Ceritasilat Novel Online

Ki Ageng Tunggul Akhirat 1

Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Ki Ageng Tunggul Akhirat
PANGKAL BAHALA Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam
udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan
blangkon bergerak di antara batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat.
Mukanya yang hitam boleh dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan
sebagai wajah setan. Di pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari
ujung bibir sempai ke mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak
bawah membeliak merah dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut orang ini
tertarik ke atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke luar!
Sebenarnya kuda coklat dan penunggangnya sudah sama-sama sangat letih
saat itu. Beberapa kali kaki-kaki kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan
licin. Si penunggang sendiri dengan segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba
membawa kudanya ke jurusan Timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang
solah membentuk dinding panjang dari Timur ke Selatan. Di salah satu bagian
dinding batu, orang ini hentikan kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan
rintik- rintik telah berhenti. Namun kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi
pemandangan. Orang ini menunggu dan berusaha untuk sabar. Ketika sang surya
muncul kabut di tempat itu perlahan-lahan mulai terkikis habis. Dalam terangnya
udara orang tadi kembali memperhatikan keadaan di sekitarnya. Apa yang dicarinya
terlihat di kejauhan.
Tepat di pertengahan dinding batu ada satu lobang besar. Sesaat ada rasa
tegang dalam diri orang ini. Setelah menabahkan hatinya dia lalu bergerak kea
rah lobang tadi yang merupakan mulut sebuah goa. Di depan goa dia hentikan kudanya
lalu turun dengan terhuyung-huyung. Dari kantong perbekalan yang tergantung di
leher kuda dia mengambil sebuah bungkusan lalu melangkah hendak memasuki goa.
Namun belum sempat kakinya menginjak mulut goa, tiba-tiba dari dalam
menggelegar suara bentakan.
"Siapa yang mengantar nyawa berani datang ke tempatku tanpa diundang"!"
Manusia bermuka cacat itu terkejut. Setelah reda kejutnya dia memberanikan
diri menjawab. "Aku Ki Ageng Tunggul. Kepala desa Pasirginting. Ingin bertemu dengan
orang tua sakti bernama Supit Jagal. Kabarnya beliau adalah penghuni goa ini!"
"Begitu" Katakan apa keperluanmu!" orang di dalam goa bertanya.
"Aku dating untuk mohon diambil jadi murid!"
"Bah! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat kau punya tampang!
Lekas masuk dalam goa!"
Ki Ageng Tunggul cepat melangkah masuk. Ternyata bagian dalam goa batu
itu tidak seberapa besar. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian
sangat kotor dan penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pipinya sebelah
kana nada cacat bekas luka yang amat dalam. Daun telinganya sebelah kanan
sumplung sedang sepasang matanya sangat sipit sehingga dia seperti sedang
memejam. "Mukamu seperti setan! Apa kau benar manusia atau makhluk jejadian"!"
"Aku manusia biasa, tak lebih tak kurang...."
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si kakek menyeringai mendengar ucapan itu. "Duduk!" bentaknya kasar.
Ki Ageng Tunggul duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di pangkuan.
"Aku memang Supit Jagal, orang yang kau cari!" berkata si kakek. "Kau
bilang minta diambil jadi murid! Sudah tua bangka begini apa kau sinting"!"
" Soalnya aku terpaksa..... "
"Terpaksa "! Siapa yang memaksa "! " Ki Ageng Tunggul lalu menerangkan.
"Tiga orang jahat berilmu tinggi hendak membunuhku"
"Kau ketakutan lalu minta dijadikan murid agar dapat ilmu ! " Supit Jagal
tertawa mengekeh. "Anak manusia berwajah setan, coba kau katakan padaku
mengapa tiga orang itu hendak membunuhmu "! "
" Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Masing-masing bernama Kunto
Handoko, Lor Paregreg dan Rah Gludak. Mereka kukhianati hingga dijebloskan
masuk penjara. Entah bagaimana ketiganya bisa melarikan diri. Kini mereka
mencariku dengan tujuan membunuh. Aku tidak berdaya menghadapi meraka.
Ketiganya memiliki kepandaian silat tinggi serta kesaktian. "
Mulut Supit Jagal sesaat tampak komat kamit. " Berkhianat sesama kawan
adalah perbuatan paling keji. Kini kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tidak
bisa mengambilmu jadi murid ! Sekarang lekas minggat dari hadapanku ! "
Ki Ageng Tunggul ambil bungkusan di pangkuannya. Bungkusan ini
diletakkannya di lantai goa di hadapan si kakek. Ketika bungkusan dibuka
tampaklan puluhan mata uang perak dan beberapa mata uang emas serta seperangkat perhiasan.
"Semua ini untukmu. Asal saja kau mau mengambilku jadi murid dan mangajarkan
ilmu silat dan kesaktian," kata KI Ageng Tunggul pula. Si kakek bermata sipit
tampak agak terkesiap.
"Anak manusia berwaah setan, pemberianmu membuat aku tergiur. Tapi
tetap saja aku tidak akan mengambilmu jadi murid. Hanya mungkin ada cara lain
untuk menolongmui. Yang jadi soal kini, apakah kau bakal sanggup memenuhi syarat
yang akan kutetapkan!"
"Syarat apapun akan kulaksanakan," jawab Ki Ageng Tunggul tanpa tedeng
aling-aling. "Bagus. Pertanyaanku, apa kau bisa mengatur ketiga musuhmu itu datang
kemari" Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan!"
"Begitupun aku setuju. Yang penting mereka harus mampus semua! Harap
kau mau mengatakan syarat tadi....."
"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakan."
"Demi Tuhan saya bersumpah akan melaksanakan....."
"Tolol! Bukan demi Tuhan! Tapi demi aku! Demi Supit Jagal ! " membentak
si kakek. Matanya membesar. Ia menyangka sudah melotot padahal kedua matanya
itu tetap masih sipit-sipit saja.
" Demi Supit Jagal...... Aku bersumpah !" ucap Ki Ageng Tunggul.
" Bagus. Kau sudah bersumpah. Sekarang coba telan dulu benda ini ! " Supit
Jagal melemparkan sebuah benda hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul. Lelaki ini
cepat mengambilnya.
" Benda apa ini " "
" Telan saja ! Tak perlu banyak tanya ! " sentak Supit Jagal.
Mau tak mau Ki Ageng Tunggul segera menelan benda hitam itu yang terasa
kesat di mulut dan tenggorokannya.
"Sudah kau telan"!" tanya Supit Jagal.
Ki Ageng Tunggul mengangguk. Si kakek tertawa panjang.
Kenapa kau tertawa?" tanya Ki Ageng Tunggul.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Benda hitam yang barusan kau telan adalah racun penghancur usus!"
Pucatlah wajah hitam Ki Ageng Tunggul.
"Racun itu akan bekerja setelah dua hari dari sekarang. Jika kau berhasil
melaksanakan syarat yang akan ku katakan, kau boleh kembali ke mari membawa
tiga orang musuh besarmu itu. Aku akan memberikan obat penawar racun padamu.
Teteapi ingat! Kalau ingkar kau akan mampus dengan usus berantakan!" Supit Jagal
kembali tertawa mengekeh. Ki Ageng Tungul merasakan sekujur tubuhnya menjadi
dingin. "Sekarang akan kukatakan syarat itu!" kata Supit Jagal pula. Ki Ageng
Tunggul jadi tegang. "Tepat tengah malam besok yaitu hari Kamis malam Jum'at
Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi lalu memandikan ke kepala dan
tubuhmu. Upacara ini harus kau lakukan di puncak tertinggi bukit batu ini, kirakira seratus langkah ke arah Timur!"
Sepasang mata Ki Ageng Tunggul, terutama mata kiri yang dalam keadaan
mencelet kini tampak membeliak besar. Jantungnya seperti mau copot dan nyawanya
serasa terbang mendengar syarat yang dikatakan Supit Jagal tadi. "Kalau syarat
itu tidak kau lakukan, jangan harap umurmu bisa lebih panjang dari dua hari!"
"Kakek, apakah syarat itu bisa diganti" Aku kawatir tidak sanggup
melaksanakannya."
"Kalau begitu cepat angkat kaki dari hadapanku. Tapi tinggalkan bungkusan
ini di sini!"
Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya
sungguh sangat keji dan mengerikan. Tak sanggup dia melakukan. Namun kalau dia
menolak, racun yang mengidap di perutnya akan merengut nyawanya! Tak ada
pilihan lain kini. Dia terpaksa memenuhi apa yang dikatakan Supit Jagal tadi.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SUMPAH IBLIS PENUMPAH DARAH
Laksana terbang kuda coklat itu berlari kencang di bawah panas terinya matahari.
Dalam waktu singkat kuda dan penunggangnya sudah sampai di kaki bukit terus
bergerak menuju lembah sepanjang kaki bukit. Si penunggang yang berwajah seperti
setan bukan lain adalah Ki Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting yang tengah
menjalankan syarat seperti yang ditetapkan manusia iblis Supit Jagal. Lelaki ini
mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Muka
setannya langsung berubah.
"Celaka! Aku hanya punya waktu setengah harian lagi. Kalau yang kucari
tidak kutemui mampuslah diriku!" Ki Ageng Tunggul membetulkan letak blangkonnya
lalu kemabli memacu kudanya. Dari satu tempat ketinggian dia melihat atap-atap
rumah yang terletak di sebuah desa kecil. Segera saja dia mengarahkan kudanya
menuju ke sana.
Angin dari Timur bertiup kencang merontokkan daun-daun pepohonan ketika
Ki Ageng Tunggul memasuki jalan teduh di mulut desa. Dia mulai memperlambat lari
kudanya. Kedua matanya yang merah, satu di antaranya membeliak mengerikan,
memandang liar kian kemari.Sepasang telingnya dibuka tajam-tajam. Dia
berpapasan dengan beberapa penduduk desa. Orang-orang itu jelas ketakutan ketika
melihat tampangnya. Mereka melangkah pergi dengan cepat. Sampai di tengah desa
Ki Ageng Tunggul hentikan kudanya. Dia seperti putus asa. Tiba-tiba daun
telinganya bergetar. Kedua matanya berputar ke arah kanan. Di sebelah sana, di
antara beberapa pohon besar kelihatan sebuah rumah gedek. Di rumah gedek ini
terdengar suara tangisan bayi. Inilah yang dicari Ki Ageng Tunggul! Tanpa
menunggu lebih lama orang ini segera menghambur menuju rumah gedek itu. Begitu
sampai dia langsung melompat ke pintu lalu menggedor dengan keras.
Terdengar langkah-langkah kaki di dalam rumah. Sesaat kemudian pintu
terbuka. Perempuan yang menggendong seorang orok lelaki yang masih merah
tersurut pucat ketika melihat tampang manusia yang berdiri di hadapannya.
Ki Ageng Tunggul memandang bayi dalam gendongan ibunya itu.
Tenggorokannya turun naik dan mulutnya komat kamit. Sesaat dia bingung. Hendak
mengatakan sesuatu dulu atau langsung saja merampas bayi dalam gendongan itu.
"Sam....sampeyan siapa....?" perempuan muda yang menggendong bayi
bertanya dengan suara gemetar dan siap-siap hendak menutupkan pintu.
"Aku mencari suamimu."
"Dia sedang ke sawah. Nanti siang baru kembali...."
Mata Ki Ageng Tunggul menatap bayi dalam dukungan. "Ini anakmu"'
Ynag ditanya mengangguk. Tangannya bergerak lagi hendak menutup pintu.
Ki Ageng Tunggul cepat manahan daun pintu.
"Dengar," katanya. "Kemarin aku sudah bicara degnan suamimu. Dia
bersedia menjual bayi ini." Lalu Ki Ageng Tunggul keluarkan sebuah kantong kecil
berisi uang. Perempuan yang menggendong bayi tampak terkejut mendengar kata-kata
tamu bermuka seram yang tidka dikenalnya itu. "Apa" Suamiku....." Tidak! Aku
tidak percaya! Kau pasti berdusta! Suamiku tidak bakalan mau menjual anak ini!"
"Ini ambillah...!" kata Ki Ageng Tunggul seraya mengulurkan kantong uang.
"Tidak!" dengan tangan kanannya perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat.
Tapu Ki Ageng Tunggu lebih kuat menahan.
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau kau tidak mau menjual tidak apa-apa...... Berarti kau akan rugi dua
kali!" "Apa maksud sampeyan....?"
Ki Ageng Tunggul menyeringai. Sekali dia bergerak, bayi dalam dukungan si
ibu berhasil dirampasnya. Secepat kilat lelaki ini lalu meloncat ke atas
punggung kudanya dan menghambur lenyap.
Ibu si bayi menjerit keras. "Bayiku! Tolong! Bayiku dilarikan orang!
Tolong!" Beberapa orang tetangga berlarian keluar dari rumah masing-masing. Tapi
tak seorangpun bisa berbuat sesuatu. Si ibu masih menjerit beberapa kali lalu
roboh tak sadarkan diri di depan rumahnya.
Hari Kamis malam Jum'at Kliwon.
Hujan gerimis menambah dingin dan angkernya suasana malam. Kuda coklat
yang ditunggangi Ki Ageng Tunggul mendaki di lereng bukit, bergerak menuju ke
puncak. Dalam kegelapan malam kuda dan penunggangnya ini tidak beda seperti
setan yang sedang gentayangan!
Puncak bukit batu yang hendak dicapai tingi sekali. Jalan yang menuju ke situ
Sangat sulit. Beberapa kali kuda coklat itu tersandung dan hampir roboh.
Lidahnya terjulur, tubuhnya basah oleh keringat bercampur air hujan. Di satu tempat
binatang ini tersandung kembali. Sekali ini langsung roboh dan tak mau bangkit lagi.
Kutuk serapah keluar dari mulut Ki Ageng Tunggul. Ketika jatuh tadi untung dia cepat
melompat dan menyelamatkan benda yang dibawanya yaitu bukan lain sosok bayi
rampasan yang dibuntal dengan sehelai kain. Sambil menggendong bayi itu Ki Ageng
Tunggul melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu dengan jalan kaki.
Gerakannya cekup sebat. Dia melompat dari satu batu ke batu lain. Tak selang berapa lama
lelaki ini sampai di puncak bukit batu paling tinggi. Di sini angin terasa kencang dan
dingin sekali. Ki Ageng Tunggul memandang berkeliling. Mulutnya berkomat kamit. Di
kejauhan kilat menyambar. Suasana terang sexta lalu gelap kembali. Bayi dalam
buntalan kain menangis dan mengagetkan Ki Ageng Tungul. Cepat-cepat dia
membuka buntalan. Sesaat tubuhnya terasa bergeletar. Mulutnya kembali komat
kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia mendongak ke langit. Seringai iblis
menyeruak di tampangnya yang angker. Bayi di tangan kirinya diangkat tinggitinggi ke atas. Tangisan si bayi semakin keras. Dari mulut Ki Ageng Tunggul kemudian
terdengar ucapan.
"Orang sakti dalam goa!
Demi sumpah yang kupatuhi!
Bersaksi lepada langit di atas keepala!
Bersakasi pada batu di bawah kaki!
Saat ini aku Siap untuk mandi!"
Habis berseru seperti itu Ki Ageng Tunggul mencabut sebilah golok pendek
dari pinggangnya. Saking tajamnya, walaupun malam sensata ini berkilauan dalam
kegelapan. Seperti kemasukan setan yang haus darah golok di tangan kanan
berkelebat membabat. Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi serta merta lenyap.
Darah mengucur.


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan darah yang mengucur Ki Ageng Tunggul menyirami kepala, muka
dan tubuhnya. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan
gerahamnya terdengar bergemeletukan. Kedua matanya berputar liar sedang sekujur
tubuhnya bergeletar.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Darah berhenti memancur tanda sudah terkuras habis. Kembali KI Ageng
Tunggul mendongak ke langit dan berucap.
"Orang sakti dalam goa!
Sumpah sudah dilaksanakan!
Aku mohon diri!"
Lalu dalam keadaan basah kuyup oleh darah, keringat dan air hujan Ki
Ageng Tunggul mulai menuruni bukit. Di satu tempat golok dibuang ke bawah bukit.
Suara senjata ini berkerontangan dalam kesunyian malam. Ki Ageng Tunggul
merasakan satu keanehan. Saat itu tubuhnya terasa ringan luar biasa hingg?
dengan gerakan yang sebat dalam waktu singkat dia sudah sampai di tempat tadi dia
meninggalkan kudanya.
Begitu sampai di goa, Ki Ageng Tunggul duduk dengan hormat di hadapan
Supit Jagal memberitahu kalau dia sudah melaksanakan apa yang diperintahkan.
"Bagus!" kata si kakek dengan seringai iblis di mulutnya. "Sekarang kau
harus mencari tiga manusia yang kau bilang mau membunuhmu itu. Bawa dia
kemari! Tapi jangan lupa! Begitu urusan selesai kau harus berikan padaku dua
kantong berisi uang dan harta perhiasan. Bukan cuma satu kantong! Mengerti"!"
"Aku mengerti kek."
"Nah Sekarang lekas pergi dari hadapanku!" kata Supit Jagal dengan mimik
seolah jijik melihat tampang Ki Ageng Tunggul yang buruk dan seram itu.
"Aku akan pergi. Tapi sebelum munta diri mohon kakek memberikan obat
pemusnah racun yang sudah kutelan dua hari lalu. Bukankah begitu sesuai
perjanjian"!"
Supit Jagal usap-usap kuping kirinya yang sumplung. Lalu dia tertawa
mengekeh. Ki Ageng Tunggul diam-diam jadi merinding ngeri kalau-kalau orang tua
aneh ini tidak menepati janjinya. Sesaat kemudian Supit Jagal mengeluarkan
sebuah benda putih dari dalam saku bajunya lalu dilemparkannya ke pangkuan Ki Ageng
Tunggul. "Telan dan pergi cepat!"
Ki Ageng Tunggul segera menelan obat pemusnah yang ada dalam perutnya,
steelah menjura dia cepat-cepat meninggalkan goa itu.
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
PERMULAAN SEBUAH DENDAM
Keempat penunggang kuda berhenti di ujung dinding batu di kaki bukit yang
terletak di Teluk Burung. Angin laut bertiup keras. Ombak mendebur menggelegar
di pantai. Di antara deru angin dan suara deburan ombak penunggang kuda paling
depan yaitu Lor Paregreg bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
"Mana goanya"!"
"Di sebelah sana. Tepat di pertengahan dinding batu."
Lelaki bernama Rak Gludak membuka mulut. "Kawan-kawan, aku punya
firasat buruk. Si Tunggul keparat ini jangan-jangan menipu kita!"
"Kalau nanti terbukti begitu, tidak akan susah memisahkan tubuh dan
kepalanya!" jawab Lor Paregreg.
"Golokku masih cukup tajam!" menyahuti Kunto handoko seraya mencabut
goloknya dan memutar-mutar senjata ini di depan hidungnya.
Atas perintah Lor Paregreg, Ki Ageng Tunggul kini berjalan di sebelah depan.
Mereka akhirnya sampai di sebuah lobang yang merupakan mulut goa.
"Ini goanya," kata Ki Ageng Tunggul. "Peti berisi uang dan harta perhiasan
itu kusembunyikan di dalam. Belum sepotongpun sempat kuambil. Kalian ambil saja
semuanya, bagi tiga. Asalkan diriku diampuni." Habis berkata begitu Ki Ageng
Tunggul hendak turun dari kudanya. Tapu Lor Paregreg mencegah.
"Tetap di punggung kudamu Ki Ageng!" kata Lor Paregreg seraya mendekat.
Lalu dengan sangat tiba-tiba dia menusuk punggung Ki Ageng Tunggul. Kejap itu
juga Ki Ageng Tunggul tak bisa bergerak lagi. Kaku tertotok! Lor Paregreg
berpaling pada kedua kawannya. "Kalian berdua masuk ke dalam memeriksa goa.
Aku mengunggu di sini. Beri tahu kalau peti itu memang ada di dalam!"
"Sret!"
Kunto handoko kembali cabut goloknya. Bagian tajam itu dengan gerakan
cepat ditempelkan ke batang leher Ki Ageng Tunggul hingga orang bermuka setan
ini merasa nyawanya seperti terbang saat itu. "Paregreg, kita sudah sampai di tempat
peti itu disembunyikan. Mengapa manusia keparat ini tidak kita bereskan sekarang
juga"!"
"Nyawa anjingnya soal mudah Kunto. Lebih penting kau dan Rah Gludak
memeriksa dulu. Jika bengsat pengkhianat ini kita habisi dan ternyataa peti itu
tidak ada dalam goa, kita bertiga tidak bakal dapat menemukan uang dan harta benda itu
untuk selama-selamanya!"
"Kalian harus percaya padaku! Aku tidak menipu!" kta Ki Ageng Tunggul.
"Empat perti itu ada di dalam goa! Kalian masuk saja lihat sendiri!" Diam-diam
Ki Ageng Tunggul merasa ngeri sekali kalau-kalau Kunto Handoko akan menebas
batang lehernya saat itu juga.
Lor Paregreg memberi isyarat pada Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua
orang ini melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah cepat menuju
mulut goa. Belum sempat kaki mereka menginjak bagian dalam goa, tiba-tiba
terdengar suara menderu. Bersamaan dengan itu selarik angin panas menerpa ke
arah Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua orang ini berseru kaget dan serentak
melompat ke samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu, menghantam kuda
yang ditungggangi Lor Paregreg. Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah
dengan kepala hangus. Setelah melejang-lejang beberapa kali kuda ini akhirnya
tewas. BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ketika mendengar deru angin yang keluar dari dalam goa, Lor Paregreg
seudah bersiaga. Begitu angin panas menyambar keluar dan menghantam kudanya,
dengan cepat dia melompat. Walau selamat tapi wajahnya tampak agak pucat.
"Ki Ageng Tunggul! Kau benar-benar menipu kami!" teriak Lor Paregreg
marah. Dia melompat marah. Kedua tangannya dipentangkan menyambar leher Ki
Ageng Tunggul yang berada dalam keadaan tertotok kaku di atas kudanya. Namun
saat itu dari dalam goa melesat satu sosok tubuh seorang kakek berbaju tambalan
berambut keriting, berkuping sumplung dan mukanya ada guratan cacat sangat
dalam. Sekali orang ini mendorong kedua tangannya, Lor Paregreg terhempas ke
belakang. "Ki Ageng Tunggul, apa ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup
lebih lama dan harus seera disingkirkan dari muka bumi ini"!" si kakek yang
bukan lain adalah Supit Jagal bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
"Betul!" jawab Ki Ageng Tunggul cepat. "Bunuh ketiganya cepat! Aku akan
memberikan satu kantong uang lagi padamu!"
Supit Jagal tertawa bergelak. "Rejekiku sedang besar-besar rupanya,"
katanya. Lalu sepasang matanya yang sipit menyapu tampang ketiga orang itu.
"Hemmm, wajah mereka memang tidak sedap dipandang. Kehadiran mereka di muka
bumi hanya mengotori saja. Mereka memang pantas disingkirkan!" masih tertawa
mengekeh Supit Jagal melangkah mendekati Lor Paregreg.
"Apa kataku Paregreg!" Kunto Handoko berteriak. "Keparat ini memang
menipu kita!" Lalu Kunto Handoko hantamkan satu jotosan ke perut Ki Ageng
Tunggul. Namun sebelum hantaman itu mengenai sasarannya, selarik angin dahsyat
menyambar dari samping. Mau tak mau Kunto Handoko terpaksa melompat cari
selamat. "Tua Bangka sialan! Kau yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini lebih
dulu!" teriak Lor Paregreg marah. Tangan kanannya mengemplang ke arah kepala si
kakek. Kunto Handoko juga tidak tinggal diam. Dari jarak beberapa kaki dia
lemparkan segenggam paku hitam beracun yang merupakan senjata andalannya. Rah
Gludak ikut pula beraksi. Goloknya berkelebat ke arah supit Jagal.
Walau jelas tiga serangan itu merupakan serangan maut namun si kakek
ganda tertawa. Didahului dengan bentakan garang dia mengangkat kedua tangannya
ke atas. Rah Guldak, Lor Paregreg dan Kunto Handoko melihat dua larik sinar
hitam bergulung membuntal lalu dengan kecepatan luar biasa menghantam ke arah mereka.
Tentu saja ketiga oran ini berserabutan selamatkan nyawa. Namun agaknya mereka
tidak punya kesempatan lagi. Sambaran dua larik sinar hitam itu lebih cepat dari
gerakan mereka untuk cari selamat. Tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan
dari pada menjerit menunggu ajal!
Di saat yang kritis itu tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
"Supit Jagal! Apa kowe sudah edan hendak membunuh murid-muridku"!"
Satu larik angin yang mengeluarkan cahaya biru menyambar. Terdengar
suara letupan beberapa kali dan buyarlah asap hitam yang dilepaskan Supit Jagal
tadi dan hampir membunuh Lor Paregreg, Kunto Handoko serta Rah Gludak.
Supit Jagal terkesiap. Bukan saja karena serangannya dapat dimusnahkan
orang, tapi juga dia mengenali suara orang yang barusan membentak. Dia melompat
satu langkah ke samping lalu berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat turun
dari tebing batu. Yang muncul ternyata seorang kakek bertubuh sangat tinggi, berkulit
sangat hitam. Mata kirinya hanya merupakan rongga menganga yang mengerikan.
Supit Jagal segera mengenali orang ini yang ternyata adalah adiknya sendiri.
Dia balas berteriak. "Supit Ireng! Apa-apaan kau ini"!"
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kowe yang apa-apaan!" balas menyemprot Supti Ireng. "Kau hendak
membunuh tiga muridku! Sungguh gila!"
"Bah!" Supit Jagal delikkan matanya yang sipit. "Mereka muridmu...."
Kalau begitu...." Supit Jagal berpaling pada Ki Ageng Tunggul. "Kalau begitu si
keparat ini hendak mengadu domba kita kakak dan adik. Bangsat kurang ajar!"
Sekali lompat saja Supit Jagal sudah menjambak rambut Ki Ageng Tunggul lalu
menyentakkannya dari atas kuda hingga jatuh terbanting di tanah, masih dalam
keadaan tertotok. Manusia muka setan ini tempak ketakutan setengah mati.
"Guru....."
"Anjing kurap! Jangan sebut aku guru! Aku tidak pernah jadi gurumu dan
kau tidak pernah jadi muridku!"
"De....dengar. Berjanjilah kau tidak akan mengap-apakan diriku. Aku
berjanji untuk memberikan uang serta harta berlimpah-limpah padamu!"
"Supit Jagal, lepaskan totokannya," berkata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul. Begitu totokannya
lepas Ki Ageng Tunggul jatuhkan diri berlutut. "Ampuni diriku. Ampuni diriku....."
kata Ki Ageng Tunggul setengah meratap sementara Supit Ireng dan Lor Paregreg
melangkah ke arahnya.
Sampai di hadapan Ki Ageng Tunggul, Lor Paregreg berkata sambil
memegang bahu lelaki itu. "Nyawamu akan kami ampuni. Asal saja kau mau
menerangkan di mana empat peti besar berisi uang dan harta benda itu kau
sembunyikan!"
"Terima kasih! Terima kasih....." kata Ki Ageng Tunggul sambil manggutmanggut berulang kali.
"Lekas katakan!" teriak Lor Paregreg.
"Peti-peti itu....aku sembunyikan, aku kubur di halaman belakang rumahku di
Pasirginting," kata Ki Ageng Tunggul akhirnya menerangkan.
"Kau dusta!" bentak Kunto Handoko.
"Demi Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak dusta!"
"Jangan percaya keterangannya itu Paregreg!" Rah Gludak berkata.
Lor Paregreg angakt tangannya. "Sekali ini kita harus percaya kawankawan...."
"Betul Paregreg, sekali ini aku benar-benar tidak menipu kalian! Cincang
tubuhku jika ketahuan aku berdusta!"
Lor Paregreg menyeringai. "aku percaya padamu Ki Ageng Tunggul.
Nyawamu diampuni. Kau sekarang bebas pergi. Pergi ke neraka!" Kaki kanan Lor
Paregereg menendang ke arah perut Ki Ageng Tunggul hingga orang ini mencelat
dan terjungkal di tanah. Belum lagi dia sempat bangun, masih dalam keadaan
merintih sambil pegangi perutnya yang laksana pecah, tendangan Kunto Handoko
mendarat di kepalanya. Ki Ageng Tunggul terlempar ke kiri. Kepalanya serasa
terbang meninggalkan tubuhnya. Hidungnya yang tepat kena tendangan melesak
patah dan mengucurkan darah. Dari mulutnya terdengar suara lolong kesakitan. Rah
Gludak tak mau ketinggalan. Tendangannya mematahkan tiga buah tulang-tulang iga
Ki Ageng. "Jangan....Ampuni nyawaku. Kawan-kawan....."
"Kami bukan kawan-kawanmu manusia busuk! Pengkhianat keji! Penipu
keparat!" teriak Lor Paregreg. Tendangannya menghantam dada KI Ageng Tunggul
hingga kembali orang ini terlempar. Karena jatuhnya tepat di hadapan Supit
Jagal, maka Ki Ageng Tunggul jatuhkan dirinya seraya memohon. "Tolong....kau yang bisa
menolongku dari orang-orang ini...."
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tolong...." Baik, aku akan tolong," kata Supit Jagal sambil menganggukangguk dan seringai bermain di mulut. "Nah, ini pertolongan dariku!" Kaki kiri
Supit Jagal melesat mengeluarkan suara berdesing.
"Bukk!"
Tendangan itu menghantam telak lambung kiri Ki Ageng Tunggul. Orang ini
terpekik, mental dan roboh tergelimpang di tanah. Baru saja jatuh bergedebukan
begitu rupa, yang lain ikut pula menendang. Begitu terus bergantian hingga
akhirnya Ki Ageng Tunggul menemui ajal dengan muka dan kepala hancur bergelimang darah.
Tulang belulangnya berpatahan!
Supit Jagal berpaling pada adiknya. "Supit Ireng, untung kau muncul pada
waktunya. Kalau tidak ketiga muridmu pasti sudah kugebuk mati konyol!"
Supit Ireng tertawa pendek. Dia hendak mengatakan sesuatu menjawab
ucapan kakaknya tadi. Namun tiba-tiba dia melihat ada serombongan orang muncul
di depan sana. "Lihat!" serunya memberi tahu seraya menunjuk.
Semua orang berpaling pada arah yang ditunjuk. Saat itu di sebelah atas
dinding batu dan sepanjang pantai Teluk Burung muncul hampir seratur perajurit
bersenjata lengkap termasuk tombak dan tameng. Dari cara mengatur kedudukan
jelas mereka tengah melakukan pengurungan.
"Ada keperluan apa monyet-monyet Kerajaan itu jual tampang di sini"!" ujar
Supit Jagal sementara Lor Paregreg dan dua kawannya tampak gelisah sedang Supit
Ireng tenang-tenang saja.
Baru Supit Jagal berucap, tiba-tiba dari lamping dinding batu sebelah kiri
terdengar seruan keras.
"Lima orang di depan goa lekas menyerah! Kalian sudah terkurung!"
"Itu suara si keparat Brajaseta! Kepala Pasukan Kerajaan!: kata Lor
Paregreg yang mengenali suara orang.
Rahang Supit Ireng menggembung. Matanya yang hanya satu itu seperti
menyala begitu ingat bahwa Kepala Pasukan Kerajaan itulah yang tempo hari
memenjarakan dan menyiksa ketiga muridnya. Dia mendongak dan berteriak.
"Brajaseta! Kalau kau punya nyali turun ke bawah sini! Jangan jual lagak
dari jauh!"
Supit Ireng tutup teriakannya dengan menghantamkan tangan kanannya ke
atas. Sesaat kemudian terdengar suara menggelegar. Salah satu bagian dinding
batu sebelah atas hancur berantakan. Tiga orang perajurit jatuh bersama kuda
tunggangan mereka. Brajaseta yang diarah sudah dulu melompat selamatkan diri.
Tubuhnya jatuh ke bawah seperti bola tapi sampai di tanah kedua kakinya sampai


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih dulu. Begitu berdiri dia berteriak memberi aba-aba menyerbu. Seorang tokoh
silat Istana berjuluk Si Kipas Besi ikut melompat turun sambil kebutkan kipas
saktinya. Terdengar suara menderu. Debu dan pasir pantai beterbangan menutupi
udara beberapa ketika.
Sewaktu udara terang kembali maka kelihatan puluhan perajurit Kerajaan
bergerak cepat ke arah sasaran yaitu lima orang di depan goa. Di depan sekali
berjejer lima orang Perwira Tinggi. Penyerangan dipimpin langsung oleh Brajaseta
dan Si Kipas Besi.
Melihat muduh begitu banyak mulai mendekati untuk menggempur dua
bersaudara Supit Jagal dan Supit Ireng masih tenang-tenang saja, malah kelihatan
mereka tertawa-tawa.
Pada jarak sepuluh langkah Brajaseta kembali berseru. "Kalian sudah
terkurung! Tidak mungkin meloloskan diri! Lekas menyerah kalau sayang nyawa!"
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Supit Jagal dan Supit Ireng tertawa bergelak. "Menyerah" Siapa yang sayang
nyawa"!" teriak Supit Ireng. Matanya yang cuma satu mulai merah tanda kemarahan
mulai menguasai dirinya. "Bangsat bernama Brajaseta! Dengar baik-baik ucapanku!
Kau telah memenjarakan dan menyiksa tiga orang muridku ini! Apa yang telah kau
lakukan harir ini bakal kau terima balasannya berikut bunganya! Dan kau juga
Kipas Besi! Berapa kau dibayar untuk menjadi cecunguk Istana"! Dosamu cukup besar.
Kau layak mampus saat ini juga!" Supit Ireng melompat ke arah Brajaseta. Supit
Jagal, Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak tak tinggal diam. Keempatnya
ikut menyongsong datangnya gempuran.
Pukulan-pukulan sakti yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng memang
luar biasa. Sekelompok para perajrit yang menyerbu roboh mati bergelimpangan.
Tiga orang Perwira Tinggi yang secara nekad coba balas menghantam ikut jadi
korban. Duanya lagi jadi terkesiap kalau tak mau dikatakan leleh nyalinya.
Brajaseta sendiri diam-diam jadi tercekat. Dia sama sekali tidak menyangka dua tokoh silat
golongan hitam itu demikian hebat kepandaiannya. Amukan kedua orang itu tak bisa
dibiarkan begitu saja. Brajaseta melompat ke hadapan Supti Jagal dan Supit Ireng
yang saat itu tengah mengeroyok Si Kipas Besi. Namun gerakannya dihadang oleh
Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak.
"Keparat! Biar kalian kubunuh lebih dulu!" bentak Brajaseta. Baru saja dia
membentak begitu tiba-tiba dia mendengar seruan Si Kipas Besi. Brajaseta
berusaha melirik dan sempat melihat bagaimana dua bersaudara Supit berhasil merampas
kipas besi di tangan tokoh silat Istana. Lalu dengan senjata itu Supit Ireng
mengepruk batok kepala Si Kipas Besi. Tokoh silat ini meraung keras dan roboh ke
tanah tanpa nyawa lagi!
Brajaseta merasa seperti berada di neraka. Dia cabut pedangnya setelah
terlebih dahulu melancarkan satu pukulan tangan kosong keras ke arah tiga
pengurungnya. Namun gerakannya terlalu lamban akibat pengaruh menyaksikan
kematian Si Kipas Besi tadi. Golok di tangan Lor Paregreg menyambar bahu
kanannya lebih cepat. Darah muncrat, pedang yang digenggamnya terlepas jatuh.
Bersamaan dengan itu Supit Ireng sudah melompat ke hadapannya dengan tangan
terpentang siap untuk menghantam.
"Saatnya kau membayar hutang berikut bunganya Brajaseta!" teriak Supit
Ireng. "Guru!" seru Lor Paregreg. "Sebagai murid tertua biar aku yang menabas
batang leher manusia satu itu!"
Supti Ireng menyeringai. "Tentu! Kau dan dua muridku lainnya bakal dapat
bagian. Beri aku kesempatan hanya untuk mencungkil salah satu matanya agar
tampangnya mirip-mirip aku!" Supit Ireng tertawa mengekeh. Tubuhnya berkelebat.
Dua jari tangan kirinya membeset ke depan, ke arah mata kiri Brajaseta sedang
tangan kanan dipentang ke depan untuk menjaga kalau-kalau Kepala Pasukan
Kerajaan itu mengirimkan serangan atau berusaha menangkis. Brajaseta sendiri
saat itu boleh dikatakan tidak berdaya. Darahnya terlalu banyak keluar dari luka
besar di bahunya. Dia masih berusaha untuk merundukkan kepala menghindar cungkilan dua
jari tangan Supit Ireng. Tapi itupun tidak ada artinya. Karena seperti kepala
ular, dua jari tangan Supti Ireng bergerak mengikuti gerakan kepala Brajaseta.
Di saat menegangkan itu terjadilah hal yang luar biasa. Seolah-olah muncul
dari dasar laut terdengar suara menderu dahsyat dan aneh. Teluk Burung laksana
dilanda topan prahara. Pasir pantai beterbangan ke udara menutupi pemandangan.
Deru ombak tertindih lenyap. Belasan perajurit yang tidak mampu bertahan jatuh
terduduk behkan banyak yang berpelantingan. Dua orang Perwira Tinggi Kerajaan
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
coba bertahan tapi keduanya akhirnya jatuh berlutut. Supit Ireng dan Supit Jagal
berdiri tergontai-gontai. Saat itu suara menderu tadi semakin jelas. Laksana
suara ratusan tawon mengamuk dan kini malah disertai hamparan hawa panas.
Supti Jagal cepat melompat menjauh dan bersandar ke dinding batu.
Sebaliknya Supit Ireng yang sudah siap mencungkil mata kiri Brajaseta dengan
nekad meneruskan serangannya.
Satu cahaya menyilaukan beriblat.
"Craass!"
Supit Ireng menjerit setingi langit. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan!
Darah mengucur deras. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi panas. Dia
menjerit sekali lagi lalu jatuh terduduk di atas pasir!
Seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan baju putih tak terkancing
tegak di tengah-tengah kalangan pertempuran. Di dadanya kelihatan rajahan angka
212. Tangan kirinya berkacak pinggang sedang tangan kanan memegang sebilah
kapak bermata dua yang kelihatan merah oleh darah Supit Ireng.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede
memandang berkeliling. Pandangannya sesaat melekat pada Supit Ireng dan Supit
Jagal. "Siapa di antara kalian bernama Supit Jagal"!" Murid sinto Gendeng ini
ajukan pertanyaan. Baik Supit jagal maupun Supit Ireng sama sekali tidak
mengetahui siapa adanya pemuda ini. Sebaliknya Brajaseta walaupun barusan telah
diselamatkan nyawanya oleh Wiro namun masih mendekam dendam kesumat. Karena
ulah Pendekar 212lah beberapa waktu lalu seorang tokoh silat bergelar Malaikat
Tak Bernama beserta Jakaeulung muridnya berhasil meloloskan diri dari sergapan
Pasukan Kerajaan. Dalam pada itu yang paling membuat Kepala Pasukan Kerajaan
ini menjadi sangat sakit hati ialah Wiro pula yang menyebabkan Ning Larasati,
puteri Sultan yang dicintainya sempat menghilang lalu ikut bersama Jakawulung
dan menjalin cinta dengan pendekar muda ini!
Supit Jagal batuk-batuk beberapa kali. Dia menyeringai memandang pada
Pendekar 212 dan berkata. "Kacungku jelek! Ada apa kau mencari majikanmu ini"
Aku Supit Jagal orang yang kau cari!"
Pendekar 212 balas menyeringai. "Jadi begini tampang manusia bernama
Supit Jagal. Tadinya kukira masih muda dan ganteng, Tidak tahunya mirip-mirip
kodok bengkak bermata sipit! Pakaianmu bagus amat banyak tambalan. Dekil dan
bau. Paling tidak kau tak pernah mandi selama dua tahun! Betul?"
Tampang hitam Supit Jagal jadi berubah merah. Sebaliknya murid Sinto
Gendeng tertawa gelak-gelak.
"Bangsat bosan hidup! Katakan apa keperluanmu mencariku"! Atau kau
ingin mati saat ini juga"!" hardik Supit Jagal.
"Aku mewakili seorang tua bernama Empu Pamenang dari Danau Merak
Biru. Kau telah membunuh tiga orang muridnya tanpa sebab dan secara keji!"
"Hemm....begitu" jadi kau kacung Empu Pamenang rupanya. Berapa upah
yang diberikan tua bangka itu padamu" Jika kau mau jadi kacungku, aku bersedia
membayar dua kali lipat!"
Wiro menyengir. "Membeli baju yang bagus saja kau tidak punya. Mau
membayar aku pula! Tua bangka keblinger!" ejek Wiro.
"Keparat haram jadah! Si Pamenang itu nyatanya tidak punya nyali untuk
datang sendiri!"
"Orang tua itu telah memilih hidup suci. Tak mau lagi mengotori tangannya
dengan darah dan nyawa. Baliau punya pntangan membunuh. Itu sebabnya aku
datang mewakili beliau!"
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Supit Jagal menyeringai. "Dusta kentut busuk!" makinya.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan Brajaseta. Tubuhnya jatuh
menelungkup ke tanah. Di punggungnya menancap sebilah golok yang menghujam
menembus sempai ke dadanya. Begitu jatuh Kepala Pasukan Kerajaan ini langsung
tewas. Apa yang telah terjadi"!
Selagi perhatian semua orang tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal,
kesempatan licik ini tidak disia-siakan oleh Lor Paregreg. Dengan licik, dari
belakng dia menusukkan goloknya ke punggung Kepala Pasukan Kerajaan itu!
Meskipun sebenarnya tidak begitu senang terhadap Brajaseta, namun melihat
kematian orang mengenaskan begitu rupa Pendekar 212 Wiro Sableng melompat
sambil menyergap Lor Paregreg dengan satu tabasan. Kapak Naga Geni 212
berkiblat menyambar batok kepala Lor Paregreg. Namun saat itu pula dari samping
kiri kana dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi
menyerangnya dalam waktu yang bersamaan.
Wiro bersuit keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Kini yang terlihat hanya
kilauan cahaya senjata mustikanya disertai deru keras dan tebaran hawa panas.
Melihat guru mereka sudah mulai menyerang, Lor Paregreg, Rah Gludak dan Kunto
Handoko tidak tinggal diam. Mereka ikut menyerbu mengeroyok Wiro. Murid Sinto
Gendeng kini jadi dikeroyok lima orang. Mereka memiliki kepandaian tinggi namun
yang paling berbahaya adalah Supit Jagal dan Supit Ireng.
Sisa-sisa pasukan Kerajaan begitu menyaksikan kematian pimpinan mereka
serta merta jadi putus nyali. Di bawah pimpinan dua orang Perwira Tinggi mereka
segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu dengan membawa mayat Brajaseta
yang masih ditancap golok!
Sementara itu di atas dinding batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan
apa yang terjadi di bawah sana. Mereka adalah Empu Pamenang, Jakawulung dan
Ning Larasati. Sang Empu sengaja datang untuk menyaksikan sendiri kematian
musuh besarnya Supit Jagal.
"Empu, kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus segera turun tangan
membantu sahabat Wiro."
Empu Pamenang mengusap dagunya dan menjawab penuh keyakinan. "Tidak
perlu Jaka. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan. Jika Kapak Naga Geni
berada dalam genggamannya, tidak ada musuh yang tidak dapat dimusnahkannya!"
"Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang idak adil! Saya kawatir
para pengeroyok berlaku curang!" kata Ning Larasati puteri Sultan yang jatuh
cinta pada Jakawulung.
"Larasati betul sekali Empu. Biar saya membantu Wiro!" kata Jakawulung.
Ketika dia hendak melompat ke bawah Empu Pamenang memegang bahunya. "Lihat
apa yang terjadi di bawah sana Jaka!"
Jakawulung dan Ning Larasati sama memandang ke bawah dinding batu.
Saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh bersimbah darah dimakan Kapak
Naga Geni 212. Mereka adalah Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Dua jurus kemudian terdengar jeritan Supit Ireng. Darah menyembur dari
luka di lehernya yang kena dibabat Kapak Naga Geni 212 hampir putus. Tubuhnya
terbanting ke pasir. Menggeliat sedikit lalu diam tak berkutik lagi. Supit Jagal
meraung menyaksikan apa yang terjadi dengan adiknya itu dan menyangka Supit
Ireng telah tewas. Amarah membuat dia mengamuk seperti setan.
Pukulan-pukulan sakti mengandung enaga dalam tinggi dilepaskan tiada
henti ke arah Wiro. Lor Paregreg, satu-satunya kawan yang masih mendampinginya
saat itu berkelahi dengan setengah hati karena nyalinya sudah leleh. Manusia
satu ini BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan perempuran ketika senjata di
tangan Wio membabat tangan kirinya sebatas bahu hingga buntung. Wiro tidak
perdulikan orang itu karena yang ingin dibereskannya saat itu adalah Supit
Jagal. Sebaliknya begitu Lor Paregreg melarikan diri, Ning Larasati yang punya dendam
luar biasa terhadap lelaki ini. Dulu hampir saja dia jadi korban perkosaan Lor
Paregreg. Larasati segera mengejar setelah lebih dulu menyambar pedang milik
Jakawulung dari sarungnya.
"Manusia iblis! Kau mau lari kemana"!" bentak Ning Larasati.
Melihat si gadis menghadang dengan pedang di tanagn, Lor Paregreg
berteriak ketakutan. "Jangan....jangan bunuh! Ampuni diriku...."
Pedang di tangan Ning Larasati berkelebat menabas ke arah perut Lor
Paregreg. Lelaki ini melolong kesakitan, jatuh terduduk sambil pegangi perutnya
yang robek besar. Ususnya menyembul keluar. Tubuhnya menggigil melihat isi
perutnya sendiri yang berbusaian. Antara sadar dan tiada tubuhnya jatuh ke
tanah. Pedang di tangan Larasati berkelebat sekali lagi. Kali ini menetak lehernya
hingga nyaris putus! Sehabis membunuh Lor Paregreg, Ning Larasati merasakan sekujur tubuhnya
mnggigil dingin. Seumur hidup baru sekali ini dia membunuh yang namanya manusia.
Untung Jakawulung da Empu Pamenang muncul di tempat itu dan menolongnya.
Kalau tidak niscaya gadis ini akan terhantar pingsan di tanah.
Perkelahian antara Supit Jagal dan Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan seru.
Namun kakek bermata sipit itu mana sanggup menahan hantaman-hantaman Kapak
Naga Geni 212. Setelah bertahan mati-matian selama sembilan jurus akhirnya satu
tendangan yang dilepaskan Wiro secara tidak terduga membuat dirinya mencelat
mental. Malang baginya tubuhnya jatuh tepat di depan Empu Pamenang. Tanpa pikir
panjang orang tua ini kirimkan pula tendangan ke punggung Supit Jagal. Untuk
kedua kalinya tubuh Supit Jagal mencelat, kembali melayang ke arah Wiro.Seperti
sebuah bola, tubuh melayang itu disambut oleh murid Sinto Gendeng dengan
tendangan kaki kanan.
"Bukkk!"
Sosok Supit Jagal mencelat ke arah laut amblas ditelan ombak. Sesaat
kelihatan kedua tangannya menggapai-gapai udara kosong. Kakek jahat ini akhirnya
lenyap dari pemandangan.
Empu Pamenang pejamkan kedua matanya. Terbayang murid-muridnya yang
telah menemui ajal dibunuh oleh Supit Jagal. Dalam hati orang tua ini berkata.
" Murid-muridku pembunuh kailan sudah menemui ajal. Sekarang kuharap kalian
semua bisa beristirahat dengan tenang di alam baka...."
Ketika membuka mata kembali pandangan Empu Pamenang tertuju pada
Wiro. Dia melangkah mendekati pemuda ini. "Pendekar 212. Aku sangat berterima
kasih atas semua bantuanmu...."
Wiro hanya tersenyum dan garuk-garuk kepala. "Tolong menolong dalam
dunia persilatan sudah lumrah Empu. Lagi pula apa yang saya lakukan bukan
sesuatu yang patut dibesar-besarkan.... Kalau boleh saya mohon diri sekarang.
Saya ingin melanjutkan perjalanan."
Empu Pamenang menarik nafas panjang lalu perlahan-lahan menganggukkan
kepalanya. Ning Larasati mendekati seorang Perwira Tinggi yang tengah bersiapsiap membawa jenazah Brajaseta. "Jika kalian kembali ke Kotaraj, beritahu Sultan
bahwa aku telah diambil murid oleh Empu Pamenang di Danau Merak Biru. Katakan
agar ayahanda tidak usah kawatir. Jika aku sudah mewarisi ilmu kepandaian pasti
aku akan kembali ke Istana."
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perwira Tinggi itu tak bisa menjawab apa-apa hanya menjura dalam-dalam
lalu tinggalkan tempat itu.
Empu Pamenang memandang pada Jakawulung dan Ning Larasati. Dia lalu
celingukan ke kiri dan ke kanan. "Eh, kemana lenyapnya pemuda itu"!"
Jakawulung dan Ning Larasati baru sadar. Memandang berkeliling Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu. Sang Empu
geleng-gelengkan kepala. Dia memegang lengan sepasang muda mudi itu lalu
mengajaknya pergi dari situ.
Belasan mayat bertebaran di tepi pantai Teluk Burung. Deburan ombak dan
tiupan angin terdengar aneh seolah menambah keangkeran keadaan tempat itu. Tibatiba kesunyian itu dirobek oleh suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian
muncullah seorang penunggang kuda berpakaian biru. Di bawah blangkon yang terletak di atas
kepalanya kelihatan tampangnya yang seram. Astaga! Manusia ini memiliki wajah
yang sangat sama dengan KI Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul.
Keparat yang satu itu mayatnya masih terkapar di antara tebaran mayat-mayat
lainnya. Bahkan orang ini juga memiliki cacat bekas luka di pipi kirinya!
Kulitnya sama hitamnya dengan Ki Ageng Tungul. Aneh, bagaimana ada dua manusia begini
mirip satu sama lain"
Orang ini hentikan kudanya di antara tebaran mayat. Dia memandang
berkeliling. Dia tidak melihat sosok tubuh yang dicarinya. "Tunggul...."!"
desisinya. Untuk memastikan dia turun dari kuda. Satu demi satu ditelitinya mayat-mayat
yang berkaparan itu. Dari mulutnya kemudian terdengar suara meraung sewaktu dia
menemukan mayat Ki Ageng Tunggul terkapar di tanah, terhimpit oleh sosok mayat
seorang perajurit Kerajaan. Orang ini tendang mayat perajurit itu lalu jatuhkan
diri sambil merangkul mayat Ki Ageng Tunggul. "Adikku, mari kita tinggalkan tempat
ini. Aku akan menguburkan dirimu. Istirahatlah dengan tenang. Kalau manusia-manusia
yang membunuhmu masih hidup aku akan cari mereka sampai dapat! Bahkan aku
bersumpah akan membasmi semua orang yang ada sangkut pautnya dengan
mereka!" Dengan susah payah orang yang berwajah sangat mirip dengan Ki Ageng
Tunggul ini mendukung tubuh Ki Ageng Tunggul dan meletakkannya di atas kuda.
Sesaat kemudian dia segera tinggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan menggelincirnya sang surya menuju ke Barat, di
permukaan laut Teluk Burung tampak sesosok tubuh berusaha berenang dengan
susah payah menuju ke tepi pasir. Sekujur tubuhnya penuh luka, bengkak-bengkak
bahkan tulang-tulang iga serta tangannya ada yang patah. Dia berenang seperti
tengah berenang dalam neraka! Keadaannya hampir sekarat ketika dia akhirnya
berhasil mencapai pasir pantai lalu merangkak menjauhi ombak. Sungguh luar
biasa! Manuisa ini bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang disangka
sudah menemui ajal tenggelam di dasar laut. Ternyata dia masih hidup dan berhasil
menyelamatkan diri dengan berenang ke tepi pantai.
Di bagian lain dari pantai, di antara tebaran mayat yang berkaparan di sana
sini, lapat-lapat terdengar suara erangan. Lalu ada satu sosok tubuh yang
bergelimang darah tampak menggeliat dan mencoba bangkit. Manusia ini ternyata
adalah Supit Ireng yang disangka telah menemui ajal akibat bacokan Kapak Maut
Naga Geni 212 pada bagian lehernya. Sungguh luar biasa dia masih bisa hidup
walau sebagian tubuhnya telah menjadi hangus! Samar-samar Supit Ireng melihat
ada seseorang yang merangkak di atas pasir. Begitu pandangannya agak menjelas
dia segera mengenali orang itu.
BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Supit Jagal.... Kau masih hidup.....?" Supit Ireng berusaha berdiri. Tapi
kedua lututnya goyah dan tubuhnya terbanting ke tanah, menggeletak pingsan!
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SATU Gubuk reyot itu terletak tak jauh dari Teluk Burung. Ruangan di dalamnya terbuka
begitu saja, tak ada sekat tak ada dinding, apalagi yang disebut kamar. Sebuah
obor kecil tergantung di tiang bambu, menerangi dua sosok tubuh kakek-kakek yang
tergeletak di atas sebuah balai-balai kayu. Keadaan dua sosok tubuh ini sangguh
mengerikan. Kakek pertama buntung kuping kirinya. Mukanya hancur mengerikan.
Pakaiannya yang banyak tambalan kelihatan basah oleh air laut dan darah.
Beberapa tulang iganya patah. Tidak jelas apakah manusia ini masih hidup atau sudah jadi
mayat. Dia bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang diam di sebuah goa di
Teluk Burung. Di sebelah Supit Jagal menggeletak tubuh kakek kedua yaitu Supit Ireng.
Kakek bertubuh jangkung dan berkulit hitam ini kini hanya punya satu tangan
yaitu tangan kanan. Tangan kirinya buntung sebatas pergelangan akibat tebasan Kapak
Maut Naga Geni 212. Lengan yang buntung itu tampak menghitam hangus sampai ke
siku. Selain pakaiannya yang kuyup oleh darah, di lehernya kelihatan ada sebuah
luka terbuka mengerikan. Luka ini juga adalah akibat sambaran senjata mustika
Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti kakknya, saat itu tidka jelas apakah Supit Ireng masih
hidup atau sudah mati pula.
Pintu gubuk tiba-tiba terbuka disertai suara berkereketan. Seorang tua
melangkah terbungkuk-bungkuk diiringi dua orang pemuda. Di depan balai-balai
kayu, orang tua ini berhenti lalu berpaling pada dua pemuda. "Ini dua orang yang
kuceritakan itu. Mereka kutemui di antara tebaran mayat di Teluk. Hanya mereka
yang masih hidup. Coba kalian periksa keadaannya."
Dua orang pemuda memperhatikan sosok-sosok manusia yang tergeletak di
atas balai-balai kayu itu dengan pandangan penuh ngeri.
"Mereka sudah jadi mayat kek. Buat apa diperiksa lagi," kata pemuda yang
tegak tepat di samping orang tua itu. Namanya Kudo Aru. Dia adalah cucu pertama
dari si orang tua yang disebutnya dengan panggilan kakek.
"Aku tidak sependapat!" menjawab si kakek. "Aku yakin dua manusia ini
masih hidup. Mereka orang-orang sakti. Karena itu mereka sanggup bertahan hidup.
Orang lain pasti sudah tewas menemui ajal!"
"Kakek Pungku," giliran pemuda yang satu membuka mulut. "Sebenarnya
mengapa kau mau bersusah payah mengurusi dua orang ini" Sanak bukan saudara
bukan! Biar saja mereka tergeletak di Teluk sampai jadi tengkorak digerogoti
elang laut pemakan daging manusia!"
Si orang tua bernama Pungku menghela nafas dalam. "Aku sudah menduga
kau bakal berkata begitu Sindak Bumi. Terus terang aku sudah lama kenal dengan
yang sebelah kiri ini. Dia tinggal di sebuah goa di teluk. Dia seorang sakti
mandraguna.Kalau tidak salah namanya Supit Jagal."
"Kalau dia orang sakti mengapa bisa babak belur seperti ini?" tanya Sindak
Bumi. "Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Namun keras degaanku dia
telah berkelahi melawan orang yang jauh lebih sakti. Karena kenal itu sebabnya
aku menolong. Kalaupun dia sudah mati apa salahnya aku mengurusi mayatnya. Kalian
hanya kuminta membantu....."
"Lalu kek, apa kau juga kenal dengan mayat yang satu ini?" bertanya Kudo
Aru. BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau tidak salah, dia adalah adik dari yang satu ini. Dia juga bukan manusia
sembarangan. Tapi kalah perkasa dengan lawannya. Lihat saja tangannya dibikin
buntung. Lehernya terluka dalam...."
"Kek, kedua orang ini sudah mati. Lebih baik mereka diseret keluar lalu
dibuang ke jurang!" kata Sindak Bumi pula yang tidak mau repot.
"Aku setuju dengan Sindak! Kata Kudo Aru menyambuti.
Kakek Pungku diam sesaat. Akhirnya dia berkata. "Jika itu mau kalian apa
boelh buat." Orang tua ini mengambil obor kecil yang tergantung di dinding lalu
berpaling pada kedua cucunya. "Seperti mau kalian, ayo seret satu-satu mayat itu
lalu kita buang ke jurang malam ini juga."
"Kek, Kakek...." kata Sindak Bumi. "Kau ini ada-ada saja. Saya tahu kau ingin
berbuat baik. Tapi mengapa harus menyengsarakan diri sendiri?" Sindak berpaling
pada Kudo Aru lel keduanya melangkah mendekati sosok tubuh di atas balai-balai
kayu yang di sebelah kanan. Sosok Supit Ireng. Masing-masing mereka sudah siap
unuk mencekal kaki Supit Ireng dan menyeretnya ke luar gubuk, terus dibawa ke
jurang yang tak berapa jauh dari sana. Namun belum sempat kedua pemuda ini
memegang pergelangan kaki Supit Ireng tiba-tiba menerobos masuk satu bayangan
yang mengeluarkan suara deru angin.
"Hai! Siapa ini"!" seru kakek Pungku.
Orang yang masuk ternyata adalah seorang tua berambut putih yang disisir
rapi dan berwajah klimis. Dia mengenakan baju hitam yang di bagian dadanya ada
lukisan telapak tangan berkuku panjang dalam warna putih. Ketika Pungku dan dua
cucunya memperhatikan sepasang jarinya yang memiliki kuku-kuku sangat panjang.
"Orang berambut putih,kau belum menjawab pertanyaanku. Harap jelaskan
siapa dirimu dan apa keperluanmu datang ke mari," berucap Pungku.
"Siapa aku apa perdulimu. Aku ada urusan dengan dua orang ini. Aku mau
memeriksa dan menanyai!"
"Eh, kau tentu tidak gila mau menanyai orang yang sudah mati!" ujar Sindak
Bumi. "Sudah! Jangan banyak mulut. Menjauh ke dinding sana! Lihat saja apa yang
aku lakukan. Berani membuka mulut aku kepruk mulut kalian!" Lalu orang berkuku
panjang itu melangkah ke arah balai-balai kayu.
"Hai! Kau tidak bisa berbuat sesukamu di gubukku!" seru orang tua bungkuk
bernama Pungku.seraya menghalangi langkah orang.
Paras orang berpakaian hitam itu tampak berubah menyeramkan. "Jangan buat
aku marah! Atau kau ingin kubuat seperti ini"!" Kakek berambut putih ini pentang
tangan kanannya. Tiba-tiba tangan itu berkelebat ke arah dinding papan. Terdenga
suara seperti orang menggergaji! Ketika Pungku dan dua cucunya memandang ke
dinding, wajah ketiganya jadi pucat. Dinding kayu itu kelihatan berlubang dalam
berbentuk guratan panjang! Orang tua ini menyeringai. "Apa kalian masih mau
bicara rewel denganku"!"
Jaka Lola 12 Pendekar Mabuk 012 Cermin Pemburu Nyawa Pendekar Sadis 16

Cari Blog Ini