Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi Bagian 1
WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Pangeran Matahari dari Puncak Merapi
SATU Hari mulai gelap. Orang tua penggembala itu melangkah bergegas sambil melecuti
punggung enam ekor sapi agar binatang-binatang itu berjalan lebih cepat. Saat
itulah di kejauhan tiba-tiba telinganya menangkap suara bergemuruh seolah-olah
ada yang menggelegar tertahan dalam perut bumi. Tanah yang dipijaknya terasa
bergoyang seperti dilanda lindu. Enam ekor sapi melenguh tiada henti lalu lari
hingar bingar seperti dikejar setan.
"Eh, ada apa ini" Akan kiamatkah bumi ini?" penggembala tua terheran-heran tapi
juga cemas. Baru saja dia bertanya begitu mendadak langit di timur laut memancar cahaya
merah. Suara gemuruh makin keras dan goncangan tanah tambah kencang.
Memandang ke jurusan timur orang tua itu kembali melihat nyala terang menyambar
laksana hendak menembus langit gelap di atasnya. Lalu ada benda-benda bulat
mencelat ke udara seperti bola-bola api.
"Gunung meletus! Gusti Allah! Merapi meletus!" penggembala tua berseru tegang
dan takut ketika menyadari apa yang sesungguhnya terjadi di kajauhan.
Tongkat kayu yang dipegangnya dicampakkannya ke tanah. Enam ekor sapinya yang
telah kabur entah ke mana tidak diperdulikannya lagi. Dia lari sekacangkencangnya menuju kampung. Yang terbayang saat itu adalah anak istri dan cucucucunya. Dia harus segera sampai di kampung, menyelamatkan orang-orang itu dan
memberi tahu pada penduduk lain bencana yang bakal melanda.
Langit di sebelah timur semakin terang mengerikan. Semburan-semburan batu kini
disertai tanah dan pasir. Suara menggemuruh semakin menggila. Bumi tambah keras
bergoncang. Dari bibir gunung yang meletus menyembur keluar cairan lumpur panas
berwarna merah. Cairan ini kemudian meluncur ke bawah laksana sungai darah.
Satu malam suntuk bumi Tuhan laksana kiamat. Menjelang dini hari suara
menggemuruh mulai berhenti. Tak ada letupan atau semburan batu, tanah dan pasir.
Lelehan lumpur panaspun tak mengalir lagi. Segala sesuatunya diselimuti
kesunyian kini. Kesunyian yang terselubung malapetaka mengenaskan. Malam itu
sembilan buah desa musnah dilanda lumpur dan batu panas. Ratusan jiwa manusia
menemui ajal. Belum terhitung jumlah ternak yang menemui kematian, ribuan hektar
sawah dan ladang yang rusak, tak dapat dipanen hasilnya, tak mungkin pula
ditanami lagi dalam waktu dekat. Begitulah keadaannya pada setiap bencana alam.
Manusia bukan saja kehilangan harta bendanya, tapi juga hilang nyawa sendiri
atau sanak keluarganya.
Ketika sang surya akhirnya muncul pada pagi hari keesokannya, di pinggiran desa
Sleman yang saat iu keadaannya hampir sama rata dengan tanah akibat landaan
letusan merapi, tampak seorang tua bungkuk berpakaian rombeng. Dia muncul entah
dari mana tahu-tahu saja sudah tegak di depan reruntuhan sebuah surau kecil,
berkacak pinggang dan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang besar
tapi sangat cekung. Wajahnya sangat pucat seperti tidak berdarah. Keseluruhan
tampangnya menunjukkan pandangan angker, dingin dan menyembunyikan sesuatu
berbau kelicikan bahkan maut! Apalagi rambutnya putih menjela bahu. Pantas kalau
dirinya disebut setan muka pucat!
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Orang tua ini tampak geleng-gelengkan kepala sambil memandang berkeliling.
Matanya yang besar cekung seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dari mulutnya
yang perot pencong terdengar suara seperti mengomel.
"Ladalah! Tak seorangpun lagi yang hidup! Tak satu nyawapun yang tinggal!
Semua musnah! Semua sudah pada jadi bangkai! Ah, mimpiku tadi malam tak
seluruhnya benar! Buktinya di mana anak itu" Di mana bocah yang kulihat dalam
mimpi" Percuma jauh-jauh aku datang ke mari!"
Kembali orang tua bungkuk berwajah pucat dingin itu memandang berkeliling.
Setelah menunggu sesaat dan merasa pasti anak yang dicarinya tak ada di sekitar
situ maka diapun masuk lebih jauh ke dalam desa, berjalan di atas lumpur. Dan
inilah satu keluar biasaan! Meskipun sudah sekian lama berlalu sejak lumpur
panas menyembur keluar dari gunung Merapi, namun pagi itu lumpur tersebut masih
berada dalam keadaan panas seperti membara. Jangankan kaki manusia, kayu atau
besipun akan hangus bila tersentuh. Tapi orang tua berpakaian rombeng tadi
melangkah seenaknya di atas lumpur tersebut seolah-olah berjalan di atas padang
rumput yang sejuk tertutup embun!
Tepat di pertengahan desa di mana terdapat sebuah pohon beringin besar miring
hampir tumbang dan merupakan satu-satunya pohon yang masih berdiri di desa
Sleman itu, orang tua tadi hentikan langkah. Memandang ke atas pohon miring yang
setengahnya tampak hangus itu kedua bola matanya yang besar tambah mendelik.
"Ladalah! Itu bocah dalam mimpiku! Di sini dia rupanya!" Orang tua bermulut
pencong berseru. Ada rasa jengkel tapi juga ada rasa gembira pada nada suaranya.
Lalu dia tersenyum. Namun dia tetap tegak di tempatnya, tak melakukan apa-apa
selain terus memandangi anak di atas pohon yang terlilit di antara akar-akar
beringin, bergoyang-goyang tergantung di udara.
Sebaliknya anak di atas pohon begitu melihat orang tua bungkuk pakaian rombeng
itu segera berteriak.
"Pengemis tua! Jangan bengong saja! Lekas kau tolong turunkan aku dari tempat
celaka ini!"
Orang tua yang ditegur menyeringai. Dalam hatinya dia membatin. "Bocah itu!
Persis seperti dalam mimpiku. Sombong dan congkak! Memerintah seenaknya tanpa
peduli berhadapan dengan siapa! Sialan! Aku dianggapnya pengemis! Tapi begitu
agaknya suratan takdir. Macam bocah yang begini yang berjodoh denganku!"
"Pengemis bungkuk! Apakah kau tuli hingga tak mendengar orang berteriak minta
tolong"!" anak di atas pohon kembali berteriak.
"Kampret cilik! Sabarlah. Aku memang akan menolongmu! Tapi aku mau tanya dulu.
Jika kau kutolong imbalan apa yang akan kau berikan padaku?"
"Pengemis tua, tahukah bahwa kau telah berbuat dua kesalahan"' si anak membentak
dengan mata melotot.
Yang dibentak mengekeh. "Budak, katakan apa dua kesalahanku"
"Pertama kau tidak segera menolongku! Kedua kau memanggilku dengan sebutan
kampret cilik!"
"Begitu" Nah kalau kau menganggap aku bersalah, apakah kau hendak menghukumku"!"
Orang tua tadi bertanya dengan sikap mengejek.
"Rupanya kau belum tahu siapa aku ini, pengemis tua!"
"Hai! Siapa kau sebenarnya bocah centil?"
"Aku adalah Pangeran Anom dari Surokerto!"
Orang tua itu agak terkejut. "Anak congkak ini jangan-jangan berdusta,"
katanya dalam hati, tapi dia jadi meragu. Maka diapun menanyakan siapa ayah anak
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
itu. ketika si anak menyebutkan ayahnya, kembali si orang tua bungkuk terkejut.
Namun dia masih ajukan pertanyaan. "Jika kau memang Pangeran Anom, mengapa jauhjauh kesasar di tempat ini"!"
"Malam tadi aku ikut rombongan orang berburu. Ketika Merapi meletus mereka lari
cerai berai. Aku tertinggal di belakang. Waktu batu dan lumpur panas mulai
menyembur untung aku dapat menyelamatkan diri bergayut di akar pohon beringin
ini! Mereka akan menerima hukuman!"
"Mereka siapa?" "Orang-orang yang meninggalkan aku itu! Jika mereka masih hidup, ayah pasti akan
menghukum mereka. Aku akan suruh tebas salah satu dari kaki mereka!"
"Bocah ini selain congkak ternyata berhati kejam," membatin orang tua itu.
"Sekarang setelah kau tahu siapa aku, mengapa tidak cepat-cepat menolong"!"
anak di atas pohon menegur.
"Baik-baik, aku akan segera menolongmu. Tapi ada satu perjanjian. Setelah kau
kuselamatkan kau akan jadi milikku dan ikut aku!"
Yang namanya Pangeran Anom mendelik. "Enak saja bicaramu! Kau tak punya hak
apapun atas diriku. Apalagi hendak membawaku. Eh, memangnya kau mau bawa aku ke
mana pengemis bungkuk?"
Orang tua itu menunjuk ke puncak gunung Merapi.
Anak di atas pohon tertawa mencemooh. "Rupanya kau hantu gunung maka mau membawa
aku ke puncak Merapi sana! Tubuhmu lemah dan bungkuk!
Jangankan membawaku, jalan sendiripun ke puncak gunung itu kau tak bakal
sanggup!" Orang tua itu tersenyum. Dia membungkuk lalu meraup lumpur panas dengan tangan
kanannya. "Kampret cilik bernama Pangeran Anom, jangan kelewat merendahkan
kemampuanku!" Lumpur yang tadi diraupnya digulung-gulung hingga membentuk sebuah
bola kecil. Bola lumpur ini kemudian dilemparkannya ke arah si bocah dan tepat
masuk ke dalam saku pakaiannya. Karena lumpur itu masih sangat panas tentu saja
anak ini jadi menjerit-jerit kesakitan ketika lumpur yang memancarkan hawa panas
itu menembus pakaiannya, terus menyentuh daging perutnya.
"Nah kau tahu sekarang bagaimana rasanya panas hati kalau dihina orang"!"
orang tua itu berseru.
"Siapa menghinamu!" anak yang menyebut dirinya Pangeran Anom menyahuti. Dengan
kedua tangannya dia berusaha melemparkan bola lumpur dari dalam sakunya dan
berhasil "Aku hanya melihat kenyataan. Tubuhmu jelas bungkuk dan kelihatan
lemah. Apa aku menghina mengatakan yang sebenarnya" Orang tua kau bukan saja
seorang pencari pamrih, yang hanya mau menolong kalau ada imbalan tapi juga
ternyata tolol. Siapa sudi ikut denganmu!"
"Kalau begitu aku tak jadi menolongmu! Biar kau mati tergantung kelaparan di
atas pohon itu!"
"Aku tidak takut mati! Kau minggatlah dari sini!" si bocah malah balas
menantang, membuat orang tua itu yang tadinya memang hanya berpura-pura hendak
pergi jadi terkesiap dan salah tingkah. Sesaat dia tertegun sambil memandang
melotot, jengkel dan penasaran pada anak di atas pohon.
"Hai! Disuruh minggat kenapa masih berdiri di sana"! Jangan salahkan kalau nanti
aku kencingi tubuhmu!" Pangeran Anom berteriak. Saat itu memang dia ingin
kencing sekali dan sudah lama menahan-nahan.
"Bocah kurang ajar! Aku suka padamu!" Orang tua itu tertawa mengekeh.
"Kau pantas jadi muridku! Kau sombong, keras hati, mungkin juga licik dan kejam!
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ha...ha....ha! Mimpiku ternyata tidak dusta! Mari kau ikut aku!" Habis berkata
begitu orang tua tadi melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak akar-akar
pohon beringin yang melilit tubuh Pangeran Anom tersentak lepas. Lalu begitu
tubuhnya melayang turun, orang tua ini langsung melarikan anak itu ke arah
utara, menuju puncak Merapi. Berlari di atas lumpur panas yang masih mengepulkan
asap. BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Dua belas tahun telah berlalu sejak malapetaka meletusnya gunung Merapi. Desa
Sleman yang dulu musnah sama rata dengan tanah bersama delapan desa lainnya,
kini nampak subur. Rumah-rumah penduduk bertebaran di mana-mana. Sawah ladang
menghampar memberikan hasil besar pada setiap musim panen. Boleh dikatakan
banyak sudah penduduk yang melupakan peristiwa malang yang terjadi dua belas
tahun silam itu. mereka telah disibukkan dengan mengurusi sawah ladang serta
ternak bahkan membangun rumah atau tempat peribadatan baru. Desa-desa itu kini
malah menjadi pusat-pusat penghasil sayur mayur dan daging bagi Kotaraja dan
kota-kota di sekitarnya.
Di arah timur, gunung Merapi tampak menjulang tinggi diselimuti awan biru pada
puncaknya. Dua belas tahun silam gunung inilah yang telah memberi malapetaka
pada penduduk. Tapi kini dia tampak tegak penuh perkasa dan memberikan
pemandangan yang indah.
Saat itu pagi hari. Sang surya baru saja muncul menerangi jagat, memberi
penerangan dan kesegaran baru di atas bumi Tuhan. Di bibir gunung sebelah
selatan tampak sebuah bangunan kayu jati. Bangunan ini hampir merupakan sebuah
dangau karena memiliki kolong dan terbuka tanpa kamar atau ruangan. Di atas
bangunan kayu jati itu duduk berhadap-hadapan dua orang lelaki. Satu tua renta
berambut putih menjela punggung bermuka pucat dan bermata cekung. Satunya lagi
seorang pemuda berusia sekitar sembilan belas tahun yang memiliki dahi tinggi
serta rahang menonjol.
Rambutnya hitam sangat lebat, dagunya kukuh. Keseluruhan wajahnya membayangkan
kekerasan dan sikap congkak.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Anom, yang dua belas tahun lalu tergantung
di pohon beringin ketika terjadi bencana meletusnya gunung Merapi.
Orang tua yang duduk di hadapannya adalah orang tua yang dulu menyelamatkannya
dari pohon itu lalu membawanya ke puncak Merapi.
"Muridku Pangeran Anom, hari ini tepat dua belas tahun kau bersamaku.
Berarti dua belas tahun kau tinggal di puncak Merapi ini menjadi muridku. Banyak
ilmu kepandaian yang hitam dan yang putih telah kau pelajari. Jangan pernah kau
lupakan semua ilmu itu kuberikan adalah sesuai dengan perjanjian kita dua belas
tahun silam. Yakni untuk menghancurkan orang-orang yang tidak sejalan dengan
kita. Mereka perlu dimusnahkan bahkan dibunuh. Tak perduli apakah mereka dari golongan
putih ataupun dari golongan itam. Dalam tubuhmu sudah tertanam segala
kecerdikan, segala akal segala ilmu yang harus menjadi bekal dan pegangan jika
kau nanti sudah meninggalkan puncak Merapi ini. Satu hal yang harus kau ingat
baik-baik. Kau tidak boleh kembali ke Kotaraja, kau tidak boleh kembali menemui kedua orang
tuamu ataupun saudara-saudaramu. Siapa adanya kau di masa lalu harus kau kubur,
harus kau lupakan selama-lamanya. Namamupun harus kau ganti!"
Setelah berdiam diri mendengarkan kata-kata sang guru, pemuda itu ajukan
pertanyaan "Nama apakah yang akan kupakai guru?"
"Nanti akan kuberitahu yaitu enam jam dari sekarang. Satu kejadian besar akan
berlangsung enam jam lagi. Saat itulah akan kulekatkan nama yang pantas bagimu.
Nama yang pantas untuk seorang pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu
dan segala licik serta congkak!"
"Peristiwa apakah yang bakal terjadi enam jam mendatang, guru?" bertanya si
pemuda. BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jangan tanya dulu. Kau akan saksikan sendiri. Peristiwa ini sekali dalam tujuh
puluh enam tahun!"
Si pemuda termenung diam. Tapi otaknya coba memecahkan teka teki peristiwa besar
yang disebutkan sang guru. Sulit baginya untuk menerka. Berarti harus menunggu
sampai enam jam di muka!
"Jika nanti kau meninggalkan puncak Merapi ini harus kau ingat baik-baik
beberapa nama tokoh timba persilatan yang pasti akan menjadi penghalang tindak
tandukmu dalam dunia persilatan. Yang pertama adalah seorang pemuda bernama Wiro
Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seorang pendekar tanpa
tanding, murid seorang nenek sakti dari puncak gunung Gede yang dikenal dengan
nama Sinto Gendeng. Dia bukan saja sakti mandraguna tapi memiliki beberapa
senjata mustika luar biasa. Satu di antaranya adalah Kapak Maut Naga Geni 212.
Di samping itu dikabarkan dia juga mendapat warisan-warisan ilmu hebat dari
beberapa tokoh silat di delapan penjuru angin. Hati-hati jika kau berhadapan
dengannya karena sepertimu dia juga memiliki segala ilmu, segala akal. Satu hal
yang tidak dimilikinya yakni segala kelicikan. Pada titik kelemahan itulah kau
akan dapat mengalahkannya!"
"Kalau aku boleh bertanya, di manakah aku dapat menemui pemuda bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 itu?" bertanya si pemuda. Jelas ini satu pertanda bahwa
dia ingin berhadapan untuk menjajal sampai sejauh mana kehebatan Wiro Sableng.
Orang tua yang ditanya tersenyum "Pendekar seperti dia tidak berumah tak
bertempat tinggal. Dia gentayangan seperti setan di delapan penjuru angin dan
bisa muncul secara mendadak di mana-mana....."
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut guru sehebat-hebatnya ilmu kepandaian seseorang, akan ada selalu
kelemahannya. Selain titik kelicikan yang guru katakan tadi, apakah Pendekar 212
Wiro Sableng memiliki kelemahan lainnya?"
"Ha.....ha! Itu satu pertanyaan bagus! Dan jawabannyapun mudah. Setiap pendekar
selalu mempunyai kelemahan yang sama. Yakni lemah terhadap perempuan! Nah
kelemahan itu bisa kau pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tapi ingat mungkin saja
hal itu tidak selalu berlaku pada setiap saat dan situasi. Jadi yang penting kau
harus berhati-hati jika berhadapan dengan manusia seperti Pendekar 212
Wiro Sableng itu....."
"Hal itu akan saya ingat baik-baik guru. Siapa lagi pendekar lain yang menurut
guru perlu diawasi?"
"Sorang pendekar muda, seusia Wiro Sableng. Namanya Mahesa Edan. Dia murid
seorang nenek sakti dari puncak Iyang yang kalau aku tak salah bernama Kunti
Kendil. Nenek ini selain sakti juga sangat ganas dan punya banyak teman.
Pendekar bernama mahesa Edan ini juga memiliki beberapa senjata sakti. Antara
lain sebuah senjata kayu hitam berbentuk papan nisan. Lalu sebuah senjata
titipan berupa sebilah keris bernama Keris Naga Biru. Orang ketiga yang harus
kau perhatikan ialah seorang pendekar yang bernama hampir sama dengan Mahesa
Edan. Namanya Mahesa Kelud.
Dia berasal dari puncak gunung Kelud di mana gurunya yang bernama Embah
Jagatnata menggodoknya. Dia memiliki berbagai ilmu kesaktian. Memiliki beberapa
orang guru. Namun kepandaiannya yang luar biasa adalah dalam ilmu pedang.
Kudengar dia memiliki sebuah pedang mustika bernama Pedang Dewa. Di samping itu
konon dia berhasil mendapatkan sebuah pedang sakti mandraguna bernama Pedang
Samber Nyawa. Namun di atas semuanya itu dia juga dikabarkan telah menguasai
ilmu pukulan sakti Api Salju yang merupakan ilmu sangat langka dalam dunia
persilatan. Selain tiga orang pendekar itu beserta para guru mereka tentunya,
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
masih banyak lagi tokoh-tokoh yang bakal menghadang dan menghalangi tindak
tandukmu. Jumlah mereka tidak sedikit dan sulit untuk disebutkan satu persatu.
Tapi percayalah, jika kau bisa menghadapi tiga pendekar tadi, maka yang lainlainnya akan dapat kau tangani secara mudah. Yang penting jangan lupa menerapkan
segala ilmu, segala akal dan segala kelicikan! Sekarang sebelum sampai saat yang
ditunggu kau turunlah ke dalam kawah gunung Merapi. Pergi mandi di kawah
belerang untuk penghabisan kali, setelah itu kau boleh istirahat. Aku akan
bersemadi dan jangan mengganggu sebelum ada petunjuk lebih lanjut!"
Pemuda itu berdiri. Seorang murid biasanya akan menjura sebelum berlalu dari
hadapan gurunya. Tapi berlainan dengan pemuda ini, dia hanya menganggukkan
kepala sedikit lalu turun dari bangunan kayu jati itu. Inilah sikap yang sejak
kecil telah tertanam dalam dirinya yakni sifat congkak sombong, tak perduli
berhadapan dengan siapapun, selalu menganggap rendah orang lain!
Sampai di pinggiran kawah gunung Merapi pemuda itu tegak memandang ke bawah.
Jauh di sebelah sana tampak kawah yang tertutup air berwarna biru kekuningan,
memancarkan asap dan hawa hangat. Tak ada jalan menuju ke danau yang menutupi
kawah itu selain lamping batu yang merupakan lereng terjal dan licin.
Si pemuda keluarkan pekik nyaring. Lalu seperti seekor burung walet tubuhnya
tampak melayang ke bawah, melompat dari satu gundukan batu licin ke batu
lainnya. Dalam waktu singkat dia sudah sampai di dasar kawah dan byur langsung
masuk ke dalam air biru kuning tanpa membuka pakaiannya. Beberapa lama pemuda
ini mendekam berenang dalam air hangat itu. Pada saat kulitnya terasa seperti
hendak melepuh maka baru dia keluar dari dalam air. Seperti tadi kembali dia
melompat dari batu ke batu hingga akhirnya sampai di bibir atas kawah Merapi.
Ketika dia kembali ke pondok kayu didapatinya sang guru masih duduk bersila,
bersemadi pejamkan mata. Sambil mengeringkan pakaian, pemuda itu akhirnya duduk
di bawah kolong bangunan, menunggu sang guru selesai bersemadi.
Saat itu mulai menjelang tengah hari. Satu keanehan dirasakan oleh si pemuda.
Pada saat seperti itu sang surya seharusnya memancarkan sinar panas terik dan
terang benderang. Tapi yang dilihatnya justru sebaliknya. Matahari tampak
meredup, padahal saat itu sama sekali tak nampak awan atau mendung menutupinya.
Diperhatikannya baik-baik. Pada pinggiran matahari sebelah kanan tampak seperti
ada sebuah lingkaran berbentuk cincin berwarna ungu terang. Cincin ini makin
lama makin besar dan akhirnya merupakan lingkaran hitam yang sedikit demi
sedikit menutupi matahari. Lambat laun sinar terang matahari menjadi tambah
redup. Beberapa saat kemudian ketika seluruh warna hitam itu menutupi matahari maka
bumipun menjadi gelap seperti di malam buta. Di kejauhan terdengar suara
binatang-binatang hutan seperti panik. Di beberapa desa di kaki gunung Merapi
terdengar suara penduduk memukul berbagai tabuhan. Mereka melakukan itu untuk
mengusir "Setan"
yang katanya hendak memakan matahari.
"Dunia Kiamat!" seru pemuda di bawah kolong pondok kayu seraya melompat
ketakutan. Dia memandang pada gurunya. Orang tua itu masih saja duduk besila
bersemadi. "Dunia kiamat!" seru pemuda itu sekali lagi. Kali ini dengan
mengerahkan tenaga dalamnya hingga suaranya menggelegar. Dia sengaja berbuat
begitu agar sang guru mendengar dan menyudahi semadinya.
Perlahan-lahan memang orang tua itu membuka kedua matanya. Dia dapatkan saat itu
keadaan gelap gulita seperti malam. Tapi aneh justru dari mulutnya yang perot
tampak tersungging senyum. Dia bangkit dari duduknya, melompat ke bawah dan
tegak di samping muridnya sambil mendongak ke langit.
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Dunia tidak kiamat! Bumi belum kiamat!" katanya sambil memegang bahu muridnya.
"Justru inilah yang kita tunggu-tunggu. Saat di mana nama baru akan kuberikan
padamu! Nama yang tepat dengan keadaan saat ini!"
"Guru, kalau bukan kiamat apa namanya ini" Apa yang sebenarnya terjadi.
Mengapa tiba-tiba matahari lenyap dan dunia menjadi gelap seperti malam. Lalu
mengapa penduduk di bawah sana memukul segala macam tetabuhan" Dan kau sendiri
tampak tenang-tenang saja....?"
Yang ditaya tersenyum dan menjawab "Aku tenang-tenang saja karena memang tak ada
yang perlu dikawatirkan. Semua ini adalah kekuasaan Tuhan.
Penduduk yang tolol di sana mengira matahari dimakan satu mahluk aneh hingga
mereka memukul segala macam barang. Mulai dari beduk dan gendang sampai pada
tetampah dan segala macam kaleng. Mereka menyangka dengan melakukan hal itu
mahluk pemakan matahari akan ketakutan lalu meninggalkan. Padahal jika tiba
saatnya matahari akan kembali bersinar. Kau tahu muridku yang terjadi saat ini
adalah apa yang disebut gerhana matahari. Saat ini bulan dan matahari berada
dalam satu garis lurus. Bulan di sebelah depan, matahari di punggungnya. Karena
itu matahari tertutup oleh bulan. Akibatnya matahari tidak kelihatan dan
sinarnya juga terhalang.
Nah apakah aneh jika bumi tiba-tiba menjadi gelap seperti malam?"
"Kalau begitu kejadiannya memang tidak aneh. Tuhan Maha Kuasa dan orang-orang
itu tolol semua. Tapi bagaimanakah kalau matahari terus-terusan terlindung
bulan?" "Ah, ternyata kaupun tolol. Bukankah matahari, bulan dan bumi itu tidak diam,
saling berputar di sumbunya dan saling mengitari" Ketahuilah apa yang terjadi
saat ini ada hubungannya dengan pemberian namamu. Ini saat yang tepat. Ini hanya
terjadi tujuh puluh enam tahun sekali! Dengan adanya kejadian ini maka mulai
saat ini namamu yang lama yaitu Pangeran Anom kuganti menjadi Pangeran Matahari
dari Puncak Merapi. Kau dengar itu"! Namamu mulai dari sekarang adalah Pangeran
Matahari!"
"Nama luar biasa! Aku suka nama itu!" kata sang murid sambil usap-usap dadanya.
"Itu memang nama yang tepat bagimu. Sesuai dengan sifatmu yang cepat panasan,
congkak sombong dan ingin menang sendiri!"
Mendengar kata-kata itu si pemuda tertawa "Nah, sekarang apakah aku boleh minta
diri?" "Tidak. Kau harus menunggu sampai hari kembali terang dan matahari kembali
memancarkan sinarnya. Ini tak akan lama. Hanya sekitar sepeminuman teh.
Tegak saja di sini, jangan bergerak, jangan ke mana-mana" Setelah berkata begitu
orang tua ini naik kembali ke atas pondok kayunya, duduk bersila dan pejamkan
mata. Sesuai perintah sang guru Pangeran Marahari tetap tegak di tempatnya semula.
Kepalanya mendongak ke langit memperhatikan matahari yang sedang gerhana.
Perlahan-lahan rembulan yang menutupi sang surya itu mulai bergeser dan bumi
sedikit demi sedikit mejadi terang. Ketika matahari tidak terlindung lagi maka
puncak gunung Merapi itu menjadi terang benderang sebagaimana siang layaknya.
Pangeran Matahari palingkan kepala ke arah pondok kayu. Astaga! Dia jadi kaget.
Sang guru tak ada lagi di tempat di mana tadi dia duduk bersemadi. Dicari kian
kemari tetap saja orang tua itu tak berhasil ditemuan. Pangeran Matahari
memeriksa ke kawah gunung. Sepi, tak seorangpun kelihatan di sana. Maka diapun
mulai berteriak "Guru! Guru......! Kau berada di mana......"!" jawaban yang terdengar
hanyalah gaung suaranya.
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Orang tua aneh. Selama dua belas tahun dia tak pernah memberi tahu namanya.
Kini dia raib begitu saja!" Pemuda itu merenung sejenak. Sesaat kemudian hatinya
yang congkak membatin "Mengapa aku risaukan tua bangka bungkuk itu.
Ilmunya sudah kudapat. Jika dia kemudian raib tanpa memberi tahu, perduli setan!
Sebelum malam turun lebih baik aku pergi dari sini!" Lalu Pangeran Matahari
melangkah pergi. Namun baru bergerak dua langkah, gerakannya tertahan. Ketika
dia memandang ke pondok kayu jati, dia sama sekali tidak melihat apa-apa. Namun
sewaktu sekali lagi dia berpaling ke arah bangunan itu tahu-tahu di situ nampak
tergantung baju dan celana hitam, berkibar-kibar ditiup angin gunung.
"Aneh, siapa yang menggantungkan pakaian itu di sana?" pikir Pangeran Matahari
seraya melangkah mendekati.
Pada bagian dada baju hitam, terdapat lukisan puncak gunung Merapi berwarna
biru. Puncak gunung dilatar belakangi gambar matahari berwarna merah darah, lalu
garis-garis sinar berwarna kuning. Sesaat si pemuda tegak tertegun.
Namun kemudian mulutnya menyunggingkan senyum.
"Pakaian ini pasti tua bangka aneh itu yang meletakkan di sini. Dan pasti
untukku. Lalu tanpa menunggu lebih lama dia mengambil pakaian hitam tersebut dan
mengenakannya. Ternyata pas benar di badannya.
"Bagus! Nama dan pakaian cocok satu sama lain!" Pangeran Matahari memandang
berkeliling. "Guru!" serunya. "Aku tahu pakaian ini darimu! Untuk itu aku
mengucapkan terima kasih! Hanya sayang bahannya terbuat dari bahan jelek!
Tapi tak jadi apa, kurasa cukup kuat!"
Setelah berkata begitu Pangeran Matahari segera tinggalkan puncak Merapi.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Di depan perapian itu duduk berkeliling lima orang lelaki bertampang bengis.
Salah satu di antaranya memiliki badan luar biasa besar, memelihara cambang
bawuk dan kumis lebat. Mukanya yang bengis tampak lebih buruk karena penuh
dengan lobang-lobang bopeng. Di belakang kelima orang ini, terlindung oleh
kegelapan malam yang tak tersentuh nyala api unggun duduk mendekam lebih dari
dua puluh orang. Semuanya membekal berbagai macam senjata. Mulai dari golok dan
pedang pendek sampai pada pentungan besi dan tombak panjang. Ada pula yang
membawa clurit besar dan mengalungkannya di lehernya.
Lelaki bercambang bawuk berkumis melintang mengusap mukanya yang bopeng. Dia
membenarkan letak ikat pinggang kain merah yang melilit di keningnya.
Seorang yang duduk di sebelah kirinya melunjurkan kedua kakinya yang pegal
seraya berkata "Lama benar datangnya pagi......"
Si muka bopeng menyahuti tak acuh. "Untuk pekerjaan besar yang bakal kita
lakukan memang harus bersabar. Jika tak dapat bersabar sebaiknya minggat dari
sini!" Yang ditegur lagsung diam dan meneguk kopi dalam cangkir kaleng.
Seorang lainnya dari lima yang duduk di muka perapian bertanya "Bagaimana kalau
jumlah pengawal lebih banyak dari orang-orang kita?"
"Kalian ini semua bicara seperti orang pengecut!" membentak si bopeng.
"Bukankah sebelumnya kita sudah mendapat kabar bahwa rombongan pengawal itu tak
akan lebih dari sepuluh orang" Mungkin ditambah satu atau dua orang perwira
muda. Tapi tak akan lebih dari itu. Lalu apa yang kita takutkan" Mereka
perajurit-perajurit yang tak pernah berlatih. Yang hanya mampu berpakaian gagah
dan menyandang senjata. Tapi bila berhadapan dengan lawan akan ketakutan
setengah mati!"
"Menurutmu apakah rombongan istana ini membawa banyak uang dan harta, Warok?"
bertanya seorang lagi.
"Aku tidak perduli apakah mereka membawa harta atau uang! Tujuan utamaku adalah
menculik puteri yang cantik jelita itu. Gila! Sejak aku melihatnya dua minggu
lalu di pasar malam di Kotaraja, aku tak bisa melupakannya. Saat itu kalau saja
pengawalan tidak sangat ketat dan jumlah kita cukup banyak, mau aku menculiknya
waktu itu juga! Eh, siapa nama lengkapnya gadis putih montok itu?"
"Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati....." seseorang menjawab.
"Betul! Nama bagus sebagus orangnya. Panjang sepanjang rambutnya yang hitam.
Ha.....ha.....ha! Sungguh pantas menjadi istri Warok Sumo Gantra!"
Orang yang menyebut namanya sendiri itu usap-usap dadanya lalu meneguk kopinya
sampai habis. Seorang anak buahnya cepat-cepat mengisi cangkir kaleng itu sampai
penuh. "Ada satu hal yang harus kalian ingat dan lakukan!" berkata Warok Sumo Gantra.
"Selain Puji Lestari Ambarwati, tak satu orangpun harus dibiarkan hidup. Ini
agar kita bisa menghilangkan jejak....."
"Bagaimana kalau ibunda Puji Lestari ikut dalam rombongan. Apakah dia harus
dibunuh juga?"
Sang Warok tak segera menjawab. Setelah berpikir sejenak baru membuka mulut.
"Turut apa yang aku dengar istri ketiga Sri Baginda itu kabarnya juga berparas
jelita dan tubuhnya masih menggairahkan. Jika kenyataannya memang begitu aku
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
akan mempertimbangkan. Dapat anak dapat ibunya! Ha...ha....ha! Tapi bila ternyata
nanti dia tak lebih dari seorang nenek tak berguna, kalian tak usah ragu-ragu
membunuhnya!"
Baru saja Warok Sumo Gantra berkata begitu tiba-tiba terdengar suara kraak!
Semua orang mendongak ke atas. Cabang pohon di bawah mana orang-orang itu duduk
mendadak patah dan jatuh ke bawah, hampir menimpa kepala sang warok.
Dengan tangan kirinya dikibaskannya cabang itu hingga mencelat mental di
kegelapan malam.
"Aneh! Itu bukan cabang kering! Bagaimana bisa patah dan jatuh"!" kata Warok
Sumo Gantra seraya berdiri. Beberapa orang anak buahnya ikut berdiri dan
memandang berkeliling. Salah seorang dari mereka menimpali.
"Memang aneh. Tak ada hujan tak ada angin, bagaimana cabang pohon yang cukup
liat itu bisa patah"!"
"Mungkin ada orang yang sok jagoan dan berani main-main dengan kita!"
Lelaki di sebelah kanan menduga dan lengsung menghunus goloknya.
"Sarungkan golokmu! Siapa yang berani main-main dengan kita komplotan rampok
hutan Merapi!" berkata kawan di sebelahnya.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah kegelapan. "Mengapa tak ada yang
berani main-main dengan kawanan rampok buruk seperti kalian"!"
"Keparat! Ada yang berani main-main dan menghina!" teriak Warok Sumo Gantra.
Serta merta terdengar suara berseresetan karena sekian banyak senjata dicabut
dari sarungnya. Kali ini sang warok tidak lagi menyuruh anak buahnya
menyarungkan senjata mereka, tapi memandang melotot ke arah kegelapan dari mana
datangnya suara tadi. Saat itu tampak sesosok tubuh melangkah ke arah rombongan
namun tertahan oleh anggota rampok yang tegak berkeliling.
"Beri jalan!" bentak orang yang muncul dari kegelapan. Ternyata dia seorang
pemuda bertampang keras dengan rahang-rahang menonjol.
Dibentak demikian tentu saja anggota rampok yang berada paling dekat dengan
pemuda itu menjadi marah dan ayunkan senjata masing-masing.
Braak.....braak!
Buk......buk! Empat orang anggota rampok menjerit kesakitan. Senjata masing-masing mencelat
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mental dan tubuh mereka tergelimpang berjatuhan.
Tentu saja hal ini mengejutkan semua anggota rampok hutan Merapi, terutama
pimpinan mereka yaitu Warok Sumo Gantra.
"Hemmm.....rupanya benar-benar ada yang berani main-main cari penyakit!
Apa tidak tahu berhadapan dengan siapa"!" bentak Warok Sumo Gantra.
"Kau pimpinan monyet-monyet di sini" Pasti kau tuli" Bukankah tadi sudah
kukatakan bahwa kalian adalah rampok-rampok buruk"! Yang malam ini tengah
merencanakan perampokan terhadap rombongan istana, hendak menculik seorang
puteri kerajaan!"
"Bangsat ini pasti sudah mencuri dengar pembicaraan kita. Mengintai sejak
tadi...." Ucapan anak buah Suma Gantra ini terputus ketika satu tamparan melabrak
mukanya hingga tubuhnya terlempar dan terguling pingsan di hadapan kaki
pemimpinnya. "Aku Pangeran Matahari! Sebagai seorang Pangeran tak ada satu manusiapun yang
boleh memakiku!"
"Hai! Apa"! Siapa namamu...."!" Bentak Warok Sumo Gantra karena heran mendengar
nama yang disebutkan si pemuda.
"Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi! Mulai malam ini aku mengambil
pimpinan di sini!"
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Keparat sombong kurang ajar....."
Plaaak! Satu tamparan kembali berkelebat. Dan anggota rampok yang tadi bicara keras
langsung jatuh, melejang-lejang sesaat lalu diam tak berkutik lagi. Nyawanya
putus. Ketika diperhatikan tampak separuh mukanya hancur! Kini suasana di tempat itu
dicengkeram ketegangan. Anak buah rampok diam-diam menjadi kecut tak berani
bergerak, menunggu apa yang hendak dilakukan pemimpin mereka.
"Pangeran Matahari, siapapun namamu! Sikap dan bicaramu sombong amat!
Kau berani mencelakaiku dengan patahan cabang pohon. Kau berani menghinaku
bahkan kau melukai dan membunuh anak buahku! Siapa kau sebenarnya dan apa maksud
kemunculanmu di tempat ini" Jika kau sengaja mencari silang sengketa jangan
harap kau bisa meninggalkan tempat ini hidup-hidup!"
Pangeran Matahari tertawa mengejek. "Jika aku mau nyawamupun bisa kuambil detik
ini juga!" sahutnya seenaknya seraya berkacak pinggang. "Apa kau tidak
mendengar" Mulai saat ini aku yang jadi pimpinan di sini. Kalian kuperintahkan
untuk menculik Puji Lestari Ambarwati besok pagi dan menyerahkannya padaku!
Ada yang berani menantang"!"
Perlakuan dan ucapan pemuda itu sudah dianggap melampaui batas oleh Warok Sumo
Gantra. Namun karena maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang pemuda
yang memiliki kepandaian maka dia tak mau langsung turun tangan.
Dia memberi isyarat pada empat anak buahnya yang paling tinggi ilmu
kepandaiannya. "Pangeran Matahari! Jika kau memang berniat jadi pimpinan boleh saja! Tapi
tundukkan dulu empat pembantuku ini!"
Si pemuda menyeringai. "Jika kau hendak berlindung di belakang anak buahmu,
hanya sementara saja Warok! Kasihan kecebong-kecebong ini! Ayo majulah kalian
berbarengan!"
"Hantam!"
"Bunuh!"
"Cincang!"
"Mampus!"
Empat batang golok berkelebat ganas. Dua mengarah batok kepala dan leher, satu
membabat pinggang dan satunya lagi menusuk ke perut!
"Rasakan olehmu sekarang!" kata Warok Sumo Gantra bergumam seraya rangkapkan
tangan di muka dada dan menyeringai puas. Dia sudah membayangkan kejap itu juga
pemuda sombong di hadapannya akan mati dengan tubuh terkutung-kutung!
Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan dan membuat kedua matanya
membeliak. Dua dari anak buahnya terpental dengan mulut pecah dan mata hancur.
Duanya lagi entah bagaimana luka parah terhantam golok sendiri dan tersungkur
mandi darah! Pucatlah paras sang warok. Semua anak buahnya mengalami hal yang sama.
Tak ada yang berani bergerak atau keluarka suara. Lutut masing-masing terasa
goyah sedang tengkuk mendadak sontak menjadi dingin!
"Cukup!" teriak Sumo Gantra. "Sekarang giliranmu untuk mampus!" Kepala rampok
itni maju tiga langkah. Sejarak empat langkah dari hadapan si pemuda dia
hantamkan tangan kanannya. Angin deras menderu. Di saat itu pula selagi pukulan
tangan kosong jarak jauh itu belum melabrak sasarannya, sang warok susul dengan
satu lompatan dan kirimkan tendangan keras ke dada si pemuda.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Matahari tertawa mengejek. Tubuhnya miring ke samping, tangan kanannya
menyambut sakaligus dua serangan lawan. Begitu tangan digerakkan ke depan
perlahan saja maka mencelatlah tubuh besar kekar Warok Sumo Gantra!
Kepala rampok ini cepat jugnkir balik di udara. Meskipun sempoyongan masih
untung dia bisa jatuh dengan kedua kaki lebih dahulu.
"Warok Sumo! Tampangmu memang seram. Tapi isi perutmu hanya cacing gelang
melulu! Apakah kau masih pantas menyebut diri sebagai Warok, menjadi pimpinan
orang-orang ini"!"
"Jangan keliwat menghina! Aku masih belum kalah!" menjawab Warok Sumo Gantra
lalu tangan kanannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap sebilah golok besar
sudah tergenggam di tangannya. Senjata ini dibolang balingkan demikian rupa
hingga berkilau-kilau terkena cahaya api unggun.
"Jangan cuma tegak main akrobat! Majulah!" mengejek Pangeran Matahari.
Waktu keluarkan ucapan dia sengaja memandang ke jurusan lain seperti bersikap
tak acuh. Dengan amarah memuncak Warok Sumo Gantra menyerbu masuk. Golok besarnya
berkiblat dalam tiga arah serangan sekaligus yakni leher, perut dan dada! Di
saat yang sama tangan kirinya tidak tinggal diam. Dia menghantam sambil kerahkan
tenaga dalam. Sesaat Pangeran Matahari terkesiap juga melihat serangan ganas
ini. Di samping itu pukulan tangan sang warok menebarkan angin dingin.
Pangeran Matahari berteriak nyaring. Tubuhnya lenyap dari pandangan Warok Sumo
Gantra. Kepala rampok ini sesaat terus menyerbu tempat kosong sempai akhirnya di
menyadari lawan tak ada lagi di hadapannya.
"Matamu buta atau bagaimana! Aku ada di sini Warok!" mengejek Pangeran Matahari
yang tahu-tahu sudah ada di belakang sang warok. Dalam amarah tambah memuncak
Warok Sumo Gantra balikkan tubuh dan babatkan goloknya.
Terdengar pekikan setinggi langit!
"Rasakan!" teriak Warok Sumo Gantra karena menyangka si pemuda itu berhasil
dihantam goloknya. Tapi ketika sosok tubuh itu terjungkal jatuh di hadapannya,
dia segera mengenali yang roboh mandi darah bukanlah Pangeran Matahari,
melainkan salah seorang anak buahnya sendiri! Sedang sang pemuda masih tegak dua
langkah di depannya sambil bertolak pinggang dan sunggingkan tawa mengejek.
"Keparat setan alas!" teriak Warok Sumo Gantra. Golok di tangan kanannya kembali
berkesiur, lenyap dan hanya merupakan sinar putih dalam kegelapan malam dan
pantulan api unggun. Tubuhnya mandi keringat. Tapi selama enam jurus dia tak
mampu menyentuh tubuh Pangeran Matahari. Sewaktu nafasnya sesak kehabisan tenaga
akibat amarah yang tak terkendali, tiba-tiba dia merasakan kaki kirinya seperti
dihantam balok besar. Tak ampun tubuhnya terpelanting dan terbanting jatuh dekat
perapian. Pada saat dia hendak bangkit, satu injakan terasa di dadanya. Dia
kerahkan tenaga namun tak mampu membuat mental kaki yang menginjak itu.
"Apakah kau masih tak mau menyerahkan pimpinan padaku, atau kau lebih suka
menjadi bangkai"!" bertanya Pangeran Matahari sambil mendongak, sengaja tak mau
menatap Warok Sumo Gantra.
Karena memang tak berdaya lagi, apa lagi meneruskan perlawanan, pimpinan rampok
itu akhirnya menyahut. "Aku mengaku kalah! Terserah padamu mau membunuh atau
mengampuni selembar nyawaku!"
"Nyawamu kuampuni! Lekas kau hidangkan secangkir kapi hangat untukku!
Ingat, kau sendiri yang harus menyediakannya untukku!"
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pangeran Matahari angkat injakan kakinya pada dada sang warok. Dengan terhuyunghuyung Warok Sumo Gantra bangkit berdiri, lalu melakukan apa yang diperintah
sang pangeran. Ini adalah penghinaan yang tak pernah dialami Sumo Gantra seumur
hidupnya. Apalagi di hadapan anak buahnya sendiri. Dalam hatinya terpancang
dendam kesumat. Satu saat dia harus membunuh pemuda ini!
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Matahari belum lagi menyembul dari ufuk timur. Namun keadaan di tempat itu sudah
agak terang hingga cukup jelas terlihat jalan kecil berkelok di lamping bukit
sebelah timur hutan Merapi. Dua puluh anak buah Sumo Gantra telah berada di
tempat-tempat yang diatur sementara Pangeran Matahari duduk di sebuah batu besar
dan sang warok tegak di sampingnya.
Tak selang berapa lama, ketika serombongan burung nampak melayang di udara,
lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
"Mereka datang Pangeran....." berkata Warok Sumo Gantra.
Pangeran Matahari mengangguk kecil dan layangkan pandangannya ke timur.
Dari balik kelokan jalan yang mendaki tampak kepala lima ekor kuda, disusul lima
ekor lagi di sebelah belakang. Lalu sebuah kereta ditarik dua ekor kuda coklat.
Setelah itu masih ada lima pengawal berkuda di sebelah belakang.
"Dugaanku tepat! Jumlah pengawal tidak sampai dua puluh. Tapi....." Warok Sumo
Gantra hentikan kata-katanya. Suaranya seperti tercekat. Dia memanang tajam ke
arah rombongan di bawah sana.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba kecut heh"!" bertanya Pangeran Matahari tak acuh.
"Ni Luh Tua Klungkung ada di antara mereka!" sahut kepala rampok yang kini
berada di bawah kekuasaan Pangeran Matahari itu.
"Kau begitu ketakutan. Siapa manusia itu......?" tanya sang pangeran.
"Seorang nenek sinting sakti. Berasal dari Bali tapi diketahui sejak lama
menjadi pendamping utama para tokoh silat Keraton....."
"Sinting tapi sakti! Sungguh aneh, lucu! Aku ingin berkenalan dengan nenek
itu...." Pangeran Matahari menyeringai dan usap-usap telapak tangannya satu sama
lain, lalu dia mendorong-dorongkan tangan kanan seperti mengambil ancang-ancang
memukul. "Yang mana nenek tua yang kau maksudkan itu......?" bertanya Pangeran Matahari.
"Orang kedua pada rombongan kedua. Yang di sebelah kanan berpakaian serba
biru....."
"Itu....." Hanya seorang nenek berambut putih, bertubuh kecil jelek! Itu yang kau
takutkan!"
"Jangan memandang rendah Pangeran. Dia benar-benar seorang berkepandaian
tinggi!" "Sudah! Jangan banyak mulut! Rombongan itu hampir mendekati titik penyerangan!
Kau lekas turun dan pimpin anak buahmu melakukan serangan!"
"Jika Pangeran memang ingin menjajal kehebatan perempuan tua itu, sebaiknya
Pangeran ikut turun...."
Plaakk! Satu tamparan mendarat di pipi Warok Sumo Gantra membuat orang ini terhuyunghuyung hampir roboh. Bibirnya pecah dan mengucurkan darah.
"Jangan berani memerintah! Aku yang jadi pimpinan di tempat ini! Dan ingat!"
Pangeran Matahari berkata dengan mata mendelik. "Setiap barang berharga dan uang
yang kalian temui adalah milikku. Siapa saja perempuan yang kalian tangkap harus
diserahkan padaku...... Pergi!"
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Masih terhuyung-huyung dan masih menahan sakit Warok Sumo Gantra berlari
menuruni lamping bukit. Dalam waktu singkat dia sudah berada di antara anak
buahnya yang saat itu juga dalam keadaan tegang takut ketika mengetahui bahwa
dalam rombongan yang hendak mereka serbu terdapat Ni Luh Tua Klungkung. Jelas
mereka kini melakukan penghadangan dengan setengah hati.
Dari batu tempatnya duduk di atas bukit, Pangeran Matahari mendengar suara
suitan nyarin. Dari balik tebing di kiri kanan jalan tampak melompat keluar anak
buah Warok Sumo Gantra menyerbu rombongan. Suasana kacau balau terjadi. Ringkik
kuda terdengar tiada henti. Pertempuran segera berlangsung. Mula-mula tampak
para perampok berada di atas angin. Lawan yang terkejut karena diserang tibatiba terdesak hebat. Lima pengawal roboh mandi darah. Namun keganasan para
perampok hanya sampai di situ. Ketika penunggang kuda berpakaian biru berambut
putih mulai bergerak hanya dengan mengandalkan tangan kosong, maka keadaan jadi
berubah! Dua anggota rampok mencelat mental dengan perut dan dada bobol dimakan
tendangan. Seorang lagi terhenyak dengan leher patah terkena tepisan tangan
kiri. Dan ketika orang berpakaian biru itu mempergunakan golok rampasan untuk
melancarkan serangan balasan, jerit pekik kematian anggota rampok terdengar
susul menyusul. Enam orang tumpang tindih menemui ajal,, satu lagi megap-megap
meregang nyawa sambil pegangi perut yang robek.
Saat itulah Warok Sumo Gantra melompat ke dalam kalangan pertempuran sambil
mencekal golok besar. Sekali senjatanya berkelebat, kuda tunggangan nenek
berpakaian biru meringkik keras lalu tersungkur. Lehernya hampir putus dibabat
golok sang warok. Adapun orang tua yang tadi berada di atas punggung binatang
ini, begitu kudanya roboh, tubuhnya tampak mencelat. Melayang ke kiri dan tahutahu sudah duduk di atas punggung seekor kuda lainnya, memandang ke arah Warok
Sumo gantra dengan mata berkilat-kilat.
"Wah.....wah.....wah! Jadi ini rupanya gembong biang kerok yang berani menghadang
rombongan Istana!" Nenek berpakaian biru buka suara dengan nada mengejek. Lalu
dia susul dengan ucapannya "Warok Sumo Gantra! Nama jahatmu sudah lama kudengar.
Tidak disangka hari ini kau berani muncul dan menghadang kami! Primbon
mengatakan bahwa hari ini adalah hari kematianmu!"
Mekipun nyalinya kecut menghadapai nenek yang sudah tersohor kehebatannya itu,
namun ucapan merendahkan tadi membakar kemarahan Warok Sumo Gantra. Untuk sesaat
dia lupakan rasa takutnya.
"Ni Luh Tua Klungkung!" bentaknya. "Jika kau sudah tahu siapa aku kenapa tidak
lekas minggat tinggalkan tempat ini"!"
Si nenek tertawa tinggi mendongak langit. Golok di tangan kanannya melesat.
Bukan menyerang ke arah Warok Sumo Gantra, tetapi menghantam pada salah seorang
anak buahnya yang langsung menjerit roboh ketika golok itu menancap di perutnya!
Tengkuk Warok Sumo gantra menjadi dingin. Betapa tidak. Si nenek melakukan hal
itu tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dan sambil terus perdengarkan
suara tertawa tinggi.
"Warok Sumo... Jika kau tidak sanggup melindungi nyawa anak buahmu, bagaimana
mungkin kau dapat menyelamatkan nyawamu sendiri dari kematian.......?" Si nenek
kembali keluarkan ucapan mengejek.
Merah padam wajah Warok Sumo Gantra. Didahului oleh bentakan nyaring tubuhnya
yang tinggi besar itu laksana terbang melayang ke arah Ni Luh Tua Klungkung.
Golok di tangan kanannya berdesing di udara!
BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Senjata itu hanya lewat setengah jengkal dari batang leher si nenek baju biru.
Begitu lewat si nenek kibaskan ujung lengan bajunya.
Wutt! Serangkum angin keras menerpa.
Warok Sumo Gantra meraskaan tubuhnya tersentak keras. Dia cepat membuang diri ke
samping. Namun tak ayal goloknya telah terlepas mental oleh hantaman angin
lengan baju tadi dan di saat yang sama dia merasakan tangan kanannya seperti
diremas tangan raksasa hingga dia merintih kerenyitkan tampang.
"Warok Sumo, apakah kau masih belum yakin kalau hari ini hari kematianmu"!"
berkata Ni Luh Tua Klungkung.
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warok Sumo menggembor marah. Kaena tangan kanannya masih terasa sakit maka dia
pergunakan tangan kiri untuk memukul dengan mengerahkan tenaga dalam.
Tingkat tenaga dalam yang dimiliki kepala rampok hutan Merapi ini memang cukup
ampuh. Ketika pukulan dilepaskan, pakaian si nenek tampak berkibar-kibar. Namun
untuk membuatnya roboh terjungkal dari punggung kuda ternyata sang warok masih
belum mampu. Sebaliknya ketika si nenek balas menghantam dengan kebutan ujung
lengan baju, tak ampun lagi Warok Sumo Gantra terbanting ke tanah dan rasakan
dadanya sesak. Nafas seperti mau putus! Dia bangkit dengan susah payah tapi
hanya untuk menerima hajaran tendangan kaki ke arah kepalanya, yang tak mungkin
dielakkan! Saat itulah satu bayangan hitam datang berkelebat dari samping. Warok Sumo
Gantra terpental jauh, terguling-guling di tanah tapi selamat dari kematian.
Sebaliknya si nenek berbaju biru terdengar berseru kaget. Tubuhnya seperti
mumbul ke atas, jungkir balik di udara dan lain kejap sudah berpindah duduk ke
atas punggung kuda lainnya. Dari atas punggung binatang ini dia memandang tak
berkesip pada sosok tubuh pemuda yang mengenakan pakaian serba hitam dengan
gambar gunung dan matahari di dadanya.
"Orang muda! Lagakmu lancang amat! Berani mencampuri urusan orang!
Siapa kau" Apa kambratnya rampok-rampok keparat ini"!" begitu si nenek
membentak. "Nenek butut! Lagakmu keren amat!" balas membentak Pangeran Matahari.
"Aku Pangeran Matahari dari Puncak Merapi. Aku pimpinan tertinggi gerombolan
rampok. Kawasan hutan Merapi adalah daerah kekuasaanku! Siapa berani lewat di
sini berarti berani ambil tanggung jawab!"
Si nenek mendengus. "Caramu bicara dan pakaian yang kau kenakan membuatmu lebih
pantas jadi pemain sandiwara. Tapi kulihat tadi kau punya sedikit ilmu! Aku
belum tahu apakah ilmu itu bisa kau andalkan untuk menyelamatkan jiwamu! Orangorang jahat sepertimu layak dikubur hidup-hidup tapi tak layak dikubur kalau
sudah mati.....!"
"Baru menjadi jongos istana lagakmu seperti tuan besar! Pangeran Matahari ingin
melihat sampai di mana kehebatanmu monyet betina tua!"
Meskipun naik darah disebut monyet betina tua tapi si nenek tetap perdengarkan
suara tertawa tinggi. Masih duduk di atas punggung kuda Ni Luh tua Klungkung
rapatkan telapak dan jari-jari tangannya lalu diangkat ke kening seperti orang
menghormat memberi salam. Ketika kedua tangan itu tiba-tiba dihantamkan ke bawah
disertai bentakan garang, dua larik angin deras seperti membelah tanah.
Pangeran Matahari merasakan tubuhnya tergoncang. Satu kekuatan membetot dirinya
ke kanan, satu lagi menariknya ke kiri. Ketika dia coba melompat keluar dari
daya tarik dua kekuatan yang seperti hendak membelah tubuhnya itu si nenek tibatiba dorongkan tumitnya. Si pemuda merasakan ada hantaman dahsyat melabrak
dadanya. BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tubuhnya hampir terjungkal ke belakang. Namun dia cepat jatuhkan diri setengah
berbaring. Tanan kiri bertekan ke tanah sedang tangan kanan menghantam ke depan.
"Makan pukulanku ini!" teriak Pangeran Matahari.
Ni Luh Tua Klungkung tersentak kaget ketika ada gelombang angin dahsyat
memusnahkan dua pukulannya tadi dan sekaligus kini menghajarnya. Dia coba
bertahan dengan silangkan lengan kiri di depan dada. Tapi kuda yang didudukinya
tak sanggup berdiri. Binatang ini roboh terjengkang, memaksa si nenek melompat
sambil memukul.
Pangeran Matahari tersenyum. Dia tahu kini kalau si nenek ternyata memiliki
kekuatan tenaga dalam yang tidak mampu menghadapi tenaga dalam yang dimilikinya.
Maka diapun lepaskan hantaman kedua. Kembali Ni Luh Tua Klungkung melengak dan
terpaksa lagi-lagi selamatkan diri sambil melompat dan memukul.
Begitu pukulannya lepas dia melompat dan kebutkan lengan pakaian birunya. Angin
aneh mengeluarkan suara seperti puting beliung menerpa menggidikkan ke arah
Pangeran Matahari, membuat tubuhnya bergoncang keras, padahal dua angin pukulan
itu masih sejauh tiga langkah. Ketika serangan lawan tinggal dua langkah lagi,
Pangeran Matahari angkat kedua tangannya dengan telapak terkembang ke arah si
nenek. Lalu dia dorongkan kedua tangan itu. perlahan saja. Tapi apa yang tejadi
kemudian sungguh luar biasa.
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Suara mendesis keluar dari dua telapak tangan disertai sambaran angin hangat
yang semakin lama semakin panas. Ketika kedua lengan sudah hampir membentuk
garis lurus, hawa panas yang keluar dari telapak tangan semakin keras. Ni Luh
Tua Klungkung merasakan tubuhnya seperti terpanggang . Mulutnya komat kamit.
Kedua kakinya terbenam ke dalam tanah. Lututnya menekuk dan perempuan tua ini
akhirnya terjengkang. Dadanya mendenyut sakit. Sekujur tubuhnya seperti dikobari
api. Namun dia tidak mau menyerah begitu saja.
Ilmu pukulan Telapak Merapi yang tadi dilepaskan lawan masih sanggup ditahannya.
Dengan seluruh sisa tenaga luar dan kekuatan tenaga dalam yang ada perempuan tua
ini pukulkan kedua tangannya ke tanah. Tubuhnya melesat ke udara.
Selagi melayang inilah dia membuat satu gerakan aneh. Tangan kiri mendekap dan
menekan perut. Tangan kanan diacungkan lurus-lurus ke arah Pangeran Matahari.
Kedua pipinya yang keriput menggembung. Ketika kemudian mulutnya meniup,
menyemburlah asap tibpis kuning yang menebar bau kayu cendana, yaitu sejenis
pohon kayu harum yang banyak tumbuh di Bali. Semburan asap ini menyembur dan
melesat sepanjang tangan kanan yang diluruskan dan mengarah pada sasaran.
Pangeran Matahari mendadak merasakan kepalanya pening. Pemandangan berkunang dan
perut mendadak mual. Sadar semburan asap kuning itu mengandung racun jahat
melumpuhkan, sang pangeran cepat gulingkan diri menjauhi. Namun si nenek ikuti
gerakan tubuh lawan dengan mengarahkan tangan kanannya, ke mana pemuda itu
bergerak, ke situ pula tangannya diarahkan!
Sang pangeran tak bisa lari lagi! Tubuhnya yang baru saja mencoba bangun tampak
limbung. Sadar bahaya besar tengah dihadapinya cepat-cepat dia berlutut dan
tutup penciuman. Kedua matanya terpejam dan mulut melafatkan sesuatu. Tangan
kanan diangkat tinggi-tinggi ke atas, lima jari membentuk tinju. Lengan
disentakkan ke bawah lalu secepat kilat dihantamkan kembali ke atas. Bersamaan
dengan itu lima jari tangan membuka dan bentakan keras menggelegar dari
tenggorokannya!
Tanah di tempat itu mendadak sontak bergetar. Terdengar suara aneh menggemuruh.
Ketika tangan dihantamkan ke atas dan lima jari membuka menghempas, suara
gemuruh berubah jadi suara ledakan dahsyat seperti gunung meletus. Belasan kuda
meringkik. Beberapa sosok tubuh tampak mencelat lalu jatuh terguling-guling. Dua
kuda penarik kereta tersungkur, berusaha lari tapi rubuh lagi.
Kedua binatang ini akhirnya melosoh begitu di tanah jalanan. Sementara itu debu
pasir dan bebatuan beterbangan ke udara!
Pangeran Matahari telah mengeluarkan ilmu pukulan sakti bernama Merapi Meletus
yang didapatnya dari kakek sakti di puncak Merapi.
Ni Luh Tua Klungkung merasakan isi dada dan perutnya seperti berhamburan keluar
ketika terdengar suara gemuruh yang disusul letusan hebat tadi. Jalan darahnya
seperti terhenti. Kepalanya seperti dipukuli palu godam. Sekujur tubuhnya
mendadak sontak kehilangan daya hingga dia terkapar di tebing jalan dan darah
mengalir di sela bibirnya. Keadaannya antara sadar dan pingsan. Tubuhnya tak
berkutik sedikitpun.
Keadaannya yang seperti ini menyelamatkannya karena Pangeran Matahari menyangka
perempuan tua itu sudah meregang nyawa.
Perlahan-lahan Pangeran Matahari turunkan tangan kanannya. Memandang berkeliling
dilihatnya Warok Sumo tengah berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada
roda kereta. Beberapa pangawal yang selamat segera jatuhkan diri BASTIAN TITO
20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
bersila tanda menyerah sedang anggota rampok yang masih hidup tegak menjauh, tak
ada yang berani mendekat. Di dalam kereta terdengar suara isak tangis perempuan.
Pangeran Matahari melangkah mendekati kereta lalu membuka pintu samping
kendaraan itu. di dalam kereta tempat duduk berpelukan dua orang perempuan. Yang
satu berusia sekitar empat puluhan, berparas rupawan dan mengenakan pakaian
bagus lengkap dengan segala perhiasan. Perempuan satunya lagi adalah gadis
remaja berkulit kuning dan memiliki wajah hampir sama dengan yang lebih tua
tetapi tentu saja jauh lebih cantik. Jelas keduanya adalah ibu dan anak.
"Inikah gadis yang bernama Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati itu....?"
membatin Pangeran Matahari. Detik pertama dia melihat ibu dan anak itu darahnya
tersirap dan jantungnya berdebar keras. Ingatan dan kenangan kembali pada masa
dua belas tahun yang silam. Meski waktu sekian lama berlalu, namun dia tak
pernah melupakan raut wajah ibunya. Juga paras kakak perempuannya. Kedua
perempuan itu ternyata adalah ibu dan kakaknya sendiri. Hampir terlompat ucapan
"ibu" dari mulutnya kalau saja tidak tiba-tiba mendenging suara di liang
telinganya. "Pangeran Matahari! Dengar kata-kataku! Ingat pada pesanku! Melanggar pesan
berarti musnahnya segala ilmu yang kau miliki!"
"Guru! Apa maksudmu!" ujar Pangeran Matahari bicara sendiri.
"Bukankah sudah kupesan bahwa kau tidak boleh kembali ke masa lalumu"
Kau tidak boleh kembali pada orang tua dan saudara-saudaramu! Siapa kau pada
masa lalu harus kau kubur, harus kau lupakan selama-lamanya. Siapa kau sekarang
tak seorangpun boleh tahu....."
Sesaat Pangeran Matahari tertegun. Akhirnya dia berkata, "Pesanmu aku ingat.
Tapi aku harus menolong kedua perempuan ini. Bagaimanapun dia adalah ibu dan
kakakku.......!"
"Aku tidak melarangmu menolong mereka. Tapi ingat, jangan sekali-kali mereka
mengetahui siapa kau adanya. Sekali kau melangar pesan dan pantangan, kau akan
celaka seumur-umur!" suara mengiang lalu lenyap dan kini berganti suara
perempuan separuh baya dalam kereta yang duduk ketakutan sambil mendekap
puterinya. "Kami orang-orang istana. Jangan berani mengganggu. Jangan sakiti anakku.
Aku istri Sri Baginda yang ketiga...."
"Aku tahu siapa kalian," menyahuti Pangeran Matahari. "Aku tiak akan mengganggu.
Kalian boleh pergi dengan aman. Hanya aku ada beberapa......"
Ucapan Pangeran Matahari itu tiba-tiba dipotong oleh suara Sumo Gantra yang saat
itu berdiri di sampingnya, memandang dengan mata berkilat-kilat pada dua
perempuan di dalam kereta.
"Pangeran, apa kau lupa maksud dan rencana kita semula" Merampas harta benda dan
menculik kedua perempuan ini.....?"
Pangeran Matahari palingkan kepalanya, memandang dengan mata mendelik pada Sumo
Gantra, membuat kepala rampok hutan Merapi ini jadi bergeming tapi masih berani
berkata "Jika kau tidak inginkan mereka, serahkan padaku......"
"Warok Sumo Gantra! Kau telah salah menyusun rencana. Kau tidak tahu siapa kedua
orang ini! kesalahan berarti kematian......!"
Warok Sumo Gantra melangkah mundur.
"Apa maksudmu Pangeran" Tak ada rencana yang salah....."
"Orang yang sudah mau mati tak usah banyak bicara!" Pangeran Matahari membentak.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya menggebrak menghantam batok kepala Warok
Sumo Gantra. Demikian dekatnya mereka berada dan demikian cepatnya gerakan sang
pangeran ditambah ketidak terdugaan bahwa sang pangeran BASTIAN TITO
21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
benar-benar hendak membunuhnya membuat Warok Sumo Gantra tak mampu berkelit
selamatkan diri. Dia tergelimpang dekat roda kereta dengan kepal pecah! Ibu dan
anak pucat pasi dan menggigil ketakutan menyaksikan.
Pangeran Matahari kembali berpaling pada kedua perempuan itu. "Sebelum kalian
pergi aku ada eberapa pertanyaan. Apakah Tumenggung Gali Marto masih bertugas di
Keraton?" "Ya.....ya...... Tumenggung itu memang masih bertugas. Mengapa kau bertanya.....?" Yang
menjawab adalah Siti Hinggil ibu Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati yang juga
adalah ibu kandung Pangeran Matahari sendiri.
Karena merasa takperlu menjawab pertanyaan ibunya, Pangeran Matahari ajukan
pertanyaan kedua. "Apakah Sri Baginda memperlakukan kalian dengan baik, termasuk
putera-puteri kalian......?"
"Ya..... kami memang diperlakukan dengan baik. Dari Sri Baginda saaat ini aku
hanya punya saru orang putera. Putera tertua hilang sewaktu terjadi bencana
gunung meletus dua belas tahun silam. Kalau dia masih hidup..... kira-kira
seusiamu dia sekarang....."
"Ayahanda memang baik, tapi para pangeran saudara-saudara kami dari permaisuri
dan istri kedua bersikap sangat bermusuhan......"
"Mereka semua akan menerima pembalasan!" kata Pangeran Matahari. "Nah sekarang
kalian boleh pergi bersama para pengawal yang masih hidup...."
Anak dan ibu itu tampak lega. Puji Lestari malah memberanikan diri bertanya.
"Siapakah saudara sebenarnya" Bukankah.... Bukankah kau yang jadi pemimpin
rombongan rampok penghadang?"
"Namaku Pangeran Matahari. Aku tak ada angkut paut apa-apa dengan monyet-monyet
hutan itu....."
"Kalau begitu kau seorang yang baik. Ambillah ini sebagai tanda terima
kasihku....."
Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati lalu meloloskan cincin emas bergambar kepala
burung Rajawali yang merupakan cap kerajaan dan menyerahkannya ada Pangeran
Matahari. "Aku tidak butuh cincin itu. Kalian berdua silahkan pergi!"
"Jangan berani menampik pemberian orang istana!" Puji Lestari nampak kecewa.
"Kalau kau bukan kakak kandungku tadi-tadi sudah kutampar kau!" kata Pangeran
Matahari dalam hati. Dengan tangan kirinya diambilnya cincin itu lalu
dimasukkannya ke jari kelingking tangan kanannya. Sesaat setelah kereta beserta
beberapa pengawal meninggalkan tempat itu Pangeran Mataharipun berlalu pula dari
situ. Tujuannya adalah Kotaraja. Namun dia sengaja tidak mau mengambil jalan
yang sama dengan rombongan ibunya.
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Ni Luh Tua Klungkung merasakan dadanya masih berdenyut sakit. Disekanya darah
yang mulai mengering di sudut bibir lalu dia bangkit dan duduk di pinggir jalan.
Memandang berkeliling dilihatnya lebih dari sepuluh mayat bergelimpangan
termasuk mayat Sumo Gantra. Apa yang terjadi dengan kepala rampok hutan Merapi
itu" Siapa yang membunuhnya. Di mana kereta berisi istri dan puteri Sri Baginda"
Di mana pula pemuda bernama Pangeran Matahari itu" Jangan-jangan dia telah
melarikan kereta berikut dua penumpangnya. Sesaat si nenek agak meragu. Kalau
dua perempuan itu diculik dan dilarikan, mengapa tak satupun perajurit-perajurit
pengawal tertinggal di tempat itu.
"Sesuatu yang aneh telah terjadi....." membatin nenek berbaju biru ini. Tapi yang
membuatnya merasa tidak tenang adalah memikirkan kesalamatan istri dan puteri
Sri Baginda. Jika sampai terjadi apa-apa dengan kedua perempuan itu, hukuman
berat akan diterimanya sebagai pertanggung jawab.
"Empat tahun mengabdi raja, mengapa hari ini nasibku celaka sekali!" si nenek
mengomel. Rasa sakit hatinya bukan kepalang. Segala kepandaian berupa ilmu silat
dan pukulan sakti yang dimilikinya ternyata tidak berdaya menghadapi seorang
pemuda tidak terkenal bernama aneh si Pangeran Matahari itu! Saking kesalnya
perempuan tua ini terisak-isak dan pukul-pukul kepalanya sendiri.
"Dari pada malu dan menerima hukuman berat, lebih baik aku bunuh diri saja!
Mati lebih pantas dari pada menanggung malu!" Begitu Ni Luh Tua Klungkung
menyesali diri. Lalu tangan kanannya yang terkepal dihantamkan ke batok
kepalanya sendiri. Nenek nekad ini memang sudah rela untuk mati!
Sekejap lagi batok kepalanya akan hancur tiba-tiba dari belakang ada satu tangan
yang memegang lengannya. Dia kerahkan tenaga dan coba berontak. Tapi pegangan
itu bukannya lepas malah tambah kencang.
"Kurang ajar! Jangan campuri urusan orang!" si nenek berteriak marah lalu sikut
kirinya dihantamkan ke belakang.
Terdengar suara bergedebuk tanda serangannya mengenai sasaran. Tapi orang yang
memegang lengannya dari belakang sama sekali tidak keluarkan suara keluhan
kesakitan ataupun terdorong dan juga cekalannya masih tetap kencang seperti
tadi. Penuh maraha Ni Luh Tua Klungkung palingkan kepalanya.
Wiro Sableng 031 Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang pemuda berambut gondrong berikat kepala putih tersenyum padanya dan
menegur. "Nenek, di usiamu selanjut ini mengapa masih memikirkan mati dengan
cara bunuh diri. Satu dua tahun di muka tanpa dimintapun malaikat maut akan
datang menjemputmu!"
Si nenek yang semula terkesiap melihat kegagahan paras pemuda itu, mendengar
ucapan itu jadi marah. Dia kembali menyikut tapi luput.
"Lepaskan tanganku! Manusia kurang ajar!"
Iblis Dan Bidadari 3 Pendekar Rajawali Sakti 83 Siluman Muka Kodok Senopati Pamungkas I 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama