Ceritasilat Novel Online

Malaikat Maut Berambut Salju 1

Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Malaikat Maut Berambut Salju
SATU Gubuk di tengah rima belantara itu tenggelam dalam kesunyian dan kegelapan
malam. Satu pertanda tidak ada orang atau penghuni di dalamnya. Seekor burung
hantu mengepakkan sayapnya di cabang sebuah pohon lalu mengeluarkan suara aneh
menggidikkan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Pada saat itulah lapat-lapat di kejauhan terdengar suara langkah-langkah kaki
kuda. Agaknya binatang ini tidak berlari kencang melainkan berjalan perlahan
dalam kegelapan malam.
Binatang itu sampai di depan gubuk. Penunggangnya ternyata seorang lelaki
dan seorang perempuan. Yang lelaki turun lebih dahulu lalu membantu yang
perempuan. Perempuan ini tampak menggendong sesuatu yang ternyata adalah
seorang bayi terbungkus dalam kain tebal.
"Kau masuklah lebih dulu. Aku akan menyembunyikan kuda ......" berkata
yang lelaki. Suaranya hampir berbisik.
Setelah istri dan anak dalam gendongan masuk ke dalam gubuk, lelaki itu
cepat-cepat menuntun kudanya, membawanya ke satu tempat berpohon dan bersemak
belukar rapat. Kuda itu ditambatkannya pada sebatang pohon. Lalu dia kembali ke
gubuk. Baru saja orang ini sampai di depan gubuk, belum sempat melangkah masuk
tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Dilain kejap sosok bayangan ini telah
berdiri di hadapannya. Ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kurus tapi bungkuk
hingga bentuk tubuhnya hampir menyerupai huruf L terbalik. Hembusan napas si tua
bungkuk ini menyambar keras dan memerihkan mata. Orang tua ini membuka mulut.
Ucapannya didahului suara bergemeletukkan seperti barisan giginya atas dan bawah
saling bergesekan.
"Mana anak itu!" tiba-tiba si bungkuk membentak.
Bentakan membuat lelaki tadi ketakutan dan bersurut mundur beberapa
langkah. Mukanya tampak pucat.
"Mana anak itu!" kembali si bungkuk menghardik. "Dua kali sudah aku
bertanya! Kalau sampai tiga kali kau tidak menjawab, putus nyawamu Jinggosuwu!"
"An....anak.....anak mana maksudmu. Kau ini siapa orang tua ....?"
"Siapa aku kau tak layak bertanya! Jangan berpura-pura! Yang aku tanya
adalah anakmu! Bayi delapan bulan yang kau beri nama Pandu itu!"
"Pan.... Pandu....?"
Orang tua bungkuk tertawa mengekeh. Lewat mulutnya yang terbuka lebar
tampak gigi-giginya besar-besar dan mencuat panjang.
"Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan bersama istrimu! Kalian
meninggalkan desa Talangwaru dua hari lalu! Melarikan diri dan menyembunyikan
diri di rimba belantara ini!"
"Aku.....aku memang menyembunyikan diri di hutan ini. Tapi....tapi istri dan
anakku tidak ikut!" jawab lelaki bernama Jinggosuwu.
"Hem.....begitu?" si bungkuk tersenyum. "Sekarang di mana anak dan istrimu
itu?" BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pandu dan ibunya pergi ke rumah orang tuanya di desa Puputan....."
"Bagus! Kau tahu apa akibatnya ucapan dusta itu"!"
"Aku ....aku tidak berdusta. Aku yang mengantarkan istri dan anakku ke
Puputan. Lalu baru menuju kemari ...."
Bukkk! Tubuh Jinggosuwu terpental tiga tombak. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan.
Tapi tidak hanya jerit kesakitan. Dari mulut itu juga menyemburkan busah
bercampur darah. Jinggosuwu merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Sakit dan susah
bernafas. Di dalam gubuk, istri Jinggosuwu menggeletar sekujur tubuhnya karena
ketakutan. Bayinya di peluk erat-erat. Dia mendengar jelas suara pukulan. Lalu
suara jeritan suaminya. Lalu kembali terdengar suara membentak dan mengancam.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu Jinggosuwu! Dimana anakmu.....?"
"Orang tua...... aku sudah bilang padamu. Apa perlunya kau mencari anakku"
Mencari bayi usia delapan bulan itu" Apa urusan dan maksudmu sebenarnya....?"
Praak! Tidak terdengar suara jawaban keluar dari mulut si orang tua. Yang terdengar
adalah suara hantaman yang membuat rengkah batok kepala Jinggosuwu. Kali ini
tanpa jeritan, sosok tubuhnya yang tadi berusaha bangkit terbanting ke tanah,
tak berkutik lagi. Nyawanya lepas saat itu juga!
Orang tua bertubuh bungkuk meludah ke tanah.
"Manusia tolol!" katanya lalu memandang berkeliling. Waktu dia sampai di
tempat itu tadi memang Jinggosuwu dilihatnya muncul seorang diri. Tanpa kuda,
tanpa istri dan anaknya. Apa benar kedua orang itu tidak diajaknya bersama ke
gubuk persembunyian di dalam hutan itu"
"Aku tidak percaya!" si bungkuk menghentak dan bantingkan kaki kanannya.
Dia memandang ke gubuk di samping kanan. Gelap. Pintu kayunya tertutup rapat.
"Sebelum angkat kaki dari tempat ini aku harus memeriksa gubuk itu!" Lalu
orang tua itu melangkah menuju pintu gubuk. Belum sempat dia mendorong daun
pintu, mendadak ada suara berdesing dan sambaran angin di belakangnya. Secepat
kilat orang tua ini jatuhkan diri, berlutut di depan pintu.
Sebatang pisau hitam bergagang putih melesat di atas kepalanya dan
menancap di daun pintu!
"Manusia pisau terbang keparat! Unjukkan dirimu! Jangan hanya berani
membokong!" bentak si bungkuk marah, lalu putar tubuh dan melompat bangun.
Sejarak sepuluh langakh dari hadapannya, orang tua ini lihat seorang nenek
berambut oanjang tergerai tegak bertolak pinggang. Bajunya yang berwarna hitam
penuh dengan deretan pisau-pisau kecil hitam bergagang putih.
"Pendekar Bungkuk! Jangan terlalu cepat naik darah! Apakah kau tidak
menyadari dunia ini terlalu sempit buat kita berdua jika kau punya jalan pikiran
bahwa seorang bayi calon pendekar agung tidak mungkin dibagi dua"!"
"Perempuan sundal! Masih berani kau muncul di hadapanku!" Orang tua yang
dipanggil dengan gelaran Pendekar Bungkuk keluarkan makian keras.
"Eh ....eh....eh....! Mulut kotormu itu memberikan restu padaku untuk
membunuhmu saat ini juga!"
"Ilmumu tidak setinggi gunung tidak sedalam lautan! Perempuan tua bangka
nenek keriput! Kau boleh menyandang gelar Pisau Maut Tanpa Bayangan! Kau akan
mampus tidak berkubur!"
Nenek berambut panjang tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu tertawa
cekikikan. BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau aku mati, memang tak bakal minta kau yang mengubur. Tubuh patah
bungkuk sepertimu itu mana bisa menggali lubang untukku.....!" Si nenek kembali
tertawa cekikikan.
Di dalam gubuk istri Jinggosuwu memeluk bayinya erat-erat. Ketakutan
mencengkam ibu muda ini. Dia hanya dapat mendengar bicara dua orang di luar
sana. Namun dia tahu betul bahaya apa yang mengancam anak lelaki dalam gendongannya
itu. Bersama suaminya dia sengaja melarikan diri ke tempat itu. Ternyata bahaya
besar terus menguntit.
"Kasihan anakku ...... Pandu, apa sebenarnya yang ada dalam dirimu hingga
begitu banyak manusia-manusia aneh menginginkan dirimu...." Begitu kata hati si
ibu muda. Dia tidak tahu kalau suaminya telah mati.
Di luar gubuk, dalam kegelapan malam Pendekar Bungkuk keluarkan suara
berkereketan dari dalam mulutnya lalu mendengus.
"Pelajaran masa lau rupanya tidak membuat kau jera! Sungguh tolol! Apakah
cacat panjang di pipi kirimu tidak memberi peringatan padamu...."!"
Ucapan Pendekar Bungkuk membuat si nenek menyeringai. Tangan kirinya
bergerak mengusap pipi kirinya di mana terdapat cacat luka dalam memanjang dari
mata sampai ke dagu melewati pipi. Dua tahun silam dua tokoh persilatan ini
pernah bentrokan lalu terlibat dalam perkelahian selama sembilan puluh jurus. Si nenek
kalah dengan mendapat cidera pada pipinya. Pendekar Bungkuk sendiri mengalami
penderitaan sakit dada selama 40 hari akibat satu jotosan si nenek sempat
menggebuk dadanya. Sejak perkelahian itu kedua orang ini sama-sama mendalami ilmu silat
dan kesaktian masing-masing. Tidak dinyana malam ini mereka bertemu dalam rimba
belantara. Ternyata keduanya memliki maksud yang sama!
"Pendekar Bungkuk, justru mengingat pelajaran masa lalu itulah aku sengaja
menghadangmu di sini! Malam ini aku yang bakal ganti memberi pelajaran. Dan
tentunya berikut bunga tanda terima kasihku. Hik...hik...hik! Aku berjanji kau akan
mati dengan tenang. Bukankah kematian lebih baik bagimu dari pada hidup
menderita selamanya. Apakah anggota rahasiamu sudah mempu menjalankan tugasnya...."
Hik...hik....hik. aku kasihan padamu Pendekar Bungkuk. Tapi malaikat maut jauh
lebih kasihan. Karena itu dia datang menjemputmu malam ini...."
Pendekar Bungkuk memang pernah mendengar sejak dua tahun belakangan ini
bagaimana si nenek yang bergelar Pisau Maut Tanpa Bayangan itu telah sangat maju
ilmu kepandaiannya.
"Perempuan jelek besar mulut. Jika kau mau melupakan anak itu dan pergi
dari sini, aku bersedia mengampuni selembar nyawa busukmu..... Ayo pergilah dari
sini!" Nenek berambut panjang tergerai tertawa mengekeh.
"Tampaknya kau merubah jalan pikiranmu Pendekar Bungkuk! Kau takut
padaku...." Hik....hik....hik"!"
"Tua Bangka keparat! Siapa takut padamu!" teriak Pendekar Bungkuk.
Tubuhnya yang bungkuk secara aneh menekuk ke bawah hingga kepalanya hampir
menyentuh tanah. Tubuh itu kemudian berjumpalitan dan berguling laksana sebuah
roda-roda, menyambar ke arah si nenek. Inilah jurus serangan aneh bernama
"gelinding kematian". Jurus inilah yang dulu berhasil mengalahkan si nenek
dengan membuat cacat wajahnya. Tahu keganasan seangan ini Pisau Maut Tanpa Bayangan
cepat melompat ke kiri dan dari sini gerakkan tangan kiri kanannya ke tubuhnya
dimana lusinan pisau hitam bergagang putih tersisip di pakaiannya. Namun gerakan
ini terpaksa dibatalkan karena tubuh lawan yang berguling membuat gerakan
berputar dan tahu-tahu tangn Pendekar Bungkuk sebelah kiri menyembur ke wajah si nenek!
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wuut! Secara wajar sambaran tangan itu sulit menemui sasarannya karena masih
terpisah cukup jauh. Namun karena bersamaan dengan itu tubuh yang tadi bergulung
tiba-tiba seperti terpental dan tegak kembali, maka jarak yang tadi jauh
mendadak sontak hanya tinggal setengahnya saja!
Si nenek berseru kaget ketika tangan lawan tahu-tahu sudah ada di depan
matanya! Dalam keterkejutan peempuan tua ini tidak kehilangan akal. Kaki kirinya
digebrakkan ke tanah. Tubunya miring ke belakang. Sambaran tangan lawan yang
dapat merobek mukanya lewat hanya sujung jari. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya melesat ke depan.
Kini Pendekar Bungkuklah yang tersentak kaget!
Bahaya maut mengancam karena tendangan kaki kanan si nenek mencari
sasaran di selangkangan Pendekar Bungkuk! Kalau si kakek mampu mengelakkan
serangan itu maka tendangan lawan yang tidak menemui sasarannya akan meluncur
menghantam dadanya. Ini bisa terjadi karena bentuk tubuhnya yang bungkuk. Dan
kali ini, jika sampai dadanya kena dihantam lagi untuk kedua kalinya, mungkin
dia akan cacat seumur hidup!
"Perempuan Iblis!" rutuk Pendekar Bungkuk. Dia kerahkan tenaga dalamnya
sepenuhnya pada kedua tangannya. Begitu tendangan lawan hampir sampai ke bawah
perut, dengan cepat Pendekar Bungkuk tangkap pergelangan kaki si nenek. Dia
berhasil melakukan, berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian tetapi
tendangan yang sangat keras itu membuat tulang telapak tangan kirinya remuk! Tubuhnya
mental beberpapa langkah. Sebelum sempat mengimbangi diri, lawan di hadapannya
telah menggerakkan tangan ke tubuh lalu wutt....wutt......
Enam pisau hitam bergaganng putih melesat ke arah Pendekar Bungkuk!
"Putus nyawamu Pendekar Bungkuk!" ujar si nenek lalu tertawa mengekeh.
Dalam keadaan jatuh seperti itu Pendekar Bungkuk hantamkan dua tangannya
ke atas. Tapi tangan kirinya yang cidera tidak dapat lagi melepaskan pukulan
tangan kosong yang mengandung tenaga dalam. Karena ketika tenaga dalam menjalar ke
tangan kiri itu, si kakek merasakan telapaknya seperti disengat bara panas. Dia
menjerit kesakitan tapi masih terus memukul dengan tangan kanan, lalu cepat
berguling ke kiri.
Tiga pisau terbang berhasil dipukul mental. Dua lainnya sempat dielakkan.
Hanya pisau ke enam yang tidak mampu dihantam mental ataupun dikelit. Senjata
ini menancap di mata kiri Pendekar Bungkuk dengan mengeluarkan suara menggidikkan!
Pendekar Bungkuk melolong kesakitan. Nenek berambut panjang tertawa
gelak-gelak memandangi wajah Pendekar Bungkuk yang kini tampak berlumuran
darah. Orang ini bangkit terbungkuk-bungkuk. Wajahnya benar-benar mengerikan.
Bukan saja karena darah yang terus mengucur, tapi juga karena pisau yang masih
menancap di mata kirinya!
"Iblis.....! Perempuan Iblis!" suara Pendekar Bungkuk bergeletar oleh hawa
amarah dan penderitaan rasa sakit. "Kau tunggulah pembalasanku kelak....!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu Pendekar Bungkuk balikkan tubuh,
tinggalkan tempat itu dengan langkah setengah lari seradak seruduk.
"Ganas sekali nenek itu...." stu suara terdengar berbisik halus di atas sebaang
pohon besar. "Saatnya kita turun sekarang adikku. Sebelum kedahuluan....." menjawab
kawan bicaranya yang juga berada di atas pohon.
"Tapi bukankah belum ada tanda-tanda bayi itu berada di dalam gubuk?"
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Itulah sebabnya kita harus turun, menghalangi si nenek ganas dan sekaligus
menyelidik isi gubuk!"
"Kalau begitu katamu, mari!"
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Ternyata di atas pohon dalam rimba belantara gelap itu bersembunyi dua sosok
tubuh. Keduanya merupakan sepasang muda-mudi yang mengenakan pakaian putih
ringkas, memiliki gerakan gesit yang setiap bergerak hampir tidak mengeluarkan
suara. Mereka turun ke tanah pada saat Pisau Maut Tanpa Bayangan hendak
melangkah ke pintu gubuk.
Dia segera maklum meskipun dua orang di hadapannya itu masih muda-muda
namun jelas mereka merupakan orang-orang persilatan yang tidak memiliki
kepandaian rendah.
Si pemuda menjawab dengan cepat "Kami murid-murid perguruan silat
Teratai Putih dari gunung Lawu! Kakek guru yang bernama Jati Laksono dan
mendapat gelar kehormatan Tumenggung Wiro Sakti dari Kerajaan mengutus kami
untuk menjemput seorang bayi lelaki bernama Pandu!"


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah....mereka juga ternyata mempunyai ujuan yang sama! Dua cacing
ingusan ini mungkin tidak perlu ditakuti. Tapi Tumenggung Wiro Sakti dari gunung
Lawu itu harus diperhitungkan baik-baik....." membatin si nenek. Otaknya yang
cerdik cepat diputar. Maka diapun berkata "Sungguh aneh.... Sepasang muda-mudi
melakukan perjalanan jauh-jauh dimalam buta begini mengatakan mencari seorang
bayi! Seorang bayi di dalam rimba belantara" Hik...hik...hik! Bukankah lebih baik
waktu kalian dihabiskan saja untuk saling bercumbu rayu....?"
"Manusia bermulut kotor!" Yang membentak adalah sang dara. Mukanya
tampak merah dalam gelap. "Kami berdua adalah kakak adik! Sekalipun kami tidak
bersaudara darah, apa yang kau katakan tadi tidak bakalan kami lakukan! Muridmurid perguruan silat Teratai Putih menjunjung tinggi nama perguruan dan
kehormatan diri!"
"Hemmmm....begitu?" ujar si nenek pula. "Bagus, aku suka pada muridmurid yang taat dn berbakti pada perguruan serta gurunya. Tapi terus terang
kukatakan adalah tolol kalau kalian mau saja disuruh mencari seoarang bayi dalam
rimba belantara ini! Paling untung kau hanya akan menemukan anak harimau, paling
sial kalian hanya mendapatkan anak kodok alias kecebong! Hik....hik....hik.....!"
"Kami sudah menyelidiki. Anak yang kami cari pasti berada di tempat ini
sebelum matahari terbit. Itu gubuk yang bakal jadi tempat persembunyiannya!"
"Hai, tidak sangka mereka tahu banyak tentang bayi itu...." kata si nenek
dalam hati. "Kalau begitu....." ujar si nenek. "Kalian kembali saja besok pagi.
Malam-malam begini menyelidiki tentu sulit bagi kalian. Besok biarlah aku ikut
membantu...."
"Tidak, kami tidak akan meninggalkan tempat ini!" jawab si pemuda.
"Dan bukankah kemunculanmu di sini juga mencari anak yang sama?" sang
dara langusng menceploskan ucapannya terang-terangan.
"Apa urusanku disini tidak perlu kalian ketahui atau tanyak. Hanya saja perlu
kuberi ingat, siapapun kalian adanya aku tidak suka kalian berdua ada di tempat
ini. Silkahkan pergi....."
"Kaulah yang harus pergi! Kau telah melakukan pembunuhan keji terhadap
ayah anak itu! Kau juga yang mencelakai Pendekar Bungkuk dengan lemparan
pisaumu!" BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Hei....jadi kalian berdua sudah sejak tadi mengintip di tempat ini!" si nenek
unjukkan suara dan mimik tidak senang. "Nah....nah! Jika kalian sudah menyadari
betapa nyawa manusia tidak ada artinya bagiku, mengapa tidak lekas-lekas
tinggalkan tempat ini?"
"Kami baru mau pergi setelah menyelidiki lebih dulu ke dalam gubuk itu!"
berkata si pemuda. Sikap dan caranya bicara lebih sabar pada adiknya.
".....ooooo.....oooo! Gubuk itu di bawah pengawasan dan kekuasaanku! Kalian
berdua tidak punya hak untuk menyelidiki atau memeriksa! Lekaslah pergi. Sayang
kalau terjadi apa-apa dengan kalian yang masih muda-muda ini....."
"Jika kau melaran, kami terpaksa bertindak! Gubuk itu bukan milikmu! Kami
tahu betul!"
Mendengar ucapan si pemuda, sang nenek jadi marah. Sambil berkacak
pinggang dia berkata "Jika kalian berani bergerak masuk dan memeriksa gubuk,
kalian akan jadi bangkai menemani Jinggasuwu!"
"Adikku, aku akan menghalangi nenek ini jika dia berani mencegahmu!"
Maka dara berpakaian putih ringkas segea melangkah menuju pintu gubuk.
Pisau Maut Tanpa Bayangan sekali berkelebat telah menghadang jalan sang dara.
Tapi tak klah cepatnya, sekali berkelebat pula maka sang pemuda sudah tegak di
hadapan si nenek. Sementara itu gadis adiknya terus melangkah ke pintu gubuk.
Melihat hal ini nenek berambut panjang benar-benar merasa ditantang. Kedua
tangannya kiri kanan membagi pukulan. Satu ditujukan ke arah si pemuda, lainnya
dihantamkan ke si pemudi. Dua rangkum angin dahsyat menderu.
Murid-murid perguruan silat Teratai Putih dari gunung Lawu itu berseru keras
dan berkelebat kelitkan serangan. Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi, cepat
dan sebat. Lima jurus berlalu. Meskipun dirinya telah mengecap adam garam rimba
persilatan, memiliki pengalaman luas serta menyandang nama besar namun dugaan si
nenek bahwa dia bakal dapat menggebuk para pengeroyoknya dalam waktu singkat
tidak dapat dilaksanakannya. Ternyata dua cucu Tumenggung Wiro Sakti dari gunung
Lawu itu memiliki tingkat kepandaian yang mengejutkan si nenek. Memang
kenyataan sebenarnya Jalma dan Jalmi demikian nama sepasang kakak beradik itu
merupakan murid-murid di tingkat paling tinggi dalam perguruan. Selain menguasai
ilmu silat luar, mereka juga telah digembleng untuk memiliki ilmu silat dalam
berupa tenaga dalam dan kesaktian.
Si nenek katupkan rahang rapat-rapat ketika menyadari dirinya telah menjadi
bulan-bulanan serangan berbahaya, membuatnya tidak mampu untuk membalas
serangan. Didahului oleh tteriakan keras, perempuan tua ini robah permainan
silatnya. Tubuhnya berkelebat sengat cepat hingga sesuai dengan julukannya, Jalma dan
Jalmi seperti berkelahi menghadapi bayangan. Setiap memukul atau menendang, mereka
hanya menghantam tempat kosong. Kini keadaan jadi berbalik. Dua muda-mudi itu
mulai terdesak.
"Adikku, mari kita keluarkan jurus ke tiga belas. Gabung dengan jurus tujuh
belas!" berbisik Jalma.
"Kau mainkan jurus tiga belas lebih dulu. Aku jurus tujuh belas. Lalu kita
selang seling biar tua bangka ini bingung!" menyahuti Jalmi.
"Kau cerdik! Mari kita serbu!"
Maka kedua muda-mudi itu kembali menyerbu. Jurus tiga belas dan jurus
tujuh belas dari ilmu silat perguruan Teratai Putih adalah jurus-jurus yang
saling bertolak belakang. Jika orang diserang dengan jurus tiga belas, bila dia
berhasil menghindar maka dia akan diserbu dengan jurus tujuh belas yang merupakan lawan
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dari jurus tiga belas. Akibatnya lawan menjadi bingung karena setiap gerakan
menghindar atau mengelak yang dilakukannya akan menemui jalan buntu.
Dua jurus mendapat serbuan gerakan-gerakan silat yang aneh ini, si nenek
langsung terdesak hebat. Sepasang tangan lawan mulai berdesir di depan dada dan
wajahnya. Jurus berikutnya satu gebukan mendarat di pinggangnya hingga si nenek
menggerang kesakitan. Gerakannya dipercepat. Sosok tubuhnya kini tidak lagi
hanya merupakan bayangan, tapi hanya berupa desiran angin yang menyambar kian kemari.
Setelah saling gebrak dua jurus, murid-murid perguruan Teratai Putih melihat
lawan secara teratur bergerak mundur menjauh. Jalma maklum apa artinya ini. Dia cepat
memberi ingat adiknya.
"Awas, dia pasti merencanakan untuk mulai melepaskan pisau-pisau
terbangnya, Jalmi. Lekas merangkak maju. Jangan berikan jarak melempar padanya!"
Jalma dan Jalmi melompat menyergap. Tapi si nenek lebih cepat. Dua
tangannya bergerak. Enam pisau kemudian melesat dalam gelapnya malam, hampir
tidak kelihatan. Hanya desingannya saja yang terdengar. Tiga menyambar ke
arahJalma, tiga lagi melesat ke jurusan adiknya. Dua anak murid Teratai Putih
ini tidak sanggup berkelit dan terlambat untuk menangkis.
"Celaka!" keluh Jalma.
Lalu didenganya adiknya menjerit ketika pisau terdepan menancap di bahunya.
Gadis ini terjajar ke samping. Justru ini menyelamatkannya dari dua pisau yang
seharusnya menyambar ke arah dada dan bahu kanannya.
Khawatir akan keselamatan adiknya Jalma memutar tubuh, tidak sadar lagi
bahwa pisau terbang saat itu menderu ke arah tenggorokan, dada dan pelipis
kirinya! Saat itulah tiba-tiba dari kegelapan melayang patahan ujung ranting berdaun
lebat. Ranting ini menyapu deras di depan dada dan kepala Jalma, melindungi si
pemuda dari hantaman maut tiga bilah pisau dan jatuh di tempat gelap.
Bersama dengan itu Jalma mendengar ada suara halus mengiang di kedua
liang telinganya.
"Anak-anak Teratai Putih tinggalkan tempat ini. Nenek itu bukan tandingan
kalian. Beritahu pada kakek gurumu Tumenggung Wiro Sakti, anak bernama Pandu
itu tidak berjodoh dengan dirinya...."
Jalma yang tengah menolong adiknya terkejut mendengar suara itu. Dia
berbisik pada adiknya "Ada orang pandai memberi peringatan...."
"Ya, aku juga mendengar. Bahuku sakit sekali. Jalma tolong aku. Cabut pisau
di bahuku...."
Jalma totok urat-urat di sekitar bahu adiknya lalu baru mencabut pisau yang
menancap hingga tak ada darah mancur keluar. Sesaat kakak adik ini memandang
penuh amarah pada nenek berambut panjang di hadapannya. Lalu tanpa berkata apaapa keduanya memutar tubuh tinggalkan tempat itu diiringi gelak tawa si nenek.
Masih untung kalian pergi masih membawa nyawa masing-masing. Anakanak muda tolol.....!"
Meki hati mereka panas mendengar ejekan itu tapi Jalma dan Jalmi tidak bisa
berbuat apa-apa. Sambil menuntun adiknya, Jalma berkata "Orang pandai itu bukan
saja memberi peringatan, tapi dia juga telah menyelamatkanku. Aku merasa pasti
dialah yang melempar patahan ranting, menangkis tiga pisau hitam yang
dilemparkan nenek keparat itu...."
"Nasib kita memang sial....." jawab Jalmi hampir tanpa ada penyesalan. "Ini
satu pengalaman berharga bagi kita. Aku hanya bertanya-tanya siapa orang pandai
yang telah menolong kita itu....."
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Begitu dua anak murid perguruan Teratai Putih itu lenyap dalam kegelapan malam,
Pisau Maut Tanpa Bayangan hentikan tawanya. Dia mendingak ke atas. Meki tahu
ada seseorang bersembunyi di sekitar tempat itu namun dia tidak dapat memastikan
di sebelah mana orang itu berada. Maka nenek inipun berseru
"Berani ikut campur urusan orang jangan bertindak pengecut tidak mau
unjukkan tampang!"
Si nenek mengira bakal ada suara keras yang menjawab atau berkelebat
munculnya orang yang tadi melemparkan patahan ranting. Namun justru yang datang
adalah suara mengiang halus di kedua telinganya.
"Nenek pandai bergelar Pisau Maut Tanpa Bayangan. Sadarilah kenyataan
bahwa anak yang kau cari tidak berjodoh dengan dirimu. Sebaiknya ku lekas
meninggalkan tempat ini. Aku......"
Suara ngiangan halus lenyap mendadak.
Di atas pohon sangat tinggi, hampir di sebelah pucuknya, terdengar suara
perlahan "Astaga......apa yang terjadi!"
Di atas atap gubuk terdengar suara hiruk pikuk ketika atap yang terbuat dari
rumbai itu bobol. Sesosok tubuh entah dari mana datangnya tahu-tahu telah
menjebol atap itu dan menerobos masuk.
Sesaat kemudian terdengar suara jeritan perempuan di dalam gubuk, disusul
oleh tangis bayi.
Pisau Maut Tanpa Bayangan kaget bukan main. Secepat kilat dia menendang
pintu gubuk hingga berantakan lalu melompat masuk. Tapi perempuan tua itu
terlambat. Saat itu sosok tubuh yang tadi menerobos masuk telah melompat kembali
ke atas atap, siap untuk melarikan diri. Di tangan kirinya dia mendukung bayi
lelaki yang terus menangis sedeang di lantai gubuk terbujur tubuh ibu si bayi dalam
keadaan tak sadar...... "Penculik bayi! Tinggalkan anak itu kalau tidak mau mampus!" teriak
Pisau Maut Tanpa Bayangan. Dia melompat ke atas atap sambil lepaskan tiga pisau
terbang. Plak....plak.....plak....!
Luar biasa sekali. Orang tengah melompat ke atas atap sambil mendukung
bayi hanya lambaikan lengan pakaian hitamnya yang lebar tiga kali beruturutturut dan tiga pisau hitam bergagang putih itupun runtuh ke bawah!
Meskipun hatinya tercekat melihat kehebatan orang naun si nenek yang
inginkan bayi itu teruskan lompatannya dan mengejar. Sampai di atas atap dia
masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke balik sebatang pohon besar. Si
nenek kembali hamburkan pisau lalu laksana terbang melompat ke arah pohon. Gerakan
perempuan tua ini memang hebat sekali. Saat itu juga dia berhasil menghadang
larinya orang yang membawa bayi. Begitu melihat orang itu, Pisau Maut Tanpa
Bayangan jadi terkesiap dan berdesah.
"Dewi Kerudung Hitam......"
Orang yang membawa bayi itu ternyata seorang perempuan yang wajahnya
ditutup dengan sehelai kain hitam tipis mulai dari hidung ke bawah. Rambutnya
digelung, dihias dengan sebuah tusuk kundai perak. Dari keseluruhan wajahnya
hanya kening dan sepasang matanya yang bersinar saja kelihaan. Perempuan ini
mengenakan pakaian ringkas hitam dengan ujung lengan yang sangat lebar.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Setelah tahu siapa aku, apakah kau masih berani menghalangi"!" pereempuan
bercadar menegur. Suaranya halus tapi tegurannya itu jelas mengandung ancaman.
Si nenek batuk-batuk beberapa kali.
"Aku menghormati nama besarmu Dewi. Hanya saja bai dalam dukunganmu
itu sudah ditakdirkan menjadi milikku. Akan kujadikan murid...."
Perempuan berkerudung yang dipanggil dengan sebutan Dewi tertawa
perlahan. "Kalau aku boleh bertanya, sapa yang menakdirkan bahwa anak ini
milikmu.....?"
"Guratan tangan ini...." sahut si nenek. Lalu dia melangkah mendekat dan
angsurkan tangan kirinya dengan telapak tangan dikembangkan. "Kau bisa melihat
sendiri. Bukankah kau juga seorang peramal ahli....?"
"Tarik tanganmu kembali. Aku jijik melihat tanganmu!" sang Dewi
membentak. Kembali si nenek batuk-batuk.
"Jika kau berkata begitu baiklah. Hanya saja....." Tiba-tiba tangan kiri si
nenek menyambar ke arah bayi dalam bungkusan kain tebal yang saat itu masih
terus menangis. Dewi Kerudung Hitam hanya menggeser kakinya sedikit dan itu sudah cukup
untuk menyelamatkan bayi dalam dukungannya dari rampasan si nenek.
"Apapun yang kau lakukan, kau tak bakal mendapatkan anan ini. Pergilah!"
Perempuan berkerudung dorongkan tangan kanannya. Si nenek merasa seperti
ada batu besar menekan. Dia kerahkan tenaga dalam. Ketika dia berhasil
membuyarkan tekanan, sang Dewi sudad lenyap dari hadapannya. Naun dia masih
sempat melihat kemana larinya orang itu. Maka diapun mengejar dan kecepatannya
bergerak lagi-lagi membuat dia berhasil mengejar dan menghadang!
"Hem....rupanya kau benar-benar ingin melihat aku marah Pisau Maut!" Dewi
Kerudung Hitam tampak jengkel.
"Sebelum kau serahkan bayi itu padaku, kemanapun kau pergi pasti akan
kukejar dan kuikuti!" jawab Pisau Maut Tanpa Bayangan.
"Tua bangka keras kepala! Akan kulihat apakah kepalamu benar-benar keras!"
Habis berkata begitu Dewi Kerudung Hitam kibaskan ujung lengan baju hitam
tangan kanannya. Wutt! Angin deras dan tajam menderu ke arah kepala si nenek.
Dengan cepat Pisau Maut Tanpa Bayangan merunduk. Sambil merunduk dedua
tangannya bergerak. Enam pisau hitam berkelebat dalam jarak yang sangat pendek
itu.

Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan saja berbahaya bagi sang Dewi. Tapi juga mengancam keselamatan bayi dalam
dukungannya! Mulut sang Dewi yang terlindung di balik cadar hitam menggembung lalu
meniup keras. Bersamaan dengan itu kembali kibasan lengan baju yang tadi
ditujukan ke arah kepala kini dihantamkan ke bawah, ke arah datangnya serbuan enam pisau
maut! Tiga pisau meluncur berbalik dan menancap amblas ke tanah. Tiga lagi mental,
dua diantaranya tampak menjadi bengkok sebelum menghantam pohon dan jatuh!
Melihat kejadian ini nyali si nenek menjadi lumer. Jika dia nekad melanjutkan
perkelahian pasti dia akan celaka. Untuk menutupi rasa malu atas kekalahannya
itu si nenek berkata "Saat ini aku sengaja mengalah, tapi lain kali jika aku melihat
tampangmu lagi, jangan harap aku akan memberi pengampunan padamu!"
Dewi Kerudung Hitam tertawa dingin.
"Kau boleh pergi.Tapi aku tetap akan menguji kekerasan kepalamu!" Lalu
cepat sekali perempuan ini gerakkan tangan kanannya.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wutt! Pisau Maut Tanpa Bayangan cepat berkelebat. Sekali ini dia tak mampu
mengelak. Dari mulutnya terdengar pekik kesakitan sekaligus terkejut. Mukanya
pucat pasi. Keningnya terasa sakit. Ketika dipegang terasa ada darah mengucur.
Daging dan tulang keningnya telah bocor seperti dicoblos paku! Tanpa menunggu
lebih lama perempuan tua yang sudah habis nyali ini segera putar tubuh dan
melarikan diri dari tempat itu.
Dewi Kerudung Hitam tertawa mengekeh.
"Ternyata batok kepalamu sama lunaknya dengan nyalimu. Ha...ha...ha...!"
Lalu sang Dewi bagi perhatian pada bayi dalam gendongannya yang masih
terus menangis. Disibakkannya sedikit kain tebal yang menutup wajah si bayi.
Kelihatan pipinya yang merah dan wajahnya yang mungil lucu.
"Anak manis, cep...cepp...cepp! Jangan menangis. Kau aman berada dalam
dukunganku. Akan kubawa kau terbang menuju bukit Merak...."
Perempuan itu rapikan kain yang enutupi si bayi. Dia mengayun-ayun tubuh
anak itu beberapapa kali tapi bayi itu terus saja menangis. Akhirnya Dewi
memutuskan untuk segera pergi dari situ.
Baru saja dia bergerak dua langkah mendadak terdengar suara mengaum yang
sangat dahsyat. Dari dalam gelap muncul dua titik biru menyala!
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT D ua titik biru itu semakin dekat semakin tampaklah satu sosok tubuh
seekor harimau yang luar biasa besarnya. Mulutnya menganga memperlihatkan gigi
dan taringnya yang besar. Ekornya mengibas-ngibaskan tiada henti. Bulunya yang
sangat tebal berwarna hitam berbelang kuning!
Menghadapi manusia bagaimanapun hebatnya bukan suatu hal yang
menakutkan bagi Dewi Kerudung Hitam. Tapi berhadapan dengan seekor binatang
buas seperti ini baru menjadi kecut. Dia mundur dua langkah sambil berkata "Aku
tidak menganggumu, jangan mengganggu aku....."
Binatang itu keluarkan suara mengaum sebgai jawaban. Dewi Kerudung
Hitam merasakan tanah yang dipijaknya bergetar. Karena tidak mungkin meneruskan
langkahnya ke depan, perempuan ini berbalik ke kanan. Saat itulah dia melihat
ada seseorang berdiri di samping kanan itu.
Yang tegak dalam kegelapan itu adalah seorang lelaki kurus tinggi berjubah
putih dalam, mengenakan penutup kepala seperti sorban. Di bawah sorban menjulai
samapi ke punggung rambutnya yang panjang berwarna seputih kapas! Di tangan
kirinya orang tua ini memegang seuntai tasbih kayu dan mulutnya tiada henti
melafatkan zikir.
"Hem..... Jadi kau rupanya yang membawa harimau besar ini, orang tua!"
Sang Dewi menegur. "Mengapa kau dan makhluk binatang peliharaanmu ini berusaha
menghadang maksudku untuk meninggalkan tempat ini?"
"Aku tidak menghadang siapapun. Aku tahu kau orang baik-baik, sahabat
kaum jelata, penolong mereka yang tertindas. Kita orang-orang satu golongan. Dan
kebetulan sama-sama punya satu tujuan...." Begitu orang tua bersorban menjawab
lalu kembali dia berzikir.
"Satu tujuan" Tujuan apa maksudmu?" tanya Dewi Kerudung Hitam.
"Bayi dalam dukunganmu itu....." jawab si tinggi kurus berjubah putih.
"Petunjuk Tuhan dalam tiga kali mimpi membawaku kepadanya...."
Dewi Kerudung Hitam tatap wajah orang tua di hadapannya itu sesaat lalu
berkata "Mendengar logat bicaramu jelas kau bukan orang sini. Siapa kau
sebenarnya dan datang dari mana?" Dengan bertanya begitu sang Dewi berusaha mengalihkan
pembicaraan. Hatinya tidak enak ketika mengetahui orang tua berjubah dan
bersorban putih itu berbicara soal anak dalam dukungannya.
Aku memang bukan orang Jawa. Aku datang dari jauh. Dari seberang. Dari
sebuah pulau bernama Swarna Dwipa yang juga dikenal dengan nama pulau Andalas.
Tiga bulan lebih aku menempuh perjalanan menurut petunjuk mimpi. Menurut
kepercayaan orang sini itu adalah wangsit. Menurutku sendiri mimpi itu adalah
petunjuk Tuhan. Akhirnya, setelah tiga bulan aku sampai di sini....."
Dewi Kerudung Hitam mengangguk-angguk lalu dia mengingatkan dangan
berkata "Kau belum memberi tahu namamu orang tua....."
"Di tanah kelahiranku ada yang memberikan nama dan memberikan gelar.
Ketekbanamo, gadang bagala....."
"Eh, apa itu. Ketek siapa maksudmu?"
Orang tua itu tersenyum mendengar pertanyaan Dewi Kerudung Hitam.
"Ketek bukan berarti ketiak," katanya. "Ketek dalam bahasa kelahiranku
artinya kecil. Maksud ucapanku tadi, seorang anak lelaki pada waktu kecil diberi
bernama. Setelah besar diberi gelar. Begitu juga diriku. Sewaktu aku kecil orang
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tuaku memberiku nama Syahrudin Mustakim. Setelah besar aku dikenal dengan gelar
Datuk Perpatih Alam Sati."
"Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang Datuk! " ujar Dewi Kerudung
Hitam. "Sungguh satu kehormatan bisa bertemu denganmu. Hanya saja mohon
dimaafkan aku tidak punya waktu berbincang-bincang lebih lama denganmu. Mudahmudahan di lain waktu kita bisa berjumpa lagi. Aku minta diri...."
"Mengapa terburu-buru Dewi" Justru pertemuan ini sangat penting bagiku!"
kata Datuk Perpatih Alam Sati pula. Kedua matanya melirik sekilas pada anak
dalam dukungan Dewi Kerudung Hitam, membuat perempuan ini tambah tak enak. Sang
Dewi diam-diam sudah menimbang-nimbang dan menukur samapi dimana tingkat
kepandaian dan kesaktian orang tua berjubah putih ini. Jika dia tidak sanggup
muncul dangan membawa seekor harimau besar peliharaan, sudah dapat dipastikan orang ini
lebih tinggi ilmunya dari Pisau Maut Tanpa Bayangan.
"Maafkan, aku harus pergi sekarang!" berkata Dewi Kerudung Hitam. Dia
bergerak ke kiri.
Tapi tahu-tahu orang tua berjubah dan bersorban putih situ sudah ada di
hadapannya hingga langkahnya tertahan.
"Jika kau memaksa pergi, akupun tidak memaksa menahan. Hanya
kuharapkan kau sudi menyerahkan bayi itu padaku....."
Dewi Kerudng Hitam menyeringai. Kedua pelipisnya tampak menggembung
tanda perempuan ini mulai dirasuk hawa amarah.
"Aku datang lebih dulu darimu, aku lebih dulu mendapatkan orok ini.
Mengapa kau enak saja meminta....?"
"Aku meminta dengan segala hormat dan segala kerendahan hati...."
"Maafkan aku. Apapun alasanmu aku tetap akan membawa anak ini!"
"Percayalah, anak itu tidak berjodoh denganmu, Dewi."
"Siapa bilang!" sentak Dewi Kerudung Hitam. Lalu kembali dia berkelebat.
Kali ini ke sebelah kanan. Namun lagi-lagi orang tua tinggi kurus itu lebih
cepat seperti menghadang gerakannya. Dari dua kali dihadang seperti itu saja, Dewi
Kerudung Hitam sudah maklum bagaimana hebatnya orang tua di hadapannya itu.
Namun bukan berarti dia merasa jerih.
"Orang tua! Jika kau terus-terusan menghadangku, jangan salahkan kalau aku
melepaskan tangan keras!" Dewi Kerudung Hitam membentak dan mengancam.
Orang tua berjubah putih tertawa. Lalu berkata "Coba kau lihat sekali lagi
sebelum pergi. Yang kau gendong itu bukan bayi tapi seekor anak harimau....!"
"Setan! Jangan coba menipuku!" tukas Dewi Kerudung Hitam.
"aku tidak menipu. Silahkan kau lihat sendiri! Yang kau bawa adalah anak
harimau. Anak harimau. Anak harimau.....Anak harimau....!"
Jengkel, marah tapi juga ragu-ragu, Dewi Kerudung Hitam singkapkan kain
tebal penutup bayi dalam dukungannya. Ketika kain tersibak, menjeritlah
perempuan ini. Kepala seekor anak harimau mengeliat, mulutnya terbuka lebar dan sepesang
matanya yang biru memancarkan sinar sperti menusuk. Binatang ini menggereng
menakutkan! Tanpa pikir panjang Dewi Kerudung Hitam lemparkan benda yang berada
dalam dukungannya itu. Lalu bersurut mundur dengan muka hampir tak berdarah.
Saat itulah si jubah putih bergerak. Ketika Dewi Kerudung Hitam memandang ke
depan, orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Memandang berkeliling harima
besar bermata biru yang tadi menghadang di depannya lenyap. Dan lebih dari itu, bayi
dalam dukungannya yang tiba-tiba entah bagaimana berubah menjadi seekor anak
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
harimau juga ikut lenyap. Padahal bayi atau apapun adanya setelah dilemparkan
pasti jatuh ke tanah!
"Dewi Kerudung Hitam, terima kasih atas kebaikanmu memberikan bayi
ini.....!"
Tiba-tiba terdengar suara orang tua berjubah putih tadi. Kaget sekali Dewi
Kerudung Hitam memandang ke arah pohon besar sepuluh langkah di sebelah
kanannya. Di situ tampak Dauk Perpatih Alam Sati duduk di atas punggung harimau
besar, tidak beda seperti menunggang seekor kuda. Dalam dukungan tangan kirinya
tampak bayi dalam kain tebal yang dilemparkan sang Dewi.
"Bangsat penipu! Kau memperdayaiku dengan ilmu sihir celaka!
Mampuslah!" teriak Dewi Kerudung Hitam. Dia hantamkan kedua tangannya ke
depan. Dua larik angin tajam menderu dahsyat ke arah kepala dan perut Datuk
Perpatih Alam Sati. Pukulan sakti seperti inilah yang tadi membuat kepala Pisau
Maut Tanpa Bayangan sampai berlobang dan mengucurkan darah. Kini sang Dewi
melepaskan dua pukulan sekaligus.
Datuk Perpatih Alam Sati tepuk pinggul harimau besar tunggngannya.
Binaang ini mengaum dahsyat lalu melompat ke depan. Sang Datuk goyangkan
kepalanya. Rambut putih panjangnya bergerak seperti menabas. Sinar putih aneh
berkiblat. Dua larik pukulan Dewi Keudung Hitam buyar!
"Edan!" maki sang Dewi marah. Dia lepaskan lagi satu pukulan. Selarik sinar
berwarna hitam mencua dari ujung lengan pakaiannya yang lebar. Datuk Perpatih
Alam Sati tampak tenang saja di atas punggung harimaunya. Sinar hitam menghantam
bagian paha kaki kiri belakang harimau besar. Dewi Kerudung Hitam sengaja
menghantam binatang itu agar sang Datuk tidak bisa melarikan diri lebih jauh.
Tapi apa yang disaksikannya membuat perempuan ini terkejut. Jika sebuah batu besar
terkena hajaran sinar hitam itu pastilah akan hancur dan hangus. Tapi begitu
sinar melabrak kaki si harimau, sinar itu seperti tidak mampu menembus kelebatan bulubulu binatang itu, terpental kembali dan bertabur menjadi beberapa bagian yang
sama sekali tidak mempunyai kekuatan apa-apa lagi!
Harimau besar dan Datuk Perpatih Alam Sati lenyap di balik deretan pohonpohon, hilang ditelan kegelapan malam. Dewi Kerudugn Hitam mengejar. Namun dia
hanya menemui kegelapan malam. Perempuan ini pukul-pukul jidat dan bantingbanting kaki karena kesalnya.
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA P uncak Merapi diselimuti udara dingin abadi. Hal ini saja sudah cukup
membuat tidak ada manusia yang berkeinginan untuk naik ke puncak, belum lagi
sulitnya untuk mendaki. Namun hari itu justru nampak satu bayangan putih
berkelebat cepat laksana terbang. Sesaat dia muncul di sebelah timur, di lain saat dia
sudah berada di sebelah barat punack gunung. Orang ini bertubuh tinggi kurus,
mengenakan jubah dan sorban putih. Rambutnya yang menjulai panjang di bawah sorban putih
seperti kapas; Dari ciri-cirinya jelas si orang tua ini adalah Datuk Perpatih
Alam Sati, seorang tokoh silat dan agama yang diam di puncak gunung Merapi di pulau
Andalas. Di ppuncak gunung sang Datuk berhenti sesaat, mendongak ke langit tinggi
dimana sang surya bersinar terang, tapi sama sekali tidak terasa panas teriknya.
Setiap hembusan nafas sang Datuk menimbulkan uap tebal di udara yang sangat dingin itu.
Di udara sangat dingin begitu wajahnya tampak keringatan! Pertanda bahwa
tubuhnya memiliki kemampuan untuk menolak hawa dingin yang darang dari luar!
Datuk Perpatih pejamkan matanya. Tangan kanan memegang tasbih, perlahanlahan mulutnya meluncurkan ucapan "Terima kasih Tuhan. Kau telah mengabulkan
semua permintaanku. Hari ini adalah hari terakhir anak itu berada di sini.
Delapan belas tahun lebih dia bersamaku. Dengan keridohanMu, apa yang aku inginkan
tercapai. Kalaupun aku mati maka kematianku bakal tenteram...."
Datuk Perpatih usap wajahnya. Masukkan tasbih ke dalam saku jubah, lalu
berbalik, melangkah ke sebuah gundukan batu yang berwarna putih karena tertutup
cairan putih tipis beku. Salju!
Sampai di hadapan gundukan batu Datuk Perpatih acungkan jari yang
diluruskan itu kemudian ditusukkannya ke pertengahan gundukan batu. Terdengar
suara mendesis yang disusul dengan kepulan asap, pertanda hawa dingin beradu
dengan hawa panas. Perlahan-lahan salju tipis pada gundukan batu meleleh cair,
kemudian tampaklah sebuah lobang. Makin banyak salju yang meleleh semakin besar
lobang yang tampak. Ternyata lobang itu adalah mulut sebuah goa yang cukup
besar, berukuran tinggi, lebar dan panjang sekitar dua tombak.
Di dalam goa tampak duduk seorang pemuda berkulit coklat. Karena hanya
mengenakan sehelai cawat jelas kelihatan badannya yang penuh otot. Pemuda ini
duduk bersila dengan mata terpejam. Di tangan kanannya ada seuntai tasbih.
Bibirnya tampak bergerak terus menerus tanda dia melafatkan sesuatu.
Selain terasa aneh melihat si pemuda yang mampu berthan tersekap dalam goa
yang sangat dingin itu dengan hanya mengenakan sehelai cawat, juga ada keanehan
lain. Di bagian atas goa dimana pemuda itu duduk bersila menetes cairan salju
yang setiap tetesannya jatuh tepat di atas kepala pemuda itu. Sulit diduga entah
berapa lama dalam setahun dia duduk bersila seperti itu. Yang jelas rambutnya yang panjang


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjela punggung tampak basah dan berwarna seputih salju.
Untuk beberapa lamanya Datuk Perpati Alam Sati menatap pemuda dalam goa
sambil tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.
"Pandu, hentikan apa yang kau lakukan. Lakukan solat Zuhur lalu temui aku
di puncak sebelah selatan..."
Pemuda yang ada dalam goa perlahan-lahan buka kedua matanya. Baru saja
kedua metanya terbuka Datuk Perpati Alam Sati keluarkan seperangkat pakaian
putih yang masih baru dari balik jubahnya lalu menyerahkannya pada si pemuda.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kenakan pakaian ini..... Pergi sembahyang. Selesai sembahyang cepat temui
aku di puncak selatan!"
"Akan saya lakukan ayah," menyahuti si pemuda. Dia mendatangi pakaian
putih yang diletakkan Datuk Perpatih di atas pangkuannya lalu bertanya "Pakaian
putih dan baru ini, apa artinya ayah....?"
Sang Datuk sesaat tampak seperti tercekat oleh pertanyaan itu. Lalu dia coba
tersenyum dan berkata "Pergilah bersembahyang. Apa yang jadi pertanyaan dalam
hatimu akan terjawab jika kau sudah menemuiku di puncak selatan nanti.....!" Lalu
tanpa berkata apa-apa lagi Datuk Perpatih tinggalkan tempat ini.
Orang tua ini berjalan menuju puncak gunung sebelah selatan. Kelihatannya
dia seperti melangkah biasa saja. Tapi dalam beberapa kejapan mata dia sudah
lenyap dikejauhan. Di bagian selatan puncak gunung Merapi terdapat sebuah bangunan kayu yang
atapnya terbuat dari ijuk tebal berbentuk tanduk kerbau. Bangunan tanpa dinding
ini berlantai batu gunung berwarna hitam dan sangat bersih.
Datuk Perpaih Alam Sati masuk ke bawah atap lalu menghadap kiblat dan
mulai bersembahyang Zuhur. Sesaat setelah dia mengucapkan salam pemuda itu
dilihatnya sudah duduk di bawah atap bangunan.
"Duduk lebih dekat di hadapanku Pandu...." Memanggil Datuk Perpatih.
Beringsut-ingsut pemuda bernama Pandu itu mendekati sang Datuk yang
dipanggilnya dengan sebutan ayah.
"Pandu, sekarang kau dengarkan baik-baik apa yang akan kututurkan.
Menurut perhitunganku kau berada di puncak Merpati ini bersamaku sekitar delapan
belas tahun. Usiamu mendekati sembilan belas tahun. Aku bersyukur kepada Tuhan
bahwa aelama itu aku telah mengajarkan padamu ilmu baca tulis, ilmu agama dan
tentunya tidak terlupa ilmu silat luar dan dalam. Hari ini aku dan kau berhasil
merampungkan satu ilmu baru yang menurut hematku tak ada duanya dalam ribma
dunia persilaan baik di pulau Andalas ini maupun di kawasan dunia persilatan
lainnya. Rambutmu yang putih dan panjang itu, di situlah letak kehebatan ilmu yang kau
miliki. Rambut itu bisa menjadi tameng pelindung dirimu, dapat pula menjadi
senjata tanpa tandingan yang akan merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya.
Karena semua ilmu itu kau dapat dari keredohan Tuhan, maka wajib kau pergunakan
untuk dan di jalan Tuhan pula. Tadi kau bertanya soal pakaian putih baru yang
kini kau kenakan. Apa artinya. Bukan begitu pertanyaanmu tadi....?"
"Betul ayah," jawab Pandu.
Sang Datuk tersenyum. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu dan
ini dirasakan oleh Pandu.
"Pakaian baru itu satu pertanda bahwa hari ini kau akan mulai satu perjalanan
jauh. Meninggalkan puncak gunung Merpati untuk satu tujuan yang hanya kau
sendiri yang bakal memilih, entah ke utara, entah ke timur, barat atau selatan...."
"Maksud ayah kita sama-sama meninggalkan puncak Merapi ini......?"
Datuk Perpatih menggeleng, membuat wajah Pandu berubah.
"Hari ini hari perpisahan bagi kita berdua. Kalau umur panjang satu ketika
pasti kita bisa bertemu. Aku melepas keergianmu dengan perasaan bahagia karena
ilmu yang kuciptakan berhasil aku wariskan padamu...."
"Tak mungkin saya meninggalkan ayah sendiri di dini....." kata Pandu pula.
"Aku dilahirkan di sini dan aku meninggal menghadap Tuhanku di sini. Tak
usah kau pikirkan badan tua ini. Yang harus kau pikirkan adalah langkahmu
selanjutnya. Dunia luas terkembang di depan mata dan di hadapan kakimu..."
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Untuk beberapa lamanya Pandu tidak dapat berkata apa-apa. Dia menyadari
kenyataan ini. Dalam usia menanjak dewasa seperti saat itu memang tak mungkin
dia menetap terus di puncak Merapi, tinggal bersama ayahnya.
"Satu hal yang harus kau ingat baik-baik Pandu yaitu jika kau sudah
menapakkan kaki di dunia luas nanti, dunia ini tidak berbeda dengan panggung
sandi wara. Ada seribu kebaikan, tapi ad juga sejuta kejahatan. Ada seratus orang yang
baik namun juga ada seribu yang busuk. Sesuatu yang kau lihat bagus belum tentu baik.
Sesuatu yang baik mungkin kau rasakan tidak bagus. Karena itu kau harus
menanamkan rasa berhati-hati dalam setiap melangkah dan bertindak, bahkan juga
dalam setiap membuka mulut mengatakan sesuatu. Akhirnya dapat kukatakan bahwa
ilmu yang paling tinggi di dunia ini adalah kebenaran. Namun setan punya seratus
tangan untuk memutar kebenaran menjadi kejahatan dan kejahatan seolah-olah
menjadi kebenaran. Karenanya jangan ikutkan bujukan setan. Pagari hatimu dan
pikiranmu dengan ajaran-ajaran agama yang telah kau terima dariku. Pagari
tubuhmu dari lawan-lawan yang setiap saat bisa muncul mencelakaimu. Tapi jangan terlalu
percaya pada seorang kawan. Nah, jika tak ada lagi yang bakal kau tanya, kau
boleh pergi sekarang juga Pandu...."
"Tentu saja ada yang akan saya katakan ayah. Sebenarnya sudah berapa kali
saya tanyakan padamu. Namun tidak pernah terjawab. Mudah-mudahan hari ini ayah
bisa memberitahunya...."
"Aku sudah maklum apa pertanyaanmu itu," memotong Datuk Perpatih Alam
Sati. "Kau ingin tahu dimana ibumu bukan?"
Pandu mengangguk.
Datuk Perpatih pegang bahu Pandu lalu berkata "Aku memang sudah
merencana. Sekalipun tidak bakal kau tanya, hari ini kurasa sudah saatnya
kuberitahu padamu. Pandu, sebenarnya aku ini bukan ayahmu...."
Sang Datuk merasakan tubuh pemuda yang dipegangnya itu bergetar keras.
"Lalu......saya tidak mengerti ayah.... Dan tampaknya kau seperti tidak
bergurau..."
"Aku memang tidak bergurau Pandu. Aku tidak tahu siapa nama ibumu.
Ayahmu bernama Jinggosuwu. Kedua orang tuamu berasal dari desa Talangwaru.
Suatu desa subur di Jawa Tengah, sangat jauh dari sini. Aku tidak tahu banyak
tentang ibumu. Kecuali bahwa kau punya seorang kakak perempuan yang satu tahun
lebih tua darimu. Siapa nama kakakmu aku tidak tahu..."
"Lalu bagaimana saya bisa sampai berada di sini......?" tanya Pandu tidak
mengerti. "Sudah saatnya pula aku ceritakan riwayat aku mendapatkanmu Pandu. Waktu
itu, delapan belas tahun yang silam, tersiar kabar dalam rimba persilatan
tentang seorang bayi bernama Pandu yang memiliki ruas dan bentuk tubuh yang luar biasa
sempurnanya. Para tokoh silat keluar dari sarang masing-masing untuk bisa
mendapatkan anak itu yaitu kau adanya, guna dijadikan murid. Banyak korban
berjatuhan. Aku ternyata paling beruntung karena akulah yang mendapatkanmu...."
"Apakah ayah kandungku dari dunia persilatan juga....?"
Datuk Perpatih menggeleng. "Ayahmu tewas di tangan seorang tokoh silat
ketika terjadi perebutan dirimu....."
Lalu Datuk Perpatih Alam Sati menceritakan apa yang terjadi pada malam
delapan belas tahun lalu di dalam rimba belantara sebagaimana yang telah
dituturkan sebelumnya. BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Manusia bernama Pendekar Bungkuk itu, orang yang membunuh ayah
kandungku, apakah dia masih hidup....?" Tanya Pandu begitu Datuk Perpatih
mengakhiri penuturannya.
Sang Datuk tidak langsung menjawab pertanyaan muridnya yang sudah
menganggapnya sebagai ayah itu. Dia berkata "Dalam agama kita dilarang keras
untuk hidup membawa dendam, apalagi membalas dendam. Kau sudah cukup dewasa
untuk mengambil keputusan sendiri. Walau aku tidak menganjurkan kau untuk
mencari Pendekar Bungkuk nemun seperti kukatakan, kau layak mengambil
keputusan. Karena jangan tanyakan dimana tempat kediaman orang itu..."
Habis berkata begitu Datuk Perpatih tepuk-tepuk punggung muridnya. "Walau
aku bukan ayahmu sungguhan, tapi aku tetap menganggapmu sebagai anak dan
sekaligus murid."
"Saya tidak berubah. Akan tetap menganggapmu Datuk sebagai ayah
kandungku...." Kata Pandu pula dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan menangis Pandu. Air mata adalah kelemahan orang perempuan!"
berkata Datuk Perpatih Alam Sati. Tapi kedua matanya sendiri saat itu kelihatan
juga berkaca - kaca.
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Diluar kedai makanan di pinggir jalan berdebu terdengar riuh suara anak-anak
tiada putus-putusnya meneriakkan "Orang gila rambut putih.....orang gila rambut
putih! Gila .....hai orang gila.....!"
Beberapa orang tengah makan siang di kedai itu tentu saja sama mengangkat
kepala. Ssalah seorang diantaranya, seorang pemuda berambut gondrong bermulut
celemongan menyibakkan kain lebar penutup bagian depan kedai, memandang ke tepi
jalan. Di situ dilihatnya seorang pemuda melangkah diikuti oleh hampir selusin
anak- anak yang berteriak-teriak. Dari keadaan dan potongan pemuda itu sama sekali
tidak ada kelainan, apalagi kalau sampai dikatakan gila. Pakaiannya putih, wajahnya
tampan agak berdebu. Hanya saja memang dia memiliki rambut berwarna putih
panjang menjulai sampai ke punggung. Rambut ini bukan saja sangat putih tetapi
juga tampak seperti setengah basah setengah kering.
"Dasar anak-anak, orang tidak gila tidak apa diteriaki gila...." Pemuda rambut
gondrong dalam kedai menggerendeng sendiri.
Sebaliknya pemuda berambut putih terus saja melangkah tidak
memperdulikan teriakan dan ejekaan anak-anak itu, seperti tidak mendengar apa
yang diteriakkan. "Anak-anak nakal!" si rambut gondrong dalam kedai membentak. "Pergi sana!
Mengapa mengganggu orang baik-baik!"
"Orang gila! Orang gila rambut putih...."
"Kalau kalian tidak pergi kujejali sambal mulut kalian!" teriak si rambut
gondrong dalam kedai. Lalu dia bergerak bangkit. Tangan kirinya menyambar cobek
berisi sambal yang tengah disantapnya. Melihat hal ini anak-anak yang sejak tadi
mengikuti si rambut panjang putih sambil berteriak-teriak jadi ketakutan. Mereka
mundur, lalu lari berserabutan sewaktu si gondrong berteriak seolah-olah hendak
mengejar mereka. Setelah anak-anak itu lenyap di kelokan jalan, pemuda berambut
putih panjang menoleh pada si gondrong yang masih tegak di depan kedai. Mulutnya
tersenyum tapi sepasang matanya menatap lekat-lekat. Dan si gondrong di depan
kedai merasakan tatapan mata itu begitu aneh, tidak berkedip dan seperti
memancarkan satu sinar. Saat itu juga dia merasa tubuhnya seperti diselimuti
angin dan hawa yang sejuk. Dia balas tersenyum.
"Saudara, anak-anak dimana-mana sama saja. Suka mengganggu oarng. Dari
debu yang melekat di pakaian dan wajahmu, jelas kau habis berjalan jauh...." Si
gondrong di muka kedai menegur.
"Terima kasih kau telah mengusir anak-anak itu." menyahut si rambut putih
panjang. "Biarlah aku meneruskan perjalanan..."
"hai, berjalan jauh di bawah panas terik matahari kau pasti haus dan lapar.
Mari masuk ke dalam kedai untuk makan dan minum..."
"Ah.... Terus terang aku memang haus dan lapar. Tapi aku tak punya uang
untuk membeli minuman apalagi makanan...."
Si gondrong di muka kedai tertawa lebar dan garuk-garuk kepalanya. "Aku
juga tidak punya banyak uang. Tapi kalau untuk membayar sepiring nasi dan
segelas teh untukmu kau tak usah khawatir..... Mari masuk!"
"Ah, kau baik sekali!" Sesaat si rambut putih panjang agak ragu-ragu. Tapi
akhirnya masuk juga ke dalam kedai setelah pemuda yang mengajaknya melambaikan
tangan. BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Begitu masuk dan duduk di dalam kedai, beberapa orang yang tengah
bersantap langsung berdiri. Wajah mereka menunjukkan rasa takut. Orang gila yang
diteriaki anak-anak tadi ternyata kini masuk ke dalam kedai, beegitu mereka
berpendapat. Tanpa menghabiskan makan, orang-orang itu mengeluarkan uang lalu
pergi cepat-cepat.
Pemilik kedai menjadi tidak enak. Dia memandang agak jengkel pada si
rambut putih panjang. Jika orang gila ini lama-lama berada dalam kedainya pasti
tak ada pengunjung yang bakal masuk untuk membeli makanan. Untuk menegur secara
keras dan kasar pemilik kedai ini seorang lelaki gemuk bermata juling agak
takut. Dia khawatir kalau "orang gila" itu mengamuk dalam kedainya. Maka dangan agak takuttakut dia bertanya "Orang muda, apakah kau punya uang untuk membayar harga
makanan?" Karena matanya yang juling, meski dia bertanya pada pemuda yang barusan
masuk tapi kedua matanya mengarah pada pemuda rambut gondrong yang telah lebih
dulu berada dalam kedai dan masih belum menghabiskan makannya. Si gondrong
tampak agak jengkel, lalu menjawab "Eh, aku sudah setengah makan, mengapa baru
sekarang menegur" Kau kira...."
"Harap maafkan anak muda, aku bertanya pada pemuda ini, nukan
padamu....." buru-buru pemilik kedai berkata.
"Ah!" si rambut gondrong garuk-garuk kepalanya. "Matamu yang uling
menipuku! Soal pemuda ini punya uang atau tidak kau tak usah khawatir. Aku
temannya dan aku yang akan membayar apa yang dimakan dan diminumnya. Kau
hidangkan saja sepiring nasi dan lauk pauknya!"
Mendengar ucapan itu pemilik kedai tak berkata apa-apa lagi lalu meulai
menghidangkan makanan.
"Terima kasih. Kau baik sekali...." Berkata si rambut putih panjang pada si
gondrong di sebelahnya. Yang diajak bicara hanya tertawa lalu meneruskan
makannya yang tadi tertunda. "Namaku Pandu, kau siapa saudara....?"
Yang ditanya telan nasinya, tegak minumannya lalu menjawab. "Aku Wir
Sableng...."
"Wiro Sableng.... Maksudmu....eh Sableng itu nama belakangmu...?"
"iyya. Nama aneh ya" Seharusnya aku yang diteriaki gila oleh anak-anak tadi.
Bukannya kau....'
Kedua pemuda itu sama tertawa elak-gelak.
"Kita baru kenal, tapi kau begitu akrab!"
Wiro Sableng seka mulutnya. "Aku suka berteman dengan siapa saja. Cuma
terus terang baru kali ini aku memiliki seorang sahabat berambut putih seperti


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapas. Sangat panjang seperti rambut perempuan. Tetapi kenapa seperti basah" Kau pasti
tidak kehujanan di tengah jalan karena pakaianmu tidak basah. Mungkin kau habis
mandi di sungai dan tidak sempa mengeringkan rambutmu yang panjang...."
Pandu hanya tertawa. Sementara itu pemilik kedai datang membawakan
makanan. Kedua pemuda itu lalu sama-sama menyantap hidangan masing-masing.
Selesai makan, sambil menyeka keringatnya Wiro memandang pada Pandu
dan berkata "Tadi sebelum kau datang kedai ini terasa panas. Setelah kau masuk
mengapa tiba-tiba kedai ini berubah sejuk....?"
Air muka pemuda bernama Pandu yang adalah murid dan anak angkat Datuk
Perpatih Alam Sati dari puncak gunung Merapi di Pulau Andalas tampak berubah.
Tapi pemuda ini cepat menguasai diri. Sambil tersenyum dia menjawab "Tadi
terlalu banyak orang dalam kedai sempit ini. Tentu saja udara jadi panas. Kini hanya
tinggal kita berdua. Dan angin bertiup dari luar. Tentu saja udara jadi sejuk...."
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro tertawa lebar.
"Kenapa kau tertawa?"
"Sobat baruku. Aku tak bisa ditipu. Hawa sejuk ini memancar dari tubuh dan
rambutmu yang putih basah itu!"
Terkejutlah Pandu.
"Aku.....eh! Matamu tajam sekali sahabat. Rupanya aku berhadapan dengan
seorang pandai dari dunia persilatan!"
Wiro geleng-geleng kepala. Dia memutar pembicaraan. "Logat bicaramu
menandakan kau bukan orang sini. Logat bicaramu seperti hanya dipunyai oleh
orang-orang dari pilau Andalas. Kau berasal dari sana....?"
"Kau betul...."
"Mengadakan perjalanan sejauh itu, tentu ada urusan penting...."
"Kau tengah menyelidikiku saudara?" tanya Pandu tapi dengan tersenyum.
"Sama sekali tidak. Jangan kau tersinggung." Dari balik pakaiannya Wiro lalu
mengeluarkan sehelai sapu tangan hitam lebar. Sapu tangan itu dilipatnya
memanjang lalu diberikannya pada Pandu. "Ikat kening dan kepalamu sebelah belakang dengan
kain itu...."
"Untuk apa....?" Tanya Pandu.
"Tidak untuk apa-apa. Hanya.....agar kau jangan kelihatan seperti
perempuan....Ha...ha...ha...!"
Pandu ikut tertawa mendengar kata-kata Wiro itu. Lalu dia bertanya. "kau
penduduk disini?"
Wiro menggeleng.
"Sudah kuduga. Kau pasti pengembara sepertiku. Bedanya melihat kulitmu
yang kecoklatan kau pasti sudah malang melintang selama bertahun-tahunkeberbagai
penjuru. Sedangkan aku baru mulai belajar mengembara...."
"Kemana tujuanmu sebenarnya sahabat?"
"Sebuah desa bernama Talangsewu. Menurut keterangan terletak di tenggara,
di kaki gunung Sumbing. Kau tahu desa itu?"
Wiro menggeleng. "kalau gunung Sumbing, hanya sehari perjalanan dari sini.
Aku punya tujuan ke jurusan itu. Jika kau tak keberatan, karana kita sama
searah, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan sama-sama?"
Pandu tak menjawab. Setelah diam sesaat dia malah bertanya "Kau pernah
mendengar seorang tokoh silat golongan hitam bernama Pendekar Bungkuk....?"
Wiro garuk-garuk kepalanya lalu mengangguk.
"Kau tahu dimana tempat kediamannya?"
"Eh, rupanya kau mencari manusia satu itu?"
"Betul"
"Pasti ada silang sengketa antara kalian!"
"Dia membunuh ayahku," jawab Pandu.
Keterangan Pandu itu mengingatkan Wiro pada ayahnya sendiri yang juga
tewas dibunh orang. Lama dia terdiam. Agaknya jalan nasib pemuda yang barusan
dikenalnya ini ada persamaan dengan dirinya.
"Menurut kabar yang pernah kudengar, sekitar lima tahun dia lenyap dari
dunia persilatan. Ketika muncul dia menjadi momok nomor datu di timur. Ada yang
mengatakan dia jadi tangan kanan seorang pangeran yang hendak memberontak.
Pangeran itu sendiri berhasil ditangkap tapi terbunuh ketika berusaha melarikan
diri. Pendekar Bungkuk sempat kabur.Ada satu keluar biasaan pada manusia itu. Aku
sendiri belum pernah bertemu atau melihatnya. Tapi kata orang, salah satu
matanya ditancapi pisau kecil berhulu putih. Kabarnya pisau itu ditancapkan salah
Pedang Asmara 16 Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah Pusaka Negeri Tayli 10

Cari Blog Ini