Ceritasilat Novel Online

Peti Mati Dari Jepara 3

Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara Bagian 3


serangan ganas lawan. Begitu dia bisa menyelamatkan leher Wiro melompat ke atas
tempat tidur. Dari sini dia molompat ke arah lawan sambil mengeluarkan jurus
silat yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas yaitu "Kilat menyambar
puncak Gunung."
Yang diincarnya adalah batok kepala Adipati itu.
Bandoro Wiseso tidak mengira serangan kedua ini datang begitu cepatnya. Tak ada
kesempatan untuk menangkis, lelaki ini jatuhkan dirinya. Begitu punggungnya
menyentuh lantai maka dia akan hantamkan kaki kanannya ke perut lawan. Tapi
ternyata Pendekar 212 mengikuti arah jatuhnya ke samping kiri. Dari arah ini
tebasan tangannya masih terus menderu dengan deras. Batok kepala Bandoro Wiseso
memang luput dari serangannya tapi kini gantinya justru adalah batang leher
Adipati itu! Kraak! Tulang leher Bandoro Wiseso berdetak patah!
Tubuhnya langsung terhuyung roboh. Nyawanya sebenarnya sudah putus saat Itu juga. Namun saking geram-nya, sebelum tubuh itu
jatuh ke lantai, murid Eyang Sinto Gendeng ini hantamkan tumitnya ke dada
Bandoro Wiseso.
Tak ampun lagi tubuh yang sudah jadi mayat itu mencelat menghantam dinding. Dari
mulutnya yang terbuka kelihatan darah memuncrat!
Jika dituruti nafsu amarahnya saat itu mau rasanya Wiro menghancurluluhkan
kepala dan sekujur tubuh serta semua anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa
tak ada gunanya. Mayat utuh sang Adipati lebih baik dipakai sebagai penambah isi
peti matinya! Wiro tersadar oleh suatu erangan dari arah tempat tidur. Dia berpaling. Gadis
itu setengah terduduk. Wajahnya pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas
tempat tidur ke tubuhnya. Wiro mendekat.
"Sumiati... Jangan takut. Aku datang menolongmu..."
"Kau...Kau siapa?" Suara gadis itu antara terdengar dan tiada. Dia berusaha
beringsut menjauhkan diri. Bencana yang dialaminya membuat dia tidak bisa
percaya dengan siapa lagi di dunia ini, apalagi yang namanya laki-laki.
"Aku Wiro. Aku saudara sepupumu," jawab Pendekar 212.
"Sau... saudara sepupu..." Seumur hidup aku tidak pernah punya saudara sepupu. Kau
pasti salah satu dari manusia-manusia terkutuk itu!"
Wiro mendekat sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan sentuh tubuhku! Bunuh! Lebih baik kau bunuh diriku! Aku ingin mati! Aku
ingin mati!" teriak Sumiati.
Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiap tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun
kemudian disadarinya bahwa dia harus bertindak cepat.
"Aku tak punya waktu banyak. Nanti saja aku terangkan." Habis berkata begitu
Wiro segera menotok tubuh Sumiati. Dari dalam sebuah lemari di kamar itu dia
hanya menemukan pakaian-pakaian lelaki yaitu milik Bandoro Wiseso. Bagaimanapun
pakaian itu lebih baik dipakaikan ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya
dibungkus dengan selimut atau kain alas tempat tidur.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
10 ENGHADAPI dua belas pengeroyok dengan memikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah
Mbagi Pendekar 212 Wiro Sabieng meskipun tidak
terlihat satupun dari mereka memegang senjata.
Selagi orang-orang itu menebar dan bergerak men-dekatinya Wiro gerakkan bahu
kanannya dengan keras.
Mayat Bandoro Wiseso yang ada di bahu kanan itu tersentak keras dan melayang di
udara. Tentu saja hal ini membuat kedua belas pengawal tadi sama keluarkan
seruan tertahan saking terkejutnya. Ada yang berusaha untuk menangkap tubuh
Adipati mereka itu. Namun tubuh itu melayang di atas kepala mereka ke arah
kereta lalu dengan suara bergedebuk keras menggidikkan jatuh masuk ke dalam peti
mati yang terbuka! Ken Cilik yang ada di atas kereta memekik beberapa kali
sedang dua kuda penarik kereta meringkik panjang.
, "Kawan-kawan!" salah seorang pengawal berteriak.
"Mari kita bunuh pemuda ini!"
Maka dua belas orang yang tadi terhenti gerakan mereka sesaat kini kembali
menyerbu. Beberapa orang di antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka
tampaknya tidak ragu-ragu sekaiipun serangan mereka mungkin akan mencelakai
gadis yang ada di bahu kiri Wiro.
Dalam keadaan seperti ini menyerang lebih dahulu adalah lebih baik dari pada
menunggu. Pendekar 212 melompat ke kiri. Tangan kirinya memegang pinggang Sumiati. Tangan
kanan lepaskan satu jotosan. Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di ujung
kiri. Namun dari samping kawan si pengawal ini datang membabatkan goloknya. Wiro
terpaksa membuat gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat.
Bukk! Pengawal yang tadi hendak membacoknya terpental sambil keluarkan suara mengeluh
tinggi. Rahangnya rengkah.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Sebelas kawannya berteriak marah dan menyerang
laksana air bah. Wiro meng-geser kedudukannya memunggungi kereta. Dengan
demikian dia berusaha menghindari serangan dari belakang. Begitu mencapal kereta
Wiro lepaskan pukulan
"benteng topan melanda samudera". Walau pukulan ini dilepaskan dengan
mengerahkan hanya sepertiga tenaga dalamnya tapi sudah cukup untuk membuat para
penyerang berteriak kaget. Tiga di antara mereka terpental dan terguling-guling
di tanah sementara debu dan pasir bertebaran disapu angin pukulan.
Seorang pengeroyok menyelinap ke samping kereta lalu melompat ke atas kendaraan
ini. Dengan golok di tangan dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi
begitu dia naik di atas kereta, Ken Cilik melompat ke atas bahunya, menggigit
telinga kirinya kuat-kuat. Orang ini menjerit keras. Golok terlepas dari
tangannya. Dia melompat ke tanah dengan darah bercucuran dari
telinganya. Ketika telinga itu dirabanya ternyata daun telinganya robek besar
bahkan hampir putus!
Selagi para pengeroyok tertegun melihat apa yang terjadi, Wiro cepat melompat ke
atas kereta. Tubuh Sumiati dibaringkannya di lantai di sebelah belakang tempat
duduk. Sambil tegak bertolak pinggang di atas kereta dia berkata, "Jika ada yang masih
punya nyali silahkan mencoba!"
Lalu sekali lagi dia lepaskan pukulan sakti tadi. Kali ini dengan mengerahkan
hampir setengah tenaga dalamnya.
Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal yang ada disitu maka Wiro
sengaja mengarahkan pukulannya ke tanah. Para pengawal merasa seolah-olah tempat
itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka bergetar keras sedang kaki
masing-masing terasa goyah. Beberapa orang tampak jatuh terbanting. Debu pasir
beterbangan menutupi pemandangan.
Terdengar suara cambuk dipecutkan. Lalu gemertak roda-roda kereta. Ketika debu
dan pasir surut ke tanah, kereta yang ditarik dua ekor kuda itu bersama
penumpangnya sudah tak ada lagi di tempat itu. Tak ada satupun dari para
pengawal itu berani bergerak untuk mengikuti apa lagi coba mengejar.
*** Meskipun rombongan Ganco Bumi meninggalkan
Demak lebih dahulu, namun dengan memacu dua ekor kuda penarik kereta sekencangkencangnya dan menempuh jalan memotong menyeberangi sebuah kali
dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya sarat dengan pepohonan jati,
Pendekar 212 berhasil memapaki perjalanan Ganco Bumi dan lima anak buahnya.
Ganco Bumi yang tengah memacu kudanya dengan
kencang mengangkat tangan memberi tanda. Namun
gerak-gerik keenam binatang ini jelas menunjukkan keresahan. Kuda-kuda itu
kelihatan menggerak-gerakkan ekor mereka tiada henti. Kaki masing-masing tak
bisa diam. Di antaranya ada yang meringkik seolah ketakutan.
Sesaat keenam orang itu hanya memandangi kereta yang melintang di tengah jatan
itu. Orang yang menjadi kusir kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati di
depannya sambil mengusap-usap monyet yang duduk di sampingnya. Dia seolah-olah
tidak melihat atau mendengar kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal
jelas-jelas dia memelintangkan kereta untuk mencegat rombongan itu.
Setelah mengalihkan pandangannya pada peti mati besar di atas kereta, Ganco Bumi
yang tidak dapat lagi menahan kemarahannya karena perjalanannya sengaja diganggu
pemuda tak dikenal itu menghardik dengan keras.
"Orang gila dari mana mencari mati berani menghadang perjalananku!"
Pendekar 212 terus mengusap kuduk Ken Cilik. Tanpa berpaling ke arah rombongan
Ganco Bumi dia bertanya pada monyet di sampingnya.
"Ken Cilik, apakah ini salah seorang dari calon isi peti mati kita"!"
Ken Cilik putar kepalanya. Kedua matanya memandang besar-besar ke arah Ganco
Bumi. Lalu binatang ini mulai berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Pendekar 212 manggut-manggut.
"Bagus! Jadi kau sudah mengenali salah satu dari manusia-manusia durjana itu!"
ujar Wiro. Tangan kanannya diturunkan menarik sebuah palang kayu. Tangan kiri
menjangkau cambuk kereta.
Terdengar suara berkereketan.
Ganco Bumi yang kembali hendak membentak jadi
terkancing mulutnya. Dia mengernyit sementara lima anak buahnya terperangah
ketika menyaksikan bagaimana kayu penutup peti mati terbuka perlahan-lahan
dengan mengeluarkan suara menggidikkan.
Ketika penutup peti mati terpentang lebar dan Ganco Bumi serta lima anak buahnya
melihat dua sosok tubuh yang tergelimpang di dalamnya, karuan saja keenam orang
ini keluarkan seruan tertahan. Mereka menyaksikan dua sosok mayat di dalam peti
mati itu. Mayat di samping kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso.
"Demi setan! Apa yang terjadi dengan Adipati inil" kata Ganco Bumi dengan mata
mendelik. Pagi tadi dia masih menemui Adipati itu dalam keadaan hidup dan
tertawa gembira karena diberi hadiah seorang gadis cantik. Kini tahu-tahu sudah
jadi mayat! Mayat kedua yang tampak mulai membusuk masih bisa dikenali oleh Ganco Bumi yaitu
tidak lain dari pada mayat Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyak
sekutu-sekutu komplotannya.
"Ini benar-benar gilal" Ganco Bumi memaki dalam hati.
"Aneh, mayat Bintara itu jelas mulai membusuk, tapi mengapa tidak menebar bau"!"
Saat itu balk Ganco Bumi maupun para anak buahnya tidak dapat melihat sosok
tubuh Sumiati yang dibaringkan Wiro di sisi kereta sebelah kiri, terhalang oleh
peti mati. "Manusia berkulit hitam! Berpakaian serba hitam! Aku tahu kau adalah salah satu
dari tiga anjing Ganco Item!
Katakan kau ini Ganco yang mana"! Ganco Langit, Bumi atau Laut"!" Wiro bicara
dengan tetap tidak bergerak di atas tempat duduk kereta dan menatap ke arah
hutan jati. Ditanya seperti itu tentu saja Ganco Bumi menjadi me-radang berang.
"Bangsat kurang ajar!" teriaknya memaki. "Aku Ganco Bumi bisa saja membungkam
mulutmu dan menjebloskan-mu ke dalam peti mati itu semudah membalikkan telapak
tangan! Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani cecunguk macammu"!"
Makiannya ini dijawab oleh Ken Cilik dengan jeritan-jeritan keras.
"Anak-anak! Lekas kalian bikin lumat pemuda gila itu!"
teriak Ganco Bumi.
Lima anak buah gerombolan Ganco Item turun dari kuda masing-masing, lalu sambil
menghunus senjata mereka yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengerikan,
kelimanya melompat ke atas kereta. Lima ganco maut berkelebat di udara!
Pendekar 212 keluarkan suara mendengus.
"Ganco Bumi! Aku telah bersumpah untuk membunuhmu! Peti mati itu kusediakan
untuk dirimu serta dua saudaramu!"
Ganco Bumi tertawa bergelak. "Sudah macam orang gila, bicarapun seperti mimpi!"
Wiro balas tertawaan orang dengan cibiran.
"Nyawamu tak bakal lolos dariku Ganco Bumi! Tapi jika kau memang mngumpan anak
buahmu untuk menyem-bunyikan kepengecutanmu, lihat saja apa yang akan terjadi!"
Tubuh Wiro tampak berdiri tapi kedua kakinya tidak ber-geser sedikitpun. Tangan
kirinya yang memegang cambuk bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di
udara laksana gelegar petir. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan tangan
kanannya. Lalu kaki kirinya membuat gerakan menendang.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
11 IGA jeritan menggema sampai ke dalam hutan jati.
Tiga penyerang jatuh terkapar di tanah. Satu pegangi T mukanya yang mengucurkan
darah. Muka itu robek akibat hantaman cambuk. Yang lain merintih di tanah sambil
pegangi dada yang dilabrak jotosan. Dari mulutnya membusa ludah bercampur darah.
Orang yang ketiga tergeletak di tanah sarnbil rnelejang-lejangkan kaki lalu
tidak bergeming lagi.
Mati dengan kemaluan pecah disambar tendangan
Pendekar 212! Belum habis rasa terkejut Ganco Bumi melihat apa yang terjadi, di atas kereta
Wiro kembali gerakan tangan kirinya sambil membungkuk untuk menghindari ganco
besi yang menyambar ke arah lehernya.
Cambuk kereta itu meletup keras. Menyusul jeritan korban yang ke empat. Seperti
kawannya tadi, penyerang yang ke empat jatuh bergulingan di tanah sambil pegangi
mukanya yang berlumuran darah. Hantaman cambuk membuat luka membelintang dalam
di mukanya, mulai dari pinggiran mata kiri sampai ke dagu kanan!
Penyerang ke lima yang datang dari belakang agaknya akan berhesil manancapkan
ganco besinya ke punggung Wiro. Ganco Sumi menyeringai.
"Kini baru tahu rasa pemuda gila itu." katanya dalam hati. Tapi seringai Ganco
Bumi menjadi lenyap ketika tiba-tiba di atas kereta Pendekar 212 balikkan
tubuhnya. Tangan kanannya dengan cepat menjambak rambut
penyerangnya lalu dihempaskan ke samping. Ganco yang tadi ditikamkan lewat hanya
seujung kuku di depan dada Wiro namun sempat merobek pakaian sang pendekar.
Wiro tarik kepala orang yang dijambaknya ke depan.
Begitu kepala itu tertarik Wiro hantamkan keningnya ke kening lawan. Orang itu
menjerit setinggi langit. Pemandangannya gelap. Keningnya mengucurkan darah.
Senjatanya lepas dari tangan. Dengan satu sentakan saja Wiro membanting tubuh
orang itu ke bawah kereta!
"Keparat! Ganco Bumi akan melomat tubuhmu!" teriak Ganco Bumi seraya menggebrak
kudanya mendekati
kereta. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah ganco besi yang memancarkan
warna hitam tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
"Manusia durjana bernama Ganco Bumi!" teriak Wiro.
"Untuk ke neraka kau tidak memerlukan kuda!" bentak Wiro. Cambuk di tangan
kirinya berkelebat. Mengira dirinya yang hendak jadi sasaran, Ganco Bumi cepat
miringkan tubuh ke kiri. Tapi cambuk itu ternyata menyambar ke arah kepala kuda.
Craass! Mata kanan kuda itu pecah.
Binatang tunggangan Ganco Bumi ini meringkik keras sambil angkat ke dua kaki
depannya tinggi-tinggi, melemparkan Ganco Bumi dari punggungnya!
"Bangsat! Makan ini!" teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir balik di udara tangan
kirinya dihantamkan ke arah Wiro.
Lima buah senjata rahasia terbuat dari besi hitam berbentuk bintang bersudut
tiga melesat ke arah Pendekar 212.
Melihat datangnya serangan ganas ini Wiro segera melompat dari atas kereta. Tapi
begitu kedua kakinya menginjak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam
dengan ganco besinya.
Wuuut! Ujung tajam senjata di tangan Ganco Bumi menderu menyambar ke arah tenggorokan
Wiro. Serangan ini sama sekali tidak terduga dan sangat cepat.
Pendekar 212 berseru tegang. Dia melompat sambil miringkan kepala untuk
selamatkan leher. Dia berhasil.
Tapi lagi-lagi tidak terduga ganco besi itu menukik ke bawah, menyapu ke arah
bawah perutnya!
Untuk kedua kalinya Wiro berkelit dengan melompat ke belakang. Meskipun dia
sempat menyelamatkan anggota rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan,
namun Wiro tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung tajam ganco besi
merobek dan menembus paha celana Pendekar 212 lalu melukai daging pahanya.
Wiro mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api membara. Murid Eyang Sinto
Gendeng ini sadar kalau senjata lawan memiliki racun sangat jahat!
Di depannya Ganco Bumi tertawa bergelak.


Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemuda gila! Ternyata hanya sebegitu saja kehebatan-mu! Kau tunggulah beberapa
kejapan mata! Racun ganco besiku akan menghancurkan jantungmu! Tapi sebelum
mampus harap kau beritahu mengapa kau menghadang perjalananku!"
"Manusia iblis! Jangan terlalu cepat gembira!" jawab Wiro. Meskipun Eyang Sinto
Gendeng menyatakan dirinya kebal terhadap segala macam racun namun Wiro tak mau
bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang terluka guna mencegah
menjalarnya racun ke dalam aliran darahnya.
"Aku bukan cuma menghadang jalanmu tetapi menghadang nyawa busukmu!"
"Setan alas! Kau masih belum menjawab pertanyaanku!
Apa kau tidak tahu kalau sebentar lagi nyawamu bakalan putus"!"
Wiro sunggingkan seringai mengejek.
"Beberapa waktu lalu kau dan dua saudaramu menyerbu desa Jatingaleh. Kalian
bukan saja merampok harta benda penduduk, tapi juga membunuh dan menculiki
Kepala desa dan istrinya ikut jadi korban. Anak gadis mereka kalian culik dan
kalian rusak kehormatannya!
Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro.
Anak gadis kepala desa Jatingaleh kemudian kau berikan pada Adipati Demak
sebagai hadiah dan umpan keji!
Sekarang kau lihat sendiri pembalasan bagi manusia-manusia terkutuk itu! Anggoro
dan Bandoro Wiseso ada dalam peti mati. Peti itu masih cukup besar untuk
menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan Ganco Item lainnya!"
Sesaat Ganco Bumi jadi terkesiap mendengar ucapan Wiro. Namun di lain kejap
manusia bermuka hitam ini membentak garang.
"Bangsat! Rupanya kau bangsa manusia yang ingin jadi pahlawan! Lalu apa urusanmu
sebenarnya melakukan semua ini"!"
"Ranalegowo, kepala desa Jatingaleh adalah pamanku.
Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan adatah kakekku dan gadis yang kau culik itu
adalah sepupuku! Apa perlu penjelasan lagi manusia muka pantat kuali"!"
"Hemm.... Jadi kau rupanya muncul untuk menuntut balas!" Ganco Bumi kembali
tertawa gelak-gelak. "Kau tak punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelum kau
sempat menghitung sampai sepuluh!"
Ganco Bumi menunggu beberapa saat. Pada perkiraan hitungan yang kesepuluh
hatinya mulai risau dan tampangnya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak
berdiri. Sama sekali tidak menemui kematian akibat racun ganas ganco besinya!
Tak ada jalan. Dia harus benar-benar melumat tubuh pemuda itu. Maka didahulul
satu bentakan keras Ganco Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya
sungguh luar biasa. Ganco besi di tangannya lenyap, berubah menjadi lingkaranlingkaran yang sabung menyabung mengurung Pendekar 212 dari segala penjuru.
Sebagai orang kedua dalam komplotan Ganco Item
memang Ganco Bumi memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Antara dia dengan
kakaknya hanya terpaut satu tingkat saja. Tetapi Ganco Langit memiliki satu
kehebatan yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi yakni semacam ilmu kebal yang
membuatnya tidak mempan pukulan maupun senjata. Tubuhnya bisa dibuat babak belur
tetapi tidak mungkin untuk membunuhnya selama tidak diketahul kelemahannya.
Ganco Bumi telah berulang kali meminta pada kakaknya itu agar dia diberi
petunjuk bagaimana cara mendapatkan ilmu kebal tersebut. Namun Ganco Langit tak
pernah mengabulkan permintaan adiknya itu.
Untuk beberapa lamanya Wiro merasakan dirinya ter-tekan dan seolah-olah tak bisa
keluar dari buntalan serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang mampu
mengimbangi serangan Ganco Bumi. Setelah
didesak terus selama empat jurus Pendekar 212 mulai berusaha mengirimkan
serangan-serangan balasan. Dia mainkan jurus-jurus silat Gila Tua yang terkenal
ampuh dalam bertahan. Secara bersamaan dia keluarkan jurus-jurus silat Eyang
Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan pada kedua telapak tangannya.
Ternyata Ganco Bumi mengetahui apa yang dilakukan lawannya. Karenanya, sebelum
Wiro mulai melancarkan serangan yang mengandung tenaga dalam, Ganco Bumi
melipatgandakan kecepatan serangannya. Kini bukan saja senjatanya yang lenyap,
tubuhnyapun berubah menjadi bayang-bayang.
Wiro menghantam sebat beberapa kali, tapi hanya mendapatkan pukulan-pukulannya
menghantam tempat kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak terhadap
lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri hingga punya kesempatan untuk
melancarkan serangan.
Wiro keluarkan suitan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke arah kerapatan pohon-pohon
jati. Ganco Bumi mengejar.
Wiro melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu dilakukannya berulang kali.
"Pengecut!" teriak Ganco Bumi. Ganco di tangan kanannya menderu kian kemari.
Batang-batang pohon berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat
dibayangkan kalau senjata Itu sempat mengoyak tubuh Wiro.
Ketika Ganco Bumi mengejar terus dan jarak mereka terpisah tiga pohon, Wiro
pergunakan kesempatan untuk melepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang".
Ganco Bumi terkesiap ketika mendengar ada deru
angin laksana gemuruh badai menghantam ke arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke balik pohon jati besar. Dua pohon jati di depannya
tampak bergetar hebat, hampir ter-cabut dari akarnya.
"Keparat! Yang kuhadapi bukan manusia! Bagaimana dia bisa memiliki kekuatan
sehebat itul" berucap Ganco Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya
mengambil senjata rahasia besi bintang tiga. Selagi dia mengintai mencari
kesempatan untuk melepaskan senjata rahasia itu, dari seberang sana Wiro kembali
menghantam dengan pukulan sakti tadi.
Ganco Bumi memaki habis-habisan. Dia selamatkan diri dengan membuat lompatan
berputar hingga akhirnya dia berada tepat di belakang Wiro.
"Sekarang tamat riwayatmu!" kertak Ganco Bumi. Di-dahului dengan melemparkan
lima senjata rahasia berupa besi berbentuk bintang tiga itu,
Ganco Bumi kemudian menyerbu dengan ganco beracun. Saat dia melompat itulah, sebuah bends tiba-tiba melayang dari atas pohon di
sampingnya. Lalu terdengar suara pekik melengking keras. Ternyata Ken Cilik
telah meninggalkan kereta dan naluri binatang ini menginginkan dirinya untuk
ikut membantu Wiro membunuh orang yang telah membunuh tuannya.
Ken Cilik berhasil bergayut di punggung Ganco Bumi.
Kuku-kukunya mencengkeram dan taring-taringnya dihun-jamkan ke daging Ganco
Bumi. Orang ini menjerit kesakitan.
"Binatang keparat!" Ganco Bumi pergunakan tangan kirinya menangkap tubuh Ken
Cilik. Dia berhasil mencengkeram kuduk monyet ini lalu membantingkannya ke
tanah. Ken Cilik memekik keras dan berguling-guling di tanah.
Pendekar 212 Wiro Sambleng pukulkan tangan kanannya. Dua senjata rahasia lawan
mencelat mental. Yang tiga lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Selagi Wiro bergulingan Ganco Bumi cepat mendatangani sambil ayunkan ganconya ke
perut Wiro. Kaki kanan Pendekar 212 melesat ke atas lebih cepat.
Kraakkk! Tulang sambungan siku tangan kanan Ganco Bumi
hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas mental jeritan orang ini seperti
merobek langit. Dengan kalap tangan kirinya mengeruk saku pakaiannya untuk
mengambil senjata rahasianya. Namun kembali kaki kanan Wiro bergerak. Kali ini
menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag!
Ganco Bumi terbanting terbanting tertelentang di tanah.
Sewaktu dia mencoba bangun lutut kiri Wiro sudah menekan perutnya. Lalu
terjadilah pembalasan dendam itu.
Tinju Wiro kiri kanan menderu bertubi-tubi menghantam dada dan muka Ganco Bumi.
Tulang-tulang iganya ber-patahan. Tulang dada melesak remuk. Mukanya babak
belur. Darah mengucur dari mulut, hidung dan kedua matanya!
Wiro tidak tahu berapa lama dia menghujani Ganco Bumi dengan hantaman-hantaman
keras itu. Dia baru berhenti ketika kedua tangannya terasa sakit. Tapi begitu
mendengar suara erangan tanda orang itu masih belum mati, Wiro jambak rambut
Ganco Bumi lalu menghantam-kannya ke batang pohon jati. Terdengar suara
menggidikkan ketika batok kepala Ganco Bumi beradu dengan pohon jati dan
rengkah! Ken cilik memekik panjang.
Wiro angkat tubuh Ganco Bumi yang sudah jadi mayat itu lalu melemparkannya ke
dalam peti mati. Tiga mayat kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat
Pendekar 212 memandang berkeliling sambil menggaruk kepala.
Pandangannya membentur salah seorang anak buah
Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan saat itu masih terkapar di
tanah dengan luka panjang di wajahnya dan masih mengucurkan darah.
Wiro dekati anggota komplotan penjahat ini, cekal kerah bajunya kuat-kuat
sementara tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi siap untuk menghantam muka yang
cidera berat itu.
"Jangan! Ampuni selembar nyawaku!" ratap orang itu yang sebelumnya telah
menyaksikan secara menggidikkan bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan
tangan kosong. Wiro menyiringai.
"Kalau kau masih ingin hidup, turut apa yang aku perintahkan!" katanya. Lalu
anak buah komplotan penjahat itu dilemparkannya ke bagian depan kereta.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
12 ANCO LANGIT melangkah mundar-mandir. Sebentarsebentar tangan kanannya dipukulkan ke batangG batang pohon yang ada di dekatnya hingga kulit pohon itu melesat atau pecah
terkelupas. Dia sedang kesa!
dan marah. "Keparat Ganco Bumi itu! Sudah siang begini masih belum kelihatan pangkal
hidungnya!"
Jaminten yang tegak di sebelahnya berkata, "Jangan-jangan adikmu itu tidak
membawa gadis itu langsung ke tujuan, tapi mampir dulu di satu tempat
melampiaskan nafsunya!"
Tampang hitam Ganco Langit kelihatan membesi.
"Kalau itu dilakukannya aku akan menghajarnya sampai dia tahu rasa!" Lalu
pimpinan gerombolan Ganco Item ini mendongak ke atas. Sang surya tampak mulai
condong ke barat. Sasuai perjanjian Ganco Bumi harus sudah berada di lembah itu
paling lambat tengah hari.
"Ganco Langit," Ganco Laut buka suara. "Dari pada menunggu menghabiskan waktu,
bagaimana kalau kita bergerak saja ke Demak sekarang juga. Seorang anak buah
kita tinggalkan di sini. Kalau Ganco Bumi datang dia bisa memberi tahu agar
menyusul kita."
Ganco Langit bimbang sesaat. Namun akhirnya dia menyetujui pendapat Ganco Laut
itu. Seorang anggota gerombolan ditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco Bumi.
Tak ada seorangpun di antara mereka yang bakal menduga kalau kelak Ganco Bumi
akan muncul hanya tinggal tubuh kasarnya saja dalam keadaan memar hancur.
Rombongan berkuda itu bergerak cepat menuju Demak.
Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco Laut. Disebelah belakang mengikuti
sepuluh orang anak buah mereka. Lalu sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda.
Jaminten berada di atas gerobak ini, duduk di samping kusir. Setelah gerobak
menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan.
Tepat pada saat matahari tenggelam, setelah menempuh perjalanan begitu jauh rombongan akhirnya sampai di pinggir timur Demak.
Dari sini mereka sengaja mengambil jalan mengitari pinggiran kota untuk sampai
di sebuah tanah datar dimana terdapat sebuah Masjid Besar.
Masjid ini, memiliki halaman luas. Bangunannya pun luas sekali. Di salah satu
bagian mesjid terdapat sebuah ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa
orang saja yang tahu, disimpan beberapa barang pusaka Kerajaan. Barang-barang
Itu antara lain adalah sebuah tameng emas yang bagian tengahnya dihias dengan
sebuah batu merah delima sebesar telur burung. Pada pinggirannya ditaburi dengan
berbagai batu permata mutu manikam serta mutiara. Laiu ada sebuah gong yang juga
terbuat dari emas, sebuah rompi emas berhiaskan berlian. Sebelah keris bernama
Kiyai Plered yang juga terbuat dari emas.
Kemudian ada pula seperangkat alat-alat minum dari emas yang konon kabarnya
merupakan hadiah dari seorang kaisar di Tiongkok yang memerintah sekitar seratus
tahun silam. Entah bagaimana komplotan Ganco Item berhasil
mengetahul tentang barang-barang pusaka berharga itu.
Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu hanya dijaga oleh tujuh
orang perajurit yang sehari-hari selalu berpakaian santri dan seorang tua yang
dipanggil dengan nama Syekh Martani. Di mata Ganco langit dan kawan-kawannya
pengawalan seperti itu sama sekali tak ada artinya.
Dalam Mesjid Besar Syekh Martani tengah menjadi Imam pemimpin solat Magrib.
Hanya ada dua perigawal berjaga-jaga dekat ruangan penyimpanan benda-benda
pusaka. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ganco Langit dan
kawan-kawannya. Mereka memasuki pintu halaman Mesjid Besar hampir tanpa suara.
Di bawah pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut lima belas orang anggota
gerombolan bergerak menuju ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga
itu. Lima anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di halaman belakang mesjid.
Dua penjaga yang ada di tempat itu disergap lalu di-habisi nyawa mereka tanpa
banyak susah. Ganco Langit lalu berusaha mencari kunci pintu ruang penyimpanan
barang pusaka. Beberapa orang menggeledah mayat dua penjaga. Tapi mereka tak
berhasil menemukan anak kunci.
Dengan tidak sabaran Ganco Langit mendobrak pintu ruangan hingga jebol. Begitu
pintu terpentang Ganco Langit memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya lalu
masuk ke dalam setelah menyuruh Ganco Laut tetap di luar untuk berjaga-jaga.
Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena ada rasa kawatir kalau-kalau Ganco Laut
akan berbuat curang, mencuri dan menyelinapkan barang-barang berharga yang ada di
situ. Ruangan yang dimasuki itu berada dalam keadaan
gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk adalah berkas cahaya dari ruangan
sembahyang. Tapi mata manusia-manusia penjahat seperti Ganco Langit yang sudah
terbiasa dengan kegelapan, tidak menemui kesulitan. Dia dan anak buahnya segera
dapat melihat barang-barang berharga itu tersusun rapi di atas sebuah rak
panjang. "Cepat ambil! Masukkan ke dalam kereta!" kata Ganco Langit lalu menyambar
perisai emas dan gong emas. Tiga anak buahnya cepat-cepat membenahi semua
barangbarang pusaka di atas rak.
"Cepat!" kata Ganco Langit lalu mendahului keluar.
Ketika Ganco Langit mendobrak pintu ruangan
penyimpanan barang, suara jebolnya pintu terdengar sampai di ruangan sembahyang
yang luas. Mau tak mau Syekh Martani dan para jamaah lainnya menjadi terganggu
kekhusukan sembahyang mereka. Lima orang pengawal yang tengah solat Magrib saat
itu menjadi curiga dan mereka tidak bisa menguasai diri lagi. Kelimanya lari
berserabutan ke bagian belakang mesjid. Mereka terkejut sewaktu mendapatkan dua
teman mereka terkapar di depan ruangan penyimpanan barang dalam keadaan
berlurnuran darah dan tak bernyawa lagi. Kelimanya masih sempat melihat punggung
beberapa orang yang melarikan diri ke halaman belakang mesjid sambil memboyong
barang-barang berharga. Langsung saja para pengawal ini berteriak lalu mengejar.
Namun saat itu mereks tidak membawa senjata. Enam orang anggota gerombolan yang
bersenjatakan ganco besi segera menghadang dan
menyerang. Hanya beberapa gebrakan saja para pengawal itu jatuh bersungkuran
dengan luka-luka mengerikan di kepala, leher atau badan mereka! Mesjid Besar
menjadi geger! Syekh Martani menyelesaikan solatnya dalam keadaan sangat tidak khusuk. Begitu
memberi salam orang tua ini cepat menyambar sebuah tongkat yang ujungnya
ditancapi besi lancip. Sekali berkelebat dia sudah berada dihalaman belakang
Mesjid Besar. "Pencuri-pencuri terkutuk!" teriak Syekh Martani. Dia mengira yang memboyong
barang-barang pusaka itu adalah pencuri-pencuri biasa.
"Ganco Laut! Bereskan orang tua itu!" berteria Ganco Langit.
Ganco Laut bukannya langsung melakukan apa yang dikatakan Ganco Langit, tapi
malah menyuruh tiga orang anak buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri
kemudian ikut lari menuju kereta.
Ketika ada tiga orang menghadangnya lalu menyerang dengan senjata berupa gancoganco besi barulah Syekh Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan pencuripencuri biasa. Orang tua ini begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan
tiga penghadangnya serta merta merasakan darahnya berdesir.
"Gerombolan Ganco Item!" katanya dengan hati tergetar. Sebagai penjaga
keselamatan barangbarang pusaka itu tak ada jalan lain. Dia harus mengorbankan
jiwa raganya untuk mendapatkannya kembali!
Syekh Martani putar tongkatnya begitu tiga lawan menyerbu.
Tiga anak buah gerombolan Ganco Item sama terkejut ketika senjata masing-masing


Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentrokan dengan tongkat di tangan si orang tua. Tangan mereka tergetar hebat.
Dengan kertakan rahang ketiganya kembali menyerang.
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
13 AMPIR bersamaan dengan saat Syekh Martani
dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco Langit, Hdi bawah udara yang mulai
berangsur gelap, sebuah kereta ditarik dua ekor kuda memasuki pintu pagar Mesjid
Besar. Kendaraan ini berhenti di pintu pagar seperti sengaja hendak menutupi
jalan. Di atas kereta, duduk sebagai kusir seorang lelaki yang ada luka melintang di
Mukanya. Noda darah yang telah mengering pada muka itu membuat tampangnya
menjadi seram. Di atas kereta itu terlihat sebuah peti mati hitam dan besar. Papannya sebelah
atas nampak tertutup. Di samping kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah
pucat. Rambutnya riap-riapan. Kedua matanya memandang lurus-lurus ke depan.
Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung
peri yang angker. Seekor monyet coklat duduk di pangkuannya.
Seperti gadis itu, binatang inipun memandang lurus-lurus ke depan. Dari mulutnya
keluar suara mengerang halus.
Ketika dia melihat sosok Ganco Langit dan Ganco Bumi binatang ini langsung
meiornpat dan berteriak-teriak.
Semua barang rampokan sudah dimaSukkan ke dalam kereta. Ganco Langit memberi
tanda tinggalkan tempat itu.
Namun dari terheran-heran kemudian menjadi marah ketika melihat ada sebuah
kereta berhenti di pintu pagar menghalangi jalan keluar.
"Kurang ajar! Singkirkan kereta sialan itu!" teriak Ganco Langit.
Pada saat itu pula di bagian belakang Masjid Besar terdengar suara pekikanpekikan. Ketika Ganco Langit, Ganco Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya
berpaling, mereka bagaimana tiga orang kawan mereka satu demi satu tersungkur di
tanah sambil pegangi perut dan dada yang ditembus tongkat Syekh Martani!
"Haram jadahl" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Tadi aku
perintahkan kau membereskan orang tua itu!" teriak Ganco Langit beringas.
"Ternyata Syekh Martani bukan orang tua sembarangan Ganco Langit," menjawab
Ganco Laut. "Perduli setan siapa dia kusuruh untuk menghabisinya saat ini juga!" bentak
Ganco Langit. Dia berpaling ke arah kereta yang menutupi pintu.
Tiba-tiba gerobak yang dimuati barang-barang
rampokan bergerak kencang ke arah kiri, melabrak pagar bambu dan terus
menghambur dalam ke gelapan malam.
Jaminten yang bertindak sebagai kusir gerobak itu mencambuki dua kuda penarik
sekuat-kuatnya hingga kedua binatang itu lari seperti kesetanan.
"Hail Jamintenl" teriak Ganco Langit. Belum sempat terpikir oleh benaknya apa
yang tengah berlangsung, mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan
barang-barang berharga itu. Baru saja dia hendak berlari ke kudanya untuk
mengejar tiba-tiba orang yang duduk di atas kereta melompat turun dan berteriakteriak memanggil namanya.
"Ganco Langit! Ganco...!" Orang itu lari ke arah Ganco Langit pada saat Ganco
Langit baru saja naik ke punggung kudanya. Dalam keadaan seperti itu Ganco
Langit langsung saja tendang orang yang mendatangi sambil memanggilnya itu.
Tendangan itu agak meleset hingga meskipun jatuh yang ditendang masih sempat
bangun dan kembali
berteriak. "Ganco Langit... Ganco Bumi mati dibunuh ...!"
"Hah! Apa katamu"!" Ganco Langit tahan tali kekang kudanya dan menoleh. Baru
saat Itu dia mengenali wajah yang luka mengerikan itu.
"Astaga! Bukankah kau salah seorang yang ikut bersama Ganco Bumi ke tempat
kediaman Adipati
Demak"! Mana adikku"!"
"D...dia..." Orang itu menunjuk ke arah kereta di pintu pagar.
"Ganco Bumi mati...mati dibunuh..."
"Bangsat! Jangan kau berani bergurau!"
"Saya tidak bergurau Ganco...lihat sendiri! Mayat Ganco Bumi ada di atas kereta
itu...!" Ganco Langit sentakan tali di ujung sana. Begitu sampai di dekat kereta,
terkejutlah Ganco Langit. Perempuan yang duduk tak bergerak di atas kereta itu
ternyata adalah Sumiati, anak gadis Ranalegowol Bukankah dia seharusnya berada
di tempat kediaman Adipati Demak saat itu"
Monyet di atas kereta tiba-tiba menjerit-jerit dan melompat-lompat kembali.
Ganco Langit merutuk. Matanya mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di
situ. Dia memandang lekat-lekat pada peti mati hitam.
Tiba-tiba terdengar suara berkeretakan. Penutup peti mati perlahan-lahan
terbuka. Ganco Langit mencium bau tidak enak. Bau amisnya darah! Matanya
membeliak memperhatikan penutup peti
mati yang terus membuka hingga akhirnya terpentang lebar. Kedua mata Ganco
Langit kini bukan cuma
membeliak, tapi seperti hendak terbongkar dari rongganya!
Di dalam peti mati itu! Qia melihat sosok tubuh yang hancur memar tapi masih
bisa dikenalinya. Itu adalah sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di
sebelah mayat adiknya masih ada mayat lain, juga di sebelah bawah. Tapi dia
tidak perduli pada mayat-mayat lain itu.
Dia hanya perduli pada mayat adiknya.
"Ganco Bumi!" teriak Ganco Langit menggeledek. "Siapa yang membunuhmu!" Dia
hendak melompat dari punggung kudanya ke atas kereta. Tapi tiba-tiba dilihatnya
sosok mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco Langit merinding.
Adiknya jadi mayat hidup!
*** WIRO SABLENG PETI MATI DARI JEPARA
14 ENDADAK mayat Ganco Bumi disangka bergerak
hidup itu jatuh terhempas ke dalam peti kembali!
MBersamaan dengan itu sesosok tubuh lain
menyeruak muncul dari dalam peti di iringi suara tawa bergerak!
Ganco Langit mundurkan kudanya ketika menyasikan bagaimana sesosok tubuh pemuda
berpakaian putih kumal dan penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu
berdiri di atas peti mati. Saat itulah Ganco Langit sempat melihat mayat Bintara
Anggoro dan mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso. Seganas-ganasnya manusia seperti
Ganco Langit, mau tak mau dia jadi tercekat.
"Siapa kau"!" dia menghardik pada pemuda yang masih berdiri di dalam peti mati.
Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai.
"Aku Malaikat Maut yang telah mengambil nyawa busuk adikmu serta dua sekutumu!
Sekarang giliranmu untuk kujemput!" Dosa kalian sedalam lautan setinggi langit!"
"Orang gila keparat!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Kau
bereskan orang sinting ini! Aku akan mengejar perempuan gemuk yang kabur membawa
barang-barang pusaka itu!"
"Kau saja yang membereskannya. Biar aku yang mengejar Jaminten!" menjawab Ganco
Laut. "Turut perintahku! Jangan berani membantah!"
"Sekali ini aku terpaksa membangkang Ganco Langit!
Aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagf dalam komplotan Ganco Item!"
"Keparat kau Ganco Laut!" teriak Ganco Langit. "Aku tahu apa yang.ada di
benakmu!" Ganco Langit ingat pada kejadian beberapa waktu lalu. Malam-malam
ketika Ganco Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandi dan bersenang-senang di
kali kecil. Ganco Laut tak mau berdebat panjang dengan Ganco Langit. Dia menggerakkan
kudanya. "Mau kemana kau Ganco Laut" Jangan kira aku tidak tahu persekongkolan kalian!
Kau dan Jaminten sama-sama pengkhianat! Jangan kau berani meninggalkan tempat
ini!" "Aku pergi!" kata Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut menangkap tangan itu.
Untuk sesaat keduanya saling mencengkeram dan saling melotot satu sama lain.
"Mengingat hubungan kita dimasa lalu, aku tak suka kita saling melakukan
kekerasan, Ganco Langit. Itu bukan berarti aku takut padamu. Aku tahu kau
manusia kebal macam senjata dan pukulan. Tapi aku juga tahu di mana rahasia
kelemahanmu! Jadi jangan coba-coba mencegah!"
"Anjing kurap! Lebih cepat kau mampus lebih baik!"
teriak Ganco Langit. Lalu dia hunus ganconya. Sinar putih berkelebat dalam
gelapnya malam. Ganco di tangan pimpinan penjahat itu terbust dari besi putih.
"Apa maumu akan kulayani Ganco Langit!" tukas Ganco Laut. Lalu diapun mencabut
ganconya yang terbuat dari besi hitam seperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih
di atas kuda kedua pimpinan gerombolan ini mulai saling baku hantam. Sementara
anak buah mereka meyaksikan
dengan terheran-heran spa yang terjadi. Kebencian satu sama lain serta
keserakahan telah membuat Ganco Langit dan Ganco Laut melupakan bahwa seharusnya
mereka bergabung untuk menghadapi Wiro yang telah membunuh Ganco Bumi!
Di atas kereta Pendekar 212 Wiro Sableng menggerendeng. Dia tak Ingin kedua orang itu saling ber-bunuhan. Kalau mereka harus
mati maka dialah yang akan membunuhnya. Demi untuk membalaskan sakit hati
dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi serta sejuta penderitaan yang kini
dirasakan Sumiati saudara sepupunya.
Wiro memegang bahu Sumiati yang sebelumnya
memang sengaja didudukkan Wiro setelah ditotok lebih dahulu. Dia ingin Sumiati
menyaksikan pembalasan yang akan dilakukannya terhadap dua dari tiga manusia
yang telah membunuh kedua orang tuanya dan kakeknya serta merusak kehormatan
gadis itu secara keji!
Ken Cilik memekik keras.
Tubuh Pendekar 212 melesat dari atas kereta.
Sesaat kemudian terdengar suara dua kuda meringkik kesakitan. Binatang-binatang
ini menyentakan kaki-kaki depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco
Laut yang menunggunya tercampak ke tanah walaupun mereka bisa jatuh dengan
dengan kedua kaki dahulu. Saat itu keduanya baru sadar bahwa yang harus mereka
lakukan ialah menghadapi Pendekar 212.
"Ganco Laut! Untuk sementara lupakan dulu pertikaian kita! Bantu aku menghabisi
bangsat yang telah membunuh adikku ini!"
Sesaat Ganco Laut tampak agak ragu. Namun
kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah mendahului melompat menyerang Wiro.
"Tahan!" mendadak terdengar suara seruan.
Syekh Martani muncul di tempat itu. Dia memandang ke arah Ganco Langit dan Ganco
Laut dengan mata berapi-api. "Kalian merampok harta pusaka Kerajaan! Lekas
kembalikan atau kalian akan kutebas seperti tiga anak buah kalian!"
"Tua bangka tak berguna!' Kau mampuslah duluan!'
bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu sebuah ganco besi hitam berkelebat.
Syekh Martani tusukkan tongkat kayu yang berujung besi lancip. Tapi mendadak dia
merasakan leher pakaiannya ditarik orang ke belakang hingga baik tusukan
tongkatnya maupun hantaman ganco Ganco Laut yang hanya mengenai udara kosong.
Berpaling ke belakang Syekh Martani dapatkan bahwa pemuda berambut gondrong
itulah yang barusan menariknya.
"Lepaskan peganganmu! Apa-apaan ini"!" teriak orang tua itu.
"Jika kau ingin dapatkan barang-barang itu kembali, cepat menuju ke timur. Kejar
sebuah gerobak yang di-kendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang itu
ada dalam gerobak!" Wiro tarik lagi leher pakaian orang tua itu hingga Syekh
Martani kembali terjajar ke dekat pintu pagar. Merasa apa yang dikatakan si
pemuda memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas punggung seekor
kuda. Tapi enam orang anak buah Ganco Langit sudah mengurungnya.
"Apa kau sudah siap untuk mati, pemuda gila?" Ganco Langit bertanya dengan nada
mengejek pada Pendekar 212. Dia tidak lagi memperdulikan Syekh Martani karena
anak buahnya sudah mengurung orang tua itu.
Wiro tertawa kecil. "Terbalik!" katanya. "Justru akulah yang telah menyediakan
peti mati bagi kalian berdua.
Bersama tiga orang yang sudah ada di dalam sana kalian bisa berangkat ke
neraka!" Murid Eyang Sinto Gendeng ini lalu cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik
pakaiannya. Ganco Langit dan Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco
Langit bergerak lebih dahulu, disusul oleh Ganco Laut. Kedua orang ini baru
sadar bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senjata sembarangan ketika Wiro
mulai alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kapak itu tampak mengeluarkan
cahaya lebih terang dalam gelapnya malam.
Ganco Langit dan Ganco Laut keluarkan seruan tertahan ketika sinar menyilaukan
membabat di udara disertai menghamparnya hawa panas menyengat ditambah
menderunya suara aneh seperti ada ribuan tawon
menyerbu. Ganco Laut cepat tarik tangannya guna menghindari bentrokan senjata. Dia maklum
bukan saja senjata berbentuk kapak bermata dua di tangan pemuda gondrong itu
adalah sebuah senjata muslika tetapi lawan juga jelas memiliki tingkat tenaga
dalam yang tinggi.
Lain halnya dengan Ganco Langit. Merasa memiliki ilmu kebal yang tidak bisa
ditandingi apa Jan siapapun dia coba menggaet senjata lawan dengan ganco besi
putihnya. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar dari Kapak
Naga Geni 212 semakin menyilaukan. Dia terus membabat. Dan trang!
Ganco Laut berseru kaget sambil melompat mundur.
Ganco besi putihnya kini hanya tinggal gagangnya saja yang ads dalam
genggamannya. Bagian yang lain telah amblas putus di hantam senjata lawan.
Selagi Ganco Langit terkesima oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya itu,
Kapak Naga Geni 212 berbalik lalu menghantam ke arah dadanya. Ganco Langit
terlambat untuk mengelak.
Bukkk! Mata Kapak Maut naga Geni 212 melabrak dadanya
dengan telak. Kepala gerombolan Ini mengeluh. Tubuhnya terjengkang di tanah.
Dada baju hitamnya tampak robek dan hangus! Tapi hebatnya Ganco Langit tampak
berdiri kembali meskipun agak terhuyung-huyung.
Sesaat Pendekar 212 jadi bingung menyaksikan bagaimana senjata mustikanya tidak
mempan terhadap Ganco Langit.
"Durjana ini rupanya memiliki ilmu kebal luar biasa!"
membatin Wiro. "Adiknya tidak memiliki ilmu kebal.
Bagaimana dengan Ganco yang satu?"
Saat itulah tiba-tiba Ganco Langit menerjang dan hantamkan tinjunya kiri-kanan
bertubi-tubi. Wiro terjajar beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang
berhasil mendera dada dan pipi kirinya!
Dengan darah mendidih Wiro bacokkan senjatanya.
Hebatnya sambil tertawa-tawa Ganco Langit seperti sengaja memasang diri. Kapak
Naga Geni 212 ber-gedebukan di tubuhnya. Tubuh Ganco Langit memang terpental
atau terbanting berkali-kali. Tapi jangankan luka, tergores sajapun tidak. Hanya
pakaian hitam yang dikenakannya saja yang penuh robek serta hangus disana-sini.
"Puaskan hatimu sebelum kepaiamu kupuntir sebentar lagi!" kata Ganco Langit
masih terus mengumbar suara tawa.
"Bangsat ini benar-benar hebat. Kalau kapakku saja sudah tidak tembus naganaganya aku bisa celaka!" pikir Wiro. "Aku harus cari akal. Putar siasat!"
Wiro melirik ke arah Ganco Laut. "Kuharap saja bangsat satu ini tidak memiliki
ilmu kebal yang sama!"
Memikir begitu Wiro iancarkan serangan ke arah Ganco Laut. Serangannya seperti
orang kalap, ganas luar biasa.
Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat mengelakkan senjata lawan.
Ganco Langit mendatangi dari samping. Wiro maklum dia harus segera membereskan
Ganco Laut lebih dahulu.
Apa dia bisa menghadapiGanco Langit sesudah itu adalah urusan nanti.
Ganco Laut bukanlah seorang penjahat sembarangan.
Dia memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan tenaga dalam yang ampuh. Namun
diserang secara bertubi-tubi seperti itu lama-lama membuat dia kelabakan juga.
Pada jurus ke sembilan, Kapak Maut Naga Geni 212 memapas bahu kirinya. Ganco
Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas dan darah mulal mengucur! Selagi dia
terhuyung-huyung senjata mustika di tangan Wiro itu kembali membabat.
Untuk kedua kalinya Ganco Laut terpekik. Kali ini dadanya yang amblas dilanda
kapak. Tubuhnya terhuyung, kaku dia rubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta.
Untuk dapat mendaratkan kapaknya ke dada Ganco
Laut tadi Wiro harus membayar mahal. Tubuhnya yang tidak terlindung berhasil
dijotos Ganco Langit di bagian perut. Tubuh Pendekar 212 terlipat ke depan.
Ganco Langit hendak merampas Kapak Naga Deni 212 dari tangan Wiro, tapi pemuda
ini dengan cepat sodokkan gagang senjatanya ke ulu hati Ganco Langit. Orang ini


Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya mengeluh pendek. Setelah itu dia kembali menyerbu Wiro. Berapa kali
jotosannya mampir di tubuh murid Eyang Sinto Gendeng, itu. Satu kali tendangan
pada pinggangnya membuat Wiro terjajar dan jatuh. Selagi dia mencoba bangun satu
tendangan lagi menghantam punggungnya.
Pendekar 212 semburkan darah segar dari mulutnya.
Pemandangannya gelap beberapa saat. Ketika peng-lihatannya pulih kembali teryata
dia terduduk di tanah dekat sosok Ganco Laut.
Ganco Laut sendiri saat itu sudah menyadari bahwa dia tak bakal hidup lama.
Maksudnya untuk merampas
Jaminten tak akan kesampaian. Rencananya dengan perempuan itu melarikan barangbarang rampokan
memang berhasil. Tapi dia tak akan pernah merasakan hasil rampokan itu. Jaminten
sendiri entah di mana sekarang. Sakit hatinya terhadap Ganco Langit yang pasti
akan hidup senang bersama Jaminten apakah dapat di-balaskan"
Dia menoleh, sesaat memperhatikan Wiro yang terduduk di sebelahnya dalam keadaan
babak belur. Tiba-tiba Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan
sakit hatinya terhadap Ganco Laut. Kalau memang dia akan segera menemui ajal dia
merasa tidak takut untuk mati. Tapi Ganco Langit juga harus ikut mati
bersamanya. "Anak muda," bisiknya pada Wiro. "Apapun yang kau lakukan, kau tak bakal dapat
membunuh lawanmu itu. Dia memiliki ilmu kebal. Kecuali jika kau bisa menusuk
atau menghancurkan mata kirinya dengan telak. Di situ letak kelemahannya!"
"Terima kasih..." sahut Wiro. "Tapi kau tetap menjadi penghuni peti matiku!" Siku
kanannya dihantamkam ke dada kiri Ganco Laut, tepat di arah jantungnya. Tak
ampun lagi orang ini langsung meregang nyawal
Ketika Wiro mencoba berdiri. Saat itu dilihatnya Ganco Langit mendatangi dengan
cepat. Wiro tekan mata kepala naga Kapak Naga Geni 212. Dua lusin jarum halus
berwarna putih melesat dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak. Meskipun
Ganco Langit kebal terhadap segala macam senjata namun terperangah juga melihat
datangnya serangan itu. Lalu menyeruak senyum sinis di wajahnya. Dia membiarkan
saja jarum-jarum putih itu menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap.
Semuanya kemudian luruh ke tanah.
Meskipun jarumnya tidak berhasii mencelakai lawan tapi tujuan utama Wiro adalah
menipu perhatian lawan.
Selagi jarum-jarum putih berluruhan dan selagi Ganco Langit tertawa mengejek
Wiro lemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah kepala orang itu.
Pemimpin gerombolan Ganco Item ini meraung dahsyat lalu jatuh dan bergulingguling di tanah. Kapak Naga Geni 212 masih menancap di mata kirinya. Wiro
bangkit berdiri.
Dia melangkah mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di hadapannya Wiro hantamkan
kaki kanannya ke selang-kangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya Ganco Langit
meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi.
Di atas kereta air mata tampak mengucur dari kedua mata Sumiati. Ken Cilik
merundukan kepala seolah dapat merasakan penderitaan gadis mat!.
Satu demi satu mayat Ganco Laut dan Ganco Bumi
dilemparkan Wiro ke dalam peti mati.
Di halaman kiri Mesjid Besar Syekh Martani memper-tahankan diri mati-matian dari
keroyokan anak buah gerombolan. Tubuhnya luka-luka di beberapa bagian.
Sebelum Wiro sempat membantu orang tua ini, tiba-tiba sebuah gerobak diiringi
oleh hampir tiga puluh perajurit Kerajaan memasuki halaman melalui pagar yang
telah roboh diterjang gerobak yang dilarikan Jaminten. Kini gerobak itu pulalah
yang kembali. Ario Gelem, Perwira Muda dari Kadipaten Jepara dialah yang menjadi sais gerobak.
Di sampingnya Jaminten duduk tersandar dalam keadaan terikat ke tiang gerobak.
Mukanya yang gemuk tampak sembab tanda habis
menangis. "Hentikan perkelahlan!" teriak Arlo Gelem. Anak buahnya segera mengurung para
penjahat yang tengah mengeroyok Syekh Martani. Melihat siapa yang datang membawa
pasukan begitu banyak, para penjahat seperti merasa putus asa. Apalagi tak
seorang pimpinan
merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamat-lah nyawa Syekh Martani.
Bagaimana Jaminten bisa digiring kembali ke Mesjid Besar bersama gerobak yang
memuat seluruh barangbarang rampokan itu"
Sejak siang harl itu, Perwira Muda Arlo Gelem bersama serombongan pasukan yang
didatangkan dari Kotaraja telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka
kemudian mendapat kabar tentang adanya rencana
perampokan harta benda Kerajaan yang disimpan dalam Mesjid Besar. Karena itulah
Aria Gelem kemudian memim-pin pasukan tersebut menuju Demak. Di tengah jalan
mereka berpapasan dengan Jaminten yang memacu
sendiri gerobak yang dilarikannya. Karena curiga Ario Gelem memerintahkan
Jaminten menghentikan gerobak untuk diperiksa. Mula-mula perempuan gemuk itu
menolak bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah benda-benda pusaka
Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka diapun ditangkap dan dibawa kembali ke
Demak. Pendekar 212 Wiro Sableng mengusap kepala Ken Cilik Sumiati kemudian
dibaringkannya kembali di atas lantai kereta.
"Saatnya kita meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti kita sudah penuh.
Manusia-manusia jahat yang kita cari sudah lengkap masuk di dalamnya."
Ken Cilik menggembor halus lalu memekik tiga kali.
Ketika kereta itu mulai bergerak untuk meninggalkan halaman Mesjid Besar tibatiba Perwira Muda bernama Ario Gelem mengangkat tangannya memberi tanda agar
berhenti. Wiro tahan tali kekang dua kuda penarik kereta.
"Saudara, kau terpaksa kami tangkap!" kata Ario Gelem.
Wiro menatap wajah Perwira Muda Itu sesaat lalu bertanya, "Katakan apa
kesalahanku!"
"Kau melakukan pembunuhan atas diri lima orang yang kini berada dalam peti mati
itu!" jawab Ario Gelem.
"Perwira Muda," kata Wiro pula. "Coba terangkan padaku siapa-siaps saja adanya
ke lima orang yang ada di dalam peti mati itu."
"Aku merasa tidak wajib menjawah-pertanyaanmu."
Siapapun adanya mereka bukan dalih bagiku untuk membatalkan penangkapan!"
"Perwira, kalau kau dapat mengembalikan kedua orang tua gadis malang sepupuku
ini, kalau kau bisa mengembalikan Kioro Mertan kakek kami, kalau kau bisa
mengembalikan penduduk Jatingaleh yang dibunuh oleh gerombolan Ganco item, saat
ini juga aku bersedia ditangkap!"
"Kau bicara ngaco! Mana mungkin aku bisa meng-hidupkan orang yang sudah mati"!"
ujar Ario Gelem pula.
Pendekar 212 tertawa lebar. "Kalau begitu menurutmu, kuharap kau tidak
menjadikan hal itu sebagal persoalan lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk
itu aku akan berikan satu hadiah besar padamu!"
Habis berkata begitu Wiro bergerak, ke belakang kereta.
Dengan sekuat tenaga didorongnya peti mati berisi lima mayat itu hingga akhirnya
jatuh ke tanah.
"Itu hadiah yang kukatakan tadi." ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Ario Gelem
hanya bisa berdiri seperti patung ketika Wiro membawa kereta meninggalkan
halaman Mesjid Besar. Dia tetap tak bergerak sampai gerobak dan penumpangnya itu
lenyap dikejauhan dalam kegelapan malam.
TAMAT Penghuni Lembah Neraka 1 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Raja Silat 27

Cari Blog Ini