubuhnya itu... Kukira untuk
beberapa lamanya masih diresapi kekuatan guna-guna terkutuk itu. Kita harus
mengamankan senjata itu Wiro... Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kalau
sampai ada yang menemukan dan mempergunakannya, apa yang dialami Sumitri akan
terulang kembali!"
Wiro mengangguk dan berkata, "Kita kuburkan saja dia bersama senjata itu. Di
dekat sini pasti ada kampung atau desa. Kita minta bantuan penduduk setempat
untuk menggali dua lobang lahat. Satu untuk gurumu, satu lagi untuk Sumitri..."
Simanti tak menjawab. Ketika Wiro menarik lengannya dia melangkah mengikuti. Di
sebelah barat sang surya telah masuk ke titik tenggelamnya. Langit yang baru
disaput cahaya merah kekuningan kini berangsur-angsur menjadi gelap menghitam.
Daerah sekitar reruntuhan candi itu tenggelam dalam kesunyian. Lapat-lapat mulai
terdengar suara burung hantu di kejauhan.
Kedua orang itu melangkah melewati reruntuhan
tembok candi di mana terkapar mayat Ki Kamandoko.
Ketika berlalu satu langkah tiba-tiba sosok tubuh yang sudah jadi mayat itu
bergerak bangkit! Satu hal yang tak dapat dipercaya. Ternyata sewaktu sosok
tubuh Ki Kamandoko jatuh terbanting di atas tembok, manusia ini telah lebih dahulu
melakukan tenung. Sosok tubuh yang ada di atas tembok hanya sosok jejadian
belaka sedang dirinya yang sebenarnya berada beberapa langkah dari situ! Hal ini
sama sekali tidak diketahui oleh Simanti, apalagi oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng. Dengan susah payah Ki Kamandoko berlari ke arah
mayat Sumitri lalu mencabut Tombak Api yang menancap di tubuh gadis itu. Begitu
senjata tersebut berada dalam genggamanya dengan cepat dihantamkannya ke arah
Pendekar 212 dan Simanti yang tengah berjalan
membelakangi. Namun telinga Pendekar 212 tak dapat ditipu. Ketika Ki Kamandoko berlari ke arah
mayat Sumitri, Wiro telah menangkap suara langkah-langkah juru tenung dan ahli
guna-guna itu. Dia membalikkan tubuh tepat pada saat Tombak Api mencuatkan lidah
api mengerikan ke arahnya.
Simanti terpekik. Wiro tersentak kaget tapi masih bisa menguasai diri dan cabut
Kapak Maut Naga Geni 212.
Wusss! Lidah api menderu. Kapak Naga Geni 212 membabat di udara. Suara seperti ribuan
tawon mengamuk menggelegar dan sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Sinar
putih yang keluar dari kapak sakti serta sinar merah lidah api yang keluar dari
Tombak Api saling tabrak. Dentuman dahsyat menggoncangkan tanah seperti membelah
langit. Lidah api tampak buyar bermuncratan begitu dihantam sinar Kapak Maut Naga Geni
212. Wiro dan Simanti
terbanting roboh ke tanah. Ketika lidah api dan sinar putih lenyap, sepuluh
langkah di hadapan Wiro dan Simanti tampak menggeletak sosok tubuh Ki Kamandoko
hangus menghitam, termasuk Tombak Api yang masih tergenggam di tangan kanannya.
"Wiro... Aku takut...," bisik Simanti di antara isakan.
"Semua sudah berakhir kini." balas berbisik Wiro. Dia berdiri diikuti oleh
Simanti. Tiba-tiba gadis ini menjerit.
"Wiro! Lihat!"
Wiro memandang ke tiga arah yang ditunjuk Simanti. Di situ dilihatnya sosok
tubuh Resi Tambak Kebo Kenanga dan Dewi Tombak Api alias Sumitri juga telah
berubah menjadi mayat hangus akibat terkena hantaman sinar Kapak Maut Naga Geni
212 dan lidah api yang saling bertabrakan di udara.
TAMAT Jakarta, 25 November 1989
Kisah Bangsa Petualang 1 Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing Kelana Buana 26

Cari Blog Ini